15 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi yang terletak provinsi D. I. Yogyakarta dan termasuk dalam rangkaian 129 gunung berapi aktif dari ring on fire, yang dimulai dari pulau Sumatra, Jawa, hingga bagian Indonesia timur. Gunung Merapi diapit oleh 4 kabupaten yakni Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali. (Muhamad, 2012). Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api paling aktif di dunia, yang memiliki siklus letusan 4 tahun sekali dan terakhir kali meletus pada tahun 2010 yang merupakan letusan terbesar. Akibat erupsi Gunung Merapi tersebut menimbulkan korban 196 meninggal akibat luka bakar dan 258 orang luka-luka, 410.388 orang harus meninggalkan rumah mereka untuk menggungsi, dan data total rumah yang rusak di kecamatan cangkringan berjumlah 3245 buah (BNPB dalam Any, 2010). Erupsi Gunung Merapi mempunyai dampak positif dan negatif pada warga di sekitar Gunung Merapi, dampak positif dari bencana ini adalah meningkatnya jumlah material pasir dan batu di Kali Gendol Kepuharjo dan sekitarnya, yang saat material tersebut sudah dingin berpotensi sebagai tumpuan ekonomi, yakni warga dapat menjual pasir dan batu tersebut untuk mata pencahariannya. Warga juga mendapatkan lahan mereka lebih subur setelah lahan mereka tersiram abu vulkanik pada saat erupsi Gunung Merapi terjadi namun dampak positif ini dapat dirasakan beberapa tahun pasca 16 erupsi. Selain itu juga terdapa dampak negatif dari erupsi Gunung Merapi tahun 2010 tersebut, seperti yang telah diuraikan pada paragraf diatas, warga sekitar Gunung Merapi harus kehilangan rumah, kehilangan sanak saudara dan juga pekerjaannya, karena mereka harus berhenti bekerja selama mereka mengungsi dan meninggalkan tempat tinggal mereka. Warga juga melaporkan bahwa lahan pertanian yang mereka miliki rusak akibat tertimbun material vulkanik, dan jumlah ternak yang mati akibat erupsi tersebut sebanyak 2.419 ekor yang terdapat di Boyolali, Klaten, Sleman, Magelang dan sekitarnya (Priyanti dkk. 2011). Dampak negatif lainnya adalah dampak psikologis pada warga yang selamat dari erupsi (warga penyintas), dari observasi dan pendampingan yang dilakukan relawan pada januari 2011 dari sampel 50 orang, 60% diantaranya membutuhkan terapi psikologis ( Harian KR, dalam Rusmiyati dan Hikmawati, 2012). Selain itu, menurut kepala deputi Bidang Penanganan Darurat, sebagian kondisi pengungsi labil dan tertekan, sehingga dalam kurun waktu kurang lebih 2 minggu di pengungsian sudah terdapat 27 orang yang harus dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa. Saat ini warga penyintas erupsi merapi telah menjalani hidup pasca erupsi terahir selama kurang lebih 4 tahun. Warga yang saat ini telah menempati Hunian Tetap yang diberikan pemerintah, saat ini perekonomian warga di topang oleh peternakan warga dan aktifitas pertambangan pasir dan batu sungai di wilayah sekitar tempat tinggal warga. Warga sebelumnya tinggal di desa yang posisinya tiga kilometer ke utara dari hunian tetap, 17 dahulu setiap warga memiliki tanah yang dimanfaatkan sebagai ladang pertanian dan perkebunan untuk menanam rumput dan kayu, sejak dahulu warga sudah hidup sebagai peternak sapi hanya saja sebelum erupsi Merapi tahun 2010 lahan untuk peternakan cukup luas sehingga tidak ada batasan dalam banyaknya jumlah hewan ternak yang dimiliki, rumah warga saat itu juga letaknya saling berjauhan sehingga rumah warga yang satu dengan warga yang lainnya tidak terlalu dekat dan kondisi pemukiman layak karena letaknya agak jauh dari kandang ternak milik warga masing-masing. Warga yang saat ini tingga di kompleks perumahan Hunian tetap kondisinya sudah lebih baik dibandingkan ketika tinggal di pengusngsian, namun bila dibandingkan dengan kehidupan sebelum bencana perbedaannya cukup signifikan, diantaranya warga saai ini memiliki hewan ternak namun dibatasi karena