BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Materialisme

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan berisikan teori-teori mengenai variabel-variabel, teori subjek
penelitian yang akan diteliti dan juga kerangka berpikir. Teori variabel akan terdiri dari
teori tentang materialisme, faktor-faktor penyebab materialisme dan teori tentang
Subjective well being serta faktor penyebabnya. Teori subjek penelitian akan terdiri atas
teori dewasa muda dan teori tentang arisan sosialita. Kerangka Berpikir akan berisikan
asumsi yang akan muncul dari penelitian ini berdasarkan penelitian-penelitian yang
telah ada sebelumnya.
2.1
Materialisme
2.1.1 Definisi materialisme
Materialisme menurut Belk (1985) adalah individu yang menempatkan
kepemilikan duniawi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup sehingga kepemilikan
duniawi sebagai sebuah tujuan hidup.
Belk (1985) juga mendefinisikan materialisme sebagai bagian dari ciri
kepribadian yang dimiliki setiap orang. Belk (1985) menyatakan bahwa materialisme
terdiri atas 4 dimensi yaitu: possessiveness yaitu kecenderungan untuk mempertahankan
kontrol atau kepemilikan harta seseorang, nongenerosity yaitu keengganan untuk
memberikan harta atau berbagi harta dengan orang lain, envy yaitu ketidaksenangan
atau niat jahat pada keunggulan orang lain dalam kebahagiaan, kesuksesan, reputasi,
atau kepemilikan apa pun yang diinginkan, dan preservation yaitu konservasi peristiwa,
pengalaman, dan kenangan dalam bentuk materi.
Selain itu, Materialisme menurut Richins & Dawson (1992 dalam Ahuvia &
Wong, 1995) adalah nilai individu atau dasar kepercayaan yang menganut pentingnya
kepemilikan benda atau materi sebagai kesejahteraan dan kesempurnaan hidup.
2.1.2 Dimensi materialisme
Materialisme ini dibagi dalam 3 dimensi oleh Richins & Dawson (1992 dalam
Ahuvia & Wong, 1995). Berikut ini 3 dimensi materialisme menurut Richin & Dawson
yaitu: Pertama, dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang (acquisition centrality)
bertujuan untuk mengukur derajat keyakinan seseorang yang menganggap bahwa harta
dan kepemilikan sangat penting dalam kehidupan seseorang. Dimensi ini terlihat pada
ciri dimana umumnya mereka egois dan terpusat pada diri sendiri, serta mereka mencari
gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan, contohnya: mereka menginginkan untuk
mempunyai tidak hanya “sesuatu”, tetapi lebih dari sebuah gaya hidup yang biasa dan
sederhana. Kedua, dimensi kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup
(possession defined success) untuk mengukur keyakinan seseorang tentang kesuksesan
berdasarkan pada jumlah dan kualitas kepemilikanya. Dimensi ini terlihat pada ciri
orang yang mengutamakan menghargai dan memamerkan kepemilikan. Ketiga, dimensi
kepemilikan dan harta benda merupakan sumber kebahagian (acquisition as the pursuit
of happiness) untuk mengukur keyakinan apakah seseorang memandang kepemilikan
dan harta merupakan hal yang penting untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dalam
hidup. Dimensi ini terlihat pada ciri dimana mereka miliki sekarang tidak dapat
memberikan kepuasan yaitu seseorang yang selalu mengharapkan kepemilikan yang
lebih tinggi agar mendapatkan kebahagian yang lebih besar.
