perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL TERHADAP ANAK-ANAK DI KOTA SURAKARTA (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta) SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Disusun Oleh : ANDHIKA SARI PUTRI D0108033 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012 i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id HALAMAN PERSETUJUAN Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Mengetahui, Dosen Pembimbing Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si NIP. 19531009 198003 2 003 commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id HALAMAN PENGESAHAN Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada hari : Jumat Tanggal : 13 Juli 2012 Panitia Penguji: ( ...................................) Ketua 1. Drs. Sonhaji, M.Si NIP.19591206 198803 1 004 2. Drs.Muchtar Hadi, M.Si NIP. 19530320 198503 1 002 (.....................................) Sekretaris 3. Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si NIP. 19531009 198003 2 003 (.....................................) Penguji Mengetahui, Dekan Prof. Drs. Pawito, Ph.D NIP. 19540805 198503 commit to user 1 002 iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO “ Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat ” (al-Mujadalah : 11) “Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasratkeinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta ” (Khalil Gibran) “ Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar “ (Khalifah Umar) “Bekerja dengan rasa cinta, ikhlas dan tanggung jawab, berarti menyatukan diri dengan diri kalian sendiri, dengan diri orang lain dan kepada Tuhan” (Penulis) commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Dengan penuh ucapan syukur, karya sederhana ini penulis persembahkan kepada: Allah SWT yang telah Melimpahkan Rahmat dan Anugerahnya selama ini Kedua orang tuaku yang tercinta untuk kasih sayang, doa, perhatian, nasihat dan dukungan yang tidak akan pernah habis diberikan kepada penulis Adekku tersayang untuk support, keceriaan yang selalu menemani hari-hariku Kakakku yang selalu mensupport penulis selama ini Seluruh keluarga besarku yang selalu mendukung dan mewarnai hari-hariku Inang’s Community untuk keceriaan, kebersamaan dan dukungan disaat suka dan duka Sahabat-sahabatku tercinta untuk kasih sayang, kebersamaan dan sukacita yang tidak akan pernah terganti Almamaterku UNS commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat, nikmat dan anugrahNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta)” ini merupakan tugas akhir penulis dalam menyelesaikan studi dan memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sosial di Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Dalam kesempatan ini dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mengarahkan dan memberi dorongan hingga tersusunnya skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si selaku Pembimbing, yang senantiasa memberi bimbingan, arahan, dan motivasi dengan sabar dan ikhlas sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 2. Drs. H. Muchtar Hadi, M.Si selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas bimbingan akademis yang telah diberikan selama ini. 3. Prof. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. 4. Drs. Is Hadri Utomo, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. 5. Segenap dosen jurusan Ilmu Administrasi yang telah memberikan pengetahuan dan pemikirannya selama penulis menempuh studi. 6. Drs. A. Fahrudin, HS, selaku Kepala Sub Bidang Pengembangan Perlindungan Anak BAPERMAS PP, PA dan KB yang telah memberikan bantuan, informasi, commitdemi to user dan semua hal yang penulis butuhkan kelancaran skripsi ini. vi perpustakaan.uns.ac.id 7. digilib.uns.ac.id Sumilir Wijayanti, selaku Koordinator Divisi Layanan Tim Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak (PTPAS) Kota Surakarta yang telah memberikan bantuan, informasi, dan semua hal yang penulis butuhkan demi kelancaran skripsi ini. 8. Rita Hastuti, selaku Koordinator Program untuk Bidang Perlindungan Anak Yayasan KAKAK (Kepedulian untuk Konsumen Anak). 9. Anak-anak Jalanan (Korban ESKA) Banjarsari yang banyak memberikan informasi dalam penyusunan skripsi ini. 10. Adekku Rafli untuk dukungan, bantuan, keusilannya dan doa yang diberikan. 11. Mas Nardi untuk dukungan, bantuan, semangat dan doa yang diberikan. 12. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kemampuan dalam skripsi ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Surakarta, Juli 2012 Penulis commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………..... ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….. iii HALAMAN MOTTO………………………………………………………… iv HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………….... v KATA PENGANTAR……………………………………………………….. vi DAFTAR ISI…………………………………………………………………. viii DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….... xii ABSTRAK……………………………………….…………………………... xiii ABSTRACT…………………………………….……………………………. xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah………………….……………………….. 1 B. Rumusan Masalah…………………………….…………………… 12 C. Tujuan Penelitian……………………………………….………..... 12 D. Manfaat Penelitian………………………………………….……... 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Implementasi Kebijakan…………………………………………... 14 B. Ekploitasi Seksual Komersial Anak ……........................................ 22 C. Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.................... 25 D. Pendampingan dan Pembinaan Korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak.........…………………………………….….………............. 26 E. Anak Jalanan………………………………………………………. 27 F. Kategori Anak Jalanan…………………………………………….. 31 G. Penyebab-penyebab Terjadinya ESKA……………………………. 33 H. Bentuk-bentuk ESKA…………………………………………… 37 I. Kerangka Pemikiran……………………………………………. 39 commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian…………………………………………………...... 42 B. Lokasi Penelitian…………………………………………………… 43 C. Sumber Data……………………………………………………..… 44 D. Teknik Sampling..............…………………………………….….. 46 E. Teknik Pengumpulan Data…..……………………………………... 47 F. Validitas Data……………………………………………….…….. 49 G. Teknik Analisis Data….…………………………….………….….. 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian…………………………...………..….. 54 1. Letak Geografi..….…………………………….………….…… 54 2. Kependudukan..……………………………………………. .... 55 3. Potensi Wilayah……………..……………………….……........ 56 4. Kecamatan Banjarsari (Gilingan) ……………..………………. 57 B. Hasil Penelitian dan Pembahasan……………………………..….... 58 1. Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta…................................ 66 1.1. Proses Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial di Kota Surakarta……………………… 66 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Penangulangan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak di Kota Surakarta……….. 71 2.1. Standar dan Sasaran Kebijakan…………………….……… 71 2.2. Sumberdaya......................................................................... 75 2.3. Hubungan Antar organisasi……………………………….. 80 2.4. Karakteristik Agen Pelaksana……………………………… 92 2.5. Disposisi Implementor……………………………............... 95 commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………… 102 B. Saran………………………………………………………………. 105 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Halaman Tabel IV.1 : Jumlah Prostitusi Anak di Surakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan… 62 Tabel IV.2 : Jumlah Prostitusi Anak di Surakarta Berdasarkan Aktivitas….………… 63 Tabel IV.3 : Anak Korban ESKA di Surakarta Tahun 2007…………………………. 64 Tabel IV.4 : Anak Korban ESKA di Surakarta Tahun 2009……..………………….. 65 Tabel IV.5 : Pengelompokan Anak Korban ESKA………………………………….. 65 Tabel IV.6 Matrik Penilaian Faktor-faktor dalam Proses Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta pada 5 Indikator………………………………………………. commit to user xi 100 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar II.1 Halaman : Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III ......... 18 Gambar II.2 : Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle............... Gambar II.3 : Model Implementasi Kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier ...................................................................... Gambar II.4 19 20 : Model Implementasi Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn.................................................................... 21 Gambar III.3: Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman........................ 53 Gambar IV.1 : Sosialisasi ............................................................................... 69 Gambar IV.2 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMK 6………………….. 70 Gambar IV.3 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMK 3 ............................. 70 Gambar IV.4 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMP 5 ............................. 74 Gambar IV.5 : Kegiatan Workshop Penguatan Kapasitas PT PAS……….. . 87 Gambar IV.6 : Workshop Evaluasi Gugus Tugas Penghapusan ESKA…… 90 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Andhika Sari Putri. D0108033. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta). Skripsi. Administrasi Negara.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2012. 108 Halaman. Perlindungan terhadap hak-hak anak sudah diatur di dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak juga seharusnya dihilangkan. Surakarta sendiri tingkat eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak sudah semakin memprihatinkan, untuk menanggulangi hal tersebut maka dibuatnya Perda No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak, dalam lingkup pendampingan dan pembinaan korban ESKA, diharapkan mampu menanggulangi hal tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan faktor apa saja yang menyebabkan anak-anak rentan menjadi korban ESKA. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanakan di Daerah Banjarsari. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data yaitu dengan cara wawancara, observasi dan ditambah dengan dokumentasi. Sedangkan untuk validitas data dilakukan dengan trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif. Hasil penelitian dapat diketahui, bahwa pelaksanaan penanggulangan ESKA ada 3 tahapan,yaitu tahapan yang pertama adalah sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat, tahapan yang kedua adalah Rencana Aksi Kota (RAK), tahapan yang terakhir adalah pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berhubungan untuk menanggulangi masalah ESKA. Proses implementasi dipengaruhi oleh factor-faktor, ada 5 faktor yang mempengaruhi, yaitu yang pertama standar dan sasaran kebijakan, standar yang ditetapkan sudah jelas. Kedua, sumber daya, sumber daya manusia dan non manusia saling berhubungan, walaupun perlu penambahan sumber dana. Ketiga, hubungan antar organisasi, berjalan dengan baik karena ada koordinasi sesama pemangku kepentingan. Keempat, karakteristik agen pelaksana, pembagian tugas dan saling bekerjasama dapat berjalan dengan seimbang. Kelima, disposisi implementor, respon dan intensitas dari para aparat sudah berjalan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Pelaksanaan penanggulangan ESKA hal pendampingan dan pembinaan sudah berjalan cukup baik, hanya terdapat kendala masalah dana dan sulitnya menjangkau korban ESKA tersebut. Hasil yang dicapai dari kebijakan ini adalah turunnya angka jumlah korban ESKA dan banyaknya LSM yang membantu menangani permasalahan ESKA di Surakarta. commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Andhika Sari Putri. D0108033. Implementation of Mitigation Policies Against Commercial Sexual Exploitation of Children in Surakarta (Case study in Gading Market Surakarta). Skipsi. Public Administration. Faculty of Social and Political Sciences. Sebelas Maret University. Surakarta. 2012. 104 pages. The protection of children's rights are entered in the Child Protection Act No. 23 of 2002. Violence and sexual exploitation of children should also be eliminated. In Surakarta own level of commercial sexual exploitation of children is even more alarming, to do about it then made law No. 3 of 2006 on Prevention of Commercial Sexual Exploitation of children, mentoring and coaching within the scope of CSEC victims, should be able to overcome it. The purpose of this study to find out how the implementation and what are the factors that cause children vulnerable to CSEC. This study is a qualitative descriptive study conducted at the Regional Banjarsari. Selection technique used is purposive sampling informant and snowball sampling. Technical data collection techniques is by way of interviews, observations, and coupled with the documentation. As for the validity of data is done by triangulation of data. Techniques of data analysis using interactive analysis model. The results can be known, that the implementation of CSEC, there are three stages, namely the first stage is the dissemination of government to the community, the second stage is the City Action Plan, the last stage is the implementation of activities related to tackling the problem of CSEC. The implementation process is influenced by these factors, there are five factors, namely the first standard and policy targets, which set clear standards. Second, the resources, human resources and non-humans are interrelated, although need additional sources of funding. Third, the relationship between the organization, running well because there is coordination among stakeholders. Fourth, the characteristics of the implementing agency, the division of tasks and work together to run a balance. Fifth, the disposition of the implementor, and the intensity of the response of the apparatus was run in accordance with the duties and responsibilities of each. The implementation of the mentoring and coaching CSEC has been running quite well, there are only a resource constraint and the difficulty of reaching the victims of CSEC. The result of this policy is the reduction in the number of CSEC victims and the many NGOs that help address the problem of CSEC in Surakarta. commit to user xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan tumpuan harapan bangsa, negara, masyarakat, dan juga keluarga, sehingga harus diperlakukan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya. Kenyataan yang terjadi, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak masih sangat rendah, masih banyak anak-anak yang tereksploitasi baik secara ekonomi (menjadi pekerja anak, anak jalanan) ataupun eksploitasi seksual (menjadikan anak-anak sebagai pelacur). Maraknya eksploitasi seksual terhadap anak disebabkan oleh berbagai faktor, selain itu dapat terjadi karena desakan dari berbagai pihak Semakin banyaknya anak-anak dilacurkan (sebagai salah satu bentuk eksploitasi seksual anak) menunjukkan semakin meningkatnya eksploitasi terhadap anak. Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrument yang pertama mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah pada pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan di Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Deklarasi ini mendefenisikan ESKA sebagai berikut : “Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orangcommit lainnya. to Anak user tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial 1 2 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.” Defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat. ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual pada anak tersebut. ESKA sendiri adalah Eksploitasi Seksual Komersial Anak dimana didalamnya ada tiga bentuk yaitu pornografi, prostitusi/pelacuran, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan. Laporan Jaap E Doek, Unicef, dan End Child Prostitution Child Pornography and The Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) menyebutkan, perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual di Asia mengorbankan 30 juta orang, (http://www.menegpp.go.id/index.php). 100.000 anak dan perempuan termasuk Setiap tahun untuk prostitusi. diperkirakan yang diperdagangkan di ada Indonesia. Diperkirakan juga bahwa 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran di Indonesia masih berumur di bawah 18 tahun dengan 40.000-70.000 anak commit to user seksual. Permintaan terhadap Indonesia yang menjadi korban eksploitasi perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id seks anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global sedangkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi serta keinginan untuk memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik membuat anakanak menjadi rentan. Anak-anak sangat rentan untuk diperdagangkan untuk tujuan seks karena mereka seringkali kurang berpendidikan, lebih mudah untuk dimanfaatkan karena kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh orang yang telah dewasa. Anak-anak juga mungkin merasa wajib untuk membantu menafkahi keluarga mereka atau lari dari situasi keluarga yang sulit dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan. Di Indonesia, kemiskinan, penerimaan sosial terhadap buruh anak, kurangnya pencatatan kelahiran, praktek-praktek tradisional seperti pernikahan dini dan kurangnya pendidikan bagi anak perempuan merupakan faktor-faktor yang memfasilitasi terjadinya perdagangan manusia, terlebih-lebih semakin tingginya angka eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak. Anak-anak usia 15-18 tahun dari Indonesia diperdagangkan ke Malaysia, Hong Kong dan Singapura untuk tujuan seksual, banyak dari mereka yang diperdagangkan dari Indonesia melalui Kepulauan Riau, Kalimantan dan Sulawesi ke daerah-daerah wisata di Malaysia dan Singapura. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan data yang dikumpulkan dari 23 propinsi, tercatat ada lebih dari 2.000 kasus perdagangan anak di Indonesia pada tahun 2007, sebagian besar melalui Batam (400 kasus) dan Jakarta dari daerah-daerah pengirim di Jawa, Indramayu dan Sukoharjo. Pemerintah Indonesia sendiri dalam merespon commit to user 4 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id praktek-praktek ESKA menurut pandangan dari Komite Hak Anak PBB disambut baik rencana aksi nasional penghapusan ESKA periode 2002-2007. Namun, komite merasa khawatir UU yang ada tidak memberikan perlindungan yang efektif dan bahwa anak-anak korban ESKA sering tidak mendapatkan perlindungan dan atau bantuan pemulihan yang efektif. Komite juga merasa prihatin tentang kurangnya informasi mengenai bagaimana Rencana Aksi Nasional dilaksanakan di tingkat propinsi dan kabupaten. Anak yang dilacurkan tidak hanya berada di kota-kota besar, akan tetapi mereka juga ada di kota-kota kecil. Di Surakarta sendiri praktek ESKA juga tidak kalah mengkhawatirkan. Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Solo dilihat dari kesatuan geografis, sosial, ekonomi dan kultural merupakan kota yang strategis dan sebagai pusat kegiatan dalam lingkup regional Jawa Tengah. Posisi ini selain berpotensi untuk peningkatan dan akselerasi pembangunan kota juga berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial sebagaimana yang terjadi di kota-kota lainnya. Kota Solo sendiri tidak luput dari praktek-praktek yang mengarah kepada pelanggaran hak asasi anak. Salah satunya ialah praktik ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak). Praktik ini kian marak di Surakarta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPK LPPM) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), sebanyak 164 anak di kota Solo, mulai usia 12 hingga 17 tahun, dinyatakan sebagai korban perdagangan anak dan ESKA, baik lokal maupun antarprovinsi. Angka kasus commit to user perpustakaan.uns.ac.id 5 digilib.uns.ac.id korban trafficking ini meningkat dalam 4 tahun terakhir. Itu didasarkan perbandingan dengan hasil penelitian yang sama pada 2004. Kebanyakan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual di kota Surakarta adalah mereka yang hidup di jalanan yang sangat rentan terhadap kejahatan seksual. Kehidupan yang bebas sebagai anak jalanan serta kurangnya perhatian dari orang tua yang menyebabkan “suburnya” praktik eksploitasi seksual tersebut. Menurut ECPAT, prostitusi anak karena eksploitasi seksual terjadi karena kemiskinan, disfungsi keluarga, pendidikan rendah, pengangguran, penghasilan kurang, tradisi, dan peningkatan kebutuhan perempuan muda pada industri seks. Terdapat juga beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya eksploitasi seksual komersial terhadap anak di Surakarta adalah faktor keluarga dan teman dekat, sosiokultural , serta pengalaman seksual dini.Himpitan ekonomi juga menjadi salah satu hal yang mendasar atau factor utama dari eksploitasi seksual di kota Surakarta. Dari sebab-sebab tersebut, kemiskinan merupakan faktor utama dan kontributor terbesar kasus eksploitasi seks pada anak dan kunci yang mendorong mereka berprofesi menjadi anak jalanan. Dari pengamatan penulis melalui pra survey yang dilakukan, kebanyakan anak-anak jalanan biasanya kumpul ialah Terminal Tirtonadi, Gilingan, Alun-alun Kidul, Perempatan Jebres dll. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id 6 digilib.uns.ac.id buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggar, sehingga mereka sangat rentan mendapat praktik kekerasan seksual di jalanan. Sangat disadari bahwa untuk mengatasi masalah ESKA tidak bisa dilakukan atau ditangani oleh salah satu institusi yang terkait. Dibutuhkan kerjasama dari beberapa pihak pemerintah kota serta lembaga-lembaga swasta, dan berbagai komponen masyarakat sipil. Upaya pemerintah untuk menanggulangi ESKA melalui tindakan pencegahan tampak pada beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh Bapermas P3AKB misalnya dengan mengadakan kegiatan sosialisasi/penyuluhan PNBAI (Program Nasional Bagi Anak Indonesia) serta kampanye publik yang diadakan setiap hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli. Pelaksanaan sosialisasi juga dilakukan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang anak-anaknya rentan menjadi korban ESKA. Namun sejauh ini upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil karena hingga saat ini mereka belum sepenuhnya menyadari resiko dari apa yang mereka lakukan (melakukan hubungan seks usia dini) dan masih melakukan aktivitas seksual. Meningkatnya angka praktik ESKA di Surakarta ternyata tidak hanya mendapat perhatian dari lembaga pemerintah saja, akan tetapi juga mendapat perhatian yang serius dari sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli terhadap Perlindungan Konsumen Anak di Surakarta. LSM ini bernama Yayasan KAKAK (Kepedulian Untuk Konsumen Anak). Dari data yang diperoleh dari Yayasan KAKAK Surakarta, Selama tahun 2009 kurang commit to user 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id lebih ada 110 anak yang dapat dijangkau dan didampingi dan kebanyakan dari mereka adalah usia sekolah. Sementara untuk tahun 2009 menjangkau dan mendampingi 29 yang dilacurkan yang terdiri dari 25 adalah perempuan dan 4 laki-laki. Sedangkan selama Januari-Juni 2010 menjangkau 16 anak yang semuanya adalah perempuan. (Arsip Yayasan Kakak). Jadi dapat disimpulkan untuk periode tahun 2005- Juni 2010 Yayasan Kakak dapat menjangkau dan mendampingi 156 anak korban ESKA. Korban ESKA tidak hanya terjadi di kalangan anak yang rentan menjadi korban. Terlebih-lebih anak jalanan yang hidup keras di jalanan, seringkali mengalami kekerasan, salah satunya adalah kekerasan seksual komersial. Badan-badan dari Pemerintah seperti BAPERMAS, PP, PA dan KB (Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan anak, Perlindungan Perempuan dan Keluarga Berencana) yang menangani kasus anak-anak yang menjadi korban ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) di kota Surakarta. Pemerintah sendiri sering mengadakan sosialisasi ke beberapa sekolah, yaitu SMP 5, SMA 1, SMK 3, SMK 6 dll di kota Surakarta. Penelitian tentang ESKA di Surakarta menghasilkan sebuah kesimpulan, bahwa kasus ESKA yang terjadi di Solo adalah anak korban perdagangan untuk tujuan seksual, sebanyak 27 kasus. Sebagian besar anak menjadi korban ESKA untuk pertama kali saat berusia 16 tahun. Pada usia 16 tahun atau rentang usia dikisaran ini merupakan usia yang paling rawan bagi seorang anak. Proses pencarian identitas diri seorang anak selalu melibatkan lingkungan yang ada disekitarnya termasuk melibatkan temancommit to user 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id teman sebayanya . Teman-teman sebaya akan sangat mempengaruhi dalam membentuk pola pikir dan perilaku seorang anak. Tempat berlangsungnya aktivitas seksual anak pertama sekali hingga terjebak ESKA sebagian besar di lingkungan kost / kontrakan yang didiami oleh responden sendiri maupun pacar/teman, sebagian di rumah/tempat tinggal korban, sebagian di Kafe, hotel, di jalanan, di kebun, bahkan ada yang di luar kota, Malang dan Jogja. http://www.eska.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75 &Itemid=43 Sungguh memprihatinkan melihat kondisi ini, terlebih Kota Surakarta adalah salah satu kota yang pada tahun 2006 memulai program Kota Layak Anak harus terkontaminasi dengan menjamurnya fenomena ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak). Selain itu angka-angka di atas harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es artinya kasus yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Menyikapi hal tersebut sebenarnya Pemerintah Kota Surakarta telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Diantaranya bertujuan untuk mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual komersial, melindungi dan merehabilitasi korban eksploitasi seksual serta menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial itu sendiri, tertuang beberapa hal penanggulangan eksploitasi seksual komersial diantaranya adalah (1) commit to user 9 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pendampingan korban eksploitasi, (2) Rehabilitasi dan Reintegrasi korban eksploitasi, (3) Koordinasi dan Pembinaan korban eksploitasi. Akan tetapi untuk lebih spesifik di dalam melakukan penelitian ini, penulis hanya akan membahas atau hanya membatasi mengenai penanggulangan eksploitasi seksual komersial yaitu dalam hal Pendampingan dan Pembinaan korban eksploitasi seksual komersial. Di dalam Perda Nomor 3 Tahun 2006 itu sendiri, juga tertuang upaya pemerintah dalam menanggulangi penanggulangan eksploitasi seksual komersial, diantaranya (1) Penertiban perijinan usaha yang rentan terhadap kegiatan eksploitasi seksual komersial, (2) Pemberian sanksi terhadap pelaku. Akan tetapi wujud upaya tersebut belum sepenuhnya efektif, dengan melihat praktek yang ada sekarang ini. Pada dasarnya munculnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial di kota Surakarta merupakan penyempurnaan dan tindak lanjut dari SK Walikota Surakarta Nomor 462/78/1/2006 Tentang Rencana Aksi Kota (RAK) penghapusan Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA) kota Surakarta dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila yang sudah tidak efektif lagi berlaku karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Bahkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak dari anak yang menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan commit to user 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dari kekerasan dan diskriminasi”. Sangat ironis sekali melihat fakta yang ada sekarang ini, bahwa anak yang seharusnya mendapat perlindungan dari kekerasan dan tindakan asusila, malah menjadi obyek eksploitasi seksual yang kian hari kian marak dan malah menjadi ladang subur sebagai “pekerjaan” dan kasusnya seperti fenomena gunung es, yang kasusnya hanya terlihat beberapa di permukaan saja. Upaya hukum telah dilakukan dengan adanya sosialisasi kebijakan yang terkait dengan perlindungan anak dan anak-anak yang dilacurkan. Seperti Konvensi Hak Anak oleh PBB Tahun 1989 yang telah diratifikasi Indonesia pada 1990, UU No 1 tahun 2000 (Tanggal 8 Maret 2000) tentang Konvensi ILO 1999 No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Pekerja Anak, Keppres No. 40 Tahun2004 tentang Ranham 2004-2009 tentang Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang PerdaganganAnak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata (2006), Keppres No. 59 Tahun2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Juga ada Keppres No.59 Tahun 2002 mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Aturan lainnya, Keppres No.87 Tahun 2002 mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Keppres No.88 Tahun 2002 mengenai Rencana Aksi commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dan banyak lagi lainnya(.http://lppm.uns.ac.id/sirine/penelitian.php?act=detail&idp=17) Maka dari itu permasalahan kasus eksploitasi komersial yang lebih banyak melibatkan anak-anak di bawah umur sangat penting diperhatikan. Akan tetapi sejauh ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Perda Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial yang seharusnya digunakan untuk melindungi anak-anak dari tindak kejahatan bahkan ironisnya dari tindakan perdagangan anak serta eksploitasi seksual, ternyata masih belum mampu mengatasi laju pertambahan jumlah anak-anak yang terjebak pada eksploitasi seksual komersial yang secara signifikan bertambah terus tiap tahunnya, khususnya di Kota Surakarta. Berkaitan dengan hal di atas maka penulis tertarik untuk lebih lanjut mengetahui Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial di Kota Surakarta berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dengan studi kasus anak-anak jalanan di kecamatan Banjarsari kota Surakarta yang relative rentan terhadap praktek-praktek ESKA. commit to user 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial? 2. Faktor-Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Secara umum untuk mengetahui implementasi pelaksanaan Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial di Kota Surakarta. 2. Untuk mengetahui berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam Implementasi Penanggulangan ESKA di Surakarta. commit to user pelaksanaan 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Secara individual penelitian ini untuk melengkapi prasyarat gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Secara umum hasil penelitian diharapkan mampu memberikan masukan dan sumbangan pikiran bagi berbagai pihak yang nantinya dapat mengurangi tingginya angka eksploitasi seksual terhadap anakanak. 3. Secara teoritis penelitian ini dapat melengkapi penelitian selanjutnya dan untuk menambah ilmu pengetahuan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Implementasi Kebijakan Tahap implementasi dalam lingkaran proses kebijakan publik, menempati posisi yang penting, karena kebijakan akan dikatakan berhasil atau tidak tergantung pada implementasinya. Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk memengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor. Dalam berbagai system politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. (Subarsono 2005 : 87-88) Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang commit to user 14 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. (Budi Winarno 2008 : 145) Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk Undang-undang atau Perda adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain. Riant Nugroho ( 2008: 494-495). Definisi Implementasi secara eksplisit mencakup tindakan oleh individu/ kelompok privat (swasta) dan publik yang langsung pada pencapaian serangkaian tujuan terus menerus dalam keputusan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya. William (1971: 144) dalam Dr. Mas Roro Lilik Ekowati, MS “Perencanaan Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program” ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis )2009 commit to user 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dengan lebih ringkas menyebutkan : “Dalam bentuk lebih umum, penelitian dalam implementasi menetapkan apakah organisasi dapat membawa bersama jumlah orang dan material dalam unit organisasi secara kohesif dan mendorong mereka mencari cara untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.” Dengan adanya kebijakan implementasi, yang merupakan bentuk konkret dari konseptualisasi dalam kebijakan formulasi, tidak secara otomatis merupakan garansi berjalannya suatu program dengan baik. Oleh karena itu suatu kebijakan implementasi pada umumnya satu paket dengan kebijakan pemantauan atau monitoring. Mengingat kebijakan implementasi adalah sama peliknya dengan kebijakan formulasi, maka perlu diperhatikan berbagai faktor yang akan mempengaruhinya. Menurut Ripley & Franklin (1986, 54) dalam penelitian Wahyu Nurhardjatmo, M.Si, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan what’s happening? (apa yang terjadi). Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh terhadap prosedur / standard aturan yang telah di tetapkan. Sementara untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil dicapai, mengapa dan sebagainya. commit to user 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut Anderson (1979, 68) penelitian Wahyu Nurhardjatmo, M.Si, ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan, yaitu: 1. Siapa yang mengimplementasikan 2. Hakekat dari proses administrasi 3. Kepatuhan, dan 4. Dampak dari pelaksanaan kebijakan Model-Model Implementasi (Subarsono. Analisis Kebijakan Publik. 2005) a. Model George C. Edwards III (1980) Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi 4 variabel : 1. Komunikasi Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target groups) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Tujuan dan sasaran kebijakan harus jelas, apabila tidak diketahui oleh kelompok sasaran, akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. 2. Sumberdaya Sumberdaya adalah factor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas dan menjadi dokumen saja. commit to user 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. 4. Struktur Birokrasi Stuktur Birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar. Gambar II.1 Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III Komunikasi Sumber daya Implementasi Sikap Struktur Birokrasi b. Model Merilee S. grindle (1980) Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle dipengaruhi oleh dua variable besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan commit to user implementasi (context of implementation). 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Isi Kebijakan mencakup : (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai Variable Lingkungan Kebijakan mencakup : (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para actor dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Gambar II.2 Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle Implementasi Kebijakan Dipengaruhi oleh Tujuan Kebijakan Tujuan yang dicapai Program aksi dan proyek individu yang didesain dan didanai A. Isi Kebijakan 1. Kepentingan kepentingan sasaran 2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksaan program 6. Sumberdaya yang dilibatkan Hasil Kebijakan a. Dampak pada masyarakat individu dan kelompok b. Perubahan dan penerimaan masyarakat B. Lingkungan Implementasi 1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap Program yang dilaksanakan sesuai rencana commit to user Mengukur keberhasilan 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variable yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : (1) karakteristik dari masalah; (2) karakteristik kebijakan atau undang-undang; (3) variable lingkungan. Gambar II.3 Model Implementasi Kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier Mudah / tidaknya Masalah Dikendalikan 1. Kesulitan teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Prosentase kelompok sasaran dibanding jumlah populasi 4. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan Variabel diluar Kebijaksanaan yang Mempengaruhi Proses Implementasi 1. Kondisi sosio – ekonomi dan teknologi 2. Dukungan publik 3. Sikap dan sumber – sumber yang dimiliki kelompok pemilih 4. Dukungan dari pejabat atasan 5. Komitmen dan keterampilan kepemimpinan pejabat – pejabat pelaksana Kemampuan Kebijaksanaan untuk Menstrukturkan Proses Implementasi 1. Kejelasan dan konsistensi tujuan 2. Digunakannya teori kausal yang memadai 3. Ketepatan alokasi sumber daya 4. Keterpadan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana 5. Aturan – aturan keputusan dari badan pelaksana 6. Rekrutmen pejabat pelaksana 7. Akses formal pihak luar Tahap – tahap Dalam Proses Implementasi ( Variabel Tergantung) Output kebijakan Dari badan-badan Pelaksana Keputusan kelompok sasaran terhadap output kebijakan Dampak nyata output kebijakan commit to user Dampak output kebijakan sebagaimana dipersepsi Perbaikan mendasar dalam undang – undang 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id d. Model Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975) Menurut Meter dan Horn, ada lima variable yang memengaruhi kinerja implementasi, yakni : (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; (5) kondisi social, ekonomi dan politik; (6) disposisi implementor. Gambar II.4 Model Implementasi Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan Ukuran dan tujuan kebijakan Karakteristik badan pelaksana Kinerja Implementasi Disposisi pelaksana Sumberdaya Lingkungan ekonomi sosial dan politik e. Model G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (1983) Untuk menganalisis implementasi program-program pemerintah yang bersifat desentralistis, ada empat kelompok variable yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yakni : (1) kondisi lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumberdaya organisasi commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id untuk implementasi program; (4) karakteristik dan kemampuan agen pelaksana. f. Model David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999) Dalam pandangan Weimer dan Vining, ada tiga kelompok variable besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, yakni : (1) logika kebijakan; (2) lingkungan tempat kebijakan dioperasikan; (3) kemampuan implementor kebijakan. B. Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) ESKA adalah singkatan dari Eksploitasi Seksual Komersial Anak. ECPAT Internasional (2001) mendefinisikan ESKA sebagai sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut berupa kekerasan seksual oleh orang dewasa dengan pemberian imbalan kepada anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Sederhananya anak diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial. Ini adalah perwujudan dari kerja paksa dan perbudakan modern terhadap anak. Sebab tak jarang anak-anak dipaksa, mengalami kekerasan fisik dan trauma. Eksploitasi Seksual Komersial Anak adalah penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut. Ada tiga bentuk yaitu prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 23 digilib.uns.ac.id (http://eska.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75&I temid=4) Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrument yang pertama mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah pada pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan di Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Deklarasi ini mendefenisikan ESKA sebagai berikut : “Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk penggunaan, pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan kekerasan seksual terhadap anak dan untuk tujuan kerja paksa dan bentuk perbudakan seks lainnya.” Defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat. ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual pada anak tersebut. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hakcommit to user 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan. Adanya faktor keuntungan ini membedakan antara ESKA dengan kekerasan seksual anak karena dalam kekerasan seksual anak tidak ada keuntungan komersial walaupun eksploitasi seksual juga merupakan sebuah kekerasan seksual. Eksploitasi seksual terhadap anak ternyata mempunyai dampak yang sangat besar terutama dampak terhadap kesehatan fisik maupun psikis anak tersebut. Hal tersebut dipertegas dengan penjelasan Allison Phinncy (dalam jurnal Trafficking Of Women And Children For Sexual Exploitation In The Americas, 2007 :34) : “Sexual exploitation is particularly damaging to the health of children. They are even more likely than adults to lack accurate information about th transmission and prevention of sexually transmitted infections, including HIV/AIDS. Girls are especially vulnerable to sexually transmitted infections due to their immature reproductive tracts, and they are more likely to suffer long term damage from them. In addition to the elvated risk of HIV and other, the traumatic sexsualization betrayal, powerlessness and stigmatitation involved in sexsual exploitation are damaging to child and adolescent development. (Eksploitasi seksual pada dasarnya merusak kesehatan anak-anak. Mereka bahkan memiliki kemungkinan lebih besar daripada orang dewasa untuk kecurangan informasi yang akurat tentang penyebaran dan pencegahan infeksi penyakit seksual menular, termasuk HIV/AIDS. Anak perempuan sangat rentan terhadap infeksi penyakit menular seksual karena organ reproduksinya yang belum matang, dan mereka memiliki kemungkinan lebih besar untuk menderita kerusakan organ dalam jangka panjang. Selain itu, tingginya resiko HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya, trauma seksual, commitdan to user ketidakberdayaan stigma negative sebagai akibat dari 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id eksploitasi seksual dapat merusak perkembangan anak dan remaja.) C. Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak Menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006, pengertian penanggulangan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap untuk mencegah terjadinya eksploitasi seksual komersial. Upaya penanggulangan itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah saja, akan tetapi selain peran pemerintah terdapat pula peran serta keluarga dan masyarakat yang ikut berparan serta dalam menangani kasus eskploitasi seksual komersial yang menimpa anak-anak yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 di Kota Surakarta tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Peran masyarakat dilakukan oleh orang-perorangan, lembaga social kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa. Pemerintah sendiri di dalam upaya penanggulangan terhadap kegiatan eksploitasi seksual komersial dilakukan dengan (1) Penertiban perijinan usaha yang rentan terhadap kegiatan eksploitasi seksual komersial, (2) Pemberian sanksi terhadap pelaku. Di dalam pasal 29 Perda Nomor 3 Tahun 2006, penanggulangan eksploitasi seksual komersial dilakukan oleh : commit to user perpustakaan.uns.ac.id 26 digilib.uns.ac.id 1. Kegiatan penindakan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja. 2. Pendidikan dan pelatihan keterampilan klien dilaksanakan oleh instansi yang membidangi Pendidikan dan instansi yang membidangi Ketenagakerjaan. 3. Penyaluran tenaga siap kerja oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan Selain hal tersebut, penanggulangan dilakukan dengan memberikan pendampingan dan pembinaan terhadap para korban eksploitasi seksual. Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk lebih menekan anak-anak yang menjadi korban ekslpoitasi supaya tidak kembali masuk lagi ke jalan yang salah. D. Pendampingan dan Pembinaan Korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak Pendampingan dan pembinaan bagi para krban ESKA memang sangat perlu diperhatikan. Pendampingan yang dilakuan oleh pemerintah ternyata juga tidak hanya bekerjasama hanya dengan LSM yang menangani kasus tersebut, akan tetapi keluarga korban juga, teman dekat korban, diharapkan untuk dapat memberikan pendampingan kepada para korban. Bahkan hukumpun juga turut serta memberikan perlindungan apabila dibutuhkan, akan tetapi juga sangat jarang dilakukan, karena sebisa mungkin pemerintah tidak menggunakan langkah hukum untuk menangani permasalahn ESKA, karena pemerintah mengangap anak hanya sebagai commit to user 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id korban, bukan sebagai pelaku yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum. Hukum diberikan hanya sebatas perlindungan saja kepada para korban eksploitasi, itu juga apabila memang dibutuhkan. Pembinaan yang dilakukan pemerintah yaitu dengan cara memberikan pelatihan atau ketrampilan bagi anak-anak yang menjadi korban ESKA tersebut. Pembinaan yang dilakukan dengan cara memberikan modal untuk mengasah ketrampilan yang dimiliki anak, supaya mereka tidak tenggelam lagi di dunia ESKA. Pendampingan lebih mengarah kepada Recovery terhadap anakanak itu sendiri. Banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani permasalahan tersebut. Akan tetapi tidak selamanya pemerintah dapat melakukan hal tersebut apabila tidak ada kemauan dari para korban tesebut untuk lepas dari jaring eksploitasi seksual. E. Anak Jalanan Fenomena sosial anak jalanan atau biasa yang disebut dengan “Anjal” adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih ada yang memiliki hubungan dengan keluarganya, tapi ada juga yang sudah tidak sama sekali ada hubungan dengan keluarganya. Anak Jalanan, terutama terlihat nyata di kota-kota besar setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia. Hasil kajian Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar, melaporkan jumlah anak jalanan sebanyak 39.861 anak dan sekitar 48 persen adalah anak-anak commit to user 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang baru turun ke jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan sebanyak 60.000-75.000 anak jalanan dan 60 persen putus sekolah serta 80 persen masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18 persen adalah anak jalanan perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kahamilan diluar nikah dan terinfeksi PMS serta HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan hampir tidak mempunyai akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan, keberadaan mereka ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan (sweeping) oleh pemerintah kota setempat. Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah “ anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain” (dalam Dwi Astutik, 2005: 14). Sugeng Rahayu (dalam Dwi Astutik, 2005: 15) berpendapat lain bahwa “anak jalanan adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di toko/kios)”. Menurut Soedijar (dalam Dwi Astutik, 2005: 15), “anak jalanan adalah anak-anak yang berusia 7-15 tahun, bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat membahayakan keselamatan dirinya”. Dalam UU No 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak: anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais commit to user 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sampah. Tidak jarang anak-anak jalanan tersebut menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan seksual. Kondisi anak jalanan di kota surakarta dapat kita ketahui melalui pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti. Alasan anak-anak ini turun ke jalan sebagian besar karena masalah ekonomi. Selain itu, juga terdapat alasan lain yang mempengaruhi mereka harus turun ke jalan seperti permasalahan keluarga, permasalahan keluarga itu sendiri memiliki berbagai variasi, antara lain: diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya, kondisi disharmoni keluarga (perceraian orang tua dan brokenhome). Anak-anak yang miskin tidak dapat melanjutkan sekolah, karena adanya batasan biaya dari orang tua mereka yang tidak mampu karena biaya sekolah terlalu mahal. Hal tersebut memaksa mereka anak-anak turun ke jalan untuk bekerja sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pemulung. Bahkan tidak jarang banyak juga anak-anak perempuan yang menjadi pekerja seks komersil. Kehidupan anak-anak jalanan di Kota Surakarta secara jelas dapat ditemui di berbagai wilayah kota, seperti: Perempatan Manahan, Terminal Bus Titonadi, Gilingan, Perempatan Giri Mulyo, Perempatan Ngemplak, Stasiun Kereta Api Solo Balapan, Perempatan Timuran, Perempatan Gemblekan, daerah Pasar Gading, Perempatan Warung Miri, Perempatan Panggung dan daerah belakang Panggung Motor, Taman Jurug, Stasiun Kereta Api Jebres. Sejak pagi hingga malam hari, anak-anak jalanan commit to user 30 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tersebut berada di tempat “mangkalnya” untuk bekerja guna mendapatkan uang yang hasilnya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Adanya beberapa faktor penarik dan pendorong yang mengakibatkan semakin banyaknya anak-anak jalanan di kota Surakarta. Menurut BKSN (dalam Dwi Astuti 2005: 25) faktor penarik terjadinya anak jalanan antara lain : 1) Kehidupan jalanan yang menjanjikan, dimana anak mudah mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas. 2) Diajak teman. 3) Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian. Faktor pendorong pada umumnya berasal dari hubungan dalam keluarga, permasalahan ekonomi pada keluarga yang membuat anak ikut bekerja membantu orang tua mereka. Akan tetapi selain masalah lingkup dalam keluarga, faktor yang berasal dari masyarakat juga memberikan kontribusi bagi maraknya fenomena anak jalanan. Perkembangan pesat pembangunan di kota-kota besar menawarkan berbagai kemudahan hidup sehingga timbul arus urbanisasi yang cenderung tak terkendali. Orangorang desa yang masuk ke kota membiarkan bahkan menyuruh anakanaknya mencari nafkah dengan berbagai cara untuk meringankan hidup. Selain faktor-faktor di atas, faktor kesempatan dari masyarakat juga turut memberikan kontribusi yang berarti bagi mereka. Anak-anak yang bekerja commit to user perpustakaan.uns.ac.id 31 digilib.uns.ac.id sebagai tukang semir sepatu, penjual koran, pengamen, pedagang asongan hadir karena masyarakat memang membutuhkan dan memberi kesempatan kepada mereka. Masalah Anak Jalanan adalah permasalahan yang krusial tidak habis-habisnya untuk dibicarakan, seakan-akan sebuah kehampaan belaka apabila menanganinya akan menemukan sebuah lingkaran setan, karena masalah Anak jalanan akan melibatkan masalah ekonomi, kondisi mentalitas masyarakat dan lingkungan dimana anak itu berada. Satu orang Anak jalanan dibina dapat terentaskan akan muncul 2 (dua) Anak atau lebih yang berprofesi sebagai Anak jalanan, dan juga karena Kota Solo adalah interland dari daerah sekitarnya maka semakin hari Anak Jalanan tidak semakin berkurang malah semakin bertambah. Pemerintah Kota Surakarta akan menangani membina serta melindungi Anak Jalanan dengan mengadakan Aksi Kota Penghapusan Anak Jalanan agar Kota Solo kondusif sebagai Kota Layak Anak. Akan tetapi sepertinya hal tersebut akan sangat sulit untuk dilakukan, dikarenakan factor utama dari keberadaan anak-anak jalanan itu sendiri adalah factor kemiskinan yang menjadi “suburnya” anak-anak jalan di Kota Surakarta. F. Kategori Anak Jalanan Anak jalanan yang turun ke jalan mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dari anak yang satu dengan yang lainnya. Hingga anak jalanan yang ada di jalan tersebut tidak bisa disamakan begitu saja. Akan commit to user tetapi yang jelas kehidupan anak-anak jalanan berbeda dengan kehidupan 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id anak biasa yang tidak menjadi anak jalanan. Oleh karena itu, anak jalanan tersebut dapat dibedakan ke dalam bebrapa kategori. Anak jalanan dapat dibdakan mnjadi dua kelompok yaitu : 1) Children of the street ( anak-anak yang tumbuh dari jalanan ), seluruh waktunya dihabiskan di jalanan. Adapun ciri dari anak-anak ini biasanya tinggal dan bekerja di jalamnan (living and working in th stret), tidak mempunyai rumah dan jarang atau bahkan tidak prnah kontak dengan keluarga mereka. Mereka biasanya berasal dari keluarga yang mempunyai konflik keluarga, misalnya ayah-ibunya cerai, penyiksaan orang tuanya dan konflik-konflik lainnya. Mereka lebih suka berpindah-pindah tempat, dari tempat satu ke tempat lainnya atau mobile, karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal. Masalah yang banyak dan kebebasan yang mereka alami karena tinggal di jalanan dan tanpa ada yang mendampinginya. Jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan kelompok anak jalanan lainnya, diperkirakan 10-15% dari seluruh populasi anak jalanan. 2) Children on the street (anak-anak yang ada di jalanan), yakni anak-anak yang hanya berada sesaat di jalanan. Di dalam kelompok ini sendiri terdapat dua kelompok anak jalanan, yakni anak dari luar kota dan anak yang tinggal bersama dengan orang tuanya. Pada anak-anak dari luar commit to user 33 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kota, mereka biasanya mengontrak rumah secara bersamasama di satu lingkungan tertentu dan penghuninya adalah teman satu daerah sendiri. Mereka tidak berskolah lagi dan ikut ke kota karena ajakan teman-teman atau orang yang lebih dewasa. Motivasi mreka adalah ekonomi, jarang konflik, walaupun memang ada. Anak jalanan yang tinggal dengan orang tua mereka, biasanya pulang hanya sebulan sekali untuk menyerahkan uang penghasilannya kepada orang tua mereka. G. Penyebab-Penyebab Terjadinya ESKA Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak. Walaupun karakteristik setiap daerah tidak persis sama, secara umum faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya ESKA terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik. ECPAT mendaftar faktor-faktor resiko tersebut di dalam buku pedomannya. Factor-faktor pendorong, antara lain : 1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi penggerusan di sektor pertanian. 2. Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga. 3. Peningkatan konsumerisme. commit to user dan 34 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan. 5. Tiadanya kesempatan pendidikan. 6. Tiadanya kesempatan kerja. 7. Kelangkaan peraturan/hukum dan penegakan hukum. 8. AIDS-meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak terpaksa masuk ke perdagangan seks. Factor-faktor penarik, antara lain : 1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut anak-anak. 2. Pihak berwenang yang korup sehingga terlibat dalam perdagangan seks anak. 3. Permintaan dari industri seks mancanegara yang menciptakan perdagangan seks anak dan perempuan secara internasional. 4. Pernikahan yang diatur di mana pengantin anak perempuan terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah. 5. Kehadiran militer yang menciptakan kebutuhan terhadap pelacuran anak. 6. Permintaan dari wisatawan seks dan pedofil. 7. Ketakutan terhadap AIDS yang membuat menginginkan pelacur yang lebih muda usianya. commit to user pelanggan 35 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Selain faktor-faktor pendorong dan penarik di atas, tingginya angka eksploitasi terhadap anak ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang masih menjadi penyebab utama eksploitasi seksual anak, akan tetapi ternyata ada faktor-faktor non ekonomi yang juga mendorong anak-anak ke eksploitasi seksual komersial. Anak-anak yang paling berisiko menjadi korban ESKA adalah mereka yang sebelumnya telah mengalami pelecehan fisik atau seksual. Sebuah lingkungan keluarga dengan sedikit perlindungan, dimana pengasuh tidak ada atau di mana ada tingkat kekerasan yang tinggi atau tingginya konsumsi alkohol atau konsumsi obat, menyebabkan anak laki-laki dan perempuan lari dari rumah, membuat mereka sangat rentan terhadap tindak pelecehan. Diskriminasi gender dan tingkat pendidikan pengasuh yang rendah juga menjadi faktor risiko. Anak-anak dengan kemiskinan ekstrim dan keluarga terpinggirkan di daerah pesisir juga menjadi korban ESKA. Seperti yang diungkapkan Prof. Vitit Muntarbhorn dalam International Journal About Children Sexual Exploitation, 2008 :71 : “The abhorrent practices behind the commercial sexual exploitation of children include rape, murder, abduction, bribery, false marriage, illegal adoption, illegal immigration, bonded labour,extortion and mailorder brides. It may also arise from domestic service,. While the phenomenon affects millions of girls and boys in many settings, it is girls who constitue the majority of the victims, aggravated by deepseated cultural attitudes that discriminate against women and the girl child. The practice or commercial sexsual exploitation of children is both old and new, although th issue has become more accentuated and critical in resent times. In regard to the former, traditional practices rooted include the dedication of girls commit to user in various communities they then to temples as sex goddess 36 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id fall prey to sexsual exploitation. In regard to the latter, the less positive sid of globalization and the advance of technology and communications have made it more instantaneous and widespread. The more modern side of the child sex trade includes the use of computer bulletin boards and internet to transfer child pornography worldwide, and the growth of sex tourism (Praktek-praktek dibalik eksploitasi seksual komersial anak antara lain pemerkosaan, penculikan, perampokan, pernikahan semu/kontrak, adopsi illegal, imigrasi illegal, tenaga kerja paksa, pemerasan dan pengantin pesanan. Meskipun fenomena ini menimpa jutaan anak perempuan dan laki-laki dari berbagai latar belakang, namun anak perempuanlah yang mayoritas menjadi korban. Hal ini semakin diperburuk oleh kebudayaan yang mengakar, yang mendiskriminasikan wanita dan anak perempuan. Kasus eksploitasi seksual komersial terhadap anak adalah merupakan kasus lama sekaligus baru, walaupun masalah ini menjadi besar dan kritis akhir-akhir ini. Dalam kaitannya dengan masalah lama, praktek tradisional yang berasal dari sejarah meliputi persembahan anak perempuan di kuil sebagai dewi seks di berbagai komunitas mereka, sehingga menjadikan anak sebagai korban eksploitasi seksual. Dalam kaitannya dengan yang baru, efek globalisasi yang kurang positif dan kemajuan teknologi dan komunikasi telah membuat kasus tersebut menjadi lebih cepat menyebar luas. Perdagangan seks anak yang modern meliputi penggunaan papan bulletin computer dan internet untuk mentransfer pornografi anak dan wisata seks ke seluruh dunia)” commit to user perpustakaan.uns.ac.id 37 digilib.uns.ac.id H. Bentuk- Bentuk ESKA Ada 5 bentuk ESKA, yakni prostitusi anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak. • Prostitusi Anak : Tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau imbalan lain. • Pornografi anak : Pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. • Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual : Proses perekrutan, pemindahtanganan atau penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eskploitasi seksual, yang biasanya dilakukan transaksi ke luar pulau atau bahkan sampai ke luar negeri. • Wisata seks anak : ESKA yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan anak-anak, mereka lebih memilih anak-anak dikarenakan anak-anak masih kurang rentan terhadap virus HIV. • Perkawinan anak atau pernikahan dini : Pernikahan dengan anak, yakni di bawah umur 18 tahun yang memungkinkan anak menjadi korban ESKA, sebab tujuan menikahi anak tersebut untuk menjadikan anak sebagai objek commit to user 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id seks untuk menghasilkan uang atau imbalan lainnya (ECPAT “End Child Prostitution, Child Pornography and Traffiking of children for sexsual purposes 2008:22) commit to user 39 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id I. Kerangka Pemikiran Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Perda No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Implementasi Kebijakan Penanggulangan ESKA (Pendampingan dan Pembinaan) Indicator : a. Tahapan Awal Sosialisasi b. Rencana Aksi Kota c. Tahapan Pelaksanaan Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penanggulangan ESKA di Surakarta Indikator: a. Standar dan sasaran kebijakan (Van Meter & Van Horn) b. Sumberdaya (Van Meter & Van Horn) c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas (Van Meter & Van Horn) d. Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn) e. Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn) Tujuan: a. Memberikan rasa aman, nyaman dan tenang kepada anak-anak yang menjadi korban ESKA b. Mendampingi dan membina anak-anak yang menjadi korban ESKA c. Memberikan pembinaan ketrampilan kepada anak-anak korban ESKA commit to user 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kerangka pemikiran di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam melakukan penelitian ini, dari awal penulis melihat Fenomena Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) yang saat ini menjadi hal yang sangat rentan dan menakutkan bagi anak-anak dan orang tua itu sendiri, terutama bagi anak perempuan, serta tidak menutup kemungkinan anak laki-laki juga ikut terlibat atau menjadi korban di dalamnya,.khususnya di kota Surakarta sendiri, oleh karena itu dengan adanya PERDA NO 3 TAHUN 2006 tentang “Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial“, diharapkan ESKA dapat diperangi atau dihapuskan. Untuk meneliti implementasi PERDA NO 3 TAHUN 2006 itu sendiri, terdapat tahapan yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu tahapan awal, tahapan RAK dan tahapan pelaksanaan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan penanggulangan eksploitasi seksual terhadap anak-anak tersebut. Untuk melihat pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di kota Surakarta maka digunakan tahapan proses pelaksanaan dari BAPERMAS PP, PA dan KB untuk dapat mengamati pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA mulai dari tahapan awal (sosialisasi), tahapan Rencana Aksi Kota hingga tahapan pelaksanaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi selama pelaksanaan penanggulangan akan diamati melalui beberapa indikator dari Model Van Meter dan Van Horn sehingga akan didapatkan keberhasilan atau kegagalan dari pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di kota Surakarta khususnya daerah kecamatan banjarsari. commit to user 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Alasan penulis untuk mengambil Model Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn karena kebijakan penanggulangan ESKA di kota surakarta merupakan tipe kebijakan top-down. Kebijakan tersebut berasal langsung dari atas karena berbagai alasan dari masyarakat yang mengakibatkan harus dibuatnya PERDA tersebut. Kebijakan top-down merupakan proses implementasi dari sisi vertikal dan terpusat; mengikuti struktur hierarki. Pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Dalam pelaksanaan Model Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn dipengaruhi oleh lima variabel dalam mendukung proses implementasi. Kelima variabel tersebut adalah yaitu Standar dan sasaran kebijakan (Van Meter & Van Horn), Sumberdaya (Van Meter & Van Horn), Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas (Van Meter & Van Horn), Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn), dan Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn). Kelima variabel tersebut tidak akan dapat berdiri sendiri, karena pada dasarnya variabel-variabel tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi. Sehingga dapat dilihat faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi selama proses pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di kota Surakarta. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN Metodologi penelitian merupakan salah satu faktor penting dalam suatu penelitian, sebab metodologi penelitian ikut menunjang proses penyelesaian permasalahan yang sedang diteliti. Menurut H.B. Sutopo (2002:35), penelitian kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka. Peneliti menekankan catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung penyajian data. Peneliti berusaha menganalisa data dengan semua kekayaan wataknya yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya seperti pada waktu dicatat. A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang didukung dengan data kualitatif, yaitu proses penelitian yang sifatnya menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu dan hubungan suatu gejala dengan gejala lain. Sebagai suatu penelitian deskriptif, penelitian ini studi kasusnya mengarah pada pendiskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya (H.B Sutopo,2002 : 111). commit to user 42 perpustakaan.uns.ac.id 43 digilib.uns.ac.id Penelitian deskriptif digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasisituasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Moh. Nazir, 2003: 54-55) B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini diambil secara sengaja (purposive), yaitu dengan memilih Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari) itu sendiri. Daerah-daerah atau sudut-sudut di kota Surakarta yang akan menjadi tempat penelitian penulis. Beberapa lokasi yang dipilih oleh penulis adalah, Pasar Nusukan, Gilingan, Stasiun Kereta Api Solo Balapan dll. Alasan pemilihan beberapa lokasi atau sudut-sudut di kota Surakarta tersebut karena lokasi-lokasi tersebut yang sangat rawan menjadi tempat terjadinya eksploitasi seksual. Sangat disayangkan sekali bahwa masih banyak sekali anak-anak di Surakarta yang hidup di jalanan untuk mencari sesuap nasi, padahal yang kita ketahui bersama bahwa Surakarta mendapat penghargaan sebagai salah satu kota yang mendapat predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) pada tahun 2009. Akan tetapi yang kita lihat sekarang ini justru sangat miris. Masih banyak sekali anak-anak di bawah umur yang hidup atau terjun menjadi anak-anak jalanan. Hal tersebut sangat rentan terhadap berbagi hal-hal atau stigma negatif terhadap anak-anak jalanan tersebut, serta tidak jarang mereka mendapat pelecehan seksual atau eksploitasi seksual karena hidup di commit to user 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id jalanan, dan hal tersebut menjadi hal yang rentan bahkan peluang yang besar untuk mereka mendapatkan pelecehan seksual. C. Sumber Data Sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh. Data merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian itu sendiri. Betapapun menariknya suatu permasalahan atau topik penelitian, bila sumber datanya tidak tersedia, maka ia tidak akan punya arti karena tidak akan bisa diteliti dan dipahami. (H.B Sutopo,2002: 49). Dalam penelitian kualitatif sumber datanya dapat berupa manusia (informan), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, benda, beragam gambar, rekaman, dokumen, dan arsip. (H.B. Sutopo 2002:49-54) . Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Informan atau Narasumber Informan adalah orang yang dianggap mampu memberikan informasi atau mengetahui dengan benar dan baik mengenai masalah yang sedang diteliti. Menurut H.B. Sutopo (2002:50), “Dalam penelitian kualitatif, posisi sumber data manusia (narasumber) sangat penting peranannya sebagai individu yang commit to user 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id memiliki informasinya”. Informan di dalam penelitian ini antara lain : 1) Drs. A. Fahrudin, HS, Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak 2) Ibu Sumilir Wijayanti, Koordinator Divisi Layanan PT. PAS 3) Ibu Rita Hastuti, Staf Yayasan Kakak 4) Anak-anak Jalanan 2. Aktivitas atau Peristiwa 1) Aktivitas formal ataupun non formal 2) Aktivitas rutin yang berulang ataupun yang hanya satu kali 3) Aktivitas yang terjadi secara sengaja ataupun tidak sengaja 3. Dokumen dan Arsip Selain dari dokumen dan arsip, data juga dapat diperoleh dari dokumentasi, buku, data statistik, serta pengamatan langsung terhadap obyek yang akan diteliti oleh peneliti. Menurut H.B Sutopo (2002:54) mengatakan, “dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu”. Data sekunder yang berupa dokumen dan arsip yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa literature dari beberapa buku, media massa (cetak atau elektronik), jurnal-jurnal ilmiah yang relevan terhadap commit to user perpustakaan.uns.ac.id 46 digilib.uns.ac.id tujuan penelitian, data tentang kasus Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) dari Pemerintah, serta foto-foto kegiatan di BAPERMAS PP, PA dan KB. D. Teknik Sampling Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan purposive sampling dan snowball sampling. Dalam teknik purposive sampling peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui permasalahan secara mendalam dan dapat dipercaya untuk dijadikan sumber (H.B Sutopo,2002:36). Purposive sampling, sampel tidak dapat ditentukan terlebih dahulu. Darimana atau dari siapa informasi didapat, tidak menjadi persoalan. Pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan informasi. ….. purposive sampling, kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber daya yang mantap. Bahkan di dalam pelaksanaan pengumpulan data, pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data. (H.B. Sutopo, 2002:56) Purposive sampling digunakan ketika peneliti berusaha untuk mencari informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalah secara mendalam. Sampel dalam penelitian ini adalah beberapa warga masyarakat di daerah yang menjadi tempat penelitian penulis. Snowball sampling, peneliti mencari informasi dari informan pertama dan ternyata informan pertama kurang mengetahui informasi yang dibutuhkan atas commit to user dasar petunjuk informan pertama. Teknik snowball sampling digunakan ketika 47 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id peneliti berusaha mencari informan tentang penanggulangan ESKA yang dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan peneliti belum mengetahui informasi mana yang paling mengetahui tentang masalah itu sehingga peneliti bertanya pada seseorang yang pertama kali ditemui kemudian dari informan pertama didapatlah keterangan tentang informan yang paling mengetahui fokus penelitian yang akan diteliti. E. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam penelitian. Teknik pengumpulan data adalah cara operasional yang ditempuh oleh peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data berupa : 1) Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J. Moelong, 2006 : 186). Dalam penelitian ini, proses wawancara dilakukan secara formal dan informal, dengan cara tanya jawab, dengan terlebih dahulu membuat kerangka garis besar pokok-pokok yang akan ditanyakan dalam proses wawancara tersebut. Menurut H.B. Sutopo (2002:61-62) mengatakan bahwa tahapan dalam melaksanakan penelitian meliputi penentuan siapa yang akan commit to user 48 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id diwawancarai, persiapan wawancara, langkah awal, pengusahaan agar wawancara bersifat produktif, penghentian wawancara dan mendapatkan simpulan. Dalam proses wawancara selain formal dan informal, wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang mengarah pada kedalaman informasi untuk menggali pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasi secara lebih mendalam. Wawancara yang dilakukan untuk menggali data tentang penanggulangan yang dilakukan LSM KAKAK, implementasi dan hambatan yang terjadi dalam pelaksanaannya. 