PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK
(Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta)
Skripsi
Oleh:
DEWI DAMAYANTI
NIM K6407020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK
(Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta)
Oleh:
DEWI DAMAYANTI
NIM: K6407020
SKRIPSI
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Dewi Damayanti. PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK
(Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta). Skripsi, Surakarta:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Faktor-faktor apa yang
menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial, 2) Bagaimana
partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak, 3)
Hambatan apa yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual
komersial anak.
Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif. Strategi penelitiannya
menggunakan strategi tunggal terpancang. Sumber data diperoleh dari informan,
peristiwa/aktivitas serta dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive
sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara,
observasi dan analisis dokumen. Untuk memperoleh validitas data dalam penelitian ini
digunakan trianggulasi data. Sedangkan teknik analisis data menggunakan model analisis
interaktif dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3)
penyajian data, 4) penarikan kesimpulan/verifikasi. Adapun prosedur penelitian dengan
langkah-langkah sebagai berikut: 1) tahap persiapan, 2) tahap pengumpulan data, 3) tahap
analisis data, 4) tahap penyusunan laporan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Faktorfaktor yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial yaitu:
Faktor keluarga dan teman, Faktor teknologi informasi dan komunikasi, Faktor sosial
ekonomi, Faktor pengalaman seksual dini. 2) Yayasan KAKAK berpartisipasi dalam
mencegah eksploitasi seksual komersial anak meliputi: a) Sosialisasi-sosialisasi
pencegahan ESKA, b) Kampanye-Kampanye Pencegahan ESKA, c) Mewujudkan
partisipasi anak dan masyarakat melalui pendidikan komunitas, d) Mengadakan diskusidiskusi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, e) Advokasi kebijakan. 3) Hambatan
yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak
yaitu: a) Hambatan internal: terbatasnya sumber daya manusia di yayasan KAKAK, b)
Hambatan eksternal: (1) Dari masyarakat: masyarakat belum bisa tergerak untuk
melakukan pencegahan ESKA. (2) Dari anak: ketika melakukan sosialisasi di wilayah
sering kali bertabrakan dengan jam pelajaran. (3) Dari keluarga: masih terdapatnya
keluarga dari tingkat ekonomi menengah kebawah yang kurang peduli terhadap
pentingnya pendidikan dan perlindungan bagi anak-anaknya. (4) Dari pihak-pihak terkait:
sering kali terjadi perbedaan pendapat ketika sedang diskusi permasalahan anak. (5) Dari
sekolah: sulitnya membentuk persepsi guru tentang pentingnya perlindungan anak,
sebagai upaya pencegahan ESKA di sekolah.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Dewi Damayanti. THE PREVENTION OF COMMERCIAL SEXUAL
EXPLOITATION AGAINST CHILDREN (A Study on the Participation of “KAKAK”
Foundation in Surakarta). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty.
Surakarta Sebelas Maret University, 2011.
The objectives of research are to find out: (1) the factors leading the children to
the situation of commercial sexual exploitation, (2) how the participation of “KAKAK”
foundation is in preventing the commercial sexual exploitation against children, and (3)
the obstacle the “KAKAK” foundation faces in preventing the commercial sexual
exploitation against children.
This research employed a descriptive qualitative method. The research strategy
used was a single embedded strategy. The data source derived from informant,
event/activity as well as document. The sampling technique used was purposive sampling.
Technique of collecting data used interview, observation and document analysis. Data
triangulation was used to validate the data of research. Meanwhile the technique of
analyzing data used was an interactive model of analysis with the following steps: 1) data
collection, 2) data reduction, 3) data display, and 4) conclusion drawing/verification. The
procedure of research included: 1) preparation, 2) data collection, 3) data analysis, and
4) research report writing.
Considering the result of research, it can be concluded that: 1) the factors
leading the children to the situation of commercial sexual exploitation include: family
and friend, information and communication technology, social economic, and earlier
sexual experience factors. 2) KAKAK foundation participates in preventing the
commercial sexual exploitation against children against children as: a) socializations
about the prevention of commercial sexual exploitation against children (ESKA) b)
campaigns of sexual exploitation against children (ESKA) prevention c) Manifesting the
children’s and society’s participation through community education, d) Holding
discussions and cooperation with the related parties, and e) policy advocacy. 3) The
obstacles the “KAKAK” foundation faces in preventing the commercial sexual
exploitation against children include: a) internal obstacles: limited human resource in
KAKAK foundation, b) external obstacles: (1) From society: the society have not been
motivated to prevent sexual exploitation against children (ESKA). (2) From children: the
schedule of socialization in the region is frequently coincided with the lesson schedule.
(3) From family: some families or parents come from lower-middle economic level that
tend to be less aware of the importance of education and protection for their children. (4)
From the related parties: some different opinions frequently arise during discussion
about the children problems. (5) From school: difficulty create the teachers’ perception
on the importance of children protection, as preventing sexual exploitation against
children (ESKA) at school.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri. Jika anak
dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia akan belajar kebenaran dan
keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia akan belajar menaruh
kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia akan belajar
menemukan cinta dalam kehidupan”
(Dorothy Law Nolte)
“Berani berkata tidak. Berani menghadapi kebenaran. Kerjakan sesuatu yang
benar karena itu benar. Ini adalah kunci untuk hidup dengan integritas”
(W. Clement Stone)
“Hanya mereka-mereka yang sabar mengerjakan hal-hal yang sederhana dengan
sempurnalah yang akan meraih keterampilan yang dibutuhkan untuk mengerjakan
hal-hal sulit dengan mudah”
(Friedrich Schiller)
“Bahkan suatu kesalahan dapat berubah menjadi suatu hal yang perlu untuk suatu
kemajuan yang bermanfaat”
(Henry Ford)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Teriring rasa syukur kepada Allah SWT,
skripsi yang tersusun dengan penuh
kesungguhan ini, penulis persembahkan
kepada :
1. Ibu dan Bapak tercinta atas doanya
2. De’ Oka yang tersayang
3. Happy Oktavian atas semangatnya
4. Teman-teman FKIP PPKn angkatan
2007
5. Almamater
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan.
Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam penyelesaian skripsi ini,
namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kendala yang timbul dapat
teratasi, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Furqon Hidayatullah, M.Pd; Dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini.
2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd; Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah menyetujui ijin atas permohonan penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Sri Haryati, M.Pd; Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan dan selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan
pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Sri Jutmini, M.Pd; Pembimbing I yang telah memberikan
persetujuan, pengarahan, bimbingan dan petunjuk serta motivasi dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Dr. Triyanto, S.H, M.Hum; Pembimbing II yang tiada henti-hentinya
memberikan pengarahan, dorongan, motivasi, bimbingan teknis dan saran
dalam penyusunan skripsi ini.
6. Bapak
dan
Ibu
Kewarganegaraan
Dosen
Program
Studi
Pendidikan
yang telah memberikan bekal
dan
pengetahuan untuk
penyusunan skripsi ini.
7. Direktur serta segenap staff di Yayasan KAKAK Surakarta.
commit to user
ix
Pancasila
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari
Allah SWT.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha dengan mencurahkan
segala kemampuan dengan harapan agar memenuhi persyaratan sebagai suatu
karya ilmiah yang bermanfaat. Namun mengingat adanya keterbatasan
pengetahuan, penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam skripsi ini,
maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
Surakarta,
September 2011
Penulis
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK .................................................................................
v
HALAMAN ABSTRACT ................................................................................ vi
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................
8
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
8
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
8
LANDASAN TEORI ..................................................................... 10
A. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 10
1. Anak .................................................................................... 10
a. Pengertian Anak .............................................................. 10
b. Hak dan Kewajiban Anak ............................................... 12
2. Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak .............. 14
a. Pencegahan ..................................................................... 14
b. Eksploitasi ...................................................................... 15
c. Eksploitasi Seksual ........................................................ 16
commitKomersial
to user ....................................... 17
d. Eksploitasi Seksual
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Eksploitasi Seksual Komersial Anak ............................. 18
f. Bentuk-bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak ..... 21
g. Pelaku Seks terhadap Anak ............................................ 30
h. Faktor-faktor
Terjadinya
Eksploitasi
Seksual
Komersial Terhadap Anak ............................................. 32
i. Anak-anak yang Rentan terhadap Eksploitasi Seksual
Komersial ....................................................................... 33
j. Faktor-faktor yang Membuat Anak Menjadi Rentan ..... 34
k. Dampak Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak
40
3. Partisipasi ............................................................................ 42
a. Pengertian Partisipasi ..................................................... 42
b. Arti Penting Partisipasi Warga Negara ........................ 45
4. Yayasan ............................................................................... 48
a. Pengertian Yayasan ........................................................ 49
b. Tujuan Yayasan .............................................................. 49
c. Struktur Organisasi Yayasan .......................................... 52
d. Kedudukan Hukum Yayasan dalam Sistem Hukum
Indonesia ......................................................................... 52
B. Kerangka Berpikir ................................................................... 54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 55
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 55
1. Tempat Penelitian ................................................................ 55
2. Waktu Penelitian ................................................................. 55
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ................................................ 56
1. Bentuk Penelitian ................................................................. 56
2. Strategi Penelitian ................................................................ 56
C. Sumber Data ............................................................................ 57
1. Informan ............................................................................. 58
2. Peristiwa atau Aktivitas ..................................................... 59
commit to user
3. Dokumen ............................................................................
59
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Teknik Sampling ..................................................................... 59
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 60
1. Wawancara ......................................................................... 61
2. Observasi ............................................................................ 61
3. Analisis Dokumen .............................................................. 62
F. Validitas Data .......................................................................... 62
G. Analisis Data ........................................................................... 63
1. Pengumpulan Data .............................................................. 64
2. Reduksi Data ...................................................................... 64
3. Penyajian Data .................................................................... 64
4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi ............................... 64
H. Prosedur Penelitian .................................................................. 65
1. Persiapan ............................................................................. 66
2. Pengumpulan Data .............................................................. 66
3. Analisis Data ...................................................................... 66
4. Penyusunan Laporan Penelitian ......................................... 66
BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 67
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ..................................................... 67
1. Sejarah Berdirinya Yayasan KAKAK ................................ 67
2. Visi dan Misi Yayasan KAKAK ........................................ 68
3. Tujuan, Mandat dan Peran Strategis Yayasan KAKAK...... 69
4. Susunan Organisasi Yayasan KAKAK .............................. 70
B. Deskripsi Hasil Penelitian ....................................................... 71
1. Gambaran Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial
Anak di Surakarta ............................................................... 71
2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Berada Pada
Situasi Eksploitasi Seksual Komersial ............................... 76
3. Partisipasi Yayasan KAKAK dalam Mencegah Eksploitasi
Seksual Komersial Anak .................................................... 83
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Hambatan yang Dihadapi Yayasan KAKAK dalam
Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak ................ 102
C. Temuan Studi .......................................................................... 108
D. Pembahasan ............................................................................. 118
1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Berada Pada
Situasi Eksploitasi Seksual Komersial ............................... 118
2. Partisipasi Yayasan KAKAK dalam Mencegah Eksploitasi
Seksual Komersial Anak .................................................... 121
3. Hambatan yang Dihadapi Yayasan KAKAK dalam
Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak ................ 128
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ............................... 132
A. Kesimpulan .............................................................................. 132
B. Implikasi .................................................................................. 133
C. Saran ........................................................................................ 134
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 137
LAMPIRAN .................................................................................................... 140
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian ................................................................ 55
Tabel 2. Susunan Organisasi Yayasan KAKAK ............................................. 70
Tabel 3. Jumlah dan Asal Anak Korban ESKA di Surakarta .......................... 72
Tabel 4. Kategori ESKA .................................................................................. 73
Tabel 5. Jenis Kelamin Anak Korban ESKA di Surakarta .............................. 74
Tabel 6. Usia Anak Korban ESKA di Surakarta .............................................. 75
Tabel 7. Tingkat Pendidikan Anak Korban ESKA di Surakarta ...................... 76
Tabel 8. Faktor Pendorong Anak Terjerumus ESKA ...................................... 81
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Berfikir ........................................................................... 54
Gambar 2. Analisis Data Model Interaktif ....................................................... 65
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
Data Situasi ESKA ................................................................... 140
Lampiran 2.
Bentuk Kegiatan Yayasan KAKAK di Sekolah dan Wilayah . 141
Lampiran 3.
Catatan Lapangan ..................................................................... 142
Lampiran 4.
Panduan Wawancara ................................................................ 217
Lampiran 5.
Panduan Pengamatan ............................................................... 221
Lampiran 6.
Foto Kegiatan Penelitian .......................................................... 222
Lampiran 7.
Trianggulasi Data ..................................................................... 225
Lampiran 8.
Materi Sosialisasi tentang Kekerasan dan ESKA .................... 228
Lampiran 9.
Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi kepada Dekan
FKIP UNS ................................................................................ 233
Lampiran 10. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS tentang Ijin Penyusunan
Skripsi ...................................................................................... 234
Lampiran 11. Surat Permohonan Ijin Research/Try Out kepada Rektor UNS . 235
Lampiran 12. Surat Permohonan Ijin Research/Try Out kepada Pimpinan
Yayasan KAKAK Surakarta .................................................... 236
Lampiran 13. Permohonan Surat Pengantar Ijin Penelitian kepada Walikota
Surakarta .................................................................................. 237
Lampiran 14. Surat Keterangan Penelitian dari Yayasan KAKAK Surakarta 238
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak-anak adalah masa depan, bukan hanya untuk dirinya sendiri dan
keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat, bangsa dan negaranya. Mereka adalah
masa depan kemanusiaan. Dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian
dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak Anak Tahun 1989.
Anak-anak sebagai harapan dan penerus generasi bangsa, perlu
mendapatkan perhatian yang maksimal baik dari masyarakat maupun dari
pemerintah. Sebagai harapan bangsa, maka kesejahteraan anak harus ditingkatkan
dan mendapatkan perhatian yang lebih agar mereka dapat menjadi generasi
penerus bangsa yang berkualitas. Anak merupakan tumpuan bangsa, negara,
masyarakat dan juga keluarga, sehingga harus diperlakukan khusus agar dapat
tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya.
Namun kenyataan yang terjadi, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak
anak masih sangat rendah, terbukti dengan masih banyak anak-anak yang terjerat
dalam komersialisasi seksual orang-orang dewasa di sekitar mereka. Nasib anakanak negeri ini sudah semakin parah, mereka dijerumuskan oleh berbagai pihak
dan masuk dalam situasi eksploitasi seksual komersial.
Ekspoitasi Seksual Komersial Anak yang selanjutnya disingkat ESKA
merupakan kejahatan yang menimpa anak-anak. Deklarasi dan Agenda Aksi
Stockholm, Swedia Tahun 1996 untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial
Anak mendefinisikan ESKA sebagai:
Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut
terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan
dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau
orang-orang lainnya. Anakcommit
tersebut
diperlakukan sebagai sebuah objek
to user
seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual Komersial Anak
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan
mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. (End
Child Prostitution In Asia Tourism Internasional, 2006: 4)
Bentuk-bentuk ESKA yang utama dijumpai adalah pelacuran anak,
pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Menurut laporan situasi anak dan perempuan (UNICEF 2000), anak dibawah
usia 18 tahun yang tereksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai 40-70
ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center,
pada tahun 2000, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang
terselubung ataupun yang "terdaftar". Sementara itu, menurut M. Farid
(2000), memperkirakan 30 % dari penghuni rumah bordil di Indonesia
adalah perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan 200-300
ribu anak-anak. Di Malaysia dilaporkan terdapat 6.750 pekerja seks
komersial (PSK) dan 62,7 % dari jumlah PSK tersebut berasal dari
Indonesia atau sekitar 4.200 orang dan 40% dari jumlah tersebut adalah
anak-anak berusia antara 14-17 tahun. (Arist Merdeka Sirait:2010,
http://www.djpp.depkumham.go.id)
Laporan ini kembali diperkuat oleh International Labour Organisation
(ILO) “pada tahun 2004, dimana ada sekitar 7452 anak-anak di kawasan Pulau
Jawa seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan sekitar 14.000 anak-anak
di kawasan Jakarta dan Jawa Barat, yang melakukan aktivitas seksual komersial”.
(Irwanto dkk, 2008:5)
Anak yang berada pada situasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak
(ESKA) mengalami situasi yang merugikan mereka, sehingga mereka disebut
korban. Mereka mengalami penyiksaan, pemukulan, pelecehan seksual yang tidak
berperikemanusiaan oleh klien, mucikari, dan germo. Dampaknya ke anak adalah
berupa kerugian secara fisik, seperti terjangkit penyakit seksual dan HIV&AIDS.
Selain itu tekanan psikologis seperti trauma, stres, bahkan ingin bunuh diri.
Eksploitasi seksual komersial pada anak, seperti menjadikan anak sebagai pelacur
selain menghina martabat manusia juga menodai hak asasi manusia.
Dalam hal ini menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 59 menegaskan bahwa:
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan
dengan
commit to
user hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban
kekerasan, baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa pemerintah dan lembaga negara
lainnya wajib melindungi anak-anak yang menjadi korban dari berbagai tindakan
dan situasi yang disebutkan di atas.
Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB mengenai hak-hak anak
(KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang menjadi
momentum penting dalam upaya-upaya pemerintah dan masyarakat madani dalam
melindungi hak-hak anak. Konvensi ini merupakan sebuah traktat atau perjanjian
internasional yang mengatur pengakuan, penghormatan, dan perlindungan
terhadap hak-hak fundamental anak. Dalam Pasal 32 semua negara pihak
diharapkan melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi yang membahayakan
fisik dan moral anak. Pasal 34 secara spesifik mengharapkan semua negara pihak
untuk mengambil berbagai tindakan di tingkat nasional, bilateral, atau multilateral
untuk mencegah eksploitasi anak untuk tujuan seksual.
Eksploitasi seksual komersial anak telah dijadikan sebagai salah satu isu
nasional dan mendapat perhatian dari pemerintah untuk mengatasinya. Hal ini
dapat dilihat dari Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Ekspoitasi Seksual Komersial Anak. Pemerintah
Indonesia berpandangan bahwa ESKA adalah kejahatan kemanusiaan dan
pelanggaran berat hak asasi manusia yang harus diberantas. Kemudian diikuti
dengan dirumuskannya Rencana Aksi Nasional Perdagangan Anak dan
Perempuan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88 Tahun 2002. Sejak
disahkan Keppres ini, beberapa lembaga khususnya institusi pemerintah mulai
memasukkan isu ESKA dalam programnya. Kemudian sejak munculnya Rencana
Aksi Nasional ini perhatian beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga
mulai meningkat untuk segera melakukan langkah-langkah strategis dalam
penghapusan ESKA.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
Secara legislatif Indonesia memang menunjukkan kemajuan yang
bermakna dalam menunjukkan komitmennya untuk memberantas eksploitasi
seksual dan perdagangan anak, ini terwujud dengan terbitnya Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang Nomor 21 Tahun 2007. Meskipun demikian
persoalan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) belum memperoleh
perhatian yang memadai.
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak telah diadopsi tetapi implementasinya dan monitoring terhadap
Rencana Aksi Nasional ini masih lemah. Hal ini disebabkan oleh karena RAN
tersebut belum diadopsi secara luas di tingkat nasional karena kurangnya promosi
dan kesadaran yang dilakukan pemerintah pusat. Pemerintah Provinsi enggan
untuk mengadopsi dan mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional tersebut
karena kurang memahami tentang masalah ESKA. Hal ini mengakibatkan celah
yang besar dalam implementasi kebijakan-kebijakan nasional untuk melindungi
anak dari eksploitasi seksual komersial.
Perlindungan khusus yang bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 Undang-Undang tentang
Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang telah disebutkan sebelumnya
merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Kemudian dalam Pasal 66 ayat (2) perlindungan khusus bagi anak yang
dieksploitasi dilakukan melalui:
1. penyebarluasan dan/ atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/ atau seksual;
2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
3. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja,
lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan
eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual.
Berdasarkan pemahaman Undang-Undang tentang Perlindungan Anak
Nomor 23 Tahun 2002 ini, masyarakat juga dapat berperan serta atau
berpartisipasi dalam upaya perlindungan anak. Peran masyarakat sebagaimana
commit to user
dijelaskan dalam Pasal 72 ayat (1) menyebutkan bahwa masyarakat berhak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.
Dalam ayat (2) menjelaskan peran masyarakat dimaksud dilakukan oleh orang
perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan,
lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan
usaha, dan media massa. Selanjutnya pada Pasal 73 dijelaskan pula bahwa peran
masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kota Solo merupakan salah satu daerah rawan ESKA, Yayasan
Kepedulian Untuk Konsumen Anak (KAKAK) adalah sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang salah satu fokusnya adalah perlindungan anak khususnya
dari kekerasan dan eksploitasi seksual komersial. Pihak ini dinilai sangat berperan
dalam memberikan bantuan terhadap anak-anak korban kekerasan dan ESKA
serta mengupayakan penegakan hak-hak asasi anak.
Adapun catatan yang dimiliki yayasan KAKAK yaitu:
Pada tahun 2005-2008, KAKAK mendampingi 111 anak korban ESKA,
sedangkan pada tahun 2009-April 2010, KAKAK mendampingi 42 anak
korban ESKA. Jumlah ini tentu saja hanya sebagian saja. Dari 42 anak
korban ESKA, 70% diantaranya adalah anak sekolah yang duduk dibangku
SMP dan SMA. Anak perempuan dan anak laki-laki, keduanya sama-sama
rentan menjadi korban ESKA. Terbukti dari pendampingan yang dilakukan
KAKAK juga ada korban anak laki-laki. Untuk jumlah anak perempuan
memang lebih banyak dari anak laki-laki. Akan tetapi dari hasil informasi
yang diperoleh kecenderungan anak laki-laki yang menjadi korban ESKA
ini semakin meningkat jumlahnya dibandingkan beberapa tahun yang lalu.
(Buletin Sahabat Kakak, 2010: 3)
Dari data pendampingan sebagian besar anak korban ESKA berasal dari
keluarga yang rumah tangganya berantakan ada yang orang tuanya terlalu sibuk
bekerja, ada yang sering bertengkar, dan lain-lain. Pelaku ESKA ternyata ada
dimana-mana, bahkan bisa jadi mereka adalah orang terdekat dengan kita seperti
teman, orang tua, tetangga bahkan pacar.
Sedangkan dari hasil wawancara langsung dari Kak Siswi Yuni Pratiwi
selaku pendamping dari Yayasan KAKAK (Senin, 21 Maret 2011) bahwa dari
tahun 2010 hingga maret 2011 ini ada sekitar 70 anak yang terjangkau dan
to userkasus eksploitasi seksual terhadap
terdampingi di yayasan KAKAK.commit
Ada banyak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
anak, hal tersebut tidak dilaporkan dan diselesaikan melalui proses hukum.
Pertimbangan yang biasanya muncul adalah hal tersebut dapat menimbulkan aib
dan mencemarkan nama baik keluarga, lingkungan maupun sekolah. Berdasarkan
hal ini maka banyak pihak menyimpulkan bahwa kasus ESKA jumlahnya jauh
lebih besar dari yang terlaporkan.
Kota Surakarta adalah salah satu kota yang ditetapkan sebagai kota layak
anak pada Tahun 2006. Program Kota Layak Anak terkontaminasi dengan
menjamurnya fenomena Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Selain itu,
ESKA harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es artinya kasus yang
terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya.
Menyikapi hal tersebut sebenarnya Pemerintah Kota Surakarta telah menetapkan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi
Seksual Komersial, untuk melindungi hak-hak anak serta menyelenggarakan
pelayanan dan perlakuan khusus terhadap korban eksploitasi seksual komersial
dan menjatuhkan sanksi yang jelas dan tegas kepada pelaku. Peraturan Daerah ini
sebagai
dasar
untuk
melaksanakan
program
untuk
pencegahan
dan
penanggulangan ESKA di Surakarta.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006
tentang Penanggulangan Eksplotasi Seksual Komersial, Pasal 3 menerangkan
bahwa Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial mempunyai tujuan adalah
untuk: 1) Mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual
komersial; 2) Melindungi dan merehabilitasi korban kegiatan eksploitasi seksual
komersial; 3) Menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan
ketentuan yang berlaku; 4) Merehabilitasi pelaku agar kembali menjadi manusia
yang baik sesuai dengan norma agama, kesusilaan dan hukum. Ruang lingkup
penyelenggaraan penanggulangan ESKA meliputi pencegahan, perlindungan, dan
rehabilitasi.
Pendidikan
kewarganegaraan
sebagai
bidang
kajian
yang
multidimensional mempunyai tujuan dalam meningkatkan partisipasi aktif dari
warga negara. Berkaitan dengan hal tersebut, komponen pokok dalam pendidikan
commit to user
kewarganegaraan meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
1. Civic knowledge berkenaan dengan apa-apa yang perlu diketahui dan
dipahami secara layak oleh warga negara
2. Civics values/dispositions berkenaan dengan sifat dan karakter yang baik
dari seorang warga negara baik secara pribadi maupun publik
3. Civics skill berkenaan dengan apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh
warga negara bagi kelangsungan bangsa dan negara. Civics skill meliputi:
keterampilan intelektual dan keterampilan partisipasi. (Winarno dan
Wijianto, 2010: 50)
Dalam penelitian ini yayasan KAKAK sebagai organisasi non
pemerintah ikut berpartisipasi dalam mencegah eksploitasi seksual komersial
anak. Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menekankan pada civic skill
melalui keterampilan partisipasi dari warga negara. Dimana salah satu perspektif
pendidikan kewarganegaraan berorientasi pada partisipasi warga negara. Dalam
konteks penelitian ini warga negara yang dimaksud adalah Yayasan “KAKAK”.
Selain itu, pendidikan kewarganegaraan juga memiliki misi pendidikan
atau tugas yang harus dijalankan. Menurut Winarno dan Wijianto (2010: 64)
secara luas berfungsi dan berperan sebagai:
“1. Program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan informal
2. Program sosial kultural dalam konteks kemasyarakatan
3. Sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana disiplin ilmu pengetahuan sosial”.
Dalam misinya tersebut terdapat keterkaitan antara misi pendidikan
kewarganegaraan dalam konteks kemasyarakatan dengan permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini yaitu eksploitasi seksual komersial anak. Dimana
permasalahan ESKA adalah pelanggaran hak-hak fundamental anak, sebab anakanak telah dijadikan sebagai objek seks orang dewasa, mereka dirampas haknya
untuk bermain dan belajar. Oleh karena itu partisipasi dari warga negara sangat
penting dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan mengambil judul ”Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (Studi Tentang Partisipasi Yayasan ”KAKAK” di Surakarta)”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diutarakan tersebut maka
rumusan masalah yang dikaji adalah :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi
seksual komersial ?
2. Bagaimana partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi
seksual komersial anak ?
3. Hambatan apa yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah
eksploitasi seksual komersial anak ?
C. Tujuan Penelitian
Sebuah penelitian pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai melalui
penelitian tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi
seksual komersial.
2. Bagaimana partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi
seksual komersial anak.
3. Hambatan apa yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah
eksploitasi seksual komersial anak.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya baik secara teoretis maupun praktis. Hasil penelitian ini
diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :
1.
Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu kewarganegaraan yaitu yang berkaitan dengan hak-hak yang
dimiliki warga negara. Agar anak terlindung dari bahaya eksploitasi seksual
komersial sebagai wujud pelanggaran terhadap hak-hak anak khususnya dan
merupakan kejahatan kemanusiaan pada umumnya. Selain itu sebagai upaya
commit to user
penegakan hak asasi manusia.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
2.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai
pentingnya pencegahan eksploitasi seksual komersial pada anak. Sehingga
pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat dapat bahumembahu berperan serta dan membantu upaya pencegahan dan perlindungan
terhadap anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Anak
a. Pengertian Anak
Pengertian dan batasan usia anak dapat dilihat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan dengan eksploitasi seksual
komersial anak, batas umur kedewasaan seksual yang ditetapkan secara legal
menjadi penting artinya bagi perlindungan anak.
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang
untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Batas usia anak adalah
pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 1 angka 5 menyebutkan pengertian anak adalah “manusia yang
berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang di dalam kandungan demi kepentingannya”. Dalam hal ini anak juga
mempunyai hak asasi yang melekat pada dirinya yang harus dilindungi dan
dihormati.
Menurut
Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
1979
tentang
Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 mengatakan bahwa anak adalah
“seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
pernah kawin”. Batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuan batas dalam
peraturan
perundang-undangan
lainnya,
dan
tidak
pula
mengurangi
kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan
untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun tentang Perlindungan
Anak Menurut Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa anak adalah “seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
commit terdapat
to user kesulitan menentukan usia ini,
dalam kandungan”. Dalam praktek
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
karena tidak semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat Kenal Lahir,
sehingga adakalanya menentukan usia ini dipergunakan surat keterangan lain
seperti rapor atau surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Seharusnya
setiap kasus yang menyangkut mengenai anak mengacu pada asas hukum Lex
specialis derogat legi generale (peraturan yang khusus mengesampingkan
peraturan yang umum) yaitu dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, namun pada kenyataannya walaupun sudah
ditetapkan undang-undang ini masih sering terjadi kerancuan mengenai
batasan umur anak yang dipakai untuk menangani berbagai kasus sosial dalam
masyarakat yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu sebaiknya
penggunaan peraturan yang ada disesuaikan dengan kasus yang dihadapi,
sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda.
Menurut Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child) disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20
November Tahun 1989 Pasal 1 mendefinisikan seorang anak adalah “setiap
orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang
yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.
(Stephanie Delaney, 2006: 10)
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen yang merumuskan
prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, tertanggal 25 Agustus Tahun
1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak. Oleh karena itu, Keppres
Nomor 36 Tahun 1990 yang mengesahkan Konvensi Hak Anak tersebut
secara yuridis telah mengikat negara Indonesia sebagai negara peserta dalam
Konvensi Hak anak.
Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan
Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. Definisi
anak menurut Konvensi ILO adalah “setiap orang yang berusia dibawah 18
commit
tahun”. (Stephanie Delaney, 2006:
10)to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
Dari gambaran definisi diatas, tampak sudah ada kesesuaian definisi
anak yaitu antara instrumen internasional dan undang-undang di Indonesia.
Konsekuensinya semua warga negara Indonesia yang masih dalam batas umur
diatas, berhak memperoleh standar perlindungan sesuai Konvensi Hak Anak.
Pada umumnya Konvensi Hak Anak internasional menerima bahwa
usia 18 tahun merupakan usia yang sesuai untuk menentukan masa dewasa.
Menentukan usia yang baku untuk mendefinisikan masa kanak-kanak
berpengaruh
terhadap
bagaimana
anak-anak
yang
menjadi
korban
diperlakukan oleh hukum. Dengan demikian membakukan usia 18 tahun
sebagai usia tanggung jawab seksual secara internasional akan memberi
perlindungan yang lebih besar terhadap anak (sekaligus menyadari bahaya
mengkriminalisasi anak-anak). Definisi legal tentang anak juga akan
berpengaruh terhadap pengadilan memperlakukan para pelaku tindak
kejahatan.
Berdasarkan pengertian dan batas usia anak di atas, maka dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang usianya
dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
b. Hak dan Kewajiban Anak
Mengenai hak dan kewajiban anak sebagai warga negara dalam hal
ini penulis berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Hak anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
1) Hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. (Pasal 4).
2) Hak diberikan nama sebagai identitas diri, dan memperoleh status
kewarganegaraan. (Pasal 5).
3) Hak beribadah menurut agama, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya.
(Pasal
6)
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
4) Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri. (Pasal 7 ayat 1)
5) Hak untuk diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh
orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Pasal 7 ayat 2).
6) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. (Pasal 8)
7) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(Pasal 9 ayat 1).
8) Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
(Pasal 10).
9) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. (Pasal 11).
10) Hak mendapatkan pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan
dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiyaan; ketidakadilan; dan
perlakuan salah lainnya. (Pasal 13 ayat 1).
11) Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir. (Pasal 14).
12) Hak untuk mendapatkan perlindungan dari: penyalahgunaan dalam
kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam
kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan. (Pasal 15).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
13) Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiyaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 16 ayat 1).
14) Hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (Pasal 16 ayat 2).
15) Hak mendapatkan perlakuan secara manusiawi, memperoleh bantuan
hukum, membela diri dan memperoleh keadilan dalam pengadilan. (Pasal
17 ayat 1).
16) Hak untuk dirahasiakan identitasnya bagi anak yang menjadi korban atau
pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum. (Pasal 17
ayat 2).
17) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya bagi anak
yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana. (Pasal 18).
Kewajiban anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yaitu sebagai berikut:
1) Menghormati orang tua, wali, dan guru;
2) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3) Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. (Pasal 19).
2. Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
a. Pencegahan
Pencegahan agar anak-anak dapat terhindar sebagai korban
eksploitasi seksual komersial merupakan langkah strategis yang harus
dilakukan. Langkah-langkah pencegahan selayaknya memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi seorang anak dapat menjadi korban.
Menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006
tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial menerangkan bahwa,
“Pencegahan adalah usaha mengurangi potensi terjadinya eksploitasi seksual
komersial”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
Seperti yang diungkapkan oleh Stephanie Delaney (2006: 19),
“Pencegahan adalah aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk memberikan
perlindungan permanen dari bencana”.
Tindakan pencegahan pada dasarnya bertujuan untuk meniadakan
kegiatan dan atau dampak kegiatan eksploitasi seksual komersial anak.
Jadi kesimpulannya pencegahan adalah segala usaha untuk
melindungi anak dan mengurangi potensi terjadinya eksploitasi seksual
komersial anak.
b. Eksploitasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Eksploitasi adalah
pengusahaan, pendayagunaan, pemanfaatan untuk keuntungan sendiri;
penghisapan; pemerasan (tenaga orang)”. (Departemen Pendidikan Nasional,
2007: 290)
Kemudian dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menjelaskan:
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan
hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak
lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.
Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006
tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pasal 1 angka 21,
“Eksploitasi adalah tindakan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan/atau
kemampuan diri sendiri oleh pihak lain yang dilakukan atau sekurangkurangnya dengan cara sewenang-wenang atau penipuan yang dilakukan
untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material”.
