BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Struktural Fungsional Fungsionalisme

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Struktural Fungsional
Fungsionalisme struktural adalah salah satu paham atau perspektif di
dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tak
dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Kemudian,
perubahan yang terjadi
pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidak-
seimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian lain.
Perkembangan fungsionalisme didasarkan atas model perkembangan sistem
organisme yang didapat dalam biologi (Theodorson dalam Bernard Raho,
2007:48).
Masyarakat terdiri dari berbagai elemen atau insitusi, elemen-elemen ini
antara lain adalah ekonomi,politik,hukum,agama,pendidikan,keluarga,kebudayaan
,adat-istiadat, dan lain-lain. Masyarakat luas akan berjalan normal kalau masingmasing elemen atau institusi menjalankan fungsinya dengan baik. Kemacetan
pada salah satu institusi akan menyebabkan kemacetan pada institusi-institusi lain
dan pada gilirannya akan menciptakan kemacetan pada masyarakat secara
keseluruhan. Karena segala sesuatau di dalam masyarakat pada fungsinya,
termasuk hal-hal seperti kemiskinan, peperangan, atau kematian. Kemiskinan,
misalnya, pasti berfungsi untuk orang kaya, tetapi tentu tidak berfungsi untuk
orang yang miskin. Di uraikan oleh Herbert Gans (dalam Bernard Raho, 2007: 4849).
Parsons (dalam Bernard Raho, 2007 : 53) fungsi diartikan sebagai segala
kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan
dari sebuah sistem. Dengan menggunakan definisi itu, Parsons percaya bahwa ada
empat persyaratan mutlak yang harus ada supaya termasuk masyarakat bisa
berfungsi. Keempat persyaratan itu disebut AGIL. AGIL adalah singkatan dari
Adaftation (A), Goal Attaiment (G), Integration (I), dan latency (pattern
maintenance) (L). Demi kelangsungan hidupnya, maka masyarakat harus
menjalankan fungsi-fungsi tersebut, yakni :

Adaftasi (adaftation) : supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu
menyesuaiakan dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan
dirinya.

Pencapaian tujuan (goal attaiment) : sebuah sistem harus mampu
menentukan tujuannya dan berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah di
rumuskan itu.

Integrasi (integration) : masyarakat harus mengatur hubungan diantara
komponen-komponennya supaya dia bisa berfungsi secara maksimal.

Latensi atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada : setiap masyarakat
harus mempertahankan, memperbaiki, dan membaharui baik individu maupun
pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motifasi-motifasi itu.
Keempat persyaratan fungsional itu mempunyai hubungan erat dengan
keempat sistem tindakan sebagaimana akan diuraikan pada bagian berikut nanti.
Sistem organisme biologis dalam sistem tindakan berhubungan dengan fungsi
adaftasi yakni menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan
sesuai dengan kebutuhan. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian
tujuan dengan merumuskan tujuan dan menggerakkan segala sumber daya untuk
mencapai tujuan-tujuan itu. Sistem sosial berhubungan dengan sistem integrasi
dengan mengontrol komponen-komponen pembentuk masyarakat itu. Akhirnya
sistem kebudayaan berhubungan dengan fungsi pemeliharaan pola-pola atau
struktur-struktur yang ada dengan menyiapkan norma-norma dan nilai-nilai yang
memotifasi mereka dalam berbuat sesuatu.
Sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang
berhubungan satu sama lain. Kesatuan antara bagian itu pada umumnya
mempunyai tujuan tertentu. Dengan kata lain, bagian-bagian itu membentuk satu
kesatuan (sistem) demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu Ambercrombie
(dalam Bernard Raho, 2007 ; 55).
Parsons mendefinisikan keempat sistem tersebut yaitu : pertama adalah
sistem budaya. Dalam sistim ini, unit analisis yang paling besar ialah tentang “arti
atau “sistim simbolik”. Beberapa contoh dari sistim-sistim simbolik adalah
kepercayaan religius, bahasa, dan nilai-nilai. Dalam tingkatan ini, parsons
memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai yang dihayati bersama. Konsep tentang
sosialisasi, misalnya mempunyai hubungan dengan tingkatan analisa ini. Menurut
dia, sosialisasi terjadi ketika nilai-nilai yang dihayati bersama dalam masyarakat
di internalisir oleh anggota-anggota masyarakat itu. Dalam hal ini, anggota-angota
suatu masyarakat membuat nilai-nilainya sendiri.
