BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Komunitas Sosialita di DKI Jakarta. DKI Jakarta sebagai Ibukota Indonesia merupakan pusat segala aktivitas, termasuk dalam hal berkomunikasi, pada umumnya komunikasi merupakan salah satu faktor penting penunjang kehidupan di DKI Jakarta baik dalam aktivitas bisnis maupun akivitas sehari-hari, juga merupakan faktor pembentuk kelompok atau organisasi yang melalui komunikasi beberapa orang yang memiliki pandangan, prinsip dan cara hidup yang sama bertemu dan menjalin komunikasi yang baik sehingga kelompok atau komunitas tersebut terbentuk. Pada dasarnya kehidupan sosial suatu masyarakat tidak bersifat stagnan, hal tersebut akan selalu berubah sesuai dengan perubahan jaman dan perkembangan manusianya. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat perkotaan seperti DKI Jakarta yang dalam sosiologi antropologi disebut sebagai masyarakat kompleks. Dalam kompleksitas masyarakat ini dapat terlihat dari semakin terspesialisasinya pekerjaan, maupun komunitas-komunitas yang terbentuk di dalamnya. Dalam interaksi sosialnya masyarakat ini memiliki pranata sosial yang mengatur perilaku individunya sehingga mencapai suatu keteraturan. Baik itu pranata sosial yang mengatur perilaku individu di ranah publik maupun domestik atau di lingkungan 51 pekerjaan atau lingkungan rumah. Pranata sosial ini akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan sosial budaya masyarakatnya. Salah satu kelompok masyarakat yang ada di DKI Jakarta adalah kaum sosialita. Kaum Sosialita sebenarnya berasal dari budaya Borjuis Perancis yang sudah ada sejak zaman Raja Perancis XIV. Dari zaman itu, golongan ini sudah terkenal dengan gaya hidup yang glamour dengan standar yang tinggi.Pendahulunya adalah Maria Antoinette, mantan ratu Perancis yang sukanya foya - foya dan bergelar, “Madamme Pemboros”, akibat hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, satu kota keuangannya bisa langsung bangkrut.Namun makna dari sosialita tidak hanya berhubungan dengan gaya hidup saja, tetapi lebih kepada seseorang yang memang terlahir kaya raya dan tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan uang, mereka adalah kalangan yang terpelajar dan berpendidikan tinggi, juga sangat aktif didalam kegiatan - kegiatan sosial di masyarakat serta bisa menjadi panutan bagi masyarakat luas. Kaum sosialita juga tidak perlu berusaha untuk membentuk opini masyarakat bahwa mereka termasuk ke dalam kaum sosialita tersebut, namun dengan hanya sekali melihat saja dari bagaimana mereka berkomunikasi dan kegiatan – kegiatan yang mereka ikuti, masyarakat bisa dengan sendirinya mengetahui kalau mereka merupakan kaum sosialita sejati. Kegiatan dari komunitas ini banyak dan beragam, mulai dari arisan, tetapi bukan arisan yang biasanya dilakukan oleh kalangan – kalangan menengah kebawah, arisan yang dilakukan bisa dikatakan sangat spektakuler karena beberapa diantara komunitas tersebut biasanya melakukan aktivitas arisan tersebut didalam pesawat pribadi untuk terbang ke negara laindengan 52 dana yang juga tidak biasa, bahkan mereka juga memiliki seragam khusus untuk anggota komunitas tersebut yang mengikuti arisan tersebut, lalu ada juga kegiatan bergengsi seperti pelelangan barang mewah dan juga acara amal. Istilah sosialita di DKI Jakarta sudah tidak asing lagi, tidak jarang bahkan bisa dikatakan banyak sekali yang ingin tergabung didalam komunitas tersebut. Selain karena gengsi, juga mereka yang ada didalam komunitas tersebut akan dipandang terhormat. Kaum sosialita yang ada di Jakarta tidak hanya berasal dari keturunan bangsawan saja, tetapi termasuk juga masyarakat yang berasal dari kelas atas, masyarakat dengan kedudukan penting atau tokoh masyarakat, bahkan dari kalangan artis pun sudah banyak yang menyebut dirinya adalah sosialita. Semakin banyak orang yang ingin tergabung dalam komunitas sosialita atau hanya ingin dikategorikan sebagai salah seorang dari kaum tersebut menimbulkan efek social climbers yaitu sekelompok orang-orang yang mendeklarasikan diri mereka sebagai bagian dari kaum jet set tersebut serta menghalalkan segala cara agar dapat ikut berpartisipasi dalam komunitas sosialita. Kehidupan kaum sosialita di DKI Jakarta semakin banyak diketahui oleh publik, kegiatan - kegiatan sosialita dengan standar hidup yang tinggi menimbulkan opini baru ditengah masyarakat bahwa komunitas tersebut mengalami pergeseran makna, 34 seperti yang diungkapkan oleh Mead (1931)34masyarakat George Herbert Mead. 1934/1962, Mind, Self an Society: From The Stand Point of Social Behaviorist, Chicago, University of Chicago Press. 53 mencerminkansekumpulan tanggapan yang terorganisir, oleh sebab itu masyarakat dapat membentuk pemikiran sendiri berdasarkan realitas yang ada. Kaum sosialita dinilai terlalu mencerminkan kehidupan dengan kemewahan tanpa arti, kurang dermawan dengan tidak peka melihat jenjang sosial yang begitu berbeda dengan masyarakat kurang mampu serta dinilai belum bisa membawa masyarakat dengan belum menjadi contoh yang baik. 4.2. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan selama tiga bulan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi secara langsung dan wawancara mendalam dengan beberapa informan yang terkait langsung dengan komunitas sosialita yang berada di DKI Jakarta.Kaum sosialita yang menjadi informan dalam penelitian ini memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya, tergabung dalam komunitas yang berbeda dengan pola komunikasi yang berbeda, kebanyakan dari informan tergabung dalam kelompok dengan kesamaan hobi yang mereka geluti namun ada juga yang sudah membentuk komunitas tersebut sebagai kelompok pertemanan. Peneliti menemukan setiap komunitas membentuk image mereka masing-masing baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ada yang memang pembawaan diri sendiri dari setiap anggota komunitas ataupun yang memang sengaja dibentuk untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. 