Kesimpulannya
eksploitasi
adalah
tindakan
yang
berupa
pendayagunaan, pemanfaatan, pengusapan, pemerasan fisik maupun seksual
untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
c. Eksploitasi Seksual
Dalam bukunya Kartini Kartono (2005: 221-222), Freud menyebut
bahwa “Seks sebagai libido sexualis (libido = gasang, dukana, dorongan hidup
nafsu erotik). Seks juga merupakan mekanisme bagi manusia untuk
mengadakan keturunan. Karena itu seks dianggap sebagai mekanisme yang
sangat vital dimana manusia bisa mengabadikan jenisnya”.
Pengertian eksploitasi seksual menurut pendapat Irwanto adalah:
Eksploitasi Seksual adalah memperlakukan anak sebagai komoditas,
sebagai barang dagangan. Anak yang diperlakukan sebagai objek seksual
dipakai untuk mendapatkan uang, barang, atau jasa-kebaikan oleh pelaku
eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang terlibat.
Pelakunya adalah orang-orang terdekat, seperti orang tua, saudara
kandung, atau orang-orang yang dikenal anak dalam komunitasnya,
tetapi juga orang-orang yang tidak dikenal. (Irwanto dkk, 2008: 9)
Menurut Kartini Kartono, “Eksploitasi seks berarti penghisapan atau
penggunaan serta pemanfaatan relasi seks semaksimal mungkin oleh pihak
pria. Sedang komersialisasi seks berarti perdagangan seks, dalam bentuk
penukaran kenikmatan seksual dengan benda-benda, materi dan uang”.
(Kartini Kartono, 2005: 217)
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menjelaskan bahwa:
“Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual
atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk
tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.
Sarah Alexander, Stan Meuwese, dan Annemieke Wolthuis (2000:
479) mengemukakan bahwa Serikat Eropa mendefinisikan eksploitasi seksual
seperti perilaku berikut:
1) The inducement or coercion of a child to engage in any unlawful sexual
activity;
2) The exploitative use of a child in prostitution or other unlawful sexual
practices, and/ or
3) The exploitative use of children in pornographic performances and
materials, including the production, sale and distribution or other forms
of trafficking in such materials. And the possession of such materials.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Artinya adalah:
1) Penghasutan atau pemaksaan anak untuk terlibat dalam kegiatan seks yang
melanggar hukum;
2) Eksploitasi anak dalam prostitusi (pelacuran) atau praktek seksual yang
melanggar hukum lainnya, dan/atau
3) Eksploitasi anak-anak dalam pertunjukan dan materi-materi pornografi,
termasuk pembuatan, penjualan dan penyebaran atau bentuk-bentuk
perdagangan lainnya dalam barang-barang tersebut. Dan kepemilikan
barang-barang semacam itu.
Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006
tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pasal 1 angka 22,
“Seksual Komersial adalah segala tindakan mempergunakan badan/fisik untuk
kepuasaan seksual orang lain dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain”.
Jadi dapat disimpulkan eksploitasi seksual adalah segala bentuk
perlakuan yang menempatkan anak sebagai objek seksual untuk tujuan-tujuan
mendapatkan keuntungan.
d. Eksploitasi Seksual Komersial
Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006
tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pasal 1 angka 23
menjelaskan:
Eksploitasi Seksual Komersial adalah tindakan eksploitasi terhadap
orang (dewasa dan anak, perempuan dan laki-laki) untuk tujuan seksual
dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara orang, pembeli jasa
seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan
dari perdagangan seksualitas tersebut.
“Eksploitasi seksual komersial dapat didefinisikan sebagai kekerasan
seksual terhadap anak untuk mendapatkan bayaran atau kebaikan. Bayaran ini
bisa berupa uang, kebaikan atau keuntungan-keuntungan lain seperti makanan,
perlindungan atau tempat tinggal”. (Stephanie Delaney, 2006: 10-11)
Kesimpulannya eksploitasi seksual komersial adalah tindakan yang
berupa pendayagunaan, pemanfaatan,
pemerasan fisik maupun
commit topengusapan,
user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
seksual untuk mendapatkan keuntungan materiil dalam bentuk perlakuan yang
menempatkan anak sebagai objek seksual untuk tujuan-tujuan mendapatkan
keuntungan.
e. Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Eksploitasi seksual komersial anak mencangkup praktek-praktek
kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial
anak. Deklarasi dan Agenda Aksi untuk menentang eksploitasi seksual
komersial anak merupakan instrumen yang pertama-tama mendefinisikan
eksploitasi seksual komersial anak sebagai:
Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran
tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian
imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang
ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai
sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual
Komersial Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan
terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta
perbudakan modern. (ECPAT Internasional, 2006: 4)
Deklarasi dan Agenda Aksi ini telah diadopsi oleh 122 negara
termasuk Indonesia, merupakan pelaksanaan Kongres Dunia pertama kali
untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak bertempat di
Stockholm, Swedia, pada tahun 1996.
Eksploitasi Seksual Komersial Anak sering disebut ESKA, ECPAT
(End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional dalam Pusat Kajian
dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, dkk (2008: 6) mendefinisikan bahwa
“ESKA sebagai sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak.
Pelanggaran tersebut berupa kekerasan seksual oleh orang dewasa dengan
pemberian imbalan kepada anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya.
Sederhananya anak diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial”.
Berdasarkan pengertian eksploitasi seksual komersial anak yang
ditegaskan di atas tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak-anak
tersebut merupakan korban dari kejahatan (tindak kriminal) yang dilakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
oleh
orang (dewasa)
dengan
memanfaatkan
seksualitas
anak
yang
bersangkutan.
Eksploitasi seksual komersial dibedakan dari eksploitasi seksual non
komersial, yang biasa disebut dengan berbagai istilah seperti pencabulan
terhadap anak, perkosaan, kekerasan seksual, dan sebagainya. Melalui ESKA,
seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebuah
komoditas yang membuatnya berbeda dalam hal intervensi. ESKA adalah
penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan
uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen
dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual
terhadap anak tersebut. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak
dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai
bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan
keuntungan.
Penting untuk memasukkan transaksi-transaksi yang bersifat jasa dan
kebaikan ke dalam definisi tersebut karena ada kencenderungan untuk
memandang transaksi-transaksi seperti itu sebagai pemberian izin dari pihak
anak. Jika terjadi eksploitasi seksual untuk mendapatkan perlindungan, tempat
tinggal, akses untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi di sekolah atau naik
kelas maka anak tersebut tidak memberikan “izin” atas transaksi tersebut
melainkan korban dari orang atau orang-orang yang memanipulasi dan
menyalahkan kekuasaan dan tanggung jawab mereka.
Antara eksploitasi seksual komersial anak berbeda dengan kekerasan
seksual anak, kekerasan seksual terhadap anak tidak ada keuntungan
komersial walaupun eksploitasi seksual juga merupakan kekerasan.
Tindakan pencegahan eksploitasi seksual komersial menurut
Peraturan
Daerah
Kota
Surakarta
nomor
3
Tahun
2006
tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dalam Pasal 11 ayat (2) dapat
dilakukan dengan cara:
1) Memperluas lapangan pekerjaan;
commit
to userluar sekolah;
2) Menyelenggarakan program
pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
3) Membangun kesadaran hak anak dan perempuan terhadap hak-haknya
khususnya di lingkungan yang rentan terhadap adanya kegiatan eksploitasi
seksual komersial;
4) Memberikan pendidikan seks melalui jalur pendidikan formal dan non
formal;
5) Melakukan sosialisasi dan kampanye terhadap pencegahan eksploitasi
seksual komersial;
6) Melakukan pengawasan yang bersifat preventif maupun represif dalam
upaya melaksanakan tindakan pencegahan dan penanggulangan eksploitasi
seksual komersial;
7) Melaksanakan kerjasama antar daerah yang dilakukan melalui pertukaran
informasi, kerja sama penanggulangan dan kegiatan teknis lainnya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
8) Melakukan koordinasi
yang diperlukan pemerintah provinsi dan
pemerintah pusat.
Dalam suatu kegiatan tidak selamanya berjalan dengan lancar sering
kali ditemukan hambatan-hambatan, begitu pula dalam mencegah ESKA.
Salah satu hambatan yang dihadapi organisasi non pemerintah berkaitan
dengan masalah internalnya seperti yang diungkapkan oleh Stephanie Delaney
(2006: 44) bahwa “salah satu kesulitan yang dihadapi organisasi-organisasi
lokal adalah bahwa mereka mengalami kekurangan sumber-sumber yang
dibutuhkan”. Adapun hambatan lain yaitu dari sisi eksternalnya, menurut
PKPA Medan dkk (2008: 12) salah satu hambatannya yaitu “masyarakat
sudah menganggap lumrah pekerjaan sebagai PSK, malahan sebagai alternatif
termudah, jalan pintas mencapai kekayaan”. Selanjutnya, dijelaskan pula
bahwa:
Faktor yang melangengkan anak untuk tetap berada dalam lingkaran
ESKA adalah sebuah kenyataan bahwa bekerja di sektor ini membuat
anak merasa mudah mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan
mereka, bahkan ketika mereka berkeinginan untuk keluar, anak-anak
mengalami kesulitan karena pengaruh orang lain, atau sudah terlanjur
nyaman dengan kondisi mereka. (PKPA Medan dkk, 2008: 28)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
Hal yang dikemukakan diatas mungkin menjadi hambatan-hambatan
ketika yayasan KAKAK melakukan pencegahan ESKA.
f. Bentuk-bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism)
Internasional bentuk-bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak yaitu:
1) Prostitusi anak
Tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak
untuk melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau imbalan
lain.
2) Pornografi anak
Pertunjukkan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak
didalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan bagian tubuh
anak demi tujuan-tujuan seksual.
3) Perdagangan anak untuk tujuan seksual
Proses perekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dan penerimaan
anak untuk tujuan eksploitasi seksual.
(PKPA Medan dkk, 2008: 6)
Definisi lain menurut Stephanie Delaney (2006: 10-11) ada tiga
bentuk dasar ekspoitasi seksual komersial terhadap anak yang saling berkaitan
antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu: “pelacuran, pornografi dan
perdagangan untuk tujuan seksual”.
1) Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari
sebuah transaksi komersial dimana seorang anak dipergunakan untuk
tujuan-tujuan seksual. Beberapa orang yang mendapat keuntungan dari
transaksi komersial tersebut adalah mucikari atau germo, perantara atau
agen, orang tua dan sektor-sektor bisnis terkait seperti hotel. Anak-anak
tersebut juga dilibatkan dalam pelacuran ketika mereka melakukan
hubungan seks dengan imbalan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti
makanan, tempat tinggal atau keamanan atau bantuan untuk mendapatkan
nilai yang tinggi di sekolah atau uang saku ekstra untuk membeli barangbarang konsumtif.
2) Pornografi anak berarti pertunjukkan apapun atau dengan cara apa saja
yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit
commit to user
atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Ciri-ciri utama pornografi anak adalah bahwa pornografi anak dibuat untuk
mendapatkan kepuasan seksual. Yang termasuk pornografi anak adalah
foto, negatif film, slide, majalah, buku, gambar, rekaman film, kaset video,
disket, atau file komputer dan foto-foto yang disimpan dalam telepon
gengggam.
3) Trafficking adalah perekrutan, pemindahan, pengiriman atau penerimaan,
anak-anak (dan orang dewasa) untuk tujuan eksploitasi. Bentuk yang lain
adalah pariwisata seks anak. Pariwisata seks anak merupakan eksploitasi
seksual komersial anak yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan
yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, baik di
negara lain maupun di dalam wilayah yang berbeda di negaranya sendiri,
dan di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anakanak, para wisatawan seks anak dapat secara khusus memiliki pilihan
untuk menjadikan anak-anak sebagai pasangan seks mereka atau mereka
mungkin hanya sekedar memanfaatkan sebuah situasi dimana seorang
anak memang tersedia untuk mereka untuk melakukan eksploitasi seksual.
Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006
tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial juga dijelaskan
kegiatan yang masuk dalam kategori ESKA namun hanya difokuskan pada
dua kegiatan yaitu:
1) Perdagangan orang untuk tujuan seksual adalah kegiatan mencari,
mengirim, memindahkan, menampung, menerima tenaga kerja dengan
ancaman kekerasan dan/atau kekerasan, bentuk-bentuk pemaksaan lainnya
dengan cara menculik, menipu, memperdaya termasuk membujuk dan
mengiming-imingi korban untuk tujuan eksploitasi seksual komersial.
2) Prostitusi adalah penggunaan orang dalam kegiatan seksual dengan
pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain.
Berikut ini penulis jabarkan lagi tentang bentuk-bentuk eksploitasi
seksual komersial anak, yaitu sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
1) Pelacuran Anak
Pengertian pelacuran menurut Kartini Kartono (2005: 207),
“Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang
berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan,
dan pergendakan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundal”.
Definisi prostitusi dikemukakan pula oleh Kartini Kartono
bahwa:
Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola
organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak
terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa
kendali dengan banyak orang (promiskiutas), disertai eksploitasi dan
komersialisasi seks impersional tanpa afeksi sifatnya.
(Kartini Kartono, 2005: 216)
Menurut Brian M. Willis dan Barry S. Levy (2002: 1417) dalam
jurnal internasional, mengatakan bahwa, “Child prostitution involves
offering the sexual services of a child or inducing a child to perform
sexual acts for any form of compensation, financial or otherwise”. Yang
artinya, Pelacuran anak menyangkut penawaran jasa seksual anak atau
membujuk seorang anak untuk melakukan tindakan seksual atas setiap
bentuk kompensasi, keuangan atau sebaliknya.
Pelacur-pelacur ini bisa digolongkan dalam dua kategori yaitu:
a) Mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan suka rela
berdasarkan motivasi-motivasi tertentu;
b) Mereka yang melakukan tugas melacur karena ditawan/dijebak dan
dipaksa oleh germo-germo yang terdiri atas penjahat-penjahat, calocalo, dan anggota-anggota organisasi gelap penjual wanita dan
pengusaha bordil. Dengan bujukan dan janji-janji manis, ratusan
bahkan ribuan gadis-gadis cantik dipikat dengan janji akan
mendapatkan pekerjaan terhormat dengan gaji besar. Namun pada
akhirnya, mereka dijebloskan ke dalam rumah-rumah pelacuran yang
dijaga dengan ketat, secara paksa, kejam, dan sadistis, dengan
pukulan dan hantaman mereka harus melayani buaya-buaya seks
yang tidak berperikemanusiaan. Jika para gadis itu tampak ragu-ragu
atau enggan melakukan relasi seks, maka mereka itu dihajar dengan
pukulan-pukulan dan diberi obat perangsang nafsu seks, sehingga
mereka menjadi tidak sadar dan tidak berdaya. Dan di bawah
pengaruh obat-obatancommit
itu, mereka
to userdipaksa melakukan adegan-adegan
porno/cabul yang seram (namun menghancurkan hati anak-anak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
gadis tersebut). Dengan bandit-bandit seks. (Kartini Kartono, 2005:
239)
Berdasarkan golongan kategori pelacur tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa pelacur anak yang dimaksud dalam penelitian ini, yaitu
mereka yang masuk kategori yang kedua, karena mereka adalah korban
sehingga mereka berprofesi sebagai pelacur.
Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan
dari sebuah transaksi komersial dimana seorang anak disediakan untuk
tujuan-tujuan seksual. Anak-anak tersebut mungkin dikendalikan oleh
seorang perantara yang mengatur atau mengawasi transaksi tersebut atau
oleh seorang pelaku eksploitasi yang bernegosiasi langsung dengan anak
tersebut.
Anak-anak tersebut juga dilibatkan dalam pelacuran ketika
mereka melakukan hubungan seks dengan imbalan-imbalan kebutuhankebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal atau keamanan atau
bantuan untuk mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah atau uang saku
ekstra untuk membeli barang-barang konsumtif. Semua perbuatan ini
dapat terjadi tempat yang berbeda seperti lokalisasi, bar, klub malam,
rumah, hotel atau di jalanan.
Kuncinya bahwa bukan anak-anak yang memilih untuk terlibat
dalam pelacuran agar dapat bertahan hidup atau untuk membeli barangbarang konsumtif, tetapi mereka didorong oleh keadaan, struktur sosial
dan pelaku-pelaku individu kedalam situasi-situasi dimana orang dewasa
memanfaatkan kerentanan mereka serta mengeksploitasi dan melakukan
kekerasaan seksual kepada mereka.
Istilah “pelacur anak” atau “pekerja seks anak” mengisyaratkan
bahwa seorang anak seolah-olah memilih hal tersebut sebagai sebuah
pekerjaan atau profesi. Hal ini salah, karena orang-orang dewasalah yang
menciptakan “pelacuran anak” melalui permintaan mereka atas anak-anak
untuk dijadikan sebagai obyek seks, penyalahgunaan kekuasaan dan
to user
keinginan mereka untuk commit
mengambil
keuntungan sedangkan anak-anak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
tersebut hanyalah korban. Jadi dapat dikatakan bahwa mereka adalah
“anak yang dilacurkan”.
Eksploitasi seksual komersial anak melalui pelacuran merupakan
masalah global dan terkait erat dengan pornografi anak dan perdagangan
anak untuk tujuan-tujuan seksual.
2) Pornografi Anak
Mengutip pendapatnya A. Hamzah, “Kata pornografi berasal dari
bahasa Yunani, porne artinya pelacur, dan graphein artinya ungkapan”.
(Neng Djubaedah, 2003: 138)
Menurut R. Ogien, dalam Haryatmoko, (2007: 93) “Pornografi
dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan,
dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau
cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik”.
Dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak menyebutkan
“Pornografi anak berarti pertunjukkan apaun atau dengan cara apa saja
yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit
atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual”.
(ECPAT Internasional, 2006: 7)
Pornografi anak termasuk foto, pertunjukan visual, dan audio dan
tulisan dan dapat disebarkan melalui majalah, buku, gambar, film, kaset
video, hand phone serta disket atau file komputer. Penggambaran itu dapat
bersifat eksplisit atau secara jelas melukiskan anak dalam sebuah aktivitas
seksual atau secara tersamar di mana tubuh anak dicitrakan secara seronok
dan merangsang.
Dengan bahasa lugas, pornografi dianggap akan menimbulkan
daya
tarik
seksual
sehingga
akan
mendorong
perilaku
yang
membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Mengutip pendapatnya Haryatmoko (2007: 96) “Menurut teori
peniruan, semakin orang sering melihat pornografi, semakin ia terdorong
untuk ikut melakukan”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
Dalam teori ini terlihat bahaya dari pornografi dimana seseorang
akan meniru segala sesuatu yang dilihat secara terus menerus. Hal inilah
yang nantinya akan menjadi suatu kebiasaan dan akan merusak moral.
Persoalan pornografi ini akan menjadi sebuah perdebatan ketika
dihadapkan dengan suatu karya seni (baik seni rupa maupun fotografi)
karena selalu dihubungkan dengan kebebasan berekspresi dan berbicara.
Seperti yang dikemukakan oleh Haryatmoko:
Persoalan pornografi menjadi pelik karena pertama, berhadapan
dengan masalah kebebasan berekspresi, terutama bila mengandung
nilai seni. Kedua, bagaimana menghadapi hak akan informasi. Dan
ketiga, bagaimana menjamin hak untuk memenuhi pilihan pribadi,
bila nilai seni dan pendidikannya dianggap meragukan.
(Haryatmoko, 2007: 96)
Menghadapi masalah tersebut langkah yang dilakukan adalah
menentukan batasan pornografi, selanjutnya Haryatmoko (2007: 97)
menyatakan bahwa:
Masalah
pornografi
bukan
masalah
relativisme
bila
mempertimbangkan
sedikitnya
empat
acuan:
pertama,
mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni. Dalam hal ini
perlu diperhitungkan peran maksud pengarang dalam penentuan ciriciri karya seni, hakikat semua apresiasi yang masuk akal tentang
karya seni. Kedua, mempertimbangkan konsepsi moral. Dasar
ukuran moral umum ialah apakah mengakibatkan dehumanisasi atau
terjadi pengobjekkan manusia. Ketiga, perlu diperhitungkan reaksi
emosional yang ditimbulkan. Reaksi emosional macam apa yang
ditimbulkan oleh karya tersebut (senang, jijik atau rangsangan
seksual). Keempat, perlu dipertimbangkan pandangan dari berbagai
teori psikologi (cartharsis, imitasi, dan pembiasaan). Dari keempat
pertimbangan itu, penting untuk mendefinisikan secara lebih
bertanggung jawab pembedaan seni dan pornografi, termasuk
pembedaan antara pornografi dan erotisme.
Secara umum dalam ECPAT
Internasional (2006: 7)
menyebutkan ada dua kategori pornografi yaitu “Pornografi yang tidak
eksplisit secara seksual tetapi mengandung gambar anak-anak yang
telanjang dan menggairahkan serta pornografi yang menyajikan gambar
anak-anak yang terlibat dalam kegiatan seksual”. Pengunaan gambar anak
commit to user
dalam kedua kategori tersebut adalah eksploitasi seksual.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
Pornografi anak mengeksploitasikan anak-anak dalam berbagai
cara. Anak-anak dapat ditipu atau dipaksa untuk melakukan tindakan
seksual untuk pembuatan bahan-bahan pornografi atau mungkin gambargambar tersebut dibuat dalam proses pengeksploitasian seorang anak
secara seksual tanpa sepengetahuan anak tersebut. Gambar-gambar ini
kemudian disebarkan, dijual atau diperdagangkan. Kedua, orang-orang
yang “mengkonsumsi” dan/ atau memiliki gambar anak-anak tersebut
terus mengeksploitasi anak-anak ini. Permintaan mereka atas gambar
anak-anak tersebut menjadi perangsang untuk membuat bahan-bahan
porno tersebut. Ketiga, para pembuat bahan-bahan pornografi biasanya
menggunakan produk-produk mereka untuk memaksa, mengancam atau
memeras anak-anak yang dimanfaatkan untuk pembuatan produk-produk
tersebut. Pemanfaatan pornografi anak yang paling jelas adalah untuk
menimbulkan gairah dan kepuasan seksual.
Terlepas bagaimana pornografi itu diproduksi, penggunaan
pornografi anak meningkatkan resiko anak untuk dijadikan obyek
kekerasan seksual. Artinya pembuat atau pelanggan akan terpengaruh oleh
hobinya untuk mencari anak dan memperlakukannya seperti yang dilihat
atau didengarnya dari produk pornografi anak tersebut. Oleh karena itulah,
pornografi anak merupakan ancaman yang sangat serius terhadap
keselamatan dan kesejahteraan anak.
Ditingkat masyarakat, pornografi anak apakah itu gambargambar anak yang nyata atau eksplisit selalu berhasil menuai permintaan
yang melibatkan eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak dan
terkait dengan pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Pornografi
anak
sering
dibuat
dan
disebarkan
dengan
menggunakan teknologi informasi (IT) dan internet. Teknologi-teknologi
baru dan pertumbuhan fasilitas internet menciptakan lebih banyak
kesempatan bagi para pelaku eksploitasi seksual anak dan pembuat
pornografi anak, memfasilitasi perkembangan dan memperluas jaringan
commit
user
eksploitasi seksual komersial
anaktotersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
Tetapi terkait pornografi ada kurangnya kejelasan dalam
pengkategorian dikomersialkan misalnya gambar-gambar kekerasan
terhadap anak dapat diciptakan untuk penggunaan atau tujuan komersial
atau non komersial. Walaupun demikian pornografi anak yang dibuat
untuk tujuan-tujuan non komersial akhirnya dapat diperdagangkan dan
dipertukarkan secara komersial.
3) Perdagangan Anak
Beberapa tahun belakangan ini perdagangan manusia juga
menjadi isu global yang menjadi perhatian dunia disamping pelacuran
anak, dan pornografi anak yang disebabkan perbatasan yang keropos dan
teknologi komunikasi yang semakin canggih, cakupan perdagangan
manusia telah semakin luas secara transnasional dan internasional
Perdagangan atau trafficking adalah semua perbuatan yang
melibatkan perekrutan atau pengiriman orang di dalam maupun ke
luar negeri dengan penipuan, kekerasan atau paksaan, jeratan hutang
atau pemalsuan dengan tujuan untuk menempatkan orang tersebut
dalam situasi-situasi kekerasan atau eksploitasi seperti pelacuran
dengan paksaan, praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan,
penyiksaan atau kekejaman yang ekstrim, pekerjaan dengan gaji
yang rendah atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang bersifat
eksploitatif. (ECPAT, 2006: 10)
Jadi perdagangan anak adalah perekrutan, pengangkutan,
pemindahtanganan, penampungan, atau penerimaan orang yang berusia
dibawah 18 tahun, dengan ancaman atau penggunaan kekuatan atau
bentuk-bentuk pemaksaan lainnya untuk tujuan seksual. Manusia,
khususnya anak-anak dapat diperjualbelikan sampai beberapa kali, mereka
merupakan komoditas dalam sebuah bisnis yang menghasilkan banyak
uang dan dilakukan tanpa sanksi hukum.
Perdagangan anak bisa terjadi tanpa atau dengan menggunakan
paksaan, kekerasan atau pemalsuan karena anak-anak tidak mampu
memberikan izin atas eksploitasi terhadap diri mereka. Anak–anak
diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual, transpalasi atau
commit to user
pemindahan organ-organ tubuh dan adopsi ilegal, tetapi semua anak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
korban trafficking telah dibuat sangat rentan terhadap kekerasan dan
eksploitasi seksual karena mereka dipindahkan dari struktur-struktur
pendukung yang sudah dikenal seperti keluarga dan masyarakat mereka.
Aksi untuk untuk memerangi perdagangan anak harus menanggani
kondisi-kondisi yang membuat anak-anak rentan dan menghukum para
pelaku bukan korban.
Tidak ada perkiraan pasti mengenai jumlah anak yang telah
diperdagangkan. Hal ini disebabkan karena praktek tersebut terselubung
dan sulit untuk diperkirakan. Perdagangan atau trafficking dapat terjadi di
luar maupun di dalam negeri sendiri. Dalam trafficking internasional,
trafficking memberi keuntungan kepada pelaku trafficking karena mereka
dapat menyembunyikan para korban mereka dalam sebuah lingkungan
yang asing dimana mereka rentan terhadap undang-undang imigrasi
setempat karena mereka telah memasuki negara tersebut secara ilegal, atau
dalam posisi lemah karena mereka tidak mengetahui undang-undang,
budaya dan bahasa negara tersebut.
Tidak semua anak-anak yang yang diperdagangkan dieksploitasi
secara seksual dan begitu juga tidak semua anak-anak yang mengalami
kekerasan seksual (seperti perkosaan) dieksploitasi secara komersial dan
seksual.
Baik anak perempuan maupun anak laki-laki dapat menjadi
korban kekerasan seksual dan eksploitasi seksual walaupun sifat resiko
dan jenis kekerasannya berbeda. Bagi anak perempuan, kekerasan seksual
merupakan sebuah kekerasan berbasis gender dan sering terkait erat
dengan posisi lemah mereka dalam masyarakat. Sedangkan bagi anak lakilaki, kekerasan seksual dipergunakan secara khusus sebagai bentuk
intimidasi. Disamping itu, norma-norma budaya dan masyarakat, juga
turut memberikan kontribusi terhadap sulitnya bagi anak laki-laki untuk
mengungkapkan tentang pengalaman-pengalaman mereka dan bagi orangorang dewasa untuk menyadari bahwa anak laki-laki juga membutuhkan
commit to user
perlindungan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
g. Pelaku Seks terhadap Anak
Para pelaku kekerasan seksual maupun eksploitasi seksual komersial
terhadap anak berasal dari semua alur kehidupan dan latar belakang sosial.
Mereka bisa berprofesi apa saja dan berada di negara mana saja. Mereka bisa
heteroseksual atau homoseksual dan walaupun sebagian besar para pelaku
adalah laki-laki tetapi pelaku juga kadang-kadang perempuan.
Pelaku kekerasan seksual terhadap anak sering disebut sebagai
“pedofil” tetapi hal ini tidak sepenuhya benar. Istilah pedofil mengacu pada
seseorang yang memiliki minat seksual khusus terhadap anak-anak yang
belum puber. Sebagian pedofil mungkin tidak benar-benar melakukan
tindakan berdasarkan pada fantasi-fantasi mereka. Tetapi, seseorang yang
mengeksploitasi atau melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak
bukan berarti seorang pedofil tetapi mereka mungkin melakukan hubungan
seks dengan seorang anak semata-mata hanya karena mereka bisa
melakukannya. Oleh karena itu akan lebih tepat dan berguna jika kita
menggunakan istilah “pelaku seks anak” untuk menggambarkan seseorang
yang melakukan hubungan seks dengan seorang anak, yaitu sebuah istilah
yang memasukkan pedofil tetapi tidak hanya terbatas pada pedofil saja.
Pelaku seks anak menurut ECPAT Internasional (2006: 20-21) pada
umumnya dibagi kedalam dua kategori, yaitu “situasional dan prefensial”. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pelaku seks anak situasional tidak benar-benar memiliki pilihan seksual
pada anak tetapi mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak
karena ada kesempatan. Para pelaku seperti itu dapat mengeksploitasi
anak-anak karena mereka berada dalam situasi-situasi dimana mereka
dapat mengakses atau mendapatkan seorang anak dengan mudah atau
faktor-faktor tertentu yang memungkinkan mereka untuk menipu diri
sendiri tentang usia atau izin anak untuk melakukan aktivitas seksual.
Eksploitasi seksual terhadap anak dapat berupa tindakan yang dilakukan
ketika sedang liburan atau hal tersebut dapat berkembang menjadi suatu
commitjangka
to user
kebiasaan melakukan kekerasan
panjang.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
2) Para pelaku seks anak prefensial memiliki pilihan-pilihan seksual yang
jelas terhadap anak-anak. Jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah pelaku situasional tetapi mereka lebih berpotensi untuk
melakukan kekerasan terhadap lebih banyak anak-anak daripada pelaku
seks situasional karena hal tersebut memang sudah menjadi niat dan
keinginan mereka.
Berikut ini adalah pola-pola tingkah laku mereka yang telah kita ketahui:
a) Mereka merayu menggunakan kasih sayang, perhatian atau hadiah
untuk memikat anak-anak dan bersedia menghabiskan waktu yang
lama untuk membujuk para korban mereka dengan tujuan untuk
mempersiapkan anak-anak itu untuk kekerasan tersebut. Mereka juga
dapat menggunakan ancaman, pemerasan dan kekerasan fisik agar
kejahatan mereka tidak terbongkar.
b) Para pelaku introvert menyenangi anak-anak tetapi kurang memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dengan mereka. Mereka sangat jarang
berkomunikasi dengan para korban dan cenderung untuk melakukan
kekerasan terhadap anak-anak yang tidak dikenal ataupun anak-anak
yang masih sangat muda.
c) Ada tetapi tidak banyak adalah para pelaku sadistik, yaitu orang-orang
selain memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak juga
mendapatkan kesenangan seksual dari tindakan yang menimbulkan
rasa sakit pada korban. Pelaku jenis ini kemungkinan besar
menggunakan paksaan untuk mendapatkan akses pada anak dan
kemungkinan menculik atau membunuh korbannya.
Dalam berbagai situasi, batas-batas pengkategorian antara pelaku
prefensial dan situasional memang tidak jelas. Sekelompok pelaku kekerasan
lainnya memandang seks sebagai suatu cara untuk menunjukkan kekuasaan
atau kontrol terhadap para korban mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
h. Faktor-faktor Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak
Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi
seksual komersial terhadap anak. Walaupun karakteristik setiap daerah tidak
persis sama. Menurut Farid yang dikutip Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak
(PKPA) Medan dkk (2008: 8-9) “secara umum faktor-faktor yang
memungkinkan terjadinya ESKA ada faktor pendorong dan penarik”. Yaitu
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Faktor-faktor pendorong antara lain :
a) Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat
oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor
pertanian.
b) Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusatpusat industri di perkotaan.
c) Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi.
d) Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga.
e) Pergeseran dari perekonomian subsisten ke ekonomi berbasis
pembayaran tunai.
f) Peningkatan konsumerisme.
g) Disintegrasi keluarga.
h) Pertumbuhan jumlah anak gelandangan.
i) Tiadanya kesempatan pendidikan.
j) Kelangkaan peraturan/hukum dan penegakan hukum.
k) Diskriminasi terhadap etnis minoritas.
l) AIDS-meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak terpaksa
masuk ke perdagangan seks.
2) Faktor-faktor penarik, antara lain :
a) Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut anakanak.
b) Pihak berwenang yang korup sehingga terlibat dalam perdagangan
seks anak.
to user kerja paksa (bondage labour).
c) Praktik-praktik pekerjacommit
anak termasuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
d) Praktik-praktik tradisional dan budaya termasuk tuntutan keperawanan,
praktek budaya di mana laki-laki pergi ke pelacuran, pola antar
generasi dalam hal masuknya anak perempuan ke pelacuran.
e) Permintaan dari wisatawan seks pedofil.
f) Promosi internasional mengenai industri seks anak melalui teknologi
informasi.
g) Permintaan dari industri seks mancanegara yang menciptakan
perdagangan seks anak dan perempuan secara internasional.
h) Pernikahan yang diatur dimana pengantin anak perempuan terkadang
akan dijual ke rumah bordil setelah menikah.
i) Ketakutan terhadap AIDS yang membuat pelanggan menginginkan
pelacur yang lebih muda usianya.
j) Kehadiran militer yang menciptakan kebutuhan terhadap pelacuran
anak.
k) Permintaan dari para pekerja migrant.
l) Berkembangnya beberapa wilayah di Indonesia sebagai daerah tujuan
wisata seks terutama Bali, Lombok, Batam, DKI Jakarta dan Medan.
m) Munculnya beberapa bencana alam dengan skala besar di Indonesia
telah menimbulkan kekhawatiran yang tinggi terhadap meningkatnya
ESKA.
i. Anak-anak yang Rentan terhadap Eksploitasi Seksual Komersial
Semua anak-anak rentan terhadap eksploitasi seksual komersial,
tetapi sebagian anak memang jauh lebih rentan dibandingkan dengan anakanak yang lain. Menurut Stephanie Delaney (2006: 21), berikut ini anak-anak
yang sangat rentan: “anak-anak tanpa pengasuhan orang tua, anak-anak cacat,
dan anak-anak dari kelompok yang termajinalkan”. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Anak-anak tanpa pengasuhan orang tua seperti anak yatim-piatu dan anakanak yang terpisah dengan orang tua mereka, anak-anak yang tinggal
sendiri, anak-anak yang tinggal
commit dengan
to user keluarga angkat atau anak-anak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
yang tinggal dalam institusi menghadapi bahaya yang besar karena
kurangnya dukungan dan perlindungan orang tua dan masyarakat.
