BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia, pembangunan pertanian memiliki beberapa agenda pokok
yang berkenaan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan.
Terutama terhadap kelompok petani miskin aktif secara ekonomi, yaitu dengan
melakukan pemberdayaan dan pengefektifan jaringan kerja pada sentra
produksi pertanian dan pusat-pusat pasar di perkotaan dan daerah lain (Arifin,
2005).
Agenda ini merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
menyediakan ketercukupan kebutuhan pangan dan gizi di dalam negeri dan
memperbaiki kualitas hidup masyarakat, khususnya masyarakat pertanian.
Sementara itu, salah satu tujuan pembangunan pertanian adalah
mengembangkan aktivitas ekonomi perdesaan melalui pembangunan ekonomi
agribisnis
dan
perusahaan-perusahaan
agribisnis
yang berdaya
saing,
berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistis (Fatah, 2006). Ditambahkan lagi
bahwa beberapa strategi pembangunan pedesaan yang dilakukan di Indonesia
adalah berkenaan dengan peningkatan kesempatan kerja, peningkatan efisiensi,
berkesinambungan, keseimbangan/equity, dan pemberdayaan.
Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa pembangunan pertanian
dan pedesaan yang dilaksanakan di Indonesia tampaknya kurang mendapat
perhatian yang serius. Pembangunan pertanian lebih diarahkan sebagai
penunjang dan pendukung pembangunan nasional dan bukan sebagai andalan
atau titik berat pembangunan, sebagaimana yang diumumkan secara resmi
melalui buku pembangunan nasional jangka panjang (Suryana, 2005).
2
Kekeliruan utama dalam pembangunan pertanian masih mencerminkan
kemarjinalan konsep mengenai kelembagaan lokal. Potensi utama sumberdaya
ekonomi lokal telah dieksploitasi secara korporatis (dalam bentuk perusahaan
dan lembaga ekonomi yang menginduk ke pusat), sehingga kadar keterlibatan
masyarakat lokal sangat kecil baik sebagai pelaku dan pemanfaat hasil
pembangunan. Fatah (2006) menambahkan bahwa salah satu penyebab
kekurangberhasilan dalam pencapaian pembangunan pertanian dan perdesaan
adalah lemahnya pelibatan dalam pemanfaatan organisasi yang telah ada di
tengah masyarakat pertanian atau perdesaan itu sendiri.
Syahyuti (2007) juga mengungkapkan bahwa kelembagaan lokal
dianggap tidak memiliki jiwa ekonomi yang memadai. Bahkan Chambers
(1983) menyebutkan bahwa kesalahan fatal yang dilakukan oleh para profesional
adalah adanya bias sebagai outsider, di mana
mereka juga tidak percaya bahwa
masyarakat lokal (petani) tersebut sebenarnya adalah sumber ilmu dan teknologi. Oleh
karena itu, kekeliruan pandangan tersebut harus dihilangkan dan bahkan
sebaliknya segala bentuk ketradisionalan (sosial, adat-budaya) desa dan
masyarakat harus diberdayakan guna mencapai tujuan pembangunan pertanian
dan perdesaan (Elizabeth, 2007).
Menurut Widodo (2008), pembangunan perdesaan dengan perspektif
modernisasi berasumsi pada dua kutub yang saling berbeda, yaitu pemerintah
dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat perdesaan sebagai posisi inferior
(periferi). Perubahan selalu berasal dari pemerintah yang menganggap dirinya
lebih maju dibandingkan masyarakat perdesaan. Budaya tradisional dengan
nilai-nilai lokal dianggap sebagai salah satu penghambat sehingga perlu
3
digantikan oleh budaya modern yang lebih produktif. Perubahan mendasar yang
terjadi adalah semakin terkikisnya budaya tradisional oleh budaya modern.
Masyarakat tradisional pada dasarnya sudah memiliki modal sosial sebagai
suatu pola pengaturan kehidupan sosialnya sejak lama.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih cendrung pada
pembentukan lembaga kemasyarakatan modern dalam rangka pelaksanaan
pembangunan di perdesaan dari pada menggunakan lembaga kemasyarakatan
yang sudah ada yang umumnya bercorak kultural, agamis dan tradisional.
Pada kasus di Bali, disebutkan juga bahwa pembangunan pertanian yang
dilaksanakan selama ini kurang menekankan pada local institution endowment
(berbasis pada kelembagaan lokal) yang telah ada (Elizabeth dan Iwan, 2009).
Kelembagaan
petani
cenderung
hanya
diposisikan
sebagai
alat
untuk
mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang
lebih mendasar di dalam pembangunan pertanian dan tidak dilakukan penguatan social
capital masyarakat (Syahyuti, 2007).
Hartono (2009) juga menyebutkan bahwa ketidakberdayaan dalam
memfungsikan kelembagaan lokal seperti kelompok tani dan Perkumpulan
Petani
Pemakai
Air
(P3A),
termasuk
subak
akan
mengakibatkan
ketidakberhasilan pengembangan agribisnis di perdesaan. Sahyuti (2007)
menambahkan bahwa introduksi
kelembagaan dari luar yang kurang
memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta
kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan pendekatan yang top-down
planning menyebabkan partisipasi masyarakat tidak tumbuh.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa lemahnya peran
kelembagaan
pertanian yang ada, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan
4
penyuluhan; belum dapat mewujudkan suasana kondusif untuk pengembangan
agroindustri
perdesaan.
Selain
itu,
lemahnya
kelembagaan
ini
juga
mengakibatkan sistem pertanian berjalan tidak efisien, dan keuntungan yang
diterima petani relatif rendah. Bahkan Pranadji (2003) menyebutkan terdapat
kerugian yang mahal apabila kreativitas masyarakat perdesaan (lokal) tidak
memperoleh ruang untuk dapat berkembang secara layak.
Beberapa dampak dari kekeliruan ini adalah lembaga lokal petani di
perdesaan tidak berdaya, sehingga petani secara individual melakukan transaksi
untuk penyediaan sarana produksi dan pascapanen produksinya. Kondisi
selanjutnya mengakibatkan masih rendahnya tingkat pendapatan para petani,
termasuk petani anggota subak-subak (organisasi petani pengelola air di lahan
sawah) di Bali.
Tantangan ke depan adalah terwujudnya kelembagaan subak dengan
kearifan lokalnya mampu menjadi organisasi yang bersifat sosio-agrarisreligius yang dapat beradaptasi dengan tuntutan ekonomis anggotanya seiring
dengan program-program pembangunan pertanian dan perdesaan. Orientasi
ekonomis pada organisasi pengelola irigasi ini telah banyak digagas terutama di
dalam menghadap era kesejagatan sehingga para petani anggota subak dapat
meningkatkan pendapatannya dan sekaligus mampu mengantsipasi terjadinya
penyusutan lahan sawah yang tidak terkendali (Sutawan, 2005; Suamba, 2005;
Sedana, 2005; Ambarawati, 2005).
Pengembangan kegiatan ekonomis subak merupakan bagian dari
maklumat pemerintah yang dituangkan dalam Inpres No. 3 tahun 1999 tentang
Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI). Salah satunya adalah
5
peningkatan kemampuan P3A untuk dapat memberikan kemudahan dan
peluang secara demokratis kepada anggotanya guna membentuk organisasi atau
unit usaha ekonomis di tingkat usahatani.
Pada beberapa negara sudah diketahui adanya organisasi irigasi yang
mampu berperan ganda yakni selain sebagai pengelola irigasi juga mampu
mengelola kegiatan berbagai usaha ekonomi seperti terdapat pada beberapa
organisasi irigasi di India dan Bangladesh. Adapun kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh organisasi irigasi di Gujarat India, misalnya meliputi: pengadaan
sarana produksi pertanian; perkreditan; pemasaran hasil-hasil pertanian;
pengolahan pasca panen; dan pemberian pelayanan penyuluhan pertanian (Shah
and Shah, 1994). Sutawan, et al., (1991) juga menyebutkan bahwa kegiatan
subak sudah mulai dikembangkan menjadi suatu lembaga ekonomis dengan
menyelenggarakan penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil secara
bersama-sama, seperti di Subak Yeh Embang Kabupaten Jembrana dan Subak
Sungsang di Kabupaten Tabanan.
Upaya mentransformasikan pertanian tradisional ke arah pertanian
modern tidak semata-mata melalui perubahan struktur ekonomi pertanian,
namun juga menyangkut perubahan struktur dan pola perilaku sosial
masyarakat pedesaan. Salah satunya melalui pemberdayaan kelembagaan oleh
masyarakat lokal, sehingga pembangunan pertanian dan pedesaan tidak
menimbulkan kesenjangan yang akut (makin melebar) antar golongan
masyarakat.
Di beberapa wilayah di mana sifat dan naluri partisipasi
masyarakat dalam membentuk lembaga seperti kelompok tani sebagai lembaga
tradisional dapat diberdayakan dan dimanfaatkan sebagai aset pembangunan
6
untuk dapat hidup dan bertahan tanpa menghancurkan inti budaya yang
menjiwainya.
Di samping itu, dapat menjadi salah satu potensi yang bisa
dikembangkan menjadi lembaga, baik yang adop teknologi maupun
berorientasi pasar, serta bermanfaat untuk menampung dan mengembangkan
diri petani di pedesaan (Elizabeth, 2007). Zakaria (2009) bahkan secara tegas
mengatakan bahwa penguatan kelembagaan kelompok tani adalah merupakan
kunci kesejahteraan petani.
Kondisi ini dapat terwujud dengan memandang petani lokal adalah
seorang rasional yang mampu memproses informasi untuk kepentingan usaha
pertaniannya (Scott, 1981). Mengingat semakin kompleks dan besarnya
tantangan pembangunan ketahanan pangan mendatang, terutama untuk
mencapai kemandirian pangan, maka kelembagaan kelompok tani yang tersebar
di seluruh pelosok pedesaan perlu dilakukan pembenahan dan pemberdayaan,
sehingga mempunyai keberdayaan dalam melaksanakan usahataninya.
Dalam konteks inilah, maka kajian mengenai pengembangan ekonomi
pada kelembagaan lokal (subak) yang tetap bernafaskan budayanya sebagai
modal sosial perlu dilakukan. Kondisi ini sejalan dengan Elizabeth (2007) yang
mengatakan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan lokal
dipandang sebagai hal yang urgent dalam program pembangunan pedesaan
untuk memperkuat jaringan perekonomian masyarakat pedesaan.
Seperti diketahui bahwa di dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
terdapat cukup banyak nilai-nilai sosial (modal sosial) seperti budaya gotong
royong, kelembagaan bagi hasil, berbagai bentuk kearifan lokal (local wisdom)
7
yang dimiliki semua etnis, yang dapat dikembangkan sebagai bagian dari
budaya ekonomi modern.
Oleh karena itu dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat yang
berkerakyatan, peranan modal sosial menjadi sangat penting diperhatikan
(Mawardi, 2007). Di Iran juga telah menunjukkan hasil yang positif, di mana
dalam pengembangan program pembangunan perdesaan seperti di Iran
menunjukkan bahwa modal sosial petani yang kuat (kepercayaan sosial,
solidaritas sosial, dan pertukaran informasi, partisipasi dan kegiatan kolektif)
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingginya tingkat adopsi pada
program tersebut (Firouzjaie, 2007).
Di masa mendatang, sistem subak di Provinsi Bali diarahkan untuk
menjadi suatu usaha yang berwawasan agribisnis, yaitu sebagai sistem yang
modern, efisien dan tangguh guna mampu sebagai sektor yang dapat diandalkan
untuk menyediakan pangan, kesempatan kerja, pendapatan, mendorong
pertumbuhan ekonomi dan menghasilkan devisa, sehingga ekonomi Bali
bertumpu pada sektor yang lebih beragam.
