ANALISIS YURIDIS TERHADAP ANCAMAN SANKSI PIDANA ATAS

advertisement
ANALISIS YURIDIS TERHADAP ANCAMAN SANKSI PIDANA ATAS
PELANGGARAN KETENTUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) UNTUK
BARANG IMPOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014
TENTANG PERDAGANGAN, DALAM MENYONGSONG MASYARAKAT
EKONOMI ASEAN
Oleh:
Rahel Octora
ABSTRACT
Criminal Law is public law. The enforcement is done for protecting public interest.
Nowadays, administrative penal law concept is now developed, so the criminal punishment
can be applied to administrative violance, including violence on trade activity. Law Number
7 Years 2014 on Trade also contains of criminal sanction.
This paper will talk about criminal sanction that applied on violence of Indonesia’s National
Standard Regulation for imported goods, related to ASEAN Economic Community. This
paper is writen based on normative juridical research, which analyze legal theories, legal
principles, and prevailing law.
The conlusion of this research are administrative sanction is more compatible to be applied
that applied on violence of Indonesia’s National Standard Regulation for imported goods.
Criminal sanction should be applied when the violation brings damage or dangerous effect
for the society.
Keywords: Criminal sanction, Indonesia’s National Standard, ASEAN Economic
Community
PENDAHULUAN
Masyarakat
Ekonomi
ASEAN
(selanjutnya disingkat MEA) adalah suatu
bentuk kerjasama di bidang ekonomi antar
negara anggota ASEAN yang bertujuan
untuk menjadikan ASEAN sebagai suatu
kawasan pasar global, dimana perdagangan
dapat terjadi secara bebas. Hal ini salah
satunya ditandai dengan kebebasan arus lalu
lintas barang dan jasa. Pada saat Indonesia
menjadi bagian dari MEA, Indonesia
dituntut untuk siap menghadapi segala
tantangan dan dampak dari MEA ini.
Kesiapan sistem hukum terkait dengan
pengaturan kegiatan perdagangan pun
menjadi hal yang harus diperhatikan.
Di awal tahun 2014, pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan Undangundang No.7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan (selanjutnya disebut UU
Perdagangan). Banyak pihak menganggap
pemberlakuan Undang-undang Perdagangan
merupakan langkah pemerintah untuk
menyongsong MEA 2015. Banyak hal yang
diatur di dalam Undang-undang tersebut
termasuk di dalamnya ketentuan standar
produk, baik produk ekspor maupun impor.
80
Dalam undang-undang tersebut diatur pula
ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI)
yang wajib diterapkan bagi produk lokal
maupun impor dan sanksi yang dikenakan
bagi pelanggaran aturan tersebut adalah
sanksi pidana.
Pada dasarnya, perdagangan memang
tidak dapat dipandang sebagai kegiatan
privat semata. Ada aspek hukum publik
yang juga harus diperhatikan mengingat
kegiatan perdagangan bukan hanya terkait
dengan perjanjian antar pihak saja.
Perdagangan
mempengaruhi
ekonomi
negara, dan negara harus menetapkan
kebijakan-kebijakan
yang
melindungi
kepentingan rakyatnya. Kebijakan yang
diterapkan harus memperhatikan banyak
aspek. Sebagaimana hukum memiliki tujuan
untuk tercapainya keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan, demikian pula
kebijakan
yang
diterapkan
dalam
perundang-undangan
idealnya
dapat
mencapai hal-hal tersebut. Kebijakan hukum
pidana
dalam
mendukung
iklim
perdagangan yang sehat perlu diterapkan
agar ancaman sanksi pidana tidak menjadi
penghambat kegiatan perdagangan bebas
yang saat ini sedang dipersiapkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Pembentukan Masyarakat
Ekonomi ASEAN
Kerjasama Ekonomi ASEAN dimulai
dengan disahkannya Deklarasi Bangkok
tahun 1967 yang bertujuan untuk
mempercepat
pertumbuhan
ekonomi,
kemajuan sosial dan perkembangan budaya.