54 4.2.1. Makna Sosialita Fenomena sosialita di Indonesia sudah ada sejak era 70-an dan semakin dikenal oleh masyarakat akhir-akhir ini. Kata sosialita identik dengan kemewahan, di Indonesia sendiri makna sosialita berkembang dengan ciri yang berbeda yaitu lebih mengarah kepada standar kehidupan kelas atas dengan pergaulan elit dan pola komunikasi tersendiri yang tidak biasa, berbeda dengan pola komunikasi kelompok sosial pada umumnya. Makna sosialita yang seharusnya tidak terlepas dari makna sosial itu sendiri mulai luntur bagi beberapa komunitas sosialita di DKI Jakarta, beberapa komunitas tersebut tidak lagi dapat membawa masyarakat untuk menjadi contoh dan panutan yang baik, namun masih ada beberapa komunitas yang belum terlepas dari makna sosialita tersebut. Secara khusus seperti yang dijelaskan oleh penulis buku “The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialite” Joy Roesma sebagai berikut, “Definisi socialite adalah seseorang yang menjadi anggota strata social elite. Term ini mulai dikenal sejak 1928 dan yang masuk kategori ini adalah orang superkaya, aktif di kegiatan sosial dan kerap mengadakan pesta atau diundang dalam event bergengsi. Kalau jaman dulu lebih dilekatkan untuk kaum bangsawan, kini pemakaiannya merambah pada konglomerat dan mereka kelas ekonomi A, dikenal, dikagumi dan menjadi panutan banyak orang, memiliki pergaulan luas, sering diundang ke event bergengsi dan duduk di jajaran VIP atau front row, terdepan dalam berbusana dan menggunakan status sosialnya yang bergengsi untuk memberi contoh yang baik, seperti mensosialisasikan kepedulian pada charity.” 55 4.2.2. Pergeseran Makna Sosialita Pergeseran makna sosialita di DKI Jakarta menjadi trending topik yang berkembang dikalangan masyarakat, komunitas sosialita dinilai sudah tidak bisa lagi membawa masyarakat untuk menjadi teladan yang baik, walaupun hal ini tidak bisa dijadikan ukuran bahwa seluruh komunitas sosialita di DKI Jakarta sudah menurun kualitasnya, seperti yang diungkapkan oleh Joy Roesma, “Tapi menurut saya, 3-4 tahun belakangan ini, sebenarnya sudah abu-abu ya, term sosialita itu. Sekarang ini yang jago dandan, barangnya KW, jago mendekati atau bahkan sampai membayar fotografer majalah gaya hidup juga sudah bisa disebut sebagai sosialita. Jadi benar juga pendapat Boedi Basuki, mantan wartawan gaya hidup kalau term sosialita gengsinya sudah menurun di Indonesia, masih banyak yang menilai kalau sekadar sering tampil di halaman majalah, rajin datang ke event bergengsi dan memakai barang bermerek ternama (padahal tidak asli), seseorang sudah bisa disebut sebagai sosialita. Karena keglamorannya dan banyak mendapat apresiasi, akibatnya ada yang memaksakan diri baik secara ekonomi, jadi social climber dengan jadi semacam babunya sosialita sungguhan bahkan sampai menjual diri (dengan menjadi simpanan), untuk bisa masuk dalam komunitas sosialita”. Namun ada juga yang beranggapan lain seperti yang dikemukakan oleh Mrs. J, “Diantara kami Saya rasa ada beberapa yang dapat dikatakan demikian (social climbers), namun dari kami sendiri memang menerima, jika mereka masih bisa menyesuaikan diri dan tidak terlalu menyusahkan Saya rasa tidak masalah, namun jika banyak diantara mereka yang mulai mengganggu dan menghambat bagi kaum 56 sosialita lainnya, saran Saya adalah tetap pada standar masing - masing komunitas sosialita, pada akhirnya waktu akan menjawab bahwa para social climbers sejati tidak layak menjadi bagian dari kaum sosialita, namun jika mereka bisa mengikuti alur, Saya rasa akan layak mereka di copot predikatnya sebagai social climbers”. Asumsi pergeseran makna sosialita dipengaruhi oleh citra yang ditimbulkan masing-masing individu sosialita maupun komunitas sosialita, menurut Frank Jefkins dalam Nova35, terdapat beberapa jenis citra, yang salah satunya adalah citra cermin (Mirror Image) yaitu citra yang melekat pada orang dalam atau anggota-anggota komunitas, citra ini langsung menunjukan bagaimana gambaran seseorang dalam sebuah komunitas, yang juga merupakan citra yang dianut oleh orang dalam mengenai pandangan luar, terhadap komunitasnya. Citra ini seringkali tidak tepat, bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi, pengetahuan ataupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam komunitas itu mengenai pendapat atau pandangan pihak-pihak luar. Sejauh mana pergeseran makna sosialita tergantung dari seberapa besar dampak negatif yang bisa dihasilkan dari aktivitas dan bagaimana komunikasi yang mereka lakukan setiap harinya, dengan gaya hidup yang mewah bukan berarti kaum sosialita di DKI Jakarta kehilangan jati diri mereka dan mengalami pergeseran makna, masyarakat yang hanya melihat dari apa yang mereka lakukan tanpa melakukan atau meneliti lebih lanjut maka ada beberapa dari mereka yang 35 Firsan Nova. 2011. Crisis Public Relations. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada 57 beranggapan berbeda mengenai kaum sosialita tersebut, namun memang sebaiknya kaum sosialita tetap menjadi contoh untuk masyarakat luas untuk semakin membahu membantu kaum miskin. 