perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN EKSPLOITASI
SEKSUAL KOMERSIAL TERHADAP ANAK-ANAK
DI KOTA SURAKARTA
(Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta)
SKRIPSI
Disusun Guna Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Administrasi
Disusun Oleh :
ANDHIKA SARI PUTRI
D0108033
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit
to user
2012
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si
NIP. 19531009 198003 2 003
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN
Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pada hari
:
Jumat
Tanggal
:
13 Juli 2012
Panitia Penguji:
( ...................................)
Ketua
1. Drs. Sonhaji, M.Si
NIP.19591206 198803 1 004
2. Drs.Muchtar Hadi, M.Si
NIP. 19530320 198503 1 002
(.....................................)
Sekretaris
3. Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si
NIP. 19531009 198003 2 003
(.....................................)
Penguji
Mengetahui,
Dekan
Prof. Drs. Pawito, Ph.D
NIP. 19540805
198503
commit to
user 1 002
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“ Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan juga orang-orang
yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat ”
(al-Mujadalah : 11)
“Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasratkeinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan adalah
hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak
disertai cinta ”
(Khalil Gibran)
“ Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar “
(Khalifah Umar)
“Bekerja dengan rasa cinta, ikhlas dan tanggung jawab, berarti menyatukan diri
dengan diri kalian sendiri, dengan diri orang lain dan kepada Tuhan”
(Penulis)
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Dengan penuh ucapan syukur, karya sederhana
ini penulis persembahkan kepada:
Allah SWT yang telah Melimpahkan Rahmat dan
Anugerahnya selama ini
Kedua orang tuaku yang tercinta untuk kasih sayang,
doa, perhatian, nasihat dan dukungan yang tidak akan
pernah habis diberikan kepada penulis
Adekku tersayang untuk support, keceriaan yang
selalu menemani hari-hariku
Kakakku yang selalu mensupport penulis selama ini
Seluruh keluarga besarku yang selalu mendukung dan
mewarnai hari-hariku
Inang’s Community untuk keceriaan, kebersamaan dan
dukungan disaat suka dan duka
Sahabat-sahabatku tercinta untuk kasih sayang,
kebersamaan dan sukacita yang tidak akan pernah
terganti
Almamaterku UNS
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat, nikmat dan anugrahNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Penyusunan
skripsi
yang
berjudul
“Implementasi
Kebijakan
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak-anak di Kota
Surakarta (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta)” ini
merupakan tugas akhir penulis dalam menyelesaikan studi dan memenuhi salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sosial di Program Studi Ilmu Administrasi
Negara, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP),
Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta.
Dalam kesempatan ini dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati,
penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu,
mengarahkan dan memberi dorongan hingga tersusunnya skripsi ini. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si selaku Pembimbing, yang senantiasa memberi
bimbingan, arahan, dan motivasi dengan sabar dan ikhlas sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. H. Muchtar Hadi, M.Si selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas
bimbingan akademis yang telah diberikan selama ini.
3. Prof. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret.
4. Drs. Is Hadri Utomo, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
5. Segenap dosen jurusan Ilmu Administrasi yang telah memberikan pengetahuan
dan pemikirannya selama penulis menempuh studi.
6. Drs. A. Fahrudin, HS, selaku Kepala Sub Bidang Pengembangan Perlindungan
Anak BAPERMAS PP, PA dan KB yang telah memberikan bantuan, informasi,
commitdemi
to user
dan semua hal yang penulis butuhkan
kelancaran skripsi ini.
vi
perpustakaan.uns.ac.id
7.
digilib.uns.ac.id
Sumilir Wijayanti, selaku Koordinator Divisi Layanan Tim Pelayanan Terpadu
bagi Perempuan dan Anak (PTPAS) Kota Surakarta yang telah memberikan
bantuan, informasi, dan semua hal yang penulis butuhkan demi kelancaran
skripsi ini.
8.
Rita Hastuti, selaku Koordinator Program untuk Bidang Perlindungan Anak
Yayasan KAKAK (Kepedulian untuk Konsumen Anak).
9. Anak-anak Jalanan (Korban ESKA) Banjarsari yang banyak memberikan
informasi dalam penyusunan skripsi ini.
10. Adekku Rafli untuk dukungan, bantuan, keusilannya dan doa yang diberikan.
11. Mas Nardi untuk dukungan, bantuan, semangat dan doa yang diberikan.
12. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kemampuan dalam
skripsi ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi
semua pihak. Amin.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………….
i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………….....
ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………..
iii
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………....
v
KATA PENGANTAR………………………………………………………..
vi
DAFTAR ISI………………………………………………………………….
viii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….
xi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………....
xii
ABSTRAK……………………………………….…………………………...
xiii
ABSTRACT…………………………………….…………………………….
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Balakang Masalah………………….………………………..
1
B. Rumusan Masalah…………………………….……………………
12
C. Tujuan Penelitian……………………………………….……….....
12
D. Manfaat Penelitian………………………………………….……...
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Implementasi Kebijakan…………………………………………...
14
B. Ekploitasi Seksual Komersial Anak ……........................................
22
C. Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak....................
25
D. Pendampingan dan Pembinaan Korban Eksploitasi Seksual Komersial
Anak.........…………………………………….….……….............
26
E. Anak Jalanan……………………………………………………….
27
F. Kategori Anak Jalanan……………………………………………..
31
G. Penyebab-penyebab Terjadinya ESKA…………………………….
33
H. Bentuk-bentuk ESKA……………………………………………
37
I. Kerangka Pemikiran…………………………………………….
39
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian…………………………………………………......
42
B. Lokasi Penelitian……………………………………………………
43
C. Sumber Data……………………………………………………..…
44
D. Teknik Sampling..............…………………………………….…..
46
E. Teknik Pengumpulan Data…..……………………………………...
47
F. Validitas Data……………………………………………….……..
49
G. Teknik Analisis Data….…………………………….………….…..
51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian…………………………...………..…..
54
1. Letak Geografi..….…………………………….………….……
54
2. Kependudukan..……………………………………………. ....
55
3. Potensi Wilayah……………..……………………….……........
56
4. Kecamatan Banjarsari (Gilingan) ……………..……………….
57
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan……………………………..…....
58
1. Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial
Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta…................................
66
1.1. Proses Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi
Seksual Komersial di Kota Surakarta………………………
66
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Penangulangan
Eksploitasi Seksual Terhadap Anak di Kota Surakarta………..
71
2.1. Standar dan Sasaran Kebijakan…………………….………
71
2.2. Sumberdaya.........................................................................
75
2.3. Hubungan Antar organisasi………………………………..
80
2.4. Karakteristik Agen Pelaksana………………………………
92
2.5. Disposisi Implementor……………………………...............
95
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………
102
B. Saran……………………………………………………………….
105
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel IV.1 : Jumlah Prostitusi Anak di Surakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan…
62
Tabel IV.2 : Jumlah Prostitusi Anak di Surakarta Berdasarkan Aktivitas….…………
63
Tabel IV.3 : Anak Korban ESKA di Surakarta Tahun 2007………………………….
64
Tabel IV.4 : Anak Korban ESKA di Surakarta Tahun 2009……..…………………..
65
Tabel IV.5 : Pengelompokan Anak Korban ESKA…………………………………..
65
Tabel IV.6 Matrik Penilaian Faktor-faktor dalam Proses Implementasi
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-anak di Kota
Surakarta pada 5 Indikator……………………………………………….
commit to user
xi
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1
Halaman
: Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III .........
18
Gambar II.2 : Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle...............
Gambar II.3
: Model Implementasi Kebijakan Daniel A. Mazmanian dan
Paul A. Sabatier ......................................................................
Gambar II.4
19
20
: Model Implementasi Kebijakan Donals S. Van Meter dan
Carl E. Van Horn....................................................................
21
Gambar III.3: Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman........................
53
Gambar IV.1 : Sosialisasi ...............................................................................
69
Gambar IV.2 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMK 6…………………..
70
Gambar IV.3 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMK 3 .............................
70
Gambar IV.4 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMP 5 .............................
74
Gambar IV.5 : Kegiatan Workshop Penguatan Kapasitas PT PAS……….. .
87
Gambar IV.6 : Workshop Evaluasi Gugus Tugas Penghapusan ESKA……
90
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Andhika Sari Putri. D0108033. Implementasi Kebijakan Penanggulangan
Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta (Studi
Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta). Skripsi. Administrasi
Negara.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta. 2012. 108 Halaman.
Perlindungan terhadap hak-hak anak sudah diatur di dalam UU Perlindungan
Anak No 23 Tahun 2002. Kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak juga
seharusnya dihilangkan. Surakarta sendiri tingkat eksploitasi seksual komersial
terhadap anak-anak sudah semakin memprihatinkan, untuk menanggulangi hal
tersebut maka dibuatnya Perda No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan
Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak, dalam lingkup pendampingan dan
pembinaan korban ESKA, diharapkan mampu menanggulangi hal tersebut. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan faktor apa saja yang
menyebabkan anak-anak rentan menjadi korban ESKA.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanakan di
Daerah Banjarsari. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive
sampling dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data yaitu dengan cara
wawancara, observasi dan ditambah dengan dokumentasi. Sedangkan untuk validitas
data dilakukan dengan trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan model
analisis interaktif.
Hasil penelitian dapat diketahui, bahwa pelaksanaan penanggulangan ESKA
ada 3 tahapan,yaitu tahapan yang pertama adalah sosialisasi dari pemerintah kepada
masyarakat, tahapan yang kedua adalah Rencana Aksi Kota (RAK), tahapan yang
terakhir adalah pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berhubungan untuk
menanggulangi masalah ESKA. Proses implementasi dipengaruhi oleh factor-faktor,
ada 5 faktor yang mempengaruhi, yaitu yang pertama standar dan sasaran kebijakan,
standar yang ditetapkan sudah jelas. Kedua, sumber daya, sumber daya manusia dan
non manusia saling berhubungan, walaupun perlu penambahan sumber dana. Ketiga,
hubungan antar organisasi, berjalan dengan baik karena ada koordinasi sesama
pemangku kepentingan. Keempat, karakteristik agen pelaksana, pembagian tugas dan
saling bekerjasama dapat berjalan dengan seimbang. Kelima, disposisi implementor,
respon dan intensitas dari para aparat sudah berjalan sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing. Pelaksanaan penanggulangan ESKA hal
pendampingan dan pembinaan sudah berjalan cukup baik, hanya terdapat kendala
masalah dana dan sulitnya menjangkau korban ESKA tersebut. Hasil yang dicapai
dari kebijakan ini adalah turunnya angka jumlah korban ESKA dan banyaknya LSM
yang membantu menangani permasalahan ESKA di Surakarta.
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Andhika Sari Putri. D0108033. Implementation of Mitigation Policies Against
Commercial Sexual Exploitation of Children in Surakarta (Case study in
Gading Market Surakarta). Skipsi. Public Administration. Faculty of Social and
Political Sciences. Sebelas Maret University. Surakarta. 2012. 104 pages.
The protection of children's rights are entered in the Child Protection Act No.
23 of 2002. Violence and sexual exploitation of children should also be eliminated.
In Surakarta own level of commercial sexual exploitation of children is even more
alarming, to do about it then made law No. 3 of 2006 on Prevention of Commercial
Sexual Exploitation of children, mentoring and coaching within the scope of CSEC
victims, should be able to overcome it. The purpose of this study to find out how the
implementation and what are the factors that cause children vulnerable to CSEC.
This study is a qualitative descriptive study conducted at the Regional
Banjarsari. Selection technique used is purposive sampling informant and snowball
sampling. Technical data collection techniques is by way of interviews, observations,
and coupled with the documentation. As for the validity of data is done by
triangulation of data. Techniques of data analysis using interactive analysis model.
The results can be known, that the implementation of CSEC, there are three
stages, namely the first stage is the dissemination of government to the community,
the second stage is the City Action Plan, the last stage is the implementation of
activities related to tackling the problem of CSEC. The implementation process is
influenced by these factors, there are five factors, namely the first standard and
policy targets, which set clear standards. Second, the resources, human resources and
non-humans are interrelated, although need additional sources of funding. Third, the
relationship between the organization, running well because there is coordination
among stakeholders. Fourth, the characteristics of the implementing agency, the
division of tasks and work together to run a balance. Fifth, the disposition of the
implementor, and the intensity of the response of the apparatus was run in
accordance with the duties and responsibilities of each. The implementation of the
mentoring and coaching CSEC has been running quite well, there are only a resource
constraint and the difficulty of reaching the victims of CSEC. The result of this
policy is the reduction in the number of CSEC victims and the many NGOs that help
address the problem of CSEC in Surakarta.
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan tumpuan harapan bangsa, negara, masyarakat, dan
juga keluarga, sehingga harus diperlakukan khusus agar dapat tumbuh dan
berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya. Kenyataan
yang terjadi, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak masih sangat
rendah, masih banyak anak-anak yang tereksploitasi baik secara ekonomi
(menjadi pekerja anak, anak jalanan) ataupun eksploitasi seksual (menjadikan
anak-anak sebagai pelacur). Maraknya eksploitasi seksual terhadap anak
disebabkan oleh berbagai faktor, selain itu dapat terjadi karena desakan dari
berbagai pihak Semakin banyaknya anak-anak dilacurkan (sebagai salah satu
bentuk eksploitasi seksual anak) menunjukkan semakin meningkatnya
eksploitasi terhadap anak.
Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk
Menentang Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrument yang pertama
mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah pada
pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan di
Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Deklarasi ini mendefenisikan ESKA
sebagai berikut :
“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran
tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian
imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang
ketiga, atau orang-orangcommit
lainnya.
to Anak
user tersebut diperlakukan sebagai
objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial
1
2
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak
dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan
modern.”
Defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial
anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga
sebagai sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi
maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat.
ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna
mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau
agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi
seksual pada anak tersebut. ESKA sendiri adalah Eksploitasi Seksual
Komersial Anak dimana didalamnya ada tiga bentuk yaitu pornografi,
prostitusi/pelacuran, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual Hal ini
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan elemen kuncinya adalah
bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk transaksi komersial
dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan.
Laporan Jaap E Doek, Unicef, dan End Child Prostitution Child
Pornography and The Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT)
menyebutkan, perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual di
Asia
mengorbankan
30
juta
orang,
(http://www.menegpp.go.id/index.php).
100.000 anak dan perempuan
termasuk
Setiap
tahun
untuk
prostitusi.
diperkirakan
yang diperdagangkan di
ada
Indonesia.
Diperkirakan juga bahwa 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran
di Indonesia masih berumur di bawah 18 tahun dengan 40.000-70.000 anak
commit
to user seksual. Permintaan terhadap
Indonesia yang menjadi korban
eksploitasi
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
seks anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global
sedangkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi serta
keinginan untuk memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik membuat anakanak menjadi rentan. Anak-anak sangat rentan untuk diperdagangkan untuk
tujuan seks karena mereka seringkali kurang berpendidikan, lebih mudah
untuk dimanfaatkan karena kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh
orang yang telah dewasa. Anak-anak juga mungkin merasa wajib untuk
membantu menafkahi keluarga mereka atau lari dari situasi keluarga yang
sulit dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan.
Di Indonesia, kemiskinan, penerimaan sosial terhadap buruh anak, kurangnya
pencatatan kelahiran, praktek-praktek tradisional seperti pernikahan dini dan
kurangnya pendidikan bagi anak perempuan merupakan faktor-faktor yang
memfasilitasi terjadinya perdagangan manusia, terlebih-lebih semakin
tingginya angka eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak.
Anak-anak usia 15-18 tahun dari Indonesia diperdagangkan ke
Malaysia, Hong Kong dan Singapura untuk tujuan seksual, banyak dari
mereka yang diperdagangkan dari Indonesia melalui Kepulauan Riau,
Kalimantan dan Sulawesi ke daerah-daerah wisata di Malaysia dan
Singapura. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan data
yang dikumpulkan dari 23 propinsi, tercatat ada lebih dari 2.000 kasus
perdagangan anak di Indonesia pada tahun 2007, sebagian besar melalui
Batam (400 kasus) dan Jakarta dari daerah-daerah pengirim di Jawa,
Indramayu dan Sukoharjo. Pemerintah Indonesia sendiri dalam merespon
commit to user
4
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
praktek-praktek ESKA menurut pandangan dari Komite Hak Anak PBB
disambut baik rencana aksi nasional penghapusan ESKA periode 2002-2007.
Namun, komite
merasa khawatir UU yang ada tidak
memberikan
perlindungan yang efektif dan bahwa anak-anak korban ESKA sering tidak
mendapatkan perlindungan dan atau bantuan pemulihan yang efektif. Komite
juga merasa prihatin tentang kurangnya informasi mengenai bagaimana
Rencana Aksi Nasional dilaksanakan di tingkat propinsi dan kabupaten.
Anak yang dilacurkan tidak hanya berada di kota-kota besar, akan
tetapi mereka juga ada di kota-kota kecil. Di Surakarta sendiri praktek ESKA
juga tidak kalah mengkhawatirkan. Kota Surakarta atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Solo dilihat dari kesatuan geografis, sosial, ekonomi dan
kultural merupakan kota yang strategis dan sebagai pusat kegiatan dalam
lingkup regional Jawa Tengah. Posisi ini selain berpotensi untuk peningkatan
dan
akselerasi
pembangunan
kota
juga
berpotensi
menimbulkan
permasalahan-permasalahan sosial sebagaimana yang terjadi di kota-kota
lainnya. Kota Solo sendiri tidak luput dari praktek-praktek yang mengarah
kepada pelanggaran hak asasi anak. Salah satunya ialah praktik ESKA
(Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak). Praktik ini kian marak di
Surakarta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kependudukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(PPK LPPM) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), sebanyak 164
anak di kota Solo, mulai usia 12 hingga 17 tahun, dinyatakan sebagai korban
perdagangan anak dan ESKA, baik lokal maupun antarprovinsi. Angka kasus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
5
digilib.uns.ac.id
korban trafficking ini meningkat dalam 4 tahun terakhir. Itu didasarkan
perbandingan dengan hasil penelitian yang sama pada 2004.