Sosialisasi mempunyai
kekuatan integratif yang sangat tinggi dalam mempertahankan kontrol sosial dan
keutuhan masyarakat.
Sisitem parsons berikutnya adalah sistim sosial. Sistim ini mendapat
perhatian yang cukup besar dalam uraiannya. Kesatuan yang paling dasar dalam
analisa ini adalah interaksi berdasarkan peran. Menurut parsons sistem sosial
adalah interaksi antara dua atau lebih individu dalam suatu lingkungan tertetu.
Tetapi interaksi itu tidak terbatas antara individu-individu melainkan juga terdapat
antara kelompok-kelompok,
institusi-institusi, masyarakat-masyarakat,
dan
organisasi-organisasi internasional. Salah satu contoh dari sistim sosial adalah
universitas yang memiliki struktur dan bagian-bagian yang berhubungan satu
sama lain. Sistim sosial selau terarah kepada keseimbangan.
Sistim yang ketiga dalah sistim kepribadian. Kesatuan yang paling dasar
dari unit adalah individu yang merupakan aktor atau pelaku. Pusat perhatiannya
dalam analisa ini ialah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap, seperti
motifasi untuk mendapat kepuasan atau keuntungan. Motifasi untuk mendapat
kepuasan atau keuntungan ini berlaku juga dalam teori konflik dan teori
pertukaran.
Sistim yang terakhir dari keempat sistim itu ialah sistim organisme atau
aspek biologis dari manusia. Kesatuan paling dasar dalam sistim ini adalah
manusia dalam arti biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu. Hal lain yang
termasuk dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik dimana manusia itu hidup.
Dala hubungan dengan sistim ini parsons menyebutkan secara khusus sistim
syarat dan kegiatan motorik. Salah satu minat parsons pada saat-saat terakhir
hidupnya ialah mengembangkan sebuah cabang baru sosiologi yang disebut
sosiobiologi.
1.2 Struktur Sosial
Struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antarposisi sosial
dan antarperan. Dengan
demikian,
pengertian
struktur
sosial
dapat
didefinisikan sebagai suatu tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang
di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan
batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan
perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat (Soerjono
Soekanto, 2012:68).
Hendro puspito (1989) dalam bukunya ”Sosiologi Sistematik” mendefinisi
kan bahwa struktur sosial adalah skema penempatan nilainilai sosiobudaya dan
organ-organ masyarakat pada posisi yang dianggap sesuai dengan berfungsinya
organisme masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan demi kepentingan masingmasing. Bagian nilai-nilai sosial adalah ajaran agama, ideologi, kaidah-kaidah,
moral, serta peraturan sopan santun yang dimiliki suatu masyarakat. Sementara itu
organ-organ masyarakat tersebut berupa kelompok-kelompok sosial, institusi atau
lembaga-lembaga sosial yang mengusahakan perwujudan nilai-nilai tertentu
menjadi nyata dan dipakai dalam memenuhi kebutuhan.
2.3 Perubahan Sosial Budaya
Perubahan Sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di
dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara
keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu yang berlainan. Untuk itu, konsep
dasar mengenai perubahan sosial menyangkut tiga hal, yaitu : pertama, studi
mengenai perbedaan; kedua, studi harus dilakukan pada waktu yang berbeda; dan
ketiga, pengamatan pada sistem sosial yang sama Artinya bahwa untuk dapat
melakukan studi perubahan sosial, kita harus melihat adanya perbedaan atau
perubahan kondisi objek yang menjadi fokus studi. Kedua, studi perubahan harus
dilihat dalam konteks waktu yang berbeda, dengan kata lain kita harus melibatkan
studi komparatif dalam dimensi waktu yang berbeda. Ketiga, objek yang menjadi
fokus studi komparasi tersebut haruslah objek yang sama ( Martono, 2011; 2 )..
