perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB IV

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi
1. Sejarah Palang Merah Internasional
Sejarah lahirnya gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional
adalah pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino, Italia Utara, pasukan Perancis
dan Italia sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu peperangan
yang mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda warganegara Swiss,
Henry Dunant, berada di sana dalam rangka perjalanannya untuk menjumpai
Kaisar Perancis, Napoleon III. Puluhan ribu tentara terluka, sementara bantuan
medis militer tidak cukup untuk merawat 40.000 orang yang menjadi korban
pertempuran tersebut. Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry
Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengerahkan
bantuan untuk menolong mereka.
Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke Swiss, dia menuangkan
kesan dan pengalaman tersebut kedalam sebuah buku berjudul “Kenangan dari
Solferino”, yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant
mengajukan dua gagasan. Pertama, membentuk organisasi kemanusiaan
internasional , yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk
menolong para prajurit yang cedera di medan perang. Kedua, mengadakan
perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang
commit to user
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
serta perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada waktu memberikan
pertolongan pada saat perang.
Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan
Henry Dunant untuk mengembangkan gagasan pertama tersebut. Mereka
bersama-sama membentuk “Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang
cedera”, yang sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah atau
International Committee of the Red Cross (ICRC). Dalam perkembangannya
kelak untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan di setiap negara maka
didirikanlah organisasi sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis
angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut yang sekarang
disebut Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.
Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa
pemerintah federal Swiss diadakan Konferensi Internasional yang dihadiri
beberapa negara untuk menyetujui adanya “Konvensi perbaikan kondisi prajurit
yang cedera di medan perang”. Konvensi ini kemudian disempurnakan dan
dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 atau juga
dikenal sebagai Konvensi Palang Merah . Konvensi ini merupakan salah satu
komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan
internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang.
2. Sejarah Palang Merah Indonesia
Berdirinya Palang Merah di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak
commit to user
masa sebelum Perang Dunia Ke-II. Saat itu, tepatnya pada tanggal 21 Oktober
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1873 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Palang Merah di Indonesia dengan
nama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai), yang kemudian dibubarkan
pada saat pendudukan Jepang.
Perjuangan untuk mendirikan Palang Merah Indonesia sendiri diawali
sekitar tahun 1932. Kegiatan tersebut dipelopori oleh Dr. RCL Senduk dan Dr
Bahder Djohan. Rencana tersebut mendapat dukungan luas terutama dari kalangan
terpelajar Indonesia. Mereka berusaha keras membawa rancangan tersebut ke
dalam sidang Konferensi Nerkai pada tahun 1940 walaupun akhirnya ditolak
mentah-mentah. Terpaksa rancangan itu disimpan untuk menunggu kesempatan
yang tepat. Seperti tak kenal menyerah, saat pendudukan Jepang, mereka kembali
mencoba untuk membentuk Badan Palang Merah Nasional, namun sekali lagi
upaya itu mendapat halangan dari Pemerintah Tentara Jepang sehingga untuk
kedua kalinya rancangan itu harus kembali disimpan.
Tujuh belas hari setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,
yaitu pada tanggal 3 September 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah
untuk membentuk suatu badan Palang Merah Nasional. Atas perintah Presiden,
maka Dr. Buntaran yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Kabinet I, pada tanggal 5 September 1945 membentuk Panitia 5 yang
terdiri dari: dr R. Mochtar (Ketua), dr. Bahder Djohan (Penulis), dan dr Djuhana,
dr Marzuki, dr. Sitanala (anggota). Akhirnya Perhimpunan Palang Merah
Indonesia berhasil dibentuk pada 17 September 1945 dan merintis kegiatannya
commit to user
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melalui bantuan korban perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia dan
pengembalian tawanan perang sekutu maupun Jepang.
Oleh karena kinerja tersebut, PMI mendapat pengakuan secara
Internasional pada tahun 1950 dengan menjadi anggota Palang Merah
Internasional dan disahkan keberadaannya secara nasional melalui Keppres No.25
tahun 1959 dan kemudian diperkuat dengan Keppres No.246 tahun 1963. Kini
jaringan kerja PMI tersebar di 30 Daerah Propinsi / Tk.I dan 323 cabang di daerah
Tk.II serta dukungan operasional 165 unit Transfusi Darah di seluruh Indonesia.
3. Sejarah PMI Kota Surakarta
(Sumber : dokumen di ambil dari website PMI Surakarta)
commit to user
Gambar IV.1
94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PMI Kota Surakarta merupakan salah satu dari 5 PMI Pelopor yakni
Surabaya, Jogyakarta, Semarang dan Bandung yang berdiri 7 bulan setelah PMI
Pusat berdiri. Di ketuai pertama kali oleh dr. KRT. Padmonegoro. Sejak
berdirinya PMI kota Surakarta telah mengalami perpindahan beberapa kali. Pada
tahun 1946 – 1949 bermarkas di hotel Yuliana yang sekarang telah menjadi
markas Polisi Militer. Pada tahun 1949 – 1951 di nDalem Padmonegaran yang
merupakan kediaman dari dr. KRT. Padmonegoro yang berada di jalan Veteran
Gading, pada tahun 1951 – 1977 di gedung Societiet Surakarta ( Sekarang
menjadi Monumen Pers Surakarta ). Kemudian pada tahun 1977 – 1986 di
komplek RSU Moewardi Kota Surakarta dan pada akhirnya pada tahun 1986
hingga sekarang di Jalan Kol. Soetarto No 58, Jebres, Surakarta.
PMI Kota Surakarta pada saat ini di ketuai oleh Bapak Susanto
Tjokrosoekarno untuk periode 2011-2016. Dalam kesehariannya PMI Kota
Surakarta terbagi menjadi dua bagian yakni UDD ( Unit Donor Darah ) dan Unit
Markas yang keduanya saling bahu – membahu dalam melaksanakan kegiatan
kepalangmerahan dengan SDM Sebanyak 126 Orang dan diperkuat oleh Relawan
Sebanyak 8.299 Orang meliputi Tenaga Sukarela 239 Orang, Korps Sukarela 606
Orang,
PMR
6.264
Orang,
Pembina
PMR
&
Pelatih
1.053
Orang
(http://www.pmisolo.or.id/sejarah/). Pengabdian untuk kemanusiaan dengan
berpijak pada prinsip-prinsip dasar gerakan PalangMerah dan Bulan Sabit Merah
Internasional.
commit to user
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Visi
Palang Merah Indonesia menjadi Organisasi Kemanusiaan yang
Profesional, tanggap dan dicintai masyarakat
b. Misi
1. Menguatkan dan mengembangkan organisasi
2. Meningkatkan dan mengembangkan Kualitas SDM
3. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kepalangmerahan.
4. Mengembangkan kegiatan Kepalangmerahan yang berbasis masyarakat
5. Meningkatkan dan mengembangkan jejaring kerjasama.
6. Menyebarluaskan, mengadvokasi dan melaksanakan Prinsip-prinsip Dasar
Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah serta Hukum
Perikemanusiaan Internasional
7. Mengembangkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi Kepalangmerahan
c. Tujuan
Meringankan penderitaan sesama manusia apapun sebabnya dengan
tidak membedakan agama, bangsa, suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa.
d. Tujuh Prinsip Dasar
1. Kemanusiaan
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional didirikan
berdasarkan keinginan memberi pertolongan tanpa membedakan korban
commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang terluka didalam pertempuran, berupaya dalam kemampuan bangsa
dan antar bangsa, mencegah dan mengatasi penderitaan sesama.
2. Kesamaan
Gerakan ini tidak membuat perbedaan atas dasar kebangsaan,
kesukuan,
agama/kepercayaan,
tingkatan,
atau
pandangan
politik.
Tujuannya semata-mata hanyalah mengurangi penderitaan manusia sesuai
dengan kebutuhannya dan mendahulukan keadaan.
3. Kenetralan
Agar senantiasa mendapatkan kepercayaan dari semua pihak, gerakan
ini tidak memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan politik,
kesukuan, agama, atau ideologi.
4. Kemandirian
Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan nasional disamping
membantu pemerintahnya dalam bidang kemanusiaan juga harus menaati
peraturan negaranya, harus selalu menjaga otonominya sehingga dapat
sejalan dengan gerakan ini.
5. Kesukarelaan
Gerakan ini adalah gerakan pemberi bantuan sukarela, yang tidak
didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan apapun.
6. Kesatuan
Didalam suatu negara hanya ada satu gerakan Palang Merah atau
Bulan Sabit Merah yang terbuka untuk semua orang dan melaksanakan
tugas kemanusiaan diseluruh wilayah.
commit to user
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Kesemestaan
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional adalah
bersifat semesta. Setiap perhimpunan mempunyai hak dan tanggung jawab
yang
sama
didalam
menolong
sesama
manusia.
(http://www.pmisolo.or.id/visi-misi-prinsip-dasar/)
PMI
Kota
pengembangan
seluruh
Surakarta
demi
senantiasa
memberikan
melakukan
perbaikan
pelayanan
prima
dan
kepada
masyarakat yang menderita terutama kepada yang kurang
beruntung secara ekonomi. Sebagai organisasi yang telah mendapatkan
sertifikat ISO 9001- 2008, kami berusaha semaksimal mungkin untuk
memberikan pelayanan terbaik. Sesuai dengan visi yang kami emban
yakni menjadi organisasi kemanusiaan yang profesional, tanggap dan
dicintai masyarakat. Kami mengajak saudara menjadi mitra untuk
bersama–sama membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya
berbagi dan terus meningkatkan kepedulian sosial serta menjadikannya
budaya yang melekat erat pada pribadi kita masing-masing.
8. Pengurus
Berikut susunan pengurus PMI Kota Surakarta periode 2011-2016

Ketua : H. Susanto Tjokrosoekarno

Wakil Ketua I : Drs. H. Sunardi, MM

Wakil Ketua II : Drs. HM.Adib Ajiputra, MM

Wakil Ketua III : dr. H. Purnomo Dwi Putro, M.Kes

Wakil Ketua IV : Priyo
Hadisutanto
commit
to user
98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

Sekretaris : Sumartono Hadinoto

Bendahara : Drs. KGPH. Dipo Kusumo

Anggota : Prof. Dr. dr. A. A. Subiyanto, MS

Anggota : H. Handojo Leksono, SH

Anggota : S. Haryanto, MT

Anggota : M. Farid Sunarto, SPd (http://www.pmisolo.or.id/)
9. Kontak
Jl. Kol. Sutarto 58 Jebres, Surakarta, Indonesia 57126. Phone : +62 271
646 505. Fax : +62 271 664 881. Email : [email protected]
Web : pmisolo.or.id (http://www.pmisolo.or.id/)
4. Sejarah Griya PMI Peduli Surakarta
Griya PMI Peduli Surakarta menjadi program unggulan PMI Kota
Surakarta yang membedakan dengan PMI lainnya di Indonesia. Palang Merah
Indonesia (PMI) kembali membuka program kemanusiaan yang tidak hanya
berfokus pada darah dan aksi cepat tanggap terhadap bencana alam namun sudah
merambah pada isu kemanusiaan seperti orang dengan gangguan jiwa yang
terlantar di jalan.
Griya PMI Peduli, terinspirasi dari Jami’in seorang tukang batu di
Jombang yang dengan jiwa kemanusiaannya menampung dan mengurusi lebih
dari 200 orang gila, PMI Berangkat dari niat untuk lebih meringankan penderitaan
sesama mencontoh apa yang dilakukan pak jami’in dengan mendirikan Griya PMI
commit to user
Peduli untuk menampung orang gila yang terlantar.Griya PMI Peduli yang
99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beralamat di Jl Sumbing Raya mertoudan Mojosongo ini sejak peletakan batu
pertama tanggal 19 September 2011 yang lalu oleh mensos baru mulai beroperasi
bulan maret 2012. Dengan SDM sebanyak 15 orang. Dan berdasarkan data yang
dimilki oleh Griya PMI Peduli saat ini sudah memilik warga (sebutan pasien di
Griya PMI Peduli) sebanyak 157 Orang terdiri dari putri 46 orang dan putra 111
orang. 53 diantaranya telah dipertemukan kembali kepada keluarganya masing –
masing yang mana jumlah ini dapat terus meningkat setiap harinya.
(http://www.pmisolo.or.id/griya-pmi-peduli/)
Griya PMI Peduli Surakarta berdiri diatas tanah milik PMI Kota
Surakarta dan memiliki kapasitas mencapai 200 orang. 90% warga yang di
tampung oleh Griya PMI Peduli Surakarta merupakan Orang dengan Gangguan
Jiwa (ODGJ) yang terlantar di jalan, hidup menggelandang dan hilang dalam
jangka waktu yang panjang, mereka di tangkap oleh satpol pp untuk di bawa ke
dinas sosial yang kemudian oleh dinas sosial di titipkan di Griya PMI Peduli
Surakarta untuk mendapatkan perawatan dengan harapan mereka dapat kembali
sehat dan bisa berkumpul dengan keluarga. Selain itu, 10% warga lainnya berasal
dari masyarakat yang peduli terhadap orang dengan gangguan jiwa yang
melaporkan orang dengan gangguan jiwa yang terlantar di jalan atau tetangganya
yang kurang mampu dan kesulitan merawat anggota keluarganya yang mengalami
gangguan jiwa sehingga dititipkan di Griya PMI Peduli menjadi pilihan bijak
mengingat perawatan dan upaya pemulihan oleh tenaga medis disini sangat
diperhatikan.
commit to user
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Program ini tidak akan terwujud dan berkembang tanpa dukungan dari
seluruh masyarakat, oleh karena itu PMI Kota Surakarta tidak bosan-bosanya
mengajak seluruh masyarakat untuk lebih peduli sesama dengan mengajak
masyarakat
turut
aktif
berkontribusi
di
dompet
kemanusiaan
dengan
menyumbangkan sebagian hartanya yang salah satunya diperuntukan untuk
mereka yang mengalami gangguan jiwa dan terlantar. Di Griya PMI Peduli Warga
akan di berikan perawatan baik medis maupun spiritual dengan pendekatan
rohani, sehingga diharapkan dapat memberikan perubahan yang positif. Selain itu,
Griya PMI Peduli juga memberikan keterampilan kepada mereka yang sudah
membaik secara kejiwaan seperti keterampilan dalam kewirausahaan, kesenian,
olah raga, dan tata boga.
Adapun pengobatan 111 orang gila telantar yang menjadi binaan
Griya Palang Merah Indonesia (PMI) Peduli Solo kini masih bergantung kepada
bantuan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Solo.
Hal itu disebabkan warga Griya PMI Peduli yang masih belum terkover Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS menjadi penting guna memudahkan
mereka mengakses fasilitas kesehatan seperti kontrol rutin kesehatan jiwa maupun
fisik dan mengakses obat-obatan yang dibutuhkan mengingat mereka akan minum
obat seumur hidup demi menjaga kestabilan jiwanya. Selama ini, kontrol dan
akses obat-obatan warga Griya PMI Peduli Surakarta masih perlu menunggu
rekomendasi dari Dinsosnakertrans.
Setiap daerah sudah didorong mendaftarkan orang gila telantar dalam
commit to user
BPJS pascapemberlakuan program itu awal 2014. Selain mempercepat akses
101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesehatan, pasien luar kota dapat dijamin pelayanan yang setara. Hal ini lantaran
Dinsosnakertrans tak lagi berwenang mengalokasi dana bagi warga binaan yang
tidak ber-KTP Solo.Sejumlah orang gila dan telantar di Griya PMI berasal dari
luar
kota.
(http://www.madiunpos.com/2015/06/27/bpjs-kesehatan-111-warga-
binaan-griya-pmi-belum-terdaftar-bpjs-618596)
Di
samping bantuan
Pemkot,
Griya
PMI
Peduli
Surakarta
mengandalkan santunan dari donatur maupun dompet kemanusiaan PMI.
Bantuan-bantuan ini sangat membantu jika ada warga binaan yang sakit dan
membutuhkan penanganan mendesak. Rata-rata warga binaan sudah memiliki
emosi yang stabil dan tidak agresif. Apabila sikap agresif pasien kambuh, akan
ditindaklanjuti dengan penanganan tenaga medis ahli di RSJ Kota Surakarta dan
jika keadaan sudah membaik akan dipulangkan ke Griya PMI Peduli sebagai
rumah mereka yang terlantar.
Dan sampai dengan saat ini telah ada 50 orang yang keluar dari griya
ini,sembuh dan bisa beraktifitas layaknya orang normal.Dengan keterbatasan
dana,pengurus PMI mempunyai berbagai strategi untuk bisa mengumpulkan
dana,dimana dibutuhkan Rp.500.000,- /orang/bulan sebagai biaya hidup.
(http://www.surakarta.go.id/konten/komisi-ix-dpr-ri-kunjungi-griya-pmi-peduli)
PMI Solo mengambil orang gila di jalanan. Tanpa memandang asal
daerah, orang gila tersebut kemudian dibawa ke Griya PMI Peduli untuk dirawat.
PMI Solo juga menerima orang gila hasil razia pemerintah Surakarta. Di Griya
PMI Peduli, orang gila tersebut dibersihkan, dimandikan, diberi makan, dan diajak
commit to user
102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bicara. Jika perlu pengobatan, sudah ada tim dokter dan obat-obat yang
diperlukan. Pasien juga menjalani pengobatan secara spiritual seperti ruqyah,
diajak
beraktivitas
seperti
senam
pagi
dan
jalan
kaki.
(http://gaya.tempo.co/read/news/2014/10/31/060618580/griya-pmi-solosembuhkan-50-persen-pasien-gila)
Rata-rata pasien yang dibawa ke Griya PMI itu sakit jiwa karena
masalah ekonomi. Para pasien, berasal dari wilayah Kota Solo dan sekitarnya
yang ditemukan langsung oleh petugas PMI ataupun yang diserahkan oleh pihak
keluarga kepada Griya PMI. Para penderita gangguan jiwa tersebut selanjutnya
dirawat secara medis dan secara religi (pendekatan agama), sehingga pasien akan
mudah disembuhkan. Dirinya pun mengatakan ada beberapa pasien yang sulit
untuk disembuhkan, sehingga pihak Griya PMI harus merujuknya ke Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) untuk penanganan lebih lanjut. (Solopos, Selasa (25/12/2012).
Setiap pasien yang ditangani di Griya PMI tersebut tidak dipungut
biaya sedikitpun karena pembiayaan ditanggung dengan menggunakan dana dari
PMI. Selain itu ada beberapa donatur tetap yang senantiasa membantu untuk
proses penyembuhan orang gila tersebut. Harapannya adalah semakin banyak
pasien dari Griya PMI yang dapat disembuhkan dan bisa menikmati kehidupannya
bersama keluarganya.
Sedikitnya, pada tahun 2014, sudah ada 106 penderita gangguan
kejiwaan telah dirawat di tempat rehabilitasi tersebut. Sekitar 50 penderita di
antaranya sudah dipulangkan karena dinyatakan sudah sembuh. Untuk biaya
commit to user
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
operasionalnya, dibutuhkan sekitar Rp 500 ribu per penderita tiap bulannya.
Secara keseluruhan, anggaran yang dikeluarkan sekitar Rp 53 juta per bulan.
(http://www.timlo.net/baca/62661/griya-pmi-peduli-solo-dikunjungi-komisi-ixdpr-ri/)
B. Hasil Penelitian
1. Sakit Fisik dan Sakit Jiwa
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai definisi sakit dan sehat, kita
harus bisa membedakan terlebih dahulu perbedaan istilah penyakit (Disease)
dengan keadaan sakit (illness). Karena penyakit dan keadaan sakit memiliki
definisi yang berbeda.
Istilah penyakit berbeda dengan keadaan sakit (illness). Penyakit
dimaksud sebagai suatu konsepsi medis menyangkut suatu keadaan
tubuh yang tidak normal karena sebab-sebab tertentu yang dapat
diketahui dari tanda-tanda dan gejala-gejala (sign and symptons)
oleh para ahli. Keadaan sakit (ilness) dimaksudkan sebagai perasaan
pribadi seseorang yang merasa kesehatannya terganggu, yang tampak
dari keluhan sakit yang dirasakannya, seperti tidak enak badan dan
lain sebagainya. Dengan demikian ada kemungkinan seseorang
dinyatakan dalam keadaan sakit tanpa mengidap suatu penyakit atau
sebaliknya, ia mengidap suatu penyakit tanpa merasa dirinya sedang
dalam keadaan sakit. (Fauzi Muzahan, hal 179: 1995)
Dari definisi tersebut kita dapat mengetahui bahwa penyakit hanyalah
konsepsi medis yang digunakan untuk menjelaskan keadaan tubuh yang tidak
normal atau seperti biasanya diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu seperti virus,
sistem kekebalan tubuh maupun faktor lingkungan sosial masyarakat yang lebih
lanjut dapat diketahui dengan membaca tanda-tanda dan gejala-gejala (sign and
symptons) oleh para ahli. Sedangkan keadaan sakit (ilness) diartikan sebagai
commit to user
104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perasaan pribadi seseorang yang merasa kesehatannya terganggu, yang tampak
dari keluhan sakit yang dirasakannya, seperti tidak enak badan dan lain
sebagainya namun belum dinyatakan sakit oleh para ahli seperti dokter. Dengan
demikian ada kemungkinan seseorang dinyatakan dalam keadaan sakit tanpa
mengidap suatu penyakit atau sebaliknya, ia mengidap suatu penyakit tanpa
merasa dirinya sedang dalam keadaan sakit.
“suatu kondisi di mana tubuh kita tidak sedang terganggu atau
terinfeksi oleh penyakit.” (Siswandi, 29 Juni 2015)
Dari pernyataan tersebut dapat kita ketahui bahwa relawan pasif
memiliki konsepsi yang sama tentang definisi sakit, kondisi dimana tubuh yang
tidak berjalan normal karena ada gangguan atau infeksi virus penyakit sedangkan
sehat merupakan kondisi dimana tubuh bekerja dengan baik tanpa ada gangguan
maupun infeksi virus yang melemahkan daya tahan tubuh. Hal ini juga di dukung
oleh pernyataan salah satu informan berikut:
“orang yang bisa melakukan rutinitas keseharian secara normal atau
seperti biasa. Secara fisik tidak terganggu. Lalu hasil check up
bulanannya memang sehat.” (Gilar, 27 Juni 2015)
Maka dari dua definisi di atas dapat kita ketahui bahwa keadaan sakit
di pandang informan sebagai sesuatu yang menggangu kondisi tubuh, dan berada
dalam kondisi yang tidak normal. Sedangkan seseorang dinyatakan sehat harus
diperkuat dengan pernyataan dokter. Dokter memiliki peran yang besar dan di
anggap ahli yang terpercaya untuk memberikan penilaian terhadap kesehatan
seseorang. Termasuk kesehatan jiwa seseorang.
commit to user
105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan informan memandang bahwa kondisi sehat adalah kondisi
yang tidak hanya sehat secara fisik namun juga sehat secara psikis. Kesehatan
adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa
penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Menurut definisi inilah, seseorang dapat
dikatakan sehat jika seluruh aspek yang ada dalam dirinya tidak terganggu baik itu
aspek sosial yakni kehidupan bermasyarakat, aspek mental yang berkaitan dengan
psikis, dan aspek fisik dengan tidak terjadinya gangguan fungsi dan sistem organ
dalam tubuhnya. Dan apabila salah satu diantara ketiga aspek tersebut tidak
terpenuhi, maka seseorang tidak dapat dikatakan sehat sebagaimana mestinya
yang seharusnya jika fisiknya sehat, maka mental (jiwa) dan sosialpun sehat,
demikian pula sebaliknya, jika mentalnya terganggu atau sakit, maka fisik dan
sosialnyapun akan sakit. Dan hal ini di perkuat oleh pernyataan dua informan di
bawah ini.
“sakit juga ada dua, sakit fisik ketika sakit yang nampak, yang bisa
dirasakan atau bisa dideteksi oleh klinis /medis. Sakit psikis, tadi,
orang yang kurang bahagia, orang yang kurang bahagia bisa
menyebabkan stress, permasalahan banyak. Dampaknya bisa luas
sakit psikis ini.” (Gilar, 29 Juni 2015)
Informan yang diwawancarai menyatakan bahwa keadaan sakit ada
dua, sakit secara fisik dan sakit secara psikis. Sakit secara fisik adalah sakit yang
nampak karena ada perubahan kondisi tubuh. Sedangkan sakit secara psikis
merupakan sakit karena problematika kehidupan sosial.Jika seseorang mengalami
sakit psikis dan diakibatkan oleh keadaan sosial maka disebut psikososial, namun
commit to user
106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketika seseorang telah kehilangan akal sehatnya maka ia dikatakan mengalami
gangguan jiwa atau masyarakat mengenal dengan istilah gila.
“sehat ada 2, jasmani dan rohani. menurut saya orang gila memiliki
gangguan di mental dan psikis.” (Arum, 28 Juni 2015)
Baik sakit secara psikis maupun fisik, keduanya dapat dipastikan
melalui pemeriksaan medis dengan di tangani oleh ahli keehatan seperti dokter.
Dokter pun di bagi menjadi dua, dokter penyakit fisik dan dokter penyakit jiwa.
Dan hal ini akan mengantarkan pada penjelasan tentang Orang Dengan
Skizofrenia. Orang Dengan Skizofrenia (ODS) merasa bahwa dirinya hidup
seperti manusia pada umumnya, mereka sehat dan merasa bahwa halusinasi yang
mereka rasakan adalah suatu keadaan yang normal, realitas yang nyata dan bukan
suatu penyakit. Halusinasi itu menjadi realitas yang mereka terima, dan mereka
merespon halusinasi tersebut selayaknya individu merespon panggilan yang
mereka terima. Namun menurut dunia medis, skizofrenia adalah bagain dari
penyakit jiwa. Orang yang mengidap skizofrenia dipandang sebagai orang yang
kehilangan kesehatan jiwanya, dan dinyatakan dalam kondisi sakit.
“Yang berhak memberikan label kepada mereka adalah dokter jiwa.
Kita konsultasikan gejala- gejala pasien kepada dokter jiwa dan
dokter akan mengdiagnosis pasien tersebut, termasuk yang
menentukkan kesembuhan si pasien.” (Yayak, 25 Juni 2015)
Dokter memiliki peran besar dalam menentukan diagnosa tentang
penyakit seseorang. Hal ini di pertegas oleh pernyataan informan di atas yang
merupakan seorang perawat Orang Dengan Skizofrenia (ODS).
commit to user
107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar IV.2 Lansia Dengan Gangguan Jiwa Di Griya Pmi Peduli Surakarta
Menurut Dadang Hawari (2006) kata skizofrenia pertama kali
didefenisikan pada tahun 1908 oleh ahli psikiatri Swiss, Eugen Bleuer, yang
mendeskripsikan bahwa, skizofrenia merupakan sekumpulan gangguan mental
yang dikarakteristikkan sebagai pikiran (phrenia) yang pecah (schizo). Konsep
skizofrenia Bleur didasarkan pada gangguan jiwa yang disebut demensia prekoks
oleh ahli psikiatri Jerman, Emil Kraepelin, pada 1896. Perawat Griya PMI Peduli
yang menjadi informan juga turut menyatakan bahwa yang berhak memutuskan
sehat atau ga nya yaitu dokter di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
“Dokter, iya kalau kita gabisa ini.Kita kan tiap ini kan di kontrolin di
RSJ, yang bisa memutuskan sehat atau ga nya kan tetep dokter.”
(Septi, 28 Juni 2015)
commit to user
108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal ini diperkuat dengan pernyataan dokter sekaligus menjabat
sebagai pimpinan Griya PMI Peduli Surakarta yang menangani Orang Dengan
Skizofrenia (ODS) di Solo bahwa dokter memiliki kuasa untuk menyatakan
kesehatan jiwa warga binaannya.
“Dilihat dari Komunikasinya ada timbal baik atau tidak, mampu
merespon dgn baik, dan riwayatnya seperti apa, dan kita juga
kontrolkan ke RSJ. Dan dokternya spesialis jiwa yang menyatakan
mereka ODGJ atau tidak.” (Gatot, 30 Juni 2015)
Dokter Gatot menyatakan bahwa Griya PMI Peduli Surakarta hanya
menilik riwayat dan perilaku keseharian dari warga yang ditemukannya terlantar
di jalan, kontrol rutin ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah Surakarta dan
pemeriksaan dokter dilakukan untuk kemudian menentukan warganya menderita
gangguan jiwa atau tidak. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil
yang valid dari para ahli kejiwaan yakni dokter spesialis gangguan jiwa. Orang
menanggapi keadaan sakit dan mengembangkan kategori keadaan itu secara
sistematis sesuai dengan pengertiannya mengenai suatu keadaan dan menemukan
cara menanggulanginya. Istilah penyakit dalam arti fisiologis dan klinis digunakan
dokter untuk menafsirkan atau mengobati keadaan sakit yang dikemukakan
pasiennya.
Dokter spesialis gangguan jiwa memiliki Pedoman Penggolongan dan
Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ)
yang merujuk pada standard dan system
pengkodean dari International Classification of Disease (ICD-10) dan system
multiaksis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV)
yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA) dan ICD yang
commit to user
109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikeluarkan oleh WHO. Hal ini di perkuat dengan pernyataan dari psikolog
tentang caranya menentukan kesehatan jiwa seseorang yang mengacu pada
PPDGJ. PPDGJ III menempatkan skizofrenia pada kode F20.
“Dan apa sih indikator kita mendiagnosa seseorang terkena
schizofrenia? Perlu kita ketahui schizofrenia adalah waham,
halusinasi merupakan salah satu sindrom dari schizofrenia.
Parameter yang digunakan adalah dengan beberap cara. Tapi diluar
caranya semua mengacu kepada PPDGJ.” (Nugraha, 29 Juni 2015)
Dan masyarakat juga berpendapat yang sama di buktikan oleh
pernyataan informan penelitian ini yang merupakan aktivis kesehatan jiwa di
komunitas Griya Schizofren Solo yang merasa bahwa dokter dan psikolog yang
lebih tahu dan kompeten dalam mendiagnosa kesehatan jiwa seseorang.