Kebanyakan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual di
kota Surakarta adalah mereka yang hidup di jalanan yang sangat rentan
terhadap kejahatan seksual. Kehidupan yang bebas sebagai anak jalanan serta
kurangnya perhatian dari orang tua yang menyebabkan “suburnya” praktik
eksploitasi seksual tersebut. Menurut ECPAT, prostitusi anak karena
eksploitasi seksual terjadi karena kemiskinan, disfungsi keluarga, pendidikan
rendah, pengangguran, penghasilan kurang, tradisi, dan peningkatan
kebutuhan perempuan muda pada industri seks. Terdapat juga beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya eksploitasi seksual komersial terhadap
anak di Surakarta adalah faktor keluarga dan teman dekat, sosiokultural ,
serta pengalaman seksual dini.Himpitan ekonomi juga menjadi salah satu hal
yang mendasar atau factor utama dari eksploitasi seksual di kota Surakarta.
Dari sebab-sebab tersebut, kemiskinan merupakan faktor utama dan
kontributor terbesar kasus eksploitasi seks pada anak dan kunci yang
mendorong mereka berprofesi menjadi anak jalanan. Dari pengamatan
penulis melalui pra survey yang dilakukan, kebanyakan anak-anak jalanan
biasanya kumpul ialah Terminal Tirtonadi, Gilingan, Alun-alun Kidul,
Perempatan Jebres dll. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat
merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari
berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya
jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
6
digilib.uns.ac.id
buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering
terlanggar, sehingga mereka sangat rentan mendapat praktik kekerasan
seksual di jalanan.
Sangat disadari bahwa untuk mengatasi masalah ESKA tidak bisa
dilakukan atau ditangani oleh salah satu institusi yang terkait. Dibutuhkan
kerjasama dari beberapa pihak pemerintah kota serta lembaga-lembaga
swasta, dan berbagai komponen masyarakat sipil. Upaya pemerintah untuk
menanggulangi ESKA melalui tindakan pencegahan tampak pada beberapa
kegiatan yang dilaksanakan oleh Bapermas P3AKB misalnya dengan
mengadakan kegiatan sosialisasi/penyuluhan PNBAI (Program Nasional Bagi
Anak Indonesia) serta kampanye publik yang diadakan setiap hari Anak
Nasional pada tanggal 23 Juli. Pelaksanaan sosialisasi juga dilakukan di
tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang anak-anaknya rentan
menjadi korban ESKA. Namun sejauh ini upaya tersebut belum sepenuhnya
berhasil karena hingga saat ini mereka belum sepenuhnya menyadari resiko
dari apa yang mereka lakukan (melakukan hubungan seks usia dini) dan
masih melakukan aktivitas seksual.
Meningkatnya angka praktik ESKA di Surakarta ternyata tidak hanya
mendapat perhatian dari lembaga pemerintah saja, akan tetapi juga mendapat
perhatian yang serius dari sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
yang peduli terhadap Perlindungan Konsumen Anak di Surakarta. LSM ini
bernama Yayasan KAKAK (Kepedulian Untuk Konsumen Anak). Dari data
yang diperoleh dari Yayasan KAKAK Surakarta, Selama tahun 2009 kurang
commit to user
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lebih ada 110 anak yang dapat dijangkau dan didampingi dan kebanyakan
dari mereka adalah usia sekolah. Sementara untuk tahun 2009 menjangkau
dan mendampingi 29 yang dilacurkan yang terdiri dari 25 adalah perempuan
dan 4 laki-laki. Sedangkan selama Januari-Juni 2010 menjangkau 16 anak
yang semuanya adalah perempuan. (Arsip Yayasan Kakak). Jadi dapat
disimpulkan untuk periode tahun 2005- Juni 2010 Yayasan Kakak dapat
menjangkau dan mendampingi 156 anak korban ESKA.
Korban ESKA tidak hanya terjadi di kalangan anak yang rentan
menjadi korban. Terlebih-lebih anak jalanan yang hidup keras di jalanan,
seringkali mengalami kekerasan, salah satunya adalah kekerasan seksual
komersial. Badan-badan dari Pemerintah seperti BAPERMAS, PP, PA dan
KB (Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan anak, Perlindungan
Perempuan dan Keluarga Berencana) yang menangani kasus anak-anak yang
menjadi korban ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) di kota
Surakarta. Pemerintah sendiri sering mengadakan sosialisasi ke beberapa
sekolah, yaitu SMP 5, SMA 1, SMK 3, SMK 6 dll di kota Surakarta.
Penelitian tentang ESKA di Surakarta
menghasilkan sebuah
kesimpulan, bahwa kasus ESKA yang terjadi di Solo adalah anak korban
perdagangan untuk tujuan seksual, sebanyak 27 kasus. Sebagian besar anak
menjadi korban ESKA untuk pertama kali saat berusia 16 tahun. Pada usia
16 tahun atau rentang usia dikisaran ini merupakan usia yang paling rawan
bagi seorang anak. Proses pencarian identitas diri seorang anak selalu
melibatkan lingkungan yang ada disekitarnya termasuk melibatkan temancommit to user
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
teman sebayanya . Teman-teman sebaya akan sangat mempengaruhi dalam
membentuk pola pikir dan perilaku seorang anak. Tempat berlangsungnya
aktivitas seksual anak pertama sekali hingga terjebak ESKA sebagian besar
di lingkungan kost / kontrakan yang didiami oleh responden sendiri maupun
pacar/teman, sebagian di rumah/tempat tinggal korban, sebagian di Kafe,
hotel, di jalanan, di kebun, bahkan ada yang di luar kota, Malang dan Jogja.
http://www.eska.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75
&Itemid=43
Sungguh memprihatinkan melihat kondisi ini, terlebih Kota Surakarta
adalah salah satu kota yang pada tahun 2006 memulai program Kota Layak
Anak
harus
terkontaminasi
dengan
menjamurnya
fenomena ESKA
(Eksploitasi Seksual Komersial Anak). Selain itu angka-angka di atas harus
dilihat dalam konteks fenomena gunung es artinya kasus yang terlihat di
permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya.
Menyikapi hal tersebut sebenarnya Pemerintah Kota Surakarta telah
menetapkan
Peraturan
Daerah
Nomor
3
Tahun
2006
Tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Diantaranya bertujuan untuk
mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual
komersial, melindungi dan merehabilitasi korban eksploitasi seksual serta
menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial itu sendiri, tertuang beberapa
hal penanggulangan eksploitasi seksual komersial diantaranya adalah (1)
commit to user
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pendampingan korban eksploitasi, (2) Rehabilitasi dan Reintegrasi korban
eksploitasi, (3) Koordinasi dan Pembinaan korban eksploitasi. Akan tetapi
untuk lebih spesifik di dalam melakukan penelitian ini, penulis hanya akan
membahas atau hanya membatasi mengenai penanggulangan eksploitasi
seksual komersial yaitu dalam hal Pendampingan dan Pembinaan korban
eksploitasi seksual komersial. Di dalam Perda Nomor 3 Tahun 2006 itu
sendiri,
juga
tertuang
upaya
pemerintah
dalam
menanggulangi
penanggulangan eksploitasi seksual komersial, diantaranya (1) Penertiban
perijinan usaha yang rentan terhadap kegiatan eksploitasi seksual komersial,
(2) Pemberian sanksi terhadap pelaku. Akan tetapi wujud upaya tersebut
belum sepenuhnya efektif, dengan melihat praktek yang ada sekarang ini.
Pada dasarnya munculnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial di kota Surakarta merupakan
penyempurnaan dan tindak lanjut dari SK Walikota Surakarta Nomor
462/78/1/2006 Tentang Rencana Aksi Kota (RAK) penghapusan Eksploitasi
Seks Komersial Anak (ESKA) kota Surakarta dan Peraturan Daerah Nomor 1
Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila yang sudah tidak efektif
lagi berlaku karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Bahkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, disebutkan dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak dari
anak yang menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
commit to user
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari kekerasan dan diskriminasi”. Sangat ironis sekali melihat fakta
yang ada sekarang ini, bahwa anak yang seharusnya mendapat
perlindungan dari kekerasan dan tindakan asusila, malah menjadi obyek
eksploitasi seksual yang kian hari kian marak dan malah menjadi
ladang subur sebagai “pekerjaan” dan kasusnya seperti fenomena
gunung es, yang kasusnya hanya terlihat beberapa di permukaan saja.
Upaya hukum telah dilakukan dengan adanya sosialisasi kebijakan
yang terkait dengan perlindungan anak dan anak-anak yang dilacurkan.
Seperti Konvensi Hak Anak oleh PBB Tahun 1989 yang telah diratifikasi
Indonesia pada 1990, UU No 1 tahun 2000 (Tanggal 8 Maret 2000) tentang
Konvensi ILO 1999 No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Pekerja Anak,
Keppres
No.
40
Tahun2004
tentang
Ranham
2004-2009
tentang
Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak
tentang PerdaganganAnak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005) dan
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan anak dalam
konflik bersenjata (2006), Keppres No. 59 Tahun2002 tentang Rencana Aksi
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Juga ada Keppres No.59
Tahun 2002 mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Aturan lainnya, Keppres No.87 Tahun 2002
mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak, Keppres No.88 Tahun 2002 mengenai Rencana Aksi
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dan banyak lagi
lainnya(.http://lppm.uns.ac.id/sirine/penelitian.php?act=detail&idp=17)
Maka dari itu permasalahan kasus eksploitasi komersial yang lebih
banyak melibatkan anak-anak di bawah umur sangat penting diperhatikan.
Akan tetapi sejauh ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan
Anak
dan
Perda
Nomor
3
Tahun
2006
Tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial yang seharusnya digunakan
untuk melindungi anak-anak dari tindak kejahatan bahkan ironisnya dari
tindakan perdagangan anak serta eksploitasi seksual, ternyata masih belum
mampu mengatasi laju pertambahan jumlah anak-anak yang terjebak pada
eksploitasi seksual komersial yang secara signifikan bertambah terus tiap
tahunnya, khususnya di Kota Surakarta. Berkaitan dengan hal di atas maka
penulis tertarik untuk lebih lanjut mengetahui Implementasi Penanggulangan
Eksploitasi Seksual Komersial di Kota Surakarta berdasarkan Perda Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dengan
studi kasus anak-anak jalanan di kecamatan Banjarsari kota Surakarta yang
relative rentan terhadap praktek-praktek ESKA.
commit to user
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Implementasi
Penanggulangan
Eksploitasi
Seksual
Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta berdasarkan Perda Nomor 3
Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial?
2. Faktor-Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Implementasi Perda
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual
Komersial?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan yang ingin
dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Secara umum untuk mengetahui implementasi pelaksanaan Perda
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual
Komersial di Kota Surakarta.
2. Untuk mengetahui berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi
Implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan
Eksploitasi Seksual Komersial
3. Untuk
mengetahui
hambatan-hambatan
dalam
Implementasi Penanggulangan ESKA di Surakarta.
commit to user
pelaksanaan
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara individual penelitian
ini untuk melengkapi prasyarat gelar
sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Secara umum hasil penelitian diharapkan mampu memberikan
masukan dan sumbangan pikiran bagi berbagai pihak yang nantinya
dapat mengurangi tingginya angka eksploitasi seksual terhadap anakanak.
3. Secara teoritis penelitian ini dapat melengkapi penelitian selanjutnya
dan untuk menambah ilmu pengetahuan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Implementasi Kebijakan
Tahap implementasi dalam lingkaran proses kebijakan publik,
menempati posisi yang penting, karena kebijakan akan dikatakan berhasil
atau tidak tergantung pada implementasinya. Implementasi adalah proses
untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya
kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana
untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis
terhadap sesama. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial
dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy
makers untuk memengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia
memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk
kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan
yang berfungsi sebagai implementor. Dalam berbagai system politik,
kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah.
(Subarsono 2005 : 87-88)
Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa
yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas
program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang
commit to user
14
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah
kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan
program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.
(Budi Winarno 2008 : 145)
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang
ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau
melalui formulasi kebijakan turunan dari kebijakan publik tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk Undang-undang atau Perda adalah jenis
kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang
sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang
bisa langsung operasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan
Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain. Riant Nugroho (
2008: 494-495).
Definisi Implementasi secara eksplisit mencakup tindakan oleh
individu/ kelompok privat (swasta) dan publik yang langsung pada
pencapaian serangkaian tujuan terus menerus dalam keputusan kebijakan
yang telah ditetapkan sebelumnya.
William (1971: 144) dalam Dr. Mas Roro Lilik Ekowati, MS
“Perencanaan Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program” (
Suatu Kajian Teoritis dan Praktis )2009
commit to user
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan lebih ringkas menyebutkan :
“Dalam bentuk lebih umum, penelitian dalam implementasi
menetapkan apakah organisasi dapat membawa bersama jumlah
orang dan material dalam unit organisasi secara kohesif dan
mendorong mereka mencari cara untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan.”
Dengan adanya kebijakan implementasi, yang merupakan bentuk
konkret dari konseptualisasi dalam kebijakan formulasi, tidak secara
otomatis merupakan garansi berjalannya suatu program dengan baik. Oleh
karena itu suatu kebijakan implementasi pada umumnya satu paket dengan
kebijakan
pemantauan
atau
monitoring.
Mengingat
kebijakan
implementasi adalah sama peliknya dengan kebijakan formulasi, maka
perlu diperhatikan berbagai faktor yang akan mempengaruhinya.
Menurut Ripley & Franklin (1986, 54) dalam penelitian Wahyu
Nurhardjatmo, M.Si, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam
penelitian implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan what’s
happening? (apa yang terjadi).
Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh
terhadap prosedur / standard aturan yang telah di tetapkan. Sementara
untuk
“what’s
happening”
mempertanyakan
bagaimana
proses
implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil
dicapai, mengapa dan sebagainya.
commit to user
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Anderson (1979, 68) penelitian Wahyu Nurhardjatmo,
M.Si, ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan, yaitu:
1. Siapa yang mengimplementasikan
2. Hakekat dari proses administrasi
3. Kepatuhan, dan
4. Dampak dari pelaksanaan kebijakan
Model-Model Implementasi (Subarsono. Analisis Kebijakan Publik.
2005)
a. Model George C. Edwards III (1980)
Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi 4
variabel :
1. Komunikasi
Apa
yang
menjadi
tujuan
dan
sasaran
kebijakan
harus
ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target groups) sehingga
akan mengurangi distorsi implementasi. Tujuan dan sasaran
kebijakan harus jelas, apabila tidak diketahui oleh kelompok
sasaran, akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
2. Sumberdaya
Sumberdaya adalah factor penting untuk implementasi kebijakan
agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas
dan menjadi dokumen saja.
commit to user
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
4. Struktur Birokrasi
Stuktur Birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap implementasi
kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap
organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar.
Gambar II.1
Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III
Komunikasi
Sumber daya
Implementasi
Sikap
Struktur Birokrasi
b. Model Merilee S. grindle (1980)
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle dipengaruhi oleh
dua variable besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan
commit to user
implementasi (context of implementation).
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Isi Kebijakan mencakup : (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran
atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang
diterima oleh target groups; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan
dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5)
apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan
rinci; (6)
apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang
memadai
Variable Lingkungan Kebijakan mencakup : (1) seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para actor dalam
implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang
berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Gambar II.2
Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle
Implementasi Kebijakan
Dipengaruhi oleh
Tujuan
Kebijakan
Tujuan yang
dicapai
Program aksi dan proyek
individu yang didesain
dan didanai
A. Isi Kebijakan
1. Kepentingan kepentingan sasaran
2. Tipe manfaat
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Letak pengambilan keputusan
5. Pelaksaan program
6. Sumberdaya yang dilibatkan
Hasil Kebijakan
a. Dampak pada
masyarakat
individu dan
kelompok
b. Perubahan dan
penerimaan
masyarakat
B. Lingkungan Implementasi
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor
yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap
Program yang
dilaksanakan sesuai
rencana
commit to user
Mengukur
keberhasilan
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variable yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : (1) karakteristik dari
masalah; (2) karakteristik kebijakan atau undang-undang; (3) variable
lingkungan.
Gambar II.3
Model Implementasi Kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Mudah / tidaknya Masalah
Dikendalikan
1. Kesulitan teknis
2. Keragaman perilaku kelompok
sasaran
3. Prosentase kelompok sasaran
dibanding jumlah populasi
4. Ruang lingkup perubahan
perilaku yang diinginkan
Variabel diluar Kebijaksanaan yang
Mempengaruhi Proses Implementasi
1. Kondisi sosio – ekonomi dan teknologi
2. Dukungan publik
3. Sikap dan sumber – sumber yang dimiliki
kelompok pemilih
4. Dukungan dari pejabat atasan
5. Komitmen dan keterampilan kepemimpinan
pejabat – pejabat pelaksana
Kemampuan Kebijaksanaan untuk
Menstrukturkan Proses Implementasi
1. Kejelasan dan konsistensi tujuan
2. Digunakannya teori kausal yang memadai
3. Ketepatan alokasi sumber daya
4. Keterpadan hierarki dalam dan diantara
lembaga pelaksana
5. Aturan – aturan keputusan dari badan
pelaksana
6. Rekrutmen pejabat pelaksana
7. Akses formal pihak luar
Tahap – tahap Dalam Proses Implementasi ( Variabel Tergantung)
Output kebijakan
Dari badan-badan
Pelaksana
Keputusan
kelompok sasaran
terhadap output
kebijakan
Dampak nyata
output
kebijakan
commit to user
Dampak output
kebijakan
sebagaimana
dipersepsi
Perbaikan
mendasar
dalam
undang –
undang
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Model Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)
Menurut Meter dan Horn, ada lima variable yang memengaruhi kinerja
implementasi, yakni : (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya;
(3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik
agen pelaksana; (5) kondisi social, ekonomi dan politik; (6) disposisi
implementor.
Gambar II.4
Model Implementasi Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn
Komunikasi antar organisasi
dan kegiatan pelaksanaan
Ukuran dan tujuan
kebijakan
Karakteristik badan
pelaksana
Kinerja
Implementasi
Disposisi pelaksana
Sumberdaya
Lingkungan ekonomi sosial
dan politik
e. Model G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (1983)
Untuk menganalisis implementasi program-program pemerintah yang
bersifat desentralistis, ada empat kelompok variable yang dapat
mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yakni : (1) kondisi
lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumberdaya organisasi
commit to user
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk implementasi program; (4) karakteristik dan kemampuan agen
pelaksana.
f. Model David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999)
Dalam pandangan Weimer dan Vining, ada tiga kelompok variable besar
yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program,
yakni : (1) logika kebijakan; (2) lingkungan tempat kebijakan
dioperasikan; (3) kemampuan implementor kebijakan.
B. Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
ESKA adalah singkatan dari Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
ECPAT Internasional (2001) mendefinisikan ESKA sebagai sebuah
pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut
berupa kekerasan seksual oleh orang dewasa dengan pemberian imbalan
kepada anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Sederhananya
anak diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial. Ini adalah
perwujudan dari kerja paksa dan perbudakan modern terhadap anak. Sebab
tak jarang anak-anak dipaksa, mengalami kekerasan fisik dan trauma.
Eksploitasi Seksual Komersial Anak adalah penggunaan anak untuk tujuan
seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli
jasa seks, perantara atau agen dan pihak lain yang memperoleh keuntungan
dari perdagangan seksualitas anak tersebut. Ada tiga bentuk yaitu
prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan
seksual.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23
digilib.uns.ac.id
(http://eska.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75&I
temid=4)
Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrument yang pertama
mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah
pada pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan
di Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Deklarasi ini mendefenisikan
ESKA sebagai berikut :
“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak.
Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang
dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau
barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya.
Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai
objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan
sebuah bentuk penggunaan, pemaksaan dan kekerasan terhadap
anak dan kekerasan seksual terhadap anak dan untuk tujuan kerja
paksa dan bentuk perbudakan seks lainnya.”
Defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial
anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga
sebagai sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi
maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat.
ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna
mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau
agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi
seksual pada anak tersebut. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hakcommit to user
24
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul
melalui berbagai bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai
pihak
mendapatkan
keuntungan.
Adanya
faktor
keuntungan
ini
membedakan antara ESKA dengan kekerasan seksual anak karena dalam
kekerasan seksual anak tidak ada keuntungan komersial walaupun
eksploitasi seksual juga merupakan sebuah kekerasan seksual.
Eksploitasi seksual terhadap anak ternyata mempunyai dampak
yang sangat besar terutama dampak terhadap kesehatan fisik maupun
psikis anak tersebut. Hal tersebut dipertegas dengan penjelasan Allison
Phinncy (dalam jurnal Trafficking Of Women And Children For Sexual
Exploitation In The Americas, 2007 :34) :
“Sexual exploitation is particularly damaging to the health
of children. They are even more likely than adults to lack
accurate information about th transmission and prevention
of sexually transmitted infections, including HIV/AIDS. Girls
are especially vulnerable to sexually transmitted infections
due to their immature reproductive tracts, and they are more
likely to suffer long term damage from them. In addition to
the elvated risk of HIV and other, the traumatic
sexsualization betrayal, powerlessness and stigmatitation
involved in sexsual exploitation are damaging to child and
adolescent development. (Eksploitasi seksual pada dasarnya
merusak kesehatan anak-anak. Mereka bahkan memiliki
kemungkinan lebih besar daripada orang dewasa untuk
kecurangan informasi yang akurat tentang penyebaran dan
pencegahan infeksi penyakit seksual menular, termasuk
HIV/AIDS. Anak perempuan sangat rentan terhadap infeksi
penyakit menular seksual karena organ reproduksinya yang
belum matang, dan mereka memiliki kemungkinan lebih
besar untuk menderita kerusakan organ dalam jangka
panjang. Selain itu, tingginya resiko HIV/AIDS dan
penyakit menular seksual lainnya, trauma seksual,
commitdan
to user
ketidakberdayaan
stigma negative sebagai akibat dari
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
eksploitasi seksual dapat merusak perkembangan anak dan
remaja.)
C. Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006, pengertian
penanggulangan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap untuk
mencegah
terjadinya
eksploitasi
seksual
komersial.
Upaya
penanggulangan itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah saja,
akan tetapi selain peran pemerintah terdapat pula peran serta keluarga dan
masyarakat yang ikut berparan serta dalam menangani kasus eskploitasi
seksual komersial yang menimpa anak-anak yang tertuang dalam
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 di Kota Surakarta tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Peran masyarakat
dilakukan oleh orang-perorangan, lembaga social kemasyarakatan,
lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
badan usaha dan media massa.
Pemerintah sendiri di dalam upaya penanggulangan terhadap
kegiatan eksploitasi seksual komersial dilakukan dengan (1) Penertiban
perijinan usaha yang rentan terhadap kegiatan eksploitasi seksual
komersial, (2) Pemberian sanksi terhadap pelaku.
Di dalam pasal 29 Perda Nomor 3 Tahun 2006, penanggulangan
eksploitasi seksual komersial dilakukan oleh :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26
digilib.uns.ac.id
1. Kegiatan penindakan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja.
2. Pendidikan dan pelatihan keterampilan klien dilaksanakan oleh
instansi yang membidangi Pendidikan dan instansi yang membidangi
Ketenagakerjaan.
3. Penyaluran tenaga siap kerja oleh instansi yang membidangi
ketenagakerjaan
Selain hal tersebut, penanggulangan dilakukan dengan memberikan
pendampingan dan pembinaan terhadap para korban eksploitasi seksual.
Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk lebih menekan
anak-anak yang menjadi korban ekslpoitasi supaya tidak kembali masuk
lagi ke jalan yang salah.
D. Pendampingan dan Pembinaan Korban Eksploitasi Seksual
Komersial Anak
Pendampingan dan pembinaan bagi para krban ESKA memang
sangat perlu diperhatikan. Pendampingan yang dilakuan oleh pemerintah
ternyata juga tidak hanya bekerjasama hanya dengan LSM yang
menangani kasus tersebut, akan tetapi keluarga korban juga, teman dekat
korban, diharapkan untuk dapat memberikan pendampingan kepada para
korban. Bahkan hukumpun juga turut serta memberikan perlindungan
apabila dibutuhkan, akan tetapi juga sangat jarang dilakukan, karena sebisa
mungkin pemerintah tidak menggunakan langkah hukum untuk menangani
permasalahn ESKA, karena pemerintah mengangap anak hanya sebagai
commit to user
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
korban, bukan sebagai pelaku yang harus ditindaklanjuti dengan proses
hukum. Hukum diberikan hanya sebatas perlindungan saja kepada para
korban eksploitasi, itu juga apabila memang dibutuhkan.
Pembinaan yang dilakukan pemerintah yaitu dengan cara
memberikan pelatihan atau ketrampilan bagi anak-anak yang menjadi
korban ESKA tersebut. Pembinaan yang dilakukan dengan cara
memberikan modal untuk mengasah ketrampilan yang dimiliki anak,
supaya mereka tidak tenggelam lagi di dunia ESKA.
Pendampingan lebih mengarah kepada Recovery terhadap anakanak itu sendiri. Banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menangani
permasalahan
tersebut.
Akan
tetapi
tidak
selamanya
pemerintah dapat melakukan hal tersebut apabila tidak ada kemauan dari
para korban tesebut untuk lepas dari jaring eksploitasi seksual.
E. Anak Jalanan
Fenomena sosial anak jalanan atau biasa yang disebut dengan
“Anjal” adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang
mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih ada yang memiliki
hubungan dengan keluarganya, tapi ada juga yang sudah tidak sama sekali
ada hubungan dengan keluarganya. Anak Jalanan, terutama terlihat nyata
di kota-kota besar setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia. Hasil kajian
Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar, melaporkan jumlah anak
jalanan sebanyak 39.861 anak dan sekitar 48 persen adalah anak-anak
commit to user
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang baru turun ke jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan
sebanyak 60.000-75.000 anak jalanan dan 60 persen putus sekolah serta 80
persen masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18 persen
adalah anak jalanan perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan
seksual, perkosaan, kahamilan diluar nikah dan terinfeksi PMS serta
HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan hampir tidak mempunyai akses
terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan, keberadaan
mereka ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan
(sweeping) oleh pemerintah kota setempat.
Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah “ anak yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain
atau beraktivitas lain” (dalam Dwi Astutik, 2005: 14). Sugeng Rahayu
(dalam Dwi Astutik, 2005: 15) berpendapat lain bahwa “anak jalanan
adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan
untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis,
gelandangan, bekerja di toko/kios)”. Menurut Soedijar (dalam Dwi
Astutik, 2005: 15), “anak jalanan adalah anak-anak yang berusia 7-15
tahun, bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat
membahayakan keselamatan dirinya”. Dalam UU No 4 Tahun 1979
tentang kesejahteraan anak: anak adalah seorang yang belum mencapai
usia 21 tahun atau belum menikah. Umumnya anak jalanan bekerja
sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais
commit to user
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sampah. Tidak jarang anak-anak jalanan tersebut menghadapi resiko
kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan seksual.
Kondisi anak jalanan di kota surakarta dapat kita ketahui melalui
pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti. Alasan anak-anak ini turun
ke jalan sebagian besar karena masalah ekonomi. Selain itu, juga terdapat
alasan lain yang mempengaruhi mereka harus turun ke jalan seperti
permasalahan keluarga, permasalahan keluarga itu sendiri memiliki
berbagai variasi, antara lain: diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya,
kondisi disharmoni keluarga (perceraian orang tua dan brokenhome).
Anak-anak yang miskin tidak dapat melanjutkan sekolah, karena adanya
batasan biaya dari orang tua mereka yang tidak mampu karena biaya
sekolah terlalu mahal. Hal tersebut memaksa mereka anak-anak turun ke
jalan untuk bekerja sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan
pemulung. Bahkan tidak jarang banyak juga anak-anak perempuan yang
menjadi pekerja seks komersil.
Kehidupan anak-anak jalanan di Kota Surakarta secara jelas dapat
ditemui di berbagai wilayah kota, seperti: Perempatan Manahan, Terminal
Bus Titonadi, Gilingan, Perempatan Giri Mulyo, Perempatan Ngemplak,
Stasiun Kereta Api Solo Balapan, Perempatan Timuran, Perempatan
Gemblekan, daerah Pasar Gading, Perempatan Warung Miri, Perempatan
Panggung dan daerah belakang Panggung Motor, Taman Jurug, Stasiun
Kereta Api Jebres. Sejak pagi hingga malam hari, anak-anak jalanan
commit to user
30
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut berada di tempat “mangkalnya” untuk bekerja guna mendapatkan
uang yang hasilnya untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Adanya
beberapa
faktor
penarik
dan
pendorong
yang
mengakibatkan semakin banyaknya anak-anak jalanan di kota Surakarta.
Menurut BKSN (dalam Dwi Astuti 2005: 25) faktor penarik terjadinya
anak jalanan antara lain :
1)
Kehidupan jalanan yang menjanjikan, dimana anak mudah
mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.
2)
Diajak teman.
3)
Adanya
peluang
di
sektor
informal
yang
tidak
terlalu
membutuhkan modal dan keahlian.
Faktor pendorong pada umumnya berasal dari hubungan dalam
keluarga, permasalahan ekonomi pada keluarga yang membuat anak ikut
bekerja membantu orang tua mereka. Akan tetapi selain masalah lingkup
dalam keluarga, faktor yang berasal dari masyarakat juga memberikan
kontribusi bagi maraknya fenomena anak jalanan. Perkembangan pesat
pembangunan di kota-kota besar menawarkan berbagai kemudahan hidup
sehingga timbul arus urbanisasi yang cenderung tak terkendali. Orangorang desa yang masuk ke kota membiarkan bahkan menyuruh anakanaknya mencari nafkah dengan berbagai cara untuk meringankan hidup.
Selain faktor-faktor di atas, faktor kesempatan dari masyarakat juga turut
memberikan kontribusi yang berarti bagi mereka. Anak-anak yang bekerja
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31
digilib.uns.ac.id
sebagai tukang semir sepatu, penjual koran, pengamen, pedagang asongan
hadir karena masyarakat memang membutuhkan dan memberi kesempatan
kepada mereka.
Masalah Anak Jalanan adalah permasalahan yang krusial tidak
habis-habisnya untuk dibicarakan, seakan-akan sebuah kehampaan belaka
apabila menanganinya akan menemukan sebuah lingkaran setan, karena
masalah Anak jalanan akan melibatkan masalah ekonomi, kondisi
mentalitas masyarakat dan lingkungan dimana anak itu berada. Satu orang
Anak jalanan dibina dapat terentaskan akan muncul 2 (dua) Anak atau
lebih yang berprofesi sebagai Anak jalanan, dan juga karena Kota Solo
adalah interland dari daerah sekitarnya maka semakin hari Anak Jalanan
tidak semakin berkurang malah semakin bertambah. Pemerintah Kota
Surakarta akan menangani membina serta melindungi Anak Jalanan
dengan mengadakan Aksi Kota Penghapusan Anak Jalanan agar Kota Solo
kondusif sebagai Kota Layak Anak. Akan tetapi sepertinya hal tersebut
akan sangat sulit untuk dilakukan, dikarenakan factor utama dari
keberadaan anak-anak jalanan itu sendiri adalah factor kemiskinan yang
menjadi “suburnya” anak-anak jalan di Kota Surakarta.
F. Kategori Anak Jalanan
Anak jalanan yang turun ke jalan mempunyai latar belakang yang
berbeda-beda dari anak yang satu dengan yang lainnya. Hingga anak
jalanan yang ada di jalan tersebut tidak bisa disamakan begitu saja. Akan
commit to user
tetapi yang jelas kehidupan anak-anak jalanan berbeda dengan kehidupan
32
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anak biasa yang tidak menjadi anak jalanan. Oleh karena itu, anak jalanan
tersebut dapat dibedakan ke dalam bebrapa kategori.
Anak jalanan dapat dibdakan mnjadi dua kelompok yaitu :
1) Children of the street ( anak-anak yang tumbuh dari jalanan
), seluruh waktunya dihabiskan di jalanan. Adapun ciri dari
anak-anak ini biasanya tinggal dan bekerja di jalamnan
(living and working in th stret), tidak mempunyai rumah
dan jarang atau bahkan tidak prnah kontak dengan keluarga
mereka. Mereka biasanya berasal dari keluarga yang
mempunyai konflik keluarga, misalnya ayah-ibunya cerai,
penyiksaan orang tuanya dan konflik-konflik lainnya.
Mereka lebih suka berpindah-pindah tempat, dari tempat
satu ke tempat lainnya atau mobile, karena mereka tidak
mempunyai tempat tinggal. Masalah yang banyak dan
kebebasan yang mereka alami karena tinggal di jalanan dan
tanpa ada yang mendampinginya. Jumlah mereka lebih
sedikit dibandingkan kelompok anak jalanan lainnya,
diperkirakan 10-15% dari seluruh populasi anak jalanan.
2) Children on the street (anak-anak yang ada di jalanan),
yakni anak-anak yang hanya berada sesaat di jalanan. Di
dalam kelompok ini sendiri terdapat dua kelompok anak
jalanan, yakni anak dari luar kota dan anak yang tinggal
bersama dengan orang tuanya. Pada anak-anak dari luar
commit to user
33
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kota, mereka biasanya mengontrak rumah secara bersamasama di satu lingkungan tertentu dan penghuninya adalah
teman satu daerah sendiri. Mereka tidak berskolah lagi dan
ikut ke kota karena ajakan teman-teman atau orang yang
lebih dewasa. Motivasi mreka adalah ekonomi, jarang
konflik, walaupun memang ada. Anak jalanan yang tinggal
dengan orang tua mereka, biasanya pulang hanya sebulan
sekali untuk menyerahkan uang penghasilannya kepada
orang tua mereka.
G. Penyebab-Penyebab Terjadinya ESKA
Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi
seksual komersial terhadap anak-anak. Walaupun karakteristik setiap
daerah tidak persis sama, secara umum faktor-faktor yang memungkinkan
terjadinya ESKA terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik.
ECPAT mendaftar faktor-faktor resiko tersebut di dalam buku
pedomannya.
Factor-faktor pendorong, antara lain :
1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang
diperberat
oleh
kebijakan
pembangunan
ekonomi
penggerusan di sektor pertanian.
2. Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga.
3. Peningkatan konsumerisme.
commit to user
dan
34
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan.
5. Tiadanya kesempatan pendidikan.
6. Tiadanya kesempatan kerja.
7. Kelangkaan peraturan/hukum dan penegakan hukum.
8. AIDS-meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak
terpaksa masuk ke perdagangan seks.
Factor-faktor penarik, antara lain :
1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut
anak-anak.
2. Pihak
berwenang
yang
korup
sehingga
terlibat
dalam
perdagangan seks anak.
3. Permintaan dari industri seks mancanegara yang menciptakan
perdagangan seks anak dan perempuan secara internasional.
4. Pernikahan yang diatur di mana pengantin anak perempuan
terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah.
5. Kehadiran militer yang menciptakan kebutuhan terhadap
pelacuran anak.
6. Permintaan dari wisatawan seks dan pedofil.
7. Ketakutan
terhadap
AIDS
yang
membuat
menginginkan pelacur yang lebih muda usianya.
commit to user
pelanggan
35
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain faktor-faktor pendorong dan penarik di atas, tingginya angka
eksploitasi terhadap anak ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang
masih menjadi penyebab utama eksploitasi seksual anak, akan tetapi
ternyata ada faktor-faktor non ekonomi yang juga mendorong anak-anak
ke eksploitasi seksual komersial. Anak-anak yang paling berisiko menjadi
korban ESKA adalah mereka yang sebelumnya telah mengalami pelecehan
fisik
atau
seksual.
Sebuah
lingkungan
keluarga dengan
sedikit
perlindungan, dimana pengasuh tidak ada atau di mana ada tingkat
kekerasan yang tinggi atau tingginya konsumsi alkohol atau konsumsi
obat, menyebabkan anak laki-laki dan perempuan lari dari rumah,
membuat mereka sangat rentan terhadap tindak pelecehan. Diskriminasi
gender dan tingkat pendidikan pengasuh yang rendah juga menjadi faktor
risiko. Anak-anak dengan kemiskinan ekstrim dan keluarga terpinggirkan
di daerah pesisir juga menjadi korban ESKA.