Diawali pada Konferensi Tingkat Tinggi
ASEAN ke-2 tanggal 15 Desember 1997 di
Kuala
Lumpur,
Malaysia
dengan
disepakatinya Visi ASEAN 2020, para
Kepala Negara Asean menegaskan bahwa
ASEAN akan : (i) menciptakan Kawasan
Ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan
memiliki daya saing tinggi yang ditandai
dengan arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan
investasi yang bebas, arus lalu lintas modal
yang lebih bebas, pembangunan ekonomi
yang merata, serta mengurangi kemiskinan
dan kesenjangan sosial ekonomi, (ii)
mempercepat
liberalisasi
perdagangan
barang dan jasa dan (iii) meningkatkan
pergerakan tenaga kerja profesional dan jasa
lainnya secara bebas di kawasan ASEAN.
Setelah krisis ekonomi yang melanda
khususunya kawasan Asia Tenggara, pada
tahun 2003 para Kepala Negara ASEAN
pada KTT ASEAN ke-9 di Bali, Indonesia,
menyepakati
pembentukan
komunitas
ASEAN (ASEAN Community) dalam bidang
Keamanan Politik (ASEAN Political Security
Community), Ekonomi (ASEAN Economic
Community) dan Sosial Budaya (ASEAN
Socio-Culture Community). 1 ASEAN
Economic Community akan dibentuk pada
tahun 2015 mendatang.
Aspek
Hukum
dalam
Kegiatan
Perdagangan
Kegiatan perdagangan terkait dengan
dua aspek hukum, yaitu aspek hukum privat
dan publik. Dari sisi aspek hukum privat,
perdagangan merupakan kegiatan yang
dilandasi
oleh
kesepakatan.
Dari
kesepakatan tersebut terjadilah perjanjian
jual beli. Di Indonesia, aspek privat kegiatan
perdagangan diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD) yang
merupakan lex specialis dari Kitab Undang1
Naskah Ringkasan Eksekutif Menuju ASEAN
Economic
Community
2015,
Departemen
Perdagangan Republik Indonesia.
84
undang Hukum Perdata. Hukum dagang
merupakan bagian dari hukum perikatan
pada umumnya.
Dengan berkembangnya kegiatan bisnis,
hukum dagang semakin menunjukan peran
pentingnya. Di masa ini dan masa
mendatang, sudah waktunya pemerintah
mempergunakan hukum dagang sebagai
pengarah dari kegiatan bisnis. 2 Hal ini
berarti bukan hanya kepentingan privat para
pihak saja yang harus dilindungi, melainkan
kepentingan publik juga harus mendapatkan
perlindungan.
Aspek publik dari hukum dagang terkait
dengan segala bentuk regulasi dari
pemerintah yang bersifat memaksa dan tidak
dapat dikesampingkan. Contoh pengaturan
yang bersifat publik terkait dengan kegiatan
perdagangan antara lain peraturan tentang
persaingan usaha, prosedur pendirian badan
usaha, ketentuan tentang perlindungan
konsumen, dan ketentuan-ketentuan terkait
kebijakan pemerintah dalam mengarahkan
aktivitas perdagangan nasional.
Pokok Pengaturan Undang-undang No. 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan
Pertimbangan yang menjadi dasar
pemberlakuan UU perdagangan ini di
antaranya:
(i) bahwa peranan Perdagangan sangat
penting
dalam
meningkatkan
pembangunan ekonomi, tetapi dalam
perkembangannya belum memenuhi
kebutuhan untuk menghadapi tantangan
pembangunan
nasional
sehingga
diperlukan
keberpihakan
politik
ekonomi yang lebih memberikan
2
Djoko Imbawani Atmadjaja, Hukum Dagang
Indonesia-Sejarah, Pengertian dan Prinsip-prinsip
Hukum Dagang, Malang. Setara Press, 2011, hlm. 11.
kesempatan,
dukungan,
dan
pengembangan ekonomi rakyat yang
mencakup koperasi serta usaha mikro,
kecil, dan menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional;
(ii) bahwa
peraturan
perundangundangan di bidang Perdagangan
mengharuskan
adanya
harmonisasi
ketentuan di bidang Perdagangan dalam
kerangka kesatuan ekonomi nasional
guna menyikapi perkembangan situasi
Perdagangan era globalisasi pada masa
kini dan masa mendatang;
Lingkup
pengaturan
Perdagangan
meliputi: a. Perdagangan Dalam Negeri; b.
