BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke- 21, banyak pengembangan berbagai teknologi strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya “trend” Boarding School bukan sesuatu yang baru dalam konteks pendidikan di Indonesia. Sudah sejak lama lembaga pendidikan di Indonesia menghadirkan konsep pendidikan boarding school yang diberi nama “pondok pesantren”. Pondok pesantren ini adalah awal mula dari adanya boarding school di Indonesia. Di Indonesia, kesadaran masyarakat tentang pendidikan sudah semakin meningkat, hal ini ditunjukkan dengan banyaknya orangtua yang menginginkan anaknya masuk sekolah unggulan. Alternatif pendidikan yang ditawarkan untuk menghasilkan SDM yang berkualitas salah satunya adalah sekolah berasrama (Boarding School) (Kompasiana, 2011). Boarding school merupakan penyelenggaraan sekolah untuk meningkatkan kualitas anak didik. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan asrama seperti pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus lainnya. Selama 24 jam anak didik berada di bawah pengawasan para guru dan pembimbing (Maknun, 2006). 1 2 Remaja yang akan memasuki lingkungan boarding school harus dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan asrama, namun itu bukan suatu hal yang mudah bagi para remaja. Peralihan dari lingkungan keluarga ke lingkungan asrama akan menimbulkan perubahan yang signifikan bagi remaja. Perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungan menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian diri, hal ini perlu dilakukan agar terjadi keselarasan antara pribadi remaja dengan lingkungan asrama, sehingga remaja bisa dengan nyaman tinggal di lingkungan asrama (Octyavera, 2010). Kesulitan para remaja dalam penyesuaian diri sering dijumpai di sekolah berasrama (boarding school). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutris (2008) yang sejak tahun 1998 terjun mengelola sekolah berasrama (boarding school) didapatkan data bahwa hampir 75 % siswa yang sekolah boarding adalah kemauan dari orangtua siswa bukan dari siswa itu sendiri. Akibatnya, dibutuhkan waktu yang lama (rata-rata 4 bulan) untuk siswa menyesuaikan diri dan masuk kedalam konsep pendidikan boarding yang integratif yaitu saling membaur sehingga menjadi kesatuan yang utuh. Masalah yang sering dihadapi para remaja adalah problem behaviour yang berdampak pada terhambatnya proses penyesuaian diri remaja dengan remaja lainnya, dengan guru dan dengan masyarakat. Remaja yang merasa tidak bahagia, seperti frustrasi dan memendam kemarahan seringkali menunjukkan perilaku-perilaku yang tidak simpatik terhadap orangtua maupun orang lain yang dapat membahayakan diri serta parahnya dapat mempengaruhi konsep diri siswa pada usia perkembangan yang masih remaja. Hal ini tentu 3 akan mempengaruhi interaksi dengan orang lain begitu pula dengan ketahanan untuk tinggal di boarding school (Tanje, 2003). Republika.co.id pada 21 Januari 2008 menjelaskan adanya fenomena yang memperlihatkan kurangnya kebahagiaan siswa di sekolah berasrama karena paksaan orangtua. Salah seorang siswa yang bersekolah di pondok pesantren Al-Irsyad, Salatiga, Jawa Tengah menuturkan bahwa sekolah selama 3 tahun terasa lama sekali, bahkan siswa itu sempat kabur sebanyak 3 kali. Beruntung siswa tersebut lulus, namun siswa tersebut tidak mau melanjutkan sekolah di sekolah yang sama. Siswa tersebut memutuskan untuk melanjutkan studi di MAN 2 Yogyakarta. Kurangnya dukungan orangtua dapat berdampak pada siswa, siswa menjadi tidak peduli dengan sekolah, karena mereka tidak mengerti arti sekolah, dan apa pentingnya pendidikan untuk masa depan mereka nanti. Contoh nyata seperti mereka bermalas-malasan untuk datang kesekolah, ini karena kurang adanya perhatian dan dukungan orangtua dalam memotivasi anak untuk menuntut ilmu (Kompasiana, 2013). Peneliti yang mempelajari tentang subjective well-being menunjukkan bahwa kunci dari “good life” adalah