BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara kodrati, selain menjadi makhluk individu, manusia juga berperan sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas unsur jasmani (raga) dan rohani (jiwa) yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebagai makhluk individu manusia juga memiliki kemampuan (akal, pikiran, dan perasaan). Selain itu, manusia juga merupakan makhluk sosial, dalam arti manusia senantiasa tergantung dan atau berinteraksi dengan sesamanya. Dalam norma timbal-balik menegaskan bahwa seseorang harus menolong orang yang pernah menolongnya, sementara norma tanggung jawab sosial menjelaskan bahwa seseorang harus menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Hal inilah yang coba dilihat dalam psikologi positif, yang berusaha melihat sisi positif dari manusia. Pandangan psikologi positif menyatakan bahwa psikologi bukan hanya ilmu tentang penyakit, kelemahan dan kehancuran tetapi juga ilmu mengenai kekuatan dan keutamaan manusia (strength and virtue) (Seligman, 2000) . Untuk itulah, pemaknaan hidup yang positif merupakan hal yang penting bagi manusia, agar manusia itu sendiri bisa meraih kebahagiaan atau yang disebut dengan subjective well being. Seseorang dikatakan memiliki subjective well being yang tinggi jika merasa puas dengan kondisi hidup mereka, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. Pemaknaan hidup yang positif merupakan hal yang sangat penting agar manusia, dengan berbagai latar belakangnya, dengan berbagai subjektivitas yang dimilikinya, bisa meraih kebahagiaan atau disebut dengan istilah subjective wellbeing. Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yangh tinggi jika mereka mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka, seringkali merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif (Diener dan Larsen, 1984, dalam Edington, 2005). Istilah subjective well being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya. Penilaian kognitif adalah penilaian individu mengenai kepuasan hidup. Sementara, penilaian afektif adalah penilaian individu terhadap emosi yang dirasakan dalam hidup (Diener, Suh, Lucas, dan Smith dalam Lyubomirsky dan Diekerhoof, 2005). Selain subjective well-being, relawan diasumsikan mempunyai kecerdasan emosi yang baik. Karena kecerdasan emosi yang baik berarti memiliki kecakapan sosial dan pengendalian diri yang tinggi. Beberapa bukti empiris, bahwa kecerdasan emosi dikaitkan dengan kesejahteraan emosi, menunjukkan bahwa kecerdasan emosi yang tinggi mengakibatkan perasaan positif yang lebih tinggi. Apalagi, dalam sebuah penelitian menemukan bahwa orang dengan kecerdasan emosi yang tinggi, lebih mampu mempertahankan suasana hati yang positif dan harga diri ketika dihadapkan dengan keadaan yang negatif (Schutte et all, 2002). Sehingga relawan dapat mengatasi berbagai masalah yang dialami termasuk dalam membantu atau meringankan beban orang lain. Seperti mampu menghasilkan suatu cara untuk dapat berkumpul dan membuat suatu perubahan melalui tindakan nyata (website PNPM Mandiri perkotaan). Menurut Wuryanano (2007) individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi cenderung menjalani kehidupannya dengan rasa puas dan gembira. Perasaan puas dan gembira ini disebut dengan subjective well being, dimana individu lebih banyak merasakan afek menyenangkan dibanding afek tidak menyenangkan (Diener, dkk, 2005). Wilson (1967 dalam Diener, Lucas. & Oishi, 2005) menyatakan bahwa faktor kepribadian dan faktor demografis memiliki hubungan dengan subjektif well being. Kepribadian memang merupakan hal yang unik dan merupakan suatu pola yang relatif stabil dan perilaku, pikiran dan emosi yang diperlihatkan oleh seseorang (Baron, 2000). Kepribadian merupakan cerminan kemampuan seseorang dalam melakukan atau menjalankan aktivitas maupun berperilaku apapaun. The Big Five Personality merupakan salah satu teori kepribadian yang dikembangkan dengan lima faktor yang dapat mencerminkan kemampuan seseorang untuk berperilaku tertentu dengan lebih baik atau tidak. Kepribadian merupakan aspek yang psikologi yang penting dalam menentukan perilaku individu. Menurut peneliti kepribadian adalah sebuah karakteristik didalam diri individu yang relatif menetap, bertahan, yang mempengaruhi penyesuaian diri individu terhadap lingkungan. Secara khusus faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian ada dua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan (Pervin & John, 2001). Faktor genetik mempunyai peranan penting didalam menentukan kepribadian khususnya afek yang unik dari individu (Caspi, 2000; Rowe, 1999, dalam Pervin & John, 2001). Pendekatan ini berargumen bahwa keturunan memainkan suatu bagian yang penting dalam menentukan kepribadian seseorang (Robbins, 1998). Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang membuat seseorang sama dengan orang lain karena berbagai pengalaman yang dialaminya. Faktor lingkungan terdiri dari faktor budaya, kelas sosial, keluarga, teman sebaya, situasi. Saat ini para peneliti khususnya generasi muda menyetujui teori trait yang mengelompokkan trait menjadi lima besar, dengan dimensi bipolar (John, 1990; Costa & McCrae, 1992 dalam Pervin & John, 2001), yang disebut Big Five. Menurut Goldberg (1990 dalam Larsen & Buss, 2002) big five terdiri dari : Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism, Openness to experience. Traits kepribadian yang paling berhubungan dengan subjective well being adalah exstraversion dan neurotism di temukan oleh DeNeve dan Cooper (1998, dalam Diener, Lucas, Oishi, 2003). Ciri-ciri kepribadian exstraversion dan neurotism memiliki pengaruh langsung terhadap afektif well being, sedangkan pengaruh sifat- sifat kepribadian pada cognitive well being di mediasi oleh afektif well being, penelitian oleh Schimmack et al. (2002a). Dewasa ini banyak fenomena yang terjadi di sekitar kita, yang mendorong seorang individu untuk membantu orang lain. Salah satu halnya adalah keputusan untuk menjadi seorang Relawan. Kegiatan menolong yang dilakukan oleh seorang relawan didasari oleh banyak hal, salah satunya adalah membantu dan mensejahterakan orang lain. Seorang relawan memutuskan untuk membantu orang lain, karena pada dasarnya dengan menolong orang lain sama halnya dengan dia menolong dirinya sendiri. Seseorang menolong karena ia merasa harus melakukannya. Ini merupakan penjelasan teori norma sosial terhadap tingkah laku menolong (psikologi sosial, Sarwono : 134). Memang pemikiran yang ada selama ini bahwa manusia pada dasarnya adalah “Taker” dan bukan “Giver”, berkembang dengan pesatnya di segala bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial, akademis, dan lingkungan (Pedoman P2KP, 2003). Seseorang yang membantu orang lain memiliki perasaan bersyukur yang sangat besar karena dengan membantu orang lain, dia sadar bahwa dia diberi keadaan yang jauh lebih beruntung dari orang lain. Relawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang secara ikhlas karena panggilan nuraninya memberikan apa yang dimilikinya (pikiran, tenaga, waktu, harta dsb) kepada masyarakat sebagai perwujudan tanggung jawab sosialnya tanpa mengharapkan pamrih baik berupa imbalan (upah), kedudukan, kekuasaan, kepentingan maupun karier (Booklet relawan, Konsultan Manajemen Pusat). Salah seorang relawan mengungkapkan bahwa, dengan menjadi relawan dan membantu orang lain dirinya lebih bersyukur karena merasa keadaannya jauh lebih beruntung dari orang lain. Pernyataan ini pun sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurul arbiyah (2008) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin, artinya semakin bersyukur seseorang, maka subjective well being nya akan semakin tinggi, ia akan memiliki evaluasi kognitif dan afektif yang positif tentang hidupnya, begitu pula sebaliknya. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa dengan bersyukur seseorang akan mendapatkan keuntungan secara emosi dan interpersonal. Dengan menjalani kehidupan sosial dan menyelesaikan masalah yang baik menunjukkan setinggi apa kecerdasan emosi yang dimilikinya. Pada hati manusia terdapat cinta, baik cinta kepada dirinya sendiri, maupun bagi orang lain. Salah satu bentuk cinta terhadap orang lain adalah memberikan pertolongan kepada orang tersebut (Nashori, 2008). Keputusan menjadi seorang relawan menunjukkan bahwa seorang manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan orang lain. Dalam membantu orang lain, seorang relawan memiliki kondisi dasar psikologi yang menarik untuk diteliti diantaranya, Kecerdasan Emosional, Big Five personality (exstraversion dan neurotism) dan Subjective well being pada relawan dalam komunitas gerakan berbagi. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Hal yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dan big five personality dengan subjective well Being pada relawan. 1.3. Maksud Dan tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Maksud dari penelitian ini adalah ingin mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan big five personality dengan subjective well being pada relawan. 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan big five personality terhadap subjective well being pada relawan. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Dapat menambah informasi teoritis dan memperoleh pemahaman tentang kecerdasan emosional serta Big five kepribadian dengan Subjective Well Being sehingga dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan. Manfaat praktis Dapat mengetahui sejauh mana hubungan Kecerdasan Emosional dan Big Five Personality terhadap Relawan sehingga peneliti selanjutnya lebih memahami tentang kecerdasan emosi, serta kepribadian dalam hubungannya dengan Subjective well being. 1.5. Definisi Operasional Definisi Operasional dari Kecerdasan Emosi adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain. Definisi Operasional dari Subjective Well-Being adalah sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan penilaian afektif mengenai mood dan emosi. Definisi operasional dari Big Five Personality adalah sifat-sifat dasar kepribadian individu.