perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta) Skripsi Oleh: DEWI DAMAYANTI NIM K6407020 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta) Oleh: DEWI DAMAYANTI NIM: K6407020 SKRIPSI Ditulis dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSETUJUAN commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Dewi Damayanti. PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial, 2) Bagaimana partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak, 3) Hambatan apa yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif. Strategi penelitiannya menggunakan strategi tunggal terpancang. Sumber data diperoleh dari informan, peristiwa/aktivitas serta dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara, observasi dan analisis dokumen. Untuk memperoleh validitas data dalam penelitian ini digunakan trianggulasi data. Sedangkan teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) penyajian data, 4) penarikan kesimpulan/verifikasi. Adapun prosedur penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) tahap persiapan, 2) tahap pengumpulan data, 3) tahap analisis data, 4) tahap penyusunan laporan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Faktorfaktor yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial yaitu: Faktor keluarga dan teman, Faktor teknologi informasi dan komunikasi, Faktor sosial ekonomi, Faktor pengalaman seksual dini. 2) Yayasan KAKAK berpartisipasi dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak meliputi: a) Sosialisasi-sosialisasi pencegahan ESKA, b) Kampanye-Kampanye Pencegahan ESKA, c) Mewujudkan partisipasi anak dan masyarakat melalui pendidikan komunitas, d) Mengadakan diskusidiskusi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, e) Advokasi kebijakan. 3) Hambatan yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak yaitu: a) Hambatan internal: terbatasnya sumber daya manusia di yayasan KAKAK, b) Hambatan eksternal: (1) Dari masyarakat: masyarakat belum bisa tergerak untuk melakukan pencegahan ESKA. (2) Dari anak: ketika melakukan sosialisasi di wilayah sering kali bertabrakan dengan jam pelajaran. (3) Dari keluarga: masih terdapatnya keluarga dari tingkat ekonomi menengah kebawah yang kurang peduli terhadap pentingnya pendidikan dan perlindungan bagi anak-anaknya. (4) Dari pihak-pihak terkait: sering kali terjadi perbedaan pendapat ketika sedang diskusi permasalahan anak. (5) Dari sekolah: sulitnya membentuk persepsi guru tentang pentingnya perlindungan anak, sebagai upaya pencegahan ESKA di sekolah. commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Dewi Damayanti. THE PREVENTION OF COMMERCIAL SEXUAL EXPLOITATION AGAINST CHILDREN (A Study on the Participation of “KAKAK” Foundation in Surakarta). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, 2011. The objectives of research are to find out: (1) the factors leading the children to the situation of commercial sexual exploitation, (2) how the participation of “KAKAK” foundation is in preventing the commercial sexual exploitation against children, and (3) the obstacle the “KAKAK” foundation faces in preventing the commercial sexual exploitation against children. This research employed a descriptive qualitative method. The research strategy used was a single embedded strategy. The data source derived from informant, event/activity as well as document. The sampling technique used was purposive sampling. Technique of collecting data used interview, observation and document analysis. Data triangulation was used to validate the data of research. Meanwhile the technique of analyzing data used was an interactive model of analysis with the following steps: 1) data collection, 2) data reduction, 3) data display, and 4) conclusion drawing/verification. The procedure of research included: 1) preparation, 2) data collection, 3) data analysis, and 4) research report writing. Considering the result of research, it can be concluded that: 1) the factors leading the children to the situation of commercial sexual exploitation include: family and friend, information and communication technology, social economic, and earlier sexual experience factors. 2) KAKAK foundation participates in preventing the commercial sexual exploitation against children against children as: a) socializations about the prevention of commercial sexual exploitation against children (ESKA) b) campaigns of sexual exploitation against children (ESKA) prevention c) Manifesting the children’s and society’s participation through community education, d) Holding discussions and cooperation with the related parties, and e) policy advocacy. 3) The obstacles the “KAKAK” foundation faces in preventing the commercial sexual exploitation against children include: a) internal obstacles: limited human resource in KAKAK foundation, b) external obstacles: (1) From society: the society have not been motivated to prevent sexual exploitation against children (ESKA). (2) From children: the schedule of socialization in the region is frequently coincided with the lesson schedule. (3) From family: some families or parents come from lower-middle economic level that tend to be less aware of the importance of education and protection for their children. (4) From the related parties: some different opinions frequently arise during discussion about the children problems. (5) From school: difficulty create the teachers’ perception on the importance of children protection, as preventing sexual exploitation against children (ESKA) at school. commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO “Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia akan belajar kebenaran dan keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia akan belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia akan belajar menemukan cinta dalam kehidupan” (Dorothy Law Nolte) “Berani berkata tidak. Berani menghadapi kebenaran. Kerjakan sesuatu yang benar karena itu benar. Ini adalah kunci untuk hidup dengan integritas” (W. Clement Stone) “Hanya mereka-mereka yang sabar mengerjakan hal-hal yang sederhana dengan sempurnalah yang akan meraih keterampilan yang dibutuhkan untuk mengerjakan hal-hal sulit dengan mudah” (Friedrich Schiller) “Bahkan suatu kesalahan dapat berubah menjadi suatu hal yang perlu untuk suatu kemajuan yang bermanfaat” (Henry Ford) commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Teriring rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi yang tersusun dengan penuh kesungguhan ini, penulis persembahkan kepada : 1. Ibu dan Bapak tercinta atas doanya 2. De’ Oka yang tersayang 3. Happy Oktavian atas semangatnya 4. Teman-teman FKIP PPKn angkatan 2007 5. Almamater commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kendala yang timbul dapat teratasi, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Furqon Hidayatullah, M.Pd; Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini. 2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd; Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyetujui ijin atas permohonan penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Sri Haryati, M.Pd; Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini. 4. Prof. Dr. Sri Jutmini, M.Pd; Pembimbing I yang telah memberikan persetujuan, pengarahan, bimbingan dan petunjuk serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dr. Triyanto, S.H, M.Hum; Pembimbing II yang tiada henti-hentinya memberikan pengarahan, dorongan, motivasi, bimbingan teknis dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu Kewarganegaraan Dosen Program Studi Pendidikan yang telah memberikan bekal dan pengetahuan untuk penyusunan skripsi ini. 7. Direktur serta segenap staff di Yayasan KAKAK Surakarta. commit to user ix Pancasila perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha dengan mencurahkan segala kemampuan dengan harapan agar memenuhi persyaratan sebagai suatu karya ilmiah yang bermanfaat. Namun mengingat adanya keterbatasan pengetahuan, penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam skripsi ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Surakarta, September 2011 Penulis commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................ ii HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iv HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. v HALAMAN ABSTRACT ................................................................................ vi HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii KATA PENGANTAR .................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii BAB I BAB II PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................. 8 C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ................................................................... 8 LANDASAN TEORI ..................................................................... 10 A. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 10 1. Anak .................................................................................... 10 a. Pengertian Anak .............................................................. 10 b. Hak dan Kewajiban Anak ............................................... 12 2. Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak .............. 14 a. Pencegahan ..................................................................... 14 b. Eksploitasi ...................................................................... 15 c. Eksploitasi Seksual ........................................................ 16 commitKomersial to user ....................................... 17 d. Eksploitasi Seksual xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id e. Eksploitasi Seksual Komersial Anak ............................. 18 f. Bentuk-bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak ..... 21 g. Pelaku Seks terhadap Anak ............................................ 30 h. Faktor-faktor Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak ............................................. 32 i. Anak-anak yang Rentan terhadap Eksploitasi Seksual Komersial ....................................................................... 33 j. Faktor-faktor yang Membuat Anak Menjadi Rentan ..... 34 k. Dampak Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak 40 3. Partisipasi ............................................................................ 42 a. Pengertian Partisipasi ..................................................... 42 b. Arti Penting Partisipasi Warga Negara ........................ 45 4. Yayasan ............................................................................... 48 a. Pengertian Yayasan ........................................................ 49 b. Tujuan Yayasan .............................................................. 49 c. Struktur Organisasi Yayasan .......................................... 52 d. Kedudukan Hukum Yayasan dalam Sistem Hukum Indonesia ......................................................................... 52 B. Kerangka Berpikir ................................................................... 54 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 55 A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 55 1. Tempat Penelitian ................................................................ 55 2. Waktu Penelitian ................................................................. 55 B. Bentuk dan Strategi Penelitian ................................................ 56 1. Bentuk Penelitian ................................................................. 56 2. Strategi Penelitian ................................................................ 56 C. Sumber Data ............................................................................ 57 1. Informan ............................................................................. 58 2. Peristiwa atau Aktivitas ..................................................... 59 commit to user 3. Dokumen ............................................................................ 59 xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id D. Teknik Sampling ..................................................................... 59 E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 60 1. Wawancara ......................................................................... 61 2. Observasi ............................................................................ 61 3. Analisis Dokumen .............................................................. 62 F. Validitas Data .......................................................................... 62 G. Analisis Data ........................................................................... 63 1. Pengumpulan Data .............................................................. 64 2. Reduksi Data ...................................................................... 64 3. Penyajian Data .................................................................... 64 4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi ............................... 64 H. Prosedur Penelitian .................................................................. 65 1. Persiapan ............................................................................. 66 2. Pengumpulan Data .............................................................. 66 3. Analisis Data ...................................................................... 66 4. Penyusunan Laporan Penelitian ......................................... 66 BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 67 A. Deskripsi Lokasi Penelitian ..................................................... 67 1. Sejarah Berdirinya Yayasan KAKAK ................................ 67 2. Visi dan Misi Yayasan KAKAK ........................................ 68 3. Tujuan, Mandat dan Peran Strategis Yayasan KAKAK...... 69 4. Susunan Organisasi Yayasan KAKAK .............................. 70 B. Deskripsi Hasil Penelitian ....................................................... 71 1. Gambaran Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Surakarta ............................................................... 71 2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Berada Pada Situasi Eksploitasi Seksual Komersial ............................... 76 3. Partisipasi Yayasan KAKAK dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak .................................................... 83 commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4. Hambatan yang Dihadapi Yayasan KAKAK dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak ................ 102 C. Temuan Studi .......................................................................... 108 D. Pembahasan ............................................................................. 118 1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Berada Pada Situasi Eksploitasi Seksual Komersial ............................... 118 2. Partisipasi Yayasan KAKAK dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak .................................................... 121 3. Hambatan yang Dihadapi Yayasan KAKAK dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak ................ 128 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ............................... 132 A. Kesimpulan .............................................................................. 132 B. Implikasi .................................................................................. 133 C. Saran ........................................................................................ 134 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 137 LAMPIRAN .................................................................................................... 140 commit to user xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian ................................................................ 55 Tabel 2. Susunan Organisasi Yayasan KAKAK ............................................. 70 Tabel 3. Jumlah dan Asal Anak Korban ESKA di Surakarta .......................... 72 Tabel 4. Kategori ESKA .................................................................................. 73 Tabel 5. Jenis Kelamin Anak Korban ESKA di Surakarta .............................. 74 Tabel 6. Usia Anak Korban ESKA di Surakarta .............................................. 75 Tabel 7. Tingkat Pendidikan Anak Korban ESKA di Surakarta ...................... 76 Tabel 8. Faktor Pendorong Anak Terjerumus ESKA ...................................... 81 commit to user xv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka Berfikir ........................................................................... 54 Gambar 2. Analisis Data Model Interaktif ....................................................... 65 commit to user xvi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data Situasi ESKA ................................................................... 140 Lampiran 2. Bentuk Kegiatan Yayasan KAKAK di Sekolah dan Wilayah . 141 Lampiran 3. Catatan Lapangan ..................................................................... 142 Lampiran 4. Panduan Wawancara ................................................................ 217 Lampiran 5. Panduan Pengamatan ............................................................... 221 Lampiran 6. Foto Kegiatan Penelitian .......................................................... 222 Lampiran 7. Trianggulasi Data ..................................................................... 225 Lampiran 8. Materi Sosialisasi tentang Kekerasan dan ESKA .................... 228 Lampiran 9. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi kepada Dekan FKIP UNS ................................................................................ 233 Lampiran 10. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS tentang Ijin Penyusunan Skripsi ...................................................................................... 234 Lampiran 11. Surat Permohonan Ijin Research/Try Out kepada Rektor UNS . 235 Lampiran 12. Surat Permohonan Ijin Research/Try Out kepada Pimpinan Yayasan KAKAK Surakarta .................................................... 236 Lampiran 13. Permohonan Surat Pengantar Ijin Penelitian kepada Walikota Surakarta .................................................................................. 237 Lampiran 14. Surat Keterangan Penelitian dari Yayasan KAKAK Surakarta 238 commit to user xvii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak-anak adalah masa depan, bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat, bangsa dan negaranya. Mereka adalah masa depan kemanusiaan. Dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak Tahun 1989. Anak-anak sebagai harapan dan penerus generasi bangsa, perlu mendapatkan perhatian yang maksimal baik dari masyarakat maupun dari pemerintah. Sebagai harapan bangsa, maka kesejahteraan anak harus ditingkatkan dan mendapatkan perhatian yang lebih agar mereka dapat menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas. Anak merupakan tumpuan bangsa, negara, masyarakat dan juga keluarga, sehingga harus diperlakukan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya. Namun kenyataan yang terjadi, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak masih sangat rendah, terbukti dengan masih banyak anak-anak yang terjerat dalam komersialisasi seksual orang-orang dewasa di sekitar mereka. Nasib anakanak negeri ini sudah semakin parah, mereka dijerumuskan oleh berbagai pihak dan masuk dalam situasi eksploitasi seksual komersial. Ekspoitasi Seksual Komersial Anak yang selanjutnya disingkat ESKA merupakan kejahatan yang menimpa anak-anak. Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm, Swedia Tahun 1996 untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak mendefinisikan ESKA sebagai: Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anakcommit tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek to user seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual Komersial Anak 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2 merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. (End Child Prostitution In Asia Tourism Internasional, 2006: 4) Bentuk-bentuk ESKA yang utama dijumpai adalah pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Menurut laporan situasi anak dan perempuan (UNICEF 2000), anak dibawah usia 18 tahun yang tereksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai 40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center, pada tahun 2000, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung ataupun yang "terdaftar". Sementara itu, menurut M. Farid (2000), memperkirakan 30 % dari penghuni rumah bordil di Indonesia adalah perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan 200-300 ribu anak-anak. Di Malaysia dilaporkan terdapat 6.750 pekerja seks komersial (PSK) dan 62,7 % dari jumlah PSK tersebut berasal dari Indonesia atau sekitar 4.200 orang dan 40% dari jumlah tersebut adalah anak-anak berusia antara 14-17 tahun. (Arist Merdeka Sirait:2010, http://www.djpp.depkumham.go.id) Laporan ini kembali diperkuat oleh International Labour Organisation (ILO) “pada tahun 2004, dimana ada sekitar 7452 anak-anak di kawasan Pulau Jawa seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan sekitar 14.000 anak-anak di kawasan Jakarta dan Jawa Barat, yang melakukan aktivitas seksual komersial”. (Irwanto dkk, 2008:5) Anak yang berada pada situasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) mengalami situasi yang merugikan mereka, sehingga mereka disebut korban. Mereka mengalami penyiksaan, pemukulan, pelecehan seksual yang tidak berperikemanusiaan oleh klien, mucikari, dan germo. Dampaknya ke anak adalah berupa kerugian secara fisik, seperti terjangkit penyakit seksual dan HIV&AIDS. Selain itu tekanan psikologis seperti trauma, stres, bahkan ingin bunuh diri. Eksploitasi seksual komersial pada anak, seperti menjadikan anak sebagai pelacur selain menghina martabat manusia juga menodai hak asasi manusia. Dalam hal ini menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 59 menegaskan bahwa: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan commit to user hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3 seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya wajib melindungi anak-anak yang menjadi korban dari berbagai tindakan dan situasi yang disebutkan di atas. Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB mengenai hak-hak anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang menjadi momentum penting dalam upaya-upaya pemerintah dan masyarakat madani dalam melindungi hak-hak anak. Konvensi ini merupakan sebuah traktat atau perjanjian internasional yang mengatur pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak-hak fundamental anak. Dalam Pasal 32 semua negara pihak diharapkan melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi yang membahayakan fisik dan moral anak. Pasal 34 secara spesifik mengharapkan semua negara pihak untuk mengambil berbagai tindakan di tingkat nasional, bilateral, atau multilateral untuk mencegah eksploitasi anak untuk tujuan seksual. Eksploitasi seksual komersial anak telah dijadikan sebagai salah satu isu nasional dan mendapat perhatian dari pemerintah untuk mengatasinya. Hal ini dapat dilihat dari Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Ekspoitasi Seksual Komersial Anak. Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa ESKA adalah kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi manusia yang harus diberantas. Kemudian diikuti dengan dirumuskannya Rencana Aksi Nasional Perdagangan Anak dan Perempuan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88 Tahun 2002. Sejak disahkan Keppres ini, beberapa lembaga khususnya institusi pemerintah mulai memasukkan isu ESKA dalam programnya. Kemudian sejak munculnya Rencana Aksi Nasional ini perhatian beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga mulai meningkat untuk segera melakukan langkah-langkah strategis dalam penghapusan ESKA. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4 Secara legislatif Indonesia memang menunjukkan kemajuan yang bermakna dalam menunjukkan komitmennya untuk memberantas eksploitasi seksual dan perdagangan anak, ini terwujud dengan terbitnya Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Nomor 21 Tahun 2007. Meskipun demikian persoalan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) belum memperoleh perhatian yang memadai. Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak telah diadopsi tetapi implementasinya dan monitoring terhadap Rencana Aksi Nasional ini masih lemah. Hal ini disebabkan oleh karena RAN tersebut belum diadopsi secara luas di tingkat nasional karena kurangnya promosi dan kesadaran yang dilakukan pemerintah pusat. Pemerintah Provinsi enggan untuk mengadopsi dan mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional tersebut karena kurang memahami tentang masalah ESKA. Hal ini mengakibatkan celah yang besar dalam implementasi kebijakan-kebijakan nasional untuk melindungi anak dari eksploitasi seksual komersial. Perlindungan khusus yang bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang telah disebutkan sebelumnya merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Kemudian dalam Pasal 66 ayat (2) perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi dilakukan melalui: 1. penyebarluasan dan/ atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual; 2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan 3. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual. Berdasarkan pemahaman Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 ini, masyarakat juga dapat berperan serta atau berpartisipasi dalam upaya perlindungan anak. Peran masyarakat sebagaimana commit to user dijelaskan dalam Pasal 72 ayat (1) menyebutkan bahwa masyarakat berhak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5 memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. Dalam ayat (2) menjelaskan peran masyarakat dimaksud dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa. Selanjutnya pada Pasal 73 dijelaskan pula bahwa peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kota Solo merupakan salah satu daerah rawan ESKA, Yayasan Kepedulian Untuk Konsumen Anak (KAKAK) adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang salah satu fokusnya adalah perlindungan anak khususnya dari kekerasan dan eksploitasi seksual komersial. Pihak ini dinilai sangat berperan dalam memberikan bantuan terhadap anak-anak korban kekerasan dan ESKA serta mengupayakan penegakan hak-hak asasi anak. Adapun catatan yang dimiliki yayasan KAKAK yaitu: Pada tahun 2005-2008, KAKAK mendampingi 111 anak korban ESKA, sedangkan pada tahun 2009-April 2010, KAKAK mendampingi 42 anak korban ESKA. Jumlah ini tentu saja hanya sebagian saja. Dari 42 anak korban ESKA, 70% diantaranya adalah anak sekolah yang duduk dibangku SMP dan SMA. Anak perempuan dan anak laki-laki, keduanya sama-sama rentan menjadi korban ESKA. Terbukti dari pendampingan yang dilakukan KAKAK juga ada korban anak laki-laki. Untuk jumlah anak perempuan memang lebih banyak dari anak laki-laki. Akan tetapi dari hasil informasi yang diperoleh kecenderungan anak laki-laki yang menjadi korban ESKA ini semakin meningkat jumlahnya dibandingkan beberapa tahun yang lalu. (Buletin Sahabat Kakak, 2010: 3) Dari data pendampingan sebagian besar anak korban ESKA berasal dari keluarga yang rumah tangganya berantakan ada yang orang tuanya terlalu sibuk bekerja, ada yang sering bertengkar, dan lain-lain. Pelaku ESKA ternyata ada dimana-mana, bahkan bisa jadi mereka adalah orang terdekat dengan kita seperti teman, orang tua, tetangga bahkan pacar. Sedangkan dari hasil wawancara langsung dari Kak Siswi Yuni Pratiwi selaku pendamping dari Yayasan KAKAK (Senin, 21 Maret 2011) bahwa dari tahun 2010 hingga maret 2011 ini ada sekitar 70 anak yang terjangkau dan to userkasus eksploitasi seksual terhadap terdampingi di yayasan KAKAK.commit Ada banyak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6 anak, hal tersebut tidak dilaporkan dan diselesaikan melalui proses hukum. Pertimbangan yang biasanya muncul adalah hal tersebut dapat menimbulkan aib dan mencemarkan nama baik keluarga, lingkungan maupun sekolah. Berdasarkan hal ini maka banyak pihak menyimpulkan bahwa kasus ESKA jumlahnya jauh lebih besar dari yang terlaporkan. Kota Surakarta adalah salah satu kota yang ditetapkan sebagai kota layak anak pada Tahun 2006. Program Kota Layak Anak terkontaminasi dengan menjamurnya fenomena Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Selain itu, ESKA harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es artinya kasus yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Menyikapi hal tersebut sebenarnya Pemerintah Kota Surakarta telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial, untuk melindungi hak-hak anak serta menyelenggarakan pelayanan dan perlakuan khusus terhadap korban eksploitasi seksual komersial dan menjatuhkan sanksi yang jelas dan tegas kepada pelaku. Peraturan Daerah ini sebagai dasar untuk melaksanakan program untuk pencegahan dan penanggulangan ESKA di Surakarta. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksplotasi Seksual Komersial, Pasal 3 menerangkan bahwa Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial mempunyai tujuan adalah untuk: 1) Mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual komersial; 2) Melindungi dan merehabilitasi korban kegiatan eksploitasi seksual komersial; 3) Menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 4) Merehabilitasi pelaku agar kembali menjadi manusia yang baik sesuai dengan norma agama, kesusilaan dan hukum. Ruang lingkup penyelenggaraan penanggulangan ESKA meliputi pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi. Pendidikan kewarganegaraan sebagai bidang kajian yang multidimensional mempunyai tujuan dalam meningkatkan partisipasi aktif dari warga negara. Berkaitan dengan hal tersebut, komponen pokok dalam pendidikan commit to user kewarganegaraan meliputi: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7 1. Civic knowledge berkenaan dengan apa-apa yang perlu diketahui dan dipahami secara layak oleh warga negara 2. Civics values/dispositions berkenaan dengan sifat dan karakter yang baik dari seorang warga negara baik secara pribadi maupun publik 3. Civics skill berkenaan dengan apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh warga negara bagi kelangsungan bangsa dan negara. Civics skill meliputi: keterampilan intelektual dan keterampilan partisipasi. (Winarno dan Wijianto, 2010: 50) Dalam penelitian ini yayasan KAKAK sebagai organisasi non pemerintah ikut berpartisipasi dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak. Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menekankan pada civic skill melalui keterampilan partisipasi dari warga negara. Dimana salah satu perspektif pendidikan kewarganegaraan berorientasi pada partisipasi warga negara. Dalam konteks penelitian ini warga negara yang dimaksud adalah Yayasan “KAKAK”. Selain itu, pendidikan kewarganegaraan juga memiliki misi pendidikan atau tugas yang harus dijalankan. Menurut Winarno dan Wijianto (2010: 64) secara luas berfungsi dan berperan sebagai: “1. Program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan informal 2. Program sosial kultural dalam konteks kemasyarakatan 3. Sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana disiplin ilmu pengetahuan sosial”. Dalam misinya tersebut terdapat keterkaitan antara misi pendidikan kewarganegaraan dalam konteks kemasyarakatan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu eksploitasi seksual komersial anak. Dimana permasalahan ESKA adalah pelanggaran hak-hak fundamental anak, sebab anakanak telah dijadikan sebagai objek seks orang dewasa, mereka dirampas haknya untuk bermain dan belajar. Oleh karena itu partisipasi dari warga negara sangat penting dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul ”Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Tentang Partisipasi Yayasan ”KAKAK” di Surakarta)”. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diutarakan tersebut maka rumusan masalah yang dikaji adalah : 1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial ? 2. Bagaimana partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak ? 3. Hambatan apa yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak ? C. Tujuan Penelitian Sebuah penelitian pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui : 1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial. 2. Bagaimana partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak. 3. Hambatan apa yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya baik secara teoretis maupun praktis. Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu kewarganegaraan yaitu yang berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. Agar anak terlindung dari bahaya eksploitasi seksual komersial sebagai wujud pelanggaran terhadap hak-hak anak khususnya dan merupakan kejahatan kemanusiaan pada umumnya. Selain itu sebagai upaya commit to user penegakan hak asasi manusia. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pentingnya pencegahan eksploitasi seksual komersial pada anak. Sehingga pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat dapat bahumembahu berperan serta dan membantu upaya pencegahan dan perlindungan terhadap anak. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Anak a. Pengertian Anak Pengertian dan batasan usia anak dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan dengan eksploitasi seksual komersial anak, batas umur kedewasaan seksual yang ditetapkan secara legal menjadi penting artinya bagi perlindungan anak. Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 menyebutkan pengertian anak adalah “manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang di dalam kandungan demi kepentingannya”. Dalam hal ini anak juga mempunyai hak asasi yang melekat pada dirinya yang harus dilindungi dan dihormati. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 mengatakan bahwa anak adalah “seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun tentang Perlindungan Anak Menurut Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih commit terdapat to user kesulitan menentukan usia ini, dalam kandungan”. Dalam praktek 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 karena tidak semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat Kenal Lahir, sehingga adakalanya menentukan usia ini dipergunakan surat keterangan lain seperti rapor atau surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Seharusnya setiap kasus yang menyangkut mengenai anak mengacu pada asas hukum Lex specialis derogat legi generale (peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang umum) yaitu dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun pada kenyataannya walaupun sudah ditetapkan undang-undang ini masih sering terjadi kerancuan mengenai batasan umur anak yang dipakai untuk menangani berbagai kasus sosial dalam masyarakat yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu sebaiknya penggunaan peraturan yang ada disesuaikan dengan kasus yang dihadapi, sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda. Menurut Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November Tahun 1989 Pasal 1 mendefinisikan seorang anak adalah “setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. (Stephanie Delaney, 2006: 10) Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, tertanggal 25 Agustus Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak. Oleh karena itu, Keppres Nomor 36 Tahun 1990 yang mengesahkan Konvensi Hak Anak tersebut secara yuridis telah mengikat negara Indonesia sebagai negara peserta dalam Konvensi Hak anak. Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. Definisi anak menurut Konvensi ILO adalah “setiap orang yang berusia dibawah 18 commit tahun”. (Stephanie Delaney, 2006: 10)to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 Dari gambaran definisi diatas, tampak sudah ada kesesuaian definisi anak yaitu antara instrumen internasional dan undang-undang di Indonesia. Konsekuensinya semua warga negara Indonesia yang masih dalam batas umur diatas, berhak memperoleh standar perlindungan sesuai Konvensi Hak Anak. Pada umumnya Konvensi Hak Anak internasional menerima bahwa usia 18 tahun merupakan usia yang sesuai untuk menentukan masa dewasa. Menentukan usia yang baku untuk mendefinisikan masa kanak-kanak berpengaruh terhadap bagaimana anak-anak yang menjadi korban diperlakukan oleh hukum. Dengan demikian membakukan usia 18 tahun sebagai usia tanggung jawab seksual secara internasional akan memberi perlindungan yang lebih besar terhadap anak (sekaligus menyadari bahaya mengkriminalisasi anak-anak). Definisi legal tentang anak juga akan berpengaruh terhadap pengadilan memperlakukan para pelaku tindak kejahatan. Berdasarkan pengertian dan batas usia anak di atas, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. b. Hak dan Kewajiban Anak Mengenai hak dan kewajiban anak sebagai warga negara dalam hal ini penulis berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut: 1) Hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Pasal 4). 2) Hak diberikan nama sebagai identitas diri, dan memperoleh status kewarganegaraan. (Pasal 5). 3) Hak beribadah menurut agama, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya. (Pasal 6) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 4) Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (Pasal 7 ayat 1) 5) Hak untuk diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 7 ayat 2). 6) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. (Pasal 8) 7) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (Pasal 9 ayat 1). 8) Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. (Pasal 10). 9) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. (Pasal 11). 10) Hak mendapatkan pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiyaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. (Pasal 13 ayat 1). 11) Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. (Pasal 14). 12) Hak untuk mendapatkan perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan. (Pasal 15). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 13) Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiyaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 16 ayat 1). 14) Hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (Pasal 16 ayat 2). 15) Hak mendapatkan perlakuan secara manusiawi, memperoleh bantuan hukum, membela diri dan memperoleh keadilan dalam pengadilan. (Pasal 17 ayat 1). 16) Hak untuk dirahasiakan identitasnya bagi anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum. (Pasal 17 ayat 2). 17) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya bagi anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana. (Pasal 18). Kewajiban anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu sebagai berikut: 1) Menghormati orang tua, wali, dan guru; 2) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 3) Mencintai tanah air, bangsa, dan negara; 4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. (Pasal 19). 2. Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak a. Pencegahan Pencegahan agar anak-anak dapat terhindar sebagai korban eksploitasi seksual komersial merupakan langkah strategis yang harus dilakukan. Langkah-langkah pencegahan selayaknya memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi seorang anak dapat menjadi korban. Menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial menerangkan bahwa, “Pencegahan adalah usaha mengurangi potensi terjadinya eksploitasi seksual komersial”. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 Seperti yang diungkapkan oleh Stephanie Delaney (2006: 19), “Pencegahan adalah aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk memberikan perlindungan permanen dari bencana”. Tindakan pencegahan pada dasarnya bertujuan untuk meniadakan kegiatan dan atau dampak kegiatan eksploitasi seksual komersial anak. Jadi kesimpulannya pencegahan adalah segala usaha untuk melindungi anak dan mengurangi potensi terjadinya eksploitasi seksual komersial anak. b. Eksploitasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Eksploitasi adalah pengusahaan, pendayagunaan, pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; penghisapan; pemerasan (tenaga orang)”. (Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 290) Kemudian dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menjelaskan: Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial. Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pasal 1 angka 21, “Eksploitasi adalah tindakan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan/atau kemampuan diri sendiri oleh pihak lain yang dilakukan atau sekurangkurangnya dengan cara sewenang-wenang atau penipuan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material”. Kesimpulannya eksploitasi adalah tindakan yang berupa pendayagunaan, pemanfaatan, pengusapan, pemerasan fisik maupun seksual untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 c. Eksploitasi Seksual Dalam bukunya Kartini Kartono (2005: 221-222), Freud menyebut bahwa “Seks sebagai libido sexualis (libido = gasang, dukana, dorongan hidup nafsu erotik). Seks juga merupakan mekanisme bagi manusia untuk mengadakan keturunan. Karena itu seks dianggap sebagai mekanisme yang sangat vital dimana manusia bisa mengabadikan jenisnya”. Pengertian eksploitasi seksual menurut pendapat Irwanto adalah: Eksploitasi Seksual adalah memperlakukan anak sebagai komoditas, sebagai barang dagangan. Anak yang diperlakukan sebagai objek seksual dipakai untuk mendapatkan uang, barang, atau jasa-kebaikan oleh pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang terlibat. Pelakunya adalah orang-orang terdekat, seperti orang tua, saudara kandung, atau orang-orang yang dikenal anak dalam komunitasnya, tetapi juga orang-orang yang tidak dikenal. (Irwanto dkk, 2008: 9) Menurut Kartini Kartono, “Eksploitasi seks berarti penghisapan atau penggunaan serta pemanfaatan relasi seks semaksimal mungkin oleh pihak pria. Sedang komersialisasi seks berarti perdagangan seks, dalam bentuk penukaran kenikmatan seksual dengan benda-benda, materi dan uang”. (Kartini Kartono, 2005: 217) Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menjelaskan bahwa: “Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”. Sarah Alexander, Stan Meuwese, dan Annemieke Wolthuis (2000: 479) mengemukakan bahwa Serikat Eropa mendefinisikan eksploitasi seksual seperti perilaku berikut: 1) The inducement or coercion of a child to engage in any unlawful sexual activity; 2) The exploitative use of a child in prostitution or other unlawful sexual practices, and/ or 3) The exploitative use of children in pornographic performances and materials, including the production, sale and distribution or other forms of trafficking in such materials. And the possession of such materials. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 Artinya adalah: 1) Penghasutan atau pemaksaan anak untuk terlibat dalam kegiatan seks yang melanggar hukum; 2) Eksploitasi anak dalam prostitusi (pelacuran) atau praktek seksual yang melanggar hukum lainnya, dan/atau 3) Eksploitasi anak-anak dalam pertunjukan dan materi-materi pornografi, termasuk pembuatan, penjualan dan penyebaran atau bentuk-bentuk perdagangan lainnya dalam barang-barang tersebut. Dan kepemilikan barang-barang semacam itu. Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pasal 1 angka 22, “Seksual Komersial adalah segala tindakan mempergunakan badan/fisik untuk kepuasaan seksual orang lain dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain”. Jadi dapat disimpulkan eksploitasi seksual adalah segala bentuk perlakuan yang menempatkan anak sebagai objek seksual untuk tujuan-tujuan mendapatkan keuntungan. d. Eksploitasi Seksual Komersial Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pasal 1 angka 23 menjelaskan: Eksploitasi Seksual Komersial adalah tindakan eksploitasi terhadap orang (dewasa dan anak, perempuan dan laki-laki) untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara orang, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas tersebut. “Eksploitasi seksual komersial dapat didefinisikan sebagai kekerasan seksual terhadap anak untuk mendapatkan bayaran atau kebaikan. Bayaran ini bisa berupa uang, kebaikan atau keuntungan-keuntungan lain seperti makanan, perlindungan atau tempat tinggal”. (Stephanie Delaney, 2006: 10-11) Kesimpulannya eksploitasi seksual komersial adalah tindakan yang berupa pendayagunaan, pemanfaatan, pemerasan fisik maupun commit topengusapan, user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 seksual untuk mendapatkan keuntungan materiil dalam bentuk perlakuan yang menempatkan anak sebagai objek seksual untuk tujuan-tujuan mendapatkan keuntungan. e. Eksploitasi Seksual Komersial Anak Eksploitasi seksual komersial anak mencangkup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Deklarasi dan Agenda Aksi untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak merupakan instrumen yang pertama-tama mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak sebagai: Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual Komersial Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. (ECPAT Internasional, 2006: 4) Deklarasi dan Agenda Aksi ini telah diadopsi oleh 122 negara termasuk Indonesia, merupakan pelaksanaan Kongres Dunia pertama kali untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak bertempat di Stockholm, Swedia, pada tahun 1996. Eksploitasi Seksual Komersial Anak sering disebut ESKA, ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional dalam Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, dkk (2008: 6) mendefinisikan bahwa “ESKA sebagai sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut berupa kekerasan seksual oleh orang dewasa dengan pemberian imbalan kepada anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Sederhananya anak diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial”. Berdasarkan pengertian eksploitasi seksual komersial anak yang ditegaskan di atas tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak-anak tersebut merupakan korban dari kejahatan (tindak kriminal) yang dilakukan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 oleh orang (dewasa) dengan memanfaatkan seksualitas anak yang bersangkutan. Eksploitasi seksual komersial dibedakan dari eksploitasi seksual non komersial, yang biasa disebut dengan berbagai istilah seperti pencabulan terhadap anak, perkosaan, kekerasan seksual, dan sebagainya. Melalui ESKA, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam hal intervensi. ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap anak tersebut. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan. Penting untuk memasukkan transaksi-transaksi yang bersifat jasa dan kebaikan ke dalam definisi tersebut karena ada kencenderungan untuk memandang transaksi-transaksi seperti itu sebagai pemberian izin dari pihak anak. Jika terjadi eksploitasi seksual untuk mendapatkan perlindungan, tempat tinggal, akses untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi di sekolah atau naik kelas maka anak tersebut tidak memberikan “izin” atas transaksi tersebut melainkan korban dari orang atau orang-orang yang memanipulasi dan menyalahkan kekuasaan dan tanggung jawab mereka. Antara eksploitasi seksual komersial anak berbeda dengan kekerasan seksual anak, kekerasan seksual terhadap anak tidak ada keuntungan komersial walaupun eksploitasi seksual juga merupakan kekerasan. Tindakan pencegahan eksploitasi seksual komersial menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dalam Pasal 11 ayat (2) dapat dilakukan dengan cara: 1) Memperluas lapangan pekerjaan; commit to userluar sekolah; 2) Menyelenggarakan program pendidikan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 3) Membangun kesadaran hak anak dan perempuan terhadap hak-haknya khususnya di lingkungan yang rentan terhadap adanya kegiatan eksploitasi seksual komersial; 4) Memberikan pendidikan seks melalui jalur pendidikan formal dan non formal; 5) Melakukan sosialisasi dan kampanye terhadap pencegahan eksploitasi seksual komersial; 6) Melakukan pengawasan yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melaksanakan tindakan pencegahan dan penanggulangan eksploitasi seksual komersial; 7) Melaksanakan kerjasama antar daerah yang dilakukan melalui pertukaran informasi, kerja sama penanggulangan dan kegiatan teknis lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 8) Melakukan koordinasi yang diperlukan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Dalam suatu kegiatan tidak selamanya berjalan dengan lancar sering kali ditemukan hambatan-hambatan, begitu pula dalam mencegah ESKA. Salah satu hambatan yang dihadapi organisasi non pemerintah berkaitan dengan masalah internalnya seperti yang diungkapkan oleh Stephanie Delaney (2006: 44) bahwa “salah satu kesulitan yang dihadapi organisasi-organisasi lokal adalah bahwa mereka mengalami kekurangan sumber-sumber yang dibutuhkan”. Adapun hambatan lain yaitu dari sisi eksternalnya, menurut PKPA Medan dkk (2008: 12) salah satu hambatannya yaitu “masyarakat sudah menganggap lumrah pekerjaan sebagai PSK, malahan sebagai alternatif termudah, jalan pintas mencapai kekayaan”. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa: Faktor yang melangengkan anak untuk tetap berada dalam lingkaran ESKA adalah sebuah kenyataan bahwa bekerja di sektor ini membuat anak merasa mudah mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan mereka, bahkan ketika mereka berkeinginan untuk keluar, anak-anak mengalami kesulitan karena pengaruh orang lain, atau sudah terlanjur nyaman dengan kondisi mereka. (PKPA Medan dkk, 2008: 28) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 Hal yang dikemukakan diatas mungkin menjadi hambatan-hambatan ketika yayasan KAKAK melakukan pencegahan ESKA. f. Bentuk-bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak Menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional bentuk-bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak yaitu: 1) Prostitusi anak Tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau imbalan lain. 2) Pornografi anak Pertunjukkan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak didalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. 3) Perdagangan anak untuk tujuan seksual Proses perekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. (PKPA Medan dkk, 2008: 6) Definisi lain menurut Stephanie Delaney (2006: 10-11) ada tiga bentuk dasar ekspoitasi seksual komersial terhadap anak yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu: “pelacuran, pornografi dan perdagangan untuk tujuan seksual”. 1) Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial dimana seorang anak dipergunakan untuk tujuan-tujuan seksual. Beberapa orang yang mendapat keuntungan dari transaksi komersial tersebut adalah mucikari atau germo, perantara atau agen, orang tua dan sektor-sektor bisnis terkait seperti hotel. Anak-anak tersebut juga dilibatkan dalam pelacuran ketika mereka melakukan hubungan seks dengan imbalan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal atau keamanan atau bantuan untuk mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah atau uang saku ekstra untuk membeli barangbarang konsumtif. 2) Pornografi anak berarti pertunjukkan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit commit to user atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 Ciri-ciri utama pornografi anak adalah bahwa pornografi anak dibuat untuk mendapatkan kepuasan seksual. Yang termasuk pornografi anak adalah foto, negatif film, slide, majalah, buku, gambar, rekaman film, kaset video, disket, atau file komputer dan foto-foto yang disimpan dalam telepon gengggam. 3) Trafficking adalah perekrutan, pemindahan, pengiriman atau penerimaan, anak-anak (dan orang dewasa) untuk tujuan eksploitasi. Bentuk yang lain adalah pariwisata seks anak. Pariwisata seks anak merupakan eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, baik di negara lain maupun di dalam wilayah yang berbeda di negaranya sendiri, dan di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anakanak, para wisatawan seks anak dapat secara khusus memiliki pilihan untuk menjadikan anak-anak sebagai pasangan seks mereka atau mereka mungkin hanya sekedar memanfaatkan sebuah situasi dimana seorang anak memang tersedia untuk mereka untuk melakukan eksploitasi seksual. Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial juga dijelaskan kegiatan yang masuk dalam kategori ESKA namun hanya difokuskan pada dua kegiatan yaitu: 1) Perdagangan orang untuk tujuan seksual adalah kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, menerima tenaga kerja dengan ancaman kekerasan dan/atau kekerasan, bentuk-bentuk pemaksaan lainnya dengan cara menculik, menipu, memperdaya termasuk membujuk dan mengiming-imingi korban untuk tujuan eksploitasi seksual komersial. 2) Prostitusi adalah penggunaan orang dalam kegiatan seksual dengan pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain. Berikut ini penulis jabarkan lagi tentang bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial anak, yaitu sebagai berikut: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 1) Pelacuran Anak Pengertian pelacuran menurut Kartini Kartono (2005: 207), “Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundal”. Definisi prostitusi dikemukakan pula oleh Kartini Kartono bahwa: Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskiutas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks impersional tanpa afeksi sifatnya. (Kartini Kartono, 2005: 216) Menurut Brian M. Willis dan Barry S. Levy (2002: 1417) dalam jurnal internasional, mengatakan bahwa, “Child prostitution involves offering the sexual services of a child or inducing a child to perform sexual acts for any form of compensation, financial or otherwise”. Yang artinya, Pelacuran anak menyangkut penawaran jasa seksual anak atau membujuk seorang anak untuk melakukan tindakan seksual atas setiap bentuk kompensasi, keuangan atau sebaliknya. Pelacur-pelacur ini bisa digolongkan dalam dua kategori yaitu: a) Mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan suka rela berdasarkan motivasi-motivasi tertentu; b) Mereka yang melakukan tugas melacur karena ditawan/dijebak dan dipaksa oleh germo-germo yang terdiri atas penjahat-penjahat, calocalo, dan anggota-anggota organisasi gelap penjual wanita dan pengusaha bordil. Dengan bujukan dan janji-janji manis, ratusan bahkan ribuan gadis-gadis cantik dipikat dengan janji akan mendapatkan pekerjaan terhormat dengan gaji besar. Namun pada akhirnya, mereka dijebloskan ke dalam rumah-rumah pelacuran yang dijaga dengan ketat, secara paksa, kejam, dan sadistis, dengan pukulan dan hantaman mereka harus melayani buaya-buaya seks yang tidak berperikemanusiaan. Jika para gadis itu tampak ragu-ragu atau enggan melakukan relasi seks, maka mereka itu dihajar dengan pukulan-pukulan dan diberi obat perangsang nafsu seks, sehingga mereka menjadi tidak sadar dan tidak berdaya. Dan di bawah pengaruh obat-obatancommit itu, mereka to userdipaksa melakukan adegan-adegan porno/cabul yang seram (namun menghancurkan hati anak-anak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 gadis tersebut). Dengan bandit-bandit seks. (Kartini Kartono, 2005: 239) Berdasarkan golongan kategori pelacur tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pelacur anak yang dimaksud dalam penelitian ini, yaitu mereka yang masuk kategori yang kedua, karena mereka adalah korban sehingga mereka berprofesi sebagai pelacur. Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial dimana seorang anak disediakan untuk tujuan-tujuan seksual. Anak-anak tersebut mungkin dikendalikan oleh seorang perantara yang mengatur atau mengawasi transaksi tersebut atau oleh seorang pelaku eksploitasi yang bernegosiasi langsung dengan anak tersebut. Anak-anak tersebut juga dilibatkan dalam pelacuran ketika mereka melakukan hubungan seks dengan imbalan-imbalan kebutuhankebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal atau keamanan atau bantuan untuk mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah atau uang saku ekstra untuk membeli barang-barang konsumtif. Semua perbuatan ini dapat terjadi tempat yang berbeda seperti lokalisasi, bar, klub malam, rumah, hotel atau di jalanan. Kuncinya bahwa bukan anak-anak yang memilih untuk terlibat dalam pelacuran agar dapat bertahan hidup atau untuk membeli barangbarang konsumtif, tetapi mereka didorong oleh keadaan, struktur sosial dan pelaku-pelaku individu kedalam situasi-situasi dimana orang dewasa memanfaatkan kerentanan mereka serta mengeksploitasi dan melakukan kekerasaan seksual kepada mereka. Istilah “pelacur anak” atau “pekerja seks anak” mengisyaratkan bahwa seorang anak seolah-olah memilih hal tersebut sebagai sebuah pekerjaan atau profesi. Hal ini salah, karena orang-orang dewasalah yang menciptakan “pelacuran anak” melalui permintaan mereka atas anak-anak untuk dijadikan sebagai obyek seks, penyalahgunaan kekuasaan dan to user keinginan mereka untuk commit mengambil keuntungan sedangkan anak-anak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 tersebut hanyalah korban. Jadi dapat dikatakan bahwa mereka adalah “anak yang dilacurkan”. Eksploitasi seksual komersial anak melalui pelacuran merupakan masalah global dan terkait erat dengan pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan-tujuan seksual. 2) Pornografi Anak Mengutip pendapatnya A. Hamzah, “Kata pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne artinya pelacur, dan graphein artinya ungkapan”. (Neng Djubaedah, 2003: 138) Menurut R. Ogien, dalam Haryatmoko, (2007: 93) “Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik”. Dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak menyebutkan “Pornografi anak berarti pertunjukkan apaun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual”. (ECPAT Internasional, 2006: 7) Pornografi anak termasuk foto, pertunjukan visual, dan audio dan tulisan dan dapat disebarkan melalui majalah, buku, gambar, film, kaset video, hand phone serta disket atau file komputer. Penggambaran itu dapat bersifat eksplisit atau secara jelas melukiskan anak dalam sebuah aktivitas seksual atau secara tersamar di mana tubuh anak dicitrakan secara seronok dan merangsang. Dengan bahasa lugas, pornografi dianggap akan menimbulkan daya tarik seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Mengutip pendapatnya Haryatmoko (2007: 96) “Menurut teori peniruan, semakin orang sering melihat pornografi, semakin ia terdorong untuk ikut melakukan”. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 Dalam teori ini terlihat bahaya dari pornografi dimana seseorang akan meniru segala sesuatu yang dilihat secara terus menerus. Hal inilah yang nantinya akan menjadi suatu kebiasaan dan akan merusak moral. Persoalan pornografi ini akan menjadi sebuah perdebatan ketika dihadapkan dengan suatu karya seni (baik seni rupa maupun fotografi) karena selalu dihubungkan dengan kebebasan berekspresi dan berbicara. Seperti yang dikemukakan oleh Haryatmoko: Persoalan pornografi menjadi pelik karena pertama, berhadapan dengan masalah kebebasan berekspresi, terutama bila mengandung nilai seni. Kedua, bagaimana menghadapi hak akan informasi. Dan ketiga, bagaimana menjamin hak untuk memenuhi pilihan pribadi, bila nilai seni dan pendidikannya dianggap meragukan. (Haryatmoko, 2007: 96) Menghadapi masalah tersebut langkah yang dilakukan adalah menentukan batasan pornografi, selanjutnya Haryatmoko (2007: 97) menyatakan bahwa: Masalah pornografi bukan masalah relativisme bila mempertimbangkan sedikitnya empat acuan: pertama, mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni. Dalam hal ini perlu diperhitungkan peran maksud pengarang dalam penentuan ciriciri karya seni, hakikat semua apresiasi yang masuk akal tentang karya seni. Kedua, mempertimbangkan konsepsi moral. Dasar ukuran moral umum ialah apakah mengakibatkan dehumanisasi atau terjadi pengobjekkan manusia. Ketiga, perlu diperhitungkan reaksi emosional yang ditimbulkan. Reaksi emosional macam apa yang ditimbulkan oleh karya tersebut (senang, jijik atau rangsangan seksual). Keempat, perlu dipertimbangkan pandangan dari berbagai teori psikologi (cartharsis, imitasi, dan pembiasaan). Dari keempat pertimbangan itu, penting untuk mendefinisikan secara lebih bertanggung jawab pembedaan seni dan pornografi, termasuk pembedaan antara pornografi dan erotisme. Secara umum dalam ECPAT Internasional (2006: 7) menyebutkan ada dua kategori pornografi yaitu “Pornografi yang tidak eksplisit secara seksual tetapi mengandung gambar anak-anak yang telanjang dan menggairahkan serta pornografi yang menyajikan gambar anak-anak yang terlibat dalam kegiatan seksual”. Pengunaan gambar anak commit to user dalam kedua kategori tersebut adalah eksploitasi seksual. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 Pornografi anak mengeksploitasikan anak-anak dalam berbagai cara. Anak-anak dapat ditipu atau dipaksa untuk melakukan tindakan seksual untuk pembuatan bahan-bahan pornografi atau mungkin gambargambar tersebut dibuat dalam proses pengeksploitasian seorang anak secara seksual tanpa sepengetahuan anak tersebut. Gambar-gambar ini kemudian disebarkan, dijual atau diperdagangkan. Kedua, orang-orang yang “mengkonsumsi” dan/ atau memiliki gambar anak-anak tersebut terus mengeksploitasi anak-anak ini. Permintaan mereka atas gambar anak-anak tersebut menjadi perangsang untuk membuat bahan-bahan porno tersebut. Ketiga, para pembuat bahan-bahan pornografi biasanya menggunakan produk-produk mereka untuk memaksa, mengancam atau memeras anak-anak yang dimanfaatkan untuk pembuatan produk-produk tersebut. Pemanfaatan pornografi anak yang paling jelas adalah untuk menimbulkan gairah dan kepuasan seksual. Terlepas bagaimana pornografi itu diproduksi, penggunaan pornografi anak meningkatkan resiko anak untuk dijadikan obyek kekerasan seksual. Artinya pembuat atau pelanggan akan terpengaruh oleh hobinya untuk mencari anak dan memperlakukannya seperti yang dilihat atau didengarnya dari produk pornografi anak tersebut. Oleh karena itulah, pornografi anak merupakan ancaman yang sangat serius terhadap keselamatan dan kesejahteraan anak. Ditingkat masyarakat, pornografi anak apakah itu gambargambar anak yang nyata atau eksplisit selalu berhasil menuai permintaan yang melibatkan eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak dan terkait dengan pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual. Pornografi anak sering dibuat dan disebarkan dengan menggunakan teknologi informasi (IT) dan internet. Teknologi-teknologi baru dan pertumbuhan fasilitas internet menciptakan lebih banyak kesempatan bagi para pelaku eksploitasi seksual anak dan pembuat pornografi anak, memfasilitasi perkembangan dan memperluas jaringan commit user eksploitasi seksual komersial anaktotersebut. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 Tetapi terkait pornografi ada kurangnya kejelasan dalam pengkategorian dikomersialkan misalnya gambar-gambar kekerasan terhadap anak dapat diciptakan untuk penggunaan atau tujuan komersial atau non komersial. Walaupun demikian pornografi anak yang dibuat untuk tujuan-tujuan non komersial akhirnya dapat diperdagangkan dan dipertukarkan secara komersial. 3) Perdagangan Anak Beberapa tahun belakangan ini perdagangan manusia juga menjadi isu global yang menjadi perhatian dunia disamping pelacuran anak, dan pornografi anak yang disebabkan perbatasan yang keropos dan teknologi komunikasi yang semakin canggih, cakupan perdagangan manusia telah semakin luas secara transnasional dan internasional Perdagangan atau trafficking adalah semua perbuatan yang melibatkan perekrutan atau pengiriman orang di dalam maupun ke luar negeri dengan penipuan, kekerasan atau paksaan, jeratan hutang atau pemalsuan dengan tujuan untuk menempatkan orang tersebut dalam situasi-situasi kekerasan atau eksploitasi seperti pelacuran dengan paksaan, praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penyiksaan atau kekejaman yang ekstrim, pekerjaan dengan gaji yang rendah atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang bersifat eksploitatif. (ECPAT, 2006: 10) Jadi perdagangan anak adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, penampungan, atau penerimaan orang yang berusia dibawah 18 tahun, dengan ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya untuk tujuan seksual. Manusia, khususnya anak-anak dapat diperjualbelikan sampai beberapa kali, mereka merupakan komoditas dalam sebuah bisnis yang menghasilkan banyak uang dan dilakukan tanpa sanksi hukum. Perdagangan anak bisa terjadi tanpa atau dengan menggunakan paksaan, kekerasan atau pemalsuan karena anak-anak tidak mampu memberikan izin atas eksploitasi terhadap diri mereka. Anak–anak diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual, transpalasi atau commit to user pemindahan organ-organ tubuh dan adopsi ilegal, tetapi semua anak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 korban trafficking telah dibuat sangat rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual karena mereka dipindahkan dari struktur-struktur pendukung yang sudah dikenal seperti keluarga dan masyarakat mereka. Aksi untuk untuk memerangi perdagangan anak harus menanggani kondisi-kondisi yang membuat anak-anak rentan dan menghukum para pelaku bukan korban. Tidak ada perkiraan pasti mengenai jumlah anak yang telah diperdagangkan. Hal ini disebabkan karena praktek tersebut terselubung dan sulit untuk diperkirakan. Perdagangan atau trafficking dapat terjadi di luar maupun di dalam negeri sendiri. Dalam trafficking internasional, trafficking memberi keuntungan kepada pelaku trafficking karena mereka dapat menyembunyikan para korban mereka dalam sebuah lingkungan yang asing dimana mereka rentan terhadap undang-undang imigrasi setempat karena mereka telah memasuki negara tersebut secara ilegal, atau dalam posisi lemah karena mereka tidak mengetahui undang-undang, budaya dan bahasa negara tersebut. Tidak semua anak-anak yang yang diperdagangkan dieksploitasi secara seksual dan begitu juga tidak semua anak-anak yang mengalami kekerasan seksual (seperti perkosaan) dieksploitasi secara komersial dan seksual. Baik anak perempuan maupun anak laki-laki dapat menjadi korban kekerasan seksual dan eksploitasi seksual walaupun sifat resiko dan jenis kekerasannya berbeda. Bagi anak perempuan, kekerasan seksual merupakan sebuah kekerasan berbasis gender dan sering terkait erat dengan posisi lemah mereka dalam masyarakat. Sedangkan bagi anak lakilaki, kekerasan seksual dipergunakan secara khusus sebagai bentuk intimidasi. Disamping itu, norma-norma budaya dan masyarakat, juga turut memberikan kontribusi terhadap sulitnya bagi anak laki-laki untuk mengungkapkan tentang pengalaman-pengalaman mereka dan bagi orangorang dewasa untuk menyadari bahwa anak laki-laki juga membutuhkan commit to user perlindungan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 g. Pelaku Seks terhadap Anak Para pelaku kekerasan seksual maupun eksploitasi seksual komersial terhadap anak berasal dari semua alur kehidupan dan latar belakang sosial. Mereka bisa berprofesi apa saja dan berada di negara mana saja. Mereka bisa heteroseksual atau homoseksual dan walaupun sebagian besar para pelaku adalah laki-laki tetapi pelaku juga kadang-kadang perempuan. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak sering disebut sebagai “pedofil” tetapi hal ini tidak sepenuhya benar. Istilah pedofil mengacu pada seseorang yang memiliki minat seksual khusus terhadap anak-anak yang belum puber. Sebagian pedofil mungkin tidak benar-benar melakukan tindakan berdasarkan pada fantasi-fantasi mereka. Tetapi, seseorang yang mengeksploitasi atau melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak bukan berarti seorang pedofil tetapi mereka mungkin melakukan hubungan seks dengan seorang anak semata-mata hanya karena mereka bisa melakukannya. Oleh karena itu akan lebih tepat dan berguna jika kita menggunakan istilah “pelaku seks anak” untuk menggambarkan seseorang yang melakukan hubungan seks dengan seorang anak, yaitu sebuah istilah yang memasukkan pedofil tetapi tidak hanya terbatas pada pedofil saja. Pelaku seks anak menurut ECPAT Internasional (2006: 20-21) pada umumnya dibagi kedalam dua kategori, yaitu “situasional dan prefensial”. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pelaku seks anak situasional tidak benar-benar memiliki pilihan seksual pada anak tetapi mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak karena ada kesempatan. Para pelaku seperti itu dapat mengeksploitasi anak-anak karena mereka berada dalam situasi-situasi dimana mereka dapat mengakses atau mendapatkan seorang anak dengan mudah atau faktor-faktor tertentu yang memungkinkan mereka untuk menipu diri sendiri tentang usia atau izin anak untuk melakukan aktivitas seksual. Eksploitasi seksual terhadap anak dapat berupa tindakan yang dilakukan ketika sedang liburan atau hal tersebut dapat berkembang menjadi suatu commitjangka to user kebiasaan melakukan kekerasan panjang. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 2) Para pelaku seks anak prefensial memiliki pilihan-pilihan seksual yang jelas terhadap anak-anak. Jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pelaku situasional tetapi mereka lebih berpotensi untuk melakukan kekerasan terhadap lebih banyak anak-anak daripada pelaku seks situasional karena hal tersebut memang sudah menjadi niat dan keinginan mereka. Berikut ini adalah pola-pola tingkah laku mereka yang telah kita ketahui: a) Mereka merayu menggunakan kasih sayang, perhatian atau hadiah untuk memikat anak-anak dan bersedia menghabiskan waktu yang lama untuk membujuk para korban mereka dengan tujuan untuk mempersiapkan anak-anak itu untuk kekerasan tersebut. Mereka juga dapat menggunakan ancaman, pemerasan dan kekerasan fisik agar kejahatan mereka tidak terbongkar. b) Para pelaku introvert menyenangi anak-anak tetapi kurang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan mereka. Mereka sangat jarang berkomunikasi dengan para korban dan cenderung untuk melakukan kekerasan terhadap anak-anak yang tidak dikenal ataupun anak-anak yang masih sangat muda. c) Ada tetapi tidak banyak adalah para pelaku sadistik, yaitu orang-orang selain memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak juga mendapatkan kesenangan seksual dari tindakan yang menimbulkan rasa sakit pada korban. Pelaku jenis ini kemungkinan besar menggunakan paksaan untuk mendapatkan akses pada anak dan kemungkinan menculik atau membunuh korbannya. Dalam berbagai situasi, batas-batas pengkategorian antara pelaku prefensial dan situasional memang tidak jelas. Sekelompok pelaku kekerasan lainnya memandang seks sebagai suatu cara untuk menunjukkan kekuasaan atau kontrol terhadap para korban mereka. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 h. Faktor-faktor Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual komersial terhadap anak. Walaupun karakteristik setiap daerah tidak persis sama. Menurut Farid yang dikutip Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan dkk (2008: 8-9) “secara umum faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya ESKA ada faktor pendorong dan penarik”. Yaitu dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Faktor-faktor pendorong antara lain : a) Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor pertanian. b) Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusatpusat industri di perkotaan. c) Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi. d) Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga. e) Pergeseran dari perekonomian subsisten ke ekonomi berbasis pembayaran tunai. f) Peningkatan konsumerisme. g) Disintegrasi keluarga. h) Pertumbuhan jumlah anak gelandangan. i) Tiadanya kesempatan pendidikan. j) Kelangkaan peraturan/hukum dan penegakan hukum. k) Diskriminasi terhadap etnis minoritas. l) AIDS-meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak terpaksa masuk ke perdagangan seks. 2) Faktor-faktor penarik, antara lain : a) Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut anakanak. b) Pihak berwenang yang korup sehingga terlibat dalam perdagangan seks anak. to user kerja paksa (bondage labour). c) Praktik-praktik pekerjacommit anak termasuk perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 d) Praktik-praktik tradisional dan budaya termasuk tuntutan keperawanan, praktek budaya di mana laki-laki pergi ke pelacuran, pola antar generasi dalam hal masuknya anak perempuan ke pelacuran. e) Permintaan dari wisatawan seks pedofil. f) Promosi internasional mengenai industri seks anak melalui teknologi informasi. g) Permintaan dari industri seks mancanegara yang menciptakan perdagangan seks anak dan perempuan secara internasional. h) Pernikahan yang diatur dimana pengantin anak perempuan terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah. i) Ketakutan terhadap AIDS yang membuat pelanggan menginginkan pelacur yang lebih muda usianya. j) Kehadiran militer yang menciptakan kebutuhan terhadap pelacuran anak. k) Permintaan dari para pekerja migrant. l) Berkembangnya beberapa wilayah di Indonesia sebagai daerah tujuan wisata seks terutama Bali, Lombok, Batam, DKI Jakarta dan Medan. m) Munculnya beberapa bencana alam dengan skala besar di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran yang tinggi terhadap meningkatnya ESKA. i. Anak-anak yang Rentan terhadap Eksploitasi Seksual Komersial Semua anak-anak rentan terhadap eksploitasi seksual komersial, tetapi sebagian anak memang jauh lebih rentan dibandingkan dengan anakanak yang lain. Menurut Stephanie Delaney (2006: 21), berikut ini anak-anak yang sangat rentan: “anak-anak tanpa pengasuhan orang tua, anak-anak cacat, dan anak-anak dari kelompok yang termajinalkan”. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Anak-anak tanpa pengasuhan orang tua seperti anak yatim-piatu dan anakanak yang terpisah dengan orang tua mereka, anak-anak yang tinggal sendiri, anak-anak yang tinggal commit dengan to user keluarga angkat atau anak-anak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 yang tinggal dalam institusi menghadapi bahaya yang besar karena kurangnya dukungan dan perlindungan orang tua dan masyarakat. 2) Anak-anak cacat fisik dan anak-anak cacat mental serta anak-anak dengan “kebutuhan khusus”. Anak-anak ini pada umumnya tidak memiliki kemampuan untuk menghindar dari kekerasan atau untuk memahami apa yang akan terjadi kepada mereka dan menceritakan kekerasan tersebut. Hal ini diperburuk oleh kurangnya penghargaan masyarakat terhadap kehidupan anak-anak penyandang cacat dan sebab itu bisa berdampak pada kurangnya pengasuhan, perhatian dan perlindungan terhadap mereka. 3) Anak-anak dari kelompok yang termajinalkan seperti anak-anak dari etnis, suku dan komunitas agama minoritas. Anak-anak seperti ini sering mengalami dampak ekonomi yang merugikan karena diskriminasi yang membuat mereka rentan terhadap eksploitasi atau mungkin tidak mendapatkan perlindungan karena kerangka hukum dan kebijakan yang lemah. Anak-anak dari beberapa komunitas tertentu bisa menjadi sasaran dari ekspoitasi seksual karena adanya keyakinan yang merugikan tentang mereka. Misalnya, dalam sebagian masyarakat konservatif, beberapa desa dan komunitas tertentu dapat memiliki reputasi buruk yang dikaitkan dengan pelacuran dan oleh karena itu ada sebagian orang yang menganggap “lumrah” untuk menjadikan anak-anak dari kelompokkelompok ini sebagai target atau sasaran mereka. Jadi anak-anak tanpa pengasuhan orang tua, anak-anak cacat, dan anak-anak dari kelompok yang termajinalkan memang jauh lebih rentan terhadap eksploitasi seksual komersial karena memang posisi mereka yang lemah serta kurangnya perlindungan dari keluarga maupun masyarakat, sehingga mereka merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap ESKA dan perlu mendapatkan perhatian yang lebih. j. Faktor-faktor yang Membuat Anak-anak Menjadi Rentan Pada dasarnya dikemukakan bahwa “ESKA mencangkup praktekpraktek tradisional yang sering berurat-akar dalam keyakinan-keyakinan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 budaya, dan globalisasi serta teknologi-teknologi baru memaparkan kepada kita sejumlah tantangan-tantangan yang berbeda dan selalu berubah-ubah”. (ECPAT Internasional, 2006: 24) Pada akhirnya, permintaan akan anak-anak sebagai pasangan seks untuk tujuan apapun mendorong kearah eksploitasi seksual komersial anak. Meskipun demikian, terdapat sebuah matriks faktor-faktor yang kompleks yang membuat anak menjadi rentan dan yang membentuk kekuatan-kekuatan serta menciptakan situasi kondisi yang memungkinkan anak-anak untuk dieksploitasi secara seksual komersial. Menurut ECPAT Internasional (2006: 24) faktor-faktor yang membuat anak menjadi rentan yaitu: Penerimaan masyarakat, tradisi yang merugikan, diskriminasi, mitos yang tidak bertanggung jawab, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak, situasi gawat darurat, situasi konflik, tinggal di jalan, HIV/AIDS, konsumerisme, adopsi, korupsi, teknologi informasi dan komunikasi. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Penerimaan masyarakat Konstruk sosial yang secara langsung maupun tidak langsung memfasilitasi dan/atau meyebabkan terjadinya ESKA adalah konsepkonsep mengenai masa kanak-kanak, seksualitas anak-anak, perkembangan anak, fasilitas pribadi dan umum yang terkait dengan tingkah laku seksual, kekuasaan laki-laki/perempuan dan peranan-peranan seksual dan moralitas terkait dengan seksualitas. Elemen-elemen seperti itu sering dipahami sebagai sesuatu yang “kodrati” dan sering tidak ditentang, khususnya ketika elemen-elemen tersebut terkait dengan anakanak. Banyak dari elemen-elemen ini yang digeneralisasikan pada tingkat global sedangkan elemen-elemen lainnya mewakili dinamika-dinamika lokal yang berbeda-beda. 2) Tradisi dan adat istiadat yang merugikan Sejumlah tradisi dan adat istiadat membuat anak rentan terhadap commitnegara, to user eksploitasi seksual terhadap anak eksploitasi seksual. Di beberapa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 sangat disamarkan sebagai praktek keagamaan. Contohnya, di Ghana anak-anak perempuan yang masih sangat muda (di bawah 10 tahun) diserahkan ke tempat pemujaan lokal untuk menebus tindak kejahatan yang dituduhkan telah dilakukan oleh seorang anggota keluarga anak perempuan tersebut. Dalam praktek tradisional yang dikenal dengan nama Trokosi ini, seorang anak perempuan akan menjadi milik pendeta tempat pemujaan tersebut yang dianggap mempunyai kekuatan magis dan harus memberikan layanan seksual serta melakukan pekerjaan-pekerjaan lain untuk sang pendeta. Contoh lain adalah struktur-struktur formal seperti sistem kasta yang dapat dijumpai di Asia Selatan atau tekanan informal seperti stigmatisasi sosial yang dapat menyebabkan anak-anak perempuan dari seorang pelacur dipaksa untuk mejadi pelacur juga. 3) Diskriminasi/kesukuan Suku-suku minoritas sering rentan terhadap kekuatan-kekuatan eksploitatif yang memanfaatkan rendahnya status resmi mereka atau pandangan yang merendahkan mereka. Misalnya, banyak anak-anak suku pegunungan Thailand Utara yang tidak mendapatkan kewarganegaraan Thailand dan ini membatasi akses mereka terhadap pendidikan, pekerjaan yang adil, berbagai tunjangan standar dan perlindungan dari pemerintah. Hal ini membuat mereka beresiko diperdagangkan atau dipaksa ke dalam eksploitasi seksual. 4) Perilaku seksual dan mitos yang tidak bertanggung jawab Banyak pria yang menilai bahwa pengambilan keperawanan seorang anak perempuan baik melalui mekanisme sosial pernikahan ataupun mekanisme lain sebagai bukti dari kejantanan mereka. Disamping itu, ada berbagai pandangan yang salah satu mitos-mitos tentang melakukan hubungan seks dengan seseorang yang masih perawan atau dengan seorang anak. Di banyak negara di Asia dan Afrika, sebagian pria percaya bahwa melakukan hubungan seks dengan anak-anak perempuan yang masih muda (yang diperkirakan masih perawan atau masih memilki pasangan seks commit mereka to user dari terinfeksi HIV/AIDS dan yang sedikit) akan melindungi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 penyakit-penyakit terkait yang lain ataupun menyembuhkan penyakitpenyakit tersebut. Sedangkan yang lain percaya bahwa melakukan hubungan seks dengan seseorang yang masih perawan akan membuat mereka awet muda, meningkatkan kesuburan dan membuat mereka sehat, panjang umur, beruntung dan sukses dalam bisnis. 5) Kemiskinan Walaupun dalam banyak kasus kemiskinan merupakan penyebab utama, tetapi kemiskinan sendiri tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai kerentanan seorang anak. Banyak anak dari keluarga-keluarga miskin yang selamat dari eksploitasi seksual dan banyak pula anak dari keluarga-keluarga kaya yang menjadi korban eksploitasi seksual. Kemiskinan menciptakan kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan kerentanan seorang anak terhadap eksploitasi seksual dan membatasi peluang bagi para keluarga untuk memberikan lingkungan yang aman bagi anak tersebut untuk tumbuh dan berkembang. 6) Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dan penelantaran Kekerasan seksual dan penelantaran yang sering dilakukan oleh orang tua, keluarga atau anggota masyarakat dimana anak tinggal membuat anakanak rentan terhadap eksploitasi seksual tanpa mendapatkan perhatian dan perlindungan orang dewasa. Jika terpaksa harus meninggalkan rumah, anak-anak dapat lebih beresiko lagi karena tekanan teman sebaya, keputusasaan atau ketakutan. 7) Situasi gawat darurat atau bencana Kehancuran rutinitas-rutinitas tradisional, hilangnya berbagai struktur bantuan sosial dan pecahnya keluarga dapat terjadi selama situasi gawat darurat. Sayangnya, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang dapat berkembang diantara mereka yang memberi dan mereka yang menerima dalam konteks emergensi, dan anak-anak yang telah menderita dan tanpa perlindungan ini dapat menjadi korban para penjahat atau orang-orang yang seharusnya memberi bantuan kemanusiaan kepada mereka. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 8) Situasi-situasi konflik Seperti dalam situasi-situasi emergensi, kekacauan akibat pecahnya konflik, pelarian dan pemindahan dapat memisahkan anak-anak dari orang tua dan para pengasuh mereka. Anak-anak yang terpisah dari orang tua mereka secara khusus rentan dan beresiko terhadap kekerasan seksual atau eksploitasi. Sudah ada bebrapa laporan juga tentang eksploitasi dan kekerasan seksual yang melibatkan pasukan penjaga perdamaian PBB di Republik Demokratik Kongo yang menukarkan makanan atau sedikit uang untuk layanan seksual. Banyak dari kontak ini yang melibatkan anak-anak perempuan di bawah usia 18 tahun dan bahkan sebagian mereka masih berumur 13 tahun. 9) Tinggal dan bekerja di jalanan Anak jalanan dapat ditemukan di sebagian besar kota di seluruh dunia. Ketika berada di jalanan dan berada dalam lingkungan yang asing tanpa adanya perlindungan dan pengasuhan dari orang tua atau orang-orang dewasa lain maka anak-anak secara khusus rentan dan mungkin terpaksa masuk kedalam pelacuran agar dapat bertahan hidup. 10) HIV/AIDS Menurut UNICEF, terdapat lebih dari 2 juta anak-anak usia dibawah 15 tahun yang terinfeksi HIV pada tahun 2003 terdapat 15 juta anak-anak usia dibawah 18 tahun yang telah menjadi yatim piatu karena HIV/AIDS. Setelah kehilangan perlindungan dari orang-orang dewasa, mereka menjadi rentan terhadap eksploitasi seksual. Disamping itu, anak-anak yang dipaksa masuk ke dalam pelacuran sangat beresiko terinfeksi HIV/AIDS. 11) Konsumerisme Di banyak negara maju, banyak anak-anak yang didorong masuk ke dalam pelacuran. Mereka bukan hanya anak-anak yang berasal dari kelas bawah yang mencoba lari dari kemiskinan tetapi juga anak-anak yang berasal dari kelas menengah yang menginginkan pendapatan yang lebih besar yang commit to Mereka user dapat mereka hambur-hamburkan. terbujuk oleh tekanan teman perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 sebaya atau iklan-iklan yang begitu hebat serta nilai yang diberikan oleh masyarakat pada produk-produk bermerk yang mahal atau barang-barang dan layanan-layanan mewah untuk menukarkan layanan seksual demi uang atau produk-produk status lainnya. Contoh lain dari hal ini adalah sebuah fenomena yang dikenal dengan nama “enjo kosai”, atau “kencan yang dibayar” dimana orang dewasa dapat membeli seks dengan anakanak, khususnya lewat hand phone atau situs-situs internet. Ada banyak kesalahpahaman tentang trend ini dan sebuah kecenderungan untuk tidak memandang anak-anak ini sebagai korban eksploitasi telah memicu ketidakpedulian terhadap hak-hak mereka atas perlindungan dan telah menciptakan kecenderungan untuk menghukum dan menyalahkan anakanak yang terlibat. 12) Adopsi Adopsi merupakan sebuah langkah perlindungan permanen untuk anakanak yang kehilangan keluarga dan harus menjadi hasil akhir dari proses yang dilakukan secara profesional dan multidisipliner untuk menjamin ditegakkannya kepentingan terbaik seorang anak. Dalam bentuk-bentuk perdagangan yang lebih buruk, istilah “adopsi” dapat dijadikan topeng bagi pemindahan seorang anak dari satu orang kepada orang yang lain untuk tujuan eksploitasi seksual. 13) Hukum yang tidak layak dan korupsi Banyak negara yang kekurangan kerangka hukum yang komprehensif untuk mencegah tindak kriminal, mengelola upaya-upaya penyelidikan menuntut para pelaku serta melindungi dan membantu anak-anak selama proses pemulihan mereka. Disamping itu, korupsi yang dilakukan oleh polisi dan para penegak hukum lainnya dapat menjadi hambatan utama dalam memerangi eksploitasi seksual komersial. Seperti semua tindakan ilegal, kita juga merasa sulit untuk menentukan besaran masalah korupsi. Para pelaku perdagangan dapat menyuap penjaga perbatasan dan polisi akan menerima commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 tawaran dari para pemilik lokalisasi untuk mendapatkan layanan gratis sebagai imbalan agar mereka tutup mulut. 14) Teknologi informasi dan komunikasi Semua anak dan remaja yang menggunakan teknologi-teknologi informasi dan komunikasi (TIK) adalah beresiko. Disamping itu, anak-anak yang tidak mendapatkan akses terhadap TIK terbaru juga dapat beresiko tanpa mereka sadari. Anak-anak ini dijadikan sebagi subyek foto atau video yang dikirim melalui ruang cyber (maya); atau mereka diiklankan secara online sebagi komoditas; dan/atau mereka terkena imbas oleh kekerasan dan bahaya-bahaya yang timbul dari interaksi-interaksi online yang dilakukan oleh orang lain, termasuk penggunaan pornografi. Berikut ini adalah jenisjenis kekerasan dan eksploitasi yang diakibatkan oleh teknologi informasi dan komunikasi. a) Pembuatan, penyebaran, dan penggunaan bahan-bahan yang menggambarkan kekerasan seksual terhadap anak. b) Rayuan online atau grooming (upaya mendapatkan kepercayaan seorang anak untuk memikat mereka kedalam sebuah situasi dimana mereka akan diperlakukan salah). c) Pemaparan terhadap bahan-bahan yang dapat menimbulkan resiko atau dampak buruk psikologis atau membawa pada resiko fisik. d) Pelecehan atau intimidasi, termasuk tindakan mempermainkan anak. k. Dampak Eksploitasi Seksual Komersial pada Anak Menurut Stephanie Delaney (2006: 21) dampak buruk yang dialami anak yang diakibatkan oleh eksploitasi seksual, yaitu: 1) Dampak fisik; luka fisik, kematian, kehamilan, aborsi yang tidak aman, angka kematian ibu dan anak yang tinggi, penyakit, dan infeksi menular seksual dan infeksi HIV/AIDS. 2) Dampak emosional; depresi, rasa malu menjadi korban kekerasan, penyakit stres pasca trauma, hilangnya rasa percaya diri dan harga diri, melukai diri sendiri serta pemikiran dan tindakan bunuh diri. 3) Dampak sosial; pengasingan dan penolakan, oleh keluarga dan masyarakat, stigma sosial serta dampak jangka panjang seperti hilangnya commit topendidikan, user kesempatan untuk mendapatkan pelatihan keterampilan dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 lapangan pekerjaan dan kecilnya penerimaan sosial dan integrasi. kesempatan untuk menikah, Eksploitasi seksual komersial dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak seorang anak untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk hidup produktif, berharga dan bermartabat. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan dampak-dampak yang serius, seumur hidup bahkan mengancam nyawa jiwa anak sehubungan dengan perkembangan-perkembangan fisik, psikologis, spiritual, emosional dan sosial serta kesejahteraanya. Walaupun dampaknya bervariasi berdasarkan pada situasi-situasi yang dihadapi anak-anak dan tergantung pada berbagai faktor seperti tahap perkembangan dan sifat lamanya serta bentuk kekerasan, tetapi semua anak yang mengalami eksploitasi seksual dan komersial akan menderita dampak negatif. Anak-anak yang mengalami eksploitasi secara seksual dan komersial sangat beresiko terjangkit HIV/AIDS dan mereka sepertinya tidak akan mendapatkan perawatan medis yang layak. Anak-anak juga sangat rentan terhadap kekerasan fisik. Anak-anak yang berusaha untuk melarikan diri atau melawan pelaku kekerasan tersebut dapat menderita luka berat atau bahkan dibunuh. Dampak-dampak psikologis dari eksploitasi seksual dan ancamanancaman yang dipergunakan biasanya akan membekas sepanjang sisa hidup mereka. Jika ada gambar-gambar dari kekerasan tersebut seperti foto maka pengetahuan tentang gambar-gambar tersebut akan menjadi pengingat traumatis tentang kekerasan itu. Perawatan dan rehabilitasi bagi anak-anak korban eksploitasi seksual komersial merupakan sebuah proses yang sangat kompleks dan sulit. Anakanak yang telah mengalami eksploitasi biasanya menyatakan perasaanperasaan malu, rasa bersalah dan rendah diri. Sebagian anak tidak percaya bahwa mereka layak untuk diselamatkan, sedangkan sebagian yang lain menderita stigmatisasi atau perasaan bahwa mereka telah dikhianati oleh commit to user seseorang yang mereka percayai, lainnya mengalami mimpi buruk, tidak bisa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 tidur, putus asa dan depresi. Reaksi yang sama juga terjadi pada anak-anak korban penyiksaan. Untuk mengatasi hal ini, sebagian dari anak-anak tersebut berusaha untuk bunuh diri atau menyalahgunakan narkoba. Banyak diantara mereka yang merasa sulit untuk berhasil berintegrasi kedalam masyarakat ketika mereka sudah dewasa kelak. 3. Partisipasi a. Pengertian Partisipasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ”Partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta”. (Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 831) Menurut Pretty, dkk yang dikutip oleh Moehar Daniel, dkk (2006: 59) “Partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya”. “Pengertian partisipasi (pasticipation dalam kamus Inggris) adalah pengambilan bagian, pengikutsertaan”. (Moehar Daniel dkk, 2006: 59) Murbyarto mendefinisikan partisipasi yaitu, “sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri”. (Taliziduhu Ndraha, 1990: 102) Nelson dalam Taliziduhu Ndraha (1990: 102) menyebut dua macam partisipasi, Partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal, dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antar klien dengan patron, atau antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah, yang diberi nama partisipasi vertikal. “Keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai suatu kesatuan, dapat disebut sebagai partisipasi kolektif, sedangkan keterlibatan individual dalam kegiatan kelompok dapat disebut partisipasi individual”. (Taliziduhu Ndraha, 1990: 102) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 Menurut pendapat Totok Mardikanto (1988: 101) “Partisipasi adalah keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan”. Partisipasi sebagai suatu bentuk kegiatan, Verhangen menyatakan bahwa partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab dan manfaat. Tumbuhnya interaksi dan komunikasi tersebut, dilandasi oleh adanya kesadaran yang dimiliki oleh yang bersangkutan mengenai: 1) Kondisi yang tidak memuaskan, dan harus diperbaiki. 2) Kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia (masyarakat) sendiri. 3) Kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan, dan 4) Adanya kepercayaan diri, bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi kegiatan yang bersangkutan. (Totok Mardikanto, 1988: 101) Disini maksud partisipasi adalah keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu kegiatan. Partisipasi harus dilakukan dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab. 1) Bentuk Partisipasi Partisipasi bukanlah proses alami, tetapi melalui proses pembelajaran sosialisasi. Ada beberapa bentuk partisipasi, antara lain: a) Inisiatif/spontan, yaitu masyarakat secara spontan melakukan aksi bersama. Ini adalah bentuk partisipasi paling alami. Bentuk partisipasi spontan ini sering terjadi karena termotivasi oleh suatu keadaan yang tiba-tiba, seperti bencana atau krisis b) Fasilitasi, yaitu suatu partisipasi masyarakat disengaja, yang dirancang dan didorong sebagai proses belajar dan berbuat oleh masyarakat untuk membantu menyelesaikan bersama c) Induksi, yaitu masyarakat dibujuk berpartisipasi melalui propaganda atau mempengaruhi melalui emosi dan patriotism d) Koptasi, yaitu masyarakat dimotivasi untuk berpartisipasi untuk keuntungan-keuntungan materi dan pribadi yang telah disediakan oleh mereka e) Dipaksa, yaitu masyarakat berpartisipasi di bawah tekanan atau sanksisanksi yang diberikan penguasa. (Moehar Daniel dkk, 2006: 59) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 2) Macam-Macam Partisipasi Berdasarkan derajat kesukarelaan partisipan, menurut Dusseldorp yang dikutip oleh Totok Mardikanto (1988: 105-107) membedakan macam-macam partisipasi yaitu “partisipasi bebas dan partisipasi paksaan atau partisipasi tertekan”. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Partisipasi bebas, yaitu partisipasi yang dilandasi oleh rasa kesukarelaan yang bersangkutan untuk mengambil bagian dalam suatu kegiatan. Partisipasi bebas ini dibedakan dalam: (1) Partisipasi spontan, yaitu partisipasi yang tumbuh secara spontan dari keyakinan atau pemahamannya sendiri, tanpa adanya pengaruh yang diterimanya dari penyuluhan atau bujukan yang dilakukan oleh pihak lain (baik individu maupun lembaga masyarakat). (2) Partisipasi terinduksi, jika partisipasi sukarela itu tumbuh karena terpengaruh oleh bujukan atau penyuluhan agar ia secara sukarela berpartisipasi dalam kegiatan tertentu yang dilaksanakan dalam atau oleh masyarakatnya. b) Partisipasi paksaan atau partisipasi tertekan, yang pada dasarnya dibedakan dalam dua macam, yaitu: (1) Partisipasi tertekan oleh hukum atau peraturan, yaitu keikut-sertaan dalam suatu kegiatan yang diatur oleh hukum atau peraturan yang berlaku bertentangan dengan keyakinan atau pendiriannya sendiri, tanpa harus memerlukan persetujuannya terlebih dahulu. (2) Partisipasi paksaan karena keadaan sosial-ekonomi, yaitu hampir sama dengan partisipasi bebas, hanya jika ia tidak melakukan kegiatan tertentu maka ia akan menghadapi tekanan, ancaman, atau bahkan bahaya yang akan menekan kehidupannya sendiri dan keluarganya. (3) Partisipasi karena kebiasaan, yaitu suatu bentuk partisipasi yang dilakukan karena kebiasaan setempat. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 b. Arti Penting Partisipasi Warga Negara Pengertian warga negara dan kewarganegaraan dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Warga Negara adalah “warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan”, sedangkan Kewarganegaraan dalam Pasal 1 angka 2 adalah “segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara”. Pendidikan kewarganegaraan memiliki nilai strategis dalam rangka meningkatkan kesadaran komprehensif terhadap bangsa. Nilai strategis ini pada gilirannya akan berujung pada tindak keterlibatan atau partisipasi warga negara yang efektif dan bertanggung jawab untuk memperbaiki kualitas kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan. Untuk dapat berpartisipasi dengan efektif dan bertanggung jawab serta dilandasi dengan pengetahuan yang cukup, warga negara perlu memiliki kemampuan tertentu untuk berpartisipasi atau bisa disebut sebagai kecakapan partisipatoris (participatory skill). Menurut Sobirin Malian dan Suparman Marzuki (2003: viii), ”Kecakapan partisipatoris meliputi tiga hal yaitu proaktif berinteraksi, kritis dan senantiasa memantau (memonitoring) isu publik, kemampuan mempengaruhi (influencing) kebijakan publik”. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Proaktif berinteraksi Proaktif berinteraksi ini merupakan kemampuan pokok yang harus dimiliki oleh warga negara dalam melakukan komunikasi dan bekerjasama dengan warga negara lainnya. Keberhasilan melakukan interaksi sama artinya dengan mampu menyatu dalam sebuah komunitas yang berarti pula mampu bertanya, menjawab dan berbicara dengan baik. Lebih dari itu kemampuan ini harus didukung pula dengan kecakapan berkoalisi; dan mengelola konflik sedemikian rupa. Proaktif dalam berinteraksi berarti pula mau dan mampu: to user a) mendengarkan dengancommit penuh perhatian perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 b) bertanya dengan kritis dan efektif c) mengutrakan pikiran dan perasaan d) mengelola konflik melalui mediasi, kompromi, dan kesepakatan (solusi). 