seorang individu yang menyukai tentang hidupnya. (Diener, Lucas, & Oishi, 2003). Andrew dan Withey (dalam Diener, 1994) mengatakan bahwa subjective well-being merupakan evaluasi kognitif dan sejumlah tingkatan perasaan positif atau negatif seseorang. Dalam penelitian ini subjective well-being dijelaskan sebagai evaluasi subyektif seseorang mengenai kehidupannya, yang mencakup kepuasan terhadap 4 hidupnya, tingginya afek positif dan rendahnya afek negatif. Hal ini sangat berdampak bagi siswa boarding school agar siswa dapat bertahan berada di asrama selama mereka bersekolah di tempat yang menurut mereka baru. Siswa yang masuk sekolah berasrama atas keinginan dan pilihannya sendiri lebih menerima kedaan diri dan lingkungannya. Siswa memperlihatkan ekspresi atau tingkah laku seperti tertarik, gembira, dan antusias itu menunjukkan adanya dampak positif atau bisa dibilang merasa nyaman dan bahagia berada di boarding school. Sebaliknya siswa yang masuk karena paksaan orangtua, siswa menunjukkan ekspresi atau tingkah laku seperti sedih, sering murung, kecewa, sering marah, dan memulai bermusuhan dengan guru, pembimbing asrama dan teman sebaya itu menunjukkan dampak negatif dan itu menandakan bahwa mereka merasa tidak nyaman dan tidak bahagia berada di boarding school. (Nurhadi, 2013) Dukungan orangtua merupakan sistem dukungan sosial yang paling penting untuk kesejahteraan siswa. dukungan orangtua nantinya akan berhubungan dengan kesuksesan akademis siswa, gambaran diri yang positif dari siswa, kepercayaan diri, motivasi dan kesehatan mental (Tarmidi&Rambe, 2010). Salah satu faktor subjective well being adalah kualitas hubungan sosial (Diener dalam Snyder dan Lopez, 2002). Kualitas hubungan mencakup keluarga, teman dan hubungan romantis. Pada penelitian ini, kualitas hubungan orangtua yang menjadi pilihan karena orangtua adalah unit terkecil seseorang dalam membina hubungan. Jika dalam unit terkecil anak merasa tidak bahagia, 5 bagaimana anak dapat bahagia di unit yang lebih besar. Kualitas hubungan sosial orangtua menjadi sangat penting untuk memberikan dampak positif bagi anak. Seberapa besar peran dukungan orangtua yang menyekolahkan anak di boarding school dapat memberikan efek positif bagi si anak. Menurut Santrock (2003), dukungan orangtua merupakan dukungan dimana orangtua memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, dan belajar mengambil keputusan, hal ini menjadi penting karena nantinya anak akan belajar bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambil. Dengan demikian, anak akan dapat mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya bergantung pada orangtua menjadi mandiri. Sarafino (2002) mengatakan dukungan sosial adalah berbagai macam dukungan yang diterima seseorang dari orang lain, dalam hal ini adalah tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan yang besar dari orangtua akan membuat tingkat subjective well being siswa SMP boarding school akan semakin besar dan perasaaan tidak diperhatikan oleh orangtua akan berkurang. Dukungan sosial orangtua inilah yang akhirnya akan mempengaruhi kondisi kebahagiaan, kesejahteraan dan kenyamanan atau sekarang yang lebih familiar disebut subjective well being pada siswa tersebut. 6 Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang “bagaimanakah hubungan antara dukungan sosial orangtua dan subjective well-being siswa SMP boarding school”. B . Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dukungan orangtua dengan subjective well being pada siswa SMP boarding school. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat teoritis maupun praktis, seperti : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi baru dan memperkaya khazanah teori psikologi pendidikan dan psikologi positif mengenai kebahagiaan hidup ditinjau dari dukungan sosial orangtua pada siswa SMP boarding school. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya, dan para pelajar pada khususnya tentang kebahagiaan ditinjau dari dukungan sosial orangtua pada siswa boarding school. Diharapkan dapat berguna untuk para orangtua yang akan menyekolahkan anak di boarding school dan juga bagi pelajar yang ingin bersekolah di boarding school agar dapat merasakan kebahagiaan ketika berada di sekolah dengan sistem boarding school. 7 D. Keaslian Penelitian Penelitian dengan variabel dukungan sosial sudah banyak dilakukan sebelumnya. Namun, peneliti ingin lebih spesifik lagi karena banyak faktor yang mempengaruhi dukungan sosial. Dalam hal ini peneliti ingin memperdalam dukungan sosial dari orangtua. Penelitian tentang dukungan sosial orangtua sudah banyak di Indonesia. Salah satunya pada penelitian Rambe (2010) dengan judul “Hubungan Antara Dukungan Sosial Orangtua Dengan Kemandirian Belajar Pada Siswa SMA”. Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori Sarafino (Rambe, 2010), yang berpendapat bahwa dukungan sosial merupakan dukungan yang diterima oleh seseorang dari orang lain. Dukungan yang diterima dapat melalui instrumental, informasi, atau emosional. Sedangkan subjek penelitian ini adalah 195 orang siswa SMA. Penelitian lainnya dilakukan oleh Rahmi (2011) dengan judul “Pengaruh Dukungan Orangtua dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Musik Pada Remaja”. Penelitian ini menggunakan teori Sarafino (Rahmi, 2011) yang mengatakan bahwa dukungan sosial berarti adanya penerimaan dari orangtua atau sekelompok orangtua terhadap individu yang menimbulkan presepsi dalam dirinya bahwa ia disayangi, diperhatikan, dihargai dan ditolong. Subjek yang digunakan sebanyak 80 orang dengan rentang usia 14-18 tahun. Penelitian mengenai subjective well being dengan judul “Gambaran Subjective Well Being Mahasiswa Anggota Paduan Suara Mahasiswa Gerejawi” yang dilakukan oleh Sipatuhar (2012). Teori subjective well being menggunakan teori Diener (Sipatuhar, 2012) yang mendefinisikan subjective 8 well being merupakan evaluasi subjektif seseorang mengenai kehidupan termasuk konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi menyenangkan, fulfilment, kepuasan terhadap area-area seperti pernikahan, pekerjaan, tingkat emosi tidak menyenangkan yang rendah. Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa yang berkecimpung dalam paduan suara gerejawi. Penelitian lain yang mengulas tentang subjecive well being adalah Ariati (2010) dengan judul “Subjective Well Being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan Kerja Pada Staff Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro”. Menggunakan teori Diener (Ariati, 2010) yang berpendapat bahwa subjective well being (kesejahteraan subjektif) adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup. Subjek yang diambil adalah Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro yang berjumlah 21 orang. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa : 1. Keaslian topik Penelitian tentang hubungan dukungan sosial orangtua dengan subjective well being pada siswa SMP boarding school belum pernah dilakukan sebelumnya. Penggunaan variabel pada penelitian sebelumnya belum pernah menyatukan dua variabel tersebut dalam satu penelitian sehingga penelitian ini dapat dikatakan orisinil secara topik. 9 2. Keaslian teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah subjective well being, dan teori dukungan orangtua. Pengertian subjective well being diambil dari jurnal Lucas dan Diener (2000), aspek dan faktor mengambil dari jurnal Diener dan Ryan (2009). Sedangkan pengertian dukungan sosial orangtua menggunakan teori Sarafino (2002) dan Sarafino dalam Smett (1994). 3. Keaslian alat ukur Penelitian ini menggunakan teori Diener (1994) untuk mengukur subjective well being, dan menggunakan teori Sarafino (1998) untuk mengukur dukungan sosial orangtua. 4. Keaslian subjek penelitian Dalam penelitian ini subjek yang digunakan adalah siswa boarding school dengan usia 12-15 tahun dan menetap di asrama.