2.1.3 Faktor penyebab materialisme
Ada 3 faktor yang menyebabkan materialisme (Kasser, Ryan, Couchman, &
Sheldon, 2004 dalam Polak & McCoullough, 2006) yaitu sebagai berikut: Pertama,
insecurity yaitu kecenderungan individu untuk mengatasi rasa cemas dan ragu tentang
perasaan berharga, mengatasi tantangan secara efektif, dan perasaan aman terhadap
dunia yang sulit diprediksi; dengan cara memiliki materi-materi dalam rangka
mengatasi perasaan tidak aman (insecurity) tersebut, pemaparan terhadap model dan
nilai materialistik, dalam bentuk pesan-pesan implisit dan eksplisit yang menampilkan
pentingnya uang dan kepemilikan. Kedua, gaya hidup yang materialistik pada anggota
keluarga dan teman sebaya, juga yang ditampilkan oleh media, menimbulkan
materialisme pada individu dan pengiklanan dan penyebaran kapitalisme. Ketiga,
iklan-iklan yang terpengaruh oleh kapitalisme memperlihatkan model-model yang
dapat menimbulkan perasaan inferioritas. Oleh karena itu, individu yang terpengaruh
akan berusaha mengurangi rasa inferioritas itu dengan cara memiliki uang atau materimateri lainnya yang ditampilkan oleh iklan tersebut.
2.1.4 Dampak yang Ditimbulkan
Menurut Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon (2004), orientasi nilai
materialisme pada individu dapat merusak hubungan interpersonal dan relasi dalam
komunitas. Hal ini karena hubungan interpersonal pada individu yang materialistik akan
ditandai dengan reaksi emosi yang ekstrim, bukan dengan kepercayaan dan
kebahagiaan. Selain itu, individu yang materialistik sering membandingkan dirinya
dengan orang lain sehingga menimbulkan perasaan yang buruk terhadap diri sendiri dan
membuat individu akan semakin materialistik (Kasser et al., 2004).
2.2
Subjective Well Being
2.2.1 Definisi subjective well being
Kebahagiaan dipandang dalam dua hal yaitu, kebahagiaan eudaimonic dan
kebahagiaan hedonis. Eudaimonic berasal dari bahasa Yunani daimon, yang berarti diri
yang sebenarnya. Kebahagiaan eudaimonic bermakna bahwa kebahagiaan adalah hasil
dari perjuangan untuk mencapai aktualisasi diri (psychological well being), dimana
dalam prosesnya akan sangat dipengaruhi oleh bakat, nilai dan kebutuhan dari individu
dalam menjalani hidup (Maltby, Wood, Osborne & Hurling, 2009). Sedangkan,
kebahagian hedonis memilik kesamaan dengan filosofi hedonism yang memandang
bahwa tujuan hidup adalah pencarian kepuasaan dan kebahagiaan. Dan dalam hal ini
Subjective well being (SWB) termasuk dalam kebahagiaan hedonism (Maltby, Wood,
Osborne & Hurling, 2009). Subjective well being dipilih oleh peneliti karena peneliti
ingin melihat evaluasi seseorang terhadap hidupnya.
Subjective well being merupakan evaluasi orang terhadap kehidupannya sendiri,
baik secara afektif maupun kognitif (Diener, 2000). Orang merasakan SWB yang
melimpah ketika mereka mengalami perasaan nyaman yang melimpah dan hanya sedikit
perasaan tidak nyaman, ketika mereka merasakan kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan
ketika mereka puas dengan hidup mereka (Diener, 2000).
Subjective well being mencerminkan penilaian masing-masing individu terhadap
diri sendiri tentang kualitas kehidupan mereka. Penilaian ini bersifat subjektif karena
tergantung dari invidu masing-masing. Penilain subjektif ini dikarenakan adanya
perbedaan berdasarkan nilai hidup, ekspektasi dan hidupnya (Carr, 2004).
Subjective well being tidak mencari tahu penyebab orang bahagia atau tidak
bahagia (Carr, 2004). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Subjective well
being itu adalah kebahagiaan itu sendiri. Oleh sebab itulah, dalam penelitian ini
Subjective well being dan kebahagiaan dianggap memiliki makna yang sama.
