agribisnis skala kecil

advertisement
FORUM
AGRIB ISNIS SKALA K ECIL
Oleh :
Indro Surono
Modernisasi - yang didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi negara barat- memunculkan
ekonomi sebagai paradigma dominan kehidupan manusia. Globalisasi, pasar bebas, integrasi ekonomi dunia
atau apapun namanya menunjukkan keniscayaan kecend erungan tersebut. Efisiensi dan pertumbuhan semakin
menjadi wacana peradaban saat ini. Ekonomi skala besar lalu diyakini sebagai motor pertumbuhan. Benarkah?
ukum ekonomi mengatakan: efisiensi
akan tercapai bila biaya per unit output
semakin rendah, relatif terhadap pesaing
dalam industri. Efisiensi ini dapat dicapai
dengan cara memperbesar skala usaha.
Teknologi pun dipacu bersaing demi efisiensi.
Orang lantas berupaya memperbesar skala
usaha dengan argumen bahwa skala besar lebih
unggul dibandingkan skala kecil atau menengah.
Kecenderungan ini tidak saja terjadi di sektor
industri manufaktur, tetapi juga di sektor
pertanian dan jasa.
Pemerataan : Masalah yang Belum Terjawab
Dewasa ini muncul kesadaran baru, suatu
gelombang baru dalam modernisasi pertanian.
Paradigma agribisnis - yang mengintegrasikan
seluruh subsistem dalam bisnis pertanian (mulai
dari pengadaan sarana produksi pertanian
hingga pemasaran produk agroindustri) semakin mendapat tempat. Penemuan baru di
bidang
teknologi
pengawetan
telah
memungkinkan produk pertanian memiliki umur
simpan yang lebih panjang. Industriawan yang
dulu alergi terhadap sektor pertanian (karena
resiko kegagalannya yang tinggi), kini mulai
melirik potensinya yang besar. Kesadaran ini
diwujudkan lewat kelahiran estate-estate atau
perkebunan-perkebunan,
pabrik-pabrik
agroindustri dan jasa-jasa pertanian berskala
besar.
Masalahnya, realitas internal sektor pertanian
kini masih memendam potensi konflik.
Kepentingan di ‘atas’ masih berbenturan dengan
kondisi petani-petani rakyat yang berjumlah
jutaan orang dengan skala usaha yang kecilkecil. Artinya, harus ada alternatif solusi bagi
tercapainya
efisiensi
produksi
sekaligus
pemerataan pendapatan bagi para pelaku
agribisnis skala kecil.
Tak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian
telah dianaktirikan selama PJP I. Pembangunan
lebih menekankan industri manufaktur sebagai
leading sector untuk mendorong perkembangan
sektor-sektor lain. Industrialisasi yang bias ke
kota semakin mempertajam kepincangan
sektoral. Pertumbuhan sektor pertanian pun
akhirnya melambat. Dampak dari strategi ini
WACANA
No. 8 / Mei - Juni 1997
adalah marjinalisasi sektor pertanian rakyat. Hal
ini tercermin dari rendahnya nilai tukar produk
pertanian dan turunnya tingkat pendapatan
petani.
Masalah pemerataan pendapatan melalui pemerataan kesempatan berusaha menjadi esensi
krusial sektor pertanian di masa depan. Apabila
pemerintah
dan
industriawan
besar
mengesampingkan esensi tersebut dalam
pembangunan pertanian, maka hal itu justru
dapat menjadi pukulan balik dalam jangka
menegah dan panjang. Masalah ini menjadi
sangat dilematis mengingat selama ini ada
persepsi yang menganggap usahatani rakyat
skala kecil tidak efisien. Artinya, memprioritaskan
petani kecil identik dengan mengorbankan
efisiensi. Namun, argumentasi ini perlu diuji lebih
lanjut. Persepsi tersebut bisa saja keliru. Penting
pula diingat bahwa pembangunan tidak boleh
mengorbankan tujuan insani yang lebih luas
(Roland Bunch, 1982), yaitu: harus semakin
memanusiakan manusia.
Agribisnis Skala Kecil: Mungkinkah?
Rudolf Sinaga, seorang guru besar Faperta IPB,
sejak tahun 1970-an tekun meneliti hubungan
antara skala usaha dengan biaya produksi di
sektor pertanian. Kajiannya yang mendalam
terhadap sistem agribisnis tersebut sampai pada
kesimpulan bahwa dalam subsistem budidaya,
efisiensi teknis dan biaya antara usaha skala
kecil dengan skala besar, relatif tidak berbeda.
Artinya, hubungan skala usaha dengan biaya
produksi per unit output adalah netral. Bahkan
dalam beberapa kasus malah menunjukkan
korelasi positif. Pembuktian ini nampak dalam
sistem agribisnis tanaman perkebunan, pangan,
hortikultura
serta peternakan, khususnya
unggas. Hasil penelitian penulis dalam industri
ayam ras pedaging juga menunjukkan hal yang
sama.
Argumentasi yang selama ini memandang
bahwa usaha budidaya skala kecil inefisien,
menjadi tidak relevan, atau minimal masih
debatable. Untuk sub sistem pengadaan sarana
produksi, pengolahan dan pemasaran, Sinaga
memang mengusulkan agar ditangani saja oleh
usaha skala besar karena tidak mungkin
dilakukan usahatani kecil yang modalnya gurem.
9
FORUM
Esensi pendapat Sinaga adalah perlu ada
“pembagian wilayah garap” dalam sub sistem
agribisnis. Petani kecil sebaiknya diberi porsi
yang lebih besar dalam sub sistem budidaya.
