BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan berisikan teori-teori mengenai variabel-variabel, teori subjek penelitian yang akan diteliti dan juga kerangka berpikir. Teori variabel akan terdiri dari teori tentang materialisme, faktor-faktor penyebab materialisme dan teori tentang Subjective well being serta faktor penyebabnya. Teori subjek penelitian akan terdiri atas teori dewasa muda dan teori tentang arisan sosialita. Kerangka Berpikir akan berisikan asumsi yang akan muncul dari penelitian ini berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. 2.1 Materialisme 2.1.1 Definisi materialisme Materialisme menurut Belk (1985) adalah individu yang menempatkan kepemilikan duniawi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup sehingga kepemilikan duniawi sebagai sebuah tujuan hidup. Belk (1985) juga mendefinisikan materialisme sebagai bagian dari ciri kepribadian yang dimiliki setiap orang. Belk (1985) menyatakan bahwa materialisme terdiri atas 4 dimensi yaitu: possessiveness yaitu kecenderungan untuk mempertahankan kontrol atau kepemilikan harta seseorang, nongenerosity yaitu keengganan untuk memberikan harta atau berbagi harta dengan orang lain, envy yaitu ketidaksenangan atau niat jahat pada keunggulan orang lain dalam kebahagiaan, kesuksesan, reputasi, atau kepemilikan apa pun yang diinginkan, dan preservation yaitu konservasi peristiwa, pengalaman, dan kenangan dalam bentuk materi. Selain itu, Materialisme menurut Richins & Dawson (1992 dalam Ahuvia & Wong, 1995) adalah nilai individu atau dasar kepercayaan yang menganut pentingnya kepemilikan benda atau materi sebagai kesejahteraan dan kesempurnaan hidup. 2.1.2 Dimensi materialisme Materialisme ini dibagi dalam 3 dimensi oleh Richins & Dawson (1992 dalam Ahuvia & Wong, 1995). Berikut ini 3 dimensi materialisme menurut Richin & Dawson yaitu: Pertama, dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang (acquisition centrality) bertujuan untuk mengukur derajat keyakinan seseorang yang menganggap bahwa harta dan kepemilikan sangat penting dalam kehidupan seseorang. Dimensi ini terlihat pada ciri dimana umumnya mereka egois dan terpusat pada diri sendiri, serta mereka mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan, contohnya: mereka menginginkan untuk mempunyai tidak hanya “sesuatu”, tetapi lebih dari sebuah gaya hidup yang biasa dan sederhana. Kedua, dimensi kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup (possession defined success) untuk mengukur keyakinan seseorang tentang kesuksesan berdasarkan pada jumlah dan kualitas kepemilikanya. Dimensi ini terlihat pada ciri orang yang mengutamakan menghargai dan memamerkan kepemilikan. Ketiga, dimensi kepemilikan dan harta benda merupakan sumber kebahagian (acquisition as the pursuit of happiness) untuk mengukur keyakinan apakah seseorang memandang kepemilikan dan harta merupakan hal yang penting untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup. Dimensi ini terlihat pada ciri dimana mereka miliki sekarang tidak dapat memberikan kepuasan yaitu seseorang yang selalu mengharapkan kepemilikan yang lebih tinggi agar mendapatkan kebahagian yang lebih besar. 2.1.3 Faktor penyebab materialisme Ada 3 faktor yang menyebabkan materialisme (Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon, 2004 dalam Polak & McCoullough, 2006) yaitu sebagai berikut: Pertama, insecurity yaitu kecenderungan individu untuk mengatasi rasa cemas dan ragu tentang perasaan berharga, mengatasi tantangan secara efektif, dan perasaan aman terhadap dunia yang sulit diprediksi; dengan cara memiliki materi-materi dalam rangka mengatasi perasaan tidak aman (insecurity) tersebut, pemaparan terhadap model dan nilai materialistik, dalam bentuk pesan-pesan implisit dan eksplisit yang menampilkan pentingnya uang dan kepemilikan. Kedua, gaya hidup yang materialistik pada anggota keluarga dan teman sebaya, juga yang ditampilkan oleh media, menimbulkan materialisme pada individu dan pengiklanan dan penyebaran kapitalisme. Ketiga, iklan-iklan yang terpengaruh oleh kapitalisme memperlihatkan model-model yang dapat menimbulkan perasaan inferioritas. Oleh karena itu, individu yang terpengaruh akan berusaha mengurangi rasa inferioritas itu dengan cara memiliki uang atau materimateri lainnya yang ditampilkan oleh iklan tersebut. 