Seperti yang diungkapkan Prof. Vitit Muntarbhorn dalam
International Journal About Children Sexual Exploitation, 2008 :71 :
“The abhorrent practices behind the commercial sexual
exploitation of children include rape, murder, abduction,
bribery, false marriage, illegal adoption, illegal
immigration, bonded labour,extortion and mailorder
brides. It may also arise from domestic service,. While the
phenomenon affects millions of girls and boys in many
settings, it is girls who constitue the majority of the victims,
aggravated by deepseated cultural attitudes that
discriminate against women and the girl child. The practice
or commercial sexsual exploitation of children is both old
and new, although th issue has become more accentuated
and critical in resent times. In regard to the former,
traditional practices rooted include the dedication of girls
commit
to user in various communities they then
to temples as
sex goddess
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
fall prey to sexsual exploitation. In regard to the latter, the
less positive sid of globalization and the advance of
technology and communications have made it more
instantaneous and widespread. The more modern side of
the child sex trade includes the use of computer bulletin
boards and internet to transfer child pornography
worldwide, and the growth of sex tourism (Praktek-praktek
dibalik eksploitasi seksual komersial anak antara lain
pemerkosaan, penculikan, perampokan, pernikahan
semu/kontrak, adopsi illegal, imigrasi illegal, tenaga kerja
paksa, pemerasan dan pengantin pesanan. Meskipun
fenomena ini menimpa jutaan anak perempuan dan laki-laki
dari berbagai latar belakang, namun anak perempuanlah
yang mayoritas menjadi korban. Hal ini semakin
diperburuk oleh kebudayaan yang mengakar, yang
mendiskriminasikan wanita dan anak perempuan. Kasus
eksploitasi seksual komersial terhadap anak adalah
merupakan kasus lama sekaligus baru, walaupun masalah
ini menjadi besar dan kritis akhir-akhir ini. Dalam
kaitannya dengan masalah lama, praktek tradisional yang
berasal dari sejarah meliputi persembahan anak perempuan
di kuil sebagai dewi seks di berbagai komunitas mereka,
sehingga menjadikan anak sebagai korban eksploitasi
seksual. Dalam kaitannya dengan yang baru, efek
globalisasi yang kurang positif dan kemajuan teknologi dan
komunikasi telah membuat kasus tersebut menjadi lebih
cepat menyebar luas. Perdagangan seks anak yang modern
meliputi penggunaan papan bulletin computer dan internet
untuk mentransfer pornografi anak dan wisata seks ke
seluruh dunia)”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37
digilib.uns.ac.id
H. Bentuk- Bentuk ESKA
Ada 5 bentuk ESKA, yakni prostitusi anak, pornografi anak,
perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks anak, dan
perkawinan anak.
•
Prostitusi Anak : Tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan
langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi
mendapatkan uang atau imbalan lain.
•
Pornografi anak : Pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang
melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang
menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual.
•
Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual : Proses perekrutan, pemindahtanganan atau penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eskploitasi
seksual, yang biasanya dilakukan transaksi ke luar pulau atau bahkan
sampai ke luar negeri.
•
Wisata seks anak : ESKA yang dilakukan oleh orang-orang yang
melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di tempat
tersebut mereka berhubungan seks dengan anak-anak, mereka lebih
memilih anak-anak dikarenakan anak-anak masih kurang rentan terhadap
virus HIV.
•
Perkawinan anak atau pernikahan dini : Pernikahan dengan anak, yakni di
bawah umur 18 tahun yang memungkinkan anak menjadi korban ESKA,
sebab tujuan menikahi anak tersebut untuk menjadikan anak sebagai objek
commit to user
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seks untuk menghasilkan uang atau imbalan lainnya (ECPAT “End Child
Prostitution, Child Pornography and Traffiking of children for sexsual
purposes 2008:22)
commit to user
39
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I. Kerangka Pemikiran
Eksploitasi Seksual Komersial Anak
(ESKA)
Perda No 3 Tahun 2006 tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual
Komersial
Implementasi Kebijakan Penanggulangan
ESKA (Pendampingan dan Pembinaan)
Indicator :
a. Tahapan Awal Sosialisasi
b. Rencana Aksi Kota
c. Tahapan Pelaksanaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
penanggulangan ESKA di Surakarta
Indikator:
a. Standar dan sasaran kebijakan (Van Meter &
Van Horn)
b. Sumberdaya (Van Meter & Van Horn)
c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan
aktivitas (Van Meter & Van Horn)
d. Karakteristik agen pelaksana (Van Meter &
Van Horn)
e. Disposisi implementor (Van Meter & Van
Horn)
Tujuan:
a. Memberikan rasa aman, nyaman dan tenang
kepada anak-anak yang menjadi korban
ESKA
b. Mendampingi dan membina anak-anak
yang menjadi korban ESKA
c. Memberikan
pembinaan
ketrampilan
kepada anak-anak korban ESKA
commit to user
40
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kerangka pemikiran di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam
melakukan penelitian ini, dari awal penulis melihat Fenomena Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (ESKA) yang saat ini menjadi hal yang sangat
rentan dan menakutkan bagi anak-anak dan orang tua itu sendiri, terutama
bagi anak perempuan, serta tidak menutup kemungkinan anak laki-laki
juga ikut terlibat atau menjadi korban di dalamnya,.khususnya di kota
Surakarta sendiri, oleh karena itu dengan adanya PERDA NO 3 TAHUN
2006
tentang
“Penanggulangan
Eksploitasi
Seksual
Komersial“,
diharapkan ESKA dapat diperangi atau dihapuskan. Untuk meneliti
implementasi PERDA NO 3 TAHUN 2006 itu sendiri, terdapat tahapan
yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu tahapan awal, tahapan RAK dan
tahapan pelaksanaan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan
penanggulangan eksploitasi seksual terhadap anak-anak tersebut.
Untuk melihat pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di
kota Surakarta maka digunakan tahapan proses pelaksanaan dari
BAPERMAS PP, PA dan KB untuk dapat mengamati pelaksanaan
kebijakan penanggulangan ESKA mulai dari tahapan awal (sosialisasi),
tahapan Rencana Aksi Kota hingga tahapan pelaksanaan. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
proses
implementasi
selama
pelaksanaan
penanggulangan akan diamati melalui beberapa indikator dari Model Van
Meter dan Van Horn sehingga akan didapatkan keberhasilan atau
kegagalan dari pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di kota
Surakarta khususnya daerah kecamatan banjarsari.
commit to user
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Alasan penulis untuk mengambil Model Kebijakan Donals S. Van
Meter dan Carl E. Van Horn karena kebijakan penanggulangan ESKA di
kota surakarta merupakan tipe kebijakan top-down. Kebijakan tersebut
berasal langsung dari atas karena berbagai alasan dari masyarakat yang
mengakibatkan harus dibuatnya PERDA tersebut. Kebijakan top-down
merupakan proses implementasi dari sisi vertikal dan terpusat; mengikuti
struktur hierarki. Pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat,
dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi.
Dalam pelaksanaan Model Kebijakan Donals S. Van Meter dan
Carl E. Van Horn dipengaruhi oleh lima variabel dalam mendukung proses
implementasi. Kelima variabel tersebut adalah yaitu Standar dan sasaran
kebijakan (Van Meter & Van Horn), Sumberdaya (Van Meter & Van
Horn), Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas (Van Meter &
Van Horn), Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn), dan
Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn).
Kelima variabel tersebut tidak akan dapat berdiri sendiri, karena
pada dasarnya variabel-variabel tersebut merupakan satu kesatuan yang
saling mempengaruhi dan berinteraksi. Sehingga dapat dilihat faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi selama proses pelaksanaan kebijakan
penanggulangan ESKA di kota Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan salah satu faktor penting dalam suatu
penelitian, sebab metodologi penelitian ikut menunjang proses penyelesaian
permasalahan yang sedang diteliti. Menurut H.B. Sutopo (2002:35), penelitian
kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan terutama berupa
kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka.
Peneliti menekankan catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya guna
mendukung penyajian data. Peneliti berusaha menganalisa data dengan semua
kekayaan wataknya yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya
seperti pada waktu dicatat.
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang didukung dengan data
kualitatif, yaitu proses penelitian yang sifatnya menggambarkan secara tepat
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu dan hubungan
suatu gejala dengan gejala lain. Sebagai suatu penelitian deskriptif, penelitian ini
studi kasusnya mengarah pada pendiskripsian secara rinci dan mendalam
mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa
adanya di lapangan studinya (H.B Sutopo,2002 : 111).
commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
43
digilib.uns.ac.id
Penelitian deskriptif digunakan untuk mempelajari masalah-masalah
dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasisituasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan
pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Moh. Nazir, 2003: 54-55)
B.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini diambil secara sengaja (purposive), yaitu dengan
memilih Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari) itu sendiri. Daerah-daerah atau
sudut-sudut di kota Surakarta yang akan menjadi tempat penelitian penulis.
Beberapa lokasi yang dipilih oleh penulis adalah, Pasar Nusukan, Gilingan,
Stasiun Kereta Api Solo Balapan dll.
Alasan pemilihan beberapa lokasi atau sudut-sudut di kota Surakarta
tersebut karena lokasi-lokasi tersebut yang sangat rawan menjadi tempat
terjadinya eksploitasi seksual. Sangat disayangkan sekali bahwa masih banyak
sekali anak-anak di Surakarta yang hidup di jalanan untuk mencari sesuap nasi,
padahal yang kita ketahui bersama bahwa Surakarta mendapat penghargaan
sebagai salah satu kota yang mendapat predikat sebagai Kota Layak Anak
(KLA) pada tahun 2009. Akan tetapi yang kita lihat sekarang ini justru sangat
miris. Masih banyak sekali anak-anak di bawah umur yang hidup atau terjun
menjadi anak-anak jalanan. Hal tersebut sangat rentan terhadap berbagi hal-hal
atau stigma negatif terhadap anak-anak jalanan tersebut, serta tidak jarang
mereka mendapat pelecehan seksual atau eksploitasi seksual karena hidup di
commit to user
44
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jalanan, dan hal tersebut menjadi hal yang rentan bahkan peluang yang besar
untuk mereka mendapatkan pelecehan seksual.
C. Sumber Data
Sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena
ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan
ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh. Data merupakan
bagian yang sangat penting dalam penelitian itu sendiri. Betapapun menariknya
suatu permasalahan atau topik penelitian, bila sumber datanya tidak tersedia,
maka ia tidak akan punya arti karena tidak akan bisa diteliti dan dipahami. (H.B
Sutopo,2002: 49).
Dalam penelitian kualitatif sumber datanya dapat berupa manusia
(informan), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, benda, beragam gambar,
rekaman, dokumen, dan arsip.
(H.B. Sutopo 2002:49-54) . Adapun sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Informan atau Narasumber
Informan adalah orang yang dianggap mampu memberikan
informasi atau mengetahui dengan benar dan baik mengenai
masalah yang sedang diteliti. Menurut H.B. Sutopo (2002:50),
“Dalam penelitian kualitatif, posisi sumber data manusia
(narasumber) sangat penting peranannya sebagai individu yang
commit to user
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki informasinya”. Informan di dalam penelitian ini antara
lain :
1) Drs.
A.
Fahrudin,
HS,
Kasubbid
Pengembangan
Perlindungan Anak
2) Ibu Sumilir Wijayanti, Koordinator Divisi Layanan PT.
PAS
3) Ibu Rita Hastuti, Staf Yayasan Kakak
4) Anak-anak Jalanan
2. Aktivitas atau Peristiwa
1) Aktivitas formal ataupun non formal
2) Aktivitas rutin yang berulang ataupun yang hanya satu kali
3) Aktivitas yang terjadi secara sengaja ataupun tidak sengaja
3. Dokumen dan Arsip
Selain dari dokumen dan arsip, data juga dapat diperoleh dari
dokumentasi, buku, data statistik, serta pengamatan langsung terhadap
obyek yang akan diteliti oleh peneliti. Menurut H.B Sutopo (2002:54)
mengatakan, “dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang
bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu”. Data
sekunder yang berupa dokumen dan arsip yang digunakan dalam
penelitian ini adalah berupa literature dari beberapa buku, media massa
(cetak atau elektronik), jurnal-jurnal ilmiah yang relevan terhadap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46
digilib.uns.ac.id
tujuan penelitian, data tentang kasus Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (ESKA) dari Pemerintah, serta foto-foto kegiatan di BAPERMAS
PP, PA dan KB.
D. Teknik Sampling
Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan purposive
sampling dan snowball sampling. Dalam teknik purposive sampling peneliti
memilih informan yang dianggap mengetahui permasalahan secara mendalam
dan dapat dipercaya untuk dijadikan sumber (H.B Sutopo,2002:36).
Purposive sampling, sampel tidak dapat ditentukan terlebih dahulu.
Darimana atau dari siapa informasi didapat, tidak menjadi persoalan. Pemilihan
berakhir jika sudah terjadi pengulangan informasi.
….. purposive sampling, kecenderungan peneliti untuk memilih
informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya
secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber daya
yang mantap. Bahkan di dalam pelaksanaan pengumpulan data,
pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan
kemantapan peneliti dalam memperoleh data. (H.B. Sutopo,
2002:56)
Purposive sampling digunakan ketika peneliti berusaha untuk mencari
informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalah secara mendalam.
Sampel dalam penelitian ini adalah beberapa warga masyarakat di daerah yang
menjadi tempat penelitian penulis.
Snowball sampling, peneliti mencari informasi dari informan pertama dan
ternyata informan pertama kurang mengetahui informasi yang dibutuhkan atas
commit
to user
dasar petunjuk informan pertama.
Teknik
snowball sampling digunakan ketika
47
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peneliti berusaha mencari informan tentang penanggulangan ESKA yang
dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan peneliti belum mengetahui informasi
mana yang paling mengetahui tentang masalah itu sehingga peneliti bertanya
pada seseorang yang pertama kali ditemui kemudian dari informan pertama
didapatlah keterangan tentang informan yang paling mengetahui fokus
penelitian yang akan diteliti.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan salah satu bagian yang sangat penting di
dalam penelitian. Teknik pengumpulan data adalah cara operasional yang
ditempuh oleh peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam
penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data berupa :
1)
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J.
Moelong, 2006 : 186). Dalam penelitian ini, proses wawancara
dilakukan secara formal dan informal, dengan cara tanya jawab,
dengan terlebih dahulu membuat kerangka garis besar pokok-pokok
yang akan ditanyakan dalam proses wawancara tersebut. Menurut
H.B. Sutopo (2002:61-62) mengatakan bahwa tahapan dalam
melaksanakan penelitian meliputi penentuan siapa yang akan
commit to user
48
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diwawancarai, persiapan wawancara, langkah awal, pengusahaan agar
wawancara
bersifat
produktif,
penghentian
wawancara
dan
mendapatkan simpulan.
Dalam proses wawancara selain formal dan informal,
wawancara
yang
digunakan
adalah
wawancara
mendalam.
Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang mengarah pada
kedalaman informasi untuk menggali pandangan subyek yang diteliti
tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi
penggalian informasi secara lebih mendalam. Wawancara yang
dilakukan untuk menggali data tentang penanggulangan yang
dilakukan LSM KAKAK, implementasi dan hambatan yang terjadi
dalam pelaksanaannya.
2)
Observasi
Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitan untuk
mengamati secara kualitatif berbagai kegiatan dan peristiwa yang
terjadi. Sedangkan menurut H.B. Sutopo (2002 : 64) Observasi
merupakan pengamatan perilaku yang relevan dengan kondisi
lingkungan yang tersedia di lokasi penelitian. Sementara Sugiyono
(2010 : 166) berpendapat bahwa teknik pengumpulan data dengan
observasi digunakan bila, penelitian berkenaan dengan perilaku
commit to user
49
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang
diamati tidak terlalu besar.
Teknik ini biasanya diartikan sebagai pengamatan dari sistem
fenomena yang diselidiki, dimana Observasi dalam penelitian ini
dilakukan dengan Observasi Langsung yaitu suatu cara pengumpulan
data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala
yang tampak pada objek penelitian, pelaksanaannya langsung di mana
suatu peristiwa terjadi. Adapun sistem yang dipakai pada Observasi
langsung adalah Participant Observation dimana kedudukan peneliti
bukan hanya sebagai pengamat, akan tetapi ikut menjadi bagian di
dalam objek yang sedang diteliti tersebut.
F.
Validitas Data
Data yang telah berhasil digali, dikumpukan dan dicatat dalam kegiatan
penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu
setiap peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk
mengembangkan validitas data yang diperolehnya. (H.B Sutopo,2002: 77).
Penelitian
ini,
teknik
triangulasi
data
dilaksanakan
dengan
membandingkan data yang sama atau pada informan yang berbeda, artinya apa
yang diperoleh dari narasumber satu, dapat lebih teruji kebenarannya jika
dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari narasumber lain, sehingga
keakuratan data dapat dipertanggungjawabkan.
commit to user
50
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut H.B. Sutopo (2002:78) mengatakan, “Triangulasi merupakan
teknik yang didasari pola piker fenomenologi yang bersifat multiperspektif”.
Artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara
pandang. Disebutkan bahwa ada 4 macam triangulasi yaitu :
1. Triangulasi Data (Sumber), yaitu penelitian dengan menggunakan
berbagai sumber data yang berbeda untuk menggali data yang sejenis.
2. Triangulasi
Metode,
yaitu
penelitian
dilakukan
dengan
mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau
metode pengumpulan data yang berbeda.
3. Triangulasi Peneliti, yaitu hasil penelitian baik data ataupun simpulan
mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya
dari beberapa peneliti.
4. Triangulasi Teori, yaitu dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan
perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang
dikaji.
Penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi data atau triangulasi
sumber. Peneliti memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk
menggali data yang sejenis. Peneliti bisa memperoleh informasi dari informan
yang berbeda-beda posisinya dengan teknik wawancara mendalam, hingga
informasi dari narasumber satu dengan yang lain bisa dibandingkan. Penelitian
melakukan wawancara mendalam
terhadap beberapa anak-anak jalanan di
Kota Surakarta.
commit to user
51
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Cara triangulasi sumber yang lain dapat dilakukan dengan menggali
informasi dari sumber yang serupa dokumen dan arsip yang memuat catatan
yang berkaitan dengan data yang dimaksud. Peneliti akan membandingkan
antara hasil wawancara dengan hasil pengamatan dan telaah dokumen.
Harapannya, kevalidan data yang didapat bisa lebih terjamin.
G. Teknik Analisis Data
Analisis merupakan proses pencarian dan perencanaan secara sistematis
semua data dan arahan yang telah terkumpul agar peneliti mengerti benar
makna yang telah dikemukakannya dan dapat menyajikan kepada orang lain.
Dalam penelitian ini. Teknik analisa data yang digunakan mengacu pada model
analisis interaktif Miles dan Huberman yang terdiri dari tiga komponen yaitu:
1. Reduksi data (Data Reduction)
Merupakan
rangkaian
proses
seleksi,
pemfokusan,
penyederhanaan dan abstraksi data kasar yang dilaksanakan selama
berlangsungnya proses penelitian. Hal yang dilakukan peneliti dalam
proses reduksi data yaitu peneliti menyusun rumusan penelitiannya
secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting.
