BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Surat Berharga Negara

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Surat Berharga Negara (SBN) dipandang oleh pemerintah sebagai instrumen
pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan
agreement). Kondisi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang defisit,
pada umumnya akan ditutup melalui pinjaman yang bersumber dari luar negeri atau
pinjaman yang bersumber dari dalam negeri.
Pasca krisis moneter tahun 1998, Pemerintah Indonesia memandang perlu
untuk menutup defisit anggaran belanja pemerintah melalui pembiayaan yang
bersumber dari dalam negeri. Mengingat tingkat fleksibilitas dan dependensi yang
tinggi terhadap negara donor, menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah Indonesia
untuk beralih dari pembiayaan luar negeri ke pembiayaan dalam negeri. Disamping
itu, perubahan kebijakan tentang nilai tukar rupiah turut menjadi risiko tersendiri
terhadap posisi utang luar negeri pemerintah dan utang luar negeri swasta. Kebijakan
nilai tukar mengambang membuat risiko nilai tukar atas utang luar negeri menjadi
tinggi.
1
2
2500.00
12000
10000
Triliun Rupiah
2000.00
8000
1500.00
6000
1000.00
4000
500.00
0.00
Surat Berharga Negara
2000
1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
100.00 502.00 660.61 655.30 648.76 662.28 693.11 742.71 803.06 906.44 979.48 1064.4 1187.6 1361.1
Pinjaman Dalam Negeri
Pinjaman Luar Negeri
Kurs Rp/US$
0
0.39
1.01
1.80
453.00 438.00 612.56 569.84 583.32 637.06 620.21 559.43 586.36 730.24 611.20 617.25 621.29 614.32
8025 9000 10400 8940 8465 9290 9830 9020 9419 10950 9400 8991 9068 9670
Gambar 1.1 Posisi Utang Pemerintah 1998 – 2012
Sumber: Publikasi DJPU Kementrian Keuangan.
Gambar 1.1 di atas menunjukkan kenaikan Pinjaman Luar Negeri, terutama
karena volatilitas nilai tukar Rupiah terhadap berbagai denominasi mata uang dalam
Pinjaman Luar Negeri. Lonjakan utang pemerintah dalam bentuk pinjaman luar
negeri terlihat pada tahun 2001 yaitu sebesar 40% dan tahun 2008 sebesar 25% hal ini
ditenggarai oleh lonjakan nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dari 9,000 Rp/US$ ke
level 10,400 Rp/US$ pada tahun 2001 dan 9,419 Rp/US$ menjadi 10,950 Rp/US$
pada tahun 2008.
3
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pinjaman Luar Negeri
Surat Berharga Negara
Gambar 1.2 Proporsi Utang Pemerintah Pusat Menurut Instrumen
1998-2012
Sumber: Publikasi DJPU, Kementrian Keuangan.
Pinjaman Luar Negeri
Surat Berharga Negara
31%
69%
Gambar 1.3 Proporsi Utang Pemerintah Pusat pada Desember 2012
Sumber: Publikasi DJPU Kementrian Keuangan.
Gambar 1.2 dan 1.3 menunjukan bahwa pemerintah Indonesia berupaya untuk
terus merestrukturasi utangnya kedalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).
Berdasarkan data publikasi DJPU Kemenkeu tahun 2012, menunjukkan pada bulan
4
Desember tahun 2012 proporsi utang pemerintah Indonesia dalam bentuk Surat
Berharga Negara (SBN) sebesar 69%. Sisanya, sebesar 31% berasal dari pinjaman
luar negeri.
Hal ini merupakan cerminan dari upaya pemerintah merestrukturisasi utangnya dari bentuk pinjaman (loan) kedalam bentuk obligasi (securities) atau Surat
Berharga Negara (SBN). Restrukturisasi utang pemerintah diperlukan untuk
mengurangi ketergantungan terhadap negara donor. Apabila bentuk utang pemerintah
adalah pinjaman (loan), maka persyaratan atas pemberian utang ditentukan oleh
negara donor. Secara politik tentunya hal ini akan dipandang tidak menguntungkan.
Sebaliknya, dengan struktur utang pemerintah dalam bentuk obligasi
(securities), maka dependensi pemerintah terhadap negara-negara donor atau pemberi
pinjaman dapat diminimalkan. Serta dengan penerbitan obligasi (securities)
pemerintah dapat menentukan sendiri jangka waktu pinjaman (tenor). Sehingga dapat
disesuaikan dengan kebutuhan pemenuhan likuiditas jangka pendek, jangka
menengah hingga jangka panjang pada neraca keuangan negara.
