1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, pembangunan pertanian memiliki beberapa agenda pokok yang berkenaan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan. Terutama terhadap kelompok petani miskin aktif secara ekonomi, yaitu dengan melakukan pemberdayaan dan pengefektifan jaringan kerja pada sentra produksi pertanian dan pusat-pusat pasar di perkotaan dan daerah lain (Arifin, 2005). Agenda ini merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menyediakan ketercukupan kebutuhan pangan dan gizi di dalam negeri dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, khususnya masyarakat pertanian. Sementara itu, salah satu tujuan pembangunan pertanian adalah mengembangkan aktivitas ekonomi perdesaan melalui pembangunan ekonomi agribisnis dan perusahaan-perusahaan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistis (Fatah, 2006). Ditambahkan lagi bahwa beberapa strategi pembangunan pedesaan yang dilakukan di Indonesia adalah berkenaan dengan peningkatan kesempatan kerja, peningkatan efisiensi, berkesinambungan, keseimbangan/equity, dan pemberdayaan. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan yang dilaksanakan di Indonesia tampaknya kurang mendapat perhatian yang serius. Pembangunan pertanian lebih diarahkan sebagai penunjang dan pendukung pembangunan nasional dan bukan sebagai andalan atau titik berat pembangunan, sebagaimana yang diumumkan secara resmi melalui buku pembangunan nasional jangka panjang (Suryana, 2005). 2 Kekeliruan utama dalam pembangunan pertanian masih mencerminkan kemarjinalan konsep mengenai kelembagaan lokal. Potensi utama sumberdaya ekonomi lokal telah dieksploitasi secara korporatis (dalam bentuk perusahaan dan lembaga ekonomi yang menginduk ke pusat), sehingga kadar keterlibatan masyarakat lokal sangat kecil baik sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Fatah (2006) menambahkan bahwa salah satu penyebab kekurangberhasilan dalam pencapaian pembangunan pertanian dan perdesaan adalah lemahnya pelibatan dalam pemanfaatan organisasi yang telah ada di tengah masyarakat pertanian atau perdesaan itu sendiri. Syahyuti (2007) juga mengungkapkan bahwa kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki jiwa ekonomi yang memadai. Bahkan Chambers (1983) menyebutkan bahwa kesalahan fatal yang dilakukan oleh para profesional adalah adanya bias sebagai outsider, di mana mereka juga tidak percaya bahwa masyarakat lokal (petani) tersebut sebenarnya adalah sumber ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, kekeliruan pandangan tersebut harus dihilangkan dan bahkan sebaliknya segala bentuk ketradisionalan (sosial, adat-budaya) desa dan masyarakat harus diberdayakan guna mencapai tujuan pembangunan pertanian dan perdesaan (Elizabeth, 2007). Menurut Widodo (2008), pembangunan perdesaan dengan perspektif modernisasi berasumsi pada dua kutub yang saling berbeda, yaitu pemerintah dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat perdesaan sebagai posisi inferior (periferi). Perubahan selalu berasal dari pemerintah yang menganggap dirinya lebih maju dibandingkan masyarakat perdesaan. Budaya tradisional dengan nilai-nilai lokal dianggap sebagai salah satu penghambat sehingga perlu 3 digantikan oleh budaya modern yang lebih produktif. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semakin terkikisnya budaya tradisional oleh budaya modern. Masyarakat tradisional pada dasarnya sudah memiliki modal sosial sebagai suatu pola pengaturan kehidupan sosialnya sejak lama. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih cendrung pada pembentukan lembaga kemasyarakatan modern dalam rangka pelaksanaan pembangunan di perdesaan dari pada menggunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada yang umumnya bercorak kultural, agamis dan tradisional. Pada kasus di Bali, disebutkan juga bahwa pembangunan pertanian yang dilaksanakan selama ini kurang menekankan pada local institution endowment (berbasis pada kelembagaan lokal) yang telah ada (Elizabeth dan Iwan, 2009). Kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar di dalam pembangunan pertanian dan tidak dilakukan penguatan social capital masyarakat (Syahyuti, 2007). Hartono (2009) juga menyebutkan bahwa ketidakberdayaan dalam memfungsikan kelembagaan lokal seperti kelompok tani dan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), termasuk subak akan mengakibatkan ketidakberhasilan pengembangan agribisnis di perdesaan. Sahyuti (2007) menambahkan bahwa introduksi kelembagaan dari luar yang kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi masyarakat tidak tumbuh. Lebih lanjut diungkapkan bahwa lemahnya peran kelembagaan pertanian yang ada, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan 4 penyuluhan; belum dapat mewujudkan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri perdesaan. Selain itu, lemahnya kelembagaan ini juga mengakibatkan sistem pertanian berjalan tidak efisien, dan keuntungan yang diterima petani relatif rendah. Bahkan Pranadji (2003) menyebutkan terdapat kerugian yang mahal apabila kreativitas masyarakat perdesaan (lokal) tidak memperoleh ruang untuk dapat berkembang secara layak. Beberapa dampak dari kekeliruan ini adalah lembaga lokal petani di perdesaan tidak berdaya, sehingga petani secara individual melakukan transaksi untuk penyediaan sarana produksi dan pascapanen produksinya. Kondisi selanjutnya mengakibatkan masih rendahnya tingkat pendapatan para petani, termasuk petani anggota subak-subak (organisasi petani pengelola air di lahan sawah) di Bali. Tantangan ke depan adalah terwujudnya kelembagaan subak dengan kearifan lokalnya mampu menjadi organisasi yang bersifat sosio-agrarisreligius yang dapat beradaptasi dengan tuntutan ekonomis anggotanya seiring dengan program-program pembangunan pertanian dan perdesaan. Orientasi ekonomis pada organisasi pengelola irigasi ini telah banyak digagas terutama di dalam menghadap era kesejagatan sehingga para petani anggota subak dapat meningkatkan pendapatannya dan sekaligus mampu mengantsipasi terjadinya penyusutan lahan sawah yang tidak terkendali (Sutawan, 2005; Suamba, 2005; Sedana, 2005; Ambarawati, 2005). Pengembangan kegiatan ekonomis subak merupakan bagian dari maklumat pemerintah yang dituangkan dalam Inpres No. 3 tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI). Salah satunya adalah 5 peningkatan kemampuan P3A untuk dapat memberikan kemudahan dan peluang secara demokratis kepada anggotanya guna membentuk organisasi atau unit usaha ekonomis di tingkat usahatani. Pada beberapa negara sudah diketahui adanya organisasi irigasi yang mampu berperan ganda yakni selain sebagai pengelola irigasi juga mampu mengelola kegiatan berbagai usaha ekonomi seperti terdapat pada beberapa organisasi irigasi di India dan Bangladesh. Adapun kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh organisasi irigasi di Gujarat India, misalnya meliputi: pengadaan sarana produksi pertanian; perkreditan; pemasaran hasil-hasil pertanian; pengolahan pasca panen; dan pemberian pelayanan penyuluhan pertanian (Shah and Shah, 1994). Sutawan, et al., (1991) juga menyebutkan bahwa kegiatan subak sudah mulai dikembangkan menjadi suatu lembaga ekonomis dengan menyelenggarakan penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil secara bersama-sama, seperti di Subak Yeh Embang Kabupaten Jembrana dan Subak Sungsang di Kabupaten Tabanan. Upaya mentransformasikan pertanian tradisional ke arah pertanian modern tidak semata-mata melalui perubahan struktur ekonomi pertanian, namun juga menyangkut perubahan struktur dan pola perilaku sosial masyarakat pedesaan. Salah satunya melalui pemberdayaan kelembagaan oleh masyarakat lokal, sehingga pembangunan pertanian dan pedesaan tidak menimbulkan kesenjangan yang akut (makin melebar) antar golongan masyarakat. Di beberapa wilayah di mana sifat dan naluri partisipasi masyarakat dalam membentuk lembaga seperti kelompok tani sebagai lembaga tradisional dapat diberdayakan dan dimanfaatkan sebagai aset pembangunan 6 untuk dapat hidup dan bertahan tanpa menghancurkan inti budaya yang menjiwainya. Di samping itu, dapat menjadi salah satu potensi yang bisa dikembangkan menjadi lembaga, baik yang adop teknologi maupun berorientasi pasar, serta bermanfaat untuk menampung dan mengembangkan diri petani di pedesaan (Elizabeth, 2007). Zakaria (2009) bahkan secara tegas mengatakan bahwa penguatan kelembagaan kelompok tani adalah merupakan kunci kesejahteraan petani. Kondisi ini dapat terwujud dengan memandang petani lokal adalah seorang rasional yang mampu memproses informasi untuk kepentingan usaha pertaniannya (Scott, 1981). Mengingat semakin kompleks dan besarnya tantangan pembangunan ketahanan pangan mendatang, terutama untuk mencapai kemandirian pangan, maka kelembagaan kelompok tani yang tersebar di seluruh pelosok pedesaan perlu dilakukan pembenahan dan pemberdayaan, sehingga mempunyai keberdayaan dalam melaksanakan usahataninya. Dalam konteks inilah, maka kajian mengenai pengembangan ekonomi pada kelembagaan lokal (subak) yang tetap bernafaskan budayanya sebagai modal sosial perlu dilakukan. Kondisi ini sejalan dengan Elizabeth (2007) yang mengatakan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan lokal dipandang sebagai hal yang urgent dalam program pembangunan pedesaan untuk memperkuat jaringan perekonomian masyarakat pedesaan. Seperti diketahui bahwa di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terdapat cukup banyak nilai-nilai sosial (modal sosial) seperti budaya gotong royong, kelembagaan bagi hasil, berbagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) 7 yang dimiliki semua etnis, yang dapat dikembangkan sebagai bagian dari budaya ekonomi modern. Oleh karena itu dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berkerakyatan, peranan modal sosial menjadi sangat penting diperhatikan (Mawardi, 2007). Di Iran juga telah menunjukkan hasil yang positif, di mana dalam pengembangan program pembangunan perdesaan seperti di Iran menunjukkan bahwa modal sosial petani yang kuat (kepercayaan sosial, solidaritas sosial, dan pertukaran informasi, partisipasi dan kegiatan kolektif) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingginya tingkat adopsi pada program tersebut (Firouzjaie, 2007). Di masa mendatang, sistem subak di Provinsi Bali diarahkan untuk menjadi suatu usaha yang berwawasan agribisnis, yaitu sebagai sistem yang modern, efisien dan tangguh guna mampu sebagai sektor yang dapat