2.2.2 Dimensi subjective well being
Penelitian terbaru menemukan 3 dimensi dalam Subjective well being, yaitu life
satisfaction, postive affect dan negative affect. Life satisfaction adalah penilaian kognitif
seseorang terhadap tingkat kepuasaan hidupnya. Positive affect adalah frekuensi dan
intensitas emosi yang menyenangkan seperti perasaan nikmat dan bahagia. Negative
affect adalah frekuensi dan intensitas emosi yang tidak menyenangkan seperti
kekhawatiran dan kesedihan. Kedua afek tersebut (positif dan negatif) adalah perasaan
orang terhadap kehidupan mereka (Diener, 2000 & Kashdan, 2004). Dengan demikian,
orang yang merasakan emosi positif yang tinggi dan emosi negatif yang sedikit serta
merasakan kehidupannya sempurna dapat didefinisikan sebagai orang yang bahagia. Hal
ini sejajar dengan definisi Subjective well being yang dikemukakan oleh Diener, 2010 di
atas.
2.2.3 Faktor penyebab subjective well being
Faktor yang mempengaruhi subjective well being dibagi menjadi dua yaitu
faktor internal dan faktor eksternal (Cantril, 2000; Bradburn, 1969; Campbell, Converse
& Rodgers, 1976; Inglehart, 1990; Veenhoven, 1994 dalam Eddington dan Shuman,
2006).
2.2.3.1 Faktor internal yang mempengaruhi subjective well being sebagai berikut:
Traits, sifat seseorang dapat mempengaruhi subjective well being. Extraversion
dan neuroticsm berpengaruh cukup besar dalam mempengaruhi subjective well being
dibandingkan sifat-sifat. Ciri seseorang yang memiliki sifat extraversion cenderung
lebih positif, hangat, mampu bersosialisasi sehingga hal ini berkorelasi dengan emosi
yang menyenangkan. Sedangkan seseorang dengan sifat neuroticism cenderung mudah
khawatir, sensitif, pesimis sehingga akan berhubungan dengan pikiran dan emosi yang
tidak menyenangkan. Self esteem, Eddington & Shuman (2006) menunjukkan bahwa
kepuasan diri merupakan predictor kepuasan terhadap hidupnya. Namun self esteem ini
memiliki hubungan yang kecil, karena self esteem akan berubah sesuai dengan keadaan
hidupnya. Self efficacy adalah perasaan yang dimiliki seseorang untuk mencapai tujuantujuan penting didefinisikan sebagai self efficacy (Feasel, 1995 dalam Eddington &
Shuman, 2006). Seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki keyakinan
akan kemampuannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga, seseorang yang
memiliki self efficacy yang tinggi mampu mencapai tujuan-tujuan yang penting dalam
hidupnya dan mengesampingkan tujuan yang tidak penting sehingga individu tersebut
semakin bahagia dengan hidupnya.
2.2.3.2 Faktor eksternal yang mempengaruhi subjective well being sebagai berikut:
Sex differences, Shuman (Eddington dan Shuman, 2006) menyatakan penemuan
menarik mengenai perbedaan jenis kelamin dan subjective well-being. Wanita lebih
banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih
banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita
mengungkapkan tingkat kebahagiaan global yang sama. Wanita memiliki intensitas
perasaan negatif dan positif yang lebih banyak dibandingkan pria. Sehingga wanita
apabila bersedih maka dapat mengakibatkan kejadian yang buruk baginya sedangkan
saat ia bahagia maka akan memberikan kejadian yang baik juga.
Purpose memberikan peran penting dalam penyebab SWB, orang-orang merasa
bahagia ketika mereka mencapai tujuan yang dinilai tinggi dibandingkan dengan tujuan
yang dinilai rendah. Contoh berhasil membeli rumah mewah lebih menyenangkan
dibandingkan dengan membeli rumah yang biasa saja. Seseorang yang memiliki tujuan
yang jelas dalam hidupnya akan cenderung lebih bahagia. Income atau pemasukan
memiliki hubungan yang signifikan terhadap SWB walaupun hubungan yang dimiliki
kecil. Secara umum, orang yang memiliki pemasukan yang tinggi lebih bahagia
dibandingkan orang yang memiliki pendapatan yang rendah. Hal ini dikarenakan dalam
meningkatkan SWB, seseorang butuh untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti
makanan, tempat tinggal dan kebutuhan kesehatan.