Menurut Himes dan Moore ( dalam Martono, 6; 1998 ), perubahan sosial
mempunyai tiga dimensi, yaitu : dimensi struktural, kultural, dan interaksional.
Pertama, dimensi struktural, mengacu pada perubahan-perubahan dalam bentuk
struktur masyarakat, menyangkut perubahan dalam peranan, munculnya peranan
baru, perubahan dalam struktur kelas sosial, dan perubahan dalam lembaga sosial.
Perubahan tersebut meliputi : bertambah dan berkurangnya kadar peranan;
menyangkut aspek perilaku dan kekuasaan; adanya peningkatan atau penurunan
sejumlah peranan atau pengategorian peranan; terjadinya pergeseran dari wadah
atau kategori peranan; terjadinya modifikasi saluran komunikasi di antara
peranan-peranan atau kategori peranan; dan terjadinya perubahan dari sejumlah
tipe dan daya guna fungsi sebagai akibat dari struktur.
Kedua, dimensi kultural mengacu pada perubahan kebudayaan dalam
masyarakat. Perubahan ini meliputi: pertama, inovasi kebudayaan. Inovasi
kebudayaan merupakan komponen internal yang memunculkan perubahan sosial
dalam suatu masiarakat. Inovasi kebudayaan yang paling mudah ditemukan
adalah munculnya teknologi baru. Kebutuhan masyarakat yang semakin komleks
memaksa individu untuk berpikir kreatif dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Kedua, difusi. Difusi merupakan komponen eksternal yang mampu
menggerakkan terjadinya perubahan sosial. Sebuah kebudayaan mendapatkan
pengaruh dari budaya lain, yang hal tersebut kemudian memicu perubahan
kebudayaandan masyarakat yang „‟menerima‟‟
unsur-unsur budaya tersebut.
Ketiga ,integrasi. Integrasi merupakan wujud perubahan budaya yang‟‟relatif
lebih halus‟‟. Hal ini disebabkan dalam proses ini terjadi penyatuan unsur-unsur
kebudayaan yang saling bertemu untuk kemudian memunculkan kebudayaan baru
sebagai hasil penyatuan berbagai unsur-unsur budaya tersebut.
Ketiga, dimensi interksional mengacu pada adanya perubahan hubungan
sosial dalam masyarakat. Dimensi ini meliputi: pertama, perubahan dalam
frekuensi. Perkembangan teknologi telah menyebabkan berkurangnya frekunsi
individu untuk saling bertatap muka. Semua kebutuhan untuk berinteraksi dapat
dipenuhi dengan memanfaatkan teknologi. Seorang nasabah bank tidak perlu
berulang kali bertemu dengan petugas teller bank. Fungsi dan peran teller bank
telah tergantiakan oleh mesin ATM ( Automatic Teller Mandiri ) yang mampu
melayani nasabah selama 24 jam di mana saja, tanpa harus mengantri lama, atau
menulis fomulir tertentu. Kedua, perubahan dalam jarak sosial. Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi telah menggeser fungsi „‟tatap muka‟‟ dalam
proses interaksi. Individu tidak harus bertatap muka untuk dapat melakukan
komunikasi dan interaksi secara langsung. Bahkan, ketika dua individu berda di
tempat yang sangat jauh, mereka bisa tetap berkomunikasi meskipun dalam jarak
ribuan kilometer. Ketiga,perubahan perantara. Mekanisme kerja individu dalam
masyarakat modern banyak bersifat „‟serba online‟‟, menyebabkan individu tidak
banyak membutuhkan „‟orang lain‟‟ dalam proses pengiriman informasi. Pada
zaman dalu,
seorang raja yang ingin menyampaikan berita untuk kerajaan
tetangga tersebut, menyuruh prjurit untuk menyampaikan surat ke kerajaan
tetangga tersebut. Namun, pada masa modern sekarang, informasi antarnegara
dapat langsung disampaikan tanpa melalui orang lain sebagai perantara.
Keempat, perubahan dari aturan atau pola-pola. Banyak aturan serta polapola hubungan yang mengalami perubahanseiring perkembangan masyarakat.