“yang berhak dokter sebenarnya, lalu psikiater/psikolog. Kalau orang
biasa saya kira kurang tepat, karena belum tentu tau sakit jiwa atau
sakit psikis. Mungkin aja dia sakit psikis saja, mungkin juga stress.
Jadi menurut saya yang pantas mengatakan adalah orang yang
kompeten di bidang itu.” (Gilar, 27 Juni 2015)
Jadi Istilah penyakit umumnya dimengerti oleh kalangan ilmuwan
seperti yang ditunjukan dalam kamus Oxford yakni Suatu kondisi tubuh atau
bagian dari tubuh yang mengalami kerusakan (tidak berfungsi), mengakibatkan
kondisi tubuh sakit. Seperti Hayu, Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang
kondisinya dinyatakan membaik oleh dokter dan sudah bekerja kembali di Griya
Bahagia Mojosongo, Surakarta yang merasakan memori ingatannya tidak
berfungsi dan membuatnya mendapat pengobatan dengan EST.
“tapi kalau habis di est kalau tidur ngiler terus kepalanya pusing gitu,
kaya memorinya yang tadinya ada jadi ilang. Pokoknya aku kalau
sakit itu bingung, ga ngamuk, ga marah, tapi nangis.” (Hayu, 7 Juli
2015)
commit to user
110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keadaan sakit (illness) ditujukan terhadap kualitas dari keadaan sakit
itu sendiri, meliputi:
1. Keadaan moral yang buruk
“Rasanya kaya gitu tadi, kaya dunia itu sempit, ada orang jahat terus
aku juga merasa jahat, merasa nyakitin banyak orang, padahal aku
ga ngapa-ngapain tapi aku ngerasa kaya gitu.” (Hayu, 7 Juli 2015)
2. Perasaan tidak nyaman, tidak senang, kesukaran, tidak aman, perasaan
sakit hati, perasaan kekurangan
“Perasaan. Aku minta maaf terus, padahal ga ngapa-ngapain. Kalau
udah berada dalam situasi kaya gitu, mau ilang, mau keluar dari
perasaan kaya gitu susah banget. Terus gitu aku jadi ga ngurus anak
ku gitu.” (Hayu, 7 Juli 2015)
3. Kondisi tubuh yang tidak sehat, sakit, atau berpenyakit.
“Kalau sakit paling pusing karena dia berangan-angan dan berandaiandai yang ga-ga, paling pusing kepalanya. Aku kalau tanya mbak
wulan, baik-baik aja, jawabnya pusing mbak. Tapi kalau aku ga.
Kalau aku, eeeee lebih ke apa ya, ga bisa diceritain, kalau raganya ga
sakit. Cuma perasaan doang rasanya gelisah. Cuma harga diri
rendah dan halusinasi.” (Hayu, 7 Juli 2015)
Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa penyakit (desease)
menunjukan sesuatu yang objektif dan terlihat dari adanya suatu yang rusak,
sedangkan keadaan sakit (ilness) lebih bersifat subjektif dan berkaitan dengan
akibat dari proses penyakit. Untuk mengatakan bahwa seseorang sakit, terdapat
keadaan yang menunjukan ketidakberfungsiannya suatu organ yang mempunyai
akibat terhadap keadaan fisik dan biologis, serta mempengaruhi kehidupan
sosialnya. Mengalami sakit tidak hanya berarti adanya perubahan biologis, akan
tetapi keadaan sosial yang tampak dari adanya penyimpangan yang terjadi dan
commit to user
tidak dikehendaki. Seperti yang di alami oleh Hayu, sakitnya berdampak
111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hilangnya suport dan kepercayaan dari keluarga karena gangguan jiwanya
mengantarkan Hayu mendapatkan perawatan dari Rumah Sakit Jiwa hingga tujuh
kali dan di anggap tidak bisa sembuh oleh kakak kandungnya. Dan berdampak
pada kehidupan rumah tangganya yang berujung pada perceraian karena sakit
yang tidak dikehendakinya tersebut.
“Waktu berangkat kuliah, aku yang nyetir temenku di belakang, aku
lupa arah jalan ke kuliah terus akhirnya di gantiin sama temenku.
Jadi memorinya udah ilang karena di est, akhirnya hayu kamu turun
aja, kamu dibelakang biar aku yng nyetir, gitu kata temenku. Itu pas
tahun 2001 dan kelahiranku tahun 82, umur 19 atau 20 tahun gitu.
Habis itu kambuh lagi pas mau punya suami, bingung lagi. Pokoknya
aku kalau sakit itu bingung, ga ngamuk, ga marah, tapi nangis. ,
Serasa dunia itu sempit, terus banyak orang yang jahat di luar sana
yang mau menyakiti orang-orang yang aku sayangi. Itu halusinasi,
tapi kaya nyata. Kaya aku sama keluargaku sama orang-orang yang
aku sayangi, yang beriman dan bertakwa sama Allah ada yang
nyakitin, tapi sakitnya itu bukan sakit dohir, sakit biasa, sakit di gunaguna.” (Hayu, 7 Juli 2015)
Kemudian Hayu melanjutkan bahwa bisikan itu terasa nyata dan
mempengaruhi dirinya begitu kuat yang tidak dipahami oleh orang lain. Seperti
penuturannya di bawah ini:
“Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa
berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi
pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa
diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi
ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho,
padahal sebenernya aku kan ga sakit, takut, paranoid takut yang
berlebihan. Mau gerakin tangan aja tu takut, liat orang ada di luar
dari jendela di RSj yang jendelanya gede-gede liat orang lewat itu
takut. Jadi adanya Cuma menutup diri terus tiduran sama tutup
bantal karena merasanya hayu kamu kalau ada di RSJ kamu itu kalah,
kamu pisah sama anak-anakmu, anak-anakmu sedih jadi kaya ada
kesempatan untuk wake up, bangun, untuk jadi orang yang normal ga
sakit jiwa lagi tapi aku tu ragu-ragu.” (Hayu, 7 Juli 2015)
commit to user
112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Konflik batinnya semakin kuat dan tekanan dari keluarga karena
hilangnya kepercayaan semakin membuatnya sering masuk Rumah Sakit Jiwa
yang disisi lain membuatnya semangat untuk membuktikan bahwa dirinya bisa
sembuh.
“Jadi akhirnya aku jadi orang yang sakit lagi, disalahkan sama
keluarga. Kan keluargaku sampe saat ini dukungan keluarga nol. Iya
jadi karena udah setiap kali masuk ke RSJ jadi aku udah ga percaya
kalau aku bisa sembuh gitu, sampe segitunya. Kakak ku bilang gini,
“aku wes ga percaya sama kamu, kamu kalau udah kumat itu sampe
berkali-kali. Jadi aku udah ga ada rasa percaya sama kamu, gitu.”
Tapi aku ini terus bangkit, pokoknya aku ga boleh kalah, aku ga boleh
kalah sama sakit ini.”(Hayu, 7 Juli 2015)
Dengan demikian keadaan sakit (ilness) ditujukan terhadap perubahan
perasaan yang nyata (symptoms) akan tetapi dialami oleh penderita secara nyata,
yang seringkali dilebih-lebihkan secara subjektif. Tujuan dalam karangan bagian
ini adalah memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi pengertian
masyarakat tentang keadaan sakit (illness), pengobatan oleh dokter dan yang
mempengaruhi orang sakit.
Orang mungkin merasa sakit dan setuju untuk mengambil suatu
tindakan tertentu seperti istirahat atau mengobati sendiri, akan tetapi mereka tidak
menyatakan bahwa keadaan sakit yang dialami memerlukan bantuan para ahli.
“Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa
berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi
pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa
diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi
ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho,
padahal sebenernya aku kan ga sakit....” (Hayu, 7 Juli 2015)
Fauzi Muzaham berpendapat bahwa kebanyakan episode sakit dimulai dengan
commit to user
cara itu. Pertama-tama keadaan sakit dianggap ringan dan diatasi dengan cara-cara
113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nonprofesional dan baru setelah beberapa waktu kemudian mencari pertolongan
pada yang ahli dan saat itulah orang sakit tersebut mempunyai peranan sakit
begaimana dikemukakan oleh Parsons (1951).
“awalnya dulu ga sakit, dia gapapa. Terus nemu keris di sungai, terus
diungkal/diasah. Sebelum sakit itu keponakan saya cerita kalao Doni
bermimpi. Dia bermimpi ditemui orang dengan sorban putih, baju
putih berjenggot. Dia menyuruh Doni makan kayu Donoloyo. Nah
habis mimpi itu sikapnya aneh-aneh, barang dirumah dikeluarin, di
siram air, pokoknya rumah harus bersih. Terus selama tiga tahun
baju panjang yang dia pake ga pernah dilepas, jadi tidur dibasahi
semua bajunya. Terus kayak semedi di tengah sungai lho mbak,
malem-malem. Saya takut, apalagi kalau sungai pas banjir, takut dia
hanyut, tapi ya enggak. Semedi pake iketan kepala gitu juga. Kalau
bajunya/jaket di sembunyikan pasti tahu terus mencari kalau ga
ketemu ngamuk. Terus pernah berdiri sampai kakinya bengkak ya
selama itu. Sudah empat tahun mbak, sakitnya sudah lama, sampai
kuning-kuning semua. Gara-gara berdiri terus, gamau bicara, terus
dibawa ke RSJ sama RT dan pihak keluarga.”(Endah, 27 Juni 2015)
Perbedaan antara penyakit dengan keadaan sakit dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Lingkaran paling luar, orang melaporkan bahwa mereka tidak mempunyai
gejala penyakit adalah orang yang menganggap dirinya sehat.
“awalnya dulu ga sakit, dia gapapa. Terus nemu keris di sungai, terus
diungkal/diasah. Sebelum sakit itu keponakan saya cerita kalao Doni
bermimpi. Dia bermimpi ditemui orang dengan sorban putih, baju
putih berjenggot. Dia menyuruh Doni makan kayu Donoloyo.”
(Endah, 27 Juni 2015)
2. Lingkaran berikutnya, orang merasa mengidap suatu penyakit tetapi tidak
mengambil suatu tindakan untuk menanggulanginya.
“Nah habis mimpi itu sikapnya aneh-aneh, barang dirumah
dikeluarin, di siram air, pokoknya rumah harus bersih. Terus selama
tiga tahun baju panjang yang dia pake ga pernah dilepas, jadi tidur
dibasahi semua bajunya. Terus kayak semedi di tengah sungai lho
mbak, malem-malem. Saya takut, apalagi kalau sungai pas banjir,
takut dia hanyut, tapi ya enggak. Semedi pake iketan kepala gitu juga.
commit to user
Kalau bajunya/jaket di sembunyikan pasti tahu terus mencari kalau
114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ga ketemu ngamuk. Terus pernah berdiri sampai kakinya bengkak ya
selama itu. Sudah empat tahun mbak, sakitnya sudah lama, sampai
kuning-kuning semua.” (Endah, 27 Juni 2015)
3. Pada lingkaran berikutnya, terdapat orang-Orang yang menganggap
dirinya berada dalam keadaan sakit dan mengambil tindakan non medis
untuk menanggulanginya.
“...Kalau pergi ga mbalik, pernah waktu itu pergi terus kesasar
sampai kampus UNS dua hari tersesat di kampus, ibuk sampai
mencari-cari. Ketemune setelah sodara saya yg ngojek di kampus
ketemu. Habis itu dibawa ke PMI, di situ pendeta saya datang juga ke
sana, ngajak ngomong, terus dibukakan alkitab suruh baca, awalnya
gamau baca, eh ga diduga setelah itu dia mau ngomong...” (Endah,
27 Juni 2015)
4. Pada lingkaran terakhir adalah orang-orang yang mengambil tindakan
dengan minta pertolongan dokter, yakni orang-orang yang menaganggap
dirinya atau diagnosis dari orang lain dalam keadaan sakit dan mereka itu
tidak sanggup menjalankan pekerjaan secara normal dan ditegaskan oleh
dokter bahwa mereka sakit.
“Sudah empat tahun mbak, sakitnya sudah lama, sampai kuningkuning semua. Gara-gara berdiri terus, gamau bicara, terus dibawa
ke RSJ sama RT dan pihak keluarga. Di sana cuma 12 hari terus
diambil, kita ga tega, dia pengen pulang. Setelah itu sudah bagus, tapi
aneh-aneh lagi.” (Endah, 27 Juni 2015)
Jadi sehat lahiriah dan batiniah (jasmani dan rohani) merupakan citacita setiap orang. Setiap manusia mengharapkan memiliki kesehatan jasmani dan
rohani, karena tanpa keduanya maka aktivitas dan produktivitas akan terganggu.
Seperti Informan dalam penelitian ini yang bernama Hayu dan Doni (Orang
Dengan Skizofrenia) yang kehilangan pekerjaan dan kesulitan mendapatkan
commit
to userpsikisnya pernah terganggu dan
pekerjaan karena riwayatnya yang
kesehatan
115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara tidak langsung mengganggu produktivitasnya. Karena relawan pasif
memandang kriteria sehat pun secara holistik, tidak bisa hanya dari satu sisi saja,
melainkan berbagai segi yang ikut berperan dalam menentukan seseorang itu
dianggap sehat, terlebih sehat secara psikologis (mental).
“Normal beda, kalau sehat itu aku nilainya sehat itu kondisi apa yaa?
Eee lebih ke fisik kayanya, kalau normal itu ke psikis. Sehat? Kalau
fisiknya mungkin ada, kalau orang gila kan macem-macem ya, ada
yang sehat ada yang ga. Yang jelas orang gila itu ga normal secara
ini, apa namanya, psikologinya.” (Juwita, 30 Juni 2015)
Maka kesimpulannya adalah setiap orang memiliki pandangan yang
berbeda-beda tentang pemahaman sakit. Dalam hal ini sakit di bedakan menjadi
dua hal yakni sakit fisik dan sakit jiwa. Orang bisa dikatakan sehat secara
psikologis akan bersentuhan terhadap beberapa aspek yang melingkupinya
mencakup sehat secara fisik (jasmani) dan sehat secara psikis (rohani). Jika
seseorang tidak memilki kesehatan fisik karena ada gangguan, cidera atau virus
maka dikatakan sebagai sakit fisik. Jika tidak memiliki keduanya atau tidak
memiliki kesehatan psikis (rohani) sekalipun fisiknya sehat akan di nilai sebagai
orang dengan sakit jiwa oleh masyarakat. Maka sehingga orang yang memiliki
keduanya dapat dikatakan sehat secara utuh, yang akan mengantarkan pada
pembahasan normal dan abnormal seperti gangguan kejiwaan pada bagian
berikutnya
Tabel IV.1
Matrik Pandangan Mengenai Sakit Fisik dan Sakit Jiwa
Nama Informan
Sakit Fisik
Dokter
- keadaan
gangguan
commit
to userpada
fisik tetapi bukan
116
Gangguan Jiwa (Sakit
Jiwa)
-Sakit jiwa adalah kondisi
dimana komunikasinya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyakit psikotik jika
tidak mengalami
gangguan pada psikis.
Perawat
Aktivis
tidak berjalan dengan baik
karena tidak ada
hubungan timbal balik
-tidak mampu merespon
orang di sekitarnya
dengan baik.
- harus meminum obat
seumur hidup
- indikator medis untuk
menentukan diagnosa
gangguan jiwa mengacu
pada PPDGJ dan DSM.
-Sakit adalah kebalikan
-Orang yang tidak bisa
dari definisi sehat.
mengorientasikan hal
-Sehat adalah kemampuan yang sederhana tentang
menikmati hidup, dapat
dirinya, tidak mampu
makan, minum, dan
melakukan kegiatan yang
beraktifitas tanpa
runtut, malas mandi, dan
gangguan fisik. Selain itu enggan menjaga
bisa berfikir positif dan
kebersihan dirinya.
merasa berbahagia.
-Memiliki waham,
Perilaku orang sehat
halusinasi atau bisikan
adalah memiliki
yang hanya di pahami
keteraturan kegiatan
oleh dirinya sendiri.
dalam hidupnya yang
-Perilaku melamun,
menjadi rutinitas.
menyendiri, dan enggan
bersosialisasi dalam
jangka waktu yang lama.
-Emosi yang tidak stabil
dan terkadang terlihat
membahayakan baik
dirinya maupun untuk
orang lain.
Sakit adalah
Sakit jiwa tidak bisa
ketidakmampuan untuk
merasakan bahagia.
melakukan aktifitas dasar.
Tidak berfikir sesuai
Tidak sehat secara
realita.
jasmani.
Memiliki gangguan
Merasa anggota tubuhnya mental dan psikis.
ada yang tidak berfungsi
sebagai mana mestinya
Sakit secara rohani.
(sakit) yang tidak
berfungsi atau
commit to user
bermasalah.
117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Memiliki penyakit yang
terdeteksi oleh medis.
Sakit bagi keluarga adalah
kebalikan dari definisi
sehat. Definisi sehat bagi
keluarga adalah bisa
melakukan aktifitas dan
bekerja.
Keluarga
Relawan Pasif
Bagi masyarakat, kondisi
sakit adalah terinfeksi
suatu penyakit atau
mengalami gangguan
fisik.
Orang Dengan
Skizofrenia
Bagi orang dengan
schizofrenia adalah ketika
mereka kehilangan
memori ingatan, merasa
bingung, pusing, dan juga
sakit kepala.
Sakit jiwa adalah
perubahan perilaku
menjadi orang yang
berbeda dari sebelumnya,
seperti pendiam, mudah
marah, hilang ingatan,
merasa bingung, emosi
tidak stabil, curiga, bicara
sendiri, ketakutan,
menarik diri, melamun,
komunikasi tidak lancar
dan seperti dirasuki
makhluk gaib.
Sakit jiwa adalah
bertingkah laku aneh di
luar nilai dan norma serta
kebiasaan di luar
masyarakat, menakutkan,
jiwanya menyimpang,
berbicara ngelantur,
tuidak dpat mengontrol
emosi, tatapan kosong, di
luar realita, mempunyai
dunia sendiri.
Orang dengan
schizofrenia tidak merasa
mengalami sakit jiwa.
Apa yang di rasakan di
anggap sesuatu pada
lazimnya, namun tidak di
mengerti oleh orang lain
dan di anggap mengadaada.
2. NORMALITAS DAN GANGGUAN KEJIWAAN
Hingga saat ini pembicaraan telah dipusatkan hampir secara esklusif
pada cara-cara bagaimana keadaan sakit ditafsirkan dan diperkuat secara beraneka
commit
to user awam pada umumnya. Dokter
ragam oleh orang yang sakit dan
masyarakat
118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memainkan suatu peranan berkenaan dengan definisi sosila mengenai keadaan
sakit.. Dokter yang menentukan dalam mengabsahkan (legitimating) keadaan sakit
seseorang. Peranan moral dokter ini dalam mengabsahkan kesakitan berati
mengabsahkan ketidakhadiran seseorang dalam kegiatan-kegiatan pokok seperti
sekolah dan pekerjaan (Fauzi, 1995).
Penelitian dan pembicaraan mengenai gangguan mental menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan dan tafsiran-tafsiran yang membingungkan dan sulit
untuk disistemtisasikan, sulit untuk mendapat pengertian yang tepat dan cermat
mengenai tipe penyakit ini. Sesungguhnya telah ada perdebatan, apakah perkataan
penyakit dalam hal ini pantas digunakan (Begelman, 1971; Davis, 1970; Gove,
1970 ; Sarbin, 1967; Scheff, 1966,1974 ; Bing, 1973 dalam Fauzi, 1995).
Perkataan penyakit pada orang-orang yang mengalami gangguan
mental menjadikan orang dengan gangguan mental seperti momok yang menular
dan membahayakan. Hal ini juga menimpa pada Orang Dengan Skizofrenia
(ODS) yang dimana banyak masyarakat menganggap bahwa gangguan jiwa
merupakan penyakit menular.
“Untuk pasien Griya sendiri, terkendala staf terbatas. Setelah
dikembalikan kekeluarga kita tidak memiliki kontrol. Jadi
kemungkinan ada stigma negatif masyarakat yang masih
beranggapan bahwa ODGJ dapat menular.”(Yayak, 25 Juni 2015)
Jika dibandingkan dengan penyakit lainnya, gangguan mental
menimbulkan banyak masalah dalam penafsirannya dan banyak tindakan yang
harus diambil oleh dokter maupun orang awam sebelum memberikan pernyataan
commit tomental
user atau tida mengingat dampaknya
seseorang termasuk mengalami gangguan
119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang besar baik bagi orang yang bersangkutan maupun kehidupan sosial
masyarakatnya.
“Yang memiliki wewenang untuk mengatakan sesorang menderita
schizofrenia adalah psikiater, dan psikolog.” (Nugraha, 29 Juni 2015)
Penyakit seperti ini adalah penyakit yang dapat dikatakan tidak
dipengaruhi oleh proses perkembangan penyakit, sedangkan faktor sosial,
terutama yang berhubungan dengan pemberian label atau stigma bahwa seseorang
itu mengalami gangguan mental lah yang sangat berpengaruh.
“Selalu orang penderita schizofrenia disebabkan oleh faktor
keturunan dan juga faktor psikososialnya. Banyak teori yang
mengatakan tentang penyebab schizofrenia sehingga susah untuk
men-generalisir apa penyebab seseorang terkena schizofrenia.
Karena semua hal dikehidupan kita dapat memicu hal tersebut. entah
itu maslah cinta, ekonomi, sekolah dsb.” (Nugraha, 29 Juni 2015)
Gangguan mental adalah penyakit jangka panjang dan datangnya
secara tiba-tiba, tidak seorangpun mampu memprediksinya. Untuk Orang Dengan
Skizofrenia (ODS), penyakit ini lebih besar di pengaruhi oleh kehidupan sosial
masyarakatnya, bukan karena penularan penyakit atau bencana alam dan sudah di
perkuat dari pernyataan informan di atas yang merupakan seorang psikolog.
Bahwa semua problem dalam hidup bisa memicu seseorang untuk menderita
skizofrenia.
“Salah satu alasan timbulnya ketidakjelasan dan kesulitan adalah
gagalnya peserta dalam perdebatan mendapatkan pengertian yang
memadai tentang kondisi yang berkaitan dengan gangguan mental itu.
Kondisi tersebut termasuk adanya gangguan psikosis yang amat berat
(Misalnya, schizophrenia). Psikosomatis, ketegangan, depresi, dan
neurosis. Tipe-tipe terakhir ini, walaupun terasa sangat mengganggu
namun berbeda dengan kondisi psikosis. Sebenernya gangguan
mental tidak begitu parah,
penderita
commit
to user hanya mengeluh tentang gejalagejala yang sering kali terjadi (Menangis, sering merasa lelah, takut
120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meninggalkan rumah, tidak puas dengan hubungan seks, merasa
sering terganggu) dan kurang lebih sama dengan gejala-gejala
penyakit lain. Perbedaan utama adalah gangguan mental ditandai
dengan kesukaran-kesukaran emosianal, bukan gangguan fisik. Maka
sebagain besar gangguan mental dapat diartikan sebagai penyakit
yang tidak menimbulkan cacat fisik.” (Fauzi Muzaham, 1995)
Dan hal ini di perkuat dengan pernyataan informan di bawah ini yang
menyatakan bahwa Orang Dengan Skizofrenia terlihat sehat secara fisik,namun
yang tidak sehat adalah kejiwaannya.
“orang gila kalau secara pribadi fisiknya sehat tapi jiwanya yang
tidak sehat.” (Siswandi, 30 Juni 2015)
Terkait dengan pengertian kesehatan mental, Zakiyah Darajat (1975)
mengemukakan, bahwa kesehatan mental adalah
“Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsifungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif
kebahagiaan dan kemampuan dirinya”. (Zakiyah Daradjat,
Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), hlm. 10-11)
Hal ini juga dinyatakan oleh informan dalam penelitian ini, salah satu
penyebab orang yang menderita sakit psikis seperti skizofrenia terjadi karena
banyaknya permasalahan yang berdampak pada psikisnya dan Orang Dengan
Skizofrenia (ODS) pada suatu waktu tidak sanggup menghadapi problem-problem
yang biasa terjadi tersebut.
“sakit juga ada dua, sakit fisik ketika sakit yang Nampak, yang bisa
dirasakan atau bisa dideteksi oleh klinis /medis. Sakit psikis, tadi,
orang yang kurang bahagia, orang yang kurang bahagia bisa
menyebabkan stress, permasalahan banyak. Dampaknya bisa luas
sakit psikis ini.” (Gilar, 27 Juni 2015)
commit to user
121
perpustakaan.uns.ac.id
Dan
menyebabkan
digilib.uns.ac.id
ketidakharmonisan
antara
fungsi-fingsi
jiwa
ketidakmampuannya
untuk
merasakan
secara
tersebut
positif
kebahagiaan.Karena kebahagiaan merupakan ciri kesehatan psikis seseorang.
“sehat ada sehat fisik dan psikis. Fisik tentu sehat dalam hal gizi,
dengan makan tiga kali sehari, mandi dua kali sehari, dan yg penting
kita ga menderita sakit secara fisik. Sehat psikis adalah ketika kita
bisa merasakan kebahagiaan, kebahagiaan bisa diperoleh di mana
saja.” (Gilar, 27 Juni 2015)
Fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan
dan keyakinan hidup, harus dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama
lain, sehingga dapat dikatakan adanya keharmonisan yang menjauhkan orang dari
perasaan ragu dan bimbang serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan
batin (konflik). Karena Orang Dengan Skizofrenia kerap sekali mengalami konflik
batin dalam dirinya dan konflik batin terhadap perlakuan orang di sekitarnya
seperti yang terjadi pada Hayu dalam pernyataan di bawah ini:
“Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa
berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi
pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa
diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi
ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho,
padahal sebenernya aku kan ga sakit, takut, paranoid takut yang
berlebihan.” (Hayu, 7 Juli 2015)
Bisikan-bisikan itu menjadikan Hayu mengalami konflik batin karena
merasa setiap kali dimasukan keluarganya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) ia dalam
posisi kalah dan tak berdaya padahal ia merasa tidak sakit apa-apa dan tidak perlu
mendapatkan perawatan dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Dalam pembicaraan ini penulis mengutamakan bentuk-bentuk psikosis
yang parah dari gangguan mental. Bentuk-bentuk ini menunjukan pengaruh
commit to user
proses-proses sosial terhadap pengertian tentang gangguan jiwa. Dan juga
122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ternyata, gangguan mental seperti inilah yang langsung terbayang di fikiran orang
waktu ia mendengar atau menggunakan istilah gangguan mental tersebut yakni
masalah gangguan jiwa. Apa yang dinamakan gangguan jiwa seringkali timbul
karena tidak terpenuhinya harapan-harapan social (social expectation). Penderita
tidak berhasil memenuhi harapan dalam hal-hal yang dianggap wajar dan normal
oleh orang-orang lain.
“Kalau mbak wulan, kamu tau ga mbak wulan lari? Itukan ini, dia
waham kebesaran, dia ngerasanya mantunya Pak SBY, isterinya agus
harimurti, isteri yang pertama itu mbak wulan, isteri yang kedua itu
anisa pohan. Anaknya hamengkubuwono. Waham kebesaran
namanya” (Hayu, 7 Juli 2015)
Dari pernyataan informan di atas, tampak jelas bahwa realitas yang
dimiliki Mbak Wulan yang menderita skizofrenia menyalahi realitas sosial.
Seperti yang telah masyarakat umum ketahui bahwa isteri dari Agus Harimurti
Yudhoyono yang merupakan menantu perempuan dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono adalah Anisa Pohan, namun Mbak Wulan memiliki realitas yang
berbeda, ia merasa bahwa Anisa Pohan lah yang merebut suaminya. Dalam hal ini
terlihat bahwa Mbak Wulan tidak bisa memenuhi ekspektasi publik yang
masyarakat inginkan adalah Mbak Wulan menjalani peran sesuai dengan
statusnya. Mbak Wulan sebagai penderita skizofrenia dianggap tidak berhasil
memenuhi harapan dalam hal-hal yang dianggap wajar dan normal oleh orangorang lain. Seperti uraian informan di bawah ini yang merupakan perawat di
Griya PMI Peduli.
“Kondisi dimana seseorang menganggap dirinya sebagai orang lain
sudah tidak bisa membedakan dirinya. contohnya mbak wulan yang
commit to user
123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengangap dirinya sebagai menantunya pak SBY, dia merasa anisa
pohan telah merebut suaminya.” (Yayak, 25 Juni 2015)
Menjadi tidak normal seperti masyarakat pada umumnya ketika
seseorang menganggap dirinya sebagai orang lain dan tidak bisa lagi mengenali
mana realitas dirinya yang sesungguhnya. Orang Dengan Skizofrenia hidup
dengan realitasnya sendiri dan menyalahi realitas yang sebenarnya terjadi.
Menjadi tidak normal ketika Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) termasuk
penderita skizofrenia yang keluar dari kebiasaan masyarakat. Sejatinya
masyarakat sudah memiliki definisi normalitas di konstruksi berfikirnya yang
mengacu pada nilai dan norma yang telah di sepakati dalam kehidupan sosial
masyarakat sehari-hari bernama kebiasaan.
“Orang memandang dia ada dalam area normal, perilaku umum,
tidak menyimpang, dia bisa membedakan perilaku yang baik dan
buruk, dan dia melakukan sesuatu yang baik.” (Rahesli, 25 Juni 2015)
“Contohnya adalah Antari. Salah satu pasien yang paling muda di
Griya PMI Peduli. Ketika di bawa ke Griya PMI usianya 16 tahun.
Namun sekarang kondisinya semakin buruk. Dia tidak mau memakai
baju. Baru lima menit setelah mandi, bajunya sudah di lepas lagi. Hal
ini karena indikasi kekerasan seksual yang pernah di alaminya”.