2) Anak-anak cacat fisik dan anak-anak cacat mental serta anak-anak dengan
“kebutuhan khusus”. Anak-anak ini pada umumnya tidak memiliki
kemampuan untuk menghindar dari kekerasan atau untuk memahami apa
yang akan terjadi kepada mereka dan menceritakan kekerasan tersebut.
Hal ini diperburuk oleh kurangnya penghargaan masyarakat terhadap
kehidupan anak-anak penyandang cacat dan sebab itu bisa berdampak
pada kurangnya pengasuhan, perhatian dan perlindungan terhadap mereka.
3) Anak-anak dari kelompok yang termajinalkan seperti anak-anak dari etnis,
suku dan komunitas agama minoritas. Anak-anak seperti ini sering
mengalami dampak ekonomi yang merugikan karena diskriminasi yang
membuat mereka rentan terhadap eksploitasi atau mungkin tidak
mendapatkan perlindungan karena kerangka hukum dan kebijakan yang
lemah. Anak-anak dari beberapa komunitas tertentu bisa menjadi sasaran
dari ekspoitasi seksual karena adanya keyakinan yang merugikan tentang
mereka. Misalnya, dalam sebagian masyarakat konservatif, beberapa desa
dan komunitas tertentu dapat memiliki reputasi buruk yang dikaitkan
dengan pelacuran dan oleh karena itu ada sebagian orang yang
menganggap “lumrah” untuk menjadikan anak-anak dari kelompokkelompok ini sebagai target atau sasaran mereka.
Jadi anak-anak tanpa pengasuhan orang tua, anak-anak cacat, dan
anak-anak dari kelompok yang termajinalkan memang jauh lebih rentan
terhadap eksploitasi seksual komersial karena memang posisi mereka yang
lemah serta kurangnya perlindungan dari keluarga maupun masyarakat,
sehingga mereka merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap ESKA
dan perlu mendapatkan perhatian yang lebih.
j. Faktor-faktor yang Membuat Anak-anak Menjadi Rentan
Pada dasarnya dikemukakan bahwa “ESKA mencangkup praktekpraktek tradisional yang sering
berurat-akar
dalam keyakinan-keyakinan
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
budaya, dan globalisasi serta teknologi-teknologi baru memaparkan kepada
kita sejumlah tantangan-tantangan yang berbeda dan selalu berubah-ubah”.
(ECPAT Internasional, 2006: 24)
Pada akhirnya, permintaan akan anak-anak sebagai pasangan seks
untuk tujuan apapun mendorong kearah eksploitasi seksual komersial anak.
Meskipun demikian, terdapat sebuah matriks faktor-faktor yang kompleks
yang membuat anak menjadi rentan dan yang membentuk kekuatan-kekuatan
serta menciptakan situasi kondisi yang memungkinkan anak-anak untuk
dieksploitasi secara seksual komersial.
Menurut ECPAT Internasional (2006: 24) faktor-faktor yang
membuat anak menjadi rentan yaitu:
Penerimaan masyarakat, tradisi yang merugikan, diskriminasi, mitos
yang tidak bertanggung jawab, kemiskinan, kekerasan dalam rumah
tangga terhadap anak, situasi gawat darurat, situasi konflik, tinggal di
jalan, HIV/AIDS, konsumerisme, adopsi, korupsi, teknologi informasi
dan komunikasi.
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Penerimaan masyarakat
Konstruk
sosial
yang
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
memfasilitasi dan/atau meyebabkan terjadinya ESKA adalah konsepkonsep
mengenai
masa
kanak-kanak,
seksualitas
anak-anak,
perkembangan anak, fasilitas pribadi dan umum yang terkait dengan
tingkah laku seksual, kekuasaan laki-laki/perempuan dan peranan-peranan
seksual dan moralitas terkait dengan seksualitas. Elemen-elemen seperti
itu sering dipahami sebagai sesuatu yang “kodrati” dan sering tidak
ditentang, khususnya ketika elemen-elemen tersebut terkait dengan anakanak. Banyak dari elemen-elemen ini yang digeneralisasikan pada tingkat
global sedangkan elemen-elemen lainnya mewakili dinamika-dinamika
lokal yang berbeda-beda.
2) Tradisi dan adat istiadat yang merugikan
Sejumlah tradisi dan adat istiadat membuat anak rentan terhadap
commitnegara,
to user eksploitasi seksual terhadap anak
eksploitasi seksual. Di beberapa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
sangat disamarkan sebagai praktek keagamaan. Contohnya, di Ghana
anak-anak perempuan yang masih sangat muda (di bawah 10 tahun)
diserahkan ke tempat pemujaan lokal untuk menebus tindak kejahatan
yang dituduhkan telah dilakukan oleh seorang anggota keluarga anak
perempuan tersebut. Dalam praktek tradisional yang dikenal dengan nama
Trokosi ini, seorang anak perempuan akan menjadi milik pendeta tempat
pemujaan tersebut yang dianggap mempunyai kekuatan magis dan harus
memberikan layanan seksual serta melakukan pekerjaan-pekerjaan lain
untuk sang pendeta. Contoh lain adalah struktur-struktur formal seperti
sistem kasta yang dapat dijumpai di Asia Selatan atau tekanan informal
seperti stigmatisasi sosial yang dapat menyebabkan anak-anak perempuan
dari seorang pelacur dipaksa untuk mejadi pelacur juga.
3) Diskriminasi/kesukuan
Suku-suku minoritas sering rentan terhadap kekuatan-kekuatan eksploitatif
yang memanfaatkan rendahnya status resmi mereka atau pandangan yang
merendahkan mereka. Misalnya, banyak anak-anak suku pegunungan
Thailand Utara yang tidak mendapatkan kewarganegaraan Thailand dan
ini membatasi akses mereka terhadap pendidikan, pekerjaan yang adil,
berbagai tunjangan standar dan perlindungan dari pemerintah. Hal ini
membuat mereka beresiko diperdagangkan atau dipaksa ke dalam
eksploitasi seksual.
4) Perilaku seksual dan mitos yang tidak bertanggung jawab
Banyak pria yang menilai bahwa pengambilan keperawanan seorang anak
perempuan baik melalui mekanisme sosial pernikahan ataupun mekanisme
lain sebagai bukti dari kejantanan mereka. Disamping itu, ada berbagai
pandangan yang salah satu mitos-mitos tentang melakukan hubungan seks
dengan seseorang yang masih perawan atau dengan seorang anak. Di
banyak negara di Asia dan Afrika, sebagian pria percaya bahwa
melakukan hubungan seks dengan anak-anak perempuan yang masih muda
(yang diperkirakan masih perawan atau masih memilki pasangan seks
commit mereka
to user dari terinfeksi HIV/AIDS dan
yang sedikit) akan melindungi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
penyakit-penyakit terkait yang lain ataupun menyembuhkan penyakitpenyakit tersebut. Sedangkan yang lain percaya bahwa melakukan
hubungan seks dengan seseorang yang masih perawan akan membuat
mereka awet muda, meningkatkan kesuburan dan membuat mereka sehat,
panjang umur, beruntung dan sukses dalam bisnis.
5) Kemiskinan
Walaupun dalam banyak kasus kemiskinan merupakan penyebab utama,
tetapi kemiskinan sendiri tidak memberikan penjelasan yang memadai
mengenai kerentanan seorang anak. Banyak anak dari keluarga-keluarga
miskin yang selamat dari eksploitasi seksual dan banyak pula anak dari
keluarga-keluarga kaya yang menjadi korban eksploitasi seksual.
Kemiskinan menciptakan kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan
kerentanan seorang anak terhadap eksploitasi seksual dan membatasi
peluang bagi para keluarga untuk memberikan lingkungan yang aman bagi
anak tersebut untuk tumbuh dan berkembang.
6) Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dan penelantaran
Kekerasan seksual dan penelantaran yang sering dilakukan oleh orang tua,
keluarga atau anggota masyarakat dimana anak tinggal membuat anakanak rentan terhadap eksploitasi seksual tanpa mendapatkan perhatian dan
perlindungan orang dewasa. Jika terpaksa harus meninggalkan rumah,
anak-anak dapat lebih beresiko lagi karena tekanan teman sebaya, keputusasaan atau ketakutan.
7) Situasi gawat darurat atau bencana
Kehancuran rutinitas-rutinitas tradisional, hilangnya berbagai struktur
bantuan sosial dan pecahnya keluarga dapat terjadi selama situasi gawat
darurat. Sayangnya, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang dapat
berkembang diantara mereka yang memberi dan mereka yang menerima
dalam konteks emergensi, dan anak-anak yang telah menderita dan tanpa
perlindungan ini dapat menjadi korban para penjahat atau orang-orang
yang seharusnya memberi bantuan kemanusiaan kepada mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
8) Situasi-situasi konflik
Seperti dalam situasi-situasi emergensi, kekacauan akibat pecahnya
konflik, pelarian dan pemindahan dapat memisahkan anak-anak dari orang
tua dan para pengasuh mereka. Anak-anak yang terpisah dari orang tua
mereka secara khusus rentan dan beresiko terhadap kekerasan seksual atau
eksploitasi. Sudah ada bebrapa laporan juga tentang eksploitasi dan
kekerasan seksual yang melibatkan pasukan penjaga perdamaian PBB di
Republik Demokratik Kongo yang menukarkan makanan atau sedikit uang
untuk layanan seksual. Banyak dari kontak ini yang melibatkan anak-anak
perempuan di bawah usia 18 tahun dan bahkan sebagian mereka masih
berumur 13 tahun.
9) Tinggal dan bekerja di jalanan
Anak jalanan dapat ditemukan di sebagian besar kota di seluruh dunia.
Ketika berada di jalanan dan berada dalam lingkungan yang asing tanpa
adanya perlindungan dan pengasuhan dari orang tua atau orang-orang
dewasa lain maka anak-anak secara khusus rentan dan mungkin terpaksa
masuk kedalam pelacuran agar dapat bertahan hidup.
10) HIV/AIDS
Menurut UNICEF, terdapat lebih dari 2 juta anak-anak usia dibawah 15
tahun yang terinfeksi HIV pada tahun 2003 terdapat 15 juta anak-anak usia
dibawah 18 tahun yang telah menjadi yatim piatu karena HIV/AIDS.
Setelah kehilangan perlindungan dari orang-orang dewasa, mereka
menjadi rentan terhadap eksploitasi seksual. Disamping itu, anak-anak
yang dipaksa masuk ke dalam pelacuran sangat beresiko terinfeksi
HIV/AIDS.
11) Konsumerisme
Di banyak negara maju, banyak anak-anak yang didorong masuk ke dalam
pelacuran. Mereka bukan hanya anak-anak yang berasal dari kelas bawah
yang mencoba lari dari kemiskinan tetapi juga anak-anak yang berasal dari
kelas menengah yang menginginkan pendapatan yang lebih besar yang
commit to Mereka
user
dapat mereka hambur-hamburkan.
terbujuk oleh tekanan teman
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
sebaya atau iklan-iklan yang begitu hebat serta nilai yang diberikan oleh
masyarakat pada produk-produk bermerk yang mahal atau barang-barang
dan layanan-layanan mewah untuk menukarkan layanan seksual demi
uang atau produk-produk status lainnya. Contoh lain dari hal ini adalah
sebuah fenomena yang dikenal dengan nama “enjo kosai”, atau “kencan
yang dibayar” dimana orang dewasa dapat membeli seks dengan anakanak, khususnya lewat hand phone atau situs-situs internet. Ada banyak
kesalahpahaman tentang trend ini dan sebuah kecenderungan untuk tidak
memandang anak-anak ini sebagai korban eksploitasi telah memicu
ketidakpedulian terhadap hak-hak mereka atas perlindungan dan telah
menciptakan kecenderungan untuk menghukum dan menyalahkan anakanak yang terlibat.
12) Adopsi
Adopsi merupakan sebuah langkah perlindungan permanen untuk anakanak yang kehilangan keluarga dan harus menjadi hasil akhir dari proses
yang dilakukan secara profesional dan multidisipliner untuk menjamin
ditegakkannya kepentingan terbaik seorang anak. Dalam bentuk-bentuk
perdagangan yang lebih buruk, istilah “adopsi” dapat dijadikan topeng
bagi pemindahan seorang anak dari satu orang kepada orang yang lain
untuk tujuan eksploitasi seksual.
13) Hukum yang tidak layak dan korupsi
Banyak negara yang kekurangan kerangka hukum yang komprehensif
untuk mencegah tindak kriminal, mengelola upaya-upaya penyelidikan
menuntut para pelaku serta melindungi dan membantu anak-anak selama
proses pemulihan mereka.
Disamping itu, korupsi yang dilakukan oleh polisi dan para penegak
hukum lainnya dapat menjadi hambatan utama dalam memerangi
eksploitasi seksual komersial. Seperti semua tindakan ilegal, kita juga
merasa sulit untuk menentukan besaran masalah korupsi. Para pelaku
perdagangan dapat menyuap penjaga perbatasan dan polisi akan menerima
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
tawaran dari para pemilik lokalisasi untuk mendapatkan layanan gratis
sebagai imbalan agar mereka tutup mulut.
14) Teknologi informasi dan komunikasi
Semua anak dan remaja yang menggunakan teknologi-teknologi informasi
dan komunikasi (TIK) adalah beresiko. Disamping itu, anak-anak yang
tidak mendapatkan akses terhadap TIK terbaru juga dapat beresiko tanpa
mereka sadari. Anak-anak ini dijadikan sebagi subyek foto atau video yang
dikirim melalui ruang cyber (maya); atau mereka diiklankan secara online
sebagi komoditas; dan/atau mereka terkena imbas oleh kekerasan dan
bahaya-bahaya yang timbul dari interaksi-interaksi online yang dilakukan
oleh orang lain, termasuk penggunaan pornografi. Berikut ini adalah jenisjenis kekerasan dan eksploitasi yang diakibatkan oleh teknologi informasi
dan komunikasi.
a) Pembuatan,
penyebaran,
dan
penggunaan
bahan-bahan
yang
menggambarkan kekerasan seksual terhadap anak.
b) Rayuan online atau grooming (upaya mendapatkan kepercayaan
seorang anak untuk memikat mereka kedalam sebuah situasi dimana
mereka akan diperlakukan salah).
c) Pemaparan terhadap bahan-bahan yang dapat menimbulkan resiko atau
dampak buruk psikologis atau membawa pada resiko fisik.
d) Pelecehan atau intimidasi, termasuk tindakan mempermainkan anak.
k. Dampak Eksploitasi Seksual Komersial pada Anak
Menurut Stephanie Delaney (2006: 21) dampak buruk yang dialami
anak yang diakibatkan oleh eksploitasi seksual, yaitu:
1) Dampak fisik; luka fisik, kematian, kehamilan, aborsi yang tidak aman,
angka kematian ibu dan anak yang tinggi, penyakit, dan infeksi menular
seksual dan infeksi HIV/AIDS.
2) Dampak emosional; depresi, rasa malu menjadi korban kekerasan,
penyakit stres pasca trauma, hilangnya rasa percaya diri dan harga diri,
melukai diri sendiri serta pemikiran dan tindakan bunuh diri.
3) Dampak sosial; pengasingan dan penolakan, oleh keluarga dan
masyarakat, stigma sosial serta dampak jangka panjang seperti hilangnya
commit topendidikan,
user
kesempatan untuk mendapatkan
pelatihan keterampilan dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
lapangan pekerjaan dan kecilnya
penerimaan sosial dan integrasi.
kesempatan
untuk
menikah,
Eksploitasi seksual komersial dalam bentuk apapun sangat
membahayakan hak-hak seorang anak untuk menikmati masa remaja mereka
dan kemampuan mereka untuk hidup produktif, berharga dan bermartabat.
Tindakan tersebut dapat mengakibatkan dampak-dampak yang serius, seumur
hidup
bahkan
mengancam
nyawa
jiwa
anak
sehubungan
dengan
perkembangan-perkembangan fisik, psikologis, spiritual, emosional dan sosial
serta kesejahteraanya. Walaupun dampaknya bervariasi berdasarkan pada
situasi-situasi yang dihadapi anak-anak dan tergantung pada berbagai faktor
seperti tahap perkembangan dan sifat lamanya serta bentuk kekerasan, tetapi
semua anak yang mengalami eksploitasi seksual dan komersial akan menderita
dampak negatif.
Anak-anak yang mengalami eksploitasi secara seksual dan komersial
sangat beresiko terjangkit HIV/AIDS dan mereka sepertinya tidak akan
mendapatkan perawatan medis yang layak. Anak-anak juga sangat rentan
terhadap kekerasan fisik. Anak-anak yang berusaha untuk melarikan diri atau
melawan pelaku kekerasan tersebut dapat menderita luka berat atau bahkan
dibunuh.
Dampak-dampak psikologis dari eksploitasi seksual dan ancamanancaman yang dipergunakan biasanya akan membekas sepanjang sisa hidup
mereka. Jika ada gambar-gambar dari kekerasan tersebut seperti foto maka
pengetahuan tentang gambar-gambar tersebut akan menjadi pengingat
traumatis tentang kekerasan itu.
Perawatan dan rehabilitasi bagi anak-anak korban eksploitasi seksual
komersial merupakan sebuah proses yang sangat kompleks dan sulit. Anakanak yang telah mengalami eksploitasi biasanya menyatakan perasaanperasaan malu, rasa bersalah dan rendah diri. Sebagian anak tidak percaya
bahwa mereka layak untuk diselamatkan, sedangkan sebagian yang lain
menderita stigmatisasi atau perasaan bahwa mereka telah dikhianati oleh
commit
to user
seseorang yang mereka percayai,
lainnya
mengalami mimpi buruk, tidak bisa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
tidur, putus asa dan depresi. Reaksi yang sama juga terjadi pada anak-anak
korban penyiksaan. Untuk mengatasi hal ini, sebagian dari anak-anak tersebut
berusaha untuk bunuh diri atau menyalahgunakan narkoba. Banyak diantara
mereka yang merasa sulit untuk berhasil berintegrasi kedalam masyarakat
ketika mereka sudah dewasa kelak.
3. Partisipasi
a. Pengertian Partisipasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ”Partisipasi adalah perihal
turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta”.
(Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 831)
Menurut Pretty, dkk yang dikutip oleh Moehar Daniel, dkk (2006:
59) “Partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu
menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya”.
“Pengertian partisipasi (pasticipation dalam kamus Inggris) adalah
pengambilan bagian, pengikutsertaan”. (Moehar Daniel dkk, 2006: 59)
Murbyarto mendefinisikan partisipasi yaitu, “sebagai kesediaan
untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang
tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri”. (Taliziduhu Ndraha,
1990: 102)
Nelson dalam Taliziduhu Ndraha (1990: 102) menyebut dua macam
partisipasi,
Partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang
dinamakan partisipasi horizontal, dan partisipasi yang dilakukan oleh
bawahan dengan atasan, antar klien dengan patron, atau antara
masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah, yang diberi
nama partisipasi vertikal.
“Keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai suatu kesatuan,
dapat disebut sebagai partisipasi kolektif, sedangkan keterlibatan individual
dalam kegiatan kelompok dapat disebut partisipasi individual”. (Taliziduhu
Ndraha, 1990: 102)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Menurut pendapat Totok Mardikanto (1988: 101) “Partisipasi adalah
keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu
kegiatan”.
Partisipasi sebagai suatu bentuk kegiatan, Verhangen menyatakan
bahwa partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan
komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab
dan manfaat. Tumbuhnya interaksi dan komunikasi tersebut, dilandasi oleh
adanya kesadaran yang dimiliki oleh yang bersangkutan mengenai:
1) Kondisi yang tidak memuaskan, dan harus diperbaiki.
2) Kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia (masyarakat)
sendiri.
3) Kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan, dan
4) Adanya kepercayaan diri, bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang
bermanfaat bagi kegiatan yang bersangkutan. (Totok Mardikanto, 1988:
101)
Disini maksud partisipasi adalah keterlibatan seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu kegiatan. Partisipasi harus dilakukan dengan
kesadaran dan rasa tanggung jawab.
1) Bentuk Partisipasi
Partisipasi bukanlah proses alami, tetapi melalui proses
pembelajaran sosialisasi. Ada beberapa bentuk partisipasi, antara lain:
a) Inisiatif/spontan, yaitu masyarakat secara spontan melakukan aksi
bersama. Ini adalah bentuk partisipasi paling alami. Bentuk partisipasi
spontan ini sering terjadi karena termotivasi oleh suatu keadaan yang
tiba-tiba, seperti bencana atau krisis
b) Fasilitasi, yaitu suatu partisipasi masyarakat disengaja, yang dirancang
dan didorong sebagai proses belajar dan berbuat oleh masyarakat untuk
membantu menyelesaikan bersama
c) Induksi, yaitu masyarakat dibujuk berpartisipasi melalui propaganda
atau mempengaruhi melalui emosi dan patriotism
d) Koptasi, yaitu masyarakat dimotivasi untuk berpartisipasi untuk
keuntungan-keuntungan materi dan pribadi yang telah disediakan oleh
mereka
e) Dipaksa, yaitu masyarakat berpartisipasi di bawah tekanan atau sanksisanksi yang diberikan penguasa. (Moehar Daniel dkk, 2006: 59)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
2) Macam-Macam Partisipasi
Berdasarkan derajat kesukarelaan partisipan, menurut Dusseldorp
yang dikutip oleh Totok Mardikanto (1988: 105-107) membedakan
macam-macam partisipasi yaitu “partisipasi bebas dan partisipasi paksaan
atau partisipasi tertekan”. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Partisipasi bebas, yaitu partisipasi yang dilandasi oleh rasa kesukarelaan yang bersangkutan untuk mengambil bagian dalam suatu
kegiatan. Partisipasi bebas ini dibedakan dalam:
(1) Partisipasi spontan, yaitu partisipasi yang tumbuh secara spontan
dari keyakinan atau pemahamannya sendiri, tanpa adanya pengaruh
yang diterimanya dari penyuluhan atau bujukan yang dilakukan
oleh pihak lain (baik individu maupun lembaga masyarakat).
(2) Partisipasi terinduksi, jika partisipasi sukarela itu tumbuh karena
terpengaruh oleh bujukan atau penyuluhan agar ia secara sukarela
berpartisipasi dalam kegiatan tertentu yang dilaksanakan dalam
atau oleh masyarakatnya.
b) Partisipasi paksaan atau partisipasi tertekan, yang pada dasarnya
dibedakan dalam dua macam, yaitu:
(1) Partisipasi tertekan oleh hukum atau peraturan, yaitu keikut-sertaan
dalam suatu kegiatan yang diatur oleh hukum atau peraturan yang
berlaku bertentangan dengan keyakinan atau pendiriannya sendiri,
tanpa harus memerlukan persetujuannya terlebih dahulu.
(2) Partisipasi paksaan karena keadaan sosial-ekonomi, yaitu hampir
sama dengan partisipasi bebas, hanya jika ia tidak melakukan
kegiatan tertentu maka ia akan menghadapi tekanan, ancaman, atau
bahkan bahaya yang akan menekan kehidupannya sendiri dan
keluarganya.
(3) Partisipasi karena kebiasaan, yaitu suatu bentuk partisipasi yang
dilakukan karena kebiasaan setempat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
b. Arti Penting Partisipasi Warga Negara
Pengertian warga negara dan kewarganegaraan dapat dilihat dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Warga Negara adalah
“warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan”, sedangkan Kewarganegaraan dalam Pasal 1 angka 2 adalah
“segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara”.
Pendidikan kewarganegaraan memiliki nilai strategis dalam rangka
meningkatkan kesadaran komprehensif terhadap bangsa. Nilai strategis ini
pada gilirannya akan berujung pada tindak keterlibatan atau partisipasi warga
negara yang efektif dan bertanggung jawab untuk memperbaiki kualitas
kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan. Untuk dapat berpartisipasi
dengan efektif dan bertanggung jawab serta dilandasi dengan pengetahuan
yang cukup, warga negara perlu memiliki kemampuan tertentu untuk
berpartisipasi atau bisa disebut sebagai kecakapan partisipatoris (participatory
skill).
Menurut Sobirin Malian dan Suparman Marzuki (2003: viii),
”Kecakapan partisipatoris meliputi tiga hal yaitu proaktif berinteraksi, kritis
dan
senantiasa
memantau
(memonitoring)
isu
publik,
kemampuan
mempengaruhi (influencing) kebijakan publik”. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Proaktif berinteraksi
Proaktif berinteraksi ini merupakan kemampuan pokok yang
harus dimiliki oleh warga negara dalam melakukan komunikasi dan
bekerjasama dengan warga negara lainnya. Keberhasilan melakukan
interaksi sama artinya dengan mampu menyatu dalam sebuah komunitas
yang berarti pula mampu bertanya, menjawab dan berbicara dengan baik.
Lebih dari itu kemampuan ini harus didukung pula dengan kecakapan
berkoalisi; dan mengelola konflik sedemikian rupa.
Proaktif dalam berinteraksi berarti pula mau dan mampu:
to user
a) mendengarkan dengancommit
penuh perhatian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
b) bertanya dengan kritis dan efektif
c) mengutrakan pikiran dan perasaan
d) mengelola konflik melalui mediasi, kompromi, dan kesepakatan
(solusi).
2) Kritis dan senantiasa memantau (memonitoring) isu publik
Kecakapan memantau persoalan sosial politik dan pemerintahan
mengacu kepada kemampuan warga negara untuk mengamati dan
memahami penanganan persoalan yang terkait dengan proses politik dan
pemerintahan. Kata lain warga negara harus menempatkan diri untuk
ambil bagian dan sekaligus menjadi pengawas (semacam watch dog) bagi
proses politik dan pemerintahan itu.
Kemampuan memantau isu politik itu meliputi kemampuan untuk:
a) menelaah isu publik melalui studi pustaka (media massa, informasi
elektronik, dan perpustakaan), hingga studi lapangan (observasi,
wawancara, dan kuesioner)
b) menghadiri pertemuan-pertemuan publik
c) mengamati proses peradilan dan mekanisme kerja sistem hukum
3) Kemampuan mempengaruhi (influencing) kebijakan publik
Kemampuan
dalam
mempengaruhi
proses
politik
dan
pemerintahan penting dimiliki warga negara agar terjadi keseimbangan
antara masyarakat dengan pemerintah dan antara masyarakat dengan
masyarakat. Dengan adanya keseimbangan ini (bargaining position) antara
keduanya dan di luarnya akan lebih mudah dibangun.
Keahlian mempengaruhi kebijakan publik meliputi kemampuan untuk:
a) membuat petisi
b) berbicara di depan umum
c) bersaksi di depan badan-badan publik
d) terlibat dalam kelompok advokasi ad-hoc
e) membangun aliansi
Selanjutnya, Sobirin Malian dan Suparman Marzuki (2003: viii-ix)
commit to user
menjelaskan bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
Implementasi partisipatoris harus dilaksanakan dengan suatu target
yang jelas. Membangun keahlian partisipasi mensyaratkan upaya
merangkai dua wilayah, yaitu sisi dalam (internal) komunitas dan sisi
luar (eksternal) komunitas. Sisi dalam komunitas merupakan anggota
forum warga yang merupakan masyarakat kebanyakan. Sedangkan sisi
luar komunitas merupakan proses politik atau pemerintah dan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang dapat mendorong
terciptanya perubahan kebijakan.
Jadi arti penting partisipasi warga negara adalah sebagai upaya
mempengaruhi dan memonitoring jalannya pemerintahan dan proses
pengambilan kebijakan publik, mengadakan koalisi, kerjasama dan mengelola
konflik.
Permasalahan eksploitasi seksual komersial anak menyangkut
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, konsep dari hak asasi manusia sudah
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Pencegahan eksploitasi seksual komersial anak dapat diwujudkan
dengan partisipasi warga negara melalui penegakan dan perlindungan hak
asasi manusia. Penegakan dan perlindungan hak asasi manusia tidak hanya
dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk negara. Masyarakat dapat
pula berpartisipasi dalam rangka penegakan dan perlindungan HAM.
Masyarakat dapat membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Lembaga swadaya yang dimaksud adalah organisasi atau lembaga yang secara
khusus dibentuk oleh masyarakat dengan tugas perlindungan dan penegakan
HAM di Indonesia. Lembaga ini mengonsentrasikan kegiatannya pada upaya
penegakan dan perlindungan hak asasi manusia, misalnya dengan melindungi
korban HAM, menuntut pihak-pihak yang melanggar HAM, melakukan upaya
to user
pencegahan tindak kejahatancommit
terhadap
HAM dan sebagainya. Contohnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
Lembaga Swadaya Masyarakat ini misalnya di Surakarta yaitu Yayasan
KAKAK.
4. Yayasan
a. Pengertian Yayasan
Menurut pendapatnya Indra Bastian (2007: 1) “Yayasan adalah
badan hukum yang kekayaannya terdiri dari kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan”.
Yayasan merupakan bagian dari warga negara yang berbentuk badan
hukum sehingga dapat turut serta berpartisipasi dalam mempengaruhi
kebijakan publik. Dimana suatu yayasan terdapat sekelompok orang yang
mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah tertentu misalnya yang
menyangkut hak asasi manusia yang perlu dilindungi dalam hal ini sebagai
bentuk rasa kemanusiaan, yayasan mampu menampilkan peran sertanya dalam
upaya penegakan hak asasi manusia.
Di lain pihak, yayasan merupakan bagian dari perkumpulan yang
berbentuk badan hukum dengan pengertian/definisi yang dinyatakan dalam
Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yaitu
“suatu badan hukum yang kekayaanya terdiri dari kekayaan yang dipisahkan
untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan
dengan tidak mempunyai anggota”. (Indra Bastian, 2007: 2)
Yayasan saat ini sulit dibedakan dengan lembaga lainnya yang
berorientasi laba, tetapi dalam hal ini yayasan termasuk organisasi nonprofit,
yang berarti bahwa organisasi tersebut tidak diperbolehkan melakukan
aktivitas untuk mencari keuntungan.
Yayasan sebagai suatu badan hukum mampu dan berhak serta
berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan perdata. Pada dasarnya,
keberadaan badan hukum yayasan bersifat permanen, yaitu hanya dapat
dibubarkan melalui persetujuan para pendiri atau anggotanya. Yayasan
hanya dapat dibubarkan jika segala ketentuan dan persyaratan dalam
to user
anggaran dasarnya telahcommit
terpenuhi.
Hal tersebut sama kedudukannya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
dengan perkumpulan yang berbentuk badan hukum, di mana subjek
hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum dan, yang menyandang
hak dan kewajiban, dapat digugat maupun mengugat di pengadilan.
(Indra Bastian, 2007: 2)
Dengan demikian, yayasan dan perkumpulan yang berbentuk badan
hukum mempunyai kekuatan hukum yang sama, yaitu sebagai subjek hukum
dan dapat melakukan perbuatan hukum.
Hak dan kewajiban yang dimilki oleh yayasan dalam Indra Bastian
(2007:2) yaitu sebagai berikut:
“1) Hak: berhak untuk megajukan gugatan.
2) Kewajiban: wajib mendaftarkan perkumpulan atau yayasan kepada
instansi yang berwenang untuk mandapatkan status hukum badan hukum”.
b. Tujuan Yayasan
Setiap organisasi, atau yayasan, memiliki tujuan yang spesifik dan
unik yang baik itu yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
Tujuan yang bersifat kuantitatif mencakup pencapaian laba maksimum,
penguasaan pangsa pasar, pertumbuhan organisasi, dan produktivitas.
Sementara tujuan kualitatif dapat disebutkan sebagai efisiensi dan
efektivitas organisasi, manajemen organisasi yang tangguh, moral
karyawan yang tinggi, reputasi organisasi, stabilitas, pelayanan kepada
masyarakat, dan citra perusahaan. (Indra Bastian, 2007: 2)
Menurut Indra Bastian (2007: 3) mengatakan bahwa “tujuan itu
sendiri adalah suatu hasil akhir, titik akhir, atau segala sesuatu yang akan
dicapai. Setiap tujuan kegiatan disebut sebagai sasaran atau target”.
Beberapa ahli membedakan arti tujuan dan sasaran, di mana tujuan
mempunyai pengertian yang lebih luas, sedangkan sasaran adalah lebih
khusus. Namun, banyak ahli tidak membedakan keduanya. Istilah tujuan dan
sasaran digunakan dalam pengertian yang sama untuk menunjukkan hasil
akhir yang dicari dan akan dicapai. Keduanya mempunyai nilai orientasi dan
kondisi yang diinginkan, terutama peningkatan prestasi organisasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
Yayasan mempunyai fungsi
commitsebagai
to user pranata hukum dalam rangka
mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
Undang-undang tersebut menegaskan bahwa yayasan adalah suatu badan
hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang didirikan dan memperhatikan
persyaratan formal yang ditentukan berdasarkan undang-undang.
(Indra Bastian, 2007: 3)
Jadi yayasan itu mempunyai fungsi dimana posisinya sebagai suatu
pranata hukum berdasarkan undang-undang bergerak dalam bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan.
1) Visi
“Visi merupakan pandangan ke depan di mana suatu organisasi
akan diarahkan. Dengan mempunyai visi, yayasan dapat berkarya secara
konsisten dan tetap eksis, antisipatif, inovatif, serta produktif”. (Indra
Bastian, 2007: 3)
Visi merupakan suatu gambaran yang menantang tentang
keadaan masa depan yang berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan.
Menurut
Indra
Bastian
(2007:
3)
rumusan
visi
harus
memperhatikan beberapa hal:
a) Mencerminkan apa yang ingin dicapai sebuah yayasan.
b) Memberikan arah dan fokus strategi yang jelas.
c) Memiliki orientasi terhadap masa depan, sehingga segenap jajaran
harus berperan dalam mendefinisikan dan membentuk masa depan
yayasan.
d) Mampu menumbuhkan komitmen seluruh jajaran dalam lingkungan
yayasan.
e) Mampu menjamin keseimbangan kepemimpinan yayasan.
Rumusan visi yang jelas diharapkan mampu untuk:
a)
b)
c)
d)
Menarik komitmen dan mengerakkan orang.
