BAB I

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pajak Secara Umum
1. Pengertian dan Unsur Pajak
Secara umum, pajak merupakan iuran wajib yang dipungut oleh
pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) berdasarkan undang-undang
(sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara
langsung. Pajak dipungut berdasarkan norma-norma hukum guna menutup
biaya
produksi
barang-barang
dan
jasa
kolektif
untuk
mencapai
kesejahteraan umum.
Jadi, pajak merupakan hak prerogatif pemerintah, iuran wajib yang
dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi
pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang
dapat ditunjuk secara langsung berdasarkan undang-undang.
Menurut Soemitro ( Wirawan, 2009 : 2) :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat
jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
7
8
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 :
“Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.”
Dari defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak mempunyai
unsur-unsur sebagai berikut
:
a. Iuran dari rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa
uang (bukan barang).
b. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang – undang serta ada aturan
pelaksanaannya.
c. Dapat dipaksakan
Adanya sifat pajak yang dilakukan oleh kekuasaan publik, dalam hal ini
pihak yang berwenang, yaitu pemerintah, yang dilakukan kepada
rakyatnya.
d. Jasa pemerintah diberikan secara umum
Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
9
e. Untuk membiayai kegiatan pemerintah
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat dan berguna bagi kesejahteraan rakyat.
2. Fungsi Pajak
Pajak memiliki 4 fungsi yaitu :
a. Fungsi Budgetair
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk
membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.
b. Fungsi Regulerend
Pajak merupakan alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuantujuan tertentu diluar bidang keuangan.
c. Fungsi Redistribusi
Dalam fungsi redistribusi ini ditekankan unsur pemerataan dan keadilan
dalam masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya lapisan tarif dalam
pengenaan pajak dengan adanya tarif pajak yang lebih besar untuk
tingkat penghasilan yang lebih tinggi.
d. Fungsi Demokrasi
Pajak dalam fungsi demokrasi merupakan wujud sistem gotong-royong.
Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada
masyarakat pembayar pajak.
10
3. Pengelompokkan Pajak
Pajak dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
a. Menurut Golongannya
1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul atau ditanggung
sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan
kepada orang lain atau pihak lain.
Contohnya : Pajak Penghasilan (PPh).
2) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.
Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
b. Menurut Sifatnya
1) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan pada
keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak memperhatikan
keadaan subjeknya.
Contohnya : Pajak Penghasilan (PPh).
2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan pada
objeknya tanpa memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak.
Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBm), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
c. Menurut Lembaga Pemungutnya
1) Pajak Negara, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
11
Contohnya : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN).
2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
untuk membiayai rumah tangga daerah.
Contohnya : Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Penerangan Jalan.
4. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak
dikenal berbagai sistem pemungutan,
yaitu :
a. Official Assesment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan kewenangan pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang.
Ciri – cirinya :
1) Wewenang menentukan pajak terutang ada pada fiskus;
2) Wajib pajak bersifat pasif;
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assesment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak
untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak
yang harus dibayar.
12
Ciri – cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib
pajak sendiri;
2) Wajib pajak aktif mulai dari mengitung, membayar, dan melaporkan
sendiri pajak terutang;
3) Fiskus tidak ikut campur tetapi hanya mengawasi.
c. With Holding System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib
yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang yang
terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya :
Wewenang menentukan besarnya pajak terutang pada pihak ketiga.
B. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
1. Pengertian PPh Ps. 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 atau disingkat PPh Ps. 22 merupakan
salah satu bentuk pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan yang
dilakukan oleh pihak lain terhadap wajib pajak. Pengenaan PPh Ps. 22 ini
dikenakan pada kegiatan perdagangan barang pada saat penjualan atau
pembelian barang. Pada umumnya, pengenaan PPh Ps. 22 ini, dikenakan
pada perdagangan barang yang dianggap menguntungkan sehingga baik
penjual maupun pembeli memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut.
13
Pajak Penghasilan (PPh) Ps. 22 adalah pajak yang dipungut oleh
bendaharawan pemerintah pusat/daerah,instansi atau lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang; dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah
maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain.
