BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Komunitas Sosialita di DKI Jakarta.
DKI Jakarta sebagai Ibukota Indonesia merupakan pusat segala aktivitas,
termasuk dalam hal berkomunikasi, pada umumnya komunikasi merupakan salah satu
faktor penting penunjang kehidupan di DKI Jakarta baik dalam aktivitas bisnis
maupun akivitas sehari-hari, juga merupakan faktor pembentuk kelompok atau
organisasi yang melalui komunikasi beberapa orang yang memiliki pandangan,
prinsip dan cara hidup yang sama bertemu dan menjalin komunikasi yang baik
sehingga kelompok atau komunitas tersebut terbentuk.
Pada dasarnya kehidupan sosial suatu masyarakat tidak bersifat stagnan, hal
tersebut akan selalu berubah sesuai dengan perubahan jaman dan perkembangan
manusianya. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat perkotaan seperti DKI
Jakarta yang dalam sosiologi antropologi disebut sebagai masyarakat kompleks.
Dalam kompleksitas masyarakat ini dapat terlihat dari semakin terspesialisasinya
pekerjaan, maupun komunitas-komunitas yang terbentuk di dalamnya. Dalam
interaksi sosialnya masyarakat ini memiliki pranata sosial yang mengatur perilaku
individunya sehingga mencapai suatu keteraturan. Baik itu pranata sosial yang
mengatur perilaku individu di ranah publik maupun domestik atau di lingkungan
51
pekerjaan atau lingkungan rumah. Pranata sosial ini akan selalu berubah sesuai
dengan perkembangan sosial budaya masyarakatnya.
Salah satu kelompok masyarakat yang ada di DKI Jakarta adalah kaum
sosialita. Kaum Sosialita sebenarnya berasal dari budaya Borjuis Perancis yang sudah
ada sejak zaman Raja Perancis XIV. Dari zaman itu, golongan ini sudah terkenal
dengan gaya hidup yang glamour dengan standar yang tinggi.Pendahulunya adalah
Maria Antoinette, mantan ratu Perancis yang sukanya foya - foya dan bergelar,
“Madamme Pemboros”, akibat hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, satu kota
keuangannya bisa langsung bangkrut.Namun makna dari sosialita tidak hanya
berhubungan dengan gaya hidup saja, tetapi lebih kepada seseorang yang memang
terlahir kaya raya dan tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan uang, mereka
adalah kalangan yang terpelajar dan berpendidikan tinggi, juga sangat aktif didalam
kegiatan - kegiatan sosial di masyarakat serta bisa menjadi panutan bagi masyarakat
luas. Kaum sosialita juga tidak perlu berusaha untuk membentuk opini masyarakat
bahwa mereka termasuk ke dalam kaum sosialita tersebut, namun dengan hanya
sekali melihat saja dari bagaimana mereka berkomunikasi dan kegiatan – kegiatan
yang mereka ikuti, masyarakat bisa dengan sendirinya mengetahui kalau mereka
merupakan kaum sosialita sejati. Kegiatan dari komunitas ini banyak dan beragam,
mulai dari arisan, tetapi bukan arisan yang biasanya dilakukan oleh kalangan –
kalangan menengah kebawah, arisan yang dilakukan bisa dikatakan sangat
spektakuler karena beberapa diantara komunitas tersebut biasanya melakukan
aktivitas arisan tersebut didalam pesawat pribadi untuk terbang ke negara laindengan
52
dana yang juga tidak biasa, bahkan mereka juga memiliki seragam khusus untuk
anggota komunitas tersebut yang mengikuti arisan tersebut, lalu ada juga kegiatan
bergengsi seperti pelelangan barang mewah dan juga acara amal.
Istilah sosialita di DKI Jakarta sudah tidak asing lagi, tidak jarang bahkan bisa
dikatakan banyak sekali yang ingin tergabung didalam komunitas tersebut. Selain
karena gengsi, juga mereka yang ada didalam komunitas tersebut akan dipandang
terhormat. Kaum sosialita yang ada di Jakarta tidak hanya berasal dari keturunan
bangsawan saja, tetapi termasuk juga masyarakat yang berasal dari kelas atas,
masyarakat dengan kedudukan penting atau tokoh masyarakat, bahkan dari kalangan
artis pun sudah banyak yang menyebut dirinya adalah sosialita. Semakin banyak
orang yang ingin tergabung dalam komunitas sosialita atau hanya ingin dikategorikan
sebagai salah seorang dari kaum tersebut menimbulkan efek social climbers yaitu
sekelompok orang-orang yang mendeklarasikan diri mereka sebagai bagian dari kaum
jet set tersebut serta menghalalkan segala cara agar dapat ikut berpartisipasi dalam
komunitas sosialita.
Kehidupan kaum sosialita di DKI Jakarta semakin banyak diketahui oleh
publik, kegiatan - kegiatan sosialita dengan standar hidup yang tinggi menimbulkan
opini baru ditengah masyarakat bahwa komunitas tersebut mengalami pergeseran
makna,
34
seperti
yang
diungkapkan
oleh
Mead
(1931)34masyarakat
George Herbert Mead. 1934/1962, Mind, Self an Society: From The Stand Point of Social
Behaviorist, Chicago, University of Chicago Press.
53
mencerminkansekumpulan tanggapan yang terorganisir, oleh sebab itu masyarakat
dapat membentuk pemikiran sendiri berdasarkan realitas yang ada. Kaum sosialita
dinilai terlalu mencerminkan kehidupan dengan kemewahan tanpa arti, kurang
dermawan dengan tidak peka melihat jenjang sosial yang begitu berbeda dengan
masyarakat kurang mampu serta dinilai belum bisa membawa masyarakat dengan
belum menjadi contoh yang baik.