Menciptakan makna bagi kehidupan pengurus yayasan.
Menciptakan standar keunggulan.
Menjembatani keadaaan sekarang dan keadaan masa depan.
(Indra Bastian, 2007: 3)
Visi perlu ditanamkan dalam setiap yayasan, sehingga visi
bersama, pada gilirannya mampu mengerahkan dan mengerakkan segala
sumber daya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
2) Misi
Dalam suatu organisasi sebelum yayasan menentukan tujuannya
maka misi atau maksud dari yayasan harus ditetapkan terlebih dahulu.
Misi menurut Indra Bastian (2007: 3) “Misi adalah suatu
pernyataan umum tentang maksud yayasan. Misi suatu yayasan adalah
maksud khas (unik) dan mendasar yang membedakan organisasi dari
organisasi lainnya dan yang mengidentifikasikan ruang lingkup operasi”.
Selanjutnya dikemukakan bahwa, “Misi adalah sesuatu yang
diemban atau dilaksanakan oleh suatu yayasan sebagai penjabaran atas visi
yang telah ditetapkan”. (Indra Bastian, 2007: 3)
Dengan pernyataan misi, seluruh unsur yayasan dan pihak yang
berkepentingan dapat mengetahui serta mengenal keberadaan dan peran
yayasannya.
Perumusan misi harus mampu:
a)
b)
c)
d)
Melingkupi semua pesan yang terdapat dalam visi;
Memberikan petunjuk terhadap tujuan yang akan dicapai;
Memberikan petunjuk kelompok sasaran mana yang akan dilayani;
Memperhitungkan berbagai masukan dari stakeholders (pihak-pihak
yang berkepentingan). (Indra Bastian, 2007: 4)
Sumber pembiayaan yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang
dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. Selain itu, yayasan juga
memperoleh sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat seperti berupa:
wakaf, hibah, hibah wasiat, dan perolehan lain yang tidak bertentangan dengan
anggaran dasar yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat adalah sumbangan
atau bantuan sukarela yang diterima yayasan, baik dari negara, bantuan luar
negeri, masyarakat, maupun pihak lain yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud
dengan perolehan lain misalnya deviden, bunga tabungan bank, sewa gedung,
dan perolehan dari usaha yayasan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
c. Struktur Organisasi Yayasan
Struktur organisasi yayasan merupakan turunan dari fungsi, strategi,
dan tujuan organisasi. dalam yayasan
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, Pengurus, dan
Pengawas.
1) Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak
diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang-Undang
tersebut atau anggaran dasar.
2) Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan
yayasan, dan pihak yang dapat diangkat menjadi pengurus adalah
individu yang individu yang mampu melakukan perbuatan hukum.
3) Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan
serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan
yayasan. (Indra Bastian, 2007: 4)
Jadi yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, pengurus
dan pengawas yang mempunyai tugas masing-masing.
d. Kedudukan Hukum Yayasan dalam Sistem Hukum Indonesia
Menurut Indra Bastian (2007: 6) “Yayasan adalah suatu entitas
hukum yang keberadaanya dalam lalu lintas hukum di Indonesia sudah diakui
oleh masyarakat berdasarkan realita hukum positif yang dan berkembang
dalam masyarakat Indonesia”.
Yayasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu yayasan yang didirikan oleh
penguasa atau pemerintah dan yang didirikan oleh individu atau swasta.
Menurut Setiawan dalam Indra Bastian (2007: 6), kecenderungan
masyarakat memilih bentuk yayasan disebabkan karena:
“1) Proses pendiriannya sederhana
2) Tanpa memerlukan pengesahan dari pemerintah
3) Persepsi masyarakat bahwa yayasan bukan merupakan subyek pajak”.
Menurut pendapatnya Sri Rejeki dan Tobing yang dikutip oleh Indra
Bastian (2007: 7), berdasarkan hukum kebiasaan dan asumsi hukum yang
berlaku umum di masyarakat, ciri-ciri yayasan yaitu:
commit to user
1) Eksistensi yayasan belum didasarkan pada aturan yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
2) Pengakuan yayasan sebagai badan hukum belum ada aturan yang jelas.
3) Untuk kepentingan tujuan yayasan yang telah ditentukan, maka ada
pemisahan kekayaan pribadi para pendiri dan kekayaan yayasan.
4) Pendirian yayasan dengan akta notaris dan didaftarkan di kantor
kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
5) Untuk mewujudkan tujuan yayasan, dilakukan oleh pengurus yayasan.
6) Karena yayasan memiliki kekayaan yang terpisah, maka yayasan
mempunyai kedudukan yang mandiri.
7) Sebagai badan hukum maka yayasan menjadi subyek hukum.
8) Apabila tujuan yayasan bertentangan dengan hukum, likuidasi dan
kepailitan maka yayasan dapat dibubarkan oleh pengadilan.
Jadi yayasan itu berstatus badan hukum, bisa didirikan oleh
pemerintah maupun pihak swasta, proses pendiriannya juga sederhana.
B. Kerangka Berfikir
Kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan mempengaruhi kehidupan
sosial masyarakat baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak negatif
antara lain menimbulkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan bermasyarakat,
salah satunya semakin berkembangnya eksploitasi seksual komersial terhadap
anak. Bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial anak antara lain prostitusi
anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Eksploitasi
seksual komersial terhadap anak yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu
merupakan kejahatan kemanusiaan yang menyangkut hak asasi anak. Dimana
anak diperlakukan yang tidak sepantasnya baik fisik maupun psikisnya.
Maraknya Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan
suatu fenomena sosial yang harus ditanggulangi bersama. Pencegahan merupakan
langkah awal yang harusnya dilakukan. Penting bagi anggota masyarakat untuk
ikut serta berpartisipasi dalam upaya pencegahan eksploitasi seksual komersial
anak. Dalam hal ini warga masyarakat ataupun kelompok masyarakat seperti
yayasan yang bergelut dalam bidang kemanusiaan dapat memberikan suatu
pengaruh bagi kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai upaya perlindungan dan
kesejahteraan anak, terutama dari ancaman eksploitasi seksual komersial serta
dalam upaya penegakan hak asasi manusia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
Promosi, pendidikan dan kampanye mengenai eksploitasi seksual
komersial anak ke berbagai elemen masyarakat termasuk wilayah-wilayah yang
rentan menjadi daerah asal anak korban ESKA menjadi langkah untuk
meningkatkan kewaspadaan masyarakat untuk melindungi anak mereka. Seperti
sekolah-sekolah yang rawan dari praktek pelacuran anak perlu dilakukan
pendidikan, pelatihan dan penyadaran, agar siswa tercegah dari praktek pelacuran
anak. Selain itu perlu adanya sosialisasi lebih lanjut tentang Undang-Undang
yang berkaitan dengan permasalahan eksploitasi seksual anak, mengingat banyak
sekali dampak yang ditimbulkan dari adanya praktek ESKA maka perlu banyak
informasi yang harus disampaikan kepada masyarakat.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian ini maka
penulis akan mengemukakan kerangka berpikir yang merupakan acuan didalam
penelitian ini sebagai berikut:
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
(ESKA)
Pre-emptif
(Pendidikan)
Preventif
(Sosialisasi
Undang-Undang)
Represif
(Penegakan
Hukum)
Partisipasi Yayasan
“KAKAK”
Pencegahan
Eksploitasi Seksual
Komersial Anak
Hambatan
Solusi
Harapan
Gambar 1. Kerangka Berfikir
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat
penelitian
merupakan
sumber
diperolehnya
data
yang
dipergunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi
penelitian di Yayasan KAKAK (Kepedulian Untuk Konsumen Anak) Surakarta
dengan alamat di Jalan Flamboyan Dalam No. 1 Purwosari Surakarta 57142. Hal
ini diambil dengan pertimbangan:
a. Ada masalah yang menarik untuk diteliti.
b. Adanya keterbukaan dari pihak Yayasan KAKAK (Kepedulian Untuk
Konsumen
Anak)
Surakarta
sehingga
memudahkan
di
dalam
melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang
dihadapi.
c. Transportasinya mudah, sehingga dapat menghemat waktu dan biaya.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan
September 2011. Kegiatan tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai
berikut:
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
No
Kegiatan
1.
Pengajuan Judul
2.
Penyusunan Proposal
3.
Ijin Penelitian
4.
Pengumpulan Data
5.
Analisis Data
6.
Penyusunan Laporan
Tahun 2011
Mar
Apr
commit to user
55
Mei
Jun
Jul
Agst Sept
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu
dengan berusaha menggambarkan keadaan atau fenomena sosial. Menurut Lexy
J. Moleong (2004: 4) yang mengutip pendapatnya Bogdan dan Taylor tentang
penelitian kualitatif adalah sebagai berikut, “Metodologi kualitatif adalah prosedur
yang menghasilkan data diskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati”.
Menurut Sugiyono (2010: 15), metode penelitian kualitatif adalah:
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan
pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada obyek alamiah,
(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara
purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Penelitian ini diperoleh dengan mempertimbangkan kesesuaian obyek
dari studi, sehingga pengguna metode penelitian secara mendalam agar sesuai
dengan metode tersebut yaitu dengan metode diskriptif.
2. Strategi Penelitian
Dalam setiap penelitian diperlukan sebuah strategi agar tujuan yang telah
direncanakan dapat dicapai.
Dalam Penelitian diskriptif ada 4 macam strategi penelitian yang dapat
digunakan untuk menyusun penelitian yaitu:
a. Tunggal terpancang
Studi yang memusatkan pada variabel yang telah ditentukan terlebih
dahulu atau dengan istilah kemudian hanya menggunakan satu lokasi
penelitian
b. Ganda terpancang
Sedang strategi penelitian ganda terpancang yang membedakan hanya
lokasi penelitian, dimana ada dua lokasi yang digunakan
c. Tunggal holistik
Studi yang mengarahkan pada subyeknya secara menyeluruh dengan
berbagai aspek atau dengan
istilah
(Atnografi Grounded)
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
d. Ganda holistik
Studi yang mengarahkan pada dua subyeknya secara menyeluruh
dengan berbagai aspek atau dengan istilah (Atnografi Grounded).
(H.B. Sutopo, 2002: 10)
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunggal terpancang.
H.B. Sutopo (2002: 42) menjelaskan bahwa “Bentuk penelitian terpancang
(embedded research) yaitu penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus
penelitian berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan
minat penelitinya sebelum peneliti ke lapangan studinya”.
Dalam penelitian ini peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus
pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan
variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian
yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian
dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap.
Jadi penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena
objek penelitian adalah tunggal yaitu hanya pada Yayasan KAKAK (Kepedulian
Untuk Konsumen Anak) Surakarta serta pembahasan masalah hanya terpancang
pada perumusan masalah yang telah diuraikan di depan pada BAB I sebelumnya
yaitu tentang Pencegahan Ekspoitasi Seksual Komersial Anak (Studi Tentang
Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta).
C. Sumber Data
Menurut H.B. Sutopo (2002: 50) menyatakan bahwa, “Sumber data
dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa atau aktivitas, tempat
atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman, dokumen atau arsip”.
Kemudian menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (2004:
157) menjelaskan bahwa “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah
kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain”.
Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif seperti
yang diungkap oleh Sugiyono (2010 : 309 ) yaitu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
Sumber data dalam penelitian kualitatif dapat menggunakan sumber data
primer, dan sumber data sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang
langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekuder
merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya lewat orang lain orang lain atau lewat dokumen.
Dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka pengumpulan
data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview
(wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya.
Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
yang berupa informan, peristiwa atau aktivitas, serta dokumen dan arsip, lebih
lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1. Informan
Pengertian informan menurut H.B. Sutopo (2002: 50) adalah “Sumber
data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai
informan”. Informan diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sesuatu
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Informan adalah orang yang dipandang mengetahui permasalahan secara
mendalam dan dapat dipercaya, sehingga dapat dijadikan sumber yang mantap.
Adapun informan yang diperlukan antara lain:
a. Koordinator Program Pengembangan Sistem Perlindungan Anak
Yayasan KAKAK: Rita Hastuti, S.P
b. Pendamping di Yayasan KAKAK:
1) Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi
2) Astri Purwakasari, S.H
c. Community Organizer (CO) Yayasan KAKAK
1) Nur Hidayah, S.E
2) Atur Fitri Adiati, S.Sos
d. Korban: Anggrek (nama samaran), Mawar (nama samaran), dan
Melati (nama samaran)
e. Orang Tua Korban: Ibu Mawar dan Ibu Melati
f. Perwakilan Sekolah: Wahyuningsih, S.Pd dan Sutopo Wihadi, S.Pd
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
2. Peristiwa atau Aktivitas
Menurut H.B. Sutopo (2002: 51), mengatakan bahwa “Data atau
informasi juga dapat dikumpulkan dari peristiwa, aktivitas atau perilaku sebagai
sumber data yang berkaitan dengan sasaran penelitiannya”. Peristiwa atau
aktivitas merupakan pengamatan terhadap proses bagaimana sesuatu terjadi secara
lebih pasti karena menyaksikan sendiri secara langsung. Kegiatan yang peneliti
amati adalah peristiwa atau aktivitas dari kegiatan pencegahan eksploitasi seksual
komersial anak yang dilakukan yayasan KAKAK tahun 2011, serta pengamatan
dari situasi latar belakang korban.
3. Dokumen
Menurut Sugiyono (2010: 329), “Dokumen merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlalu”. Jadi dokumen merupakan bahan tertulis yang berhubungan
dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Dalam mengkaji dokumen tidak
hanya mencatat apa yang tertulis, tetapi juga berusaha menggali dan menangkap
makna yang tersirat dari dokumen tersebut. Adapun dokumen yang digunakan
peneliti sebagai sumber data adalah: Data situasi dan jumlah kasus eksploitasi
seksual komersial anak dari September 2008 sampai Juni 2011 dapat dilihat pada
lampiran 1, Data bentuk kegiatan yayasan KAKAK dalam pencegahan eksploitasi
seksual komersial anak dapat dilihat dalam lampiran 2, Catatan lapangan dapat
dilihat dalam lampiran 3.
D. Teknik Sampling
Sampel dalam suatu penelitian merupakan hal yang penting dalam
memperoleh data dan bahan pengolahan data. Teknik pengambilan sampel ada
beberapa cara yaitu:
1. Sampling Sistematis
Sampling sistematis adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan
urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut.
2. Sampling Purposive
Sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
3. Snowball Sampling
Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula
jumlahnya kecil, kemudian membesar. (Sugiyono, 2010: 123)
Dalam suatu penelitian kualitatif sering kali peneliti menggunakan
teknik Purposive Sampling. Menurut Paton dalam H.B. Sutopo (2002: 185) bahwa
“Dalam hal ini peneliti akan memilih informan yang dipandang paling tahu,
sehingga kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data”.
Berdasarkan uraian tersebut, maka teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel yang
digunakan harus sesuai dengan tujuan dari peneliti maka penelitian ini cenderung
memilih informasi dari orang-orang dijadikan informasi kunci dan dapat
dipercaya yaitu dari pihak yang berkompeten untuk menjadi sumber data yaitu
Koordinator Program Pengembangan Sistem Perlindungan Anak Yayasan
KAKAK yaitu Rita Hastuti, S.P ; Pendamping di Yayasan KAKAK yaitu Siswi
Yuni Pratiwi, S.Psi dan Astri Purwakasari, S.H ; Community Organizer (CO)
Yayasan KAKAK Nur Hidayah, S.E dan Atur Fitri Adiati, S.Sos. Selanjutnya
informan lain yaitu Korban: Anggrek (nama samaran), Mawar (nama samaran),
dan Melati (nama samaran) ; Orang Tua Korban: Ibu Mawar dan Ibu Melati ;
Perwakilan Sekolah: Wahyuningsih, S.Pd dan Sutopo Wihadi, S.Pd.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara operasional yang ditempuh
oleh penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Berhasil tidaknya suatu
penelitian tergantung pada data yang obyektif. Oleh karena itu sangat perlu
diperhatikan teknik pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil
data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Menurut Lexy J.
Moleong (2004: 186) mengatakan bahwa, “Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan”.
Menurut Cholid Narbuko & Abu Achmadi (2007: 83), “wawancara
adalah proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam
mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan”.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik “wawancara
mendalam” dengan para informan yang terkait dengan permasalahan. Sehingga
dengan wawancara mendalam ini akan mendapatkan data dari para informan
dengan lebih tepat, akurat dan tajam, dan dapat mengungkapkan permasalahan
yang diteliti. Panduan wawancara tersebut dapat dilihat pada lampiran 4.
Kemudian
yang menjadi subyak responden wawancara adalah
Koordinator Program Pengembangan Sistem Perlindungan Anak Yayasan
KAKAK yaitu Rita Hastuti, S.P ; Pendamping di Yayasan KAKAK yaitu Siswi
Yuni Pratiwi, S.Psi dan Astri Purwakasari, S.H ; Community Organizer (CO)
Yayasan KAKAK Nur Hidayah, S.E dan Atur Fitri Adiati, S.Sos. Selanjutnya
informan lain yaitu Korban: Anggrek (nama samaran), Mawar (nama samaran),
dan Melati (nama samaran) ; Orang Tua Korban: Ibu Mawar dan Ibu Melati ;
Perwakilan Sekolah: Wahyuningsih, S.Pd dan Sutopo Wihadi, S.Pd.
2. Observasi
Menurut Cholid Narbuko & Abu Achmadi (2007: 70), “Pengamatan atau
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati
dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki”. Teknik observasi
yang digunakan dengan pengamatan secara langsung terhadap suatu gejala
peristiwa yang terjadi di lapangan dengan mengkaji serta mengungkapkan
fenomena-fenomena yang ada hubungannya dengan tujuan penelitian baik secara
nyata maupun secara mendalam yaitu
dengan
cara penelitian langsung datang ke
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
lapangan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengamatan untuk dapat
mengetahui dan melihat secara langsung peristiwa-peristiwa dan tindakantindakan yang terjadi di lapangan. Panduan Observasi dapat dilihat dalam
lampiran 5. Selanjutnya foto kegiatan penelitian dapat dilihat pada lampiran 6.
3. Analisis Dokumen
Menurut H.B. Sutopo (2002: 69), “Dokumentasi merupakan sumber data
yang sangat penting artinya dalam penelitian kualitatif terutama bila sasaran
kajian mengarah pada latar belakang atau berbagai peristiwa yang terjadi di masa
lampau yang sangat berkaitan dengan kondisi atau peristiwa masa kini”. Data-data
dokumenter harus relevan dengan objek penelitian. Dapat berupa dokumen,
artikel-artikel di media massa, gambar, dan lainnya yang mampu mendukung data
yang diperlukan.
Dalam teknik dokumentasi peneliti melakukan telaah kepustakaan dan
content analysis. Menurut H.B Sutopo (2002: 69) berpendapat bahwa “Mencatat
dokumen disebut juga content analysis dan yang dimaksud bahwa peneliti bukan
hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi
juga tentang maknanya yang tersirat”.
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Data situasi dan
jumlah kasus eksploitasi seksual komersial anak dari September 2008 sampai Juni
2011, Data bentuk kegiatan yayasan KAKAK dalam pencegahan eksploitasi
seksual komersial anak, Catatan lapangan.
F. Validitas Data
Suatu penelitian untuk menjamin keabsahan data yang diperoleh, maka
validitas datanya dapat dilakukan dengan cara trianggulasi. Pengertian
trianggulasi menurut Sugiyono (2010: 330), berpendapat bahwa “Trianggulasi
adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai
teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada”.
Menurut Patton yang dikutip oleh H.B Sutopo menyebutkan bahwa ada
4 macam teknik trianggulasi yaitu:commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
a. Trianggulasi data, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap
kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda.
b. Trianggulasi metode, jenis trianggulasi ini bisa dilakukan oleh seseorang
peneliti dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang
berbeda.
c. Trianggulasi peneliti, hasil peneliti baik data atau kesimpulan mengenai
bagaian atau keseluruhannya bisa di uji validitasnya dari beberapa
peneliti.
d. Trianggulasi teori, trianggulasi ini dilakukan peneliti dengan
menggunakan prespektif lebih dari satu teori dalam membahas
permasalahan yang dikaji. (H.B. Sutopo, 2002: 78-82)
Untuk
mengetahui validitas
data pada penelitian ini,
peneliti
menggunakan trianggulasi data yaitu penelitian diambil dari berbagai sumber
untuk menghasilkan data yang sejenis. Sebab cara ini mengarahkan peneliti agar
dalam pengumpulan data harus menggunakan beragam data yang tersedia, artinya
data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari
beberapa sumber yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara
mencari data dari informan. Selain itu menggunakan perbandingan data yang
diperoleh dari informan maupun dari hasil pengamatan dan analisis dokumen
yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Trianggulasi data
dapat dilihat pada lampiran 7.
G. Analisis Data
Lexy J. Moleong (2004: 280) menyatakan bahwa “Analisis data adalah
proses mengorganisasikan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar,
sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti
disarankan oleh data”. Sedangkan menurut Sugiyono (2010: 335),
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,
dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke
dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana
yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Adapun
komponen
utama
dalam
proses
analisis
ini
meliputi
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan
data
merupakan
kegiatan
yang
digunakan
untuk
memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui
kegiatan wawancara, observasi, dan dokumen. Data yang diperoleh masih berupa
data mentah yang tidak teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi
teratur.
2. Reduksi Data
H.B. Sutopo (2002: 92) berpendapat bahwa “Reduksi data adalah bagian
dari proses analisis, yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus,
membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa
sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan”.
3. Penyajian Data
Alur penting dari kegiatan analisis data adalah penyajian data. Menurut
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (2007: 17) “Penyajian itu sebagai
sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan”.
Penyajian data merupakan rakitan dari organisasi informasi yang
memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa
matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan dan tabel. Semuanya dirakit
secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi.
4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Penarikan kesimpulan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir
pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa
pengulangan dengan melihat kembali field note (data mentah) agar kesimpulan
yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (2007: 19) menyatakan,
“Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi sebagai
sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan
data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut
commit to user
analisis”.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian dalam
proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan,
dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya,
sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa mengambil
salah satu komponen saja. Penarikan kesimpulan merupakan hasil dari suatu
proses penelitian yang tidak dapat terpisahkan dari proses sebelumnya, karena
merupakan satu kesatuan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Pengumpulan
data
Penyajian
Data
Reduksi Data
Kesimpulankesimpulan
Penarikan/Verifikasi
(Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 2007: 20)
Gambar 2. Analisis Data Model Interaktif
H. Prosedur Penelitian
Menurut H.B. Sutopo (2002 : 187-190) kegiatan penelitian direncanakan
melalui beberapa tahapan, yaitu: “(1) persiapan, (2) pengumpulan data, (3)
analisis data, dan (4) penyusunan laporan penelitian”. Prosedur penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
1. Persiapan
Tahap ini terbagi menjadi dua kegiatan meliputi:
a. Mengurus perizinan penelitian.
b. Menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan
data dan menyusun jadwal kegiatan penelitian.
2. Pengumpulan Data
Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi:
a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan observasi,
wawancara mendalam, dan mencatat serta menyimpan dokumen.
b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul.
c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan
3. Analisis Data
Tahap ini terbagi menjadi empat kegiatan meliputi:
a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian
b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cross
check kan dengan temuan di lapangan
c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses
verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang
dianggap lebih ahli
d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian
4. Penyusunan Laporan Penelitian
Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi:
a. Penyusunan laporan awal
b. Review laporan: dengan melakukan pengecekan ulang laporan yang telah
tersusun bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk kemudian
dilakukan perbaikan laporan
c. Penyusunan laporan akhir.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Sejarah Berdirinya Yayasan KAKAK
Pada awal berdirinya pada tanggal 23 Juli 1997 yayasan KAKAK
merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus utamanya adalah pada
perlindungan konsumen. Lembaga ini berdiri sebagai perwujudan dari
keprihatinan sekelompok orang yang mempunyai kepedulian dan perhatian besar
terhadap permasalahan anak dan konsumen, yaitu Bapak Agus Pambagio, Ibu
Dewi Rahmawati, Ibu Emmy LS, Ibu Ira Puspadewi, Bapak Irwanto, Bapak
Muhammad Yani, Ibu Nafsiah Mboi, Bapak Sudaryatmo, Ibu Tini Hadad, Bapak
Widjanarko ES dan Bapak Widodo. Sehingga mereka memberi nama KAKAK
yang merupakan singkatan dari Kepedulian Untuk Konsumen Anak.
Permasalahan konsumen anak yang menonjol akhir-akhir ini adalah
semakin meningkatnya pola hidup konsumtif karena gencarnya dunia usaha
menjadikan anak-anak sebagai sasaran produk mereka. Sementara itu disisi lain
kesadaran dan informasi mereka mengenai barang dan jasa yang dikonsumsinya
masih sangat minim. Di lain pihak produsen masih seringkali tidak bertanggung
jawab atas barang dan jasa yang diproduksinya dengan melanggar ketentuanketentuan, baik yang telah diatur oleh pemerintah maupun yang menyangkut
keamanan dan keselamatan jiwa si anak. Dan pemerintahpun masih kurang
mengawasi barang-barang dan jasa yang beredar di pasaran.
Dalam perjalanannya, yayasan KAKAK melihat gejala merebaknya
prostitusi anak.
Dari hasil pengamatan awal, ternyata salah satu sebab
keterlibatan mereka dalam industri seks ini adalah karena didorong oleh perilaku
konsumtif. Selain itu, anak-anak yang dilacurkan mempunyai masalah dengan
kesehatan reproduksinya, baik minimnya pengetahuan mengenai kesehatan
maupun penyakit menular seksual yang mereka derita. Sehingga melalui rapat
tahunan yang dilakukan di Jakarta,commit
pada bulan
Mei tahun 2002 memutuskan untuk
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
mengubah nama dengan menghilangkan kepanjangannya, sehingga nama lembaga
menjadi yayasan KAKAK, dengan dua fokus isu garap yaitu perlindungan anak
sebagai
konsumen dan perlindungan anak korban kekerasan dan eksploitasi
seksual.
Yayasan
KAKAK
melakukan
pendampingan
terhadap
korban
perkosaan, karena dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa korban perkosaan
adalah beresiko terhadap prostitusi. Karena beberapa hal diantaranya adalah
karena mereka merasa sudah terlanjur tidak perawan lagi, merasa bahwa dirinya
tidak suci, sehingga menjadikan mereka terjun ke dunia prostitusi. Yayasan
KAKAK sudah banyak melakukan usaha untuk terwujudnya perlindungan
terhadap anak walau ternyata hasil yang dicapai belum maksimal, karena dalam
perjalanannya banyak kesulitan yang dihadapi, baik karena faktor internal maupun
faktor eksternal. Faktor-faktor internal antara lain adalah permasalahan sumber
daya manusia. Kurangnya pengalaman dari sumber daya manusia yayasan
KAKAK dalam pendampingan di lapangan (untuk kasus perkosaan dan
pengaduan konsumen), kurangnya pengalaman dalam pengelolaan kelompokkelompok dampingan yang sudah terbentuk, menjadikan motivasi/alasan sumber
daya manusia KAKAK untuk terus belajar. Sedangkan faktor-faktor eksternal
yang dihadapi diantaranya adalah karena tidak responnya pihak-pihak yang terkait
dengan permasalahan anak seperti: tidak tegasnya aparat kepolisian dalam
menindak pelaku perkosaan terhadap anak, tidak responnya pengelola sekolah
dalam hal pendidikan konsumen yang akan diberikan kepada anak-anak.
2. Visi dan Misi Yayasan KAKAK
a. Visi Yayasan KAKAK
Menciptakan masyarakat Indonesia yang memenuhi hak-hak anak
yaitu hak kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi,
dengan berdasarkan pada nilai-nilai kepentingan terbaik untuk anak dan non
diskriminasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
b. Misi Yayasan KAKAK
1) Memberdayakan masyarakat agar mampu menjamin :
a) Kelangsungan hidup anak
b) Tumbuh kembang anak
c) Perlindungan terhadap anak
2) Menciptakan kesempatan bagi anak agar dapat mengaktualisasikan potensi
diri secara optimal
3) Mewujudkan yayasan KAKAK yang profesional, independen dan mandiri
4) Melakukan advokasi terhadap berbagai kebijakan agar berpihak pada anak
3. Tujuan, Mandat dan Peran Strategis Yayasan KAKAK
a. Tujuan Yayasan KAKAK
Memperjuangkan terpenuhinya hak-hak anak, khususnya anak
sebagai konsumen dan anak korban eksploitasi seksual melalui pendidikan,
advokasi dan pelayanan.
b. Mandat Yayasan KAKAK
Sekumpulan orang yang peduli dan komit untuk memperjuangkan
terpenuhinya hak-hak khususnya anak sebagai konsumen dan anak sebagai
korban eksploitasi seksual secara profesional, independen, mandiri, terbuka
dan berperspektif anak.
c. Peran Strategis Yayasan KAKAK
Dalam rangka mandat, visi, misi dan tujuan tersebut. Yayasan
KAKAK ingin menjadikan dirinya sebagai “Agent of Social Change” dengan
peran-peran strategis :
1) Community Organizer, dengan fungsi :
Memperkuat akses terhadap sumber daya, penguasaan informasi dan
organisasi masyarakat.
2) Fasilitator, dengan fungsi :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
Memfasilitasi proses belajar masyarakat dan kegiatan-kegiatan untuk
meningkatkan kemampuannya mengatasi masalah.
3) Advokator, dengan fungsi :
Mendorong terjadinya perubahan-perubahan kebijakan yang lebih
berpihak pada kepentingan dan hak-hak anak.
4) Researcher, dengan fungsi :
Melakukan
penelitian-penelitian
terbangunnya ilmu
kritis
yang
pengetahuan masyarakat,
mampu
mendorong
dan berguna untuk
mendukung mengembangkan model pendidikan maupun advokasi.
4. Susunan Organisasi Yayasan KAKAK
Yayasan KAKAK merupakan badan hukum yang staffnya terdiri dari
direktur, koordinator perlindungan anak, tiga orang staff internal yang mengurusi
administrasi, lima orang staff lapangan selaku pendamping dan seorang penjaga
yayasan. Secara keseluruhan berjumlah sebelas orang. Di yayasan KAKAK sering
kali terjadi perubahan dan pergantian kepengurusan. Sehingga susunan
organisasinya tidak tetap dan mungkin akan ada perubahan kembali.
Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari pembina, pengurus, dan
pengawas. Untuk meningkatkan aktivitas kegiatan baik di tingkat lembaga dan
lapangan, peran pembina lebih diarahkan sebagai moral support maupun technical
support. Sedangkan secara fungsional fungsi board antara lain :
1) Merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan
program-program strategis, pengembangan staff dan pengembangan
institusi.
2) Mengorganisir pertemuan tiga tahunan
3) Memilih direktur eksekutif.
4) Melakukan monitoring dan evaluasi kelembagaan tiap tiga tahun.
Secara lengkap susunan organisasi yayasan KAKAK dijelaskan sebagai berikut :
Tabel 2. Susunan Organisasi Yayasan KAKAK
No
Nama
Posisi
1
Shoim Sahriyati, S.T
Direktur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
2
Koordinator Program Pengembangan
Rita Hastuti, S.P
Sistem Perlindungan Anak
3
Siswi
Yuni
Pratiwi, Penjangkau dan Pendamping anak
S.Psi
korban ESKA
4
Astri Purwakasari, S.H
Pendamping hukum
5
Nur Hidayah, S.E
Community Organizer (CO)
6
Atur Fitri Adiati, S.Sos
Community Organizer (CO)
7
Ati Fatmawati, S.Kom
Pendamping korban ESKA
8
Sudaryati, S.E
Manager Kantor
9
Sri Rahayu, S.E
Manager Keuangan
10
Hastuti
Staff Administrasi
11
Bapak Ahmad
Penjaga Yayasan
Sumber Data: Profil Yayasan KAKAK
B. Deskripsi Hasil Penelitian
Eksploitasi seksual komersial anak merupakan potret realita terburuk
yang dialami oleh banyak anak di Indonesia pada umumnya. Dampak dan resiko
yang ditimbulkan dari eksploitasi seksual komersial ini sangat buruk, sehingga
keberadaanya merupakan wujud pelanggaran hak asasi manusia, karena
bagaimanapun anak sebagai seorang manusia juga mempunyai hak-hak yang
harus dihormati keberadaannya.
1. Gambaran Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial Anak di
Surakarta
Surakarta merupakan salah satu kota dimana fenomena ESKA
berkembang, dan jumlah anak korban ESKA semakin lama semakin meningkat
karena adanya kebutuhan dan permintaan yang kian meningkat.
Untuk mengembalikan/mengeluarkan anak yang berada pada situasi
ESKA bukan merupakan hal yang mudah, karena merupakan masalah yang
dilematis. Dari data yang masuk di yayasan KAKAK dari September 2008 sampai
Juni 2011 ada 75 anak korban ESKA.
meliputi Eks Karisidenan Surakarta
commit Itu
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
yang berhasil dipantau. Adapun jumlah anak korban ESKA di wilayah Surakarta
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Jumlah dan Asal Anak Korban ESKA di Surakarta
Keterangan
Asal
daerah
Jenis
Solo
Klaten
Karanganyar
Sragen
Wonogiri
Sukoharjo
Boyolali
TOTAL
Total Sep 08-Juni
2011
Jumlah
Dalam
Anak prosentase
49
65.33%
9
12.00%
7
9.33%
4
5.33%
1
1.33%
4
5.33%
1
1.33%
75
100.00%
Sumber Data: Yayasan KAKAK
Dari data tersebut diatas tidak semua korban terdampingi hanya
beberapa saja korban yang dapat didampingi di yayasan KAKAK. Data tersebut
tidak mewakili seluruhnya karena kemungkinan masih banyak yang tidak
terjangkau. Jumlah anak korban paling banyak di wilayah Solo yaitu 49 anak,
dengan prosentase 65.33%. Banyak faktor yang membuat anak terjerat ESKA,
salah satu penyebabnya karena remaja perkotaan yang cenderung bergaya hidup
hedonis. Gaya hidup hedonis atau bermewah-mewahan mendorong generasi muda
di kota Solo untuk berperilaku konsumtif. Sekarang ini banyak anak-anak yang
memenuhi gaya hidup sesuai dengan tuntutan lingkungan yang membuat mereka
memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu yang sebenarnya hanya merupakan
keinginan seperti barang-barang mewah yaitu hand phone, baju, sepatu mahal,
motor dan sebagainya. Sedangkan dari kondisi ekonomi anak-anak tersebut
tergolong kurang mampu. Situasi inilah yang sering dimanfaatkan oleh orangorang tertentu yang berniat jahat untuk melakukan eksploitasi seksual komersial
terhadap mereka dengan imbalan-imbalan kebutuhan yang dijanjikan.
