1 MAKANAN KODOK Bufo melanostictus PADA

advertisement
1
MAKANAN KODOK Bufo melanostictus
PADA BEBERAPA HABITAT DI SAWAHLUNTO
Darma Wulan , Nurhadi dan Meliya Wati
Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat
ABSTRAK
Sawahlunto community social activities that have always depended on nature such
as forest management for agriculture and the rapid rate of population growth
resulting in the rapid expansion of settlements, leading to loss of habitat and
wetlands. The decrease in natural population of Bufo melanostictus resulting balance
of the food chain in the ecosystem becomes disrupted. The study was conducted in
June 2014. Sampling was done by direct survey of the species Bufo melanostictus
obtained at the scene, the observer walks along the specified location. If you look
directly capture and grab samples. Identification of food frog conducted at the
Laboratory of Zoology Biology Education Program STKIP PGRI West Sumatra.
The results showed that food frog frogs are generally found in the stomach is an
insect, the type of location I 6, 6 and 5 Family Order, in Area II, as many as 13
species, 9 and 8 Family Order, in Area III found as many as 15 species, 8 Family
and 7 of the Order, while the fourth location is found 7 species, 5 and 5 Family
Order.
Keywords: Food, Bufo melananostictus, Sawahlunto
yang sempit ataupun luas, dimana semua
akan
saling
berhubungan
dan
membentuk komunitas biotik (Mistar,
2003).
PENDAHULUAN
Amphibia tersebar luas di
seluruh kepulauan Indonesia terutama
kelompok Anura. Spesies dari Anura
yang umum ditemukan dari famili
Bufonidae adalah Bufo melanostictus,
yang sering disebut dengan bangkong
atau kodok (Iskandar, 1998). Spesies ini
senantiasa hidup pada habitat akuatik
dan teresterial dengan penyebaran yang
luas dan melimpah. Kelimpahan kodok
ini di habitatnya tergantung pada
keadaan lingkungannya baik lingkungan
biotik maupun abiotik (Kusrini, 2001).
Keberadaan
hewan
ini
sangat
dipengaruhi kondisi iklim, tanah,
topografi dan vegetasi, baik dalam areal
Kota Sawahlunto dikenal dengan
sebutan “Kota Kuali”, hal ini disebabkan
oleh bukit-bukit dan lembah-lembah
sehingga
menyerupai
kuali
dan
merupakan kawasan perbukitan yang
ditutupi hutan lindung (Anonimus,
2008).
Aktivitas sosial masyarakat
Sawahlunto yang selalu bergantung pada
alam, seperti pengelolaan hutan untuk
perladangan
dan
pesatnya
laju
pertumbuhan penduduk sehingga terjadi
1
2
perluasan pemukiman yang pesat,
menyebabkan hilangnya habitat dan
lahan basah, terjadinya penurunan
populasi Bufo melanostictus di alam,
Akibatnya terjadi keseimbangan rantai
makanan dalam ekosistem menjadi
terganggu (Nurcahyani, Kanedi dan
Kurniawan, 2009).
Menurut Iskandar (2002) bahwa
semua Amphibia adalah karnivora.
Serangga adalah makanan umum dan
disukai Amphibia. Hewan ini akan
memakan segala sesuatu yang hidup dan
bergerak yang ukuran mangsanya tidak
terlalu besar dari tubuhnya (Kurniati,
1998).
Kartingingtyas
(2006)
menggungkapkan bahwa makanan alami
Bufo melanostictus adalah serangga
hama yang diberikan dengan tingkat
palabilitas yang berbeda-beda.
Kodok mempunyai peranan
penting dalam keseimbangan ekosistem,
karena kodok bagi manusia juga berguna
untuk mengendalikan populasi serangga
hama yang ada disekitar rumah, kebun
maupun ladang, khususnya untuk Bufo
melanostictus (Syazali, 2010). Menurut
Iskandar (2002) bahwa semua Amphibia
adalah karnivora. Serangga adalah
makanan umum dan disukai Amphibia.
