Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif xi Ringkasan Eksekutif halaman ini sengaja dikosongkan xii Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif Pada semester I 2015, pasar keuangan global dan melemahnya fundamental ekonomi, negara-negara mengalami pelemahan yang dipicu oleh ketidakpastian emerging juga dihadapkan pada meningkatnya risiko yang arah kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Realisasi tercermin dari naiknya premi Credit Default Swap (CDS). pertumbuhan ekonomi AS yang belum mencapai Kecenderungan penguatan USD juga berdampak titik optimal sebagaimana ekspektasi banyak pihak terhadap melemahnya harga komoditas internasional, menyebabkan The Fed mempertimbangkan kembali waktu selain karena faktor permintaan global yang masih diterapkannya kebijakan normalisasi. Meskipun demikian, lemah. Penguatan USD menjadikan harga komoditas mulai membaiknya fundamental ekonomi AS memicu menjadi relatif lebih mahal bagi pembeli di negara yang ekspektasi positif dari investor sehingga mendorong menggunakan mata uang bukan USD, sehingga mendorong penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh pelemahan permintaan komoditas lebih lanjut. Pelemahan mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku antara lain dialami oleh batubara, kelapa sawit, dan minyak dasar investor yang cenderung mencari risk adjusted return mentah. yang lebih tinggi. Sentimen di pasar keuangan global yang disertai Sementara itu, European Central Bank (ECB) oleh pelemahan kinerja perekonomian Indonesia, masih melanjutkan kebijakan Quantitative Easing (QE) berdampak terhadap meningkatnya tekanan di pasar dalam rangka mendukung tercapainya target inflasi keuangan Indonesia. Peningkatan tekanan tercermin dan pemulihan ekonominya. Kebijakan yang sama juga dari menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditempuh oleh Bank of Japan melalui Quantitative and di Bursa Efek Indonesia dan meningkatnya yield Surat Qualitative Easing (QQE) yang didasari pada pertimbangan Berharga Negara (SBN). IHSG melemah dari 5288,00 bahwa negara tersebut masih dibayangi oleh deflasi. pada akhir semester II 2014 menjadi 4910,66 pada akhir Kebijakan di Eropa dan Jepangmenyebabkan semakin semester I 2015. Penurunan indeks tersebut diikuti pula berlimpahnya likuiditas global. oleh meningkatnya volatilitas IHSG, termasuk volatilitas Pada saat yang sama, kawasan emerging market Asia mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak dari seluruh indeks sektoral, sejak pertengahan semester I 2015. melemahnya ekonomi Tiongkok. Kondisi ekonomi yang Yield SBN meningkat di semua tenor, dengan tidak berimbang tersebut mengakibatkan likuiditas global peningkatan terbesar dialami oleh SBN bertenor jangka mencari safe haven asset yang lebih menguntungkan. menengah yang mengindikasikan masih tingginya Perilaku perpindahan likuiditas dari emerging market, ketidakpastian terhadap prospek perekonomian Indonesia termasuk Indonesia, ke negara yang lebih menguntungkan ke depan. Yield SBN 10 (sepuluh) tahun meningkat sebesar tersebut akan menambah potensi kerentanan di negara 51,4bps dari 7,74% pada semester II 2014 menjadi 8,26% emerging. Seiring dengan meningkatnya potensi kerentanan pada semester I 2015. Peningkatan yield SBN tenor ini juga xiii Ringkasan Eksekutif diikuti dengan peningkatan rata-rata volatilitas sebesar permintaan masyarakat dan penghasilan yang menurun, 7,9bps. Jika dibandingkan dengan negara-negara di sehingga baik pebisnis maupun konsumen mengurangi kawasan, kenaikan yield SBN di tenor tersebut merupakan permintaan kreditnya. Perlambatan pertumbuhan salah satu yang mengalami peningkatan terbesar. ekonomi pada umumnya disertai oleh persepsi kenaikan Di tengah tantangan eksternal dan domestik, risiko dunia usaha, yaitu berupa kemungkinan default perbankan masih memiliki ketahanan yang cukup baik, debitur yang semakin tinggi, sehingga mendorong meski kinerjanya mengalami sedikit penurunan. Ketahanan perbankan untuk lebih berhati-hati dalam menyalurkan perbankan tercermin