4.2.3. Pola Komunikasi Kaum Sosialita Komunikasi dalam suatu komunitas merupakan faktor penunjang yang utama, agar suatu komunitas dapat berjalan dengan baik, diperlukan komunikasi yang efektif seperti yang diungkapkan oleh Pace dan Faules (2001)36 iklim komunikasi suatu komunitas jauh lebih penting daripada keterampilanatau teknik-teknik komunikasi semata-mata dalam menciptakan suatu komunitas yang efektif. Komunikasi dalam suatu komunitas adalah proses yang terjadi dalam kelompok dan di dalam sana terjadi proses komunikasi yang terbagi dalam empat aspek yaitu komunikasi ke bawah (downward communication), komunikasi ke atas (upward communication), komunikasi horizontal (horizontal communication) dan komunikasi lintas saluran. Tubbs dan Moss (2005)37 membagi pola komunikasi menjadi empat yaitu komunikasi intra pribadi (interpersonal communication), komunikasi antar pribadi (antarpersonal communication), komunikasi kelompok (group communication) dan komunikasi massa (mass communication). 36 Wayne R Pace and Don F Faules. 2002. Komunikasi Organisasi: Strategi Peningkata Kinerja Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 37 Stewart L Tubbs and Sylvia Moss. 2001. Human Communication : Prinsip-prinsip Dasar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 58 Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, hampir semua komunitas kaum sosialita di DKI Jakarta yang dijadikan sampel informan memiliki proses komunikasi yang bergerak secara horizontal, mereka tidak dipimpin oleh seseorang dengan jenjang yang lebih tinggi, namun berjalan beriringan, tidak memiliki struktur organisasi yang terstruktur, peran masing-masing anggota terbentuk secara spontan sesuai kebutuhan jika ada acara-acara yang memang memerlukan suatu organisasi. Seperti yang diungkapkan oleh Mrs. J salah seorang informan, “Dalam kelompok kami tidak ada struktur organisasi, namun ada beberapa orang yang memang bertugas mengkoordinasi pertemuan, mencari informasi mengenai perkembangan batik tulis di Indonesia juga acara dadakan yang akan diselenggarakan, namun itu tidak bersifat permanen”. Menurut Tubbs dan Moss pola komunikasi yang dominan terbentuk dalam kalangan sosialita termasuk kedalam pola komunikasi antar pribadi (antarpersonal communication) dengan proses penyampaian paduan pikiran dan perasaan oleh seseorang kepada orang lain agar mengetahui, mengerti dan melakukan kegiatan tertentu. Tujuan komunikasi yang terbentuk dalam komunitas sosialita adalah untuk menjalin hubungan antar anggota agar semakin erat, dengan fungsi komunikasi sebagai cara untuk mewujudkan konektivitas antar anggota. Proses komunikasi yang terjadi berupa seluruh anggota berperan aktif dalam proses komunikasi tersebut, tidak diperintahkan oleh siapapun, sehingga setiap anggota merasa memiliki kepentingan yang sama didalam komunitas tersebut, hal ini berjalan efektif ditunjukan dengan jarangnya konflik yang terjadi dalam masing-masing komunitas, namun ada juga 59 komunitas yang tidak terjalin pola komunikasi yang aktif, seperti yang diungkapkan oleh Joy Roesma, “Saya pernah ikut arisan yang anggotanya hampir 50 orang. Pertama kali masuk saya bisa dibilang hanya kenal dengan 4-5 anggota. Saat arisan pun karena banyak kegiatan habis untuk foto - foto dan yang datang dan pulang benar - benar random, karena waktu arisan misalnya 4 jam. Ada yang datang jam 3-5, ada yang datang jam 5-7. Benar sih pas lagi foto-foto kelihatannya akrab banget, tapi padahal tahunya cuma sekadar babe dan cyin, namanya juga nggak hafal. Habis ngafalin orang sekali banyak banget juga susah dan juga susah juga ngobrolnya kalau dijejer 50 orang. Rasanya sampai arisan selesai 1 putaran (11 bulan kalau tidak salah) sepertinya saya hanya hafal nama dan tahu backgroundnya secara betulan mungkin total hanya 30 orang an. Akhirnya juga lebih sering ngobrol dengan yang sepaham. Misalnya yang kurang klik sama saya, karena saya agak pusing melihat yang dandan terlalu over saat arisan atau kalau saat foto, posenya bagi saya terlalu hardcore, otomatis ngobrol sama mereka juga lebih basa-basi. Bukannya saya anti foto-foto, saya suka banget foto-foto apalagi kalau sudah rame-rame, jadi lupa waktu, tapi ada saatnya juga gerah ya kalau akhirnya karena foto-foto melulu, jadi nggak ada ngobrolnya sama sekali atau yang terlalu monopoli fotografer dengan pose agak seram, juga hihi entah kenapa saya jadi ilfil dan malas akrab ya. Akhirnya saya kapok sih ikut arisan yang banyak sekali isinya, sekarang ini saya kalau ikut arisan, cari yang anggota maksimal 24. Itupun yang saya mau jadi anggota apabila setengah anggotanya saya merasa klik. Soalnya ngapain ikut arisan kalau akhirnya tiap mau arisan jadi beban, karena parno saat arisan nggak tahu mau ngobrol apa atau malah 60 jadi ilfil karena pesertanya lebay2 banget. Kalau isinya 24 dan biasanya yang datang paling 15 orangan, suasana jadi lebih intimate, lebih gampang komunikasinya juga”. Komunikasi kurang terbentuk secara efektif dikarenakan jumlah anggota yang terlalu banyak, ditambah lagi tidak ada yang berperan untuk menjadi komunikator yang baik ditengah-tengah komunitas tersebut. Pola komunikasi yang terjalin ke pihak eksternal, dalam hal ini masyarakat kurang terjalin dengan baik, seperti yang dikemukakan oleh Mrs. J, “Menurut Saya tidak ada penyimpangan yang terjadi, tetapi munculnya pemikiran bahwa kaum sosialita seharusnya memiliki empati kepada kaum lemah ini yang menjadi masalah, bukannya seharusnya empati dimiliki oleh setiap orang, tidak perlu menjadi sosialita untuk bisa membantu orang lain, jika hobi yang memang Kami miliki dari awal yang terkesan mewah dipersalahkan itu terkesan tidak adil menurut Saya, memang ada beberapa dari kami terlalu berlebihan, tetapi media seharusnya menjembatani dengan baik permasalahan ini”, tidak bertemunya pemikiran para komunitas sosialita dengan pemikiran masyarakat dikarenakan pola komunikasi yang tidak terjalin efektif dan berjalan dua arah. Beberapa faktor pendukung juga landasan terbentuknya pola komunikasi dalam komunitas sosialita, juga menjadi faktor yang membedakan komunitas sosialita dengan komunitas lainnya, yakni : 4.2.3.1. Kesamaan Status Sosial Kaum sosialita di Jakarta secara garis besar memiliki kesamaan status sosial yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, biasa disebut Kelas Ekonomi A++ atau dengan julukan Cѓeme de la cѓeme yang berarti kelas atas. Berdasarkan 61 kesamaan status sosial tersebut komunitas terbentuk dan komunikasi terjalin, status sosial dengan sendirinya berdiri sebagai syarat mutlak yang membedakan kaum sosialita dengan kelompok sosial lainnya. 