Salah satu tujuan penerbitan SBN adalah untuk refinancing utang lama.
Berdasarkan gambar 1.4, tahun 2014 merupakan tahun puncak jatuh tempo utang
pemerintah. Utang pemerintah yang jatuh tempo yaitu sebesar Rp 203 triliun. Utang
yang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) jatuh tempo sebesar Rp 137 triliun
dan yang berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 66 triliun. Berdasarkan profile
jatuh tempo inilah pemerintah menargetkan SBN yang akan diterbitkan di tahun
2014.
5
6
250
[Triliun Rp]
200
66
150
66
100
38
55 54
63
51
56
28
137
50
4
34
44
87 97
64
101103 88
116
83
99
12 11
114
2
12
4
1
12
21
64 12
60
47
47 53 7
43
3 42 28 1 1
23 29 31
22
21 25 10
8 9
18
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
2035
2036
2037
2038
2039
2040
2041-2055
0
15
24
SBN
Pinjaman
Gambar 1.4 Profile Jatuh Tempo Utang Pemerintah per 31 Desember
2013
Sumber: DJPU, Kementrian Keuangan
Selain terikat dengan persyaratan yang bersifat politik, utang luar negeri
pemerintah dalam bentuk pinjaman juga terikat dalam persyaratan jangka waktu
utang, tingkat suku bunga dan besarnya cicilan yang harus dibayar oleh pemerintah
Indonesia. Namun apabila utang pemerintah berbentuk obligasi (securities), maka
persyaratan tingkat suku bunga, jangka waktu jatuh tempo utang, dan jangka waktu
pembayaran bunga semuanya ditentukan oleh pemerintah Indonesia.
Berbagai tipe SBN diterbitkan oleh pemerintah untuk mendukung market
development dan pengelolaan risiko portofolio utang antara lain; Fixed Rate Bonds
yaitu obligasi dengan coupon rate tetap, Variable Rate Bonds yaitu obligasi yang
suku bunganya ditetapkan berdasarkan tingkat bunga SBI 3 bulan, Obligasi Retail
obligasi negara yang dijual kepada individu/perseorangan, Surat Perbendaharaan
7
Negara yaitu obligasi berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran bunga secara diskonto, Surat Berharga Syariah Negara atau biasa disebut
SUKUK yaitu obligasi yang diterbitkan berdasarkan suatu aset acuan yang sesuai
dengan prinsip syariah, dan Sukuk Negara Retail adalah SUKUK yang bersifat retail
atau dijual kepada individu/perseorangan. Berikut komposisi obligasi pemerintah
outstanding per 10 Januari 2014.
44,288.00 42,616.70
43,882.00
35,924.09
Fixed Rate Bonds
Variable Rate Bonds
122,754.93
Obligasi Retail
714,391.20
Surat Perbendaharaan Negara
Surat Berharga Syariah Negara
Sukuk Negara Retail
Gambar 1.5 Komposisi Obligasi Pemerintah RI Outstanding (Triliun Rp) 10
Januari 2014
Sumber: Statistik Pasar Modal, OJK.
Tipe obligasi dengan tingkat kupon tetap (fixed rate bond) mendominsasi
pasar obligasi negara dengan total outstanding sebesar Rp 714,391 Miliar diikuti oleh
variable rate bond sebesar Rp 122,754 miliar, kemudian berturut-turut SPN Rp
44,288 miliar, Obligasi retail Rp 43,882 miliar, SUKUK Rp 42,626 miliar, dan
SUKUK retail Rp 35,924 miliar.
8
37%
Bank
63%
Non-Bank
Gambar 1.6 Proporsi Kepemilikan SBN yang Dapat Diperdagangkan (Rp
Triliun) Desember 2013
Sumber: DJPU, Kementrian Keuangan.
Tersedianya berbagai tipe obligasi dengan berbagai tenor turut mendorong
berbagai pihak untuk berinvestasi pada obligasi pemerintah. Berdasarkan gambar 1.6
Proporsi kepemilikan SBN oleh pihak bank pada Desember 2013 yaitu sebesar 37
persen (Rp 365.96 triliun) termasuk didalamnya kepemilikan SBN oleh Bank
Indonesia yaitu sebesar (Rp 44.44 triliun). Sejak tahun 2008 Bank Indonesia
menjadikan SBN sebagai instrument kebijakan moneter. Sehingga saat ini Bank
Indonesia melalui operasi pasar terbuka turut berperan dalam rangka stabilisasi pasar
Surat Berharga Negara.