Jangan semua budidaya dikerjakan oleh skala
besar.
Berdasarkan
pengertian
ini,
restrukturisasi skala besar menjadi skala kecil
merupakan hal mendesak dilakukan dalam
subsistem budidaya.
Jembatan yang diyakini mampu menghubungkan
kepentingan petani kecil dengan pengusaha
skala besar adalah pola kemitraan atau PIR
(Perusahaan Inti-Rakyat). Bagaimanapun dalam
sistem ini perlu dibuat batasan skala minimal
yang ideal bagi usahatani rakyat agar mampu
mengeliminir sistem perburuhan. Petani pun
harus bergabung bersama dalam asosiasi atau
koperasi agar dapat memperoleh harga beli input
produksi yang murah. Tetapi di tingkat teknis,
mereka harus mandiri dengan skala usaha
keluarga.
Pendekatan di atas sangat realistis diterapkan,
terutama dalam jangka pendek atau menengah.
Tetapi, pendekatan ini tidak berarti bahwa hak
usaha petani kecil hanyalah di subsistem
budidaya. Visi ke depan (jangka panjang) adalah
asosiasi atau koperasi petani melakukan
integrasi usaha ke hulu atau ke hilir dengan
memasuki bidang off farm. Misalnya di bidang
penanganan
pasca panen
(handling,
pengemasan, pendinginan), industri pengolahan
(agroindustri), pemasaran dan distribusi.
Roland Bunch (1982), dengan paradigma yang
lebih filosofis dan sosio-psikologis, melihat
bahwa petani sedari awal harus diberi
kepercayaan untuk mengelola seluruh aspek
pertaniannya dalam skala kecil atau menegah.
Artinya, petani harus diberi hak untuk mengatur
proses budidaya, pengolahan dan pemasaran
produk pertaniannya dalam skala yang mereka
tentukan sendiri. Tugas pemerintah hanyalah
mendukung dan menfasilitasi rencana dan
aktivitas petani tersebut.
Pemikiran ini berangkat dari refleksi Bunch yang
memandang bahwa kegagalan pembangunan di
banyak negara berkembang disebabkan oleh
kegagalan pemerintah merencanakan program
pembangunan pertanian yang sesuai dengan
kebutuhan “kliennya”. Bunch menyebutkan
bahwa program yang lebih efektif diterapkan di
pedesaan adalah program yang kecil dan
terbatas, baik dalam hal teknologi, nilai investasi
dan manajemennya, serta kesesuaiannya
dengan kebutuhan petani.
Semangat yang sama dihembuskan oleh E. F.
Schumacher penulis buku Small is Beautiful
yang terkenal. Schumacher berpendapat bahwa
teknologi yang ideal untuk banyak negara
berkembang --untuk mengcounter hegemoni
WACANA
No. 8 / Mei - Juni 1997
teknologi canggih negara maju-- adalah teknologi
madya atau teknologi tepat guna atau teknologi
yang telah disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Hal ini sejalan dengan hakekat teknologi, yaitu:
mempermudah kerja manusia. Teknologi lalu
harus berskala dan berwajah manusiawi.
Keunggulan Agribisnis Skala Kecil
Terlepas dari adanya kontradiksi dalam
pemikiran di atas, esensi solusi tetap bermuara
pada diterapkannya agribisnis dalam skala kecil.
Secara lebih tegas, solusi di atas sekaligus akan
meretas anggapan selama ini bahwa skala kecil
tidak efisien. Juga, meretas hegemoni hukumhukum ekonomi dan teknologi negara maju
(barat).
Argumentasi penguat dapat ditinjau dari realitas
dan keunggulan usahatani skala kecil. Pertama,
usaha pertanian tidak pernah akan lenyap
selama manusia masih perlu makan. Kedua,
kenyataan bahwa kepemilikan faktor produksi
(lahan, modal) petani kita sangat sempit dan
terbatas. Ketiga, sebagian besar penduduk
masih bergantung pada sektor pertanian di
pedesaan.
Keempat, kontribusi
pertanian
sangat besar dalam menunjang sektor industri
hulu dan hilir serta jasa pertanian, baik dalam
kontribusi komoditi pertanian, pendapatan, pasar
maupun penyerapan tenaga kerja.
Kelima,
program-program dalam skala kecil lebih
memungkinkan adanya partisipasi, lebih mudah
disesuaikan, serta lebih peka menjawab
kebutuhan petani. Keenam, program kecil
membutuhkan teknologi
sederhana
yang
disesuaikan dengan kemampuan pelakupelakunya. Terakhir, program-program skala
kecil memberi ruang yang besar bagi partisipasi
dan kemandirian demi pencapaian masyarakat
yang bebas, demokratis dan berkeadian sosial.
Segala upaya berkaitan dengan pengembangan
sektor pertanian, harus selalu mengacu pada
pemberdayaan,
penyejahteraan
dan
pemanusiaan petani-petani selaku subjek utama
agribisnis.
Argumentasi ini selain memberi
tempat bagi pengembangan pertanian skala kecil
yang sesuai dengan kebutuhan petani, juga
menjawab tantangan pemerataan, tanpa harus
mengorbankan efisensi. Semua itu, akhirnya
harus mulai diwujudkan secara konkrit. Dari yang
kecil, bertahap, berubah. Atau dalam bahasa W.
Y. Yang : “Dalam banyak keadaan suatu
perubahan yang kecil dan sederhana dalam tata
cara pertanian mungkin merupakan tindakan
paling strategis untuk menghilangkan hambatanhambatan serta meletakkan landasan bagi
pembangunan.” W
10
Download