2) Observasi Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitan untuk mengamati secara kualitatif berbagai kegiatan dan peristiwa yang terjadi. Sedangkan menurut H.B. Sutopo (2002 : 64) Observasi merupakan pengamatan perilaku yang relevan dengan kondisi lingkungan yang tersedia di lokasi penelitian. Sementara Sugiyono (2010 : 166) berpendapat bahwa teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila, penelitian berkenaan dengan perilaku commit to user 49 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. Teknik ini biasanya diartikan sebagai pengamatan dari sistem fenomena yang diselidiki, dimana Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan Observasi Langsung yaitu suatu cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian, pelaksanaannya langsung di mana suatu peristiwa terjadi. Adapun sistem yang dipakai pada Observasi langsung adalah Participant Observation dimana kedudukan peneliti bukan hanya sebagai pengamat, akan tetapi ikut menjadi bagian di dalam objek yang sedang diteliti tersebut. F. Validitas Data Data yang telah berhasil digali, dikumpukan dan dicatat dalam kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu setiap peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya. (H.B Sutopo,2002: 77). Penelitian ini, teknik triangulasi data dilaksanakan dengan membandingkan data yang sama atau pada informan yang berbeda, artinya apa yang diperoleh dari narasumber satu, dapat lebih teruji kebenarannya jika dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari narasumber lain, sehingga keakuratan data dapat dipertanggungjawabkan. commit to user 50 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut H.B. Sutopo (2002:78) mengatakan, “Triangulasi merupakan teknik yang didasari pola piker fenomenologi yang bersifat multiperspektif”. Artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang. Disebutkan bahwa ada 4 macam triangulasi yaitu : 1. Triangulasi Data (Sumber), yaitu penelitian dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda untuk menggali data yang sejenis. 2. Triangulasi Metode, yaitu penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. 3. Triangulasi Peneliti, yaitu hasil penelitian baik data ataupun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti. 4. Triangulasi Teori, yaitu dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi data atau triangulasi sumber. Peneliti memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk menggali data yang sejenis. Peneliti bisa memperoleh informasi dari informan yang berbeda-beda posisinya dengan teknik wawancara mendalam, hingga informasi dari narasumber satu dengan yang lain bisa dibandingkan. Penelitian melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa anak-anak jalanan di Kota Surakarta. commit to user 51 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Cara triangulasi sumber yang lain dapat dilakukan dengan menggali informasi dari sumber yang serupa dokumen dan arsip yang memuat catatan yang berkaitan dengan data yang dimaksud. Peneliti akan membandingkan antara hasil wawancara dengan hasil pengamatan dan telaah dokumen. Harapannya, kevalidan data yang didapat bisa lebih terjamin. G. Teknik Analisis Data Analisis merupakan proses pencarian dan perencanaan secara sistematis semua data dan arahan yang telah terkumpul agar peneliti mengerti benar makna yang telah dikemukakannya dan dapat menyajikan kepada orang lain. Dalam penelitian ini. Teknik analisa data yang digunakan mengacu pada model analisis interaktif Miles dan Huberman yang terdiri dari tiga komponen yaitu: 1. Reduksi data (Data Reduction) Merupakan rangkaian proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data kasar yang dilaksanakan selama berlangsungnya proses penelitian. Hal yang dilakukan peneliti dalam proses reduksi data yaitu peneliti menyusun rumusan penelitiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting. 2. Penyajian data (Data Display) Merupakan rangkaian informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian commit to user 52 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id data. (H.B. Sutopo, 2002 :92). Tahap ini peneliti membuat cerita yang sistematis dan logis agar makna penelitiannya menjadi lebih mudah untuk dipahami. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian sehingga narasi yang tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang rinci untuk menceritakan dan menjawab setiap permasalahan yang ada. 3. Penarikan simpulan dan verifikasi Tahap penyimpulan dari rangkuman dan olahan data yang berupa gejala dan kasus di lapangan dari pengumpulan data yang telah tersusun dengan runtut dan logis. Peneliti melakukan usaha untuk menarik kesimpulan berdasar dari reduksi data dan penyajian data. Simpulan perlu diverifikasi agar bisa dipertanggungjawabkan. Verifikasi dapat berupa kegiatan yang dilakukan dengan lebih mengembangkan ketelitian dengan cara melakukan pengulangan pengecekan data-data untuk tujuan pemantapan. Dalam penelitian ini aktifitas ketiga komponen berbentuk interaksi sebagai proses siklus. Peneliti tetap bergerak diantara ketiganya dengan komponen pengumpulan data selama proses pengumpulan data berlangsung. Proses analisa ini yang disebut dengan model analisis interaktif (interactive model analysis). commit to user 53 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Untuk lebih jelasnya, digambarkan sebagai berikut: Model analisis interaktif Miles dan Huberman Pengumpulan Data Reduksi Data Sajian Data (Data Reduction) (Data Display) Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing) (Sumber : H.B Sutupo,2002: 96) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Letak Geografi Kota Surakarta yang juga sangat dikenal sebagai Kota Solo, merupakan sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng pegunungan Lawu dan pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 m diatas permukaan air laut. Dengan Luas sekitar 44 Km2, Kota Surakarta terletak diantara 110 45` 15″ – 110 45` 35″ Bujur Timur dan 70` 36″ – 70` 56″ Lintang Selatan. Kota Surakarta dibelah dan dialiri oleh 3 (tiga) buah Sungai besar yaitu sungai Bengawan Solo, Kali Jenes dan Kali Pepe. Sungai Bengawan Solo pada jaman dahulu sangat terkenal dengan keelokan panorama serta lalu lintas perdagangannya. Batas wilayah Kota Surakarta sebelah Utara adalah Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali. Batas wilayah sebelah Timur adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karangnyar, batas wilayah sebelah Barat adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karangnyar, sedang batas wilayah sebelah selatan adalah Kabupaten Sukoharjo. Surakarta terbagi dalam lima wilayah Kecamatan yang meliputi 51 Kelurahan. commit to user 54 55 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Luas wilayah administratifnya 4.404,06 ha sebagian besar telah menjadi lahan permukiman seluas 2.672,21 ha dan sisanya berturut-turut untuk jasa 428,06 ha, ekonomi industri dan perdagangan 383,51 ha, ruang terbuka 24 8,29 ha, pertanian 210,83 ha dan lain-lain 461,16 ha. Kota Surakarta terbagi dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar kliwon, Jebres dan Banjarsari. Kelima kecamatan tersebut terdiri dari 51 kelurahan yang masing-masing kecamatan terdiri dari; Kecamatan laweyan 11 kelurahan, Kecamatan Serengan 7 kelurahan, Kecamatan Pasar Kliwon 9 kelurahan, Kecamatan Banjarsari 13 kelurahan, Kecamatan Jebres 11 kelurahan, dan ke-51 kelurahan tersebut terdiri dari 592 RW, 2.645 RT dan 129.380 KK. 2. Kependudukan Berdasarkan sensus penduduk Tahun 2010 jumlah penduduk Kota Surakarta 500.642 jiwa, dimana jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, yaitu 257.279 perempuan dan 243.363 laki-laki. Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan yang paling banyak jumlah penduduknya, yaitu sebanyak 157.438 jiwa (31,45%). Kemudian disusul Kecamatan Jebres sebanyak 27,9 persen dari total penduduk atau 138.624 jiwa. Jumlah penduduk Kecamatan laweyan dan Pasar Kliwon berturutturut yaitu 86.315 dan 74.145 jiwa. Sedangkan Kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu Serengan sejumlah 44.120 jiwa dengan user persentase 8,81 persen daricommit jumlahtokeseluruhan penduduk. 56 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dengan luas wilayah hanya sebesar 44,03 km2 membuat tingkat kepadatan penduduk sangat tinggi, bahkan tertinggi di Jawa tengah yaitu 11.370 jiwa/km2. Hal tersebut menuntut pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi penduduk Kota Surakarta, belum lagi adanya kaum commuters yang jumlahnya tidak kalah banyak. Laju pertumbuhan Kota Surakarta selama periode tahun 2000-2010 mengalami penurunan yang signifikan yaitu 0,25 persen jauh dibawah angka laju petumbuhan Jawa Tengah yaitu 0,46 persen. 3. Potensi Wilayah Kota Surakarta atau Solo ini merupakan kota yang terkenal akan budaya jawa yang sangat kental sekali, sehingga disebut sebagai kota budaya di Jawa Tengah yang memiliki slogan ““Solo The Spirit Of Java“. Kemajuan budaya sekaligus sector perekonomian di Kota Surakarta menjadikan Kota ini sebagai “cermin” bagi kota lainnya. Keraton, batik dan Pasar Klewer adalah tiga hal yang menjadi simbol identitas Kota Surakarta. Eksistensi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran menjadikan Solo sebagai poros, sejarah, seni dan budaya yang memiliki nilai jual. Seni dan pembatikan Solo menjadi pusat batik di Indonesia. Apalagi setelah resmi dibuka Kampung Batik Laweyan menjadi ikon area penuh dengan wisata batik dari proses pembuatanya sampai commit to user penjualannya. Pariwisata dan perpustakaan.uns.ac.id 57 digilib.uns.ac.id perdagangan tidak bisa dipisahkan, keduanya saling mendukung meningkatkan sektor ekonomi. Berbeda dengan kegiatan perdagangan, sektor pertanian kurang bisa diandalkan, kebutuhan pokok seperti beras, sayur - sayuran dan bahan dasar protein harus bergantung daerah lain karena keterbatasan lahan. Secara kumulatif, sektor tersier yang terdiri dari usaha perdagangan, hotel, dan restoran, angkutan, dan komunikasi serta jasa. Terdapat beberapa industri pengolahan yang didominasi oleh industri rumah tangga, kebanyakan industri bergerak dalam bidang pembuatan batik dan pakaian jadi yang hasilnya mencapai pasar internasional. 4. Kecamatan Banjarsari (Gilingan) Gilingan adalah salah satu kelurahan di Surakarta yang padat aktivitas serta penduduknya. Nama Gilingan berasal dari “Gilingan Tahu”, yang dulu menjadi aktivitas utama ekonomi disini. Pasar legi, terminal, stasiun dan sekolah semua ada di sekitar Gilingan tersebut, tidak heran mobilitas di daerah ini sangat tinggi. Luas wilayah Gilingan adalah 1.272 Ha, dengan topografi tanah cocok untuk lahan pemukiman, perdagangan dan industri, Kondisi Demografi Kalurahan Gilingan yaitu mengenai penduduk berjumlah 21.638 jiwa. Kelurahan Gilingan sendiri dikelilingi oleh beberapa wilayah lain dari Kota Surakarta, yakni Nusukan, Kestalan, Mangkubumen, Tegalharjo, Setabelan dll. Mobilitas yang tinggi di daerah gilingan menjadikan tempat commit to user perpustakaan.uns.ac.id 58 digilib.uns.ac.id tersebut menjadi “magnet” tersendiri bagi beberapa masyarakat di Kota Surakarta. Gilingan juga terkenal dengan banyaknya anak-anak jalanan di daerah tersebut, terlebih-lebih di lokasi sekitar Stasiun Solo Balapan, gerbong kereta barang, Terminal Tirtonadi dan di pasar gelap atau “blackmarket”. Anak-anak jalanan di daerah gilingan ini termasuk anakanak jalanan yang terhitung masih mempunyai rumah, akan tetapi kebanyakan waktu mereka dihabiskan di jalanan. Keras dan liarnya kehidupan di jalanan bagi anak-anak, menyebabkan mereka rawan mendapatkan kekerasan, terlebih-lebih kekerasan seksual. Bahkan tidak dapat dipungkiri, mereka dengan lebih leluasa tereksploitasi seksual di bawah umur, karena bebasnya kehidupan di jalanan dan menjamurnya hotel-hotel atau losmen-losmn di samping dan belakang Stasiun Solo Balapan, maraknya salon “esek-esek” di daerah Gilingan. B. Hasil Penelitian dan Pembahasan Kota Surakarta dilihat dari kesatuan geografis, sosial, ekonomi dan kultural tidak bisa dilepaskan dari kawasan sub regional yang dikenal sebagai SUBOSUKAWONOSRATEN (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten). Kota Surakarta merupakan titik tengah dari daerah-daerah di sekitarnya dan merupakan tempat yang strategis dan pusat kegiatan di lingkup regional Jawa Tengah dan nasional. Posisi ini selain berpotensi untuk peningkatan dan akselerasi pembangunan kota sudah pasti berpotensi juga menimbulkancommit varian-varian to user permasalahan sosial sebagaimana 59 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kota-kota besar lainnya. Penampakan permasalahan sosial sering bertautan secara signifikan satu dengan yang lainnya. Salah satu permasalahan sosial yang lazim timbul di kota-kota besar adalah keberadaan perempuan dan anak yang dilacurkan dan perdagangan manusia untuk tujuan utamanya adalah untuk seksualitas, walaupun secara politis dan regulative telah dilarang oleh Pemerintah dengan adanya Peraturan Daerah sebagai aturan yang mengikat, namun pada kenyataannya yang kita lihat sepanjang tahun masih banyak perempuan bahkan yang sangat disayangkan adalah anak yang menjadi korban eksploitasi seksual komersial tersebut. Perda yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri dirasa juga belum mampu untuk menangani permasalahn tersebut, akan tetapi paling tidak hal tersebut dapat diminimalisasikan dengan sedikit demi sedikit berkurangnya anak-anak yang terjangkit eksploitasi seksualitas, karena peran LSM juga bermanfaat disini. Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam penghapusan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak dan KB (Keluarga Berencana) Kota Surakarta. Kebijakan tersebut mengacu pada Keputusan Presiden No 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan ESKA, yang di dalamnya termuat ada 5 program, yaitu diantaranya : commit to user perpustakaan.uns.ac.id 60 digilib.uns.ac.id 1. Koordinasi dan Kerjasama 2. Pencegahan 3. Perlindungan 4. Pemulihan dan Reintegrasi 5. Partisipasi anak Implementasi atau pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 diantaranya bertujuan untuk (a) mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual komersial, (b) melindungi dan merehabilitasi korban kegiatan eksploitasi seksual komersial. (c) menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku, (d) merehabilitasi pelaku agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan norma agama, kesusilaan dan hukum. Di dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006, terdapat beberapa penanggulangan eksploitasi seksual komersial tersebut, diantaranya adalah pendampingan korban eksploitasi, rehabilitasi dan reintegrasi korban eksploitasi, koordinasi dan pembinaan. Akan tetapi dalam pembahasan ini untuk lebih fokusnya penulis hanya akan mengambil dua saja dari cara-cara pemerintah tersebut dalam upaya melakukan penanggulangan ESKA, yaitu Pendampingan dan Pembinaan. Pelaksanakan upaya-upaya perlindungan ataupun penanggulangan ESKA di Kota Surakarta, pemerintah selaku pembuat kebijakan juga bekerjasama dengan intansi lain seperti Satpol PP, Dinsos serta lembagalembaga swasta seperti beberapa LSM yang konsen menangani permasalahan ESKA di Kota Surakarta, salah satunya adalah Yayasan KAKAK commit to user 61 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (Kepedulian Untuk Konsumen Anak) yang fokus menangani ESKA di Kota Surakarta. Yayasan KAKAK tersebut merupakan salah satu yayasan yang paling berkompeten di bidang eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di surakarta ini. Berbagai aktivitas dan penelitian dari yayasan KAKAK inilah yang menjadi acuan atau batu pijakan bagi pemerintah untuk terus bekerjasama dengan yayasan tersebut guna meminimalisasikan semua kegiatan yang dapat merusak anak terlebih-lebih kegiatan eksploitasi seksual anak. Yayasan KAKAK sendiri saat ini sudah banyak melakukan penelitian mengenai anak-anak korban eksploitasi seksual, dari penjangkauan Yayasan KAKAK, terhadap prostitusi anak di Kota Surakarta, sebagai berikut : commit to user 62 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel B.1 Prostitusi Anak di Surakarta Penjangkuan Yayasan KAKAK Selama 2005- 2008 Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terhadap Prostitusi Anak ( Anak yang Dilacurkan ) No Tingkat pendidikan Jumlah 1. Lulus SD 4 Anak 2. DO SMP 15 Anak 3. Masih sekolah SMP 1 Anak 4. Lulus SMP 2 Anak 5. DO SMA 32 Anak 6. Masih sekolah SMA 40 Anak 7. Lulus SMA 16 Anak Jumlah 110 Anak Sumber : Yayasan KAKAK commit to user 63 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel B.2 Prostitusi Anak di Surakarta Penjangkuan Yayasan KAKAK selama 2005- 2008 Berdasarkan Aktivitas Terhadap Prostitusi Anak ( Anak yang Dilacurkan ) No Aktivitas Jumlah 1. Sekolah 63 Anak 2. Kuliah 1 Anak 3. Kerja di Diskotik 3 Anak 4. Penyanyi 1 Anak 5. Dancer 2 Anak 6. Kerja (waiter dan Salon) 4 Anak 7. Anak Jalanan 1 Anak 8. Tidak ada aktivitas pasti 35 Anak Jumlah 110 Anak Sumber : Yayasan KAKAK commit to user 64 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Yayasan Kakak yang melakukan penjangkauan dan pendampingan anak yang dilacurkan, pada tahun 2007 mencatat ada 17 anak yang berasal dari Kota Surakarta yang berhasil dijangkau. Tabel B.3 Anak Korban ESKA Di Kota Surakarta Tahun 2007 No Jenis Kelamin Jumlah Prosentase 1. Laki-laki 3 17,65 2. Perempuan 14 82,35 17 100 Jumlah Sumber : Data Yayasan KAKAK Hal lain yang diperoleh afdalah data dari penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan Unversitas Sebelas Maret (PPK UNS) pada tahun 2008 menemukan 168 anak yang menjadi korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di kota Surakarta. Pada tahun 2009, berdasarkan hasil pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Kakak (Kepedulian untuk Konsumen Anak), ada 29 anak yang menjadi korban ESKA di Surakarta, yang dapat dilihat pada tabel berikut : commit to user 65 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel B.4 Anak Korban ESKA Di Kota Surakarta Tahun 2009 No Jenis Kelamin Jumlah 1. Laki-laki 4 2. Perempuan 25 Total 29 Sumber : Yayasan Kakak, 2009 Anak korban ESKA tersebut kemudian dapat dikelompokkan sebagai berikut : Tabel B.5 No Kategori ESKA Jumlah 1. Pornografi 2 2. Prostitusi 18 3. Perdagangan anak 9 Total 29 Sumber : Yayasan Kakak, 2009 Peraturan daerah nomor 3 tahun 2006 tentang penanggulangan eksploitasi seksual komersial memang sangat dibutuhkan untuk paling tidak untuk mengurangi tingkat eksploitasi terhadap anak-anak yang saat ini seperti fenomena gunung es, hanya sedikit yang terekspos akan tetapi ternyata sangat banyak yang menjadi korbannya. Anak-anak jalanan yang paling rentan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 66 digilib.uns.ac.id terhadap eksploitasi ini, dikarenakan hidup di jalanan yang lebih berbahaya dan sangat bebas tanpa aturan. Maka dari itu, penulis akan meneliti bagaimana implementasi peraturan daerah nomor 3 tahun 2006, sehingga diharapkan Perda ini mampu menekan kasus-kasus eksploitasi pada anak-anak. 1. Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta 1.1 Proses Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial di Kota Surakarta Proses implementasi merupakan tahapan yang paling penting dalam proses kebijakan, karena itulah implementasi merupakan hal yang paling berat. Implementasi mencakup banyak kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelaksana supaya kebijakan dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan oleh para aparat pemerintah. Tahapan implementasi kebijakan penanggulangan ESKA itu sendiri juga mempunyai tahapan dalam pelaksanaannya, yaitu tahapan awal, tahapan rencana aksi kota dan tahapan pelaksanaan serta kegiatan-kegiatan di dalamnya. Kegiatan yang dilakukan pada saat Tahapan Awal yaitu sosialisasi kepada masyarakat, yang menjelaskan bahwa semakin maraknya praktek ESKA di kota Surakarta ini yang menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama orang tua yang mempunyai anak yang sedang beranjak remaja. Sosialisasi juga diadakan di sekolah-sekolah seperti SMP, SMK, SMA, di jalanan itu yang terutama anak-anak jalanan yang memang rentan commit to user 67 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id terhadap tindakan eskploitasi seksual komersial. Proses sosialisasi tersebut, dapat dikatakan memang tidak mudah, karena ada yang mendukung serta ada pula yang menolak sosialisasi tersebut, akan tetapi lebih banyak masyarakat yang setuju. Tahapan selanjutnya adalah tahapan Rencana Aksi Kota, setelah adanya sosialisasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat pada umumnya, kemudian dilanjutkan dengan rencana aksi kota, dengan melakukan berbagai penanggulangan macam ESKA di kegiatan kota yang Surakarta, berhubungan yaitu adanya dengan seminar penghapusan kekerasan anak, eksploitasi seksual terhadap anak, kemitraan dengan komisi perlindungan anak dan PKK Kota Surakarta, seminar tentang HIV dan perlindungan anak bagi anak-anak SMP di kota Surakarta, dari aparat pemerintah terjun langsung ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan kepada warga di beberapa kecamatan di kota Surakarta dll. Tahapan yang terakhir adalah tahapan pelaksanaan, pada tahapan pelaksanaan ini para aparat pemerintah lebih gencar melakukan kegiatan yang berhubungan dengan penanggulangan eskploitasi seksual komersial terhadap anak-anak, yang perlu dijelaskan disini adalah bahwa rencana aksi kota dengan tahapan pelaksanaan dapat dikatakan sama, akan tetapi lebih kompleks pada tahapan pelaksanaan, karena kegiatan pada tahapan pelaksanaan lebih mengarah pada secara keseluruhan, kegiatan-kgeiatan yang berhubungan dengan penanggulangan ESKA, seperti yang pertama Training of trainer kesehatan reproduksi HIV/AIDS dan perlindungan anak bagi anak SMP di Surakarta, kemitraan dengan UNICEF, yang kedua commit to user 68 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id seminar pendidikan sebaya tentang HIV/AIDS bagi tim kesehatan reproduksi remaja kelurahan mangkubumen kemitraan dengan UNICEF, yang ketiga penyususna program kerja perlindungan anak kota Surakarta tahun 2009 kemitraan dengan UNICF dan masih banyak lagi. Berikut penjelasan Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…tahapan awal untuk penanggulangan ya seperti sosialisasi untuk menanggulangi hal-hal seperti eksploitasi begitu mbak, sosialisasi juga diadakan di sekolah-sekolah karena itu salah satu tempat yang juga paling rawan, dan juga jalanan karena juga kehidupan jalanan kan lebih liar mbak. Setelah itu tahap rencana aksi kota sekaligus tahap pelaksanaannya. Ya itu termasuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan penaggulangan ESKA…” (Wawancara 5 Januari 2012) Hal yang senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…seperti yang dikatakan oleh pak fahruddin ya mbak, tahapan awal ya pasti sosialisasi ke masyarakat dulu, kita lihat bagaimana respon masyarakat pada umumnya,tapi saya yakin rspon masyarakat sudah cukup baik, karena mereka yang saya lihat juga antusias, nah setelah itu ya rencana aksi kota itu sebagai tindak lanjut daripada tahap sosialisasi tadi, kegiatan itu ya bermacam-macam yang memang mengarah pada pelaksanaan kebijakan tersebut…” (Wawancara 6 Januari 2012) Hal lain juga dituturkan oleh Koordinator Program untuk Bidang Perlindungan Anak dari Yayasan KAKAK (Kepedulian untuk Konsumen Anak), Ibu Rita Hastuti : “…kalau dari pemerintah memang seperti itu proses implementasi atau pelaksanaannyaya mbak, kita disini secara tim juga sedikit banyak mengetahui masalah proses implementasinya, akan tetapi kita tidak bisa ikut campur hanya sekedar tau saja, kita tau ya karena kita diajak bekerjasama juga dengan lembaga-lembaga lain juga yang commit to user sama, kan itu prosesnya memang melibatkan stake holder yang lain 69 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id jadi memang tidak hanya dari kalangan pemerintah saja mbak, seperti itu, karena semua saling berhubungan dan kita juga mempunyai kepentingan yang sama juga kedepannya untuk menanggulangi hal tersebut…” (Wawancara 5 Maret 2012) Gambar 1.1 Berikut ini adalah gambar sosialisasi yang dilakukan oleh BAPERMAS PP, PA dan KB : commit to user 70 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Gambar 1.2 Sosialisasi ESKA di SMK 6 Surakarta Sumber : BAPERMAS PP, PA dan KB Gambar 1.3 Sosialisasi di SMK 3 Surakarta Sumber : BAPERMAS PP, PA dan KB commit to user 71 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses implementasi kebijakan penanggulangan eksploitasi seksual komersial terhadap anak di kota Surakarta mempunyai beberapa tahapantahapan yang dilaksanakan untuk dapat mendukung keberhasilan proses implementasi tersebut. Tahapan-tahapan selama pelaksanaan kebijakan penanggulangan eksploitasi seksual komersial terhadap anak sudah dapat dijalankan dengan baik mulai dari tahapan awal yaitu proses sosialisasi, rencana aksi kota hingga pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ESKA. 2. Factor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Kota Surakarta Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di kota Surakarta, lebih tepatnya di kecamatan banjarsari, dijadikan suatu indikator yang berpengaruh dan memberikan kontribusi. Faktor-faktor tersebut adalah standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial ekonomi dan politik, disposisi implementor., akan tetapi penulis hanya menggunakan 5 faktor-faktor yang terkait, yaitu standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana, disposisi implementor. Berikut akan dijelaskan satu per satu faktor tersebut. commit to user 72 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2.1 Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan adalah proses dari sebuah kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul di masyarakat, apakah standar dan sasaran daripada kebijakan itu sendiri sudah jelas tujuannya atau masih “abu-abu” dalam pelaksanaannya. Kebijakan yang dibuat berdasarkan permasalahan yang timbul di masyarakat dan isu-isu yang ada di masyarakat, serta kebutuhan masyarakat akan Peraturan atau Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah yang ada payung hukumnya untuk perlindungan masyarakat itu sendiri, seperti yang di sampaikan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…perda nomor 3 tahun 2006? kalau dulu masih berdasarkan isu, jadi dulu ada 2 sistem, satu itu sistem isu, jadi kalau ada kabarkabar, kok banyak sekali, perlu dibuat perda, ada berdasarkan kebutuhan, supaya tidak terjadi begitu dibuat perda, ya pokoknya berdasarkan kebutuhan…” (Wawancara 5 januari 2012) Dalam pembuatan kebijakan tersebut, adanya standar yang jelas di dalamnya membuat sasaran kebijakan tersebut, tepat sasaran, seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…standarnya satu, tidak boleh bertentangan dengan peraturan undang-undang di atasnya, yang kedua harus bisa dipakai oleh masyarakat, maksudnya bertentangan itu ya tidak boleh saling tabrak begitu mbak…” (Wawancara 5 januari 2012) commit to user 73 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sebelum kebijakan tersebut dibuat, ternyata terlebih dahulu ada tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta, seperti yang dikemukakan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…programnya ya..sebelum kebijakan itu kita ada rencana aksi kota, programnya sementara ini, sosialisasi dulu, masyarakat perlu dididik, evaluasi dulu, tapi kan setiap SKPD mempunyai program sendiri, satpol PP dia melakukan razia-razia…sosialisasinya berat itu mbak, sosialisasi setiap SKPD memberikan pemahaman, bolakbalik, juga kita sosialisasi ke sekolah-sekolah gitu mbak…” (Wawancara 5 januari 2012) Ternyata setiap SKPD itu berbeda tugas satu dengan yang lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…karena 40 lembaga itu kan ada SKPD terkait, ada aparat penegak hukum, mulai dari kepolisisn, kejaksaan, pengadilan, rutan, ada rumah sakit, puskesmas, ada LSM, organisasi perempuan..program di intrepetasi dari masing-masing lembaga, terus kalau disini terkait dengan PT.PAS (Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak) yang dikelola ditempat kami selaku koordinator divisi layanan, itu lebih pada peningkatan kapasitas kelembagaan PT.PAS itu sendiri karena yang berjejaring kan banyak 40 lembaga bagaimana ini tetap terjaga keberlangsungannya secara periodik..saling koordinasi terkait program masing-masing,,evaluasi, ada rapat pleno juga, pelatihan ketrampilan, modal usaha, itu juga merupakan hal pendampingan kita dan kita juga memberikan pembinaan mbak untuk para korban, ya dengan cara memberikan dana untuk ketrampilan yang memang dimiliki anak-anak tersebut mbak…” (Wawancara 6 januari 2012) commit to user 74 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Gambar 1.4 Sosialisasi di SMP 5 Surakarta Sumber : BAPERMAS PP, PA DAN KB Mengenai hal sosialisasi juga dikemukakan oleh Acong 16Tahun anak jalanan : “…yang membantu ya banyak mbak seperti sosialisasi dari pemerintah, tapi ya jarang, tapi kalau dikasih modal dari pemerintah ya pernah, tapi kebanyakan dari LSM buat membantu kita, teman-teman perempuan yang biasanya mendapat perhatian lebih, ya walaupun semua pukul rata mbak…” (Wawancara, 11 April 2012) Dilihat dari banyaknya SKPD yang sudah dijelaskan di atas, yang masing-masing SKPD tersebut juga mempunyai program masingmasing, ada kalanya pasti adatobenturan-benturan antara SKPD satu commit user 75 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dengan lainnya, hal tersebut dapat diselesaikan dengan lebih mengintensifkan komunikasi antar beberapa lembaga tersebut, guna jalan tengah dari permasalahan yang timbul. Seperti yang dikemukakan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…itu kalau misalnya ketika ada sesuatu hal mungkin sudah tidak ada jalan keluarnya gitu ya, kita akan upayakan untuk lebih mengintensivkan komunikasi, atau mungkin kita melakukan audiensi, kita saling tukar informasi seperti itu, karena belajar dari pengalaman ketika mengawali 40 lembaga ini kan bukan persoalan yang mudah, tapi ketika bergabung terus kita melihat potensi, apabila SOP ada permasalahan di titik-titik tertentu kita mencoba untuk jemput bola kepada SKPD yang bersangkutan…” (Wawancara 6 januari 2012) Para aparat pembuat kebijakan ternyata harus mengetahui betul permasalahan yang terjadi sehingga mereka dalam proses pembuatan kebijakan dapat memahami dengan benar. Selain itu juga, perlu adanya terjun langsung ke lapangan guna melihat secara langsung para korban ESKA sehingga perlu adanya kebijakan menyelesaikan permasalahan tersebut, yang harus dibuat dalam atau paling tidak meminimalisasikannya. Seperti yang dikemukakan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…ada yang menangani masalah tersebut, disini yang paling gethol itu PT.PAS..jadi aparat terjun langsung, seperti rencana aksi kota, rencana aksi kota itu ya bermacam-macam mbak, seperti kita dari tim terjun langsung begitu, kita juga mengadakan acara-acara seperti itu…” (Wawancara 5 januari 2012) commit to user 76 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Mengenai hal rencana aksi kota juga dikemukakan oleh Diah (nama samaran 15 tahun), bahwa : “…kegiatan-kegiatan dari pemerintah saya juga pernah ikut mbak, seperti pengarahan bersama yang dulu pernah diadakan di pendhapa balaikota mbak, tentang HIV akibat pergaulan bebas dan maraknya eksploitasi mbak…” (Wawancara, 15 April 2012) 2.2 Sumberdaya yang Digunakan Setiap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota pasti ada sumberdaya manusia dan sumberdaya non-manusia yang ikut terlibat di dalam pembuatan sebuah kebijakan tersebut. Para sikap aparatur pemerintah di dalam proses pembuatan kebijakan tersebut, ternyata semua mempunyai peran untuk ikut andil di dalam pelaksanaannya, semua ikut terkait dari lembaga, pemangku kepentingan semua ikut dan berbasis system. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…terlibat, semua ikut terlibat, dalam Perda ini semua lembaga, pemangku kepentingan yang ada di kota Surakarta ini semuanya dilibatkan untuk bisa memberikan sumbangan pemikiran karena ini menjadi PR bersama di tingkat kota, apalagi ini Perdanya lebih pada berbagai system. Perlu keberpihakan, perlu sumbang pemikiran dari semuanya…” (Wawancara 6 Januari 2012) Hal senada juga disampaikan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…ya itu tadi sebagai reading sektor, koordinir, menghimpun, commit to userprosesnya yang panjang dari awal mengawal proses, ya intinya 77 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id rencana aksi kota sampai bisa jadi Perda, dari awal kita mengkoordinasi semua aparat itu semua ada sistem yang mengaturnya…” (Wawancara 5 Januari 2012) Seperti yang kita ketahui di atas, dukungan dari aparat Pemerintah dalam pelaksanaan Perda tersebut, sikap dari aparat pelaksana mendukung sepenuhnya dalam melaksanakan pendampingan dan pembinaan bagi para korban eksploitasi seksual dan semua aparat pelaksana dari berbagai SKPD ikut turut aktif dan efektif dalam pelaksanaannya. Seperti yang dikemukakan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…iya iya semua SKPD nya aktif, misalnya dari dinas kesehatan untuk memeriksa, BAPERMAS PP PA dan KB, terus dari dinsosnakertrans, dispendukcapil bagian hukum, ya terutama itu, dispora juga, sama yayasan juga buat membantu atau memantau mereka, dibina juga, dibina dalam arti diberi modal untuk mengeksplor bakatnya mbak, supaya ya tidak masuk lagi ke dalam prostitusi tersebut…” (Wawancara 5 Januari 2012) Selain sumber daya manusia (aparat pemerintah), terdapat pula sumberdaya non -manusia dan sumber dana yang digunakan dalam pelaksanaan Perda tersebut. Sumber dana yang digunakan ternyata masih terbatas hanya dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) saja, khusus eksploitasi tidak ada dana dari lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…dana dari sini saja APBD, yang khusus eksploitasi saja, commit to user tidak ada dana dari lain-lain, tapi nanti coba saya tanyakan sama 78 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang lain, tapi ditambah lagi dari UNICEF, karena sampai saat ini UNICEF juga masih konsen terhadap masalah eksploitasi seksual disini mbak, mungkin sampai fondasi kita kuat…” (Wawancara 5 Januari 2012) Sumber dana yang digunakan yang ada di dalam Perda masih sebatas hanya pada APBD, dana dariAPBD pun juga maih sangat sdikit dan dibantu juga kucuran dana dari UNICEF yang masih konsen dan berkontribusi dalam masalah menangani eksploitasi seksual di kota Surakarta. Seperti yang dikemukakan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…kalau yang di Perda kemarin itu kita di bantu,kalau APBD kan kemampuan kita kecil, maka dari itu kita di support dari UNICEF, UNICEF itu masih konsen untuk membantu kota Surakarta terkait dengan Perda, masih bersedia membantu karena melihat kedepan sepertinya UNICEF juga lebih konsen di Indonesia di wilayah timur, tapi kalau yang disini Alhamdulillah kita masih dapat support dan berharap ini nanti bisa sampai selesai, maksudnya ketika suatu hari nanti UNICEF pergi, fondasi dasar kita sudah ada tinggal nanti diteruskan oleh APBD…” (Wawancara 6 Januari 2012) Sumberdaya yang digunakan sangatlah beragam, mulai dari sumberdaya manusia dari aparat pemerintah yang melaksanakan pembuatan Perda, bantuan dari stakeholder yang lainnya juga, apresiasi dari masyarakat juga, sumber dana yang digunakan dalam pelaksanaan Perda tersebut, selain itu juga sumberdaya lain non-manusia yang ternyata lkut berperan di dalam proses pelaksanaan, seperti artikel, kondisi sosial budaya masyarakat, budaya informasi, alat di undangcommit to user 79 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id undang, mass media dll. Seperti yang dijelaskan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…yang mendukung selain SDM ya mbak, pendanaan (itu pasti), kondisi budaya juga, budaya masyarakat, ya termasuk alat