(Yayak, 25 Juni 2015)
Pernyataan sosiolog yang menjadi informan dalam hal ini dapat
dideskripsikan bahwa orang yang normal adalah orang yang bisa membedakan
mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk sedangkan Orang Dengan
Skizofrenia (ODS) sudah kehilangan kemampuannya untuk membedakan hal
tersebut dikarenakan mereka sakit yang menyebabkan emosi mereka pun tidak
stabil. Begitupun dengan penuturan Mbak Yayak sebagai perawat di Griya PMI
Peduli yang membenarkan bahwa perilaku mereka berbeda dengan masyarakat
commit to user
124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada kesehariannya misalnya dalam kesadaran mengenakan pakaian untuk
menutupi kemaluan karena mereka mengalami gangguan dalam psikisnya.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita skizofrenia
umumnya mengalami ketidakseimbangan pada cairan kimia otak,
khususnya ketidakseimbangan pada dua jenis cairan kimia otak, yakni
dopamin dan serotinin. Dopamin adalah cairan yang bertanggung
jawab terhadap emosi dan motivasi, sedangkan serotonin bertindak
sebagai pembawa berita dan stimulator gerakan – gerakan otot dan
saraf. Otak pada penderita skizofrenia mengalami peningkatan pada
aktivitas serotonin dan dopamin ini. Beberapa studi lain menunjukkan
skizofrenia disebabkan oleh adanya infeksi virus pada otak, juga bisa
bersifat keturunan. (Simanjuntak, 2008).
Dari penelitian di atas, dapat kita ketahui bahwa ada kelainan pada
sistem otak Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Ketidakseimbangan pada cairan
otak yang dialami penderita skizofrenia pada umumnya menyebabkan perbedaan
perilaku pada dirinya dengan masyarakat kebanyakan yang ini dikatakan di luar
nalar atau tidak normal seperti perihal kebersihan.
“Perilaku mereka sehari- hari di Griya PMI yang menyebabkan
mereka di anggap gila adalah menyakiti dirinya sendiri, mengurung
diri, disuruh melakukan sesuatu tidak mau, ketika di tanya
orientasinya beda, ini menunjukkan bentuk kegilaan mereka. Sudah
bisa dilihat dengan jelas perbedaan antara orang yang normal
dengan orang yang gangguan jiwa. Contohnya dari segi kebersihan
diri, bisa terlihat jelas perbedaannya antara orang yang gangguan
jiwa dengan orang yang normal. Perilaku yang sering ditunjukkan
orang dengan gangguan jiwa juga salah satunya adalah memakai
baju terbalik dan selalu mengutarakan pertanyaan- pertanyaan yang
sama berulang kali. Ini menunjukkan orientasi yang sangat jelek.”
(Yayak, 25 Juni 2015)
Di Griya PMI Peduli, mayoritas warga yang di rawat karena gangguan
jiwa kehilangan kesadaran untuk menjaga kebersihannya sendiri. Mereka bisa
hidup dengan kondisi yang tidak bersih, bau, dan kotor karena perilaku mereka
sendiri yang buang air kecil di celana, malas keramas sehingga rambut mereka
penuh kutu dan menular antara warga yang satu dengan warga yang lain, dan
commit to user
125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebiasaan hidup bersih lainnya seperti mandi teratur dua kali sehari yang harus di
ajak berkali-kali oleh perawat jika jam mandi tiba. Karena mereka tidak bisa
merawat dirinya inilah yang akhirnya membedakan mereka dengan masyarakat
pada umumnya yang mencintai kebersihan diri dan lingkungan, memiliki
kesadaran untuk merawat kebersihan diri dan melakukan semua itu tanpa perlu di
suruh orang lain karena sudah menjadi rutinitas yang biasa dilakukan namun hal
ini tidak dilakukan oleh Orang Dengan Skizofrenia (ODS) pada umumnya yang
menderita gangguan jiwa.
“Orang gila adalah orang yang tidak bisa mengorientasikan dirinya
sendiri. Orang gangguan jiwa adalah orang yang tidak bisa merawat
dirinya. Bentuk tidak bisa merawat dirinya sendiri seperti mandi,
makan yang merupakan bentuk kegiatan personal kegiatan seharihari. Orang dengan gangguan jiwa harus di oyak- oyak ketika di
suruh mandi. Ciri khas utama orang dengan gangguan jiwa adalah
tidak mau mandi” (Yayak, 25 Juni 2015)
Di mata psikolog yang menjadi informan dalam penelitian ini, sesuatu
di luar kebiasan orang lain yang menjadikan mereka dianggap di luar normalitas
oleh masyarakat seperti penuturan di bawah ini :
“Ada beberapa sudut pandang. Satu dari sudut pandang statistik
contoh ketika yang lain makan nasi dia makan besi, ketika seseorang
merasa terganggu dengan dirinya sendiri, atau membahayakan orang
lain dan masih banyak yang lainya.” (Nugraha, 29 Juni 2015)
Karena banyak dari penderita skizofrenia dengan waham paranoid
misalnya yang mereka melakukan kebiasaan di luar tata cara yang dilakukan
masyarakat misalnya makan dengan tangan. Seperti yang dinyatakan oleh
informan yang tetangganya menderita gangguan jiwa di bawah ini:
“kalau makan kalau gacommit
masakan
ibuknya ga mau mbak, pasti tanya itu
to user
masakan siapa. kalau makan sampai njlimet mbak, dilihatin dulu
126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sampai beneran baru dimakan. kalau minum ya harus gelasnya dia,
yang nyuci gelas juga harus dia. Nyuci baju ya ibuknya.” (Tri
Wulandari, 27 Juni 2015)
Dimana Supri merasa bahwa makanan yang bisa dipercaya untuk di
makan hanya makanan ibunya itu pun harus di lihat sampai benar-benar detail
setelah percaya baru mau di makan. Supri merasa bahwa makanan yang lain ada
kumannya dan Supri sendiri lah yang harus mencuci gelasnya hingga berkali-kali
untuk melindungi dirinya. Supri merupakan Orang Dengan Skizofrenia (ODS)
dengan waham paranoid atau ketakutan yang berlebih. Menurut PPDGJ III
Skizofrenia paranoid memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia, dengan
adanya waham dan atau halusinasi yang menonjol, adanya gangguan afektif,
dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif
katatonik secara relatif tidak nyata/menonjol. Hal inilah yang telah diteliti secara
medis menyebabkan perilaku Orang Dengan Skizofrenia (ODS) seperti Supri
berbeda dengan masyarakat umum yang tidak menderita skizofrenia.
Berbeda dengan Supri, Kakak nya Supri mengisahkan tetangganya
yang lain yang juga mengalami gangguan jiwa. Jika orang normal pada umumnya
memilih tidur di rumahnya sendiri, ia memilih rumah orang lain yang menjadi
tempatnya memejamkan mata dan enggan untuk tidur di rumah sendiri. Hal inilah
yang dikatakan tidak normal oleh masyarakat, hal-hal di luar kebiasaan pada
umumnya atau di luar kesepakatan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
“dia ngga mau tidur di rumah. Tidurnya di tempat orang”(Tri
Wulandari, 27 Juni 2015)
commit to user
127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Atau Doni yang merasa lumutan mulutnya karena makan kayu
donoloyo, kayu yang di percaya kayu orang mati. Hal ini menyebabkan Doni
kerap membuka mulutnya karena merasa gatal dan mulutnya di penuhi lumut
yang hal ini di luar kebiasaan masyarakat. Masyarakat memahami konsep lumut
itu bukan untuk anggota tubuh tapi untuk benda misalnya kayu atau batu yang
bisa lumutan. Selain itu perilaku Doni yang mencuci kabel-kabel listrik di
rumahnya, membakar televisi, menggunting kabel televisi dengan tujuan untuk
mainan di anggap bukan perilaku yang normal oleh keluarga, menjadi hal yang
tidak wajar dilakukan oleh orang dewasa seperti Doni.
Lalu TV itu dibakar, diguntingin kayak anak kecil buat mainan itu. lha
iya punya TV, CD diguntingin sama Doni, terus listrik itu dicuci pake
air, untung ga kesetrum kan, itu waktu dulunya itu.Yang saya masih
heran itu ya dia makan kayu Donoloyo itu, kayu donoloyo kan kayu
orang mati, lha dia disuruh makan itu. Kadang juga mangap-mangap,
kalau saya tanya kenapa dia bilang mulutnya lumutan gitu. Kan ya
ada benernya, orang kalau dia makan kayu di sungai kan kayu-kayu
berlumut. Dia bilangnya lumutan, gatal bibirnya, padahal ga ada apa
apa. (Endah, 27 Juni 2015)
Masyarakat yang tidak pernah hidup bersama dengan orang yang
mengalami gangguan jiwa hanya melihat dari fenomena yang tidak sengaja
mereka temui di jalan ketika orang dengan gangguan jiwa hidup menggelandang
dan
terlantar
juga
memiliki
konstruksi
berfikir
yang
sama
tentang
ketidaknormalan perilaku orang-orang dengan gangguan jiwa. Seperti pernyataan
dari informan di bawah ini:
“orang yang melakukan kebiasaan yang dilakukan pada umumnya.
Contohnya ya tadi, kalau keluar pake baju, kalau ngobrol ya ada
orang yang diajak ngobrol dan nyambung.” (Siswandi, 30 Juni 2015)
commit to user
128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ukuran normal bagi Siswandi adalah ketika seseorang melakukan
kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya seperti kemampuan
untuk menangkap pembicaraan dan menjawab sesuai dengan topik yang
dibicarakan oleh lawan bicaranya, mengenakan busana ketika keluar dari rumah
karena di Griya PMI Peduli pun ada yang tidak mau mengenakan pakaian tanpa
orang tersebut mau menjelaskan apa yang dirasakan dan alasannya tidak mau
menggunakan pakaian. Dan akhirnya menggunakan pakaian ketika perawat yang
memakaikannya. Sedang definisi normal untuk aktivis yang peduli terhadap
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) seperti arum adalah kemampuan berfikir
sesuai realita dengan bisa membedakan mana hal yang nyata dan mana yang
hanya ada dalam khayalannya saja.
“normal secara psikis, berprilaku sesuai kenyataan. Berfikir sesuai
realita. Mana nyata mana bukan. Ini nyata itu khayalan.” (Arum, 28
Juni 2015)
Dan definisi normal menurutu Gilar yang juga aktivis peduli
gangguan jiwa di Griya Schizofren adalah sebagai berikut ini:
“definisi normal menurut saya yang penting ga melenceng dari jalur,
sama dengan kebenaran, definisi normal dalam hal ini adalah
kebenaran publik, yang menurut saya normal adalah ketika kita
melakukan suatu hal yang dianggap mainstream oleh suatu kelompok
dalam masyarakat. Jadi tidak semua masyarakat mengakui normal,
tetapi ada kelompok yang menganggap itu normal, yaudah itu saya
anggap normal.” (Gilar, 27 Juni 2015)
Hal ini juga merupakan faktor penting dalam memadukan anggapan
terhadap seseorang yang sakit fisik. Namun ada perbedaannya yang pokok. Dalam
hubungannya
dengan
sakit
fisik,
persoalannya
adalah
sekitar
rasa
commit
to user sesuatu walaupun ia dan orangketidaksanggupan seseorang untuk
melakukan
129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang lain tahu bahwa sebenarnya ia sanggup melakukannya. Dalam gangguan
mental persoalannya adalah ketidaksanggupan si penderita untuk mengerti bahwa
ia memang tidak dapat melakukan sesuatu yang dapat dianggap wajar oleh orang
lain, walaupun seringkali si penderita sadar penuh atas kekurangannya ini. Dia
bukan saja tidak dapat melakukannya tetapi tingkah lakunya tidak wajar pula.
“Orang normal adalah orang yang bisa mengorientasikan dirinya
sendiri. Ketika di tanya sesuatu maka jawabannya sesuai dengan apa
yang ditanyakan. Itu yang menjadi ciri orang normal. Sedangkan
orang yang tidak normal adalah orang yang ketika ditanya, orientasi
jawabannya tidak berhubungan dengan apa yang di tanyakan.
Komunikasinya tidak jelas kemana arahnya. Kondisi inilah yang
terjadi pada orang gangguan jiwa yang ada di Griya PMI Peduli.”
(Yayak, 25 Juni 2015)
“ditanya sudah makan apa belum ya dijawab. Sudah bisa ngobrol
mbak, kadang juga kayak anak kecil mbak, jadi harus dikasih tau,
diajarin kalau mau gini ya gini, dia kan mungkin lupa.” (Sutiyem, 27
Juni 2015)
Kalau pada gangguan fisik orang itu tidak dapat melakukan sesuatu,
pada gangguan mental apa yang dianggap wajar itu dilanggarnya. Maka akibatnya
harus ada rasa pengertian yang mendalam dalam menyimpulkan tingkah laku dan
kepribadian orang yang mengalami gangguan mental. Karena mereka melakukan
tingkah laku yang salah, maka ada kecenderungan untuk memberi anggapan
bahwa hal itu disebabkan oelh kepribadian yang salah atau rusak. Terutama dalam
tahap-tahap awal penginterpretasian, tingkah laku yang kemudian dianggap
sebagai akibat dari gangguan mental seringkali dihubungkan dengan sifat-sifat
perorangan misalnya perasaan dengki atau iri hati (Yarrow, 1955).
Perbedaannya dengan mereka yang sakit fisik bukan saja pada cara
commit to user
atau bagaimana mereka yang mengalami
gangguan mental bertindak sesuai
130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan apa yang kita anggap wajar. Namun pelanggaran-pelanggaran yang
mereka lakukan adalah lebih mendasar dan fundamental seperti apa yang
dikemukakakn oleh Scheff:
“Banyak aturan-aturan yang oleh setiap anggota kelompok sudah
dianggap sesuatu yang wajar. Seseorang yang seringkali melanggar
aturan-aturan ini tidak akan dianggap sebagai „salah asuhan‟ atau‟
salah didik‟ melainkan mempunyai sifat aneh dan mengerikan, karena
tingkah lakunya telah melanggar pandangan umum yang dianggap
tidak wajar dari suatu kelompok, pandangan dari sesuatu yang
normal” (1966; 32).
“Kan orang itu normal ketika sama kaya nilai dan norma yang
disepakati masyarakat. Kan masyarakat punya standar kan, mana
normal mana ga normal. Nah orang gila itu yang ga sama kaya nilai
dan norma yang disepakati oleh masyarakat.” (Juwita, 30 Juni 2015)
Menurt Scheff perkataan gangguan mental dipergunakan untuk
memberi pengertian dan gambaran atas orang-orang yang seringkali melanggar
hal-hal yang sangat umum. Perlu ditekankan bahwa bukanlah tingkah lakunya itu
sendiri yang menyebabkan timbulnya perumusan tentang gangguan mental, tetapi
yang menyebabkan adalah keadaan atau situasi yang tidak sesuai.
“katanya rumah ini goyang semua kalau dilewati orang itu. Dia bawa
kayu besar di lempar ke orang kalau jalan depan rumah, katanya
membuat rumah saya goyang mau ambruk gitu. Ga boleh ada orang
lewat. Terus dibawa ke sana lah.” (Endah, 27 Juni 2015)
Scheff berpendapat bahwa apa yang disebut sebagai gangguan mental
tidak selalu timbul dari apa yang dianggap secara klinis sebagai ketidakberesan
mental. Misalnya banyak penelitian Epidemiologi yang menyimpulkan bahwa
terdapat lebih banyak kasus aktif dibandingkan dengan penyakit-penyakit mental.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, Scheff mempunyai anggapan bahwa
commit to user
131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelanggaran-pelanggaran tersebut pada umumnya tidak diperhatikan atau
dianggap tidak apa-apa (1966:51).
“Gila itu orang yang udah tahu salah tapi masih dilakuin (ngelakuin
salah)” (Mila, 28 Juni 2015)
Bagi Mila, yang dikatakan tidak normal atau gila adalah orang-orang
yang sudah tahu tentang salah dan benar namun masih dilakukan kesalahankesalahan tersebut. Mila menanggap bahwa gila tidak hanya ukuran klinis sebagai
ketidakberesan mental namun juga non medis.
“Tingkah lalu bejat yang merugikan banyak orang karena nafsunya ,
contoh korupsi, pemerkosaan, pembunuhan , sadar dengan yg
dilakukan kalau mereka salah.” (Mila, 28 Juni 2015)
Seperti yang masyarakat umum mengetahui, korupsi itu salah dan
merugikan banyak orang namun masih dilakukan dan itu di anggap gila oleh
sebagian orang. Atau seorang ibu yang rela membuang bayinya sendiri
merupakan suatu tindakan yang tidak normal dan sudah mengetahui bahwa itu hal
yang salah namun tetap dilakukan maka itu adalah sebuah kegilaan dan
pelanggaran yang tidak diperhatikan dan tidak di anggap sebagai sebuah kegilaan
oleh masyarakat banyak karena patokan gila terbatas pada ukuran medis.
“Kalau gila secara harfiah ya mungkin kayak tatapan kosong,
kemudian mulai ngelantur, dia mengungkapkan suatu hal yang
sebenarnya ga ada. Tapi kalau gila secara tersirat itu banyak,
contohnya kayak dia bayar kuliah satu tahun, tapi dia ga kuliah
malah ikut kegiatan lain karena dia cinta dengan kegiatan itu, itu
salah satu definisi dariku.” (Gilar, 27 Juni 2015)
Dari pernyataan Gilar dapat diketahui bahwa ukuran ganguan jiwa
yang mahsyur dengan sebutan gila di kehidupan sehari-hari tidak hanya dilihat
commit to user
dari ketidakberesan mental, namun juga ketidakberesan perilaku yang tidak sesuai
132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan aturan. Seperti mahasiswa yang membayar kuliah untuk satu tahun tapi
mengikuti proses kuliah hanya sesekali karena ada kegiatan lain yang lebih dia
cintai. Atau Arum yang mengukur seseorang gila dari kecintaan yang berlebihan
pada sesuatu.
“perilaku yang sangat sangat-sangat berlebihan terhadap sesuatu.
Seneng kerja. Kerja terus itu namanya gila kerja.” (Arum, 28 Juni
2015)
Informan di atas mengungkapkan bahwa kecintaan berlebihan yang
membuat seseorang melakukan kegiatan itu terus menerus dapat didefinisikan
sebagai perilaku gila atau di luar nalar. Misalnya orang yang suka main game
online, kemudian maen game online terus, itu namanya gila main. Begitupun
ketika orang yang seneng kerja dan hidupnya untuk bekerja terus itu juga bisa
dikatakan gila yakni gila kerja karena perilakunya di luar batas atau kebiaaan
masyarakat pada umumnya.
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Gambar IV.3 Kegiatan Rutin Kewirausahaan Membuat Bros Untuk Di
Jual oleh Orang Dengan Skizofrenia (Hayu berbaju pink dan Ulan berjilbab biru)
commit to user
133
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seperti sudah dikatakan pada permulaan bab ini, ada perbedaan
pemahaman antara sehat secara jiwa yang di anggap sebagai normalitas dan
gangguan kejiwaan yang di anggap sebagai ketidakwajaran. ada pertentangan
pendapat bahwa istilah keadaan sakit (illness) berhubungan dengan penyakit pada
seseorang. Banyak ahli yang berpendapat bahwa penyakit gangguan jiwa
disebabkan karena pengaruh lingkungan sosial dan walaupun dapat diakui bahwa
ada gangguan mental yang timbul akibat kelainan fisik seseorang, namun
penyebab yang paling penting adalah karena hubungan dengan orang lain dan
adanya ketegangan-ketegangan dalam kehidupan sosial.
“Macam – macam, menurut buku Pedoman gangguan jiwa disitu
dijelaskan bahwa ada tingkatan stresor. Contoh tingkatan stresor
paling berat adalah kehilangan pasanganya, faktor ekonomi dll. Kita
tidak bisa medeteksi setiap pasien karena jumlah yang telalu banyak.
Ada beberapa kasus KDRT, perceraian, konflik pribadi dengan ortu”(Gatot, 30 Juni 2015)
Seperti kasus yang dialami Mbak Hayu yang menderita skizofrenia
sejak usianya 19 tahun. Masalah yang memicu penyakitnya kambuh adalah
ketegangan-ketegangan dalam kehidupan rumah tangga bersama suaminya. Dan
hal ini di akui oleh dirinya sendiri dan dibenarkan oleh perawatnya di Griya PMI
Peduli Surakarta.
“Nikah tahun 2011. Terus punya dedek salsa. Sama orang wonogiri.
Dulunya aku kerja di sepatu, dia kerja di bakso, jejeran gitu
sebelahan. Terus kenal. Tapi aku itu orangnya emang, gatau lugu apa
gimana, tapi kalau udah di kasih janji, apa apa gitu nurut aja. Jadi
gabisa nyari jodoh yang baik orangnya, yang bisa perhatian gitu,
tertipu terus yang satu ga gemati eh yang ini malah tambah ga
perhatian lagi. Ga pernah ngasih uang nafkah, ga pernah ngasih
perhatian ke anak ku yang salsa, terus akhirnya kemaren waktu di
Griya PMI aku cariin kan. Kerjanya di belakang UNS ini, di daerah
commit to user
deket cik-cik, di rentalan, pengetikan. Terus aku cariin kan, tak
134
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tinggalin alamatku. Terus akhirnya dateng di Griya PMI Peduli,
bilangnya udah ga bisa lagi sama aku. Tapi sampe sekarang gugatan
cerai yang mau didaftarkan, sampe sekarang juga belum aku dapet
surat panggilan. Paling juga ga di urus, kan pakai biaya. Dia
orangnya juga ga setiti gitu lho mbak, jadinya kalau punya uang itu
habis-habis. Paling juga ga di urus.” (Hayu, 7 Juli 2015)
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Gambar IV.6 Front Stage Hayu (ODS) di Depan Anaknya
Itulah pemaparan Mbak Hayu ketika ditanya apa masalah yang
menyebabkan gangguan jiwanya kambuh kembali. Dan hal yang sama juga
dinyatakan oleh perawatnya yang juga menjadi informan dalam penelitian ini.
“Iya, dia dulu keluar naik sepeda nyariin suaminya, terus suaminya
kesini bawain jeruk sama minta cerai. Habis itu sempet kambuh,
ngalamun, nangis, jeruknya juga ga di makan katanya asem, gamau
makan. Dia pengen punya suami lagi, tapi aku bilang mending
sembuh dulu buat anak-anak. Nanti lagi mikirin laki-laki. Susah
namanya laki-laki, apalagi kalau tahu ada gangguan jiwa. Mending
fokus ngurusin anak dulu kaya sekarang.” (Rina, 27 Juni 2015)
commit to user
135
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maka, teori penyakit dari gangguan mental tidak sesuai, karena apa
yang dianggap sebagai gangguan mental pada dasarnya adalah persoalanpersoalan hidup; yakni cara-cara kita mengartikan dan mengatur dunia kita. Hal
yang menguatkan pandangan ini adalah kenyataan bahwa penderita psikosis dan
penderita gangguan mental lainnya karena sakit menyebabkan mereka tidak dapat
memenuhi kewajiban dan harapan-harapan dalam kehidupan sosial.
“Di solopos waktu nikah aku ngundurin diri karena mau deket sama
suami, akhirnya aku melahirkan di kebumen. Nah waktu melahirkan
aku kambuh lagi tu, kaya syndrome baby blues, depresi pasca
melahirkan. Depresi pasca melahirkan karena sakitnya melahirkan,
terus habis itu ngurusi anak sendiri, ngurus rumah tangga sendiri,
suami juga ga begitu perhatian akhirnya jadi satu jadi ini, malah jadi
takut sama bayi nya, nangis terus, ga nyaman, kebawa. Terus di
pulangin.” (Hayu, 7 Juli 2015)
Karena penyebab penyakit
gangguan mental terdapat dalam
kehidupan yang dialami setiap orang, maka pemecahannya membutuhkan
pendekatan masyarakat dan dasar-dasar hubungan atau interaksi yang menjadi
penyebabnya. Maka, anggapan bahwa persoalan-persoalan tersebut adalah
penyakit harus dipertanyakan kembali, karena akan menghalangi cara pendekatan
persoalan dan mengalihkan perhatian dari cara-cara pendekatan yang lebih baik.
“Masyarakat sangat berpengaruh dan berperan penting terhadap
orang dengan gangguan jiwa. Ketika lingkungan masyarakat mau
menerima mereka, mereka akan berfikir ternyata ada yang peduli
terhadap mereka. Sedangkan ketika lingkungan masyarakat tidak mau
menerima mereka, maka orang dengan gangguan jiwa akan memiliki
anggapan sendiri bahwa ia tidak di terima di masyarakat karena ini
dan itu, padahal realitanya tidak seperti itu. Seharusnya ada
sosialisasi kepada masyarakat karena kebanyakan dari masyarakat
masih tidak mau menerima orang dengan gangguan jiwa berada di
tengah kehidupan mereka. Contohnya adalah mbak Mul dan mbak
Hayu. Mereka adalah pasien di Griya PMI, ketika mereka berada di
commit to user
Griya mereka berperilaku baik. Namun ketika kembali ke rumah, satu
136
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dua hari mereka akan kambuh. Hal ini berarti pencetus yang
menyebabkan mereka kambuh odalah orang- orang yang ada di
lingkungan rumah, entah itu keluarganya sendiri atau tetanggatetangganya. Fakta- faktanya, ketika di Griya PMI mereka bersikap
baik, bisa teratur hidupnya. Namun ketika mereka pulang ke rumah
mereka akan kambuh dan akan di kembalikan ke Griya entah oleh
polisi, satpol linmas, atau oleh masyarakat itu sendiri dalam keadaan
yang berbeda di bandingkan saat mereka pulang beberapa waktu
yang lalu. Keadaan mereka menjadi buruk kembali” (Yayak, 25 Juni
2015)
Sampai disini kita harus sadar bahwa persoalan-persoalan yang
dirasakan oleh orang dengan skizofrenia dan keluarganya adalah nyata. Walaupun
tidak disembuhkan dibandingkan penyakit-penyakit lainnya. Orang dengan
skizofrenia kurang lebih mengeluh tentang keadaan mereka karena sakitnya yang
menahun. Selain itu suatu set norma-norma sosial yang kompleks dan beberapa
faktor hubungan antar manusia yang kadang-kadang tidak dapat ditebak
pengaruh-pengaruhnya dapat menjadi penyebab kekambuhan penyakitnya.
Maka kesimpulan yang dapat diambil dalam pembahasan ini adalah
seseorang dikatakan normal jika sesuai dengan nilai dan norma yang menjadi
aturan sosial yang berlaku di masyarakat untuk menciptakan keteraturan sosial
(social order). Jika seseorang melakukan hal-hal yang tidak ladzim dan tidak
sesuai dengan nilai dan norma yang menjadi acuan kebiasaan dan tingkah laku
berinterkasi di masyarakat maka seseorang tersebut dikatakan mengalami kelainan
kejiwaan yang dikenal dengan istilah gangguan jiwa seperti skizofrenia. Hal ini
bertujuan untuk menjamin kelestarin hidup manusia, serta usaha mengamankan
komunikasi dan lalu lintas kehidupan, perlulah ditegakkan peraturan– peraturan
bermain untuk membedkan mana yang salah dan mana yang benar, juga hal–hal
commit to user
137
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mana yang diinginkan dan mana yang harus ditolak. Inilah yang disebut dengan
normaletis untuk semua orang yang hidup di suatu kelompok masyarakat.
Tabel 1V.2
Matrik
Pandangan Mengenai Normalitas
Nama Informan
Dokter
Normal
Memiliki komunikasi yang
nyambung (dapat diajak
ngobrol). Normal bagi orang
dengan schizofrenia adalah
terkontrol dengan obat.
Perawat
Orang yang bisa berfikir
secara realita, mampu
mengorientasikan, mampu
menjaga kebersihan, bisa
beraktifitas rutin secara
runtut, tidak mengalami
gangguan jiwa.
Aktivis
Orang yang berfikir secara
realitas karena tidak
mempunyai gangguan baik
mental ataupun psikis. Sama
halnya dengan sehat jasmani
dan rokhani. Memiliki
kesadaran diri dan perilaku
yang terarah, tidak
melenceng dari jalur nilai dan
norma di masyarakat.
commit
to biasa
user - ketika mereka berdiri
Bisa beraktifitas
seperti
Keluarga
138
(Gangguan Jiwa)
- melakukan sesuatu yang
berbeda dari sudut pandang
pada umumnya. Misalkan
orang lain makan nasi, ia
makan besi. Ketika orang lain
makan menggunakan tangan,
ia makan menggunakan
mulut. Atau ketika ia
membahayakan orang lain,
yang dimana pedomannya
menurut PPDGJ dan DSM.
Ketika mereka tidak mampu
mengorientasikan dirinya
sehingga tidak dapat
menjawab sesuatu sesuai
dengan pertanyaan, yang
membuat komunikasinya
tidak jelas. Perilaku mereka
yang menggunakan baju
terbalik atau menanyakan
sesuatu berulang- ulang dan
tidak mau mandi.
- ketika mereka
membahayakan orang lain,
seperti membunuh ibunya
sendiri. Dikatakan tidak
normal juga karena mereka
sakit secara akal.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seperti ketika mereka belum
sakit.
Relawan Pasif
Orang dengan
Schizofrenia
Normal itu tidak di luar
kebiasaan, sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku
dan akalnya sehat.
Normal bagi orang dengan
schizofrenia adalah apa yang
mereka rasakan sekarang.
Dimana mereka mendapat
bisikan atau halusinasi yang
kemudian menjadi realitas
baru dengan nilai dan norma
yang baru bagi mereka.
berjam- jam, nafsu makan
yang berlebihan seperti
kerasukan setan. Terlalu
mencurigai sesuatu, dan
merusak barang- barang
elektronik. Marah yang
berlebihan, komunikasi yang
tidak lancar.
-Mengganggu masyarakat dan
tidak sesuai dengan nilai dan
norma serta membahayakan
orang lain.
Tidak normal bagi orang
dengan schizofrenia adalah
ketika orang- orang di
sekitarnya berubah sikap
kepadanya. Padahal mereka
merasa bahwa apa yang di
kerjakan adalah hal
sewajarnya.