4.2.3.2. Pembatasan Pergaulan Di kalangan sosialita Jakarta, ada yang memang mereka terlahir sebagai kaum sosialita sejati, tetapi banyak juga diantaranya yang termasuk kedalam kaum sosial climber yang memaksakan diri untuk dapat bergabung dengan komunitas sosial elite tersebut, ada yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang salah tetapi ada juga beberapa diantaranya ada yang mengganggap para sosial climbers patut diperhitungkan berdasarkan usaha yang mereka lakukan seperti yang diungkapkan oleh salah seorang narasumber Mrs. X, “Diantara kami, saya rasa ada beberapa orang yang dapat dikatakan sebagai para sosial climbers, namun dari Kami masih bisa menerima, jika mereka masih bisa menyesuaikan diri dan tidak menyusahkan, namun jika banyak diantara mereka mulai mengganggu dan menghambat, saran saya tetap pada standar kalian masing-masing, pada akhirnya waktu akan menjawab sosial climbers sejati tidak layak menjadi bagian dari kaum sosialita”. Ada juga yang berpendapat lain yang memang sengaja membatasi pergaulannya, seperti yang diungkapkan oleh Joy Roesma, “Selain itu pergaulan saya adalah inspirasi saya untuk menulis. Pasalnya keahlian saya memang di gaya hidup, dari mengamati perilaku orang mengobservasi trend yang sedang happening dan dari pergaulan dengan segala macam orang. Saya akui saya memang mengkeep pergaulan saya dengan mereka yang high profile dan selebriti (tentunya dengan yang cocok ya), 62 itu juga untuk keuntungan saya sebagai penulis dan sering menjadi host event gaya hidup. Kalau buat event launching kan pastinya saya memerlukan nama-nama yang dikenal untuk saya mudah mendapat sponsor dan acara saya laris didatangi wartawan. Dengan saya menjadi host, saya sering mendapat diskon maupun gratisan baju dan tas dari brand ternama. Tapi tentunya saya juga tidak memaksakan diri, saya bisa dekat dan klik dengan mereka-mereka yang bisa dibilang memiliki minat dan satu frekuensi. Misalnya saya dan Nadia Mulya, dekat karena sama-sama suka menulis dan hangout. Saya dengan Winda Siregar, sudah dekat dari jaman SMP dan bersahabat sampai sekarang. Saya dengan Adinda Bakrie dulu sama-sama kuliah di Boston dan kami sama-sama ibu muda sekarang”. Gambar 4.1. Salah Satu Komunitas Sosialita di DKI Jakarta Sumber : Femaledaily.com Bagaimana atau dengan siapa mereka bergaul tergantung dari bagaimana cara pandang mereka mengenai pergaulan. Ada yang memang tidak keberatan dengan 63 adanya Social Climbers, namun kebanyakan untuk mereka yang memang benar – benar berasal dari kaum komunitas sosilita sejati menganggap hal tersebut seperti layaknya pantangan untuk komunitasnya, bahkan yang memang berasal dari keluarga kaya saja belum tentu bisa masuk ke dalam komunitasnya, masih ada beberapa persyaratan tertentu. Hal tersebut dilakukan untuk benar – benar menjaga komunitasnya agar tidak bergeser ke arah yang negatif dimata masyarakat. 4.2.3.3. Dasar Kepentingan Dasar kepentingan yang membentuk kelompok sosialita sangat beragam, beberapa diantaranya adalah kesamaan hobi seperti mereka yang memang suka untuk berolahraga, seperti golf dan tenis, bahkan hanya untuk bergosip ria membicarakan hal – hal seputar komunitasnya atau hal – hal yang bisa dikatakan tidak penting untuk dibicarakan dan kesamaan lingkungan pergaulan, kesamaan tersebut yang menjadi dasar terbentuknya komunikasi yang baik antar kaum sosialita. Ada juga beberapa diantara mereka yang memang sengaja terjun kedalam komunitas tersebut untuk bisa mengembangkan bisinisnya, seperti yang diungkapkan oleh Joy Roesma, “Saya akui saya memang mengkeep pergaulan saya dengan mereka yang high profile dan selebriti (tentunya dengan yang cocok ya), itu juga untuk keuntungan saya sebagai penulis dan sering menjadi host event gaya hidup. Kalau buat event launching kan pastinya saya memerlukan nama-nama yang dikenal untuk saya mudah mendapat sponsor dan acara saya laris didatangi wartawan. Dengan saya menjadi host, saya sering mendapat diskon maupun gratisan baju dan tas dari brand ternama” 64 Gambar 4.2. Joy Roesma (kanan) dan Nadia Mulya (kiri) saat Lauching Buku “Kocok!” Sumber : antarafoto.com Dari setiap anggota komunitas sosialita yang ada di DKI Jakarta memiliki alasan atau dasar kepentingan yang berbeda – beda. Setiap individu memainkan perannya dengan sebaik – baiknya untuk kepentingan tertentu, seperti yang diungkapkan oleh Goffman38 mengenai teori dramaturgi, bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama 38 Erving Goffman. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Harmondworth : Penguin. 