Pembangunan Provinsi Bali dititikberatkan pada sektor pertanian,
pariwisata dan industri kecil. Namun hingga kini ekonomi Bali masih sangat
bertumpu pada sektor eksternal (ekonomi global) khususnya sektor pariwisata.
Hingga saat ini, sektor pariwisata belum dapat dijadikan basis pengembangan
ekonomi rakyat dan ternyata rentan terhadap gejolak eksternal maupun internal,
seperti saat terjadinya ledakan bom Bali I tahun 2002 dan II tahun 2005. Di sisi
lain, sektor pertanian dengan budaya lokalnya masih tetap bertahan selama
periode keterpurukan pariwisata Bali.
8
Berkenaan dengan perekonomian di Bali, perkembangan pariwisata
yang relatif pesat, dikhawatirkan akan dapat membahayakan keberlanjutan
pembangunan sektor pertanian di daerah ini karena dalam aktivitas pertanian
melekat kegiatan budaya dan aspek sosial kelembagaan. Oleh karena itu, sektor
pertanian perlu dikemas sedemikian rupa agar mempunyai daya tarik bagi
pemuda dan menjanjikan masa depan yang lebih baik.
Tabanan sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Bali memiliki potensi
unggulan dalam bidang pertanian, khususnya penghasil beras dan bahkan
dikenal dengan sebutan lumbung berasnya Bali. Di kabupaten ini sebagian
besar mata pencaharian masyarakatnya didominasi oleh bidang pertanian dalam
arti luas, khususnya sawah. Luas lahan sawah di Kabupaten Tabanan adalah
mencapai 22.562 ha yang tersebar di 10 (sepuluh) kecamatan. Tujuan yang
ingin diwujudkan melalui pembangunan pertanian ini adalah semakin tumbuhkembangnya industri pedesaan yang berbasis pertanian sebagai media strategi
untuk memacu perekonomian masyarakat desa (petani). Caranya adalah dengan
meningkatkan nilai tambah petani melalui industri penanganan dan pengolahan
pasca panen guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu subak yang telah memulai melakukan aktivitas agribisnis
adalah Subak Guama yang berlokasi di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan
sejak tahun 2002. Salah satu unit yang telah terbentuk adalah Koperasi Usaha
Agribisnis Terpadu (KUAT) Subak Guama yang diawali dan diinisiasi oleh
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Bali melalui Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM).
9
Sementara itu, Subak Selanbawak di Kecamatan Marga Kabupaten
Tabanan belum menunjukkan kerberhasilan dalam pengelolaan agribisnis
setelah memperoleh bantuan pengembangan dari pemerintah pada tahun 2001,
dan juga melalui BLM. Kedua subak tersebut berada pada satu daerah irigasi
yaitu Cangi. Di masa depan diperlukan adanya rumusan pengembangan sistem
agribisnis yang bersifat melibatkan mayoritas kaum tani sebagai subyek, yang
dalam konteks Bali, kaum tani tersebut adalah mereka yang tergabung dalam
subak dengan modal sosialnya.
1.2 Rumusan Masalah
Subak merupakan suatu organisasi sosio-agraris dan religius atau
organisasi bersifat sosio-kultural dalam pengelolaan usahatani di lahan sawah.
Seriirng dengan perkembangan teknologi dan ekonomi, subak di masa
mendatang juga diharapkan menjadi suatu lembaga yang berperan untuk
pemenuhan kebutuhan ekonomi anggotanya dan mendukung perekonomian
perdesaan. Berbagai program pembangunan pertanian dilaksanakan melalui
kelembagaan subak ini.
Subak Guama telah sedang menyelenggarakan kegiatan ekonomis atau
agribisnis yang merupakan suatu tuntutan kebutuhan para anggotanya. Suatu
program pemerintah dalam pengembangan agribisnis di tingkat subak,
keberadaan
Subak
Guama
sangat
dibutuhkan
yang
masih
tetap
mempertahankan nilai-nilai lokal atau modal sosial yang dimilikinya. Sejak
tahun 2002, kegiatan ekonomis atau agribisnis di tingkat subak masih berajalan
secara baik dan bahkan semakin meningkat aktivitasnya, karena adanya
kearifan lokal
yang masih bertahan yang sekaligus sebagai suatu modal
10
sosialnya. Di sisi lain, kegiatan agribisnis pada Subak Selanbawak belum
menunjukkan hasil seperti yang terjadi pada Subak Guama.
Transformasi modernisasi dalam aspek pertanian (teknis dan ekonomis)
yang dilakukan tidak harus mengesampingkan nilai-nilai atau elemen modal
sosial yang telah dimiliki oleh lembaga subak sebagai lembaga lokal.
Berdasarkan pada latar belakang di atas, secara umum dapat dirumuskan
masalah dalam penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pengaruh modal sosial terhadap kegiatan pengembangan
agribisnis di subak?.
2. Bagaimanakah proses pemberdayaan dan penyesuaian kelembagaan dalam
pengembangan agribisnis di Subak Guama dan Subak Selanbawak?.
3. Bagaimanakah kekuatan dan kelemahan subak dalam pengembangan
agribisnis?.
1.3 Tujuan Penelitian
Memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh elemen-elemen modal sosial terhadap kegiatan
pengembangan agribisnis pada subak;
2. Untuk mengetahui proses pemberdayaan dan penyesuaian kelembagaan
dalam pengembangan agribisnis di Subak Guama dan Subak Selanbawak;
dan
3. Untuk menjelaskan kekuatan dan kelemahan subak dalam pengembangan
agribisnis.
11
1.4 Kebaruan (Novelty)
Sejak diketahui awal terbentuknya subak-subak di Bali yaitu pada tahun
1071 (Purwita, 1993), penelitian-penelitian yang berkenaan dengan subak
difokuskan pada aspek arkeologi yaitu eksistensi subak dengan berbagai
kegiatannya.
Diantaranya
adalah
penemuan-penemuan
prasasti
yang
menggambarkan sistem pertanian, sistem pengelolaan irigasi oleh para petani di
Bali dan dikenalnya istilah-istilah yang berhubungan dengan istilah subak.
Penelitian mengenai subak selanjutnya berkembang dengan semakin
kompleksnya pemanfaatan sumber-sumber air oleh subak-subak di sungai dan
intervensi pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum terhadap pembangunan
dan pengelolaan irigasi di Bali, yaitu pada sejak Pelita (Pembangunan Lima
Tahun) I. Sejak tahun 1983, penelitian mengenai subak dilakukan berkenaan
dengan aspek manajemen irigasi, seperti pembentukan wadah koordinasi antar
subak (subak-subak yang tercakup dalam satu daerah irigasi) yang kemudian
dimunculkan istilah subak-gede, yang dilakukan oleh Sutawan, et al. (Sutawan,
et al., 1984). Pendekatan penelitian dilakukan secara ekploratif dengan metode
Rapid Rural Appraisal (RRA).
Penelitian selanjutnya dikembangkan lagi penelitian aspek manajemen
irigasi yang lebih luas yaitu meliputi satu daerah aliran sungai dan bahkan
beberapa sungai, yaitu pada tahun 1987-1991. Kondisi ini dilakukan berkenaan
dengan semakin langkanya air irigasi di tingkat sumber dan semakin
kompleksnya atau tingginya kompetisi pemanfaatan air baik antar subak
maupun dengan pihak non-subak. Penelitian ini juga dilakukan oleh Sutawan,
et al., (1991) dengan pendekatan yang sama dan dilengkapi dengan
12
Participatory Rural Appraisal (PRA) yang selanjutnya dimunculkan istilah
subak-agung, yaitu federasi subak-subak dalam satu aliran sungai atau beberapa
sungai.
Penelitian mengenai subak selanjutnya dilakukan oleh Sutawan, et al.,
(1998) yang berkenaan dengan pemberdayaan subak untuk menjadi lembaga
yang berorientasi ekonomis. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan PRA
yang difokuskan pada penyediaan modal usaha dan pemasaran, yaitu pada
tahun 1998-1999.
Windia (2002) telah menyelesaikan penelitiannya mengenai Transformasi
Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Tri Hita Karana. Penelitian ini
menegaskan bahwa sistem irigasi dapat ditransformasikan (ditransfer dengan
berbagai penyesuaian) ke daerah-daerah lain di luar Bali, dimana dengan
konsep THK dapat diwujudkan kondisi yang harmoni dan kebersamaan dalam
memecahkan masalah-masalah.
Pada aspek lainnya, Sumiyati (2011) melakukan penelitian mengenai
Transformasi Sistem Subak dan Agrowisata untuk Mendukung Pengembangan
Kawasan. Penelitian ini menekankan pada pengelolaan sistem subak yang
kompatibel di tengah perkembangan pariwisata Bali dan menentukan potensi
sistem subak untuk dikembangkan menjadi kawasan agroekowisata.
Memperhatikan berbagai masalah yang dihadapi subak dan tantangan ke
depan seiring dengan perkembangan teknologi dan modernisasi, seperti
masalah semakin berkurangnya luas lahan sawah untuk kepentingan
nonpertanian, dan tantangan peningkatan kesejateraan petani anggota subak,
13
maka penelitian ini berkenaan dengan pengembangan agribisnis pada sistem
subak yang berlandaskan modal sosial.
Penelitian ini akan memperkaya dan memperkuat penelitian-penilitian
subak yang diawali dengan kajian arkeologi, manajemen irigasi, transformasi
sistem irigasi subak sehingga subak-subak di masa mendatang tetap eksis tidak
hanya pada aspek sosio kultural tetapi menjadi lembaga ekonomis yang
dilandasi modal sosial. Saat ini, Subak Guama dan Subak Selanbawak
merupakan subak-subak yang berlokasi di Kabupaten Tabanan dan telah
menyelenggarakan kegiatan agribisnis. Selain itu, melalui penelitian ini akan
diketahui penyesuaian kelembagaan sosio kultural subak yang berorientasi
agribisnis.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ganda yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis yang berkenaan dengan pengembangan
agribisnis di tingkat subak dan berlandaskan modal sosial. Pada aspek teoritis,
hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Mampu memberikan tambahan kasanah pengetahuan tentang pentingnya
modal sosial dalam pengembangan agribisnis di tingkat subak.
2. Dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang memiliki
interes terhadap pengembangan subak-subak menjadi lembaga berorientasi
agribisnis dengan memperhatikan modal sosial di dalamnya.
14
Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk beberapa hal sebagai berikut.
1. Dapat mengungkapkan pendekatan-pendekatan yang perlu diambil
didalam memberdayakan subak sebagai lembaga berorientasi agribisnis.
2. Dapat dirumuskan strategi pengembangan subak berorientasi agribisnis
yang berbasis modal sosial.
3. Dapat menjadi bahan masukan dan saran bagi subak-subak serta pengambil
kebijakan (pemerintah), khususnya di dalam memberdayakan dan
merumuskan penyesuaian kelembagaan subak-subak sebagai lembaga
ekonomi dengan tetap memperhatikan local wisdom sebagai bagian dari
modal sosial.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial dalam Pembangunan Pertanian
Modal sosial atau social capital memiliki peran yang signifikan
terhadap pembangunan, khususnya pembangunan berkelanjutan karena modal
sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi
problem bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan
ekonomi (Flassy, et al., 2009). Modal sosial memiliki peran yang sangat besar
dalam pembangunan masyarakat dimana social capital yang kuat akan
meningkatkan kepercayaan dan interaksi yang kuat.