Pajak Penghasilan (PPh) Ps. 22 ini, hanya dilakukan atas transaksi
pembelian, impor, atau penjualan barang, bukan jasa.
2. Pemungut dan Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 210/PMK.03/2008 tanggal 11 Desember 2008 tentang Perubahan
Kelima atas Keputusan Menkeu No.254/KMK/03/2001, pemungut Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah :
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBP), atas impor
barang;
b. Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Bendaharawan Pemerintah
Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
c. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
atau Belanja Daerah (APBD);
d. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA),Perum Badan
Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom),
14
PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT.Indosat,
PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan
pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari
non APBN;
e. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam
negeri;
f. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas
penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas;
g. Industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
3. Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
Yang termasuk subjek PPh Ps. 22 yaitu :
a. Importir;
b. Rekanan Pemerintah;
c. Rekanan Badan-badan tertentu;
d. Konsumen semen, kertas, baja, dan otomotif;
15
e. Para penyalur dan/atau agen Pertamina dan badan usaha tertentu selain
Pertamina yang bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis premix dan
gas.
f. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan.
4. Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
Kegiatan yang dikecualikan dari pemungutan PPh Ps. 22 adalah :
a. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan
Surat Keterangan Bebas (SKB).
b. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
c. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
d. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya
paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah.
e. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum/PDAM, benda-benda pos.
f. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang
perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
16
g. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
h. Impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh
DJBC.
i. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
5. Dasar Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
Dasar pemungutan PPh Ps. 22 terdiri dari :
a. Nilai impor, adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan
Bea Masuk yang terdiri dari Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah
dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Harga jual lelang;
c. Harga pembelian;
d. Harga penjualan.
6. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008
pasal 2, tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah :
a. Atas impor :
1) yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), sebesar 2,5%
(dua setengah persen) dari nilai impor;
17
2) yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen)
dari nilai impor;
3) yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga
jual lelang
b. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA, Bendaharawan
Pemerintah, BUMN/BUMD sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari
harga pembelian dan tidak final.
c. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
1) Kertas = 0.1% x Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
2) Semen = 0.25% x DPP PPN
3) Baja = 0.3% x DPP PPN
4) Rokok = 0.15% x Harga Bandrol
5) Otomotif = 0.45% x DPP PPN
d. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina
dan badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bakar minyak jenis
premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut :
Jenis Bahan
Bakar
Premiun
Solar
Premix/SuperTT
Minyak Tanah
Gas LPG
Pelumas
SPBI Swastanisasi
(%dari penjualan)
0,3
0,3
0,3
SPBU Pertamina
(%dari penjualan)
0,25
0,25
0,25
0,3
0,3
0
Catatan:
Pungutan PPh Ps. 22 kepada penyalur /dealer/agen,bersifat final.
18
e. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari
pedagang pengumpul ditetapkan sebesar 0,5 % dari harga pembelian
tidak termasuk PPN.
7. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh)
Ps. 22
Sesuai
dengan
Ketentuan
Menteri
Keuangan
Nomor
254/KMK.03/2001 tentang Penunjukkan Pemungut PPh Ps. 22, Sifat dan
Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya yang
terakhir kali dirubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
210/PMK.03/2008, saat terutang dan pelunasan / pemungutan PPh Ps. 22
adalah :
a. Atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau
dibebaskan, maka PPh Ps. 22 terutang dan dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
b. Atas pembelian barang dengan dana dari APBN/APBD, terutang dan
dipungut pada saat pembayaran;
c. Atas penjualan hasil produksi, terutang dan dipungut pada saat penjualan;
d. Atas penjualan hasil produksi, terutang dan dipungut pada saat
penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
19
e. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan, terutang dan dipungut pada saat
pembelian.
8. Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 22 :
Sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
145/PMK.04/2006 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 84/KMK.04/2003 tentang Tatalaksana Pembayaran dan Penyetoran
Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara Atas
Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri serta Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan
Penyetoran Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor, Penerimaan Negara
Dalam Rangka Ekspor, Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai, Dan
Penerimaan Negara Yang Berasal Dari Pengenaan Administrasi Atas
Barang Tertentu, tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak
Penghasilan (PPh) Ps. 22 adalah :
a. PPh Ps. 22 atas impor barang disetor oleh importir dengan menggunakan
formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Ps. 22
atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dalam jangka waktu 1(satu) hari
setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak
20
berakhir. Jika diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam SPT Tahunan
PPh Badan, maka pelaporannya dapat dilakukan sekali dalam setahun
paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.
b. PPh Ps. 22 atas pembelian barang disetor oleh pemungut atas nama dan
NPWP Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara
kolektif pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas
penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga
yaitu :
1) lembar pertama untuk pembeli;
2) lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan
Pajak;
3) lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan
dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa
pajak berakhir.
c. PPh Ps. 22 atas pembelian barang disetor oleh pemungut atas nama
Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan
formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20
(dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
d. PPh Ps. 22 atas penjualan hasil produksi disetor oleh pemungut atas
nama wajib pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling
lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan
21
menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke
KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
e. PPh Ps. 22 atas penjualan hasil produksi disetor sendiri oleh Wajib Pajak
ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah
Pengeluaran Barang (delivery order) ditebus dengan menggunakan SSP.
Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Pasal 22 rangkap 3
yaitu:
1) lembar pertama untuk pembeli;
2) lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor
Pelayanan Pajak;
3) lembar ketiga untuk arsip Pemungut pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP
setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
9. Mekanisme Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 :
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008,
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terutang di hitung berdasarkan nilai
impor. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan
Bea Masuk yang terdiri dari Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan pabean.
Adapun perhitungan PPh pasal 22 atas impor :
a. yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API) :
PPh Ps. 22 = 2,5% x Nilai Impor
22
b. yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API) :
PPh Ps. 22 = 7,5% x Nilai Impor
c. perhitungan PPh Ps. 22 atas Impor yang Tidak Dikuasai :
PPh Ps. 22 = 7,5% x Harga Jual Lelang
Contoh :
PT. ABC (memiliki API) mengimpor sebuah mesin dengan harga
USD 50,000.00. Bea Masuk yang dikenakan untuk mesin
tersebut sebesar 20%, Insurance sebesar USD 1,000.00 dan
Freight USD 4,000.00. Kurs yang berlaku pada saat itu adalah
Rp. 9.000,00 per USD.
Perhitungan PPh Ps. 22 adalah :
Nilai CIF
= USD 50,000.0+ USD 1,000 + USD 4,000
= USD 55,000
Kurs
= Rp. 9.000,00
Bea Masuk
= 20%
Nilai CIF (Rupiah) = Rp. 495.000.000,00
Bea Masuk 20%
= Rp. 99.000.000,00
Nilai Impor
= Rp. 594.000.000,00
Maka besarnya PPh Ps. 22 terutang untuk barang impor tersebut
adalah : 2,5% x Rp. 594.000.000,00 = Rp. 11.880.000,00
23
C. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1. Pengertian Dasar Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
a. Defenisi Pajak Pertambahan Nilai
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam
negeri (di dalam daerah pabean), baik konsumsi barang maupun jasa.
Oleh karena itu, atas barang yang tidak dikonsumsi di dalam daerah
pabean (diekspor), dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
Sebaliknya, atas impor barang dikenakan pajak yang sama dengan
produksi dalam negeri.
Dasar hukum PPN adalah UU Nomor 8 Tahun 1983. Kemudian
UU ini diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994, dan yang terakhir
diubah lagi dalam UU Nomor 18 Tahun 2000.
b. Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Siti
Resmi 2004 : 444), subjek Pajak Pertambahan Nilai adalah Pengusaha
Kena Pajak (PKP). Pengusaha merupakan orang pribadi atau badan yang
dalam kegiatan usaha / pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang,
mengekspor
barang,
melakukan
usaha
perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar pabean, melakukan usaha
jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Pengusaha
Kena
Pajak
(PKP)
adalah
pengusaha
yang
menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP).
24
c. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Menurut Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 yang telah
dirubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (Siti Resmi 2004 : 447), objek Pajak Pertambahan
Nilai dikenakan pada :
1) Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha.
Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memnuhi syaratsyarat sebagai berikut:
a) barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,
b) barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena
Pajak tidak berwujud,
c) penyerahan dilakukan di dalan daerah pabean, dan
d) penyerahan dilakukan dalam rangka usaha atau pekerjaannya.