2. Penyajian data (Data Display)
Merupakan
rangkaian
informasi
yang
memungkinkan
kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian
commit to user
52
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
data. (H.B. Sutopo, 2002 :92). Tahap ini peneliti membuat cerita yang
sistematis dan logis agar makna penelitiannya menjadi lebih mudah
untuk dipahami. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah
yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian sehingga narasi
yang tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang rinci untuk
menceritakan dan menjawab setiap permasalahan yang ada.
3. Penarikan simpulan dan verifikasi
Tahap penyimpulan dari rangkuman dan olahan data yang
berupa gejala dan kasus di lapangan dari pengumpulan data yang
telah tersusun dengan runtut dan logis. Peneliti melakukan usaha
untuk menarik kesimpulan berdasar dari reduksi data dan penyajian
data. Simpulan perlu diverifikasi agar bisa dipertanggungjawabkan.
Verifikasi dapat berupa kegiatan yang dilakukan dengan lebih
mengembangkan ketelitian dengan cara melakukan pengulangan
pengecekan data-data untuk tujuan pemantapan.
Dalam penelitian ini aktifitas ketiga komponen berbentuk interaksi
sebagai proses siklus. Peneliti tetap bergerak diantara ketiganya dengan
komponen pengumpulan data selama proses pengumpulan data berlangsung.
Proses analisa ini yang disebut dengan model analisis interaktif (interactive
model analysis).
commit to user
53
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Untuk lebih jelasnya, digambarkan sebagai berikut:
Model analisis interaktif Miles dan Huberman
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
(Data Reduction)
(Data Display)
Penarikan Kesimpulan
(Conclusion Drawing)
(Sumber : H.B Sutupo,2002: 96)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Letak Geografi
Kota Surakarta yang juga sangat dikenal sebagai Kota Solo,
merupakan sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng
pegunungan Lawu dan pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92
m diatas permukaan air laut. Dengan Luas sekitar 44 Km2, Kota Surakarta
terletak diantara 110 45` 15″ – 110 45` 35″ Bujur Timur dan 70` 36″ – 70`
56″ Lintang Selatan. Kota Surakarta dibelah dan dialiri oleh 3 (tiga) buah
Sungai besar yaitu sungai Bengawan Solo, Kali Jenes dan Kali Pepe.
Sungai Bengawan Solo pada jaman dahulu sangat terkenal dengan
keelokan panorama serta lalu lintas perdagangannya.
Batas wilayah Kota Surakarta sebelah Utara adalah Kabupaten
Karanganyar dan Kabupaten Boyolali. Batas wilayah sebelah Timur
adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karangnyar, batas wilayah
sebelah Barat adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karangnyar,
sedang batas wilayah sebelah selatan adalah Kabupaten Sukoharjo.
Surakarta terbagi dalam lima wilayah Kecamatan yang meliputi 51
Kelurahan.
commit to user
54
55
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Luas wilayah administratifnya 4.404,06 ha sebagian besar telah
menjadi lahan permukiman seluas 2.672,21 ha dan sisanya berturut-turut
untuk jasa 428,06 ha, ekonomi industri dan perdagangan 383,51 ha, ruang
terbuka 24 8,29 ha, pertanian 210,83 ha dan lain-lain 461,16 ha. Kota
Surakarta terbagi dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan,
Serengan, Pasar kliwon, Jebres dan Banjarsari. Kelima kecamatan tersebut
terdiri dari 51 kelurahan yang masing-masing kecamatan terdiri dari;
Kecamatan laweyan 11 kelurahan, Kecamatan Serengan 7 kelurahan,
Kecamatan Pasar Kliwon 9 kelurahan, Kecamatan Banjarsari 13
kelurahan, Kecamatan Jebres 11 kelurahan, dan ke-51 kelurahan tersebut
terdiri dari 592 RW, 2.645 RT dan 129.380 KK.
2. Kependudukan
Berdasarkan sensus penduduk Tahun 2010 jumlah penduduk Kota
Surakarta 500.642 jiwa, dimana jumlah perempuan lebih banyak dari pada
laki-laki, yaitu 257.279 perempuan dan 243.363 laki-laki. Kecamatan
Banjarsari
merupakan
kecamatan
yang
paling
banyak
jumlah
penduduknya, yaitu sebanyak 157.438 jiwa (31,45%). Kemudian disusul
Kecamatan Jebres sebanyak 27,9 persen dari total penduduk atau 138.624
jiwa. Jumlah penduduk Kecamatan laweyan dan Pasar Kliwon berturutturut yaitu 86.315 dan 74.145 jiwa. Sedangkan Kecamatan dengan jumlah
penduduk paling sedikit yaitu Serengan sejumlah 44.120 jiwa dengan
user
persentase 8,81 persen daricommit
jumlahtokeseluruhan
penduduk.
56
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan luas wilayah hanya sebesar 44,03 km2 membuat tingkat
kepadatan penduduk sangat tinggi, bahkan tertinggi di Jawa tengah yaitu
11.370 jiwa/km2. Hal tersebut menuntut pemerintah dalam penyediaan
sarana dan prasarana yang memadai bagi penduduk Kota Surakarta, belum
lagi adanya kaum commuters yang jumlahnya tidak kalah banyak. Laju
pertumbuhan Kota Surakarta selama periode tahun 2000-2010 mengalami
penurunan yang signifikan yaitu 0,25 persen jauh dibawah angka laju
petumbuhan Jawa Tengah yaitu 0,46 persen.
3. Potensi Wilayah
Kota Surakarta atau Solo ini merupakan kota yang terkenal akan
budaya jawa yang sangat kental sekali, sehingga disebut sebagai kota
budaya di Jawa Tengah yang memiliki slogan ““Solo The Spirit Of Java“.
Kemajuan budaya sekaligus sector perekonomian di Kota Surakarta
menjadikan Kota ini sebagai “cermin” bagi kota lainnya.
Keraton, batik dan Pasar Klewer adalah tiga hal yang menjadi
simbol identitas Kota Surakarta. Eksistensi Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran menjadikan Solo sebagai poros,
sejarah, seni dan budaya yang memiliki nilai jual. Seni dan pembatikan
Solo menjadi pusat batik di Indonesia. Apalagi setelah resmi dibuka
Kampung Batik Laweyan menjadi ikon area penuh dengan wisata batik
dari
proses
pembuatanya
sampai
commit to user
penjualannya.
Pariwisata
dan
perpustakaan.uns.ac.id
57
digilib.uns.ac.id
perdagangan tidak bisa dipisahkan, keduanya saling mendukung
meningkatkan sektor ekonomi.
Berbeda dengan kegiatan perdagangan, sektor pertanian kurang
bisa diandalkan, kebutuhan pokok seperti beras, sayur - sayuran dan bahan
dasar protein harus bergantung daerah lain karena keterbatasan lahan.
Secara kumulatif, sektor tersier yang terdiri dari usaha perdagangan, hotel,
dan restoran, angkutan, dan komunikasi serta jasa. Terdapat beberapa
industri pengolahan yang didominasi oleh industri rumah tangga,
kebanyakan industri bergerak dalam bidang pembuatan batik dan pakaian
jadi yang hasilnya mencapai pasar internasional.
4. Kecamatan Banjarsari (Gilingan)
Gilingan adalah salah satu kelurahan di Surakarta yang padat
aktivitas serta penduduknya. Nama Gilingan berasal dari “Gilingan Tahu”,
yang dulu menjadi aktivitas utama ekonomi disini. Pasar legi, terminal,
stasiun dan sekolah semua ada di sekitar Gilingan tersebut, tidak heran
mobilitas di daerah ini sangat tinggi. Luas wilayah Gilingan adalah 1.272
Ha, dengan topografi tanah cocok untuk lahan pemukiman, perdagangan
dan industri, Kondisi Demografi Kalurahan Gilingan yaitu mengenai
penduduk berjumlah 21.638 jiwa.
Kelurahan Gilingan sendiri dikelilingi oleh beberapa wilayah lain
dari Kota Surakarta, yakni Nusukan, Kestalan, Mangkubumen, Tegalharjo,
Setabelan dll. Mobilitas yang tinggi di daerah gilingan menjadikan tempat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
58
digilib.uns.ac.id
tersebut menjadi “magnet” tersendiri bagi beberapa masyarakat di Kota
Surakarta. Gilingan juga terkenal dengan banyaknya anak-anak jalanan di
daerah tersebut, terlebih-lebih di lokasi sekitar Stasiun Solo Balapan,
gerbong kereta barang, Terminal Tirtonadi dan di pasar gelap atau
“blackmarket”. Anak-anak jalanan di daerah gilingan ini termasuk anakanak jalanan yang terhitung masih mempunyai rumah, akan tetapi
kebanyakan waktu mereka dihabiskan di jalanan. Keras dan liarnya
kehidupan di jalanan bagi anak-anak, menyebabkan mereka rawan
mendapatkan kekerasan, terlebih-lebih kekerasan seksual. Bahkan tidak
dapat dipungkiri, mereka dengan lebih leluasa tereksploitasi seksual di
bawah umur, karena bebasnya kehidupan di jalanan dan menjamurnya
hotel-hotel atau losmen-losmn di samping dan belakang Stasiun Solo
Balapan, maraknya salon “esek-esek” di daerah Gilingan.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kota Surakarta dilihat dari kesatuan geografis, sosial, ekonomi dan
kultural tidak bisa dilepaskan dari kawasan sub regional yang dikenal sebagai
SUBOSUKAWONOSRATEN (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen dan Klaten). Kota Surakarta merupakan titik tengah dari
daerah-daerah di sekitarnya dan merupakan tempat yang strategis dan pusat
kegiatan di lingkup regional Jawa Tengah dan nasional. Posisi ini selain
berpotensi untuk peningkatan dan akselerasi pembangunan kota sudah pasti
berpotensi juga menimbulkancommit
varian-varian
to user permasalahan sosial sebagaimana
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kota-kota besar lainnya. Penampakan permasalahan sosial sering bertautan
secara signifikan satu dengan yang lainnya.
Salah satu permasalahan sosial yang lazim timbul di kota-kota besar
adalah keberadaan perempuan dan anak yang dilacurkan dan perdagangan
manusia untuk tujuan utamanya adalah untuk seksualitas, walaupun secara
politis dan regulative telah dilarang oleh Pemerintah dengan adanya Peraturan
Daerah sebagai aturan yang mengikat, namun pada kenyataannya yang kita
lihat sepanjang tahun masih banyak perempuan bahkan yang sangat
disayangkan adalah anak yang menjadi korban eksploitasi seksual komersial
tersebut. Perda yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri dirasa juga belum
mampu untuk menangani permasalahn tersebut, akan tetapi paling tidak hal
tersebut dapat diminimalisasikan dengan sedikit demi sedikit berkurangnya
anak-anak yang terjangkit eksploitasi seksualitas, karena peran LSM juga
bermanfaat disini.
Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam penghapusan eksploitasi
seksual komersial anak (ESKA) dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan
Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak dan KB
(Keluarga Berencana) Kota Surakarta. Kebijakan tersebut mengacu pada
Keputusan Presiden No 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan ESKA, yang di dalamnya termuat ada 5 program, yaitu
diantaranya :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60
digilib.uns.ac.id
1. Koordinasi dan Kerjasama
2. Pencegahan
3. Perlindungan
4. Pemulihan dan Reintegrasi
5. Partisipasi anak
Implementasi atau pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2006 diantaranya bertujuan untuk (a) mencegah, membatasi, mengurangi
adanya kegiatan eksploitasi seksual komersial, (b) melindungi dan
merehabilitasi korban kegiatan eksploitasi seksual komersial. (c) menindak
dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
(d) merehabilitasi pelaku agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan
norma agama, kesusilaan dan hukum. Di dalam Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2006, terdapat beberapa penanggulangan eksploitasi seksual komersial
tersebut, diantaranya adalah pendampingan korban eksploitasi, rehabilitasi
dan reintegrasi korban eksploitasi, koordinasi dan pembinaan. Akan tetapi
dalam pembahasan ini untuk lebih fokusnya penulis hanya akan mengambil
dua saja dari cara-cara pemerintah tersebut dalam upaya melakukan
penanggulangan ESKA, yaitu Pendampingan dan Pembinaan.
Pelaksanakan upaya-upaya perlindungan ataupun penanggulangan
ESKA di Kota Surakarta, pemerintah selaku pembuat kebijakan juga
bekerjasama dengan intansi lain seperti Satpol PP, Dinsos serta lembagalembaga swasta seperti beberapa LSM yang konsen menangani permasalahan
ESKA di Kota Surakarta, salah satunya adalah Yayasan KAKAK
commit to user
61
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Kepedulian Untuk Konsumen Anak) yang fokus menangani ESKA di Kota
Surakarta. Yayasan KAKAK tersebut merupakan salah satu yayasan yang
paling berkompeten di bidang eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di
surakarta ini. Berbagai aktivitas dan penelitian dari yayasan KAKAK inilah
yang menjadi acuan atau batu pijakan bagi pemerintah untuk terus
bekerjasama dengan yayasan tersebut guna meminimalisasikan semua
kegiatan yang dapat merusak anak terlebih-lebih kegiatan eksploitasi seksual
anak. Yayasan KAKAK sendiri saat ini sudah banyak melakukan penelitian
mengenai anak-anak korban eksploitasi seksual, dari penjangkauan Yayasan
KAKAK, terhadap prostitusi anak di Kota Surakarta, sebagai berikut :
commit to user
62
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel B.1
Prostitusi Anak di Surakarta
Penjangkuan Yayasan KAKAK Selama 2005- 2008 Berdasarkan
Tingkat Pendidikan Terhadap Prostitusi Anak
( Anak yang Dilacurkan )
No
Tingkat pendidikan
Jumlah
1.
Lulus SD
4 Anak
2.
DO SMP
15 Anak
3.
Masih sekolah SMP
1 Anak
4.
Lulus SMP
2 Anak
5.
DO SMA
32 Anak
6.
Masih sekolah SMA
40 Anak
7.
Lulus SMA
16 Anak
Jumlah
110 Anak
Sumber : Yayasan KAKAK
commit to user
63
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel B.2
Prostitusi Anak di Surakarta
Penjangkuan Yayasan KAKAK selama 2005- 2008 Berdasarkan
Aktivitas Terhadap Prostitusi Anak
( Anak yang Dilacurkan )
No
Aktivitas
Jumlah
1.
Sekolah
63 Anak
2.
Kuliah
1 Anak
3.
Kerja di Diskotik
3 Anak
4.
Penyanyi
1 Anak
5.
Dancer
2 Anak
6.
Kerja (waiter dan Salon)
4 Anak
7.
Anak Jalanan
1 Anak
8.
Tidak ada aktivitas pasti
35 Anak
Jumlah
110 Anak
Sumber : Yayasan KAKAK
commit to user
64
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Yayasan Kakak yang melakukan penjangkauan dan pendampingan
anak yang dilacurkan, pada tahun 2007 mencatat ada 17 anak yang berasal
dari Kota Surakarta yang berhasil dijangkau.
Tabel B.3
Anak Korban ESKA Di Kota Surakarta Tahun 2007
No
Jenis Kelamin
Jumlah
Prosentase
1.
Laki-laki
3
17,65
2.
Perempuan
14
82,35
17
100
Jumlah
Sumber : Data Yayasan KAKAK
Hal lain yang diperoleh afdalah data dari penelitian yang dilakukan
Pusat Penelitian Kependudukan Unversitas Sebelas Maret (PPK UNS) pada
tahun 2008 menemukan 168 anak yang menjadi korban Eksploitasi Seksual
Komersial Anak (ESKA) di kota Surakarta. Pada tahun 2009, berdasarkan
hasil pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Kakak (Kepedulian untuk
Konsumen Anak), ada 29 anak yang menjadi korban ESKA di Surakarta,
yang dapat dilihat pada tabel berikut :
commit to user
65
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel B.4
Anak Korban ESKA Di Kota Surakarta Tahun 2009
No
Jenis Kelamin
Jumlah
1.
Laki-laki
4
2.
Perempuan
25
Total
29
Sumber : Yayasan Kakak, 2009
Anak korban ESKA tersebut kemudian dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
Tabel B.5
No
Kategori ESKA
Jumlah
1.
Pornografi
2
2.
Prostitusi
18
3.
Perdagangan anak
9
Total
29
Sumber : Yayasan Kakak, 2009
Peraturan daerah nomor 3 tahun 2006 tentang penanggulangan
eksploitasi seksual komersial memang sangat dibutuhkan untuk paling tidak
untuk mengurangi tingkat eksploitasi terhadap anak-anak yang saat ini seperti
fenomena gunung es, hanya sedikit yang terekspos akan tetapi ternyata sangat
banyak yang menjadi korbannya. Anak-anak jalanan yang paling rentan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66
digilib.uns.ac.id
terhadap eksploitasi ini, dikarenakan hidup di jalanan yang lebih berbahaya
dan sangat bebas tanpa aturan.
Maka dari itu, penulis akan meneliti bagaimana implementasi
peraturan daerah nomor 3 tahun 2006, sehingga diharapkan Perda ini mampu
menekan kasus-kasus eksploitasi pada anak-anak.
1. Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-anak
di Kota Surakarta
1.1 Proses Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi Seksual
Komersial di Kota Surakarta
Proses implementasi merupakan tahapan yang paling penting dalam
proses kebijakan, karena itulah implementasi merupakan hal yang paling
berat. Implementasi mencakup banyak kegiatan yang dilakukan oleh aparat
pelaksana supaya kebijakan dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan
oleh para aparat pemerintah.