diandalkan untuk menyediakan pangan, kesempatan kerja, pendapatan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menghasilkan devisa, sehingga ekonomi Bali bertumpu pada sektor yang lebih beragam. Pembangunan Provinsi Bali dititikberatkan pada sektor pertanian, pariwisata dan industri kecil. Namun hingga kini ekonomi Bali masih sangat bertumpu pada sektor eksternal (ekonomi global) khususnya sektor pariwisata. Hingga saat ini, sektor pariwisata belum dapat dijadikan basis pengembangan ekonomi rakyat dan ternyata rentan terhadap gejolak eksternal maupun internal, seperti saat terjadinya ledakan bom Bali I tahun 2002 dan II tahun 2005. Di sisi lain, sektor pertanian dengan budaya lokalnya masih tetap bertahan selama periode keterpurukan pariwisata Bali. 8 Berkenaan dengan perekonomian di Bali, perkembangan pariwisata yang relatif pesat, dikhawatirkan akan dapat membahayakan keberlanjutan pembangunan sektor pertanian di daerah ini karena dalam aktivitas pertanian melekat kegiatan budaya dan aspek sosial kelembagaan. Oleh karena itu, sektor pertanian perlu dikemas sedemikian rupa agar mempunyai daya tarik bagi pemuda dan menjanjikan masa depan yang lebih baik. Tabanan sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Bali memiliki potensi unggulan dalam bidang pertanian, khususnya penghasil beras dan bahkan dikenal dengan sebutan lumbung berasnya Bali. Di kabupaten ini sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya didominasi oleh bidang pertanian dalam arti luas, khususnya sawah. Luas lahan sawah di Kabupaten Tabanan adalah mencapai 22.562 ha yang tersebar di 10 (sepuluh) kecamatan. Tujuan yang ingin diwujudkan melalui pembangunan pertanian ini adalah semakin tumbuhkembangnya industri pedesaan yang berbasis pertanian sebagai media strategi untuk memacu perekonomian masyarakat desa (petani). Caranya adalah dengan meningkatkan nilai tambah petani melalui industri penanganan dan pengolahan pasca panen guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu subak yang telah memulai melakukan aktivitas agribisnis adalah Subak Guama yang berlokasi di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan sejak tahun 2002. Salah satu unit yang telah terbentuk adalah Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) Subak Guama yang diawali dan diinisiasi oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Bali melalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). 9 Sementara itu, Subak Selanbawak di Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan belum menunjukkan kerberhasilan dalam pengelolaan agribisnis setelah memperoleh bantuan pengembangan dari pemerintah pada tahun 2001, dan juga melalui BLM. Kedua subak tersebut berada pada satu daerah irigasi yaitu Cangi. Di masa depan diperlukan adanya rumusan pengembangan sistem agribisnis yang bersifat melibatkan mayoritas kaum tani sebagai subyek, yang dalam konteks Bali, kaum tani tersebut adalah mereka yang tergabung dalam subak dengan modal sosialnya. 1.2 Rumusan Masalah Subak merupakan suatu organisasi sosio-agraris dan religius atau organisasi bersifat sosio-kultural dalam pengelolaan usahatani di lahan sawah. Seriirng dengan perkembangan teknologi dan ekonomi, subak di masa mendatang juga diharapkan menjadi suatu lembaga yang berperan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi anggotanya dan mendukung perekonomian perdesaan. Berbagai program pembangunan pertanian dilaksanakan melalui kelembagaan subak ini. Subak Guama telah sedang menyelenggarakan kegiatan ekonomis atau agribisnis yang merupakan suatu tuntutan kebutuhan para anggotanya. Suatu program pemerintah dalam pengembangan agribisnis di tingkat subak, keberadaan Subak Guama sangat dibutuhkan yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai lokal atau modal sosial yang dimilikinya. Sejak tahun 2002, kegiatan ekonomis atau agribisnis di tingkat subak masih berajalan secara baik dan bahkan semakin meningkat aktivitasnya, karena adanya kearifan lokal yang masih bertahan yang sekaligus sebagai suatu modal 10 sosialnya. Di sisi lain, kegiatan agribisnis pada Subak Selanbawak belum menunjukkan hasil seperti yang terjadi pada Subak Guama. Transformasi modernisasi dalam aspek pertanian (teknis dan ekonomis) yang dilakukan tidak harus mengesampingkan nilai-nilai atau elemen modal sosial yang telah dimiliki oleh lembaga subak sebagai lembaga lokal. Berdasarkan pada latar belakang di atas, secara umum dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pengaruh modal sosial terhadap kegiatan pengembangan agribisnis di subak?. 2. Bagaimanakah proses pemberdayaan dan penyesuaian kelembagaan dalam pengembangan agribisnis di Subak Guama dan Subak Selanbawak?. 3. Bagaimanakah kekuatan dan kelemahan subak dalam pengembangan agribisnis?. 1.3 Tujuan Penelitian Memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaruh elemen-elemen modal sosial terhadap kegiatan pengembangan agribisnis pada subak; 2. Untuk mengetahui proses pemberdayaan dan penyesuaian kelembagaan dalam pengembangan agribisnis di Subak Guama dan Subak Selanbawak; dan 3. Untuk menjelaskan kekuatan dan kelemahan subak dalam pengembangan agribisnis. 11 1.4 Kebaruan (Novelty) Sejak diketahui awal terbentuknya subak-subak di Bali yaitu pada tahun 1071 (Purwita, 1993), penelitian-penelitian yang berkenaan dengan subak difokuskan pada aspek arkeologi yaitu eksistensi subak dengan berbagai kegiatannya. Diantaranya adalah penemuan-penemuan prasasti yang menggambarkan sistem pertanian, sistem pengelolaan irigasi oleh para petani di Bali dan dikenalnya istilah-istilah yang berhubungan dengan istilah subak. Penelitian mengenai subak selanjutnya berkembang dengan semakin kompleksnya pemanfaatan sumber-sumber air oleh subak-subak di sungai dan intervensi pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum terhadap pembangunan dan pengelolaan irigasi di Bali, yaitu pada sejak Pelita (Pembangunan Lima Tahun) I. Sejak tahun 1983, penelitian mengenai subak dilakukan berkenaan dengan aspek manajemen irigasi, seperti pembentukan wadah koordinasi antar subak (subak-subak yang tercakup dalam satu daerah irigasi) yang kemudian dimunculkan istilah subak-gede, yang dilakukan oleh Sutawan, et al. (Sutawan, et al., 1984). Pendekatan penelitian dilakukan secara ekploratif dengan metode Rapid Rural Appraisal (RRA). Penelitian selanjutnya dikembangkan lagi penelitian aspek manajemen irigasi yang lebih luas yaitu meliputi satu daerah aliran sungai dan bahkan beberapa sungai, yaitu pada tahun 1987-1991. Kondisi ini dilakukan berkenaan dengan semakin langkanya air irigasi di tingkat sumber dan semakin kompleksnya atau tingginya kompetisi pemanfaatan air baik antar subak maupun dengan pihak non-subak. Penelitian ini juga dilakukan oleh Sutawan, et al., (1991) dengan pendekatan yang sama dan dilengkapi dengan 12 Participatory Rural Appraisal (PRA) yang selanjutnya dimunculkan istilah subak-agung, yaitu federasi subak-subak dalam satu aliran sungai atau beberapa sungai. Penelitian mengenai subak selanjutnya dilakukan oleh Sutawan, et al., (1998) yang berkenaan dengan pemberdayaan subak untuk menjadi lembaga yang berorientasi ekonomis. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan PRA yang difokuskan pada penyediaan modal usaha dan pemasaran, yaitu pada tahun 1998-1999. Windia (2002) telah menyelesaikan penelitiannya mengenai Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Tri Hita Karana. Penelitian ini menegaskan bahwa sistem irigasi dapat ditransformasikan (ditransfer dengan berbagai penyesuaian) ke daerah-daerah lain di luar Bali, dimana dengan konsep THK dapat diwujudkan kondisi yang harmoni dan kebersamaan dalam memecahkan masalah-masalah. Pada aspek lainnya, Sumiyati (2011) melakukan penelitian mengenai Transformasi Sistem Subak dan Agrowisata untuk Mendukung Pengembangan Kawasan. Penelitian ini menekankan pada pengelolaan sistem subak yang kompatibel di tengah perkembangan pariwisata Bali dan menentukan potensi sistem subak untuk dikembangkan menjadi kawasan agroekowisata. Memperhatikan berbagai masalah yang dihadapi subak dan tantangan ke depan seiring dengan perkembangan teknologi dan modernisasi, seperti masalah semakin berkurangnya luas lahan sawah untuk kepentingan nonpertanian, dan tantangan peningkatan kesejateraan petani anggota subak, 13 maka penelitian ini berkenaan dengan pengembangan agribisnis pada sistem subak yang berlandaskan modal sosial. Penelitian ini akan memperkaya dan memperkuat penelitian-penilitian subak yang diawali dengan kajian arkeologi, manajemen irigasi, transformasi sistem irigasi subak sehingga subak-subak di masa mendatang tetap eksis tidak hanya pada aspek sosio kultural tetapi menjadi lembaga ekonomis yang dilandasi modal sosial. Saat ini, Subak Guama dan Subak Selanbawak merupakan subak-subak yang berlokasi di Kabupaten Tabanan dan telah menyelenggarakan kegiatan agribisnis. Selain itu, melalui penelitian ini akan diketahui penyesuaian kelembagaan sosio kultural subak yang berorientasi agribisnis. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ganda yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis yang berkenaan dengan pengembangan agribisnis di tingkat subak dan berlandaskan modal sosial. Pada aspek teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Mampu memberikan tambahan kasanah pengetahuan tentang pentingnya modal sosial dalam pengembangan agribisnis di tingkat subak. 2. Dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang memiliki interes terhadap pengembangan subak-subak menjadi lembaga berorientasi agribisnis dengan memperhatikan modal sosial di dalamnya. 14 Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk beberapa hal sebagai berikut. 1. Dapat mengungkapkan pendekatan-pendekatan yang perlu diambil didalam memberdayakan subak sebagai lembaga berorientasi agribisnis. 2. Dapat dirumuskan strategi pengembangan subak berorientasi agribisnis yang berbasis modal sosial. 3. Dapat menjadi bahan masukan dan saran bagi subak-subak serta pengambil kebijakan (pemerintah), khususnya di dalam memberdayakan dan merumuskan penyesuaian kelembagaan subak-subak sebagai lembaga ekonomi dengan tetap memperhatikan local wisdom sebagai bagian dari modal sosial. 