keterbatasan lahan kandang yang disediakan pemerintah, warga saat ini tinggal berdekat-dekatan dengan warga lainnya sehingga tidak seleluasa saat tinggal di desa yang dulu yang letak antar rumah berjauh-jauhan. Perekonomian warga saat ini lebih baik dibandingkan saat warga tinggal di desa terdahulu namun kehidupan warga saat ini terkesan individual karena beberapa aktifitas sosial warga sudah tidak sebanyak dahulu ketika tinggal di desa, aktifitas sosial yang hilang ialah seperti kegiatan tahlilan ketika 1000 hari warga yang meninggal karena keterbatasan rumah yang tidak seluas dlu sehingga saat ini acara tersebut diganti dengan acara yasinan dengan tamu yang sangat terbatas, kegiatan sosial yang hilang selanjutnya ialah kerja bakti rutin bapak-bapak yang biasanya diadakan setiap akan lebaran yang saat ini 18 sudah tidak berlangsung. Warga saat ini bila dilihat secara kasap mata kehidupanya dapat dikatakan sudah layak bila dilihat dari bangunan rumah yang baik, penataan lingkungan yang baik, sarana prasarana yang sudah cukup lengkap, hanya saja bila ditanya warga akan menjawab kehidupan dahulu sebelum erupsi Merapi tahun 2010 lebih nyaman, warga mengaku saat ini lebih mudah merasa was-was, kwatir, dan gelisah ketika aktifitas gunung Merapi agak meningkat berbeda dengan keadaan psikologis warga yang dulu masih tinggal di desa walaupun warga lebih dekat dengan Merapi saat itu namun tidak setakut seperti saat ini karena sejak dahulu erupsi Merapi tidak pernah sampai merusak rumah warga dan baru tahun 2010 erupsi Merapi sampai sedasyat itu dan merusak rumah dan lahan pertanian warga. Hasil wawancara dengan ibu M mengungkapkan bahwa saat ini terdapat beberapa warga yang menderita suatu penyakit, memiliki emosi yang tidak stabil, mudah marah, mudah sedih, tidak mampu mengendalikan diri sehingga individu tersebut kurang disegani karena sikap yang kurang baik. Dari segi hubungan sosial dan lingkungan juga terdapat beberapa warga yang senang menyendiri, kurang mampu bergaul dengan teman-teman dan masyarakat, mengurung diri di kamar, individu tersebut cenderung tidak peduli dengan lingkungannya, dan individu tersebut jarang terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan di sekitar tempat tinggalnya. Di wilayah tersebut juga terdapat warga yang membutuhkan perawatan psikologis secara berkala, karena individu tersebut tidak pernah keluar rumah dan mengurung 19 diri di kamar yang menunjukan adanya kualitas hidup yang kurang baik bila ditinjau dari aspek psikologis dan aspek hubungan sosial. World Health Organization (WHO) mendefinisikan kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap posisi kehidupannya dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar dan kekhawatiran, yang meliputi empat domain yakni kesehatan fisik, keadaan psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Sehingga individu yang kondisi keeampat domainnya itu baik maka kualitas hidupnnya juga baik (WHO )dalam Ardalan 2011). Berdasarkan hasil wawancara terlihat beberapa orang memiliki kualitas hidup yang kurang baik, namun tidak semua masyarakat memiliki kualitas hidup yang buruk karena kualitas hidup yang baik dapat diusahakan, salah satu caranya yaitu dengan melakukan koping, seperti yang diungkapkan oleh Gardner dalam penelitiannya bahwa koping religius positif memikili hubungan positif terhadap kualitas hidup dan stess pada seseorang, dan koping religius negatif memiliki hubungan negatif terhadap kualitas hidup dan stress pada seseorang (Gardner, Krageloh, & Henning. 2013) Koping merupakan suatu tindakan atau tingkah laku yang bersifat penanggulangan, yaitu individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau tugas (Chaplin, 2005). Salah satu jenis koping adalah koping religius, dimana koping religius adalah usaha yang melibatkan kognitif atau tindakan yang digunakan sebagai strategi yang berlandaskan pada agama atau kepercayaan dan praktik agama untuk 20 membantu memanajemen emosi dan kegelisahan pada diri seseorang (Koenig dalam Aflakzeir, 2011). Seperti yang diungkapkan Pargament (Kasberger. 