Hal yang pertama kali dilakukan yayasan KAKAK untuk mengetahui
adanya kasus ESKA tersebut mereka menggunakan beberapa metode ketika
commit
user kunci, yaitu orang-orang yang
menjangkau yaitu melalui informasi
darito orang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
memang mengetahui dimana keberadaan anak korban ESKA, kemudian dari anak
korban ESKA dampingan terdahulu, dari jaringan, instansi pemerintah, LSM
maupun masyarakat. Dari informasi tersebut kemudian dikroscekkan apakah
benar anak tersebut korban ESKA, kemudian melakukan pendekatan ke
keluarganya dan ke anaknya. Apabila informasi tersebut benar maka yayasan
KAKAK akan melakukan pendampingan.
Eksploitasi seksual komersial anak dibagi dalam tiga bentuk yaitu
prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Ketiga bentuk ini dalam berbagai kasus terkait satu sama lain. Berdasarkan
kategorinya dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 4. Kategori ESKA
Keterangan
Jenis
Kategori
ESKA:
Total Sep 08-Juni
2011
Jumlah
Dalam
Anak
prosentase
Prostitusi
44
58.67%
Pornografi
2
2.67%
trafficking tujuan seksual
29
38.67%
TOTAL
75
100.00%
Sumber Data: Yayasan KAKAK
Dari tabel tersebut di atas diketahui bahwa yang menduduki peringkat
paling atas adalah ESKA dalam bentuk prostitusi anak yaitu sebanyak 44 kasus
dengan prosentase 58.67%, kemudian perdagangan anak untuk tujuan seksual dan
terakhir pornografi. Di Surakarta bentuk eksploitasi yang paling sering terjadi
adalah perdagangan anak untuk tujuan seksual, anak-anak tersebut diperjual
belikan sebagai komoditas kemudian dijadikan pelacur hingga masuk ke dunia
prostitusi yang menghasilkan banyak uang. Mereka didorong oleh keadaan,
struktur sosial dan pelaku-pelaku individu kedalam situasi-situasi dimana orang
dewasa memanfaatkan kerentanan mereka serta mengeksploitasi dan melakukan
kekerasaan seksual kepada mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
Keberadaan anak korban ESKA di Surakarta tidak hanya melibatkan
anak perempuan tetapi juga anak laki-laki, saat ini korban yang paling banyak
adalah anak perempuan. Pelakunya itu bisa orang tua kandungnya sendiri, orang
tua tiri, saudara, teman bahkan pacar. Kemudian yang mendominasi pada tahun
2011 ini adalah pacar. Anak laki-laki bukan tidak mungkin menjadi korban
ESKA, beberapa kasus memang korbannya adalah anak laki-laki yang pelakunya
itu adalah homo seksual (sesama jenis) tapi dalam beberapa kasus juga ditemui
pelakunya adalah heteroseksual. Prosentasenya ada dalam tabel di bawah ini:
Tabel 5. Jenis Kelamin Anak Korban ESKA di Surakarta
Keterangan
Jenis
Laki-laki
Jumlah
anak
Perempuan
TOTAL
Total Sept 08- Juni 2011
Jumlah
Dalam
anak
prosentase
4
5.33%
71
94.67%
75
100 %
Sumber Data: Yayasan KAKAK
Berdasarkan data di atas baik anak perempuan maupun anak laki-laki
dapat menjadi korban eksploitasi seksual komersial, akan tetapi memang
kecenderungan anak perempuan menjadi korban itu lebih banyak yaitu ada
sebanyak 71 anak perempuan dengan prosentase 94.67%. Anak perempuan
memang lebih beresiko karena terkait erat dengan posisi lemah mereka dalam
masyarakat. Sedangkan bagi anak laki-laki, eksploitasi seksual komersial
dipergunakan secara khusus sebagai bentuk intimidasi dimana anak laki-laki
melakukannya atas dasar dipaksa. Bagi orang-orang dewasa penting untuk
menyadari bahwa anak laki-laki juga membutuhkan perlindungan.
Usia anak korban ESKA di Surakarta, untuk kategori anak sebagaimana
dijelaskan pada BAB II sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
setiap orang yang usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
menikah. Batasan anak korban ESKA adalah anak yang berusia dibawah 18 tahun.
Rinciannya dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
Tabel 6. Usia Anak Korban ESKA di Surakarta
Jenis
Keterangan
Usia anak
menjadi
korban
ESKA
9 tahun
12 tahun
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
17 tahun
Belum ada info
TOTAL
Total Sep 08-Juni 2011
Jumlah
Dalam
Anak
prosentase
1
1.33%
2
2.67%
8
10.67%
8
10.67%
18
24.00%
18
24.00%
6
8.00%
14
18.67%
75
100.00%
Sumber Data: Yayasan KAKAK
Dari data tersebut di atas, anak korban ESKA dilihat dari batasan
umurnya memang tidak bisa dipatok, ada kasus bahkan anak 9 tahun menjadi
korban, dalam tiga tahun terakhir ini yang paling banyak menduduki adalah anak
usia 15 dan 16 tahun dengan prosentase masing-masing 24.00%. Anak-anak usia
tersebut memang secara psikologis masih labil, mudah untuk terpengaruh karena
masih dalam perkembangan emosi yang belum stabil.
Keberadaan anak korban ESKA, sebagian juga dikarenakan rendahnya
tingkat pendidikan. Rendahnya pendidikan ditambah dengan usia yang masih
tergolong anak, kurang membekali seseorang dengan pengetahuan yang cukup
dalam menjalani kehidupan. Faktor penyebab rendahnya pendidikan anak yang
terlibat dalam situasi ESKA didominasi oleh faktor ekonomi keluarga.
Latar belakang pendidikan anak korban ESKA di Surakarta sangat
beragam mulai dari jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA tetapi ada juga yang
sama sekali belum pernah menikmati pendidikan secara formal. Beberapa dari
anak korban ESKA tersebut ada yang masih aktif bersekolah dan sebagian lainnya
sudah berhenti sekolah.
Selanjutnya mengenai tingkat pendidikan anak korban ESKA yang
berhasil dipantau dapat dilihat pada tabel berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
Tabel 7. Tingkat Pendidikan Anak Korban ESKA di Surakarta
Keterangan
Jenis
tidak pernah sekolah
DO SD
Lulus SD
DO SMP
Masih sekolah SMP
berdasarkan
Lulus SMP
tingkat
DO SMA /SMK
pendidikan:
masih sekolah SMA/
SMK
Lulus SMA
belum ada info
TOTAL
Total Sep 08-Juni
2011
Jumlah
Dalam
Anak
prosentase
1
1.33%
10
13.33%
9
12.00%
9
12.00%
4
5.33%
6
8.00%
32
42.67%
4
75
5.33%
100.00%
Sumber Data: Yayasan KAKAK
Dari data tersebut diketahui bahwa anak dari tingkat pendidikan
SMA/SMK memang jauh lebih banyak terjerat dalam situasi ESKA yaitu
sebanyak 32 anak dengan prosentase 42.675%. Hal ini berkaitan erat dengan
lingkungan pergaulan, hubungan pertemanan, gaya berpacaran yang tidak sehat
sampai hubungan seks bebas. Dengan asumsi bahwa anak-anak usia sekolah
memang lebih mudah untuk dibujuk dan dirayu dengan imbalan-imbalan
kebutuhan dan barang-barang mewah. Entah itu secara sukarela maupun terpaksa.
Hingga anak-anak ini jatuh ke dunia ESKA. Korban ESKA sebagian besar juga
anak-anak putus sekolah, yaitu karena drop out SD, SMP, maupun SMA. Jadi
anak-anak dari tingkat pendidikan apapun sama-sama beresiko terhadap ESKA.
2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anak Berada Pada Situasi
Eksploitasi Seksual Komersial
Banyak faktor yang menyebabkan anak berada pada situasi ESKA.
Faktor-faktor yang mempunyai pengaruh besar (dominan) yang menyebabkan
anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial di Surakarta, antara lain:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
a. Faktor Keluarga dan Teman
Nilai-nilai yang hidup dalam keluarga, masyarakat maupun
lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan
perilaku seseorang dalam kesehariannya. Ketidakharmonisan keluarga,
perceraian dan penelantaran anak beresiko menjadikan anak-anak terjebak
dalam situasi ESKA. Suasana rumah yang tidak harmonis seringkali
mengakibatkan anak lari dari rumah dan mencari suasana baru yang berbeda
di luar rumah. Banyak orang tua yang gagal memberikan pendidikan dan
teladan yang baik untuk anak-anaknya, kesibukan orang tua seringkali
menyebabkan mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mengenal anakanaknya. Faktor dari keluarga juga dikarenakan anak merasa prihatin dengan
keadaan keluarga mereka, mereka ingin membantu orang tuanya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari mendapatkan uang dengan cepat dan mudah.
Seperti yang diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi selaku
Penjangkau dan Pendamping Anak Korban ESKA:
Faktor internal dari si anak. Bicara anak, psikisnya itu masih labil
dipengaruhi masih gampang apalagi dengan bujuk rayu, ini itu, diimingimingi hal yang wah. Dari faktor eksternal biasanya anak ini berasal dari
keluarga yang kurang kondusif, broken home ataupun bercerai, atau bisa
orang tuanya tinggal pisah rumah atau ada yang setiap hari berantem
terus. Si anak yang dalam kondisi rumah seperti itu merasa tertekan dan
kurang kasih sayang. Faktor lain yaitu lingkungan pergaulan. Banyak
kasus di rumah itu sudah sangat baik, tetapi di sekolah maupun temantemannya justru malah memberi pengaruh yang sangat kuat. (Catatan
Lapangan 1)
Begitu pula dengan lingkungan terdekat anak, seperti teman.
Lingkungan pergaulan yang tidak sehat sangat berdampak buruk bagi anakanak. Anak-anak yang sifatnya masih labil, akan sangat mudah terpengaruh
untuk terjun ke dunia prostitusi, perdagangan seksual maupun pornografi.
Mereka terbujuk temannya yang terlebih dahulu masuk ke dunia itu. Pengaruh
teman ini disebabkan karena mereka salah memilih teman, pengaruh teman ini
juga berkaitan erat dengan penggunaan obat-obatan terlarang dan minuman
keras. Kemudian dari situ anak akan mulai mengenal hubungan seksual yang
commit to user
pada akhirnya karena sudah terlanjur malu mengakibatkan mereka menjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
anak korban ESKA. Hal ini juga yang berhasil diamati oleh peneliti melalui
observasi. Seperti yang dialami oleh Anggrek (nama samaran):
Pada awalnya saat anak kelas 2 SMK, anak mendapat kekerasan seksual
oleh pacarnya. Anak dirayu dan diajak untuk mabuk, sehingga saat itu
anak juga mulai mengkomsumsi miras dan pil dixtro dengan pacar dan
teman-temannya. Dalam kondisi setengah sadar anak mendapat
kekerasan seksual dari pacarnya. Ternyata setelah itu pacarnya
meninggalkan anak, anak merasa sakit hati dan merasa sudah tidak
berharga sehingga anak berpacaran dengan beberapa laki-laki dan
melakukan aktivitas ESKA dan anak meminta imbalan untuk bersenangsenang dan membeli miras dan pil dixtro, anak juga pernah dipaksa
melakukan hubungan seksual ketika anak bermain di kos-kosan
temannya yang memang bebas. (Catatan Lapangan 2)
Umumnya pengaruh teman maupun kelompok sangat besar.
Seseorang yang telah merasa cocok dengan teman atau kelompoknya, akan
cenderung mengikuti gaya teman atau kelompoknya tersebut. Sangat sulit
apabila dia tidak mau mengikuti gaya kelompoknya yang dirasakan buruk,
dengan tetap mempertahankan diri di dalam kelompoknya tersebut, tentu ia
akan diasingkan karena tidak mau mengikuti gaya kelompoknya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kondisi keluarga dan lingkungan
pergaulan membawa peranan penting bagi seorang anak. Orang tua perlu
memberikan teladan yang baik bagi anaknya. Selain itu anak-anak harus
berhati-hati dalam memilih teman di lingkungan pergaulannya, karena
pergaulan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi seorang anak, baik
secara positif maupun negatif.
b. Faktor Teknologi Informasi dan Komunikasi
Meningkatnya teknologi informasi dan komunikasi secara langsung
maupun tidak langsung menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak
berada pada situasi ESKA. Anak-anak zaman sekarang sangat dekat sekali
dengan media informasi seperti internet dengan berbagai layanannya seperti
jejaring sosial facebook, twitter, youtube dan sebagainya. Disamping itu dunia
maya menawarkan seribu satu macam cara untuk melakukan transaksi seksual
sampai hubungan seksual dengan
commit kontrol
to user yang sangat minim atau bisa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
dibilang tidak ada. Anak-anak yang masih memiliki tingkat keingintahuan
yang sangat tinggi tentu saja akan sangat mudah untuk menjadi korban
penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi ini. Hal itu makin
mengancam anak, karena anak punya akses yang tak terbatas untuk menjadi
korban eksploitasi seksual komersial. Bahkan modus terbaru yang saat ini
banyak digunakan pelaku untuk mencari korbannya adalah dengan jejaring
sosial facebook.
Kemudian televisi yang menampilkan tayangan yang tidak memiliki
nilai edukasi, akan mempengaruhi anak untuk bersifat konsumtif terhadap
sesuatu yang telah dilihatnya, anak-anak tersebut disuguhi barang-barang
mewah yang hanya dapat mereka lihat tanpa bisa mereka miliki. Hal itu tentu
saja akan sangat membawa pengaruh bagi anak untuk memiliki gaya hidup
hedonis. Seperti yang dialami oleh Melati (nama samaran):
Anak di sekolah merasa sedih karena teman-temannya memiliki hp
yang bagus, barang mewah, naik motor dan sering pamer. Sementara
dia merasa tidak punya apa-apa dan tidak mungkin menyampaikan itu
ke keluarganya. Untuk biaya makan dan hidup sehari-hari saja
orangtuanya harus banting tulang sehingga tidak mungkin membelikan
anak barang-barang mewah. (Catatan Lapangan 3)
Selain itu banyak kasus yang muncul akibat adanya penyalahgunaan
teknologi informasi dan komunikasi seperti munculnya jual beli anak untuk
tujuan seksual dalam sejumlah website yang terselubung, sebagian ada pula
pornografi anak. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni
Pratiwi, S.Psi:
Faktor yang lain adalah media, facebook, televisi. Sangat disayangkan
mungkin filter-filter itu kurang yang penyajian enak dilihat tapi tidak
ada unsur pendidikan, jadi anak cuma meniru tapi tidak tahu resikonya
apa. Selain itu di tempat-tempat seperti sekolah, kafe, diskotik,
pembangunan mall, secara tidak langsung mendorong anak-anak untuk
memiliki gaya hidup hedonis (gaya hidup mewah).
(Catatan Lapangan 1)
Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknologi informasi tidak
hanya berdampak positif tapi juga negatif. Melalui website, televisi, facebook
commit
to user kejahatan seksual yang berujung
telah menjebak anak-anak dalam
perangkap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
pada ESKA. Ini merupakan dampak negatif dari meningkatnya teknologi
informasi dan komunikasi.
c. Faktor Sosial dan Ekonomi
Di Surakarta faktor sosial ini erat kaitannya dengan gaya hidup
remaja perkotaan yang konsumtif. Akan tetapi sebagian besar anak korban
ESKA memiliki latar belakang sosial ekonomi yang relatif rendah. Kondisi
dan latar belakang ekonomi keluarga yang pas-pasan tersebut tidak
memungkinkan bagi anak-anak tersebut untuk dapat hidup dengan gaya hurahura dan mewah sebagaimana layaknya orang-orang yang berkecukupan.
Kondisi ekonomi yang sulit dapat memaksa seseorang untuk memilih
pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tetapi bisa menghasilkan
banyak uang, salah satunya adalah dengan menjadi pelacur. Hal ini yang
banyak ditemukan anak yang terjerat prostitusi. Keinginan untuk memiliki
barang-barang mewah yang juga berkaitan erat dengan pengaruh teman
dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai memaksa mereka untuk berada
pada situasi ESKA misalnya prostitusi. Seorang anak korban perdagangan
seksual yang berhasil ditemui yaitu Mawar (nama samaran), dalam observasi
peneliti:
Mawar dan adiknya mengaku melakukan aktivitas ESKA karena
himpitan ekonomi. Ingin senang-senang dan untuk membantu ekonomi
keluarga. Dia sedih melihat ibunya harus banting tulang mencari uang
sendirian untuk dia, adiknya dan neneknya. (Catatan Lapangan 4)
Pengaruh kondisi ekonomi sebagai faktor penyebab terjadinya
eksploitasi seksual komersial anak, juga diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni
Pratiwi, S.Psi:
Faktor ekonomi memang sangat berpengaruh biasanya mereka
pendidikannya rendah, mereka drop out sekolah, karena tidak ada biaya
sementara mereka masih ingin tetap sekolah, mereka menjadi tulang
punggung keluarga, bingung mau kerja apa, apa-apa ga ngerti. Untuk
mendapatkan uang banyak sulit mereka terdorong melakukan itu.
(Catatan Lapangan 1)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
Dari hasil wawancara tersebut peneliti bisa menarik sebuah
kesimpulan bahwa kondisi sosial ekonomi membawa pengaruh yang sangat
besar bagi seorang anak, apalagi dengan pola hidup masyarakat kita yang
cenderung konsumtif, akan mampu menjebak seorang anak untuk terjun ke
dalam ESKA dengan segala keterbatasan yang ada agar mampu memenuhi
segala keinginannya.
d. Faktor Pengalaman Seksual Dini
Hubungan seksual dini menjadi salah satu faktor penyebab anak
berada pada situasi ESKA. Anak yang sudah terbiasa melakukan aktivitas
seksual biasanya anak lebih mudah masuk ke dalam situasi ESKA, hal ini
disebabkan mereka belum mampu berpikir jauh ke depan, karena kapasitas
mereka masih anak-anak, sehingga tidak memikirkan dampaknya seperti apa
ke depannya. Sedangkan dari data yang dihimpun yayasan KAKAK faktorfaktor itu meliputi:
Tabel 8. Faktor Pendorong Anak Terjerumus ESKA
Keterangan
faktor pendorong
anak terjerumus
ESKA
Jenis
a. kekerasan seks oleh pacar
(melakukan aktivitas sex
dengan pacar )
b. kekerasan seks oleh teman /
orang yang sudah dikenal
c. dijual oleh ibu / saudara
d. ditipu
e. pengaruh teman
Total Sep 08-Juni
2011
Jumlah
Dalam
Anak
prosentase
58
77.33%
3
4.00%
2
2
2.67%
2.67%
f. Ekonomi /kurang mampu
(pertama melakukan aktivitas
sex dgn user)
1
1.33%
g. orientasi seksual
h. kekerasan seksual dgn
perlawanan (awalnya
diperkosa kemudian ESKA)
i. Belum ada info
4
5.33%
5
9.34%
75
100.00%
TOTAL
commit to user
Sumber Data: Yayasan KAKAK
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
Berdasarkan data yang ada, hubungan seksual dini yang dilakukan
dengan pacar tidak lepas dari pengaruh kondisi masing-masing keluarga
korban tersebut berasal. Biasanya, mereka tidak cukup terpenuhi kebutuhan
psikologisnya, seperti rasa sayang, rasa aman, dan perhatian. Selain itu,
mereka juga kurang terpenuhi kebutuhan materialnya. Kurangnya pengawasan
orang tua akhirnya mendorong anak untuk mencari kompensasi di luar,
termasuk dalam bentuk melakukan aktivitas seksual dengan pacar.
Hubungan seksual dini yang menjadi salah satu faktor penyebab
anak terjerat dalam situasi ESKA, dalam hal ini pelakunya adalah pacar
menduduki peringkat teratas yaitu sebanyak 58 anak dengan prosentase
77.33%. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak secara
mendalam.
Pengalaman seksual dini menjadi penyebab seorang anak berada
pada situasi eksploitasi seksual komersial. Karena sudah terlanjur merasa tidak
berharga lagi, malu dan tertipu maka anak ini meneruskan dengan terjun ke
ESKA, akhirnya anak mendapat stigma atau cap buruk di mata masyarakat.
Pandangan masyarakat yang menggangap mereka sampah masyarakat,
menyebabkan anak sulit untuk menarik diri dari dunia ESKA. Selain itu ada
yang dampak yang harus ditanggung anak-anak yang berada pada situasi
ESKA. Dampak dari ESKA bermacam-macam ada dampak fisik, psikis
maupun seksual yang mana itu yang akan dialami oleh semua anak, yang
berada pada situasi ESKA, seperti yang diungkapkan oleh Astri Purwakasari,
S.H:
Akibat pastinya tekanan psikologis itu pasti, anak itu akan berbeda sekali
ketika ia menjadi korban dengan sebelum ia jadi korban ada yang lebih
pendiam, ada juga kebalikannya dia jadi lebih berani. Bahkan ada juga
yang sampai ia dikeluarkan dari sekolah karena itu menjadi aib dan
diminta untuk mengundurkan diri, itu akan mengakibatkan anak
mengalami tekanan lagi. Ada juga sampai kehamilan yang tidak
dikehendaki. Akibat lain yang paling kita hindari yaitu setelah dia
menjadi korban kekerasan seksual ia bisa menjadi korban ESKA. Itu
sebenarnya yang pendampingan perlu kita intens itu untuk
menghindarkan anak ini menjadi korban ESKA. Korban yang mendapat
kekerasan seksual itu iacommit
mengalami
to usersampai luka fisik yang luar biasa
yang mana ia dipukul dulu, diiket tangannya. Yang lebih berat lagi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
adalah dampak sosialnya di masyarakat, masyarakat kadang-kadang
menggangap itu aib bagi masyarakat, sehingga anak itu dikucilkan,
perlakuannya sangat berbeda ketika ia terjerat kasus. Tiga dampak utama
psikologis, fisik dan sosial dampak itu yang akan dirasakan oleh anak.
(Catatan Lapangan 5)
Saat ini banyak sekali modus yang digunakan pelaku untuk menjerat
para korbannya, dengan kondisi psikologis anak yang mudah dirayu dan
dipengaruhi menyebabkan anak sangat rentan terjebak dalam ESKA. Seperti
yang diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi:
“Kalau modus tren yang sekarang kedoknya pacaran tapi terselubung, jadi
tidak kelihatan, kedua menipu dengan dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang
tinggi, dirayu, diiming-imingi, akhirnya mereka jadi korban”. (Catatan
Lapangan 1)
Hal ini juga yang dialami oleh Melati (nama samaran) anak korban
perdagangan seksual dalam observasi peneliti:
Melati ditawari pekerjaan dan dijanjikan akan mendapat penghasilan
yang besar oleh X (broker/ pelaku). Pada awalnya dia menolak, namun
temannya terus merayunya kemudian dengan alasan diajak main ke
rumah temannya, akhirnya anak mau. Sampai di rumah temannya,
Melati dikenalkan dengan teman-teman X dan kemudian Melati ditipu
dibawa ke hotel dan dikunci dari luar. Kemudian user masuk dan
memaksa anak melayani secara seksual. Melati diberi imbalan oleh user
namun dibawa oleh X. (Catatan Lapangan 3)
Dari faktor-faktor tersebut diatas yang paling banyak mendominasi
adalah faktor pengalaman seksual dini, hal ini yang membuat anak merasa
dirinya sudah tidak berharga kemudian malah menjatuhkan diri ke dunia
ESKA. Ini merupakan langkah awal yang harus dicegah.
3. Partisipasi Yayasan “KAKAK” dalam Mencegah Eksploitasi Seksual
Komersial Anak
Berkaitan dengan munculnya isu ESKA, yayasan KAKAK berupaya
memulai program dalam kegiatan pencegahan, penangganan dan rehabilitasi anak
korban ESKA. Selain itu yayasan KAKAK juga berupaya untuk mewujudkan visi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
dan misinya, seperti yang diungkapkan oleh Kak Rita Hastuti, S.P selaku
Koordinator Program Pengembangan Sistem Perlindungan Anak yaitu:
Kita melakukan pemberdayaaan dengan terjun langsung ke masyarakat kita
melakukan sosialisasi-sosialisasi kita juga melakukan advokasi untuk
perubahan kebijakan-kebijakan. Semua itu kita sesuaikan dengan visi, misi
yayasan KAKAK yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang peduli dan mau
memberikan perlindungan serta memenuhi hak-hak anak.
(Catatan Lapangan 6)
Dari wawancara di atas yayasan KAKAK menunjukkan kepedulian yang
besar dalam perlindungan anak. Juga sangat memperhatikan kebutuhan mereka
seperti pengetahuan, keterampilan, hiburan, perkembangan kesehatan reproduksi,
maupun kejiwaan (psikologis) mereka dengan menyediakan berbagai fasilitas dan
pelayanan yang tersedia.
a. Kegiatan-Kegiatan yang Dilakukan Yayasan KAKAK Secara Umum
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan yayasan KAKAK secara
umum berkaitan dengan penanggulangan ESKA meliputi:
1) Pendekatan, Penjangkauan dan Pendampingan
Pendekatan dilakukan dengan cara menjangkau anak korban
kekerasan seksual maupun ESKA. Dengan langsung turun ke lokasi
dimana anak-anak tersebut akrab dengan lingkungan kesehariannya,
misalnya sekolah, tempat nongkrong, tempat bermain maupun kunjungan
langsung ke rumah/home visit.
Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan mendampingi
korban dan keluarganya dalam menghadapi masalah yang mereka hadapi,
misalnya dengan dukungan moril bagi anak yang bersangkutan.
Pendampingan di yayasan KAKAK ini ada pendamping psikologis korban
kekerasan seksual dan ESKA juga ada pendamping hukum yang
mendampingi anak dalam berproses hukum. Dengan melakukan
pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual maupun ESKA
diharapkan dapat membantu agar anak dapat kembali menjalani kehidupan
mereka secara normal. Proses awalnya seperti yang dikemukakan oleh
commit to user
Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
Prosesnya outreach, menjangkau dulu kalau memang anak ini
korban ESKA kita mendampingi dengan melakukan observasi dan
assessment ini kita akan tahu anak ini butuhnya apa dia butuh
rujukan secara medis. Biasanya mereka bermasalah dengan
reproduksi. Kalau bermasalah dengan itu, kita dengan jaringan
maupun instansi lain yang berkompeten untuk itu, kita fasilitasi.
Anak kita bawa di instasi puskesmas itu mereka akan melakukan
penanganan kalau mereka butuh intervensi medis, kalau butuh
intervensi hukum kita ada pendampingan hukum. Kalau kita butuh
teman kita melakukan advokasi dengan yang lain di pengadilan,
kejaksaan seperti itu. Kalau mereka butuh intervensi pendidikan
kita berusaha untuk menfasilitasi dengan beasiswa. (Catatan
Lapangan 1)
Dari hasil wawancara peneliti dapat menyimpulkan bahwa, dari
melalui proses penjangkauan, pendekatan, kemudian pendampingan.
Yayasan KAKAK akan mengetahui hal-hal apa saja yang dibutuhkan oleh
korban dan berusaha untuk memfasilitasi dengan harapan bahwa anak ini
dapat keluar dari situasi ESKA. Setelah anak dewasa dan sudah menginjak
usia 18 tahun, pendampingan tidak akan berhenti begitu saja tetapi masih
yang dipantau secara terus-menerus meskipun sudah tidak intens tetapi
masih dilakukan komunikasi dengan korban. Karena ketika ia sudah
dewasa apa-apa yang dilakukannya adalah sebuah pilihan. Dimana ia
sudah mampu berpikir lebih dewasa dan bukan lagi anak-anak.
2) Pemberian Layanan
Dalam kegiatannya yayasan KAKAK juga berupaya memberikan
pelayanan-pelayanan bagi anak korban ESKA maupun kekerasan seksual,
meliputi:
a) Pelayanan Medis
Kegiatan ini memiliki tujuan untuk menyediakan pengobatan
medis dan penanganan secara medis bagi korban. Seperti yang
diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi:
Menjangkau dulu kalau memang anak ini korban ESKA kita
mendampingi dengan melakukan observasi dan assessment ini
kita akan tahu anak ini butuhnya apa dia butuh rujukan secara
medis. Biasanya mereka bermasalah dengan reproduksi. Kalau
commit
to user
bermasalah dengan
itu, kita
dengan jaringan maupun instansi lain
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
yang berkompeten untuk itu, kita fasilitasi. Anak kita bawa di
instasi puskesmas itu mereka akan melakukan penanganan kalau
mereka butuh intervensi medis, kalau butuh intervensi hukum
kita ada pendampingan hukum. (Catatan Lapangan 1)
Kegiatan
ini
dilakukan
apabila
anak
membutuhkan
penanganan secara medis maka yayasan KAKAK berusaha untuk
memfasilitasi dengan melakukan lobby ke instansi terkait misalnya
puskesmas.
Layanan
ini
diberikan
yayasan
KAKAK dengan
mengadakan kerjasama dengan lima puskesmas induk jadi ada
puskesmas di Manahan, Pajang, Sangkrah, Ngoresan dan Kratonan, hal
ini dilakukan untuk mengantisipasi jika anak memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut. Dengan adanya kerjasama ini diharapkan anak-anak
memperoleh keringanan biaya.
b) Pelayanan Psikologis
Kegiatan ini diberikan pada saat anak membutuhkan
dukungan
moral
maupun spiritual,
dimana anak mempunyai
permasalahan cukup kompleks dalam kehidupannya, mulai dari
masalah keluarga, teman, sekolah maupun pacar. Hal ini dilakukan
selama pendampingan,
dalam memberikan
layanan psikologis
pendamping mempertimbangkan kepentingan yang terbaik untuk anak.
Layanan ini bisa dilakukan dimana saja dan kapanpun anak
memerlukan bantuan psikologis.
c) Pelayanan Hukum
Layanan ini diberikan pada saat anak telah benar-benar
berproses hukum. Yayasan KAKAK melakukan pendampingan hukum
pada korban ESKA maupun kekerasan seksual mulai dari proses awal
di kepolisian, kejaksaan, di pengadilan sampai vonis dijatuhkan.
Dimana seorang anak ini dengan keterbatasan pengetahuan mereka
akan merasa takut dan bingung ketika berhadapan dengan hukum.
Fungsinya pendamping untuk mendampingi anak berproses hukum
serta sebagai penyambung lidah antara anak dengan petugas yang
commit to user
berwenang dan menjelaskan apa-apa yang tidak diketahui oleh anak.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
Pentingnya pendampingan hukum ketika anak berproses hukum
menurut Kak Astri Purwakasari, S.H yaitu:
Pendampingan hukum atau pendampingan apapun itu untuk
memperjuangkan hak-hak anak itu sendiri. Ketika anak berproses
hukum anak mendapatkan keadilan. Hak-hak dalam hal ini
pelaku dihukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Kalau korbannya anak-anak misalnya kasus kasus kekerasan
seksual dengan Undang-Undang Perlindungan Anak sanksinya
ada di situ minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun. Nah kita
mengawal apakah hak-hak anak itu sudah terpenuhi dan
mendapatkan keadilan, yaitu pelaku mendapatkan ganjaran yang
setimpal dengan perbuatannya. Proses hukum seperti itu. Anak
itu juga mendapatkan hak perlindungan dari aparat penegak
hukum. Kadang-kadang ada aparat penegak hukum yang tidak
berprespektif terhadap anak, yang bertanyanya membuat anak itu
ketakutan, membuat trauma dan sebagainya. Nah itu kita
mendampingi untuk melindungi anak-anak dari aparat penegak
hukum yang sewenang-wenang. Jadi anak tersebut tidak merasa
ketakutan meskipun berhadapan dengan aparat penegak hukum ia
tetap merasa nyaman dan aman. (Catatan Lapangan 5)
Jadi fungsi dari pendamping hukum disini sangat vital ketika
anak menjalani proses hukum supaya anak mendapatkan hak-haknya.
Pendampingan hukum dalam memberikan pelayanan hukum yayasan
KAKAK anggotanya dipilih yang mempunyai kompetensi professional
dalam bidangnya.
3) Pemberian Beasiswa Pendidikan
Program ini menyediakan beasiswa bagi para korban, jadi
yayasan KAKAK berusaha untuk memfasilitasi. Hal ini diungkapkan oleh
Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi:
Kalau mereka butuh intervensi pendidikan kita berusaha untuk
menfasilitasi dengan beasiswa jadi di KAKAK itu ada beasiswa baik
formal maupun nonformal. Kalau formal itu spp kalau non formal
untuk keterampilan-keterampilan seperti membuat flanel, aksesoris,
kan tidak semua anak minat di akademik. Kalau memang anak-anak
tidak ada dana kita berusaha ke instansi yang lain siapa sih yang bisa
mensupport ini gitu. Kita melakukan lobby advokasi ke pemerintah.
(Catatan Lapangan 1)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
Jadi ada beasiswa baik formal maupun non formal. Beasiswa
formal itu dalam bentuk SPP kalau non formal itu untuk keterampilanketerampilan seperti kursus membuat flanel, aksesoris, menjahit, karena
tidak semua anak minat dibidang akademik. Dalam hal ini kalau yayasan
KAKAK tidak ada dana yang memadai maka yayasan KAKAK
melakukan lobby ke pemerintah.
4) Training
Melihat banyaknya permasalahan yang ada pada anak, maka
training ini diadakan dengan tujuan untuk memberikan keterampilan,
pemahaman, serta pengetahuan mengenai hal-hal yang sangat dekat
dengan mereka. Training yang pernah diselenggarakan oleh yayasan
KAKAK adalah:
a) Training Hak Anak dan Kesehatan Reproduksi
Materi yang diberikan mengenai hak-hak anak. Anak-anak
diberikan bekal pengetahuan dan pemahaman mengenai hak mereka
sebagai anak, sehingga ketika anak tahu dan paham diharapkan akan
diterapkan
dalam
kehidupannya.