Mengingat
pentingnya
keberadaan kodok di alam, maka
diperlukan pelestarian kodok sebagai
salah satu kekayaan keanekaragaman
hayati yang tak ternilai harganya serta
kodok ini juga membantu manusia untuk
penggendalian populasi serangga hama,
yang dapat membantu keseimbangan
ekosistem serta keseimbangan rantai
makanan. Berdasarkan hal itu, maka
dilakukan penelitian untuk mengetahui
makanan kodok Bufo melanostictus di
Sawahlunto.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan pada
bulan Juni 2014. Pengambilan sampel
dilakukan di sekitar pemukiman
penduduk Kenagarian Kubang Sirakuk,
sekitar sungai Batang Lunto Kenagarian
Talawi,
sekitar
hutan
lindung
Kenagarian Lubang Panjang, dan sekitar
sawah Kenagarian Talawi di Kota
Sawahlunto. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah headlamp/senter,
toples, kantong plastik, karet gelang,
sarung tangan, kamera digital, label
gantung, alat bedah, bak bedah, botol
spesimen, masker, botol sampel,
jaring, thermohigrometer,
mikroskop
binokuler dan alat tulis. Adapun bahan
yang digunakan adalah kloroform,
alkohol 70%, dan tissue .
Penelitian ini adalah penelitian
survey langsung terhadap spesies Bufo
melanostictus yang didapat dilokasi,
yakni pengamat berjalan di sepanjang
lokasi yang sudah ditentukan, jika
terlihat sampel langsung tangkap dan
ambil. Pengkoleksian sampel dilakukan
secara langsung pada beberapa habitat di
Sawahlunto. Pengkoleksian dilakukan
pada malam hari mulai pukul 18.30 –
22.00 WIB. Identifikasi dilakukan
sampai di Laboratorium Zoologi STKIP
PGRI Sumatera barat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian didapatkan
makanan kodok Bufo melanostictus pada
beberapa
habitat
di
Sawahlunto
sebanyak 24 jenis. Pada Lokasi I
ditemukan 6 jenis, Lokasi II ditemukan
13 jenis, Lokasi III ditemukan 15 jenis,
dan Lokasi IV ditemukan 7 jenis seperti
Tabel di bawah ini:
3
Makanan kodok Bufo melanostictus yang ditemukan pada beberapa habitat di
Sawahlunto
Taksa
Lokasi
I
II
III
IV
Ordo Hymenoptera
1. Dolichoderus sp.
+
+
+
+
2. Odontoponera sp.
+
+
+
3. Pheidole sp.
+
4. Camponotus sp.
+
5. Ochetellus sp.
+
+
+
6. Hypoponera sp.
+
7. Philidris sp.
+
8. Centromyrmex sp.
+
9. Protanilla sp.
+
10. Anoplolepis sp.
+
11. Monomorium sp.
+
Ordo Isoptera
12. Amitermes tubiformans
+
+
+
Ordo Coleoptera
13. Calosoma sp.
+
+
14. Rhodobaenus sp.
+
15. Lyrosoma sp.
+
16. Adelina plana
+
17. Odontotaenius capreolus
+
Ordo Diptera
18. Culex pipiens
+
+
Ordo Orthoptera
19. Parcoblatta pennsylvanica
+
Ordo Neuroptera
20. Myrmeleon immaculatus
+
+
+
+
Ordo Araenida
21. Thomisius sp.
+
+
Ordo Haplotaxida
22. Lumbricus sp.
+
+
Ordo Vetigastropoda
23. Umbonium moniliferum
+
Ordo Scholopendromorpha
24. Scholopendra sp.
+
+
6
13
15
7
Jumlah
Keterangan : (+) =Ditemukan (-) = Tidak ditemukan
4
Berdasarkan hasil penelitian
makanan yang ditemukan di dalam
lambung kodok terdapat bermacammacam serangga dan hewan lain yang
dimangsa
oleh
kodok
Bufo
melanostictus. Makanan yang paling
banyak ditemukan pada semua Lokasi
adalah Ordo Hymenoptera, Famili dari
Formicidae yaitu semut dibandingkan
dengan hewan lain. Makanan yang
kurang disukai oleh kodok adalah Ordo
Coleoptera, dan Ordo Vetigastropoda,
karena mempunyai struktur tubuh yang
keras sehingga menyebabkan sukar
untuk dicerna dalam lambungnya. Hal
ini
sesuai
dengan
penelitian
Kartingingtyas (2006) bahwa Kumbang
dan ketam-ketaman yang paling tidak
disukai oleh kodok karena mempunyai
struktur tubuh keras yang menyebabkan
sukar untuk dicerna sehingga dapat
mengurangi nilai palabilitas bagi kodok,
selain itu ukuran tubuhnya yang besar
sehingga kodok
kesulitan
untuk
menelan.