Emansipasi perempuan dalam dunia kerja misalnya, telah mengubah cara pandang
masyarakat dalam menyikapi „‟perempuan yang pulang malam‟‟. Bila
sebelumnya perempuan yang sering keluar atau pulang malam sering
dikonotasikan sebagai „‟perempuan nakal‟‟, namun sekarang masyarakat telah
memandang hal tersebutt sebagai hal yang biasa karena pada saat sekarang banyak
perempuan yang bekerja sampai larut malam atau bahkan bekerja pada malam
hari.
Kilima, perubahan dalam bentuk interaksi. Interksi antarindividu tidak
sekaku pada masa lalu ketika interaksi harus dilakukan secara tatap muka. Di era
sekarang, interaksi dapat dilakukan kapan saja, melalui telepon, handphone,
email, chatting, facebook, yahoo! Messenger, twitter, dan berbagai teknologi
canggih lainnya.
2.3.1 Gerakan Perubahan Sosial
Untuk dapat memahami peran gerakan sosial dalam rangka studi
perubahan sosial, kita perlu memahami mengenai berbagai definisi mengenai
gerakan sosial. Konsep gerakan sosial perlu dibedakan dengan konsep gerak
sosial. Gerak sosial lebih dimaknai sebagai proses mobilitas sosial ( social
mobility ), yaitu proses perpindahan seorang individu dari status yang satu ke
status yang lain, baik status tersebut berada dalam tingakat atau drajat yang
berbeda ( disebut mobilitas vertikal ) maupun yang masih dalam tingkat atau
drajat yang sama ( disebut mobilitas horizontal ).
Giddens ( dalam Martono, 224: 2011 ) menjelaskan konsep gerakan sosial
sebagai suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau
gerakan yang bertujuan untuk mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif
di luar lingkup lembaga-lembaga yang sudah ada. Jary dan jary ( Sunarto, 2004 )
mendefinisikan gerakan sosial sebagai sebuah aliansi sosial dari sejumlah besar
orang yang berserikat untuk mendorong atau menghambat suatu segi perubahan
sosial dalam suatu masyarakat.
Sztompka (dalam Martono, 225; 2011 ) memberikan batasan definisi
gerakan sosial. Menurutnya gerakan sosial harus memiliki empat kriteria, yaitu :
pertama, adanya kolektivitas; kedua, memiliki tujuan bersama, yaitu mewujudkan
perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut
cara yang sama. Ketiga, kolektivitasnya relatif terbesar namun lebih rendah
derajatnya dari pada organisasi formal. Keempat, tindakannya memiliki derajat
spontanitas tinggi namun tidak terlembaga dan bentuknya tidak konvensional.
2.3.2 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Proses Perubahan
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment)
berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Untuk itu, ide utama
mengenai pemberdayaan ini bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan.
Konsep kekuasaan ini juga sering dikaitkan dengan kemampuan individu untuk
membuat orang lain melakukan apa yang diinginkannya, terlepas dari minat dan
keinginan mereka ( Suharto dalam Martono,2011).
Konsep pemberdayaan dapat diterapkan pada tingkat individu maupun
kelompok, dan juga dapat dikaitkan dengan ekonomi, sosial, dan pilitik. Istilah
tersebut dapat digunakan untuk mencirikan berbagai hubungan di dalam rumah
tangga atau antara kelompok miskin dan aktor-aktor miskin lainnya di tingkat
global. Pemberdayaan organisasi lokal dalam konteks pengelolaan sumber daya,
berarti memberikan kontrol dan kewenangan yang lebih besar kepada organisasi
lokal untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya.
Pembuatan keputusan di tingkat lokal diharapkan dapat lebih mencerminkan
permasalahan masyarakat, dan kemudian sumber daya akan dapat di kelola secara
lebih efisien.adil, dan berkelanjutan, serta berdimensi kepentingan jangka panjang
Amanor dan Brown (dalam Martono,2011).