4.2. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan selama tiga bulan dengan menggunakan teknik
pengumpulan data melalui observasi secara langsung dan wawancara mendalam
dengan beberapa informan yang terkait langsung dengan komunitas sosialita yang
berada di DKI Jakarta.Kaum sosialita yang menjadi informan dalam penelitian ini
memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya, tergabung dalam
komunitas yang berbeda dengan pola komunikasi yang berbeda, kebanyakan dari
informan tergabung dalam kelompok dengan kesamaan hobi yang mereka geluti
namun ada juga yang sudah membentuk komunitas tersebut sebagai kelompok
pertemanan. Peneliti menemukan setiap komunitas membentuk image mereka
masing-masing baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ada yang memang
pembawaan diri sendiri dari setiap anggota komunitas ataupun yang memang sengaja
dibentuk untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
54
4.2.1. Makna Sosialita
Fenomena sosialita di Indonesia sudah ada sejak era 70-an dan semakin
dikenal oleh masyarakat akhir-akhir ini. Kata sosialita identik dengan kemewahan, di
Indonesia sendiri makna sosialita berkembang dengan ciri yang berbeda yaitu lebih
mengarah kepada standar kehidupan kelas atas dengan pergaulan elit dan pola
komunikasi tersendiri yang tidak biasa, berbeda dengan pola komunikasi kelompok
sosial pada umumnya. Makna sosialita yang seharusnya tidak terlepas dari makna
sosial itu sendiri mulai luntur bagi beberapa komunitas sosialita di DKI Jakarta,
beberapa komunitas tersebut tidak lagi dapat membawa masyarakat untuk menjadi
contoh dan panutan yang baik, namun masih ada beberapa komunitas yang belum
terlepas dari makna sosialita tersebut. Secara khusus seperti yang dijelaskan oleh
penulis buku “The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialite” Joy Roesma
sebagai berikut, “Definisi socialite adalah seseorang yang menjadi anggota strata
social elite. Term ini mulai dikenal sejak 1928 dan yang masuk kategori ini adalah
orang superkaya, aktif di kegiatan sosial dan kerap mengadakan pesta atau diundang
dalam event bergengsi. Kalau jaman dulu lebih dilekatkan untuk kaum bangsawan,
kini pemakaiannya merambah pada konglomerat dan mereka kelas ekonomi A,
dikenal, dikagumi dan menjadi panutan banyak orang, memiliki pergaulan luas,
sering diundang ke event bergengsi dan duduk di jajaran VIP atau front row, terdepan
dalam berbusana dan menggunakan status sosialnya yang bergengsi untuk memberi
contoh yang baik, seperti mensosialisasikan kepedulian pada charity.”
55
4.2.2. Pergeseran Makna Sosialita
Pergeseran makna sosialita di DKI Jakarta menjadi trending topik yang
berkembang dikalangan masyarakat, komunitas sosialita dinilai sudah tidak bisa lagi
membawa masyarakat untuk menjadi teladan yang baik, walaupun hal ini tidak bisa
dijadikan ukuran bahwa seluruh komunitas sosialita di DKI Jakarta sudah menurun
kualitasnya, seperti yang diungkapkan oleh Joy Roesma, “Tapi menurut saya, 3-4
tahun belakangan ini, sebenarnya sudah abu-abu ya, term sosialita itu. Sekarang ini
yang jago dandan, barangnya KW, jago mendekati atau bahkan sampai membayar
fotografer majalah gaya hidup juga sudah bisa disebut sebagai sosialita. Jadi benar
juga pendapat Boedi Basuki, mantan wartawan gaya hidup kalau term sosialita
gengsinya sudah menurun di Indonesia, masih banyak yang menilai kalau sekadar
sering tampil di halaman majalah, rajin datang ke event bergengsi dan memakai
barang bermerek ternama (padahal tidak asli), seseorang sudah bisa disebut sebagai
sosialita. Karena keglamorannya dan banyak mendapat apresiasi, akibatnya ada yang
memaksakan diri baik secara ekonomi, jadi social climber dengan jadi semacam
babunya sosialita sungguhan bahkan sampai menjual diri (dengan menjadi simpanan),
untuk bisa masuk dalam komunitas sosialita”.
Namun ada juga yang beranggapan lain seperti yang dikemukakan oleh Mrs.
J, “Diantara kami Saya rasa ada beberapa yang dapat dikatakan demikian (social
climbers), namun dari kami sendiri memang menerima, jika mereka masih bisa
menyesuaikan diri dan tidak terlalu menyusahkan Saya rasa tidak masalah, namun
jika banyak diantara mereka yang mulai mengganggu dan menghambat bagi kaum
56
sosialita lainnya, saran Saya adalah tetap pada standar masing - masing komunitas
sosialita, pada akhirnya waktu akan menjawab bahwa para social climbers sejati tidak
layak menjadi bagian dari kaum sosialita, namun jika mereka bisa mengikuti alur,
Saya rasa akan layak mereka di copot predikatnya sebagai social climbers”.
Asumsi pergeseran makna sosialita dipengaruhi oleh citra yang ditimbulkan
masing-masing individu sosialita maupun komunitas sosialita, menurut Frank Jefkins
dalam Nova35, terdapat beberapa jenis citra, yang salah satunya adalah citra cermin
(Mirror Image) yaitu citra yang melekat pada orang dalam atau anggota-anggota
komunitas, citra ini langsung menunjukan bagaimana gambaran seseorang dalam
sebuah komunitas, yang juga merupakan citra yang dianut oleh orang dalam
mengenai pandangan luar, terhadap komunitasnya. Citra ini seringkali tidak tepat,
bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi,
pengetahuan ataupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam komunitas itu
mengenai pendapat atau pandangan pihak-pihak luar.
Sejauh mana pergeseran makna sosialita tergantung dari seberapa besar
dampak negatif yang bisa dihasilkan dari aktivitas dan bagaimana komunikasi yang
mereka lakukan setiap harinya, dengan gaya hidup yang mewah bukan berarti kaum
sosialita di DKI Jakarta kehilangan jati diri mereka dan mengalami pergeseran
makna, masyarakat yang hanya melihat dari apa yang mereka lakukan tanpa
melakukan atau meneliti lebih lanjut maka ada beberapa dari mereka yang
35
Firsan Nova. 2011. Crisis Public Relations. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada
57
beranggapan berbeda mengenai kaum sosialita tersebut, namun memang sebaiknya
kaum sosialita tetap menjadi contoh untuk masyarakat luas untuk semakin membahu
membantu kaum miskin.
4.2.3. Pola Komunikasi Kaum Sosialita
Komunikasi dalam suatu komunitas merupakan faktor penunjang yang
utama, agar suatu komunitas dapat berjalan dengan baik, diperlukan komunikasi yang
efektif seperti yang diungkapkan oleh Pace dan Faules (2001)36 iklim komunikasi
suatu komunitas jauh lebih penting daripada keterampilanatau teknik-teknik
komunikasi semata-mata dalam menciptakan suatu komunitas yang efektif.
Komunikasi dalam suatu komunitas adalah proses yang terjadi dalam kelompok dan
di dalam sana terjadi proses komunikasi yang terbagi dalam empat aspek yaitu
komunikasi ke bawah (downward communication), komunikasi ke atas (upward
communication), komunikasi horizontal (horizontal communication) dan komunikasi
lintas saluran. Tubbs dan Moss (2005)37 membagi pola komunikasi menjadi empat
yaitu komunikasi intra pribadi (interpersonal communication), komunikasi antar
pribadi
(antarpersonal
communication),
komunikasi
kelompok
(group
communication) dan komunikasi massa (mass communication).
