Modal Budaya (Cultural Capital)

advertisement
Membangun Dengan Basis Tradisi (Building On Tradition): Modal Budaya
(Cultural Capital) Pada Pembangunan dan Pengelolaan Irigasi “Milik
Komunal”; Studi Kasus Pada Kanagarian Sungai Janiah, Kec.Baso, Kab.
Agam Prop.Sumatera Barat1
Oleh
Bob Alfiandi dan Helmi2
I.Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Tema pokok penelitian ini adalah mengkaji signifikansi modal budaya
(cultural capital) dalam pembangunan dan pengelolaan irigasi sebagai sumberdaya
air milik bersama. Mengkaji signifikansi modal budaya ini sangat urgen mengingat
banyak persoalan pembangunan dan pengelolaan irigasi sesungguhnya berpangkal
dari rendahnya apresiasi terhadap potensi modal budaya (culture capital). Salah
satu gejala nyatanya adalah hilangnya kepercayaan (trust), kerjasama (networking)
dan kemampuan institusi sosial antar petani, antar pertani dengan pemerintah di
dalam banyak segi pengelolaan irigasi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya
milik bersama (common property resources/CPRs), dalam sektor sumberdaya air
seperti laut, danau, sungai, irigasi; maupun yang termasuk kategori sumberdaya
ekonomi seperti dana pembangunan, bantuan kredit, yang terjadi adalah praktik
eksploitasi berlebihan (over exploitation) sehingga mengakibatkan kerusakan
sumberdaya air, marginalisasi dan pemiskinan masyarakat lokal. Garett Hardin
(1968) menamakan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation) sebagai
tragedy of the commons atau tragedi milik bersama. Terhadap masalah ini, para
ahli memberikan alternatif solusi yang berbeda-beda. Hardin (1968) melihat
pentingnya internalisasi biaya lingkungan dan tindakan koersif pemerintah. Ini
Para ekonom, mengajukan solusi privatisasi terhadap sumberdaya air. Namun,
kedua solusi ini di Indonesia, tidak efektif mengurangi tindakan eksploitasi
berlebih. Penelitian yang akan dilaksanakan ini mencoba mengikuti argumentasi
lain yang dijukan Acheson (1987) dan Berkes (1987) bahwa dalam setiap
masyarakat orang telah dan secara terus menerus mengembangkan institusi1
Penelitian di biayai melalui hibah bersaing, tahun anggaran 2008-2009, Rp.90 juta
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Prodi.Sosiologi Pedesaan, juga Dosen jur.Sosiologi, FISIP,
Universitas Andalas Padang. dan Profesor Sosial Ekonomi Pedesaan (irigasi), Fak.Pertanian
Universitas Andalas Padang .
2
institusi dan aturan-aturan dalam membangun kehidupan bersama mereka,
termasuk aturan yang secara efektif membatasi eksploitasi berlebih terhadap
sumberdaya air, alam dan sosial mereka. Yang ingin dicari bukanlah bingkai
struktur sosial yang mengikat keberadaan modal budaya itu --dan dalam banyak
kasus bingkai itu sudah dihancurkan oleh paradigma dan praktik pembangunan
yang sentralistik dan hegemonik--, melainkan esensi-esensi atau komponenkomponen utama modal budaya berikut mekanisme-mekanisme sosial yang
memungkinkan
tumbuh
dan
berkembangnya
prilaku
kerjasama
kolektif
(cooperative collective behavior) yang membangun institusi sosial dalam
pembangunan dan pengelolaan irigasi, sebagai sumberdaya air milik bersama.
II. Inovasi Iptek
a. Kontribusi Terhadap Pembaharuan Ipteks
Pada tataran filsafat, penelitian ini adalah anti tesis dari pandangan
Antroposentris, bahwa manusia adalah sentral (oleh karenannya lebih tinggi)
kedudukannya dari alam. anti tesis dari pendapat ekonomi neo-klasik, bahwa
manusia adalah makhluk rasional, yang mencari kesenangan untuk dirinya sendiri,
bahwa semakin banyak, semakin baik.
Penelitian ini dilandasi oleh pandangan filsafat bahwa perlakuan kita
terhadap alam akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Tidak selalu banyak
lebih baik, bahkan, sedikit lebih baik.
Oleh karenannya, Penellitian ini mengacu pada faktor-faktor yang
memberikan “human societies” cara dan adaptasi dengan lingkungan alamnya, dan
secara aktif pula memodifikasinya .3 Modal budaya juga termasuk bagaimana
manusia memandang alam semesta, nilai-nilai, etika-etika termasuk agama dan
kebudayaan mentransmisikan pengetahuan tentang lingkungan atau pengetahuan
3
Teks aslinya; refers to factors that provide human societies with the means and adaptations to
deal with the natural environtment and to actively modify it . lihat. Fikret Berkes, 1996. Social
systems, ecological systems and property right, dalam Susan Hanna, Carl Folke et.all, 1996. Right
Nature; ecological, economic, cultural and politi cal principles of institution for the environtment, ,
Washingto DC, Island Press. p.87-103.
lokal atau lazim disebut indigenous knowledge (Gadgil et.all. 1993). Adapun yang
menjadi komponen utama modal budaya adalah modal institusi (institutional
capital) dan modal sosial (social capital).