2) Impor Barang Kena Pajak.
3) Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) didalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memiliki syarat-syarat
sebagai berikut :
a) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,
b) penyerahan dilakukan di daerah pabean, dan
c) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
25
4) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean.
5) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
6) Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
7) Kegiatan membangun sendiri yang tidak dilakukan dalam kegiatan
usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan.
8) Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan
semula aktiva tersebut tidak diperjualbelikan, sepanjang Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat
dikreditkan
d. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Menurut Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2000 (Siti Resmi
2004 : 455), dasar pengenaan PPN adalah jumlah harga jual atau
penggantian atau nilai impor atau nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang. Yang dimaksud dengan harga jual, penggantian, nilai impor,
nilai ekspor adalah :
1) Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta penjual karena penyerahan Barang
Kena Pajak, tidak termasuk barang yang dipungut menurut UU PPN
dan PPnBm dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur
26
pajak. Yang tidak termasuk dalam pengertian potongan harga adalah
bonus, premi, komisi, atau balas jasa lainnya yang diberikan dalam
rangka menjual Barang Kena Pajak.
2) Penggantian adalah nilai uang termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa
Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UndangUndang dan potongan harga yang tercantum dalam faktur pajak.
3) Nilai Impor adalah nilai yang berupa
uang yang menjadi dasar
perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pabean
untuk impor Barang Kena Pajak.
Nilai impor yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah harga
patokan impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar
perhitungan bea masuk ditambah dengan semua biaya dan pungutan
lainnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pabean.
4) Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta oleh eksportir. Nilai ekspor dapat diketahui dari dokumen
ekspor, misalnya harga yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor
Barang (PEB).
e. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Tarif PPN yang berlaku saat ini menurut Pasal 7 Undang –
Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Siti Resmi : 455) adalah sepuluh persen
27
(10%), sedangkan tarif PPN atas ekspor BKP adalah nol persen (0 %).
Pengenaan tarif nol persen (0 %) bukan berarti pembebasan pengenaan
PPN, tetapi pajak masukan yang telah dibayar dari barang yang dieskpor
dan dapat dikreditkan.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau
peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan Peraturan
Pemerintah, tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya lima persen
(5%) dan setinggi-tingginya lima belas persen (15%) dengan memakai
prinsip tarif tunggal.
f. Saat Terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Saat terutang diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 1983
yang telah dirubah terakhir kali dengan UU Nomor 18 Tahun 2000. PPN
terutang pada saat :
1) Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP)
2) Impor Barang Kena Pajak
3) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean
4) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) tidak berwujud dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean
5) Ekspor Barang Kena Pajak (BKP)
28
6) Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan
BKP atau sebelum pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
2. Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
a. Pengertian Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
Pajak
Masukan
adalah
Pajak
Pertambahan
Nilai
yang
seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan
Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean
dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean dan atau
impor Barang Kena Pajak.
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang
wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak atas ekspor Barang
Kena Pajak.
b. Mekanisme Pemungutan PPN
Setiap Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak diwajibkan membuat Faktur Pajak untuk
memungut pajak terutang. Pajak yang dipungut dinamakan Pajak
Keluaran (output tax). Hal ini sesuai dengan accrual basis yang
digunakan oleh UU Nomor 8 Tahun 1983. Pada saat Pengusaha Kena
29
Pajak tersebut membeli Barang Kena Pajak atau menerima Jasa Kena
Pajak
dari Pengusaha Kena Pajak lain, juga membayar pajak yang
terutang yang dinamakan dengan Pajak Masukan (input tax).
Pada akhir masa pajak , Pajak Masukan dikreditkan dengan
Pajak Keluaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal jumlah
Pajak Keluaran lebih besar dari pada jumlah Pajak Masukan,
kekurangannya dibayar ke Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15
bulan berikutnya. Sebaliknya, apabila Pajak Masukan jumlahnya lebih
besar dari Pajak Keluaran, maka kelebihan pembayaran pajak ini dapat
dikompensasikan dengan utang pajak dalam masa pajak berikutnya atau
diminta kembali. Ini telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 8
Tahun 1983 yang telah dirubah terakhir dengan Undang – Undang
Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pada akhir masa pajak, setiap Pengusaha Kena Pajak diwajibkan
untuk melaporkan pemungutan dan pembayaran pajak yang terutang
kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 20
bulan berikutnya setelah akhir masa pajak dengan menggunakan SPT
Masa Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007.