Saat ini kepemilikan SBN terbesar dimiliki oleh pihak non-bank, yang
didalamnya termasuk kepemilikan asing, asuransi, reksadana, perusahaan sekuritas,
serta individu dengan persentase sebesar 63 persen (Rp 615.39 triliun). Padahal
berdasarkan sumber data yang sama pada Desember 2008 proporsi kepemilikan SBN
oleh Bank dan Non-Bank yaitu 54 persen berbanding 46 persen. Sehingga saat ini
dapat dikatakan pihak non-bank menjadi investor terbesar bagi pembiayaan
9
pembangunan. Hal ini tidak terlepas dari keputusan investasi para investor yang
mengindikasikan bahwa memiliki outstanding asset berupa obligasi pemerintah
dianggap sebagai investasi aman dan memberikan imbal hasil (return) yang
menguntungkan.
Peran pemerintah hingga saat ini dinilai sangat besar dalam memajukan pasar
obligasi di Indonesia. Pemerintah melalui Kementrian Keuangan nampaknya ingin
mencapai kondisi pasar obligasi yang likuid dan efisien. Hal ini tercermin dari upaya
pemerintah mengembangkan pasar obligasi secara bertahap dengan mempersiapkan
aturan hukum dan infrastruktur penunjang pasar. SBN retail pun diperkenalkan
kepada masyarakat Indonesia dalam rangka pendalaman pasar (market deepening)
dan meningkatkan keikutsertaan masyarakat (financial inclusion).
Animo investor yang besar pada pasar SBN membuat pemerintah terus
menerus mengeluarkan seri obligasi yang memiliki waktu jatuh tempo beragam
sehingga dapat digunakan sebagai benchmark bagi obligasi lainnya. Disamping itu
pemerintah menaruh perhatian serius terhadap kondisi likuiditas pasar sekunder
dengan menunjuk beberapa lembaga sebagai Primary Dealers (SUN) dan selling
agent untuk SPN dan obligasi ritel. Dampaknya dapat dilihat pada gambar 1.7 dan
1.8 mengenai tren nilai emisi dan rata-rata perdagangan harian obligasi negara yang
tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
10
250
225
200
175
150
125
100
75
50
25
0
228.8
197.55
163.12
122.53
94.57
90.48
86.76
67.64
31.38
36.6
30.42
57.49
45.74
14.1
2007
2008
2009
2010
Obligasi Pemerintah (Rp trilyun)
2011
2012
2013
Obligasi Korporasi (Rp Trilyun)
Gambar 1.7 Nilai Emisi Obligasi Tahun 2007-2013
Sumber: Statistik Pasar Modal, OJK.
14,000
12,016
12,000
9,180
10,000
7,672
8,000
5,899
6,000
4,000
2,000
522
1,395
2,122 2,550
3,307
4,235
4,963
3,421
500
400
300
200
100
0
0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Volume Transaksi (miliar Rp)
Frekuensi Transaksi (X)
Gambar 1.8 Rata-rata Perdagangan Harian Obligasi Negara
Sumber: DJPU, Kementrian Keuangan.
Dari gambar 1.7 diatas dapat dilihat bahwa secara nilai, obligasi Pemerintah
memiliki nilai emisi per tahun yang lebih besar daripada nilai emisi obligasi
korporasi. Nilai emisi obligasi pemerintah menunjukan tren pertumbuhan yang positif
sejak tahun 2007. Sedangkan nilai emisi obligasi korporasi sempat menunjukan
pertumbuhan yang negatif pada tahun 2008 dan 2013. Tercatat nilai emisi obligasi
11
pada tahun 2013 masing-masing sebesar Rp 228,8 Triliun untuk obligasi pemerintah
dan Rp 57,49 Triliun untuk obligasi korporasi.
Berdasarkan gambar 1.8 rata-rata volume transaksi harian obligasi negara
tahun 2013 mencapai Rp 12 triliun dengan frekuensi transaksi harian sebanyak 322
kali. Volume transaksi rata-rata harian tahun 2013 naik 30.88 persen dibanding tahun
2012, ini adalah yang tertinggi dalam kurun waktu dua belas tahun terakhir.