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial dalam Pembangunan Pertanian Modal sosial atau social capital memiliki peran yang signifikan terhadap pembangunan, khususnya pembangunan berkelanjutan karena modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi (Flassy, et al., 2009). Modal sosial memiliki peran yang sangat besar dalam pembangunan masyarakat dimana social capital yang kuat akan meningkatkan kepercayaan dan interaksi yang kuat. Modal sosial merupakan suatu sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Modal Sosial menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. Menurut Tonkiss (2000; dalam Syahyuti, 2008) modal sosial dapat memiliki nilai ekonomis apabila mampu membantu individu atau kelompok mendapatkan manusia informasi, untuk mengakses menemukan sumber-sumber pekerjaan, merintis keuangan, usaha dan memiminimalkan biaya traksaksi. Putnam (1995) mengatakan bahwa modal sosial dapat menjadi perekat bagi setiap individu dalam bentuk norma-norma, kepercayaan dan jaringan kerja sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Lebih lanjut dinyatakan bahwa modal sosial atau social capital 16 as features of social organization such as networks, norms, and social tust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit (Harriss dan Renzio, 1997). Social capital is the cumulative capacity of social groups to cooperate and work together for the common good (Montgomery, 1998). Artinya bahwa modal sosial merupakan bagian dari organisasi sosial yang mencakup jaringan, norma dan saling percaya dalam upaya untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama guna mencapai tujuan bersama. Secara umum disebutkan bahwa modal sosial merupakan sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial bukan sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas, yaitu sebagai perekat yang mejaga kesatuan anggota kelompok secara bersamasama. Cox (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma dan kepercayan sosial yang memungkinkan efisiensi dan efektifitas koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama. Fukuyama (1995) lebih menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat nilai-nilai dan normanorma yang tumbuh dan dipatuhi. Dia menyebutkan bahwa hasil-hasil studi di berbagai negara bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan alam jaringan yang lebih luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Modal sosial sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan 17 kemajuan berbagai sektor ekonomi, karena apapun pembangunan ekonomi yang dilakukan, faktor trust, reciprocity, dan nilai-nilai etis merupakan penopang yang akan menentukan perkembangan dan keberlanjutan beragam aktifitas usaha di setiap sektor perekonomian. Subejo (2004) mengatakan bahwa modal sosial menyangkut empat aspek yaitu norms, reciprocity, trust, and network. Dia juga menyebutkan bahwa ke empat elemen tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku kerjasama untuk mencapai hasil yang diinginkan yang mampu mengakomodasi kepentingan individu yang melakukan kerjasama maupun kelompok secara kolektif. Mudarta (2009) secara lebih ringkas mengungkapkan bahwa modal sosial pada dasarnya terdiri kepercayaan (trust), norma (norms) dan jaringan sosial (social networks). Lebih lanjut disebutkan bahwa kepercayaan (trust) dapat membuat dan memungkinkan transaksi-transaksi ekonomi menjadi lebih efisien dengan memberikan kemungkinan bagi pihak-pihak yang terkait untuk bisa (i) mengkases lebih banyak informasi; (ii) memungkinkan mereka untuk saling mengkoordinasikan kegiatan untuk kepentingan bersama; dan (iii) dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan opportunistic behavior melalui transaksi-transaksi yang terjadi berulang-ulang dalam rentang waktu yang panjang. Berdasarkan pada pengertian di atas, modal sosial dapat dipandang dari sisi sosiologis dan ekonomis. Ahli sosiologi cendrung memberikan penekanan pada beberapa hal terhadap modal social sebagai berikut. Social capital is the trust, reciprocity and mutuality that inhere to social relationships. It accumulates to the extent that members of different social 18 groups can maintain respect for differences and learn to cooperate, especially beyond the family and clan. Trust and mutuality in the sociological sense are often identified as a "moral resource (Carrol, 2001). Sementara itu, para ahli ekonomi di sisi lain memberikan interpretasi tentang modal sosial sebagai berikut: Social capital is best understood as the institutional dimension of transactions, markets and contracts. It determines the ways in which reliable, stable relationships and shared information among actors can enhance the effectiveness and efficiency of both collective and individual interests. It is especially relevant to market imperfections where public goods are involved. "Trust" is defined formally as expectation about the actions of others that have a bearing on one's own choice of actions (Carrol, 2001). Kedua pandangan di atas memberikan indikasi bahwa modal sosial sebagai sumber daya moral yang terdapat di dalam suatu hubungan-hubungan sosial pada masyarakat yang mampu meningkatkan efisiensi dan keefektifan proses transaksi, pemasaran dan kotrak-kotrak ekonomis. Modal sosial dibutuhkan guna menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas masyarakat dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikankebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability. Oleh karena itu, modal sosial dipandang sebagai tempat meleburnya kepercayaan masyarakat dan sebagai faktor yang penting bagi kondusivitas ekonomi sebuah negara, yang bersandar pada akar-akar kutural (Fukuyama,1995). Interaksi yang kuat akan melahirkan tindakan alturisme seperti kebersamaan, dan gotong royong. Flassy, et al., (2009) mendefenisikan altruism sebagai tindakan-tindakan kebajikan, yakni tindakan seseorang yang 19 dengan rela mengorbankan sesuatu untuk orang lain. Alturisme ditunjukkan kepada sanak saudara didukung karena sanak saudara memiliki peluang yang tinggi membawa gen-gen yang menentukan sifat tidak egois dari para altruism. Model lain alturism adalah pengorbanan diri yang diturunkan lewat budaya dan lebih bersifat komunal. Oleh karena itu, yang perlu didorong dalam program pemberdayaan adalah timbulnya alturism yang tidak berdasarkan ikatan komunal melainkan berdasarkan ikatan asosiasional dimana kepentingan bersama yang lebih mendorong proses demokrasi, seperti gotong royong dan rembug desa. Interaksi masyarakat hanya dapat diwujudkan jika terbangun saling kepercayaan antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, solidaritas masyarakat hanya dapat dicapai dengan kepercayaan. Saling kepercayaan antara pemerintahan desa, investor, dan masyarakat sipil merupakan kunci utama pembangunan berkelanjutan karena membangun kepercayaan sama halnya dengan membangun organisasi modern. Pengembangan jaringan, sebagai bagian dari unsur modal sosial, jaringan sosial hanya dapat diwujudkan setelah terbangun kepercayaan dan reinternalisasi nilai yang dianut (Flassy, et al., 2009). Hasbulah (2006) menyebutkan bahwa jaringan sosial yang baik memberikan pengaruh yang kuat terhadap partisipasi mereka yang berinteraksi untuk membangun masyarakatnya yang didasarkan pada kesukarelaan. Untuk membangun potensi yang dimiliki masyarakat, jaringan merupakan salah satu kunci utama. Hasil penelitian juga menunjukkan kalau jaringan pelaku ekonomi tumbuh dan berkembang biasanya oleh kekuatan atau 20 pengaruh pelaku ekonomi itu sendiri. Koperasi yang berkembang baik adalah pelaku ekonomi sukarela yaitu Koperasi Persatuan Wanita Jatinangor. Koperasi ini telah dibangun sejak tahun 1968. Namun peranannya dalam pengaturan desa dan kecamatan sangat kecil (Flassy, et al., 2009). Fafchamps dan Minten (1999) dalam penelitiannya mengenai perdagangan komoditas pertanian menyebutkan bahwa social networks enabled traders to reduce transaction cost under a situation of imperfect information and then have higher margins. Kontribusi modal sosial telah nampak dirasakan oleh masyarakat Jatinangor sehingga koperasi yang mereka bentuk sampai saat ini masih berjalan sebagaimana koperasi yang lain. Adapun manfaat social capital adalah: (1) partisipasi individu dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan ketersediaan informasi dengan biaya rendah, (2) partisipasi dan jaringan kerja lokal dan sikap saling percaya akan membuat kelompok lebih mudah untuk mencapai keputusan bersama dan mengimplementasikan dalam kegiatan bersama, (3) memperbaiki jaringan kerja dan sikap mengurangi prilaku tidak baik dari anggota. Sikap yang terbentuk dalam diri akan mendorong untuk terciptanya suatu tindakan terhadap kegiatan bersama (Syahyuti, 2008). Wiriaatmadja (1973), mengartikan sikap mental sebagai kecendrungan untuk bertindak seperti tidak berprasangka terhadap hal-hal yang baru dikenal, ingin bergotong royong dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama, dengan swadaya dan swakarsa. Syahyuti (2008) mengatakan bahwa modal sosial memiliki peran sebagai perekat yang mampu mengikat semua orang di dalam masyarakat, dimana modal sosial ini tumbuh dengan baik karena adanya 21 nilai saling berbagi (shared values) serta pengorganisasian peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama sehingga masyarakat menjadi lebih dari sekedar kumpulan individu belaka. Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan (reiprocity) antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri di dalam masyarakat (Hasbullah, 2006). Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara seketika seperti halnya proses jual-beli, akan tetapi merupakan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Jadi, modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial akan tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya. Di sisi lain, Flassy, et al., (2009) mengatakan bahwa unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust). Atau dapat dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat. Syahyuti (2008) menyebutkan bahwa kehidupan ekonomi sangat bergantung pada ikatan moral kepercayaan sosial yang memperlancar transaksi, memberdayakan kreatifitas perorangan, dan menjadi alasan kepada perlunya 22 aksi kolektif. Lebih tegas disebutkan bahwa modal sosial sesungguhnya adalah modal yang digunakan dalam aktivitas ekonomi sebagaimana modal finansial dan sumber daya alam. Hasil penelitian Kong dan Li (2010) di Cina menunjukkan bahwa adanya saling kepercayaan yang tinggi di antara para petani memberikan kemudahankemudahan dalam memperoleh akses informasi dan mendapatkan kredit usahatani dari koperasi perdesaan. Kepercayaan para petani terhadap pengurusnya organisasinya termasuk koperasi menyangkut karakteristik pengurus yang bersangkutan seperti kompetensinya dan reputasi yang dimilikinya selain hubungan yang dekat dengan di antara mereka (Guo, et al., 2008). Lesser (2000) mengatakan bahwa modal sosial sangat penting bagi komunitas karena : (i) mempermudah akses informasi bagi anggota komunitas; (ii) menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas; (iii) mengembangkan solidaritas; (iv) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas. Woolcock (1998) mengajukan tiga dimensi dari modal sosial, yaitu: bonding, bridging dan linking. Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding social capital) merujuk pada hubungan antar individu yang berada dalam kelompok primer atau lingkungan ketetanggaan yang saling berdekatan. Komunitas-komunitas yang menunjukkan kohesi internal yang kuat akan lebih mudah dan lancar dalam berbagi pengetahuan. 23 Modal sosial yang bersifat menjembatani (bridging social capital) adalah hubungan yang terjalin di antara orang-orang yang berbeda, termasuk pula orang-orang dari komunitas, budaya, atau latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda. Individu-individu dalam komunitas yang mencerminkan dimensi modal sosial yang bersifat menjembatani akan mudah mengumpulkan informasi dan pengetahuan dari lingkungan luar komunitasnya dan tetap memperoleh informasi yang aktual dari luar kelompoknya. Tipe modal sosial ini menunjuk pada hubungan antar individu yang memiliki kekuasaan atau akses pada bisnis dan hubungan sosial melalui kelompok-kelompok sekunder. Modal sosial yang bersifat mengaitkan (linking social capital) memungkinkan individu-individu untuk menggali dan mengelola sumbersumberdaya, ide, informasi, dan pengetahuan dalam suatu komunitas atau kelompok pada level pembentukan dan partisipasi dalam organisasi formal. Aref (2011) dalam penelitiannya pada koperasi tani di Iran menunjukkan bahwa kepercayaan anggota (petani) terhadap koperasi tani tersebut ditentukan oleh kualitas layanan yang diperolehnya. Layanan koperasi yang kurang baik menyebabkan kepercayaan anggota menjadi lemah dan mengakibatkan partisipasinya semakin berkurang atau rendah. Bulu, et al. (2009) menyimpulkan hasil penelitiannya di Nusa Tenggara Barat bahwa modal sosial dalam adopsi inovasi jagung dipengaruhi oleh faktor frekuensi komunikasi inovasi, intensitas komunikasi inovasi, motivasi kerja, sikap petani, nilai manfaat ekonomi inovasi, ketersediaan pasar, dan tingkat adopsi inovasi. 24 Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi inovasi jagung adalah modal sosial, akses informasi inovasi, ketersediaan inovasi, dan ketersediaan pasar. Dalam proses adopsi inovasi jagung diketahui bahwa keterdedahan petani terhadap informasi inovasi, modal manusia, dan promosi inovasi adalah bekerja melalui modal sosial. Modal sosial merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan adopsi inovasi jagung, sehingga sangat perlu untuk melakukan revitalisasi modal sosial. Pada pengelolaan agroekosistem lahan kering di Kabupaten Gunung Kidul menunjukkan bahwa terdapat beberapa kekuatan modal sosial yang berperan dalam pengelolaan tersebut, di antaranya adalah kepemimpinan, solidaritas, gotong royong, manajemen sosial dan jaringan kerja (Pranaji, 2006). Hasil penelitian Alfiasari, et al., (2009) mengenai korelasi antara modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi keluarga miskin anggota kelompok UEKSP KUBE Gakin di Bogor menunjukkan bahwa variabel kepercayaan, norma dan jaringan kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan peningkatan kesejahteraan. Mudarta (2009) mencoba untuk mendorong adanya rumusan pengembangan agribisnis yang berbasis komunitas dan harus dipahami sebagai proses interaksi sosial dan proses kerja yang teraktualisasi tiga jenis modal yaitu modal alamiah, modal ekonomi dan modal sosial. Bahkan Syahyuti (2008) mengatakan bahwa modal sosial menjadi suatu tulang punggung sistem perdagangan hasil pertanian karena memiliki peranan yang nyata dalam kondisi kelembagaan pasar yang lemah. Modal sosial dapat menjadi sumber kredit ketika kredit formal tidak bisa diakses. 25 Memperhatikan berbagai pengertian dan hasil-hasil penelitian seperti disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa modal sosial merupakan suatu jaringan kerjasama di antara warga masyarakat untuk mencari dan memperoleh solusi dari permasalahan yang mereka hadapi bersama, yang didasarkan atas rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikatnya. Dengan demikian, modal sosial dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan termasuk pembangunan pedesaan dan pertanian. Hasil penelitian terhadap modal sosial dan rantai pemasaran sapi di Bali dan Lombok menunjukkan bahwa kelompok-kelompok petani memiliki kepercayaan yang tinggi di antara para anggotanya dan juga kepada pemimpinnya memberikan pengaruh positif terhadap rantai pemasarannya (Patrick, et al., 2010). Berdasarkan pada beberapa teori yang disebutkan di atas, dalam penelitian ini modal sosial yang dimaksudkan adalah sumber daya yang terdapat di dalam organisasi sosial (subak) yang mencakup tiga elemen utama yaitu kepercayaan, norma sosial dan jaringan sosial. Ketiga elemen ini dapat memberikan pengaruh terhadap pecapaian tujuan bersama melalui koordinasi dan aktivitas kolektif yaitu kegiatan usaha agribisnis. . 2.2 Pembangunan Pertanian dan Agribisnis Fatah (2006) menyebutkan bahwa pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi dan memiliki arti sebagai suatu proses yang ditujukan untuk selalu menambah produksi pertanian, produktivitas usahatani dan sekaligus meningkatkan pendapatan para petani melalui penambahan 26 modal usahatani, keterampilan teknis dalam mengelola usahataninya (tumbuhan dan hewan). Dalam periode 2005-2009, pembangunan pertanian diarahkan untuk mencapai visi, yaitu terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani. Di Indonesia, pembangunan pertanian hakekatnya merupakan integral dari pembangunan ekonomi, sehingga di dalam pembangunan suatu wilayah tertentu tidak dapat dikesampingkan pembangunan pertanian itu sendiri. Menurut Mubyarto (1995) sektor pertanian memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian nasional. Kondisi ini diindikasikan adanya mayoritas penduduk Indonesia hidup di perdesaan dengan pertanian sebagai sumber utama pendapatan masyarakatnya, yaitu sebagai petani. Oleh karena itu, pembangunan pertanian selalu berhubungan atau tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan perdesaan itu sendiri, baik yang menyangkut aspek transfer teknologi, tenaga kerja perdesaan, pertumbuhan kelembagaan perdesaan, peningkatan produktivitas, urbanisasi dan lain sebagainya. Banyak ahli menyebutkan bahwa pertanian memiliki beberapa peranan yang penting dalam kaitannya dengan sektor lainnya, seperti industri (Delgado, et al., 1994; Johnson dan Mellor, 1961; dan Timmer, 1992: dalam Fatah, 2006). Posisi pertanian akan sangat dan semakin strategis jika dilakukan perubahan pola pikir masyarakat yang awalnya cenderung memandang pertanian hanya sebagai penghasil (output) komoditas menjadi pola pikir yang melihat multi-fungsi dari pertanian, misalnya melalui pengembangan agribisnis. 27 Sistem agribisnis mengedepankan sistem budaya, organisasi dan manajemen yang amat rasional dan dirancang untuk memperoleh nilai tambah yang dapat disebar dan dinikmati oleh seluruh pelaku ekonomi secara fair, dari petani produsen, pedagang dan konsumen (Arifin, 2004). Soetriono, et al., (2006) mengatakan bahwa sistem agribisnis secara konsepsional dapat diartikan sebagai semua aktivitas mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai kepada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh usahatani dan agroindustri yang saling terkait satu sama lain. Suparta (2005) mengatakan bahwa agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Agribisnis merupakan suatu keseluruhan aktivitas bisnis di bidang pertanian yang saling terkait dan saling tergantung satu sama lain, mulai dari : (i) sub-sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi; (ii) sub-sistem usahatani; (iii) sub-sistem pengolahan dan penyimpanan hasil (agroindustri); (iv) sub-sistem pemasaran; dan (v) subsistem penunjang, yang meliputi lembaga keuangan, transportasi, penyuluhan, pelayanan informasi agribisnis, penelitian, kebijakan pemerintah dan asuransi agribisnis (lihat Gambar 1.1). Beberapa tujuan agribisnis di Indonesia adalah untuk menarik dan mendorong sektor pertanian; menciptakan struktur perekonomian yang tangguh, efisien dan fleksibel; menciptakan nilai tambah; meningkatkan penerimaan devisa, menciptakan lapangan kerja; dan memperbaiki pembagian atau distribusi pendapatan (Arifin, 2004). Menurut Said dan Harizt (2004) dan 28 Subsistem Agribisnis Hulu Industri perbenihan/ pembibitan (tanaman dan ternak), Industri agrokimia, Industri agrootomotif, Subsistem Usahatani Subsistem Pengolahan Usaha tanaman pangan dan hortikultura, Industri makanan dna minuman, Distribusi, promosi, Industri rokok, Industri barang serat alam, Informasi pasar, inteligen pasar, Usaha tanaman perkebunan, Usaha peternakan, perikanan, Industri biofarmaka, Industri agrowisata, dsb Subsistem Jasa/Penunjang agribisnis Perkreditan dan asuransi, Penelitian dan pengembangan, Pendidikan dan penyuluhan, Transportasi dan pergudangan, Kebijakan pemerintah (mikro dan makro ekonomi, termasuk tata ruang), Gambar 1.1 Lingkup pengembangan sistem agribisnis Subsistem Pemasaran 29 Tjakrawerdaya (1996; dalam Siagian, 2003) bahwa agribisnis adalah keseluruhan operasi yang terkait dengan aktivitas untuk menghasilkan dan mendistribusikan input produksi, produksi usahatani, dan pengolahan serta pemasaran. Sehubungan dengan pengembangan agribisnis, diperlukan adanya perencanaan yang terpadu, berkelanjutan dan diimbangi dengan penyediaan pembiayaannya guna semakin memperkuat posisi sektor pertanian dalam pembangunan perdesaan, regional dan nasional (Ashari, 2009). Simatupang (2002) memandang bahwa sifat farming is a business dimana usahatani sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis off-farm seperti sistem pemasaran input dan output, pasar input dan output internasional, nilai tukar rupiah, kebijakan perbankan, dan sebagainya. Sadjad (2000) mengemukakan bahwa program pemberdayaan petani yang dilakukan hingga saat ini secara ekonomi masih on farm centralism. Secara tegas dia mengatakan bahwa pemberdayaan organisasi