Perdagangan Luar Negeri; c. Perdagangan
Perbatasan; d. Standardisasi; e. Perdagangan
melalui Sistem Elektronik; f. pelindungan
dan
pengamanan
Perdagangan;
g.
pemberdayaan koperasi serta usaha mikro,
kecil, dan menengah; h. pengembangan
Ekspor; i. Kerja Sama Perdagangan
Internasional;
j.
Sistem
Informasi
Perdagangan; k. tugas dan wewenang
Pemerintah di bidang Perdagangan; l.
Komite
Perdagangan
Nasional;
m.
pengawasan; dan n. penyidikan.
Dari 14 butir pokok-pokok pengaturan
tersebut, dalam sub berikutnya secara
khusus akan dibahas mengenai standarisasi
produk yang beredar di Indonesia.
Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai
Standardisasi Wajib Produk yang
Berlaku di Indonesia
Di dalam UU Perdagangan, terdapat
pengaturan mengenai Standar Nasional
Indonesia (SNI). Di dalam Pasal 1 angka
(10) UU Perdagangan, SNI didefinisikan
sebagai:
85
“Standar yang ditetapkan oleh
lembaga yang menyelenggarakan
pengembangan dan pembinaan di
bidang Standardisasi.”3
SNI diberlakukan secara wajib untuk
barang-barang yang beredar di
Indonesia.
Pasal 57(1) UU Perdagangan mengatur:
(1) Barang yang diperdagangkan di
dalam negeri harus memenuhi:
a. SNI yang telah diberlakukan
secara wajib; atau
b. persyaratan teknis yang telah
diberlakukan secara wajib.
SNI yang diberlakukan secara wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57 (1) tersebut ditujukan pada
produk-produk yang harus dijamin
keamanannya, seperti misalnya
produk mainan anak-anak, air
minum dalam kemasan, korek api
gas, ban mobil, dan berbagai produk
lainnya.4 Aturan mengenai produk
yang harus terstandardisasi SNI
wajib terdapat dalam Peraturan
Menteri Perindustrian.
SNI diberlakukan untuk seluruh produk
yang beredar di Indonesia termasuk produk
impor.
Kegiatan impor barang dalam
perdagangan, melibatkan pihak importir.
Pasal 46 (1) UU Perdagangan mengatur
bahwa
Importir
bertanggung
jawab
sepenuhnya terhadap Barang yang diimpor.
Dalam hal ini, tanggung jawab importir
mencakup tanggung jawab terkait dengan
kewajiban SNI pada produk yang diimpor.
Apabila produk impor tersebut sudah
3
Lembaga yang dimaksud dalam Pasal tersebut
adalah Badan Standardisasi Nasional.
4
Produk-produk yang wajib SNI dapat dilihat pada
situs http://lspro.kemenperin.go.id
tersertifikasi dengan standar atau spesifikasi
teknis lain sebagaimana diatur dalam Pasal
32(4) UU Perdagangan. Spesifikasi teknis
lain yang dimaksud antara lain Standar
International
Organization
for
Standardization (ISO) atau International
Electrotechnical Commision (IEC), dan
Standar/pedoman
internasional
terkait
keamanan pangan yang diterbitkan oleh
CODEX Alimentarius
Ancaman
Sanksi
Pidana
atas
Pelanggaran SNI
menurut Undangundang No. 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan
Perdagangan sebagai salah satu bentuk
konkret dari kegiatan bisnis tidak terlepas
dari potensi terjadinya pelanggaran hukum.