dari tingkat permodalan yang relatif kreditnya. tetap terjaga. Capital Adequacy Ratio (CAR) meningkat Penurunan kinerja perbankan juga tercermin dari dari 19,57% pada semester II 2014 menjadi 20,35% pada efisiensi dan Return On Asset (ROA) yang menurun. semester I 2015. Peningkatan CAR merupakan cerminan Penurunan efisiensi industri perbankan tercermin dari upaya bank untuk memperkuat struktur permodalannya peningkatan rasio beban operasional dibandingkan dengan sesuai dengan aturan BASEL III dan sikap kehati-hatian pendapatan operasional (BOPO) dan cost to income ratio perbankan dalam penyaluran kredit yang pada akhirnya (CIR). Penurunan efisiensi tersebut menjadi penyebab berdampak pada melambatnya pertumbuhan ATMR. penurunan keuntungan industri perbankan. ROA industri Rasio CAR yang tinggi tersebut menjadi bekal pengaman perbankan turun dari 2,85% di semester II 2014 menjadi perbankan dalam menyerap potensi risiko yang timbul, 2,29%. terutama risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas. xiv Penurunan kinerja perbankan diikuti dengan Pada semester I 2015 kinerja perbankan mengalami meningkatnya risiko.Risiko perbankan dipicu oleh sedikit penurunan. Fungsi intermediasi perbankan sedikit perlambatan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar Rupiah melemah seiring dengan perlambatan pertumbuhan yang terdepresiasi, kenaikan yield SBN, serta kenaikan ekonomi domestik. Rasio Loan to Deposit (LDR) perbankan harga komoditas internasional. Sumber-sumber risiko ini menurun dari 89,30% pada semester II 2014 menjadi terutama berdampak terhadap meningkatnya risiko kredit 88,62%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di satu dan risiko pasar, sementara kenaikan risiko likuiditas lebih sisi menyebabkan melambatnya pertumbuhan kredit, disebabkan oleh faktor musiman hari raya keagamaan. sedangkan di sisi lain menyebabkan meningkatnya Risiko kredit perbankan cenderung meningkat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan. walaupun masih berada di level yang aman. Rasio Non- Kombinasi diantara keduanya mendorong penurunan LDR. Performing Loan (NPL) perbankan meningkat dari 2,16% Melemahnya kinerja perekonomian dan meningkatnya pada akhir semester II 2014 menjadi 2,56% pada akhir pesimisme pelaku ekonomi terhadap prospek ekonomi semester laporan. Tingkat NPL ini masih berada di bawah menyebabkan pelaku ekonomi berhati-hati dalam threshold yang ditetapkan yaitu sebesar 5%. Kenaikan membuat keputusan ekonomi. Kehati-hatian tersebut NPL terjadi di seluruh sektor ekonomi seiring dengan diantaranya mendorong mereka untuk lebih memilih melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik yang menyimpan dananya di perbankan daripada membiayai telah berlangsung sejak akhir 2011 dan penurunan harga kegiatan usaha. Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan DPK komoditas internasional. Kelompok debitur korporasi cenderung meningkat pada semester laporan. Sementara memberikan sumbangan kenaikan NPL tertinggi yaitu itu, pertumbuhan kredit yang melambat disebabkan dari 1,93% menjadi 2,55%. Sementara itu, NPL kelompok Ringkasan Eksekutif rumah tangga juga naik dari 1,48% menjadi 1,75% pada harga SBN, tingkat suku bunga, dan pelemahan nilai periode yang sama. tukar Rupiah. Pada semester laporan, risiko pasar industri Perlambatan ekonomi global dan domestik serta perbankan relatif rendah sejalan dengan penurunan penurunan harga komoditas nonmigas internasional outstanding portofolio SBN trading dan AFS. Sementara memicu peningkatan risiko kredit sektor korporasi. itu, risiko suku bunga juga relatif masih terjaga karena suku Berdasarkan Laporan Keuangan Emiten triwulan I bunga DPK cenderung menurun sehingga menurunkan 2015, kinerja korporasi yang tercatat di BEI melemah, kewajiban bank untuk pembayaran bunga. Sedangkan tercermin dari penurunan Return On Asset (ROA) dan risiko pasar akibat nilai tukar cenderung moderat. Pada Return On Equity (ROE). Penurunan profitabilitas terjadi akhir semester I 2015, perbankan mencatat kenaikan di hampir seluruh