masyarakat harus lebih diarahkan guna membangkitkan rekayasa agribisnis untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani dan perdesaan. Oleh karena itu, integrasi antara subsistem hilir dan hulu harus sangat kuat di dalam pengembangan pembangunan pertanian yang berorientasi agribisnis. Sementara itu, Mubyarto dan Awan (2003) mengkritisi pengembangan konsep sistem agribisnis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak dapat menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu, pemikiran sistem 30 agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya dipertanyakan kembali. Lebih lanjut disebutkan bahwa pengembangan agribisnis pada kelompok masyarakat tetentu perlu dikaji kesesuaiannya berdasarkan pada sistem nilai, sosial budaya, dan ideologi kelompok tersebut. Nilai-nilai dan falsafah tersebut merupakan bagian dari modal sosial yang perlu diperhatikan dalam pengembangan agribisnis. Oleh karena itu, pertanian adalah suatu budaya kehidupan dan juga sebagai way of life bagi petani kecil di Indonesia. Wibowo (2008) lebih menekankan pada aspek kelembagaan dan tidak semata-mata aspek ekonomis dalam memandang pengembangan agribisnis, seperti pernyataannya sebagai berikut. ” Jika disepakati bahwa agribisnis adalah cara pandang baru (a new paradigm) dalam membangun dan mengembangkan pertanian sesuai dengan hakekat tujuan dasarnya (meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani) dengan memperhatikan potret petani dan pertanian di Indonesia yang sangat dualistik saat ini, maka hal utama yang secara teoritis dibutuhkan adalah upaya kelembagaan (institutional building) yang akan memampukan dan memberikan landasan kondusif (enabling) bagi berkembangnya kehidupan petani dan pertanian masa depan. Upaya kelembagaan tersebut harus dipandang sebagai suatu prasyarat keharusan (necessary condition) bagi suatu rekonstruksi dan restrukturisasi ekonomi (pertanian) secara menyeluruh. Sementara itu, Korten (1987) mengungkapkan bahwa pilihan pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi bukan saja telah mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan sosial tetapi juga menimbulkan berbagai persoalan lain seperti timbulnya ketidakpedulian sosial, erosi ikatan kekeluargaan dan kekerabatan, lebih dari itu pendekatan pembangunan tersebut telah menyebabkan ketergantungan masyarakat pada 31 birokrasi-birokrasi sentralistik yang memiliki daya absorsi sumber daya yang sangat besar, namun tidak memiliki kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan lokal, dan secara sistematis telah mematikan inisiatif masyarakat lokal untuk memecahkan masalah-masalan yang mereka hadapi. Yusdja, et al., (2004) menyebutkan bahwa jika para petani dapat melakukan kerjasama dalam bentuk manajemen usaha bersama maka akan tersedia peluang untuk meningkatkan keuntungan dibandingkan jika mereka melakukannya secara ndividual. Sedikitnya ada empat faktor yang dapat saling dipertukarkan oleh petani yaitu teknologi, keahlian manajemen, kemampuan daya kerja petani dan modal usahatani. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan produksi di lahan sawah sebesar 5-10 %, peningkatan pendapatan sebesar 18-30% dan peningkatan kesempatan kerja sebesar 20-30% di Desa Sampalan Kabupaten Karawang, dan Desa Rajasinga di Kabupaten Indramayu. Gany (2001) mengatakan bahwa secara operasional diperlukan adanya konsep humanisasi pembangunan pertanian di pedesaan. Konsep ini merupakan suatu konsep yang lebih mengedepankan pengembangan dan revitalisasi sumberdaya manusia (SDM) pedesaan, sehingga terjadi apa yang disebut local empowerment dan peningkatan local capacity. Lebih lanjut disebutkan bahwa secara empirik, konsep ini teruji seperti di Jepang, Korea dan Malaysia. Dalam konteks pembangunan pedesaan, revitalisasi SDM pedesaan diyakini akan mampu meningkatkan daya kompetisi global masyakarat desa dalam menyongsong globalisasi perdagangan. Tanpa revitalisasi SDM pedesaan, sangat sulit membayangkan bagaimana pelaku pembangunan pedesaan di 32 tingkat bawah mengelola sumberdaya alam yang mereka miliki secara lebih ekonomis dan berkelanjutan. Beberapa faktor yang mendukung prospek pengembangan agribisnis di Indonesia adalah (i) pertumbuhan penduduk dan permintaan pangan yang menjadi peluang pasar bagi pelaku agribisnis; (ii) peningkatan pendapatan masyarakat yang dapat meningkatkan kebutuhan pangan baik dari aspek kualitas maupun jenis; dan (iii) perkembangan agribisnis dapat meningkatkan pendapatan petani dan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. 2.3 Kelembagaan Subak dalam Pengelolaan Agribisnis Menurut Peraturan Daerah Provinsi Tingkat I Bali Nomor: 2/DPRD/1972 tentang Irigási Daerah disebutkan bahwa subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-agraris religius yang secara historis didirikan sejak dulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain persawahan dari suatu sumber di dalam suatu daerah. Sutawan, et al., (1989) mengatakan bahwa subak sebagai sistem irigasi merupakan organisasi petani pengelola air yang mendistribusikan dan mengalokasikan irigasi pada usahatani lahan basah yang memiliki satu sumber air, memiliki satu atau lebih pura, memiliki hak otonomi untuk mengatur organisasinya sendiri serta memiliki berbagai aturan yang dibuat bersama dan diataati bersama oleh semua anggotanya. Lebih lanjut, disebutkan juga bahwa 33 terdapat beberapa fungsi subak, yaitu (i) mendistribusikan dan mengalokasikan air irigasi; (ii) operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi; (iii) mobilisasi sumber daya; (iv) penanganan konflik yang dihadapi subak; dan (v) menyelenggarakan kegiatan ritual/keagamaan. Lebih lanjut Sutawan (2005; dalam Pitana dan Setiawan, 2005) mengungkapkan bahwa subak merupakan suatu sistem irigasi yang dikelola petani secara swadaya untuk tanaman semusim khususnya padi dan memiliki beberapa elemen yang saling terkait. Elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut: (i) organisasi pengelola air irigasi; (ii) jaringan irigasi/sarana dan prasarana irigasi; (iii) produksi pangan; (iv) ekosistem lahan sawah beririgasi; dan (v) ritual keagamaan yang berkenaan dengan budidaya tanaman padi. Ambler (1990) juga menyebutkan bahwa organisasi pengelola air irigasi termasuk subak bukanlah merupakan sekedar organisasi yang mengelola aspek teknis semata tetapi lebih sarat pada aspek sosial-budaya. Rachman (2009) mengungkapkan bahwa dalam upaya untuk menciptakan pengelolaan sumber daya air yang efisien dan merata dalam pengalokasiannya, diperlukan adanya penyesuaian kelembagaan baik untuk kelembagaan pemerintah, swasta maupun petani. Di Tingkat petani, misalnya, diperlukan upaya untuk mengembangkan kapasitas asosiasi pemakai air menjadi suatu organisasi yang mampu berperan ganda, yaitu tidak semata-mata sebagai pengelola sistem irigasi, tetapi juga mampu sebagai pengelola usaha ekonomis. Subak rupanya memang memiliki potensi yang cukup memadai untuk menjadi lembaga yang tangguh (viable) seperti terlihat dari hal-hal berikut. 34 1. Organisasi yang relatif mantap seperti adanya struktur yang jelas, kepengurusan yang jelas wewenang dan tanggung jawabnya, dilengkapi dengan awig-awig (peraturan-peraturan) dengan berbagai sanksinya. 2. Setiap anggota subak berhak melakukan pengawasan dan monitoring terhadap siapa saja termasuk pengurusnya dalam menerapkan peraturan yang telah disepakati bersama. 3. Semangat gotong-royong yang tinggi dalam melakukan kegiatan-kegiatan persubakan terutama dalam pemeliharaan jaringan fisik dan kegiatan ritual subak. 4. Ritual subak merupakan unsur pemersatu para anggotanya sehingga subak menjadi organisasi yang kuat dan tangguh. 5. Subak memiliki batas wilayah yang jelas dan berdasarkan prinsip hidrologis bukan atas dasar kesatuan administratif. 6. Subak mempunyai landasan filosofis Tri Hita Karana yang menekankan pada keseimbangan keharmonisan antara dan keharmonisan manusia dengan yakni keseimbangan sesamanya, dengan dam alam lingkungannya dan dengan Tuhan Yang Mahaesa sebagai pencipta segala yang ada di alam semesta ini. Ini berarti bahwa subak memiliki potensi yang sangat besar untuk berperanan sebagai pengelola sumberdaya alam guna mendukung pembangunan berkelanjutan. 7. Subak memiliki mekanisme penanganan konflik yang timbul di kalangan anggotanya maupun antara anggota subak yang bersangkutan dengan anggota dari subak lain. 35 8. Awig-awig dapat diubah dan disesuaikan menurut keadaan yang selalu berubah berdasarkan kesepakatan seluruh anggota subak. 9. Penggalian dana sebagai salah satu fungsi penting dari subak untuk membiayai perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi serta untuk keperluan penyelenggaraan ritual. Banyak subak telah menunjukkan kemampuannya menggali dana dengan berbagai cara seperti melalui usaha simpan pinjam, pengumpulan denda, pemungutan iuran dari anggota, menyewakan areal persawahan subak untuk pengembalaan itik, dll (Sutawan, et al.,1995). Sutawan (2005; dalam Pitana dan Setiawan, 2005) mengatakan bahwa sistem subak memiliki peran dan fungsi yang beragam (multi-functional roles), yang tidak semata-mata untuk menghasilkan pangan. Beberapa fungsi subak dengan lahan sawah beririgasi tersebut adalah: 1. fungsi produksi dan ekonomi guna menjamin ketahanan pangan; 2. fungsi lingkungan yang mencakup pengendalian banjir, pengendalian erosi, pengisian kembali air tanah (ground wáter recharge), purifikasi udara dan air serta pemberi hawa sejuk; 3. fungsi ekologi (hábitat berbagai jenis spesies yang memberi sumber protein bagi petani dan sangat pening bagi terpeliharanya keanekaragaman hayati; 4. fungsi sosial budaya, yaitu penyangga tradisi dan nilai-nilai sosial budaya perdesaan; 36 5. fungsi pembangunan perdesaan, yaitu sumber air minum untuk ternak, cuci dan mandi bagi penduduk desa, menyediakan kesempatan kerja bagi penduduk desa; dan 6. fungsi ekowisata dan agrowisata karena adanya daya tarik keindahan pemandangan berupa sawah teras dan alam perdesaan serta kehidupan masyarakat perdesaan dan pertanian yang dilengkapi dengan kekayaan tradisinya termasuk keanekaragaman produksi pertaniannya. Sebagai suatu organisasi subak setidaknya dapat memainkan beberapa fungsi penting (Bosc, et al., 2001), di antaranya adalah : (i) fungsi ekonomis, yaitu penyediaan input, produksi, pemasaran produk-produk; (ii) fungsi sosial, seperti pendidikan, budaya, air minum, kesehatan; (iii) fungsi tukar menukar informasi dan pengalaman; dan (iv) fungsi koordinasi. Rachman (2009) menyebutkan bahwa P3A yang berkelanjutan memerlukan penyesuaian kelembagaan untuk dapat berfungsi ekonomis. Kuswanto (1977) mengungkapkan bahwa organisasi pengelola air irigasi (subak) dipandang dari fungsi dan keuntungannya agar tetap mempertahankan kompetitifnya sifat sosialnya di dalam mengahadapi isu semakin pengelolaan sumber daya air dewasa ini. Beberapa pertimbangannya adalah sebagai berikut: (i) pemilikan hak guna atas air dan jaringan irigasi oleh subak sebagai perkumpulan petani pengelola air (P3A) bersifat kolektif; dan (ii) P3A dapat berfungsi sebagai instrumen untuk menciptakan dan menjaga pemerataan ekonomi di kalangan petani anggota. 