BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan serangkain kegiatan analisis data dari temuan di lapangan yang diperoleh melalui tahap observasi dan wawancara yang peneliti lakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: dalam implementasi program PNPM Mandiri Pedesaan itulah proses hegemoni terjadi, pelibatan masyarakat dalam perencanaan, dan pelaksanaan menjadi bagian dari proses konsensus untuk mencapai kesepahaman bersama guna mencapai tujuan yang disepakati bersama. Terhegemoninya masyarakat karena masyarakat merasa kebutuhannya terakomodasi melalui berbagai bantuan dan program yang dilakukan oleh PNPM Mandiri Pedesaan. Proses penghegemonian masyarakat di Mangir Kidul berjalan tanpa adanya penolakan dan perlawanan, hal ini dikarenakan adanya elit-elit lokal yang berlaku sebagai pemangku kepentingan dan menjadi bagian dari PNPM yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan masyarakat. Keterlibatan elit lokal ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan mengingat fungsi hegemoni sebagai sarana mempertahankan kekuasaan dan mengandung makna pengejaran prestise dan prestasi. Apabila program ini berhasil maka pemerintah daerah, dan elite lokal juga mendapatkan pengakuan atas keberhasilan pelaksanaan program. Terhegemoninya masyarakat dalam program PNPM Mandiri Pedesaan ini memang membawa berbagai dampak, dampak positif yang dirasakan adalah terakomodirnya kepentingan elite lokal, terpenuhinya kebutuhan masyarakat, 162 meningkatnya perekonomian masyarakat, adanya perbaikan infrastruktur berupa jalan cor blog. Namun tanpa disadari bersama dampak dari hegemoni negara tersebut mengakibatkan berubahnya pola pikir masyarakat yang menjadi berorientas pada nilai ekonomis, yang berakibat pada melemahnya fungsi dan peran institusi lokal yang dahulu menjadi penopang kehidupan bermasyarakat. Sejatinya nilai ekonomi dampak dari pembangunan melahirkan keakuan pada masyarakat, menciptakan strata baru dalam berkelompok. Memunculkan kelompok-kelompok baru hingga mengurangi fungsi dari institusi lokal yang telah lama ada. Kemudian yang menjadi catatan penting dari hasil penelitian ini adalah terjadinya perubahan peran dan fungsi institusi dari aspek keberfungsian dan pemanfaatannya kembali oleh masyarakat, seperti halnya institusi yang berstruktur seperti arisan, KUB, KWT, dan berbagai kelompok usaha bersama seperti kelompok kandang, peternak lele maupun kambing. Melemahnya peran dan fungsi arisan sebagai sebuah institusi lokal yang sejak diwariskannya tradisi itu menjadi sebuah sistem asuransi tradisional masyarakat, kini tidak lagi mendapatkan tempat sebagaimana masyarakat dulu memanfaatkannya. Tidak ada lagi arisan berkakas, tidak ada lagi upaya pembahasan program pembangunan oleh Ibu-Ibu didalam arisan. Kegiatan simpan pinjam tidak semasif dahulu. Tersedianya tempat baru yang digagas oleh PNPM seperti Musyawarah Khusus Permpuan, dan kegiatan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) telah mengambil hati warga dan menggeser peran dan fungsi arisan. Begitu pula dengan institusi yang lainnya. KWT yang sudah ada sejak 90an kini tidak lagi menampakkan eksistensinya. 163 Berkembangnya nilai-nilai baru merubah pola pikir masyarakat desa yang kemudian menjadi berorientasi pada peningkatan pendapatan secara pribadi dan melemahkan institusi lama yang mengedepankan kegotong-royongan, kebersamaan, kemandirian dan keswadayaan. Dengan adanya program simpan pijam SPP jelas kemudian masyarakat akan berfikir dan bekerja keras untuk dapat memenuhi capaian peningkatan pendapatan sehingga dapat mengangsur pijaman secara rutin dan tepat waktu. Hal ini berlaku pula pada kelompok usaha bersama yang lainnya, sehingga mengeser peran dan fungsi