Pernikahan atau marriage berperan sebagai penopang dalam emosi dan kondisi
ekonomi yang menghasilkan reaksi positif dan juga sebaliknya orang yang bahagia
memiliki kemungkinan lebih besar menikah. Interaksi, pengkespresian emosi, dan
pembagian tugas berperan dalam keberhasilan pernikahan.
Persepsi tentang kesehatan lebih penting daripada secara objektif. Individu
dengan kondisi kronis atau cacat memliki SWB yang rendah, jika kondisinya lebih
ringan memungkinkan adaptasi. Kesehatan yang buruk mempengaruhi kebahagiaan
secara negatif karena berhubungan pengan pencapaian goal atau tujuan.
Agama disebutkan sebagai “opiate of the masses” yaitu berhubungan dengan
lingkungan banyak atau beberapa orang, keyakinan beragama, relasi dengan Yang Maha
Kuasa, sembahyang, serta partisipasi dan pengabdian. Agama juga mempengaruhi
ketika individu berada dalam krisis serta berperan dalam meningkatkan hubungan
dengan sesama dalam komunitas yang tersedia. Efek dari agama tidak selalu positif dan
masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
Kesenangan hidup tinggi bagi mereka yang pengangguran, pensiun, tua, atau
bagi yang memiliki status kekayaan dan sosial tinggi dan pernikahan tanpa anak.
Olahraga juga berpengaruh positif bagi kesenangan karena tubuh melepaskan hormone
endorphin, relasi sosial, dan kepuasan terhadap kesuksesan atau self-efficacy. Kepuasan
tertinggi dicapai oleh aktivitas tantangan yang melibatkan skill. Kesenangan paling
popular adalah menonton televise dan liburan adalah sumber kebahagiaan serta
relaksasi.
Intensivitas pengalaman positif tidak memiliki banyak efek terhadap
kebahagiaan berhubungan dengan kemunculan yang jarang. Individu mengalami mood
yang positif ketika bersama teman dibanding dengan ketika bersama dengan orang tua
atau sendiri. Kebahagiaan yang paling tinggi adalah jatuh cinta selama cinta itu masih
ada. Kebahagiaan yang berlangsung paling lama adalah agama.
Kemampuan intelejensi berhubungan dengan pencapaian tujuan termasuk
pengaruh dengan kebahagiaan. Fisik yang menarik memiliki efek yang besar terutama
bagi wanita muda. Kemapuan sosial extrovert berpengaruh positif pada kebahagiaan
dibanding yang tidak bisa menemukan dukungan sosial atau pertemanan. Kebahagiaan
juga berhubungan dengan kerja sama, kepemimpinan, dan kemampuan heteroseksual.
2.3
Dewasa Muda (Young Adult)
Subjek untuk penelitian ini adalah wanita dengan umur antara 20-40 tahun yang
pada masa perkembangan berada pada fase adult. Adult atau dewasa awal berasal dari
bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran
yang sempurna atau telah menjadi dewasa.
Papalia (2007) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan
menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal
lainnya. Sementara itu, Papalia (2007) juga mengatakan bahwa secara umum mereka
yang tergolong dewasa muda (young adulthood) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.
Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan tanggung jawabnya
tentu semakin bertambah besar. Individu tersebut tak lagi harus bergantung secara
ekonomis, sosiologis maupun psikologis pada orangtuanya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu
yang berada pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik
dan psikologis pada diri individu yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif,
merupakan masa dimana individu tidak lagi harus bergantung secara ekonomis,
sosiologis, maupun psikologis pada orangtuanya, serta masa untuk bekerja, terlibat
dalam hubungan masyarakat, dan menjalin hubungan dengan lawan jenis (Papalia,
2007).
Hal ini berhubungan dengan hasil survei Roesma & Mulya dalam buku KOCOK!
yang mengatakan bahwa anggota arisan kebanyakan berasal dari sosialita rentang umur
20-40 tahun yang kepribadiannya sudah stabil, tidak bergantung dengan orang tua lagi
atau bekerja, kebanyakan telah memikirkan tentang memiliki hubungan dan kebanyakan
telah menikah dan menjadi orang tua.