komunikasi, humas, radio itu mass media ya itu bisa juga termasuk…” (Wawancara 5 Januari 2012) Selain yang dikemukakan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin HS di atas, hal lain juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…ya tadi, kalo dokumennya kan tadi sudah dilihat, ada naskah akademik, ada MOU, ada SK, kita itu sebenarnya yang potensi luar biasa kasat mata yang tidak ternilai itu komitmen, maksudnya ketika komitmen itu ada, banyak hal yang bisa digerakkan, penjelasannya nanti tinggal di copy saja mbak, semua sudah tercantum disini…” (Wawancara 6 Januari 2012) Dukungan dari masyarakat ternyata begitu antusias dalam menanggapi pelaksanaan Perda tersebut, bahkan masyarakat ikut berpartisipasi di dalam mendukung pelaksanaan Perda tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…masyarakat ikut workshop memberikan masukan disana, kalo sudah final diajukn ke DPR. Kan ya DPR itu wakil rakyat juga tho…dukungan dari masyarakat??contohnya?? ya pendapat, dari masyarakat itu ditampung dulu terus nanti dibicarakan lagi, ide-ide dalam forum workshop tadi yang dijelaskan di atas, tingkah lakunya harus disesuaikan dengan adanya Perda tersebut, partisipasi terhadap Perda…” (Wawancara 5 Januari 2012) commit to user 80 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…wooww hebat, dalam misi walikota masuk ke dalam kota layak anak, misi ke 10 beliau itu kan ada implementasi kota layak anak, ketika berbicara ini semua kan tergantung perspektifnya, tidak terlepas juga partisipasi masyarakat, bahkan 80% kontribusi aktif dari masyarakat untuk mendukung Perda ini, dari hal ini bisa jadi tolak ukur, bagaimana capaian partisipasi masyarakat itu juga muncul, gitu, banyak kontribusi aktif malah dari masyarakat karena menyadari ini persoalan bersama…” (Wawancara 6 Januari 2012) Dalam kaitannya dengan dukungan dari berbagai elemen masyarakat, serta dukungan dari sumber dana dan sumber-sumber nonmanusia, banyak sekali sumberdaya yang begitu berperan dalam pelaksanaan Perda tersebut. Bahkan dukungan dari masyarakat juga tidak kalah pentingnya untuk mendukung pelaksanaan Perda tersebut, karena masyarakat juga sadar akan pentingnya Perda tersebut, dengan harapan masalah eksploitasi dapat diselesaikan dengan baik dan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Istilah dalam masyarakat adalah “Jemput Bola”, jadi masyarakat sendiri yang mengumpulkan massa, lalu mereka meminta dari pihak pemerintah untuk dapat memberikan penyuluhan dan mengisi acara yang mereka buat, seperti penyuluhan. Respon masyarakat ini sudah cukup baik, sehingga mereka menyadari ini sebagai persoalan bersama yang memang perlu penanganan yang serius dari pihak pemerintah pada umumnya yang bekerjasama juga dengan pihak swasta dan masyarakat juga. Masyarakat mengetahui commit to user keterbatasan pemerintah, jadi mereka “Jemput Bola”. 81 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2.3 Hubungan Antar Organisasi Dalam proses implementasi setiap kebijakan, tidak dapat maksimal dalam prosesnya apabila tidak terkait dengan beberapa pihak pemangku kepentingan yang sama. Hubungan antar organisasi sangat diperlukan guna mendukung pelaksanaan Perda tersebut. Dukungan dari instansi-instansi lain atau lembaga-lembaga yang bekerjasama dengan Pemerintah ternyata cukup banyak. Baik secara tim dari dinas-dinas pemerintah yang lainnya seperti Dinsos, Satpol PP dll. Serta dari lembaga swasta atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), seperti Yayasan KAKAK, Yayasan Sari, ATMA, SPEK-HAM, Sahabat Kapas, YKP, LPK Bina Bakat dll. Banyaknya kerjasama dengan para lembagalembaga swasta tersebut, memang diharapkan dapat membantu kinerja pemerintah dalam menangani permasalahan ESKA di kota Surakarta ini. Kerjasama antar lembaga baik pemerintah maupun swasta dalam beberapa kegiatan yang dilakukan dalam hal Pendampingan dan Pembinaan korban-korban eksploitasi seksual komersial anak, terdapat beberapa cara ataupun output dari kebijakan atau kegiatan atau program yang dilakukan oleh badan-badan pelaksana tersebut. Program-program serta layanan yang digagas oleh pemerintah termuat di dalam SOP (Standar Operasional Prosedur). Nama programnya adalah Fasilitasi Upaya Perlindungan Perempuan Terhadap Tindak Kekerasan, yang sesuai dengan Permendagri. Keseluruhan program tersebut sama,yang melindungi perempuan dan tentunya anak, yang membedakan nantinya commit to user 82 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id adalah rincian-rincian kegiatan yang akan dilakukan dalam upaya Pendampingan dan Pembinaan korban eksploitasi seksual tersebut, karena dalam hal pendampingan dan pembinaan juga berbeda. Dalam hal pendampingan lebih terfokus secara recovery individual, sedangkan untuk pembinaan lebih mengembangkan resources atau kerjasama dalam hal peningkatan atau pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan yang ikut membantu pemerintah, tetapi dengan upaya masing-masing dari berbagai pihak. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…kalau nama programnya itu fasilitasi upaya perlindungan perempuan terhadap tindak kekerasan, di dalamnya ada anak, ini sesuai dengan permendagri yang terkait dengan kebijakan tadi, tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang berada di atasnya, program itu yang memayungi pelaksanaan implementasi di kota Surakarta…” (Wawancara 14 februari 2012) Seperti yang diungkapakan oleh Koordinator Program untuk Bidang Perlindungan Anak dari Yayasan KAKAK (Kepedulian untuk Konsumen Anak), Ibu Rita Hastuti : “…kalau program memang banyak dari pemerintah mbak, tapi bukan berarti kita tidak punya program sendiri, kita disini juga punya programnya mbak, tapi ya beda tidak sama dengan pemerintah, karena kita dari swasta, pendampingan dan pembinaan yang kita berikan juga nantinya berguna bagi anakanak korban ESKA, mereka seperti ada tempat curhat, tempat bermain, ya istilahnya kita disini sebagai pendamping mereka…” (Wawancara 8 Maret 2012) commit to user 83 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dari kebijakan pemerintah, terdapat program fasilitasi upaya perlindungan perempuan terhadap tindak kekerasan, yang di dalamnya mencakup upaya perlindungan dan pembinaan bagi anak-anak yang menjadi korban eksploitasi. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…kalau pendampingan itu lebih pada recovery yang bersangkutan kepada individual, kalau pembinaan itu lebih pada bagaimana kita mengembangkan resources yang ada baik dalam kelembagaan maupun terkait dengan potensi yang ada…” (Wawancara 14 Februari 2012) Seperti yang diungkapkan oleh Diah (nama samaran 15 tahun), bahwa : “…saya memang dulu sempat mendapat pengarahan ketika saya diajak main-main ke suatu LSM gitu mbak, yang saya tau yayasan KAKAK, saya memang merasa diperhatikan, dilindungi juga, didampingi juga dll mbak…” (Wawancara, 15 April 2012) Pendampingan dan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah masuk ke dalam SOP (Standar Operasional Prosedur) yang di dalamnya mencakup seluruh kegiatan yang dilakukan pemerintah dan hubungan pemerintah dengan lembaga lain yang terkait dengan penanggulangan eksploitasi terhadap anak baik dengan lembaga pemerintah yang lainnya maupun dengan lembaga swasta yang terkait. Kerjasama banyak dilakukan baik dengan pemerintah maupun dengan lembaga luar pemerintah. Seperti yang diungkapakan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : commit to user 84 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “…kita membangun kemitraan atau kerjasama dengan pemangku wilayah, misalnya kecamatan, kalurahan, memberdayakan masyarakat biar bisa turut andil, organisasi yang ada di wilayah yang terkait dengan kita disini, sehingga semua bisa melakukan upaya terkait dengan peran kewenangan masing-masing, tidak cuma SKPD tapi semua lembaga yang bersangkutan, diharapkan layanan yang dibutuhkan oleh para korban tersebut dapat diberikan dengan baik…” (Wawancara 14 Februari 2012) Dukungan dari masyarakat juga sangat mempengaruhi bagaimana kebijakan ini dapat terimplementasikan dengan baik. Respon masyarakat ternyata cukup bagus, sehingga dapat membantu pemerintah juga. Walaupun mungkin pemahaman masyarakat terbatas tentang hal seperti itu, karena anggapan masyarakat hal tersebut menjadi urusan pribadi atau domerstik. Tapi hal tersebut kini sudah tidak bisa dianggap sepele atau biasa karena ini sudah dilindungi undang-undang. Hal tersebut Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…alhamdulillah sampai sekarang dukungan masyarakat cukup bagus, karena mengingat permasalahan ini sangat dekat di lingkungan masyarakat. Membangun kepedulian dengan masyarakat karena pemahaman mareka kan yang terbatas seperti itu…” (Wawancara 14 Februari 2012) Bulan januari tahun kemarin ada 6 laporan dari masyarakat terkait dengan tindak pelanggaran pada anak-anak, salah satunya melapor via telefon. Kebanyakan mereka yang melapor datang sendiri dan di dampingi atau di bantu oleh LSM yang terkait, sedangkan pada bulan to user November ada 7 orang commit lagi yang melapor. Setiap aduan yang diterima 85 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id oleh pemerintah, dilihat permasalahannya seperti apa baru ditangani terkait dengan masalah yang dihadapinya. Masalah yang dihadapi oleh anak tersebut sebisa mungkin tidak akan sampai pada proses pengadilan atau hukum, karena pada dasarnya anak tetap akan dipandang sebagai korban sehingga perlu mendapat pendampingan dan pembinaan dari pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait. Bulan januari yang lalu ada 4 kasus anak yang tidak sampai putus pengadilan, jadi dikembalikan ke keluarga. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan cara bercermin atau melihat keadaan sekitar tersebut, ternyata memang mendapat respon yang positif dari berbagai lapisan masyarakat. Penanganan yang diberikan oleh pemerintah juga sesuai dengan laporan yang diberikan oleh masyarakat yang melapor. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…alhamdulillah yang melapor mendapatkan penanganan seperlunya dengan apa yang dia butuhkan, kita menangani yang datang melapor, kalau tidak ada yang lapor dan kita sok-sokan membantu malah kita bisa di lapor balik…” (Wawancara 14 Februari 2012) Kerjasama antar lembaga pemerintah, maupun lembaga swasta tertentu tersebut tidak sepenuhnya diatur di dalam Perda, melainkan pemerintah hanya mau bekerjasama dengan LSM yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama di dalam pelaksanaannya. Dengan banyaknya kerjasama yang dijalin pemerintah dengan lembaga lainnya commit to user pelaksanaan Perda tersebut. diharapkan mampu memaksimalkan 86 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kerjasama yang dijalin sangat beragam dari lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…iya, dengan LSM nya ya KAKAK, terus LSM Sari, ATMA, SPEK-HAM, KIPAS (Komite Independen Anak Surakarta) itu yang dari swasta, dari tokoh masyarakat juga ada, dari pemerintah kita meninjau daerah atau studi banding ke pemerintah lainnya, ya pokoknya banyak mbak…” (Wawancara 5 Januari 2012) Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…kalau perda tadi kan kita masih finalisasi , terus kalau yang di perwali kan sudah jelas dimaksud, siapa melakukan apa. Dalam bekerjasama dengan yayasan kita ada yayasan LSM itu banyak sekitar 11 di solo itu ada yang konsen persoalan perempuan, ada yang konsen persoalan anak, misalnya kalo KAKAK itu kan konsennya lebih ke arah pendampingan para korban ke ESKA, kalo ATMA itu konsennya di ABH (Anak Berkebutuhan Khusus), sahabat KAPAS juga di ABH, terus kalo SPEK-HAM itu konsennya terhadap perempuan dll, banyak kita dapat support sebenarnya dalam bekerjasama…” (Wawancara 6 Januari 2012) Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Program untuk Bidang Perlindungan Anak dari Yayasan KAKAK (Kepedulian untuk Konsumen Anak), Ibu Rita Hastuti : “…pemerintah bisanya dengan bapermas, tapi bapermas disini PT PAS ya, kita biasanya koordinasi dengan PT PAS, misalnya untuk kasus ESKA gitu mbak, karena kita juga merupakan salah satu LSM yang sangat konsen di bidang anak yang terlebihlebih menjadi korban ESKA tersebut, ya porsi kita di pemerintah lebih banyak daripada LSM lain yang sebenarnya juga sejenis menangani permasalahan ini mbak...” (Wawancara 8 Maret 2012) commit to user 87 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Gambar 2.1 kegiatan workshop penguatan kapasitas Anggota PT PAS di kota surakarta : Sumber : BAPERMAS PP, PA dan KB Kerjasama atau hubungan dengan organisasi lainnya, seperti yang sudah diatur di dalam Perjanjian Kerjasama antar lembaga yaitu bekerjasama dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) commit to user Polresta Surakarta, Dinas Kesehatan Kota Surakarta, Puskesmas se Kota 88 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Surakarta, Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEKHAM), Advokasi Transformasi Masyarakat (ATMA), Yayasan KAKAK, Social Analysis Research Institute (SARI), Kapas Surakarta, Yayasan Talenta dan masih banyak lagi, ternyata semua tidak sepenuhnya diatur di dalam Perda tersebut, walaupun juga sudah ada dan diatur di dalam MOU yang sifatnya keberlanjutan, akan tetapi dalam memilih partner untuk bekerjasama, pemerintah hanya melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga tersebut yang mempunyai kepentingngan yang sama dan tujuan yang sama dengan pelaksanaan Perda tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…sudah, diatur juga di dalamnya, kita masuk ke dalam pasal. MOU itu kan bisa jadi periodik waktunya, tetapi ketika ini masuk ke dalam perda kan, keberlanjutan serta payung hukumnya kan lebih jelas…” (Wawancara 6 Januari 2012) Ternyata tidak sepenuhnya bahwa kerjasama antar lembaga tersebut diatur di dalam Perda tersebut, karena dalam memilih kerjasama dengan pihak manapun, pemerintah harus memilih yang sesuai dengan kepentingan dari LSM yang saling berhubungan dengan tujuan Perda dari pemerintah tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…kita memilih yang sesuai dengan kepentingan saja, tapi juga sudah diatur juga di RAK (Rencana Aksi Kota), kalau tidak ada kepentingan yang sama nanti kedepannya juga susah…” (Wawancara 5 Januari 2012) commit to user 89 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hubungan pemerintah dengan pihak lain di dalam proses pelaksanaan Perda tersebut, ternyata mempunyai tujuan yang sama dalam artian saling menguntungkan satu sama lain dengan tujuan yang sama pula. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…kerjasama untuk satu tujuan yang sama, ini pihak kita juga baru sosialisasi ke berbagai tempat, terutama ke sekolahsekolah, tujuan yang sama dengan LSM itu, tujuan untuk melindungi anak, seperti KAKAK itu cocok banget kalau di buat untuk mengatasi masalah ESKA, kiat dari pihak pemerintah juga mengadakan workshop gitu mbak dari beberapa SKPD yang terkait juga, selain yayasan KAKAK juga ada LSM lain yang sejenis mbak, jadi kita semua ini disini bekerjasama, kepentingan yang sama juga…” (Wawancara 5 Januari 2012) Dampak kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah juga dirasakan oleh Wulan (nama samaran, 17 tahun) anak jalanan di belakang stasiun balapan : “…aku pernah diajak teman masuk ke yayasan gitu, tapi aku gak mau mbak, lhah aku mikirnya buat apa toh aku juga uda rusak kaya gini tapi tak pikir-pikir ya gak ada salahnya coba, ternyata disana enak juga mbak, aku kayak diperhatiin gitu, terus lama-lama ada kegiatan disana, ada ketrampilan ada dana juga untuk ngembangin ketrampilan yang aku punya, aku bisa jahit mbak, itu juga di kasih modal mbak, jadi intinya aku dikasih modal untuk kedepan lebih baik lagi, enggak kerja kaya begitu lagi mbak…” (Wawancara, 15 April 2012) commit to user 90 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Gambar 2.2 Kegiatan Workshop Evaluasi Gugus Tugas Penghapusan ESKA di Kota Surakarta : Sumber: BAPERMAS PP, PA dan KB commit to user 91 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hal yang senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…saling menguntungkan, MOU tadi kan sebagai payung hukum kita, disepakati menjadi kesepakatan bersama, menjadi tujuan bersama, punya visi punya misi, punya mekanisme, punya SOP itu yang menjadi kiblatan untuk rulenya seperti itu mbak…” (Wawancara 6 Januari 2012) Menggabungkan beberapa lembaga guna melaksanakan kerjasama memanglah tidak mudah, terkadang bahkan sering terdapat perbedaan pendapat yang sedikit banyak ikut menghambat proses pelaksanaan Perda tersebut. Ternyata memang sering beda pendapat, akan tetapi setiap lembaga pemerintah maupun LSM yang terkait, semuanya harus saling mengerti apabila terjadi beda pendapat. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…malah sering beda pendapat, tapi yang dilakukan ya kita saling pengertian, diselesaikan bersama, ya misalnya menjaring anak kalau dari kepolisian kan dijaring, kalau dari LSM kan tidak boleh, dikumpulkan dulu terus dibina, tidak boleh digaruk kaya orang-orang tua begitu, ya alasannya tidak boleh karena anak-anak itu masih di bawah umur juga mbak, itu kebanyakan seperti itu, kan ya kasihan juga, mereka lebih ke arah yang menjadi korban…” (Wawancara 5 Januari 2012) Seperti yang diungkapkan oleh Adit 15 Tahun, anak jalanan yang biasanya berubah-ubah tempat mencari rejeki : “...Satpol pp kadang juga ada yang baik sama yang enggak baik mbak, polisi juga masuk ke yang enggak baik, satpol pp commit to user 92 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menjaring terus ditanyain alamatnya mana, kalau baik ya kadang dikasih makan juga…” (Wawancara, 11 April 2012) Ternyata memang tidak mudah dalam menggabungkan beberapa lembaga untuk bekerjasama, walaupun mereka sebenarnya mempunyai tujuan yang sama. Beberapa indikasi kasus yang sulit untuk diselesaikan bersama memang menjadi masalah utama, dan harus ada koordinasi dengan lembaga yang terkait dan dari pihak pemerintah yang akan memfasilitasi, siapa yang akan di undang, yang akan terlibat. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…misalnya ada indikasi penanganan kasus yang sulit, itu harus ada koordinasi. Nanti kita yang memfasilitasi siapa-siapa yang diundang, siapa-siapa yang terlibat, nanti eksplorasi informasi bagaimana, itu yang menjadi pijakan kita dalam menyelesaikannya…” (Wawancara 6 Januari 2012) Kesimpulan dari hubungan antar organisasi ini, dirasa cukup saling bekerjasama dan saling berkoordinasi untuk pendampingan dan pembinaan anak koban ESKA yang dilakukan oleh pemerintah, karena juga tujuan dari kerjasama yang dilakukan tersebut juga dalam lingkup satu tujuan yang sama. Pemerintah maupun pihak swasta juga tidak luput mengalami kendala dalam bekerjasama, seperti perslisihan anatar para aparat, walaupun begitu ternyata juga tidak menghalangi kerjasama tetap berjalan. commit to user 93 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2.4 Karakteristik Agen Pelaksana Setiap aparat pelaksana kebijakan pasti memiliki kerakteristik sendiri-sendiri mulai dari struktur birokrasi, norma-norma yang yang ada dalam dinas yang bersangkutam dan juga pada pola hubungan dalam dinas yang akan sangat mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan penanggulanagn eksploitasi seksual komersial terhadap anak. Dalam struktur birokrasi jabatan tertinggi pada BAPERMAS PA, PP dan KB dipegang oleh kepala tertinggi dan selanjutnya untuk pembagian tugas dibagi secara merata berdasarkan masing-masing bidangnya. Dalam setiap bagian dan bidang memiliki pegawai latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, kompetensi yang dimilikinyapun berbeda-beda juga antara pegawai yang satu dengan pegawai yang lainnya. Adanya ketidakseimbangan kompetensi diantara pegawai harus diatasi dengan diklat dan pelatihan-pelatihan. Selain itu ternyata dalam pembagian tugas bagi aparat-aparat pelaksana di bawah aturan atau payung hukum yang berlaku. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…kita kan bekerjasama gitu ya mbak, jadi masalah pembagian tugasnya kita memakai payung hukum, ada surat tugas juga dari Walikota. Ada rencana kerja juga itu namanya, itu sesuai dengan tugas pokok kita masing-masing, Tupoksi seperti itu mbak…” (Wawancara 5 januari 2012) commit to user 94 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hal senada juga diunkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…kita semua disni seperti mata rantai kerja, dimana sub bidang yang satu walaupun beda tugas secara gamblang tetapi kita masih menjadi mata rantai gitu mbak, dan tetap ada payung hukumnya untuk menaungi smua yang ada di bawahnya seperti itu…” (Wawancara 6 Januari 2012) Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, tentunya ada normanorma yang mengatur semua aturan-aturan kerja bagi para pegawai pemerintah itu sendiri. Bahkan menaati aturan merupakan kewajiban dan harga mati pagi aparat pelaksana kebijakan. Kalaupun mereka membuat aturan sendiri, pelaksanaan kebijakan ya tidak bisa jadi. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…ya harus, kalau ndak ditaati ya ndak bisa jalan, membuat aturan sendiri itu ya tidak jadi. Kalau rapat molor ya kadang wajar. Ya paling kalau masalah sanksi, tahap awal ya kita Cuma mengingatkan saja gitu mbak, ya karena masih pekewuh… (Wawancara 5 januari 2012) Dalam melaksanakan suatu implementasi kebijakan tentunya akan saling berhubungan atau terkait dengan beberapa aparat pelaksana dalam menjalankan tugas masing-masing. Bahkan hubungan antar personal dalam suatu dinas tersebut dapat dikatakan sebagai keluarga, dikarenakan hubungan yang sangat dekat karena tugas yang saling berkaitan atau berhubungan satu sama lain, serta dalam pelaksanaan commit to itu user tugas atau dalam hal bekerjasama juga dapat dipertanggungjawabkan 95 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hasilnya. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…katakanlah membuat suatu program gitu ya sampai lemburlembur gitu, ya dapat dipertanggungjawabkan karena kita ambil atau merekrut pegawai gitu kan yang ahli di bidangnya gitu,kalau ada masalah ya diselesaikan lagi sama-sama gitu…” (Wawancara 5 Januari 2012) Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…membuat program kan memang lama mbak, terus juga tidak gampang jadi kan memang dibutuhkan pengertian dari berbagai pihak untuk saling membantu dan mengerti…” (Wawancara 6 Januari 2012) Dari keterangan tersebut di atas nampak bahwa implementasi kebijakan penanggulangan ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) di kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan awal dari implementasi tersebut, karena masih sulitnya dari pihak pemerintah untuk menjangkau anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut, karena kurangnya keterbukaan atau masalah tersebut menjadi maslah yang rawan. Kurang terbukanya atau seperti fenomena gunung es yang hanya terlihat segelintir, akan tetapi ternyata sungguh banyak di bawahnya, hal membuat pemerintah kesulitan memberikan penyelamatan atau perlindungan bagi mereka. commit to user 96 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2.5 Disposisi Implementor Dalam pelaksanaan Perda tentang implementasi penanggulangan ESKA di kota Surakarta ini sendiri melibatkan seluruh komponen atau stakeholder yang berkepentingan di dalamnya. Aparat pelaksana atau implementor dari sebuah kebijakan tersebut, haruslah mampu atau memahami seluk beluk dibuatnya kebijakan atau perda tersebut guna mengatasi masalah yang ada di masyarakat. Respon aparat pemerintah harus terlebih dahulu diketahui, karena respon tersebut akan dapat mempengaruhi kemauan aparat pelaksana untuk dapat melaksanakan implementasi penanggulangan ESKA di Surakarta. Selama ini respon dari aparat pelaksana cukup baik dan mendukung pelaksanaan perda no 3 tahun 2006 tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…respon dari para aparat ya cukup baik, merespon memang dan melaksanakan tugas sesuai dengan tugas yang diberikan, karena mereka juga merasa dituntut untuk mampu melaksanakan tugas sebagai tanggung jawab mereka, seperti itu mbak…” (Wawancara 5 Januari 2012) Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…iya mbak, semua itu bekerja berdasarkan tugas yang diberikan. Respon juga baik dari para aparat, karena ya mereka para aparat itu pekerjaannya yang memang harus seperti itu, dalam arti pekerjaan mereka sesuai dengan kemampuan dan tanggung jawab mereka mbak…” commit to user (Wawancara 6 Januarai 2012) 97 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Respon yang positif dari masyarakat juga harus diikuti dengan pemahaman dari para aparat pelaksana tentang implementasi penanggulangan ESKA di kota Surakarta ini. Pemahaman dari setiap aparat tentu tidaklah sama, yang membedakan adalah latar belakang atau tingkat pendidikan yang berbeda-beda dari para aparat pelaksana tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…ya setiap pekerja atau aparat itu ya berbeda mbak tugasnya, itu tergantung dari kemampuan tiap-tiap aparat pelaksana, kan ya ada dari SMA, D3, S1, S2, jadi itu yang membuat berbeda dalam hal pendampingan dan pembinaan tersebut ya harus mencari aparat yang benar-benar tau apa yang harus diperbuat mbak, karena kita disini tidak main-main kalau mengerjakan tugas, karena juga ini menyangkut masa depan anak-anak juga…” (Wawancara 5 Januari 2012) Hal lain juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…tugas yang diberikan berbeda mbak, itu tergantung dengan tingkat pendidikan masing-masing para aparat. Tapi sejauh ini hal tersebut juga tidak menjadi suatu masalah yang besar, karena semua saling bekerjasama, jadi ya saling bantu satu sama lain, kalaupun tingkat pendidikan lebih rendah ya itu juga disesuaikan dengan tugasnya seperti itu…” (Wawancara 6 Januari 2012) Selain hal respon serta pemahaman dari para implementor, ternyata intensitas dari para aparat pelaksana dalam mengimplementasikan penanggulangan ESKA di kota Surakarta juga ikut mempengaruhi aktif atau tidaknya implementasi tersebut. Intensitas commit to user 98 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ditunjukkan oleh para aparat pelaksana dengan aktifnya mereka untuk mendukung program pendampingan dan pembinaan. Intensitas yang kontinyu serta dipantau terus membuat proses implementasi juga berjalan dengan baik dan lancar. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti : “…dari pelaksanaan implementasi tersebut memang ada target atau waktunya mbak, jadi gini, semua diatur dan tugas juga dilakukan secara bertahap gitu, jadi kontinyu dan intensitasnya juga runtut gitu…” (Wawancara 6 Januari 2012) Hal yang senada juga disampaikan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS : “…target pasti ada, itu ya seperti ada batasan waktu, kalau tidak begitu ya jadinya nanti semua aparat jadi seenaknya sendiri mbak, tidak tepat waktu itu malah jadi nambah-nambah biaya juga, nambah waktu, menggangu pekerjaan yang lainya juga mbak…” (Wawancara 5 Januari 2012) Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa respon dari aparat cukup baik dan memang turut mempengaruhi jalannya implementasi penanggulangan ESKA di Surakarta. Respon yang diberikan oleh para aparat cukup baik dengan melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan tanggung jawab. Adanya pegawai dengan latar belakang pendidikan juga akan turut mempengaruhi implementasi penanggulangan ESKA di Surakarta, terlebih dengan adanya pegawai dengan latar belakang pendidikan yang berbeda tentunya juga ikut commit Perda to user no 3 Tahun 2006 tersebut. mempengaruhi pelaksanaan 99 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kekurangpahaman pegawai yang berkompetensi kurang baik akan dapat ditutupi oleh kerjasama tim yang baik dari masing-masing bidang dalam menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan bidang masingmasing. Dengan adanya respon yang baik terhadap pendampingan dan pembinaan para korban ESKA juga akan membawa pengaruh terhadap intensitas aparat pelaksana dalam mengimplementasikan penanggulangan ESKA di Surakarta, intensitas dari pegawai yang selalu aktif dalam mendukung pelaksanaan penanggulangan ESKA di Surakarta disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawabnya sehingga masih berjalan sesuai dengan tupoksinya. commit to user 100 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel B.6 Matrik Penilaian Fackor-faktor dalam Proses Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta pada 5 Indikator Indikator Penilaian Pelaksanaan Standar dan Sasaran Standar dan sasaran kebijakan sudah ditetapkan dalam Perda dan berkiblat pada undang-undang di atasnya, Kebijakan dikarenakan dalam pembuatan standar dan sasaran tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Dari standar dan sasaran kebijakan tersebut dinilai dari program-program dari tiap SKPD yang berbeda-beda, sosialisasi dari pemerintah dalam hal pendampingan dan pembinaan. Penilaian kinerja dari dari beberapa aparat yang terlibat sudah tercakup di dalam SOP. Sumber Daya Hubungan Organiaasi Karakteristik Pelaksana • Banyak yang terlibat semua pemangku kepentingan dalam penanggulangan ESKA di Surakarta dalam hal pendampingan dan pembinaan • Dana berasal dari APBD, walaupun dapat tambahan dana juga dari UNICEF yang sampai saat ini masih berkompeten membantu menangani masalah eksploitasi seksual di Surakarta • Sumber daya non-manusia yang digunakan seperti kondisi budaya juga yang mendukung, humas, alat komunikasi, dokumen-dokumen, naskah akademik Antar Hubungan antar organisasi termuat di dalam SOP tersebut berjalan dengan baik, karena adanya mata rantai atau koordinasi yang baik dari semua pihak. Apabila terjadi atau tercipta ketidaksepakatan antar organisasi yang bekerjasama, diselesaikan dengan jalan musyawarah dan dicari jalan tengahnya. Agen Karakteristik agen pelaksana berdasarkan pembagian tugas dari masing-masing aparat pelaksana dalam bidang masingmasing untuk penanggulangan eskploitasi seksual komersial terhadap anak-anak di Surakarta dalam pendampingan dan pembinaan. Aturan-aturan yang termuat di dalam pelaksanaan kegiatan berdasarkan hukum dan tupoksi yang berlaku. Para aparat pemerintah saling bekerjasama, walaupun banyak kendala tetapi semua dimusyawarahkan. Apabila ada aparat pemerintah yang melanggar, akan tetap diberi sanksi. commit to user 101 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Disposisi Implementor Respon yang diberikan oleh aparat pelaksana sudah cukup baik sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Walaupun juga adanya perbedaan latar belakang pendidikan antar pegawai, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi jalannya implementasi penanggulangan ESKA di Surakarta. Intensitas para aparat juga kontinyu dan berjalan dengan lancar. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Secara umum, pada dasarnya pelaksanaan implementasi penanggulangan eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak di kota Surakarta sudah berjalan dengan cukup baik. Menurut Perda nomor 3 tahun 2006 tentang penanggulangan ESKA di kota Surakarta sendiri diharapkan mampu memecahkan masalah tersebut yang sudah seperti fenomena gunung es, hanya sedikit yang nampak di permukaan, akan tetapi di dasarnya sangat banyak sekali. Pendampingan dan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah, memang sangat diharapkan mampu menekan angka eksploitasi pada anak-anak, terutama anak-anak jalanan yang rentan terhadap hal tersebut. Walaupun pelaksanaan implementasi penanggulangan ESKA di kota Surakarta sudah cukup signifikan, namun masih terdapat pula permasalahan yang terjadi atau yang menghambat proses implementasi penanggulangan ESKA. Indicator yang dinilai kurang mendukung dari implementasi tersebut adalah sumber daya. Akan tetapi tidak semua point di dalam sumber daya tidak mendukung, hanya saja dalam hal masalah dana yang digunakan. Dana APBD yang digunakan memang tidak sepenuhnya mampu, karena dana dari APBD memang diakui pemrintah sangat minim commit to user 102 103 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id atau kecil, sehingga dari pihak pemerintah sendiri sampai sekarang ini masih mendapat support dari UNICEF masalah pendanaan. Indicator yang digunakan untuk meneliti implementasi penanggulangan ESKA, hampir semuanya mampu atau berhasil, walaupun ada point-point di dalam indicator yang tidak berhasil. Indicator yang menjadi factor pendorong, yaitu : a. Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran dari penanggulangan ESKA di kota Surakarta sendiri dapat dinilai sudah cukup baik, karena dari pihak BAPERMAS PP, PA dan KB sendiri juga membuat standar kebijakan tersebut berdasarkan isu-isu dan pengaduan dari masyarakat secara langsung. Dari standar dan sasaran kebijakan terdapat alur, yaitu melalui rencana aksi kota (RAK), mensosialisasikan program-programnya, setiap SKPD berbeda tupoksinya. b. Sumber Daya yang Digunakan Dalam hal ini sumber daya yang digunakan berupa sumber daya manusia dan non-manusia. Para aparatur pemerintah semua terlibat dalam sumbang pemikiran dalam hal pendampingan dan pembinaan untuk menanggulangi kasus ESKA di Surakarta. Sumber daya nonmanusia yang digunakan berupa dokumen-dokumen, naskah akademik, mass media (alat komunikasi) dan yang paling abstrak adalah komitmen dari tiap aparat pemerintah tersebut. commit to user 104 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Hubungan Antar Organisasi Dalam bekerja sama, pemerintah menunjuk beberapa organisasi atau lembaga dari swasta maupun dari pemerintah yang sesuai dengan bidang yang ditanganinya. Sejauh ini hubungan antar organisasi juga cukup berjalan dengan baik, saling mengisi dan bekerjasama. Dalam hal pendampingan dan pembinaan, sebagian besar dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta yang menangani anak-anak korban ESKA. d. Karakteristik Agen Pelaksana Aparat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya sudah cukup baik. Penempatan pegawai yang sesuai dengan komptensinya juga sudah mampu menempatkan. Semua aparat juga harus menaati tata aturan yang dibuat, karena tidak bisa aparat sembarangan dalam mengemban tugas, dan tidak bisa mempunyai wewenang yang penuh apabila itu merugikan sasaran. e. Disposisi Implementor Respon yang diberikan oleh aparat pelaksana sudah cukup baik sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Walaupun juga adanya perbedaan latar belakang pendidikan antar pegawai, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi jalannya implementasi penanggulangan ESKA di Surakarta. Intensitas para aparat juga kontinyu dan berjalan dengan lancar. commit to user 105 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Saran Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka ada beberapa saran dalam penanggulangan eksploitasi seksual komersial anak di kota Surakarta : 1. Pendampingan dan pembinaan para korban (anak-anak) eksploitasi seksual komersial di kota Surakarta sebaiknya tidak sepenuhnya dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta yang khusus menangani ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak), akan tetapi pemerintah juga turut serta, seperti halnya sosialisasi. 2. Usulan dana dari Pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat untuk menambah dana dari APBN. 3. BAPERMAS PP, PA dan KB diharapkan mempunyai dokumendokumen tentang sosialisasi, penyuluhan-penyuluhan tentang bahayanya ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) yang lebih banyak lagi terhadap implementasi penanggulangan eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak di kota Surakarta. 4. Diharapkan Pemerintah lebih mengamati fenomena ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) yang sekarang ini sedang marak di kota Surakarta. commit to user