2002), agama mempunyai peran penting dalam mengelola stes, agama dapat memberikan individu pengarahan/bimbingan, dukungan, dan harapan seperti halnya dukungan emosi. Penelitian sebelumnya mengenai dukungan sosial dan kualitas hidup pada penderita kanker warga Korea dan warga Amerika yang berada di Korea yang dilakukan oleh Lim & Zebrack (2008). Melalui penelitian tersebut ditemukan bahwa tingkat kualitas hidup penderita kanker warga Korea lebih Tinggi dibandingkan pada penderita kangker warga Amerika yang tinggal di Korea, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah religiusitas. (Lim & Zebrack, 2008). Religiusitas dapat menjadi salah satu mekanisme yang digunakan individu dalam melakukan koping pada diri individu tersebut, sehingga mampu menjadi salah satu cara yang digunakan individu dalam menangani masalah yang terdapat dalam hidupnya. Penelitian lainya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Gardner, Krangeloh & Henning (2013) tentang koping religius, stress, dan kualitas hidup dari mahasiswa muslim di New Zealand, menemukan bahwa kualitas hidup dipengaruhi oleh koping religius. Peneliti pada kesempatan ini ingin mengetahui hubungan antara koping religius dengan kualitas hidup pada warga penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010. 21 B. TUJUAN Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan antara koping religius dengan kualitas hidup warga penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010. C. MANFAAT Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini hendak menambah masukan bagi pengembang psikologi bencana, psikologi kesehatan dan psikologi islami khususnya yang berhubungan dengan kualitas hidup pada korban bencana. Selain itu, dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk mendukung penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Secara praktis koping religius dapat digunakan sebagai salah satu acuan yang dapat dilakukan dalam peningkayan kualitas hidup individu khususnya pada masyarakat yang merupakan korban bencana. Warga yang merupakan korban bencana mempu memulihkan dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan lebih baik dengan melakukan koping religius. Untuk menambah pengetahuan bagi relawan dan petugas rehabilitasi pendamping masyarakat agar dapat menentukan intervensi yang sesuai saat melakukan pendampingan. 22 D. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian dengan tema koping religius, maupun tentang kualitas hidup sudah cukup banyak diteliti diluar maupun di dalam negeri, seperti penelitian yang dilakukan oleh Vinosa (2010) tentang Cognitive Behavior Therapy untuk meningkatkan kualitas hidup pada remaja yang mengalami luka bakar dan post traumatic stress disorder akibat erupsi merapi 2010. Peneliti menggunakan cognitive behavior therapy untuk meningkatkan kualitas hidup pada remaja yang mengalami luka bakar dan post traumatic stress disorder akibat erupsi merapi 2010. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori kualitas hidup dari WHO dan beberapa tokoh lainnya dari penelitian terdahulu dan alat ukur kualitas hidup yang digunakan menggunakan WHOQOL-BREF. Penelitian selanjutnya oleh Astuti (2012) tentang Rational emotive behavioral therapy sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup penderita diaberes mellitus. Penelitian tersebut menggunakan Rational emotive behavioral therapy sebagai variabel yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes millitus. Penelitian yang selanjutnya adalah penelitian tentang koping religius yang dilakukan oleh Octarina (2012) yang berjudul Efektifitas pelatihan koping religius pada perempuan penyintas erupsi Merapi. Topik yang digunakan peneliti adalah koping religius yang digunakan sebagai intervensi trauma, teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah mengacu pada teori dari Pargament. 