2.4 Subak
Subak yang selama ini dikenal di Bali pada dasarnya adalah suatu wadah
atau organisasi tempat berhimpunnya para petani dengan tekad dan semangat
yang tinggi untuk bekerja sama secara bergotong royong dalam upaya
mendapatkan air dengan tujuan memproduksi tanaman pangan khususnya padi
dan palawija. Sebagai lembaga irigasi petani tradisional, subak diperkirakan sudah
ada di Bali sejak hampir satu milenium. Seperti kita ketahui irigasi adalah usaha
penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian (menurut PP No. 23
tahun 1982 tentang irigasi). Irigasi dapat dipandang sebagai sebuah “sistem” dan
karena subak adalah lembaga irigasi maka subak juga adalah sebuah “sistem
irigasi”. Sistem adalah himpunan elemen-elemen yang saling terkait satu sama
lain dan membentuk satu keseluruhan yang kompleks tetapi merupakan satu
kesatuan yang utuh Amirin (dalam Sutawan, 2008; 2).
Subak sebagai lembaga irigasi tradisional memang sudah terkenal diluar
negeri dan dikagumi serta sering disanjung oleh banyak ahli-ahli antropologi.
Subak terkenal dan menjadi daya tarik banyak pemerhati bidang pertanian dan
irigasi karena keunikannya. Keunikan sistem irigasi subak adalah terutama dari
segi kegiatan ritual keagamaannya yang sangat padat dan sering dilakukan oleh
para petani anggota subak. Kegiatan ritual dalam sistem irigasi subak
dilaksanakan secara rutin sesuai tahapan pertumbuhan padi mulai sejak
pengolahan tanah sampai dengan hasil penen padi disimpan dilumbung.ritual
tersebut dilakukan secara turun temurun sampai sekarang oleh petani anggota
subak meskipun kehidupan modern telah melanda berbagai aspek kehidupan
masyarakat (Sutawan, 2008; 2).
2.4.1 Sejarah dan Proses Berdirinya Subak
Pengetahuan kita tentang sejarah berdirinya subak masih sangat terbatas.
Sejak kapan dan di mana subak itu lahir di Bali serta bagaimana proses
pembentukannya belumlah begitu jelas. Ini disebabkan karena masih terbatasnya
catatan-catatan sejarah tentang kelahiran subak itu. Upaya penelitian mengenai
sejarah berdirinya subak misalnya melalui ekskavasi arkeologis kiranya masih
perlu dilakukan oleh ahli-ahli sejarah purbakala supaya diperoleh data sejarah
terbentuknya subak di Bali secara lebih lengkap dan akurat.
Bercocok tanam padi pada lahan sawah beririgasi merupakan aktivitas
yang tidak terpisahkan dari keberadaan subak dewasa ini. Dari sumber-sumber
yang tersedia, rupanya kegiatan bercocok tanam padi sudah ada di Bali sekitar
tahun 882 Masehi karena kata huma yang berarti sawah telah disebutkan dalam
prasasti tertua di Bali yakni prasasti Sukawana Al (Perwita dalam Sutawan, 2008:
9). Kata sawah bisa berarti lahan sawah tadah hujan, tetapi mungkin juga lahan
sawah beririgasi (sawah basah). Apakah kata huma yang dimaksud di sini adalah
lahan sawah basah atau lahan kering? Menurut kamus Indonesia-Inggris karangan
John M. Echols dan Hasaan Shadily (1989), kata huma diterjemahkan sebagai
field for dry rice cultivation atau lahan kering untuk bercocok tanam padi. Jadi,
dapat disamakan dengan lahan sawah yang tidak beririgasi tetapi mengandalkan
air hujan saja (sawah tadah hujan). Apabila kata huma yang dimaksud oleh
prasasti Sukawana itu adalah memang benar lahan sawah basah, ini berarti bahwa
irigasi mempunyai sejarah sangat panjang yang sudah diterapkan oleh petanipetani di Bali sejak lebih dari 1.000 tahun yang lampau.