36
Wayne R Pace and Don F Faules. 2002. Komunikasi Organisasi: Strategi Peningkata Kinerja
Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
37
Stewart L Tubbs and Sylvia Moss. 2001. Human Communication : Prinsip-prinsip Dasar. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya.
58
Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, hampir semua komunitas
kaum sosialita di DKI Jakarta yang dijadikan sampel informan memiliki proses
komunikasi yang bergerak secara horizontal, mereka tidak dipimpin oleh seseorang
dengan jenjang yang lebih tinggi, namun berjalan beriringan, tidak memiliki struktur
organisasi yang terstruktur, peran masing-masing anggota terbentuk secara spontan
sesuai kebutuhan jika ada acara-acara yang memang memerlukan suatu organisasi.
Seperti yang diungkapkan oleh Mrs. J salah seorang informan, “Dalam kelompok
kami tidak ada struktur organisasi, namun ada beberapa orang yang memang bertugas
mengkoordinasi pertemuan, mencari informasi mengenai perkembangan batik tulis di
Indonesia juga acara dadakan yang akan diselenggarakan, namun itu tidak bersifat
permanen”.
Menurut Tubbs dan Moss pola komunikasi yang dominan terbentuk dalam
kalangan sosialita termasuk kedalam pola komunikasi antar pribadi (antarpersonal
communication) dengan proses penyampaian paduan pikiran dan perasaan oleh
seseorang kepada orang lain agar mengetahui, mengerti dan melakukan kegiatan
tertentu. Tujuan komunikasi yang terbentuk dalam komunitas sosialita adalah untuk
menjalin hubungan antar anggota agar semakin erat, dengan fungsi komunikasi
sebagai cara untuk mewujudkan konektivitas antar anggota. Proses komunikasi yang
terjadi berupa seluruh anggota berperan aktif dalam proses komunikasi tersebut, tidak
diperintahkan oleh siapapun, sehingga setiap anggota merasa memiliki kepentingan
yang sama didalam komunitas tersebut, hal ini berjalan efektif ditunjukan dengan
jarangnya konflik yang terjadi dalam masing-masing komunitas, namun ada juga
59
komunitas yang tidak terjalin pola komunikasi yang aktif, seperti yang diungkapkan
oleh Joy Roesma, “Saya pernah ikut arisan yang anggotanya hampir 50 orang.
Pertama kali masuk saya bisa dibilang hanya kenal dengan 4-5 anggota. Saat arisan
pun karena banyak kegiatan habis untuk foto - foto dan yang datang dan pulang benar
- benar random, karena waktu arisan misalnya 4 jam. Ada yang datang jam 3-5, ada
yang datang jam 5-7. Benar sih pas lagi foto-foto kelihatannya akrab banget, tapi
padahal tahunya cuma sekadar babe dan cyin, namanya juga nggak hafal. Habis
ngafalin orang sekali banyak banget juga susah dan juga susah juga ngobrolnya kalau
dijejer 50 orang. Rasanya sampai arisan selesai 1 putaran (11 bulan kalau tidak salah)
sepertinya saya hanya hafal nama dan tahu backgroundnya secara betulan mungkin
total hanya 30 orang an. Akhirnya juga lebih sering ngobrol dengan yang sepaham.
Misalnya yang kurang klik sama saya, karena saya agak pusing melihat yang dandan
terlalu over saat arisan atau kalau saat foto, posenya bagi saya terlalu hardcore,
otomatis ngobrol sama mereka juga lebih basa-basi. Bukannya saya anti foto-foto,
saya suka banget foto-foto apalagi kalau sudah rame-rame, jadi lupa waktu, tapi ada
saatnya juga gerah ya kalau akhirnya karena foto-foto melulu, jadi nggak ada
ngobrolnya sama sekali atau yang terlalu monopoli fotografer dengan pose agak
seram, juga hihi entah kenapa saya jadi ilfil dan malas akrab ya. Akhirnya saya kapok
sih ikut arisan yang banyak sekali isinya, sekarang ini saya kalau ikut arisan, cari
yang anggota maksimal 24. Itupun yang saya mau jadi anggota apabila setengah
anggotanya saya merasa klik. Soalnya ngapain ikut arisan kalau akhirnya tiap mau
arisan jadi beban, karena parno saat arisan nggak tahu mau ngobrol apa atau malah
60
jadi ilfil karena pesertanya lebay2 banget. Kalau isinya 24 dan biasanya yang datang
paling 15 orangan, suasana jadi lebih intimate, lebih gampang komunikasinya juga”.
Komunikasi kurang terbentuk secara efektif dikarenakan jumlah anggota yang terlalu
banyak, ditambah lagi tidak ada yang berperan untuk menjadi komunikator yang baik
ditengah-tengah komunitas tersebut.
Pola komunikasi yang terjalin ke pihak eksternal, dalam hal ini masyarakat
kurang terjalin dengan baik, seperti yang dikemukakan oleh Mrs. J, “Menurut Saya
tidak ada penyimpangan yang terjadi, tetapi munculnya pemikiran bahwa kaum
sosialita seharusnya memiliki empati kepada kaum lemah ini yang menjadi masalah,
bukannya seharusnya empati dimiliki oleh setiap orang, tidak perlu menjadi sosialita
untuk bisa membantu orang lain, jika hobi yang memang Kami miliki dari awal yang
terkesan mewah dipersalahkan itu terkesan tidak adil menurut Saya, memang ada
beberapa dari kami terlalu berlebihan, tetapi media seharusnya menjembatani dengan
baik permasalahan ini”, tidak bertemunya pemikiran para komunitas sosialita dengan
pemikiran masyarakat dikarenakan pola komunikasi yang tidak terjalin efektif dan
berjalan dua arah. Beberapa faktor pendukung juga landasan terbentuknya pola
komunikasi dalam komunitas sosialita, juga menjadi faktor yang membedakan
komunitas sosialita dengan komunitas lainnya, yakni :
4.2.3.1. Kesamaan Status Sosial
Kaum sosialita di Jakarta secara garis besar memiliki kesamaan status sosial
yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, biasa disebut Kelas Ekonomi A++
atau dengan julukan Cѓeme de la cѓeme yang berarti kelas atas. Berdasarkan
61
kesamaan status sosial tersebut komunitas terbentuk dan komunikasi terjalin, status
sosial dengan sendirinya berdiri sebagai syarat mutlak yang membedakan kaum
sosialita dengan kelompok sosial lainnya.