Modal sosial merupakan suatu sumberdaya yang dapat dipandang sebagai
investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Modal Sosial menekankan
pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu
kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial,
norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok
dan menjadi norma kelompok. Menurut Tonkiss (2000; dalam Syahyuti, 2008)
modal sosial dapat memiliki nilai ekonomis apabila mampu membantu individu
atau
kelompok
mendapatkan
manusia
informasi,
untuk
mengakses
menemukan
sumber-sumber
pekerjaan,
merintis
keuangan,
usaha
dan
memiminimalkan biaya traksaksi.
Putnam (1995) mengatakan bahwa modal sosial dapat menjadi perekat
bagi setiap individu dalam bentuk norma-norma, kepercayaan dan jaringan
kerja sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan untuk mencapai
tujuan bersama. Lebih lanjut dinyatakan bahwa modal sosial atau social capital
16
as features of social organization such as networks, norms, and social tust that
facilitate coordination and cooperation for mutual benefit (Harriss dan Renzio,
1997). Social capital is the cumulative capacity of social groups to cooperate and
work together for the common good (Montgomery, 1998). Artinya bahwa modal sosial
merupakan bagian dari organisasi sosial yang mencakup jaringan, norma dan saling
percaya dalam upaya untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama guna mencapai
tujuan bersama.
Secara umum disebutkan bahwa modal sosial merupakan sesuatu yang
merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan
norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam
masyarakat. Modal sosial bukan sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok
yang menopang kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas,
yaitu sebagai perekat yang mejaga kesatuan anggota kelompok secara bersamasama. Cox (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu rangkaian proses
hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma dan
kepercayan sosial yang memungkinkan efisiensi dan efektifitas koordinasi dan
kerjasama untuk keuntungan bersama.
Fukuyama (1995) lebih menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu
segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan
bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat nilai-nilai dan normanorma yang tumbuh dan dipatuhi. Dia menyebutkan bahwa hasil-hasil studi di
berbagai negara bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan
berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan
kerekatan hubungan alam jaringan yang lebih luas tumbuh antar sesama pelaku
ekonomi. Modal sosial sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan
17
kemajuan berbagai sektor ekonomi, karena apapun pembangunan ekonomi
yang dilakukan, faktor trust, reciprocity, dan nilai-nilai etis merupakan
penopang yang akan menentukan perkembangan dan keberlanjutan beragam
aktifitas usaha di setiap sektor perekonomian.
Subejo (2004) mengatakan bahwa modal sosial menyangkut empat
aspek yaitu norms, reciprocity, trust, and network. Dia juga menyebutkan
bahwa ke empat elemen tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perilaku kerjasama untuk mencapai hasil yang diinginkan yang mampu
mengakomodasi
kepentingan individu yang melakukan kerjasama maupun
kelompok secara kolektif. Mudarta (2009) secara lebih ringkas mengungkapkan
bahwa modal sosial pada dasarnya terdiri kepercayaan (trust), norma (norms)
dan jaringan sosial (social networks).
Lebih lanjut disebutkan bahwa kepercayaan (trust) dapat membuat dan
memungkinkan transaksi-transaksi ekonomi menjadi lebih efisien dengan
memberikan kemungkinan bagi pihak-pihak yang terkait untuk bisa (i)
mengkases lebih banyak informasi; (ii) memungkinkan mereka untuk saling
mengkoordinasikan kegiatan untuk kepentingan bersama; dan (iii) dapat
mengurangi atau bahkan menghilangkan opportunistic behavior melalui
transaksi-transaksi yang terjadi berulang-ulang dalam rentang waktu yang
panjang.
Berdasarkan pada pengertian di atas, modal sosial dapat dipandang dari
sisi sosiologis dan ekonomis. Ahli sosiologi cendrung memberikan penekanan
pada beberapa hal terhadap modal social sebagai berikut.
Social capital is the trust, reciprocity and mutuality that inhere to social
relationships. It accumulates to the extent that members of different social
18
groups can maintain respect for differences and learn to cooperate,
especially beyond the family and clan. Trust and mutuality in the
sociological sense are often identified as a "moral resource (Carrol, 2001).
Sementara itu, para ahli ekonomi di sisi lain memberikan interpretasi
tentang modal sosial sebagai berikut:
Social capital is best understood as the institutional dimension of
transactions, markets and contracts. It determines the ways in which
reliable, stable relationships and shared information among actors can
enhance the effectiveness and efficiency of both collective and individual
interests. It is especially relevant to market imperfections where public
goods are involved. "Trust" is defined formally as expectation about the
actions of others that have a bearing on one's own choice of actions
(Carrol, 2001).
Kedua pandangan di atas memberikan indikasi bahwa modal sosial
sebagai sumber daya moral yang terdapat di dalam suatu hubungan-hubungan
sosial pada masyarakat yang mampu meningkatkan efisiensi dan keefektifan
proses transaksi, pemasaran dan kotrak-kotrak ekonomis.
Modal sosial dibutuhkan guna menciptakan jenis komunitas moral yang
tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi
modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah
komunitas masyarakat dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikankebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability. Oleh karena itu,
modal sosial dipandang sebagai tempat meleburnya kepercayaan masyarakat
dan sebagai faktor yang penting bagi kondusivitas ekonomi sebuah negara,
yang bersandar pada akar-akar kutural (Fukuyama,1995).
Interaksi yang kuat akan melahirkan tindakan alturisme seperti
kebersamaan, dan gotong royong. Flassy, et al., (2009) mendefenisikan
altruism sebagai tindakan-tindakan kebajikan, yakni tindakan seseorang yang
19
dengan rela mengorbankan sesuatu untuk orang lain. Alturisme ditunjukkan
kepada sanak saudara didukung karena sanak saudara memiliki peluang yang
tinggi membawa gen-gen yang menentukan sifat tidak egois dari para altruism.
Model lain alturism adalah pengorbanan diri yang diturunkan lewat
budaya dan lebih bersifat komunal. Oleh karena itu, yang perlu didorong dalam
program pemberdayaan adalah timbulnya alturism yang tidak berdasarkan
ikatan komunal melainkan berdasarkan ikatan asosiasional dimana kepentingan
bersama yang lebih mendorong proses demokrasi, seperti gotong royong dan
rembug desa.
Interaksi masyarakat hanya dapat diwujudkan jika terbangun saling
kepercayaan antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, solidaritas
masyarakat hanya dapat dicapai dengan kepercayaan. Saling kepercayaan
antara pemerintahan desa, investor, dan masyarakat sipil merupakan kunci
utama pembangunan berkelanjutan karena membangun kepercayaan sama
halnya dengan membangun organisasi modern. Pengembangan jaringan,
sebagai bagian dari unsur modal sosial, jaringan sosial hanya dapat diwujudkan
setelah terbangun kepercayaan dan reinternalisasi nilai yang dianut (Flassy, et
al., 2009). Hasbulah (2006) menyebutkan bahwa jaringan sosial yang baik
memberikan pengaruh yang kuat terhadap partisipasi mereka yang berinteraksi
untuk membangun masyarakatnya yang didasarkan pada kesukarelaan.
Untuk membangun potensi yang dimiliki masyarakat, jaringan
merupakan salah satu kunci utama. Hasil penelitian juga menunjukkan kalau
jaringan pelaku ekonomi tumbuh dan berkembang biasanya oleh kekuatan atau
20
pengaruh pelaku ekonomi itu sendiri. Koperasi yang berkembang baik adalah
pelaku ekonomi sukarela yaitu Koperasi Persatuan Wanita Jatinangor. Koperasi
ini telah dibangun sejak tahun 1968. Namun peranannya dalam pengaturan desa
dan kecamatan sangat kecil (Flassy, et al., 2009). Fafchamps dan Minten
(1999) dalam penelitiannya mengenai perdagangan komoditas pertanian
menyebutkan bahwa social networks enabled traders to reduce transaction cost
under a situation of imperfect information and then have higher margins.
Kontribusi modal sosial telah nampak dirasakan oleh masyarakat
Jatinangor sehingga koperasi yang mereka bentuk sampai saat ini masih
berjalan sebagaimana koperasi yang lain. Adapun manfaat social capital
adalah: (1) partisipasi individu dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan
ketersediaan informasi dengan biaya rendah, (2) partisipasi dan jaringan kerja
lokal dan sikap saling percaya akan membuat kelompok lebih mudah untuk
mencapai keputusan bersama dan mengimplementasikan dalam kegiatan
bersama, (3) memperbaiki jaringan kerja dan sikap mengurangi prilaku tidak
baik dari anggota. Sikap yang terbentuk dalam diri akan mendorong untuk
terciptanya suatu tindakan terhadap kegiatan bersama (Syahyuti, 2008).
Wiriaatmadja (1973), mengartikan sikap mental sebagai kecendrungan
untuk bertindak seperti tidak berprasangka terhadap hal-hal yang baru dikenal,
ingin bergotong royong dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama,
dengan swadaya dan swakarsa. Syahyuti (2008) mengatakan bahwa modal
sosial memiliki peran sebagai perekat yang mampu mengikat semua orang di
dalam masyarakat, dimana modal sosial ini tumbuh dengan baik karena adanya
21
nilai saling berbagi (shared values) serta pengorganisasian peran (rules) yang
diekspresikan dalam hubungan personal (personal relationships), kepercayaan
(trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama sehingga
masyarakat menjadi lebih dari sekedar kumpulan individu belaka.
Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar
kebaikan (reiprocity) antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok
itu sendiri di dalam masyarakat (Hasbullah, 2006). Pola pertukaran ini bukanlah
sesuatu yang dilakukan secara seketika seperti halnya proses jual-beli, akan
tetapi merupakan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam
nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan
orang lain).
Jadi, modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan
akan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk
bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial
akan tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk
membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya.
Di sisi lain, Flassy, et al., (2009) mengatakan bahwa unsur utama dan
terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust). Atau dapat dikatakan
bahwa trust dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition)
dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu
masyarakat. Syahyuti (2008) menyebutkan bahwa kehidupan ekonomi sangat
bergantung pada ikatan moral kepercayaan sosial yang memperlancar transaksi,
memberdayakan kreatifitas perorangan, dan menjadi alasan kepada perlunya
22
aksi kolektif. Lebih tegas disebutkan bahwa modal sosial sesungguhnya adalah
modal yang digunakan dalam aktivitas ekonomi sebagaimana modal finansial
dan sumber daya alam.
Hasil penelitian Kong dan Li (2010) di Cina menunjukkan bahwa adanya
saling kepercayaan yang tinggi di antara para petani memberikan kemudahankemudahan dalam memperoleh akses informasi dan mendapatkan kredit
usahatani dari koperasi perdesaan. Kepercayaan para petani terhadap
pengurusnya organisasinya termasuk koperasi menyangkut karakteristik
pengurus yang bersangkutan seperti kompetensinya dan reputasi yang
dimilikinya selain hubungan yang dekat dengan di antara mereka (Guo, et al.,
2008).
Lesser (2000) mengatakan bahwa modal sosial sangat penting bagi
komunitas karena : (i) mempermudah akses informasi bagi anggota komunitas;
(ii) menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas;
(iii) mengembangkan solidaritas; (iv) memungkinkan mobilisasi sumber daya
komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk
perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas.
Woolcock (1998) mengajukan tiga dimensi dari modal sosial, yaitu:
bonding, bridging dan linking. Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding
social capital) merujuk pada hubungan antar individu yang berada dalam
kelompok primer atau lingkungan ketetanggaan yang saling berdekatan.