2.1.4 Dampak yang Ditimbulkan Menurut Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon (2004), orientasi nilai materialisme pada individu dapat merusak hubungan interpersonal dan relasi dalam komunitas. Hal ini karena hubungan interpersonal pada individu yang materialistik akan ditandai dengan reaksi emosi yang ekstrim, bukan dengan kepercayaan dan kebahagiaan. Selain itu, individu yang materialistik sering membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga menimbulkan perasaan yang buruk terhadap diri sendiri dan membuat individu akan semakin materialistik (Kasser et al., 2004). 2.2 Subjective Well Being 2.2.1 Definisi subjective well being Kebahagiaan dipandang dalam dua hal yaitu, kebahagiaan eudaimonic dan kebahagiaan hedonis. Eudaimonic berasal dari bahasa Yunani daimon, yang berarti diri yang sebenarnya. Kebahagiaan eudaimonic bermakna bahwa kebahagiaan adalah hasil dari perjuangan untuk mencapai aktualisasi diri (psychological well being), dimana dalam prosesnya akan sangat dipengaruhi oleh bakat, nilai dan kebutuhan dari individu dalam menjalani hidup (Maltby, Wood, Osborne & Hurling, 2009). Sedangkan, kebahagian hedonis memilik kesamaan dengan filosofi hedonism yang memandang bahwa tujuan hidup adalah pencarian kepuasaan dan kebahagiaan. Dan dalam hal ini Subjective well being (SWB) termasuk dalam kebahagiaan hedonism (Maltby, Wood, Osborne & Hurling, 2009). Subjective well being dipilih oleh peneliti karena peneliti ingin melihat evaluasi seseorang terhadap hidupnya. Subjective well being merupakan evaluasi orang terhadap kehidupannya sendiri, baik secara afektif maupun kognitif (Diener, 2000). Orang merasakan SWB yang melimpah ketika mereka mengalami perasaan nyaman yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman, ketika mereka merasakan kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan ketika mereka puas dengan hidup mereka (Diener, 2000). Subjective well being mencerminkan penilaian masing-masing individu terhadap diri sendiri tentang kualitas kehidupan mereka. Penilaian ini bersifat subjektif karena tergantung dari invidu masing-masing. Penilain subjektif ini dikarenakan adanya perbedaan berdasarkan nilai hidup, ekspektasi dan hidupnya (Carr, 2004). Subjective well being tidak mencari tahu penyebab orang bahagia atau tidak bahagia (Carr, 2004). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Subjective well being itu adalah kebahagiaan itu sendiri. Oleh sebab itulah, dalam penelitian ini Subjective well being dan kebahagiaan dianggap memiliki makna yang sama. 2.2.2 Dimensi subjective well being Penelitian terbaru menemukan 3 dimensi dalam Subjective well being, yaitu life satisfaction, postive affect dan negative affect. Life satisfaction adalah penilaian kognitif seseorang terhadap tingkat kepuasaan hidupnya. Positive affect adalah frekuensi dan intensitas emosi yang menyenangkan seperti perasaan nikmat dan bahagia. Negative affect adalah frekuensi dan intensitas emosi yang tidak menyenangkan seperti kekhawatiran dan kesedihan. Kedua afek tersebut (positif dan negatif) adalah perasaan orang terhadap kehidupan mereka (Diener, 2000 & Kashdan, 2004). Dengan demikian, orang yang merasakan emosi positif yang tinggi dan emosi negatif yang sedikit serta merasakan kehidupannya sempurna dapat didefinisikan sebagai orang yang bahagia. Hal ini sejajar dengan definisi Subjective well being yang dikemukakan oleh Diener, 2010 di atas. 2.2.3 Faktor penyebab subjective well being Faktor yang mempengaruhi subjective well being dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Cantril, 2000; Bradburn, 1969; Campbell, Converse & Rodgers, 1976; Inglehart, 1990; Veenhoven, 1994 dalam Eddington dan Shuman, 2006). 