4.2.3.2. Pembatasan Pergaulan
Di kalangan sosialita Jakarta, ada yang memang mereka terlahir sebagai
kaum sosialita sejati, tetapi banyak juga diantaranya yang termasuk kedalam kaum
sosial climber yang memaksakan diri untuk dapat bergabung dengan komunitas sosial
elite tersebut, ada yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang salah tetapi ada juga
beberapa diantaranya ada yang mengganggap para sosial
climbers patut
diperhitungkan berdasarkan usaha yang mereka lakukan seperti yang diungkapkan
oleh salah seorang narasumber Mrs. X, “Diantara kami, saya rasa ada beberapa orang
yang dapat dikatakan sebagai para sosial climbers, namun dari
Kami
masih bisa
menerima, jika mereka masih bisa menyesuaikan diri dan tidak menyusahkan, namun
jika banyak diantara mereka mulai mengganggu dan menghambat, saran saya tetap
pada standar kalian masing-masing, pada akhirnya waktu akan menjawab sosial
climbers sejati tidak layak menjadi bagian dari kaum sosialita”.
Ada juga yang berpendapat lain yang memang sengaja membatasi
pergaulannya, seperti yang diungkapkan oleh Joy Roesma, “Selain itu pergaulan saya
adalah inspirasi saya untuk menulis. Pasalnya keahlian saya memang di gaya hidup,
dari mengamati perilaku orang mengobservasi trend yang sedang happening dan dari
pergaulan dengan segala macam orang. Saya akui saya memang mengkeep pergaulan
saya dengan mereka yang high profile dan selebriti (tentunya dengan yang cocok ya),
62
itu juga untuk keuntungan saya sebagai penulis dan sering menjadi host event gaya
hidup. Kalau buat event launching kan pastinya saya memerlukan nama-nama yang
dikenal untuk saya mudah mendapat sponsor dan acara saya laris
didatangi
wartawan. Dengan saya menjadi host, saya sering mendapat diskon maupun gratisan
baju dan tas dari brand ternama. Tapi tentunya saya juga tidak memaksakan diri, saya
bisa dekat dan klik dengan mereka-mereka yang bisa dibilang memiliki minat dan
satu frekuensi. Misalnya saya dan Nadia Mulya, dekat karena sama-sama suka
menulis dan hangout. Saya dengan Winda Siregar, sudah dekat dari jaman SMP dan
bersahabat sampai sekarang. Saya dengan Adinda Bakrie dulu sama-sama kuliah di
Boston dan kami sama-sama ibu muda sekarang”.
Gambar 4.1. Salah Satu Komunitas Sosialita di DKI Jakarta
Sumber : Femaledaily.com
Bagaimana atau dengan siapa mereka bergaul tergantung dari bagaimana cara
pandang mereka mengenai pergaulan. Ada yang memang tidak keberatan dengan
63
adanya Social Climbers, namun kebanyakan untuk mereka yang memang benar –
benar berasal dari kaum komunitas sosilita sejati menganggap hal tersebut seperti
layaknya pantangan untuk komunitasnya, bahkan yang memang berasal dari keluarga
kaya saja belum tentu bisa masuk ke dalam komunitasnya, masih ada beberapa
persyaratan tertentu. Hal tersebut dilakukan untuk benar – benar menjaga
komunitasnya agar tidak bergeser ke arah yang negatif dimata masyarakat.
4.2.3.3. Dasar Kepentingan
Dasar kepentingan yang membentuk kelompok sosialita sangat beragam,
beberapa diantaranya adalah kesamaan hobi seperti mereka yang memang suka untuk
berolahraga, seperti golf dan tenis, bahkan hanya untuk bergosip ria membicarakan
hal – hal seputar komunitasnya atau hal – hal yang bisa dikatakan tidak penting untuk
dibicarakan dan kesamaan lingkungan pergaulan, kesamaan tersebut yang menjadi
dasar terbentuknya komunikasi yang baik antar kaum sosialita. Ada juga beberapa
diantara mereka yang memang sengaja terjun kedalam komunitas tersebut untuk bisa
mengembangkan bisinisnya, seperti yang diungkapkan oleh Joy Roesma, “Saya akui
saya memang mengkeep pergaulan saya dengan mereka yang high profile dan
selebriti (tentunya dengan yang cocok ya), itu juga untuk keuntungan saya sebagai
penulis dan sering menjadi host event gaya hidup. Kalau buat event launching kan
pastinya saya memerlukan nama-nama yang dikenal untuk saya mudah mendapat
sponsor dan acara saya laris didatangi wartawan. Dengan saya menjadi host, saya
sering mendapat diskon maupun gratisan baju dan tas dari brand ternama”
64
Gambar 4.2. Joy Roesma (kanan) dan Nadia Mulya (kiri) saat Lauching Buku
“Kocok!”
Sumber : antarafoto.com
Dari setiap anggota komunitas sosialita yang ada di DKI Jakarta memiliki
alasan atau dasar kepentingan yang berbeda – beda. Setiap individu memainkan
perannya dengan sebaik – baiknya untuk kepentingan tertentu, seperti yang
diungkapkan oleh Goffman38 mengenai teori dramaturgi, bahwa identitas manusia
adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian
kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah
tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana
kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama
38
Erving Goffman. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Harmondworth : Penguin.
65
dengan
pertunjukan
teater.
Manusia
adalah
aktor
yang
berusaha
untuk
menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui
“pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut
konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang
mendukung perannya tersebut. Ada yang menganggap hal tersebut penting denga
tujuan tertentu, ada juga yang menganggap hal tersebut untuk kesenangan semata
saja.
4.2.4. Citra Diri melalui Penampilan
Citra bagi kaum sosialita di DKI Jakarta berperan amat sangat penting,
beberapa dari komunitas sosialita bertahan dengan mempertahankan citra baik
mereka. Beberapa faktor pendukung terbentuknya citra kaum sosialita diantaranya :
4.2.4.1. Atribut
Citra kaum sosialita di Jakarta sangat didukung oleh aksesoris yang
dikenakan salah satunya adalah tas mewah, menurut Nia G. Syarif pemilik Socialite
Boutique di Jalan Gunawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tas menjadi
fashion statement yang diperhitungkan, “Baju boleh saja yang bermerk biasa sasal
cukup bagus. Tapi, kalau tas, harus yang bermerk high-end dan asli”. Menurut Koran
Kompas terbitan Kamis, 15 September 2011, harga-harga tas mewah otentik bekas
pakai di pasaran Jakarta saat ini terentang luas dengan harga mencapai ratusan juta
rupiah dengan merk-merk seperti Louis Vuitton, Hermes, Gucci, Balenciaga, Bottega
Veneta, Dior, Miu Miu, Ferragamo, Tods, Prada dan Marc Jacobs, faktor nilai jual
66
yang tinggi menjadikan tas mewah sebagai barang investasi yang cukup liquid dan
cepat cair bagi para kaum sosialita.