65 dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Ada yang menganggap hal tersebut penting denga tujuan tertentu, ada juga yang menganggap hal tersebut untuk kesenangan semata saja. 4.2.4. Citra Diri melalui Penampilan Citra bagi kaum sosialita di DKI Jakarta berperan amat sangat penting, beberapa dari komunitas sosialita bertahan dengan mempertahankan citra baik mereka. Beberapa faktor pendukung terbentuknya citra kaum sosialita diantaranya : 4.2.4.1. Atribut Citra kaum sosialita di Jakarta sangat didukung oleh aksesoris yang dikenakan salah satunya adalah tas mewah, menurut Nia G. Syarif pemilik Socialite Boutique di Jalan Gunawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tas menjadi fashion statement yang diperhitungkan, “Baju boleh saja yang bermerk biasa sasal cukup bagus. Tapi, kalau tas, harus yang bermerk high-end dan asli”. Menurut Koran Kompas terbitan Kamis, 15 September 2011, harga-harga tas mewah otentik bekas pakai di pasaran Jakarta saat ini terentang luas dengan harga mencapai ratusan juta rupiah dengan merk-merk seperti Louis Vuitton, Hermes, Gucci, Balenciaga, Bottega Veneta, Dior, Miu Miu, Ferragamo, Tods, Prada dan Marc Jacobs, faktor nilai jual 66 yang tinggi menjadikan tas mewah sebagai barang investasi yang cukup liquid dan cepat cair bagi para kaum sosialita. Menurut Mrs. AM (55 tahun) perancang perhiasan berlian yang sedang berkunjung di Butik Precious di Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta Selatan, “Lebih menguntungkan beli tas second, kalau dijual lagi, kadang harga tetap sama atau selisih lebih rendah sekitar 1 juta saja, hitung-hitung anggap saja itu ongkos pakai untuk sekali-dua kali arisan”. Tas mewah yang pada umumnya digunakan sebagai kebutuhan sekunder atau bahkan tersier, terkesan menjadi kebutuhan primer bagi beberapa kaum sosialita di Jakarta, tuntutan gaya hidup demi pencitraan sangat menuntut aksesoris ini dimiliki oleh para sosial elite, seperti yang diungkapkan oleh Mrs. LC (36 tahun) pengusaha batubara yang juga kolektor tas mewah, mengamati dorongan di kalangan sosialita untuk menjinjing tas mewah memang berpretensi demi meraih status sosial, yang bercerita bagaimana dirinya kerap diragukan lingkungan sosialnya ketika terjun di bisnis batubara, “Karena itu, membawa tas branded bisa membuat orang lain lebih mengakui status sosial, bisnis pun lancar”. 4.2.4.2. Penampilan Penampilan para kaum sosialita di DKI Jakarta merupakan citra diri utuh yang tidak bisa dipisahkan, sebagai komunitas jet set penampilan yang menarik dan terhormat sudah menjadi syarat yang tidak tertulis, sehingga perawatan tubuh rutin dilakukan sebagai salah satu aktivitas komunitas tersebut. 67 4.2.4.3. Kendaraan Kendaraan yang digunakan oleh para kaum sosialita seperti Lamborghini, Ferrari dan Mercy juga semakin gencar digunakan sebagai simbol yang menandakan suatu strata, semakin banyak orang yang menganggap salah satu syarat termasuk kedalam komunitas sosialita adalah dengan memakai salah satu mobil dengan merkmerk tersebut. 4.2.4.4. Kegiatan atau Event Kaum Sosialita Citra kaum sosialita sebagian besar ditunjukan pada saat kelompok sosialita melakukan kegiatan baik yang rutin maupun tidak, sebagian kelompok sosialita di Jakarta ada yang memilih untuk melakukan kegiatan sosial kemasyarakatanseperti Joy Roesma yang tergabung dalam Yayasan Rumah Pandai Terang Indonesia yang diprakarsai oleh perancang Kanaya Tabitha, Nadia Mulya dan Aline Adita yang secara rutin mengumpulkan dana lewat malam dana untuk membangun shelter di daerah-daerah terkena bencana, kemudian memberdayakan saudara-saudara kurang beruntung lewat program seperti pemberdayaan lele dan belut, pengolahan sampah dan lain sebagainya, sehingga tidak hanya terbantu oleh dana namun mereka akan memiliki kemampuan untuk memperoleh penghasilan sendiri lewat keterampilan baru mereka. Ada juga kegiatan yang bertujuan melestarikan kebudayaan Indonesia seperti Batik Tulis kaum ningrat Surakarta Hadiningrat melalui sosialisasi dan pelelangan, syukuran di panti asuhan, seperti yang diungkapkan oleh Mrs. J, “Saya rasa tidak ada pengaruh negatif dari kelompok seperti kami, bahkan banyak sekali manfaat yang Saya dapatkan, Saya jadi belajar berbisnis, ya walaupun Saya tidak benar-benar fokus 68 untuk mencari uang, jiwa seni Saya berkembang, Saya merasakan kesenangan yang luar biasa ketika harus berkreasi dengan beragam jenis batik yang kami rencanakan untuk didesign menjadi kebaya, tas, sepatu dengan standar yang tidak biasa, bahkan kami pernah mengadakan lelang hasil mahakarya batik kaum ningrat Surakarta Hadiningrat dengan nilai yang fantastis, kemudian hasilnya sebagian kami gunakan untuk menyumbang korban banjir di kalimantan”, namun ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh para kaum sosialita Jakarta yang lebih berfokus kepada pola hidup konsumerisme yang menurut Piliang (1999)39, dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja, yang menghormati setinggitingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya, kegiatan tersebut menurut Mrs. DR kepada merdeka.com diantaranya : 1. Arisan ratusan juta Para sosialita selalu punya kegiatan wajib di tiap pertemuan mereka, yakni arisan dengan nilai fantastis yang diadakan di tempat mewah minimal hotel berbintang, “Kami arisan paling kecil Rp 50 Juta hingga Rp 100 Juta, yang rutin diadakan sebulan sekali, paling sering di Hotel Mulia”. 39 Piliang. 1999. Hiper – Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS 69 2. Shopping dan perawatan tubuh jutaan Kegiatan lain yang diadakan adalah belanja dan perawatan tubuh, agar tetap tampil menarik para sosialita selalu memperhatikan penampilan mereka. Berbusana baru dan tampil dengan kulit cerah pastinya jadi kewajiban, “Kami sering perawatan 4 sampai 5 kali per bulan, sekali perawatan itu kisaran Rp 3 Juta, kami sebulan hampir 5 kali perawatan, perawatan nomor 1 kemudian shopping dan rumpi-rumpi, untuk belanja tidak dapat ditentukan anggarannya, sesuai kebutuhan saat itu”. 3. Rumpi - rumpi 3 kali seminggu Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi satu dengan yang lainnya, soal perkembangan fashion atau apapun, biasanya dilakukan di kafe atau mall bahkan salon langganan, “Doyan nongkrong ya dong, kan kami hampir seminggu dua sampai tiga kali bertemu, biasanya di Hotel, kami jarang membicarakan keluarga”. 