2.2.3.1 Faktor internal yang mempengaruhi subjective well being sebagai berikut: Traits, sifat seseorang dapat mempengaruhi subjective well being. Extraversion dan neuroticsm berpengaruh cukup besar dalam mempengaruhi subjective well being dibandingkan sifat-sifat. Ciri seseorang yang memiliki sifat extraversion cenderung lebih positif, hangat, mampu bersosialisasi sehingga hal ini berkorelasi dengan emosi yang menyenangkan. Sedangkan seseorang dengan sifat neuroticism cenderung mudah khawatir, sensitif, pesimis sehingga akan berhubungan dengan pikiran dan emosi yang tidak menyenangkan. Self esteem, Eddington & Shuman (2006) menunjukkan bahwa kepuasan diri merupakan predictor kepuasan terhadap hidupnya. Namun self esteem ini memiliki hubungan yang kecil, karena self esteem akan berubah sesuai dengan keadaan hidupnya. Self efficacy adalah perasaan yang dimiliki seseorang untuk mencapai tujuantujuan penting didefinisikan sebagai self efficacy (Feasel, 1995 dalam Eddington & Shuman, 2006). Seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga, seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi mampu mencapai tujuan-tujuan yang penting dalam hidupnya dan mengesampingkan tujuan yang tidak penting sehingga individu tersebut semakin bahagia dengan hidupnya. 2.2.3.2 Faktor eksternal yang mempengaruhi subjective well being sebagai berikut: Sex differences, Shuman (Eddington dan Shuman, 2006) menyatakan penemuan menarik mengenai perbedaan jenis kelamin dan subjective well-being. Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan global yang sama. Wanita memiliki intensitas perasaan negatif dan positif yang lebih banyak dibandingkan pria. Sehingga wanita apabila bersedih maka dapat mengakibatkan kejadian yang buruk baginya sedangkan saat ia bahagia maka akan memberikan kejadian yang baik juga. Purpose memberikan peran penting dalam penyebab SWB, orang-orang merasa bahagia ketika mereka mencapai tujuan yang dinilai tinggi dibandingkan dengan tujuan yang dinilai rendah. Contoh berhasil membeli rumah mewah lebih menyenangkan dibandingkan dengan membeli rumah yang biasa saja. Seseorang yang memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya akan cenderung lebih bahagia. Income atau pemasukan memiliki hubungan yang signifikan terhadap SWB walaupun hubungan yang dimiliki kecil. Secara umum, orang yang memiliki pemasukan yang tinggi lebih bahagia dibandingkan orang yang memiliki pendapatan yang rendah. Hal ini dikarenakan dalam meningkatkan SWB, seseorang butuh untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makanan, tempat tinggal dan kebutuhan kesehatan. Pernikahan atau marriage berperan sebagai penopang dalam emosi dan kondisi ekonomi yang menghasilkan reaksi positif dan juga sebaliknya orang yang bahagia memiliki kemungkinan lebih besar menikah. Interaksi, pengkespresian emosi, dan pembagian tugas berperan dalam keberhasilan pernikahan. Persepsi tentang kesehatan lebih penting daripada secara objektif. Individu dengan kondisi kronis atau cacat memliki SWB yang rendah, jika kondisinya lebih ringan memungkinkan adaptasi. Kesehatan yang buruk mempengaruhi kebahagiaan secara negatif karena berhubungan pengan pencapaian goal atau tujuan. Agama disebutkan sebagai “opiate of the masses” yaitu berhubungan dengan lingkungan banyak atau beberapa orang, keyakinan beragama, relasi dengan Yang Maha Kuasa, sembahyang, serta partisipasi dan pengabdian. Agama juga mempengaruhi ketika individu berada dalam krisis serta berperan dalam meningkatkan hubungan dengan sesama dalam komunitas yang tersedia. Efek dari agama tidak selalu positif dan masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Kesenangan hidup tinggi bagi mereka yang pengangguran, pensiun, tua, atau bagi yang memiliki status kekayaan dan sosial tinggi dan pernikahan tanpa anak. Olahraga juga berpengaruh positif bagi kesenangan karena tubuh melepaskan hormone endorphin, relasi sosial, dan kepuasan terhadap kesuksesan atau self-efficacy. Kepuasan tertinggi dicapai oleh aktivitas tantangan yang melibatkan skill. Kesenangan paling popular adalah menonton televise dan liburan adalah sumber kebahagiaan serta relaksasi. Intensivitas pengalaman positif tidak memiliki banyak efek terhadap kebahagiaan berhubungan dengan kemunculan yang jarang. Individu mengalami mood yang positif ketika bersama teman dibanding dengan ketika bersama dengan orang tua atau sendiri. Kebahagiaan yang paling tinggi adalah jatuh cinta selama cinta itu masih ada. Kebahagiaan yang berlangsung paling lama adalah agama. Kemampuan intelejensi berhubungan dengan pencapaian tujuan termasuk pengaruh dengan kebahagiaan. Fisik yang menarik memiliki efek yang besar terutama bagi wanita muda. Kemapuan sosial extrovert berpengaruh positif pada kebahagiaan dibanding yang tidak bisa menemukan dukungan sosial atau pertemanan. Kebahagiaan juga berhubungan dengan kerja sama, kepemimpinan, dan kemampuan heteroseksual. 