Menurut Mrs. AM (55 tahun) perancang perhiasan berlian yang sedang
berkunjung di Butik Precious di Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta Selatan, “Lebih
menguntungkan beli tas second, kalau dijual lagi, kadang harga tetap sama atau
selisih lebih rendah sekitar 1 juta saja, hitung-hitung anggap saja itu ongkos pakai
untuk sekali-dua kali arisan”. Tas mewah yang pada umumnya digunakan sebagai
kebutuhan sekunder atau bahkan tersier, terkesan menjadi kebutuhan primer bagi
beberapa kaum sosialita di Jakarta, tuntutan gaya hidup demi pencitraan sangat
menuntut aksesoris ini dimiliki oleh para sosial elite, seperti yang diungkapkan oleh
Mrs. LC (36 tahun) pengusaha batubara yang juga kolektor tas mewah, mengamati
dorongan di kalangan sosialita untuk menjinjing tas mewah memang berpretensi demi
meraih status sosial, yang bercerita bagaimana dirinya kerap diragukan lingkungan
sosialnya ketika terjun di bisnis batubara, “Karena itu, membawa tas branded bisa
membuat orang lain lebih mengakui status sosial, bisnis pun lancar”.
4.2.4.2. Penampilan
Penampilan para kaum sosialita di DKI Jakarta merupakan citra diri utuh
yang tidak bisa dipisahkan, sebagai komunitas jet set penampilan yang menarik dan
terhormat sudah menjadi syarat yang tidak tertulis, sehingga perawatan tubuh rutin
dilakukan sebagai salah satu aktivitas komunitas tersebut.
67
4.2.4.3. Kendaraan
Kendaraan yang digunakan oleh para kaum sosialita seperti Lamborghini,
Ferrari dan Mercy juga semakin gencar digunakan sebagai simbol yang menandakan
suatu strata, semakin banyak orang yang menganggap salah satu syarat termasuk
kedalam komunitas sosialita adalah dengan memakai salah satu mobil dengan merkmerk tersebut.
4.2.4.4. Kegiatan atau Event Kaum Sosialita
Citra kaum sosialita sebagian besar ditunjukan pada saat kelompok sosialita
melakukan kegiatan baik yang rutin maupun tidak, sebagian kelompok sosialita di
Jakarta ada yang memilih untuk melakukan kegiatan sosial kemasyarakatanseperti
Joy Roesma yang tergabung dalam Yayasan Rumah Pandai Terang Indonesia yang
diprakarsai oleh perancang Kanaya Tabitha, Nadia Mulya dan Aline Adita yang
secara rutin mengumpulkan dana lewat malam dana untuk membangun shelter di
daerah-daerah terkena bencana, kemudian memberdayakan saudara-saudara kurang
beruntung lewat program seperti pemberdayaan lele dan belut, pengolahan sampah
dan lain sebagainya, sehingga tidak hanya terbantu oleh dana namun mereka akan
memiliki kemampuan untuk memperoleh penghasilan sendiri lewat keterampilan baru
mereka. Ada juga kegiatan yang bertujuan melestarikan kebudayaan Indonesia seperti
Batik Tulis kaum ningrat Surakarta Hadiningrat melalui sosialisasi dan pelelangan,
syukuran di panti asuhan, seperti yang diungkapkan oleh Mrs. J, “Saya rasa tidak ada
pengaruh negatif dari kelompok seperti kami, bahkan banyak sekali manfaat yang
Saya dapatkan, Saya jadi belajar berbisnis, ya walaupun Saya tidak benar-benar fokus
68
untuk mencari uang, jiwa seni Saya berkembang, Saya merasakan kesenangan yang
luar biasa ketika harus berkreasi dengan beragam jenis batik yang kami rencanakan
untuk didesign menjadi kebaya, tas, sepatu dengan standar yang tidak biasa, bahkan
kami pernah mengadakan lelang hasil mahakarya batik kaum ningrat Surakarta
Hadiningrat dengan nilai yang fantastis, kemudian hasilnya sebagian kami gunakan
untuk menyumbang korban banjir di kalimantan”, namun ada beberapa kegiatan yang
dilakukan oleh para kaum sosialita Jakarta yang lebih berfokus kepada pola hidup
konsumerisme yang menurut Piliang (1999)39, dikendalikan sepenuhnya oleh hukum
komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja, yang menghormati setinggitingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin
kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi
setiap orang untuk asyik dengan sendirinya, kegiatan tersebut menurut Mrs. DR
kepada merdeka.com diantaranya :
1. Arisan ratusan juta
Para sosialita selalu punya kegiatan wajib di tiap pertemuan mereka, yakni
arisan dengan nilai fantastis yang diadakan di tempat mewah minimal hotel
berbintang, “Kami arisan paling kecil Rp 50 Juta hingga Rp 100 Juta, yang rutin
diadakan sebulan sekali, paling sering di Hotel Mulia”.
39
Piliang. 1999. Hiper – Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS
69
2. Shopping dan perawatan tubuh jutaan
Kegiatan lain yang diadakan adalah belanja dan perawatan tubuh, agar tetap
tampil menarik para sosialita selalu memperhatikan penampilan mereka. Berbusana
baru dan tampil dengan kulit cerah pastinya jadi kewajiban, “Kami sering perawatan
4 sampai 5 kali per bulan, sekali perawatan itu kisaran Rp 3 Juta, kami sebulan
hampir 5 kali perawatan, perawatan nomor 1 kemudian shopping dan rumpi-rumpi,
untuk belanja tidak dapat ditentukan anggarannya, sesuai kebutuhan saat itu”.
3. Rumpi - rumpi 3 kali seminggu
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi satu dengan yang
lainnya, soal perkembangan fashion atau apapun, biasanya dilakukan di kafe atau
mall bahkan salon langganan, “Doyan nongkrong ya dong, kan kami hampir
seminggu dua sampai tiga kali bertemu, biasanya di Hotel, kami jarang
membicarakan keluarga”.