Perbuatan pelaku usaha yang merugikan
masyarakat sudah dianggap sebagai
pelanggaran terhadap kepentingan publik
dan diselesaikan melalui instrumen hukum
publik. Berdasarkan law policy yang telah
ditetapkan, negara menentukan tindakantindakan
seperti
apa
yang
dapat
dikategorikan sebagai kejahatan dan dapat
dijatuhi sanksi pidana. Tindakan-tindakan
tersebut yang sering diistilahkan dengan
kejahatan bisnis.
Istilah “kejahatan bisnis”, merupakan
terjemahan dari istilah business crime
(bahasa Inggris) atau lazim dalam beberapa
referensi kriminologi, disebut corporate
crime, yang termasuk ke dalam kelompok
white collar crime (kejahatan kerah putih)
atau kejahatan yang dilakukan atau
melibatkan pelaku yang memiliki status
sosial tinggi dalam masyarakat. Pengertian
istilah “kejahatan bisnis” mengandung
makna filosofis, yuridis dan sosiologis.
Secara filosofis, pengertian istilah tersebut
86
mengandung makna bahwa telah terjadi
perubahan nilai (values) dalam masyarakat
ketika suatu aktivitas bisnis dioperasikan
sedemikian rupa sehingga sangat merugikan
kepentingan masyarakat luas. Perubahan
nilai tersebut ialah bahwa kalangan pebisnis
sudah kurang atau bahkan tidak menghargai
lagi kejujuran (honesty) dalam kegiatan
bisnis nasional maupun internasional demi
untuk mencapai tujuan memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya.5
Dalam UU Perdagangan, pelanggaran
atas
aturan
SNI
berakibat
pada
dijatuhkannya sanksi administratif dan/ atau
sanksi pidana. Sanksi administratif diatur
dalam Pasal 57 ayat (7) sebagai berikut:
“Pelaku Usaha yang memperdagangkan
Barang yang telah diberlakukan SNI atau
persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak
membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian,
atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai
sanksi administratif berupa penarikan
Barang dari Distribusi.”
Sanksi pidana diatur dalam Pasal 113
sebagai berikut:
“Pelaku
Usaha
yang
memperdagangkan Barang di dalam
negeri yang tidak memenuhi SNI
yang telah diberlakukan secara wajib
atau persyaratan teknis yang telah
diberlakukan
secara
wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).”
5
Romli Atmasasmita.Globalisasi dan Kejahatan
Bisnis.Jakarta: Kencana Prenada Media,2010, hlm.
76.
Dengan diberlakukannya aturan pidana
tersebut, tindakan memperdagangkan barang
di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI
yang telah diberlakukan secara wajib atau
persyaratan teknis yang telah diberlakukan
secara wajib telah dikualifikasikan sebagai
delik / perbuatan pidana.
Rumusan delik di atas merupakan
perwujudan dari hukum pidana administratif
(administrative penal law).
Muladi
memberikan istilah Administrative Penal
Law
(Verwaltungs Strafrecht) yang
termasuk dalam kerangka Public Welfare
Offenses (Ordnungswidrigkeiten). Hukum
pidana dalam hal ini digunakan sebagai
sarana untuk meningkatkan rasa tanggung
jawab negara dalam rangka mengelola
kehidupan masyarakat modern yang
semakin kompleks. Sanksi pidana antara
lain digunakan secara maksimal untuk
mendukung norma hukum administrasi
dalam pelbagai hal.6
Sarjana lain yang memberikan istilah
lain dari “hukum pidana administrasi” ini
adalah Mostert dan Peters. Mosters
memberikan
istilah
hukum
pidana
pemerintahan,
sedangkan
Peters
menyebutnya dengan “instrumentalisasi”
dari hukum
pidana. Hukum pidana
dijadikan suatu
instrumen pemerintah
dalam mempengaruhi kelakuan masyarakat.7
Muladi, “Proyeksi Hukum Pidana Materiil
Indonesia di Masa Datang”, Naskah Pidato
Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan
Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
1990, hlm. 149.