2.3 Dewasa Muda (Young Adult) Subjek untuk penelitian ini adalah wanita dengan umur antara 20-40 tahun yang pada masa perkembangan berada pada fase adult. Adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Papalia (2007) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Sementara itu, Papalia (2007) juga mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa muda (young adulthood) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan tanggung jawabnya tentu semakin bertambah besar. Individu tersebut tak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis maupun psikologis pada orangtuanya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu yang berada pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif, merupakan masa dimana individu tidak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orangtuanya, serta masa untuk bekerja, terlibat dalam hubungan masyarakat, dan menjalin hubungan dengan lawan jenis (Papalia, 2007). Hal ini berhubungan dengan hasil survei Roesma & Mulya dalam buku KOCOK! yang mengatakan bahwa anggota arisan kebanyakan berasal dari sosialita rentang umur 20-40 tahun yang kepribadiannya sudah stabil, tidak bergantung dengan orang tua lagi atau bekerja, kebanyakan telah memikirkan tentang memiliki hubungan dan kebanyakan telah menikah dan menjadi orang tua. 2.4 Arisan Sosialita Pengertian arisan oleh Roesma & Mulya (2013) adalah bagian dari budaya pop Indonesia yang sesungguhnya sudah ada sejak lama, yang tujuan awalnya adalah menjalin tali silahturahmi antar keluarga besar. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2014) adalah kegiatan mengumpulkan uang atau barang yg bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yg memperolehnya, undian dilaksanakan di sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. Sosialita menurut Kamus Webster (2008) adalah seseorang yang dikenal sebagai kalangan fashionable dan sering terlihat di pesta atau acara sosial untuk kalangan kaya. Sebagian besar sosialita adalah keturunan bangsawan, aktif di kegiatan sosial dan sering mengadakan pesta atau diundang dalam acara bergengsi dan fashionable (Roesma & Mulya, 2013). Arisan sosialita merupakan ajang perkumpulan orang-orang sangat mapan yang sebagian besar anggotanya adalah istri pejabat dan selebriti. Arisan sosialita merupakan salah satu kelompok informal yang terbentuk karena adanya pertemuan yang rutin dan berulang dan adanya pengalaman yang sama antar anggotanya (Soekanto, 2006). Menurut Soekanto (2006) kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. Berdasarkan interaksi sosial agar ada pembagian tugas, struktur dan norma yang ada, kelompok sosial dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain: kelompok primer, kelompok sekunder, kelompok formal dan kelompok informal. Arisan sosialita ini termasuk dalam kelompok informal. Kelompok informal merupakan suatu kelompok yang tumbuh dari proses interaksi, daya tarik, dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Keanggotan kelompok biasanya tidak teratur dan keanggotaan ditentukan oleh daya tarik bersama dari individu dan kelompok. Kelompok ini terjadi pembagian tugas yang jelas tapi bersifat informal dan hanya berdasarkan kekeluargaan dan simpati. Pertemuan yang rutin di arisan secara psikologis dapat dijadikan sebagai social support yang dibutuhkan oleh sosialita (Sarafino & Smith, 2012). Arisan yang melakukan pertemuan secara rutin ini bisa membantu para anggota dalam menghadapi masalah sehingga arisan dapat dijadikan sebagai wadah untuk mendorong ataupun memberikan semangat. Fungsi arisan lainnya yaitu sebagai wadah untuk memperluas pertemanan, menambah teman dan juga untuk bisnis seperti menjual baju hasil rancangan sendiri. 