4. Dugem (Dunia Gemerlap)
Anggota komunitas sosialita di Jakarta umumnya sudah menjadi ibu,
kadangpun usianya tidak lagi muda, namun tidak mau kalah semangat dengan anak
muda, sehingga salah satu kegiatan mereka adalah dugem, “Dugem ya itu salah satu
aktifitas kami juga selain arisan, shopping, perawatan. Biasanya kami lakukan jika
ada yang ulang tahun, party gitu”.
5. Ngomongin brondong
Sebagian komunitas sosialita di Jakarta juga ada yang memiliki aktifitas
seperti membicarakan “brondong” atau pria muda dengan penampilan menarik, “Ya
70
iyalah ngomongin brondong, kan sebagai vitamin kami”, mereka tak sungkan
menggoda pria muda tampan.
4.2.5. Realitas Sosialita terkait dengan Public Relations
Perkembangan opini negatif masyarakat yang semakin berkembang mengenai
komunitas sosialita di DKI Jakarta menunjukan tidak adanya peran seorang public
relations dalam komunitas tersebut. F. Rachmadi (1994) berpendapat, fungsi PR yang
utama adalah menyelenggarakan hubungan dengan publiknya guna memperoleh
dukungan dan simpatik publik, seorang public relations memiliki kemampuan untuk
mengamati dan menganalisis problem, menarik perhatian, mempengaruhi opini
publik serta menjalin hubungan dan suasana saling percaya, sebagai komunitas yang
banyak disorot oleh publik, sebaiknya perkembangan kaum sosialita di DKI Jakarta
memiliki tim public relations yang berjalan beriringan dengan kelompok tersebut.
Public relations sangat penting dalam menyampaikan penerangan atau
pengumuman yang pada prinsipnya membangun hubungan baik antara kelompok
orang yang mempunyai hubungan atau ikatan dengan organisasi atau kelompok.
(NGRP- Nederlandsche Genoodschap Public relations,1963). Sebagai komunikator
yang baik seorang public relations haruslah mengetahui pendapat pihak lain tentang
sebuah organisasi atau komunitas. Setiap organisasi atau komunitas tersebut
mempunyai citra sebanyak jumlah orang yang memandangnya. Idealnya, semua
pihak harus mempunyai pandangan baik terhadap organisasi atau komunitas tersebut.
Oleh karena itu, salah satu tujuan organisasi atau komunitas seharusnya memperluas
71
praktik public relations yang baik, sehingga citranya menjadi baik. Diharapkan
dengan menambah fungsi public relations dalam komunitas sosialita di DKI Jakarta
dapat memberikan identitas organisasi dengan tepat dan benar serta mampu
mengkomunikasikannya sehingga publik menaruh kepercayaan dan mempunyai
pengertian yang jelas dan benar terhadap komunitas tersebut. Lima pokok tugas
public relations sehari – hari yang dapat mendukung pencitraan segala aktivitas kaum
sosialita sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas penyampaian informasi secara
lisan, tertulis, melalui gambar (visual) kepada publik, supaya publik mempunyai
pengertian yang benar tentang komunitas sosialita di DKI Jakarta.
2. Monitoring, merekam dan mengevaluasi tanggapan serta pendapat umum atau
masyarakat.
3. Memperbaiki citra komunitas sosialita di DKI Jakarta, bagi public relations,
menyadari citra yang baik tidak hanya terletak pada bentuk luar, prestasi, publikasi
dan seterusnya tetapi terletak pada bagaimana suatu komunitas bisa mencerminkan
komunitas yang dipercayai, memiliki kekuatan, mengadakan perkembangan secara
berkesinambungan yang selalu terbuka untuk di kontrol dan dievaluasi.
4. Public relations merupakan instrumen untuk bertanggung jawab terhadap semua
kelompok yang berhak terhadap tanggung jawab tersebut.
5. Public relations mempunyai bentuk komunikasi yang khusus, komunikasi timbal –
balik, maka pengetahuan komunikasi menjadi modalnya, peran public relations
72
juga terletak pada bagaimana ia membentuk pola komunikasi yang baik dalam
suatu komunitas sosialita sehingga komunitas tersebut berjalan secara efektif.
Fungsi seorang public relations harus diimbangi dengan penampilannya,
penampilan seorang public relations yang menjadi representatif dari kaum sosial elite
seperti komunitas sosialita harus seimbang, minimal segala atribut harus
menyeimbangi penampilan anggota komunitas tersebut untuk mendapat kepercayaan
masyarakat bahwa public relations tersebut memang mewakili komunitas sosialita
dalam berhubungan dengan masyarakat.
4.3. Pembahasan
Komunitas sosialita yang ada di DKI Jakarta tidaklah sedikit, setiap
komunitas memiliki aturan dan dan karakter yang berbeda dari setiap anggotanya.
Setiap mereka memiliki pendapat masing – masing mengenai makna sosialita. Semua
itu tergantung dari cara pandang, status sosial, pendidikan, pergaulan dan juga
lingkungan dari setiap masing – masing individu. Seperti yang diungkapkan oleh
Robert M.Z. Lawang40 yang bahwa nilai sosial adalah gambaran mengenai apa yang
diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat memengaruhi perilaku sosial dari orang
yang bernilai tersebut. Dari hal – hal tersebut peneliti dapat melihat bagaimana makna
dan motif setiap anggota masuk kedalam komunitas sosialita.
40
Robert M.Z Lawang. 2004. Kapita Sosial Dalam Perspektif Sosiologi: Suatu
Pengantar. Depok : FISIP UI Press.
73
Ada yang memang merupakan sebuah komunitas sosialita yang benar – benar
masih memegang teguh arti penting dari kata sosialita, mereka yang masih
menjunjung tinggi makna sosialita adalah mereka yang memang terlahir didalam
komunitas tersebut, seseorang yang memang terlahir kaya dan tidak perlu berusaha
keras untuk mendapatkan uang, mereka yang memang bisa menjadi panutan bagi
masyarakat, berperan aktif didalam kegiatan sosial. Namun tidak terlepas dari
kebutuhan status sosial yang tinggi, terlepas dari segala kegiatan sosial yang mereka
lakukan, mereka juga memiliki kegiatan untuk menyenangkan diri sendiri seperti
arisan kelas jetset.