3. Penyimpangan Sosial
Orang dengan gangguan jiwa kerap dikatakan sebagai perilaku yang
menyimpang. Hal ini dikarenakan, apa yang menjadi tindakannya keluar dari
aturan sosial yang berlaku di masyarakat. Aturan-aturan inilah yang mengatur
sistem nilai (value) dan norma yang telah masyarakat sepakati bersama demi
terciptanya keteraturan sosial (social order). Bagi Dokter Gatot, sebagai pimpinan
di Griya PMI Peduli memandang bahwa apa yang di lakukan orang dengan
gangguan jiwa pada umumnya termasuk didalamnya orang dengan skizofrenia
bukanlah hal yang menyimpang. Seperti penuturannya di bawah ini:
“Orang dengan skizofrenia itu sedang sakit, sehingga tidak tepat
dikatakan menyimpang. Dimana mrnyimpang identik dengan suatu
hal yg negatif. (Gatot, 27 Juni 2015)
commit to user
139
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurutnya, skizofrenia adalah penyakit yang dimana orang tersebut
bisa kehilangan akal dan kesadarannya yang tidak pantas jika dikatakan sebagai
sebuah penyimpangan karena penyimpangan identik dengan suatu hal yang
negatif seperti tindak kejahatan. Kemudian hal ini diperkuat oleh pandangan
masyarakat umum yang menyatakan hal serupa.
“Ga, kalau perilaku menyimpang itu dilakukan oleh orang yang
psikologisnya, psikisnya, otaknya waras ya. Kalau orang gila itu
bukan penyimpangan sih kalau menurutku, jadi kaya, ya bukan
penyimpangan. Kalau penyimpangan itu dilakukan oleh mereka yang
tahu dan sadar tapi di langgar, tapi kalau orang gila kan mereka
pastilah ga ngerti yang bener gimana, yang salah gimana. Toh secara
hukum mereka juga gabisa di hukum” (Juwita, 30 Juni 2015)
Apa yang disampaikan dapat di pahami secara jelas bahwa sesuatu
yang dikatakan menyimpang bagi masyarakat pada umumnya belum tentu berlaku
bagi orang dengan skizofrenia. Orang dengan skizofrenia berada dalam kondisi
yang berbeda di tatanan hukum yang berlaku di masyarakat. Gangguan jiwa sudah
di pahami sebagai suatu penyakit oleh masyarakat yang bisa menyebabkan
kehilangan kesadaran dan di lihat dari kacamata hukum, orang yang kehilangan
kesehatan akal bisa dibebaskan dari jerat hukuman. Namun jika yang
melakukannya adalah orang yang sehat secara medis, berpendidikan, mengetahui
hukum, memahami nilai-nilai yang berlaku di masyarakat namun tetap melakukan
pelanggaran terhadap aturan sosial yang telah di buat oleh masyarakat itu dapat
dikatakan sebagai tindakan menyimpang.
Hal berbeda di katakan perawat di Griya PMI Peduli, sekalipun
perilaku orang dengan skizofrenia tidak termasuk dalam tindakan penyimpangan
commit to user
140
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosial, baginya perilaku tersebut tetap menyimpang jika di lihat dari kebiasaan
yang ladzim di lakukan oleh orang lain.
“Orang dengan gangguan jiwa termasuk perilaku yang menyimpang
jika di lihat dari kebiasaan hidup orang pada umumnya (Yayak, 25
Juni 2015)
Baginya kebiasaan orang dengan gangguan jiwa termasuk orang
dengan skizofrenia didalamnya adalah perilaku yang tetap menyimpang sekalipun
buka suatu tindak kejahatan dan disanalah perawat memainkan peran untuk
mensosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari kepada warganya tentang apa-apa
yang di anggap tidak menyimpang. Dan yang dilakukan Mbak Yayak maupun
perawat yang lain di Griya PMI Peduli adalah membiasakan perilaku yang
sewajarnya di terapkan dalam kehidupan masyarakat seperti pola hidup bersih,
beraktivitas secara teratur, dan menjaga kesehatan dengan makan dan minum obat
tepat waktu. Bagi sosiolog, penyimpangan memiliki tahapan-tahapannya yang
berbeda antara satu dengan yang lain, seperti yang diutarakan sebagai berikut:
“iya, kan ada tahapnya itu. Tahap berbeda, tahap
menyimpang/deviasi, tahap mengganggu/ patologi. Jadi ada tiga
tahapan, nah orang sakit jiwa bisa tiga-tiganya itu, tergantung
tingkatannya. Nanti dia diperlakukan oleh masyarakat tergantung
tingkatannya. Kalau kemudian terapi atau solusinya juga tergantung
tingkatannya. Kalau seperti awal ini mungkin keluarga bisa, kalau
yang kedua ini psikolog, kalau yang ketiga sudah dokter atau
psikiater begitu.” (Rahesli, 25 Juni 2015)
Dari penuturan di atas, dapat kita ketahui bahwa menyimpang atau
tidak menyimpang bisa saja di lakukan oleh orang dengan skizofrenia. Menjadi
hal yang wajar jika di masyarakat ada yang menganggapnya sebagai
penyimpangan maupun memberikan toleransi atas keadaan sakitnya dengan
commit to user
141
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyepakati sebagai perilaku biasa. Jika di tilik lebih lanjut, Bu rahesli
mengatakan bahwa sesuatu yang sudah dikatakan menyimpang jika ada yang
dirugikan misalnya karena mengganggu atau ada yang merasa terganggu.
“Sebenarnya menyimpangnya lebih ke perilakunya, kalau dia tidak
mengganggu. Misal seperti teman saya tadi, itu menganggu. Tetapi
kalau tidak terlalu mengganggu yang lain, dia tidak akan
diperlakukan berbeda.” (Rahesli, 25 Juni 2015)
Hal inilah yang menjadikan titik terang bahwa tidak semua orang
dengan skizofrenia maupun orang dengan gangguan jiwa dikatakan sebagai orang
yang menyimpang karena perilakunya yang menimbulkan ketidaknyamanan,
mengganggu keamanan orang lain atau bersikap menimbulkan kerusakan di
masyarakat.
Konstruksi pemahaman tentang penyimpangan bisa di latarbelakangi
oleh pengalaman, Arum meyakini bahwa tidak semua orang dengan skizofrenia
yang dikenalnya selama menjadi aktivis melakukan perbuatan yang menyimpang.
Hanya kasus yang terjadi di beberapa tempat seperti di bawah ini:
Tidak semuanya. Tapi saya pernah mendengar kabar bahwa kerabat
teman saya yang sudah sembuh dari penyakit jiwanya tiba-tiba
kambuh dan membunuh ibunya dg cara memukul kepalanya hingga
menyebabkan ibunya meninggal. Tapi itu hanya satu kejadian. Saya
tak prnah melihat di sekitar warga griya sendiri. (Arum,28 Juni 2015)
Hal inilah yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang oleh
Arum, ketika sudah menghilangkan nyawa orang lain apalagi nyawa ibunya
sendiri. Namun pengalaman Arum menjadi aktivis untuk Griya PMI Peduli, orang
dengan skizofrenia yang dikenalnya tidak melakukan hal-hal buruk seperti cerita
yang pernah di dengarnya. Dan
Juwita
juga menegaskan bahwa sebagian
commit
to user
142
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat tidak memandang perilaku yang berbeda dari orang skizofrenia adalah
sebuah penyimpangan walaupun
bisa saja ia melakukan penyimpangan
mengingat kondisinya yang sakit.
“Tidak , tapi bisa melakukan penyimpangan karena mereka sakit”
(Juwita, 30 Juni 2015)
Bagi Gilar, ia mendukung pernyataan informan sebelum-sebelumnya
bahwa tidak semua orang bisa melakukan penyimpangan. Dan setiap
penyimpangan bisa beresiko merugikan dirinya sendiri maupun orang lain karena
perilakunya, sekali lagi hal ini tidak hanya terbatas pada orang dengan skizofrenia.
Dampak negatif yang datang dari masyarakat adalah sebuah konsekuensi yang
dimana pandangan buruk akibat penyimpangan tetap akan diberikan kepada
keduanya, baik masyarakat pada umumnya yang melakukan atau orang dengan
skizofrenia yang dalam kondisi hilang kesadaran realitas yang berlaku di
masyarakat.
“...perilaku menyimpang berdampak negative atau merugikan bagi
dirinya maupun orang lain. Karena pelaku (sehat secara kejiwaan)
melakukan perilaku menyimpang itu masih punya kesadaran dan
berpikir rasional, sedangkan berbeda dengan orang gila yang bahkan
dalam hukum, orang gila bebas dari jerat hukum.”
Hingga pada akhirnya kita menyadari, perilaku inilah yang dianggap
di luar kebiasaan yang dikatakan tidak wajar dilakukan orang lain pada umumnya
seperti pandangan yang di ungkapkan oleh masyarakat di bawah ini:
“gila itu suatu kondisi yg terjadi pada seseorang yang dianggap
orang pada umumnya menyimpang atau tidak wajar. karena orang
umum mempunyai sebuah nilai yang disepakati dan orang itu
menyimpang dari nilai-nilai tersebut. orang yg jiwanya menyimpang.
perilaku yg diluar daricommit
kesepakatan
to usermasy atau nilai atau kebiasaan di
masyarakat.” (Siswandi, 30 Juni 2015)
143
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lebih jelasnya Siswandi menuturkan gambarannya berdasarkan
pengalaman tentang perilaku menyimpang orang dengan gangguan jiwa yang
telah ia temui.
“kalau pengalaman sih dia menyimpang, punya dunia sendiri, ga bisa
diajak ngobrol, dari situ masyarakat menyebutnya gila, itu
pengalaman yg pernah saya alami.” (Siswandi, 30 Juni 2015)
Hal-hal inilah yang di tangkap masyarakat di kehidupan sehari-hari,
kemudian di konstruksi sebagai identitas orang dengan gangguan jiwa karena
memiliki kesamaan dan tindakan di luar kebiasaan bahkan di luar nalar inilah
yang masyarakat tidak memahami, kemudian di anggap tidak wajar, tidak normal
bahkan di anggap menyimpang. Perbedaan ini terjadi karena ada perbedaan
pemahaman tentang sejauh mana batas suatu perilaku dikatakan menyimpang atau
tidak, yang kemudian semuanya direfleksikan menjadi pandangan yang melekat
dan pada akhirnya akan mempengaruhi tindakan yang berbeda antara orang yang
tidak pernah mengalami gangguan jiwa dan orang yang mengalami gangguan
jiwa. Bagi Juwita, perilaku yang dilakukan bukanlah hal yang dimengerti oleh
orang dengan skizofrenia itu sendiri. Maka di dalam penuturannya di bawah ini
dapat kita ketahui bahwa penyimpangan dapat dikatakan benar menyimpang di
lihat siapa pelakunya dan bagaimana latar belakang kejiwaannya.
“Ga, kalau perilaku menyimpang itu dilakukan oleh orang yang
psikologisnya, psikisnya, otaknya waras ya. Kalau orang gila itu
bukan penyimpangan sih kalau menurutku, jadi kaya, ya bukan
penyimpangan. Kalau penyimpangan itu dilakukan oleh mereka yang
tahu dan sadar tapi di langgar, tapi kalau orang gila kan mereka
pastilah ga ngerti yang bener gimana, yang salah gimana.”( Juwita,
30 Juni 2015)
commit to user
144
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maka kesimpulan yang dapat di ambil dalam pembahasan ini adalah
Untuk menjamin kelestarin hidup manusia, serta usaha mengamankan komunikasi
dan lalu lintas kehidupan, perlulah ditegakkan peraturan– peraturan bermain untuk
membedkan mana yang salah dan mana yang benar, juga hal–hal mana yang
diinginkan dan mana yang harus ditolak. Inilah yang disebut dengan normaletis,
yang meberikan jaminan sekuritas pada setia orang. maka, apabila orang
menyesuaikan diri dengan standar sosial dari masyarakat. sebab, standar dan
norma – norma etis itu memegang peranan penting dalam memelihara dan
mengawetkan masyarakat. Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, banyak
kebutuhan biogis dan vital harus dikekang dan diatur, demi kesejahteraan umat
manusia dan keadilan. Seperti aturan menjaga kebersihan diri untuk kenyaman
hidup bersama orang lain, aturan berpakaian, aturan bersikap dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan ini banyak orang yang terbentur atau dihambat oleh macam –
macam aturan, norma sosial dan standar sosial karena dalam diri mereka
mengalami frustasi hebat, kekacauan mental dan sedang terganggu kesehatan
jiwanya. Hal ini kemudian di anggap menyimpang oleh sebagian masyarakat yang
mengacu pada nilai yang di pegangnya, dan juga mendatangkan toleransi karena
kondisi kesehatan jiwanya dengan menganggap sebagai tindakan yang tidak bisa
di golongkan sebagai sebuah penyimpangan.
Tabel IV.3
Matrik Pandangan Mengenai Penyimpangan Sosial
Informan
Dokter
Menyimpang
Menyimpang identik dengan
suatu hal yg negatif.
commit to user
145
Tidak Menyimpang
Orang dengan shizofrenia itu
sedang sakit, sehingga tidak
tepat dikatakan menyimpang.
perpustakaan.uns.ac.id
Perawat
Aktivis
Keluarga
Relawan Pasif
digilib.uns.ac.id
Orang dengan gangguan jiwa
termasuk perilaku yang
menyimpang jika di lihat dari
kebiasaan atau standar hidup
orang lain pada umumnya.
Tidak menyimpang karena
memang gangguan jiwa tidak
mampu untuk
mengorientasikan suatu hal
termasuk orientasi terhadap
nilai dan norma
Bisa melakukan
Tidak semuanya. Tapi saya
penyimpangan karena
pernah mendengar kabar
mereka sakit. Pelaku perilaku bahwa kerabat teman saya
menyimpang itu masih
yang sudah sembuh dari
punya kesadaran dan berpikir penyakit jiwanya tiba-tiba
rasional.
kambuh dan membunuh
ibunya dengan cara memukul
kepalanya hingga
menyebabkan ibunya
meninggal. Tapi itu hanya 1
kejadian. Saya tak pernah
melihat di sekitar warga griya
sendiri.
Orang gila tidak dikatakan
perilaku menyimpang karena
ia tidak mempunyai kesadaran
dan tidak berfikir rasional.
Orang dengan gangguan jiwa
bebas dari jerat hukum.
Bagi keluarga, perilaku anggota keluarganya yang mengalami
skizofrenia bukanlah suatu perilaku yang menyimpang
melainkan penyakit karena makhluk halus.
Orang gila dikatakan
Orang dengan schizofrenia
menyimpang karena orang
juga dapatdikatakan tidak
umum mempunyai sebuah
menyimpang. Kalau orang gila
nilai yang disepakati dan
itu bukan penyimpangan.
orang itu menyimpang dari
Kalau
penyimpangan
itu
nilai-nilai tersebut.
dilakukan oleh mereka yang
Berperilaku tidak seperti
tahu dan sadar tapi di langgar,
biasanya. Orang dengan
tapi kalau orang gila kan
schizofrenia dikatakan
mereka pastilah tidak tahu
menyimpang karena
yang benar gimana, yang salah
perilakunya diluar dari
gimana. Orang gila secara
kesepakatan masyarakat atau hukum juga tidak dapat di
nilai atau kebiasaan di
hukum.
masyarakat. Dia punya dunia
sendiri, ga bisa diajak
ngobrol, dari situ masyarakat
menyebutnya gila
commit to user
146
perpustakaan.uns.ac.id
Orang Dengan
Skizofrenia
digilib.uns.ac.id
Bagi orang dengan skizofrenia, perilakunya bukanlah
perbuatan yang menyimpang. Apa yang dia alami dari
halusinasi, delusi maupun waham adalah realitas baru dimana
orang lain tidak mampu merasakan atau memahami realitas
tersebut, dan realitas baru itu masih sesuai dengan nilai dan
norma yang disepakati oleh kelompok realitas baru tersebut.
4. Teori Dramaturgi
Ketika Aristoteles mengungkapkan dramaturgi dalam artian seni maka
Erving
Goffman
mendalami
dramaturgi
dari
segi
sosiologi.
Goffman
memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan
sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life yang
diterbitkan pada tahun 1959.
Menurut Goffman, interaksi sosial dapat disamakan dengan teater, dan
orang-orang dalam kehidupan sehari-hari itu terlihat seperti aktor di atas
panggung, masing-masing memainkan berbagai peran. Mereka memainkan
perannya dan para penonton yang terdiri dari individu-individu mengamati serta
memberi reaksi dari pertunjukan yang disaksikan. Tak terlepas dengan orang
dengan gangguan jiwa yang hilang dan terlantar lalu di rawat di Griya PMI
Peduli, Surakarta.
“Pada dasarnya Griya menampug ODGJ yang terlantar yang
ditemukan di sekitar solo” (Gatot, 30 Juni 2015)
Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang tinggal di Griya PMI
Peduli Surakarta memiliki hukum
panggung
commit
to useryang sama, seperti yang telah di
147
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ungkapkan Goffman jika sudah berhadapan dengan audiance atau penontonnya.
Hal ini di buktikan dengan adanya penilaian-penilaian yang datang dari berbagai
kalangan tentang penampilan panggung depan mereka. Contohnya cara Dokter
Gatot sebagai penanggung jawab di Griya PMI Peduli yang memperhatikan
perkembangan dan perilaku warga binaannya.
“Disini dilihat ketika di Griya mampu melaksanakan tugas dan bisa
membantu yang lainnya dan rutin minum obat maka penderita tsb
bisa dikatakan membaik. Ada, bahkan sering. Dimana beberpa pasien
disini yang usdah membbaik kita kembalikan ke keluarga justru ketika
dirumah cenderung memburuk kumat (kurang perhatian keluarga)
dan dikembalikan ke Griya.” (Gatot,30 Juni 2015)
Atau pandangan dari perawat atas perilaku keseharian mereka yang
dimana sudah merawat hingga bertahun-tahun seperti Mbak Hayu, orang dengan
skizofrenia yang kini sudah diterima bekerja menjadi pegawai kebersihan Griya
PMI Peduli Surakarta.
“Kalau kasus mbak hayu itu, dia gampang ngerasa seneng, gampang
ngerasa sedih. Wahamnya dia seorang princess yang disayang,
memukau dan gampang menarik kita untuk terpukau sama dia. Tapi
habis itu ada apa sedikit, berubah lagi” (Yayak, 25 Juni 2015)
Dan pandangan dari masyarakat terhadap penampilan mereka dan
diakumulasikan bersama orang dengan gangguan jiwa yang pernah ditemui di
jalan, di lihat di media, maupun dari pengalaman pribadi orang lain sehingga
masyarakat turut memberi reaksi bahwa apa yang dipertontonkan itu bukanlah
sebuah keladziman yang sesuai dengan harapan.
“Kan kebanyakan kalau orang normal itu kita pakai baju ya mbak
kemana-kemana. Nah orang gila itu biasanya ga. Kan kebiasaan
masyarakat kalau kemana-mana pake baju, kenapa itu disebut gila?
Karena dia ga sesuai sama
nilai
dan norma di masyarakat. Dia keluar
commit
to user
148
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ga pake baju, ngomong juga ga selayaknya orang. Ngomongngomong ngelantur, kaya gitu.” (Juwita,30 Juni 2015)
Itulah mengapa Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang di
dalamnya termasuk Orang dengan Skizofrenia (ODS) dikatakan tidak bisa
terlepas dari hukum panggung dalam kacamata dramaturgi yang dimana penonton
tidak bisa terlepas dari turut campur memberikan pandangan dan penilaian
audiance sekalipun tidak mengenal atau berinteraksi. Pengaruh penilaian dari
masyarakat lain dapat memengaruhi pandangan masyarakat yang lain juga
sekalipun tidak pernah punya pengalaman atau interaksi sosial.
“Ga sih (ga pernah berinteraksi), ya pengalaman itu sendiri.
Masyarakat yang membentuk rasa takutku.” (Juwita, 30 Juni 2015)
Sebagai sebuah pementasan teater, mereka di tuntut untuk memahami
bahwa hidup hanyalah pementasan pertunjukan panggung yang di dalamnya
dibutuhkan beragam perangkat yang harus dipersiapkan ketika pementasan di atas
panggung yang memerlukan beragam perangkat guna menunjang mulai dari
kesiapan pemain (performer) dan team atau kelompoknya, penampilan
(performance), temapt (region), atau panggung (stage), naskah (script), latar
(setting), dan yang tidak kalah penting, yakni penonton (audience). Orang dengan
skizofrenia pun menyiapkan seluruh perangkat guna menunjang pemantasannya
sama seperti masyarakat pada umumnya.
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali
segala macam perilaku interaksi yang dilakukan dalam pertunjukan kehidupan
kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan
user lain dalam sebuah pertunjukan
cara seorang aktor menampilkancommit
karakterto orang
149
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
drama. Cara yang sama ini menunjukan bahwa setiap harinya ada pertunjukan
yang ditampilkan oleh masyarakat ke masyarakat yang lain. Goffman mengacu
pada pertunjukan sosiologi, pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk
memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri
– Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor
berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin
diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa
penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Namun jika si aktor
memerankan peranannya tanpa berhasil menyampaikan maksud dan tujuan maka
akan terjadi kebingungan yang dirasakan oleh penonton.
Seperti yang di alami oleh Hayu, dimana apa yang dilakukannya
dianggap mendatangkan kebingungan oleh penontonnya, kemudian kebingungan
yang dirasakan audiance yang dinilai sebagai panggung depan Hayu tidak ladzim
dan tidak dipahami oleh orang-orang di sekitarnya.
“Kaya aku sama keluargaku sama orang-orang yang aku sayangi, yang
beriman dan bertakwa sama Allah ada yang nyakitin, tapi sakitnya itu
bukan sakit dohir, sakit biasa, sakit di guna-guna. Itu bisikannya kaya
aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa berontak, aku gabisa
gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi pasien, di anggap orang
gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa diriku tu ga sakit apa-apa
tapi karena aku di taruh di RSJ”
Begitu pun yang di lakukan Doni, orang dengan skizofrenia yang di
akui keluarganya melakukan hal aneh untuk melindungi rumahnya dari ancaman
roboh dengan menghalangi semua orang yang ingin melintas di depan rumahnya.
Cara yang digunakan adalah melempari dengan kayu besar.
commit to user
150
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“lha itu ada mobil yang keliling cari orang gila pas lagi jalan,
katanya rumah ini goyang semua kalau dilewati orang itu. Dia bawa
kayu besar di lempar ke orang kalau jalan depan rumah, katanya
membuat rumah saya goyang mau ambruk gitu. Ga boleh ada orang
lewat. Terus dibawa ke sana lah.”(Endah, 27 Juni 2015)
Apa yang dilakukan oleh Doni dan Hayu, di tangkap sebagai
pencintraan front stage atau panggung depan oleh audiance yakni masyarakat
yang berinteraksi di sekitarnya. Dari penuturan kisah keduanya, dapat dilihat
bahwa apa yang di lakukan Doni dan Hayu merupakan sebuah kejujuran, bukan
perilaku yang direkayasa untuk mendapatkan kesan kelainan jiwa lantas lari dari
jerat hukuman, semua yang ditampilkan benar-benar suatu realitas nyata pada
dirinya, selayaknya panggung belakang, Doni dan Hayu tidak berfikir sedang di
nilai oleh audiance karena pencitraannya.
penampilan panggung belakang Doni dan Hayu ditangkap dan dinilai
tidak wajar oleh audiance yang tidak memahami dan masih menggunakan
kacamata front stage si aktor di atas panggung. Doni melakukannya murni untuk
melindungi rumahnya dari ancaman akibat kendaraan dan orang yang berlalu
lalang di depan rumahnya. Hayu merasa bahwa apa yang dia lakukan untuk
melindungi keluarganya dari ancaman. Apa yang dilakukan Doni dan Hayu sudah
terlepas dari nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya, ia melakukannya
karena kemauannya sendiri dan ia menjadi dirinya sendiri yang tak menggubris
rasa malu, kwatir dengan penilaian orang dan hal-hal yang dirasakan orang pada
ladzimnya jika membuat suatu kegaduhan apalagi kerusakan di lingkungannya.
Baginya keselamatan dan kenyaman hidup bersama keluarganya adalah kejujuran
ekspresi yang tidak di pahami olehcommit
penontonnya.
to user
151
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal ini terjadi karena penonton tidak biasa melihat penampilan
panggung belakang seseorang di atas panggung, sehingga menjadi tidak biasa atau
tidak sepantasnya dilakukan orang yang sedang memainkan kesan di panggung
pementasan yang akhirnya membuat reaksi penonton menganggap aneh atau di
luar nalar.
Gila itu suatu kondisi yg terjadi pada seseorang yang dianggap orang
pada umumnya menyimpang atau tidak wajar. karena orang umum
mempunyai sebuah nilai yang disepakati dan orang itu menyimpang
dari nilai-nilai tersebut. (Siswandi, 30 Juni 2015)
Orang dengan skizofrenia pun sama dengan masyarakat pada
umumnya, mereka memiliki panggung depan dan panggung belakang. Namun
panggung depan menurut penonton adalah panggung belakang bagi orang dengan
skizofrenia, yang dimana pada wilayah itulah mereka menampilkan apa yang di
anggap harus di ketahui oleh penontonnya (audiance) dari apa yang
dipentaskannya di atas panggung untuk sebuah tujuan yang baik sekalipun di luar
ekpektasi penoton dan kewajaran yang biasanya di tampilkan. Kesalahpahaman
mendefinisikan situasi inilah yang membuat munculnya stigma pada akhirnya.
“Sayangnya masyarakat menilai bahwasanya ODGJ itu menular dan dapat
membahayakan. Emang sih ada beberapa yang membahayakan. Tapi ternyata di
griya juga tidak ada yang seperti itu.” (Gatot, 30 Juni 2015)
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tidak semua panggung depan
yang ditampilkan setiap orang akan memenuhi harapan penonton. Dan tidak
semua panggung depan aktor adalah kepura-puraan atau rekayasa. Seperti yang
diungkapkan Kartini Kartono di bawah ini:
bahwa ekspresi dan commit
penampilan
orang yang mengalami kekalutan
to user
mental (mental disorder) seperti skizofrenia adalah penampilan yang
152
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak lazim pada umumnya seperti komunikasi sosialnya terputusputus, dan ada disorientasi sosial. Selain itu timbul delusi-delusi
yakni ilusi yang keliru (khayalan yang tidak benar) yang menakutkan
dan dihinggapi delusi of grandeur (merasa dirinya super, paling)
yang membuatnya selalu iri hati dan curiga. Adakalanya dihinggapi
delusi of persecution (khayalan yang dikejar-kejar). Sehingga dia
menjadi sangat agresif, berusaha melakukan perusakan, dan bunuh
diri (Kartini Kartono, 2005:271).
Dan mereka menampilkan kejujuran itu di panggung depan tanpa
rekaya atau disembunyikan karena itulah panggung belakang si aktor di depan
semua orang yang tak sempat dipahami oleh audiance.
“Dia bermimpi ditemui orang dengan sorban putih, baju putih
berjenggot. Dia menyuruh Doni makan kayu Donoloyo. Nah habis
mimpi itu sikapnya aneh-aneh, barang dirumah dikeluarin, di siram
air, pokoknya rumah harus bersih. Terus selama tiga tahun baju
panjang yang dia pake ga pernah dilepas, jadi tidur dibasahi semua
bajunya. Terus kayak semedi di tengah sungai lho mbak, malemmalem.”(Endah, 27 Juni 2015)
Apa yang diceritakan oleh Doni dan dilakukan oleh Doni dianggap
bukanlah suatu kewajaran. Hal ini dibenarkan oleh para ahli seperti dokter dan
psikolog. Dokter Gatot menyatakan bahwa orang dengan skizofrenia terlihat dari
ketisambungan komunikasi yang di tandai tidak adanya timbal balik, orang
dengan skizofrenia juga tidak mampu merespon stimulus di sekitarnya dengan
baik dan kriteria lain yang mengacu pada PPDGJ III.
“Dilihat dari Komunikasinya ada timbal baik atau tidak, mampu
merespon dgn baik, dan riwayatnya seperti apa, dan kita juga
kontrolkan ke RSJ. Dan dokternya spesialis jiwa yang menyatakan
mereka ODGJ atau tidak” (Gatot, 30 Juni 2015)
Hal serupa juga disampaikan oleh Pak Nugraha, psikolog UNS. Yang
menyatakan bahwa skizofrenia adalah sebuah waham. Waham dan halusinasi
commit to user
153
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan ciri orang skizofrenia. Waham adalah keyakinan palsu yang timbul
tanpa stimulus luar.
“Perlu kita ketahui schizofrenia adalah waham, halusinasi
merupakan salah satu sindrom dari schizofrenia. Parameter yang
digunakan adalah dengan beberap cara. Tapi diluar caranya semua
mengacu kepada PPDGJ.” (Nugraha, 29 Juni 2015)
Hal ini menjadi realitas baru yang dialami oleh orang dengan
skizofrenia, terlihat sangat nyata dan sudah tidak bisa dibedakan lagi oleh dirinya
mana yang ilusi dan mana yang realitas sebenarnya. Realitas baru inilah yang
menjadi panggung depan untuk orang dengan skizofrenia. Mereka menampilkan
pertunjukan yang dipengaruhi oleh naskah realitas baru, mengikuti nilai dan
norma realitas baru yang hanya disepakati oleh mereka yang memiliki realitas
yang sama. Dan hal ini dianggap tidak wajar oleh masyarakat pada umumnya
yang memiliki realitas sendiri dengan naskah yang berisi kesepakatan nilai dan
norma yang telah disetujui dan dilaksanakan oleh anggota kelompoknya dan
dimaknai sebagai kebiasaan yang sewajarnya.
“perilaku yg diluar dari kesepakatan masy atau nilai atau kebiasaan
di masy.” (Siswandi, 30 Juni 2015)
Hal inilah yang membuat panggung depan yang ditampilkan oleh
orang dengan skizofrenia tidak dipahami oleh masyarakat yang menjadi penonton
sebagaimana mestinya. Pesan, tujuan dan komunikasi yang ingin disampaikan
oleh orang dengan skizofrenia tidak sampai kepada penonton yang melihatnya
sebagai panggung depan padahal yang ditampilkan panggung belakang.
commit to user
154
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Rasanya kaya gitu tadi, kaya dunia itu sempit, ada orang jahat terus
aku juga merasa jahat, merasa nyakitin banyak orang, padahal aku ga
ngapa-ngapain tapi aku ngerasa kaya gitu. Perasaan. Aku minta maaf
terus, padahal ga ngapa-ngapain. Kalau udah berada dalam situasi
kaya gitu, mau ilang, mau keluar dari perasaan kaya gitu susah banget.