7
Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana
Dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm.
10-11.
6
87
PEMBAHASAN DAN ANALISA
Pengaturan SNI dan Konsekuensinya
bagi Pihak Importir
Pengaturan wajib SNI bagi produkproduk yang diperdagangkan di Indonesia
merupakan suatu langkah yang baik.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang
besar merupakan salah satu negara tujuan
ekspor yang potensial. Dengan kata lain,
Indonesia pasti akan melakukan aktivitas
impor. Indonesia harus menjaga agar
barang-barang impor yang beredar di pasar
Indonesia adalah barang-barang yang
berkualitas baik. Hal ini bertujuan untuk
mencegah
timbulnya
bahaya
bagi
masyarakat
yang
membeli
dan
mempergunakan produk impor tersebut.
Kegiatan ekspor-impor sebagai bagian
dari aktivitas perdagangan adalah sama
dengan kegiatan jual beli, dimana pihak
penjual yakni eksportir harus menjamin
barang yang ia perdagangkan adalah barang
yang aman untuk digunakan oleh
konsumennya. Eksportir tidak menjual
produk secara langsung kepada konsumen di
Indonesia. Produk melalui berbagai tahapan
distribusi sampai akhirnya tiba di tangan
konsumen. Pertama, produk impor diterima
oleh importir, kemudan didistribusikan
melalui pedagang besar (grosir) dan/ atau
pedagang kecil (retailer). Dalam hal ini,
perlu ditegaskan terlebih dahulu, pihak mana
yang sebenarnya harus bertanggungjawab
atas keamanan produk yang beredar di
pasar.
Penulis berpendapat bahwa sebenarnya
produsen dari negara asal produk yang harus
menjamin keamanan dan keselamatan
produk yang ia perdagangkan. Saat pelaku
usaha
tersebut
bermaksud
memperdagangkan barangnya di Indonesia,
seharusnya ia memperhatikan regulasi
terkait SNI karena idealnya, regulasi
standardisasi produk yang berlaku di negara
anggota WTO harus dapat dengan mudah
diakses oleh negara anggota lainnya. 8
Dalam kenyataannya, alasan keuntungan
finansial
dan
persaingan
bisnis
mengakibatkan banyak pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
tersebut dan dengan didasari oleh iktikad
buruk, pelaku usaha memproduksi dan
memperdagangkan
barang
yang
membahayakan bagi konsumen, dan produk
tersebut tidak sesuai dengan SNI.
Berdasarkan UU Perdagangan, hal tersebut
menjadi
tanggung
jawab
importir.
Artinya,importir dibebani kewajiban untuk
mengetahui apakah barang yang ia impor
telah sesuai dengan standar mutu yang
ditetapkan atau tidak. Apabila tidak sesuai,
artinya barang tersebut tidak dapat beredar
di pasar. Hal ini jelas merugikan pihak
importir secara finansial.
Di samping itu,
importir juga
dibebankan
kewajiban
untuk
mensertifikasikan produk yang belum berSNI. Dalam hal produk yang diuji untuk
disertifikasi memang memiliki kualitas yang
sesuai dengan SNI, maka importir harus
melakukan proses permohonan pengujian
8
Dalam situs www.bsn.go.id, dinyatakan bahwa
negara anggota WTO yang telah menyepakati
Agreement on Technical Barrier to Trade (TBT)
dan Agreement on Sanitary and Phyto Sanitary
Measures (SPS), harus tunduk pada ketentuanketentuan diantaranya:
“Penilaian kesesuaian terhadap produk dari luar
negeri harus sama dengan penilaian kesesuaian bagi
produk dalam negeri, dan tidak menerapkan
perlakuan yang diskriminatif bagi negara yang
berbeda. Sejauh mungkin setiap negara anggota
WTO harus mengupayakan agar pelaksanaan
penilaian kesesuaian bagi barang impor dapat diakses
dengan mudah di negara produsen dan tidak
menimbulkan beban yang berkelebihan.