Komunitas-komunitas yang menunjukkan kohesi internal yang kuat akan lebih
mudah dan lancar dalam berbagi pengetahuan.
23
Modal sosial yang bersifat menjembatani (bridging social capital)
adalah hubungan yang terjalin di antara orang-orang yang berbeda, termasuk
pula orang-orang dari komunitas, budaya, atau latar belakang sosial-ekonomi
yang berbeda. Individu-individu dalam komunitas yang mencerminkan dimensi
modal sosial yang bersifat menjembatani akan mudah mengumpulkan informasi
dan pengetahuan dari lingkungan luar komunitasnya dan tetap memperoleh
informasi yang aktual dari luar kelompoknya.
Tipe modal sosial ini menunjuk pada hubungan antar individu yang
memiliki kekuasaan atau akses pada bisnis dan hubungan sosial melalui
kelompok-kelompok sekunder. Modal sosial yang bersifat mengaitkan (linking
social capital) memungkinkan individu-individu untuk menggali dan
mengelola sumbersumberdaya, ide, informasi, dan pengetahuan dalam suatu
komunitas atau kelompok pada level pembentukan dan partisipasi dalam
organisasi formal.
Aref (2011) dalam penelitiannya pada koperasi tani di Iran
menunjukkan bahwa kepercayaan anggota (petani)
terhadap koperasi tani
tersebut ditentukan oleh kualitas layanan yang diperolehnya. Layanan koperasi
yang kurang baik menyebabkan kepercayaan anggota menjadi lemah dan
mengakibatkan partisipasinya semakin berkurang atau rendah.
Bulu, et al.
(2009) menyimpulkan hasil penelitiannya di Nusa Tenggara Barat bahwa
modal sosial dalam adopsi inovasi jagung dipengaruhi oleh faktor frekuensi
komunikasi inovasi, intensitas komunikasi inovasi, motivasi kerja, sikap petani,
nilai manfaat ekonomi inovasi, ketersediaan pasar, dan tingkat adopsi inovasi.
24
Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi inovasi
jagung adalah modal sosial, akses informasi inovasi, ketersediaan inovasi, dan
ketersediaan pasar. Dalam proses adopsi inovasi jagung diketahui bahwa
keterdedahan petani terhadap informasi inovasi, modal manusia, dan promosi
inovasi adalah bekerja melalui modal sosial. Modal sosial merupakan salah satu
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan adopsi inovasi jagung,
sehingga sangat perlu untuk melakukan revitalisasi modal sosial.
Pada pengelolaan agroekosistem lahan kering di Kabupaten Gunung
Kidul menunjukkan bahwa terdapat beberapa kekuatan modal sosial yang
berperan dalam pengelolaan tersebut, di antaranya adalah kepemimpinan,
solidaritas, gotong royong, manajemen sosial dan jaringan kerja (Pranaji,
2006). Hasil penelitian Alfiasari, et al., (2009) mengenai korelasi antara modal
sosial dengan kesejahteraan ekonomi keluarga miskin anggota kelompok UEKSP KUBE Gakin di Bogor menunjukkan bahwa variabel kepercayaan, norma
dan jaringan kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan peningkatan
kesejahteraan.
Mudarta
(2009)
mencoba
untuk
mendorong
adanya
rumusan
pengembangan agribisnis yang berbasis komunitas dan harus dipahami sebagai
proses interaksi sosial dan proses kerja yang teraktualisasi tiga jenis modal
yaitu modal alamiah, modal ekonomi dan modal sosial. Bahkan Syahyuti
(2008) mengatakan bahwa modal sosial menjadi suatu tulang punggung sistem
perdagangan hasil pertanian karena memiliki peranan yang nyata dalam kondisi
kelembagaan pasar yang lemah. Modal sosial dapat menjadi sumber kredit
ketika kredit formal tidak bisa diakses.
25
Memperhatikan berbagai pengertian dan hasil-hasil penelitian seperti
disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa modal sosial merupakan suatu
jaringan kerjasama di antara warga masyarakat untuk mencari dan memperoleh
solusi dari permasalahan yang mereka hadapi bersama, yang didasarkan atas
rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang
mengikatnya. Dengan demikian, modal sosial dapat menjadi unsur pendukung
keberhasilan pembangunan termasuk pembangunan pedesaan dan pertanian.
Hasil penelitian terhadap modal sosial dan rantai pemasaran sapi di Bali
dan Lombok menunjukkan bahwa kelompok-kelompok petani memiliki
kepercayaan yang tinggi di antara para anggotanya dan juga kepada
pemimpinnya memberikan pengaruh positif terhadap rantai pemasarannya
(Patrick, et al., 2010).
Berdasarkan pada beberapa teori yang disebutkan di atas, dalam
penelitian ini modal sosial yang dimaksudkan adalah sumber daya yang
terdapat di dalam organisasi sosial (subak) yang mencakup tiga elemen utama
yaitu kepercayaan, norma sosial dan jaringan sosial. Ketiga elemen ini dapat
memberikan pengaruh terhadap pecapaian tujuan bersama melalui koordinasi
dan aktivitas kolektif yaitu kegiatan usaha agribisnis.
.
2.2 Pembangunan Pertanian dan Agribisnis
Fatah (2006) menyebutkan bahwa pembangunan pertanian merupakan
bagian dari pembangunan ekonomi dan memiliki arti sebagai suatu proses yang
ditujukan untuk selalu menambah produksi pertanian, produktivitas usahatani
dan sekaligus meningkatkan pendapatan para petani melalui penambahan
26
modal usahatani, keterampilan teknis dalam mengelola usahataninya (tumbuhan
dan hewan).
Dalam periode 2005-2009, pembangunan pertanian diarahkan untuk
mencapai visi, yaitu terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan
ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian
serta peningkatan kesejahteraan petani. Di Indonesia, pembangunan pertanian
hakekatnya merupakan integral dari pembangunan ekonomi, sehingga di dalam
pembangunan suatu wilayah tertentu tidak dapat dikesampingkan pembangunan
pertanian itu sendiri.
Menurut Mubyarto (1995) sektor pertanian memberikan sumbangan
yang cukup besar bagi perekonomian nasional. Kondisi ini diindikasikan
adanya mayoritas penduduk Indonesia hidup di perdesaan dengan pertanian
sebagai sumber utama pendapatan masyarakatnya, yaitu sebagai petani. Oleh
karena itu, pembangunan pertanian selalu berhubungan atau tidak dapat
dipisahkan dengan pembangunan perdesaan itu sendiri, baik yang menyangkut
aspek transfer teknologi, tenaga kerja perdesaan, pertumbuhan kelembagaan
perdesaan, peningkatan produktivitas, urbanisasi dan lain sebagainya. Banyak
ahli menyebutkan bahwa pertanian memiliki beberapa peranan yang penting
dalam kaitannya dengan sektor lainnya, seperti industri (Delgado, et al., 1994;
Johnson dan Mellor, 1961; dan Timmer, 1992: dalam Fatah, 2006).
Posisi pertanian akan sangat dan semakin strategis jika dilakukan
perubahan pola pikir masyarakat yang awalnya cenderung memandang
pertanian hanya sebagai penghasil (output) komoditas menjadi pola pikir yang
melihat multi-fungsi dari pertanian, misalnya melalui pengembangan agribisnis.
27
Sistem agribisnis mengedepankan sistem budaya, organisasi dan manajemen
yang amat rasional dan dirancang untuk memperoleh nilai tambah yang dapat
disebar dan dinikmati oleh seluruh pelaku ekonomi secara fair, dari petani
produsen, pedagang dan konsumen (Arifin, 2004).
Soetriono, et al., (2006) mengatakan bahwa sistem agribisnis secara
konsepsional dapat diartikan sebagai semua aktivitas mulai dari pengadaan dan
penyaluran sarana produksi sampai kepada pemasaran produk-produk yang
dihasilkan oleh usahatani dan agroindustri yang saling terkait satu sama lain.
Suparta (2005) mengatakan bahwa agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep
yang utuh, mulai dari proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas
lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Agribisnis merupakan suatu
keseluruhan aktivitas bisnis di bidang pertanian yang saling terkait dan saling
tergantung satu sama lain, mulai dari : (i) sub-sistem pengadaan dan penyaluran
sarana produksi; (ii) sub-sistem usahatani; (iii) sub-sistem pengolahan dan
penyimpanan hasil (agroindustri); (iv) sub-sistem pemasaran; dan (v) subsistem penunjang, yang meliputi lembaga keuangan, transportasi, penyuluhan,
pelayanan informasi agribisnis, penelitian, kebijakan pemerintah dan asuransi
agribisnis (lihat Gambar 1.1).
Beberapa tujuan agribisnis di Indonesia adalah untuk menarik dan
mendorong sektor pertanian; menciptakan struktur perekonomian yang
tangguh, efisien dan fleksibel; menciptakan nilai tambah; meningkatkan
penerimaan devisa, menciptakan lapangan kerja; dan memperbaiki pembagian
atau distribusi pendapatan (Arifin, 2004). Menurut Said dan Harizt (2004) dan
28
Subsistem
Agribisnis Hulu



Industri
perbenihan/
pembibitan
(tanaman dan
ternak),
Industri
agrokimia,
Industri agrootomotif,

Subsistem Usahatani
Subsistem
Pengolahan
Usaha tanaman
pangan dan
hortikultura,
 Industri makanan
dna minuman,
 Distribusi,
promosi,
 Industri rokok,
Industri barang
serat alam,
 Informasi pasar,
inteligen pasar,

Usaha tanaman
perkebunan,

Usaha
peternakan,
perikanan,
 Industri
biofarmaka,
 Industri
agrowisata, dsb
Subsistem Jasa/Penunjang
agribisnis

Perkreditan dan asuransi,

Penelitian dan
pengembangan,

Pendidikan dan
penyuluhan,

Transportasi dan
pergudangan,

Kebijakan pemerintah
(mikro dan makro ekonomi,
termasuk tata ruang),
Gambar 1.1
Lingkup pengembangan sistem agribisnis
Subsistem
Pemasaran
29
Tjakrawerdaya (1996; dalam Siagian, 2003) bahwa agribisnis adalah
keseluruhan operasi yang terkait dengan aktivitas untuk menghasilkan dan
mendistribusikan input produksi, produksi usahatani, dan pengolahan serta
pemasaran.
Sehubungan dengan pengembangan agribisnis, diperlukan adanya
perencanaan yang terpadu, berkelanjutan dan diimbangi dengan penyediaan
pembiayaannya guna semakin memperkuat posisi sektor pertanian dalam
pembangunan perdesaan, regional dan nasional (Ashari, 2009). Simatupang
(2002) memandang bahwa sifat farming is a business dimana usahatani sangat
dipengaruhi oleh lingkungan strategis off-farm seperti sistem pemasaran input
dan output, pasar input dan output internasional, nilai tukar rupiah, kebijakan
perbankan, dan sebagainya.
Sadjad (2000) mengemukakan bahwa program pemberdayaan petani
yang dilakukan hingga saat ini secara ekonomi masih on farm centralism.
Secara tegas dia mengatakan bahwa pemberdayaan organisasi masyarakat harus
lebih diarahkan guna membangkitkan rekayasa agribisnis untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani dan perdesaan. Oleh karena
itu, integrasi antara subsistem hilir dan hulu harus sangat kuat di dalam
pengembangan pembangunan pertanian yang berorientasi agribisnis.