Tahapan implementasi kebijakan penanggulangan ESKA itu sendiri
juga mempunyai tahapan dalam pelaksanaannya, yaitu tahapan awal,
tahapan rencana aksi kota dan tahapan pelaksanaan serta kegiatan-kegiatan
di dalamnya. Kegiatan yang dilakukan pada saat Tahapan Awal yaitu
sosialisasi kepada masyarakat, yang menjelaskan bahwa semakin maraknya
praktek ESKA di kota Surakarta ini yang menimbulkan keresahan di
masyarakat, terutama orang tua yang mempunyai anak yang sedang beranjak
remaja. Sosialisasi juga diadakan di sekolah-sekolah seperti SMP, SMK,
SMA, di jalanan itu yang terutama anak-anak jalanan yang memang rentan
commit to user
67
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhadap tindakan eskploitasi seksual komersial. Proses sosialisasi tersebut,
dapat dikatakan memang tidak mudah, karena ada yang mendukung serta
ada pula yang menolak sosialisasi tersebut, akan tetapi lebih banyak
masyarakat yang setuju. Tahapan selanjutnya adalah tahapan Rencana Aksi
Kota, setelah adanya sosialisasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat
pada umumnya, kemudian dilanjutkan dengan rencana aksi kota, dengan
melakukan
berbagai
penanggulangan
macam
ESKA
di
kegiatan
kota
yang
Surakarta,
berhubungan
yaitu
adanya
dengan
seminar
penghapusan kekerasan anak, eksploitasi seksual terhadap anak, kemitraan
dengan komisi perlindungan anak dan PKK Kota Surakarta, seminar tentang
HIV dan perlindungan anak bagi anak-anak SMP di kota Surakarta, dari
aparat pemerintah terjun langsung ke masyarakat untuk memberikan
penyuluhan kepada warga di beberapa kecamatan di kota Surakarta dll.
Tahapan yang terakhir adalah tahapan pelaksanaan, pada tahapan
pelaksanaan ini para aparat pemerintah lebih gencar melakukan kegiatan
yang berhubungan dengan penanggulangan eskploitasi seksual komersial
terhadap anak-anak, yang perlu dijelaskan disini adalah bahwa rencana aksi
kota dengan tahapan pelaksanaan dapat dikatakan sama, akan tetapi lebih
kompleks pada tahapan pelaksanaan, karena kegiatan pada tahapan
pelaksanaan lebih mengarah pada secara keseluruhan, kegiatan-kgeiatan
yang berhubungan dengan penanggulangan ESKA, seperti yang pertama
Training of trainer kesehatan reproduksi HIV/AIDS dan perlindungan anak
bagi anak SMP di Surakarta, kemitraan dengan UNICEF, yang kedua
commit to user
68
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seminar pendidikan sebaya tentang HIV/AIDS bagi tim kesehatan
reproduksi remaja kelurahan mangkubumen kemitraan dengan UNICEF,
yang ketiga penyususna program kerja perlindungan anak kota Surakarta
tahun 2009 kemitraan dengan UNICF dan masih banyak lagi. Berikut
penjelasan Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A.
Fahrudin, HS :
“…tahapan awal untuk penanggulangan ya seperti sosialisasi untuk
menanggulangi hal-hal seperti eksploitasi begitu mbak, sosialisasi
juga diadakan di sekolah-sekolah karena itu salah satu tempat yang
juga paling rawan, dan juga jalanan karena juga kehidupan jalanan
kan lebih liar mbak. Setelah itu tahap rencana aksi kota sekaligus
tahap pelaksanaannya. Ya itu termasuk kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan pelaksanaan penaggulangan ESKA…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan,
Ibu Sumilir Wijayanti :
“…seperti yang dikatakan oleh pak fahruddin ya mbak, tahapan awal
ya pasti sosialisasi ke masyarakat dulu, kita lihat bagaimana respon
masyarakat pada umumnya,tapi saya yakin rspon masyarakat sudah
cukup baik, karena mereka yang saya lihat juga antusias, nah setelah
itu ya rencana aksi kota itu sebagai tindak lanjut daripada tahap
sosialisasi tadi, kegiatan itu ya bermacam-macam yang memang
mengarah pada pelaksanaan kebijakan tersebut…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Hal lain juga dituturkan oleh Koordinator Program untuk Bidang
Perlindungan
Anak
dari
Yayasan
KAKAK
(Kepedulian
untuk
Konsumen Anak), Ibu Rita Hastuti :
“…kalau dari pemerintah memang seperti itu proses implementasi
atau pelaksanaannyaya mbak, kita disini secara tim juga sedikit
banyak mengetahui masalah proses implementasinya, akan tetapi kita
tidak bisa ikut campur hanya sekedar tau saja, kita tau ya karena kita
diajak bekerjasama juga dengan lembaga-lembaga lain juga yang
commit
to user
sama, kan itu prosesnya
memang
melibatkan stake holder yang lain
69
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jadi memang tidak hanya dari kalangan pemerintah saja mbak, seperti
itu, karena semua saling berhubungan dan kita juga mempunyai
kepentingan yang sama juga kedepannya untuk menanggulangi hal
tersebut…”
(Wawancara 5 Maret 2012)
Gambar 1.1
Berikut ini adalah gambar sosialisasi yang dilakukan oleh
BAPERMAS PP, PA dan KB :
commit to user
70
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 1.2
Sosialisasi ESKA di SMK 6 Surakarta
Sumber : BAPERMAS PP, PA dan KB
Gambar 1.3
Sosialisasi di SMK 3 Surakarta
Sumber : BAPERMAS PP, PA dan KB
commit to user
71
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
proses
implementasi
kebijakan
penanggulangan
eksploitasi
seksual
komersial terhadap anak di kota Surakarta mempunyai beberapa tahapantahapan yang dilaksanakan untuk dapat mendukung keberhasilan proses
implementasi tersebut. Tahapan-tahapan selama pelaksanaan kebijakan
penanggulangan eksploitasi seksual komersial terhadap anak sudah dapat
dijalankan dengan baik mulai dari tahapan awal yaitu proses sosialisasi,
rencana aksi kota hingga pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan ESKA.
2. Factor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Penanggulangan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Kota Surakarta
Adapun
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
implementasi
penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di kota
Surakarta, lebih tepatnya di kecamatan banjarsari, dijadikan suatu indikator
yang berpengaruh dan memberikan kontribusi. Faktor-faktor tersebut adalah
standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, komunikasi antar organisasi
dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial
ekonomi dan politik, disposisi implementor., akan tetapi penulis hanya
menggunakan 5 faktor-faktor yang terkait, yaitu standar dan sasaran
kebijakan, sumber daya, komunikasi antar organisasi dan penguatan
aktivitas, karakteristik agen pelaksana, disposisi implementor. Berikut akan
dijelaskan satu per satu faktor tersebut.
commit to user
72
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.1 Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan adalah proses dari sebuah kebijakan
yang dibuat oleh Pemerintah dalam menyelesaikan suatu permasalahan
yang timbul di masyarakat, apakah standar dan sasaran daripada
kebijakan itu sendiri sudah jelas tujuannya atau masih “abu-abu” dalam
pelaksanaannya.
Kebijakan yang dibuat berdasarkan permasalahan yang timbul di
masyarakat dan isu-isu yang ada di masyarakat, serta kebutuhan
masyarakat akan Peraturan atau Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah
yang ada payung hukumnya untuk perlindungan masyarakat itu sendiri,
seperti yang di sampaikan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan
Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…perda nomor 3 tahun 2006? kalau dulu masih berdasarkan isu,
jadi dulu ada 2 sistem, satu itu sistem isu, jadi kalau ada kabarkabar, kok banyak sekali, perlu dibuat perda, ada berdasarkan
kebutuhan, supaya tidak terjadi begitu dibuat perda, ya pokoknya
berdasarkan kebutuhan…”
(Wawancara 5 januari 2012)
Dalam pembuatan kebijakan tersebut, adanya standar yang jelas di
dalamnya membuat sasaran kebijakan tersebut, tepat sasaran, seperti
yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak,
Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…standarnya satu, tidak boleh bertentangan dengan peraturan
undang-undang di atasnya, yang kedua harus bisa dipakai oleh
masyarakat, maksudnya bertentangan itu ya tidak boleh saling
tabrak begitu mbak…”
(Wawancara 5 januari 2012)
commit to user
73
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebelum kebijakan tersebut dibuat, ternyata terlebih dahulu ada
tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta,
seperti yang dikemukakan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan
Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…programnya ya..sebelum kebijakan itu kita ada rencana aksi
kota, programnya sementara ini, sosialisasi dulu, masyarakat perlu
dididik, evaluasi dulu, tapi kan setiap SKPD mempunyai program
sendiri, satpol PP dia melakukan razia-razia…sosialisasinya berat
itu mbak, sosialisasi setiap SKPD memberikan pemahaman, bolakbalik, juga kita sosialisasi ke sekolah-sekolah gitu mbak…”
(Wawancara 5 januari 2012)
Ternyata setiap SKPD itu berbeda tugas satu dengan yang
lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan,
Ibu Sumilir Wijayanti :
“…karena 40 lembaga itu kan ada SKPD terkait, ada aparat
penegak hukum, mulai dari kepolisisn, kejaksaan, pengadilan,
rutan, ada rumah sakit, puskesmas, ada LSM, organisasi
perempuan..program di intrepetasi dari masing-masing lembaga,
terus kalau disini terkait dengan PT.PAS (Pelayanan Terpadu
Perempuan dan Anak) yang dikelola ditempat kami selaku
koordinator divisi layanan, itu lebih pada peningkatan kapasitas
kelembagaan PT.PAS itu sendiri karena yang berjejaring kan
banyak
40
lembaga bagaimana ini
tetap
terjaga
keberlangsungannya secara periodik..saling koordinasi terkait
program masing-masing,,evaluasi, ada rapat pleno juga, pelatihan
ketrampilan, modal usaha, itu juga merupakan hal pendampingan
kita dan kita juga memberikan pembinaan mbak untuk para
korban, ya dengan cara memberikan dana untuk ketrampilan
yang memang dimiliki anak-anak tersebut mbak…”
(Wawancara 6 januari 2012)
commit to user
74
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 1.4
Sosialisasi di SMP 5 Surakarta
Sumber : BAPERMAS PP, PA DAN KB
Mengenai hal sosialisasi juga dikemukakan oleh Acong 16Tahun
anak jalanan :
“…yang membantu ya banyak mbak seperti sosialisasi dari
pemerintah, tapi ya jarang, tapi kalau dikasih modal dari
pemerintah ya pernah, tapi kebanyakan dari LSM buat
membantu kita, teman-teman perempuan yang biasanya
mendapat perhatian lebih, ya walaupun semua pukul rata
mbak…”
(Wawancara, 11 April 2012)
Dilihat dari banyaknya SKPD yang sudah dijelaskan di atas,
yang masing-masing SKPD tersebut juga mempunyai program masingmasing, ada kalanya pasti
adatobenturan-benturan
antara SKPD satu
commit
user
75
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan lainnya, hal
tersebut dapat diselesaikan dengan lebih
mengintensifkan komunikasi antar beberapa lembaga tersebut, guna
jalan tengah dari permasalahan yang timbul. Seperti yang dikemukakan
oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti :
“…itu kalau misalnya ketika ada sesuatu hal mungkin sudah
tidak ada jalan keluarnya gitu ya, kita akan upayakan untuk lebih
mengintensivkan komunikasi, atau mungkin kita melakukan
audiensi, kita saling tukar informasi seperti itu, karena belajar dari
pengalaman ketika mengawali 40 lembaga ini kan bukan
persoalan yang mudah, tapi ketika bergabung terus kita melihat
potensi, apabila SOP ada permasalahan di titik-titik tertentu kita
mencoba untuk jemput bola kepada SKPD yang bersangkutan…”
(Wawancara 6 januari 2012)
Para aparat pembuat kebijakan ternyata harus mengetahui betul
permasalahan yang terjadi sehingga mereka dalam proses pembuatan
kebijakan dapat memahami dengan benar. Selain itu juga, perlu adanya
terjun langsung ke lapangan guna melihat secara langsung para korban
ESKA sehingga perlu adanya kebijakan
menyelesaikan
permasalahan
tersebut,
yang harus dibuat dalam
atau
paling
tidak
meminimalisasikannya. Seperti yang dikemukakan oleh Kasubbid
Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…ada yang menangani masalah tersebut, disini yang paling gethol
itu PT.PAS..jadi aparat terjun langsung, seperti rencana aksi kota,
rencana aksi kota itu ya bermacam-macam mbak, seperti kita dari
tim terjun langsung begitu, kita juga mengadakan acara-acara
seperti itu…”
(Wawancara 5 januari 2012)
commit to user
76
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mengenai hal rencana aksi kota juga dikemukakan oleh Diah
(nama samaran 15 tahun), bahwa :
“…kegiatan-kegiatan dari pemerintah saya juga pernah ikut mbak,
seperti pengarahan bersama yang dulu pernah diadakan di
pendhapa balaikota mbak, tentang HIV akibat pergaulan bebas
dan maraknya eksploitasi mbak…”
(Wawancara, 15 April 2012)
2.2 Sumberdaya yang Digunakan
Setiap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota pasti ada
sumberdaya manusia dan sumberdaya non-manusia yang ikut terlibat di
dalam pembuatan sebuah kebijakan tersebut. Para sikap aparatur
pemerintah di dalam proses pembuatan kebijakan tersebut, ternyata
semua mempunyai peran untuk ikut andil di dalam pelaksanaannya,
semua ikut terkait dari lembaga, pemangku kepentingan semua ikut dan
berbasis system. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi
Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti :
“…terlibat, semua ikut terlibat, dalam Perda ini semua lembaga,
pemangku kepentingan yang ada di kota Surakarta ini semuanya
dilibatkan untuk bisa memberikan sumbangan pemikiran karena
ini menjadi PR bersama di tingkat kota, apalagi ini Perdanya
lebih pada berbagai system. Perlu keberpihakan, perlu sumbang
pemikiran dari semuanya…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Hal senada juga disampaikan oleh Kasubbid Pengembangan
Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…ya itu tadi sebagai reading sektor, koordinir, menghimpun,
commit
to userprosesnya yang panjang dari awal
mengawal proses,
ya intinya
77
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rencana aksi kota sampai bisa jadi Perda, dari awal kita
mengkoordinasi semua aparat itu semua ada sistem yang
mengaturnya…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Seperti yang kita ketahui di atas, dukungan dari aparat
Pemerintah dalam pelaksanaan Perda tersebut, sikap dari aparat
pelaksana mendukung sepenuhnya dalam melaksanakan pendampingan
dan pembinaan bagi para korban eksploitasi seksual dan semua aparat
pelaksana dari berbagai SKPD ikut turut aktif dan efektif dalam
pelaksanaannya.
Seperti
yang
dikemukakan
oleh
Kasubbid
Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…iya iya semua SKPD nya aktif, misalnya dari dinas
kesehatan untuk memeriksa, BAPERMAS PP PA dan KB, terus
dari dinsosnakertrans, dispendukcapil bagian hukum, ya
terutama itu, dispora juga, sama yayasan juga buat membantu
atau memantau mereka, dibina juga, dibina dalam arti diberi
modal untuk mengeksplor bakatnya mbak, supaya ya tidak
masuk lagi ke dalam prostitusi tersebut…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Selain sumber daya manusia (aparat pemerintah), terdapat pula
sumberdaya non -manusia dan sumber dana yang digunakan dalam
pelaksanaan Perda tersebut. Sumber dana yang digunakan ternyata
masih terbatas hanya dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah) saja, khusus eksploitasi tidak ada dana dari lainnya. Seperti
yang dikemukakan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak,
Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…dana dari sini saja APBD, yang khusus eksploitasi saja,
commit
to user
tidak ada dana dari
lain-lain,
tapi nanti coba saya tanyakan sama
78
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang lain, tapi ditambah lagi dari UNICEF, karena sampai saat
ini UNICEF juga masih konsen terhadap masalah eksploitasi
seksual disini mbak, mungkin sampai fondasi kita kuat…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Sumber dana yang digunakan yang ada di dalam Perda masih
sebatas hanya pada APBD, dana dariAPBD pun juga maih sangat sdikit
dan dibantu juga kucuran dana dari UNICEF yang masih konsen dan
berkontribusi dalam masalah menangani eksploitasi seksual di kota
Surakarta. Seperti yang dikemukakan oleh Koordinator Divisi Layanan,
Ibu Sumilir Wijayanti :
“…kalau yang di Perda kemarin itu kita di bantu,kalau APBD
kan kemampuan kita kecil, maka dari itu kita di support dari
UNICEF, UNICEF itu masih konsen untuk membantu kota
Surakarta terkait dengan Perda, masih bersedia membantu
karena melihat kedepan sepertinya UNICEF juga lebih konsen
di Indonesia di wilayah timur, tapi kalau yang disini
Alhamdulillah kita masih dapat support dan berharap ini nanti
bisa sampai selesai, maksudnya ketika suatu hari nanti UNICEF
pergi, fondasi dasar kita sudah ada tinggal nanti diteruskan oleh
APBD…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Sumberdaya yang digunakan sangatlah beragam, mulai dari
sumberdaya manusia dari aparat pemerintah yang melaksanakan
pembuatan Perda, bantuan dari stakeholder yang lainnya juga, apresiasi
dari masyarakat juga, sumber dana yang digunakan dalam pelaksanaan
Perda tersebut, selain itu juga sumberdaya lain non-manusia yang
ternyata lkut berperan di dalam proses pelaksanaan, seperti artikel,
kondisi sosial budaya masyarakat, budaya informasi, alat di undangcommit to user
79
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang, mass media dll. Seperti yang dijelaskan oleh Kasubbid
Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…yang mendukung selain SDM ya mbak, pendanaan (itu
pasti), kondisi budaya juga, budaya masyarakat, ya termasuk
alat komunikasi, humas, radio itu mass media ya itu bisa juga
termasuk…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Selain yang dikemukakan oleh
Kasubbid Pengembangan
Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin HS di atas, hal lain juga
diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti :
“…ya tadi, kalo dokumennya kan tadi sudah dilihat, ada naskah
akademik, ada MOU, ada SK, kita itu sebenarnya yang potensi
luar biasa kasat mata yang tidak ternilai itu komitmen,
maksudnya ketika komitmen itu ada, banyak hal yang bisa
digerakkan, penjelasannya nanti tinggal di copy saja mbak,
semua sudah tercantum disini…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Dukungan dari masyarakat ternyata begitu antusias dalam
menanggapi pelaksanaan Perda tersebut, bahkan masyarakat ikut
berpartisipasi di dalam mendukung pelaksanaan Perda tersebut. Seperti
yang dikemukakan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak,
Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…masyarakat ikut workshop memberikan masukan disana,
kalo sudah final diajukn ke DPR. Kan ya DPR itu wakil rakyat
juga tho…dukungan dari masyarakat??contohnya?? ya
pendapat, dari masyarakat itu ditampung dulu terus nanti
dibicarakan lagi, ide-ide dalam forum workshop tadi yang
dijelaskan di atas, tingkah lakunya harus disesuaikan dengan
adanya Perda tersebut, partisipasi terhadap Perda…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
commit to user
80
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan,
Ibu Sumilir Wijayanti :
“…wooww hebat, dalam misi walikota masuk ke dalam kota
layak anak, misi ke 10 beliau itu kan ada implementasi kota
layak anak, ketika berbicara ini semua kan tergantung
perspektifnya, tidak terlepas juga partisipasi masyarakat, bahkan
80% kontribusi aktif dari masyarakat untuk mendukung Perda
ini, dari hal ini bisa jadi tolak ukur, bagaimana capaian
partisipasi masyarakat itu juga muncul, gitu, banyak kontribusi
aktif malah dari masyarakat karena menyadari ini persoalan
bersama…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Dalam kaitannya dengan dukungan dari berbagai elemen
masyarakat, serta dukungan dari sumber dana dan sumber-sumber nonmanusia, banyak sekali sumberdaya yang begitu berperan dalam
pelaksanaan Perda tersebut. Bahkan dukungan dari masyarakat juga
tidak kalah pentingnya untuk mendukung pelaksanaan Perda tersebut,
karena masyarakat juga sadar akan pentingnya Perda tersebut, dengan
harapan masalah eksploitasi dapat diselesaikan dengan baik dan tidak
menimbulkan keresahan di masyarakat. Istilah dalam masyarakat adalah
“Jemput Bola”, jadi masyarakat sendiri yang mengumpulkan massa, lalu
mereka meminta dari pihak pemerintah untuk dapat memberikan
penyuluhan dan mengisi acara yang mereka buat, seperti penyuluhan.