Materi
kesehatan
reproduksi
bertujuan untuk bisa memberikan pengetahuan kepada anak-anak
tentang bagaimana menjaga organ reproduksinya.
b) Training Motivasi
Materi motivasi juga diberikan untuk terus menjaga,
memupuk, serta mengembangkan kepercayaan diri anak dan upaya
ketahanan hidup secara psikis agar lebih baik lagi.
c) Training Pengembangan Media
Dalam training ini anak-anak belajar untuk mengembangkan
media. Misalnya dalam proses pembuatan film dokumenter, anak-anak
tidak hanya belajar teorinya saja, tetapi praktek dalam membuat film.
Dalam proses tersebut anak-anak benar-benar langsung berperan
sebagai cameramen, sutradara, dan pemainnya. Adapun tema yang
diangkat dalam film tersebut memang tidak jauh dari permasalahan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
yang tidak jauh dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan anak
korban eksploitasi seksual komersial.
d) Training Manajemen Konflik dan Pengembangan Organisasi
Materi manajemen konflik diberikan untuk memberikan
wawasan
mengenai
bagaimana
cara
mengatasi
permasalahan-
permasalahan yang mereka hadapi di lingkungannya. Disamping itu,
masyarakat juga dibekali materi pengembangan organisasi, yang
diharapkan dapat menumbuhkan pengetahuan tentang bagaimana
proses dan cara kerja organisasi serta bagaimana mengembangkan
sebuah organisasi.
e) Training Pemetaan Situasi Anak
Dalam rangka peningkatan peranan orang tua, masyarakat,
guru dalam menangani permasalahan terkait dengan anak khususnya
persoalan yang terkait dengan kekerasan dan ESKA, serta peningkatan
keterampilan masyarakat maupun sekolah agar terpetakan situasi anak
di adakan training pemetaan situasi anak di wilayah dan sekolah.
Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Wahyuningsih, S.Pd:
Kita ada training pemetaan masalah siswa itu kemarin di Hotel
Riyadi Palace. Terus ada diskusi tingkat kota rutin setiap bulan
ada 1 perwakilan dari sekolah. Kalau diskusi pemetaan itu
digabung dengan SMP N 17. Kegiatanya meliputi diskusi,
training terus mading juga. (Catatan Lapangan 7)
Training ini terselenggara atas kerjasama yayasan KAKAK
dengan pihak-pihak yang ditunjuk. Dalam training ini masyarakat
maupun sekolah mendapatkan materi yang nantinya bisa diaplikasikan
di wilayah maupun sekolah, diantaranya bagaimana memetakan
masalah-masalah anak yang terjadi di di situ, mulai dari penyebab,
akibat dan pemecahan masalah yang bisa dilakukan bersama. Selain
itu, juga belajar untuk menganalisa kecenderungan yang terjadi dari
waktu ke waktu sampai pada situasi paling akhir.
Hasil yang diperoleh dari training ini adalah terpetakan
commit
user
situasi anak di sekolah
danto wilayah
masing-masing, harapannya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
pemetaan situasi tersebut dapat diatasi bersama oleh masyarakat
maupun warga sekolah agar lebih berprespektif pada anak.
5) Incoming Generating
Merupakan upaya untuk memfasilitasi korban atau keluarga
korban dalam upaya meningkatkan pendapatan antara lain dengan kegiatan
kursus pembuatan flanel, aksesoris, selain itu ada kursus menjahit, salon
dan komputer. Misalnya dengan memfasilitasi anak-anak yang ingin
belajar menjahit dengan menyediakan mesin jahit beserta bahan-bahan
yang diperlukan sekaligus staff pengajar. Seperti ketika peneliti melakukan
observasi di rumah korban yaitu Mawar (nama samaran):
Mawar sebenarnya ingin sekolah lagi, namun karena tidak ada biaya,
maka keinginan itu dipendam anak. Kejar paket yang ada di Klaten
juga jauh dari rumah, anak tidak ada biaya untuk transport untuk
berangkat seandainya ikut kejar paket. Akhirnya Mawar dan adiknya
memutuskan untuk saat ini ingin cari kerja dulu. Namun ijazah SMP
saja tanpa ketrampilan tidak cukup dijadikan modal untuk mencari
kerja. Mawar menyambut baik ketika KAKAK memberikan tawaran
untuk mendapatkan life skill sebagai modal. Mawar memilih kursus
menjahit karena ingin bekerja di pabrik tekstil dan ingin punya usaha
sendiri. (Catatan Lapangan 4)
Ketika peneliti datang ke rumah korban, pendamping yayasan
KAKAK juga menawarkan mesin jahit agar korban lebih rajin untuk
mengikuti kursus. Begitu pula dengan Melati (nama samaran), Melati
mengaku senang ketika yayasan KAKAK menawarkan ada life skill
sebagai modal untuk anak mengikuti kursus kerajinan dari flanel, seperti
yang diungkapkan oleh Melati:
Buat flanel kayak gini lho mbak, kalau disini jualinnya agak susah.
Udah tak titipin konter, semingu sekali aku lihat katanya belum laku
gitu. Enaknya bisa dikerjain dirumah, kalau ikut kursus jahit
tempatnya jauh, kalau naik bus aku mabuk mbak.
(Catatan Lapangan 3)
Keseluruhan kegiatan yang dilakukan di atas sebagai upaya
penanggulangan eksploitasi seksual komersial anak di Surakarta di pantau
dan evaluasi yayasan KAKAK dengan pihak-pihak yang terkait. Dari
commit to user
evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa, kegiatan-kegiatan yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
dilakukan tersebut sampai saat ini belum sepenuhnya dapat menghapus
kenyataan bahwa masih adanya anak korban eksploitasi seksual komersial
namun kegiatan tersebut mampu mengurangi aktivitas anak dalam dunia
ESKA, dan harapannya agar mereka tidak lagi menjadi korban ESKA serta
setidak-tidaknya dapat mengurangi tingkat terjadinya ESKA.
b. Program Pencegahan ESKA yang Dilakukan Yayasan KAKAK
Program pencegahan ini bertujuan agar anak tidak terjebak ke dalam
ESKA. Sasarannya adalah anak-anak yang dinilai rentan terhadap ESKA dan
wilayah-wilayah rentan ESKA. Mengenai pencegahan ESKA Kak Rita
Hastuti, S.P memberikan penjelasan bahwa:
Teman-teman di KAKAK memang kita siapkan untuk melakukan
pencegahan maupun penanganan dan rehabilitasi. Pencegahan ini dapat
dilakukan kapan saja. Misalnya kalau di wilayah ada dua kelurahan
Semanggi dan Jebres dan dua sekolah SMP N 17 dan SMP N 26 kita
memang rutin bersama-sama mengajak masyarakat karena kita
pengennya masyarakat yang bergerak dan masyarakat yang memiliki.
(Catatan Lapangan 6)
Untuk waktu kegiatan pencegahan ini Kak Atur Fitri Adiati, S.Sos
menjelaskan bahwa:
“Langkah pencegahan tidak terjadwal tapi harus ada target yang harus
tercapai. Proyeknya selama tiga tahun. Teknisnya tidak ada jadwal khusus jadi
menyesuaikan dengan waktu mereka”. (Catatan Lapangan 8)
Jadi pencegahan ESKA yang dilakukan yayasan KAKAK di
fokuskan di dua wilayah yaitu Semanggi dan Jebres dan dua sekolah yaitu
SMP N 26 Surakarta dan SMP N 17 Surakarta. Dalam melakukan pencegahan
ESKA memang tidak terjadwal jadi disesuaikan dengan keadaan dan
kebutuhan. Adapun kegiatan pencegahan tersebut meliputi:
1) Sosialisasi-Sosialisasi Pencegahan ESKA
Dalam rangka untuk mencegah Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (ESKA) yayasan KAKAK melakukan sosialisasi-sosialisasi ke
wilayah dan sekolah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
a) Sosialisasi di Wilayah
Wilayah yang dimaksud yaitu kelurahan Semanggi dan
Jebres. Seperti yang diungkapkan oleh Kak Nur Hidayah, S.E:
Kalau untuk pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
(ESKA) KAKAK melakukan sosialisasi pencegahan ESKA di
sekolah, di wilayah. Dan juga kita melibatkan masyarakat. Jadi
sosialisasi itu selain anak-anak juga ke masyarakat.
(Catatan Lapangan 9)
Sosialisasi dilakukan di wilayah tersebut dikarenakan wilayah
tersebut merupakan lingkungan tempat tinggal yang sangat rawan yang
dapat mempengaruhi perkembangan dan memungkinkan untuk
terjadinya eksploitasi seksual komersial pada anak. Sosialisasi di
wilayah untuk anak-anak dilakukan oleh teman sebaya. Jadi sosialisasi
dari anak untuk anak-anak, sebelumnya anak-anak ini sudah
mendapatkan pengarahan dari yayasan KAKAK. Untuk yang dewasa
itu dilakukan dengan membentuk kader-kader, mereka yang ditunjuk
menjadi kader inilah yang akan melakukan sosialisasi di lingkungan
masyarakatnya. Hal ini yang juga disampaikan oleh Kak Nur Hidayah,
S.E:
Untuk wilayah yaitu dari anak-anak itu sendiri diperuntukkan
untuk anak-anak. Jadi melalui peer education bagaimana
sosialisasi dilakukan oleh teman sebaya. Kalau untuk masyarakat
dilakukan oleh masyarakat itu sendiri yang pernah mengikuti
pelatihan di KAKAK. (Catatan Lapangan 9)
Dalam melakukan sosialisasi di wilayah, mereka bertemu
secara rutin, yaitu untuk anak sendiri dan dewasa sendiri. Saat ini
yayasan KAKAK juga mulai merintis PPT (Pos Pelayanan Terpadu) di
kelurahan pada masing-masing wilayah. Yang mana juga diungkapkan
oleh Kak Rita Hastuti, S.P:
Di wilayah ada di Semanggi dan Jebres, mereka bertemu secara
rutin, jadi ada pertemuan untuk anak sendiri dan dewasa sendiri.
Harapannya mereka bisa saling berkoordinasi kira-kira ada
permasalahan apa dan mau melakukan apa gitu. Untuk saat ini
kita lagi buat kayak
(Pos Pelayanan Terpadu) di dua
commitPPT
to user
kelurahan ini jadi nanti teman-teman diharapkan menjadi tangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
panjang PTPAS (Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak
Kota Surakarta) kalau misalnya ada kasus-kasus di masyarakat
mereka yang akan bergerak dan nanti setelah mereka bergerak
kalau tidak bisa menangani kita merujuk ke PTPAS. (Catatan
Lapangan 6)
Jadi dengan melakukan sosialisasi di wilayah diharapkan
semua masyarakat memperoleh informasi penting dan mau mencegah
ESKA di lingkungannya. Selain itu diharapkan juga mereka mau
peduli dan berempati ketika terjadi kasus ESKA, sehingga masyarakat
ini dapat ikut serta dalam melakukan penangganan dengan kerjasama
melalui PPT di kelurahan.
b) Sosialisasi di Sekolah
Sekolah yang dimaksud adalah SMP N 26 Surakarta dan
SMP N 17 Surakarta. Sosialisasi yang dilakukan di sekolah dilakukan
oleh guru kepada murid-murid, yang mana sebelumnya guru ini sudah
mendapatkan
training
dari
yayasan
KAKAK,
kemudian
disosialisasikan kepada seluruh siswa.
Begitu pula dengan di sekolah, anak-anak usia sekolah
beresiko terhadap kekerasan seksual dan ESKA. Selain itu berdasarkan
pemetaan masalah yang dilakukan yayasan KAKAK tiga tahun
terakhir ini bahwa wilayah dan sekolah itu yang dinilai sangat rentan
terhadap ESKA karena dulu ada beberapa kasus yang terjadi disitu.
Banyak kegiatan yang dilakukan yayasan KAKAK dalam mencegah
ESKA, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Wahyuningsih, S.Pd selaku
Guru Bimbingan Konseling di SMP N 26 Surakarta yaitu:
Kemarin kegiatannya ada peringatan Hari Anak, acaranya lombalomba ada 7 macam lomba kalau ga salah, kita ada training
pemetaan masalah siswa itu di Hotel Riyadi Palace. Terus ada
diskusi tingkat kota rutin setiap bulan ada 1 perwakilan dari
sekolah. Kalau diskusi pemetaan itu digabung dengan SMP N 17.
Kegiatanya meliputi diskusi, training terus mading juga.
Pelatihan mading untuk anak-anak dari bulan Desember ada dana
dari KAKAK, kita disuruh buat masing sebanyak 12 kali terbitan.
Temanya macam-macam dari budaya, lingkungan sekolah,
commit
to user HP dan sebagainya. KAKAK
tentang pemalakan,
tentang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
menyisipkan tentang kekerasan dan ESKA sama kesehatan
reproduksi, nah ini anak-anak baru bikin itu yang terakhir nanti
terbitnya bulan depan. (Catatan Lapangan 7)
Selain itu mengenai media sosialisasi di sekolah Kak Nur
Hidayah, S.E mengungkapkan:
“Ada lagi melalui media lain yaitu mading tapi memang lebih fokus ke
sekolah yang bertemakan tentang perlindungan anak dan ESKA
pastinya”. (Catatan Lapangan 9)
Jadi mading sebagai sebagai salah satu media sosialisasi di
sekolah. Materi yang diberikan dan informasi yang perlu disampaikan
dalam melakukan sosialisasi-sosialisasi adalah tentang pengertian
anak,
hak
dan
kewajiban
anak,
sosialisasi
Undang-Undang
Perlindungan Anak, dampak dari ESKA, serta bagaimana cara
memerangi ESKA. Materi-materi selanjutnya bisa dilihat pada
lampiran 8. Dalam hal ini informasi yang diberikan di wilayah maupun
sekolah sama. Selain itu pentingnya sosialisasi dilakukan karena
perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, seperti yang
diungkapkan oleh Kak Nur Hidayah, S.E bahwa:
Perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama bukan
satu pihak saja, misalnya di sekolah bukan hanya tugas guru
Bimbingan Konseling, tetapi itu menjadi tugas bersama baik itu
kepala sekolah, guru mata pelajaran, anak itu sendiri dan pastinya
orang tua dan itu harus bersinergi. Di wilayah pun sama jadi
informasi diberikan itu bahwa tanggung jawab perlindungan anak
bukan hanya orang tua anak tapi juga masyarakat dan juga
pemerintah berdasarkan Undang-Undang. (Catatan Lapangan 9)
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa perlindungan anak itu
dalam lingkungan sekolah adalah tanggung jawab semua warga
sekolah.
2) Kampanye-Kampanye Pencegahan ESKA
Kampanye ini dilakukan melalui teater, pembuatan film
dokumenter, peringatan Hari Anak Nasional, dan media massa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95
a) Teater
Pencegahan ESKA dilakukan melalui teater. Teater ini
dipakai sebagai salah satu media terapi bagi anak-anak, sekaligus
mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai media pendidikan, media
partisipasi bagi anak untuk berekspresi, sekaligus sebagai upaya
pencegahan ESKA dimana cerita dalam seni teater ini mempunyai
pesan moral agar tersampaikan ke dalam masyarakat. Dalam hal ini
Kak Nur Hidayah, S.E memberikan keterangan bahwa:
Kalau untuk pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
(ESKA) KAKAK melakukan sosialisasi pencegahan ESKA di
sekolah, di wilayah. Dan juga kita melibatkan masyarakat. Jadi
sosialisasi itu selain anak-anak juga ke masyarakat. Selain
sosialisasi juga ada kampanye juga misalnya melalui teater jadi
bagaimana caranya teater itu bisa berbunyi terhadap
perlindungan anak sendiri. (Catatan Lapangan 9)
Teater berisikan kampanye mengenai kegiatan sehari-hari
yang kadang kala terjadi di sekitar kita mengenai hak-hak anak yang
dilanggar dan bagaimana mengatasinya. Kegiatan teater dilakukan di
wilayah rentan, difasilitasi oleh yayasan KAKAK demikian pula
dengan pembuatan film dokumenter.
b) Pembuatan Film Dokumenter
Kegiatan pembuatan film dokumenter melatih anak-anak
mengembangkan media yang ada selain sebagai salah satu media
kampanye. Dalam proses pembuatan film dokumenter, anak-anak tidak
hanya belajar teorinya saja, tetapi praktek dalam membuat film. Dalam
proses tersebut anak-anak benar-benar langsung berperan sebagai
cameramen, sutradara, dan pemainnya. Adapun tema yang diangkat
dalam film tersebut memang tidak jauh dari permasalahan yang
muncul dalam kehidupan anak korban eksploitasi seksual komersial.
Dengan kesempatan yang diberikan kepada anak-anak
ternyata
memberikan
banyak
pembelajaran
untuk
anak-anak,
bagaimana anak-anak menjadi lebih berani tampil, percaya diri,
commit to user
dengan kegiatan yang positif dan bermanfaat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
c) Peringatan Hari Anak Nasional
Dalam rangka mewujudkan Hari Anak Nasional dua SMP
yaitu SMP N 26 dan SMP N 17 Surakarta dan dua wilayah Semanggi
dan Jebres pada tanggal 23 Juli memperingati Hari Anak Nasional
sebagai wujud tanggung jawab, partisipasinya dalam pemenuhan atas
hak-hak anak tersebut. Peringatan Hari Anak ini tentu saja di harapkan
bukan hanya sekedar ceremonial atau perayaan saja yang dilakukan
setiap tahunnya, tetapi yang terpenting adalah makna yang terkandung
dan tujuan dari pokok dari peringatan Hari Anak Nasional itu sendiri.
Bapak Sutopo Wihadi, S.Pd selaku Kesiswaan di SMP N 26 dalam
rangka Hari Anak Nasional menyatakan bahwa:
Kegiatan pentas seni Hari Anak Nasional ini dilakukan dalam
waktu 2 tahun terakhir ini. Tahun kemarin diisi dengan lombalomba tahun ini ada lomba-lomba pentas seni. Kegiatan seperti
ini bagus sekali karena untuk menyalurkan bakat siswa.
(Catatan Lapangan 10)
Dengan
adanya
peringatan
Hari
Anak
Nasional
ini
diharapkan dapat menjadi peristiwa yang penting untuk mengugah
kepedulian dan partisipasi dari semua pihak dalam menghormati dan
menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik
bagi anak, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan
perkembangan anak serta menghargai pendapat anak.
Hal ini juga yang peneliti amati ketika observasi di SMP N
17 Surakarta, hari itu adalah peringatan Hari Anak Nasional, SMP N
17 Surakarta bekerjasama dengan Yayasan KAKAK atas dukungan
terre des hommes menyelenggarakan acara tersebut dengan tema
“Anak Indonesia Belajar Untuk Masa Depan (Anak Indonesia Sehat,
Kreatif dan Berakhlak Mulia)”. Dari hasil observasi menunjukkan
bahwa:
Acara Hari Anak Nasional dimulai pukul 15.00, meskipun baru
bisa dilaksanakan pada tanggal 29 Juli, tidak menyurutkan siswasiswi SMP N 17 Surakarta untuk berkreasi. Pesertanya adalah
userVII, dan IX. Siswa-siswi cukup
siswa-siswi daricommit
kelas to
VII,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97
antusias dalam mengikuti acara tersebut. Pentas seni tersebut
diisi dengan sambutan dari pihak yayasan KAKAK, kemudian
karaoke, karawitan, modern dance, seni tari, fashion show dan
sebagainya. Siswa-siswi mengaku senang dengan diadakannya
kegiatan tersebut. (Catatan Lapangan 11)
Sedangkan tujuan secara umum diselenggarakan Hari Anak
Nasional adalah untuk meningkatkan komitmen semua pihak dan
menyebarluaskan informasi tentang pentingnya hak-hak anak pada
para pengambil kebijakan, orang tua dan masyarakat umum. Selain itu
untuk mendukung Solo sebagai Kota Layak Anak.
d) Media massa
Selain itu kampanye yang dilakukan juga melalui media
massa yaitu poster, stiker, iklan layanan masyarakat, surat kabar
maupun radio. Hal tersebut untuk menghimbau masyarakat agar peduli
terhadap perlindungan anak. Yayasan KAKAK juga mempunyai
agenda rutin siaran radio setiap hari kamis jam 10.00-11.00 di Radio
PTPN. Dengan membahas isu-isu yang berkaitan dengan kekerasan
dan ESKA. Seperti yang diungkapkan oleh Kak Rita Hastuti, S.P:
Yang kita lakukan sosialisasi-sosialisasi seperti yang kemarin
yang mbak Dewi lihat. Ada anak-anak sendiri, orang dewasa,
sekolah-sekolah, kita juga melakukan siaran radio setiap hari
kamis jam 10.00-11.00 di Radio PTPN. Ini kita membahas isuisu yang berkaitan dengan kekerasan dan ESKA itu memang
yang bisa kita lakukan saat ini, selain itu ada leaflet, buku-buku.
(Catatan Lapangan 6)
Ada juga buletin yang setiap satu bulan sekali diterbitkan
oleh yayasan KAKAK yang menyajikan berbagai macam informasi
yang diperlukan tentang anak, kekerasan maupun ESKA dengan tema
yang berbeda-beda. Isi dari buletin tersebut ada rubrik untuk konsultasi
dan berbagai macam tips yang berguna bagi anak. Anak-anak juga
diberikan kesempatan untuk menyalurkan hobinya menulis, membuat
cerpen maupun puisi dan karyanya akan dimuat di buletin sahabat.
Melalui berbagai media massa ini diharapkan dapat menjangkau
commit to user
masyarakat secara luas.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98
3) Mewujudkan Partisipasi Anak dan Masyarakat Melalui Pendidikan
Komunitas
Dalam rangka mewujudkan partisipasi anak, komunitas anak di
wilayah Semanggi maupun Jebres membentuk suatu komunitas anak yang
diberi nama Community education (Comed). Comed ini dilakukan dengan
melibatkan pendidik sebaya. Pendidik sebaya menjadi media anak untuk
bisa berpartisipasi dan lebih mudah diterima informasinya jika dilakukan
dalam usia yang sebaya. Kegiatan ini di fokuskan di kelurahan Semanggi
dan Jebres, dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut adalah wilayah
yang rentan terhadap ESKA. Di Semanggi RW RT 1,2,3,7 dengan
banyaknya anak-anak putus sekolah dan dekat dengan tempat dimana
merebaknya prostitusi. Sedangkan Jebres RW 33,34,35 dengan banyaknya
anak-anak yang akrab dengan minum-minuman keras. Kegiatan anak-anak
dalam komunitas ini sosialisasi perlindungan anak terhadap kekerasan dan
ESKA. Materi dan informasi yang disampaikan adalah mengenai hak dan
kewajiban anak, Undang-Undang Perlindungan Anak, Dampak dari
kekerasan dan ESKA dan sebagainya. Tujuan dari kegiatan ini adalah
sebagai upaya pencegahan ESKA di komunitas anak. Dengan demikian
anak-anak dapat melakukan tindakan pencegahan minimal terhadap diri
mereka sendiri dan selanjutnya dapat menyebarkan informasi tersebut
kepada anak lain di sekitarnya. Seperti yang peneliti amati sendiri ketika
mengikuti kegiatan Comed anak-anak di wilayah Semanggi deskripsi
singkatnya sebagai berikut:
Peserta pada hari itu dihadiri oleh 18 orang anak serta 2 anak sebagai
moderator, umur mereka bekisar antara 10-16 tahun. Sedangkan Kak
Atur dari Yayasan KAKAK sebagai fasilitator. Sebelum acara
dimulai penulis sempat berkenalan satu-persatu dengan anak-anak
tersebut, dan ternyata benar sebagian peserta adalah anak putus
sekolah yang sedang ikut kejar paket A. Mereka ini memang sehariharinya bekerja sebagai pemulung. Acara dimulai pukul 15.30, acara
tersebut dibuka dengan salam oleh Kak Atur dilanjutkan oleh dek
Putri dan Septi sebagai moderator. Materi yang diberikan adalah
penyampaian informasi tentang definisi anak, hak-hak yang dimiliki
oleh seorang anak, commit
kekerasan
terhadap anak, hal-hal yang perlu
to user
disampaikan apabila anak-anak mendapatkan ancaman maupun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99
kekerasan, tentang bahaya pacaran, pendidikan seks dan sebagainya.
(Catatan Lapangan 12)
Dari hasil observasi yang peneliti lakukan, kegiatan tersebut
sangat mendidik, selain itu anak-anak wawasannya juga lebih luas,
mendidik anak sejak dini menghindarkan diri dari resiko eksploitasi
seksual komersial. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin meskipun
tidak terjadwal.
Selain anak-anak juga ada pendidikan komunitas untuk dewasa,
di Semanggi namanya FKAPAS (Forum Komunitas Peduli Anak
Kelurahan Semanggi) merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam
penangganan dan pelayanan kasus kekerasan dan ESKA. Difokuskan juga
di dua wilayah Semanggi dan Jebres. Pesertanya yaitu pekerja layak anak,
PKK, Karang Taruna, perwakilan masyarakat, pekerja kantor kelurahan
dan sebagainya. Kak Nur Hidayah, S.E mengungkapkan bahwa:
Untuk yang sekarang ini KAKAK membentuk PPT (Pos Pelayanan
Terpadu) untuk penangganan korban kekerasan anak dan perempuan
di kelurahan. Harapannya partisipasi dari masyarakat akan sangat
lebih kondusif. Jadi partisipasi masyarakat melalui situ melibatkan
banyak kegiatan seperti peringatan hari anak. (Catatan Lapangan 9)
Saat ini dimasing-masing kelurahan sudah dirintis yang namanya
PPT (Pos Pelayanan Terpadu) dengan adanya PPT ini diharapkan
masyarakat dapat berperan untuk mencegah, memantau, mengatasi apabila
ada permasalahan terkait anak. Diharapkan masyarakat juga peka terhadap
permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka
untuk bersama-sama ditindaklanjuti bersama.
4) Mengadakan Diskusi-Diskusi dan Kerjasama dengan Pihak-Pihak Terkait
Diskusi-diskusi yang dilakukan yaitu: diskusi regular untuk
perlindungan anak untuk orang dewasa di dua wilayah, Semanggi dan
Jebres, diskusi regular untuk perlindungan anak untuk anak di dua
wilayah, Semanggi dan Jebres, diskusi berkala untuk monitoring dan
upgrading sistem perlindungan ESKA di sekolah maupun di wilayah, dan
to userterkait atau stakeholder.
diskusi tingkat kota dengancommit
pihak-pihak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100
Yayasan KAKAK juga melakukan kerjasama melalui workshop
dan kelompok diskusi dengan pihak-pihak terkait misalnya Dinas
Kesehatan, Bapermas, Baperda, Denkominfo, Kemenag, Dinsosnaker,
Kepolisian dan sebagainya, selain itu juga melakukan sosialisasi UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepada lapisan
masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat lebih memperhatikan
kesejahteraan anak dan tidak membiarkan anak-anak terjebak dalam
situasi ESKA maupun mencegah anak-anak agar tidak menjadi korban dari
pihak-pihak tertentu yang menjadikan anak-anak sebagai alat untuk
mendapatkan keuntungan.
Yayasan KAKAK untuk penangganan ESKA secara nasional
bekerjasama dengan ECPAT Nasional, lembaga ini adalah lembaga
nasional yang fokus terhadap isu-isu ESKA di Indonesia, Yayasan
KAKAK merupakan salah satu anggotanya. Selain itu yayasan KAKAK
juga melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait yang memang
terkait dengan isu ESKA, Kak Rita Hastuti, S.P memaparkan bahwa:
Kemudian saat ini sebagai bentuk sistem perlindungan anak yang ada
di kota Solo untuk penanganan ESKA kita berkoordinasi dengan
lembaga-lembaga yang memberikan penanganan, bersentuhan
langsung dengan isu ESKA itu ada 27 lembaga tidak hanya dari
pemerintah tapi juga masyarakat. Harapannya itu nanti mengkait
dengan PTPAS (Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota
Surakarta) karena PTPAS ini merupakan Konsorsium yaitu
gabungan dari beberapa institusi/lembaga/organisasi yang
mempunyai kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak
sejumlah sekitar 47 lembaga, tapi kalau nanti kita fasilitasi yang kita
koordinasi ini hanya lembaga-lembaga yang terkonsen pada isu
ESKA, jadi memang hanya beberapa dan lembaga tersebut sudah
tergabung dengan PTPAS. (Catatan Lapangan 6)
Jadi yayasan KAKAK saat ini membentuk sistem perlindungan
anak di kota Solo untuk penangganan ESKA, ada sejumlah 27 lembaga
tidak hanya pemerintah tapi juga non pemerintah. Selain itu di kota Solo
dengan adanya PTPAS (Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak
Kota Surakarta) diharapkan isu ESKA ini bisa masuk dan mampu
commit to user
ditangani bersama-sama oleh pihak-pihak terkait. PTPAS mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101
layanan sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP). Pelayanan
PTPAS terdiri dari: Pelayanan Medis, Pelayanan Konseling, Pelayanan
Hukum, Pelayanan Rehabilitasi, Rumah Aman/shelter.
5) Advokasi Kebijakan
Salah satu kegiatan yang dilakukan yayasan KAKAK dalam
mengupayakan segala bentuk penghapusan ESKA dan sebagai langkah
pencegahan adalah melalui advokasi kebijakan, segala hal yang
diupayakan oleh yayasan KAKAK akan sia-sia bila tidak mendapatkan
respon dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk
menghapus segala bentuk ESKA sebagai upaya perlindungan anak.
Strategi-strategi
advokasi
dalam
mempengaruhi
kebijakan
pemerintah dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan berpengaruh
dalam melindungi anak-anak. Advokasi akan mengarahkan pemerintah
untuk mengambil langkah penting untuk melakukan penghapusan segala
bentuk ESKA serta perlindungan anak. Salah satu yang dilakukan Yayasan
KAKAK kaitannya dengan advokasi kebijakan, yayasan KAKAK
mencoba mengkaji ulang PERDA Penanggulangan Eksploitasi Seksual
Komersial Nomor 3 Tahun 2006. Yang mana diungkapkan oleh Kak Rita
Hastuti, S.P yaitu:
Salah satu yang dilakukan Yayasan KAKAK kita mengkaji ulang
PERDA Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Nomor 3
Tahun 2006. Tetapi kenapa PERDA itu sampai tidak jalan itu
kenapa, jadi memang masih menggangap bahwa mereka ESKA itu
adalah pelaku, jadi kepeduliannya masih kurang, dan itu mesti yang
harus dipupuk tidak bisa sekali jadi. Karena penanganan untuk
prostitusi dewasa dengan anak itu harus dibedakan karena kalau
prostitusi anak itu dia sebagai korban memang harus ada hal-hal
yang bisa menunjukkan bahwa dia adalah korban.
(Catatan Lapangan 6)
Selain mengkaji ulang PERDA yang ingin dilakukan yayasan
KAKAK juga memantau lebih lanjut tentang Rencana Aksi Kota yang
rencananya akan disahkan oleh pemerintah Kota Surakarta, hal ini
dilakukan atas kerjasama dengan lembaga lain, berikut pengakuan dari
commit to user
Kak Rita Hastuti, S.P:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102
Selain itu rencananya akan ada kebijakan RAK (Rencana Aksi Kota)
tentang penghapusan ESKA itu kita juga pantau dengan kebijakankebijakan yang dilakukan terlebih untuk kasus ESKA mencoba untuk
melihat lebih dalam. Kita berkoordinasi dengan namanya KIPAS
(Komite Indipenden Perlindungan Perempuan dan Anak Surakarta)
jadi memang KIPAS ini bertugas untuk melihat lebih dalam lagi
kebijakan di kota Solo yang berkaitan dengan anak seperti apa, jadi
kita bekerjasama dengan lembaga tersebut. (Catatan Lapangan 6)
Jadi dalam melakukan advokasi kebijakan yayasan KAKAK
berkoordinasi
dengan
KIPAS
(Komite
Indipenden
Perlindungan
Perempuan dan Anak Surakarta) jadi KIPAS ini bertugas untuk melihat
lebih dalam lagi kebijakan di kota Solo yang berkaitan dengan anak.
Sebetulnya yang berkewajiban mengatasi persoalan seputar
eksploitasi seksual komersial terhadap anak adalah negara. Negara juga
tidak mungkin mengatasi persoalan tersebut sendiri tetapi harus didukung
oleh masyarakat, keluarga dan orang tua. Di Surakarta, pemerintah kota
sudah membuat beberapa hal untuk mengatasi persoalan tersebut. Salah
satunya adalah Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006
tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Akan tetapi
dalam PERDA tersebut tidak memuat hal-hal yang khusus tentang anak, di
mana kebutuhan untuk anak sangat berbeda dan lebih spesifik sehingga
membutuhkan perlakuan khusus dan berbeda dengan orang dewasa. Hal
lain yang sudah dilakukan yaitu adanya Rencana Aksi Kota Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak, tetapi saat ini belum bisa
menjawab kebutuhan anak secara khusus.
4. Hambatan yang Dihadapi Yayasan “KAKAK” dalam Mencegah
Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Permasalahan anak adalah permasalahan yang cukup kompleks dan
berkepanjangan. Yayasan KAKAK dalam upaya melaksanakan program
pencegahan ESKA mengalami beberapa hambatan-hambatan. Hambatanhambatan yang dihadapi oleh yayasan KAKAK dalam mencegah eksploitasi
commit
to user
seksual komersial anak adalah sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103
a. Hambatan Internal
Adanya keterbatasan sumber daya manusia di yayasan KAKAK. Hal
ini disebabkan karena jangkauan wilayah kerja yang sangat luas yaitu di Eks
Karisidenan Surakarta. Kak Rita Hastuti, S.P mengutarakan berkaitan dengan
hambatan internalnya yaitu:
“Kita harus realistis ya mbak, bahwa personel KAKAK itu hanya sebelas
orang sementara kita bekerja di Eks Karisidenan Surakarta ada 7 kabupaten”.