Sedangkan Frekuensi transaksi rata-rata harian turun dari 407 kali di tahun 2012
menjadi 322 kali ditahun 2013.
Jika kita sandingkan gambar 1.7 dan 1.8 penurunan nilai emisi obligasi
korporasi turut berpengaruh pada frekuensi rata-rata harian dipasar sekunder.
Penurunan nilai emisi obligasi korporasi di tahun 2013, disinyalir akibat dorongan
eksternal. Saat itu Federal Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat) mengumumkan
rencana pengurangan stimulus moneter sehingga pelaku pasar khawatir akan terjadi
penarikan modal kembali (capital outflow) oleh pihak asing.
Dalam rangka mecegah capital outflow Bank Indonesia sebagai bank sentral
Republik Indonesia menaikan suku bunga acuan (BI rate) dari level 5.75% pada mei
2013 menjadi 7.00% dibulan desember 2013. Kenaikan suku bunga acuan ini
berdampak terhadap kenaikan yield obligasi pemerintah seri benchmark pada setiap
tenornya. Kenaikan nilai tukar rupiah terhadap US$ turut mengindikasikan adanya
gejolak di pasar keuangan pada tahun 2013. Seperti yang terlihat pada gambar 1.9
dibawah ini.
12
10.00%
9.00%
8.00%
7.00%
6.00%
5.00%
4.00%
3.00%
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
-
Jangkat Pendek
Jangka Menengah
Suku Bunga (BI Rate)
Kurs Rp/USD
Jangka Panjang
Gambar 1.9 Tingkat yield obligasi pemerintah, BI Rate dan kurs Rp/USD
Sumber: Bloomberg dan BI, diolah
Ditengah kondisi pasar keuangan yang bergejolak, dimana tingkat permintaan
investor menurun. Korporasi turut terbebani dengan tingkat yield yang tinggi.
Sehingga beberapa perusahaan menunda penerbitan obligasinya. Hingga bulan
September 2013 Tercatat sekurangnya terdapat 5 perusahaan menunda penerbitan
obligasinya dengan nilai emisi sebesar Rp 1,65 Trilyun.
Apabila ditinjau dari segi likuiditas, jelas bahwa obligasi pemerintah lebih
likuid dibandingkan dengan obligasi korporasi. Hal ini nampak dari selalu terdapat
quotasi harga atas berbagai jenis obligasi pemerintah setiap hari di pasar. Sehingga
lembaga keuangan baik bank maupun non-bank menjadikan obligasi sebagai
secondary reserve. Dimana apabila dipandang perlu, yaitu apabila kondisi likuiditas
lembaga keuangan tersebut menghadapi masalah, maka obligasi dapat dijual atau
dapat dilakukan repo untuk menutupi kebutuhan likuiditas yang dihadapi.
13
Pedoman umum yang digunakan oleh para investor dan pelaku pasar untuk
dapat memantau perkembangan nilai portofolio obligasi pemerintah yaitu dengan
memantau perkembangan pergerakan yield curve. Pergerakan yield curve dipengaruhi
oleh berubahnya yield obligasi yang menjadi kontributor sebagai akibat adanya
perubahan variabel makro ekonomi. Dengan demikian maka analisa perubahan
variabel-variabel makro ekonomi terhadap yield obligasi pemerintah menjadi hal
yang penting untuk dipahami oleh para investor dan pelaku pasar.
Perumusan Masalah
Shock terhadap kondisi-kondisi ekonomi makro dapat merubah yield obligasi.
Namun dengan kondisi shock ekonomi makro yang sama, belum tentu akan
mengakibatkan dampak yang sama terhadap yield obligasi dengan jangka waktu yang
berbeda. Sehingga penting untuk dapat mengidentifikasi seberapa cepat yield obligasi
kembali pada kondisi keseimbangan awal setelah terjadi shock ekonomi makro dan
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perubahan yield pada berbagai jangka
waktu(tenor).
Batasan Masalah
Studi ini menitik beratkan pada peran faktor-faktor makro ekonomi terhadap yield
obligasi pemerintah fixed rate. Secara komprehensif penulis memilih 6 (enam) variabel
14
bebas dan mengklasifikasikannya kedalam 3 (tiga) kelompok berikut ini; (i) Likuiditas,
(ii) Fundamental Makroekonomi dan (iii) Faktor Tekanan Eksternal.