37 Salah satu hasil yang kurang memuaskan akibat tidak memanfaatkan lembaga sejenis subak dalam kegiatan ekonomis adalah seperti yang ditemukan oleh Wardoyo dan Prabowo (2007). Hasil studinya menyebutkan bahwa introduksi kelembagaan baru di sektor pertanian, khususnya untuk usahatani padi, yaitu melalui dana talangan Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) yang diharapkan untuk membantu petani dalam pemasaran gabahnya ternyata belum memberikan hasil yang optimal. Koperasi Unit Desa (KUD) masih saja belum mampu menjalankan fungsinya secara tepat, yaitu pembelian gabah petani dengan alasan terlambatnya dana talangannya sehingga belum terjadi peningkatan penerimaan petani. Aref (2011) menjelaskan bahwa koperasi pertanian merupakan salah satu organisasi sosial ekonomi pada masyarakat perdesaan di Iran. Koperasi ini dapat memiliki fungsi penyediaan input pertanian seperti benih, pupuk dan pemasaran produk. 2.4 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Tani Soekartawi (1995) mengatakan bahwa salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam paradigma pembangunan pertanian di masa mendatang adalah adanya pergeseran pendekatan yaitu dari dominansi peran pemerintah menuju peran masyarakat yang lebih besar, yang dikenal dengan pendekatan partisipatif. Masyarakat yang dikenal tidak berdaya perlu untuk dibuat berdaya dengan menggunakan berbagai model pemberdayaan. Dengan proses pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat. 38 Istilah pemberdayaan (empowerment) adalah berasal dari kata empower yang berarti: “to invest with power, especially legal power or officially authority”, atau “... taking control over their lives, setting their own agendas, gaining skill, building self-confidence, solving problems and developing selfreliance” (Syahyuti, 2007). Selanjutnya Syahyuti (2007) mengatakan bahwa terdapat dua prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu (i) mampu menciptakan kesempatan atau peluang bagi masyarakat yang diberdayakan untuk dapat mengembangkan dirinya secara mandiri dan sesuai dengan cara yang dipilihnya sendiri; dan (ii) mampu mengupayakan masyarakat agar mereka dapat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan atau peluang yang telah tercipta tersebut. Sedangkan Wallerstein (1992) mendefinisikan pemberdayaan sebagai berikut: “empowerment as a "social action process that promotes the participation of people, organizations, and communities toward the goals of increased individual and community control, political efficacy, improved quality of community life, and social justice." Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat people-centered, participatory, empowering, and sustainable (Chambers, 1995). Proses pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya sendiri dengan menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin. Proses tersebut menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat 39 pengembangan yang dikenal dengan sebutan people or community centered development (Delivery, 2004). Lebih lanjut disebutkan juga bahwa esensi kunci dalam upaya pemberdayaan masyarakat bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Secara tegas Elizabeth (2007) mengatakan bahwa pembangunan pertanian di pedesaan akan dapat mencapai keberhasilannya jika segala bentuk ketradisionalan (sosial, adat-budaya) desa dan masyarakat diberdayakan. Penggunaan istilah pemberdayaan lebih terkait dengan penguatan terhadap ketidakberdayaan masyarakat (misalnya, kemiskinan). Masyarakat diberdayakan dengan memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal agar menjadi subyek dalam pembangunan, mandiri, mampu menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan semangat kepercayaan diri masyarakat setempat. Berdasarkan pada pengertian di atas, dapat diungkapkan bahwa pemberdayaan khususnya pada masyarakat tani dapat dimaknai suatu upaya yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung pengembangan potensi masyarakat tani, mendinamisasi dan memperkuat modal (potensi) sosialnya guna peningkatan kualitas hidupnya. Zakaria (2009) mengatakan bahwa pemberdayaan kelompok tani merupakan suatu rangkaian upaya yang sistematis, konsisten dan berkelanjutan untuk meningkatkan adaptasi dan inovasi petani guna mampu memanfaatkan teknologi secara 40 optimal dalam bingkai aturan main yang telah ada untuk terwujudnya tujuan bersama. Kartasasmita (1997) mengatakan bahwa dalam pemberdayaan masyarakat berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh masyarakat tani itu sendiri. Primahendra (2000) selanjutnya menegaskan terdapat lima jurus pemberdayaan dalam pembangunan pertanian berkenaan yang memiliki cakupan luas baik di tingkat mikro, makro dan global. Kelima jurus tersebut adalah: 1. penguatan sumber daya petani secara langsung, dengan para petani sendiri sebagai subyek dan motor penggerak kemajuan mereka sendiri dengan fasilitas dari kelembagaan atau organisasi kemasyarakatan yang ada; 2. pengembangan kelembagaan dan organisasi kemasyarakatan yang secara langsung memberdayakan petani; 3. pengembangan teknologi tepat guna bagi pemberdayaan petani; 4. penciptaan iklim kondusif keberdayaan petani; dan 5. pengembangan kerjasama global. yang memungkinkan berkembangnya 41 Dalam studinya di Lampung, Zakaria (2009) menekankan pada aspek ekonomis dalam pemberdayaan kelembagaan/organisasi petani. Salah satu komponen yang diangkatnya adalah adanya daya saing produk pertanian (ubi kayu) akan mendorong efisiensi produksi yang dihasilkan guna memperoleh keuntungan usahatani dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraannya. Bulu, et al., (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa pemberdayaan melalui penguatan modal sosial (jaringan kerjasama, saling percaya dan norma-norma sosial) memiliki pengaruh terhadap partisipasi petani dalam mengadopsi inovasi jagung di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Modal sosial mereka dipandang sebagai wujud keteraturan di dalam bekerja sama yang saling menguntungkan. Pada dasarnya, partisipasi merupakan kunci utama dalam menjalin rasa saling memahami, keterlibatan dalam implementasi kegiatan kolektif, dan kekuatan dalam membangkitkan pemberdayaan. Oleh karena itu, partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan (Widodo, 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari pembangunan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses pembangunan sosial. Sementara itu, Syahyuti (2007) menyebutkan terdapat tiga alasan masyarakat berpartisipasi dalam suatu aktivitas, yaitu: (i) partispasi masyarakat sebagai suatu alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat karena tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; (ii) masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau 42 program pembangunan apabila merasa dilibatkan mulai dari tahap awal, yaitu proses persiapan dan perencanaannya untuk mewujudkan rasa memiliki (sense of belonging) dan tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap poyek tersebut; dan (iii) partisipasi merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Pendekatan partisipatif dalam program pembangunan seperti pembangunan pertanian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengetahuan petani dalam adopsi inovasi jagung di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (Bulu, et al., 2009). Tingkat pengetahuan petani mempengaruhi petani dalam mengadopsi teknologi baru dan kelanggengan usahataninya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa dalam mengadopsi pembaharuan atau perubahan, petani memerlukan pengetahuan mengenai aspek teoritis dan pengetahuan praktis. Sebagai salah satu apek dari prilaku, pengetahuan merupakan suatu kemampuan individu (petani) untuk mengingatingat segala materi yang dipelajari dan kemampuan untuk mengembangkan intelegensi (Soedijanto, 1978). Elizabeth (2007) juga menandaskan bahwa pendekatan partisipatif ini adalah untuk mengatasi pendekatan dari atas/sentralistik (top down approach) yang kurang berhasil. Selama tiga dekade terakhir telah memarjinalkan arti masyarakat lokal dan memandulkan inisiatif mereka serta menjauhkan dari sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka. Keberhasilan pembangunan dalam masyarakat tidak selalu ditentukan oleh tersedianya sumber dana keuangan dan manajemen keuangan, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh peran serta dan respon masyarakat dalam 43 pembangunan, atau dapat disebut sebagai partisipasi masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan diperlukan kepemimpinan lokal yang cakap, berwibawa dan diterima oleh masyarakat (capable and acceptable local leadership) yang mampu mensinergiskan tradisi sosial budaya dengan proses pembangunan modern (Zamhariri, 2008). Supadi (2008) mengemukakan bahwa untuk menggalang partisipasi petani dalam upaya meningkatkan produksinya dilakukan melalui pemberian bantuan fasilitas penguatan modal, pelatihan dan pembinaan agar petani mau bekerja sama dan mampu menerapkan teknologi anjuran, serta penerapan kebijakan yang melindungi petani. Partisipasi petani merupakan penentu keberhasilan pengembangan usahatani kedelai. Dengan kata lain, keberhasilan pengembangan usahatani kedelai di suatu daerah merupakan penjelmaan dari partisipasi petani. Pendekatan partisipasi ini belum menunjukkan adanya pemanfaatan lembaga petani/kelompok petani sebagai mediumnya. Hasil penelitian Teuku (2010) menunjukkan bahwa diperlukan untuk penguatan modal sosial di dalam pembangunan agar menjadi lebih berhasil dan berkelanjutan. Modal sosial masyarakat mendorong terwujudnya partisipasi dan selanjutnya mempengaruhi pembanguan desa menjadi kampung hijau. Selain modal sosial, ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi terwujudnya kampung menjadi