(Catatan Lapangan 6)
Selanjutnya Kak Rita Hastuti, S.P juga mengungkapkan bahwa:
“Berdasarkan keterbatasan sumber daya manusia yang kita punya, sementara
wilayah kerja di Eks karisidenan itu membutuhkan fokus-fokus kegiatan itu
yang mungkin harus kita lakukan”. (Catatan Lapangan 6)
Hal ini disebabkan banyak korban kekerasan seksual dan ESKA
yang membutuhkan pendampingan. Sedangkan jumlah sumber daya manusia
dari yayasan KAKAK sendiri juga terbatas, padahal pendampingan harus
dilakukan secara intens. Selain itu dengan keterbatasan wilayah yang bisa
dijangkau yayasan KAKAK hal ini juga yang menjadi hambatan.
Hambatan yang lain yaitu sering kali terjadi perubahan kepengurusan
dari yayasan KAKAK, dimana terjadi kekosongan pengurus untuk fokus
dalam program tertentu. Selain itu kurangnya pengalaman dari Sumber Daya
Manusia (SDM) yayasan KAKAK dalam pendampingan di lapangan,
kurangnya pengalaman dalam pengelolaan kelompok-kelompok dampingan
yang sudah terbentuk.
b. Hambatan Eksternal
1) Dari Masyarakat
Hambatan ketika melakukan pencegahan di wilayah dalam
lingkungan masyarakat yaitu masyarakat belum tergerak untuk mengambil
bagian dalam upaya pencegahan ESKA, karena kurangnya kepedulian
masyarakat terhadap perlindungan anak.
Kak Atur Fitri Adiati, S.Sos
mengenai hambatan pencegahan
commitESKA
to userdi masyarakat berpendapat bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104
Wilayah itu hambatannya dari kader, harus menyesuaikan jadwal
mereka, mengerakkan mereka agar sadar terhadap lingkungan.
Sensitivitas mereka pada permasalahan anak di lingkungan masih
kurang. Kita kan sedang merintis PPT tingkat kelurahan itu kan di
bawah Kota layak Anak di Semangi itu orang-orangnya itu apatis
pandangan mereka terhadap perlindungan anak masih kurang.
Organisasi dibentuk udah gitu aja. Harapannya kita, mereka lebih
aware terhadap permasalahan anak yang ada di lingkungan mereka.
(Catatan lapangan 8)
Mengenai hal tersebut Kak Rita Hastuti, S.P juga memberikan keterangan
bahwa:
Hambatan memang untuk saat ini kita berkaitan dengan
memobilisasi masyarakat kita memang masih belum bisa dilakukan
secara optimal harapannya semua bergerak untuk melakukan
pencegahan maupun penanganan tapi ternyata ini masih belum bisa
dilakukan. (Catatan lapangan 6)
Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat
kurang
sadar
terhadap
lingkungan,
sensitivitas
mereka
terhadap
permasalahan anak yang terjadi di lingkungan mereka masih kurang.
Selain itu sulit untuk menggerakkan masyarakat untuk melakukan
pencegahan maupun penanganan terkait dengan masalah ESKA, hal
tersebut masih belum dapat mereka lakukan. Jadi menurut pandangan
peneliti perspektif anak sebagai korban dalam kasus ESKA masih sangat
sulit diterima masyarakat secara umum. Stigma negatif dan diskriminasi
terhadap anak korban sangat melekat sehingga menganggap anak sebagai
pelaku dan akhirnya cenderung memojokkan, menghakimi, mengucilkan
dan bahkan membuang mereka karena dianggap sebagai sampah atau
penyakit masyarakat.
2) Dari Anak
Dari anak sendiri, ada banyak persoalan yang membuat anak
terjerumus dan tetap bertahan dalam dunia ESKA seperti prostitusi,
sehingga cukup sulit untuk menumbuhkan kesadaran akan resiko dari
aktivitas seksual yang anak lakukan. Kak Astri Purwakasari, S.H
mengungkapkan bahwa hambatan
dari
anak itu sendiri yaitu:
commit to
user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105
Anak korban itu sendiri, mungkin keluarga korban sangat antusias
dan menerima keberadaan kami sebagai pendamping. Tetapi anaknya
yang menjadi korban justru menolak karena mungkin saja pelakunya
adalah pacar korban sendiri sehingga keberadaan kita dianggap anak
akan memperberat pelakunya. Itu mengakibatkan kesulitan kami
melakukan pendekatan dan pendampingan. (Catatan Lapangan 5)
Selain itu Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi juga menjelaskan
bahwa:
Hambatannya korban itu mempunyai karakteristik yang berbedabeda, kadang tempat tinggal korban berpindah-pindah, ketika anak
berkomunikasi dengan kita si anak itu pergi jadi kita tidak bisa
melakukan pendampingan secara intens. Ada juga yang pihak-pihak
di sekelilingnya yang justru malah kurang mendukung anak ini
keluar dari ESKA. Kendala pertama si anak belum tahu bahwa ia
adalah korban. Si anak butuh waktu, agar ia sadar bahwa ia ini
korban. Otomatis kalau ia sadar bahwa ia korban ia akan keluar dari
dunia itu. kalau memang anak itu bersikeras kalau dia bukan korban
itu malah akan sulit ia keluar dari situ karena tidak bisa kita paksa.
(Catatan Lapangan 1)
Dari wawancara tersebut diketahui bahwa seorang anak ini
terkadang tidak sadar bahwa ia adalah korban sehingga sulit untuk
dilakukan pendekatan maupun pendampingan. Sedangkan karakteristik
anak-anak korban itu berbeda-beda sehingga membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk menyadarkannya. Kemudian ketika melakukan
sosialisasi pencegahan ESKA untuk anak di wilayah rentan, terkadang
waktunya bertabrakan dengan jam belajar. Bahkan anak-anak yang datang
dalam pertemuan sering berganti-ganti kadang juga tidak mengikuti
kegiatan.
3) Dari Keluarga
Keluarga merupakan kelompok terdekat anak, dimana anak
membutuhkan dukungan moril yang besar dari dalam keluarga. Sering kali
terjadi keberadaan anak di dalam keluarga, karena stigma negatif yang
diberikan dan perspektif yang memandang anak bukan sebagai korban,
keluarga cenderung menyalahkan dan tidak memaafkan korban, bahkan
ada unsur penolakan dengan
membuang
commit
to user si anak atau tidak mengakui
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106
sebagai anak lagi. Padahal latar belakang dan penyebab kemungkinan
besar justru dari keluarga sendiri. Keluarga yang kurang memperhatikan
kondisi dan kebutuhan seorang anak serta bersikap acuh dan tidak mau
tahu sangat dibutuhkan penyadaran bagi keluarga maupun orang tua agar
mampu melakukan tindakan preventif untuk melindungi anak-anak
mereka.
4) Dari pihak-pihak terkait
Ketika yayasan KAKAK berkoordinasi dan bekerjasama dengan
pihak lain baik instansi pemerintah maupun organisasi non pemerintah
dalam upaya penanggulangan ESKA, sering kali terjadi perbedaan
pendapat ketika sedang diskusi membahas permasalahan anak, selain itu
dari pihak mereka sering berganti-ganti orang ketika diadakan pertemuan.
Hal ini yang diungkapkan oleh Kak Rita Hastuti, S.P:
“Terus kalau kita berjaringan berkoordinasi dengan teman-teman di Eks
Karisidenan Surakarta biasanya mereka perbedaan pendapat, bergantiganti orang itu juga menjadi penghambat”. (Catatan Lapangan 6)
Hambatan lain yaitu tidak responnya pihak-pihak yang terkait
dengan permasalahan anak seperti tidak tegasnya aparat kepolisian dalam
menindak pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku eksploitasi
seksual komersial terhadap anak.
5) Dari Sekolah
Hambatan di sekolah adalah bagaimana membentuk persepsi
guru tentang pentingnya perlindungan anak, sehingga di sekolah pun hakhak anak itu perlu dijaga dan dilindungi. Seperti pernyataan Kak Atur
Fitri Adiati, S.Sos:
Di sekolah paling misal membentuk persepsi guru tentang hak anak
dan berpihak pada anak itu agak susah selain itu hubungannya
langsung dengan Dinas Pendidikan. Kalau dari Dinas tidak
menyuruh membuat perubahan seperti ini ya buat apa susah-susah
buat kebijakan baru. Mereka bekerja berdasarkan instruksi dari pusat
karena SMP 26 dan 17 sekolah Negeri. (Catatan lapangan 8)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Bapak Sutopo
Wihadi, S.Pd kaitannya dengan kegiatan Peringatan Hari Anak Nasional
23 Juli beliau menyatakan bahwa:
Akan tetapi dari pihak guru-guru memang kurang mendapatkan
respon. Ada kegiatan seperti ini guru-guru malah pulang. Padahal
anak-anak itu sangat antusias dengan adanya kegiatan seperti ini. Ini
untuk mewujudkan sekolah ramah anak karena pemerintah sendiri
sudah mencanangkan Kota Layak Anak. (Catatan Lapangan 10)
Dalam upaya mencegah ESKA di sekolah-sekolah hambatan
yang dihadapi yayasan KAKAK yaitu ketika advokasi kebijakan di
sekolah, kebijakan yang berpihak kepada anak, ketika seorang anak
menjadi korban ESKA, agar tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Karena kebijakan yang ada sekolah mengacu pada Dinas Pendidikan jadi
tidak semudah itu untuk membuat kebijakan baru.
Hal ini karena keberadaan anak korban eksploitasi seksual
komersial di sekolah berbeda sekali perlakuannya. Bahkan, diskriminasi
yang diberikan kepada anak korban semakin besar karena anak tidak
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lagi karena harus
keluar dari sekolah. Nama baik sekolah, norma dan tata tertib yang
menjadi acuan bagi sekolah ketika memberikan punishment kepada anak.
Dalam kenyataannya anak korban justru mendapatkan perlakuan yang
sangat diskriminatif, misalkan diperolok di depan kelas atau di lingkungan
sekolah, atau bahkan sampai anak dikeluarkan dari sekolah. Tentu saja hal
ini membawa pengaruh negatif karena posisi anak akan semakin menjadi
korban, tidak mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan karena
masuk ke sekolah lainpun akan kesulitan akibat stigma yang sudah
melekat pada diri anak.
Menurut peneliti pencegahan ESKA di sekolah serta pentingnya
perlindungan anak memang harus disepakati bersama oleh semua warga
sekolah agar anak-anak ini mendapatkan hak-haknya di sekolah untuk
mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108
C. Temuan Studi
Dalam subbab ini peneliti menganalisis informasi yang berhasil
dikumpulkan di lapangan sesuai dengan perumusan masalah dan selanjutnya
dikaitkan dengan teori yang ada. Berdasarkan hasil penelitian yang dihubungkan
dengan kajian teori maka peneliti menemukan hal-hal yang penting yaitu sebagai
berikut:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual
komersial
Faktor-faktor yang mempunyai pengaruh besar (dominan) yang
menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial di
Surakarta, antara lain:
a. Faktor keluarga dan teman
Ketidakharmonisan keluarga, perceraian dan penelantaran anak beresiko
menjadikan anak-anak terjebak dalam situasi ESKA. Suasana rumah yang
tidak harmonis seringkali mengakibatkan anak lari dari rumah dan mencari
suasana baru yang berbeda di luar rumah. Banyak orang tua yang gagal
memberikan pendidikan dan teladan yang baik untuk anak-anaknya,
kesibukan orang tua seringkali menyebabkan mereka tidak memiliki cukup
waktu untuk mengenal anak-anaknya. Selain itu dalam lingkungan
pergaulan yang tidak sehat, anak-anak yang sifatnya masih labil, akan
sangat mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang negatif.
Pengaruh teman ini disebabkan karena mereka salah memilih teman,
pengaruh teman ini juga berkaitan erat dengan penggunaan obat-obatan
terlarang dan minuman keras. Kemudian dari situ anak akan mulai
mengenal hubungan seksual kemudian menjadi suatu kebiasaan. Karena
sudah terlanjur dengan keadaan yang ada pada diri anak, akhirnya dengan
mudah mereka menjadi anak korban ESKA.
b. Faktor teknologi informasi dan komunikasi
Anak-anak zaman sekarang sangat dekat sekali dengan media informasi
seperti internet dengan berbagai layanannya seperti jejaring sosial
commit
user
facebook, twitter, youtube
dan tosebagainya.
Anak-anak yang masih
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109
memiliki tingkat keingintahuan yang sangat tinggi akan sangat mudah
untuk
menjadi
korban
penyalahgunaan
teknologi
informasi
dan
komunikasi karena anak punya akses yang tak terbatas untuk menjadi
korban eksploitasi seksual komersial. Bahkan modus terbaru yang saat ini
banyak digunakan pelaku untuk mencari korbannya adalah dengan jejaring
sosial facebook. Kemudian televisi yang menampilkan tayangan yang
tidak memiliki nilai edukasi, akan mempengaruhi anak untuk bersifat
konsumtif terhadap sesuatu yang telah dilihatnya, anak-anak tersebut
disuguhi barang-barang mewah yang hanya dapat mereka lihat tanpa bisa
mereka miliki. Hal ini akan sangat membawa pengaruh bagi anak untuk
memiliki gaya hidup hedonis (gaya hidup mewah).
c. Faktor sosial dan ekonomi
Sebagian besar anak korban ESKA memiliki latar belakang sosial ekonomi
yang relatif rendah. Kondisi ekonomi yang sulit dapat memaksa seseorang
untuk memilih pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tetapi bisa
menghasilkan banyak uang, salah satunya adalah dengan menjadi pelacur.
Hal ini yang banyak ditemukan anak yang terjerat prostitusi. Keinginan
untuk memiliki barang-barang mewah yang juga berkaitan erat dengan
pengaruh teman dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai memaksa
mereka untuk berada pada situasi ESKA.
d. Faktor pengalaman seksual dini
Hubungan seksual dini menjadi salah satu faktor penyebab anak berada
pada situasi ESKA. Anak yang sudah terbiasa melakukan aktivitas seksual
biasanya anak lebih mudah masuk ke dalam situasi ESKA. Berdasarkan
data yang ada, hubungan seksual dini tidak lepas dari pengaruh kondisi
masing-masing keluarga korban tersebut berasal. Biasanya, mereka tidak
cukup terpenuhi kebutuhan psikologisnya, seperti rasa sayang, rasa aman,
dan perhatian. Selain itu, mereka juga kurang terpenuhi kebutuhan
materialnya. Kurangnya pengawasan orang tua akhirnya mendorong anak
untuk mencari kompensasi di luar, termasuk dalam bentuk melakukan
user sudah terlanjur merasa tidak
aktivitas seksual dengan commit
pacar. toKarena
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110
berharga lagi, malu dan tertipu maka anak ini meneruskan dengan terjun
ke ESKA, akhirnya anak mendapat stigma atau cap buruk di mata
masyarakat. Pandangan masyarakat yang menggangap mereka sampah
masyarakat, menyebabkan anak sulit untuk menarik diri dari dunia ESKA.
Dari uraian tersebut diatas, menunjukkan keterkaitan antara data
hasil penelitian dengan landasan teori yang dijelaskan pada bab sebelumnya
yang dipakai sebagai pedoman dalam penelitian ini, dimana ditemukan bahwa
faktor-faktor pendorong maupun penarik yang menyebabkan terjadinya
eksploitasi seksual komersial anak. Menurut Farid yang dikutip Pusat Kajian
Dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan dkk (2008: 8-9) “secara umum
faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya ESKA ada faktor pendorong
dan penarik”. Faktor-faktor pendorong antara lain :
a)
Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat
oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor
pertanian.
b)
Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusatpusat industri di perkotaan.
c)
Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi.
d)
Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga.
e)
Pergeseran dari perekonomian subsisten ke ekonomi berbasis
pembayaran tunai.
f)
Peningkatan konsumerisme.
g)
Disintegrasi keluarga.
h)
Pertumbuhan jumlah anak gelandangan.
i)
Tiadanya kesempatan pendidikan.
j)
Kelangkaan peraturan/hukum dan penegakkan hukum.
k)
Diskriminasi terhadap etnis minoritas.
l)
AIDS-meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak terpaksa
masuk ke perdagangan seks.
Apabila dikaitkan dengan faktor-faktor di atas maka hal tersebut
to usermenunjukkan faktor-faktor yang
relevan, meskipun dari hasilcommit
penelitian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111
menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial sifatnya
lebih kompleks.
2. Partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial
anak
Yang ditemukan bahwa Yayasan KAKAK berpartisipasi dalam
mencegah eksploitasi seksual komersial anak yaitu melalui program
pencegahan yang sudah dilakukannya. Kegiatan tersebut meliputi:
a. Sosialisasi-sosialisasi pencegahan ESKA
1) Sosialisasi di wilayah
Wilayah yang dimaksud yaitu kelurahan Semanggi dan Jebres. Dalam
melakukan sosialisasi di wilayah, mereka bertemu secara rutin, yaitu
untuk anak sendiri dan dewasa sendiri. Saat ini yayasan KAKAK juga
mulai merintis PPT (Pos Pelayanan Terpadu) di kelurahan pada
masing-masing
wilayah.
Informasi
yang
disampaikan
dalam
melakukan sosialisasi adalah tentang pengertian anak, hak dan
kewajiban anak, sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak,
dampak dari ESKA, serta bagaimana cara memerangi ESKA. Dalam
hal ini informasi yang diberikan diwilayah maupun sekolah sama
untuk membangun kesadaran anak-anak terhadap hak-haknya. Jadi
dengan melakukan sosialisasi di wilayah diharapkan semua masyarakat
berpartisipasi dalam upaya perlindungan anak dan mau mencegah
praktik ESKA di lingkungannya.
2) Sosialisasi di sekolah
Sekolah yang dimaksud adalah SMP N 26 Surakarta dan SMP N 17
Surakarta. Sosialisasi dilakukan oleh guru kepada murid-murid, yang
mana sebelumnya guru ini sudah mendapatkan training dari yayasan
KAKAK, kemudian disosialisasikan kepada seluruh siswa. Selain itu,
mading juga sebagai sebagai salah satu media sosialisasi di sekolah
yang bertemakan tentang perlindungan anak maupun untuk mencegah
ESKA. Harapannya dengan melakukan sosialisasi di sekolah praktek
commit
ESKA dapat dicegah lebih
dini.to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112
b. Kampanye-Kampanye Pencegahan ESKA
1) Teater
Teater ini sebagai salah satu media terapi bagi anak-anak, sekaligus
mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai media pendidikan, media
partisipasi bagi anak untuk berekspresi, sekaligus sebagai upaya
pencegahan ESKA dimana cerita dalam seni teater ini mempunyai
pesan moral agar tersampaikan ke dalam masyarakat. Teater berisikan
kampanye mengenai kegiatan sehari-hari yang kadang kala terjadi di
sekitar kita mengenai hak-hak anak yang dilanggar dan bagaimana
mengatasinya.
2) Pembuatan film dokumenter
Kegiatan
pembuatan
film
dokumenter
melatih
anak-anak
mengembangkan media yang ada selain sebagai salah satu media untuk
kampanye. Adapun tema yang diangkat dalam film tersebut memang
tidak jauh dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan anak
korban eksploitasi seksual komersial.
3) Peringatan Hari Anak Nasional
Dengan adanya peringatan Hari Anak Nasional ini diharapkan dapat
menjadi peristiwa yang penting untuk mengugah kepedulian dan
partisipasi dari semua pihak dalam menghormati dan menjamin hakhak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi anak,
menjamin
semaksimal
mungkin
kelangsungan
hidup
dan
perkembangan anak serta menghargai pendapat anak. Tujuan secara
umum
diselenggarakan
Hari
Anak
Nasional
adalah
untuk
meningkatkan komitmen semua pihak dan menyebarluaskan informasi
tentang pentingnya hak-hak anak pada para pengambil kebijakan,
orang tua dan masyarakat umum. Selain itu untuk mendukung Solo
sebagai Kota Layak Anak.
4) Media massa
Kampanye yang dilakukan juga melalui media massa yaitu poster,
to usersurat kabar maupun radio. Hal
stiker, iklan layanan commit
masyarakat,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113
tersebut untuk menghimbau masyarakat agar peduli terhadap
perlindungan anak. Yayasan KAKAK juga mempunyai agenda rutin
siaran radio setiap hari kamis jam 10.00-11.00 di Radio PTPN. Dengan
membahas isu-isu yang berkaitan dengan kekerasan dan ESKA. Ada
juga buletin yang setiap satu bulan sekali diterbitkan oleh yayasan
KAKAK yang menyajikan berbagai macam informasi yang diperlukan
tentang anak, kekerasan maupun ESKA dengan tema yang berbedabeda. Melalui berbagai media massa ini diharapkan dapat menjangkau
masyarakat secara luas.
c. Mewujudkan partisipasi anak dan masyarakat melalui pendidikan
komunitas
Dalam rangka mewujudkan partisipasi anak, komunitas anak di
wilayah Semanggi maupun Jebres membentuk suatu komunitas anak yang
diberi nama Community education (Comed). Comed ini dilakukan dengan
melibatkan pendidik sebaya. Pendidik sebaya menjadi media anak untuk
bisa berpartisipasi dan lebih mudah diterima informasinya jika dilakukan
dalam usia yang sebaya.
Tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai upaya pencegahan ESKA
di komunitas anak. Dengan demikian anak-anak dapat melakukan tindakan
pencegahan minimal terhadap diri mereka sendiri dan selanjutnya dapat
menyebarkan informasi tersebut kepada anak lain di sekitarnya. Selain
anak-anak juga ada pendidikan komunitas untuk dewasa. Saat ini di
masing-masing kelurahan sudah dirintis yang namanya PPT (Pos
Pelayanan Terpadu) dengan adanya PPT ini diharapkan masyarakat dapat
berperan untuk mencegah, memantau, mengatasi apabila ada permasalahan
terkait anak.
d. Mengadakan diskusi-diskusi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait
Diskusi-diskusi yang dilakukan yaitu: diskusi regular untuk
perlindungan anak untuk orang dewasa di dua wilayah, Semanggi dan
Jebres, diskusi regular untuk perlindungan anak untuk anak di dua
user berkala untuk monitoring dan
wilayah, Semanggi dan commit
Jebres, to
diskusi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114
upgrading sistem perlindungan ESKA di sekolah maupun di wilayah, dan
diskusi tingkat kota dengan pihak-pihak terkait atau stakeholder.
Sebagai bentuk sistem perlindungan anak yang ada di kota Solo
untuk penanganan ESKA yayasan KAKAK berkoordinasi dengan
lembaga-lembaga yang memberikan penanganan, bersentuhan langsung
dengan isu ESKA.
Selain itu di kota Solo dengan adanya PTPAS
(Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta)
diharapkan isu ESKA ini bisa masuk dan mampu ditangani bersama-sama
oleh pihak-pihak terkait.
e. Advokasi kebijakan
Strategi-strategi
advokasi
dalam
mempengaruhi
kebijakan
pemerintah dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan berpengaruh
dalam melindungi anak-anak. Advokasi akan mengarahkan pemerintah
untuk mengambil langkah penting untuk melakukan penghapusan segala
bentuk ESKA serta perlindungan anak. Salah satu yang dilakukan Yayasan
KAKAK kaitannya dengan advokasi kebijakan, yayasan KAKAK
mencoba mengkaji ulang PERDA Penanggulangan Eksploitasi Seksual
Komersial Nomor 3 Tahun 2006. Selain mengkaji ulang PERDA yang
ingin dilakukan yayasan KAKAK juga memantau lebih lanjut tentang
Rencana Aksi Kota yang rencananya akan dibuat oleh pemerintah Kota
Surakarta. Dalam melakukan advokasi kebijakan yayasan KAKAK
berkoordinasi
dengan
KIPAS
(Komite
Indipenden
Perlindungan
Perempuan dan Anak Surakarta) jadi KIPAS ini bertugas untuk melihat
lebih dalam lagi kebijakan di kota Solo yang berkaitan dengan anak.
Kemudian apabila dikaitkan dengan landasan teori yang ada
menunjukkan bahwa kecakapan partisipasi warganegara menurut Sobirin
Malian dan Suparman Marzuki (2003: viii), ”Kecakapan partisipatoris
meliputi tiga hal yaitu proaktif berinteraksi, kritis dan senantiasa memantau
(memonitoring)
isu
publik,
kemampuan
mempengaruhi
(influencing)
kebijakan publik”. Selanjutnya dijelaskan bahwa kemampuan mempengaruhi
(influencing) kebijakan publikcommit
yaitu: to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115
Kemampuan dalam mempengaruhi proses politik dan pemerintahan
penting dimiliki warga negara agar terjadi keseimbangan antara
masyarakat dengan pemerintah dan antara masyarakat dengan masyarakat.
Dengan adanya keseimbangan ini (bargaining position) antara keduanya
dan di luarnya akan lebih mudah dibangun.
Keahlian mempengaruhi kebijakan publik meliputi kemampuan untuk:
a. membuat petisi
b. berbicara di depan umum
c. bersaksi di depan badan-badan publik
d. terlibat dalam kelompok advokasi ad-hoc
e. membangun aliansi
(Sobirin Malian dan Suparman Marzuki, 2003: viii)
Hal tersebut relevan dengan hasil penelitian yang ada dimana
yayasan KAKAK sebagai warga negara menunjukkan kemampuannya dalam
berpartisipasi melalui program-program pencegahan ESKA serta melakukan
kerjasama dengan pihak-pihak terkait yang bersentuhan langsung dengan isu
ESKA. Selain itu yayasan KAKAK juga berkoordinasi dengan KIPAS
(Komite Indipenden Perlindungan Perempuan dan Anak Surakarta) dalam
mempengaruhi kebijakan publik serta senantiasa memantau isu publik
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kaitannya
dengan upaya perlindungan anak dan sebagai bentuk upaya penghapusan
ESKA.
3. Hambatan yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi
seksual komersial anak
a. Hambatan internal
Adanya keterbatasan sumber daya manusia di yayasan KAKAK serta
jangkauan wilayah kerja yang sangat luas yaitu di Eks Karisidenan
Surakarta. Hambatan yang lain yaitu sering kali terjadi perubahan
kepengurusan dari yayasan KAKAK, dimana terjadi kekosongan pengurus
untuk fokus dalam program tertentu. Selain itu kurangnya pengalaman dari
sumber daya manusia di yayasan KAKAK.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116
b. Hambatan eksternal
1) Dari masyarakat
Masyarakat kurang peka terhadap lingkungan wilayahnya, sensitivitas
mereka terhadap permasalahan anak yang terjadi di lingkungan mereka
masih kurang. Selain itu sulit untuk menggerakkan masyarakat untuk
melakukan pencegahan maupun penangganan terkait dengan masalah
ESKA, hal tersebut masih belum dapat mereka lakukan. Hal ini karena
perspektif anak sebagai korban dalam kasus ESKA masih sangat sulit
diterima masyarakat secara umum. Stigma negatif dan diskriminasi
terhadap anak korban sangat melekat sehingga masih menganggap
anak sebagai pelaku.
2) Dari anak
Ada banyak persoalan yang membuat anak terjerumus dan tetap
bertahan dalam dunia ESKA seperti prostitusi, sehingga cukup sulit
untuk menumbuhkan kesadaran akan resiko dari aktivitas seksual yang
anak lakukan. Selain itu anak-anak korban ESKA mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda. Untuk anak di wilayah rentan
hambatan yang ada adalah berkaitan dengan waktu mereka yang
bertabrakan dengan jam belajar. Bahkan anak-anak yang datang dalam
pertemuan sering berganti-ganti kadang juga tidak mengikuti kegiatan
3) Dari keluarga
Dalam keluarga sering kali terjadi keberadaan anak di dalam keluarga,
karena stigma negatif yang diberikan dan perspektif yang memandang
anak bukan sebagai korban, keluarga cenderung menyalahkan dan
tidak memaafkan korban, bahkan ada unsur penolakan dengan
membuang si anak atau tidak mengakui sebagai anak lagi. Keluarga
yang kurang memperhatikan kondisi dan kebutuhan seorang anak serta
bersikap acuh dan tidak mau tahu sangat dibutuhkan penyadaran bagi
keluarga maupun orang tua agar mampu melakukan tindakan preventif
untuk melindungi anak-anak mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117
4) Dari pihak-pihak terkait
Ketika yayasan KAKAK berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak
lain baik instansi pemerintah maupun organisasi non pemerintah dalam
upaya penanggulangan ESKA, sering kali terjadi perbedaan pendapat
ketika sedang diskusi membahas permasalahan anak, selain itu dari
pihak mereka sering berganti-ganti orang ketika diadakan pertemuan.
Selain itu hambatan lain adalah tidak tegasnya aparat kepolisian dalam
menindak pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku
eksploitasi seksual komersial terhadap anak.
5) Dari sekolah
Hambatan di sekolah adalah bagaimana membentuk persepsi guru
tentang pentingnya perlindungan anak, sehingga di sekolah pun hakhak anak itu perlu dijaga dan dilindungi. Hambatan yang lain yaitu
ketika advokasi kebijakan di sekolah, kebijakan yang berpihak kepada
anak, ketika seorang anak menjadi korban ESKA, agar tidak
mendapatkan perlakuan diskriminatif. Hal ini masih belum bisa
diterapkan.
Berdasarkan landasan teori hambatan tersebut relevan dengan
hasil penelitian yang ada seperti yang diungkapkan oleh Stephanie
Delaney (2006: 44) bahwa “salah satu kesulitan yang dihadapi organisasiorganisasi lokal adalah bahwa mereka mengalami kekurangan sumbersumber yang dibutuhkan”. Dalam hal ini hambatan utama yang dihadapi
yayasan KAKAK dalam mencegah ESKA di lingkungan internalnya yaitu
berkaitan dengan terbatasnya sumber daya manusia yang ada.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118
D. Pembahasan
1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anak Berada Pada Situasi
Eksploitasi Seksual Komersial
Ada beberapa faktor yang mempunyai pengaruh besar (dominan) yang
menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial. Yang mana
masing-masing faktor ini saling mengkait satu sama lain meliputi:
a. Faktor Keluarga dan Teman
Keluarga merupakan lingkungan terdekat anak dimana anak
membutuhkan perlindungan dan tempat tinggal. Akan tetapi keluarga yang
tidak harmonis justru membuat anak merasa tidak nyaman. Suasana rumah
yang tidak kondusif akibat perceraian, orang tua yang sering bertengkar,
menyebabkan anak merasa kurang perhatian dan kasih sayang sehingga sering
kali anak lari dari rumah dan mencari suasana baru yang berbeda di luar
rumah. Hal ini beresiko menjadikan anak-anak terjebak dalam situasi ESKA.
Banyak orang tua yang gagal memberikan pendidikan dan teladan yang baik
untuk anak-anaknya, kesibukan orang tua seringkali menyebabkan mereka
tidak memiliki cukup waktu untuk mengenal anak-anaknya.
Begitu pula dengan lingkungan terdekat anak, seperti teman.
Lingkungan pergaulan yang tidak sehat sangat berdampak buruk bagi anakanak. Anak-anak secara psikis sifatnya itu masih labil, mudah untuk
dipengaruhi. Teman-teman yang mempunyai kebiasaan dan perilaku buruk
sangat mudah untuk ditiru karena seorang anak yang telah merasa cocok
dengan teman atau kelompoknya, akan cenderung mengikuti gaya teman atau
kelompoknya tersebut. Ketika teman-temannya terjerat dalam ESKA bukan
tidak mungkin anak tersebut juga ikut terseret dalam situasi ESKA seperti
yang dialami oleh Anggrek (nama samaran) dapat dilihat dalam catatan
lapangan 2, dimana anak ini terpengaruh oleh teman-temannya dengan
mengkonsumsi miras dan pil dixtro hingga akhirnya berujung pada ESKA.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119
b. Faktor Teknologi Informasi dan Komunikasi
Ketika seorang anak sudah mulai mengenal media informasi dan
komunikasi seperti internet, anak secara tidak langsung beresiko terhadap
ESKA. Anak-anak yang masih memiliki tingkat keingintahuan yang sangat
tinggi akan sangat mudah untuk menjadi korban penyalahgunaan teknologi
informasi dan komunikasi karena anak punya akses yang tak terbatas. Saat ini
layanan internet seperti jejaring sosial facebook mampu membawa dampak
yang negatif bagi anak-anak karena dunia maya menawarkan seribu satu
macam cara untuk melakukan transaksi seksual sampai hubungan seksual
dengan kontrol yang sangat minim atau bisa dibilang tidak ada. Selain itu
modus terbaru yang saat ini banyak digunakan pelaku untuk mencari
korbannya adalah dengan jejaring sosial facebook.
Media lain yaitu televisi, saat ini televisi banyak menampilkan
tayangan yang tidak memiliki nilai edukasi, hal itu akan mempengaruhi anak
untuk bersifat konsumtif terhadap sesuatu yang telah dilihatnya, anak-anak
tersebut disuguhi barang-barang mewah yang hanya dapat mereka lihat tanpa
bisa mereka miliki. Untuk anak-anak yang berasal dari ekonomi menengah
kebawah menimbulkan kecemburuan sosial ketika teman-teman lain
mempunyai barang-barang mewah sedangkan dia tidak. Seperti ketika temantemannya mempunyai handphone mewah, sedangkan dia tidak seperti yang
dialami oleh Melati (nama samaran) dapat dilihat dalam catatan lapangan 3,
Melati merasa sedih karena teman-temannya memiliki hp yang bagus, barang
mewah, naik motor dan sering pamer. Sementara dia merasa tidak punya apaapa dan tidak mungkin menyampaikan itu ke keluarganya. Untuk biaya makan
dan hidup sehari-hari saja orang tuanya harus banting tulang sehingga tidak
mungkin membelikan anak barang-barang mewah. Akhirnya karena kondisi
ekonomi dan sebab-sebab lainnya mendorongnya menjadi pribadi yang mudah
terpengaruh dan ini menjerumuskan dia menjadi korban ESKA.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120
c. Faktor Sosial dan Ekonomi
Dari temuan di lapangan dapat dinyatakan bahwa sebagian besar
anak korban ESKA berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang relatif
rendah. Kondisi ekonomi yang sulit dapat memaksa seseorang untuk memilih
pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tetapi bisa menghasilkan
banyak uang. Selain itu keinginan untuk memiliki barang-barang mewah yang
juga berkaitan erat dengan pengaruh teman dengan kondisi ekonomi yang
tidak memadai memaksa mereka untuk berada pada situasi ESKA. Seperti
halnya yang dialami oleh Mawar (nama samaran) bisa dilihat dalam catatan
lapangan 4, yang mana Mawar ini berkeinginan untuk membantu ekonomi
keluarga dan membeli barang-barang kebutuhan pribadi dengan melakukan
aktivitas ESKA, selain itu karena dia sedih melihat ibunya harus banting
tulang mencari uang sendirian untuk dia, adiknya dan neneknya.