4. Dugem (Dunia Gemerlap) Anggota komunitas sosialita di Jakarta umumnya sudah menjadi ibu, kadangpun usianya tidak lagi muda, namun tidak mau kalah semangat dengan anak muda, sehingga salah satu kegiatan mereka adalah dugem, “Dugem ya itu salah satu aktifitas kami juga selain arisan, shopping, perawatan. Biasanya kami lakukan jika ada yang ulang tahun, party gitu”. 5. Ngomongin brondong Sebagian komunitas sosialita di Jakarta juga ada yang memiliki aktifitas seperti membicarakan “brondong” atau pria muda dengan penampilan menarik, “Ya 70 iyalah ngomongin brondong, kan sebagai vitamin kami”, mereka tak sungkan menggoda pria muda tampan. 4.2.5. Realitas Sosialita terkait dengan Public Relations Perkembangan opini negatif masyarakat yang semakin berkembang mengenai komunitas sosialita di DKI Jakarta menunjukan tidak adanya peran seorang public relations dalam komunitas tersebut. F. Rachmadi (1994) berpendapat, fungsi PR yang utama adalah menyelenggarakan hubungan dengan publiknya guna memperoleh dukungan dan simpatik publik, seorang public relations memiliki kemampuan untuk mengamati dan menganalisis problem, menarik perhatian, mempengaruhi opini publik serta menjalin hubungan dan suasana saling percaya, sebagai komunitas yang banyak disorot oleh publik, sebaiknya perkembangan kaum sosialita di DKI Jakarta memiliki tim public relations yang berjalan beriringan dengan kelompok tersebut. Public relations sangat penting dalam menyampaikan penerangan atau pengumuman yang pada prinsipnya membangun hubungan baik antara kelompok orang yang mempunyai hubungan atau ikatan dengan organisasi atau kelompok. (NGRP- Nederlandsche Genoodschap Public relations,1963). Sebagai komunikator yang baik seorang public relations haruslah mengetahui pendapat pihak lain tentang sebuah organisasi atau komunitas. Setiap organisasi atau komunitas tersebut mempunyai citra sebanyak jumlah orang yang memandangnya. Idealnya, semua pihak harus mempunyai pandangan baik terhadap organisasi atau komunitas tersebut. Oleh karena itu, salah satu tujuan organisasi atau komunitas seharusnya memperluas 71 praktik public relations yang baik, sehingga citranya menjadi baik. Diharapkan dengan menambah fungsi public relations dalam komunitas sosialita di DKI Jakarta dapat memberikan identitas organisasi dengan tepat dan benar serta mampu mengkomunikasikannya sehingga publik menaruh kepercayaan dan mempunyai pengertian yang jelas dan benar terhadap komunitas tersebut. Lima pokok tugas public relations sehari – hari yang dapat mendukung pencitraan segala aktivitas kaum sosialita sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas penyampaian informasi secara lisan, tertulis, melalui gambar (visual) kepada publik, supaya publik mempunyai pengertian yang benar tentang komunitas sosialita di DKI Jakarta. 2. Monitoring, merekam dan mengevaluasi tanggapan serta pendapat umum atau masyarakat. 3. Memperbaiki citra komunitas sosialita di DKI Jakarta, bagi public relations, menyadari citra yang baik tidak hanya terletak pada bentuk luar, prestasi, publikasi dan seterusnya tetapi terletak pada bagaimana suatu komunitas bisa mencerminkan komunitas yang dipercayai, memiliki kekuatan, mengadakan perkembangan secara berkesinambungan yang selalu terbuka untuk di kontrol dan dievaluasi. 4. Public relations merupakan instrumen untuk bertanggung jawab terhadap semua kelompok yang berhak terhadap tanggung jawab tersebut. 5. Public relations mempunyai bentuk komunikasi yang khusus, komunikasi timbal – balik, maka pengetahuan komunikasi menjadi modalnya, peran public relations 72 juga terletak pada bagaimana ia membentuk pola komunikasi yang baik dalam suatu komunitas sosialita sehingga komunitas tersebut berjalan secara efektif. Fungsi seorang public relations harus diimbangi dengan penampilannya, penampilan seorang public relations yang menjadi representatif dari kaum sosial elite seperti komunitas sosialita harus seimbang, minimal segala atribut harus menyeimbangi penampilan anggota komunitas tersebut untuk mendapat kepercayaan masyarakat bahwa public relations tersebut memang mewakili komunitas sosialita dalam berhubungan dengan masyarakat. 4.3. Pembahasan Komunitas sosialita yang ada di DKI Jakarta tidaklah sedikit, setiap komunitas memiliki aturan dan dan karakter yang berbeda dari setiap anggotanya. Setiap mereka memiliki pendapat masing – masing mengenai makna sosialita. Semua itu tergantung dari cara pandang, status sosial, pendidikan, pergaulan dan juga lingkungan dari setiap masing – masing individu. Seperti yang diungkapkan oleh Robert M.Z. Lawang40 yang bahwa nilai sosial adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat memengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai tersebut. Dari hal – hal tersebut peneliti dapat melihat bagaimana makna dan motif setiap anggota masuk kedalam komunitas sosialita. 40 Robert M.Z Lawang. 2004. Kapita Sosial Dalam Perspektif Sosiologi: Suatu Pengantar. Depok : FISIP UI Press. 73 Ada yang memang merupakan sebuah komunitas sosialita yang benar – benar masih memegang teguh arti penting dari kata sosialita, mereka yang masih menjunjung tinggi makna sosialita adalah mereka yang memang terlahir didalam komunitas tersebut, seseorang yang memang terlahir kaya dan tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan uang, mereka yang memang bisa menjadi panutan bagi masyarakat, berperan aktif didalam kegiatan sosial. Namun tidak terlepas dari kebutuhan status sosial yang tinggi, terlepas dari segala kegiatan sosial yang mereka lakukan, mereka juga memiliki kegiatan untuk menyenangkan diri sendiri seperti arisan kelas jetset. Ada juga yang sudah mulai bergeser dari makna sebenarnya adalah mereka yang dikenal dengan sebutan social climber, ini merupakan sebutan bagi mereka yang ingin menjadi bagian dari komunitas sosialita, dengan menghalalkan berbagai macam cara bahkan bisa dikatakan cara yang