Obligasi pemerintah seri fixed rate (FR) dipilih sebagai variabel terikat dalam
studi ini karena seri fixed rate merupakan seri yang likuid di pasar. Sehingga
mempermudah dalam upaya memperoleh data. Hal ini ditunjukkan dengan selalu
terdapatnya quotasi harga dan yield to maturiry dari setiap publikasi data mengenai
obligasi pemerintah seri FR di pasar.
Obligasi yang dijadikan sebagai obyek penelitian adalah obligasi pemerintah dan
bukan obligasi korporasi. Hal ini disebabkan karena obligasi pemerintah merupakan
obligasi yang menjadi banchmark di pasar.
Pertanyaan Penelitian
Uraian dalam latar belakang masalah di atas memberi dasar bagi peneliti
untuk merumuskan pertanyaan penelitian yaitu:
1. Bagaimana respon Yield ON tenor 1 tahun dan Yield ON tenor 5 tahun
terhadap shock likuiditas?
2. Bagaimana respon Yield ON tenor 1 tahun dan Yield ON tenor 5 tahun
terhadap shock fundamental makroekonomi?
3. Bagaimana respon Yield ON tenor 1 tahun dan Yield ON tenor 5 tahun
terhadap shock tekanan eksternal?
15
4. Bagaimana kontribusi variabel likuiditas perekonomian, fundamental makro
dan tekanan eksternal dalam menjelaskan variabilitas Yield ON tenor 1 tahun
dan Yield ON tenor 5 tahun?
Tujuan Penelitian
Studi ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis determinasi faktor-faktor makroekonomi terhadap yield obligasi
pemerintah (fixed income securities) jangka waktu 1 tahun (pendek) dan
jangka waktu 5 tahun (menengah).
2. Menganalisis ”speed of adjustment” dalam keseimbangan jangka pendek dari
yield obligasi pemerintah jangka waktu 1 tahun dan 5 tahun.
Manfaat Penelitian
Analisa terhadap pergeseran yield curve yang menunjukkan imbal hasil
obligasi pada berbagai tahun jatuh tempo menjadi hal yang penting untuk dipahami
oleh para investor dan pelaku pasar. Dimana pergeseran yield curve amat dipengaruhi
oleh salah satu komponen utamanya yaitu yield Obligasi Benchmark pemerintah.
Sehingga dengan diketahui faktor-faktor yang memiliki determinan terhadap
yield Obligasi Benchmark pemerintah. Hal tersebut dapat dijadikan acuan para
16
investor dan pelaku pasar untuk dapat memantau perkembangan nilai portofolio
obligasi pemerintah yang dimiliki. Serta sebagai pedoman bagi pemerintah untuk
melakukan ekspansi di pasar obligasi domestik maupun ke pasar obligasi
internasional.
17
1.7
Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini, dilakukan proses seleksi terhadap berbagai macam
variabel ekonomi dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Menggunakan data
selama periode bulan Januari 2009 hingga Desember 2013. Variabel ekonomi yang
diseleksi diklasifikasikan menjadi 3, yaitu;
i.
Likuiditas; Cadangan Devisa.
ii.
Fundamental Makroekonomi, diantaranya; Indeks Harga Konsumen (IHK),
PDB, Nilai Tukar Nominal (RP/US$), dan Suku Bunga Bank Indonesia (BI
rate).
iii.
1.8
Faktor Tekanan Eksternal; Harga Minyak Dunia.
Sistematika Penulisan
Bagian utama dari penulisan ini disusun dengan mempergunakan sistematika
sebagai berikut:
Bab I akan dipaparkan uraian terkait pendahuluan; yang memuat latar
belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, pembatasan penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II akan dipaparkan uraian terkait landasan teori dan metodologi; yang
memuat tinjauan pustaka, penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian, model,
hipotesis penelitian, dan alat analisis.
18
Bab III akan dipaparkan uraian terkait hasil dan pembahasan; yang memuat
statistik deskriptif, tahapan analisis, serta hasil dan temuan
Bab IV terdiri dari kesimpulan dan saran yang merangkum hasil penelitian
secara keseluruhan serta rekomendasi yang bisa dijadikan sebagai acuan bagi
pengambil kebijakan berdasarkan hasil penelitian.
Download