Sementara itu, Mubyarto dan Awan (2003) mengkritisi pengembangan
konsep sistem agribisnis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Konsep
dan paradigma sistem agribisnis tidak dapat menjadi suatu kebenaran umum,
karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang
memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu, pemikiran sistem
30
agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya dipertanyakan
kembali.
Lebih lanjut disebutkan bahwa pengembangan agribisnis pada
kelompok masyarakat tetentu perlu dikaji kesesuaiannya berdasarkan pada
sistem nilai, sosial budaya, dan ideologi kelompok tersebut. Nilai-nilai dan
falsafah tersebut merupakan bagian dari modal sosial yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan agribisnis. Oleh karena itu, pertanian adalah suatu
budaya kehidupan dan juga sebagai way of life bagi petani kecil di Indonesia.
Wibowo (2008) lebih menekankan pada aspek kelembagaan dan tidak
semata-mata aspek ekonomis dalam memandang pengembangan agribisnis,
seperti pernyataannya sebagai berikut.
” Jika disepakati bahwa agribisnis adalah cara pandang baru (a new
paradigm) dalam membangun dan mengembangkan pertanian sesuai
dengan hakekat tujuan dasarnya (meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani) dengan memperhatikan potret petani dan pertanian di
Indonesia yang sangat dualistik saat ini, maka hal utama yang secara teoritis
dibutuhkan adalah upaya kelembagaan (institutional building) yang akan
memampukan dan memberikan landasan kondusif (enabling) bagi
berkembangnya kehidupan petani dan pertanian masa depan. Upaya
kelembagaan tersebut harus dipandang sebagai suatu prasyarat keharusan
(necessary condition) bagi suatu rekonstruksi dan restrukturisasi ekonomi
(pertanian) secara menyeluruh.
Sementara
itu,
Korten
(1987)
mengungkapkan
bahwa
pilihan
pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi bukan
saja telah mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan sosial tetapi juga
menimbulkan berbagai persoalan lain seperti timbulnya ketidakpedulian sosial,
erosi ikatan kekeluargaan dan kekerabatan, lebih dari itu pendekatan
pembangunan tersebut telah menyebabkan ketergantungan masyarakat pada
31
birokrasi-birokrasi sentralistik yang memiliki daya absorsi sumber daya yang
sangat besar, namun tidak memiliki kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan
lokal, dan secara sistematis telah mematikan inisiatif masyarakat lokal untuk
memecahkan masalah-masalan yang mereka hadapi.
Yusdja, et al., (2004) menyebutkan bahwa jika para petani dapat
melakukan kerjasama dalam bentuk manajemen usaha bersama maka akan
tersedia peluang untuk meningkatkan keuntungan dibandingkan jika mereka
melakukannya secara ndividual. Sedikitnya ada empat faktor yang dapat saling
dipertukarkan oleh petani yaitu teknologi, keahlian manajemen, kemampuan
daya kerja petani dan modal usahatani. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan produksi di lahan sawah sebesar 5-10 %,
peningkatan pendapatan sebesar 18-30% dan peningkatan kesempatan kerja
sebesar 20-30% di Desa Sampalan Kabupaten Karawang, dan Desa Rajasinga
di Kabupaten Indramayu.
Gany (2001) mengatakan bahwa secara operasional diperlukan adanya
konsep humanisasi pembangunan pertanian di pedesaan. Konsep ini merupakan
suatu konsep yang lebih mengedepankan pengembangan dan revitalisasi
sumberdaya manusia (SDM) pedesaan, sehingga terjadi apa yang disebut local
empowerment dan peningkatan local capacity. Lebih lanjut disebutkan bahwa
secara empirik, konsep ini teruji seperti di Jepang, Korea dan Malaysia. Dalam
konteks pembangunan pedesaan, revitalisasi SDM pedesaan diyakini akan
mampu meningkatkan daya kompetisi global masyakarat desa dalam
menyongsong globalisasi perdagangan. Tanpa revitalisasi SDM pedesaan,
sangat sulit membayangkan bagaimana pelaku pembangunan pedesaan di
32
tingkat bawah mengelola sumberdaya alam yang mereka miliki secara lebih
ekonomis dan berkelanjutan.
Beberapa faktor yang mendukung prospek pengembangan agribisnis di
Indonesia adalah (i) pertumbuhan penduduk dan permintaan pangan yang
menjadi peluang pasar bagi pelaku agribisnis; (ii) peningkatan pendapatan
masyarakat yang dapat meningkatkan kebutuhan pangan baik dari aspek
kualitas maupun jenis; dan (iii) perkembangan agribisnis dapat meningkatkan
pendapatan petani dan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu daerah.
2.3 Kelembagaan Subak dalam Pengelolaan Agribisnis
Menurut
Peraturan
Daerah
Provinsi
Tingkat
I
Bali
Nomor:
2/DPRD/1972 tentang Irigási Daerah disebutkan bahwa subak adalah
masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-agraris religius yang secara historis
didirikan sejak dulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa
tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain persawahan dari suatu sumber
di dalam suatu daerah.
Sutawan, et al., (1989) mengatakan bahwa subak sebagai sistem irigasi
merupakan organisasi petani pengelola air
yang mendistribusikan dan
mengalokasikan irigasi pada usahatani lahan basah yang memiliki satu sumber
air, memiliki satu atau lebih pura, memiliki hak otonomi untuk mengatur
organisasinya sendiri serta memiliki berbagai aturan yang dibuat bersama dan
diataati bersama oleh semua anggotanya. Lebih lanjut, disebutkan juga bahwa
33
terdapat beberapa fungsi subak, yaitu (i) mendistribusikan dan mengalokasikan
air irigasi; (ii) operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi; (iii) mobilisasi sumber
daya; (iv) penanganan konflik yang dihadapi subak; dan (v) menyelenggarakan
kegiatan ritual/keagamaan.
Lebih lanjut Sutawan (2005; dalam Pitana dan Setiawan, 2005)
mengungkapkan bahwa subak merupakan suatu sistem irigasi yang dikelola
petani secara swadaya untuk tanaman semusim khususnya padi dan memiliki
beberapa elemen yang saling terkait. Elemen-elemen tersebut adalah sebagai
berikut: (i) organisasi pengelola air irigasi; (ii) jaringan irigasi/sarana dan
prasarana irigasi; (iii) produksi pangan; (iv) ekosistem lahan sawah beririgasi;
dan (v) ritual keagamaan yang berkenaan dengan budidaya tanaman padi.
Ambler (1990) juga menyebutkan bahwa organisasi pengelola air irigasi
termasuk subak bukanlah merupakan sekedar organisasi yang mengelola aspek
teknis semata tetapi lebih sarat pada aspek sosial-budaya. Rachman (2009)
mengungkapkan bahwa dalam upaya untuk menciptakan pengelolaan sumber
daya air yang efisien dan merata dalam pengalokasiannya, diperlukan adanya
penyesuaian kelembagaan baik untuk kelembagaan pemerintah, swasta maupun
petani. Di Tingkat petani, misalnya, diperlukan upaya untuk mengembangkan
kapasitas asosiasi pemakai air menjadi suatu organisasi yang mampu berperan
ganda, yaitu tidak semata-mata sebagai pengelola sistem irigasi, tetapi juga
mampu sebagai pengelola usaha ekonomis.
Subak rupanya memang memiliki potensi yang cukup memadai untuk
menjadi lembaga yang tangguh (viable) seperti terlihat dari hal-hal berikut.
34
1. Organisasi yang relatif mantap seperti adanya struktur yang jelas,
kepengurusan yang jelas wewenang dan tanggung jawabnya, dilengkapi
dengan awig-awig (peraturan-peraturan) dengan berbagai sanksinya.
2. Setiap anggota subak berhak melakukan pengawasan dan monitoring
terhadap siapa saja termasuk pengurusnya dalam menerapkan peraturan
yang telah disepakati bersama.
3. Semangat gotong-royong yang tinggi dalam melakukan kegiatan-kegiatan
persubakan terutama dalam pemeliharaan jaringan fisik dan kegiatan ritual
subak.
4. Ritual subak merupakan unsur pemersatu para anggotanya sehingga subak
menjadi organisasi yang kuat dan tangguh.
5. Subak memiliki batas wilayah yang jelas dan berdasarkan prinsip hidrologis
bukan atas dasar kesatuan administratif.
6. Subak mempunyai landasan filosofis Tri Hita Karana yang menekankan
pada
keseimbangan
keharmonisan
antara
dan
keharmonisan
manusia
dengan
yakni
keseimbangan
sesamanya,
dengan
dam
alam
lingkungannya dan dengan Tuhan Yang Mahaesa sebagai pencipta segala
yang ada di alam semesta ini. Ini berarti bahwa subak memiliki potensi
yang sangat besar untuk berperanan sebagai pengelola sumberdaya alam
guna mendukung pembangunan berkelanjutan.
7. Subak memiliki mekanisme penanganan konflik yang timbul di kalangan
anggotanya maupun antara anggota subak yang bersangkutan dengan
anggota dari subak lain.
35
8. Awig-awig dapat diubah dan disesuaikan menurut keadaan yang selalu
berubah berdasarkan kesepakatan seluruh anggota subak.
9. Penggalian dana sebagai salah satu fungsi penting dari subak untuk
membiayai perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi serta untuk
keperluan penyelenggaraan ritual. Banyak subak telah menunjukkan
kemampuannya menggali dana dengan berbagai cara seperti melalui usaha
simpan pinjam, pengumpulan denda, pemungutan iuran dari anggota,
menyewakan areal persawahan subak untuk pengembalaan itik, dll
(Sutawan, et al.,1995).
Sutawan (2005; dalam Pitana dan Setiawan, 2005) mengatakan bahwa
sistem subak memiliki peran dan fungsi yang beragam (multi-functional roles),
yang tidak semata-mata untuk menghasilkan pangan. Beberapa fungsi subak
dengan lahan sawah beririgasi tersebut adalah:
1. fungsi produksi dan ekonomi guna menjamin ketahanan pangan;
2. fungsi lingkungan yang mencakup pengendalian banjir, pengendalian erosi,
pengisian kembali air tanah (ground wáter recharge), purifikasi udara dan
air serta pemberi hawa sejuk;
3. fungsi ekologi (hábitat berbagai jenis spesies yang memberi sumber protein
bagi petani dan sangat pening bagi terpeliharanya keanekaragaman hayati;
4. fungsi sosial budaya, yaitu penyangga tradisi dan nilai-nilai sosial budaya
perdesaan;
36
5. fungsi pembangunan perdesaan, yaitu sumber air minum untuk ternak, cuci
dan mandi bagi penduduk desa, menyediakan kesempatan kerja bagi
penduduk desa; dan
6. fungsi ekowisata dan agrowisata karena adanya daya tarik keindahan
pemandangan berupa sawah teras dan alam perdesaan serta kehidupan
masyarakat perdesaan dan pertanian yang dilengkapi dengan kekayaan
tradisinya termasuk keanekaragaman produksi pertaniannya.
Sebagai suatu organisasi subak setidaknya dapat memainkan beberapa
fungsi penting (Bosc, et al., 2001), di antaranya adalah : (i) fungsi ekonomis,
yaitu penyediaan input, produksi, pemasaran produk-produk; (ii) fungsi sosial,
seperti pendidikan, budaya, air minum, kesehatan; (iii) fungsi tukar menukar
informasi dan pengalaman; dan (iv) fungsi koordinasi. Rachman (2009)
menyebutkan bahwa P3A yang berkelanjutan memerlukan penyesuaian
kelembagaan untuk dapat berfungsi ekonomis.