digunakan akan membawa kesan yang negatif bagi mereka yang melakukan hal tersebut, seperti membeli barang – barang branded padahal mereka tidak memiliki kemampuan itu namun memaksakan diri demi bisa masuk kedalam komunitas tersebut. Dan hanya memandang komunitas tersebut sebagai ajang gaya hidup kelas atas. Hal – hal negatif tersebut dapat membawa citra komunitas sosialita menjadi tidak baik dimata masyarakat. Bagi masyarakat yang hanya melihat tanpa melakukan penelitian lebih lanjut mengenai komunitas sosialita ini akan hanya melihat komunitas tersebut dari luar saja, maka antara sosialita sejati dengan social climber 74 akan terlihat sama saja. Tentu hal ini akan merugikan mereka yang memang benar – benar kaum sosialita sejati. Selain makna, ada juga motif yang berbeda – beda dari setiap anggota komunitas sosialita mengapa mereka bergabung kedalam kelompok tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Goffman41 mengenai teori dramaturgis yang diperkenalkannya, bahwa terdapat dua bagian didalam teori tersebut yaitu Front Stage yang dibagi menjadi dua bagian yaitu front setting dan front personal dan juga Back Stage, dimana manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukkan dramanya. Menurut teori dramaturgis tersebut, peneliti melihat bahwa komunitas sosialita tersebut masuk kedalam teori dramaturgis front stage setting yaitu pemandangan fisik yang diperlihatkan dengan sempurna kepada masyarakat luas, Namun ada yang memang benar – benar bergabung dengan motif yang sesungguhnya dimana komunitas tersebut dibentuk dengan makna yang sebenarnya, seperti untuk kegiatan sosial, memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai kaum sosialita sejati, namun ada juga yang masuk kedalam komunitas tersebut untuk mengembangkan bisnisnya, ada juga yang hanya untuk pengakuan status sosialnya dimata masyarakat luas, kembali lagi tergantung dari bagaimana cara pandang dan pengertian mereka mengenai makna sosialita sebenarnya. Dari bagaimana mereka bersosialisasi dan berbagai macam kegiatan yang mereka lakukan maka timbullah sebuah citra yang mewakili setiap komunitas 41 Goffman, loc.cit., 75 sosialita yang ada. Citra yang terbentuk pun tergantung dari bagaimana mereka menciptakan kesan didalam masyarakat baik itu negatif ataupun positif. Kegiatan yang mereka lakukan pun beragam, mulai dari arisan yang mengeluarkan biaya yang luar biasa, membeli barang – barang branded,menaiki kendaraan mewah, sampai kepada kegiatan – kegiatan sosial seperti mengadakan kegiatan amal untuk membantu korban bencana alam ataupun kegiatan lainnya yang melibatkan sebuah yayasan yatim piatu ataupun kegiatan sosial dibidang pendidikan dan kesehatan, inilah yang biasa dilakukan oleh mereka yang berasal dari komunitas sosialita sejati, berbeda dengan sosial climber yang hanya mengedepankan status sosial agar diakui oleh masyarakat tanpa diiringi kegiatan sosial, maka secara otomatis akan membentuk citra yang negatif dimata masyarakat karena seperti terlihat bahwa kegiatan yang mereka lakukan hanyalah berfoya – foya saja. Berbeda dengan komunitas yang mengiringi hal tersebut dengan kegiatan – kegiatan sosial. Dengan itu masyarakat pun dapat melihat dengan sendirinya dengan cara yang positif sehingga terbentuklah sebuah citra yang positif juga. Peneliti melihat bahwa makna sosialita yang ada di DKI Jakarta sudah bergeser dari makna sesungguhnya seiring dengan pola komunikasi yang mereka lakukan setiap harinya, ditambah dengan masyarakat yang beranggapan apa yang mereka lihat itu adalah cerminan dari makna sosialita tanpa melakukan penelitian lebih lanjut. Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka yang berusaha dengan melakukan segala macam cara secara tidak langsung membawa dampak negatif dimasyarakat yang membuat pergeseran makna tersebut. Ditambah pola komunikasi 76 yang mereka lakukan berlangsung secara horizontal, komunikasi yang terjadi hanya diantara mereka yang tergabung didalam komunitas sosialita saja. Pola komunikasi yang dilakukan oleh komunitas sosialita termasuk kepada pola komunikasi bintang, pola ini disebut juga sebagai pola komunikasi semua saluran/all channel, sehingga setiap anggota komunitas dapat berkomunikasi dan melakukan timbal balik dengan semua anggota kelompok yang lain tanpa adanya komunikasi keluar dari komunitas tersebut. Untuk itu peneliti beranggapan bahwa sangat penting bagi setiap komunitas sosialita untuk bisa menjadi seorang public relations bagi dirinya sendiri atau bahkan memiliki seorang public relations untuk melakukan komunikasi baik secara horizontal ataupun dengan masyarakat. Dengan demikian pola komunikasi yang terjalin akan sangat bagus dan membawa kesan positif bagi masyarakat. Untuk lebih jelasnya peneliti memasukkan sebuah skema mengenai komunitas sosialita di DKI Jakarta, sebagai berikut : 77 78 Berikut keterangan mengenai skema diatas : Dalam komunitas kaum sosialitan di DKI Jakarta peneliti menemukan beberapa unsur didalamnya, yaitu makna, motif, pola komunikasi serta kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh komunitas tersebut yang peneliti uraikan sebagai berikut : 1. Makna Pada saat ini makna sosialita cenderung sudah bergeser, banyak diantara mereka yang mengetahui makna sosialita hanya sekedar banyaknya harta yang dimiliki, padahal arti katanya lebih dalam daripada hanya sekedar harta saja. Dan makna sosialita akan memiiki definisi yang berbeda tergantung bagaimana cara pandang masing – masing individu. Sosialita Bagi seorang sosialita sejati, makna sosialita tidak terlepas dari kelebihan yang memang dimilikinya sejak lahir, seseorang yang tidak perlu melakukan kerja keras untuk mendapatkan uang ataupun bersusah payah untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat, serta dapat menjadi panutan bagi masyarakat luas. Social Climber Bagi seorang social climber makna sosialita hanya sejauh dari seberapa bisa mereka memiliki barang – barang branded serta diakui bahwa mereka adalah bagian dari komunitas tersebut, mereka membutuhkan usaha extra bahkan cenderung menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengakuan status 79 sosial dimasyarakat dan tidak jarang mebuat komunitas tersebut terlihat negatif dimata publik. 