23 Penelitian yang terahir yakni penelitian oleh Gardner, Kregeloh, & Henning (2013) tentang koping religius, stress, dan kualitas hidup pada mahasiswa muslim si New Zaeland. Teori kualitas hidup yang digunakan dalam penelitian tersebut yakni teori kualitas hidup dari World Health Organization (WHO). Teori koping religius yang digunakan mengacu pada teori dari Pargament. 1. Keaslian Topik Dari beberapa penelitian sebelumnya kualitas hidup dikaitkan dengan beberapa intervensi, sedangkan peneliti disini menggunakan coping religius sebagai variabel yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Vinosa (2010) tentang Cognitive Behavior Therapy untuk meningkatkan kualitas hidup pada remaja yang mengalami luka bakar dan post traumatic stress disorder akibat erupsi merapi 2010. Peneliti menggunakan topik cognitif behavior therapy untuk meningkatkan kualitas hidup pada remaja yang mengalami luka bakar dan post traumatic stress disorder akibat erupsi merapi 2010. Penelitian selanjutnya oleh Astuti (2012) tentang Rational emotive behavioral therapy sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup penderita diaberes mellitus. Penelitian tersebut menggunakan Rational emotive behavioral therapy sebagai variabel yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes millitus. 24 2. Keaslian Teori Teori yang digunakan peneliti tidak jauh berbeda dari penelitian yang telah ada, peneliti menggunakan teori kualitas hidup dari WHO dan dari bebrapa tokoh mengacu pada penelitian sebelumnya, seperti teori yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Vinosa (2010) tentang Cognitif Behavior Therapy untuk meningkatkan kualitas hidup pada remaja yang mengalami luka bakar dan post traumatic stress disorder akibat erupsi merapi 2010. Penelitian tersebut juga menggunakan teori kualitas hidup dari WHO. Teori koping religius yang digunakan juga mengacu dari beberapa penelitian sebelumnya yaitu teori koping religius dari Pargament, seperti penelitian yang dilakukan oleh Octarina (2012) yang berjudul Efektifitas pelatihan koping religius pada perempuan penyintas erupsi Merapi, penelitian tersebut juga berlandasan dengan teori koping religius dari Pargament. 3. Keaslian Subjek Subjek pada penelitian yang dilakukan oleh Vinosa (2010) adalah remaja, dan subjek pada penelitian Octarina (2012) adalah perempuan penyintas erupsi Gunung Merapi 2010. Subjek pada penelitian Gardner ialah mahasiswa muslim di New Zaelan. Subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah warga yang mempunyai pengalaman bencana erupsi gunung Merapi tahun 2010, yang saat ini bertempat tinggal di Hunian Tetap di seputar kecamatan Cangkringan yang berusia diatas 16 tahun. . 25 4. Keaslian Alat Ukur Alat ukur variabel kualitas hidup sama dengan beberapa penelitian sebelumnyai yaitu menggunakan skala dari World Health Organization Quality of Life / WHOQOL-BREF (WhO 1997) . Skala ini terdiri dari 26 soal yang akan di adaptasikan kedalam bahasa Indonesia. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Vinosa (2010) dan Gardner (2013) yakni menggunakan alat ukur WHOQOL-BREF. Alat ukur untuk pengukuran koping religius adalah The Iranian Religious Coping Scale (Aflakseir & Coleman, 2011). Skala ini terdiri dari 22 item pertanyaan yang akan diadaptasi dalam bahasa indonesia. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan Octarina (2012) tidak menggunakan alat ukur untuk mengukur koping religius, karena dalam penelitian tersebut koping religius digunakan sebagai rangkaian pelatihan. Penelitian yang dilakukan Gardner (2013) menggunakan alat ukur koping religius dari Pargament yakni Brief Religious Coping Scale (Brief RCOPE).