Kuswanto (1977) mengungkapkan bahwa organisasi pengelola air
irigasi (subak) dipandang dari fungsi dan keuntungannya agar tetap
mempertahankan
kompetitifnya
sifat sosialnya di dalam mengahadapi isu semakin
pengelolaan
sumber
daya
air
dewasa
ini.
Beberapa
pertimbangannya adalah sebagai berikut: (i) pemilikan hak guna atas air dan
jaringan irigasi oleh subak sebagai perkumpulan petani pengelola air (P3A)
bersifat kolektif; dan (ii) P3A dapat berfungsi sebagai instrumen untuk
menciptakan dan menjaga pemerataan ekonomi di kalangan petani anggota.
37
Salah satu hasil yang kurang memuaskan akibat tidak memanfaatkan
lembaga sejenis subak dalam kegiatan ekonomis adalah seperti yang ditemukan
oleh Wardoyo dan Prabowo (2007). Hasil studinya
menyebutkan bahwa
introduksi kelembagaan baru di sektor pertanian, khususnya untuk usahatani
padi, yaitu melalui dana talangan Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP)
yang diharapkan untuk membantu petani dalam pemasaran gabahnya ternyata
belum memberikan hasil yang optimal. Koperasi Unit Desa (KUD) masih saja
belum mampu menjalankan fungsinya secara tepat, yaitu pembelian gabah
petani dengan alasan terlambatnya dana talangannya sehingga belum terjadi
peningkatan penerimaan petani.
Aref (2011) menjelaskan bahwa koperasi pertanian merupakan salah
satu organisasi sosial ekonomi pada masyarakat perdesaan di Iran. Koperasi ini
dapat memiliki fungsi penyediaan input pertanian seperti benih, pupuk dan
pemasaran produk.
2.4 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Tani
Soekartawi (1995) mengatakan bahwa salah satu komponen yang harus
diperhatikan dalam paradigma pembangunan pertanian di masa mendatang
adalah adanya pergeseran pendekatan yaitu dari dominansi peran pemerintah
menuju peran masyarakat yang lebih besar, yang dikenal dengan pendekatan
partisipatif. Masyarakat yang dikenal tidak berdaya perlu untuk dibuat berdaya
dengan menggunakan berbagai model pemberdayaan. Dengan proses
pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat.
38
Istilah pemberdayaan (empowerment) adalah berasal dari kata empower
yang berarti:
“to invest with power, especially legal power or officially authority”, atau
“... taking control over their lives, setting their own agendas, gaining skill,
building self-confidence, solving problems and developing selfreliance”
(Syahyuti, 2007).
Selanjutnya Syahyuti (2007) mengatakan bahwa terdapat dua prinsip
dasar yang perlu diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu (i)
mampu menciptakan kesempatan atau peluang bagi masyarakat yang
diberdayakan untuk dapat mengembangkan dirinya secara mandiri dan sesuai
dengan cara yang dipilihnya sendiri; dan (ii) mampu mengupayakan
masyarakat agar mereka dapat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan
kesempatan atau peluang yang telah tercipta tersebut. Sedangkan Wallerstein
(1992) mendefinisikan pemberdayaan sebagai berikut:
“empowerment as a "social action process that promotes the participation
of people, organizations, and communities toward the goals of increased
individual and community control, political efficacy, improved quality of
community life, and social justice."
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan
ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan
paradigma
baru
pembangunan,
yakni
yang
bersifat
people-centered,
participatory, empowering, and sustainable (Chambers, 1995). Proses
pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang bertitik tolak untuk
memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya sendiri
dengan menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin.
Proses tersebut menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat
39
pengembangan yang dikenal dengan sebutan people or community centered
development (Delivery, 2004).
Lebih lanjut disebutkan juga bahwa esensi kunci dalam upaya
pemberdayaan masyarakat bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya
yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan,
memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective
action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan
dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
Secara tegas Elizabeth (2007) mengatakan bahwa pembangunan
pertanian di pedesaan akan dapat mencapai keberhasilannya jika segala bentuk
ketradisionalan (sosial, adat-budaya) desa dan masyarakat diberdayakan.
Penggunaan istilah pemberdayaan lebih terkait dengan penguatan terhadap
ketidakberdayaan
masyarakat
(misalnya,
kemiskinan).
Masyarakat
diberdayakan dengan memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal agar
menjadi subyek dalam pembangunan, mandiri, mampu menolong dirinya
sendiri, serta mengembangkan semangat kepercayaan diri masyarakat setempat.
Berdasarkan pada pengertian di atas, dapat diungkapkan bahwa
pemberdayaan khususnya pada masyarakat tani dapat dimaknai suatu upaya
yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung
pengembangan potensi masyarakat tani, mendinamisasi dan memperkuat modal
(potensi) sosialnya guna peningkatan kualitas hidupnya. Zakaria (2009)
mengatakan bahwa pemberdayaan kelompok tani merupakan suatu rangkaian
upaya yang sistematis, konsisten dan berkelanjutan untuk meningkatkan
adaptasi dan inovasi petani guna mampu memanfaatkan teknologi secara
40
optimal dalam bingkai aturan main yang telah ada untuk terwujudnya tujuan
bersama.
Kartasasmita
(1997)
mengatakan
bahwa
dalam
pemberdayaan
masyarakat berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan
kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan
sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi
masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
(capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus
yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang
dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh
masyarakat tani itu sendiri.
Primahendra (2000) selanjutnya menegaskan terdapat lima jurus
pemberdayaan dalam pembangunan pertanian berkenaan yang memiliki
cakupan luas baik di tingkat mikro, makro dan global. Kelima jurus tersebut
adalah:
1. penguatan sumber daya petani secara langsung, dengan para petani sendiri
sebagai subyek dan motor penggerak kemajuan mereka sendiri dengan
fasilitas dari kelembagaan atau organisasi kemasyarakatan yang ada;
2. pengembangan kelembagaan dan organisasi kemasyarakatan yang secara
langsung memberdayakan petani;
3. pengembangan teknologi tepat guna bagi pemberdayaan petani;
4. penciptaan
iklim
kondusif
keberdayaan petani; dan
5. pengembangan kerjasama global.
yang
memungkinkan
berkembangnya
41
Dalam studinya di Lampung, Zakaria (2009) menekankan pada aspek
ekonomis dalam pemberdayaan kelembagaan/organisasi petani. Salah satu
komponen yang diangkatnya adalah adanya daya saing produk pertanian (ubi
kayu) akan mendorong efisiensi produksi yang dihasilkan guna memperoleh
keuntungan usahatani dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraannya.
Bulu,
et
al.,
(2009)
dalam
penelitiannya
menemukan
bahwa
pemberdayaan melalui penguatan modal sosial (jaringan kerjasama, saling
percaya dan norma-norma sosial) memiliki pengaruh terhadap partisipasi petani
dalam mengadopsi inovasi jagung di Kabupaten Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat. Modal sosial mereka dipandang sebagai wujud keteraturan di
dalam bekerja sama yang saling menguntungkan.
Pada dasarnya, partisipasi merupakan kunci utama dalam menjalin rasa
saling memahami, keterlibatan dalam implementasi kegiatan kolektif, dan
kekuatan dalam membangkitkan pemberdayaan. Oleh karena itu, partisipasi
dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk
menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan
(Widodo, 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi bukan
hanya sekedar salah satu tujuan dari pembangunan sosial tetapi merupakan
bagian yang integral dalam proses pembangunan sosial.
Sementara itu, Syahyuti (2007) menyebutkan terdapat tiga alasan
masyarakat berpartisipasi dalam suatu aktivitas, yaitu: (i) partispasi masyarakat
sebagai suatu alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan,
dan sikap masyarakat karena tanpa kehadirannya program pembangunan serta
proyek-proyek akan gagal; (ii) masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau
42
program pembangunan apabila merasa dilibatkan mulai dari tahap awal, yaitu
proses persiapan dan perencanaannya untuk mewujudkan rasa memiliki (sense
of belonging) dan tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap poyek
tersebut; dan (iii) partisipasi merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat
dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.
Pendekatan
partisipatif
dalam
program
pembangunan
seperti
pembangunan pertanian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
pengetahuan petani dalam adopsi inovasi jagung di Kabupaten Lombok Timur,
Nusa Tenggara Barat (Bulu, et al., 2009). Tingkat pengetahuan petani
mempengaruhi petani dalam mengadopsi teknologi baru dan kelanggengan
usahataninya.
Selanjutnya
dijelaskan
pula
bahwa
dalam
mengadopsi
pembaharuan atau perubahan, petani memerlukan pengetahuan mengenai aspek
teoritis dan pengetahuan praktis. Sebagai salah satu apek dari prilaku,
pengetahuan merupakan suatu kemampuan individu (petani) untuk mengingatingat segala materi yang dipelajari dan kemampuan untuk mengembangkan
intelegensi (Soedijanto, 1978).
Elizabeth (2007) juga menandaskan bahwa pendekatan partisipatif ini
adalah untuk mengatasi pendekatan dari atas/sentralistik (top down approach)
yang kurang berhasil. Selama tiga dekade terakhir telah memarjinalkan arti
masyarakat lokal dan memandulkan inisiatif mereka serta menjauhkan dari
sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka.
Keberhasilan pembangunan dalam masyarakat tidak selalu ditentukan
oleh tersedianya sumber dana keuangan dan manajemen keuangan, tetapi lebih
banyak dipengaruhi oleh peran serta dan respon masyarakat dalam
43
pembangunan, atau dapat disebut sebagai partisipasi masyarakat. Untuk
mencapai keberhasilan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan
diperlukan kepemimpinan lokal yang cakap, berwibawa dan diterima oleh
masyarakat (capable and acceptable local leadership) yang mampu
mensinergiskan tradisi sosial budaya dengan proses pembangunan modern
(Zamhariri, 2008).
Supadi (2008) mengemukakan bahwa untuk menggalang partisipasi
petani dalam upaya meningkatkan produksinya dilakukan melalui pemberian
bantuan fasilitas penguatan modal, pelatihan dan pembinaan agar petani mau
bekerja sama dan mampu menerapkan teknologi anjuran, serta penerapan
kebijakan yang melindungi petani. Partisipasi petani merupakan penentu
keberhasilan pengembangan usahatani kedelai. Dengan kata lain, keberhasilan
pengembangan usahatani kedelai di suatu daerah merupakan penjelmaan dari
partisipasi petani. Pendekatan partisipasi ini belum menunjukkan adanya
pemanfaatan lembaga petani/kelompok petani sebagai mediumnya.
Hasil penelitian Teuku (2010) menunjukkan bahwa diperlukan untuk
penguatan modal sosial di dalam pembangunan agar menjadi lebih berhasil dan
berkelanjutan. Modal sosial masyarakat mendorong terwujudnya partisipasi dan
selanjutnya mempengaruhi pembanguan desa menjadi kampung hijau. Selain
modal sosial, ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi terwujudnya
kampung menjadi hijau, seperti kondisi fisik lingkungan, manajemen
pembangunan dan kepemimpinan lokal.
LPTP Koya Barat, Irian Jaya telah melaksanakan pengkajian teknologi
pertanian dengan yang berawal dan berakhir pada petani. Partisipasi petani
44
merupakan aspek yang sangat penting di dalam pelaksanaan pengkajian
tersebut. Disebutkan bahwa, partisipasi petani diyakini memberikan manfaat
terhadap beberapa hal, yaitu: (i) menjadikan petani sebagai penerima pertama
teknologi yang akan dikembangkan; (ii) membuka kesempatan bagi petani
untuk belajar memahami teknologi yang dikembangkan; (iii) meningkatkan
rasa percaya diri petani; dan (iv) mendorong partisipasi petani sebagai pelaku
pembangunan pertanian (Anon., 2000). Pada intinya, partisipasi masyarakat
perdesaan merupakan kebutuhan dalam mencapai keberlanjutan program
pembangunan baik pertanian maupun perdesaan.