88
penyelenggaraan hukum pidana.
Selain itu, perlu diperhatikan efek
dari pidana itu sendiri terhadap si
terpidana. Hukum pidana itu sendiri
bersifat
“criminogen”,
artinya
menjadi sumber untuk timbulnya
tindak pidana. Peraturan pidana yang
tidak efektif sebaiknya jangan dibuat
;
4. “Kemampuan
badan
penegak
hukum”
Dengan menciptakan perbuatan yang
dapat dipidana, dapat diperkirakan
beban
para
penegak
hukum
bertambah dan oleh karena itu, hal
ini pun harus diperhitungkan
sebelum ada kriminalisasi.”9
dan
sertifikasi produk pada Lembaga
Sertifikasi Produk yang telah terakreditasi
oleh Komite Akreditasi Nasional sehingga
produk tersebut dapat dibubuhi tanda SNI
dan dapat beredar di pasar.
Urgensi Ancaman sanksi pidana atas
Pelanggaran ketentuan SNI
Perlu dikaji kembali apakah pelanggaran
atas ketentuan wajib SNI layak dikenai
sanksi pidana atau tidak. Ancaman sanksi
pidana
diberlakukan
dengan
tujuan
pencegahan perbuatan yang dilarang beserta
pencegahan atas terjadinya akibat yang tidak
diharapkan
oleh
masyarakat
akibat
perbuatan melanggar hukum yang terjadi.
Dalam menetapkan perbuatan pidana, perlu
dibatasi sedemikian rupa agar tidak terjadi
“over kriminalisasi”.
Dalam menetapkan sanksi pidana, perlu
dipertimbangkan hal-hal berikut:
1. “Tujuan hukum pidana”
Hukum pidana bertugas atau
bertujuan
untuk menanggulangi
kejahatan dan juga pengugeran
terhadap tindakan penanggulangan
itu sendiri
2. “Penetapan perbuatan yang tidak
dikehendaki”
Bahwa perbuatan yang tidak
merugikan, tidaklah boleh ditetapkan
sebagai perbuatan yang tidak
dikehendaki.
Sebaliknya,
tidak
semua perbuatan yang merugikan
perlu dicegah dengan menggunakan
hukum pidana ;
3. “Perbandingan antara sarana dan
hasil”
Dalam
hukum
pidana,
perlu
diperhatikan social cost yang
dikeluarkan untuk membiayai sistem
Memianakan pelanggaran SNI akan
berpengaruh pada aktivitas perdagangan di
Indonesia. Pelaku usaha (dalam hal ini
importir) dihadapkan pada risiko yang
tinggi, yakni ancaman pidana itu sendiri,
yang mengakibatkan terhambatnya kegiatan
usaha. Pelaku usaha yang pernah
berhadapan
dengan
kasus
pidana,
dihadapkan pula pada risiko atas
menurunnya reputasi perusahaan yang ia
jalankan.
Dalam Pasal 113 UU Perdagangan,
delik dirumuskan dalam bentuk delik formil,
artinya saat pelaku usaha terbukti
memperdagangkan Barang di dalam negeri
yang tidak memenuhi SNI yang telah
diberlakukan secara wajib atau persyaratan
teknis yang telah diberlakukan secara wajib,
terhadapnya dapat dikenakan sanksi pidana.
Rumusan ini tidak harus mensyaratkan pada
akibat yang timbul, misalnya bahaya
9
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, 2007, hlm. 36.
89
kesehatan konsumen, bahaya terhadap
lingkungan hidup dan sebagainya.
