Pembaruan Pendidikan Sejarah di Indonesia 12-09-02 * Asvi Warman Adam KELEMAHAN dalam pendidikan sejarah di Indonesia semasa Orde Baru merupakan bagian dari kekurangan sistem pendidikan secara keseluruhan di Tanah Air. Masalah kualitas guru dan persekolahan menimpa bukan saja bidang sejarah tetapi juga menyangkut pengajaran mata pelajaran lainnya. Tulisan ini hanya membahas persoalan yang berkenaan dengan pendidikan sejarah dan lebih khusus lagi mengenai teks untuk pendidikan sejarah. Uraian berikut ini berkaitan dengan tiga hal, yaitu Suplemen bagi Guru Sejarah, Buku Sejarah Indonesia dan Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Sejarah. *** tra Asvi Warman Adam SETELAH Soeharto berhenti jadi presiden, Mei 1998, wacana sejarah yang berkembang di masyarakat berbeda dengan apa yang tertulis dalam sejarah resmi atau yang diajarkan di sekolah. Agar tidak membingungkan masyarakat, termasuk siswa, tahun 1998 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud, ketika itu) Juwono Sudarsono menugaskan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) menyusun suplemen bagi guru untuk menjelaskan beberapa peristiwa sejarah kontroversial. Tindakan itu diambil karena mengubah buku pelajaran sejarah akan memakan waktu lama. Penyusunan suplemen itu telah dilaksanakan MSI, namun belum selesai pada waktunya. Oleh karena itu, tahun 1999 Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud menerbitkan "Pedoman Bahan Ajar Sejarah Bagi Guru SD, SLTP dan SMU". Penyusunnya berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia/UPI), IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta/UNJ), dan Pusat Sejarah ABRI. Sebagian anggota tim ini juga merupakan anggota tim MSI. Di dalam pedoman itu dijelaskan secara singkat tentang Serangan Umum 1 Maret, Gerakan 30 September (G30S), Supersemar, awal Orde Baru, dan Timor Timur (Timtim). Masing-masing penjelasan itu ternyata masih kontroversial. Misalnya, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX belum diakui sebagai pencetus Serangan Umum 1 Maret 1949, tetapi dikatakan bahwa serangan itu bagian strategi Markas Besar TNI Angkatan Darat. Seyogianya suplemen itu ditarik kembali dan bahan yang dibuat oleh MSI diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). *** PADA masa Orde Baru dikenal buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI). SNI itu merupakan "babon" atau buku pegangan bagi guru dan bagi penulis buku pelajaran yang digunakan di sekolah. SNI yang terdiri dari enam jilid, kemudian diperluas menjadi tujuh jilid, itu menjelaskan sejarah Indonesia sejak dari masa purbakala sampai Orde Baru. Kini SNI itu akan ditulis ulang, bukan sekadar direvisi. Mengingat ini merupakan "tugas nasional", sebaiknya beberapa hal perlu dipertimbangkan secara matang. Pertama, penyusunan buku standar ini dilakukan pada masa krisis ekonomi dengan anggaran yang terbatas. Kalau dananya tidak mencukupi, sebaiknya tidak dikerjakan seluruh periode (dari purbakala sampai sekarang), tetapi penulisan mengenai masa Orde Baru (1965-1998) yang didahulukan. Kedua, sejarah Indonesia yang dulu "Jawa sentris" itu akan diubah. Unsur daerah akan lebih banyak ditampilkan. Keterwakilan sejarawan daerah sebagai penyusun diperhatikan, namun yang lebih penting adalah aspek kualitas tulisan. Ketiga, buku ini merupakan-meminjam istilah awal Orde Baru-"koreksi total" terhadap jilid-jilid dalam SNI yang pada era reformasi ini dianggap "bermasalah". Apakah penulis yang terlibat pada masa lalu itu diikutkan juga dalam tim penulisan sekarang? Apa pun keputusan yang diambil, masyarakat yang nanti bisa menilai. *** SEJAK tahun lalu, Departemen Pendidikan Nasional telah mengujicobakan kurikulum berbasis kompetensi pada beberapa sekolah. Karena kurikulum tersebut merupakan kurikulum pengganti dari yang sebelumnya (1994), terlebih dulu hendaknya dijelaskan dalam bagian pendahuluan atau latar belakang ihwal alasan perubahan atau penggantian kurikulum tersebut. Mengapa dipilih kurikulum berbasis kompetensi? Kurikulum ini diadaptasi dari (negara) mana? Mengapa yang dipilih (negara) itu? Juga tidak jelas yang ditargetkan itu apakah kompetensi siswa atau guru. Bagaimana bisa mendidik siswa memiliki kompetensi kalau gurunya sendiri tidak kompeten? Terlepas dari kritik umum tersebut, khusus untuk bidang sejarah, pemilihan bahan-bahan yang diajarkan perlu dikaji kembali secara menyeluruh. Bukan saja menyangkut materi, tetapi juga sistematika dan kronologi penyajian. Misalnya, pelajaran sejarah Indonesia sekarang ini dimulai dengan mengajarkan tentang pengaruh budaya luar (Hindu, Buddha, Islam, dan Eropa). Prof Taufik Abdullah menyarankan hendaknya pelajaran sejarah dimulai dari Proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Kemudian baru dirunut ke belakang. Itu adalah salah satu alternatif. Pilihan lain, menurut hemat saya, adalah menjelaskan lebih dulu tentang asal-usul bangsa Indonesia. Semuanya itu masalah besar yang perlu didiskusikan secara serius dan berkala. Beberapa hal dalam kurikulum itu perlu dikomentari, seperti pada kompetensi kelas 5 SD ditulis, "Membandingkan pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam di Indonesia". Sebetulnya ada empat nebula budaya yang mempengaruhi Indonesia, yaitu yang berasal dari India (Hindu dan Buddha), Arab (Islam), Cina, dan Eropa (Kristiani)-lihat buku Nusa Jawa karangan Denys Lombard. Budaya Cina ini selama Orde Baru tidak boleh disebut. Padahal budaya yang dikembangkan orang Cina itu sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat setempat, khususnya budaya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pada abad ke-17 dan ke-18 orang Cina yang mengembangkan teknologi penyosohan padi di Batavia. Teknologi pembuatan arak, garam, dan tambak dikembangkan oleh orang Cina. Kapal-kapal yang ada di Nusantara sebagian memanfaatkan teknologi yang berasal dari Cina. Ini merupakan "sejarah terlarang" selama pemerintahan yang lampau. (Ingat buku Slamet Mulyana yang mengatakan Wali Songo berasal dari Cina langsung dilarang oleh Kejaksaan Agung). Pada kompetensi kelas 5 SD juga tercantum, "Siswa mampu menganalisis kekejaman Jepang saat menduduki Indonesia". Gunanya untuk apa? Kesan saya karena Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menuntut agar kasus Yugun Ianfu dimasukkan ke dalam buku sejarah, secara otomatis Pusat Kurikulum meresponsnya. Sebetulnya kekejaman pada masa Orde Baru jauh lebih penting untuk dikemukakan. Yang paling penting dari semua itu adalah alasan perubahan kurikulum. Dikatakan bahwa kurikulum sebelumnya terlalu sentralistik, materi berlebihan, dan ada tumpang-tindih pada jenjang pendidikan yang berbeda. Yang tidak boleh dilupakan bahwa kurikulum itu perlu dirombak karena pada masa Orde Baru telah terjadi penyelewengan fakta-fakta sejarah. DR ASVI WARMAN ADAM, Alumnus sejarah EHESS, Paris