hijau, seperti kondisi fisik lingkungan, manajemen pembangunan dan kepemimpinan lokal. LPTP Koya Barat, Irian Jaya telah melaksanakan pengkajian teknologi pertanian dengan yang berawal dan berakhir pada petani. Partisipasi petani 44 merupakan aspek yang sangat penting di dalam pelaksanaan pengkajian tersebut. Disebutkan bahwa, partisipasi petani diyakini memberikan manfaat terhadap beberapa hal, yaitu: (i) menjadikan petani sebagai penerima pertama teknologi yang akan dikembangkan; (ii) membuka kesempatan bagi petani untuk belajar memahami teknologi yang dikembangkan; (iii) meningkatkan rasa percaya diri petani; dan (iv) mendorong partisipasi petani sebagai pelaku pembangunan pertanian (Anon., 2000). Pada intinya, partisipasi masyarakat perdesaan merupakan kebutuhan dalam mencapai keberlanjutan program pembangunan baik pertanian maupun perdesaan. Di Swaziland, Afrika para petani memiliki partisipasi yang tinggi dalam kegiatan usaha agribisnis yang diselenggarakan oleh koperasi pertanian yang dibentuknya. Kondisi ini disebabkan karena adanya jaminan layanan penyediaan sarana produksi pertanian dan kemudahan kredit yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan tanamannya (Mavimbela, et al., 2010). Untuk memungkinkan partisipasi petani kecil dalam proses penetapan sasaran pembangunan perlu adanya wadah yang dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining power) mereka. Hal ini tidak mungkin dilakukan secara individu tetapi harus melalui kekuatan bersama yang terorganisir secara baik. Kelompok tani merupakan salah wadah ideal untuk menyatukan kekuatan bersama petani yang dapat digunakan untuk meningkatkan posisi tawar mereka (Silviyanti, 2008). Penelitian di provinsi Gansu (Cina) mengenai pengembangan koperasi tani menunjukkan bahwa kesuksesan dan keberlanjutannya sangat ditentukan 45 oleh partisipasi anggotanya dan adanya kepercayaan yang kuat antara anggota dengan pengurusnya, yaitu dari aspek kepemimpinannya, serta adanya sharing pengetahuan dan proses interaksi dalam jaringan sosial di tingkat internal (Garnevska, et al., 2011; Mishra, et al., 2004). Karli, et al., (2006) juga menjelaskan bahwa partisipasi anggota koperasi tani di Turki memiliki hubungan yang erat dengan layanan penyediaan sarana produksi dan kredit selain intesitas interaksi melalui komunikasi di antara para anggota dan juga dengan pengurusnya. Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa koperasi pertanian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa lemahnya partisipasi anggota terhadap koperasinya dipengaruhi oleh rendahnya tingkat layanan penyediaan input pertanian, kredit usahatani, kepercayaan anggota terhadap pengurusnya, ketidaktahuan anggota terhadap program koperasi (Ortmann dan King, 2007). Lebih lanjut disimpulkan juga bahwa kesuksesan koperasi pertanian ditentukan oleh kapasitas kepemimpinan, pengetahuan anggota yang tinggi, kepercayaan anggota kepada pengurus, sikap dan persepsi anggota yang positif terhadap layanan koperasi, interaksi yang intensif antara anggota dengan pengurus serta penerapan aturan-aturan. 46 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN Salah satu tujuan pembangunan pertanian adalah mengembangkan aktivitas ekonomi perdesaan melalui pengembangan agribisnis. Di Bali, pembangunan pertanian dan perdesaan dilakukan melalui suatu wadah yaitu subak. Di masa mendatang, tantangan yang dihadapi adalah terwujudnya kelembagaan subak dengan kearifan lokalnya mampu menjadikan organisasi yang bersifat sosio-agraris-religius dapat beradaptasi dengan tuntutan ekonomis anggotanya seiring dengan program-program pembangunan pertanian dan perdesaan. Oleh karena itu, subak dapat dikembangkan menjadi organisasi yang tidak saja berorientasi pada pengelolaan irigasi tetapi juga pada agribisnis dengan tetap berlandaskan pada kearifan lokal sebagai bagian dari modal sosialnya. Pendekatan dengan pengembangan budaya modern dan tradisional dapat disinergikan dalam pengembangan agribisnis di subak melalui berbagai proses pemberdayaan subak. Dalam aspek modernisasi, pengembangan subak dilakukan dengan introduksi berbagai teknologi baik pada aspek sarana produksi, alat-alat dan mesin pertanian, budidaya serta pascapanen. Sedangkan secara tradisional, pengembangan agribisnis subak dilakukan melalui pendekatan yang didasarkan pada nilai-nilai modal sosial, seperti saling percaya, norma dan jaringan sosial dengan berbagai parameternya. Oleh karena itu dalam pengembangan agribisnis pada sistem subak, segala bentuk ketradisionalan (sosial, adat-budaya) harus diberdayakan guna 47 mencapai tujuan pembangunan pertanian (agribisnis) dan mendorong pembangunan perdesaan yang senantiasa berkembang secara modern. Subak sebagai lembaga tradisional dapat diberdayakan dan dimanfaatkan sebagai aset pembangunan pertanian untuk dapat hidup dan bertahan tanpa menghancurkan inti budaya yang menjiwainya, yaitu modal sosial. Dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat subak, peranan modal sosial menjadi sangat penting diperhatikan. Pada penelitian ini, elemen modal sosial di dalam subak yang dirumuskan adalah kepercayaan, norma sosial dan jaringan sosial. Sedangkan, pengembangan agribisnis diindikasikan dan diukur pada tingkat partisipasi petani terhadap kegiatan agribisnis di subak. Modal sosial merupakan sumber daya yang terdapat di dalam suatu organisasi sosial yang mencakup kepercayaan, jaringan sosial dan norma sosial yang mendorong terwujudnya koordinasi dan kerjasama guna mencapai tujuan bersama. Modal sosial ini memberikan pengaruh terhadap terbentuknya sikap dan pengetahuan petani untuk berpartisipasi di dalam kegiatan agribisnis di subak. Secara skematis, konsep pengembangan agribisnis dalam sistem subak yang berlandaskan modal sosial dapat dilihat pada Gambar 3.1. 48 Gambar 3.1 49 Penelitian ini menguji secara statistik terhadap variabel-variabel elemen modal sosial, sikap, pengetahuan dan pengembangan agribisnis (partisipasi) pada sistem subak. Guna dapat diambil kesinmpulan terhadap hasil analisis tersebut, hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Terdapat pengaruh kepercayaan, norma sosial dan jaringan sosial terhadap sikap petani berkenaan dengan pengembangan agribisnis pada sistem subak. 2. Terdapat pengaruh kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial melalui sikap terhadap pengetahuan petani mengenai pengembangan agribisnis pada sistem subak. 3. Terdapat pengaruh kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial melalui sikap dan pengetahuan terhadap pengembangan agribisnis pada sistem subak. 50 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Subak Guama dan Subak Selanbawak, di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Pemilihan lokasi subaksubak ini dilakukan secara purposive samping dengan beberapa pertimbangan tertentu sebagai berikut. 1. Subak Guama telah memperoleh pembinaan pengembangan usaha agribisnis dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali sejak tahun awal tahun 2002, dan juga Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten Tabanan. 2. Subak Selanbawak telah mendapat pembinaan dari Dinas Pertanian baik provinsi dan kabupaten mengenai pengembangan agribisnis sejak 2001. 3. Subak Guama telah memiliki Koperasi Tani, yaitu Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) yang telah berbadan hukum dengan bantuan modal awal dari pemerintah melalui BPTP-Bali; demikian pula di Subak Selanbawak telah terbentuk embrio koperasi tetapi belum berbadan hukum. 4. Subak Guama dan Selanbawak merupakan subak-subak yang berada pada daerah irigasi yang bersumber dari Bendung Cangi dan telah memiliki usaha-usaha ekonomis yang dimanfaatkan oleh anggota subak dan memberikan keuntungan ekonomis bagi lembaga subak dan anggotanya. 51 4.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder yang merupakan komponen-komponen faktor internal dan eksternal yang ada di masing-masing subak. Beberapa data primer yang dibutuhkan adalah kondisi profil subak (kondisi teknis/fisik jaringan irigasi, sosial, budaya dan agronomis) subak, usaha-usaha ekonomis yang dilakukan. Sedangkan, data sekunder yang digali adalah yang berkenaan dengan fluktuasi harga produk-produk yang dihasilkan oleh petani, keberadaan penggilingan padi dan Koperasi Unit Desa (KUD), program pertanian dan pendekatan dari pemerintah, luas lahan, tata guna lahan di Kecamatan Marga (Tabanan), dan gambaran umum kecamatan dan desa di lokasi penelitian dan data penunjang lainnya. Secara lebih rinci data yang dibutuhkan dan sumber datanya seperti yang disajikan pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Data primer dan sekunder yang dibutuhkan No I Jenis Data Data Primer Petani 1. Karakteristik Petani anggota Subak a. Umur b. Lama pendidikan formal c. Jumlah anggota rumah tangga (menurut jenis kelamin dan umur) d. Jenis pekerjaan selain petani e. Status dan sistem penguasaan sawah f. Luas penguasaan sawah 2. Sub-sistem penyediaan sarana produksi a. Jenis sarana produksi Sumber Data Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel 52 b. Cara dan tempat memperoleh sarana produksi c. Ketersediaan sarana produksi saat dibutuhkan d. Masalah-masalah 3.Sub-sistem teknologi budidaya a. Teknik berproduksi di lahan sawah b. Penerapan teknologi (penggunaan saprodi) c. Pemeliharaan ternak d. Penyediaan air irigasi e. Masalah-masalah 4. a. b. c. Sub-sistem pengolahan Teknik panen Pengolahan produk Masalah-masalah 5. Sub-sistem pemasaran a. Cara memasarkan gabah dan beras b. Lokasi penjualan c. Masalah-masalah 6. Sub-sistem penunjang a. Pemanfaatan jasa lembaga keuangan b. Interaksi dengan PPL c. Interaksi dengan instansi d. Pelatihan dan penyuluhan (pertanian dan irigasi e. Prasarana irigasi dan ketersediaan air f. Prasarana transportasi 7. Aspek modal sosial a. Sikap petani terhadap agribisnis b. Pengetahuan petani tentang agribisnis c .Struktur organisasi subak dan fungsi d. Kegiatan sosial/budaya subak e. Kepercayaan anggota dalam kegiatan agribisnis f. Partisipasi petani dalam kegiatan agribisnis g. Penerapan norma-norma dalam kegiatan agribisnis h. Penerapan norma-norma dalam kegiatan non-agribisnis i. Jaringan sosial dalam kegiatan agribisnis Sampel Sampel Sampel/responden kunci Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel/responden kunci Sampel Sampel Sampel dan pengurus subak Sampel Sampel Sampel/responden kunci Sampel Sampel Sampel/responden kunci Sampel/responden kunci Sampel/responden kunci Sampel/responden kunci Sampel Sampel Responden kunci Responden kunci Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel 53 j. Interaksi sosial dalam kegiatan agribisnis k. Interaksi sosial dalam kegiatan nonagribisnis l. Kepemimpinan di subak m.Kepemimpinan di koperasi subak n. Tolong menolong antar petani o. dsb 8. Aspek ekonomis/agribisnis subak a. Sumber keuangan subak b. Pengelolaan keuangan subak c. Usaha-usaha ekonomis subak d. Manfaat ekonomis bagi anggota subak e. Pengeluaran-pengeluaran subak f. Masalah-masalah II Data Sekunder Awig-awig(AD/ART) subak Kondisi fisik/teknis jaringan irigasi Keberadaan usaha penggilingan padi Keberadaan KUD dan lembaga lainnya Program dan kebijakan pertanian lahan sawah Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel/responden kunci Sampel/responden kunci Sampel/responden kunci Sampel/responden kunci Sampel/responden kunci Sampel/responden kunci Pengurus subak Dinas PU Kabupaten dan Pengamat Pengairan, pengurus subak Pimpinan usaha Pengurus KUD, Kantor Kecamatan/ responden Kunci Dinas Pertanian (kabupaten dan provinsi) dsb Pada penelitian ini, dilakukan pengumpulan data/informasi sesuai dengan tujuan penelitian dengan menggunkan beberapa teknik, sebagai berikut. 1. Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang telah disiapkan. Kegiatan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner ini dilakukan dengan cara mendatangi sampel yang telah dipilih. 2. Wawancara mendalam (indepth interview) dan partisipatif dengan menggunakan suatu pedoman wawancara (interview guide). Pendekatan 54 yang digunakan adalah teknik Participatory Rural Appraisal (PRA). Wawancara ini ditujukan kepada key informants yang telah ditetapkan guna mendapatkan informasi yang sedalam-dalamnya mengenai beberapa aspek yang berkenaan dengan faktor internal dan eksternal dari Subak Guama dan Selanbawak di Kabupaten Tabanan. Selain itu, dilakukan pertemuan-pertemuan kelompok dengan para petani dan juga dihadirkan key informants untuk memperoleh informasi yang komprehensif dan sekaligus mendapatkan informasi yang berkenaan dengan mendukung pengembangan agribisnis di tingkat subak. 3. Observasi langsung juga dilakukan pada aktivitas sehari-hari subak dan anggotanya untuk mendapatkan informasi tanpa melakukan wawancara. Selain itu, observasi ini dilakukan untuk mengamati respon yang telah diberikan oleh key informants dan sampel saat wawancara. 4. Dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data atau informasi yang telah dicatatkan pada berbagai dokumen baik yang terdapat pada subak. Selain itu, dokumen-dokumen yang dibutuhkan juga diperoleh dari kantor-kantor instansi pemerintah maupun non-pemerintah, seperti Kantor Statistik, Kantor Dinas Pertanian Kabupaten/Provinsi, Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten, Kantor Koperasi Unit Desa di Kecamatan, termasuk di perpustakaan, dan sumber-sumber lainnya. 55 4.3 Populasi, Penentuan Sampel dan Informan Kunci Populasi pada penelitian ini adalah seluruh petani anggota Subak Guama di Kabupaten Tabanan yang jumlahnya sebanyak 544 orang yang tersebar pada 6 tempek dan anggota Subak Selanbawak yang jumlahnya 136 orang, sehingga totalnya adalah 680 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik proportional simple random sampling, dengan pertimbangan bahwa jumlah petani pada masing-masing tempek adalah berbeda. Jumlah sampel yang diambil menggunakan formulasi Teori Slovin sebagai berikut. N n = -------------(1+Ne2) 680 = ------------------- = (1+[680x0,102)] 680 --------- = 87.18 7,8 (dibulatkan 88) Keterangan: n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi e = Taraf kekurangtelitian (10 %) Berdasarkan pada jumlah sampel yang telah ditetapkan seperti di atas, maka distribusi jumlah sampel pada masing-masing tempek di setiap subak adalah seperti terlihat pada Tabel 4.2. 56 Tabel 4.2 Distribusi populasi dan sampel No Nama Subak/Tempek I 1 2 3 4 5 6 Subak Guama Kekeran Desa Pekilen Manik Gunung Kekeran Carik Blusung Guama Sub-jumlah Populasi (orang) 50 49 50 120 125 150 544 Sampel (orang) 7 6 7 15 16 19 70 II 1 2 Subak Selanbawak Selanbawak Kaje 68 9 Selanbawak Kelod 68 9 Sub-jumlah 136 18 Jumlah 680 88 Sumber: Monografi Subak Guama dan Subak Selanbawak, 2012 Selain sampel petani, juga dilakukan pengambilan key informants untuk mendapatkan informasi atau data yang lebih mendalam mengenai aspek tertentu berkenaan dengan tujuan penelitian ini. Adapun mereka yang digolongkan sebagai key informants adalah pengurus subak, pengurus Koperasi Unit Desa, pengurus Lembaga Perkreditan Desa, Pimpinan Dinas Pertanian di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan, Pimpinan Dinas Pekerjaan Umum di tingkat kabupaten dan kecamatan, Pimpinan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi di Kabupaten Tabanan, Penyuluh Pertanian Lapangan, Pimpinan di Kantor Camat dan Kepala Desa di lingkungan lokasi subak berada, serta pengurus subak dan tokoh masyarakat lainnya. 57 4.4 Teknik Pemberian Skor Variabel Variabel-variabel modal sosial (kepercayaan, jaringan sosial dan norma sosial), sikap, pengetahuan petani dan pengembangan agribisnis (partisipasi) diukur dengan menggunakan skala likert dan skala berjenjang. Skala ini terbentuk dalam lima kategori jawaban dari setiap item pernyataan dan pertanyaan yang diajukan, di mana masing-masing jawaban diberikan jawaban yang konsisten, yaitu dengan skor 1, 2, 3, 4, dan 5. Skor 1 diberikan pada jawaban yang sangat tidak diharapkan, sedangkan skor 5 diberikan pada jawaban yang sangat diharapkan. Beberapa indikator modal sosial yang mencakup kepercayaan, norma dan jaringan sosial dalam penelitian ini, parameternya masing-masing secara rinci diuraikan seperti disajikan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Indikator dan parameter modal sosial dan tingkat penyelenggaraan agribisnis No Indikator I Modal Sosial 1 Kepercayaan Parameter 1. Tingkat kepercayaan antar sesama petani 2. Tingkat kepercayaan petani kepemimpinan pengurus subak terhadap 3. Tingkat kepercayaan petani terhadap kepemimpinan pengurus koperasi 4. Tingkat kepercayaan pada agribisnis dan koperasi di subak 2 Norma aktivitas 1. Tingkat pengetahuan terhadap norma 2. Peran norma dalam subak dan koperasi 58 3. Kekuatan sanksi yang berlaku 4. Ketaatan terhadap norma 3 Jaringan sosial 1. Interaksi antar petani anggota 2. Interaksi antara petani anggota dengan pengurus subak dan koperasi 3. Interaksi antara petani anggota dengan pihak luar II Sikap dan pengetahuan 1 Sikap 2 III 1. Terhadap layanan sarana produksi dan Alsintan 2. Terhadap layanan kredit 3. Terhadap penyelenggaraan kegiatan pengolahan dan pemasaran 4. Terhadap kontrol dalam penyelenggaraan kegiatan agribisnis Pengetahuan 1. Tentang penyediaan sarana produksi dan Alsintan 2. Tentang penyelenggaraan kegiatan kredit 3. Tentang penyelenggaraan kegiatan pengolahan dan pemasaran Pengembangan agribisnis Partisipasi dalam 1. Pemanfaatan kegiatan agribisnis Alsintan layanan saprotan dan pengolahan dan 2. Pemanfaatan layanan kredit 3. Pemanfataan pemasaran layanan Derajat validitas dan reabilitas kuesioner dapat diketahui dengan menghitung koefisien reliabilitasnya. Perhitungannya atau pengukurannya dilakukan dengan menggunakan metode belah dua (split half method), di mana 59 dengan cara ini semua pertanyaan pada daftar pertanyaan dikelompokkan, menjadi dua yaitu kelompok pertanyaan bernomor genap dan ganjil. Masing-masing skor tersebut di atas menggambarkan derajat responden terhadap pernyataan dan atau pertanyaan yang diajukan. Skor tersebut dinyatakan dalam bilangan bulat yaitu 1,2,3,4, dan 5 untuk setiap jawaban pertanyaan. Berdasarkan pada lima kategori sikap, pengetahuan dan interaksi, dan lain sebagainya, maka interval pada setiap kategori ditentukan dengan formula sebagai berikut. Jarak i = -------------------Jumlah kategori Keterangan: i Jarak = Interval = Nilai persentase pencapaian skor tertinggi dikurangi dengan nilai persentase yang terendah (skor tertinggi adalah 100% dan terendah adalah 20%) Jumlah kategori= lima Oleh karena itu, kategori kepercayaan, penerapan norma/aturan-aturan subak, dan jaringan sosial di subak, sikap dan pengetahuan petani dan pengembangan (partisipasi) kegiatan usaha agribisnis pencapaian skornya dapat dilihat pada Tabel 4.4. berdasarkan pada 60 Tabel 4.4 Kategori kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial, sikap, pengetahuan dan partisipasi berdasarkan pada tingkat pencapaian skor No I Peubah/Kategori Pencapaian skor (%) 1 2 3 4 5 Kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial, pengetahuan dan partisipasi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 20 -36 > 36 – 52 > 52 – 68 > 68 – 84 > 84 – 100 II 1 2 3 4 5 Sikap Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju 20 -36 > 36 – 52 > 52 – 68 > 68 – 84 > 84 – 100 4.5 Analisis Data Data yang terkumpul, terutama data kualitatif selanjutnya akan dikuantifikasi sesuai dengan pengukuran variabel yang ditetapkan. Beberapa data dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menggambarkan identitas petani, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan subak di dalam menyelenggarakan kegiatan usaha agribisnis, mengeksplorasi elemen-elemen social capital yang terdapat di dalam subak, serta mendeskripsikan proses pengembangan kegiatan agribisnis di subak. Selain itu, analisis data juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan statistika yaitu data yang diambil dapat dianalisis dengan Structural Equation Modeling (SEM) yang digunakan untuk menguji model-model empiris dan 61 menjelaskan varian serta pengaruh antara suatu set peubah-peubah yang diobservasi (observed) dalam suatu sistem kausal (sebab akibat) dari faktorfaktor yang tidak diobservasi (unobserved). Untuk mengetahui pengaruh peubah bebas pada peubah terikat, dan menguji hipotesis penelitian dibuat kerangka hipotetik (seperti terlihat pada Gambar 4.1). Kerangka hipotetik kemudian dioperasionalisasikan untuk merumuskan model persamaan pengukuran dan model persamaan struktural sesuai dengan kaidah SEM. Model penerapan pengembangan agribisnis di subak berdasarkan modal sosial adalah sebagai berikut: Y3 = γ1 X1 + γ2 X2 + γ3X3 + γ4 Y1 + γ5 Y2 Ketergangan: X1 = Kepercayaan antar anggota subak (skor) X2 = Jaringan sosial (skor) X3 = Norma di Subak dan koperasi (skor) Y1 = Sikap petani (skor) Y2 = Pengetahuan petani (skor) Y3 = Partisipasi dalam kegiatan agribisnis (skor) 1-5 = Koefisien masing peubah 62 Gambar 4.1