Bahkan sekarang ini banyak anak muda yang juga mempunyai gaya
hidup hedonis hingga memaksa mereka terjun dengan sukarela melakukan
aktivitas ESKA. Anak-anak ini beranggapan bahwa hal tersebut merupakan
jalan termudah untuk mendapatkan uang lebih demi memenuhi kebutuhan
materinya agar bisa membeli barang-barang mewah, seperti handphone dan
sebagainya.
d. Faktor Pengalaman Seksual Dini
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan seksual dini
menjadi salah satu faktor penyebab anak berada pada situasi ESKA. Hal ini
dikarenakan anak sudah terlanjur merasa tidak berharga lagi, malu dan tertipu
maka anak ini meneruskan dengan terjun ke ESKA. Hubungan seksual dini ini
menurut data yang dihimpun di yayasan KAKAK biasanya dilakukan dengan
pacar sebanyak 77,33%. Modus yang sedang tren sekarang ini kedoknya
melalui pacaran tapi terselubung, jadi tidak kelihatan. Seorang anak biasanya
mudah untuk ditipu, banyak anak korban ESKA yang terjerumus dalam ESKA
karena awalnya sudah melakukan aktivitas seksual dengan pacarnya, akhirnya
pacarnya mengkhianati dia, commit
meninggalkan
to user si anak. Anak dengan perasaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121
kecewa dan putus asa, akhirnya malah sekalian menjerumuskan diri ke ESKA,
dengan anggapan bahwa dia merasa sudah tidak berharga lagi, dan dia bisa
menghasilkan uang kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dengan melakukan aktivitas ESKA tersebut.
2. Partisipasi Yayasan “KAKAK” dalam Mencegah Eksploitasi Seksual
Komersial Anak
Yayasan KAKAK dalam menanggulangi ESKA hal utama yang
dilakukan adalah dengan melakukan pencegahan ESKA hal ini bertujuan agar
meminimalkan resiko anak-anak rentan di wilayah yang rentan agar tidak
terjerumus dalam ESKA. Kegiatan pencegahan itu meliputi:
a. Sosialisasi-sosialisasi Pencegahan ESKA
1) Sosialisasi di wilayah
Yayasan KAKAK melakukan sosialisasi pencegahan ESKA dengan fokus
pada wilayah tertentu, yaitu wilayah yang dinilai rentan yang dapat
mempengaruhi perkembangan dan memungkinkan untuk terjadinya
eksploitasi seksual komersial pada anak. Wilayah yang dimaksud yaitu
kelurahan Semanggi dan Jebres. Dalam melakukan sosialisasi di wilayah,
mereka bertemu secara rutin dalam suatu forum meskipun tidak terjadwal,
sosialisasi yang dilakukan yaitu untuk anak sendiri dan dewasa sendiri.
Sosialisasi untuk anak-anak dilakukan melalui peer education dimana
sosialisasi dilakukan oleh teman sebaya, jadi dari anak untuk anak, yang
mana sebelumnya anak-anak yang ditunjuk ini sudah mendapatkan
pengarahan dari yayasan KAKAK. Sedangkan untuk dewasa mereka
membentuk kader-kader, mereka yang ditunjuk menjadi kader inilah yang
akan melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakatnya. Saat ini yayasan
KAKAK juga mulai merintis PPT (Pos Pelayanan Terpadu) di kelurahan
pada masing-masing wilayah, dengan tujuan agar masyarakat mau untuk
ikut serta melakukan penangganan terhadap anak korban kekerasan dan
ESKA di dalam wilayah tersebut.
Selain
commit to
user itu untuk menyukseskan program
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122
Kelurahan Layak Anak (KLA), di wilayah Semanggi dan Jebres. Informasi
yang disampaikan dalam melakukan sosialisasi adalah tentang pengertian
anak, hak dan kewajiban anak, sosialisasi Undang-Undang Perlindungan
Anak, dampak dari ESKA, serta bagaimana cara memerangi ESKA. Jadi
dengan melakukan sosialisasi di wilayah diharapkan semua masyarakat
berpartisipasi dalam upaya perlindungan anak dan mau mencegah praktik
ESKA di lingkungannya.
2) Sosialisasi di sekolah
Sosialisasi pencegahan ESKA juga dilakukan di sekolah, dimana anakanak usia sekolah ini beresiko tinggi terhadap ESKA. Sosialisasi ini juga
difokuskan pada sekolah tertentu, sekolah yang dimaksud adalah SMP N
26 Surakarta dan SMP N 17 Surakarta. Sosialisasi dilakukan oleh guru
kepada murid-murid, yang mana sebelumnya guru ini sudah mendapatkan
training dari yayasan KAKAK, kemudian disosialisasikan kepada seluruh
siswa. Di SMP N 26 Surakarta sosialisasi dilakukan per kelas dengan
membuat jadwal jadi guru berbagi tugas untuk melakukan sosialisasi
kepada siswa, yaitu guru-guru yang sebelumnya ikut training dengan
yayasan KAKAK. Sedangkan di SMP N 17 Surakarta sosialisasi dilakukan
oleh masing-masing wali kelas kepada seluruh siswa per kelasnya. Selain
itu ada juga mading, mading juga sebagai sebagai salah satu media
sosialisasi di sekolah yang bertemakan tentang perlindungan anak maupun
untuk mencegah ESKA. Informasi yang disampaikan dalam sosialisasi di
sekolah sama dengan yang disampaikan di wilayah. Harapannya dengan
melakukan sosialisasi di sekolah praktik ESKA dapat dicegah lebih dini.
b. Kampanye-kampanye Pencegahan ESKA
1) Teater
Pencegahan ESKA juga dilakukan melalui pertunjukkan teater. Teater ini
sebagai salah satu media terapi bagi anak-anak, sekaligus mempunyai tiga
fungsi, yaitu sebagai media pendidikan, media partisipasi bagi anak untuk
berekspresi, sekaligus sebagai
pencegahan ESKA dimana cerita
commitupaya
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123
dalam seni teater ini mempunyai pesan moral agar tersampaikan ke dalam
masyarakat. Teater berisikan kampanye mengenai kegiatan sehari-hari
yang kadang kala terjadi di sekitar kita mengenai hak-hak anak yang
dilanggar dan bagaimana mengatasinya. Kegiatan teater ini melibatkan
anak-anak rentan maupun anak-anak korban ESKA dengan difasilitasi
oleh yayasan KAKAK. Teater biasanya dipertunjukkan ketika ada
peringatan Hari Anak Nasional ataupun ketika ada acara tertentu yang
mengusung tentang kepedulian terhadap anak.
2) Pembuatan film dokumenter
Kegiatan pembuatan film dokumenter melatih anak-anak mengembangkan
media yang ada selain sebagai salah satu media untuk kampanye. Adapun
tema yang diangkat dalam film tersebut memang tidak jauh dari
permasalahan yang muncul dalam kehidupan anak korban eksploitasi
seksual komersial. Dalam proses pembuatan film dokumenter, anak-anak
tidak hanya belajar teorinya saja, tetapi praktek dalam membuat film.
Dalam proses tersebut anak-anak benar-benar langsung berperan sebagai
cameramen, sutradara, dan pemainnya. Dengan mendapatkan pelatihan
dan fasilitas dari yayasan KAKAK. Ternyata dengan kegiatan semacam ini
memberikan banyak pembelajaran untuk anak-anak, bagaimana anak-anak
menjadi lebih berani tampil, percaya diri, dengan kegiatan yang positif dan
bermanfaat untuk menyalurkan bakatnya. Film dokumenter yang dibuat
tersebut kemudian dipertunjukkan dalam lingkungan masyarakat agar
pesan moral dalam film tersebut dapat tersampaikan.
3) Peringatan Hari Anak Nasional
Melalui peringatan Hari Anak Nasional, sebagai salah satu kampanye
pencegahan ESKA. Dengan adanya peringatan Hari Anak Nasional ini
diharapkan dapat menjadi peristiwa yang penting untuk mengugah
kepedulian dan partisipasi dari semua pihak dalam menghormati dan
menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi
anak,
menjamin
semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan
commit to user
perkembangan anak serta menghargai
pendapat anak. Tujuan secara umum
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124
diselenggarakan Hari Anak Nasional adalah untuk meningkatkan
komitmen
semua
pihak
dan
menyebarluaskan
informasi
tentang
pentingnya hak-hak anak pada para pengambil kebijakan, orang tua dan
masyarakat umum. Selain itu untuk mendukung Solo sebagai Kota Layak
Anak. Sampai saat ini yayasan KAKAK bekerjasama dengan pihak-pihak
yang berkepentingan untuk menyelenggarakan peringatan Hari Anak ini,
anak-anak juga sangat antusias ketika diselenggarakan kegiatan semacam
ini. Acara peringatan Hari Anak Nasional biasanya diisi dengan teater,
seni tari, karawitan, karaoke dan masih banyak lagi. Peringatan Hari Anak
ini tentu saja di harapkan bukan hanya sekedar ceremonial atau perayaan
saja yang dilakukan setiap tahunnya, tetapi yang terpenting adalah makna
yang terkandung dan tujuan dari pokok dari peringatan Hari Anak
Nasional itu sendiri.
4) Media massa
Yayasan KAKAK juga melakukan kampanye melalui media massa.
Kampanye yang dilakukan juga melalui media massa yaitu poster, stiker,
iklan layanan masyarakat, surat kabar maupun radio. Hal tersebut untuk
menghimbau masyarakat agar peduli terhadap perlindungan anak. Yayasan
KAKAK juga mempunyai agenda rutin siaran radio setiap hari kamis jam
10.00-11.00 di Radio PTPN. Dengan membahas isu-isu yang berkaitan
dengan kekerasan dan ESKA. Melalui dialog interaktif di radio
masyarakat bisa bertanya persoalan dan isu-isu yang sedang berkembang
di masyarakat. Ada juga buletin yang setiap satu bulan sekali diterbitkan
oleh yayasan KAKAK yang menyajikan berbagai macam informasi yang
diperlukan tentang anak, kekerasan maupun ESKA dengan tema yang
berbeda-beda. Anak-anak juga diberikan kesempatan untuk menyalurkan
hobinya menulis, membuat cerpen maupun puisi dan karyanya akan
dimuat di buletin sahabat. Melalui berbagai media massa ini diharapkan
dapat menjangkau masyarakat secara luas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125
c. Mewujudkan Partisipasi Anak dan Masyarakat Melalui Pendidikan
Komunitas
Partisipasi dari masyarakat maupun anak-anak itu sendiri memang
sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan ESKA karena salah satu prinsip
dari Konvensi Hak Anak yang diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Anak, yang dalam hal ini sebagai
subyek perlu diberi ruang untuk mengorganisir diri, dilibatkan dalam
kampanye-kampanye menentang ESKA, diberi ruang untuk menyampaikan
aspirasinya dan suara mereka untuk dipertimbangkan di dalam pengambilan
keputusan/kebijakan terkait dengan ESKA. Dalam rangka mewujudkan
partisipasi anak, komunitas anak di wilayah Semanggi maupun Jebres
membentuk suatu komunitas anak yang diberi nama Community education
(Comed). Comed ini dilakukan dengan melibatkan pendidik sebaya. Pendidik
sebaya menjadi media anak untuk bisa berpartisipasi dan lebih mudah diterima
informasinya jika dilakukan dalam usia yang sebaya. Tujuan dari kegiatan ini
adalah sebagai upaya pencegahan ESKA di komunitas anak. Dengan demikian
anak-anak dapat melakukan tindakan pencegahan minimal terhadap diri
mereka sendiri dan selanjutnya dapat menyebarkan informasi tersebut kepada
anak lain di sekitarnya. Selain anak-anak juga ada pendidikan komunitas
untuk dewasa, di Semanggi namanya FKAPAS (Forum Komunitas Peduli
Anak Kelurahan Semanggi) merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam
penangganan dan pelayanan kasus kekerasan dan ESKA. Difokuskan juga di
dua wilayah Semanggi dan Jebres. Pesertanya yaitu pekerja layak anak, PKK,
Karang Taruna, perwakilan masyarakat, pekerja kantor kelurahan dan
sebagainya. Kemudian saat ini dimasing-masing kelurahan sudah dirintis yang
namanya PPT (Pos Pelayanan Terpadu) dengan adanya PPT ini diharapkan
masyarakat dapat berperan untuk mencegah, memantau, mengatasi apabila ada
permasalahan terkait anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126
d. Mengadakan Diskusi-diskusi dan Kerjasama dengan Pihak-pihak Terkait
Sangat disadari bahwa masalah ESKA tidak bisa ditangani oleh satu
institusi pemerintah saja. Dibutuhkan koordinasi dan kerjasama yang berada di
bawah pemerintahan kota. Koordinasi dan kerjasama yang dibangun juga
harus melibatkan berbagai komponen masyarakat sipil maupun organisasi
masyarakat dan LSM. Dalam rangka pencegahan ESKA yayasan KAKAK
melakukan
diskusi-diskusi
dengan
pihak-pihak
yang
terkait
dengan
permasalahan ESKA. Diskusi-diskusi yang dilakukan yaitu: diskusi regular
untuk perlindungan anak untuk orang dewasa di dua wilayah, Semanggi dan
Jebres, diskusi regular untuk perlindungan anak untuk anak di dua wilayah,
Semanggi dan Jebres, diskusi berkala untuk monitoring dan upgrading sistem
perlindungan ESKA di sekolah maupun di wilayah, dan diskusi tingkat kota
dengan pihak-pihak terkait atau stakeholder.
Sebagai bentuk sistem perlindungan anak yang ada di kota Solo
untuk penanganan ESKA yayasan KAKAK berkoordinasi dengan lembagalembaga yang memberikan penanganan, bersentuhan langsung dengan isu
ESKA. Yayasan KAKAK juga melakukan kerjasama melalui workshop dan
kelompok diskusi dengan pihak-pihak terkait misalnya Dinas Kesehatan,
Bapermas, Baperda, Denkominfo, Kemenag, Dinsosnaker, Kepolisian dan
sebagainya, selain itu juga melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepada lapisan masyarakat, dengan
tujuan agar masyarakat lebih memperhatikan kesejahteraan anak dan tidak
membiarkan anak-anak terjebak dalam situasi ESKA maupun mencegah anakanak agar tidak menjadi korban dari pihak-pihak tertentu yang menjadikan
anak-anak sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Selain itu di kota Solo
dengan adanya PTPAS (Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota
Surakarta) diharapkan isu ESKA ini bisa masuk dan mampu ditangani
bersama-sama oleh pihak-pihak terkait. Saat ini PTPAS memang menyediakan
banyak fasilitas untuk memberikan pelayanan bagi korban meliputi: Pelayanan
Medis, Pelayanan Konseling, Pelayanan Hukum, Pelayanan Rehabilitasi,
commit to user
Rumah Aman/shelter.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127
e. Advokasi Kebijakan
Salah satu upaya yang dilakukan yayasan KAKAK dalam
menghapuskan ESKA adalah melalui advokasi kebijakan. Strategi-strategi
advokasi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dan meningkatkan
kesadaran masyarakat
akan berpengaruh dalam melindungi anak-anak.
Advokasi akan mengarahkan pemerintah untuk mengambil langkah penting
untuk melakukan penghapusan segala bentuk ESKA serta perlindungan anak.
Salah satu yang dilakukan Yayasan KAKAK kaitannya dengan advokasi
kebijakan,
yayasan
KAKAK
mencoba
mengkaji
ulang
PERDA
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Nomor 3 Tahun 2006. Selain
mengkaji ulang PERDA yang ingin dilakukan yayasan KAKAK juga
memantau lebih lanjut tentang Rencana Aksi Kota yang rencananya akan
dibuat oleh pemerintah Kota Surakarta. Sebenarnya yang berkewajiban
mengatasi persoalan seputar eksploitasi seksual komersial terhadap anak
adalah negara. Negara juga tidak mungkin mengatasi persoalan tersebut
sendiri tetapi harus didukung oleh masyarakat, keluarga dan orang tua. Di
Surakarta, pemerintah kota sudah membuat beberapa hal untuk mengatasi
persoalan tersebut. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Kota Surakarta
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial.
Akan tetapi dalam PERDA tersebut tidak memuat hal-hal yang khusus tentang
anak, di mana kebutuhan untuk anak sangat berbeda dan lebih spesifik
sehingga membutuhkan perlakuan khusus dan berbeda dengan orang dewasa.
Hal lain yang sudah dilakukan yaitu adanya Rencana Aksi Kota Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak, tetapi saat ini belum bisa
menjawab kebutuhan anak secara khusus. Dalam melakukan advokasi
kebijakan yayasan KAKAK berkoordinasi dengan KIPAS (Komite Indipenden
Perlindungan Perempuan dan Anak Surakarta) jadi KIPAS ini bertugas untuk
melihat lebih dalam lagi kebijakan di kota Solo yang berkaitan dengan anak.
Dengan berkoordinasi dengan KIPAS yayasan KAKAK mempunyai ruang
untuk menyampaikan aspirasinya untuk dapat dipertimbangkan di dalam
commit
to useryang terkait dengan ESKA.
mengambil keputusan/kebijakan
pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128
3. Hambatan yang Dihadapi Yayasan “KAKAK” dalam Mencegah
Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Yayasan KAKAK dalam upaya melaksanakan program pencegahan
ESKA mengalami beberapa hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan yang
dihadapi oleh yayasan KAKAK dalam mencegah eksploitasi seksual komersial
anak adalah sebagai berikut:
a. Hambatan Internal
Dalam
urusan
internalnya
yayasan
KAKAK
mempunyai
keterbatasan sumber daya manusia serta dengan jangkauan wilayah kerja yang
sangat luas yaitu di Eks Karisidenan Surakarta. Banyak anak korban kekerasan
seksual dan ESKA yang memang membutuhkan pendampingan sedangkan
jumlah sumber daya manusia dari yayasan KAKAK sendiri juga terbatas,
padahal pendampingan harus dilakukan secara intens. Hambatan yang lain
yaitu sering kali terjadi perubahan kepengurusan dari yayasan KAKAK,
dimana terjadi kekosongan pengurus untuk fokus dalam program tertentu.
Selain itu kurangnya pengalaman dari sumber daya manusia yayasan KAKAK
karena sering kali
terjadi perubahan kepengurusan dan perekrutan
anggota/staff baru.
b. Hambatan Eksternal
1) Dari masyarakat
Hambatan di masyarakat yaitu masyarakat belum tergerak untuk
mengambil bagian dalam upaya pencegahan ESKA, karena kurangnya
kepedulian masyarakat terhadap perlindungan anak. Masyarakat juga
kurang peka terhadap lingkungan wilayahnya, sensitivitas mereka terhadap
permasalahan anak yang terjadi di lingkungan mereka masih kurang. Hal
ini karena perspektif anak sebagai korban dalam kasus ESKA masih
sangat sulit diterima masyarakat secara umum. Stigma negatif dan
diskriminasi terhadap anak korban sangat melekat sehingga masih
menganggap anak sebagai pelaku. Selama ini yayasan KAKAK sudah
commit to user
berupaya agar masyarakat lebih aware bahwa ESKA harus diperangi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129
bersama dengan melakukan diskusi maupun pertemuan, tapi hal tersebut
juga masih kurang.
2) Dari anak
Hambatan dari anak korban, bahwa ada banyak persoalan yang membuat
anak terjerumus dan tetap bertahan dalam dunia ESKA seperti prostitusi,
sehingga cukup sulit untuk menumbuhkan kesadaran akan resiko dari
aktivitas seksual yang anak lakukan. Apalagi ketika anak korban tersebut
tidak sadar bahwa dia adalah korban, dan bersikeras dia bukan korban itu
malah akan sulit ia keluar dari ESKA karena tidak bisa dipaksa. Selain itu
anak-anak korban ESKA mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Terkadang tempat tinggal korban juga berpindah-pindah sehingga
menyulitkan untuk dilakukan pendampingan secara intens. Untuk anak di
wilayah rentan hambatan yang ada adalah berkaitan dengan waktu mereka
yang bertabrakan dengan jam belajar. Selain itu anak-anak juga kurang
paham tentang materi yang disampaikan sehingga ketika dilakukan
sosialisasi anak-anak belum bisa sepenuhnya menyerap informasi yang
diberikan karena yang menyampaikan itu adalah teman sebaya. Bahkan
anak-anak yang datang dalam pertemuan sering berganti-ganti kadang juga
tidak mengikuti kegiatan.
3) Dari keluarga
Keluarga merupakan kelompok terdekat anak, dimana anak membutuhkan
perlindungan dan kasih sayang serta dukungan moril yang besar dari
dalam keluarga. Dalam keluarga yang anaknya menjadi korban ESKA
sering kali terjadi keberadaan anak di dalam keluarga, karena stigma
negatif yang diberikan dan perspektif yang memandang anak bukan
sebagai korban, keluarga cenderung menyalahkan dan tidak memaafkan
korban, bahkan ada unsur penolakan dengan membuang si anak atau tidak
mengakui sebagai anak lagi. Sehingga anak sulit untuk keluar dari ESKA
dan tetap bertahan di situ. Begitu pula keluarga yang tidak harmonis,
keluarga dalam wilayah rentan dengan ekonomi menengah kebawah yang
commit
to user pendidikan bagi anak-anaknya,
tidak begitu peduli terhadap
pentingnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130
cenderung acuh dan tidak mau tahu. Sehingga anak merasa kurang
perhatian dan kasih sayang. Hal ini yang menjadi hambatan ketika orang
tuanya sendiri kurang peduli terhadap hak-hak anaknya.
4) Dari pihak-pihak terkait
Ketika yayasan KAKAK berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak lain
baik instansi pemerintah maupun organisasi non pemerintah dalam upaya
penanggulangan ESKA, sering kali terjadi perbedaan pendapat ketika
sedang diskusi membahas permasalahan anak, selain itu dari pihak mereka
sering berganti-ganti orang ketika diadakan pertemuan. Padahal perlu
kerjasama yang baik dari semua pihak agar tujuan itu dapat tercapai salah
satunya dengan menempatkan anak sebagai “korban” bukan sebagai
“pelaku”. Selain itu hambatan lain adalah tidak tegasnya aparat kepolisian
dalam menindak pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku
eksploitasi seksual komersial terhadap anak sehingga masih banyak anak
yang menjadi korban.
5) Dari sekolah
Ketika yayasan KAKAK melakukan pencegahan ESKA di sekolah
hambatan yang dihadapi adalah bagaimana membentuk persepsi guru
tentang pentingnya perlindungan anak, sehingga di sekolah pun hak-hak
anak itu perlu dijaga dan dilindungi terutama hak untuk mendapatkan
pendidikan tanpa diskriminasi. Selain itu masih kurangnya respon dari
guru-guru terhadap kegiatan-kegiatan yang mendukung pencegahan
ESKA, seperti peringatan Hari Anak Nasional. Hambatan yang lain yaitu
ketika advokasi kebijakan di sekolah, kebijakan yang berpihak kepada
anak, ketika seorang anak menjadi korban ESKA, agar tidak mendapatkan
perlakuan diskriminatif. Hal ini karena keberadaan anak korban eksploitasi
seksual komersial di sekolah berbeda sekali perlakuannya. Bahkan,
diskriminasi yang diberikan kepada anak korban semakin besar karena
anak tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lagi
karena harus keluar dari sekolah. Nama baik sekolah, norma dan tata tertib
user memberikan punishment kepada
yang menjadi acuan bagi commit
sekolahtoketika
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131
anak. Dalam kenyataannya anak korban justru mendapatkan perlakuan
yang sangat diskriminatif, misalkan diperolok di depan kelas atau di
lingkungan sekolah, atau bahkan sampai anak dikeluarkan dari sekolah.
Tentu saja hal ini membawa pengaruh negatif karena posisi anak akan
semakin menjadi korban, tidak mendapatkan kesempatan memperoleh
pendidikan karena masuk ke sekolah lainpun akan kesulitan akibat stigma
yang sudah melekat pada diri anak. Hal ini menjadi hambatan ketika dari
dinas pendidikan pun tidak mengambil kebijakan terkait perlindungan
anak untuk mendapatkan akses pendidikan tanpa diskriminasi ketika anak
menjadi korban kekerasan seksual maupun ESKA.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan di lapangan dan analisis
yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik suatu kesimpulan guna
menjawab perumusan masalah. Adapun kesimpulan peneliti adalah sebagai
berikut :
1. Faktor-faktor yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual
komersial
a. Faktor keluarga dan teman
b. Faktor teknologi informasi dan komunikasi
c. Faktor sosial ekonomi
d. Faktor pengalaman seksual dini
2. Partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial
anak
Yayasan KAKAK berpartisipasi dalam mencegah eksploitasi seksual
komersial anak dengan melakukan kegiatan meliputi:
a. Sosialisasi-sosialisasi pencegahan ESKA
1) Sosialisasi di wilayah
2) Sosialisasi di sekolah
b. Kampanye-Kampanye Pencegahan ESKA, melalui :
1) Teater
2) Pembuatan film dokumenter
3) Peringatan Hari Anak Nasional
4) Media massa
c. Mewujudkan partisipasi anak dan masyarakat melalui pendidikan
komunitas
d. Mengadakan diskusi-diskusi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait
e. Advokasi kebijakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133
3. Hambatan yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi
seksual komersial anak
Yayasan KAKAK dalam upaya melaksanakan program pencegahan
ESKA mengalami beberapa hambatan-hambatan.
a. Hambatan internal: yaitu karena terbatasnya sumber daya manusia yang
ada di yayasan KAKAK.
b. Hambatan eksternal
1) Dari masyarakat: masyarakat kurang peduli terhadap perlindungan
anak, mereka belum bisa tergerak untuk melakukan pencegahan
ESKA.
2) Dari anak: ketika melakukan sosialisasi di wilayah sering kali
bertabrakan dengan jam pelajaran, selain itu banyak anak-anak yang
belum paham pentingnya informasi mengenai ESKA.
3) Dari keluarga: masih terdapatnya keluarga atau orang tua dari tingkat
ekonomi menengah kebawah yang cenderung kurang peduli terhadap
pentingnya pendidikan dan perlindungan bagi anak-anaknya.
4) Dari pihak-pihak terkait: sering kali terjadi perbedaan pendapat ketika
sedang diskusi membahas permasalahan anak, selain itu tidak tegasnya
aparat kepolisian dalam menindak pelaku kekerasan seksual terhadap
anak dan pelaku eksploitasi seksual komersial terhadap anak.
5) Dari sekolah: hambatannya adalah bagaimana membentuk persepsi
guru tentang pentingnya perlindungan anak, karena sebagian guru
masih kurang memberikan respon terhadap upaya pencegahan ESKA
di sekolah.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka implikasi yang ditimbulkan adalah
sebagai berikut :
1. Anak-anak bisa berada pada situasi eksploitasi seksual komersial karena
beberapa faktor, dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134
seorang anak dapat menjadi korban tersebut, sekiranya dapat menghindarkan
anak dari jeratan eksploitasi seksual komersial anak.
2. Partisipasi dari warga negara sangat dibutuhkan dalam mencegah eksploitasi
seksual komersial anak, yayasan KAKAK mewujudkannya dengan melakukan
kegiatan-kegiatan yang diperlukan, karena mencegah merupakan langkah awal
yang penting. Sosialisasi, kampanye mengenai ESKA ke berbagai elemen
masyarakat termasuk wilayah-wilayah rentan menjadi langkah untuk
meningkatkan kewaspadaan masyarakat untuk melindungi anak-anak mereka.
Yang paling penting dalam mewujudkan partisipasi warga negara adalah
dengan melakukan advokasi kebijakan, melalui aspirasi dan suara yang
mereka sampaikan, sebagai kajian pemerintah dalam mengambil suatu
kebijakan untuk melindungi anak-anak dari ESKA.
3. Dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak tentu akan ada hambatan
yang akan dihadapi, kerjasama dan koordinasi dari semua pihak, pemerintah,
masyarakat maupun pihak-pihak lain sangat diperlukan. Apabila semua pihak
dapat tergerak maka hambatan tersebut dapat teratasi.
C. Saran
1. Bagi Pemerintah
Melakukan langkah-langkah perlindungan dengan menekankan pada upaya
mengharmonisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang berperspektif
(hak) anak, memperkuat dan melaksanakan Undang-Undang ataupun
kebijakan-kebijakan, dengan menempatkan anak sebagai “korban” bukan
sebagai “pelaku”.
2. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Non Pemerintah
Meningkatkan kerjasama dengan membentuk jaringan yang melibatkan
organisasi pemerintah maupun non pemerintah dalam mencegah eksploitasi
seksual komersial anak (ESKA) dengan memperhatikan dan melindungi hakhak anak baik yang belum menjadi korban maupun yang telah menjadi
korban.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135
3. Bagi Aparat yang Berwenang
Pihak kepolisian harus bersikap pro-aktif untuk mengidentifikasi para pelaku
atau jaringan-jaringan ESKA dan melakukan tindakan hukum agar para pelaku
ESKA dihukum berat. Penjeratan hukuman yang berat bagi para pelaku
kejahatan ESKA dapat menjadi pemicu untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat agar dapat menghindari sebagai pelaku.
4. Bagi yayasan KAKAK
Yayasan KAKAK perlu merekrut tenaga PAUD dalam mendidik anak-anak
untuk mensosialisasikan informasi mengenai ESKA, dengan harapan agar
informasinya lebih mudah diterima oleh anak-anak.
5. Bagi Masyarakat
Untuk masyarakat pada umumnya, pemberian stigma negatif terhadap anak
korban eksploitasi seksual harus dihindarkan dan mengajak masyarakat untuk
bisa menerima kembali keberadaan mereka sehingga mereka mendapatkan
lingkungan yang kondusif untuk melanjutkan tumbuh kembangnya. Tentunya
hal tersebut membutuhkan peran dari tokoh masyarakat dan tokoh agama yang
mempunyai pengaruh besar untuk mengajak masyarakat agar lebih peduli.
Perlu dibangun kesadaran masyarakat untuk melaporkan dan memberikan
informasi kepada pihak terkait bila mengetahui ada praktik ESKA.
6. Bagi Orang tua
Perlu peningkatan ketahanan sosial sebagai upaya preventif dalam
menanggani masalah eksploitasi seksual komersial anak, antara lain dengan
penguatan peran dan fungsi keluarga melalui peran orang tua dalam
melindungi dan mengawasi anak-anak mereka. Orang tua harus memberikan
rasa aman dan kasih sayang terhadap anak-anaknya, menjamin tumbuh
kembang anak, serta menumbuhkan kesadaran pentingnya pendidikan bagi
anak-anaknya.
7. Bagi Sekolah-Sekolah
Perlu menggunakan metode pembelajaran portofolio bagi siswa-siswa
SMP/SMA dalam menyampaikan masukan pada pemerintah daerah, sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136
upaya untuk memperbaiki peraturan daerah atau kebijakan lainnya di Kota
Surakarta.
8. Bagi Anak
Perlunya membangun kesadaran anak terhadap hak-haknya yang harus
dilindungi melalui pendidikan formal di sekolah dan sosialisasi di masyarakat.
Serta memberikan ruang partisipasi anak untuk mengembangkan potensi diri,
serta melibatkan anak dalam kampanye-kampanye pencegahan eksploitasi
seksual komersial anak.
9. Bagi Peneliti lebih lanjut
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengelolaan dana yang
diperoleh yayasan KAKAK dengan harapan agar dapat memberikan imbalan
yang pantas terhadap para pendamping di yayasan KAKAK. Selain itu supaya
memotivasi bagi para pendamping dalam melakukan tugas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Sarah., Meuwese, Stan., Wolthuis, Annemieke. 2000. “Policies and
Developments Relating to the Sexual Exploitation of Children: The
Legacy of the Stockholm Conference”. European Journal on Criminal
Policy and Research. Amsterdam. December. Vol 8; Edisi 4; pg 479
Arist Merdeka Sirait. 2010. Eksploitasi Seksual Komersial Mengintai Anak Kita.
http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pidana/648-eksploitasiseksual-komersial-mengintai-anak-kita.html diakses 29 April 2011
Buletin Sahabat Kakak. 2010. Mei Edisi 01. Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
Surakarta: Yayasan KAKAK atas dukungan Terre’ des homes Netherland
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara
Delaney, Stephanie (ECPAT Internasional). 2006. Melindungi Anak-anak Dari
Eksploitasi Seksual Dalam Situasi Bencana & Gawat Darurat.
Penerjemah ECPAT Indonesia dan Ramlan. Medan: Kelompok ECPAT
Di Indonesia (Koalisi Penghapusan ESKA)
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke
3). Jakarta: Balai Pustaka
ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional. 2006. Tanya &
Jawab Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Penerjemah Ramlan.
ECPAT Indonesia
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi. Yogyakarta: Kanisius
Indra Bastian. 2007. Akuntansi Yayasan dan Lembaga Publik. Jakarta: Erlangga
Irwanto, dkk. 2008. Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap
Anak. Medan: Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak
Kartini Kartono. 2005. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif.
Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138
Moehar Daniel. 2006. PRA Participatory Rural Appraisal Pendekatan Efektif
Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya
Percepatan Pembangunan Pertanian. Jakarta: PT Bumi Aksara
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Rosdakarya
Neng Djubaedah. 2003. Pornografi & Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam.
Bogor: Kencana
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan
Eksploitasi Seksual Komersial
Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, dkk. 2008. Eksploitasi
Seksual Komersial Anak di Indonesia. Medan: Koalisi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Anak
Sobirin Malian dan Suparman Marzuki. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan dan
Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: UII Press
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sutopo H.B. 2002. Metodologi Penelitian. Surakarta: UNS Press
2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press
Taliziduhu Ndraha. 1990. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat
Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta
Totok Mardikanto. 1988. Komunikasi Pembangunan. Surakarta: UNS PRESS
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139
Willis, Brian. M., Levy, Barry. S., 2002. “Child prostitution: Global health
burden, research needs, and interventions”. The Lancet. London. April
20. Vol. 359, Edisi 9315; pg. 1417, 6 pgs.
Winarno dan Wijianto. 2010. Ilmu Kewarganegaraan dalam Konteks Pendidikan
Kewarganegaraan (IKn-PKn). Surakarta: Laboratorium Program Studi
PPkn FKIP UNS dengan UNS Press
commit to user
Download