Jika modal institusi (institutional capital) mengacu pada seluruh lembagalembaga sosial, baik yang tradisional maupun hasil evolusi, yang terdapat dalam
“human societies” seperti adat, suku, keluarga, kaum dan sejenisnya. Maka, modal
social (social capital) diartikan sebagai asfek-asfek dari struktur hubunganhubungan antara individu-individu, dalam human societies, yang memungkinkan
mereka menciptakan nilai-nilai baru (Coleman, 1994),4 sehingga dapat secara
berkesinambungan memodikasi institusi social dalam pengelolaan sumberdaya
milik bersama. Adapun yang menjadi komponen modal social adalah kemampuan
merajut institusi (Ostrom, 1992), mengembangkan partisipasi setara (Putnam,
1993; Oakley, 1992; Uphoff 1988; Korten, 1987) dan menumbuhkan sikap saling
percaya (Fukuyama, 1995).
b. Perluasan Cakupan Penelitian
Pada temuan lapangan mengindikasikan bahwa modal budaya ternyata
berpotensi menghancurkan modal budaya lain. Artinya, ketika sebuah masyarakat
terbuka dengan pihak luar, dalam penelitian ini adalah pemerintah, maka yang
terjadi kemudian modal budaya pemerintah menjadi kontra produktif terhadap
pengembangan dan penguatan modal budaya masyarakat lokal, dalam penelitian
ini adalah masyarakat sungai janiah sebagai subjeknya. Konkritnya, anggaran yang
“terbungkus” dalam program-program pembangunan pertanian dan pengairan
justru merusak modal budaya yang telah terbangun pada masyarakat Sungai
Janiah.
Oleh karenanya, penelitian selanjutnya akan di fokuskan pada modal
budaya pada pemerintah, dalam hal ini dinas pertanian dan dinas pengairan,
khususnya alokasi dan implementasi anggaran.
44
James S.Coleman, 1994. The Foundation of Social Theory, The Belknap Press of Harvard
University Press. P.368-393
III. KONTRIBUSI TERHADAP PEMBANGUNAN
a. Dalam mengatasi masalah pembangunan
Penelitian ini mengikuti argumentasi yang diajukan oleh Acheson (1989)5
yang kemudian dielaborasi oleh Berkes (1996)6, bahwa dalam setiap masyarakat
orang telah dan secara terus menerus mengembangkan institusi-institusi dan
aturan-aturan dalam membangun kehidupan bersama mereka, termasuk aturan
yang secara efektif membatasi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya alam dan
sosial mereka. Oleh karenanya, dalam konteks tertentu, masyarakat (lokal) tersebut
lebih cocok (appropriate) dalam mengelola sumberdaya alam milik bersamannya
(McCay and Acheson, 1987; Berkes, 1987; Fenny et.all, 1990; Ostrom, 1990;
Bromley, 1992).
Sehingga, penelitian ini memiliki konstribusi signifikan terhadap
pembangunan yang dilakukan pemerintah. Hasil dan temuan penelitian dapat
menjadi cermin, modal yang dibutuhkan pemerintah dalam melakukan program
pembangunan yakni dengan memberikan penguatan terhadap aturan-aturan yang
dikembangkan pada tingkat komunitas lokal tersebut.
Pada tataran praksis, dapat menjadi modal bagi impelementasi perencanaan
pembangunan yang dilakukan melalui MUSRENBANG (musyawarah rencana
pembangunan).
b. Penerapan teknologi ke arah komersial
Hasil generalisasi kajian modal budaya ini sesungguhnya juga dapat
dilakukan pada kelompok-kelompok sosial dengan orientasi keuntungan lainnya,
seperti perusahaan, klub-klub olah raga dan kelompok sosial lainnya.
c. Alih teknologi
Penlitian memiliki asumsi bahwa seluruh kelompok sosial dapat
melahirkan teknologi yang cocok (appropriate technolgi) buat kelompok sosialnya.
Anggapan bahwa IPTEK laksana air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat
5
James M.acheson, 1989. Management of Commons Property Resources, dalam stuart Plattners
(ed) Economic Anthropology, Stanford, Stanford University Press.
6
Fikret Berkes, 1996. Social System, Ecological system and Property Right, dalam Ibid, Susan
Hanna Et.all, p.87-103.
yang lebih rendah, justru terbukti sebagai “perusak” potensi modal budaya. Oleh
karenanya, anggapan tersebut kontra dari asumsi penelitian ini.
d. Kelayakan memperoleh hak paten/cipta
Kajian atau penelitian ini baru menyelesaikan tahun 1 dari 2 tahun yang di
rencanakan. Kemungkinan memperoleh hak paten/cipta akan dipertimbang setelah
penlitian menyelesaikan tahun keduanya.
IV. Manfaat Bagi Institusi
Penelitian yang dilakukan ini merupakan bagian dari penelitian untuk
disertasi sekolah pasca sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) program studi
Sosiologi Pedesaan. Sebuah tugas akhir untuk menyelesaikan jenjang S3.
Menyelesaikan pendidikan jenjang S3 merupak tugas belajar yang dibebankan
Universitas Andalas kepada peneliti.
Penelitian ini dilakukan mandiri, tanpa melibatkan mahasiswa, instansi atau
pihak ketiga lainnya. Karena penelitian ini pendekatannya prosesual, dengan alat
utamanya observasi parsipasi, wawancara mendalam dan diskusi terfokus.
Disamping itu, lokasi yang kecil dan diskrit.
V. Publikasi Ilmiah
Artikel ilmiah, dalam bentuk jurnal, sedang dalam proses pengiriman. Dan
jika selesainya penelitian ini pada tahun kedua, hasil penelitian ini akan di
terbitkan menjadi buku. Beberapa jurnal ilmiah yang akan menjadi tujuan
pengiriman artikel ilmiah adalah VISI yang diterbitkan pusat studi irigasi Unand,
dan jurnal lainnya (draf artikel terlampir).
Download