Terus gitu aku jadi ga ngurus anak ku gitu.” (Hayu, 7 Juli 2015)
Dan apa yang menjadi panggung depan orang dengan skizofrenia
tidak di lihat oleh orang kebanyakan hanya orang-orang yang berinterkasi intens
di tempat rehabilitasi mereka seperti dokter dan perawat yang selalu memantau.
“Aku udah ke RSJ tujuh kali, tapi aku udah capek, maksudnya aku
gamau, aku gamau berada dalam permainan kehidupan yang seperti
ini, aku mau bangkit, aku gamau menyerah atas apa yang terjadi
padaku, pokoknya aku gamau kumat lagi.” (Hayu, 7 Juli 2015)
Inilah panggung depan Mbak Hayu yang sebenarnya, ketika
kesehatannya sudah pulih karena pengaruh obat yang diminum, ia mulai
menyadari bahwa dirinya tidak sesuai dengan harapan keluarga, membuat kecewa
keluarganya dan bertekad untuk sembuh agar di terima keluarga.
“Kakak ku bilang gini, “aku wes ga percaya sama kamu, kamu kalau
udah kumat itu sampe berkali-kali. Jadi aku udah ga ada rasa
percaya sama kamu, gitu.” Tapi aku ini terus bangkit, pokoknya aku
ga boleh kalah, aku ga boleh kalah sama sakit ini. Aku harus bisa jadi
orang yang berguna, yang bermanfaat bagi orang lain. Apalagi buat
anak-anak ku” (Hayu, 7 Juli 2015)
Di panggung depan yang sebenarnya bagi Hayu, yang jarang di tonton
oleh penontonnya, ia ingin kembali sehat, diberi kepercayaam, diterima oleh
keluarga dan bisa berkumpul dengan anak-anaknya. Hal ini lah yang membuat
perbedaan pemahan atas sebuah panggung dari orang dengan skizofrenia dengan
penonton pada umumnya. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari
perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil
commit to user
155
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar
manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan
kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut atau disebut dengan
naskah yang disesuaikan dengan nilain dan norma yang disepakati. Bermain peran
merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan
tersebut. Namun terkadang tujuan yang disepakati tidak tercapai ketika ada
perbedaan pemahaman menilai sebuah panggung orang lain. Karena tidak semua
apa yang ditampilkan di depan panggung oleh si aktor adalah sandiwara peran,
dan bersifat pura-pura. Tidak semua aktor selalu perlu kehati – hatian yang harus
terus menerus mengidentifikasi penontonnya dan mencoba menggunakan nilai
yang sesuai dengan yang dikehendakinya.
Individu atau kelompok (team) harus memainkan pertunjukkan di atas
panggung itu berdasarkan kesepakatan itu yang telah dituliskan di naskah. mereka
benar benar diharuskan memaksimalkan penampilannya dengan mengacu pada
dua hal, yakni pada naskah maupun penonton. Ketika belum mengalami kejiwaan,
Mbak Hayu hidup dan bekerja seperti tuntutan panggung depan masyarakat pada
umumnya.
“Iya kerja, kerja jadi guru honorer bahasa inggris. Di SD-SD, ada
lima SD waktu itu. Ada kismoyoso 1, kismoyoso 3, gagasipan,
donohudan sama ngasrek. Jadi guru satu tahun, kan waktu aku kuliah
kan les bahasa inggris, di intensive english course, habis itu terus
ngelesi di deket rumah kakak ku, ngelesi tiap sore gitu.”
Naskah yang dimainkan Mbak Hayu sesuai dengan kesepakatan
bersama atas perilaku yang disetujui oleh masyarakat. Selepas kuliah, bekerja,
commit to user
156
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lalu menikah dan memiliki anak. Tapi ketika panggung depan itu berubah menjadi
penampilan panggung belakang Mbak Hayu, ia mendapatkan reaksi yang berbeda.
Di solopos waktu nikah aku ngundurin diri karena mau deket sama
suami, akhirnya aku melahirkan di kebumen. Nah waktu melahirkan
aku kambuh lagi tu, kaya syndrome baby blues, depresi pasca
melahirkan. Depresi pasca melahirkan karena sakitnya melahirkan,
terus habis itu ngurusi anak sendiri, ngurus rumah tangga sendiri,
suami juga ga begitu perhatian akhirnya jadi satu jadi ini, malah jadi
takut sama bayi nya, nangis terus, ga nyaman, kebawa. Terus di
pulangin ke ibuku. (Hayu, 7 Juli 2015)
Meninggalkan bayi bagi audiance di sekililingnya adalah perilaku
yang tidak disetujui. Perilaku tersebut tidak dapat digunakan untuk mencapai
suatu tujuan yakni keteraturan sosial (social order). Nilai adalah sesuatu yang
dianggap baik atau benar menurut kesepakatan masyarakat sedangkan norma
adalah aturan tidak tertulis yang di buat masyarakat dan berdasarkan kesepakatan
masyarakat yang jika di langgar akan berbalas sanksi dari masyarakat. Inilah
kenapa Mbak Hayu dipulangkan ke keluarganya, di ceraikan oleh suaminya dan
dimasukan kembali di Rumah Sakit Jiwa karena masyarakat menginginkan
penampilan front stage Mbak Hayu bukan penampilan back stage yang tidak
seharusnya di tampilkan. Mbak Hayu dimasukan ke institusi total seperti Rumah
Sakit Jiwa untuk dikembalikan pada nilai dan norma melalui jalan medis.
Orang Dengan Skizofrenia (ODS) di anggap berperilaku di luar
kesepakatan masyarakat. Perilaku mereka dianggap di luar nilai dan norma yang
masyarakat sepakati seperti yang diungkapkan oleh Juwita sebagai relawan pasif
yang menjadi informan dalam penelitian ini. Peran orang yang menderita
to user
gangguan jiwa atau masyarakat commit
kerap menyebutnya
dengan kata “orang gila”
157
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dinilai tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Komunikasi yang di lontarkan orang gila sebagai aktor juga tidak bisa
mempengaruhi masyarakat dan di nilai tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh
penonton sebagai lawan interkasinya. Karena tidak sesuai dengan kesepakatan
masyarakat inilah mereka di sebut sebagai orang gila.
“Nah orang gila itu yang ga sama kaya nilai dan norma yang
disepakati oleh masyarakat. Kan kebanyakan kalau orang normal itu
kita pakai baju ya mbak kemana-kemana. Nah orang gila itu biasanya
ga. Kan kebiasaan masyarakat kalau kemana-mana pake baju, kenapa
itu disebut gila? Karena dia ga sesuai sama nilai dan norma di
masyarakat. Dia keluar ga pake baju, ngomong juga ga selayaknya
orang. Ngomong-ngomong ngelantur, kaya gitu.”(Juwita, 30 Juni
2015)
Karena adanya dua pengontrol itu, yakni satu set aturan nilai dan
norma, serta pevaluasi penonton, individu harus memainkan peran sosial sebaik
mungkin. Dari inti pandangan yang dikemukakan Goffman, bisa dianalogikan
bahwa kehidupan sosial sama dengan dunia panggung itu. Semua individu adalah
aktor-aktor yang sedang memainkan bermacam-macam model pertunjukan.
Karenanya, ada berbagai macam naskah yang harus dipelajari. Naskah tersebut
berisi panduan peran yang harus menjadi acuan. Isi naskah merangkum gambaran
peran yang diketahui dan dikehendaki para penonton. Karena bermain di banyak
panggung dan di tonton banyak audiance maka naskah yang kita miliki tidak
hanya satu. Sangat mungkin naskah itu berjumlah ratusan bahkan ribuan. Inilah
yang pada dasarnya dapat kita ketahui mengapa orang dengan skizofrenia yang
melakukan hal pada sewajarnya dianggap memiliki kelainan kejiwaan karena
kesalahpahaman masyarakat menilai panggung dari penampilan Mbak Hayu.
commit to user
158
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Misalnya, Mbak Hayu sebagai pegawai, ibu, pasien skizofrenia dan
sebagai anak. Maka kita harus memiliki banyak naskah, seperti naskah sebagai
pegawai, naskah sebagai ibu, naskah sebagai pasien dan naskah sebagai anak.
Sukses tidaknya peran merupakan hasil monitoring atau evaluasi para penonton
yakni orang-orang disekitar kita. Bisa jadi Mbak Hayu dianggap tidak wajar
memainkan peran sebagai seorang istri di depan penontonnya, namun Mbak Hayu
berhasil memainkan peran sebagai seorang ibu.
“(Sama anak) deket, kasih sayang, love terapi. Kelas dua, naik kelas
dua kalau yasmin. Kalau salsa umurnya tiga tahun. Harapannya ya
bisa jadi ibu yang baik untuk anak ku, terus bisa manfaat bagi orang
lain” (Hayu, 7 Juli 2015)
Individu atau kelompok akan selalu menghindari sumber – sumber
yang memalukan dalam interaksi atau dalam bahasa Goffman dikatakan sebagai
kekacauan penampilan. Kekacauan dalam konsep sehari-hari disebut insiden.
Pada saat itu, individu cenderung mereaksi dalam tindakan seperti bingung, tidak
nyaman, malu, dan grogi. Hal ini merupakan tindakan individu yang tidak
dipersiapkan sehingga ia dituntut untuk memakai topeng. Pada titik inilah
individu atau kelompok memiliki perlengkapan atau alat tertentu dan
mengekspresikan atribut ini untuk menyelamatkan pertunjukkan. Dan hal ini tidak
bisa digeneralisir bagi orang dengan skizofrenia yang kerap tampil dengan
panggung belakang sebagai pementasan teaternya di depan publik.Seperti Supri
yang berperan dengan menjadi dirinya sendiri untuk kenyamanan dan apa yang ia
yakini.
commit to user
159
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“kalau Supri itu ya pendiam gitu, kalau mandi wah lama sekali,
kungkum lah mbak. Kalau ngelap sepeda itu bisa ketawa ketawa
sendiri si supri itu” (Tri Wulandari, 27 Juni 2015)
Sekalipun memang ada tindakan – tindakan yang dihasilkan dari
kekacauan – kekacauan ini, yang kemudian memunculkan permainan yang baru
atau realitas baru. Realitas baru yang dipahaminya sebagai sesuatu yang nyata,
wajar, normal dan sama dengan orang pada umumnya. Mereka sudah tidak
memahami apa yang di maksud Goffman yang mengharuskan individu atau
kelompok harus mengerti ia pada posisi di panggung depan (front stgae atau front
region) atau panggung belakang (back stage atau back region). Panggung depan
menunjuk pada sebuah drama yang dipentaskan, yang mana perilaku pemain
selalu dikendalikan, dimonitoring, dan di evaluasi oleh dua hal, yakni naskah dan
tanggapn penonton. Dalam panggung depan, individu melakukan upaya yang
dikatakan Goffman sebagai make work. Karena dalam realitas baru inilah, ia
berekspresi dengan penuh kejujuran di hadapan penontonnya yang dimana
biasanya itu adalah panggung belakang yang kerap disembunyikan. Seperti
kebiasaan Supri, orang dengan skizofrenia yang dinilai sebagai panggung depan
oleh kakaknya di bawah ini.
“Mungkin kalau pas ngamuk itu yang ngerasukin ya yang ngomong,
kalau hari-hari biasa ya biasa mbak. Wong supri itu sempet berapa
tahun berdiri terus sampe kuning kakinya bengkak. Lha berdiri ga
mandi ga ngapa-ngapain. kalau makan kalau ga masakan ibuknya ga
mau mbak, pasti tanya itu masakan siapa. kalau makan sampai
njlimet mbak, dilihatin dulu sampai beneran baru dimakan. Kalau
minum ya harus gelasnya dia, yang nyuci gelas juga harus dia. Nyuci
commit to user
baju ya ibuknya.(Tri Wulandari,
27 Juni 2015)
160
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seperti Orang Dengan Skizofrenia yang dianggap tidak bisa
berkomunikasi dengan baik dan menyebabkan mereka digolongkan sebagai orang
dengan gangguan jiwa.
“Dilihat dari Komunikasinya ada timbal baik atau tidak, mampu
merespon dengan baik, dan riwayatnya seperti apa, dan kita juga
kontrolkan ke RSJ. Dan dokternya spesialis jiwa yang menyatakan
mereka ODGJ atau tidak.” (Gatot, 30 Juni 2015)
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah
tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan
psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari
interaksi dengan orang lain dan kondisi psikologis dari si aktor. Disinilah
dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.
Dalam
dramaturgis,
interaksi
sosial
dimaknai
sama
dengan
pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan
karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan
dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep
dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung
perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan
juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain
memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non
verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada
lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan
diatas disebut dalam istilah “impression management”. Ketika Doni dalam
commit to user
161
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keadaan sehat secara kejiwaan, Doni meninggalkan kesan yang baik di mata
keluarganya.
“kalau kurangnya ga ada sih mbak, dia juga manutan, diem ga suka
aneh aneh, suka bantu ibu juga, rokoknya aja ga sebanyak pas sakit.
Saya ingin Doni bisa kayak dulu lagi mbak, bisa kerja, bicara sama
temennya, betapa senangnya saya.”(Endah, 27 Juni 2015)
Ia selalu menghindari tindakan-tindakan “bodoh” yang membuat
penampilannya
akan
tidak
berhasil
atau
malahan
terganggu.
Karena
ketidaktrampilan individu dalam memainkan peran ini akan merusakan atau
setidak-tidaknya sangat berpengaruh pada melemahnya self yang sedang pemain
tampilkan sebagai bagian dari definisi situasi. Ketika dalam sebuah tim individu
melakukan suatu tindakan, tapi tidak mendukung tindakan tim lain, atau, tindakan
satu tim itu merusak “khayalan” tim, maka tindakan itu di anggap sebagai
kesalahan dan harus diluruskan salah satunya dengan jalan medis untuk mendapat
penangan dari para ahli.
“enggak mbak, ya hidupnya kan kayak gini dah cukup. Wong dia bisa
beli sepeda onthel dua, terus pas sakit malah dipretelin dibuat
mainan. Termos-termos dibakarin, makan itu mbok bisa sampe 20 kali
mbak, warung –warung itu dihabisin makanannya waktu dulu. Dia
pokoknya pengen makan terus. Bakar sama goring mangkok, termos
kalau ibu ga jualan. Saya takutnya kalau bakar rumah mbak.”
(Endah, 27 Juni 2015)
“Sudah empat tahun mbak, sakitnya sudah lama, sampai kuningkuning semua. Gara-gara berdiri terus, gamau bicara, terus dibawa
ke RSJ sama RT dan pihak keluarga. Di sana cuma 12 hari terus
diambil, kita ga tega, dia pengen pulang. Setelah itu sudah bagus, tapi
aneh-aneh lagi. Kalau pergi ga mbalik, pernah waktu itu pergi terus
kesasar sampai kampus UNS dua hari tersesat di kampus, ibuk
sampai mencari-cari. Ketemune setelah sodara saya yg ngojek di
kampus ketemu. Habis itu dibawa ke PMI” (Endah, 27 Juni 2015)
commit to user
162
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagi perawat seperti Yayak, perawat yang menjadi lawan interaksi
sehari-hari Orang Dengan Skizofrenia (ODS) di Griya PMI Peduli ciri orang
dengan gangguan jiwa adalah tidak bisa mengorientasikan sesuatu sesuai realitas
yang ada.
“Orang dengan gangguan jiwa yang ada di Griya PMI Surakarta
tidak bisa mengorientasikan dirinya. Contohnya yaitu ketika di tanya
“ini dimana ?” mereka menjawab “di Moewardi, di anggrek, di
stasiun” ini berarti mereka tidak bisa mengorientasikan tempat.
Selain itu mereka juga tidak bisa mengorientasikan hari dan jam.
Bahkan identitas dirinya pun ia tidak bisa mengorientasikan. Ia tidak
tau tentang riwayat dirinya. Yang mereka ingat cuma kejelekan orang
yang pernah menyakiti dirinya.” (Yayak, 25 Juni 2015)
Oleh
Goffman,
di
sebuah
tindakan
terkandung
“impression
management”. Namun sayangnya lawan interkasinya tidak menangkap maksud
dari impression management atau manajemen kesan dari si aktor. Bagi Mbak
Hayu, apa yang ia lakukan itu adalah hal yang digunakan untuk melindungi orang
yang dia sayangi dari kejahatan. Perananan yang ia mainkan bertujuan untuk
mencapai maksud yang baik, namun orang disekitarnya tidak menangkap maksud
dan tujuan atas perilaku yang Mbak Hayu lakukan, lantas mereka menganggap itu
suatu penyakit kejiwaan dan membawanya ke Rumah Sakit Jiwa hingga akhirnya
Mbak Hayu tercatat sebagai pasien rumah sakit jiwa.
Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa
berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi
pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa
diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi
ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho,
padahal sebenernya aku kan ga sakit, takut, paranoid takut yang
berlebihan. Mau gerakin tangan aja tu takut, liat orang ada di luar
dari jendela di RSj yang jendelanya gede-gede liat orang lewat itu
commitmenutup
to user diri terus tiduran sama tutup
takut. Jadi adanya Cuma
163
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bantal karena merasanya hayu kamu kalau ada di RSJ kamu itu kalah,
kamu pisah sama anak-anakmu, anak-anakmu sedih jadi kaya ada
kesempatan untuk wake up, bangun, untuk jadi orang yang normal ga
sakit jiwa lagi tapi aku tu ragu-ragu. (Hayu, 7 Juli 2015)
Dari pembahasan ini, kesimpulannya adalah ada perbedaan akting
yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang
panggung (back stage) dalam drama kehidupan ini. Ladzimnya kondisi akting di
front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada
dalam bagian pertunjukan. Selain itu panggung depan adalah bagian penampilan
individu yang secara teratur berfungsi di dalam mode yang umum dan tetap untuk
mendefinisakan situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan itu. Saat itu
aktor berusaha untuk memainkan peran sebaik-baiknya agar penonton memahami
tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang
bertujuan untuk membuat drama yang berhasil maka dari itu Identifikasi daerah
belakang ini tergantung pada penonton yang bersangkutan. Namun bagi orang
dengan skizofrenia, penilaian panggung depan oleh penonton itu adalah panggung
belakang dirinya yang ditampilkan, menjadi tidak wajar karena biasanya di
panggung depan orang penuh dengan kepura-puraan atau bersikap alamiah demi
mencapai tujuan dan memenuhi tuntutan nilai dari penontonnya.
Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan
untuk membuat drama yang berhasil yang di lihat dari unsur-unsur impression
management. Didalam membahas sebuah pertunjukan, Goffman menyaksikan
bahwa individu dapat menyaksikan suatu pertunjukan (show) bagi orang lain,
tetapi kesan (impression) si pelaku terhadap pertunjukan ini bisa berbeda-beda.
commit to user
164
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seseorang bisa sangat yakin akan tindakan yang diperlihatkannya, atau bisa pula
bersikap sinis terhadap pertunjukan itu.
Dalam kasus Mbak Hayu, Doni dan Orang Dengan Skizofrenia
lainnya tidak dipahami maksudnya padahal sudah memainkan impression
management yang sesuai dengan konsep-konsep drama kehidupan ini, mereka di
stigma sebagai orang yang sakit yang dapat menular, menurun secara genetis dan
membahayakan sehingga apa yang menjadi tujuan dari perilaku mereka gagal
diterjemahkan oleh penontonnya dan akhirnya muncul istilah sakit atau gila
karena ada masalah gangguan jiwa. Padahal Orang Dengan Skizofrenia hanya
memainkan peran yang mereka inginkan tampilkan pada saat pertunjukan drama,
sama seperti orang normal pada umumnya. Inilah gambaran tabel perbedaan
panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) oleh Erving
Goffman
TABEL 1V.4
Perbedaan Front Stage Dan Back Stage
No.
1.
2.
3.
Perbedaan
Keadaan
Kepentingan untuk
mengatur kesan
(impression
management)
Perilaku individu
Front stage
Tenang, bisa
dimanipulasi,
berpura-pura
membutuhkan
Back stage
Asli
Tidak
membutuhkan
Harus
Rileks, tidak
menyesuaikan
terpengaruh oleh
peran sosial dengan siapapun
audiens
commit to user
165
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sumber: Erving Goffman.1959.the presentation of self in everyday life. Newyork:
doubleday anchor books & company, Inc.
Goffman tidak meletakan pandangan bahwa individu sebagai makhluk
bebas, karena ia menjelaskan perilaku individu selalu ditujukan pada pihak luar.
Keterampilan terpenting individu adalah melakukan definisi situasi. Individu
harus mencari informasi sebanyak mungkin tentang situasi-situasi yang
mengelilingi dirinya. Kemudian, menentukan sikap sesuai dengan penyimpulan
situasi tersebut. Baik sikap maupun tingkah laku individu menyesuaikan dengan
pihak-pihak lain, seperti pasangan interaksi (yang tergabung dalam tim), penonton
sebagai pihak lain, region (tempat atau wilayah), maupun norma-norma yang
mengajarkan kepantasan tertentu. Tidak ada istilah tetap atau konsisten, baik
dalam perilaku maupun sikap individu. Jika keluar dari satu set aturan dan norma
yang berlaku, mereka akan dimasukan dalam institusi total.
Istilah institusi total (total institution) diperkenalkan Erving Goffman
dalam karyanya yang berjudul Asylums:Essays on the Social Institution of Mental
Patients and Other In mates (1961). Buku ini terdiri dari serangkaian makalah
tentang orang-orang yang ditempatkan di institusi total . Maksudnya, adalah
tempat-tempat yang memisahkan penghuninya dari dunia luar dengan pintu
terkunci dan tembok tinggi. Termasuk institusi total adalah rumah sakit jiwa,
penjara, sekolah asrama, dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut juga
diistilahkan asylum (suaka). Di asylum, Goffman memandang orang-orang dalam
institusi ini berusaha menafsirkan pengalaman mereka daripada membenarkan
commit to user
sistem yang mereka hadapi. Selain buku tersebut, melalui The Presentation of Self
166
perpustakaan.uns.ac.id
in
Everyday
digilib.uns.ac.id
Life,
Goffman
memperlihatkan
bagaimana
orang-orang
menyesuaikan diri dalam peran-peran masyarakat, dan bagaimana berbagai
institusi mendukung dan menegakkan peran-peran mereka. Erving Goffman
mengidentifikasi lima kategori institusi yaitu :
1. Institusi yang dibangun untuk merawat orang yang dianggap tidak mampu
dan tidak berbahaya.
2. Tempat yang dibangun untuk orang yang dianggap tidak mampu merawat
dirinya sendiri dan berbahaya bagi masyarakat.
3. Institusi total yang diorganisir untuk melindungi masyarakat dari apa yang
dirasakan sebagai bahaya yang mengancam.
4. institusi yang pada dasarnya dibangun untuk menunaikan beberapa tugastugas yang mirip dengan kerja dan yang mengesahkan diri mereka atas
dasar-dasar instrumental ini.
5. lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dirancang sebagai tempat
mengasingkan diri dan kadang-kadang sering berfungsi sebagai tempat
latihan keagamaan.
Griya PMI Peduli termasuk institusi total yang dimana institusi ini
memiliki karakter didambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan
kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu
ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi
dan orang yang berwenang di atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain
dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas.
commit to user
167
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno
(disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara,
pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi
pemerintah, dan lainnya. Seperti penuturan dari Dokter Gatot yang menjadi
pimpinan di Griya PMI Peduli.
“.....Disini dilihat ketika di Griya mampu melaksanakan tugas dan
bisa membantu yang lainnya dan rutin minum obat maka penderita
tsb bisa dikatakan membaik. Pengobatan paling efektif untuk
schizofren adalah dari keluarga, tetapi ada kendala dimana tidak
semua anggota keluarga siaap untuk menerima. Ketika sudah
dikembalikan keluarga Griya PMI tidak mempnyai hak untuk
mengontrol karena sudah menjadi tanggungan keluarga.” (Gatot, 30
Juni 2015)
Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang
menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”.
Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk
diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin
dimainkan. Begitu pun yang Mbak Hayu alami selama berada di Rumah Sakit
Jiwa yang termasuk dalam institusi total. Karena institusi total merupakan sebuah
istilah yang digunakan Erving Goffman yang merujuk kepada lembaga-lembaga
yang mengatur semua aspek dari kehidupan seseorang di bawah otoritas tunggal
seperti rumah sakit mental (Jiwa). Semua aspek kehidupan Mbak Hayu di atur
sedemikian rupa oleh sistem di Rumah Sakit Jiwa seperti penuturannya di bawah
ini.
Baik, ga ada yang jahat. Kalau yang jahat itu perawatnya,
perawatnya kaya ga manusiawi sama aku, sama temen-temenku. Iya,
itu pernah mukul, pernah di jotos sampe berdarah, terus di tali ga
boleh makan, itu namanya bu lilik, perawat ruangan larasati. Aku
commit
to user
mau protes tapi aku gatau
harus
kemana. Kayanya perawat di RSJ itu
168
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perlu di kasih bimbingan konseling kali ya, gimana memanusiakan
manusia yang seperti mereka yang mengalami gangguan jiwa, agar
mereka dimanusiakan sama kaya manusia normal lainnya jangan
dibedakan. Terus aku sampe marah,“mbak hayu kalau marah nanti
lebih lama lho disini” kata dia. “gapapa biarin aja, tapi aku manusia
bu, aku kalau liat temenku sakit aku juga ikut sakit, tapi kalau ibu
gituan orang gapapa berati ibu ga punya hati”. Jawabku. Moso orang
di cencang, di tali habis itu ga boleh makan, terus gimana kalau laper
malem-malem. Terus aku suapin. (Hayu, 7 Juli 2015)
Dari penuturan Mbak Hayu di atas dapat diketahui bahwa perawat
memiliki kuasa penuh pada diri Mbak Hayu dengan kata-kata ,“mbak hayu kalau
marah nanti lebih lama lho disini” merujuk pada ancaman dan kekuasaan seorang
perawat atas otoritas mengeluarkan seseorang dari Rumah Sakit Jiwa.
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar 1V.4 Suasana Distribusi Makanan di Griya PMI Peduli
Selain itu, tim seperti keluarga juga memiliki kuasa atas diri Mbak
Hayu dimana keluarga juga turut memberhentikan pertunjukan Mbak Hayu jika di
rasa sakit jiwanya kambuh dengan cara membawanya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
“Iya, ketemu dokter ya
baik-baik
saja. Di tanya “gimana mbak hayu,
commit
to user
kok masuk lagi?” iya dok, aku gamau masuk kesini sebenernya, tapi
169
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kalau aku udah agak ngelamun dikit, bingung dikit gitu, sama ibu
langsung di telfonin kakak ku, terus kakak ku jemput, terus aku nanti
di bawa ke RSJ gitu terus. Gitu sama keluargaku. Aku udah ke RSJ
tujuh kali, tapi aku udah capek, maksudnya aku gamau, aku gamau
berada dalam permainan kehidupan yang seperti ini, aku mau
bangkit, aku gamau menyerah atas apa yang terjadi padaku,
pokoknya aku gamau kumat lagi.” (Hayu, 7 Juli 2015)
Mbak Hayu mengakui, bahwa ia memiliki realitas baru ketika sakit,
realitas yang sangat nyata dan menjadi panggung baru bagi Mbak Hayu. Realitas
inilah yang akhirnya membuat Mbak Hayu masuk ke Rumah Sakit Jiwa dan di
rawat di Griya PMI Peduli karena tidak sesuai dengan realitas yang berlaku di
masyarakat.
“Iya mbak. Realitas sama yang ga nyata aku gabisa bedain. Tapi aku
udah janji sama diri sendiri, ga akan masuk ke RSJ lagi. Kemaren itu
udah yang terakhir. Kemaren tanggal 6 desember 2014 sampai 27
januari 2015, dua bulan. Kemaren di RSJ di EST lagi tiga kali, sakit,
aku gamau.” (Hayu, 7 Juli 2015)
Begitupun yang dirasakan oleh Mbak Yayak sebagai perawat. Seluruh
perilaku mereka di atur secara ketat agar tidak merugikan orang lain disekitarnya
dan kembali pada nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Mereka di ajak
keluar dari realitas yang mereka miliki dan masuk ke dalam realitas masyarakat
pada umumnya. Semua kegiatan di dalam griya sudah diatur oleh norma-norma
atau aturan-aturan yang ada sesuai dengan pranata-pranatanya yang dijalankan
oleh dan melalui kekuasaan pimpinan Griya PMI Peduli.
Perasaan perawat ketika berada di tengah- tengah orang dengan
gangguan jiwa adalah kasian, apalagi kalau masih muda. Mereka
sebenarnya punya masa depan. Tidak ada rasa takut bagi perawat
ketika berada di tengah- tengah orang yang gangguan jiwa, namun
terkadang ada rasa risih terhadap mereka. Para perawat ingin
commit untuk
to user mereka namun mereka malah
memberikan yang terbaik
170
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menganggap bahwa perawat itu jahat, menghakimi mereka. Hal ini
yang terkadang membuat sedih perawat. Padahal yang dilakukan
perawat adalah ingin melakukan yang terbaik, berusaha
mengembalikan mereka pada dunia nyata mereka.(Yayak, 25 Juni
2015)
Misalnya untuk pemenuhan kebutuhan makan setiap warga Griya PMI
Peduli sudah diatur melalui aturan-aturan yang ketat (makan apa, lauknya apa,
jam berapa diperbolehkan makan, di tempat mana mereka boleh makan dan tidak
boleh makan, dan seterusnya) semuanya diawasi dan ditentukan oleh para dokter
dan perawat. Semua kegiatan diatur dan dijalankan berdasarkan atas hirarki
kekuasaan yang ketat. Mereka tidak bisa melepaskan diri, abnormal yang nampak
dari luar diharapkan mampu menghasilkan dan mereproduksi kenormalan didalam
institusi. Seperti itulah, institusi total sebagai organisasi yang mengatur
keseluruhan kehidupan anggotanya. Seperti yang telah disampaikan oleh Dokter
Gatot, bahwa selama mereka berada di Griya PMI atau Rumah Sakit Jiwa,
pengontrolan mereka untuk minum obat di atur dengan baik dan di awasi oleh
perawat.
“Penderita schizofren tidak bisa lepas dari yang namanya obat.
Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan prngobatan (obat psikotik)
ini tidak terlepas seuumur hidup karena sebagai kontrol.” (Gatot, 30
Juni 2015)
Selain itu, sikap dan perilaku keseharian juga menjadi pengawasan
dari perawat di institusi total sebagai indikator apakah bisa dikembalikan ke
masyarakat atau masih harus mendapatkan perawatan dari institusi total karena
masih suka memberontak, marah, emosi tidak stabil atau belum memahami nilai
dan norma yang seharusnya.
commit to user
171
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
......mbak hayu kalau marah nanti lebih lama lho disini”. “gapapa
biarin aja, tapi aku manusia bu, aku kalau liat temenku sakit aku juga
ikut sakit, tapi kalau ibu gituan orang gapapa berati ibu ga punya
hati”. Moso orang di cencang, di tali habis itu ag boleh makan, terus
gimana kalau laper malem-malem. Terus aku suapin.” (Hayu, 7 Juli
2015)
“Ada, pernah dulu, pas aku di RSJ kan lagi hamil tahun 2011, hamil 6
bulan kaya mau mukul tanganku sama ibunya perawat, mbak hayu
kamu lagi hamil jangan deket-deket sama yang berbahaya dong mbak,
nanti kesehatan janinmu berbahaya kalau deket-deket yang lagi sakit
jiwa kaya gitu pilih-pilih temen yang ga berbahaya.” (Hayu, 7 Juli
2015)
Dan bagi perawat, ketika mereka sudah bisa hidup bersama dengan
realita, nilai, norma dan aturan umum yang berlaku di masyarakat, mereka akan
dikembalikan ke keluarga dan lingkungan asalnya. Namun ketika mereka kembali
mengalami kelainan jiwa, maka akan ada petugas atau masyarakat yang
membawanya kembali ke institusi total. Karena di dalam institusi total mereka
mendapatkan sosialisasi sekunder yakni sosialisasi yang dilakukan oleh
masyarakat.
Fakta- faktanya, ketika di Griya PMI mereka bersikap baik, bisa
teratur hidupnya. Namun ketika mereka pulang ke rumah mereka
akan kambuh dan akan di kembalikan ke Griya entah oleh polisi,
satpol linmas, atau oleh masyarakat itu sendiri dalam keadaan yang
berbeda di bandingkan saat mereka pulang beberapa waktu yang lalu.
Keadaan mereka menjadi buruk kembali.
Padahal sosialisasi primer menjadi hal yang tak kalah penting, karena
sosialisasi ini datang dari semangat dan dukungan keluarga untuk menjelaskan
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Solusi yang sebenarnya bagi orang dengan gangguan jiwa adalah
pendampingan keluarga dan penerimaan dari masyarakat.(Yayak, 25
Juni 2015)
commit to user
172
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengobatan paling efektif untuk schizofren adalah dari keuarga,
tetapi ada kendala dimana tidak semua anggota keluarga siaap untuk
menerima. Ketika sudah dikembalikan keluarga Griya PMI tidak
mempnyai hak untuk mengontrol karena sudah menjadi tanggungan
keluarga.(Gatot, 30 Juni 2015)
Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam
situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun
tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung diatur secara formal.
Orang dengan skizofrenia memili lingkungan yang tidak sama dengan individuindividu lainnya yang berada di Griya PMI Peduli, di dalam institusi ini ada nilainilai dan norma yang telah disepakati oleh masyarakat yang hidup di lingkungan
Griya PMI Peduli Surakarta yang berbeda dengan masyarakat lainnya seperti
masalah rambut.
Ketika mereka baru ditemukan dan dibawa ke Griya PMI, kondisi
mereka sangat kotor, rambut gimbal, baju dan badannya sangat
kotor. Bisa jadi karena sudah berbulan- bulan tidak mandi dan tidak
ganti baju serta hidup di jalanan.(Yayak, 25 Juni 2015)
Hal inilah yang membuat perempuan berkepala botak menjadi hal
yang biasa dan ini dipandang tidak menyalahi aturan karena ini adalah bentuk
penjagaan kesehatan tubuh mereka yang lebih membahayakan jika dibiarkan
panjang tak terurus karena kutu yang bisa membuat kulit kepala mereka lecet.
“Sedangkan bagi orang gangguan jiwa, mereka merasa nyamannyaman saja ketika mengenakan satu baju untuk berhari- hari bahkan
berbulan- bulan.” (Yayak, 25 Juni 2015)
“Sifat malas menjadi ciri utama dari mereka. Yang dilakukan mereka
hanya tidur- tiduran dan ketika di suruh mandi mereka tidak mau
mandi. Hal ini menunjukkan perilaku yang tidak sehat. Perilaku sehat
adalah perilaku yang bisa menempatkan diri sesuai dengan situasi
dan kondisi.” (Yayak, 25 Juni 2015)
commit to user
173
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal inilah yang membuat jadwal mandi, ganti baju, bergerak,
melakukan aktivitas dan menjaga kebersihan diri adalah rutinitas wajib yang
menjadi kebutuhan di Griya PMI Peduli yang mungkin bagi masyarakat itu adalah
rutinitas pasti tanpa perlu pengingatan kembali seperti Bapak yang setiap pagi
berangkat kerja untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya.
“Hanya saja yang menjadi ciri khas orang gangguan jiwa adalah
tidak mau mandi. Apakah mereka takut sama air, hal ini belum
ditemukan faktor penyebabnya dalam dunia pendidikan. Segala hal
yang berhubungan dengan kebersihan diri, mereka pasti tidak mau.”
(Yayak, 25 Juni 2015)
Hal inilah yang membuat aturan nilai-nilai dan norma di institusi total
seperti Griya PMI Peduli berbeda dengan aturan nilai dan norma di masyarakat
pada umumnya. Seperti hal nya minum obat setiap hari adalah tindakan yang
wajar bagi orang dengan skizofrenia, malah jika mereka tidak mau minum obat itu
dianggap menyalahi aturan dan dikenakan sanksi dengan dikembalikan ke rumah
sakit jiwa untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Dan masih ada banyak
hal lain yang di anggap tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat yang menjadi nilai dan norma baru bagi orang-orang dengan
skizofrenia yang tinggal bersama-sama dalam waktu yang relatif lama di Griya
PMI Peduli. Begitu pun kehidupan di Griya PMI Peduli maupun Rumah Sakit
Jiwa sudah menjadi lingkungan baru bagi orang dengan skizofrenia seperti Mbak
Hayu yang dimana didalamnya ia mau mengikuti nilai dan norma yang diajarkan
dan orang di luar institusi total tersebut belum tentu melakukan hal yang sama
kepada Mbak Hayu karena berbeda tentang konsepsi nilai dan norma.
commit to user
174
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Dokternya baik, dokter eta, dokter uun, dokter boy itu dokter residen
yang masih sekolah, masih S2 pake kacamata. Tapi kalau ketemus
sama dokter boy dia bilang gini, “sadar ga, kalau mbak hayu
tercantik di griya pmi peduli?” hehe. “sadar ga kalau mbak hayu
banyak yang nungguin? Banyak yang antri nunggu jadi pasangan
mbak hayu?” (Hayu, 7 Juli 2015)
Dimana definisi cantik di luar sudah berbeda dengan definisi cantik di
lingkungan institusi total. Dan hal ini mungkin tidak ladzim dicapkan oleh orang
yang berada di luar institusi total keperawatan jiwa kepada orang dengan
gangguan jiwa karena akan berbeda makna. Seperti penuturan perasaan Mbak
Hayu di bawah ini:
“Aku kadang gini kalau pas dua bulan banyak ketemu temen-temen
ya, temen pkl, perawat, dokter, calon dokter, abis itu ya pasienpasien, kalau pas kontrol pengennya ketemu sama mereka, sama
pasien yang baik kan ada tu yang ga baik kaya goda-godain kan ada,
yang cowo-cowo kaya gitu. Kalau pas terapi musik kan gitu, kaya
godain. Ya banyak ketemu sama temen-temen pkl perawat tuh seneng,
pasti di kasih buku, bulpen, kemaren aku di kasih Al-Quran.” (Hayu,
7 Juli 2015)
Inilah yang membuat masyarakat luas tidak bisa mengikuti nilai dan
norma mereka karena dirasa tidak ladzim atau tidak wajar, begitupun sebaliknya,
orang dengan skizofrenia juga tidak bisa sepenuhnya mengikuti nilai dan norma
masyarakat karena mereka memiliki realitas baru yang tidak dipahami oleh
masyarakat. Hal inilah yang menurut Goffman melahirkan stigma.
Maka kesimpulannya adalah institusi total bagi Goffman merupakan
tempat sosialisasi setiap individu. Sosialisasi mengacu pada proses belajar seorang
individu yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu tentang diri dan
lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan proses
commit to userkelompoknya, sehingga timbulah
di mana seseorang menghayati norma-norma
175
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diri yang unik, karena pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut
dengan diri . Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu
sosialisasi primer (di dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (di dalam
masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi
total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut,
terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas
dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang
terkukung diatur secara formal. Orang dengan skizofrenia memili lingkungan
yang tidak sama dengan individu-individu lainnya yang berada di Griya PMI
Peduli, di dalam institusi ini ada nilai-nilai dan norma yang telah disepakati oleh
masyarakat yang hidup di lingkungan Griya PMI Peduli Surakarta. Masyarakat
sudah tidak lagi mengikuti satu set aturan nilai dan norma orang dengan
skizofrenia karena dirasa tidak ladzim atau tidak wajar, begitupun sebaliknya,
orang dengan skizofrenia juga tidak bisa sepenuhnya mengikuti nilai dan norma
masyarakat karena mereka memiliki realitas baru yang tidak dipahami oleh
masyarakat. Hal inilah yang menurut Goffman melahirkan stigma.
Didalam bukunya, Goffman memperhatikan beberapa aspek penyajian
diri yang problematis. Aib (stigma) menunjuk pada orang-orang yang memiliki
cacat atau kelainan jiwa sehingga tidak memperoleh penerimaan sosial yang
sepenuhnya. Mereka merupakan orang yang direndahkan atau dapat direndahkan.
Yang direndahkan ialah orang yang aibnya terlihat dengan mudah, misalnya orang
penyandang cacat, Orang Dengan Gangguan Jiwa yang tidak berpakaian atau
commit to user
Orang Dengan Skizofrenia yang berhalusinasi
di luar realitas yang terjadi. Karena
176
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aib tersebut selalu tergantung pada pada kelompok dimana orang selalu mencari
penerimaan sosial sepenuhnya, maka di sini pun struktur institusi dan situasi
kembali berperan. Sedangkan yang dapat direndahkan ialah mereka yang memilik
kekurangannya untuk mengikuti standar penerimaan sosial, tidak langsung
terlihat. Pada individu tersebut terdapat masalah menarik bagaimana cara
menangani informasi yang dapat membuka kelemahan mereka masing-masing.
Goffman (1963) tertarik pada jurang antara seperti apa seseorang
seharusnya, “identitas sosial virtual”, dan seperti seseorang secara aktual,
“identitas sosial aktual”. Setiap orang yang mempunyai celah diantara dua
identitas tersebut di stigmatisasi. Stigma berfokus pada interaksi dramaturgis
antara orang yang berstigmatisasi dan orang-orang normal. Hakikat interaksi itu
bergantung pada mana dari kedua tipe stigma yang dimiliki seorang individu. Di
dalam kasus stigma yang dideskriditkan, aktor menganggap bahwa perbedaanperbedaan di ketahui oleh anggota audiance atau nyata bagi mereka (Contohnya,
orang yang lumpuh di bagian bawah tubuh atau seorang yang kehilangan anggota
tubuhnya) begitu juga orang yang mengalami gangguan jiwa. Suatu stigma yang
dapat di diskreditkan adalah stigma yang didalamnya terdapat perbedaanperbedaan yang tidak di kenal oleh para anggota audiance dan juga tidak dapat
mereka rasakan (Misalnya, seseorang yang memiliki anus buatan atau nafsu
homoseksual).
Orang Dengan Skizofrenia yang berhalusinasi menjadi menantu
Susilo Bambang Yudoyono, dan lain sebagainya merupakan stigma yang
commit to user
177
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didiskreditkan karena terlihat nampak jelas jurang perbedaannya jika ada interaksi
dengan orang yang bersangkutan. Dimana hal ini dialami oleh Mbak Wulan yang
memiliki realitas baru dalam hidupnya sebagai menantu Susilo Bambang
Yudhoyono yang tidak diakui oleh realitas publik yang menontonnya. Hal itu
biasanya disebut waham.
Itukan ini, dia waham kebesaran, dia ngerasanya mantunya Pak SBY,
isterinya agus harimurti, isteri yang pertama itu mbak wulan, isteri
yang kedua itu anisa pohan. Anaknya hamengkubuwono. Waham
kebesaran namanya. (Hayu,7 Juli 2015)
Kondisi dimana seseorang menganggap dirinya sebagai orang lain
sudah tidak bisa membedakan dirinya. contohnya mengangap dirinya
sebagai menatunya pak SBY, dia merasa anisa pohan telah merebut
suaminya.(Yayak, 25 Juni 2015)
Untuk seseorang dengan stigma yang didiskreditkan, masalah
dramaturgis ialah mengelola ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa orangorang mengetahui masalah itu. Untuk seseorang dengan stigma yang dapat
didiskreditkan, masalah dramaturgis ialah mengelola informasi sehingga masalah
itu tetap tidak diketahui oleh para audiance.
Sebagian besar teks stigma karya goffman dicurahkan pada orangorang dengan stigma yang jelas, sering fantastik (contohnya, hilangnya hidung).
Akan tetapi, seperti yang dinyatakan buku itu, pembaca menyadari bahwa
Goffman benar-benar mengatakan bahwa kita semua mendapat stigma pada suatu
saat atau saat lainnya atau disuatu latar atau latar lainnya. Mencakup orang
Yahudi yang “lewat” di suatu komunitas yang mayoritas kristen, orang gemuk di
suatu kelompok orang yang memiliki bobot tubuh yang normal, dan individu yang
commit to user
178
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah berbohong tentang masa lalunya dan selalu memastikan bahwa audiance nya
tidak mengetahui penipuannya. Namun hal itu tidak terjadi pada orang dengan
skizofrenia yang menunjukan identitas aslinya tanpa takut di stigma. Stigma akan
terasa bagi orang dengan skizofrenia jika sudah dalam pengontrolan obat yang
membuatnya bisa keluar dari realitas barunya dan merasakan realitas yang berlaku
di masyarakat.
Gangguan kejiwaan sendiri masih menjadi salah satu penyakit yang
masih mendapat tangapan negatif dari mayoritas masyarakat di Indonesia. bagi
kebanyakan orang individu dengan gangguan kejiwaan tidak dapat diterima dalam
lingkup sosial dan tidak dapat memungsikan perannya dengan baik dalam
masyarakat karena ada jarak sosial antara keduanya.
Ketika lingkungan masyarakat mau menerima mereka, mereka akan
berfikir ternyata ada yang peduli terhadap mereka. Sedangkan ketika
lingkungan masyarakat tidak mau menerima mereka, maka orang
dengan gangguan jiwa akan memiliki anggapan sendiri bahwa ia
tidak di terima di masyarakat karena ini dan itu, padahal realitanya
tidak seperti itu. Seharusnya ada sosialisasi kepada masyarakat
karena kebanyakan dari masyarakat masih tidak mau menerima
orang dengan gangguan jiwa berada di tengah kehidupan mereka.”
(Yayak, 25 Juni 2015)
Bagi sebagian orang gangguan jiwa adalah sebuah hal yang
memalukan dan kerap kali solusi yang diambil untuk mengatasi masalah ini tidak
bermoral dan manusiawi. Beberapa penderita ada yang diterlantarkan begitu saja,
adapula yang dipasung, jika pihak keluarga masih ingin memelihara individu
tersebut. gangguan jiwa dianggap sebagai sebuah penyakit yang tidak dapat
commit to user
179
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disembuhkan, menular dan membahayakan sekalipun ini adalah stigma yang
keliru.
“....Sayangnya masyarakat meniai bahwasanya ODGJ itu menular
dan dapat membahayakan. Emang sih ada beberapa yang
membahayakan. Tapi ternyata di griya juga tidak ada yang seperti itu.
justru pandangan masyarakat emunculkan emosi tersendiri kepada
ODGJ.”
Salah satu penyakit yang tergolong dalam gangguan kejiwaan adalah
skizofrenia. Skizofrenia meruakan penyakit mental yang ditandai dengan
gangguan proses berfikir dan respon emosional yang buruk. Kondisi tersebut
sering bermanifestasi sebagai halusinasi pendengaran, delusi paranoid atau
hambatan berfikir yang disetai disfungsi sosial. Definisi skizofrenia bagi perawat
yang kesehariannya merawat orang dengan skizofrenia adalah sebagai berikut:
Skizofrenia merupakan semua yang menyangkut gangguan jiwa
namun ada tahap- tahapnya sendiri. Jadi, orang dengan gangguan
jiwa seperti skizofrenia namun berada di taraf- taraf yang berbeda
tergantung dari hasil penggalian data dengan pasien. Proses
penggalian data pasien dilakukan dengan cara ngobrol bareng, saling
berkomunikasi. (Yayak, 25 Juni 2015)
Skizofrenia adalah gangguana kejiawaan dan kondisi medis yang
mepengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif,
emosioanal, dan tingkah laku. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim
dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respon emosional dan menarik diri
dari hubungan antara pribadi normal. Sering kali di ikuti dengan delusi (keyakinan
yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang panca indera). Seperti
yang dinyatakan oleh psikolog yang memahami tentang ilmu kejiwaan berikut:
commit to user
180
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Perlu kita ketahui schizofrenia adalah waham, halusinasi
merupakan salah satu sindrom dari schizofrenia. Parameter yang
digunakan adalah dengan beberap cara. Tapi diluar caranya semua
mengacu kepada PPDGJ.” (Nugraha, 29 Juni 2015)
Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk menilai orang lain
berdasarkan penilaian itu, kategorisasai atau streotip dilakukan tidak berdasarkan
keadaan yang sebenarnya atau berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang masyarakat
anggap sebagai tidak pantas, luar biasa, memalukan, dan tidak dapat diterima.
Stigmatisasi terjadi pada semua aspek kehidupan manusia. Seseorang dapat
dikenai stigma oleh karena segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit,
cacat sejak lahir, ganguan jiwa, pekerjaan, dan status ekonomi, hingga preverensi
seksual.
“Stigma menurut teori stigmanisasi itu kan seseorang bisa menjadi
sesuatu seperti yang distigmakan oleh masyarakat, misalnya anak
kecil, dia di stigma nakal oleh masyarakat, padahal belum tentu dia
nakal, tetapi ketika dia dibilang nakal, maka dia akan mendefinisikan
dirinya oh aku nakal. Maka dia akan melakukan seperti itu. Atau
orang yg berada di prostitusi, meskipun dia sudah keluar, tapi
masyarakat tetap memberi stigma, maka akan sulit sembuh. Sama
dengan sakit jiwa.” (Rahesli, 25 Juni 2015)
Jadi tidak hanya dengan gangguan jiwa, tapi juga dengan ucapan,
masalah prostitusi dan hal-hal yang bersangkutan dengan penilaian penonton
semuanya bisa menjadi stigma.
Terkait kelainan jiwa yang lebih memiliki kemungkinan untuk dikenai
stigma adalah jenis gangguan jiwa yang menunjukkan abnormalitas atau
penyimpangan (deviasi) pada pola perilakunya. Stigma yang lebih memberatkan
adalah gangguan jiwa yang mempengaruhi penampilan (performance) fisik
commit to user
181
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seseorang daripada gangguan jiwa yang tidak berpengaruh terhadap penampilan
fisik seseorang.
“Kalau yang di fikiran aku sih, ya itu tadi, tergantung. Tergantung
orang gila seperti apa, kan orang gila beda-beda. Ada orang gila
yang di tempatku Cuma jalan aja, ga ngerusak-ngerusak, itu ga
membahayakan.” (Juwita, 30 Juni 2015)\
Karena gangguan jiwa erat dengan penampilannya yang jorok, kotor, dan
merisihkan di masyarakat seperti penuturan di bawah ini:
Terus selama tiga tahun baju panjang yang dia pake ga pernah
dilepas, jadi tidur dibasahi semua bajunya. (Endah, 27 Juni 2015)
Perilaku yang sering ditunjukkan orang dengan gangguan jiwa juga
salah satunya adalah memakai baju terbalik dan selalu mengutarakan
pertanyaan- pertanyaan yang sama berulang kali. Ini menunjukkan
orientasi yang sangat jelek.(Yayak, 25 Juni 2015)
kondisi mereka sangat kotor, rambut gimbal, baju dan badannya
sangat kotor. Bisa jadi karena sudah berbulan- bulan tidak mandi dan
tidak ganti baju serta hidup di jalanan. Hal itu juga menjadi pembeda
antara orang gangguan jiwa dengan orang yang normal. Orang yang
normal dan sehat pasti merasa jijik dan tidak enak serta kurang
percaya diri ketika mengenakan baju kotor dan berkeringat.
Sedangkan bagi orang gangguan jiwa, mereka merasa nyamannyaman saja ketika mengenakan satu baju untuk berhari- hari bahkan
berbulan- bulan. (Yayak, 25 Juni 2015)
Dari beberapa pendapat para ahli kesehatan mental faktor utama yang
menjadi sebab terjadinya stigma gangguan jiwa antara lain sebagai berikut:
1.
Adanya miskonsepsi mengenai gangguan jiwa karenanya
kurangnya pemahaman mengenai gangguan jiwa, sehingga
muncul anggapan bahwa gangguan jiwa identik dengan gila.
commit to user
182
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Adanya prediklesi secara psikologis sebagian masyarakat untuk
percaya pada hal-hal gaib, sehingga ada asumsi bahwa
gangguan jiwa
disebabkan oleh hal-hal
yang bersifat
supranatural, seperti makhluk halus, setan, roh jahat, atau
akibat terkena pengaruh sihir. Akibat predileksi tersebut
gangguan jiwa dianggap bukan urusan medis (masih ada
perlakuan
salah
terhadap
penderita
gangguan
jiwa,
(http://www.kompas.com).
Para ahli teori sosial budaya juga berpendapat bahwa apabila
labeling (sebutan) untuk penyakit mental digunakan, akna sulit sekali
menghilangkannya. Labeling juga mempengaruhi pada bagaimana
orang lain memberikan respon kepada orang itu. dengan sebutan
sakit jiwa orang lain memberikan stigmatisasi dan degradasi soial
kepada orang itu. peluang-peluang kerja tertutup lagi bagi mereka,
persahabatan mungkin pupus, dan orang yang disebut sakit jiwa
makin lama makin disasingkan masyarakat (yustinus semiun, s1:pandanga umum mengenai penyesuaian diri dan kesehatan mental
serta teori teori yang terkait, cet.vi, yogyakarta:kanisius, 2006, hlm.
270).
Teori labeling ini pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama,
orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang
tergantung bagaimana orang lain (orang tua, keluarga, masyarakat) menilainya.
Penilaian itu ditentukan oleh kategorisasi yang sudah melekat pada pemikiran
orang lain tersebut. segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk kedalam
kategori-kategori yang sudah dianggap baku oleh masyarakat otomatis akan
dianggap menyimpang. Karena itulah orang bisa dianggap sakit jiwa hanya karena
berbaju atau bertindak aneh pada suatu tempat atau masa tertentu.
commit to user
183
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kan kebanyakan kalau orang normal itu kita pakai baju ya mbak
kemana-kemana. Nah orang gila itu biasanya ga. Kan kebiasaan
masyarakat kalau kemana-mana pake baju, kenapa itu disebut gila?
Karena dia ga sesuai sama nilai dan norma di masyarakat. Dia keluar
ga pake baju, ngomong juga ga selayaknya orang. Ngomongngomong ngelantur, kaya gitu. (Gilar, 27 Juni)
Menurut Erving Goffman didalam teori sosiologi yang turut
menyumbangkan pemikiran pada teori labelling, stigma merupakan suatu atribut
yang sangat mendeskriditkan, dan gangguan jiwa merupakan satu dari atribut
semacam ini. Seluruh pasien gangguan jiwa yang tinggal di Griya PMI Peduli
Surakarta di sebut warga Griya, hal ini dilakukan untuk memanusiakan manusia
dengan tidak menyebut mereka orang gila yang bernada mendeskrifitkan atau
merendahkan seseorang. Mereka di masyarakatkan dengan sebutan warga dan
mereka diajarkan hidup bermasyarakat dengan warga lainnya.
“Ada beberapa faktor, yakni dari pribadi orang tsb, dari keluarga
dan dari lingkungan. Disini dilihat ketika di Griya mampu
melakasanakan tugas dan bisa membantu yang lainnya dan rutin
minum obat maka penderita tsb bisa dikatakan membaik....”(Gatot, 30
Juni 2015)
Warga dikatakan membaik yang menandakan bahwa mereka memiliki
kemajuan kesehatan. Ketika ada kemajuan dalam kesehatannya, dokter di Griya
PMI Peduli tidak mengatakan mereka sehat sebagaimana masyarakat yang sehat
pada umumnya karena Orang Dengan Skizofrenia harus minum obat seumur
hidup.
“.... Penderita schizofren tidak bisa lepas dari yang namnaya obat.
Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan pengobatan (obat psikotik)
ini tidak terlepas se‟umur
hidup
karena sebagai kontrol. Peran sosial
commit
to user
sangat penting, dimana ketika masyarakat tdak siap untuk menyambut
184
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penderita maka akan mengakibatkan
berhalusianasi lagi.” (Gatot, 30 Juni 2015)
si
penderita
dapat
Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa Orang Dengan Skizofrenia
tidak sakit jiwa 24 jam, dimana ketika mereka minum obat kesehatan mereka
membaik, emosinya terkontrol dan dapat hidup layaknya orang normal pada
umumnya. Terlebih ketika masyarakat mau menerima mereka, itulah faktor
terkuat yang bisa mengembalikan kesehatan Orang Dengan Skizofrenia yang
selama ini didiskreditkan karena penyakitnya.
“Aku di tanyain sama mas havidz sama mbak ocha, tentang keinginan
mbak hayu untuk orang normal ke orang yang menderita gangguan
jiwa harus gimana? Ya memanusiakan mas, buat mereka menjadi
lebih berarti. Mereka itu sakit itu bukan atas kemauan mereka sendiri
tapi di kasih sama Tuhan. Gimana ya, pokoknya kesan pesannya jadi
pasien, aku kan pernah jadi orang yang sakit kaya gitu, terus aku juga
udah ngerasain jadi orang normal itu kaya apa, jadi sarannya sih
buat orang yang normal, halooo! Jangan jijik sama mereka.” (Hayu,
7 Juli 2015)
Mbak Hayu menuturkan dan merasakan hal yang sama, bahwa orang
normal terkadang lupa memanusiakan Orang Dengan Gangguan Jiwa dan
terkadang stigma membuat masyarakat merasa jijik atau takut pada penderita
gangguan jiwa. Skizofrenia adalah penyakit dimana kepribadian seseorang
mengalami
keretakan
alam
pikir,
perasaan,
dan
perbuatan
individu
terganggu. Pada orang normal, alam pikiran, perasaan dan perbuatan ada
kaitannya atau searah, tetapi pada pasien skizofrenia ketiga alam itu terputus baik
satu atau semuanya (Simanjuntak, 2008). Seperti hal nya Doni yang kehilangan
arah untuk alam pikiran, perasaan dan perbuatan yang terkadang membahayakan
orang lain.
commit to user
185
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Dulu pas ibuk opname seminggu di Sibela itu sempet ngamuk.
Mungkin kangen ya, jadi ponakan saya bilang kok mas Doni pake
bajunya mbah Tiyem (ibu nya Doni), lha Doni denger terus langsung
ngamuk, warungnya ibuk di rusak terus masuk rumah nyekik yang
ngomong. Terus di tenangin sama sodara. Setelah ibu pulang dari RS,
saya kan bawa termos baru, terus nanyain dia kenapa, lha kok
ditendang termosnya sampai ambyar. Ga tau kenapa.” (Endah, 27
Juni 2015)
Menurut ilmu kesehatan, skizofrenia merupakan gangguan mental
berat serta umum ditemukan dalam masyarakat. Pada sebagian kasus skizofrenia
dibutuhkan terapi medis dan terapi sosial jangka panjang. Seperti yang dinyatakan
oleh Dokter Gatot, bahwa butuh waktu yang panjang untuk mendukung
kesembuhan Orang Dengan Skizofrenia.
“Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan prngobtan (obat psikotik)
ini tidak terlepas seuumur hidup karena sebagai kontrol. Peran sosial
sangat penting, dimana ketika masyarakat tdak siap untuk menyambut
penderita maka akan mengakibatkan si penderita dapat
berhalusianasi lagi.” (Gatot, 30 Juni 2015)
Menurut Kartini Kartino (1985), gangguan jiwa merupakan salah satu
penyakit merasa
pusing, sesak nafas demam panas dan nyeri – nyeri pada
lambung sebagai pertanda permulaan dari penyakit jasmani, maka mental disorder
mempunyai pertanda awal, antara lain ialah: cemas – cemas, ketakutan, pahit hati,
dengki, apatis, cemburu, iri, marah – marah secara eksplosif, asosial, ketegangan
kronis, dan lain – lain.
commit to user
186
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Gambar IV.5 Doni, Orang Dengan Skizofrenia di Griya PMI Peduli
Ringkasnya,
kekacauan/kekalutan
mental
merupakan
bentuk
gangguan pada ketenangan batin dan harmoni dari struktur kepribadian. Namun
bagi sebagian masyarakat masih ada yang menganggap bahwa gangguan jiwa
muncul dikarenakan kerasukan roh halus bahkan kakak dari penderita skizofrenia
bernama Doni juga meyakini yang sama, bahwa adiknya kerasukan roh halus
karena perilakunya yang di luar nalar.