sektor, kecuali sektor perdagangan, posisi long valas dibandingkan semester lalu. Meskipun jasa dan investasi. Emiten sektor pertanian dan sektor posisi long valas meningkat, rasio Posisi Devisa Neto (PDN) pertambangan mengalami penurunan kinerja keuangan perbankan tercatat sebesar 2,59%, jauh di bawah ambang terbesar sejalan dengan penurunan harga komoditas batas ketentuan yang ditetapkan sebesar 20%. nonmigas. Hal yang perlu diwaspadai adalah penurunan Likuditas industri perbankan pada akhir semester kinerja korporasi yang berkelanjutan akan berdampak I 2015 menurun dibandingkan semester sebelumnya pada repayment capacity korporasi yang selanjutnya akan disebabkan oleh aliran keluar uang kartal menjelang Hari memengaruhi risiko kredit perbankan dan perusahaan Raya Idul Fitri. Kondisi likuiditas yang dicerminkan dari rasio pembiayaan. AL terhadap NCD (AL/NCD) menurun dari 99,83% pada Risiko kredit pada sektor Rumah Tangga (RT) semester II 2014 menjadi 92,50% pada semester I 2015 cenderung terjaga namun tetap perlu diwaspadai. dan AL/DPK yang menurun dari 20,53% menjadi 19,00% Hasil Survei Konsumen menunjukkan bahwa jumlah RT di periode yang sama. dengan Debt Service Ratio (DSR) di atas 30% mengalami Sementara itu, seiring dengan intermediasi perbankan kenaikan pada semua kelompok pendapatan. Kondisi ini secara industri, penyaluran kredit kepada Usaha Mikro, cukup berisiko di tengah ekspektasi terhadap pendapatan Kecil, dan Menengah (UMKM) juga tumbuh melambat konsumen yang relatifstabil karena akan menimbulkan disertai dengan peningkatan risiko kredit. Perlambatan ketidakseimbangan keuangan antara pendapatan dan ini dikarenakan pelemahan kegiatan ekonomi dan juga pengeluaran. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya akan karena pengetatan penyaluran kredit oleh perbankan memengaruhi repayment capacity sektor RT di masa yang seiring dengan meningkatnya NPL kredit UMKM menjadi akan datang. 4,83% pada semester I 2015. Rasio NPL tertinggi tercatat di Eksposur perbankan terhadap risiko pasar pada semester laporan relatif masih terjaga sejalan dengan sektor Konstruksi (9,29%), sektor Listrik, Gas & Air (7,93%) dan sektor Pertambangan & Penggalian (7,72%). perilaku perbankan yang berhati-hati.Risiko pasar timbul Secara umum, ketahanan industri perbankan karena bank memiliki portofolio SBN dalam kategori trading dalam menghadapi risiko kredit, risiko pasar dan risiko dan Available For Sale (AFS), tagihan dan kewajiban dalam likuiditas masih relatif kuat. Hasil stress test risiko kredit1 valuta asing, serta tagihan dan kewajiban yang sensitif menunjukkan permodalan mengalami sedikit penurunan terhadap suku bunga. Sebagai konsekuensi dari eksposur tersebut, bank akan terpengaruh terhadap perubahan 1) Stress test menggunakan asumsi penurunan PDB sebesar 3% dari PDB baseline. xv Ringkasan Eksekutif namun masih jauh diatas ketentuan modal minimum bank mengalami peningkatan bersumber dari peningkatan sebesar 8%. Sementara itu, berdasarkan hasil stress penempatan dana asuransi dalam bentuk DPK perbankan test risiko pasar2, tingkat permodalan perbankan masih dan kepemilikan surat utang bank oleh perusahaan mencukupi untuk menyerap kerugian yang timbul. Hasil asuransi. stress test likuiditas3 perbankan dalam menghadapi shock Sebagaimana halnya yang dialami oleh sektor capital outflow akibat kenaikan FFR masih menunjukkan keuangan konvensional, kinerja sektor keuangan syariah posisi likuiditas yang relatif cukup kuat karena rasio juga mengalami perlambatan, khususnya di 2 (dua) sektor likuiditas perbankan masih jauh berada di atas threshold utama, yaitu perbankan dan pasar modal. Di sektor sebesar 8,5%. Transmisi kepada likuiditas perbankan perbankan, beberapa indikator kinerja utama mengalami dilakukan melalui penurunan harga surat berharga yang penurunan yang ditandai oleh melambatnya pertumbuhan dimiliki bank. aset, penghimpunan DPK, pembiayaan syariah, dan Pada semester I 2015, kinerja Institusi Keuangan Non permodalan. Rasio permodalan syariah, meski menurun Bank (IKNB) terus