Ada juga yang sudah mulai bergeser dari makna sebenarnya adalah mereka
yang dikenal dengan sebutan social climber, ini merupakan sebutan bagi mereka yang
ingin menjadi bagian dari komunitas sosialita, dengan menghalalkan berbagai macam
cara bahkan bisa dikatakan cara yang digunakan akan membawa kesan yang negatif
bagi mereka yang melakukan hal tersebut, seperti membeli barang – barang branded
padahal mereka tidak memiliki kemampuan itu namun memaksakan diri demi bisa
masuk kedalam komunitas tersebut. Dan hanya memandang komunitas tersebut
sebagai ajang gaya hidup kelas atas.
Hal – hal negatif tersebut dapat membawa citra komunitas sosialita menjadi
tidak baik dimata masyarakat. Bagi masyarakat yang hanya melihat tanpa melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai komunitas sosialita ini akan hanya melihat
komunitas tersebut dari luar saja, maka antara sosialita sejati dengan social climber
74
akan terlihat sama saja. Tentu hal ini akan merugikan mereka yang memang benar –
benar kaum sosialita sejati.
Selain makna, ada juga motif yang berbeda – beda dari setiap anggota
komunitas sosialita mengapa mereka bergabung kedalam kelompok tersebut. Seperti
yang
diungkapkan
oleh
Goffman41
mengenai
teori
dramaturgis
yang
diperkenalkannya, bahwa terdapat dua bagian didalam teori tersebut yaitu Front
Stage yang dibagi menjadi dua bagian yaitu front setting dan front personal dan juga
Back Stage, dimana manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan
karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukkan dramanya.
Menurut teori dramaturgis tersebut, peneliti melihat bahwa komunitas sosialita
tersebut masuk kedalam teori dramaturgis front stage setting yaitu pemandangan fisik
yang diperlihatkan dengan sempurna kepada masyarakat luas, Namun ada yang
memang benar – benar bergabung dengan motif yang sesungguhnya dimana
komunitas tersebut dibentuk dengan makna yang sebenarnya, seperti untuk kegiatan
sosial, memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai kaum sosialita sejati, namun ada juga
yang masuk kedalam komunitas tersebut untuk mengembangkan bisnisnya, ada juga
yang hanya untuk pengakuan status sosialnya dimata masyarakat luas, kembali lagi
tergantung dari bagaimana cara pandang dan pengertian mereka mengenai makna
sosialita sebenarnya.
Dari bagaimana mereka bersosialisasi dan berbagai macam kegiatan yang
mereka lakukan maka timbullah sebuah citra yang mewakili setiap komunitas
41
Goffman, loc.cit.,
75
sosialita yang ada. Citra yang terbentuk pun tergantung dari bagaimana mereka
menciptakan kesan didalam masyarakat baik itu negatif ataupun positif. Kegiatan
yang mereka lakukan pun beragam, mulai dari arisan yang mengeluarkan biaya yang
luar biasa, membeli barang – barang branded,menaiki kendaraan mewah, sampai
kepada kegiatan – kegiatan sosial seperti mengadakan kegiatan amal untuk membantu
korban bencana alam ataupun kegiatan lainnya yang melibatkan sebuah yayasan
yatim piatu ataupun kegiatan sosial dibidang pendidikan dan kesehatan, inilah yang
biasa dilakukan oleh mereka yang berasal dari komunitas sosialita sejati, berbeda
dengan sosial climber yang hanya mengedepankan status sosial agar diakui oleh
masyarakat tanpa diiringi kegiatan sosial, maka secara otomatis akan membentuk
citra yang negatif dimata masyarakat karena seperti terlihat bahwa kegiatan yang
mereka lakukan hanyalah berfoya – foya saja. Berbeda dengan komunitas yang
mengiringi hal tersebut dengan kegiatan – kegiatan sosial. Dengan itu masyarakat pun
dapat melihat dengan sendirinya dengan cara yang positif sehingga terbentuklah
sebuah citra yang positif juga.
Peneliti melihat bahwa makna sosialita yang ada di DKI Jakarta sudah
bergeser dari makna sesungguhnya seiring dengan pola komunikasi yang mereka
lakukan setiap harinya, ditambah dengan masyarakat yang beranggapan apa yang
mereka lihat itu adalah cerminan dari makna sosialita tanpa melakukan penelitian
lebih lanjut. Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka yang berusaha dengan
melakukan segala macam cara secara tidak langsung membawa dampak negatif
dimasyarakat yang membuat pergeseran makna tersebut. Ditambah pola komunikasi
76
yang mereka lakukan berlangsung secara horizontal, komunikasi yang terjadi hanya
diantara mereka yang tergabung didalam komunitas sosialita saja. Pola komunikasi
yang dilakukan oleh komunitas sosialita termasuk kepada pola komunikasi bintang,
pola ini disebut juga sebagai pola komunikasi semua saluran/all channel, sehingga
setiap anggota komunitas dapat berkomunikasi dan melakukan timbal balik dengan
semua anggota kelompok yang lain tanpa adanya komunikasi keluar dari komunitas
tersebut.
Untuk itu peneliti beranggapan bahwa sangat penting bagi setiap komunitas
sosialita untuk bisa menjadi seorang public relations bagi dirinya sendiri atau bahkan
memiliki seorang public relations untuk melakukan komunikasi baik secara
horizontal ataupun dengan masyarakat. Dengan demikian pola komunikasi yang
terjalin akan sangat bagus dan membawa kesan positif bagi masyarakat.
Untuk lebih jelasnya peneliti memasukkan sebuah skema mengenai komunitas
sosialita di DKI Jakarta, sebagai berikut :
77
78
Berikut keterangan mengenai skema diatas :
Dalam komunitas kaum sosialitan di DKI Jakarta peneliti menemukan beberapa unsur
didalamnya, yaitu makna, motif, pola komunikasi serta kegiatan – kegiatan yang
dilakukan oleh komunitas tersebut yang peneliti uraikan sebagai berikut :
1. Makna
Pada saat ini makna sosialita cenderung sudah bergeser, banyak diantara mereka
yang mengetahui makna sosialita hanya sekedar banyaknya harta yang dimiliki,
padahal arti katanya lebih dalam daripada hanya sekedar harta saja. Dan makna
sosialita akan memiiki definisi yang berbeda tergantung bagaimana cara pandang
masing – masing individu.
 Sosialita
Bagi seorang sosialita sejati, makna sosialita tidak terlepas dari kelebihan yang
memang dimilikinya sejak lahir, seseorang yang tidak perlu melakukan kerja
keras untuk mendapatkan uang ataupun bersusah payah untuk mendapatkan
pengakuan dari masyarakat, serta dapat menjadi panutan bagi masyarakat luas.