2) Kritis dan senantiasa memantau (memonitoring) isu publik Kecakapan memantau persoalan sosial politik dan pemerintahan mengacu kepada kemampuan warga negara untuk mengamati dan memahami penanganan persoalan yang terkait dengan proses politik dan pemerintahan. Kata lain warga negara harus menempatkan diri untuk ambil bagian dan sekaligus menjadi pengawas (semacam watch dog) bagi proses politik dan pemerintahan itu. Kemampuan memantau isu politik itu meliputi kemampuan untuk: a) menelaah isu publik melalui studi pustaka (media massa, informasi elektronik, dan perpustakaan), hingga studi lapangan (observasi, wawancara, dan kuesioner) b) menghadiri pertemuan-pertemuan publik c) mengamati proses peradilan dan mekanisme kerja sistem hukum 3) Kemampuan mempengaruhi (influencing) kebijakan publik Kemampuan dalam mempengaruhi proses politik dan pemerintahan penting dimiliki warga negara agar terjadi keseimbangan antara masyarakat dengan pemerintah dan antara masyarakat dengan masyarakat. Dengan adanya keseimbangan ini (bargaining position) antara keduanya dan di luarnya akan lebih mudah dibangun. Keahlian mempengaruhi kebijakan publik meliputi kemampuan untuk: a) membuat petisi b) berbicara di depan umum c) bersaksi di depan badan-badan publik d) terlibat dalam kelompok advokasi ad-hoc e) membangun aliansi Selanjutnya, Sobirin Malian dan Suparman Marzuki (2003: viii-ix) commit to user menjelaskan bahwa: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 Implementasi partisipatoris harus dilaksanakan dengan suatu target yang jelas. Membangun keahlian partisipasi mensyaratkan upaya merangkai dua wilayah, yaitu sisi dalam (internal) komunitas dan sisi luar (eksternal) komunitas. Sisi dalam komunitas merupakan anggota forum warga yang merupakan masyarakat kebanyakan. Sedangkan sisi luar komunitas merupakan proses politik atau pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang dapat mendorong terciptanya perubahan kebijakan. Jadi arti penting partisipasi warga negara adalah sebagai upaya mempengaruhi dan memonitoring jalannya pemerintahan dan proses pengambilan kebijakan publik, mengadakan koalisi, kerjasama dan mengelola konflik. Permasalahan eksploitasi seksual komersial anak menyangkut pelanggaran terhadap hak asasi manusia, konsep dari hak asasi manusia sudah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pencegahan eksploitasi seksual komersial anak dapat diwujudkan dengan partisipasi warga negara melalui penegakan dan perlindungan hak asasi manusia. Penegakan dan perlindungan hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk negara. Masyarakat dapat pula berpartisipasi dalam rangka penegakan dan perlindungan HAM. Masyarakat dapat membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga swadaya yang dimaksud adalah organisasi atau lembaga yang secara khusus dibentuk oleh masyarakat dengan tugas perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Lembaga ini mengonsentrasikan kegiatannya pada upaya penegakan dan perlindungan hak asasi manusia, misalnya dengan melindungi korban HAM, menuntut pihak-pihak yang melanggar HAM, melakukan upaya to user pencegahan tindak kejahatancommit terhadap HAM dan sebagainya. Contohnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48 Lembaga Swadaya Masyarakat ini misalnya di Surakarta yaitu Yayasan KAKAK. 4. Yayasan a. Pengertian Yayasan Menurut pendapatnya Indra Bastian (2007: 1) “Yayasan adalah badan hukum yang kekayaannya terdiri dari kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan”. Yayasan merupakan bagian dari warga negara yang berbentuk badan hukum sehingga dapat turut serta berpartisipasi dalam mempengaruhi kebijakan publik. Dimana suatu yayasan terdapat sekelompok orang yang mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah tertentu misalnya yang menyangkut hak asasi manusia yang perlu dilindungi dalam hal ini sebagai bentuk rasa kemanusiaan, yayasan mampu menampilkan peran sertanya dalam upaya penegakan hak asasi manusia. Di lain pihak, yayasan merupakan bagian dari perkumpulan yang berbentuk badan hukum dengan pengertian/definisi yang dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yaitu “suatu badan hukum yang kekayaanya terdiri dari kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan dengan tidak mempunyai anggota”. (Indra Bastian, 2007: 2) Yayasan saat ini sulit dibedakan dengan lembaga lainnya yang berorientasi laba, tetapi dalam hal ini yayasan termasuk organisasi nonprofit, yang berarti bahwa organisasi tersebut tidak diperbolehkan melakukan aktivitas untuk mencari keuntungan. Yayasan sebagai suatu badan hukum mampu dan berhak serta berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan perdata. Pada dasarnya, keberadaan badan hukum yayasan bersifat permanen, yaitu hanya dapat dibubarkan melalui persetujuan para pendiri atau anggotanya. Yayasan hanya dapat dibubarkan jika segala ketentuan dan persyaratan dalam to user anggaran dasarnya telahcommit terpenuhi. Hal tersebut sama kedudukannya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49 dengan perkumpulan yang berbentuk badan hukum, di mana subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum dan, yang menyandang hak dan kewajiban, dapat digugat maupun mengugat di pengadilan. (Indra Bastian, 2007: 2) Dengan demikian, yayasan dan perkumpulan yang berbentuk badan hukum mempunyai kekuatan hukum yang sama, yaitu sebagai subjek hukum dan dapat melakukan perbuatan hukum. Hak dan kewajiban yang dimilki oleh yayasan dalam Indra Bastian (2007:2) yaitu sebagai berikut: “1) Hak: berhak untuk megajukan gugatan. 2) Kewajiban: wajib mendaftarkan perkumpulan atau yayasan kepada instansi yang berwenang untuk mandapatkan status hukum badan hukum”. b. Tujuan Yayasan Setiap organisasi, atau yayasan, memiliki tujuan yang spesifik dan unik yang baik itu yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Tujuan yang bersifat kuantitatif mencakup pencapaian laba maksimum, penguasaan pangsa pasar, pertumbuhan organisasi, dan produktivitas. Sementara tujuan kualitatif dapat disebutkan sebagai efisiensi dan efektivitas organisasi, manajemen organisasi yang tangguh, moral karyawan yang tinggi, reputasi organisasi, stabilitas, pelayanan kepada masyarakat, dan citra perusahaan. (Indra Bastian, 2007: 2) Menurut Indra Bastian (2007: 3) mengatakan bahwa “tujuan itu sendiri adalah suatu hasil akhir, titik akhir, atau segala sesuatu yang akan dicapai. Setiap tujuan kegiatan disebut sebagai sasaran atau target”. Beberapa ahli membedakan arti tujuan dan sasaran, di mana tujuan mempunyai pengertian yang lebih luas, sedangkan sasaran adalah lebih khusus. Namun, banyak ahli tidak membedakan keduanya. Istilah tujuan dan sasaran digunakan dalam pengertian yang sama untuk menunjukkan hasil akhir yang dicari dan akan dicapai. Keduanya mempunyai nilai orientasi dan kondisi yang diinginkan, terutama peningkatan prestasi organisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Yayasan mempunyai fungsi commitsebagai to user pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50 Undang-undang tersebut menegaskan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang didirikan dan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan berdasarkan undang-undang. (Indra Bastian, 2007: 3) Jadi yayasan itu mempunyai fungsi dimana posisinya sebagai suatu pranata hukum berdasarkan undang-undang bergerak dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. 1) Visi “Visi merupakan pandangan ke depan di mana suatu organisasi akan diarahkan. Dengan mempunyai visi, yayasan dapat berkarya secara konsisten dan tetap eksis, antisipatif, inovatif, serta produktif”. (Indra Bastian, 2007: 3) Visi merupakan suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan. Menurut Indra Bastian (2007: 3) rumusan visi harus memperhatikan beberapa hal: a) Mencerminkan apa yang ingin dicapai sebuah yayasan. b) Memberikan arah dan fokus strategi yang jelas. c) Memiliki orientasi terhadap masa depan, sehingga segenap jajaran harus berperan dalam mendefinisikan dan membentuk masa depan yayasan. d) Mampu menumbuhkan komitmen seluruh jajaran dalam lingkungan yayasan. e) Mampu menjamin keseimbangan kepemimpinan yayasan. Rumusan visi yang jelas diharapkan mampu untuk: a) b) c) d) Menarik komitmen dan mengerakkan orang. Menciptakan makna bagi kehidupan pengurus yayasan. Menciptakan standar keunggulan. Menjembatani keadaaan sekarang dan keadaan masa depan. (Indra Bastian, 2007: 3) Visi perlu ditanamkan dalam setiap yayasan, sehingga visi bersama, pada gilirannya mampu mengerahkan dan mengerakkan segala sumber daya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51 2) Misi Dalam suatu organisasi sebelum yayasan menentukan tujuannya maka misi atau maksud dari yayasan harus ditetapkan terlebih dahulu. Misi menurut Indra Bastian (2007: 3) “Misi adalah suatu pernyataan umum tentang maksud yayasan. Misi suatu yayasan adalah maksud khas (unik) dan mendasar yang membedakan organisasi dari organisasi lainnya dan yang mengidentifikasikan ruang lingkup operasi”. Selanjutnya dikemukakan bahwa, “Misi adalah sesuatu yang diemban atau dilaksanakan oleh suatu yayasan sebagai penjabaran atas visi yang telah ditetapkan”. (Indra Bastian, 2007: 3) Dengan pernyataan misi, seluruh unsur yayasan dan pihak yang berkepentingan dapat mengetahui serta mengenal keberadaan dan peran yayasannya. Perumusan misi harus mampu: a) b) c) d) Melingkupi semua pesan yang terdapat dalam visi; Memberikan petunjuk terhadap tujuan yang akan dicapai; Memberikan petunjuk kelompok sasaran mana yang akan dilayani; Memperhitungkan berbagai masukan dari stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan). (Indra Bastian, 2007: 4) Sumber pembiayaan yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. Selain itu, yayasan juga memperoleh sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat seperti berupa: wakaf, hibah, hibah wasiat, dan perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat adalah sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima yayasan, baik dari negara, bantuan luar negeri, masyarakat, maupun pihak lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan perolehan lain misalnya deviden, bunga tabungan bank, sewa gedung, dan perolehan dari usaha yayasan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52 c. Struktur Organisasi Yayasan Struktur organisasi yayasan merupakan turunan dari fungsi, strategi, dan tujuan organisasi. dalam yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, Pengurus, dan Pengawas. 1) Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang-Undang tersebut atau anggaran dasar. 2) Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan, dan pihak yang dapat diangkat menjadi pengurus adalah individu yang individu yang mampu melakukan perbuatan hukum. 3) Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. (Indra Bastian, 2007: 4) Jadi yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, pengurus dan pengawas yang mempunyai tugas masing-masing. d. Kedudukan Hukum Yayasan dalam Sistem Hukum Indonesia Menurut Indra Bastian (2007: 6) “Yayasan adalah suatu entitas hukum yang keberadaanya dalam lalu lintas hukum di Indonesia sudah diakui oleh masyarakat berdasarkan realita hukum positif yang dan berkembang dalam masyarakat Indonesia”. Yayasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu yayasan yang didirikan oleh penguasa atau pemerintah dan yang didirikan oleh individu atau swasta. Menurut Setiawan dalam Indra Bastian (2007: 6), kecenderungan masyarakat memilih bentuk yayasan disebabkan karena: “1) Proses pendiriannya sederhana 2) Tanpa memerlukan pengesahan dari pemerintah 3) Persepsi masyarakat bahwa yayasan bukan merupakan subyek pajak”. Menurut pendapatnya Sri Rejeki dan Tobing yang dikutip oleh Indra Bastian (2007: 7), berdasarkan hukum kebiasaan dan asumsi hukum yang berlaku umum di masyarakat, ciri-ciri yayasan yaitu: commit to user 1) Eksistensi yayasan belum didasarkan pada aturan yang berlaku. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53 2) Pengakuan yayasan sebagai badan hukum belum ada aturan yang jelas. 3) Untuk kepentingan tujuan yayasan yang telah ditentukan, maka ada pemisahan kekayaan pribadi para pendiri dan kekayaan yayasan. 4) Pendirian yayasan dengan akta notaris dan didaftarkan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. 5) Untuk mewujudkan tujuan yayasan, dilakukan oleh pengurus yayasan. 6) Karena yayasan memiliki kekayaan yang terpisah, maka yayasan mempunyai kedudukan yang mandiri. 7) Sebagai badan hukum maka yayasan menjadi subyek hukum. 8) Apabila tujuan yayasan bertentangan dengan hukum, likuidasi dan kepailitan maka yayasan dapat dibubarkan oleh pengadilan. Jadi yayasan itu berstatus badan hukum, bisa didirikan oleh pemerintah maupun pihak swasta, proses pendiriannya juga sederhana. B. Kerangka Berfikir Kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak negatif antara lain menimbulkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya semakin berkembangnya eksploitasi seksual komersial terhadap anak. Bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial anak antara lain prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Eksploitasi seksual komersial terhadap anak yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu merupakan kejahatan kemanusiaan yang menyangkut hak asasi anak. Dimana anak diperlakukan yang tidak sepantasnya baik fisik maupun psikisnya. Maraknya Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan suatu fenomena sosial yang harus ditanggulangi bersama. Pencegahan merupakan langkah awal yang harusnya dilakukan. Penting bagi anggota masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam upaya pencegahan eksploitasi seksual komersial anak. Dalam hal ini warga masyarakat ataupun kelompok masyarakat seperti yayasan yang bergelut dalam bidang kemanusiaan dapat memberikan suatu pengaruh bagi kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai upaya perlindungan dan kesejahteraan anak, terutama dari ancaman eksploitasi seksual komersial serta dalam upaya penegakan hak asasi manusia. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54 Promosi, pendidikan dan kampanye mengenai eksploitasi seksual komersial anak ke berbagai elemen masyarakat termasuk wilayah-wilayah yang rentan menjadi daerah asal anak korban ESKA menjadi langkah untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat untuk melindungi anak mereka. Seperti sekolah-sekolah yang rawan dari praktek pelacuran anak perlu dilakukan pendidikan, pelatihan dan penyadaran, agar siswa tercegah dari praktek pelacuran anak. Selain itu perlu adanya sosialisasi lebih lanjut tentang Undang-Undang yang berkaitan dengan permasalahan eksploitasi seksual anak, mengingat banyak sekali dampak yang ditimbulkan dari adanya praktek ESKA maka perlu banyak informasi yang harus disampaikan kepada masyarakat. Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian ini maka penulis akan mengemukakan kerangka berpikir yang merupakan acuan didalam penelitian ini sebagai berikut: Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Pre-emptif (Pendidikan) Preventif (Sosialisasi Undang-Undang) Represif (Penegakan Hukum) Partisipasi Yayasan “KAKAK” Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak Hambatan Solusi Harapan Gambar 1. Kerangka Berfikir commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Tempat penelitian merupakan sumber diperolehnya data yang dipergunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi penelitian di Yayasan KAKAK (Kepedulian Untuk Konsumen Anak) Surakarta dengan alamat di Jalan Flamboyan Dalam No. 1 Purwosari Surakarta 57142. Hal ini diambil dengan pertimbangan: a. Ada masalah yang menarik untuk diteliti. b. Adanya keterbukaan dari pihak Yayasan KAKAK (Kepedulian Untuk Konsumen Anak) Surakarta sehingga memudahkan di dalam melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. c. Transportasinya mudah, sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan September 2011. Kegiatan tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian No Kegiatan 1. Pengajuan Judul 2. Penyusunan Proposal 3. Ijin Penelitian 4. Pengumpulan Data 5. Analisis Data 6. Penyusunan Laporan Tahun 2011 Mar Apr commit to user 55 Mei Jun Jul Agst Sept perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56 B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu dengan berusaha menggambarkan keadaan atau fenomena sosial. Menurut Lexy J. Moleong (2004: 4) yang mengutip pendapatnya Bogdan dan Taylor tentang penelitian kualitatif adalah sebagai berikut, “Metodologi kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data diskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Menurut Sugiyono (2010: 15), metode penelitian kualitatif adalah: Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada obyek alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Penelitian ini diperoleh dengan mempertimbangkan kesesuaian obyek dari studi, sehingga pengguna metode penelitian secara mendalam agar sesuai dengan metode tersebut yaitu dengan metode diskriptif. 2. Strategi Penelitian Dalam setiap penelitian diperlukan sebuah strategi agar tujuan yang telah direncanakan dapat dicapai. Dalam Penelitian diskriptif ada 4 macam strategi penelitian yang dapat digunakan untuk menyusun penelitian yaitu: a. Tunggal terpancang Studi yang memusatkan pada variabel yang telah ditentukan terlebih dahulu atau dengan istilah kemudian hanya menggunakan satu lokasi penelitian b. Ganda terpancang Sedang strategi penelitian ganda terpancang yang membedakan hanya lokasi penelitian, dimana ada dua lokasi yang digunakan c. Tunggal holistik Studi yang mengarahkan pada subyeknya secara menyeluruh dengan berbagai aspek atau dengan istilah (Atnografi Grounded) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57 d. Ganda holistik Studi yang mengarahkan pada dua subyeknya secara menyeluruh dengan berbagai aspek atau dengan istilah (Atnografi Grounded). (H.B. Sutopo, 2002: 10) Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunggal terpancang. H.B. Sutopo (2002: 42) menjelaskan bahwa “Bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke lapangan studinya”. Dalam penelitian ini peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap. Jadi penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena objek penelitian adalah tunggal yaitu hanya pada Yayasan KAKAK (Kepedulian Untuk Konsumen Anak) Surakarta serta pembahasan masalah hanya terpancang pada perumusan masalah yang telah diuraikan di depan pada BAB I sebelumnya yaitu tentang Pencegahan Ekspoitasi Seksual Komersial Anak (Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta). C. Sumber Data Menurut H.B. Sutopo (2002: 50) menyatakan bahwa, “Sumber data dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman, dokumen atau arsip”. Kemudian menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (2004: 157) menjelaskan bahwa “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif seperti yang diungkap oleh Sugiyono (2010 : 309 ) yaitu: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58 Sumber data dalam penelitian kualitatif dapat menggunakan sumber data primer, dan sumber data sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekuder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain orang lain atau lewat dokumen. Dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya. Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang berupa informan, peristiwa atau aktivitas, serta dokumen dan arsip, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1. Informan Pengertian informan menurut H.B. Sutopo (2002: 50) adalah “Sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai informan”. Informan diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sesuatu yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Informan adalah orang yang dipandang mengetahui permasalahan secara mendalam dan dapat dipercaya, sehingga dapat dijadikan sumber yang mantap. Adapun informan yang diperlukan antara lain: a. Koordinator Program Pengembangan Sistem Perlindungan Anak Yayasan KAKAK: Rita Hastuti, S.P b. Pendamping di Yayasan KAKAK: 1) Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi 2) Astri Purwakasari, S.H c. Community Organizer (CO) Yayasan KAKAK 1) Nur Hidayah, S.E 2) Atur Fitri Adiati, S.Sos d. Korban: Anggrek (nama samaran), Mawar (nama samaran), dan Melati (nama samaran) e. Orang Tua Korban: Ibu Mawar dan Ibu Melati f. Perwakilan Sekolah: Wahyuningsih, S.Pd dan Sutopo Wihadi, S.Pd commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59 2. Peristiwa atau Aktivitas Menurut H.B. Sutopo (2002: 51), mengatakan bahwa “Data atau informasi juga dapat dikumpulkan dari peristiwa, aktivitas atau perilaku sebagai sumber data yang berkaitan dengan sasaran penelitiannya”. Peristiwa atau aktivitas merupakan pengamatan terhadap proses bagaimana sesuatu terjadi secara lebih pasti karena menyaksikan sendiri secara langsung. Kegiatan yang peneliti amati adalah peristiwa atau aktivitas dari kegiatan pencegahan eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan yayasan KAKAK tahun 2011, serta pengamatan dari situasi latar belakang korban. 3. Dokumen Menurut Sugiyono (2010: 329), “Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu”. Jadi dokumen merupakan bahan tertulis yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Dalam mengkaji dokumen tidak hanya mencatat apa yang tertulis, tetapi juga berusaha menggali dan menangkap makna yang tersirat dari dokumen tersebut. Adapun dokumen yang digunakan peneliti sebagai sumber data adalah: Data situasi dan jumlah kasus eksploitasi seksual komersial anak dari September 2008 sampai Juni 2011 dapat dilihat pada lampiran 1, Data bentuk kegiatan yayasan KAKAK dalam pencegahan eksploitasi seksual komersial anak dapat dilihat dalam lampiran 2, Catatan lapangan dapat dilihat dalam lampiran 3. D. Teknik Sampling Sampel dalam suatu penelitian merupakan hal yang penting dalam memperoleh data dan bahan pengolahan data. Teknik pengambilan sampel ada beberapa cara yaitu: 1. Sampling Sistematis Sampling sistematis adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut. 2. Sampling Purposive Sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 60 3. Snowball Sampling Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. (Sugiyono, 2010: 123) Dalam suatu penelitian kualitatif sering kali peneliti menggunakan teknik Purposive Sampling. Menurut Paton dalam H.B. Sutopo (2002: 185) bahwa “Dalam hal ini peneliti akan memilih informan yang dipandang paling tahu, sehingga kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data”. Berdasarkan uraian tersebut, maka teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel yang digunakan harus sesuai dengan tujuan dari peneliti maka penelitian ini cenderung memilih informasi dari orang-orang dijadikan informasi kunci dan dapat dipercaya yaitu dari pihak yang berkompeten untuk menjadi sumber data yaitu Koordinator Program Pengembangan Sistem Perlindungan Anak Yayasan KAKAK yaitu Rita Hastuti, S.P ; Pendamping di Yayasan KAKAK yaitu Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi dan Astri Purwakasari, S.H ; Community Organizer (CO) Yayasan KAKAK Nur Hidayah, S.E dan Atur Fitri Adiati, S.Sos. Selanjutnya informan lain yaitu Korban: Anggrek (nama samaran), Mawar (nama samaran), dan Melati (nama samaran) ; Orang Tua Korban: Ibu Mawar dan Ibu Melati ; Perwakilan Sekolah: Wahyuningsih, S.Pd dan Sutopo Wihadi, S.Pd. E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara-cara operasional yang ditempuh oleh penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Berhasil tidaknya suatu penelitian tergantung pada data yang obyektif. Oleh karena itu sangat perlu diperhatikan teknik pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61 1. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Menurut Lexy J. Moleong (2004: 186) mengatakan bahwa, “Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan”. Menurut Cholid Narbuko & Abu Achmadi (2007: 83), “wawancara adalah proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan”. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik “wawancara mendalam” dengan para informan yang terkait dengan permasalahan. Sehingga dengan wawancara mendalam ini akan mendapatkan data dari para informan dengan lebih tepat, akurat dan tajam, dan dapat mengungkapkan permasalahan yang diteliti. Panduan wawancara tersebut dapat dilihat pada lampiran 4. Kemudian yang menjadi subyak responden wawancara adalah Koordinator Program Pengembangan Sistem Perlindungan Anak Yayasan KAKAK yaitu Rita Hastuti, S.P ; Pendamping di Yayasan KAKAK yaitu Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi dan Astri Purwakasari, S.H ; Community Organizer (CO) Yayasan KAKAK Nur Hidayah, S.E dan Atur Fitri Adiati, S.Sos. Selanjutnya informan lain yaitu Korban: Anggrek (nama samaran), Mawar (nama samaran), dan Melati (nama samaran) ; Orang Tua Korban: Ibu Mawar dan Ibu Melati ; Perwakilan Sekolah: Wahyuningsih, S.Pd dan Sutopo Wihadi, S.Pd. 2. Observasi Menurut Cholid Narbuko & Abu Achmadi (2007: 70), “Pengamatan atau Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki”. Teknik observasi yang digunakan dengan pengamatan secara langsung terhadap suatu gejala peristiwa yang terjadi di lapangan dengan mengkaji serta mengungkapkan fenomena-fenomena yang ada hubungannya dengan tujuan penelitian baik secara nyata maupun secara mendalam yaitu dengan cara penelitian langsung datang ke commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62 lapangan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengamatan untuk dapat mengetahui dan melihat secara langsung peristiwa-peristiwa dan tindakantindakan yang terjadi di lapangan. Panduan Observasi dapat dilihat dalam lampiran 5. Selanjutnya foto kegiatan penelitian dapat dilihat pada lampiran 6. 3. Analisis Dokumen Menurut H.B. Sutopo (2002: 69), “Dokumentasi merupakan sumber data yang sangat penting artinya dalam penelitian kualitatif terutama bila sasaran kajian mengarah pada latar belakang atau berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau yang sangat berkaitan dengan kondisi atau peristiwa masa kini”. Data-data dokumenter harus relevan dengan objek penelitian. Dapat berupa dokumen, artikel-artikel di media massa, gambar, dan lainnya yang mampu mendukung data yang diperlukan. Dalam teknik dokumentasi peneliti melakukan telaah kepustakaan dan content analysis. Menurut H.B Sutopo (2002: 69) berpendapat bahwa “Mencatat dokumen disebut juga content analysis dan yang dimaksud bahwa peneliti bukan hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi juga tentang maknanya yang tersirat”. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Data situasi dan jumlah kasus eksploitasi seksual komersial anak dari September 2008 sampai Juni 2011, Data bentuk kegiatan yayasan KAKAK dalam pencegahan eksploitasi seksual komersial anak, Catatan lapangan. F. Validitas Data Suatu penelitian untuk menjamin keabsahan data yang diperoleh, maka validitas datanya dapat dilakukan dengan cara trianggulasi. Pengertian trianggulasi menurut Sugiyono (2010: 330), berpendapat bahwa “Trianggulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada”. Menurut Patton yang dikutip oleh H.B Sutopo menyebutkan bahwa ada 4 macam teknik trianggulasi yaitu:commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63 a. Trianggulasi data, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. b. Trianggulasi metode, jenis trianggulasi ini bisa dilakukan oleh seseorang peneliti dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. c. Trianggulasi peneliti, hasil peneliti baik data atau kesimpulan mengenai bagaian atau keseluruhannya bisa di uji validitasnya dari beberapa peneliti. d. Trianggulasi teori, trianggulasi ini dilakukan peneliti dengan menggunakan prespektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. (H.B. Sutopo, 2002: 78-82) Untuk mengetahui validitas data pada penelitian ini, peneliti menggunakan trianggulasi data yaitu penelitian diambil dari berbagai sumber untuk menghasilkan data yang sejenis. Sebab cara ini mengarahkan peneliti agar dalam pengumpulan data harus menggunakan beragam data yang tersedia, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara mencari data dari informan. Selain itu menggunakan perbandingan data yang diperoleh dari informan maupun dari hasil pengamatan dan analisis dokumen yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Trianggulasi data dapat dilihat pada lampiran 7. G. Analisis Data Lexy J. Moleong (2004: 280) menyatakan bahwa “Analisis data adalah proses mengorganisasikan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data”. Sedangkan menurut Sugiyono (2010: 335), Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Adapun komponen utama dalam proses analisis ini meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan kegiatan yang digunakan untuk memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan wawancara, observasi, dan dokumen. Data yang diperoleh masih berupa data mentah yang tidak teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur. 2. Reduksi Data H.B. Sutopo (2002: 92) berpendapat bahwa “Reduksi data adalah bagian dari proses analisis, yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan”. 3. Penyajian Data Alur penting dari kegiatan analisis data adalah penyajian data. Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (2007: 17) “Penyajian itu sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan”. Penyajian data merupakan rakitan dari organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan dan tabel. Semuanya dirakit secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi. 4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi Penarikan kesimpulan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa pengulangan dengan melihat kembali field note (data mentah) agar kesimpulan yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (2007: 19) menyatakan, “Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut commit to user analisis”. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 65 Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian dalam proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan, dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa mengambil salah satu komponen saja. Penarikan kesimpulan merupakan hasil dari suatu proses penelitian yang tidak dapat terpisahkan dari proses sebelumnya, karena merupakan satu kesatuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Pengumpulan data Penyajian Data Reduksi Data Kesimpulankesimpulan Penarikan/Verifikasi (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 2007: 20) Gambar 2. Analisis Data Model Interaktif H. Prosedur Penelitian Menurut H.B. Sutopo (2002 : 187-190) kegiatan penelitian direncanakan melalui beberapa tahapan, yaitu: “(1) persiapan, (2) pengumpulan data, (3) analisis data, dan (4) penyusunan laporan penelitian”. Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 66 1. Persiapan Tahap ini terbagi menjadi dua kegiatan meliputi: a. Mengurus perizinan penelitian. b. Menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data dan menyusun jadwal kegiatan penelitian. 2. Pengumpulan Data Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi: a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan mencatat serta menyimpan dokumen. b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul. c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan 3. Analisis Data Tahap ini terbagi menjadi empat kegiatan meliputi: a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cross check kan dengan temuan di lapangan c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang dianggap lebih ahli d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian 4. Penyusunan Laporan Penelitian Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi: a. Penyusunan laporan awal b. Review laporan: dengan melakukan pengecekan ulang laporan yang telah tersusun bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk kemudian dilakukan perbaikan laporan c. Penyusunan laporan akhir. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 67 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Sejarah Berdirinya Yayasan KAKAK Pada awal berdirinya pada tanggal 23 Juli 1997 yayasan KAKAK merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus utamanya adalah pada perlindungan konsumen. Lembaga ini berdiri sebagai perwujudan dari keprihatinan sekelompok orang yang mempunyai kepedulian dan perhatian besar terhadap permasalahan anak dan konsumen, yaitu Bapak Agus Pambagio, Ibu Dewi Rahmawati, Ibu Emmy LS, Ibu Ira Puspadewi, Bapak Irwanto, Bapak Muhammad Yani, Ibu Nafsiah Mboi, Bapak Sudaryatmo, Ibu Tini Hadad, Bapak Widjanarko ES dan Bapak Widodo. Sehingga mereka memberi nama KAKAK yang merupakan singkatan dari Kepedulian Untuk Konsumen Anak. Permasalahan konsumen anak yang menonjol akhir-akhir ini adalah semakin meningkatnya pola hidup konsumtif karena gencarnya dunia usaha menjadikan anak-anak sebagai sasaran produk mereka. Sementara itu disisi lain kesadaran dan informasi mereka mengenai barang dan jasa yang dikonsumsinya masih sangat minim. Di lain pihak produsen masih seringkali tidak bertanggung jawab atas barang dan jasa yang diproduksinya dengan melanggar ketentuanketentuan, baik yang telah diatur oleh pemerintah maupun yang menyangkut keamanan dan keselamatan jiwa si anak. Dan pemerintahpun masih kurang mengawasi barang-barang dan jasa yang beredar di pasaran. Dalam perjalanannya, yayasan KAKAK melihat gejala merebaknya prostitusi anak. Dari hasil pengamatan awal, ternyata salah satu sebab keterlibatan mereka dalam industri seks ini adalah karena didorong oleh perilaku konsumtif. Selain itu, anak-anak yang dilacurkan mempunyai masalah dengan kesehatan reproduksinya, baik minimnya pengetahuan mengenai kesehatan maupun penyakit menular seksual yang mereka derita. Sehingga melalui rapat tahunan yang dilakukan di Jakarta,commit pada bulan Mei tahun 2002 memutuskan untuk to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 68 mengubah nama dengan menghilangkan kepanjangannya, sehingga nama lembaga menjadi yayasan KAKAK, dengan dua fokus isu garap yaitu perlindungan anak sebagai konsumen dan perlindungan anak korban kekerasan dan eksploitasi seksual. Yayasan KAKAK melakukan pendampingan terhadap korban perkosaan, karena dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa korban perkosaan adalah beresiko terhadap prostitusi. Karena beberapa hal diantaranya adalah karena mereka merasa sudah terlanjur tidak perawan lagi, merasa bahwa dirinya tidak suci, sehingga menjadikan mereka terjun ke dunia prostitusi. Yayasan KAKAK sudah banyak melakukan usaha untuk terwujudnya perlindungan terhadap anak walau ternyata hasil yang dicapai belum maksimal, karena dalam perjalanannya banyak kesulitan yang dihadapi, baik karena faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor-faktor internal antara lain adalah permasalahan sumber daya manusia. Kurangnya pengalaman dari sumber daya manusia yayasan KAKAK dalam pendampingan di lapangan (untuk kasus perkosaan dan pengaduan konsumen), kurangnya pengalaman dalam pengelolaan kelompokkelompok dampingan yang sudah terbentuk, menjadikan motivasi/alasan sumber daya manusia KAKAK untuk terus belajar. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang dihadapi diantaranya adalah karena tidak responnya pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan anak seperti: tidak tegasnya aparat kepolisian dalam menindak pelaku perkosaan terhadap anak, tidak responnya pengelola sekolah dalam hal pendidikan konsumen yang akan diberikan kepada anak-anak. 2. Visi dan Misi Yayasan KAKAK a. Visi Yayasan KAKAK Menciptakan masyarakat Indonesia yang memenuhi hak-hak anak yaitu hak kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi, dengan berdasarkan pada nilai-nilai kepentingan terbaik untuk anak dan non diskriminasi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 69 b. Misi Yayasan KAKAK 1) Memberdayakan masyarakat agar mampu menjamin : a) Kelangsungan hidup anak b) Tumbuh kembang anak c) Perlindungan terhadap anak 2) Menciptakan kesempatan bagi anak agar dapat mengaktualisasikan potensi diri secara optimal 3) Mewujudkan yayasan KAKAK yang profesional, independen dan mandiri 4) Melakukan advokasi terhadap berbagai kebijakan agar berpihak pada anak 3. Tujuan, Mandat dan Peran Strategis Yayasan KAKAK a. Tujuan Yayasan KAKAK Memperjuangkan terpenuhinya hak-hak anak, khususnya anak sebagai konsumen dan anak korban eksploitasi seksual melalui pendidikan, advokasi dan pelayanan. b. Mandat Yayasan KAKAK Sekumpulan orang yang peduli dan komit untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak khususnya anak sebagai konsumen dan anak sebagai korban eksploitasi seksual secara profesional, independen, mandiri, terbuka dan berperspektif anak. c. Peran Strategis Yayasan KAKAK Dalam rangka mandat, visi, misi dan tujuan tersebut. Yayasan KAKAK ingin menjadikan dirinya sebagai “Agent of Social Change” dengan peran-peran strategis : 1) Community Organizer, dengan fungsi : Memperkuat akses terhadap sumber daya, penguasaan informasi dan organisasi masyarakat. 2) Fasilitator, dengan fungsi : commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 70 Memfasilitasi proses belajar masyarakat dan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kemampuannya mengatasi masalah. 3) Advokator, dengan fungsi : Mendorong terjadinya perubahan-perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan dan hak-hak anak. 4) Researcher, dengan fungsi : Melakukan penelitian-penelitian terbangunnya ilmu kritis yang pengetahuan masyarakat, mampu mendorong dan berguna untuk mendukung mengembangkan model pendidikan maupun advokasi. 4. Susunan Organisasi Yayasan KAKAK Yayasan KAKAK merupakan badan hukum yang staffnya terdiri dari direktur, koordinator perlindungan anak, tiga orang staff internal yang mengurusi administrasi, lima orang staff lapangan selaku pendamping dan seorang penjaga yayasan. Secara keseluruhan berjumlah sebelas orang. Di yayasan KAKAK sering kali terjadi perubahan dan pergantian kepengurusan. Sehingga susunan organisasinya tidak tetap dan mungkin akan ada perubahan kembali. Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari pembina, pengurus, dan pengawas. Untuk meningkatkan aktivitas kegiatan baik di tingkat lembaga dan lapangan, peran pembina lebih diarahkan sebagai moral support maupun technical support. Sedangkan secara fungsional fungsi board antara lain : 1) Merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan program-program strategis, pengembangan staff dan pengembangan institusi. 2) Mengorganisir pertemuan tiga tahunan 3) Memilih direktur eksekutif. 4) Melakukan monitoring dan evaluasi kelembagaan tiap tiga tahun. Secara lengkap susunan organisasi yayasan KAKAK dijelaskan sebagai berikut : Tabel 2. Susunan Organisasi Yayasan KAKAK No Nama Posisi 1 Shoim Sahriyati, S.T Direktur commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 71 2 Koordinator Program Pengembangan Rita Hastuti, S.P Sistem Perlindungan Anak 3 Siswi Yuni Pratiwi, Penjangkau dan Pendamping anak S.Psi korban ESKA 4 Astri Purwakasari, S.H Pendamping hukum 5 Nur Hidayah, S.E Community Organizer (CO) 6 Atur Fitri Adiati, S.Sos Community Organizer (CO) 7 Ati Fatmawati, S.Kom Pendamping korban ESKA 8 Sudaryati, S.E Manager Kantor 9 Sri Rahayu, S.E Manager Keuangan 10 Hastuti Staff Administrasi 11 Bapak Ahmad Penjaga Yayasan Sumber Data: Profil Yayasan KAKAK B. Deskripsi Hasil Penelitian Eksploitasi seksual komersial anak merupakan potret realita terburuk yang dialami oleh banyak anak di Indonesia pada umumnya. Dampak dan resiko yang ditimbulkan dari eksploitasi seksual komersial ini sangat buruk, sehingga keberadaanya merupakan wujud pelanggaran hak asasi manusia, karena bagaimanapun anak sebagai seorang manusia juga mempunyai hak-hak yang harus dihormati keberadaannya. 1. Gambaran Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Surakarta Surakarta merupakan salah satu kota dimana fenomena ESKA berkembang, dan jumlah anak korban ESKA semakin lama semakin meningkat karena adanya kebutuhan dan permintaan yang kian meningkat. Untuk mengembalikan/mengeluarkan anak yang berada pada situasi ESKA bukan merupakan hal yang mudah, karena merupakan masalah yang dilematis. Dari data yang masuk di yayasan KAKAK dari September 2008 sampai Juni 2011 ada 75 anak korban ESKA. meliputi Eks Karisidenan Surakarta commit Itu to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 72 yang berhasil dipantau. Adapun jumlah anak korban ESKA di wilayah Surakarta tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Jumlah dan Asal Anak Korban ESKA di Surakarta Keterangan Asal daerah Jenis Solo Klaten Karanganyar Sragen Wonogiri Sukoharjo Boyolali TOTAL Total Sep 08-Juni 2011 Jumlah Dalam Anak prosentase 49 65.33% 9 12.00% 7 9.33% 4 5.33% 1 1.33% 4 5.33% 1 1.33% 75 100.00% Sumber Data: Yayasan KAKAK Dari data tersebut diatas tidak semua korban terdampingi hanya beberapa saja korban yang dapat didampingi di yayasan KAKAK. Data tersebut tidak mewakili seluruhnya karena kemungkinan masih banyak yang tidak terjangkau. Jumlah anak korban paling banyak di wilayah Solo yaitu 49 anak, dengan prosentase 65.33%. Banyak faktor yang membuat anak terjerat ESKA, salah satu penyebabnya karena remaja perkotaan yang cenderung bergaya hidup hedonis. Gaya hidup hedonis atau bermewah-mewahan mendorong generasi muda di kota Solo untuk berperilaku konsumtif. Sekarang ini banyak anak-anak yang memenuhi gaya hidup sesuai dengan tuntutan lingkungan yang membuat mereka memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu yang sebenarnya hanya merupakan keinginan seperti barang-barang mewah yaitu hand phone, baju, sepatu mahal, motor dan sebagainya. Sedangkan dari kondisi ekonomi anak-anak tersebut tergolong kurang mampu. Situasi inilah yang sering dimanfaatkan oleh orangorang tertentu yang berniat jahat untuk melakukan eksploitasi seksual komersial terhadap mereka dengan imbalan-imbalan kebutuhan yang dijanjikan. Hal yang pertama kali dilakukan yayasan KAKAK untuk mengetahui adanya kasus ESKA tersebut mereka menggunakan beberapa metode ketika commit user kunci, yaitu orang-orang yang menjangkau yaitu melalui informasi darito orang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 73 memang mengetahui dimana keberadaan anak korban ESKA, kemudian dari anak korban ESKA dampingan terdahulu, dari jaringan, instansi pemerintah, LSM maupun masyarakat. Dari informasi tersebut kemudian dikroscekkan apakah benar anak tersebut korban ESKA, kemudian melakukan pendekatan ke keluarganya dan ke anaknya. Apabila informasi tersebut benar maka yayasan KAKAK akan melakukan pendampingan. Eksploitasi seksual komersial anak dibagi dalam tiga bentuk yaitu prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Ketiga bentuk ini dalam berbagai kasus terkait satu sama lain. Berdasarkan kategorinya dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 4. Kategori ESKA Keterangan Jenis Kategori ESKA: Total Sep 08-Juni 2011 Jumlah Dalam Anak prosentase Prostitusi 44 58.67% Pornografi 2 2.67% trafficking tujuan seksual 29 38.67% TOTAL 75 100.00% Sumber Data: Yayasan KAKAK Dari tabel tersebut di atas diketahui bahwa yang menduduki peringkat paling atas adalah ESKA dalam bentuk prostitusi anak yaitu sebanyak 44 kasus dengan prosentase 58.67%, kemudian perdagangan anak untuk tujuan seksual dan terakhir pornografi. Di Surakarta bentuk eksploitasi yang paling sering terjadi adalah perdagangan anak untuk tujuan seksual, anak-anak tersebut diperjual belikan sebagai komoditas kemudian dijadikan pelacur hingga masuk ke dunia prostitusi yang menghasilkan banyak uang. Mereka didorong oleh keadaan, struktur sosial dan pelaku-pelaku individu kedalam situasi-situasi dimana orang dewasa memanfaatkan kerentanan mereka serta mengeksploitasi dan melakukan kekerasaan seksual kepada mereka. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 74 Keberadaan anak korban ESKA di Surakarta tidak hanya melibatkan anak perempuan tetapi juga anak laki-laki, saat ini korban yang paling banyak adalah anak perempuan. Pelakunya itu bisa orang tua kandungnya sendiri, orang tua tiri, saudara, teman bahkan pacar. Kemudian yang mendominasi pada tahun 2011 ini adalah pacar. Anak laki-laki bukan tidak mungkin menjadi korban ESKA, beberapa kasus memang korbannya adalah anak laki-laki yang pelakunya itu adalah homo seksual (sesama jenis) tapi dalam beberapa kasus juga ditemui pelakunya adalah heteroseksual. Prosentasenya ada dalam tabel di bawah ini: Tabel 5. Jenis Kelamin Anak Korban ESKA di Surakarta Keterangan Jenis Laki-laki Jumlah anak Perempuan TOTAL Total Sept 08- Juni 2011 Jumlah Dalam anak prosentase 4 5.33% 71 94.67% 75 100 % Sumber Data: Yayasan KAKAK Berdasarkan data di atas baik anak perempuan maupun anak laki-laki dapat menjadi korban eksploitasi seksual komersial, akan tetapi memang kecenderungan anak perempuan menjadi korban itu lebih banyak yaitu ada sebanyak 71 anak perempuan dengan prosentase 94.67%. Anak perempuan memang lebih beresiko karena terkait erat dengan posisi lemah mereka dalam masyarakat. Sedangkan bagi anak laki-laki, eksploitasi seksual komersial dipergunakan secara khusus sebagai bentuk intimidasi dimana anak laki-laki melakukannya atas dasar dipaksa. Bagi orang-orang dewasa penting untuk menyadari bahwa anak laki-laki juga membutuhkan perlindungan. Usia anak korban ESKA di Surakarta, untuk kategori anak sebagaimana dijelaskan pada BAB II sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Batasan anak korban ESKA adalah anak yang berusia dibawah 18 tahun. Rinciannya dapat dilihat dalam tabel berikut ini: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 75 Tabel 6. Usia Anak Korban ESKA di Surakarta Jenis Keterangan Usia anak menjadi korban ESKA 9 tahun 12 tahun 13 tahun 14 tahun 15 tahun 16 tahun 17 tahun Belum ada info TOTAL Total Sep 08-Juni 2011 Jumlah Dalam Anak prosentase 1 1.33% 2 2.67% 8 10.67% 8 10.67% 18 24.00% 18 24.00% 6 8.00% 14 18.67% 75 100.00% Sumber Data: Yayasan KAKAK Dari data tersebut di atas, anak korban ESKA dilihat dari batasan umurnya memang tidak bisa dipatok, ada kasus bahkan anak 9 tahun menjadi korban, dalam tiga tahun terakhir ini yang paling banyak menduduki adalah anak usia 15 dan 16 tahun dengan prosentase masing-masing 24.00%. Anak-anak usia tersebut memang secara psikologis masih labil, mudah untuk terpengaruh karena masih dalam perkembangan emosi yang belum stabil. Keberadaan anak korban ESKA, sebagian juga dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya pendidikan ditambah dengan usia yang masih tergolong anak, kurang membekali seseorang dengan pengetahuan yang cukup dalam menjalani kehidupan. Faktor penyebab rendahnya pendidikan anak yang terlibat dalam situasi ESKA didominasi oleh faktor ekonomi keluarga. Latar belakang pendidikan anak korban ESKA di Surakarta sangat beragam mulai dari jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA tetapi ada juga yang sama sekali belum pernah menikmati pendidikan secara formal. Beberapa dari anak korban ESKA tersebut ada yang masih aktif bersekolah dan sebagian lainnya sudah berhenti sekolah. Selanjutnya mengenai tingkat pendidikan anak korban ESKA yang berhasil dipantau dapat dilihat pada tabel berikut ini: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 76 Tabel 7. Tingkat Pendidikan Anak Korban ESKA di Surakarta Keterangan Jenis tidak pernah sekolah DO SD Lulus SD DO SMP Masih sekolah SMP berdasarkan Lulus SMP tingkat DO SMA /SMK pendidikan: masih sekolah SMA/ SMK Lulus SMA belum ada info TOTAL Total Sep 08-Juni 2011 Jumlah Dalam Anak prosentase 1 1.33% 10 13.33% 9 12.00% 9 12.00% 4 5.33% 6 8.00% 32 42.67% 4 75 5.33% 100.00% Sumber Data: Yayasan KAKAK Dari data tersebut diketahui bahwa anak dari tingkat pendidikan SMA/SMK memang jauh lebih banyak terjerat dalam situasi ESKA yaitu sebanyak 32 anak dengan prosentase 42.675%. Hal ini berkaitan erat dengan lingkungan pergaulan, hubungan pertemanan, gaya berpacaran yang tidak sehat sampai hubungan seks bebas. Dengan asumsi bahwa anak-anak usia sekolah memang lebih mudah untuk dibujuk dan dirayu dengan imbalan-imbalan kebutuhan dan barang-barang mewah. Entah itu secara sukarela maupun terpaksa. Hingga anak-anak ini jatuh ke dunia ESKA. Korban ESKA sebagian besar juga anak-anak putus sekolah, yaitu karena drop out SD, SMP, maupun SMA. Jadi anak-anak dari tingkat pendidikan apapun sama-sama beresiko terhadap ESKA. 2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anak Berada Pada Situasi Eksploitasi Seksual Komersial Banyak faktor yang menyebabkan anak berada pada situasi ESKA. Faktor-faktor yang mempunyai pengaruh besar (dominan) yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial di Surakarta, antara lain: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77 a. Faktor Keluarga dan Teman Nilai-nilai yang hidup dalam keluarga, masyarakat maupun lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan perilaku seseorang dalam kesehariannya. Ketidakharmonisan keluarga, perceraian dan penelantaran anak beresiko menjadikan anak-anak terjebak dalam situasi ESKA. Suasana rumah yang tidak harmonis seringkali mengakibatkan anak lari dari rumah dan mencari suasana baru yang berbeda di luar rumah. Banyak orang tua yang gagal memberikan pendidikan dan teladan yang baik untuk anak-anaknya, kesibukan orang tua seringkali menyebabkan mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mengenal anakanaknya. Faktor dari keluarga juga dikarenakan anak merasa prihatin dengan keadaan keluarga mereka, mereka ingin membantu orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mendapatkan uang dengan cepat dan mudah. Seperti yang diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi selaku Penjangkau dan Pendamping Anak Korban ESKA: Faktor internal dari si anak. Bicara anak, psikisnya itu masih labil dipengaruhi masih gampang apalagi dengan bujuk rayu, ini itu, diimingimingi hal yang wah. Dari faktor eksternal biasanya anak ini berasal dari keluarga yang kurang kondusif, broken home ataupun bercerai, atau bisa orang tuanya tinggal pisah rumah atau ada yang setiap hari berantem terus. Si anak yang dalam kondisi rumah seperti itu merasa tertekan dan kurang kasih sayang. Faktor lain yaitu lingkungan pergaulan. Banyak kasus di rumah itu sudah sangat baik, tetapi di sekolah maupun temantemannya justru malah memberi pengaruh yang sangat kuat. (Catatan Lapangan 1) Begitu pula dengan lingkungan terdekat anak, seperti teman. Lingkungan pergaulan yang tidak sehat sangat berdampak buruk bagi anakanak. Anak-anak yang sifatnya masih labil, akan sangat mudah terpengaruh untuk terjun ke dunia prostitusi, perdagangan seksual maupun pornografi. Mereka terbujuk temannya yang terlebih dahulu masuk ke dunia itu. Pengaruh teman ini disebabkan karena mereka salah memilih teman, pengaruh teman ini juga berkaitan erat dengan penggunaan obat-obatan terlarang dan minuman keras. Kemudian dari situ anak akan mulai mengenal hubungan seksual yang commit to user pada akhirnya karena sudah terlanjur malu mengakibatkan mereka menjadi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 78 anak korban ESKA. Hal ini juga yang berhasil diamati oleh peneliti melalui observasi. Seperti yang dialami oleh Anggrek (nama samaran): Pada awalnya saat anak kelas 2 SMK, anak mendapat kekerasan seksual oleh pacarnya. Anak dirayu dan diajak untuk mabuk, sehingga saat itu anak juga mulai mengkomsumsi miras dan pil dixtro dengan pacar dan teman-temannya. Dalam kondisi setengah sadar anak mendapat kekerasan seksual dari pacarnya. Ternyata setelah itu pacarnya meninggalkan anak, anak merasa sakit hati dan merasa sudah tidak berharga sehingga anak berpacaran dengan beberapa laki-laki dan melakukan aktivitas ESKA dan anak meminta imbalan untuk bersenangsenang dan membeli miras dan pil dixtro, anak juga pernah dipaksa melakukan hubungan seksual ketika anak bermain di kos-kosan temannya yang memang bebas. (Catatan Lapangan 2) Umumnya pengaruh teman maupun kelompok sangat besar. Seseorang yang telah merasa cocok dengan teman atau kelompoknya, akan cenderung mengikuti gaya teman atau kelompoknya tersebut. Sangat sulit apabila dia tidak mau mengikuti gaya kelompoknya yang dirasakan buruk, dengan tetap mempertahankan diri di dalam kelompoknya tersebut, tentu ia akan diasingkan karena tidak mau mengikuti gaya kelompoknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kondisi keluarga dan lingkungan pergaulan membawa peranan penting bagi seorang anak. Orang tua perlu memberikan teladan yang baik bagi anaknya. Selain itu anak-anak harus berhati-hati dalam memilih teman di lingkungan pergaulannya, karena pergaulan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi seorang anak, baik secara positif maupun negatif. b. Faktor Teknologi Informasi dan Komunikasi Meningkatnya teknologi informasi dan komunikasi secara langsung maupun tidak langsung menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak berada pada situasi ESKA. Anak-anak zaman sekarang sangat dekat sekali dengan media informasi seperti internet dengan berbagai layanannya seperti jejaring sosial facebook, twitter, youtube dan sebagainya. Disamping itu dunia maya menawarkan seribu satu macam cara untuk melakukan transaksi seksual sampai hubungan seksual dengan commit kontrol to user yang sangat minim atau bisa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 79 dibilang tidak ada. Anak-anak yang masih memiliki tingkat keingintahuan yang sangat tinggi tentu saja akan sangat mudah untuk menjadi korban penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi ini. Hal itu makin mengancam anak, karena anak punya akses yang tak terbatas untuk menjadi korban eksploitasi seksual komersial. Bahkan modus terbaru yang saat ini banyak digunakan pelaku untuk mencari korbannya adalah dengan jejaring sosial facebook. Kemudian televisi yang menampilkan tayangan yang tidak memiliki nilai edukasi, akan mempengaruhi anak untuk bersifat konsumtif terhadap sesuatu yang telah dilihatnya, anak-anak tersebut disuguhi barang-barang mewah yang hanya dapat mereka lihat tanpa bisa mereka miliki. Hal itu tentu saja akan sangat membawa pengaruh bagi anak untuk memiliki gaya hidup hedonis. Seperti yang dialami oleh Melati (nama samaran): Anak di sekolah merasa sedih karena teman-temannya memiliki hp yang bagus, barang mewah, naik motor dan sering pamer. Sementara dia merasa tidak punya apa-apa dan tidak mungkin menyampaikan itu ke keluarganya. Untuk biaya makan dan hidup sehari-hari saja orangtuanya harus banting tulang sehingga tidak mungkin membelikan anak barang-barang mewah. (Catatan Lapangan 3) Selain itu banyak kasus yang muncul akibat adanya penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi seperti munculnya jual beli anak untuk tujuan seksual dalam sejumlah website yang terselubung, sebagian ada pula pornografi anak. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi: Faktor yang lain adalah media, facebook, televisi. Sangat disayangkan mungkin filter-filter itu kurang yang penyajian enak dilihat tapi tidak ada unsur pendidikan, jadi anak cuma meniru tapi tidak tahu resikonya apa. Selain itu di tempat-tempat seperti sekolah, kafe, diskotik, pembangunan mall, secara tidak langsung mendorong anak-anak untuk memiliki gaya hidup hedonis (gaya hidup mewah). (Catatan Lapangan 1) Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknologi informasi tidak hanya berdampak positif tapi juga negatif. Melalui website, televisi, facebook commit to user kejahatan seksual yang berujung telah menjebak anak-anak dalam perangkap perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 80 pada ESKA. Ini merupakan dampak negatif dari meningkatnya teknologi informasi dan komunikasi. c. Faktor Sosial dan Ekonomi Di Surakarta faktor sosial ini erat kaitannya dengan gaya hidup remaja perkotaan yang konsumtif. Akan tetapi sebagian besar anak korban ESKA memiliki latar belakang sosial ekonomi yang relatif rendah. Kondisi dan latar belakang ekonomi keluarga yang pas-pasan tersebut tidak memungkinkan bagi anak-anak tersebut untuk dapat hidup dengan gaya hurahura dan mewah sebagaimana layaknya orang-orang yang berkecukupan. Kondisi ekonomi yang sulit dapat memaksa seseorang untuk memilih pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tetapi bisa menghasilkan banyak uang, salah satunya adalah dengan menjadi pelacur. Hal ini yang banyak ditemukan anak yang terjerat prostitusi. Keinginan untuk memiliki barang-barang mewah yang juga berkaitan erat dengan pengaruh teman dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai memaksa mereka untuk berada pada situasi ESKA misalnya prostitusi. Seorang anak korban perdagangan seksual yang berhasil ditemui yaitu Mawar (nama samaran), dalam observasi peneliti: Mawar dan adiknya mengaku melakukan aktivitas ESKA karena himpitan ekonomi. Ingin senang-senang dan untuk membantu ekonomi keluarga. Dia sedih melihat ibunya harus banting tulang mencari uang sendirian untuk dia, adiknya dan neneknya. (Catatan Lapangan 4) Pengaruh kondisi ekonomi sebagai faktor penyebab terjadinya eksploitasi seksual komersial anak, juga diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi: Faktor ekonomi memang sangat berpengaruh biasanya mereka pendidikannya rendah, mereka drop out sekolah, karena tidak ada biaya sementara mereka masih ingin tetap sekolah, mereka menjadi tulang punggung keluarga, bingung mau kerja apa, apa-apa ga ngerti. Untuk mendapatkan uang banyak sulit mereka terdorong melakukan itu. (Catatan Lapangan 1) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 81 Dari hasil wawancara tersebut peneliti bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa kondisi sosial ekonomi membawa pengaruh yang sangat besar bagi seorang anak, apalagi dengan pola hidup masyarakat kita yang cenderung konsumtif, akan mampu menjebak seorang anak untuk terjun ke dalam ESKA dengan segala keterbatasan yang ada agar mampu memenuhi segala keinginannya. d. Faktor Pengalaman Seksual Dini Hubungan seksual dini menjadi salah satu faktor penyebab anak berada pada situasi ESKA. Anak yang sudah terbiasa melakukan aktivitas seksual biasanya anak lebih mudah masuk ke dalam situasi ESKA, hal ini disebabkan mereka belum mampu berpikir jauh ke depan, karena kapasitas mereka masih anak-anak, sehingga tidak memikirkan dampaknya seperti apa ke depannya. Sedangkan dari data yang dihimpun yayasan KAKAK faktorfaktor itu meliputi: Tabel 8. Faktor Pendorong Anak Terjerumus ESKA Keterangan faktor pendorong anak terjerumus ESKA Jenis a. kekerasan seks oleh pacar (melakukan aktivitas sex dengan pacar ) b. kekerasan seks oleh teman / orang yang sudah dikenal c. dijual oleh ibu / saudara d. ditipu e. pengaruh teman Total Sep 08-Juni 2011 Jumlah Dalam Anak prosentase 58 77.33% 3 4.00% 2 2 2.67% 2.67% f. Ekonomi /kurang mampu (pertama melakukan aktivitas sex dgn user) 1 1.33% g. orientasi seksual h. kekerasan seksual dgn perlawanan (awalnya diperkosa kemudian ESKA) i. Belum ada info 4 5.33% 5 9.34% 75 100.00% TOTAL commit to user Sumber Data: Yayasan KAKAK perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 82 Berdasarkan data yang ada, hubungan seksual dini yang dilakukan dengan pacar tidak lepas dari pengaruh kondisi masing-masing keluarga korban tersebut berasal. Biasanya, mereka tidak cukup terpenuhi kebutuhan psikologisnya, seperti rasa sayang, rasa aman, dan perhatian. Selain itu, mereka juga kurang terpenuhi kebutuhan materialnya. Kurangnya pengawasan orang tua akhirnya mendorong anak untuk mencari kompensasi di luar, termasuk dalam bentuk melakukan aktivitas seksual dengan pacar. Hubungan seksual dini yang menjadi salah satu faktor penyebab anak terjerat dalam situasi ESKA, dalam hal ini pelakunya adalah pacar menduduki peringkat teratas yaitu sebanyak 58 anak dengan prosentase 77.33%. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak secara mendalam. Pengalaman seksual dini menjadi penyebab seorang anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial. Karena sudah terlanjur merasa tidak berharga lagi, malu dan tertipu maka anak ini meneruskan dengan terjun ke ESKA, akhirnya anak mendapat stigma atau cap buruk di mata masyarakat. Pandangan masyarakat yang menggangap mereka sampah masyarakat, menyebabkan anak sulit untuk menarik diri dari dunia ESKA. Selain itu ada yang dampak yang harus ditanggung anak-anak yang berada pada situasi ESKA. Dampak dari ESKA bermacam-macam ada dampak fisik, psikis maupun seksual yang mana itu yang akan dialami oleh semua anak, yang berada pada situasi ESKA, seperti yang diungkapkan oleh Astri Purwakasari, S.H: Akibat pastinya tekanan psikologis itu pasti, anak itu akan berbeda sekali ketika ia menjadi korban dengan sebelum ia jadi korban ada yang lebih pendiam, ada juga kebalikannya dia jadi lebih berani. Bahkan ada juga yang sampai ia dikeluarkan dari sekolah karena itu menjadi aib dan diminta untuk mengundurkan diri, itu akan mengakibatkan anak mengalami tekanan lagi. Ada juga sampai kehamilan yang tidak dikehendaki. Akibat lain yang paling kita hindari yaitu setelah dia menjadi korban kekerasan seksual ia bisa menjadi korban ESKA. Itu sebenarnya yang pendampingan perlu kita intens itu untuk menghindarkan anak ini menjadi korban ESKA. Korban yang mendapat kekerasan seksual itu iacommit mengalami to usersampai luka fisik yang luar biasa yang mana ia dipukul dulu, diiket tangannya. Yang lebih berat lagi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 83 adalah dampak sosialnya di masyarakat, masyarakat kadang-kadang menggangap itu aib bagi masyarakat, sehingga anak itu dikucilkan, perlakuannya sangat berbeda ketika ia terjerat kasus. Tiga dampak utama psikologis, fisik dan sosial dampak itu yang akan dirasakan oleh anak. (Catatan Lapangan 5) Saat ini banyak sekali modus yang digunakan pelaku untuk menjerat para korbannya, dengan kondisi psikologis anak yang mudah dirayu dan dipengaruhi menyebabkan anak sangat rentan terjebak dalam ESKA. Seperti yang diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi: “Kalau modus tren yang sekarang kedoknya pacaran tapi terselubung, jadi tidak kelihatan, kedua menipu dengan dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang tinggi, dirayu, diiming-imingi, akhirnya mereka jadi korban”. (Catatan Lapangan 1) Hal ini juga yang dialami oleh Melati (nama samaran) anak korban perdagangan seksual dalam observasi peneliti: Melati ditawari pekerjaan dan dijanjikan akan mendapat penghasilan yang besar oleh X (broker/ pelaku). Pada awalnya dia menolak, namun temannya terus merayunya kemudian dengan alasan diajak main ke rumah temannya, akhirnya anak mau. Sampai di rumah temannya, Melati dikenalkan dengan teman-teman X dan kemudian Melati ditipu dibawa ke hotel dan dikunci dari luar. Kemudian user masuk dan memaksa anak melayani secara seksual. Melati diberi imbalan oleh user namun dibawa oleh X. (Catatan Lapangan 3) Dari faktor-faktor tersebut diatas yang paling banyak mendominasi adalah faktor pengalaman seksual dini, hal ini yang membuat anak merasa dirinya sudah tidak berharga kemudian malah menjatuhkan diri ke dunia ESKA. Ini merupakan langkah awal yang harus dicegah. 3. Partisipasi Yayasan “KAKAK” dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak Berkaitan dengan munculnya isu ESKA, yayasan KAKAK berupaya memulai program dalam kegiatan pencegahan, penangganan dan rehabilitasi anak korban ESKA. Selain itu yayasan KAKAK juga berupaya untuk mewujudkan visi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 84 dan misinya, seperti yang diungkapkan oleh Kak Rita Hastuti, S.P selaku Koordinator Program Pengembangan Sistem Perlindungan Anak yaitu: Kita melakukan pemberdayaaan dengan terjun langsung ke masyarakat kita melakukan sosialisasi-sosialisasi kita juga melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan-kebijakan. Semua itu kita sesuaikan dengan visi, misi yayasan KAKAK yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang peduli dan mau memberikan perlindungan serta memenuhi hak-hak anak. (Catatan Lapangan 6) Dari wawancara di atas yayasan KAKAK menunjukkan kepedulian yang besar dalam perlindungan anak. Juga sangat memperhatikan kebutuhan mereka seperti pengetahuan, keterampilan, hiburan, perkembangan kesehatan reproduksi, maupun kejiwaan (psikologis) mereka dengan menyediakan berbagai fasilitas dan pelayanan yang tersedia. a. Kegiatan-Kegiatan yang Dilakukan Yayasan KAKAK Secara Umum Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan yayasan KAKAK secara umum berkaitan dengan penanggulangan ESKA meliputi: 1) Pendekatan, Penjangkauan dan Pendampingan Pendekatan dilakukan dengan cara menjangkau anak korban kekerasan seksual maupun ESKA. Dengan langsung turun ke lokasi dimana anak-anak tersebut akrab dengan lingkungan kesehariannya, misalnya sekolah, tempat nongkrong, tempat bermain maupun kunjungan langsung ke rumah/home visit. Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan mendampingi korban dan keluarganya dalam menghadapi masalah yang mereka hadapi, misalnya dengan dukungan moril bagi anak yang bersangkutan. Pendampingan di yayasan KAKAK ini ada pendamping psikologis korban kekerasan seksual dan ESKA juga ada pendamping hukum yang mendampingi anak dalam berproses hukum. Dengan melakukan pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual maupun ESKA diharapkan dapat membantu agar anak dapat kembali menjalani kehidupan mereka secara normal. Proses awalnya seperti yang dikemukakan oleh commit to user Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi yaitu: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 85 Prosesnya outreach, menjangkau dulu kalau memang anak ini korban ESKA kita mendampingi dengan melakukan observasi dan assessment ini kita akan tahu anak ini butuhnya apa dia butuh rujukan secara medis. Biasanya mereka bermasalah dengan reproduksi. Kalau bermasalah dengan itu, kita dengan jaringan maupun instansi lain yang berkompeten untuk itu, kita fasilitasi. Anak kita bawa di instasi puskesmas itu mereka akan melakukan penanganan kalau mereka butuh intervensi medis, kalau butuh intervensi hukum kita ada pendampingan hukum. Kalau kita butuh teman kita melakukan advokasi dengan yang lain di pengadilan, kejaksaan seperti itu. Kalau mereka butuh intervensi pendidikan kita berusaha untuk menfasilitasi dengan beasiswa. (Catatan Lapangan 1) Dari hasil wawancara peneliti dapat menyimpulkan bahwa, dari melalui proses penjangkauan, pendekatan, kemudian pendampingan. Yayasan KAKAK akan mengetahui hal-hal apa saja yang dibutuhkan oleh korban dan berusaha untuk memfasilitasi dengan harapan bahwa anak ini dapat keluar dari situasi ESKA. Setelah anak dewasa dan sudah menginjak usia 18 tahun, pendampingan tidak akan berhenti begitu saja tetapi masih yang dipantau secara terus-menerus meskipun sudah tidak intens tetapi masih dilakukan komunikasi dengan korban. Karena ketika ia sudah dewasa apa-apa yang dilakukannya adalah sebuah pilihan. Dimana ia sudah mampu berpikir lebih dewasa dan bukan lagi anak-anak. 2) Pemberian Layanan Dalam kegiatannya yayasan KAKAK juga berupaya memberikan pelayanan-pelayanan bagi anak korban ESKA maupun kekerasan seksual, meliputi: a) Pelayanan Medis Kegiatan ini memiliki tujuan untuk menyediakan pengobatan medis dan penanganan secara medis bagi korban. Seperti yang diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi: Menjangkau dulu kalau memang anak ini korban ESKA kita mendampingi dengan melakukan observasi dan assessment ini kita akan tahu anak ini butuhnya apa dia butuh rujukan secara medis. Biasanya mereka bermasalah dengan reproduksi. Kalau commit to user bermasalah dengan itu, kita dengan jaringan maupun instansi lain perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 86 yang berkompeten untuk itu, kita fasilitasi. Anak kita bawa di instasi puskesmas itu mereka akan melakukan penanganan kalau mereka butuh intervensi medis, kalau butuh intervensi hukum kita ada pendampingan hukum. (Catatan Lapangan 1) Kegiatan ini dilakukan apabila anak membutuhkan penanganan secara medis maka yayasan KAKAK berusaha untuk memfasilitasi dengan melakukan lobby ke instansi terkait misalnya puskesmas. Layanan ini diberikan yayasan KAKAK dengan mengadakan kerjasama dengan lima puskesmas induk jadi ada puskesmas di Manahan, Pajang, Sangkrah, Ngoresan dan Kratonan, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika anak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Dengan adanya kerjasama ini diharapkan anak-anak memperoleh keringanan biaya. b) Pelayanan Psikologis Kegiatan ini diberikan pada saat anak membutuhkan dukungan moral maupun spiritual, dimana anak mempunyai permasalahan cukup kompleks dalam kehidupannya, mulai dari masalah keluarga, teman, sekolah maupun pacar. Hal ini dilakukan selama pendampingan, dalam memberikan layanan psikologis pendamping mempertimbangkan kepentingan yang terbaik untuk anak. Layanan ini bisa dilakukan dimana saja dan kapanpun anak memerlukan bantuan psikologis. c) Pelayanan Hukum Layanan ini diberikan pada saat anak telah benar-benar berproses hukum. Yayasan KAKAK melakukan pendampingan hukum pada korban ESKA maupun kekerasan seksual mulai dari proses awal di kepolisian, kejaksaan, di pengadilan sampai vonis dijatuhkan. Dimana seorang anak ini dengan keterbatasan pengetahuan mereka akan merasa takut dan bingung ketika berhadapan dengan hukum. Fungsinya pendamping untuk mendampingi anak berproses hukum serta sebagai penyambung lidah antara anak dengan petugas yang commit to user berwenang dan menjelaskan apa-apa yang tidak diketahui oleh anak. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 87 Pentingnya pendampingan hukum ketika anak berproses hukum menurut Kak Astri Purwakasari, S.H yaitu: Pendampingan hukum atau pendampingan apapun itu untuk memperjuangkan hak-hak anak itu sendiri. Ketika anak berproses hukum anak mendapatkan keadilan. Hak-hak dalam hal ini pelaku dihukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Kalau korbannya anak-anak misalnya kasus kasus kekerasan seksual dengan Undang-Undang Perlindungan Anak sanksinya ada di situ minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun. Nah kita mengawal apakah hak-hak anak itu sudah terpenuhi dan mendapatkan keadilan, yaitu pelaku mendapatkan ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Proses hukum seperti itu. Anak itu juga mendapatkan hak perlindungan dari aparat penegak hukum. Kadang-kadang ada aparat penegak hukum yang tidak berprespektif terhadap anak, yang bertanyanya membuat anak itu ketakutan, membuat trauma dan sebagainya. Nah itu kita mendampingi untuk melindungi anak-anak dari aparat penegak hukum yang sewenang-wenang. Jadi anak tersebut tidak merasa ketakutan meskipun berhadapan dengan aparat penegak hukum ia tetap merasa nyaman dan aman. (Catatan Lapangan 5) Jadi fungsi dari pendamping hukum disini sangat vital ketika anak menjalani proses hukum supaya anak mendapatkan hak-haknya. Pendampingan hukum dalam memberikan pelayanan hukum yayasan KAKAK anggotanya dipilih yang mempunyai kompetensi professional dalam bidangnya. 3) Pemberian Beasiswa Pendidikan Program ini menyediakan beasiswa bagi para korban, jadi yayasan KAKAK berusaha untuk memfasilitasi. Hal ini diungkapkan oleh Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi: Kalau mereka butuh intervensi pendidikan kita berusaha untuk menfasilitasi dengan beasiswa jadi di KAKAK itu ada beasiswa baik formal maupun nonformal. Kalau formal itu spp kalau non formal untuk keterampilan-keterampilan seperti membuat flanel, aksesoris, kan tidak semua anak minat di akademik. Kalau memang anak-anak tidak ada dana kita berusaha ke instansi yang lain siapa sih yang bisa mensupport ini gitu. Kita melakukan lobby advokasi ke pemerintah. (Catatan Lapangan 1) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 88 Jadi ada beasiswa baik formal maupun non formal. Beasiswa formal itu dalam bentuk SPP kalau non formal itu untuk keterampilanketerampilan seperti kursus membuat flanel, aksesoris, menjahit, karena tidak semua anak minat dibidang akademik. Dalam hal ini kalau yayasan KAKAK tidak ada dana yang memadai maka yayasan KAKAK melakukan lobby ke pemerintah. 4) Training Melihat banyaknya permasalahan yang ada pada anak, maka training ini diadakan dengan tujuan untuk memberikan keterampilan, pemahaman, serta pengetahuan mengenai hal-hal yang sangat dekat dengan mereka. Training yang pernah diselenggarakan oleh yayasan KAKAK adalah: a) Training Hak Anak dan Kesehatan Reproduksi Materi yang diberikan mengenai hak-hak anak. Anak-anak diberikan bekal pengetahuan dan pemahaman mengenai hak mereka sebagai anak, sehingga ketika anak tahu dan paham diharapkan akan diterapkan dalam kehidupannya. Materi kesehatan reproduksi bertujuan untuk bisa memberikan pengetahuan kepada anak-anak tentang bagaimana menjaga organ reproduksinya. b) Training Motivasi Materi motivasi juga diberikan untuk terus menjaga, memupuk, serta mengembangkan kepercayaan diri anak dan upaya ketahanan hidup secara psikis agar lebih baik lagi. c) Training Pengembangan Media Dalam training ini anak-anak belajar untuk mengembangkan media. Misalnya dalam proses pembuatan film dokumenter, anak-anak tidak hanya belajar teorinya saja, tetapi praktek dalam membuat film. Dalam proses tersebut anak-anak benar-benar langsung berperan sebagai cameramen, sutradara, dan pemainnya. Adapun tema yang diangkat dalam film tersebut memang tidak jauh dari permasalahan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 89 yang tidak jauh dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan anak korban eksploitasi seksual komersial. d) Training Manajemen Konflik dan Pengembangan Organisasi Materi manajemen konflik diberikan untuk memberikan wawasan mengenai bagaimana cara mengatasi permasalahan- permasalahan yang mereka hadapi di lingkungannya. Disamping itu, masyarakat juga dibekali materi pengembangan organisasi, yang diharapkan dapat menumbuhkan pengetahuan tentang bagaimana proses dan cara kerja organisasi serta bagaimana mengembangkan sebuah organisasi. e) Training Pemetaan Situasi Anak Dalam rangka peningkatan peranan orang tua, masyarakat, guru dalam menangani permasalahan terkait dengan anak khususnya persoalan yang terkait dengan kekerasan dan ESKA, serta peningkatan keterampilan masyarakat maupun sekolah agar terpetakan situasi anak di adakan training pemetaan situasi anak di wilayah dan sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Wahyuningsih, S.Pd: Kita ada training pemetaan masalah siswa itu kemarin di Hotel Riyadi Palace. Terus ada diskusi tingkat kota rutin setiap bulan ada 1 perwakilan dari sekolah. Kalau diskusi pemetaan itu digabung dengan SMP N 17. Kegiatanya meliputi diskusi, training terus mading juga. (Catatan Lapangan 7) Training ini terselenggara atas kerjasama yayasan KAKAK dengan pihak-pihak yang ditunjuk. Dalam training ini masyarakat maupun sekolah mendapatkan materi yang nantinya bisa diaplikasikan di wilayah maupun sekolah, diantaranya bagaimana memetakan masalah-masalah anak yang terjadi di di situ, mulai dari penyebab, akibat dan pemecahan masalah yang bisa dilakukan bersama. Selain itu, juga belajar untuk menganalisa kecenderungan yang terjadi dari waktu ke waktu sampai pada situasi paling akhir. Hasil yang diperoleh dari training ini adalah terpetakan commit user situasi anak di sekolah danto wilayah masing-masing, harapannya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 90 pemetaan situasi tersebut dapat diatasi bersama oleh masyarakat maupun warga sekolah agar lebih berprespektif pada anak. 5) Incoming Generating Merupakan upaya untuk memfasilitasi korban atau keluarga korban dalam upaya meningkatkan pendapatan antara lain dengan kegiatan kursus pembuatan flanel, aksesoris, selain itu ada kursus menjahit, salon dan komputer. Misalnya dengan memfasilitasi anak-anak yang ingin belajar menjahit dengan menyediakan mesin jahit beserta bahan-bahan yang diperlukan sekaligus staff pengajar. Seperti ketika peneliti melakukan observasi di rumah korban yaitu Mawar (nama samaran): Mawar sebenarnya ingin sekolah lagi, namun karena tidak ada biaya, maka keinginan itu dipendam anak. Kejar paket yang ada di Klaten juga jauh dari rumah, anak tidak ada biaya untuk transport untuk berangkat seandainya ikut kejar paket. Akhirnya Mawar dan adiknya memutuskan untuk saat ini ingin cari kerja dulu. Namun ijazah SMP saja tanpa ketrampilan tidak cukup dijadikan modal untuk mencari kerja. Mawar menyambut baik ketika KAKAK memberikan tawaran untuk mendapatkan life skill sebagai modal. Mawar memilih kursus menjahit karena ingin bekerja di pabrik tekstil dan ingin punya usaha sendiri. (Catatan Lapangan 4) Ketika peneliti datang ke rumah korban, pendamping yayasan KAKAK juga menawarkan mesin jahit agar korban lebih rajin untuk mengikuti kursus. Begitu pula dengan Melati (nama samaran), Melati mengaku senang ketika yayasan KAKAK menawarkan ada life skill sebagai modal untuk anak mengikuti kursus kerajinan dari flanel, seperti yang diungkapkan oleh Melati: Buat flanel kayak gini lho mbak, kalau disini jualinnya agak susah. Udah tak titipin konter, semingu sekali aku lihat katanya belum laku gitu. Enaknya bisa dikerjain dirumah, kalau ikut kursus jahit tempatnya jauh, kalau naik bus aku mabuk mbak. (Catatan Lapangan 3) Keseluruhan kegiatan yang dilakukan di atas sebagai upaya penanggulangan eksploitasi seksual komersial anak di Surakarta di pantau dan evaluasi yayasan KAKAK dengan pihak-pihak yang terkait. Dari commit to user evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa, kegiatan-kegiatan yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 91 dilakukan tersebut sampai saat ini belum sepenuhnya dapat menghapus kenyataan bahwa masih adanya anak korban eksploitasi seksual komersial namun kegiatan tersebut mampu mengurangi aktivitas anak dalam dunia ESKA, dan harapannya agar mereka tidak lagi menjadi korban ESKA serta setidak-tidaknya dapat mengurangi tingkat terjadinya ESKA. b. Program Pencegahan ESKA yang Dilakukan Yayasan KAKAK Program pencegahan ini bertujuan agar anak tidak terjebak ke dalam ESKA. Sasarannya adalah anak-anak yang dinilai rentan terhadap ESKA dan wilayah-wilayah rentan ESKA. Mengenai pencegahan ESKA Kak Rita Hastuti, S.P memberikan penjelasan bahwa: Teman-teman di KAKAK memang kita siapkan untuk melakukan pencegahan maupun penanganan dan rehabilitasi. Pencegahan ini dapat dilakukan kapan saja. Misalnya kalau di wilayah ada dua kelurahan Semanggi dan Jebres dan dua sekolah SMP N 17 dan SMP N 26 kita memang rutin bersama-sama mengajak masyarakat karena kita pengennya masyarakat yang bergerak dan masyarakat yang memiliki. (Catatan Lapangan 6) Untuk waktu kegiatan pencegahan ini Kak Atur Fitri Adiati, S.Sos menjelaskan bahwa: “Langkah pencegahan tidak terjadwal tapi harus ada target yang harus tercapai. Proyeknya selama tiga tahun. Teknisnya tidak ada jadwal khusus jadi menyesuaikan dengan waktu mereka”. (Catatan Lapangan 8) Jadi pencegahan ESKA yang dilakukan yayasan KAKAK di fokuskan di dua wilayah yaitu Semanggi dan Jebres dan dua sekolah yaitu SMP N 26 Surakarta dan SMP N 17 Surakarta. Dalam melakukan pencegahan ESKA memang tidak terjadwal jadi disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan. Adapun kegiatan pencegahan tersebut meliputi: 1) Sosialisasi-Sosialisasi Pencegahan ESKA Dalam rangka untuk mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) yayasan KAKAK melakukan sosialisasi-sosialisasi ke wilayah dan sekolah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 92 a) Sosialisasi di Wilayah Wilayah yang dimaksud yaitu kelurahan Semanggi dan Jebres. Seperti yang diungkapkan oleh Kak Nur Hidayah, S.E: Kalau untuk pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) KAKAK melakukan sosialisasi pencegahan ESKA di sekolah, di wilayah. Dan juga kita melibatkan masyarakat. Jadi sosialisasi itu selain anak-anak juga ke masyarakat. (Catatan Lapangan 9) Sosialisasi dilakukan di wilayah tersebut dikarenakan wilayah tersebut merupakan lingkungan tempat tinggal yang sangat rawan yang dapat mempengaruhi perkembangan dan memungkinkan untuk terjadinya eksploitasi seksual komersial pada anak. Sosialisasi di wilayah untuk anak-anak dilakukan oleh teman sebaya. Jadi sosialisasi dari anak untuk anak-anak, sebelumnya anak-anak ini sudah mendapatkan pengarahan dari yayasan KAKAK. Untuk yang dewasa itu dilakukan dengan membentuk kader-kader, mereka yang ditunjuk menjadi kader inilah yang akan melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakatnya. Hal ini yang juga disampaikan oleh Kak Nur Hidayah, S.E: Untuk wilayah yaitu dari anak-anak itu sendiri diperuntukkan untuk anak-anak. Jadi melalui peer education bagaimana sosialisasi dilakukan oleh teman sebaya. Kalau untuk masyarakat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri yang pernah mengikuti pelatihan di KAKAK. (Catatan Lapangan 9) Dalam melakukan sosialisasi di wilayah, mereka bertemu secara rutin, yaitu untuk anak sendiri dan dewasa sendiri. Saat ini yayasan KAKAK juga mulai merintis PPT (Pos Pelayanan Terpadu) di kelurahan pada masing-masing wilayah. Yang mana juga diungkapkan oleh Kak Rita Hastuti, S.P: Di wilayah ada di Semanggi dan Jebres, mereka bertemu secara rutin, jadi ada pertemuan untuk anak sendiri dan dewasa sendiri. Harapannya mereka bisa saling berkoordinasi kira-kira ada permasalahan apa dan mau melakukan apa gitu. Untuk saat ini kita lagi buat kayak (Pos Pelayanan Terpadu) di dua commitPPT to user kelurahan ini jadi nanti teman-teman diharapkan menjadi tangan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 93 panjang PTPAS (Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta) kalau misalnya ada kasus-kasus di masyarakat mereka yang akan bergerak dan nanti setelah mereka bergerak kalau tidak bisa menangani kita merujuk ke PTPAS. (Catatan Lapangan 6) Jadi dengan melakukan sosialisasi di wilayah diharapkan semua masyarakat memperoleh informasi penting dan mau mencegah ESKA di lingkungannya. Selain itu diharapkan juga mereka mau peduli dan berempati ketika terjadi kasus ESKA, sehingga masyarakat ini dapat ikut serta dalam melakukan penangganan dengan kerjasama melalui PPT di kelurahan. b) Sosialisasi di Sekolah Sekolah yang dimaksud adalah SMP N 26 Surakarta dan SMP N 17 Surakarta. Sosialisasi yang dilakukan di sekolah dilakukan oleh guru kepada murid-murid, yang mana sebelumnya guru ini sudah mendapatkan training dari yayasan KAKAK, kemudian disosialisasikan kepada seluruh siswa. Begitu pula dengan di sekolah, anak-anak usia sekolah beresiko terhadap kekerasan seksual dan ESKA. Selain itu berdasarkan pemetaan masalah yang dilakukan yayasan KAKAK tiga tahun terakhir ini bahwa wilayah dan sekolah itu yang dinilai sangat rentan terhadap ESKA karena dulu ada beberapa kasus yang terjadi disitu. Banyak kegiatan yang dilakukan yayasan KAKAK dalam mencegah ESKA, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Wahyuningsih, S.Pd selaku Guru Bimbingan Konseling di SMP N 26 Surakarta yaitu: Kemarin kegiatannya ada peringatan Hari Anak, acaranya lombalomba ada 7 macam lomba kalau ga salah, kita ada training pemetaan masalah siswa itu di Hotel Riyadi Palace. Terus ada diskusi tingkat kota rutin setiap bulan ada 1 perwakilan dari sekolah. Kalau diskusi pemetaan itu digabung dengan SMP N 17. Kegiatanya meliputi diskusi, training terus mading juga. Pelatihan mading untuk anak-anak dari bulan Desember ada dana dari KAKAK, kita disuruh buat masing sebanyak 12 kali terbitan. Temanya macam-macam dari budaya, lingkungan sekolah, commit to user HP dan sebagainya. KAKAK tentang pemalakan, tentang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 94 menyisipkan tentang kekerasan dan ESKA sama kesehatan reproduksi, nah ini anak-anak baru bikin itu yang terakhir nanti terbitnya bulan depan. (Catatan Lapangan 7) Selain itu mengenai media sosialisasi di sekolah Kak Nur Hidayah, S.E mengungkapkan: “Ada lagi melalui media lain yaitu mading tapi memang lebih fokus ke sekolah yang bertemakan tentang perlindungan anak dan ESKA pastinya”. (Catatan Lapangan 9) Jadi mading sebagai sebagai salah satu media sosialisasi di sekolah. Materi yang diberikan dan informasi yang perlu disampaikan dalam melakukan sosialisasi-sosialisasi adalah tentang pengertian anak, hak dan kewajiban anak, sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak, dampak dari ESKA, serta bagaimana cara memerangi ESKA. Materi-materi selanjutnya bisa dilihat pada lampiran 8. Dalam hal ini informasi yang diberikan di wilayah maupun sekolah sama. Selain itu pentingnya sosialisasi dilakukan karena perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, seperti yang diungkapkan oleh Kak Nur Hidayah, S.E bahwa: Perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama bukan satu pihak saja, misalnya di sekolah bukan hanya tugas guru Bimbingan Konseling, tetapi itu menjadi tugas bersama baik itu kepala sekolah, guru mata pelajaran, anak itu sendiri dan pastinya orang tua dan itu harus bersinergi. Di wilayah pun sama jadi informasi diberikan itu bahwa tanggung jawab perlindungan anak bukan hanya orang tua anak tapi juga masyarakat dan juga pemerintah berdasarkan Undang-Undang. (Catatan Lapangan 9) Jadi dapat penulis simpulkan bahwa perlindungan anak itu dalam lingkungan sekolah adalah tanggung jawab semua warga sekolah. 2) Kampanye-Kampanye Pencegahan ESKA Kampanye ini dilakukan melalui teater, pembuatan film dokumenter, peringatan Hari Anak Nasional, dan media massa. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 95 a) Teater Pencegahan ESKA dilakukan melalui teater. Teater ini dipakai sebagai salah satu media terapi bagi anak-anak, sekaligus mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai media pendidikan, media partisipasi bagi anak untuk berekspresi, sekaligus sebagai upaya pencegahan ESKA dimana cerita dalam seni teater ini mempunyai pesan moral agar tersampaikan ke dalam masyarakat. Dalam hal ini Kak Nur Hidayah, S.E memberikan keterangan bahwa: Kalau untuk pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) KAKAK melakukan sosialisasi pencegahan ESKA di sekolah, di wilayah. Dan juga kita melibatkan masyarakat. Jadi sosialisasi itu selain anak-anak juga ke masyarakat. Selain sosialisasi juga ada kampanye juga misalnya melalui teater jadi bagaimana caranya teater itu bisa berbunyi terhadap perlindungan anak sendiri. (Catatan Lapangan 9) Teater berisikan kampanye mengenai kegiatan sehari-hari yang kadang kala terjadi di sekitar kita mengenai hak-hak anak yang dilanggar dan bagaimana mengatasinya. Kegiatan teater dilakukan di wilayah rentan, difasilitasi oleh yayasan KAKAK demikian pula dengan pembuatan film dokumenter. b) Pembuatan Film Dokumenter Kegiatan pembuatan film dokumenter melatih anak-anak mengembangkan media yang ada selain sebagai salah satu media kampanye. Dalam proses pembuatan film dokumenter, anak-anak tidak hanya belajar teorinya saja, tetapi praktek dalam membuat film. Dalam proses tersebut anak-anak benar-benar langsung berperan sebagai cameramen, sutradara, dan pemainnya. Adapun tema yang diangkat dalam film tersebut memang tidak jauh dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan anak korban eksploitasi seksual komersial. Dengan kesempatan yang diberikan kepada anak-anak ternyata memberikan banyak pembelajaran untuk anak-anak, bagaimana anak-anak menjadi lebih berani tampil, percaya diri, commit to user dengan kegiatan yang positif dan bermanfaat. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 96 c) Peringatan Hari Anak Nasional Dalam rangka mewujudkan Hari Anak Nasional dua SMP yaitu SMP N 26 dan SMP N 17 Surakarta dan dua wilayah Semanggi dan Jebres pada tanggal 23 Juli memperingati Hari Anak Nasional sebagai wujud tanggung jawab, partisipasinya dalam pemenuhan atas hak-hak anak tersebut. Peringatan Hari Anak ini tentu saja di harapkan bukan hanya sekedar ceremonial atau perayaan saja yang dilakukan setiap tahunnya, tetapi yang terpenting adalah makna yang terkandung dan tujuan dari pokok dari peringatan Hari Anak Nasional itu sendiri. Bapak Sutopo Wihadi, S.Pd selaku Kesiswaan di SMP N 26 dalam rangka Hari Anak Nasional menyatakan bahwa: Kegiatan pentas seni Hari Anak Nasional ini dilakukan dalam waktu 2 tahun terakhir ini. Tahun kemarin diisi dengan lombalomba tahun ini ada lomba-lomba pentas seni. Kegiatan seperti ini bagus sekali karena untuk menyalurkan bakat siswa. (Catatan Lapangan 10) Dengan adanya peringatan Hari Anak Nasional ini diharapkan dapat menjadi peristiwa yang penting untuk mengugah kepedulian dan partisipasi dari semua pihak dalam menghormati dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi anak, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta menghargai pendapat anak. Hal ini juga yang peneliti amati ketika observasi di SMP N 17 Surakarta, hari itu adalah peringatan Hari Anak Nasional, SMP N 17 Surakarta bekerjasama dengan Yayasan KAKAK atas dukungan terre des hommes menyelenggarakan acara tersebut dengan tema “Anak Indonesia Belajar Untuk Masa Depan (Anak Indonesia Sehat, Kreatif dan Berakhlak Mulia)”. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa: Acara Hari Anak Nasional dimulai pukul 15.00, meskipun baru bisa dilaksanakan pada tanggal 29 Juli, tidak menyurutkan siswasiswi SMP N 17 Surakarta untuk berkreasi. Pesertanya adalah userVII, dan IX. Siswa-siswi cukup siswa-siswi daricommit kelas to VII, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 97 antusias dalam mengikuti acara tersebut. Pentas seni tersebut diisi dengan sambutan dari pihak yayasan KAKAK, kemudian karaoke, karawitan, modern dance, seni tari, fashion show dan sebagainya. Siswa-siswi mengaku senang dengan diadakannya kegiatan tersebut. (Catatan Lapangan 11) Sedangkan tujuan secara umum diselenggarakan Hari Anak Nasional adalah untuk meningkatkan komitmen semua pihak dan menyebarluaskan informasi tentang pentingnya hak-hak anak pada para pengambil kebijakan, orang tua dan masyarakat umum. Selain itu untuk mendukung Solo sebagai Kota Layak Anak. d) Media massa Selain itu kampanye yang dilakukan juga melalui media massa yaitu poster, stiker, iklan layanan masyarakat, surat kabar maupun radio. Hal tersebut untuk menghimbau masyarakat agar peduli terhadap perlindungan anak. Yayasan KAKAK juga mempunyai agenda rutin siaran radio setiap hari kamis jam 10.00-11.00 di Radio PTPN. Dengan membahas isu-isu yang berkaitan dengan kekerasan dan ESKA. Seperti yang diungkapkan oleh Kak Rita Hastuti, S.P: Yang kita lakukan sosialisasi-sosialisasi seperti yang kemarin yang mbak Dewi lihat. Ada anak-anak sendiri, orang dewasa, sekolah-sekolah, kita juga melakukan siaran radio setiap hari kamis jam 10.00-11.00 di Radio PTPN. Ini kita membahas isuisu yang berkaitan dengan kekerasan dan ESKA itu memang yang bisa kita lakukan saat ini, selain itu ada leaflet, buku-buku. (Catatan Lapangan 6) Ada juga buletin yang setiap satu bulan sekali diterbitkan oleh yayasan KAKAK yang menyajikan berbagai macam informasi yang diperlukan tentang anak, kekerasan maupun ESKA dengan tema yang berbeda-beda. Isi dari buletin tersebut ada rubrik untuk konsultasi dan berbagai macam tips yang berguna bagi anak. Anak-anak juga diberikan kesempatan untuk menyalurkan hobinya menulis, membuat cerpen maupun puisi dan karyanya akan dimuat di buletin sahabat. Melalui berbagai media massa ini diharapkan dapat menjangkau commit to user masyarakat secara luas. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 98 3) Mewujudkan Partisipasi Anak dan Masyarakat Melalui Pendidikan Komunitas Dalam rangka mewujudkan partisipasi anak, komunitas anak di wilayah Semanggi maupun Jebres membentuk suatu komunitas anak yang diberi nama Community education (Comed). Comed ini dilakukan dengan melibatkan pendidik sebaya. Pendidik sebaya menjadi media anak untuk bisa berpartisipasi dan lebih mudah diterima informasinya jika dilakukan dalam usia yang sebaya. Kegiatan ini di fokuskan di kelurahan Semanggi dan Jebres, dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut adalah wilayah yang rentan terhadap ESKA. Di Semanggi RW RT 1,2,3,7 dengan banyaknya anak-anak putus sekolah dan dekat dengan tempat dimana merebaknya prostitusi. Sedangkan Jebres RW 33,34,35 dengan banyaknya anak-anak yang akrab dengan minum-minuman keras. Kegiatan anak-anak dalam komunitas ini sosialisasi perlindungan anak terhadap kekerasan dan ESKA. Materi dan informasi yang disampaikan adalah mengenai hak dan kewajiban anak, Undang-Undang Perlindungan Anak, Dampak dari kekerasan dan ESKA dan sebagainya. Tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai upaya pencegahan ESKA di komunitas anak. Dengan demikian anak-anak dapat melakukan tindakan pencegahan minimal terhadap diri mereka sendiri dan selanjutnya dapat menyebarkan informasi tersebut kepada anak lain di sekitarnya. Seperti yang peneliti amati sendiri ketika mengikuti kegiatan Comed anak-anak di wilayah Semanggi deskripsi singkatnya sebagai berikut: Peserta pada hari itu dihadiri oleh 18 orang anak serta 2 anak sebagai moderator, umur mereka bekisar antara 10-16 tahun. Sedangkan Kak Atur dari Yayasan KAKAK sebagai fasilitator. Sebelum acara dimulai penulis sempat berkenalan satu-persatu dengan anak-anak tersebut, dan ternyata benar sebagian peserta adalah anak putus sekolah yang sedang ikut kejar paket A. Mereka ini memang sehariharinya bekerja sebagai pemulung. Acara dimulai pukul 15.30, acara tersebut dibuka dengan salam oleh Kak Atur dilanjutkan oleh dek Putri dan Septi sebagai moderator. Materi yang diberikan adalah penyampaian informasi tentang definisi anak, hak-hak yang dimiliki oleh seorang anak, commit kekerasan terhadap anak, hal-hal yang perlu to user disampaikan apabila anak-anak mendapatkan ancaman maupun perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 99 kekerasan, tentang bahaya pacaran, pendidikan seks dan sebagainya. (Catatan Lapangan 12) Dari hasil observasi yang peneliti lakukan, kegiatan tersebut sangat mendidik, selain itu anak-anak wawasannya juga lebih luas, mendidik anak sejak dini menghindarkan diri dari resiko eksploitasi seksual komersial. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin meskipun tidak terjadwal. Selain anak-anak juga ada pendidikan komunitas untuk dewasa, di Semanggi namanya FKAPAS (Forum Komunitas Peduli Anak Kelurahan Semanggi) merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam penangganan dan pelayanan kasus kekerasan dan ESKA. Difokuskan juga di dua wilayah Semanggi dan Jebres. Pesertanya yaitu pekerja layak anak, PKK, Karang Taruna, perwakilan masyarakat, pekerja kantor kelurahan dan sebagainya. Kak Nur Hidayah, S.E mengungkapkan bahwa: Untuk yang sekarang ini KAKAK membentuk PPT (Pos Pelayanan Terpadu) untuk penangganan korban kekerasan anak dan perempuan di kelurahan. Harapannya partisipasi dari masyarakat akan sangat lebih kondusif. Jadi partisipasi masyarakat melalui situ melibatkan banyak kegiatan seperti peringatan hari anak. (Catatan Lapangan 9) Saat ini dimasing-masing kelurahan sudah dirintis yang namanya PPT (Pos Pelayanan Terpadu) dengan adanya PPT ini diharapkan masyarakat dapat berperan untuk mencegah, memantau, mengatasi apabila ada permasalahan terkait anak. Diharapkan masyarakat juga peka terhadap permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka untuk bersama-sama ditindaklanjuti bersama. 4) Mengadakan Diskusi-Diskusi dan Kerjasama dengan Pihak-Pihak Terkait Diskusi-diskusi yang dilakukan yaitu: diskusi regular untuk perlindungan anak untuk orang dewasa di dua wilayah, Semanggi dan Jebres, diskusi regular untuk perlindungan anak untuk anak di dua wilayah, Semanggi dan Jebres, diskusi berkala untuk monitoring dan upgrading sistem perlindungan ESKA di sekolah maupun di wilayah, dan to userterkait atau stakeholder. diskusi tingkat kota dengancommit pihak-pihak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 100 Yayasan KAKAK juga melakukan kerjasama melalui workshop dan kelompok diskusi dengan pihak-pihak terkait misalnya Dinas Kesehatan, Bapermas, Baperda, Denkominfo, Kemenag, Dinsosnaker, Kepolisian dan sebagainya, selain itu juga melakukan sosialisasi UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepada lapisan masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat lebih memperhatikan kesejahteraan anak dan tidak membiarkan anak-anak terjebak dalam situasi ESKA maupun mencegah anak-anak agar tidak menjadi korban dari pihak-pihak tertentu yang menjadikan anak-anak sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Yayasan KAKAK untuk penangganan ESKA secara nasional bekerjasama dengan ECPAT Nasional, lembaga ini adalah lembaga nasional yang fokus terhadap isu-isu ESKA di Indonesia, Yayasan KAKAK merupakan salah satu anggotanya. Selain itu yayasan KAKAK juga melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait yang memang terkait dengan isu ESKA, Kak Rita Hastuti, S.P memaparkan bahwa: Kemudian saat ini sebagai bentuk sistem perlindungan anak yang ada di kota Solo untuk penanganan ESKA kita berkoordinasi dengan lembaga-lembaga yang memberikan penanganan, bersentuhan langsung dengan isu ESKA itu ada 27 lembaga tidak hanya dari pemerintah tapi juga masyarakat. Harapannya itu nanti mengkait dengan PTPAS (Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta) karena PTPAS ini merupakan Konsorsium yaitu gabungan dari beberapa institusi/lembaga/organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak sejumlah sekitar 47 lembaga, tapi kalau nanti kita fasilitasi yang kita koordinasi ini hanya lembaga-lembaga yang terkonsen pada isu ESKA, jadi memang hanya beberapa dan lembaga tersebut sudah tergabung dengan PTPAS. (Catatan Lapangan 6) Jadi yayasan KAKAK saat ini membentuk sistem perlindungan anak di kota Solo untuk penangganan ESKA, ada sejumlah 27 lembaga tidak hanya pemerintah tapi juga non pemerintah. Selain itu di kota Solo dengan adanya PTPAS (Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta) diharapkan isu ESKA ini bisa masuk dan mampu commit to user ditangani bersama-sama oleh pihak-pihak terkait. PTPAS mempunyai perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 101 layanan sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP). Pelayanan PTPAS terdiri dari: Pelayanan Medis, Pelayanan Konseling, Pelayanan Hukum, Pelayanan Rehabilitasi, Rumah Aman/shelter. 5) Advokasi Kebijakan Salah satu kegiatan yang dilakukan yayasan KAKAK dalam mengupayakan segala bentuk penghapusan ESKA dan sebagai langkah pencegahan adalah melalui advokasi kebijakan, segala hal yang diupayakan oleh yayasan KAKAK akan sia-sia bila tidak mendapatkan respon dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk menghapus segala bentuk ESKA sebagai upaya perlindungan anak. Strategi-strategi advokasi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan berpengaruh dalam melindungi anak-anak. Advokasi akan mengarahkan pemerintah untuk mengambil langkah penting untuk melakukan penghapusan segala bentuk ESKA serta perlindungan anak. Salah satu yang dilakukan Yayasan KAKAK kaitannya dengan advokasi kebijakan, yayasan KAKAK mencoba mengkaji ulang PERDA Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Nomor 3 Tahun 2006. Yang mana diungkapkan oleh Kak Rita Hastuti, S.P yaitu: Salah satu yang dilakukan Yayasan KAKAK kita mengkaji ulang PERDA Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Nomor 3 Tahun 2006. Tetapi kenapa PERDA itu sampai tidak jalan itu kenapa, jadi memang masih menggangap bahwa mereka ESKA itu adalah pelaku, jadi kepeduliannya masih kurang, dan itu mesti yang harus dipupuk tidak bisa sekali jadi. Karena penanganan untuk prostitusi dewasa dengan anak itu harus dibedakan karena kalau prostitusi anak itu dia sebagai korban memang harus ada hal-hal yang bisa menunjukkan bahwa dia adalah korban. (Catatan Lapangan 6) Selain mengkaji ulang PERDA yang ingin dilakukan yayasan KAKAK juga memantau lebih lanjut tentang Rencana Aksi Kota yang rencananya akan disahkan oleh pemerintah Kota Surakarta, hal ini dilakukan atas kerjasama dengan lembaga lain, berikut pengakuan dari commit to user Kak Rita Hastuti, S.P: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 102 Selain itu rencananya akan ada kebijakan RAK (Rencana Aksi Kota) tentang penghapusan ESKA itu kita juga pantau dengan kebijakankebijakan yang dilakukan terlebih untuk kasus ESKA mencoba untuk melihat lebih dalam. Kita berkoordinasi dengan namanya KIPAS (Komite Indipenden Perlindungan Perempuan dan Anak Surakarta) jadi memang KIPAS ini bertugas untuk melihat lebih dalam lagi kebijakan di kota Solo yang berkaitan dengan anak seperti apa, jadi kita bekerjasama dengan lembaga tersebut. (Catatan Lapangan 6) Jadi dalam melakukan advokasi kebijakan yayasan KAKAK berkoordinasi dengan KIPAS (Komite Indipenden Perlindungan Perempuan dan Anak Surakarta) jadi KIPAS ini bertugas untuk melihat lebih dalam lagi kebijakan di kota Solo yang berkaitan dengan anak. Sebetulnya yang berkewajiban mengatasi persoalan seputar eksploitasi seksual komersial terhadap anak adalah negara. Negara juga tidak mungkin mengatasi persoalan tersebut sendiri tetapi harus didukung oleh masyarakat, keluarga dan orang tua. Di Surakarta, pemerintah kota sudah membuat beberapa hal untuk mengatasi persoalan tersebut. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Akan tetapi dalam PERDA tersebut tidak memuat hal-hal yang khusus tentang anak, di mana kebutuhan untuk anak sangat berbeda dan lebih spesifik sehingga membutuhkan perlakuan khusus dan berbeda dengan orang dewasa. Hal lain yang sudah dilakukan yaitu adanya Rencana Aksi Kota Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak, tetapi saat ini belum bisa menjawab kebutuhan anak secara khusus. 4. Hambatan yang Dihadapi Yayasan “KAKAK” dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak Permasalahan anak adalah permasalahan yang cukup kompleks dan berkepanjangan. Yayasan KAKAK dalam upaya melaksanakan program pencegahan ESKA mengalami beberapa hambatan-hambatan. Hambatanhambatan yang dihadapi oleh yayasan KAKAK dalam mencegah eksploitasi commit to user seksual komersial anak adalah sebagai berikut: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 103 a. Hambatan Internal Adanya keterbatasan sumber daya manusia di yayasan KAKAK. Hal ini disebabkan karena jangkauan wilayah kerja yang sangat luas yaitu di Eks Karisidenan Surakarta. Kak Rita Hastuti, S.P mengutarakan berkaitan dengan hambatan internalnya yaitu: “Kita harus realistis ya mbak, bahwa personel KAKAK itu hanya sebelas orang sementara kita bekerja di Eks Karisidenan Surakarta ada 7 kabupaten”. (Catatan Lapangan 6) Selanjutnya Kak Rita Hastuti, S.P juga mengungkapkan bahwa: “Berdasarkan keterbatasan sumber daya manusia yang kita punya, sementara wilayah kerja di Eks karisidenan itu membutuhkan fokus-fokus kegiatan itu yang mungkin harus kita lakukan”. (Catatan Lapangan 6) Hal ini disebabkan banyak korban kekerasan seksual dan ESKA yang membutuhkan pendampingan. Sedangkan jumlah sumber daya manusia dari yayasan KAKAK sendiri juga terbatas, padahal pendampingan harus dilakukan secara intens. Selain itu dengan keterbatasan wilayah yang bisa dijangkau yayasan KAKAK hal ini juga yang menjadi hambatan. Hambatan yang lain yaitu sering kali terjadi perubahan kepengurusan dari yayasan KAKAK, dimana terjadi kekosongan pengurus untuk fokus dalam program tertentu. Selain itu kurangnya pengalaman dari Sumber Daya Manusia (SDM) yayasan KAKAK dalam pendampingan di lapangan, kurangnya pengalaman dalam pengelolaan kelompok-kelompok dampingan yang sudah terbentuk. b. Hambatan Eksternal 1) Dari Masyarakat Hambatan ketika melakukan pencegahan di wilayah dalam lingkungan masyarakat yaitu masyarakat belum tergerak untuk mengambil bagian dalam upaya pencegahan ESKA, karena kurangnya kepedulian masyarakat terhadap perlindungan anak. Kak Atur Fitri Adiati, S.Sos mengenai hambatan pencegahan commitESKA to userdi masyarakat berpendapat bahwa: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 104 Wilayah itu hambatannya dari kader, harus menyesuaikan jadwal mereka, mengerakkan mereka agar sadar terhadap lingkungan. Sensitivitas mereka pada permasalahan anak di lingkungan masih kurang. Kita kan sedang merintis PPT tingkat kelurahan itu kan di bawah Kota layak Anak di Semangi itu orang-orangnya itu apatis pandangan mereka terhadap perlindungan anak masih kurang. Organisasi dibentuk udah gitu aja. Harapannya kita, mereka lebih aware terhadap permasalahan anak yang ada di lingkungan mereka. (Catatan lapangan 8) Mengenai hal tersebut Kak Rita Hastuti, S.P juga memberikan keterangan bahwa: Hambatan memang untuk saat ini kita berkaitan dengan memobilisasi masyarakat kita memang masih belum bisa dilakukan secara optimal harapannya semua bergerak untuk melakukan pencegahan maupun penanganan tapi ternyata ini masih belum bisa dilakukan. (Catatan lapangan 6) Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat kurang sadar terhadap lingkungan, sensitivitas mereka terhadap permasalahan anak yang terjadi di lingkungan mereka masih kurang. Selain itu sulit untuk menggerakkan masyarakat untuk melakukan pencegahan maupun penanganan terkait dengan masalah ESKA, hal tersebut masih belum dapat mereka lakukan. Jadi menurut pandangan peneliti perspektif anak sebagai korban dalam kasus ESKA masih sangat sulit diterima masyarakat secara umum. Stigma negatif dan diskriminasi terhadap anak korban sangat melekat sehingga menganggap anak sebagai pelaku dan akhirnya cenderung memojokkan, menghakimi, mengucilkan dan bahkan membuang mereka karena dianggap sebagai sampah atau penyakit masyarakat. 2) Dari Anak Dari anak sendiri, ada banyak persoalan yang membuat anak terjerumus dan tetap bertahan dalam dunia ESKA seperti prostitusi, sehingga cukup sulit untuk menumbuhkan kesadaran akan resiko dari aktivitas seksual yang anak lakukan. Kak Astri Purwakasari, S.H mengungkapkan bahwa hambatan dari anak itu sendiri yaitu: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 105 Anak korban itu sendiri, mungkin keluarga korban sangat antusias dan menerima keberadaan kami sebagai pendamping. Tetapi anaknya yang menjadi korban justru menolak karena mungkin saja pelakunya adalah pacar korban sendiri sehingga keberadaan kita dianggap anak akan memperberat pelakunya. Itu mengakibatkan kesulitan kami melakukan pendekatan dan pendampingan. (Catatan Lapangan 5) Selain itu Kak Siswi Yuni Pratiwi, S.Psi juga menjelaskan bahwa: Hambatannya korban itu mempunyai karakteristik yang berbedabeda, kadang tempat tinggal korban berpindah-pindah, ketika anak berkomunikasi dengan kita si anak itu pergi jadi kita tidak bisa melakukan pendampingan secara intens. Ada juga yang pihak-pihak di sekelilingnya yang justru malah kurang mendukung anak ini keluar dari ESKA. Kendala pertama si anak belum tahu bahwa ia adalah korban. Si anak butuh waktu, agar ia sadar bahwa ia ini korban. Otomatis kalau ia sadar bahwa ia korban ia akan keluar dari dunia itu. kalau memang anak itu bersikeras kalau dia bukan korban itu malah akan sulit ia keluar dari situ karena tidak bisa kita paksa. (Catatan Lapangan 1) Dari wawancara tersebut diketahui bahwa seorang anak ini terkadang tidak sadar bahwa ia adalah korban sehingga sulit untuk dilakukan pendekatan maupun pendampingan. Sedangkan karakteristik anak-anak korban itu berbeda-beda sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyadarkannya. Kemudian ketika melakukan sosialisasi pencegahan ESKA untuk anak di wilayah rentan, terkadang waktunya bertabrakan dengan jam belajar. Bahkan anak-anak yang datang dalam pertemuan sering berganti-ganti kadang juga tidak mengikuti kegiatan. 3) Dari Keluarga Keluarga merupakan kelompok terdekat anak, dimana anak membutuhkan dukungan moril yang besar dari dalam keluarga. Sering kali terjadi keberadaan anak di dalam keluarga, karena stigma negatif yang diberikan dan perspektif yang memandang anak bukan sebagai korban, keluarga cenderung menyalahkan dan tidak memaafkan korban, bahkan ada unsur penolakan dengan membuang commit to user si anak atau tidak mengakui perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 106 sebagai anak lagi. Padahal latar belakang dan penyebab kemungkinan besar justru dari keluarga sendiri. Keluarga yang kurang memperhatikan kondisi dan kebutuhan seorang anak serta bersikap acuh dan tidak mau tahu sangat dibutuhkan penyadaran bagi keluarga maupun orang tua agar mampu melakukan tindakan preventif untuk melindungi anak-anak mereka. 4) Dari pihak-pihak terkait Ketika yayasan KAKAK berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak lain baik instansi pemerintah maupun organisasi non pemerintah dalam upaya penanggulangan ESKA, sering kali terjadi perbedaan pendapat ketika sedang diskusi membahas permasalahan anak, selain itu dari pihak mereka sering berganti-ganti orang ketika diadakan pertemuan. Hal ini yang diungkapkan oleh Kak Rita Hastuti, S.P: “Terus kalau kita berjaringan berkoordinasi dengan teman-teman di Eks Karisidenan Surakarta biasanya mereka perbedaan pendapat, bergantiganti orang itu juga menjadi penghambat”. (Catatan Lapangan 6) Hambatan lain yaitu tidak responnya pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan anak seperti tidak tegasnya aparat kepolisian dalam menindak pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku eksploitasi seksual komersial terhadap anak. 5) Dari Sekolah Hambatan di sekolah adalah bagaimana membentuk persepsi guru tentang pentingnya perlindungan anak, sehingga di sekolah pun hakhak anak itu perlu dijaga dan dilindungi. Seperti pernyataan Kak Atur Fitri Adiati, S.Sos: Di sekolah paling misal membentuk persepsi guru tentang hak anak dan berpihak pada anak itu agak susah selain itu hubungannya langsung dengan Dinas Pendidikan. Kalau dari Dinas tidak menyuruh membuat perubahan seperti ini ya buat apa susah-susah buat kebijakan baru. Mereka bekerja berdasarkan instruksi dari pusat karena SMP 26 dan 17 sekolah Negeri. (Catatan lapangan 8) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 107 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Bapak Sutopo Wihadi, S.Pd kaitannya dengan kegiatan Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli beliau menyatakan bahwa: Akan tetapi dari pihak guru-guru memang kurang mendapatkan respon. Ada kegiatan seperti ini guru-guru malah pulang. Padahal anak-anak itu sangat antusias dengan adanya kegiatan seperti ini. Ini untuk mewujudkan sekolah ramah anak karena pemerintah sendiri sudah mencanangkan Kota Layak Anak. (Catatan Lapangan 10) Dalam upaya mencegah ESKA di sekolah-sekolah hambatan yang dihadapi yayasan KAKAK yaitu ketika advokasi kebijakan di sekolah, kebijakan yang berpihak kepada anak, ketika seorang anak menjadi korban ESKA, agar tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif. Karena kebijakan yang ada sekolah mengacu pada Dinas Pendidikan jadi tidak semudah itu untuk membuat kebijakan baru. Hal ini karena keberadaan anak korban eksploitasi seksual komersial di sekolah berbeda sekali perlakuannya. Bahkan, diskriminasi yang diberikan kepada anak korban semakin besar karena anak tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lagi karena harus keluar dari sekolah. Nama baik sekolah, norma dan tata tertib yang menjadi acuan bagi sekolah ketika memberikan punishment kepada anak. Dalam kenyataannya anak korban justru mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif, misalkan diperolok di depan kelas atau di lingkungan sekolah, atau bahkan sampai anak dikeluarkan dari sekolah. Tentu saja hal ini membawa pengaruh negatif karena posisi anak akan semakin menjadi korban, tidak mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan karena masuk ke sekolah lainpun akan kesulitan akibat stigma yang sudah melekat pada diri anak. Menurut peneliti pencegahan ESKA di sekolah serta pentingnya perlindungan anak memang harus disepakati bersama oleh semua warga sekolah agar anak-anak ini mendapatkan hak-haknya di sekolah untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 108 C. Temuan Studi Dalam subbab ini peneliti menganalisis informasi yang berhasil dikumpulkan di lapangan sesuai dengan perumusan masalah dan selanjutnya dikaitkan dengan teori yang ada. Berdasarkan hasil penelitian yang dihubungkan dengan kajian teori maka peneliti menemukan hal-hal yang penting yaitu sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial Faktor-faktor yang mempunyai pengaruh besar (dominan) yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial di Surakarta, antara lain: a. Faktor keluarga dan teman Ketidakharmonisan keluarga, perceraian dan penelantaran anak beresiko menjadikan anak-anak terjebak dalam situasi ESKA. Suasana rumah yang tidak harmonis seringkali mengakibatkan anak lari dari rumah dan mencari suasana baru yang berbeda di luar rumah. Banyak orang tua yang gagal memberikan pendidikan dan teladan yang baik untuk anak-anaknya, kesibukan orang tua seringkali menyebabkan mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mengenal anak-anaknya. Selain itu dalam lingkungan pergaulan yang tidak sehat, anak-anak yang sifatnya masih labil, akan sangat mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang negatif. Pengaruh teman ini disebabkan karena mereka salah memilih teman, pengaruh teman ini juga berkaitan erat dengan penggunaan obat-obatan terlarang dan minuman keras. Kemudian dari situ anak akan mulai mengenal hubungan seksual kemudian menjadi suatu kebiasaan. Karena sudah terlanjur dengan keadaan yang ada pada diri anak, akhirnya dengan mudah mereka menjadi anak korban ESKA. b. Faktor teknologi informasi dan komunikasi Anak-anak zaman sekarang sangat dekat sekali dengan media informasi seperti internet dengan berbagai layanannya seperti jejaring sosial commit user facebook, twitter, youtube dan tosebagainya. Anak-anak yang masih perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 109 memiliki tingkat keingintahuan yang sangat tinggi akan sangat mudah untuk menjadi korban penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi karena anak punya akses yang tak terbatas untuk menjadi korban eksploitasi seksual komersial. Bahkan modus terbaru yang saat ini banyak digunakan pelaku untuk mencari korbannya adalah dengan jejaring sosial facebook. Kemudian televisi yang menampilkan tayangan yang tidak memiliki nilai edukasi, akan mempengaruhi anak untuk bersifat konsumtif terhadap sesuatu yang telah dilihatnya, anak-anak tersebut disuguhi barang-barang mewah yang hanya dapat mereka lihat tanpa bisa mereka miliki. Hal ini akan sangat membawa pengaruh bagi anak untuk memiliki gaya hidup hedonis (gaya hidup mewah). c. Faktor sosial dan ekonomi Sebagian besar anak korban ESKA memiliki latar belakang sosial ekonomi yang relatif rendah. Kondisi ekonomi yang sulit dapat memaksa seseorang untuk memilih pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tetapi bisa menghasilkan banyak uang, salah satunya adalah dengan menjadi pelacur. Hal ini yang banyak ditemukan anak yang terjerat prostitusi. Keinginan untuk memiliki barang-barang mewah yang juga berkaitan erat dengan pengaruh teman dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai memaksa mereka untuk berada pada situasi ESKA. d. Faktor pengalaman seksual dini Hubungan seksual dini menjadi salah satu faktor penyebab anak berada pada situasi ESKA. Anak yang sudah terbiasa melakukan aktivitas seksual biasanya anak lebih mudah masuk ke dalam situasi ESKA. Berdasarkan data yang ada, hubungan seksual dini tidak lepas dari pengaruh kondisi masing-masing keluarga korban tersebut berasal. Biasanya, mereka tidak cukup terpenuhi kebutuhan psikologisnya, seperti rasa sayang, rasa aman, dan perhatian. Selain itu, mereka juga kurang terpenuhi kebutuhan materialnya. Kurangnya pengawasan orang tua akhirnya mendorong anak untuk mencari kompensasi di luar, termasuk dalam bentuk melakukan user sudah terlanjur merasa tidak aktivitas seksual dengan commit pacar. toKarena perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 110 berharga lagi, malu dan tertipu maka anak ini meneruskan dengan terjun ke ESKA, akhirnya anak mendapat stigma atau cap buruk di mata masyarakat. Pandangan masyarakat yang menggangap mereka sampah masyarakat, menyebabkan anak sulit untuk menarik diri dari dunia ESKA. Dari uraian tersebut diatas, menunjukkan keterkaitan antara data hasil penelitian dengan landasan teori yang dijelaskan pada bab sebelumnya yang dipakai sebagai pedoman dalam penelitian ini, dimana ditemukan bahwa faktor-faktor pendorong maupun penarik yang menyebabkan terjadinya eksploitasi seksual komersial anak. Menurut Farid yang dikutip Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan dkk (2008: 8-9) “secara umum faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya ESKA ada faktor pendorong dan penarik”. Faktor-faktor pendorong antara lain : a) Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor pertanian. b) Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusatpusat industri di perkotaan. c) Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi. d) Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga. e) Pergeseran dari perekonomian subsisten ke ekonomi berbasis pembayaran tunai. f) Peningkatan konsumerisme. g) Disintegrasi keluarga. h) Pertumbuhan jumlah anak gelandangan. i) Tiadanya kesempatan pendidikan. j) Kelangkaan peraturan/hukum dan penegakkan hukum. k) Diskriminasi terhadap etnis minoritas. l) AIDS-meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak terpaksa masuk ke perdagangan seks. Apabila dikaitkan dengan faktor-faktor di atas maka hal tersebut to usermenunjukkan faktor-faktor yang relevan, meskipun dari hasilcommit penelitian perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 111 menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial sifatnya lebih kompleks. 2. Partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak Yang ditemukan bahwa Yayasan KAKAK berpartisipasi dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak yaitu melalui program pencegahan yang sudah dilakukannya. Kegiatan tersebut meliputi: a. Sosialisasi-sosialisasi pencegahan ESKA 1) Sosialisasi di wilayah Wilayah yang dimaksud yaitu kelurahan Semanggi dan Jebres. Dalam melakukan sosialisasi di wilayah, mereka bertemu secara rutin, yaitu untuk anak sendiri dan dewasa sendiri. Saat ini yayasan KAKAK juga mulai merintis PPT (Pos Pelayanan Terpadu) di kelurahan pada masing-masing wilayah. Informasi yang disampaikan dalam melakukan sosialisasi adalah tentang pengertian anak, hak dan kewajiban anak, sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak, dampak dari ESKA, serta bagaimana cara memerangi ESKA. Dalam hal ini informasi yang diberikan diwilayah maupun sekolah sama untuk membangun kesadaran anak-anak terhadap hak-haknya. Jadi dengan melakukan sosialisasi di wilayah diharapkan semua masyarakat berpartisipasi dalam upaya perlindungan anak dan mau mencegah praktik ESKA di lingkungannya. 2) Sosialisasi di sekolah Sekolah yang dimaksud adalah SMP N 26 Surakarta dan SMP N 17 Surakarta. Sosialisasi dilakukan oleh guru kepada murid-murid, yang mana sebelumnya guru ini sudah mendapatkan training dari yayasan KAKAK, kemudian disosialisasikan kepada seluruh siswa. Selain itu, mading juga sebagai sebagai salah satu media sosialisasi di sekolah yang bertemakan tentang perlindungan anak maupun untuk mencegah ESKA. Harapannya dengan melakukan sosialisasi di sekolah praktek commit ESKA dapat dicegah lebih dini.to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 112 b. Kampanye-Kampanye Pencegahan ESKA 1) Teater Teater ini sebagai salah satu media terapi bagi anak-anak, sekaligus mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai media pendidikan, media partisipasi bagi anak untuk berekspresi, sekaligus sebagai upaya pencegahan ESKA dimana cerita dalam seni teater ini mempunyai pesan moral agar tersampaikan ke dalam masyarakat. Teater berisikan kampanye mengenai kegiatan sehari-hari yang kadang kala terjadi di sekitar kita mengenai hak-hak anak yang dilanggar dan bagaimana mengatasinya. 2) Pembuatan film dokumenter Kegiatan pembuatan film dokumenter melatih anak-anak mengembangkan media yang ada selain sebagai salah satu media untuk kampanye. Adapun tema yang diangkat dalam film tersebut memang tidak jauh dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan anak korban eksploitasi seksual komersial. 3) Peringatan Hari Anak Nasional Dengan adanya peringatan Hari Anak Nasional ini diharapkan dapat menjadi peristiwa yang penting untuk mengugah kepedulian dan partisipasi dari semua pihak dalam menghormati dan menjamin hakhak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi anak, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta menghargai pendapat anak. Tujuan secara umum diselenggarakan Hari Anak Nasional adalah untuk meningkatkan komitmen semua pihak dan menyebarluaskan informasi tentang pentingnya hak-hak anak pada para pengambil kebijakan, orang tua dan masyarakat umum. Selain itu untuk mendukung Solo sebagai Kota Layak Anak. 4) Media massa Kampanye yang dilakukan juga melalui media massa yaitu poster, to usersurat kabar maupun radio. Hal stiker, iklan layanan commit masyarakat, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 113 tersebut untuk menghimbau masyarakat agar peduli terhadap perlindungan anak. Yayasan KAKAK juga mempunyai agenda rutin siaran radio setiap hari kamis jam 10.00-11.00 di Radio PTPN. Dengan membahas isu-isu yang berkaitan dengan kekerasan dan ESKA. Ada juga buletin yang setiap satu bulan sekali diterbitkan oleh yayasan KAKAK yang menyajikan berbagai macam informasi yang diperlukan tentang anak, kekerasan maupun ESKA dengan tema yang berbedabeda. Melalui berbagai media massa ini diharapkan dapat menjangkau masyarakat secara luas. c. Mewujudkan partisipasi anak dan masyarakat melalui pendidikan komunitas Dalam rangka mewujudkan partisipasi anak, komunitas anak di wilayah Semanggi maupun Jebres membentuk suatu komunitas anak yang diberi nama Community education (Comed). Comed ini dilakukan dengan melibatkan pendidik sebaya. Pendidik sebaya menjadi media anak untuk bisa berpartisipasi dan lebih mudah diterima informasinya jika dilakukan dalam usia yang sebaya. Tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai upaya pencegahan ESKA di komunitas anak. Dengan demikian anak-anak dapat melakukan tindakan pencegahan minimal terhadap diri mereka sendiri dan selanjutnya dapat menyebarkan informasi tersebut kepada anak lain di sekitarnya. Selain anak-anak juga ada pendidikan komunitas untuk dewasa. Saat ini di masing-masing kelurahan sudah dirintis yang namanya PPT (Pos Pelayanan Terpadu) dengan adanya PPT ini diharapkan masyarakat dapat berperan untuk mencegah, memantau, mengatasi apabila ada permasalahan terkait anak. d. Mengadakan diskusi-diskusi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait Diskusi-diskusi yang dilakukan yaitu: diskusi regular untuk perlindungan anak untuk orang dewasa di dua wilayah, Semanggi dan Jebres, diskusi regular untuk perlindungan anak untuk anak di dua user berkala untuk monitoring dan wilayah, Semanggi dan commit Jebres, to diskusi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 114 upgrading sistem perlindungan ESKA di sekolah maupun di wilayah, dan diskusi tingkat kota dengan pihak-pihak terkait atau stakeholder. Sebagai bentuk sistem perlindungan anak yang ada di kota Solo untuk penanganan ESKA yayasan KAKAK berkoordinasi dengan lembaga-lembaga yang memberikan penanganan, bersentuhan langsung dengan isu ESKA. Selain itu di kota Solo dengan adanya PTPAS (Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta) diharapkan isu ESKA ini bisa masuk dan mampu ditangani bersama-sama oleh pihak-pihak terkait. e. Advokasi kebijakan Strategi-strategi advokasi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan berpengaruh dalam melindungi anak-anak. Advokasi akan mengarahkan pemerintah untuk mengambil langkah penting untuk melakukan penghapusan segala bentuk ESKA serta perlindungan anak. Salah satu yang dilakukan Yayasan KAKAK kaitannya dengan advokasi kebijakan, yayasan KAKAK mencoba mengkaji ulang PERDA Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Nomor 3 Tahun 2006. Selain mengkaji ulang PERDA yang ingin dilakukan yayasan KAKAK juga memantau lebih lanjut tentang Rencana Aksi Kota yang rencananya akan dibuat oleh pemerintah Kota Surakarta. Dalam melakukan advokasi kebijakan yayasan KAKAK berkoordinasi dengan KIPAS (Komite Indipenden Perlindungan Perempuan dan Anak Surakarta) jadi KIPAS ini bertugas untuk melihat lebih dalam lagi kebijakan di kota Solo yang berkaitan dengan anak. Kemudian apabila dikaitkan dengan landasan teori yang ada menunjukkan bahwa kecakapan partisipasi warganegara menurut Sobirin Malian dan Suparman Marzuki (2003: viii), ”Kecakapan partisipatoris meliputi tiga hal yaitu proaktif berinteraksi, kritis dan senantiasa memantau (memonitoring) isu publik, kemampuan mempengaruhi (influencing) kebijakan publik”. Selanjutnya dijelaskan bahwa kemampuan mempengaruhi (influencing) kebijakan publikcommit yaitu: to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 115 Kemampuan dalam mempengaruhi proses politik dan pemerintahan penting dimiliki warga negara agar terjadi keseimbangan antara masyarakat dengan pemerintah dan antara masyarakat dengan masyarakat. Dengan adanya keseimbangan ini (bargaining position) antara keduanya dan di luarnya akan lebih mudah dibangun. Keahlian mempengaruhi kebijakan publik meliputi kemampuan untuk: a. membuat petisi b. berbicara di depan umum c. bersaksi di depan badan-badan publik d. terlibat dalam kelompok advokasi ad-hoc e. membangun aliansi (Sobirin Malian dan Suparman Marzuki, 2003: viii) Hal tersebut relevan dengan hasil penelitian yang ada dimana yayasan KAKAK sebagai warga negara menunjukkan kemampuannya dalam berpartisipasi melalui program-program pencegahan ESKA serta melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait yang bersentuhan langsung dengan isu ESKA. Selain itu yayasan KAKAK juga berkoordinasi dengan KIPAS (Komite Indipenden Perlindungan Perempuan dan Anak Surakarta) dalam mempengaruhi kebijakan publik serta senantiasa memantau isu publik berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kaitannya dengan upaya perlindungan anak dan sebagai bentuk upaya penghapusan ESKA. 3. Hambatan yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak a. Hambatan internal Adanya keterbatasan sumber daya manusia di yayasan KAKAK serta jangkauan wilayah kerja yang sangat luas yaitu di Eks Karisidenan Surakarta. Hambatan yang lain yaitu sering kali terjadi perubahan kepengurusan dari yayasan KAKAK, dimana terjadi kekosongan pengurus untuk fokus dalam program tertentu. Selain itu kurangnya pengalaman dari sumber daya manusia di yayasan KAKAK. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 116 b. Hambatan eksternal 1) Dari masyarakat Masyarakat kurang peka terhadap lingkungan wilayahnya, sensitivitas mereka terhadap permasalahan anak yang terjadi di lingkungan mereka masih kurang. Selain itu sulit untuk menggerakkan masyarakat untuk melakukan pencegahan maupun penangganan terkait dengan masalah ESKA, hal tersebut masih belum dapat mereka lakukan. Hal ini karena perspektif anak sebagai korban dalam kasus ESKA masih sangat sulit diterima masyarakat secara umum. Stigma negatif dan diskriminasi terhadap anak korban sangat melekat sehingga masih menganggap anak sebagai pelaku. 2) Dari anak Ada banyak persoalan yang membuat anak terjerumus dan tetap bertahan dalam dunia ESKA seperti prostitusi, sehingga cukup sulit untuk menumbuhkan kesadaran akan resiko dari aktivitas seksual yang anak lakukan. Selain itu anak-anak korban ESKA mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Untuk anak di wilayah rentan hambatan yang ada adalah berkaitan dengan waktu mereka yang bertabrakan dengan jam belajar. Bahkan anak-anak yang datang dalam pertemuan sering berganti-ganti kadang juga tidak mengikuti kegiatan 3) Dari keluarga Dalam keluarga sering kali terjadi keberadaan anak di dalam keluarga, karena stigma negatif yang diberikan dan perspektif yang memandang anak bukan sebagai korban, keluarga cenderung menyalahkan dan tidak memaafkan korban, bahkan ada unsur penolakan dengan membuang si anak atau tidak mengakui sebagai anak lagi. Keluarga yang kurang memperhatikan kondisi dan kebutuhan seorang anak serta bersikap acuh dan tidak mau tahu sangat dibutuhkan penyadaran bagi keluarga maupun orang tua agar mampu melakukan tindakan preventif untuk melindungi anak-anak mereka. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 117 4) Dari pihak-pihak terkait Ketika yayasan KAKAK berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak lain baik instansi pemerintah maupun organisasi non pemerintah dalam upaya penanggulangan ESKA, sering kali terjadi perbedaan pendapat ketika sedang diskusi membahas permasalahan anak, selain itu dari pihak mereka sering berganti-ganti orang ketika diadakan pertemuan. Selain itu hambatan lain adalah tidak tegasnya aparat kepolisian dalam menindak pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku eksploitasi seksual komersial terhadap anak. 5) Dari sekolah Hambatan di sekolah adalah bagaimana membentuk persepsi guru tentang pentingnya perlindungan anak, sehingga di sekolah pun hakhak anak itu perlu dijaga dan dilindungi. Hambatan yang lain yaitu ketika advokasi kebijakan di sekolah, kebijakan yang berpihak kepada anak, ketika seorang anak menjadi korban ESKA, agar tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif. Hal ini masih belum bisa diterapkan. Berdasarkan landasan teori hambatan tersebut relevan dengan hasil penelitian yang ada seperti yang diungkapkan oleh Stephanie Delaney (2006: 44) bahwa “salah satu kesulitan yang dihadapi organisasiorganisasi lokal adalah bahwa mereka mengalami kekurangan sumbersumber yang dibutuhkan”. Dalam hal ini hambatan utama yang dihadapi yayasan KAKAK dalam mencegah ESKA di lingkungan internalnya yaitu berkaitan dengan terbatasnya sumber daya manusia yang ada. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 118 D. Pembahasan 1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anak Berada Pada Situasi Eksploitasi Seksual Komersial Ada beberapa faktor yang mempunyai pengaruh besar (dominan) yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial. Yang mana masing-masing faktor ini saling mengkait satu sama lain meliputi: a. Faktor Keluarga dan Teman Keluarga merupakan lingkungan terdekat anak dimana anak membutuhkan perlindungan dan tempat tinggal. Akan tetapi keluarga yang tidak harmonis justru membuat anak merasa tidak nyaman. Suasana rumah yang tidak kondusif akibat perceraian, orang tua yang sering bertengkar, menyebabkan anak merasa kurang perhatian dan kasih sayang sehingga sering kali anak lari dari rumah dan mencari suasana baru yang berbeda di luar rumah. Hal ini beresiko menjadikan anak-anak terjebak dalam situasi ESKA. Banyak orang tua yang gagal memberikan pendidikan dan teladan yang baik untuk anak-anaknya, kesibukan orang tua seringkali menyebabkan mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mengenal anak-anaknya. Begitu pula dengan lingkungan terdekat anak, seperti teman. Lingkungan pergaulan yang tidak sehat sangat berdampak buruk bagi anakanak. Anak-anak secara psikis sifatnya itu masih labil, mudah untuk dipengaruhi. Teman-teman yang mempunyai kebiasaan dan perilaku buruk sangat mudah untuk ditiru karena seorang anak yang telah merasa cocok dengan teman atau kelompoknya, akan cenderung mengikuti gaya teman atau kelompoknya tersebut. Ketika teman-temannya terjerat dalam ESKA bukan tidak mungkin anak tersebut juga ikut terseret dalam situasi ESKA seperti yang dialami oleh Anggrek (nama samaran) dapat dilihat dalam catatan lapangan 2, dimana anak ini terpengaruh oleh teman-temannya dengan mengkonsumsi miras dan pil dixtro hingga akhirnya berujung pada ESKA. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 119 b. Faktor Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketika seorang anak sudah mulai mengenal media informasi dan komunikasi seperti internet, anak secara tidak langsung beresiko terhadap ESKA. Anak-anak yang masih memiliki tingkat keingintahuan yang sangat tinggi akan sangat mudah untuk menjadi korban penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi karena anak punya akses yang tak terbatas. Saat ini layanan internet seperti jejaring sosial facebook mampu membawa dampak yang negatif bagi anak-anak karena dunia maya menawarkan seribu satu macam cara untuk melakukan transaksi seksual sampai hubungan seksual dengan kontrol yang sangat minim atau bisa dibilang tidak ada. Selain itu modus terbaru yang saat ini banyak digunakan pelaku untuk mencari korbannya adalah dengan jejaring sosial facebook. Media lain yaitu televisi, saat ini televisi banyak menampilkan tayangan yang tidak memiliki nilai edukasi, hal itu akan mempengaruhi anak untuk bersifat konsumtif terhadap sesuatu yang telah dilihatnya, anak-anak tersebut disuguhi barang-barang mewah yang hanya dapat mereka lihat tanpa bisa mereka miliki. Untuk anak-anak yang berasal dari ekonomi menengah kebawah menimbulkan kecemburuan sosial ketika teman-teman lain mempunyai barang-barang mewah sedangkan dia tidak. Seperti ketika temantemannya mempunyai handphone mewah, sedangkan dia tidak seperti yang dialami oleh Melati (nama samaran) dapat dilihat dalam catatan lapangan 3, Melati merasa sedih karena teman-temannya memiliki hp yang bagus, barang mewah, naik motor dan sering pamer. Sementara dia merasa tidak punya apaapa dan tidak mungkin menyampaikan itu ke keluarganya. Untuk biaya makan dan hidup sehari-hari saja orang tuanya harus banting tulang sehingga tidak mungkin membelikan anak barang-barang mewah. Akhirnya karena kondisi ekonomi dan sebab-sebab lainnya mendorongnya menjadi pribadi yang mudah terpengaruh dan ini menjerumuskan dia menjadi korban ESKA. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 120 c. Faktor Sosial dan Ekonomi Dari temuan di lapangan dapat dinyatakan bahwa sebagian besar anak korban ESKA berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang relatif rendah. Kondisi ekonomi yang sulit dapat memaksa seseorang untuk memilih pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tetapi bisa menghasilkan banyak uang. Selain itu keinginan untuk memiliki barang-barang mewah yang juga berkaitan erat dengan pengaruh teman dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai memaksa mereka untuk berada pada situasi ESKA. Seperti halnya yang dialami oleh Mawar (nama samaran) bisa dilihat dalam catatan lapangan 4, yang mana Mawar ini berkeinginan untuk membantu ekonomi keluarga dan membeli barang-barang kebutuhan pribadi dengan melakukan aktivitas ESKA, selain itu karena dia sedih melihat ibunya harus banting tulang mencari uang sendirian untuk dia, adiknya dan neneknya. Bahkan sekarang ini banyak anak muda yang juga mempunyai gaya hidup hedonis hingga memaksa mereka terjun dengan sukarela melakukan aktivitas ESKA. Anak-anak ini beranggapan bahwa hal tersebut merupakan jalan termudah untuk mendapatkan uang lebih demi memenuhi kebutuhan materinya agar bisa membeli barang-barang mewah, seperti handphone dan sebagainya. d. Faktor Pengalaman Seksual Dini Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan seksual dini menjadi salah satu faktor penyebab anak berada pada situasi ESKA. Hal ini dikarenakan anak sudah terlanjur merasa tidak berharga lagi, malu dan tertipu maka anak ini meneruskan dengan terjun ke ESKA. Hubungan seksual dini ini menurut data yang dihimpun di yayasan KAKAK biasanya dilakukan dengan pacar sebanyak 77,33%. Modus yang sedang tren sekarang ini kedoknya melalui pacaran tapi terselubung, jadi tidak kelihatan. Seorang anak biasanya mudah untuk ditipu, banyak anak korban ESKA yang terjerumus dalam ESKA karena awalnya sudah melakukan aktivitas seksual dengan pacarnya, akhirnya pacarnya mengkhianati dia, commit meninggalkan to user si anak. Anak dengan perasaan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 121 kecewa dan putus asa, akhirnya malah sekalian menjerumuskan diri ke ESKA, dengan anggapan bahwa dia merasa sudah tidak berharga lagi, dan dia bisa menghasilkan uang kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan aktivitas ESKA tersebut. 2. Partisipasi Yayasan “KAKAK” dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak Yayasan KAKAK dalam menanggulangi ESKA hal utama yang dilakukan adalah dengan melakukan pencegahan ESKA hal ini bertujuan agar meminimalkan resiko anak-anak rentan di wilayah yang rentan agar tidak terjerumus dalam ESKA. Kegiatan pencegahan itu meliputi: a. Sosialisasi-sosialisasi Pencegahan ESKA 1) Sosialisasi di wilayah Yayasan KAKAK melakukan sosialisasi pencegahan ESKA dengan fokus pada wilayah tertentu, yaitu wilayah yang dinilai rentan yang dapat mempengaruhi perkembangan dan memungkinkan untuk terjadinya eksploitasi seksual komersial pada anak. Wilayah yang dimaksud yaitu kelurahan Semanggi dan Jebres. Dalam melakukan sosialisasi di wilayah, mereka bertemu secara rutin dalam suatu forum meskipun tidak terjadwal, sosialisasi yang dilakukan yaitu untuk anak sendiri dan dewasa sendiri. Sosialisasi untuk anak-anak dilakukan melalui peer education dimana sosialisasi dilakukan oleh teman sebaya, jadi dari anak untuk anak, yang mana sebelumnya anak-anak yang ditunjuk ini sudah mendapatkan pengarahan dari yayasan KAKAK. Sedangkan untuk dewasa mereka membentuk kader-kader, mereka yang ditunjuk menjadi kader inilah yang akan melakukan sosialisasi di lingkungan masyarakatnya. Saat ini yayasan KAKAK juga mulai merintis PPT (Pos Pelayanan Terpadu) di kelurahan pada masing-masing wilayah, dengan tujuan agar masyarakat mau untuk ikut serta melakukan penangganan terhadap anak korban kekerasan dan ESKA di dalam wilayah tersebut. Selain commit to user itu untuk menyukseskan program perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 122 Kelurahan Layak Anak (KLA), di wilayah Semanggi dan Jebres. Informasi yang disampaikan dalam melakukan sosialisasi adalah tentang pengertian anak, hak dan kewajiban anak, sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak, dampak dari ESKA, serta bagaimana cara memerangi ESKA. Jadi dengan melakukan sosialisasi di wilayah diharapkan semua masyarakat berpartisipasi dalam upaya perlindungan anak dan mau mencegah praktik ESKA di lingkungannya. 2) Sosialisasi di sekolah Sosialisasi pencegahan ESKA juga dilakukan di sekolah, dimana anakanak usia sekolah ini beresiko tinggi terhadap ESKA. Sosialisasi ini juga difokuskan pada sekolah tertentu, sekolah yang dimaksud adalah SMP N 26 Surakarta dan SMP N 17 Surakarta. Sosialisasi dilakukan oleh guru kepada murid-murid, yang mana sebelumnya guru ini sudah mendapatkan training dari yayasan KAKAK, kemudian disosialisasikan kepada seluruh siswa. Di SMP N 26 Surakarta sosialisasi dilakukan per kelas dengan membuat jadwal jadi guru berbagi tugas untuk melakukan sosialisasi kepada siswa, yaitu guru-guru yang sebelumnya ikut training dengan yayasan KAKAK. Sedangkan di SMP N 17 Surakarta sosialisasi dilakukan oleh masing-masing wali kelas kepada seluruh siswa per kelasnya. Selain itu ada juga mading, mading juga sebagai sebagai salah satu media sosialisasi di sekolah yang bertemakan tentang perlindungan anak maupun untuk mencegah ESKA. Informasi yang disampaikan dalam sosialisasi di sekolah sama dengan yang disampaikan di wilayah. Harapannya dengan melakukan sosialisasi di sekolah praktik ESKA dapat dicegah lebih dini. b. Kampanye-kampanye Pencegahan ESKA 1) Teater Pencegahan ESKA juga dilakukan melalui pertunjukkan teater. Teater ini sebagai salah satu media terapi bagi anak-anak, sekaligus mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai media pendidikan, media partisipasi bagi anak untuk berekspresi, sekaligus sebagai pencegahan ESKA dimana cerita commitupaya to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 123 dalam seni teater ini mempunyai pesan moral agar tersampaikan ke dalam masyarakat. Teater berisikan kampanye mengenai kegiatan sehari-hari yang kadang kala terjadi di sekitar kita mengenai hak-hak anak yang dilanggar dan bagaimana mengatasinya. Kegiatan teater ini melibatkan anak-anak rentan maupun anak-anak korban ESKA dengan difasilitasi oleh yayasan KAKAK. Teater biasanya dipertunjukkan ketika ada peringatan Hari Anak Nasional ataupun ketika ada acara tertentu yang mengusung tentang kepedulian terhadap anak. 2) Pembuatan film dokumenter Kegiatan pembuatan film dokumenter melatih anak-anak mengembangkan media yang ada selain sebagai salah satu media untuk kampanye. Adapun tema yang diangkat dalam film tersebut memang tidak jauh dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan anak korban eksploitasi seksual komersial. Dalam proses pembuatan film dokumenter, anak-anak tidak hanya belajar teorinya saja, tetapi praktek dalam membuat film. Dalam proses tersebut anak-anak benar-benar langsung berperan sebagai cameramen, sutradara, dan pemainnya. Dengan mendapatkan pelatihan dan fasilitas dari yayasan KAKAK. Ternyata dengan kegiatan semacam ini memberikan banyak pembelajaran untuk anak-anak, bagaimana anak-anak menjadi lebih berani tampil, percaya diri, dengan kegiatan yang positif dan bermanfaat untuk menyalurkan bakatnya. Film dokumenter yang dibuat tersebut kemudian dipertunjukkan dalam lingkungan masyarakat agar pesan moral dalam film tersebut dapat tersampaikan. 3) Peringatan Hari Anak Nasional Melalui peringatan Hari Anak Nasional, sebagai salah satu kampanye pencegahan ESKA. Dengan adanya peringatan Hari Anak Nasional ini diharapkan dapat menjadi peristiwa yang penting untuk mengugah kepedulian dan partisipasi dari semua pihak dalam menghormati dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi anak, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan commit to user perkembangan anak serta menghargai pendapat anak. Tujuan secara umum perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 124 diselenggarakan Hari Anak Nasional adalah untuk meningkatkan komitmen semua pihak dan menyebarluaskan informasi tentang pentingnya hak-hak anak pada para pengambil kebijakan, orang tua dan masyarakat umum. Selain itu untuk mendukung Solo sebagai Kota Layak Anak. Sampai saat ini yayasan KAKAK bekerjasama dengan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelenggarakan peringatan Hari Anak ini, anak-anak juga sangat antusias ketika diselenggarakan kegiatan semacam ini. Acara peringatan Hari Anak Nasional biasanya diisi dengan teater, seni tari, karawitan, karaoke dan masih banyak lagi. Peringatan Hari Anak ini tentu saja di harapkan bukan hanya sekedar ceremonial atau perayaan saja yang dilakukan setiap tahunnya, tetapi yang terpenting adalah makna yang terkandung dan tujuan dari pokok dari peringatan Hari Anak Nasional itu sendiri. 4) Media massa Yayasan KAKAK juga melakukan kampanye melalui media massa. Kampanye yang dilakukan juga melalui media massa yaitu poster, stiker, iklan layanan masyarakat, surat kabar maupun radio. Hal tersebut untuk menghimbau masyarakat agar peduli terhadap perlindungan anak. Yayasan KAKAK juga mempunyai agenda rutin siaran radio setiap hari kamis jam 10.00-11.00 di Radio PTPN. Dengan membahas isu-isu yang berkaitan dengan kekerasan dan ESKA. Melalui dialog interaktif di radio masyarakat bisa bertanya persoalan dan isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat. Ada juga buletin yang setiap satu bulan sekali diterbitkan oleh yayasan KAKAK yang menyajikan berbagai macam informasi yang diperlukan tentang anak, kekerasan maupun ESKA dengan tema yang berbeda-beda. Anak-anak juga diberikan kesempatan untuk menyalurkan hobinya menulis, membuat cerpen maupun puisi dan karyanya akan dimuat di buletin sahabat. Melalui berbagai media massa ini diharapkan dapat menjangkau masyarakat secara luas. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 125 c. Mewujudkan Partisipasi Anak dan Masyarakat Melalui Pendidikan Komunitas Partisipasi dari masyarakat maupun anak-anak itu sendiri memang sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan ESKA karena salah satu prinsip dari Konvensi Hak Anak yang diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Anak, yang dalam hal ini sebagai subyek perlu diberi ruang untuk mengorganisir diri, dilibatkan dalam kampanye-kampanye menentang ESKA, diberi ruang untuk menyampaikan aspirasinya dan suara mereka untuk dipertimbangkan di dalam pengambilan keputusan/kebijakan terkait dengan ESKA. Dalam rangka mewujudkan partisipasi anak, komunitas anak di wilayah Semanggi maupun Jebres membentuk suatu komunitas anak yang diberi nama Community education (Comed). Comed ini dilakukan dengan melibatkan pendidik sebaya. Pendidik sebaya menjadi media anak untuk bisa berpartisipasi dan lebih mudah diterima informasinya jika dilakukan dalam usia yang sebaya. Tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai upaya pencegahan ESKA di komunitas anak. Dengan demikian anak-anak dapat melakukan tindakan pencegahan minimal terhadap diri mereka sendiri dan selanjutnya dapat menyebarkan informasi tersebut kepada anak lain di sekitarnya. Selain anak-anak juga ada pendidikan komunitas untuk dewasa, di Semanggi namanya FKAPAS (Forum Komunitas Peduli Anak Kelurahan Semanggi) merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam penangganan dan pelayanan kasus kekerasan dan ESKA. Difokuskan juga di dua wilayah Semanggi dan Jebres. Pesertanya yaitu pekerja layak anak, PKK, Karang Taruna, perwakilan masyarakat, pekerja kantor kelurahan dan sebagainya. Kemudian saat ini dimasing-masing kelurahan sudah dirintis yang namanya PPT (Pos Pelayanan Terpadu) dengan adanya PPT ini diharapkan masyarakat dapat berperan untuk mencegah, memantau, mengatasi apabila ada permasalahan terkait anak. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 126 d. Mengadakan Diskusi-diskusi dan Kerjasama dengan Pihak-pihak Terkait Sangat disadari bahwa masalah ESKA tidak bisa ditangani oleh satu institusi pemerintah saja. Dibutuhkan koordinasi dan kerjasama yang berada di bawah pemerintahan kota. Koordinasi dan kerjasama yang dibangun juga harus melibatkan berbagai komponen masyarakat sipil maupun organisasi masyarakat dan LSM. Dalam rangka pencegahan ESKA yayasan KAKAK melakukan diskusi-diskusi dengan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan ESKA. Diskusi-diskusi yang dilakukan yaitu: diskusi regular untuk perlindungan anak untuk orang dewasa di dua wilayah, Semanggi dan Jebres, diskusi regular untuk perlindungan anak untuk anak di dua wilayah, Semanggi dan Jebres, diskusi berkala untuk monitoring dan upgrading sistem perlindungan ESKA di sekolah maupun di wilayah, dan diskusi tingkat kota dengan pihak-pihak terkait atau stakeholder. Sebagai bentuk sistem perlindungan anak yang ada di kota Solo untuk penanganan ESKA yayasan KAKAK berkoordinasi dengan lembagalembaga yang memberikan penanganan, bersentuhan langsung dengan isu ESKA. Yayasan KAKAK juga melakukan kerjasama melalui workshop dan kelompok diskusi dengan pihak-pihak terkait misalnya Dinas Kesehatan, Bapermas, Baperda, Denkominfo, Kemenag, Dinsosnaker, Kepolisian dan sebagainya, selain itu juga melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepada lapisan masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat lebih memperhatikan kesejahteraan anak dan tidak membiarkan anak-anak terjebak dalam situasi ESKA maupun mencegah anakanak agar tidak menjadi korban dari pihak-pihak tertentu yang menjadikan anak-anak sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Selain itu di kota Solo dengan adanya PTPAS (Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta) diharapkan isu ESKA ini bisa masuk dan mampu ditangani bersama-sama oleh pihak-pihak terkait. Saat ini PTPAS memang menyediakan banyak fasilitas untuk memberikan pelayanan bagi korban meliputi: Pelayanan Medis, Pelayanan Konseling, Pelayanan Hukum, Pelayanan Rehabilitasi, commit to user Rumah Aman/shelter. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 127 e. Advokasi Kebijakan Salah satu upaya yang dilakukan yayasan KAKAK dalam menghapuskan ESKA adalah melalui advokasi kebijakan. Strategi-strategi advokasi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan berpengaruh dalam melindungi anak-anak. Advokasi akan mengarahkan pemerintah untuk mengambil langkah penting untuk melakukan penghapusan segala bentuk ESKA serta perlindungan anak. Salah satu yang dilakukan Yayasan KAKAK kaitannya dengan advokasi kebijakan, yayasan KAKAK mencoba mengkaji ulang PERDA Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Nomor 3 Tahun 2006. Selain mengkaji ulang PERDA yang ingin dilakukan yayasan KAKAK juga memantau lebih lanjut tentang Rencana Aksi Kota yang rencananya akan dibuat oleh pemerintah Kota Surakarta. Sebenarnya yang berkewajiban mengatasi persoalan seputar eksploitasi seksual komersial terhadap anak adalah negara. Negara juga tidak mungkin mengatasi persoalan tersebut sendiri tetapi harus didukung oleh masyarakat, keluarga dan orang tua. Di Surakarta, pemerintah kota sudah membuat beberapa hal untuk mengatasi persoalan tersebut. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Akan tetapi dalam PERDA tersebut tidak memuat hal-hal yang khusus tentang anak, di mana kebutuhan untuk anak sangat berbeda dan lebih spesifik sehingga membutuhkan perlakuan khusus dan berbeda dengan orang dewasa. Hal lain yang sudah dilakukan yaitu adanya Rencana Aksi Kota Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak, tetapi saat ini belum bisa menjawab kebutuhan anak secara khusus. Dalam melakukan advokasi kebijakan yayasan KAKAK berkoordinasi dengan KIPAS (Komite Indipenden Perlindungan Perempuan dan Anak Surakarta) jadi KIPAS ini bertugas untuk melihat lebih dalam lagi kebijakan di kota Solo yang berkaitan dengan anak. Dengan berkoordinasi dengan KIPAS yayasan KAKAK mempunyai ruang untuk menyampaikan aspirasinya untuk dapat dipertimbangkan di dalam commit to useryang terkait dengan ESKA. mengambil keputusan/kebijakan pemerintah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 128 3. Hambatan yang Dihadapi Yayasan “KAKAK” dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak Yayasan KAKAK dalam upaya melaksanakan program pencegahan ESKA mengalami beberapa hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh yayasan KAKAK dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak adalah sebagai berikut: a. Hambatan Internal Dalam urusan internalnya yayasan KAKAK mempunyai keterbatasan sumber daya manusia serta dengan jangkauan wilayah kerja yang sangat luas yaitu di Eks Karisidenan Surakarta. Banyak anak korban kekerasan seksual dan ESKA yang memang membutuhkan pendampingan sedangkan jumlah sumber daya manusia dari yayasan KAKAK sendiri juga terbatas, padahal pendampingan harus dilakukan secara intens. Hambatan yang lain yaitu sering kali terjadi perubahan kepengurusan dari yayasan KAKAK, dimana terjadi kekosongan pengurus untuk fokus dalam program tertentu. Selain itu kurangnya pengalaman dari sumber daya manusia yayasan KAKAK karena sering kali terjadi perubahan kepengurusan dan perekrutan anggota/staff baru. b. Hambatan Eksternal 1) Dari masyarakat Hambatan di masyarakat yaitu masyarakat belum tergerak untuk mengambil bagian dalam upaya pencegahan ESKA, karena kurangnya kepedulian masyarakat terhadap perlindungan anak. Masyarakat juga kurang peka terhadap lingkungan wilayahnya, sensitivitas mereka terhadap permasalahan anak yang terjadi di lingkungan mereka masih kurang. Hal ini karena perspektif anak sebagai korban dalam kasus ESKA masih sangat sulit diterima masyarakat secara umum. Stigma negatif dan diskriminasi terhadap anak korban sangat melekat sehingga masih menganggap anak sebagai pelaku. Selama ini yayasan KAKAK sudah commit to user berupaya agar masyarakat lebih aware bahwa ESKA harus diperangi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 129 bersama dengan melakukan diskusi maupun pertemuan, tapi hal tersebut juga masih kurang. 2) Dari anak Hambatan dari anak korban, bahwa ada banyak persoalan yang membuat anak terjerumus dan tetap bertahan dalam dunia ESKA seperti prostitusi, sehingga cukup sulit untuk menumbuhkan kesadaran akan resiko dari aktivitas seksual yang anak lakukan. Apalagi ketika anak korban tersebut tidak sadar bahwa dia adalah korban, dan bersikeras dia bukan korban itu malah akan sulit ia keluar dari ESKA karena tidak bisa dipaksa. Selain itu anak-anak korban ESKA mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Terkadang tempat tinggal korban juga berpindah-pindah sehingga menyulitkan untuk dilakukan pendampingan secara intens. Untuk anak di wilayah rentan hambatan yang ada adalah berkaitan dengan waktu mereka yang bertabrakan dengan jam belajar. Selain itu anak-anak juga kurang paham tentang materi yang disampaikan sehingga ketika dilakukan sosialisasi anak-anak belum bisa sepenuhnya menyerap informasi yang diberikan karena yang menyampaikan itu adalah teman sebaya. Bahkan anak-anak yang datang dalam pertemuan sering berganti-ganti kadang juga tidak mengikuti kegiatan. 3) Dari keluarga Keluarga merupakan kelompok terdekat anak, dimana anak membutuhkan perlindungan dan kasih sayang serta dukungan moril yang besar dari dalam keluarga. Dalam keluarga yang anaknya menjadi korban ESKA sering kali terjadi keberadaan anak di dalam keluarga, karena stigma negatif yang diberikan dan perspektif yang memandang anak bukan sebagai korban, keluarga cenderung menyalahkan dan tidak memaafkan korban, bahkan ada unsur penolakan dengan membuang si anak atau tidak mengakui sebagai anak lagi. Sehingga anak sulit untuk keluar dari ESKA dan tetap bertahan di situ. Begitu pula keluarga yang tidak harmonis, keluarga dalam wilayah rentan dengan ekonomi menengah kebawah yang commit to user pendidikan bagi anak-anaknya, tidak begitu peduli terhadap pentingnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 130 cenderung acuh dan tidak mau tahu. Sehingga anak merasa kurang perhatian dan kasih sayang. Hal ini yang menjadi hambatan ketika orang tuanya sendiri kurang peduli terhadap hak-hak anaknya. 4) Dari pihak-pihak terkait Ketika yayasan KAKAK berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak lain baik instansi pemerintah maupun organisasi non pemerintah dalam upaya penanggulangan ESKA, sering kali terjadi perbedaan pendapat ketika sedang diskusi membahas permasalahan anak, selain itu dari pihak mereka sering berganti-ganti orang ketika diadakan pertemuan. Padahal perlu kerjasama yang baik dari semua pihak agar tujuan itu dapat tercapai salah satunya dengan menempatkan anak sebagai “korban” bukan sebagai “pelaku”. Selain itu hambatan lain adalah tidak tegasnya aparat kepolisian dalam menindak pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku eksploitasi seksual komersial terhadap anak sehingga masih banyak anak yang menjadi korban. 5) Dari sekolah Ketika yayasan KAKAK melakukan pencegahan ESKA di sekolah hambatan yang dihadapi adalah bagaimana membentuk persepsi guru tentang pentingnya perlindungan anak, sehingga di sekolah pun hak-hak anak itu perlu dijaga dan dilindungi terutama hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Selain itu masih kurangnya respon dari guru-guru terhadap kegiatan-kegiatan yang mendukung pencegahan ESKA, seperti peringatan Hari Anak Nasional. Hambatan yang lain yaitu ketika advokasi kebijakan di sekolah, kebijakan yang berpihak kepada anak, ketika seorang anak menjadi korban ESKA, agar tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif. Hal ini karena keberadaan anak korban eksploitasi seksual komersial di sekolah berbeda sekali perlakuannya. Bahkan, diskriminasi yang diberikan kepada anak korban semakin besar karena anak tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lagi karena harus keluar dari sekolah. Nama baik sekolah, norma dan tata tertib user memberikan punishment kepada yang menjadi acuan bagi commit sekolahtoketika perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 131 anak. Dalam kenyataannya anak korban justru mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif, misalkan diperolok di depan kelas atau di lingkungan sekolah, atau bahkan sampai anak dikeluarkan dari sekolah. Tentu saja hal ini membawa pengaruh negatif karena posisi anak akan semakin menjadi korban, tidak mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan karena masuk ke sekolah lainpun akan kesulitan akibat stigma yang sudah melekat pada diri anak. Hal ini menjadi hambatan ketika dari dinas pendidikan pun tidak mengambil kebijakan terkait perlindungan anak untuk mendapatkan akses pendidikan tanpa diskriminasi ketika anak menjadi korban kekerasan seksual maupun ESKA. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 132 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan di lapangan dan analisis yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik suatu kesimpulan guna menjawab perumusan masalah. Adapun kesimpulan peneliti adalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial a. Faktor keluarga dan teman b. Faktor teknologi informasi dan komunikasi c. Faktor sosial ekonomi d. Faktor pengalaman seksual dini 2. Partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak Yayasan KAKAK berpartisipasi dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak dengan melakukan kegiatan meliputi: a. Sosialisasi-sosialisasi pencegahan ESKA 1) Sosialisasi di wilayah 2) Sosialisasi di sekolah b. Kampanye-Kampanye Pencegahan ESKA, melalui : 1) Teater 2) Pembuatan film dokumenter 3) Peringatan Hari Anak Nasional 4) Media massa c. Mewujudkan partisipasi anak dan masyarakat melalui pendidikan komunitas d. Mengadakan diskusi-diskusi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait e. Advokasi kebijakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 133 3. Hambatan yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak Yayasan KAKAK dalam upaya melaksanakan program pencegahan ESKA mengalami beberapa hambatan-hambatan. a. Hambatan internal: yaitu karena terbatasnya sumber daya manusia yang ada di yayasan KAKAK. b. Hambatan eksternal 1) Dari masyarakat: masyarakat kurang peduli terhadap perlindungan anak, mereka belum bisa tergerak untuk melakukan pencegahan ESKA. 2) Dari anak: ketika melakukan sosialisasi di wilayah sering kali bertabrakan dengan jam pelajaran, selain itu banyak anak-anak yang belum paham pentingnya informasi mengenai ESKA. 3) Dari keluarga: masih terdapatnya keluarga atau orang tua dari tingkat ekonomi menengah kebawah yang cenderung kurang peduli terhadap pentingnya pendidikan dan perlindungan bagi anak-anaknya. 4) Dari pihak-pihak terkait: sering kali terjadi perbedaan pendapat ketika sedang diskusi membahas permasalahan anak, selain itu tidak tegasnya aparat kepolisian dalam menindak pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku eksploitasi seksual komersial terhadap anak. 5) Dari sekolah: hambatannya adalah bagaimana membentuk persepsi guru tentang pentingnya perlindungan anak, karena sebagian guru masih kurang memberikan respon terhadap upaya pencegahan ESKA di sekolah. B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan di atas, maka implikasi yang ditimbulkan adalah sebagai berikut : 1. Anak-anak bisa berada pada situasi eksploitasi seksual komersial karena beberapa faktor, dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 134 seorang anak dapat menjadi korban tersebut, sekiranya dapat menghindarkan anak dari jeratan eksploitasi seksual komersial anak. 2. Partisipasi dari warga negara sangat dibutuhkan dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak, yayasan KAKAK mewujudkannya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan, karena mencegah merupakan langkah awal yang penting. Sosialisasi, kampanye mengenai ESKA ke berbagai elemen masyarakat termasuk wilayah-wilayah rentan menjadi langkah untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat untuk melindungi anak-anak mereka. Yang paling penting dalam mewujudkan partisipasi warga negara adalah dengan melakukan advokasi kebijakan, melalui aspirasi dan suara yang mereka sampaikan, sebagai kajian pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan untuk melindungi anak-anak dari ESKA. 3. Dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak tentu akan ada hambatan yang akan dihadapi, kerjasama dan koordinasi dari semua pihak, pemerintah, masyarakat maupun pihak-pihak lain sangat diperlukan. Apabila semua pihak dapat tergerak maka hambatan tersebut dapat teratasi. C. Saran 1. Bagi Pemerintah Melakukan langkah-langkah perlindungan dengan menekankan pada upaya mengharmonisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang berperspektif (hak) anak, memperkuat dan melaksanakan Undang-Undang ataupun kebijakan-kebijakan, dengan menempatkan anak sebagai “korban” bukan sebagai “pelaku”. 2. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Non Pemerintah Meningkatkan kerjasama dengan membentuk jaringan yang melibatkan organisasi pemerintah maupun non pemerintah dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) dengan memperhatikan dan melindungi hakhak anak baik yang belum menjadi korban maupun yang telah menjadi korban. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 135 3. Bagi Aparat yang Berwenang Pihak kepolisian harus bersikap pro-aktif untuk mengidentifikasi para pelaku atau jaringan-jaringan ESKA dan melakukan tindakan hukum agar para pelaku ESKA dihukum berat. Penjeratan hukuman yang berat bagi para pelaku kejahatan ESKA dapat menjadi pemicu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar dapat menghindari sebagai pelaku. 4. Bagi yayasan KAKAK Yayasan KAKAK perlu merekrut tenaga PAUD dalam mendidik anak-anak untuk mensosialisasikan informasi mengenai ESKA, dengan harapan agar informasinya lebih mudah diterima oleh anak-anak. 5. Bagi Masyarakat Untuk masyarakat pada umumnya, pemberian stigma negatif terhadap anak korban eksploitasi seksual harus dihindarkan dan mengajak masyarakat untuk bisa menerima kembali keberadaan mereka sehingga mereka mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk melanjutkan tumbuh kembangnya. Tentunya hal tersebut membutuhkan peran dari tokoh masyarakat dan tokoh agama yang mempunyai pengaruh besar untuk mengajak masyarakat agar lebih peduli. Perlu dibangun kesadaran masyarakat untuk melaporkan dan memberikan informasi kepada pihak terkait bila mengetahui ada praktik ESKA. 6. Bagi Orang tua Perlu peningkatan ketahanan sosial sebagai upaya preventif dalam menanggani masalah eksploitasi seksual komersial anak, antara lain dengan penguatan peran dan fungsi keluarga melalui peran orang tua dalam melindungi dan mengawasi anak-anak mereka. Orang tua harus memberikan rasa aman dan kasih sayang terhadap anak-anaknya, menjamin tumbuh kembang anak, serta menumbuhkan kesadaran pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. 7. Bagi Sekolah-Sekolah Perlu menggunakan metode pembelajaran portofolio bagi siswa-siswa SMP/SMA dalam menyampaikan masukan pada pemerintah daerah, sebagai commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 136 upaya untuk memperbaiki peraturan daerah atau kebijakan lainnya di Kota Surakarta. 8. Bagi Anak Perlunya membangun kesadaran anak terhadap hak-haknya yang harus dilindungi melalui pendidikan formal di sekolah dan sosialisasi di masyarakat. Serta memberikan ruang partisipasi anak untuk mengembangkan potensi diri, serta melibatkan anak dalam kampanye-kampanye pencegahan eksploitasi seksual komersial anak. 9. Bagi Peneliti lebih lanjut Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengelolaan dana yang diperoleh yayasan KAKAK dengan harapan agar dapat memberikan imbalan yang pantas terhadap para pendamping di yayasan KAKAK. Selain itu supaya memotivasi bagi para pendamping dalam melakukan tugas. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 137 DAFTAR PUSTAKA Alexander, Sarah., Meuwese, Stan., Wolthuis, Annemieke. 2000. “Policies and Developments Relating to the Sexual Exploitation of Children: The Legacy of the Stockholm Conference”. European Journal on Criminal Policy and Research. Amsterdam. December. Vol 8; Edisi 4; pg 479 Arist Merdeka Sirait. 2010. Eksploitasi Seksual Komersial Mengintai Anak Kita. http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pidana/648-eksploitasiseksual-komersial-mengintai-anak-kita.html diakses 29 April 2011 Buletin Sahabat Kakak. 2010. Mei Edisi 01. Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Surakarta: Yayasan KAKAK atas dukungan Terre’ des homes Netherland Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Delaney, Stephanie (ECPAT Internasional). 2006. Melindungi Anak-anak Dari Eksploitasi Seksual Dalam Situasi Bencana & Gawat Darurat. Penerjemah ECPAT Indonesia dan Ramlan. Medan: Kelompok ECPAT Di Indonesia (Koalisi Penghapusan ESKA) Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke 3). Jakarta: Balai Pustaka ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional. 2006. Tanya & Jawab Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Penerjemah Ramlan. ECPAT Indonesia Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius Indra Bastian. 2007. Akuntansi Yayasan dan Lembaga Publik. Jakarta: Erlangga Irwanto, dkk. 2008. Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak. Medan: Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak Kartini Kartono. 2005. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 138 Moehar Daniel. 2006. PRA Participatory Rural Appraisal Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Jakarta: PT Bumi Aksara Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosdakarya Neng Djubaedah. 2003. Pornografi & Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam. Bogor: Kencana Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, dkk. 2008. Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia. Medan: Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Anak Sobirin Malian dan Suparman Marzuki. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: UII Press Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sutopo H.B. 2002. Metodologi Penelitian. Surakarta: UNS Press 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press Taliziduhu Ndraha. 1990. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta Totok Mardikanto. 1988. Komunikasi Pembangunan. Surakarta: UNS PRESS Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 139 Willis, Brian. M., Levy, Barry. S., 2002. “Child prostitution: Global health burden, research needs, and interventions”. The Lancet. London. April 20. Vol. 359, Edisi 9315; pg. 1417, 6 pgs. Winarno dan Wijianto. 2010. Ilmu Kewarganegaraan dalam Konteks Pendidikan Kewarganegaraan (IKn-PKn). Surakarta: Laboratorium Program Studi PPkn FKIP UNS dengan UNS Press commit to user