mengalami peningkatan sebagaimana namun masih berada di level yang relatif aman, yaitu tercermin dari peningkatan aset Perusahaan Pembiayaan sekitar 14% di akhir semester I 2015. Berbeda dengan (PP) sebesar 4,14% dan Perusahaan Asuransi sebesar perbankan konvensional, risiko kredit perbankan syariah 2,89%. Peningkatan kinerja tersebut juga diikuti dengan yang tercermin dari Non Performing Financing (NPF) justru peningkatan risiko sebagaimana tercermin dari peningkatan menurun, antara lain karena adanya konsolidasi internal rasio NPF PP dan rasio klaim bruto terhadap premi bruto. di perbankan syariah. Sementara itu, risiko likuiditas Salah satu potensi risiko bagi PP adalah eksposur mengalami peningkatan tercermin dari menurunnya rasio terhadap risiko nilai tukar karena meningkatnya tren alat likuid yang disebabkan oleh turunnya penempatan Pinjaman Luar Negeri (PLN). Walaupun demikian, sebagian dana perbankan syariah di Fasilitas Simpanan Bank besar PP telah melakukan mitigasi risiko terhadap PLN Indonesia Syariah (FASBIS)4. Kondisi yang sama juga dialami melalui hedging. Hasil stress test ketahanan permodalan oleh sektor pasar modal syariah yang menguasai 93% total PP menunjukkan dampak pelemahan nilai tukar masih aset sektor keuangan syariah. Indeks harga saham syariah terbatas. Sementara itu, asesmen risiko interconnectedness mengalami penurunan sebesar 4,93% dan pertumbuhan PP dengan perbankan menunjukkan keterkaitan antara PP nilai kapitalisasi pasar mengalami penyusutan dari 15,21% dan perbankan mengalami penurunan. pada semester II 2014 menjadi -5,08%. Meski risiko usaha perusahaan asuransi mengalami D a r i s i s i i n f ra st r u k t u r s i ste m ke u a n ga n , peningkatan namun risiko likuiditas relatif terjaga yang penyelenggaraan sistem pembayaran selama semester I tercermin dari rasio current asset terhadap current 2015 berjalan aman, efisien, dan andal, sehingga antara liabilities yang berada di atas threshold. Demikian halnya lain mampu mendukung terjaganya stabilitas sistem potensi risiko depresiasi nilai tukar dan perubahan suku keuangan. Kinerja sistem pembayaran yang baik tersebut bunga luar negeri relatif rendah karena ketergantungan tercermin dari terpenuhinya target beberapa indikator terhadap ULN rendah. Risiko interconnectedness dengan antara lain tingkat ketersediaan Sistem Bank Indonesia Real 2 Stress test menggunakan kenaikan suku bunga sebesar 5%, penurunan harga SBN sebesar 25%, depresiasi nilai tukar sebesar 50%. 3 Menggunakan asumsi penurunan posisi surat berharga (trading, AFS dan HTM) berdasarkan pola historis QE 1, 2, dan 3. xvi Time Gross Settlement (BI-RTGS), Bank Indonesia Scripless 4 FASBIS adalah fasilitas simpanan dalam rupiah yang disediakan oleh BI kepada bank untuk menempatkan dananya di BI dalam rangka standing facilities Syariah. Ringkasan Eksekutif Securities Settlement System (BI-SSSS) dan Sistem Kliring perbankan. Relaksasi kebijakan ini diberlakukan baik Nasional Bank Indonesia sesuai dengan tingkat layanan terhadap sektor-sektor produktif maupun terhadap (servicelevel) yang telah ditetapkan. Sementara itu, kinerja struktur pendanaan bank, meliputi pelonggaran ketentuan yang baik pada sistem pembayaran yang diselenggarakan Rasio Loan to Value (LTV) atau Rasio Financing to Value oleh industri, ditunjukkan melalui terlaksananya transaksi (FTV)dan kebijakan GWM-Loan to Funding Ratio (GWM- pembayaran oleh masyarakat dalam volume yang LFR). Kebijakan LTV dan FTV ditujukan untuk kredit atau relatif tinggi dibandingkan dengan laporan periode pembiayaan properti dan uang muka untuk kredit atau sebelumnya. Selain itu, pada semester I 2015 Bank pembiayaan kendaraan bermotor, baik berbasis perbankan Indonesia menempuh kebijakan guna memperkuat konvensional maupun syariah. Sedangkan kebijakan GWM infrastruktur pembayaran ritel melalui implementasi LFR merupakan ketentuan GWM-Loan to Deposit Ratio SKNBI Generasi II dan meningkatkan keamanan dan (LDR) yang disesuaikan lebih lanjut dengan memasukkan kelancaran pelaksanaan transaksi dan setelmen di