2.5 Kerangka berpikir 1: Bagan Kerangka Berpikir 1 1: Bagan Kerangka Berpikir Arisan merupakan salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh sosialita di Jakarta. Arisan yang awalnya bermakna sebagai tempat berkumpul dan bersilahturahmi telah mengalami pergeseran makna menjadi ajang “show off” diantara anggotanya (Roesma & Mulya, 2013). Memamerkan barang yang mereka miliki itu dilakukan agar semakin banyak yang dapat melihatnya sehingga mereka akan merasa semakin bahagia dapat menjadi pusat perhatian. Perilaku memamerkan barang yang dimilikinya merupakan salah satu ciri perilaku materialistik. Selain itu sosialita tersebut menggunakan tas merek X dengan kisaran harga di atas 5 juta guna untuk menunjukkan bahwa mereka sukses. Hal ini sesuai dengan salah satu dimensi materialisme yaitu success dimana mengukur keyakinan seseorang tentang kesuksesan berdasarkan pada jumlah dan kualitas kepemilikanya (Richins & Dawson 1992 dalam Ahuvia & Wong, 1995). Hal ini terlihat bahwa terdapat indikator materialisme dalam arisan tersebut. Memiliki tas merek X dengan kisaran harga di atas 5 juta, perhiasan dan barang mahal lainnya dinilai dapat memberikan kebahagiaan untuk kehidupan pribadinya. Namun faktanya materialisme dinilai memberikan efek negatif pada Subjective well being (kebahagiaan). Menurut Eddington & Shuman (2006), individu yang memandang nilai kepemilikkan uang atau barang merupakan tujuan yang paling tinggi dibandingkan tujuan-tujuan yang lain (seperti memiliki keluarga, mempunyai banyak teman, dan lainlain) akan memiliki tingkat kepuasan yang rendah terhadap kehidupan yang dijalani. Kemudian, individu dengan tujuan utama memiliki uang dan materi, ia akan selalu merasa uang dan materi yang dimiliki tidak pernah cukup. Sehingga individu tersebut akan menilai hidupnya kurang puas. Selain itu, di dalam arisan sosialita juga sering terjadi persaingan dalam memperebutkan barang salah satunya tas limited edition dan juga mereka sering membandingkan barang yang dimilikinya dengan orang lain sehingga dapat menimbulkan perasaan buruk terhadap diri sendiri dan orang lain yang dapat mempengaruhi hubungan relasinya dengan anggota yang lain. Hal ini membuat individu akan semakin materialistik dan dapat mengurangi kebahagian (Roesma & Mulya). Namun dikatakan bahwa materialisme juga dapat memberikan dampak postif apabilah motif perilaku tersebut intrinsik seperti membeli tas karena memang mengoleksi tas tersebut sebagai hobi, dan memberikan dampak negatif apabila motif bersifat ekstrinsik seperti membeli tas karena ingin memamerkannya kepada orang lain (Shrum et al., 2012). Pada arisan sosialita, mereka menggunakan motif ekstrinsik dengan menjadikan kepemilikan barang untuk memamerkan barangnya dan sebagai bukti kesuksesan. Perilaku memamerkan barang tersebut dapat memberikan dampak negatif terhadap subjective well being seperti menurunkan kepuasan hidup dan menurunkan kebahagiaan (Burroughs & Rindfleisch, 2002). Penelitian ini dilakukan pada orang yang berpemasukan di atas rata-rata sehingga berbeda dengan penelitian yang tidak mengontrol pemasukan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, pemasukan rata-rata di Indonesia Rp.5.581.000,/bulan. Pemasukan tidak memiliki hubungan dengan materialisme dimana pemasukan baik tinggi ataupun rendah tidak mempengaruhi perilaku materialistik seseorang (Burchan, 2012). Namun pemasukan memiliki hubungan terhadap subjective well being dan juga sebaliknya walaupun hubungan yang dimiliki kecil (Cantril, 2000; Bradburn, 1969; Campbell, Converse & Rodgers, 1976; Inglehart, 1990; Veenhoven, 1994 dalam Eddington dan Shuman, 2006). Semakin tinggi pemasukan seseorang maka subjective well being nya akan semakin tinggi karena orang yang memiliki pemasukan tinggi, kebutuhan sudah terpenuhi sehingga ia akan bahagia. Begitu pula, semakin tinggi subjective well being seseorang maka akan semakin tinggi pemasukan karena orang tersebut lebih bahagia dan semangat untuk mendapatkan pemasukan. Namun penelitianpenelitian ini berlaku pada kalangan tertentu yang memiliki perbedaan pemasukkan yang cukup besar. Oleh sebab itu, peneliti ingin mengetahui apakah materialisme juga berperan memprediksi subjective well being pada anggota kelompok arisan sosialita dengan iuran arisan lebih dari 2 juta. 2.6 Asumsi Penelitian Peneliti berasumsi bahwa materialisme akan memberikan pengaruh pada subjective well being walaupun pengaruh yang diberikan tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan subjek penelitian adalah orang yang berpemasukan di atas rata-rata dan terdapat social support di dalam arisan.