30
3. Faktur Pajak
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai , Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan BKP/JKP,
atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang digunakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak.
Faktur Pajak terdiri dari 4 jenis, yaitu :
a. Faktur Pajak Standar adalah saran untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
Faktur ini dibuat untuk masing-masing penyerahan BKP/JKP. Faktur
Pajak
ini
harus
mencantumkan
keterangan-keterangan
tentang
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak seperti
1) Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
2) Nama, alamat, NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
3) Jenis barang / jasa, jumlah harga jual, atau penggantian, dan potongan
harga;
4) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
5) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak;
6) Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur
pajak.
b. Faktur Pajak Sederhana adalah dokumen yang disamakan fungsinya
dengan faktur pajak, yang diterbitkan oleh PKP yang melakukan
penyerahan BKP / JKP kepada pembeli BKP / JKP yang tidak diketahui
31
identitasnya secara lengkap atau penyerahan BKP / JKP secara langsung
kepada konsumen akhir. Pembeli BKP atau penerima JKP yang tidak
diketahui identitasnya secara lengkap, misalnya: pembeli yang tidak
diketahui NPWP-nya atau tidak diketahui nama dan atau alamat
lengkapnya.
Faktur Pajak Sederhana ini harus memuat :
1) Nama, alamat usaha, NPWP, serta nomor dan tanggal pengukuhan
PKP yang menyerahkan BKP / JKP;
2) Macam, jenis, dan kuantum dari BKP / JKP
3) Jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk pajak atau
besarnya pajak dicantumkan secara terpisah;
4) Tanggal pembuatan faktur sederhana.
c. Faktur Pajak Gabungan adalah faktur pajak standar yang cara
penggunaannya
diperkenankan
kepada PKP
atas
beberapa
kali
penyerahan BKP / JKP kepada pembeli atau penerima jasa yang sama
yang dilakukan dalam satu masa pajak dan harus dibuat selambatlambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah terjadinya penyerahan
BKP / JKP. Dalam hal terdapat pembayaran sebelum penyerahan BKP /
JKP atau terdapat pembayaran sebelum faktur pajak gabungan tersebut
dibuat, maka untuk pembayaran tersebut dibuat faktur pajak tersendiri
pada saat diterima pembayaran.
d. Dokumen Lain yang dipersamakan dengan Faktur Pajak Standar, seperti
:
32
1) Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampirkan Surat Setoran
Pajak dan atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Bea dan Cukai
untuk impor BKP;
2) Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh
pejabat yang berwenang dari Direktorat Bea dan Cukai dan
dilampirkan dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan PEB tersebut;
3) Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat oleh BULOG /
DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
4) Faktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh
PERTAMINA untuk penyerahan BBM atau bukan BBM;
5) Tanda
pembayaran
atau
kuitansi
untuk
penyerahan
jasa
telekomunikasi;
6) Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill,
yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan dalam
negeri;
7) Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas
pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean;
8) Nota Penjualan Jasa yang dibuat / dikeluarkan untuk penyerahan jasa
ke pelabuhan;
9) Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.
4. Tata Cara Penyetoran PPN
33
PPN yang telah dipungut akan disetor ke Kas Negara. Adapun saat
pembayaran / penyetoran PPN / PPnBm itu adalah :
a. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling
lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan masa pajak.
Contohnya : Masa Pajak Januari 2009, penyetoran paling lambat tgl 15
Februari 2009;
b. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP) harus dibayar / disetor sesuai
batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut;
c. PPN / PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda /
dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor;
d. PPN / PPnBm yang pemungutannya dilakukan oleh :
1) Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang memungut PPN/PPnBM atas
impor harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan
pajak dilakukan
e. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik
(BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah
Pengeluaran Barang (DO) ditebus.