2.4
Arisan Sosialita
Pengertian arisan oleh Roesma & Mulya (2013) adalah bagian dari budaya pop
Indonesia yang sesungguhnya sudah ada sejak lama, yang tujuan awalnya adalah
menjalin tali silahturahmi antar keluarga besar. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI, 2014) adalah kegiatan mengumpulkan uang atau barang yg
bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan
siapa yg memperolehnya, undian dilaksanakan di sebuah pertemuan secara berkala
sampai semua anggota memperolehnya.
Sosialita menurut Kamus Webster (2008) adalah seseorang yang dikenal sebagai
kalangan fashionable dan sering terlihat di pesta atau acara sosial untuk kalangan kaya.
Sebagian besar sosialita adalah keturunan bangsawan, aktif di kegiatan sosial dan sering
mengadakan pesta atau diundang dalam acara bergengsi dan fashionable (Roesma &
Mulya, 2013). Arisan sosialita merupakan ajang perkumpulan orang-orang sangat
mapan yang sebagian besar anggotanya adalah istri pejabat dan selebriti. Arisan
sosialita merupakan salah satu kelompok informal yang terbentuk karena adanya
pertemuan yang rutin dan berulang dan adanya pengalaman yang sama antar
anggotanya (Soekanto, 2006).
Menurut Soekanto (2006) kelompok sosial atau social group adalah himpunan
atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka.
Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. Berdasarkan interaksi
sosial agar ada pembagian tugas, struktur dan norma yang ada, kelompok sosial dapat
dibagi menjadi beberapa macam, antara lain: kelompok primer, kelompok sekunder,
kelompok formal dan kelompok informal. Arisan sosialita ini termasuk dalam kelompok
informal. Kelompok informal merupakan suatu kelompok yang tumbuh dari proses
interaksi, daya tarik, dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Keanggotan kelompok
biasanya tidak teratur dan keanggotaan ditentukan oleh daya tarik bersama dari individu
dan kelompok. Kelompok ini terjadi pembagian tugas yang jelas tapi bersifat informal
dan hanya berdasarkan kekeluargaan dan simpati.
Pertemuan yang rutin di arisan secara psikologis dapat dijadikan sebagai social
support yang dibutuhkan oleh sosialita (Sarafino & Smith, 2012). Arisan yang
melakukan pertemuan secara rutin ini bisa membantu para anggota dalam menghadapi
masalah sehingga arisan dapat dijadikan sebagai wadah untuk mendorong ataupun
memberikan semangat. Fungsi arisan lainnya yaitu sebagai wadah untuk memperluas
pertemanan, menambah teman dan juga untuk bisnis seperti menjual baju hasil
rancangan sendiri.
2.5
Kerangka berpikir
1: Bagan Kerangka Berpikir 1
1: Bagan Kerangka Berpikir
Arisan merupakan salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh sosialita di
Jakarta. Arisan yang awalnya bermakna sebagai tempat berkumpul dan bersilahturahmi
telah mengalami pergeseran makna menjadi ajang “show off” diantara anggotanya
(Roesma & Mulya, 2013). Memamerkan barang yang mereka miliki itu dilakukan agar
semakin banyak yang dapat melihatnya sehingga mereka akan merasa semakin bahagia
dapat menjadi pusat perhatian. Perilaku memamerkan barang yang dimilikinya
merupakan salah satu ciri perilaku materialistik. Selain itu sosialita tersebut
menggunakan tas merek X dengan kisaran harga di atas 5 juta guna untuk menunjukkan
bahwa mereka sukses. Hal ini sesuai dengan salah satu dimensi materialisme yaitu
success dimana mengukur keyakinan seseorang tentang kesuksesan berdasarkan pada
jumlah dan kualitas kepemilikanya (Richins & Dawson 1992 dalam Ahuvia & Wong,
1995). Hal ini terlihat bahwa terdapat indikator materialisme dalam arisan tersebut.