Respon masyarakat ini sudah cukup baik, sehingga mereka menyadari
ini sebagai persoalan bersama yang memang perlu penanganan yang
serius dari pihak pemerintah pada umumnya yang bekerjasama juga
dengan pihak swasta dan masyarakat juga. Masyarakat mengetahui
commit to user
keterbatasan pemerintah, jadi mereka “Jemput Bola”.
81
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.3
Hubungan Antar Organisasi
Dalam proses implementasi setiap kebijakan, tidak dapat
maksimal dalam prosesnya apabila tidak terkait dengan beberapa pihak
pemangku kepentingan yang sama. Hubungan antar organisasi sangat
diperlukan guna mendukung pelaksanaan Perda tersebut. Dukungan dari
instansi-instansi lain atau lembaga-lembaga yang bekerjasama dengan
Pemerintah ternyata cukup banyak. Baik secara tim dari dinas-dinas
pemerintah yang lainnya seperti Dinsos, Satpol PP dll. Serta dari
lembaga swasta atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), seperti
Yayasan KAKAK, Yayasan Sari, ATMA, SPEK-HAM, Sahabat Kapas,
YKP, LPK Bina Bakat dll. Banyaknya kerjasama dengan para lembagalembaga swasta tersebut, memang diharapkan dapat membantu kinerja
pemerintah dalam menangani permasalahan ESKA di kota Surakarta ini.
Kerjasama antar lembaga baik pemerintah maupun swasta dalam
beberapa kegiatan yang dilakukan dalam hal Pendampingan dan
Pembinaan korban-korban eksploitasi seksual komersial anak, terdapat
beberapa cara ataupun output dari kebijakan atau kegiatan atau program
yang dilakukan oleh badan-badan pelaksana tersebut. Program-program
serta layanan yang digagas oleh pemerintah termuat di dalam SOP
(Standar Operasional Prosedur). Nama programnya adalah Fasilitasi
Upaya Perlindungan Perempuan Terhadap Tindak Kekerasan, yang
sesuai dengan Permendagri. Keseluruhan program tersebut sama,yang
melindungi perempuan dan tentunya anak, yang membedakan nantinya
commit to user
82
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah rincian-rincian kegiatan yang akan dilakukan dalam upaya
Pendampingan dan Pembinaan korban eksploitasi seksual tersebut,
karena dalam hal pendampingan dan pembinaan juga berbeda. Dalam hal
pendampingan lebih terfokus secara recovery individual, sedangkan
untuk pembinaan lebih mengembangkan resources atau kerjasama dalam
hal peningkatan atau pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan yang
ikut membantu pemerintah, tetapi dengan upaya masing-masing dari
berbagai pihak. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi
Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti :
“…kalau nama programnya itu fasilitasi upaya perlindungan
perempuan terhadap tindak kekerasan, di dalamnya ada anak, ini
sesuai dengan permendagri yang terkait dengan kebijakan tadi,
tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang berada di
atasnya, program itu yang memayungi pelaksanaan implementasi
di kota Surakarta…”
(Wawancara 14 februari 2012)
Seperti yang diungkapakan oleh Koordinator Program untuk
Bidang Perlindungan Anak dari Yayasan KAKAK (Kepedulian untuk
Konsumen Anak), Ibu Rita Hastuti :
“…kalau program memang banyak dari pemerintah mbak, tapi
bukan berarti kita tidak punya program sendiri, kita disini juga
punya programnya mbak, tapi ya beda tidak sama dengan
pemerintah, karena kita dari swasta, pendampingan dan
pembinaan yang kita berikan juga nantinya berguna bagi anakanak korban ESKA, mereka seperti ada tempat curhat, tempat
bermain, ya istilahnya kita disini sebagai pendamping mereka…”
(Wawancara 8 Maret 2012)
commit to user
83
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari kebijakan pemerintah, terdapat program fasilitasi upaya
perlindungan perempuan terhadap tindak kekerasan, yang di dalamnya
mencakup upaya perlindungan dan pembinaan bagi anak-anak yang
menjadi korban eksploitasi. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator
Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti :
“…kalau pendampingan itu lebih pada recovery yang
bersangkutan kepada individual, kalau pembinaan itu lebih pada
bagaimana kita mengembangkan resources yang ada baik dalam
kelembagaan maupun terkait dengan potensi yang ada…”
(Wawancara 14 Februari 2012)
Seperti yang diungkapkan oleh Diah (nama samaran 15
tahun), bahwa :
“…saya memang dulu sempat mendapat pengarahan ketika saya
diajak main-main ke suatu LSM gitu mbak, yang saya tau
yayasan KAKAK, saya memang merasa diperhatikan,
dilindungi juga, didampingi juga dll mbak…”
(Wawancara, 15 April 2012)
Pendampingan dan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah
masuk ke dalam SOP (Standar Operasional Prosedur) yang di dalamnya
mencakup seluruh kegiatan yang dilakukan pemerintah dan hubungan
pemerintah dengan lembaga lain yang terkait dengan penanggulangan
eksploitasi terhadap anak baik dengan lembaga pemerintah yang lainnya
maupun dengan lembaga swasta yang terkait. Kerjasama banyak
dilakukan baik dengan pemerintah maupun dengan lembaga luar
pemerintah. Seperti yang diungkapakan oleh Koordinator Divisi
Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti :
commit to user
84
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“…kita membangun kemitraan atau kerjasama dengan
pemangku
wilayah,
misalnya
kecamatan,
kalurahan,
memberdayakan masyarakat biar bisa turut andil, organisasi
yang ada di wilayah yang terkait dengan kita disini, sehingga
semua bisa melakukan upaya terkait dengan peran kewenangan
masing-masing, tidak cuma SKPD tapi semua lembaga yang
bersangkutan, diharapkan layanan yang dibutuhkan oleh para
korban tersebut dapat diberikan dengan baik…”
(Wawancara 14 Februari 2012)
Dukungan
dari
masyarakat
juga
sangat
mempengaruhi
bagaimana kebijakan ini dapat terimplementasikan dengan baik. Respon
masyarakat ternyata cukup bagus, sehingga dapat membantu pemerintah
juga. Walaupun mungkin pemahaman masyarakat terbatas tentang hal
seperti itu, karena anggapan masyarakat hal tersebut menjadi urusan
pribadi atau domerstik. Tapi hal tersebut kini sudah tidak bisa dianggap
sepele atau biasa karena ini sudah dilindungi undang-undang. Hal
tersebut Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu
Sumilir Wijayanti :
“…alhamdulillah sampai sekarang dukungan masyarakat cukup
bagus, karena mengingat permasalahan ini sangat dekat di
lingkungan masyarakat. Membangun kepedulian dengan
masyarakat karena pemahaman mareka kan yang terbatas seperti
itu…”
(Wawancara 14 Februari 2012)
Bulan januari tahun kemarin ada 6 laporan dari masyarakat
terkait dengan tindak pelanggaran pada anak-anak, salah satunya melapor
via telefon. Kebanyakan mereka yang melapor datang sendiri dan di
dampingi atau di bantu oleh LSM yang terkait, sedangkan pada bulan
to user
November ada 7 orang commit
lagi yang
melapor. Setiap aduan yang diterima
85
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh pemerintah, dilihat permasalahannya seperti apa baru ditangani
terkait dengan masalah yang dihadapinya. Masalah yang dihadapi oleh
anak tersebut sebisa mungkin tidak akan sampai pada proses pengadilan
atau hukum, karena pada dasarnya anak tetap akan dipandang sebagai
korban sehingga perlu mendapat pendampingan dan pembinaan dari
pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait. Bulan januari yang lalu
ada 4 kasus anak yang tidak sampai putus pengadilan, jadi dikembalikan
ke keluarga.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan cara bercermin
atau melihat keadaan sekitar tersebut, ternyata memang mendapat respon
yang positif dari berbagai lapisan masyarakat. Penanganan yang
diberikan oleh pemerintah juga sesuai dengan laporan yang diberikan
oleh masyarakat yang melapor. Seperti yang diungkapkan oleh
Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti :
“…alhamdulillah yang melapor mendapatkan penanganan
seperlunya dengan apa yang dia butuhkan, kita menangani yang
datang melapor, kalau tidak ada yang lapor dan kita sok-sokan
membantu malah kita bisa di lapor balik…”
(Wawancara 14 Februari 2012)
Kerjasama antar lembaga pemerintah, maupun lembaga swasta
tertentu tersebut tidak sepenuhnya diatur di dalam Perda, melainkan
pemerintah hanya mau bekerjasama dengan LSM yang mempunyai
kepentingan dan tujuan yang sama di dalam pelaksanaannya. Dengan
banyaknya kerjasama yang dijalin pemerintah dengan lembaga lainnya
commit to user pelaksanaan Perda tersebut.
diharapkan mampu memaksimalkan
86
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kerjasama yang dijalin sangat beragam dari lembaga pemerintah
maupun non-pemerintah. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid
Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…iya, dengan LSM nya ya KAKAK, terus LSM Sari, ATMA,
SPEK-HAM, KIPAS (Komite Independen Anak Surakarta) itu
yang dari swasta, dari tokoh masyarakat juga ada, dari
pemerintah kita meninjau daerah atau studi banding ke
pemerintah lainnya, ya pokoknya banyak mbak…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan,
Ibu Sumilir Wijayanti :
“…kalau perda tadi kan kita masih finalisasi , terus kalau yang
di perwali kan sudah jelas dimaksud, siapa melakukan apa.
Dalam bekerjasama dengan yayasan kita ada yayasan LSM itu
banyak sekitar 11 di solo itu ada yang konsen persoalan
perempuan, ada yang konsen persoalan anak, misalnya kalo
KAKAK itu kan konsennya lebih ke arah pendampingan para
korban ke ESKA, kalo ATMA itu konsennya di ABH (Anak
Berkebutuhan Khusus), sahabat KAPAS juga di ABH, terus
kalo SPEK-HAM itu konsennya terhadap perempuan dll,
banyak kita dapat support sebenarnya dalam bekerjasama…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Program untuk
Bidang Perlindungan Anak dari Yayasan KAKAK (Kepedulian untuk
Konsumen Anak), Ibu Rita Hastuti :
“…pemerintah bisanya dengan bapermas, tapi bapermas disini
PT PAS ya, kita biasanya koordinasi dengan PT PAS, misalnya
untuk kasus ESKA gitu mbak, karena kita juga merupakan salah
satu LSM yang sangat konsen di bidang anak yang terlebihlebih menjadi korban ESKA tersebut, ya porsi kita di
pemerintah lebih banyak daripada LSM lain yang sebenarnya
juga sejenis menangani permasalahan ini mbak...”
(Wawancara 8 Maret 2012)
commit to user
87
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.1
kegiatan workshop penguatan kapasitas Anggota PT PAS di
kota surakarta :
Sumber : BAPERMAS PP, PA dan KB
Kerjasama atau hubungan dengan organisasi lainnya, seperti
yang sudah diatur di dalam Perjanjian Kerjasama antar lembaga yaitu
bekerjasama dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)
commit to user
Polresta Surakarta, Dinas Kesehatan Kota Surakarta, Puskesmas se Kota
88
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Surakarta, Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi
Manusia (SPEKHAM), Advokasi Transformasi Masyarakat (ATMA),
Yayasan KAKAK, Social Analysis Research Institute (SARI), Kapas
Surakarta, Yayasan Talenta dan masih banyak lagi, ternyata semua tidak
sepenuhnya diatur di dalam Perda tersebut, walaupun juga sudah ada dan
diatur di dalam MOU yang sifatnya keberlanjutan, akan tetapi dalam
memilih partner untuk bekerjasama, pemerintah hanya melakukan
kerjasama
dengan
lembaga-lembaga
tersebut
yang
mempunyai
kepentingngan yang sama dan tujuan yang sama dengan pelaksanaan
Perda tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Koordinator Divisi Layanan,
Ibu Sumilir Wijayanti :
“…sudah, diatur juga di dalamnya, kita masuk ke dalam pasal.
MOU itu kan bisa jadi periodik waktunya, tetapi ketika ini
masuk ke dalam perda kan, keberlanjutan serta payung
hukumnya kan lebih jelas…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Ternyata tidak sepenuhnya bahwa kerjasama antar lembaga
tersebut diatur di dalam Perda tersebut, karena dalam memilih kerjasama
dengan pihak manapun, pemerintah harus memilih yang sesuai dengan
kepentingan dari LSM yang saling berhubungan dengan tujuan Perda
dari pemerintah tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh Kasubbid
Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…kita memilih yang sesuai dengan kepentingan saja, tapi juga
sudah diatur juga di RAK (Rencana Aksi Kota), kalau tidak ada
kepentingan yang sama nanti kedepannya juga susah…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
commit to user
89
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hubungan pemerintah dengan pihak lain di dalam proses
pelaksanaan Perda tersebut, ternyata mempunyai tujuan yang sama
dalam artian saling menguntungkan satu sama lain dengan tujuan yang
sama pula. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan
Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…kerjasama untuk satu tujuan yang sama, ini pihak kita juga
baru sosialisasi ke berbagai tempat, terutama ke sekolahsekolah, tujuan yang sama dengan LSM itu, tujuan untuk
melindungi anak, seperti KAKAK itu cocok banget kalau di
buat untuk mengatasi masalah ESKA, kiat dari pihak
pemerintah juga mengadakan workshop gitu mbak dari beberapa
SKPD yang terkait juga, selain yayasan KAKAK juga ada LSM
lain yang sejenis mbak, jadi kita semua ini disini bekerjasama,
kepentingan yang sama juga…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Dampak kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah juga
dirasakan oleh Wulan (nama samaran, 17 tahun) anak jalanan di
belakang stasiun balapan :
“…aku pernah diajak teman masuk ke yayasan gitu, tapi aku
gak mau mbak, lhah aku mikirnya buat apa toh aku juga uda
rusak kaya gini tapi tak pikir-pikir ya gak ada salahnya coba,
ternyata disana enak juga mbak, aku kayak diperhatiin gitu,
terus lama-lama ada kegiatan disana, ada ketrampilan ada dana
juga untuk ngembangin ketrampilan yang aku punya, aku bisa
jahit mbak, itu juga di kasih modal mbak, jadi intinya aku
dikasih modal untuk kedepan lebih baik lagi, enggak kerja
kaya begitu lagi mbak…”
(Wawancara, 15 April 2012)
commit to user
90
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.2
Kegiatan Workshop Evaluasi Gugus Tugas Penghapusan
ESKA di Kota Surakarta :
Sumber: BAPERMAS PP, PA dan KB
commit to user
91
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi
Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti :
“…saling menguntungkan, MOU tadi kan sebagai payung
hukum kita, disepakati menjadi kesepakatan bersama, menjadi
tujuan bersama, punya visi punya misi, punya mekanisme,
punya SOP itu yang menjadi kiblatan untuk rulenya seperti itu
mbak…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Menggabungkan
beberapa
lembaga
guna
melaksanakan
kerjasama memanglah tidak mudah, terkadang bahkan sering terdapat
perbedaan pendapat yang sedikit banyak ikut menghambat proses
pelaksanaan Perda tersebut. Ternyata memang sering beda pendapat,
akan tetapi setiap lembaga pemerintah maupun LSM yang terkait,
semuanya harus saling mengerti apabila terjadi beda pendapat. Seperti
yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak,
Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…malah sering beda pendapat, tapi yang dilakukan ya kita
saling pengertian, diselesaikan bersama, ya misalnya menjaring
anak kalau dari kepolisian kan dijaring, kalau dari LSM kan
tidak boleh, dikumpulkan dulu terus dibina, tidak boleh digaruk
kaya orang-orang tua begitu, ya alasannya tidak boleh karena
anak-anak itu masih di bawah umur juga mbak, itu kebanyakan
seperti itu, kan ya kasihan juga, mereka lebih ke arah yang
menjadi korban…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Seperti yang diungkapkan oleh Adit 15 Tahun, anak jalanan
yang biasanya berubah-ubah tempat mencari rejeki :
“...Satpol pp kadang juga ada yang baik sama yang enggak baik
mbak, polisi juga masuk ke yang enggak baik, satpol pp
commit to user
92
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjaring terus ditanyain alamatnya mana, kalau baik ya
kadang dikasih makan juga…”
(Wawancara, 11 April 2012)
Ternyata memang tidak mudah dalam menggabungkan beberapa
lembaga untuk bekerjasama, walaupun mereka sebenarnya mempunyai
tujuan yang sama. Beberapa indikasi kasus yang sulit untuk diselesaikan
bersama memang menjadi masalah utama, dan harus ada koordinasi
dengan lembaga yang terkait dan dari pihak pemerintah yang akan
memfasilitasi, siapa yang akan di undang, yang akan terlibat. Seperti
yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir
Wijayanti :
“…misalnya ada indikasi penanganan kasus yang sulit, itu harus
ada koordinasi. Nanti kita yang memfasilitasi siapa-siapa yang
diundang, siapa-siapa yang terlibat, nanti eksplorasi informasi
bagaimana, itu yang menjadi pijakan kita dalam
menyelesaikannya…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Kesimpulan dari hubungan antar organisasi ini, dirasa cukup
saling bekerjasama dan saling berkoordinasi untuk pendampingan dan
pembinaan anak koban ESKA yang dilakukan oleh pemerintah, karena
juga tujuan dari kerjasama yang dilakukan tersebut juga dalam lingkup
satu tujuan yang sama. Pemerintah maupun pihak swasta juga tidak luput
mengalami kendala dalam bekerjasama, seperti perslisihan anatar para
aparat, walaupun begitu ternyata juga tidak menghalangi kerjasama tetap
berjalan.
commit to user
93
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.4 Karakteristik Agen Pelaksana
Setiap aparat pelaksana kebijakan pasti memiliki kerakteristik
sendiri-sendiri mulai dari struktur birokrasi, norma-norma yang yang ada
dalam dinas yang bersangkutam dan juga pada pola hubungan dalam
dinas yang akan sangat mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan
penanggulanagn eksploitasi seksual komersial terhadap anak.