Bahwa kata huma mungkin memang benar yang dimaksud adalah lahan
sawah beririgasi (lahan sawah basah) terbukti dari adanya kata undagi pengarung
yang tertulis pada prasasti Bebetin Al (896 Masehi) yang berarti tukang pembuat
terowongan (arungan/aungan). Selanjutnya, dari prasasti Pandak Badung tahun
1071 Masehi juga sudah terdapat kata kasuwakan yang sekanjutnya menjadi
kasubakan atau subak (Purwita dalam Sutawan, 2008: 10). Bahwa di Bali secara
faktual sudah dikenal adanya sistem irigasi yang disebut kasubakan atau subak
pada tahun 1071 Masehi ternyata diperkuat lagi oleh prasasti Klungkung tahun
1072 Masehi dimana telah disebutkan nama sebuah subak yaitu Subak Rawas.
Dalam Prasasti Klungkung tersebut tertulis kalimat: “...masukatang huma di
kedandan di errara di kasuwakan rawas....” yang artinya ....” mengukur sawah di
Kadandan pada Yeh Aa dalam wilayah Subak Rawas....” (Callenfels dalam
Sutawan, 2008: 10).
Kenyataan ini dapat lebih meyakinkan lagi bahwa memang benar huma itu
berarti sawah basah karena secara tegas disebutkan huma tersebut berada di
wilayah subak yang bernama Subak Rawas. Bukti lainnya yang mendukung
bahwa kata huma bukan berarti lahan kering atau sawah tadah hujan adalah
terdapatnya kata parlak yang juga tercantum dalam prasasti Sukawana Al
bertahun 882 Masehi tersebut yang diterjemahkan sebagai “tegalan” (Purwita
dalam Sutawan 2008: 10).
Selain dari Prasasti Pandak Badung dan Prasasti Klungkung di atas, kata
kasuwakan yang berarti wilayah subak juga ditemukan di beberapa prasasti
lainnya seperti Prasasti Trunyan (881 M), prasasti Sukawana (882 M), Prasasti
Bebetin A (896 M), prasasti Buwahan, Timpag, dan Bugbug (Suadnya dalam
Sutawan, 2008: 11). Sementara itu, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali (dalam
Sutawan, 2008: 11) mengemukakan bahwa pada beberapa prasasti (namun tidak
disebutkan nama prasastinya) yang ditulis antara abad ke-10 dan ke-11 telah
dijumpai selain istilah kasuwakan (subak) juga istilah-istilah lain seperti pakaser
atau makaser (yang berarti kepala subak), petajur atau petajuh (wakil kepala
subak), tembuku galeng (empangan), dan kilan (ukuran pembagian air).
Di pihak lain, naskah lontar yang memuat tentang sejarah perkembangan
Hinduisme di Bali (“Kawitan Babad Agama HinduWenten Ring Bali”)
disebutkan bahwa Rsi Markandeya datang di Bali dari Gunung Rawung di Jawa
Timur sekitar abad ke-12 untuk menyebarkan agama Hindu. dalam lontar tersebut
dijumpai kalimat “sang mikukuhang sawah kewastanin subak,sang mikukuhang
toya kewastanin pesakeh, ika mawenang mangepah toya punika”. Artinya, kurang
lebih-“orang –orang yang aktif menggarap sawah dinamakan anggota subak,
orang yang mengatur distribusi air disebut pekaseh, meraka semua bertanggung
jawab dalam pembagian air antaranggota subak”. Walaupun begitu, besar sekali
kemungkinannya bahwa subak sudah ada jauh sebelum kedatangan Rsi
Markendeya ke Bali.
Dari bukti-bukti tertulis yang amat terbatas itu dapat dikatakan masih
belum begitu pasti dan jelas kapan subak untuk pertama kalinya ada di Bali, lebih-
lebih mengenai proses pembentukannya. Walau begitu, banyak penulis
menyimpulkan bahwa kemungkinan besar subak sudah ada di Bali sejak sekitar
satu milenium yang lalu. Sungguh sayang, tidak ada informasi tentang bagaimana
proses pembentukan subak pada awal berdirinya. Mengingat topografi pulau Bali
bergunung-gunung dan berbukit-bukit serta sumber-sumber air atau mata air jauh
di bawah, terutama di sungai-sungai yang umumnya berdinding curam, tentulah
sangat sulit mengangkat air ke atas untuk disalurkan ke petak-petak sawah para
petani. Pada zaman dahulu, hutan-hutan pasti masih sangat lebat dan harus
dirabaslebih dulu untuk pencetakan lahan sawah kalau nantinya air di sungai
sudah bisa disalurkan. Adalah suatu kenyataan bahwa banyak subak di Bali selain
memiliki saluran terbuka juga memiliki saluran tertutup berupa terowongan.