Menurut Dwijoseputro (1991)
Kodok bersifat insektivora karena
banyak memakan serangga. Dalam
rantai makanan diketahui bahwa kodok
ini adalah konsumen tingkat 3 dengan
memakan hewan yang lebih kecil seperti
serangga
yang
biasa
memakan
rerumputan yang dianggap sebagai
produsen. Selain serangga dan hewan
vertebrata lainnya, ditemukan juga
material lain. yang mungkin masuknya
tertelan bersamaan dengan mangsa
adalah daun-daun tumbuhan, bebatuan
kecil yang masih utuh. Erftemeijer dan
Boedi (1991) menggungkapkan bahwa
kodok tidak mempunyai enzim untuk
mencernanya.
Makanan yang ditemukan di
dalam lambung kodok masih utuh, hal
ini disebabkan karena penangkapan
kodok dilakukan pada malam hari dan
cepat untuk dilakukan pembiusan yang
bertujuan agar mendapatkan makanan
yang masih utuh untuk dilakukan
analisis lambung sehingga makanan
yang
dianalisis
mudah
untuk
diidentifikasi.
Makanan pada Lokasi III lebih
banyak ditemukan dibandingkan dengan
lokasi lainnya karena pada saat
dilaksanakan penelitian pada Lokasi III
yaitu pada Hutan Lindung dapat
ditemukan vegetasi dasar yang cukup
rapat
yang
dapat
mendukung
ketersediaan sumber makanan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
memiliki jumlah spesies yang lebih kaya
dibandingkan pada Lokasi lain. Pada
Lokasi I yaitu pemukiman penduduk
ditemukan vegetasi sedikit yang kurang
mendukung
ketersediaan
sumber
makanan bagi kodok serta terganggu
oleh aktivitas manusia, pada Lokasi II
ditemukan makanan kodok tidak
berbeda jauh dengan makanan kodok
yang didapatkan pada Lokasi I, karena
pada Lokasi II yaitu Sungai ditemukan
vegetasi sedang yang dapat mendukung
ketersediaan
makanan
kodok.
Sedangkan pada Lokasi IV yaitu Sawah
hanya ditemukan sedikit makanan
kodok, karena pada Lokasi ini
vegetasinya kurang dan keadaan padi
baru ditanam yang memungkinkan
kurang tersedianya makanan untuk
kodok.
Habitat yang memiliki tingkat
heterogenitas lebih tinggi memiliki
jumlah spesies yang lebih tinggi pula
(Zug, 1998). Selain itu pada Lokasi I, II
dan IV yang ditemukan pada penelitian
ini yaitu penggunaan lahan secara
intensif dan berlebihan, yang akan
5
menyebabkan ahli fungsi lahan sehingga
berpengaruh terhadap sumber makanan
bagi kodok menjadi berkurang. Inger
(1986) menyatakan bahwa apabila
makanan yang tersedia di alam kurang
dan
tidak
sebanding
dengan
kebutuhannya maka terdapat naluri
kecendrungan untuk lebih selektif dalam
mencari makanan.
Selama penelitian berlangsung
pada malam hari yaitu pukul 18.30 22.00 WIB pada setiap Lokasi cuaca
tetap yaitu cerah berawan dengan suhu
berkisar antara 25 – 28°C dan
kelembaban berkisar antara 80 – 85%.
Pada penelitian ini kodok harus
berhadapan langsung dengan perubahan
kondisi cuaca iklim, yang mungkin saja
dapat menghambat pencarian dan
perolehan makanan yang diperlukan,
sehingga
jumlah
makanan
yang
diperlukan kodok kurang tercukupi.
Selain itu perolehan makanan dapat
berkurang dengan kehadiran dan
interaksi hewan lain yang menjadi
pesaing dan predatornya.