“Mungkin kalau pas ngamuk itu yang ngerasukin ya yang ngomong,
kalau hari-hari biasa ya biasa mbak. Wong supri itu sempet berapa
tahun berdiri terus sampe
commitkuning
to userkakinya bengkak. Lha berdiri ga
mandi ga ngapa-ngapain.” (Endah, 27 Juni 2015)
187
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selama ini sebagian besar masyarakat awam menganggap orang yang
terganggu jiwanya disebabkan oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal – hal
spiritual atau gaib seperti “kerasukan setan” atau “diguna - guna”, sehingga
mereka pergi mencari pertolongan ke “orang pintar” (dukun atau paranormal) atau
pemuka agama, bukan ke dokter apalagi psikiater. Anggapan seperti itu lebih
mudah diterima oleh masyarakat karena lebih bergengsi dan bermartabat (dengan
kata lain tidak ada stigma) dibandingkan dengan menganggap bahwa anggota
keluarganya menderita gangguan jiwa dan di rawat di Rumah Sakit Jiwa. Hal ini
masih di yakini oleh keluarga Doni, bahwa anak dan adiknya kerasukan roh halus.
Mereka tak memahami Doni sakit gangguan jiwa jenis apa, yang mereka pahami
ketika dipanggilkan pendeta Doni memiliki kemajuan dalam kesehatannya yang
dimana keluarga mengatakan Doni berangsur-angsur sembuh.
“Pendeta juga pernah dateng ke rumah, waktu itu malah ada kyai
ngasih tulisan Al Quran gitu di bantalnya, malah dikencingin mbak.
Meskipun di kubur, disimpen sangat aman barang-barangnya dia
tahu. Waktu itu lho tapi. Jadi dia kayak kerasukan gitu. Yang saya
masih heran itu ya dia makan kayu Donoloyo itu, kayu donoloyo kan
kayu orang mati, lha dia disuruh makan itu. Kadang juga mangapmangap, kalau saya tanya kenapa dia bilang mulutnya lumutan gitu.
Kan ya ada benernya, orang kalau dia makan kayu di sungai kan
kayu-kayu berlumut. Dia bilangnya lumutan, gatal bibirnya, padahal
ga ada apa apa. kan dulu ngomongnya awalnya diajak berdoa sama
tiga pendeta, terus Doni disuruh ngikutin, ternyata bisa mbak, terus
disuruh baca alkitab yang bagian mukjizat ternyata bisa juga.”
(Endah, 27 Juni 2015)
Dalam sejarahnya, konsep gangguan jiwa telah dipahami secara
berbeda – beda dan terkadang keliru oleh masyarakat. Setiap masa dan bangsa
memiliki konsep tersendiri mengenai gangguan jiwa, termasuk bagaimana itu
harus ditangani serta dampak penanganannya
commit to userbagi penderita. Michael Foucault,
188
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seorang filsuf Perancis (1926 - 1984), dianggap berjasa dalam menggali bukti
sejarah gangguan jiwa. Serangkaian penelitiannya di Eropa menyebutkan bahwa
pada abad ke 15, penderita gangguan jiwa ditempatkan di rumah – rumah sakit
yang terpisah dan terisolasi. Gangguan jiwa saat itu identik dengan kutukan Tuhan
sekaligus untuk mengingatkan manusia akan penyebaran dosa dan akibatnya.
Skizofrenia bagi orang awam adalah “gila” yang merupakan
sekelompok reaksi psikotis dengan ciri pengunduran diri dari kehidupan sosial,
gangguan emosinal dan afektif yang kadang kala disertai halusinasi dan delusi
serta tingkah laku yang negatif/merusak. Gangguan skizofrenia merupakan
penyakit yang sampai hari ini terus diselidiki oleh para ahli. Penyakit ini
kompleks, mulai dari penyebab, gejala – gejala yang ditampakkannya, respon
terhadap pengobatan sampai kepada hasil pengobatannya. Problema psikososial
yang terjadi dari penyakit ini sering kali karena ketidaktahuan masyarakat
khususnya dari keluarga sang penderita.
Selalu orang penderita schizofrenia disebabkan oleh faktor keturunan
dan juga faktor psikososialnya.Banyak teori yang mengatakan tentang
penyebab schizofrenia sehingga susah untuk men-generalisir apa
penyebab seseorang terkena schizofrenia. Karena semua ahal
dikehidupan kita dapat memicu hal tersebut. entah itu maslah cinta,
ekonomi, sekolah dsb. (Nugraha, 29 Juni 2015)
Penyakit ini sebenarnya sudah ditemukan secara khusus sekitar satu
aba yang lalu oleh psikiater Jerman, Emil Kraeplin. Meski sudah lama ditemukan,
hanya sedikit orang mengenal penyakit ini. Umumnya masyarakat masih
menganggap penderita ini tidak akan punya masa depan lagi dan tidak produktif.
Hal ini cenderung menghasilkan sikap dan tindakan negatif terhadap paar
commit to user
189
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penderita, seperti pemasungan, membiarkan mereka berkeliaran dijalan raya dan
pada akhirnya dibawa oleh masyarakat ke Griya PMI Peduli untuk mendapatkan
perawatan.
Dimana ODGJ yg ada di Griya merupakan orang terlantar yang kita
ketahui ditanggung oleh negara. (Gatot,30 Juni 2015)
Menurut Dadang Hawari (2006) kata skizofrenia pertama kali
didefenisikan pada tahun 1908 oleh ahli psikiatri Swiss, Eugen Bleuer, yang
mendeskripsikan bahwa, skizofrenia merupakan sekumpulan gangguan mental
yang dikarakteristikkan sebagai pikiran (phrenia) yang pecah (schizo). Konsep
skizofrenia Bleur didasarkan pada gangguan jiwa yang disebut demensia prekoks
oleh ahli psikiatri Jerman, Emil Kraepelin, pada 1896. PPDGJ III (Pedoman
Penggolongan dan Diagnnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) menempatkan
skizofrenia pada kode F20.Indikator premorbid (pra sakit) pre skizofrenia antara
lain: ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan
pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tajential) atau berputar – putar
(sirkumtantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan,
mempertahankan dan memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu,
tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang
tanpa alasan jelas, menganggu dan tidak disiplin.
sakit juga ada dua, sakit fisik ketika sakit yang Nampak, yang bisa
dirasakan atau bisa dideteksi oleh klinis /medis. Sakit psikis, tadi,
orang yang kurang bahagia, orang yang kurang bahagia bisa
menyebabkan stress, permasalahan banyak. Dampaknya bisa luas
sakit psikis ini. (Gilar, 27 Juni 2015)
commit to user
190
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Carol et al (2008), Stigma berarti suatu tanda atau
identifikasi dari tanda yang terdiri dari rasa malu, noda atau kecemaran. Stigma
erat kaitannya dengan ketidak-mengertian atau salah pengertian tentang gangguan
jiwa termasuk pengobatannya dan profesi psikiater dan tenaga medis yang terlibat
di dalamnya
“Pengobatan paling efektif untuk schizofren adalah dari keluarga,
tetapi ada kendala dimana tidak semua anggota keluarga siaap untuk
menerima. Ketika sudah dikembalikan keluarga Griya PMI tidak
mempnyai hak untuk mengontrol karena sudah menjadi tanggungan
keluarga.” (Gatot, 30 Juni 2015)
Sosiolog Erving Goffman mendefinisikan stigma sebagai proses
dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang individu di
mata individu lainnya. Penelitian oleh Lai et al (2000) mengemukakan bahwa
terdapat dampak stigma terhadap pasien psikiatri, yaitu percaya diri yang rendah,
rasa malu akan penyakitnya dan penolakan sosial, disertai kesulitan mendapat
pekerjaan dan hak atas layanan kesehatan. Bahkan seperti yang dinyatakan oleh
Carol et al (2008), stigma dapat mempengaruhi keluarga dari penderita, yang
mana dapat mempengaruhi secara psikologi pada kesehatan mental penderita.
Maka tidaklah berlebihan jika Bozan et al (2007) menyatakan bahwa stigma
merupakan hambatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien
dengan penyakit mental.
“Ada, bahkan sering. Dimana beberpa pasien disini yang usdah
membbaik kita kembalikan ke keluarga justru ketika dirumah
cenderung memburuk kumat (kurang perhatian keluarga) dan
dikembalikan ke Griya. Dan bahkan beberapa dari pasien yang
merasa lebih seneng di Griya karena merasa lwbih dimanusikan.”
(Gatot, 30 Juni 2015)
commit to user
191
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mungkin faktor utama yang menyebabkan kita tidak ingin mengakui
atau menganggap normal tingkah laku seseorang yang mengalami gangguan
mental adalah karena kesan buruk yang dihubungkan dengan penyebutan bahwa
seseorang itu gila atau sebutan bahwa seseorang itu sakit jiwa dilihat sebagai
penilaian keseluruhan bukan penilaian atas suatu tindakan.
Pandangan ini dapat menjelaskan hasil penelitian Goldberg dkk 1970
yang menunjukan bahwa dokter-dokter umum seringkali tidak berhasil
mendiagnosis atau mengobati orang-orang yang mengalami gangguan emosi dan
demikian juga dengan penemuan-penemuan dari Duff dan Hollingshead (1968).
Kecemasan atau ketakutan yang dibuat-buat karena ada gangguan mental (Sakit
jiwa) dapat dikatakan timbul dari adanya pandangan umum yang negatif tentang
gangguan mental dan sejenisnya, yang menurut Scheff sudah dipelajari pada
waktu kecil yang diperkuat melalui mass media serta kelakar-kelakar dan
sebagainya dalam kehidupan sehari-hari. Faktor-faktor utama dalam pandangan
ini antara lain bahwa mereka itu tidak dapat disembuhkan, berbahaya dan selalu
bertingkah laku aneh atau tidak normal dan sangat ekstrem. Juga dapat
dirasakan bahwa orang-orang yang mengalami gangguan mental tidak saja
bertingkah laku aneh tetapi penampilannya pun aneh. (Fauzi Muzaham, 1995)
Masyarakat banyak memandang negatif orang dengan gangguan jiwa
tidak terkecuali untuk mereka yang menderita skizofrenia. Hayu, informan yang
juga menderita skizofrenia menceritakan bagaimana kesedihannya ketika orangorang normal pada umumnya memandang orang dengan gangguan jiwa seperti
commit to user
jijik atau takut.
192
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Aku di tanyain sama mas havidz sama mbak ocha, tentang keinginan
mbak hayu untuk oran normal ke orang yang menderita gangguan
jiwa harus gimana? Ya memanusiakan mas, buat mereka menjadi
lebih berarti. Mereka itu sakit itu bukan atas kemauan mereka sendiri
tapi di kasih sama Tuhan. Gimana ya, pokoknya kesan pesannya jadi
pasien, aku kan pernah jadi orang yang sakit kaya gitu, terus aku juga
udah ngerasain jadi orang normal itu kaya apa, jadi sarannya sih
buat orang yang normal, halooo! Jangan jijik sama mereka. Kaya
mbak tria sama temen-temennya dateng kesini, ngasih hiburan,
ngajak nyanyi, maen kereta-keretaan itu kan membuat mereka positif
thinking, memori yang bagus, yang membuat mereka cepet
sembuh.(Hayu, 7 Juli 2015)
Hayu menuturkan bahwa Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
termasuk skizofrenia sekalipun bukanlah penyakit yang diinginkan atau diminta
oleh si penderita, sakit yang mereka derita bukanlah keinginan mereka, semuanya
sudah di takdirkan oleh Tuhan dan mereka tinggal menjalani. Ia sebagai Orang
Dengan Skizofrenia (ODS) yang sudah sembuh dan bisa kembali bekerja, merasa
bahwa orang normal terkadang tidak memanusiakan manusia yang itu sangat
dibutuhkan untuk membantu proses penyembuhan mereka sekalipun seumur
hidup mereka tidak bisa lepas untuk mengkonsumsi obat. Pandangan masyarakat
yang memandang negatif ini jugalah yang di amati Dokter Gatot sebagai pemicu
kekambuhan orang yang menderita gangguan jiwa.
“Tidak tepat, seharusnya kita merangkul. Karena mereka perlu
dirangkul. Sayangnya masyaakat meniai bahwasanya ODGJ itu
menular dan dapat membahayakan. Emang sih ada beberapa yang
membahayakan. Tapi ternyata di griya juga tidak ada yang seperti itu.
Justru pandangan masyarakat memunculkan emosi tersendiri kepada
ODGJ.” (Gatot, 30 Juni 2015)
Dokter Gatot menuturkan bahwa orang dengan gangguan jiwa juga
butuh di beri dukungan dan di rangkul untuk bisa sembuh. Namun stigma
masyarakat tentang pemahaman yang salah mengenai Orang Dengan Gangguan
commit to user
193
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jiwa (ODGJ) yang membuat masyarakat menilai bahwa penyakit itu menular dan
membahayakan seperti yang diungkapkan pengalaman Arum dari kisah temannya.
“tidak semuanya. Tapi saya pernah mendengar kabar bahwa kerabat
teman saya yang sudah sembuh dari penyakit jiwanya tiba-tiba
kambuh dan membunuh ibunya dengan cara memukul kepalanya
hingga menyebabkan ibunya meninggal. Tapi itu hanya 1 kejadian.
Saya tak prnah mlihat di sekitar warga griya sendiri.” (Arum, 28 Juni
2015)
Sekalipun tak bisa disangkal bahwa memang ada penderita gangguan
jiwa yang membahayakan karena ketidakstabilan emosinya seperti fenomena di
atas, namun pandangan buruk yang menjadi stigma malah memicu emosi
tersendiri bagi mereka.
Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan pengobtan (obat psikotik) ini
tidak terlepas seuumur hidup karena sebagai kontrol. Peran sosial sangat penting,
dimana ketika masyarakat tdak siap untuk menyambut penderita maka akan
mengakibatkan si penderita dapat berhalusianasi lagi. Seperti yang diungkapkan
oleh Septi, informan yang menjadi perawat di Griya PMI Peduli Surakarta yang
pernah melihat warga binaannya membaik dan bisa dirawat ke keluarga karena
sudah sembuh, namun setelah dikembalikan ke keluarga dan lingkungan asalnya
yang terjadi adalah warga binaannya mengalami kekambuhan penyakitnya dan
harus di rawat kembali oleh Griya PMI Peduli dan Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta.
“Itu juga tergantung keluarga dan lingkungan. Kalau keluarga dan
lingkungan ga merangkul dia balik lagi. Balik gila lagi. “Iya, ada
juga disini. Karena apa ya, kurang kasih sayang, kurang dukungan
commit
user yang istilahnya suka ngelamundari keluarga, nah nanti
kanto ada
194
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ngelamun terus disini sembuh balik ke keluarga ngelamun lagi, kaya
gitu juga bisa kan.” (Septi, 26 Juni 2015)
Dan pernyataan di atas di perkuat dengan pernyataan Dokter Gatot
yang menegaskan bahwa perananan sosial yang berasal dari masyarakat menjadi
kebutuhan utama karena ketika masyarakat tertutup dan tidak mau menerima
mereka karena stigma buruk yang menempel pada Orang Dengan Skizofrenia
akan membuat mereka kembali berhalusinasi.
“Pengobatan menyesuaikan dosisnya, dan pengobatan (obat psikotik)
ini tidak terlepas seuumur hidup karena sebagai kontrol. Peran sosial
sangat penting, dimana ketika masyarakat tdak siap untuk menyambut
penderita maka akan mengakibatkan si penderita dapat
berhalusianasi lagi.” (Gatot, 30 Juni 2015)
Bagi Mila, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI)
simpul Surakarta, pandangan buruk yang menjadi stigma negatif terhadap
penderita gangguan jiwa itu karena orang disekitar mereka tidak memiliki
kepekaan kepada mereka termasuk Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang
akhirnya memicu untuk mereka mengalami gangguan jiwa lagi karena
kepekaanya yang tidak di respon oleh orang disekitarnya.
“Mereka adalah orang yang peka dengan keadaan mereka dan
sekitar , tapi tidak semua sekitar menyadari mereka , dan justru
membuat mereka jatuh menjadi sakit jiwa karena kepekaan nya.”
(Mila, 28 Juni 2015)
Dan seburuk apapun stigma yang menempel pada Orang Dengan
Skizofrenia (ODS), bagi perawat mereka tetap membutuhkan keluarga dan
lingkungan sosial yang kondusif untuk menerima mereka. Dokter Gatot pun
menyatakan hal yang sama dari pernyataan di atas, tanpa perananan sosial mereka
tidak dapat disembuhkan apalagicommit
ini penyakit
to useryang menahun dan mereka harus
195
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
minum obat sepanjang mereka hidup, karena stigma yang salah membuat
masyarakat enggan memainkankan peranan sosialnya akibat rasa ketakutan yang
tinggi yang membuat masyarakat secara sadar atau tidak sadar memberi perlakuan
yang berbeda pada penderita skizofrenia maupun jenis gangguan jiwa yang
lainnya.
“Bagi perawat, orang dengan gangguan jiwa sebenarnya
membutuhkan keluarga, ketika mereka di kucilkan maka yang terjadi
adalah kondisinya semakin parah dan kesembuhan mereka akan
semakin susah. Justru yang harus dilakukan ketika orang di vonis
gangguan jiwa adalah pendampingan dari keluarga dan pengawasan
dalam pemberian obat secara teratur kepada mereka, jangan sampai
putus.” (Yayak, 25 Juni 2015)
Bahkan di mata sosiolog pun menegaskan bahaya stigma yang akan
berdampak pada orang yang distigma. Bu Rahesli sebagai informan menjabarkan
dalam wawancaranya bahwa orang dengan gangguan jiwa sama hal nya dengan
pelacur di lokasi prostitusi ketika mereka menerima stigma. Stigma yang
menempel pada status atau penyakitnya akan menimbulkan ketakutan mereka
untuk kembali pada lingkungan masyarakat sekalipun mereka sudah keluar atau
dinyatakan sembuh oleh dokter yang dimana masyarakat tetap memberi stigma
dan ini menimbulkan masalah baru lagi bagi orang yang distigma.
“Atau orang yg berada di prostitusi, meskipun dia sudah keluar, tapi
masyarakat tetap memberi stigma, maka akan sulit sembuh. Sama
dengan sakit jiwa.” (Rahesli, 25 Juni 2015)
Scheff pun mengatakan hal yang sama, bahwa pandangan seperti itu
akan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan tingkah laku dari
seseorang yang disebut sakit jiwa. Dia menyampaikan argumentasinya tentang
commit to user
196
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masalah pandangan orang terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa
sebagai berikut :
“Dalam pembicaraan disini, dapat kita katakan bahwa semua orang
di dalam masyarakat mengetahui gejala dari gangguan mental dalam
bayangannya. Bayangannya ini cenderung terikat pada masingmasing budaya dan bangsa, hubungan ini mungkin merupakan salah
satu alasan mengapa ada perbedaan atau variasi pada gejala-gejala
yang terjadi dalam budaya-budaya yang berbeda. Jika bayangin ini
dapat diberikan pada si pelanggar aturan sosial atau memberi
gambaran dan pengertian tentang apa yang dialaminya, maka mutu
dari reaksi masyarakat mempunyai arti yang penting dalam
penentuan lama dan akibatnya.” (1960;80)
Scheff menyatakan bahwa masyarakat mengetahui gejalan gangguan
mental dalam bayangannya atau kontruksi berfikirnya tentang orang yang
mengalami gangguan jiwa. Konstruksi ini cenderung terikat pada faktor budaya
dan bangsa masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Konstruksi berfikir ini di pengaruhi oleh ragam kejadian dan fenomena yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari hingga akhirnya ada kecendrungan untuk
mengenaralisir pada seluruh penderita gangguan jiwa. Seperti ketakutan yang
diceritakan oleh Juwita yang menjadi informan dalam penelitian ini bahwa
pengalaman pribadinya ketika kecil yang melihat perilaku orang dengan gangguan
jiwa yang membahayakan orang lain menimbulkan konstruksi berfikir bahwa
mereka membahayakan dan menimbulkan rasa ketakutan hingga sekarang.
“Ya ga sih, dulu sih pas waktu SD ada orang gila yang udah gedorgedor, gimana ya, yang tingkah lakunya udah tingkatan gila parah
banget lah. Dia itu jalan-jalan keliling kampung, dan itu ga pake
baju, terus ketemu apapun di lemparin. Jendela orang di lempar,
begitu. Jadinya takut aja kalau sama orang gila. Padahal bukan aku
yang dilemparin tapi itu udah bikin aku takut. Soalnya kan itu pas
kecil ya, jadi kaya ngena gitu. Sampai sekarang tetep takut. Ga kaya
commit to user
kalau kita percaya sama orang normal. Gatau, tapi rasanya takut.
197
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gatau kenapa kenyataannya gitu. Labeling, mereka udah kaya
labeling ya, susah, kalau udah sekali ini, yaudah.” (Juwita, 30 Juni
2015)
Dan pernyataan yang sama juga dituturkan oleh Siswandi yang
mengatakan bahwa konstruksi
berfikir masyarakat yang memiliki pandangan
negatif sulit untuk dihilangkan karena stigma buruk itu diwariskan secara turun
temurun dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain.
“Stigma itu kuat. Karena umumnya masyarakat Indonesia atau yang
pernah saya temui menganggap istilah gila ya tadi itu. Lihat saja di
kondisi masyarakat, meniru dari masyarakat (yang lain) dan turun
menurun jadi susah stigma itu hilang tapi bisa. Kalau menurut saya
pribadi susah karena itu kebiasaan yang cara berfikir diwariskan
turun menurun.” (Siswandi, 30 Juni 2015)
Stigma buruk itu juga berpengaruh ke Griya PMI Peduli Surakarta
karena di dalamnya tinggal orang dengan gangguan jiwa. Itulah yang
menyebabkan ada rasa takut untuk Siswandi atau mahasiswa yang lain, yang
tinggal tidak jauh dari penampungan gangguan jiwa seperti Griya PMI Peduli
Surakarta enggan untuk peduli atau berkunjung ke dalamnya bahkan tak
memunculkan semangat mengabdi seperti pengabdian untuk anak jalanan, kaum
marginal dan masyarakat terpinggirkan lainnya karena ketakutan yang memenuhi
konstruksi berfikir mereka akan perilaku penderita gangguan jiwa.
“Ya ngaruh (buat tidak datang atau mengabdi) karena di dalemnya
orang gila. Bukan takut, hanya khawatir. Enggak jijik. Cuma khawatir
mereka tidak bisa mengendalikan diri mereka.” (Siswandi, 30 Juni
2015)
Maka bila pandangan tentang gangguan jiwa mempunyai sifat yang
negatif, apa akibatnya? Schelff mengatakan bahwa salah satu akibatnya adalah
akan menstabilkan tingkah lakunya
dan diakuinya
commit
to user gejala-gejala tertentu. Tentang
198
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini, hasil penelitian Scott (1969, 1970) mengenal kekuatan yang dimiliki oleh ahli
untuk mempengaruhi pasien-pasiennya, dapat cocok dipakai karena dapat menjadi
dasar yang penting untuk membentuk karakter-karakter dan mengarahkan tingkah
laku si penderita (lihat juga diskusi siegler dan Osmond, 1966). Pertama, si
penderita harus menerima kenyataan bahwa ia sakit, penerimaannya juga sesuai
dengan pandangan seorang ahli sebelum proses penyembuhan dimulai.
“Itu bisikannya kaya aku tu kalau masuk RSJ aku kalah, aku gabisa
berontak, aku gabisa gabisa, udah kalah kalau di RSJ itu, kan jadi
pasien, di anggap orang gila padahal aku kan gapapa. Aku merasa
diriku tu ga sakit apa-apa tapi karena aku di taruh di RSJ aku jadi
ikut hanyut sama orang-orang yang sakit jadi kaya kebawa gitu lho.”
(Hayu, 7 Juli 2015)
Kedua, bahwa pemberian julukan sebagai penderita gangguan mental
akan menunjukkan kekurang sempurnaannya sebagai manusia. Dari segala bentuk
penyakit, penyakit gangguan mental mempunyai ruang lingkup yang sangat luas
dalam kaitannya antara nama penyakitnya dengan semua bidang kegiatan sosial,
dan langsung menanyakan tentang karakter orang tersebut. Semua perbuatannya
ditanyakan (diteliti) dalam usaha mencari penyebab dari penyakit tersebut.
“Kalau ditanya itu dia suka bilang kalau dia ga gila, yang gila itu
yang disana gitu. Dulu mau diajak suntik juga pernah lari, gamau,
udah sampai sana malah lari. “aku ga gila, yang gila kamu itu”, Dia
suka bilang gitu.” (Tri Wulandari, 27 Juni 2015)
Ketiga, adalah sulit sekali untuk menghilangkan julukan tersebut. Si
penderita penyakit jantung selalu dianggap memiliki kelainan jiwa yang mereda,
dengan kemungkinan timbul kembali. Seperti orang-orang yang cacat fisiknya,
mereka selalu di olok-olok dan dicurigai, demikian pula orang yang diketahui
commitTetapi
to userada perbedaanya, bagi penderita
pernah mengalami gangguan mental.
199
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gangguan mental hal itu bisa merugikan statusnya semula, sedangkan penderita
cacat fisik tidak. Namun harus ditekankan bahwa akibat-akibat tersebut sangat
berbeda menurut kekuatan dan pengaruhnya.
“Jadi adanya cuma menutup diri terus tiduran sama tutup bantal
karena merasanya hayu kamu kalau ada di RSJ kamu itu kalah, kamu
pisah sama anak-anakmu, anak-anakmu sedih jadi kaya ada
kesempatan untuk wake up, bangun, untuk jadi orang yang normal ga
sakit jiwa lagi tapi aku tu ragu-ragu. Jadi akhirnya aku jadi orang
yang sakit lagi, disalahkan sama keluarga. Kan keluargaku sampe
saat ini dukungan keluarga nol. Iya jadi karena udah setiap kali
masuk ke RSJ jadi aku udah ga percaya kalau aku bisa sembuh gitu,
sampe segitunya. Kakak ku bilang gini, “aku wes ga percaya sama
kamu, kamu kalau udah kumat itu sampe berkali-kali. Jadi aku udah
ga ada rasa percaya sama kamu.” (Hayu, 7 Juli 2015)
Namun ada juga akibat positifnya yang berhubungan dengan
pemberian julukan penyakit, yakni keuntungan teratasinya keraguan dan
mudahnya memberikan bantuan yang diberikan pada penderita dalam menghadapi
penyakitnya. Aspek-aspek positif ini juga terlihat pada gangguan mental yaitu:
pertama, julukan terhadap tingkah laku non sosial sebagai penyakit sangat penting
dalam menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi anggapan bahwa tingkah
laku dan karakter semula secara moril negatif.
“Orang dengan shizofrenia itu sedang sakit, sehingga tidak tepat
dikatakan menyimpang. Dimana mrnyimpang identik dengan suatu
hal yg negatif.” (Gatot, 30 Juni 2015)
“Ga, kalau perilaku menyimpang itu dilakukan oleh orang yang
psikologisnya, psikisnya, otaknya waras ya. Kalau orang gila itu
bukan penyimpangan sih kalau menurutku, jadi kaya, ya bukan
penyimpangan. Kalau penyimpangan itu dilakukan oleh mereka yang
tahu dan sadar tapi di langgar, tapi kalau orang gila kan mereka
pastilah ga ngerti yang bener gimana, yang salah gimana.” (Juwita,
30 Juni 2015)
“bukan. Karena pelaku
perilaku
commit
to user menyimpang itu masih punya
kesadaran dan berpikir rasional, beda dengan orang gila. iya. Bahkan
200
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam hukum orang gila bebas dari jerat hukum.” (Gilar, 27 Juni
2015)
Kedua, penderita gangguan mental memang sedang menghadapi
masalah-masalah. Dengan julukan atas penyebab persoalan-persoalan itu sebagai
penyakit, setidak-tidaknya hal itu mempermudah untuk meminta dan menerima
pertolongan orang lain untuk menyelesaikannya.
Tidak hanya orang normal yang bisa menstigma orang dengan
gangguan jiwa, tapi orang dengan gangguan jiwa pun bisa memberikan stigma
kepada orang yang normal. Karena stigma bisa diberikan oleh siapapun, layaknya
stigma orang Jawa terhadap orang Sunda yang boros, Stigma orang Sunda
terhadap orang Batak yang kasar, dan lain sebagainya yang disebabkan perbedaan
kebudayaan, nilai dan norma yang dianut oleh masing-masing masyarakat yang
melahirkan perbedaan kebiasaan. Karena nilai dan norma yang dianut oleh orang
dengan skizofrenia di Griya PMI Peduli berbeda dengan nilai dan norma yang di
anut oleh masyarakat di luar Griya PMI sebagai institusi sosial, begitu pun
sebaliknya. Maka stigma dapat diberikan kepada semua orang yang menjadi
penilaian untuk orang lain. Jadi stigma bukanlah penyakit, stigma hanyalah
perbedaan pemahaman dan mendefinisikan realita yang akhirnya melahirkan jarak
virtual dan jarak realita.
commit to user
201
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Gambar IV.7 Kaligrafi Dari Stereoform Karya Orang Dengan
Skizofrenia di Griya PMI Peduli
Maka kesimpulannya dalam pembahasan ini adalah setiap orang
memiliki panggung depan dan panggung belakang. Perbedaan pemahaman
tentang panggung depan yang ditangkap oleh audiance merupakan panggung
belakang yang ditampilkan oleh orang dengan skizofrenia di hadapan publik.
Sedangkan panggung depan bagi orang dengan skizofrenia hanya terjadi ketika
mereka dalam kondisi yang membaik dampak dari obat yang diminum sehingga
bisa mengontrol kejiwaannya dan menjadikannya bisa memahami bahwa ada
realitas masyarakat di luar realitas baru yang ia miliki. Hal inilah yang melahirkan
commit to user
jarak sosial. Bagi Goffman, stigma itu lahir karena ada jurang antara seperti apa
202
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seseorang seharusnya, “identitas sosial virtual”, dan seperti apa seseorang itu
secara aktual, “identitas sosial aktual”. Setiap orang yang mempunyai celah
diantara dua identitas tersebut di stigmatisasi. Hal inilah yang menyebabkan orang
dengan skizofrenia di stigma. Karena ada jarak antara identitas sosial virtual dan
identitas sosial aktual dalam dirinya di mata penontonnya (masyarakat) melihat
sebagai dari panggung depan yang di nilai tidak memenuhi tuntutan naskah dan
ekspektasi audiance yang disebabkan ada perbedaan pemahaman naskah antara
orang dengan skizofrenia yang memilki realitas baru dengan penonton yang tidak
bisa memahami realitas di luar realitas yang mereka pahami.