Topografi yang berbukit-bukit itulah menyebabkan petani-petani Bali terpaksa
harus membuat terowongan dengan menebas perbukitan dan saluran-saluran
terbuka menelusuri punggung-punggung medan yang cukup terjal dan
kelihatannya seperti menempal begitu saja di dinding-dinding lereng. Tidak jarang
terowongan yang harus dibangun mencapai beberapa kilometer dengan
menggunakan peralatan yang sangat sederhana.
Mengingat medan yang sedemikian berat, para pendiri subak di masa
lampau niscaya telah memiliki penegetahuan dan keterampilan atau kearifan lokal
yang cukup memadai (local genious atau indigenous knowledge) sehingga
mampu menghasilkan karya besar berupa sistem irigasi tradisional dilengkapi
dengan bangunan-bangunan irigasi yang walaupun kelihatannya sederhana tetapi
dapat berfungsi sebagaimana layaknya sebuah sistem irigasi modern. Untuk
lahan-lahan yang mempunyai kemiringan relatif besar dibuatkan sawah-sawah
bertingkat-tingkat sehingga membentuk landskap yang dapat mempesona
siapapun yang memandangnya. Kearifan lokal dalam membangun dan mengelola
sistem irigasi tersebut diteruskan dari generasi kegenerasi sehingga akhirnya kita
warisi lembaga subak tradisional seperti bentuknya sekarang ini.
Memang suatu hal yang patut disesalkan karena kita tidak tahu persis
bagaimana proses pembentukan subak pada awal berdirinya dimasa lampau baik
dari aspek perangkat kerasnya,maupun perangkat lunaknya. Meski demikian, dari
tulisan-tulisan tentang subak di Bali (Birkelbach dalam Sutawan, 2008: 13) kirakira prosesnya kurang lebih diperkirakan sebagai berikut. Orang-orang yang
berminat membuka hutan dan membuat sawah untuk bertanam padi, bersepakat
mencari suatu lokasi yang kira-kira cocok dan kemungkinan besar dapat diari
yang mengempang sungai di titik-titik tertentu. Bilamana sudah ada kesepakatan
maka mereka akan memohon izin kepada sedahan- agung1) untuk dapat
mewujudkan keinginan mereka. Setelah mendapatkan izin dari raja melalui
sedahan-agung,
maka
mereka
mulai
bergotong-royong
merabas
hutan.
Selanjutnya membangun empangan atau empelan beserta saluran-saluran irigasi
dan terowongan (aungan) jika diperlukan beserta bangunan kelangkapan lainnya
dan akhirnya memilih pengurus dari perkumpulan tersebut secara musyawarah
untuk memimpin dan mengarahkan kegiatan-kegiatan selanjutnya.
2.4.2 Definisi Subak
Kalau memndengar kata “subak”, masyarakat Bali umumnya sering
membayangkan atau menginterpretasikan dengan salah satu gambaran berikut:
1. suatu komleks persawahan dengan luas dan batas-batas tertentu.
2. Para petani padi sawah yang terhimpun dalam satu wadah organisasi yang
bergerak dibidang pengelolaan air irigasi.
3. Sistem fisik atau jaringan irigasi itu sendiri seperti telabah (saluransaluran), empelan(empangan air di sungai), tembuku (bangunan-bangunan
pembagi air), dan fasilitas lainnya. Pemahaman tentang subak seperti itu
tidaklah salah, tetapi tidak dapat disebut lengkap karena hanya melihat
salah satu saja dari komponen-komponen suatu sistem irigasi.