Pratomo (2002) menyatakan
bahwa perbedaan temperatur, iklim
cahaya, kelembaban, pola makan dan
aktivitas dan lain-lain berpengaruh
terhadap keragaman spesies. Suhu yang
tinggi akan meyebabkan terjadinya
penguapan
yang cepat
sehingga
kelembaban pada keempat habitat
berbeda yang dapat dipengaruhi oleh
kompetisi
interspesifik,
variasi
ketersediaan sumber makanan dan
kualitas habitat. Suhu yang ada pada
keempat habitat dipengaruhi oleh
vegetasi. Vegetasi di dalam hutan lebih
rapat dan didominasi tumbuhan tinggi
dengan tutupan tajuk yang cukup luas
yang menyebabkan sinar matahari yang
sampai kepermukaan tanah menjadi
berkurang
sehingga
ketersediaan
makanan untuk kodok dalam hutan lebih
banyak di bandingkan dengan habitat
lain.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa
Makanan
kodok
Bufo
melanostictus pada beberapa habitat di
Sawahlunto yang ditemukan pada
Lokasi I sebanyak 6 jenis, 6 Famili dan
5 Ordo, pada Lokasi II sebanyak 13
jenis, 9 Famili dan 8 Ordo, pada Lokasi
III ditemukan sebanyak 15 jenis, 8
Famili dan 7 Ordo, sedangkan pada
Lokasi IV ditemukan 7 jenis, 5 Famili
dan 5 Ordo.
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah peneliti lakukan tentang
makanan kodok Bufo melanostictus,
maka penulis menyarankan untuk
melakukan penelitian lanjutan tentang
komposisi makanan kodok Bufo
melanostictus
yang
dibandingkan
dengan jenis kodok lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Dari Kota Tambang ke
Kota Wisata. Sawahlunto.
Dwidjoseputro, D. 1991. Ekologi
Manusia Dengan Lingkungan.
Jakarta: Erlangga.
Erftemeijer, P. and Boeadi. 1991. The
Diet of Microhyla heymonsi
Vogt (Microhylidae) and Rana
chalconota Schlegel (Ranidae) in
a Pond on West Java. Raffles
Bulletin of Zoology 39 (2) : 279282.
6
Inger, R.F. 1986. Diets of Tadpoles
Living in A Bornean Rain
Forest. Alytes, 5 (4): 153-154.
Iskandar, D.T. 1998. Amphibi of Java
and
Bali.
Seri
Panduan
Lapangan. Puslitbang LIPI,
Bogor.
Iskandar, D.T and E. Colijin. 2000.
Preliminary Ceklist of Southeast
Asian and New Guinean
Herpetofauna : Treubia.
Syazali, Muhammad. 2008. Identifikasi
Jenis Serangga yang Dimakan
Kodok
Rumah
(Bufo
melanoistictus Schneider 1977)
di Kawasan Desa Kekait dan
Potensinya Sebagai Pengendali
Serangga Hama dan Vektor
Penyakit. Skripsi : NTB.
Kartiningtyas, LA. 2006. Palatibilitas
Bufo melanostictus Terhadap
Beberapa Makanan Alami dan
Potensinya
dalam
Mengendalikan
Populasi
Serangga.
Skripsi.
Fakultas
Matematika
dan
Ilmu
Pengetahuan Alam: Universitas
Negeri Semarang.
Mistar dan D.T Iskandar. 2003. Panduan
Lapangan Amphibi Kawasan
Ekosistem Leuser. PILI-NGO
Movement. Jakarta.
Nurcahyani, N, M. Kanedi dan E.S
Kurniawan. 2009. Inventarisasi
Jenis Anura di Kawasan Hutan
Sekitar Waduk Batutegi,
Tanggamus, Lampung. Jurusan
Biologi FMIPA. Universitas
Lampung.
Pratomo, Hurip. 2002. Kemampuan
Makan Rana limnocharis dan
Rana cancrivora di Persawahan
Jawa Barat Sebagai Predator
Hama Padi. Skripsi. Jurusan
Biologi FMIPA: Universitas
Terbuka.
Zug, G.R. 1993. Herpetologi, an
Introduction Biology Of
Amphibian And Reptiles.
Academic Press: San Diego.
7
8
Download