2. Motif / Kegiatan Arisan Arisan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan komunitas sosialita, bukan sekedar kegiatan arisan biasa saja, namun dapat dikatakan spektakuler karena berbeda dengan arisan pada umumnya, biasa dikenal sebagai arisan kaum jetset. Kegiatan dilakukan didalam pesawat pribadi dengan dana yang luar biasa, berkeliling negara – negara selama beberapa hari hingga kegiatan arisan tersebut berakhir. Gambar 4.4. Salah Satu Pesawat Pribadi yang digunakan Komunitas Sosialita di DKI Jakarta Sumber : Kompas.com 80 Pesta Selain itu komunitas ini juga kerap kali mengadakan pesta sebagai ajang silaturahmi bahkan dapat dikatakan ajang pamer. Clubbing Tidak sedikit dari mereka yang juga senang dan kerap melakukan clubbing untuk menyenangkan diri sendiri. Kegiatan Sosial Kegiatan sosial yang dilakukan seperti mengunjungi yayasan – yayasan, seperti salah satunya yayasan Rumah Pandai Terang Indonesia ataupun yayasan yatim piatu, bahkan dibidang pendidikan mereka juga ikut berpartisipasi didalamnya. Juga membantu mereka yang menjadi korban bencana alam. Bisnis Bisa dikatakan bisnis merupakan salah satu kegiatan, seperti menjual tas – tas branded dan juga motif bagi beberapa diantara mereka untuk mengembangkan bisnisnya dengan cara mencari channel dilingkungan komunitas tersebut. Status Sosial Motif lainnya mereka ingin tergabung dengan komunitas sosialita ini adalah status sosial, bagi mereka yang terlahir sebagai kaum sosialita sejati tidak memerlukan usaha extra, namun bagi beberapa dari mereka status sosial adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan banyak cara, bahkan dengan cara yang tidak baik sekali pun. 81 3. Citra Citra adalah kesan, perasaan, gambaran dari publik terhadap individu ataupun komunitas, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau komunitas. Citra tidak terbentuk dengan sendirinya, namun citra beraal dari bagaimana kesan yang komunitas sosialita ciptakan dan harus dipelihara secara terus menerus. Positif Citra yang positif untuk komunitas sosialita yang ada di DKI Jakarta sudah agak memudar karena banyak yang menyalah artikan makna dari sosialita itu sendiri, juga pola komunikasi yang cenderung kurang efektif antara komunitas sosialita dengan masyarakat. Negatif Citra negatif untuk komunitas ini mulai terbentuk dari kesan yang komunitas ini sendiri ciptakan, masyarakat hanya mengetahui bahwa apa yang komunitas ini lakukan hanya berfoya – foya saja ditambah ada munculnya kelompok yang dikenal sebagai social climber, serta kurangnya publikasi mengenai kegiatan – kegiatan sosial yang mereka lakukan. 4. Pola Komunikasi Pola komunikasi yang berlangsung sejauh yang peneliti dapatkan yaitu melalui berbagai cara, namun pola komunikasi yang terjadi hanya secara horizontal saja 82 dengan sesaam anggota komunitas yang ada, seperti pada saat melakukan hal – hal dibawah ini : Hobi Dalam satu komunitas sosialita biasanya berisi 20 – 25 orang saja, dalam komunitas tersebut ada beberapa diantaranya yang memang kebetulan memiliki hobi, seperti mengoleksi batik ataupun barang – barang branded lainnya seperti tas dan sepatu. Dari kesamaan hobi inilah yang membuat rutinitas komunikasi terjadi. Silaturahmi Silaturahmi juga sering mereka lakukan, mereka melakukannya dengan rutin seperti kumpul – kumpul dua atau tiga minggu sekali diluar kegiatan arisan, biasa mereka lebih senang untuk pergi ke tempat – tempat seperti salon ataupun cafe, namun hal ini jarang terjadi karena banyaknya kegiatan yang masing – masing miliki. Rutinitas Karena banyaknya kegiatan yang mereka lakukan, maka kegiatan tersebut bisa dikatakan rutinitas yang komunitas sosialita ini lakukan. 5. Kesehatan Disamping itu mereka juga tidak melupakan rutinitas yang satu ini, selain memperhatikan kehidupan sosialnya, mereka juga sangat menjaga kesehatan mereka. 83 Perawatan Perawatan yang mereka lakukan juga dapat dikatakan rutinitas yang biasa mereka lakukan bersama dengan anggota komunitas sosialita. Seperti perawatan kulit dan tubuh, namun perawatan yang mereka lakukan juga sangat luar biasa, ada yang memang sengaja untuk pergi ke Bali hanya untuk melakukan spa. Olah raga Untuk menjaga kebugaran biasanya kebanyakan dari mereka melakukan olah raga di tempat gym untuk kalangan atas di Jakarta. Traveling Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan favorit mereka, biasanya mereka mengadakan traveling ke tempat – tempat yang juga sedang mengadakan pameran baju ataupun tas – tas branded di luar negeri. Gambar 4. Salah Satu Komunitas Sosialita di DKI Jakarta saat Traveling Sumber : nadyaenjoy.com 84 6. Koleksi Bukan hal yang asing lagi untuk komunitas sosialita ini membicarakan mengenai koleksi yang mereka miliki, seperti tas, baju, aksesoris hingga kendaraan mewah. Aksesoris / Atribut Anggota dari komunitas ini hanya menggunakan tas, pakaian ataupun sepatu dengan merk – merk yang yang terkenal saja seperti Chanel, Loubotin, Louis Vuiton dll. Selain untuk penampilan mereka sehari – hari, juga untuk mendukung status mereka dimata masyarakat. Kendaraan Kendaraan yang mereka gunakan juga tidak terlepas dari merk – merk yang luar biasa harganya seperti BMW, Alphard dan mobil sport seperti Ferrari, Porche yang biasanya mereka gunakan di event – event tertentu. 85