Tabel IV.5
Gambar
Pandangan Mengenai Stigma Gangguan Jiwa
INFORMAN
FRONT STAGE BAGI
AUDIANCE
Dokter
Panggung depan yang di
lihat oleh dokter
terhadap orang dengan
gangguan jiwa adalah
tidak mampu
mengontrol emosi atau
fluktuasi mental.
Namun di sisi lain
mereka memiliki
kelebihan dengan apa
yang menjadi
ketertarikan bagi minat
mereka seperti seni
maupun ibadah, dan
lain- lain.
ORANG DENGAN SKIZOFRENIA
FRONT STAGE
BACK STAGE
Di wilayah ini lah
mereka berusaha
memenuhi
indikator nilai dan
norma yang ada di
masyarakat dengan
menunjukan
kelebihankelebihan yang
mereka miliki,
seperti kemampuan
menyanyi, merajut,
menjahit,
memasak, melukis
dan lain sebagainya
yang sama dengan
kemampuan
penonton
commit
to user pada
umumnya. Di
203
Apa yang di anggap
dokter sebagai
panggung depan
adalah panggung
belakang bagi ODS.
Mereka bukan tidak
mampu mengontrol
emosi, namun emosi
yang keluar adalah
emosi yang
mengekspresikan
perasaannya tanpa
terikat oleh nilai dan
norma yang berlaku
bagi dokter karena
di wilayah inilah
mereka menjadi diri
sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id
Perawat
Aktivis
Keluarga
digilib.uns.ac.id
wilayah ini juga di
pengaruhi dengan
khasiat obat yang
di konsumsi ODS
untuk kesehatan
jiwanya.
Panggung depan yang di Orang dengan
lihat oleh perawat
skizofrenia
terhadap orang dengan
berusaha bersikap
skizofrenia adalah orang manis, menunjukan
yang melakukan
kemajuan
perbuatan menyimpang kesehatannya, dan
karena di luar kebiasaan mematuhi aturan
nilai dan norma
yang ditetapkan
masyarakat yang di
seperti aturan
anut. Dimana panggung mandi, makan,
depan yang dilihat
tidur dan aktivitas
audiance ini adalah
lainnya
kegagalan ODS dalam
sebagaimana
mengorientasikan
mestinya.
sesuatu termasuk
dirinya sendiri, tidak
bisa menjaga dirinya
dan emosi yang tidak
stabil mengarah
membahayakan jika
tanpa pengawasan.
Panggung depan yang di Di depan aktivis
lihat aktivis adalah
yang memberikan
kelemahan akal mereka. terapi untuk
Selain itu mereka di
penyembuhan,
anggap memiliki
mereka
keinginan yang sangat
menampilkan
tinggi. Di sisi lain
kemampuannya
aktivis melihat orang
dengan baik
dengan gangguan jiwa
sehingga terlihat
adalah orang yang
bakat dan potensi
cerdas dan memiliki
yang terpendam
bakat yang mereka
dari mereka, untuk
miliki sebagai dampak
mempengaruhi
dari rehabilitasi untuk
agar di apresiasi
kembali ke realita
dan memiliki
masyarakat.
teman dari luar
Griya PMI.
Bagi keluarga,
Di depan keluarga
commit to user
panggung depan yang di mereka berusaha
204
Bagi orang dengan
skizofrenia, apa
yang diutarakan
adalah apa yang
dirasakan dan nyata
bagi mereka sebagai
sebuah realitas baru
yang tidak di
pahami oleh orang
lain di luar realitas
mereka dan
sebaliknya. Maka
perawat maupun
aktivis tidak jarang
tak memiliki
kemampuan
berkomunikasi
karena perbedaan
pengetahuan,
pemahaman dan
pengalaman yang
dialami oleh
keduanya. Sebagai
panggung belakang,
hal itu ditampilkan
untuk berekspresi
dengan jujur dan
nyata.
Mereka menunjukan
rasa cinta yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tampilkan oleh anggota
keluarganya yang
mengalami schizofrenia
bukanlah kekurangan.
Hal ini karena keluarga
menganggapnya bukan
suatu masalah. Namun
di tempat yang lain, ada
keluarga yang merasa
kecewa, hilang
kepercayaan dan putus
asa dampak dari
penampilan anggota
keluarganya yang
mengalami skizofrenia.
Keluarga juga
menganggap bahwa itu
adalah pengaruh
makhluk halus.
menunjukan bakti
sebagai anak, rasa
cinta, keinginan
untuk sembuh,
meyakinkan bahwa
mereka sudah
sembuh,
menunjukan
keinginan yang
besar untuk pulang
dan berkumpul
dengan keluarga
serta berusaha
meyakinkan bahwa
dirinya sudah
kembali seperti
keadaan semula.
besar kepada
keluarganya dengan
melakukan hal-hal
yang di anggap
tidak ladzim oleh
keluarga. Hal ini
dikarenakan ODS
mendapati bisikan
atau memiliki
kepercayaan bahwa
orang disekitarnya
terancam dari
kejahatan yang
membuat mereka
melakukan tindakan
untuk menjaga dan
menyelamatkan
keluarganya dengan
meyakini ini adalah
suatu yang normal,
nyata, dan sesuai
dengan aturan di
masyarakat.
Relawan
Panggung depan yang di Berusaha untuk
Mereka
Pasif
tonton oleh masyarakat menunjukan
mengekspresikan
selama ini adalah sosok kesamaan antara
perasaan dan
yang menakutkan,
dirinya dengan
menjadi diri mereka
mengancam,
masyarakat lainnya sendiri tanpa terikat
membahayakan, hilang
melalui sikap,
dengan nilai dan
rasa malu, kotor dan
perilaku, tindakan
norma di
tidak sesuai dengan
dan kebiasaan yang masyarakat yang
kebiasaan yang
diinginkan oleh
berbeda dengan
dilakukan oleh
masyarakat.
nilai dan norma
masyarakat pada
yang mereka yakini.
sewajarnya.
Apa yang mereka
tampilkan adalah
kejujuran ekspresi
dan bukan suatu hal
yang di rekayasa.
*nb : panggung depan terjadi ketika orang dengan skizofrenia yang kesehatannya
sudah terkontrol dengan obat yang dikonsumsi rutin sehingga mereka dapat
merasakan kembali realitas yang berbeda dan berada di luar mereka.
commit to user
205
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Pembahasan
Pada dasarnya ada banyak pandangan mengenai gejala sosial yang
terjadi di masyarakat. Ada banyak perbedaan maupun persaman pandangan
tentang pemahaman tentang sakit. Saki yang di bagi menjadi dua yakni sakit fisik
dan sakit jiwa yang kemudian membentuk pandangan tentang normal dan
abnormal yang kerap disebut dengan gangguan jiwa atau “gila” dalam bahasa
keseharian masyarakat. Kemudian pandangan tentang normaletis yang membahas
serangkain nilai dan norma yang menjadi atruran sosial sebagai acuan perilaku
dan bersikap membentuk panggung depan dan panggung belakang seseorang yang
dikenal dengan istilah Dramaturgi. Pandangan-pandangan inilah yang akhirnya
membentuk stigma di masyarakat. Namun stigma tersebut terbentuk bukan tanpa
sebab. Bagaimana proses stigma hadir untuk orang dengan skizofrenia disebabkan
oleh adanya jurang pemisah atau jarak antara realitas virtual dan realitas faktual.
Penelitian ini menggunakan teori Dramaturgis Erving Goffman.
Goffman menyatakan bahwa hukum interaksi sosial bisa ditemukan pada hukum
panggung (stage) atau individu yang memainkan peran dipermaianan teater atau
drama pertunjukkan (Rachmad Dwi Susilo, 2008:368). Begitu pun dengan
kehidupan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang tinggal di Griya PMI
Peduli Surakarta. Mereka semua tidak lepas dari hukum panggung seperti yang
telah di ungkapkan Goffman jika sudah berhadapan dengan audiance atau
penontonnya. Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang di dalamnya termasuk
Orang dengan Skizofrenia (ODS) menjadi fokus penelitian ini juga tidak bisa
commit
to user
lepas dari pandangan dan penilaian
audiance.
Mereka di tuntut untuk memahami
206
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa hidup hanyalah pementasan pertunjukan panggung yang di dalamnya
dibutuhkan beragam perangkat yang harus dipersiapkan untuk menunjang
penampilan seperti penampilan pemain (performer) yakni dirinya sendiri beserta
team yang terlibat, kualitas penampilan (performance), tempat (region) atau
panggung (stage), naskah (script), latar (setting), dan yang tidak kalah penting,
yakni penonton (audience) karena hidup tidak lepas dari evaluasi penonton yakni
masyarakat itu sendiri.
Dalam setiap pementasan setiap individu atau kelompok yang menjadi
teamnya di pandang Goffman harus memainkan pertunjukan dengan penuh
kehati-hatian agar penampilan yang di suguhkan untuk penonton adalah
penampilan yang terbaik. Acuannya hanya dua, naskah (script) dan penonton itu
sendiri yang menjadi audiance. Kemudian individu atau kelompok harus mengerti
ia pada posisi di panggung depan (front stage atau front region) atau panggung
belakang (back stage atau back region). Panggung depan menunjuk pada sebuah
drama yang dipentaskan, yang mana perilaku pemain selalu dikendalikan,
dimonitoring, dan di evaluasi oleh dua hal, yakni naskah dan tanggapn penonton.
Dalam panggung depan, individu melakukan upaya yang dikatakan Goffman
sebagai make work. Dalam panggung sandiwara itulah seseorang harus mampu
menampilkan “kesan realitas“ kepada sesamanya agar bisa meyakinkan gambaran
(citra) yang hendak diberikan kepada orang lain. Untuk itu ia harus mengadapstasi
“permukaan pribadinya lewat peran dan mendramatisasinya, yaitu dengan
memasukkan tanda-tanda yang akan memberikan kesan melalui aktivitas yang
commit
user
dilakukan dan perilakuknya tampak
tidak to
keliru.
207
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tidak semua panggung depan
yang ditampilkan setiap orang akan memenuhi harapan penonton. Seperti yang
diungkapkan Kartini Kartono bahwa ekspresi dan penampilan orang yang
mengalami kekalutan mental (mental disorder) seperti skizofrenia adalah
penampilan yang tidak lazim pada umumnya seperti komunikasi sosialnya
terputus-putus, dan ada disorientasi sosial. Selain itu timbul delusi-delusi yakni
ilusi yang keliru (khayalan yang tidak benar) yang menakutkan dan dihinggapi
delusi of grandeur (merasa dirinya super, paling) yang membuatnya selalu iri hati
dan curiga. Adakalanya dihinggapi delusi of persecution (khayalan yang dikejarkejar). Sehingga dia menjadi sangat agresif, berusaha melakukan perusakan, dan
bunuh diri (Kartini Kartono, 2005:271). Hal ini menjadi realitas baru yang dialami
oleh orang dengan skizofrenia, terlihat sangat nyata dan sudah tidak bisa
dibedakan lagi oleh dirinya mana yang ilusi dan mana yang realitas sebenarnya.
Realitas baru inilah yang menjadi panggung depan untuk orang dengan
skizofrenia. Mereka menampilkan pertunjukan yang dipengaruhi oleh naskah
realitas baru, mengikuti nilai dan norma realitas baru yang hanya disepakati oleh
mereka yang memiliki realitas yang sama. Dan hal ini dianggap tidak wajar oleh
masyarakat pada umumnya yang memiliki realitas sendiri dengan naskah yang
berisi kesepakatan nilai dan norma yang telah disetujui dan dilaksanakan oleh
anggota kelompoknya dan dimaknai sebagai kebiasaan yang sewajarnya.
Orang dengan skizofrenia menampilkan panggung depan yang di nilai
tidak wajar atau tidak ladzim dilakukan manusia sehat secara kejiwaan, padahal
commit
to userpanggung belakang mereka yang
panggung depan yang di tampilkan
itu adalah
208
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesungguhnya. Panggung belakang yan dimana mereka sudah tidak melihat
kondisi penonton, mana yang benar-benar ia kenali karakternya dan mana yang
tidak ia kenali, sehingga apapun yang ditampilkan tidak disesuaikan lagi dengan
karakter penonton, tidak disesuaikan dengan nilai dan norma penonton, tidak
disesuaikan dengan harapan dan apapun yang di inginkan penonton, mereka tidak
lagi memperhatikan apakah ini penonton yang baru atau penonton lama yang
biasanya melihat pertunjukannya, apakah karakter penonton dihadapannya sudah
di pahami atau tidak untuk kemudian disesuakan dengan penampilannya, mereka
sudah mengacuhkan itu semua seperti ketika penonton atau manusia pada
umumnya berada di panggung belakangnya. Mereka sudah melepaskan semua
nilai dan norma yang melekat ketika berada di fornt stage.
Panggung belakang bagi Goffman sangat berbeda dengan penampilan
pada panggung depan yang membutuhkan banyak perangkat yang harus dipelajari
untuk menunjang penampilan dan mengelola kesan di hadapan penotonnya yakni
individu atau kelompok yang sedang dihadapi, sebaliknya panggung belakang
merupakan tempat para pemain lepas dari sorotan penonton, atau dalam bahasa
Erving Goffman dinyatakan,
“Panggung belakang didefinisikan sebagai suatu tempat, yang relatif
menjadi tempat penampilan biasa, dimana kesan dikembangkan oleh penampilan
yang secara sadar dikontradiksikan sebagai sebuah hal yang biasa (Goffman,
1959:112)”
commit to user
209
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada panggung belakang inilah, penampilan begitu apa adanya dan
panggung depan bagi penonton yang mengamati orang dengan skizofrenia adalah
panggung belakang yang sesungguhnya bagi mereka karena di posisi inilah
mereka sudah lepas dari naskah-naskah yang menuntut dan membatasi gerak
mereka. Seperti Doni yang dikisahkan oleh keluarganya dalam penelitian ini
bahwa ia menghalangi semua orang berlalu lalang di depan rumahnya karena
sedang melindungi rumah dan keluarganya yang akan roboh jika semua orang
terus berlalu lalang dengan kendaraannya di depan rumahnya. Doni melakukan ini
semua sebagai suatu hal yang wajar, sama seperti anak-anak lainnya yang akan
melindungi keluarga dan rumah sebagai tempat tinggalnya dari ancaman yang ia
yakini dapat membahayakan seperti maling, orang jahat atau kecerobohan karena
api yang mengancam terjadinya kebakaran. Doni tidak lagi kwatir akan penilaian
orang lain karena realitas barunya menuntun dirinya untuk melakukan hal ini
sekalipun tidak diharapkan banyak orang karena mengganggu aktivitas warga
karena jalan yang dilaluinya menjadi terganggu dan tidak masuk akal bagi
penonton jika karena motor, mobil atau kendaraan lain yang berlalu lalang bisa
merobohkan rumah yang kokoh, karena kecepatan dan kekuatan kendaraan
manusia tidak sama dengan kekuatan gempa bagi masyarakat sebagai penonton
pada umumnya yang melihat penampilan Doni. Dari sinilah penonton menilai
panggung depan Doni, Hayu, Supri dan orang dengan skizofrenia lainnya di Griya
PMI Peduli memiliki kelainan kejiwaan dari hasil pertunjukan mereka di
panggung depan dengan naskah yang tak lagi sama antara naskah yang dimiliki
penonton dan naskah yang dimiliki oleh orang dengan skizofrenia seperti mereka.
commit to user
210
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masyarakat mengatakan mereka gila, tapi bagi mereka melalui pernyataan
langsung yang telah disampaikan di hasil penelitian, mereka sadar bahwa apa
yang dilakukan itu wajar dan tidak sepantasnya mereka mengatakan gila. Ini
semua karena perbedaan naskah yang dimiliki antara masyarakat yang
mengatakan gila karena penilaian panggung depannya disesuaikan dengan nila
dan norma yang mereka sepakati dengan orang dengan skizofrenia yang memiliki
naskah sendiri karena ada realitas baru dengan menghadirkan nilai dan norma
baru yang berlaku bagi mereka.
Goffman mengatakan bahwa Individu atau kelompok akan selalu
menghindari sumber – sumber yang memalukan dalam interaksi yang disebut
dengan kekacauan penampilan. Kekacauan dalam konsep sehari-hari disebut
insiden dan ketika itu terjadi individu sebagai aktor cenderung bereaksi dalam
tindakan seperti bingung, tidak nyaman, malu, dan grogi mengingat hal ini
bukanlah tindakan individu yang telah dipersiapkan sehingga ia dituntut untuk
memakai topeng guna menyelamatkan penampilannya. Pada titik inilah Goffman
menyebut individu atau kelompok memiliki perlengkapan (alat tertentu) dan
mengekspresikan atribut ini untuk menyelamatkan pertunjukkan. Sama hal nya
dengan orang skizofrenia, ketika mereka berada di panggung depan seperti ketika
berada di hadapan perawat atau dokter kejiwaan yang menangani mereka seharihari, orang dengan skizofrenia di Griya PMI Peduli menampilkan kesan sebagai
orang yang sehat agar di beri izin dan kebebasan kembali kepada keluarganya.
Mereka menunjukan diri bahwa mereka sudah pulih, tidak marah, tidak
to user kemajuan signifikan dengan
menyendiri, tidak menangis, commit
dan memiliki
211
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menunjukan sifatnya yang rajin, membantu warga lain yang juga mengalami
gangguan jiwa, ramah dan senyum kepada setiap orang yang di hadapannya dan
inilah yang membuat akhirnya Mbak Hayu, Mas Pras, di katakan sembuh dan bisa
kembali kepada keluarganya. Jadi orang dengan skizofrenia juga memiliki
panggung depan sama seperti masyarakat pada umumnya, namun panggung depan
yang ditampilkan tidak semua di pahami oleh masyarakat. Hanya orang-orang
yang intens berinterkasi dengan merekalah yang bisa memahami seperti perawat,
dokter dan teman di lingkungannya hidup yakni panti rehabilitasi dan
penampungan gangguan jiwa di Griya PMI Peduli Surakarta. Selain itu orang
dengan skizofrenia tidak menderita masalah kejiwaan selama 24 jam, bisa jadi
dari 24 jam dalam sehari hanya beberapa jam mereka mengalami masalah
kejiwaan atau bahkan bisa tidak sama sekali jika obat dan fikirannya di jaga
dengan baik, ketika itu mereka beraktivitas seperti orang pada umumnya bisa
menjahit, menyulam, membuat kerajinan tangan, memasak, mencuci piring,
berwirausaha, menjadi seniman atau bekerja untuk menghasilkan uang seperti
Mbak Hayu. Inilah panggung depan yang tidak bisa di lihat oleh semua
penontonnya karena mereka berada di istitusi total bernama Griya PMI Peduli
Surakata yang tidak semua orang bisa mengakses kecuali yang sudah disepakati
oleh atauran atau diizinkan oleh yang berwewenang.
Istilah institusi total (total institution) diperkenalkan Erving Goffman
dalam karyanya yang berjudul Asylums:Essays on the Social Institution of Mental
Patients and Other In mates (1961). Buku ini terdiri dari serangkaian makalah
commit to
tentang orang-orang yang ditempatkan
di user
institusi total . Maksudnya, adalah
212
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tempat-tempat yang memisahkan penghuninya dari dunia luar dengan pintu
terkunci dan tembok tinggi. Termasuk institusi total adalah rumah sakit jiwa,
penjara, sekolah asrama, dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut juga
diistilahkan asylum (suaka). Di asylum, Goffman memandang orang-orang dalam
institusi ini berusaha menafsirkan pengalaman mereka daripada membenarkan
sistem yang mereka hadapi. Selain buku tersebut, melalui The Presentation of Self
in
Everyday
Life,
Goffman
memperlihatkan
bagaimana
orang-orang
menyesuaikan diri dalam peran-peran masyarakat, dan bagaimana berbagai
institusi mendukung dan menegakkan peran-peran mereka. (Sugeng Pujileksono,
2010)
Dilihat dari analisis yang Goffman lakukan terkait institusi total, Griya
PMI Peduli Surakarta memenuhi seluruh kriteria. Tampilan institusi total dapat
dideskripsikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: pertama, semua aspek-aspek
kehidupan dilakukan di tempat yang sama dan dalam pengawasan tunggal yang
sama. Kedua, masing-masing anggota melakukan aktivitas yang sama dan
cenderung memiliki pemikiran yang sama. Ketiga, seluruh rangkaian kehidupan
sehari-hari terjadwal secara ketat, dalam keseluruhan urutan yang diawasi oleh
sistem/ organisasi dan pengawas formal. Keempat, berbagai aktivitas dipaksa dan
diarahkan bersama-sama ke dalam rencana tunggal untuk memenuhi tujuan
pimpinan institusi
Griya PMI Peduli Surakarta di anggap sebagai institusi total yang
fungsinya sama seperti Rumah Sakit Jiwa atau Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa.
commit to user
Istilah institusi total ini dipakai untuk menganalisis lembaga-lembaga yang
213
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membatasi perilaku manusia melalui proses-proses birokratis yang menyebabkan
terisolasinya secara fisik dari aktivitas normal disekitarnya. Menurut Goffman
institusi total adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian
kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individu yang terkait dengan institusi
tersebut. Individu diperlakukan sebagai sub-ordinat yang sangat tergantung
kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Di Griya PMI Peduli,
warga yang mengalami gangguan jiwa termasuk skizofrenia merupakan individu
yang hidup dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas bahkan
keluarganya sendiri dan berada dalam jangka waktu tertentu, bersama-sama
menjalani hidup yang terkungkung, dan diatur secara formal dengan aturan yang
berlaku di Griya PMI Peduli Surakarta. Disinilah tempat tinggal mereka, tempat
tinggal mereka setelah berbulan-bulan hilang dan menggelandang di jalan, disini
mereka hanya berinteraksi dengan masyarakat tertentu yang sudah di izinkan oleh
lembaga sebagai organisasi yang menjaga mereka. Seluruh perilaku mereka di
atur secara ketat agar tidak merugikan orang lain disekitarnya dan kembali pada
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Mereka di ajak keluar dari realitas
yang mereka miliki dan masuk ke dalam realitas masyarakat pada umumnya.
Semua kegiatan di dalam griya sudah diatur oleh norma-norma atau aturan-aturan
yang ada sesuai dengan pranata-pranatanya yang dijalankan oleh dan melalui
kekuasaan pimpinan Griya PMI Peduli.
Misalnya untuk pemenuhan kebutuhan makan setiap warga Griya
PMI Peduli sudah diatur melalui aturan-aturan yang ketat (makan apa, lauknya
commitditotempat
user mana mereka boleh makan dan
apa, jam berapa diperbolehkan makan,
214
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak boleh makan, dan seterusnya) semuanya diawasi dan ditentukan oleh para
dokter dan perawat. Semua kegiatan diatur dan dijalankan berdasarkan atas hirarki
kekuasaan yang ketat. Mereka tidak bisa melepaskan diri, abnormal yang nampak
dari luar diharapkan mampu menghasilkan dan mereproduksi kenormalan didalam
institusi. Seperti itulah, institusi total sebagai organisasi yang mengatur
keseluruhan kehidupan anggotanya.
Institusi total bagi Goffman merupakan tempat sosialisasi setiap
individu. Sosialisasi mengacu pada proses belajar seorang individu yang akan
mengubah dari seseorang yang tidak tahu tentang diri dan lingkungannya menjadi
lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan proses di mana seseorang
menghayati norma-norma kelompoknya, sehingga timbulah diri yang unik, karena
pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut dengan diri . Berdasarkan
jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu sosialisasi primer (di dalam
keluarga) dan sosialisasi sekunder (di dalam masyarakat). Menurut Goffman
kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan
tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam
situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun
tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung diatur secara formal.
Orang dengan skizofrenia memili lingkungan yang tidak sama dengan individuindividu lainnya yang berada di Griya PMI Peduli, di dalam institusi ini ada nilainilai dan norma yang telah disepakati oleh masyarakat yang hidup di lingkungan
Griya PMI Peduli Surakarta yang berbeda dengan masyarakat lainnya seperti
commit
to user
perempuan botak menjadi hal yang
biasa
dan ini dipandang tidak menyalahi
215
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aturan karena ini adalah bentuk penjagaan kesehatan tubuh mereka yang lebih
membahayakan jika dibiarkan panjang tak terurus karena kutu yang bisa membuat
kulit kepala mereka lecet. Minum obat setiap hari adalah tindakan yang wajar bagi
orang dengan skizofrenia, malah jika mereka tidak mau minum obat itu dianggap
menyalahi aturan dan dikenakan sanksi dengan dikembalikan ke rumah sakit jiwa
untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Dan masih ada banyak hal lain
yang di anggap tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat
yang menjadi nilai dan norma baru bagi orang-orang dengan skizofrenia yang
tinggal bersama-sama dalam waktu yang relatif lama di Griya PMI Peduli.
Masyarakat luas tidak bisa mengikuti nilai dan norma mereka karena dirasa tidak
ladzim atau tidak wajar, begitupun sebaliknya, orang dengan skizofrenia juga
tidak bisa sepenuhnya mengikuti nilai dan norma masyarakat karena mereka
memiliki realitas baru yang tidak dipahami oleh masyarakat. Hal inilah yang
menurut Goffman melahirkan stigma.
Bagi Goffman, stigma itu lahir karena ada jurang antara seperti apa
seseorang seharusnya, “identitas sosial virtual”, dan seperti apa seseorang itu
secara aktual, “identitas sosial aktual”. Setiap orang yang mempunyai celah
diantara dua identitas tersebut di stigmatisasi. Hal inilah yang menyebabkan orang
dengan skizofrenia di stigma. Karena ada jarak antara identitas sosial virtual dan
identitas sosial aktual dalam dirinya di mata penontonnya yakni masyarakat itu
sendiri di tilik dari panggung depan yang di nilai tidak memenuhi tuntutan naskah
dan ekspektasi audiance yang disebabkan ada perbedaan pemahaman naskah
commit to user
216
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antara orang dengan skizofrenia yang memilki realitas baru dengan penonton yang
tidak bisa memahami realitas di luar realitas yang mereka pahami.
Bagi Goffman, stigma berfokus pada interaksi dramaturgis antara
orang yang memberi stigma dan orang-orang yang distigma. Dan hal ini dapat di
lihat dari penelitian ini, bahwa setiap orang bisa saja memberi menstigma orang
yang lain karena ada perbedaan pemahaman antaa keduanya atas sesuatu. Hakikat
interaksi itu bergantung pada mana dari kedua tipe stigma yang dimiliki seorang
individu. Di dalam kasus stigma yang dideskriditkan, aktor menganggap bahwa
perbedaan-perbedaan di ketahui oleh anggota audiance atau nyata bagi mereka
(Contohnya, orang yang lumpuh di bagian bawah tubuh atau seorang yang
kehilangan anggota tubuhnya). Suatu stigma yang dapat di diskreditkan adalah
stigma yang didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak di kenal oleh
para anggota audiance dan juga tidak dapat mereka rasakan (Misalnya, seseorang
yang memiliki anus buatan atau nafsu homoseksual). Untuk seseorang dengan
stigma yang dapat didiskreditkan seperti homoseksual, masalah dramaturgis ialah
mengelola informasi sehingga masalah itu tetap tidak diketahui oleh para
audiance. Namun untuk kasus skizofrenia adalah stigma yang didiskreditkan, ini
perkara bagaimana mengelola ketegangan untuk memberikan pemahaman kepada
orang lain atas fakta-fakta yang terjadi antara mereka yang selama ini miskonsepsi
atau terjadi kesalahpahaman karena keduanya tidak memiliki pengalaman
(realitas) yang sama.
commit to user
217
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maka kesimpulannya adalah stigma yang melekat pada orang dengan
skizofrenia seperti cap orang yang sakit, memiliki kelainan kejiwaan,
membahayakan, menular, mengancam, menakutkan, menjijikan, tidak memiliki
kesambungan komunikasi yang akhirnya membuat audiance
yang melihat
panggung depannya menjauhi karena ketidakwajaran atas apa yang orang dengan
skizofrenia alami dan apa yang kerap mereka lakukan yang kemudian melahirkan
dampak diskriminasi, pengucilan dan sikap skeptis dari audiance kepada orang
dengan skizofrenia maupun pada orang dengan gangguan jiwa pada umumnya.
Hal ini hanyalah perbedaan pemahaman antara panggung depan yang di pahami
audiance yang menjadi back stage atau panggung belakang dari orang dengan
skizofrenia. Dan apa yang dipahami sebagai panggung depan orang dengan
skizofrenia tidak pernah di tonton oleh audiance karena mereka hidup dalam
institusi total yang tidak semua orang bisa mengakses kehidupan mereka. Karena
ada garis imajiner yang menjadi pembatas tak terlihat yang Goffman sebut jurang
virtual dengan realita inilah yang melahirkan stigma. Dan merubah pandangan
penonton yakni masyarakat pada umumnya kepada orang dengan skizofrenia yang
tadinya memiliki pandangan positif karena apa yang ditampilkan sesuai naskah
yang sesuai dengan acuan nilai dan norma yang berlaku kemudian berubah karena
hadirnya realitas baru yang tidak dialami dan tidak dipahami oleh penonton yang
dimana realitas baru itu melahirkan nilai dan norma yang baru yang bisa saja
membuat orang dengan skizofrenia turut menstigma masyarakat sebagai orang
yang jahat atau orang yang gila karena tidak mampu memahami nilai dan norma
mereka. Stigma yang diberikan masyarakat diakui oleh Dokter Gatot menjadi
commit to user
218
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemicu mereka untuk kembali kambuh yang dimana ini bisa diartikan bahwa
orang dengan skizofrenia yang kambuh disebabkan perbedaan nilai dan norma
yang di anut dan tidak dipahami oleh keduanya. Maka stigma yang selama ini
berpandangan buruk tidak hanya diberikan dari penonton ke orang dengan
skizofrenia, tapi bisa juga dari orang dengan skizofrenia kepada penontonnya.
Maka stigma bukanlah penyakit, hanya perbedaan konstruksi nilai dan fikiran
antara yang menstigma dan yang di stigma.
commit to user
219
Download