Dalam struktur birokrasi jabatan tertinggi pada BAPERMAS
PA, PP dan KB dipegang oleh kepala tertinggi dan selanjutnya untuk
pembagian tugas dibagi secara merata berdasarkan masing-masing
bidangnya. Dalam setiap bagian dan bidang memiliki pegawai latar
belakang pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, kompetensi
yang dimilikinyapun berbeda-beda juga antara pegawai yang satu
dengan pegawai yang lainnya. Adanya ketidakseimbangan kompetensi
diantara pegawai harus diatasi dengan diklat dan pelatihan-pelatihan.
Selain itu ternyata dalam pembagian tugas bagi aparat-aparat pelaksana
di bawah aturan atau payung hukum yang berlaku. Seperti yang
diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak
Drs. A. Fahrudin, HS :
“…kita kan bekerjasama gitu ya mbak, jadi masalah pembagian
tugasnya kita memakai payung hukum, ada surat tugas juga dari
Walikota. Ada rencana kerja juga itu namanya, itu sesuai
dengan tugas pokok kita masing-masing, Tupoksi seperti itu
mbak…”
(Wawancara 5 januari 2012)
commit to user
94
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal senada juga diunkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan,
Ibu Sumilir Wijayanti :
“…kita semua disni seperti mata rantai kerja, dimana sub bidang
yang satu walaupun beda tugas secara gamblang tetapi kita
masih menjadi mata rantai gitu mbak, dan tetap ada payung
hukumnya untuk menaungi smua yang ada di bawahnya seperti
itu…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, tentunya ada normanorma yang mengatur semua aturan-aturan kerja bagi para pegawai
pemerintah itu sendiri. Bahkan menaati aturan merupakan kewajiban dan
harga mati pagi aparat pelaksana kebijakan. Kalaupun mereka membuat
aturan sendiri, pelaksanaan kebijakan ya tidak bisa jadi. Seperti yang
diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak
Drs. A. Fahrudin, HS :
“…ya harus, kalau ndak ditaati ya ndak bisa jalan, membuat
aturan sendiri itu ya tidak jadi. Kalau rapat molor ya kadang
wajar. Ya paling kalau masalah sanksi, tahap awal ya kita Cuma
mengingatkan saja gitu mbak, ya karena masih pekewuh…
(Wawancara 5 januari 2012)
Dalam melaksanakan suatu implementasi kebijakan tentunya
akan saling berhubungan atau terkait dengan beberapa aparat pelaksana
dalam menjalankan tugas masing-masing. Bahkan hubungan antar
personal dalam suatu dinas tersebut dapat dikatakan sebagai keluarga,
dikarenakan hubungan yang sangat dekat karena tugas yang saling
berkaitan atau berhubungan satu sama lain, serta dalam pelaksanaan
commit to itu
user
tugas atau dalam hal bekerjasama
juga dapat dipertanggungjawabkan
95
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hasilnya. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan
Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…katakanlah membuat suatu program gitu ya sampai lemburlembur gitu, ya dapat dipertanggungjawabkan karena kita ambil
atau merekrut pegawai gitu kan yang ahli di bidangnya
gitu,kalau ada masalah ya diselesaikan lagi sama-sama gitu…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu
Sumilir Wijayanti :
“…membuat program kan memang lama mbak, terus juga tidak
gampang jadi kan memang dibutuhkan pengertian dari berbagai
pihak untuk saling membantu dan mengerti…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Dari keterangan tersebut di atas nampak bahwa implementasi
kebijakan penanggulangan ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak)
di kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan dengan baik sesuai dengan
tujuan awal dari implementasi tersebut, karena masih sulitnya dari pihak
pemerintah untuk menjangkau anak-anak yang menjadi korban
eksploitasi seksual tersebut, karena kurangnya keterbukaan atau masalah
tersebut menjadi maslah yang rawan. Kurang terbukanya atau seperti
fenomena gunung es yang hanya terlihat segelintir, akan tetapi ternyata
sungguh banyak di bawahnya, hal membuat pemerintah kesulitan
memberikan penyelamatan atau perlindungan bagi mereka.
commit to user
96
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.5 Disposisi Implementor
Dalam
pelaksanaan
Perda
tentang
implementasi
penanggulangan ESKA di kota Surakarta ini sendiri melibatkan seluruh
komponen atau stakeholder yang berkepentingan di dalamnya. Aparat
pelaksana atau implementor dari sebuah kebijakan tersebut, haruslah
mampu atau memahami seluk beluk dibuatnya kebijakan atau perda
tersebut guna mengatasi masalah yang ada di masyarakat. Respon aparat
pemerintah harus terlebih dahulu diketahui, karena respon tersebut akan
dapat
mempengaruhi
kemauan
aparat
pelaksana
untuk
dapat
melaksanakan implementasi penanggulangan ESKA di Surakarta.
Selama ini respon dari aparat pelaksana cukup baik dan mendukung
pelaksanaan perda no 3 tahun 2006 tersebut. Seperti yang diungkapkan
oleh Kasubbid Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A.
Fahrudin, HS :
“…respon dari para aparat ya cukup baik, merespon memang
dan melaksanakan tugas sesuai dengan tugas yang diberikan,
karena mereka juga merasa dituntut untuk mampu
melaksanakan tugas sebagai tanggung jawab mereka, seperti itu
mbak…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan,
Ibu Sumilir Wijayanti :
“…iya mbak, semua itu bekerja berdasarkan tugas yang
diberikan. Respon juga baik dari para aparat, karena ya mereka
para aparat itu pekerjaannya yang memang harus seperti itu,
dalam arti pekerjaan mereka sesuai dengan kemampuan dan
tanggung jawab mereka mbak…”
commit to
user
(Wawancara 6 Januarai
2012)
97
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Respon yang positif dari masyarakat juga harus diikuti dengan
pemahaman
dari
para
aparat
pelaksana
tentang
implementasi
penanggulangan ESKA di kota Surakarta ini. Pemahaman dari setiap
aparat tentu tidaklah sama, yang membedakan adalah latar belakang
atau tingkat pendidikan yang berbeda-beda dari para aparat pelaksana
tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Kasubbid Pengembangan
Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…ya setiap pekerja atau aparat itu ya berbeda mbak tugasnya,
itu tergantung dari kemampuan tiap-tiap aparat pelaksana, kan
ya ada dari SMA, D3, S1, S2, jadi itu yang membuat berbeda
dalam hal pendampingan dan pembinaan tersebut ya harus
mencari aparat yang benar-benar tau apa yang harus diperbuat
mbak, karena kita disini tidak main-main kalau mengerjakan
tugas, karena juga ini menyangkut masa depan anak-anak
juga…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Hal lain juga diungkapkan oleh Koordinator Divisi Layanan, Ibu
Sumilir Wijayanti :
“…tugas yang diberikan berbeda mbak, itu tergantung dengan
tingkat pendidikan masing-masing para aparat. Tapi sejauh ini
hal tersebut juga tidak menjadi suatu masalah yang besar, karena
semua saling bekerjasama, jadi ya saling bantu satu sama lain,
kalaupun tingkat pendidikan lebih rendah ya itu juga
disesuaikan dengan tugasnya seperti itu…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Selain hal respon serta pemahaman dari para implementor,
ternyata
intensitas
dari
para
aparat
pelaksana
dalam
mengimplementasikan penanggulangan ESKA di kota Surakarta juga
ikut mempengaruhi aktif atau tidaknya implementasi tersebut. Intensitas
commit to user
98
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditunjukkan oleh para aparat pelaksana dengan aktifnya mereka untuk
mendukung program pendampingan dan pembinaan. Intensitas yang
kontinyu serta dipantau terus membuat proses implementasi juga
berjalan dengan baik dan lancar. Seperti yang diungkapkan oleh
Koordinator Divisi Layanan, Ibu Sumilir Wijayanti :
“…dari pelaksanaan implementasi tersebut memang ada target
atau waktunya mbak, jadi gini, semua diatur dan tugas juga
dilakukan secara bertahap gitu, jadi kontinyu dan intensitasnya
juga runtut gitu…”
(Wawancara 6 Januari 2012)
Hal
yang
senada
juga
disampaikan
oleh
Kasubbid
Pengembangan Perlindungan Anak, Bapak Drs. A. Fahrudin, HS :
“…target pasti ada, itu ya seperti ada batasan waktu, kalau tidak
begitu ya jadinya nanti semua aparat jadi seenaknya sendiri
mbak, tidak tepat waktu itu malah jadi nambah-nambah biaya
juga, nambah waktu, menggangu pekerjaan yang lainya juga
mbak…”
(Wawancara 5 Januari 2012)
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa respon dari aparat
cukup baik dan memang turut mempengaruhi jalannya implementasi
penanggulangan ESKA di Surakarta. Respon yang diberikan oleh para
aparat cukup baik dengan melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan
baik dan tanggung jawab. Adanya pegawai dengan latar belakang
pendidikan
juga
akan
turut
mempengaruhi
implementasi
penanggulangan ESKA di Surakarta, terlebih dengan adanya pegawai
dengan latar belakang pendidikan yang berbeda tentunya juga ikut
commit Perda
to user no 3 Tahun 2006 tersebut.
mempengaruhi pelaksanaan
99
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kekurangpahaman pegawai yang berkompetensi kurang baik akan dapat
ditutupi oleh kerjasama tim yang baik dari masing-masing bidang dalam
menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan bidang masingmasing. Dengan adanya respon yang baik terhadap pendampingan dan
pembinaan para korban ESKA juga akan membawa pengaruh terhadap
intensitas
aparat
pelaksana
dalam
mengimplementasikan
penanggulangan ESKA di Surakarta, intensitas dari pegawai yang selalu
aktif dalam mendukung pelaksanaan penanggulangan ESKA di
Surakarta disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawabnya sehingga
masih berjalan sesuai dengan tupoksinya.
commit to user
100
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel B.6
Matrik Penilaian Fackor-faktor dalam Proses Implementasi Penanggulangan
Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta
pada 5 Indikator
Indikator Penilaian
Pelaksanaan
Standar dan Sasaran Standar dan sasaran kebijakan sudah ditetapkan dalam
Perda dan berkiblat pada undang-undang di atasnya,
Kebijakan
dikarenakan dalam pembuatan standar dan sasaran tersebut
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di
atasnya. Dari standar dan sasaran kebijakan tersebut dinilai
dari program-program dari tiap SKPD yang berbeda-beda,
sosialisasi dari pemerintah dalam hal pendampingan dan
pembinaan. Penilaian kinerja dari dari beberapa aparat
yang terlibat sudah tercakup di dalam SOP.
Sumber Daya
Hubungan
Organiaasi
Karakteristik
Pelaksana
• Banyak yang terlibat semua pemangku kepentingan dalam
penanggulangan ESKA di Surakarta dalam hal
pendampingan dan pembinaan
• Dana berasal dari APBD, walaupun dapat tambahan dana
juga dari UNICEF yang sampai saat ini masih
berkompeten membantu menangani masalah eksploitasi
seksual di Surakarta
• Sumber daya non-manusia yang digunakan seperti kondisi
budaya juga yang mendukung, humas, alat komunikasi,
dokumen-dokumen, naskah akademik
Antar Hubungan antar organisasi termuat di dalam SOP tersebut
berjalan dengan baik, karena adanya mata rantai atau
koordinasi yang baik dari semua pihak. Apabila terjadi atau
tercipta
ketidaksepakatan
antar
organisasi
yang
bekerjasama, diselesaikan dengan jalan musyawarah dan
dicari jalan tengahnya.
Agen Karakteristik agen pelaksana berdasarkan pembagian tugas
dari masing-masing aparat pelaksana dalam bidang masingmasing untuk penanggulangan eskploitasi seksual
komersial terhadap anak-anak di Surakarta dalam
pendampingan dan pembinaan. Aturan-aturan yang termuat
di dalam pelaksanaan kegiatan berdasarkan hukum dan
tupoksi yang berlaku. Para aparat pemerintah saling
bekerjasama, walaupun banyak kendala tetapi semua
dimusyawarahkan. Apabila ada aparat pemerintah yang
melanggar, akan tetap diberi sanksi.
commit to user
101
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Disposisi
Implementor
Respon yang diberikan oleh aparat pelaksana sudah cukup
baik sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Walaupun juga adanya perbedaan latar belakang
pendidikan antar pegawai, tetapi hal tersebut tidak
mempengaruhi jalannya implementasi penanggulangan
ESKA di Surakarta. Intensitas para aparat juga kontinyu
dan berjalan dengan lancar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
umum,
pada
dasarnya
pelaksanaan
implementasi
penanggulangan eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak di kota
Surakarta sudah berjalan dengan cukup baik. Menurut Perda nomor 3 tahun
2006 tentang penanggulangan ESKA di kota Surakarta sendiri diharapkan
mampu memecahkan masalah tersebut yang sudah seperti fenomena gunung
es, hanya sedikit yang nampak di permukaan, akan tetapi di dasarnya sangat
banyak sekali. Pendampingan dan pembinaan yang dilakukan oleh
pemerintah, memang sangat diharapkan mampu menekan angka eksploitasi
pada anak-anak, terutama anak-anak jalanan yang rentan terhadap hal
tersebut.
Walaupun pelaksanaan implementasi penanggulangan ESKA di
kota Surakarta sudah cukup signifikan, namun masih terdapat pula
permasalahan yang terjadi atau yang menghambat proses implementasi
penanggulangan ESKA.
Indicator yang dinilai kurang mendukung dari
implementasi tersebut adalah sumber daya. Akan tetapi tidak semua point di
dalam sumber daya tidak mendukung, hanya saja dalam hal masalah dana
yang digunakan. Dana APBD yang digunakan memang tidak sepenuhnya
mampu, karena dana dari APBD memang diakui pemrintah sangat minim
commit to user
102
103
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau kecil, sehingga dari pihak pemerintah sendiri sampai sekarang ini
masih mendapat support dari UNICEF masalah pendanaan.
Indicator
yang
digunakan
untuk
meneliti
implementasi
penanggulangan ESKA, hampir semuanya mampu atau berhasil, walaupun
ada point-point di dalam indicator yang tidak berhasil. Indicator yang
menjadi factor pendorong, yaitu :
a.
Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar dan sasaran dari penanggulangan ESKA di kota Surakarta
sendiri dapat dinilai sudah cukup baik, karena dari pihak BAPERMAS
PP, PA dan KB sendiri juga membuat standar kebijakan tersebut
berdasarkan isu-isu dan pengaduan dari masyarakat secara langsung.
Dari standar dan sasaran kebijakan terdapat alur, yaitu melalui rencana
aksi kota (RAK), mensosialisasikan program-programnya, setiap
SKPD berbeda tupoksinya.
b.
Sumber Daya yang Digunakan
Dalam hal ini sumber daya yang digunakan berupa sumber daya
manusia dan non-manusia. Para aparatur pemerintah semua terlibat
dalam sumbang pemikiran dalam hal pendampingan dan pembinaan
untuk menanggulangi kasus ESKA di Surakarta. Sumber daya nonmanusia
yang
digunakan
berupa
dokumen-dokumen,
naskah
akademik, mass media (alat komunikasi) dan yang paling abstrak
adalah komitmen dari tiap aparat pemerintah tersebut.
commit to user
104
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Hubungan Antar Organisasi
Dalam bekerja sama, pemerintah menunjuk beberapa organisasi atau
lembaga dari swasta maupun dari pemerintah yang sesuai dengan
bidang yang ditanganinya. Sejauh ini hubungan antar organisasi juga
cukup berjalan dengan baik, saling mengisi dan bekerjasama. Dalam
hal pendampingan dan pembinaan, sebagian besar dilakukan oleh
lembaga-lembaga swasta yang menangani anak-anak korban ESKA.
d.
Karakteristik Agen Pelaksana
Aparat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya sudah cukup baik.
Penempatan pegawai yang sesuai dengan komptensinya juga sudah
mampu menempatkan. Semua aparat juga harus menaati tata aturan
yang dibuat, karena tidak bisa aparat sembarangan dalam mengemban
tugas, dan tidak bisa mempunyai wewenang yang penuh apabila itu
merugikan sasaran.
e.
Disposisi Implementor
Respon yang diberikan oleh aparat pelaksana sudah cukup baik sesuai
dengan tugas dan tanggung jawabnya. Walaupun juga adanya perbedaan
latar belakang pendidikan antar pegawai, tetapi hal tersebut tidak
mempengaruhi jalannya implementasi penanggulangan ESKA di Surakarta.
Intensitas para aparat juga kontinyu dan berjalan dengan lancar.
commit to user
105
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B.
Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka ada
beberapa saran dalam penanggulangan eksploitasi seksual komersial anak di
kota Surakarta :
1. Pendampingan dan pembinaan para korban (anak-anak) eksploitasi
seksual komersial di kota Surakarta sebaiknya tidak sepenuhnya
dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta yang khusus menangani
ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak), akan tetapi
pemerintah juga turut serta, seperti halnya sosialisasi.
2. Usulan dana dari Pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat
untuk menambah dana dari APBN.
3. BAPERMAS PP, PA dan KB diharapkan mempunyai dokumendokumen tentang sosialisasi, penyuluhan-penyuluhan tentang
bahayanya ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) yang
lebih
banyak
lagi
terhadap
implementasi
penanggulangan
eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak di kota Surakarta.
4. Diharapkan Pemerintah lebih mengamati fenomena ESKA
(Eksploitasi Seksual Komersial Anak) yang sekarang ini sedang
marak di kota Surakarta.
commit to user
Download