Di Swaziland, Afrika para petani memiliki partisipasi yang tinggi dalam
kegiatan usaha agribisnis yang diselenggarakan oleh koperasi pertanian yang
dibentuknya. Kondisi ini disebabkan karena adanya jaminan layanan
penyediaan sarana produksi pertanian dan kemudahan kredit yang sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan tanamannya
(Mavimbela, et al., 2010).
Untuk memungkinkan partisipasi petani kecil dalam proses penetapan
sasaran pembangunan perlu adanya wadah yang dapat meningkatkan posisi
tawar (bargaining power) mereka. Hal ini tidak mungkin dilakukan secara
individu tetapi harus melalui kekuatan bersama yang terorganisir secara baik.
Kelompok tani merupakan salah wadah ideal untuk menyatukan kekuatan
bersama petani yang dapat digunakan untuk meningkatkan posisi tawar mereka
(Silviyanti, 2008).
Penelitian di provinsi Gansu (Cina) mengenai pengembangan koperasi
tani menunjukkan bahwa kesuksesan dan keberlanjutannya sangat ditentukan
45
oleh partisipasi anggotanya dan adanya kepercayaan yang kuat antara anggota
dengan pengurusnya, yaitu dari aspek kepemimpinannya, serta adanya sharing
pengetahuan dan proses interaksi dalam jaringan sosial di tingkat internal
(Garnevska, et al., 2011; Mishra, et al., 2004). Karli, et al., (2006) juga
menjelaskan bahwa partisipasi anggota koperasi tani di Turki memiliki
hubungan yang erat dengan layanan penyediaan sarana produksi dan kredit
selain intesitas interaksi melalui komunikasi di antara para anggota dan juga
dengan pengurusnya.
Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa koperasi pertanian di
Afrika Selatan menunjukkan bahwa lemahnya partisipasi anggota terhadap
koperasinya dipengaruhi oleh rendahnya tingkat layanan penyediaan input
pertanian, kredit usahatani, kepercayaan anggota terhadap pengurusnya,
ketidaktahuan anggota terhadap program koperasi (Ortmann dan King, 2007).
Lebih lanjut disimpulkan juga bahwa kesuksesan koperasi pertanian ditentukan
oleh kapasitas kepemimpinan, pengetahuan anggota yang tinggi, kepercayaan
anggota kepada pengurus, sikap dan persepsi anggota yang positif terhadap
layanan koperasi, interaksi yang intensif antara anggota dengan pengurus serta
penerapan aturan-aturan.
46
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Salah satu tujuan pembangunan pertanian adalah mengembangkan
aktivitas ekonomi perdesaan melalui pengembangan agribisnis.
Di Bali,
pembangunan pertanian dan perdesaan dilakukan melalui suatu wadah yaitu
subak. Di masa mendatang, tantangan yang dihadapi adalah terwujudnya
kelembagaan subak dengan kearifan lokalnya mampu menjadikan organisasi
yang bersifat sosio-agraris-religius dapat beradaptasi dengan tuntutan
ekonomis anggotanya seiring dengan program-program pembangunan
pertanian dan perdesaan.
Oleh karena itu, subak dapat dikembangkan menjadi organisasi yang
tidak saja berorientasi pada pengelolaan irigasi tetapi juga pada agribisnis
dengan tetap berlandaskan pada kearifan lokal sebagai bagian dari modal
sosialnya. Pendekatan dengan pengembangan budaya modern dan tradisional
dapat disinergikan dalam pengembangan agribisnis di subak melalui berbagai
proses pemberdayaan subak. Dalam aspek modernisasi, pengembangan subak
dilakukan dengan introduksi berbagai teknologi baik pada aspek sarana
produksi, alat-alat dan mesin pertanian, budidaya serta pascapanen.
Sedangkan secara tradisional, pengembangan agribisnis subak dilakukan
melalui pendekatan yang didasarkan pada nilai-nilai modal sosial, seperti
saling percaya, norma dan jaringan sosial dengan berbagai parameternya.
Oleh karena itu dalam pengembangan agribisnis pada sistem subak,
segala bentuk ketradisionalan (sosial, adat-budaya) harus diberdayakan guna
47
mencapai tujuan pembangunan pertanian (agribisnis) dan mendorong
pembangunan perdesaan yang senantiasa berkembang secara modern.
Subak
sebagai
lembaga
tradisional
dapat
diberdayakan
dan
dimanfaatkan sebagai aset pembangunan pertanian untuk dapat hidup dan
bertahan tanpa menghancurkan inti budaya yang menjiwainya, yaitu modal
sosial. Dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat subak, peranan modal
sosial menjadi sangat penting diperhatikan. Pada penelitian ini, elemen modal
sosial di dalam subak yang dirumuskan adalah kepercayaan, norma sosial dan
jaringan sosial. Sedangkan, pengembangan agribisnis diindikasikan dan
diukur pada tingkat partisipasi petani terhadap kegiatan agribisnis di subak.
Modal sosial merupakan sumber daya yang terdapat di dalam suatu
organisasi sosial yang mencakup kepercayaan, jaringan sosial dan norma
sosial yang mendorong terwujudnya koordinasi dan kerjasama guna mencapai
tujuan
bersama.
Modal
sosial
ini
memberikan
pengaruh
terhadap
terbentuknya sikap dan pengetahuan petani untuk berpartisipasi di dalam
kegiatan agribisnis di subak. Secara skematis, konsep pengembangan
agribisnis dalam sistem subak yang berlandaskan modal sosial dapat dilihat
pada Gambar 3.1.
48
Gambar 3.1
49
Penelitian ini menguji secara statistik terhadap variabel-variabel elemen
modal sosial, sikap, pengetahuan dan pengembangan agribisnis (partisipasi)
pada sistem subak. Guna dapat diambil kesinmpulan terhadap hasil analisis
tersebut, hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Terdapat pengaruh kepercayaan, norma sosial dan jaringan sosial terhadap
sikap petani
berkenaan dengan pengembangan agribisnis pada sistem
subak.
2. Terdapat pengaruh kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial melalui sikap
terhadap pengetahuan petani mengenai pengembangan agribisnis pada
sistem subak.
3. Terdapat pengaruh kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial melalui sikap
dan pengetahuan terhadap pengembangan agribisnis pada sistem subak.
50
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Subak Guama dan Subak Selanbawak, di
Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Pemilihan lokasi subaksubak ini dilakukan secara purposive samping dengan beberapa pertimbangan
tertentu sebagai berikut.
1. Subak Guama telah memperoleh pembinaan pengembangan usaha
agribisnis dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali sejak
tahun awal tahun 2002, dan juga Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten
Tabanan.
2. Subak Selanbawak telah mendapat pembinaan dari Dinas Pertanian baik
provinsi dan kabupaten mengenai pengembangan agribisnis sejak 2001.
3. Subak Guama telah memiliki Koperasi
Tani, yaitu Koperasi Usaha
Agribisnis Terpadu (KUAT) yang telah berbadan hukum dengan bantuan
modal awal dari pemerintah melalui BPTP-Bali; demikian pula di Subak
Selanbawak telah terbentuk embrio koperasi tetapi belum berbadan hukum.
4. Subak Guama dan Selanbawak merupakan subak-subak yang berada pada
daerah irigasi yang bersumber dari Bendung Cangi dan telah memiliki
usaha-usaha ekonomis yang dimanfaatkan oleh anggota subak dan
memberikan keuntungan ekonomis bagi lembaga subak dan anggotanya.
51
4.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer
dan data sekunder yang merupakan komponen-komponen faktor internal dan
eksternal yang ada di masing-masing subak. Beberapa data primer yang
dibutuhkan adalah kondisi profil subak (kondisi teknis/fisik jaringan irigasi,
sosial, budaya dan agronomis) subak, usaha-usaha ekonomis yang dilakukan.
Sedangkan, data sekunder yang digali adalah yang berkenaan dengan fluktuasi
harga produk-produk yang dihasilkan oleh petani, keberadaan penggilingan
padi dan Koperasi Unit Desa (KUD), program pertanian dan pendekatan dari
pemerintah, luas lahan, tata guna lahan di Kecamatan Marga (Tabanan), dan
gambaran umum kecamatan dan desa di lokasi penelitian dan data penunjang
lainnya. Secara lebih rinci data yang dibutuhkan dan sumber datanya seperti
yang disajikan pada Tabel 4.1
Tabel 4.1
Data primer dan sekunder yang dibutuhkan
No
I
Jenis Data
Data Primer Petani
1. Karakteristik Petani anggota Subak
a. Umur
b. Lama pendidikan formal
c. Jumlah anggota rumah tangga
(menurut jenis kelamin dan umur)
d. Jenis pekerjaan selain petani
e. Status dan sistem penguasaan sawah
f. Luas penguasaan sawah
2. Sub-sistem penyediaan sarana
produksi
a. Jenis sarana produksi
Sumber Data
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
52
b. Cara dan tempat memperoleh sarana
produksi
c. Ketersediaan sarana produksi saat dibutuhkan
d. Masalah-masalah
3.Sub-sistem teknologi budidaya
a. Teknik berproduksi di lahan sawah
b. Penerapan teknologi (penggunaan
saprodi)
c. Pemeliharaan ternak
d. Penyediaan air irigasi
e. Masalah-masalah
4.
a.
b.
c.
Sub-sistem pengolahan
Teknik panen
Pengolahan produk
Masalah-masalah
5. Sub-sistem pemasaran
a. Cara memasarkan gabah dan beras
b. Lokasi penjualan
c. Masalah-masalah
6. Sub-sistem penunjang
a. Pemanfaatan jasa lembaga keuangan
b. Interaksi dengan PPL
c. Interaksi dengan instansi
d. Pelatihan dan penyuluhan (pertanian
dan irigasi
e. Prasarana irigasi dan ketersediaan air
f. Prasarana transportasi
7. Aspek modal sosial
a. Sikap petani terhadap agribisnis
b. Pengetahuan petani tentang agribisnis
c .Struktur organisasi subak dan fungsi
d. Kegiatan sosial/budaya subak
e. Kepercayaan anggota dalam kegiatan
agribisnis
f. Partisipasi petani dalam kegiatan
agribisnis
g. Penerapan norma-norma dalam
kegiatan agribisnis
h. Penerapan norma-norma dalam
kegiatan non-agribisnis
i. Jaringan sosial dalam kegiatan
agribisnis
Sampel
Sampel
Sampel/responden kunci
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel/responden kunci
Sampel
Sampel
Sampel dan pengurus subak
Sampel
Sampel
Sampel/responden kunci
Sampel
Sampel
Sampel/responden kunci
Sampel/responden kunci
Sampel/responden kunci
Sampel/responden kunci
Sampel
Sampel
Responden kunci
Responden kunci
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
53
j. Interaksi sosial dalam kegiatan
agribisnis
k. Interaksi sosial dalam kegiatan nonagribisnis
l. Kepemimpinan di subak
m.Kepemimpinan di koperasi subak
n. Tolong menolong antar petani
o. dsb
8. Aspek ekonomis/agribisnis subak
a. Sumber keuangan subak
b. Pengelolaan keuangan subak
c. Usaha-usaha ekonomis subak
d. Manfaat ekonomis bagi anggota subak
e. Pengeluaran-pengeluaran subak
f. Masalah-masalah
II
Data Sekunder
Awig-awig(AD/ART) subak
Kondisi fisik/teknis jaringan irigasi
Keberadaan usaha penggilingan padi
Keberadaan KUD dan lembaga lainnya
Program dan kebijakan pertanian lahan
sawah
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel/responden kunci
Sampel/responden kunci
Sampel/responden kunci
Sampel/responden kunci
Sampel/responden kunci
Sampel/responden kunci
Pengurus subak
Dinas PU Kabupaten dan
Pengamat Pengairan,
pengurus subak
Pimpinan usaha
Pengurus KUD, Kantor
Kecamatan/ responden
Kunci
Dinas Pertanian (kabupaten
dan provinsi)
dsb
Pada penelitian ini, dilakukan pengumpulan data/informasi sesuai dengan
tujuan penelitian dengan menggunkan beberapa teknik, sebagai berikut.
1. Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang telah
disiapkan. Kegiatan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner ini
dilakukan dengan cara mendatangi sampel yang telah dipilih.
2.
Wawancara mendalam (indepth interview) dan partisipatif dengan
menggunakan suatu pedoman wawancara (interview guide). Pendekatan
54
yang digunakan adalah teknik Participatory Rural Appraisal (PRA).
Wawancara ini ditujukan kepada key informants yang telah ditetapkan
guna mendapatkan informasi yang sedalam-dalamnya mengenai beberapa
aspek yang berkenaan dengan faktor internal dan eksternal dari Subak
Guama dan Selanbawak di Kabupaten Tabanan.
Selain itu, dilakukan pertemuan-pertemuan kelompok dengan para
petani dan juga dihadirkan key informants untuk memperoleh informasi
yang komprehensif dan sekaligus mendapatkan informasi yang berkenaan
dengan mendukung pengembangan agribisnis di tingkat subak.
3.
Observasi langsung juga dilakukan pada aktivitas sehari-hari subak dan
anggotanya untuk mendapatkan informasi tanpa melakukan wawancara.
Selain itu, observasi ini dilakukan untuk mengamati respon yang telah
diberikan oleh key informants dan sampel saat wawancara.
4.
Dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data atau informasi yang telah
dicatatkan pada berbagai dokumen baik yang terdapat pada subak. Selain
itu, dokumen-dokumen yang dibutuhkan juga diperoleh dari kantor-kantor
instansi pemerintah maupun non-pemerintah, seperti Kantor Statistik,
Kantor Dinas Pertanian Kabupaten/Provinsi, Kantor Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten, Kantor Koperasi Unit Desa di Kecamatan, termasuk di
perpustakaan, dan sumber-sumber lainnya.
55
4.3 Populasi, Penentuan Sampel dan Informan Kunci
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh petani anggota Subak Guama
di Kabupaten Tabanan yang jumlahnya sebanyak 544 orang yang tersebar pada
6 tempek dan anggota Subak Selanbawak yang jumlahnya 136 orang, sehingga
totalnya adalah 680 orang.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
proportional simple random sampling, dengan pertimbangan bahwa jumlah
petani pada masing-masing tempek adalah berbeda. Jumlah sampel yang
diambil menggunakan formulasi Teori Slovin sebagai berikut.
N
n = -------------(1+Ne2)
680
= ------------------- =
(1+[680x0,102)]
680
--------- = 87.18
7,8
(dibulatkan 88)
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = Taraf kekurangtelitian (10 %)
Berdasarkan pada jumlah sampel yang telah ditetapkan seperti di atas,
maka distribusi jumlah sampel pada masing-masing tempek di setiap subak
adalah seperti terlihat pada Tabel 4.2.
56
Tabel 4.2
Distribusi populasi dan sampel
No
Nama Subak/Tempek
I
1
2
3
4
5
6
Subak Guama
Kekeran Desa
Pekilen
Manik Gunung
Kekeran Carik
Blusung
Guama
Sub-jumlah
Populasi
(orang)
50
49
50
120
125
150
544
Sampel
(orang)
7
6
7
15
16
19
70
II
1
2
Subak Selanbawak
Selanbawak Kaje
68
9
Selanbawak Kelod
68
9
Sub-jumlah
136
18
Jumlah
680
88
Sumber: Monografi Subak Guama dan Subak Selanbawak, 2012
Selain sampel petani, juga dilakukan pengambilan key informants untuk
mendapatkan informasi atau data yang
lebih mendalam mengenai aspek
tertentu berkenaan dengan tujuan penelitian ini. Adapun mereka yang
digolongkan sebagai key informants adalah pengurus subak, pengurus Koperasi
Unit Desa, pengurus Lembaga Perkreditan Desa, Pimpinan Dinas Pertanian di
tingkat kabupaten/kota dan kecamatan, Pimpinan Dinas Pekerjaan Umum di
tingkat kabupaten dan kecamatan, Pimpinan Dinas Perindustrian, Perdagangan
dan Koperasi di Kabupaten Tabanan, Penyuluh Pertanian Lapangan, Pimpinan
di Kantor Camat dan Kepala Desa di lingkungan lokasi subak berada, serta
pengurus subak dan tokoh masyarakat lainnya.
57
4.4 Teknik Pemberian Skor Variabel
Variabel-variabel modal sosial (kepercayaan, jaringan sosial dan norma
sosial), sikap, pengetahuan petani dan pengembangan agribisnis (partisipasi)
diukur dengan menggunakan skala likert dan skala berjenjang. Skala ini
terbentuk dalam lima kategori jawaban dari setiap item pernyataan dan
pertanyaan yang diajukan, di mana masing-masing jawaban diberikan jawaban
yang konsisten, yaitu dengan skor 1, 2, 3, 4, dan 5. Skor 1 diberikan pada
jawaban yang sangat tidak diharapkan, sedangkan skor 5 diberikan pada
jawaban yang sangat diharapkan.
Beberapa indikator modal sosial yang mencakup kepercayaan, norma dan
jaringan sosial dalam penelitian ini, parameternya masing-masing secara rinci
diuraikan seperti disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3
Indikator dan parameter modal sosial dan tingkat penyelenggaraan agribisnis
No
Indikator
I
Modal Sosial
1
Kepercayaan
Parameter
1. Tingkat kepercayaan antar sesama petani
2. Tingkat kepercayaan petani
kepemimpinan pengurus subak
terhadap
3. Tingkat kepercayaan petani terhadap
kepemimpinan pengurus koperasi
4. Tingkat kepercayaan pada
agribisnis dan koperasi di subak
2
Norma
aktivitas
1. Tingkat pengetahuan terhadap norma
2. Peran norma dalam subak dan koperasi
58
3. Kekuatan sanksi yang berlaku
4. Ketaatan terhadap norma
3
Jaringan sosial
1. Interaksi antar petani anggota
2. Interaksi antara petani anggota dengan
pengurus subak dan koperasi
3. Interaksi antara petani anggota dengan
pihak luar
II
Sikap dan pengetahuan
1
Sikap
2
III
1. Terhadap layanan sarana produksi dan
Alsintan
2. Terhadap layanan kredit
3. Terhadap penyelenggaraan kegiatan
pengolahan dan pemasaran
4. Terhadap kontrol dalam penyelenggaraan
kegiatan agribisnis
Pengetahuan
1. Tentang penyediaan sarana produksi dan
Alsintan
2. Tentang penyelenggaraan kegiatan kredit
3. Tentang
penyelenggaraan
kegiatan
pengolahan dan pemasaran
Pengembangan agribisnis
Partisipasi
dalam 1. Pemanfaatan
kegiatan agribisnis
Alsintan
layanan
saprotan
dan
pengolahan
dan
2. Pemanfaatan layanan kredit
3. Pemanfataan
pemasaran
layanan
Derajat validitas dan reabilitas kuesioner dapat diketahui dengan
menghitung koefisien reliabilitasnya. Perhitungannya atau pengukurannya
dilakukan dengan menggunakan metode belah dua (split half method), di mana
59
dengan cara ini semua pertanyaan pada daftar pertanyaan dikelompokkan,
menjadi dua yaitu kelompok pertanyaan bernomor genap dan ganjil.
Masing-masing skor tersebut di atas menggambarkan derajat responden
terhadap pernyataan dan atau pertanyaan yang diajukan. Skor tersebut
dinyatakan dalam bilangan bulat yaitu 1,2,3,4, dan 5 untuk setiap jawaban
pertanyaan. Berdasarkan pada lima kategori sikap, pengetahuan dan interaksi,
dan lain sebagainya, maka interval pada setiap kategori ditentukan dengan
formula sebagai berikut.
Jarak
i = -------------------Jumlah kategori
Keterangan:
i
Jarak
= Interval
= Nilai persentase pencapaian skor tertinggi dikurangi dengan
nilai persentase yang terendah (skor tertinggi adalah 100% dan
terendah adalah 20%)
Jumlah kategori= lima
Oleh karena itu, kategori kepercayaan, penerapan norma/aturan-aturan
subak, dan jaringan sosial di subak, sikap dan pengetahuan petani dan
pengembangan (partisipasi) kegiatan usaha agribisnis
pencapaian skornya dapat dilihat pada Tabel 4.4.
berdasarkan pada
60
Tabel 4.4
Kategori kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial, sikap, pengetahuan dan
partisipasi berdasarkan pada tingkat pencapaian skor
No
I
Peubah/Kategori
Pencapaian skor
(%)
1
2
3
4
5
Kepercayaan, norma sosial, jaringan
sosial, pengetahuan dan partisipasi
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
20 -36
> 36 – 52
> 52 – 68
> 68 – 84
> 84 – 100
II
1
2
3
4
5
Sikap
Sangat tidak setuju
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Sangat Setuju
20 -36
> 36 – 52
> 52 – 68
> 68 – 84
> 84 – 100
4.5 Analisis Data
Data yang terkumpul, terutama data kualitatif selanjutnya akan
dikuantifikasi sesuai dengan pengukuran variabel yang ditetapkan. Beberapa
data dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk
menggambarkan identitas petani, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan
subak di dalam menyelenggarakan kegiatan usaha agribisnis, mengeksplorasi
elemen-elemen social capital
yang terdapat di dalam subak, serta
mendeskripsikan proses pengembangan kegiatan agribisnis di subak.
Selain itu, analisis data juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan
statistika yaitu data yang diambil dapat dianalisis dengan Structural Equation
Modeling (SEM) yang digunakan untuk menguji model-model empiris dan
61
menjelaskan varian serta pengaruh antara suatu set peubah-peubah yang
diobservasi (observed) dalam suatu sistem kausal (sebab akibat) dari faktorfaktor yang tidak diobservasi (unobserved).
Untuk mengetahui pengaruh peubah bebas pada peubah terikat, dan
menguji hipotesis penelitian dibuat kerangka hipotetik (seperti terlihat pada
Gambar 4.1). Kerangka hipotetik kemudian dioperasionalisasikan untuk
merumuskan model persamaan pengukuran dan model persamaan struktural
sesuai dengan kaidah SEM. Model penerapan pengembangan agribisnis di
subak berdasarkan modal sosial adalah sebagai berikut:
Y3 = γ1 X1 + γ2 X2 + γ3X3 + γ4 Y1 + γ5 Y2
Ketergangan:
X1 =
Kepercayaan antar anggota subak (skor)
X2 =
Jaringan sosial (skor)
X3 =
Norma di Subak dan koperasi (skor)
Y1 =
Sikap petani (skor)
Y2 =
Pengetahuan petani (skor)
Y3 =
Partisipasi dalam kegiatan agribisnis (skor)
1-5 =
Koefisien masing peubah
62
Gambar 4.1
Download