 Social Climber
Bagi seorang social climber makna sosialita hanya sejauh dari seberapa bisa
mereka memiliki barang – barang branded serta diakui bahwa mereka adalah
bagian dari komunitas tersebut, mereka membutuhkan usaha extra bahkan
cenderung menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengakuan status
79
sosial dimasyarakat dan tidak jarang mebuat komunitas tersebut terlihat negatif
dimata publik.
2. Motif / Kegiatan
 Arisan
Arisan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan komunitas sosialita,
bukan sekedar kegiatan arisan biasa saja, namun dapat dikatakan spektakuler
karena berbeda dengan arisan pada umumnya, biasa dikenal sebagai arisan
kaum jetset. Kegiatan dilakukan didalam pesawat pribadi dengan dana yang
luar biasa, berkeliling negara – negara selama beberapa hari hingga kegiatan
arisan tersebut berakhir.
Gambar 4.4. Salah Satu Pesawat Pribadi yang digunakan Komunitas
Sosialita di DKI Jakarta
Sumber : Kompas.com
80
 Pesta
Selain itu komunitas ini juga kerap kali mengadakan pesta sebagai ajang
silaturahmi bahkan dapat dikatakan ajang pamer.
 Clubbing
Tidak sedikit dari mereka yang juga senang dan kerap melakukan clubbing
untuk menyenangkan diri sendiri.
 Kegiatan Sosial
Kegiatan sosial yang dilakukan seperti mengunjungi yayasan – yayasan, seperti
salah satunya yayasan Rumah Pandai Terang Indonesia ataupun yayasan yatim
piatu, bahkan dibidang pendidikan mereka juga ikut berpartisipasi didalamnya.
Juga membantu mereka yang menjadi korban bencana alam.
 Bisnis
Bisa dikatakan bisnis merupakan salah satu kegiatan, seperti menjual tas – tas
branded dan juga motif bagi beberapa diantara mereka untuk mengembangkan
bisnisnya dengan cara mencari channel dilingkungan komunitas tersebut.
 Status Sosial
Motif lainnya mereka ingin tergabung dengan komunitas sosialita ini adalah
status sosial, bagi mereka yang terlahir sebagai kaum sosialita sejati tidak
memerlukan usaha extra, namun bagi beberapa dari mereka status sosial adalah
sesuatu yang harus diperjuangkan dengan banyak cara, bahkan dengan cara
yang tidak baik sekali pun.
81
3. Citra
Citra adalah kesan, perasaan, gambaran dari publik terhadap individu ataupun
komunitas, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau
komunitas. Citra tidak terbentuk dengan sendirinya, namun citra beraal dari
bagaimana kesan yang komunitas sosialita ciptakan dan harus dipelihara secara
terus menerus.
 Positif
Citra yang positif untuk komunitas sosialita yang ada di DKI Jakarta sudah
agak memudar karena banyak yang menyalah artikan makna dari sosialita itu
sendiri, juga pola komunikasi yang cenderung kurang efektif antara komunitas
sosialita dengan masyarakat.
 Negatif
Citra negatif untuk komunitas ini mulai terbentuk dari kesan yang komunitas ini
sendiri ciptakan, masyarakat hanya mengetahui bahwa apa yang komunitas ini
lakukan hanya berfoya – foya saja ditambah ada munculnya kelompok yang
dikenal sebagai social climber, serta kurangnya publikasi mengenai kegiatan –
kegiatan sosial yang mereka lakukan.
4. Pola Komunikasi
Pola komunikasi yang berlangsung sejauh yang peneliti dapatkan yaitu melalui
berbagai cara, namun pola komunikasi yang terjadi hanya secara horizontal saja
82
dengan sesaam anggota komunitas yang ada, seperti pada saat melakukan hal – hal
dibawah ini :
 Hobi
Dalam satu komunitas sosialita biasanya berisi 20 – 25 orang saja, dalam
komunitas tersebut ada beberapa diantaranya yang memang kebetulan memiliki
hobi, seperti mengoleksi batik ataupun barang – barang branded lainnya seperti
tas dan sepatu. Dari kesamaan hobi inilah yang membuat rutinitas komunikasi
terjadi.
 Silaturahmi
Silaturahmi juga sering mereka lakukan, mereka melakukannya dengan rutin
seperti kumpul – kumpul dua atau tiga minggu sekali diluar kegiatan arisan,
biasa mereka lebih senang untuk pergi ke tempat – tempat seperti salon ataupun
cafe, namun hal ini jarang terjadi karena banyaknya kegiatan yang masing –
masing miliki.
 Rutinitas
Karena banyaknya kegiatan yang mereka lakukan, maka kegiatan tersebut bisa
dikatakan rutinitas yang komunitas sosialita ini lakukan.
5. Kesehatan
Disamping itu mereka juga tidak melupakan rutinitas yang satu ini, selain
memperhatikan kehidupan sosialnya, mereka juga sangat menjaga kesehatan
mereka.
83
 Perawatan
Perawatan yang mereka lakukan juga dapat dikatakan rutinitas yang biasa
mereka lakukan bersama dengan anggota komunitas sosialita. Seperti
perawatan kulit dan tubuh, namun perawatan yang mereka lakukan juga sangat
luar biasa, ada yang memang sengaja untuk pergi ke Bali hanya untuk
melakukan spa.
 Olah raga
Untuk menjaga kebugaran biasanya kebanyakan dari mereka melakukan olah
raga di tempat gym untuk kalangan atas di Jakarta.
 Traveling
Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan favorit mereka, biasanya mereka
mengadakan traveling ke tempat – tempat yang juga sedang mengadakan
pameran baju ataupun tas – tas branded di luar negeri.
Gambar 4. Salah Satu Komunitas Sosialita di DKI Jakarta saat
Traveling
Sumber : nadyaenjoy.com
84
6. Koleksi
Bukan hal yang asing lagi untuk komunitas sosialita ini membicarakan mengenai
koleksi yang mereka miliki, seperti tas, baju, aksesoris hingga kendaraan mewah.
 Aksesoris / Atribut
Anggota dari komunitas ini hanya menggunakan tas, pakaian ataupun sepatu
dengan merk – merk yang yang terkenal saja seperti Chanel, Loubotin, Louis
Vuiton dll. Selain untuk penampilan mereka sehari – hari, juga untuk
mendukung status mereka dimata masyarakat.
 Kendaraan
Kendaraan yang mereka gunakan juga tidak terlepas dari merk – merk yang luar
biasa harganya seperti BMW, Alphard dan mobil sport seperti Ferrari, Porche
yang biasanya mereka gunakan di event – event tertentu.
85
Download