34
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran jatuh
pada hari libur, maka pembayaran / penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
5. Tata Cara Pelaporan PPN
Setelah melakukan penyetoran PPN, maka Wajib Pajak harus
melaporkannya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana Wajib Pajak
tersebut terdaftar. Pelaporan PPN dilakukan dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa PPN paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah
dilakukannya pembayaran/penyetoran.
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan pajak jatuh pada hari libur,
maka pelaporan pajaknya dilakukan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh
tempo.
6. Mekanisme Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Berdasarkan Pasal 9 UU Nomor 18 Tahun 2000, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau dengan kata lain
mengalikan jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor atau
Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan
tarif pajak sebagaimana telah ditetapkan diatas. Pajak yang terutang itu
merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP).
35
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan
dalam hal Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor
sukar ditetapkan; dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan
oleh masyarakat banyak, seperti air minum, listrik, dan sejenisnya.
Contoh : Seorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar daerah pabean
dengan Nilai Impor Rp. 25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang adalah :
10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00.
D. BEA MASUK
1. Pengertian Bea Masuk
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabean,
Bea Masuk adalah pungutan Negara berdasarkan Undang-Undang terhadap
barang yang di impor. Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean
diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk.
2. Tarif Bea Masuk
Adapun besarnya tarif Bea Masuk yang di pungut atas barang
impor adalah setinggi-tingginya 40% dari nilai pabean untuk perhitungan
Bea Masuk.
36
Bea Masuk dapat dikenakan tarif yang besarnya berbeda dengan
yang dimaksud diatas, terhadap :
a. barang impor yang dikenakan tarif Bea Masuk berdasarkan perjanjian
atau kesepakatan internasional;
b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas
batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan;
c. barang impor yang berasal dari Negara yang memperlakukan barang
ekspor Indonesia secara diskriminatif.
3. Tidak dipungut, Pembebasan dan Keringanan Bea Masuk.
Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean dan diangkut
lanjut ke luar daerah pabean tidak dipungut Bea Masuk.Pembebasan Bea
Masuk diberikan atas impor :
a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
b. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang
bertugas di Indonesia;
c. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain
dengan tujuan untuk diekspor;
d. buku ilmu pengetahuan;
e. barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau
kebudayaan;
37
f. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain
semacam itu yang terbuka untuk umum;
g. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
h. barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat
lainnya;
i. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang
yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
j. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara;
k. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
l. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
m. barang pindahan;
n. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan
barang kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu.
Pembebasan atau keringanan Bea Masuk dapat diberikan atas
Impor :
a. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri;
b. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan
industri untuk jangka waktu tertentu;
c. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran
lingkungan;
d. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri
pertanian, peternakan, atau perikanan;
38
e. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat
izin;
f. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan
pengujian;
g. barang yang telah diekspor, kemudian diimpor kembali dalam kualitas
yang sama;
h. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau
penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke
dalam Daerah Pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk
dipakai;
i. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan
jaringan;
j. barang oleh Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah yang ditujukan
untuk kepentingan umum;
k. barang dengan tujuan untuk diimpor sementara.
4. Mekanisme Perhitungan Bea Masuk
Bea masuk dihitung berdasarkan nilai pabean dengan kondisi Cost,
Insurance, and Freight (CIF) atau Cost and Freight (C&F) ditambah dengan
semua biaya dan pungutan lain menurut ketentuan peraturan perundangundangan pabean.
Contoh : PT. X mengimpor barang A yang memiliki harga dalam CIF
sebesar USD 25,000 dan berdasarkan buku tarif Bea Masuk dari
39
Bea dan Cukai dikenakan Bea Masuk sebesar 5%. Kurs pajak
yang
berlaku
pada
saat
tanggal
impor
tersebut
adalah
Rp.9.000,00/USD 1.00, maka perhitungan Bea Masuk untuk
barang tersebut adalah :
Nilai CIF
= USD 25,000.00
Kurs
= Rp. 9.000,00
Tarif Bea Masuk
= 5%
Nilai CIF dalam rupiah
= Rp. 225.000.000,00
Maka, besarnya Bea Masuk untuk barang impor tersebut adalah :
5% x Rp. 225.000.000,00 = Rp. 11.250.000,00.
Download