Ada berbagai definisi atau pengertian subak yang selama ini pernah
diberikan oleh peneliti dan pemerhati subak. Di sini akan dikutip kembali
beberapa definisi tentang subak yang antara lain sebagai berikut:
1. “Subak adalah masyarakat hukum adat Bali yang bersifat sosio-agaris
religious yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan
berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang
pengaturan airdan lain-lain untuk persawahan dari suatu sumber air
didalam suatu daerah” (Peraturan Daerah No.02/PD/DPRD/1972) (dalam
Sutawan, 2008; 21)
2. “subak adalah masyarakat hokum adat yang bersifat sosio-agraris
religious yang secara historis tumbuh dan berklembangsebagai suatu
organisasi di bidang tata guna air ditingkat usaha tani” (peraturan
pemerintah no.23 tahun 1982 tentang irigasi) (dalam Sutawan, 2008; 21).
3. Subak sebagai sistem irigasi, selain merupakan sistem fisik juga
merupakan sistem sosial. Sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik
yang berkaitan erat dengan irigasi seperti sumber-sumber air beserta
fasilitas irigasi berupa empelan, bending atau dam, saluran-saluran air,
bangunan bagi,dan sebagainya, sedangkan sisitem sosial adalah
organisasi sosial yang mengelola sistem fisik tersebut” (Sutawan, 1985)
(dalam Sutawan, 2008; 22)
2.4.3 Ritual Keagamaan Dalam Manajemen Irigasi Subak
Ritual yang dilakukan oleh para petani yang tergabung dalam wadah
organisasi subak, adalah kegiatan yang sangat penting bahkan mungkin dianggap
terpenting dalam kehidupan subak. Perlu ditekankan bahwa ritual keagamaan
merupakan penerapan falsafah Tri Hita Karana, ini disebabkan karena mereka
meyakini sepenuhnya bahwa dengan kegiatan ritual melalui berbagai bentuk
persembahan sebagai tanda bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa maka mereka
akan diberkahi dengan panen yang melimpah. Lagi pula, air akan cukup tersedia
sepanjang tahun; musim kemarau tidak akan berkepanjangan; hama dan penyakit
yang mengganggu tanaman akan semakin berkurang. Melalui ritual keagamaan
maka berbagai potensi konflik antara sesama anggota dalam satu subak dan antara
subak dengan subak lainnya di sepanjang sungai diharapkan dapat di
minimalkan.Ketentraman dan dan ketenangan serta keharmonisan dalam
lingkungan masyarakat petani diharapkan dapat terwujud karena ritual subak
merupakan unsur pemersatu dan perekat rasa kebersamaan di kalangan para
anggota subak (Sutawan, 2008; 32).
2.4.4 Sistem Subak
Sistem subak merupakan suatu warisan budaya Bali yang berupa suatu
sistem irigasi yang mengatur pembagian pengelolaan airnya yang berdasarkan
pada pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan
formal dan nilai-nilai agama, ditata secara baik dan fleksibel pada sistem subak di
Bali ini. Subak merupakan salah satu bentuk kearifan local. Kearifan local yang
berkembang dimasyarakat, pada dasarnya merupakan strategi adaptasi yang
memang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri dalam membenahi masalahmasalah sosial yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Ciri penting dari sistem subak adalah bahwa subak umumnya memiliki
struktur organisasi yang cukup memadai sesuai keperluannya, tugas dan tanggung
jawab serta hak masing-masing pengurus yang jelas, aturan-aturan tertulis lengkap
dengan sangsi-sangsinya, adanya pungutan iuran teratur, rapat-rapat rutin secara
periodic setiap 35 hari sekali, dan lain sebagainya. Ciri kelembagaan irigasi
tradisional seperti ini jarang ditemukan di Indonesia. Menurut Ambler, lembaga
irigasi tradisional yang pola pengorganisasiannya seperti ini dapat digolongkan
sebagai “lembaga irigasi tradisional yang bersifat formal”. Di pihak lain, untuk
yang tidak atau kurang memiliki pola pengorganisasian seperti ini tergolong
“lembaga irigasi tradisional informal”seperti banyak terdapat di beberapa daerah
lain di Indonesia ( Ambler dalam Sutawan, 2008; 31).
Download