insitusi lokal yang lama. Disisilain juga terjadi perubahan pada masyarakat dalam memaknai ritual kebudayaan. Dalam kegiatan nyadran, suro, bersih desa ataupun kegiatan lainnya masyarakat tidak lagi memaknainya sebagaimana para pendahulu memanainya. Bukan lagi makna simbolik dari ritual dan bagian dari ritual yang nenjadi perhatian, namun seberapa besar dan meriah acara itu dibuat jauh lebih penting. Nilai-nilai magis tidak dipertimbangkan lagi. Dalam kegiatan genduri misalnya saja, masyarakat tidak lagi memperhatikan kelengkapan yang bermakna simbolik seperti adanya golong, ketan, kolak, sego gurih. Namun yang lebih penting sekarang adalah berapa banyak jumlah orang yang di undang, dan variasi dalam makanan genduri, banyaknya lauk, dan kelengkapan lainnya, bahkan tidak lagi harus nasi, tapi bisa juga di ganti dengan roti ataupun telur. Hal ini dimaknai oleh masyarakat sebagai nilai prestis yang menunjukkan tingkatan ekonomi . 164 B. SARAN Oleh karenanya, ke depan agenda demokratisasi di arus lokal harus senantiasa memperkuat ketersediaan modal sosial. Penguatan modal sosial dalam proses politik lokal ini misalnya harus dimulai dengan memperkuat kembali insitusi-institusi lokal yang berpotensi menumbuhkan kemampuan-kemampuan sosial masyarakat, misalkan ada banyak lembaga lokal di desa yang dapat memainkan peran ini, seperti lembaga Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), rembug desa, hingga Badan Pembangunan Desa (BPD). Lembaga-lembaga lokal ini mesti diperkuat secara institusional dan kultural, sebab melalui lembagalembaga lokal inilah modal sosial dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kekayaan kultural untuk menyangga fondasi demokrasi lokal. Jika fondasi demokrasi lokal telah kokoh dengan kekayaan modal sosial yang tersedia, maka suatu pemerintahan yang demokratis akan merangsang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan lebih mudah dicapai. Sebagaimana studi Putnam di kawasan Italia Utara, bahwa kekayaan modal sosial akan mendorong produktivitas kerja baik secara individual maupun kolektif. Kekayaan modal sosial akan membuat pemerintahan lokal berjalan secara efektif (good governance), demokratis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan begitu kebijakan-kebijakan publik pemerintah akan sejalan dengan kebutuhan masyarakat, dan fondasi masyarakat sipil akan menguat sehingga akan semakin mengefektifkan advokasi advokasi sosial kemasyarakatan. Bentuk kebijakan juga sangat diharapkan tidak hanya sebatas pemadam kebakaran yang dalam penelitian ini masih dipertanyakan fungsi kebijakan 165 tersebut apakah sebagai obat ataukah racun(?) karena dibalik pelaksanaan program tersebut juga masih banyak menyisakan masalah didalam masyarakat yang jika dibiarkan akan merusak institusi lokal masyarakat. Diperlukan strategi baru yang lebih mengedepankan partisipasi masyarakat. Di era otonomi daerah diharapkan tercipta adanya transparansi dengan memberi masyarakat akses luas terhadap informasi publik. Partisipasi masyarakat diperankan dalam penyusunan program dan pengambilan keputusan sehingga terwujud akuntabilitas yang menjadikan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung jawaban pemerintah daerah Perubahan paradigma yang lebih mengedepankan fungsi pembangunan berfokus pada manusia diperlukan perubahan-perubahan mendasar, seperti masalah kebijakan, peraturan, dan akses masyarakat pada proses pengambilan keputusan. Beberapa inisiatif dalam strategi penanggulangan kemiskinan melalui perumusan strategi penangulangan kemiskinan di daerah perlu didukung oleh mekanisme pendampingan yang tangguh dari berbagai pihak yang perhatian pada masalah kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat Indonesia 166