Memiliki tas merek X dengan kisaran harga di atas 5 juta, perhiasan dan barang
mahal lainnya dinilai dapat memberikan kebahagiaan untuk kehidupan pribadinya.
Namun faktanya materialisme dinilai memberikan efek negatif pada Subjective well
being (kebahagiaan). Menurut Eddington & Shuman (2006), individu yang memandang
nilai kepemilikkan uang atau barang merupakan tujuan yang paling tinggi dibandingkan
tujuan-tujuan yang lain (seperti memiliki keluarga, mempunyai banyak teman, dan lainlain) akan memiliki tingkat kepuasan yang rendah terhadap kehidupan yang dijalani.
Kemudian, individu dengan tujuan utama memiliki uang dan materi, ia akan selalu
merasa uang dan materi yang dimiliki tidak pernah cukup. Sehingga individu tersebut
akan menilai hidupnya kurang puas.
Selain itu, di dalam arisan sosialita juga sering terjadi persaingan dalam
memperebutkan barang salah satunya tas limited edition dan juga mereka sering
membandingkan barang yang dimilikinya dengan orang lain sehingga dapat
menimbulkan perasaan buruk terhadap diri sendiri dan orang lain yang dapat
mempengaruhi hubungan relasinya dengan anggota yang lain. Hal ini membuat individu
akan semakin materialistik dan dapat mengurangi kebahagian (Roesma & Mulya).
Namun dikatakan bahwa materialisme juga dapat memberikan dampak postif
apabilah motif perilaku tersebut intrinsik seperti membeli tas karena memang
mengoleksi tas tersebut sebagai hobi, dan memberikan dampak negatif apabila motif
bersifat ekstrinsik seperti membeli tas karena ingin memamerkannya kepada orang lain
(Shrum et al., 2012). Pada arisan sosialita, mereka menggunakan motif ekstrinsik
dengan menjadikan kepemilikan barang untuk memamerkan barangnya dan sebagai
bukti kesuksesan. Perilaku memamerkan barang tersebut dapat memberikan dampak
negatif terhadap subjective well being seperti menurunkan kepuasan hidup dan
menurunkan kebahagiaan (Burroughs & Rindfleisch, 2002).
Penelitian ini dilakukan pada orang yang berpemasukan di atas rata-rata
sehingga berbeda dengan penelitian yang tidak mengontrol pemasukan. Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, pemasukan rata-rata di Indonesia Rp.5.581.000,/bulan. Pemasukan tidak memiliki hubungan dengan materialisme dimana pemasukan
baik tinggi ataupun rendah tidak mempengaruhi perilaku materialistik seseorang
(Burchan, 2012). Namun pemasukan memiliki hubungan terhadap subjective well being
dan juga sebaliknya walaupun hubungan yang dimiliki kecil (Cantril, 2000; Bradburn,
1969; Campbell, Converse & Rodgers, 1976; Inglehart, 1990; Veenhoven, 1994 dalam
Eddington dan Shuman, 2006). Semakin tinggi pemasukan seseorang maka subjective
well being nya akan semakin tinggi karena orang yang memiliki pemasukan tinggi,
kebutuhan sudah terpenuhi sehingga ia akan bahagia. Begitu pula, semakin tinggi
subjective well being seseorang maka akan semakin tinggi pemasukan karena orang
tersebut lebih bahagia dan semangat untuk mendapatkan pemasukan. Namun penelitianpenelitian ini berlaku pada kalangan tertentu yang memiliki perbedaan pemasukkan
yang cukup besar.
Oleh sebab itu, peneliti ingin mengetahui apakah materialisme juga berperan
memprediksi subjective well being pada anggota kelompok arisan sosialita dengan
iuran arisan lebih dari 2 juta.
2.6
Asumsi Penelitian
Peneliti berasumsi bahwa materialisme akan memberikan pengaruh pada
subjective well being walaupun pengaruh yang diberikan tidak terlalu besar. Hal ini
dikarenakan subjek penelitian adalah orang yang berpemasukan di atas rata-rata dan
terdapat social support di dalam arisan.
Download