Merumuskan bentuk delik formil atau
materil merupakan hal yang dilematis. Jika
pelanggaran terhadap ketentuan SNI
dirumuskan dalam bentuk delik formil, hal
ini menunjukan ketegasan dari pihak
pemerintah untuk mencegah timbulnya
akibat yang tidak diinginkan dari beredarnya
produk-produk tidak ber-SNI. Peredaran
produknya saja sudah merupakan hal yang
melanggar hukum, tanpa perlu melihat
apakah menimbulkan akibat atau tidak. Hal
negatif yang dikhawatirkan akan muncul
adalah para oknum penegak hukum dapat
menyalahgunakan wewenangnya dengan
secara bebas melakukan razia dan
pemeriksaan terhadap barang yang beredar
di pasar dan dengan segera dapat menindak
pelaku usaha.
Jika pelanggaran terhadap ketentuan SNI
dirumuskan dalam bentuk delik materil, hal
ini
memberikan
kesan
seolah-olah
pemerintah baru akan menindak pelanggaran
jika muncul akibat yang dilarang oleh
undang-undang,
sehingga
terkesan
pemerintah
tidak
melakukan
upaya
pencegahan. Hal ini akan dirasakan lebih
adil oleh pelaku usaha, namun terkesan
kurang memberikan perlindungan bagi
masyarakat.
Apabila kita kembali pada fungsi hukum
pidana sebagai
sarana perlindungan
masyarakat, perlu kita ingat kembali bahwa
fungsi hukum pidana tidak semata-mata
untuk melindungi pihak korban, tetapi juga
harus tetap memperhatikan hak-hak dari
pelanggar hukum itu sendiri. Dalam kasus
pelanggaran terhadap ketentuan SNI,
pengenaan sanksi administratif berupa
pelarangan peredaran produk sudah cukup
melindungi konsumen. Pemidanaan terhadap
importir menurut pendapat pribadi penulis
tidak menimbulkan pengaruh yang lebih
baik dibandingkan dengan pengenaan sanksi
administratif tersebut. Pada prinsipnya
hukum pidana adalah ultimum remedium
yakni berupa upaya terakhir jika pengenaan
sanksi lain sudah dinyatakan tidak berhasil.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan
di atas, penulis menyimpulkan bahwa
pemidanaan terhadap pelanggaran ketentuan
SNI dirasakan tidak bersifat urgent.
Pelanggaran terhadap ketentuan hukum
administrasi seharusnya dapat ditindak
dengan sanksi yang bersifat administratif.
Pada prinsipnya hukum bertujuan untuk
mencapai keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan. Pemidanaan terhadap importir,
menurut penulis, tidak mencerminkan
keadilan dan dapat mengurangi jaminan
kepastian hukum dalam menjalankan usaha.
Adapun hal yang sekiranya dapat
menjadi rekomendasi yaitu agar perumusan
sanksi pidana atas pelanggaran SNI,
dirumuskan dalam bentuk delik materil.
Pemidanaan dilakukan jika produk yang
beredar mengakibatkan bahaya bagi
keselamatan dan kesehatan manusia. Upaya
preventif guna mencegah timbulnya bahaya,
dilakukan dengan penegakan sanksi
administratif yaitu dengan menarik barang
tersebut dari pasar, sehingga memutus akses
masyarakat untuk memperoleh barang yang
tidak ber-SNI.
90
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Djoko
Imbawani Atmadjaja, Hukum
Dagang
Indonesia-Sejarah,
Pengertian dan Prinsip-prinsip
Hukum Dagang. Malang: Setara
Press, 2011
Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum
Pidana Dalam Perspektif, Jakarta:
Aksara Baru, 1983
Romli Atmasasmita, Globalisasi dan
Kejahatan Bisnis. Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2010
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana.
Bandung : Alumni, 2007
NASKAH-NASKAH ILMIAH
Muladi, “Proyeksi Hukum Pidana Materiil
Indonesia di Masa Datang”, Naskah
Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada
Peresmian Penerimaan Jabatan Guru
Besar Dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas
Hukum
Universitas
Diponegoro, Semarang, 1990.
Naskah Ringkasan Eksekutif Menuju
ASEAN Economic Community
2015, Departemen Perdagangan
Republik Indonesia.
INTERNET
www.bsn.go.id
http://lspro.kemenperin.go.id
91
Download