Pasar komponen surat-surat berharga nonsubordinasi ke Modal melalui implementasi penggunaan Central Bank dalam perhitungan pendanaan bank. Disamping untuk Money (CeBM). mendorong pendalaman dan peningkatan aktivitas di Risiko pada sistem pembayaran relatif terjaga selama pasar keuangan, perluasan pendanaan ini memberikan semester I 2015. Risiko likuditas dan operasional dalam tambahan ruang intermediasi bagi perbankan. Ketentuan batas yang terkendali, terlihat dari kondisi saldo giro GWM-LFR juga dimaksudkan untuk meningkatkan akses yang terjaga, serta turn over ratio dan Queue Transaction UMKM terhadap layanan perbankan, karena GWM LFR yangberada pada level yang stabil. Selain itu, risiko mengaitkan penyaluran kredit atau pembiayaan UMKM setelmen tercatat relatif rendah, tercermin dari rendahnya dengan pemenuhan GWM melalui pemberian insentif dan nilai dan volume transaksi pembayaran melalui Sistem BI- disinsentifbagi perbankan. RTGS yang tidak dapat diselesaikan (unsettled transaction) Sementara itu, kegiatan surveillance terhadap sistem sampai berakhirnya waktu operasional Sistem BI-RTGS keuangan ditujukan guna mengidentifikasi sumber-sumber (window time). Sementara itu, Bank Indonesia terus kerentanan dan ketidakseimbangan yang dapat memicu melakukan pemantauan terhadap risiko sistemik yang terjadinya risiko sistemik. Surveillance terutama dilakukan muncul dari keterhubungan (interconnectedness) antar terhadap Systemically Important Banks (SIB)5. Kegiatan ini peserta Sistem BI-RTGS. dilengkapi pula oleh pemeriksaan tematik dan kepatuhan. Pada semester I 2015, respon kebijakan yang Pemeriksaan tematik dilakukan untuk mengumpulkan ditempuh Bank Indonesia (BI) di bidang Stabilitas Sistem informasi yang diperlukan dalam melakukan asesmen Keuangan diarahkan untuk mendukung tercapainya stabilitas makroekonomi serta pertumbuhan ekonomi. Dukungan tersebut dicapai melalui pelonggaran kebijakan makroprudensial, pelaksanaan surveillance terhadap sistem keuangan dan peningkatan fleksibilitas layanan perbankan kepada pelaku ekonomi. Pe l o n g ga ra n ke b i j a ka n m a k ro p r u d e n s i a l dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi intermediasi 4 SIB didefinisikan sebagai suatu bank yang karena ukuran aset, modal, kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan. Bentuk kegagalan tersebut dapat berupa operasional maupun finansial. Risiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), dan keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Definisi risiko sistemik dan SIB berdasarkan PBI No.16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial. xvii Ringkasan Eksekutif dan penilaian terhadap potensi risiko sistemik di industri perbankan maupun sistem keuangan secara keseluruhan. Sedangkan pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan makroprudensial maupun ketentuan lain yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, BI berkoordinasi dengan OJK sebagai otoritas pengaturan dan pengawasan di bidang mikroprudensial. Sementara itu, kebijakan untuk meningkatkan fleksibilitas layanan perbankan dalam rangka memfasilitasi upaya pendalaman pasar keuangan dilakukan melalui amandemen terhadap ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN). Ketentuan ini memberikan keleluasaan bagi perbankan untuk mengelola eksposur valuta asing dengan tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang sehat. BI juga meningkatkan koordinasi dengan otoritas lain. Selain di bidang pemeriksaan, BI juga berkoordinasi dengan OJK yang diformalkan dalam Forum Koordinasi Makro dan Mikro (FKMM). Area koordinasi antara lain meliputi implementasi Memorandum of Understanding pengawasan bank antara BI dengan OJK, information sharing, koordinasi dan penyelarasan kebijakan, termasuk pelaksanaan supervisory action terhadap bank-bank yang berpotensi menimbulkan risiko sistemik. Selain dengan OJK, peningkatan koordinasi juga dilakukan melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) khususnya dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. xviii