HUKUM INTERNASIONAL DALAM KONFLIK KEPENTINGAN EK ONOMI EKONOMI NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MAJU Hikmahanto Juwana PIDATO UPACARA PENGUKUHAN SEBAGAI GURU BESAR TETAP DALAM ILMU HUKUM INTERNASIONAL PADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA Depok, 10 November 2001 Maju”).1 Negara Berkembang yang tergabung dalam Kelompok-77 (Group-77) dapat dicirikan sebagai negara yang memperoleh kemerdekaan setelah tahun 1945, sedang dalam proses membangun, dan kebanyakan berada di Benua Asia, Afrika dan sebagian Benua Amerika (Amerika Latin). Sementara Negara Maju yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dapat dicirikan sebagai negara yang telah berdiri sebelum tahun 1945, memiliki industri yang kuat dan kebanyakan berada di Benua Eropa atau memiliki tradisi Eropa seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Negara Maju, kecuali Jepang, juga diistilahkan sebagai negara Barat (Western states). Yang terhormat, Rektor Universitas Indonesia Ketua Senat Akademik Universitas Indonesia Para Wakil Rektor Universitas Indonesia Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Para Dekan dan Wakil Dekan di lingkungan Universitas Indonesia Para Guru Besar Para Pejabat Tinggi Negara Rekan-rekan Pengajar Para Mahasiswa Sanak saudara dan para sahabat sekalian Hukum Internasional yang Lebih Mengakomodasi Kepentingan Ekonomi Negara Maju Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Pertama-tama perkenankanlah saya mengucap puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat sekaligus amanah kepada saya untuk mengemban jabatan mulia sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam ilmu hukum internasional. Hanya karena perkenan-Nya jualah saya dapat berdiri di mimbar ini. Hadirin sekalian Berbicara tentang masyarakat internasional apabila dikaitkan dengan kepentingan ekonomi maka masyarakat internasional terbagi dalam kategori negara-negara berkembang (selanjutnya disebut “Negara Berkembang”) dan negara-negara maju (selanjutnya disebut “Negara 1 Negara Berkembang kerap mengargumentasikan bahwa hukum internasional merupakan produk dari negara Barat yang saat ini menjadi Negara Maju. Argumentasi ini didasarkan pada fakta bahwa hukum internasional pada awalnya merupakan hukum yang berlaku antar negara di Benua Eropa.2 Oleh karenanya tidak heran apabila hukum 1 Istilah yang juga sering digunakan, antara lain, adalah Utara (North) dan Selatan (South), Negara Ketiga (Third World) dan Negara Pertama (First World). Lihat: Clarence Clyde Ferguson, Jr., “Redressing Global Injustices: The Role of Law,” Dalam: Frederick E. Snyder dan Surakiart Sathiratai (eds.), Third World Attitudes Toward International Law— An Intoduction, (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 1987), 365. Stephen Gill dan David Law mengatakan, “The terms ‘North’ and ‘South’ are crude and contestable labels. By the North is usually meant the industrialised countries of the West, Japan and the Soviet bloc. By the South is usually meant the countries of Asia (except Japan) Africa and Latin America. Australia and New Zealand may be southern in location but are counted as part of the affluent West.” Lihat: Stephen Gill dan David Law, The Global Political Economy: Perspectives, Problems, and Policies, (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1988), 280. 2 Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi dan ditandatanganinya perjanjian perdamaian Westphalia, raja-raja di Benua Eropa mengklaim kedaulatan negara mereka. Sebagai konsekuensi hubungan antarnegara tidak dapat lagi dilakukan berdasarkan hukum administrasi 2 internasional sangat terpusat pada apa yang terjadi di Eropa (Eurocentric).3 Merekalah yang menentukan bentuk dan jalannya hukum internasional. Munculnya Negara Berkembang setelah Perang Dunia II telah membawa perubahan. Keinginan Negara Berkembang untuk terbebas secara politik dan ketergantungan ekonomi dari mantan negara jajahan mereka telah membawa pengaruh pada hukum internasional pada umumnya. Dalam menyikapi eksistensi hukum internasional, mereka menganggap bahwa hukum internasional yang ada tidak mencerminkan nilai-nilai yang mereka anut. Negara Berkembang mengargumentasikan bahwa pembentukan hukum internasional sebelum Perang Dunia II sama sekali tidak melibatkan mereka.4 Bahkan berbagai lembaga internasional yang dibentuk setelah berakhirnya Perang Dunia II lebih negara melainkan hukum antarnegara yang saat ini dikenal sebagai hukum internasional. Oleh karenanya Verzijl mengatakan, “(I)nternational Law as it stands is essentially the product of the European mind and has been received lock, stock and barrel by American and Asiatic States.” Lihat: JH Verzijl, International Law in Historical Perspective, (Leyden: Sijthoff, 1968), 442. Untuk pengetahuan mendalam tentang awal mula hukum internasional baca: Arthur Nussbaum, A Concise History of the Law of Nations, edisi revisi, (New York: The MacMillan Co., 1958). 3 Sebagai contoh dalam textbook standar hukum internasional ketika membicarakan tentang topik wilayah negara selalu disebutkan cara-cara mendapatkan wilayah berupa pendudukan (occupation), penaklukan (conquest), aneksasi (annexation), akresi (accretion), daluwarsa (prescription) dan sesi (cession). Cara perolehan wilayah ini hanya berlaku pada masa kerajaan di Eropa dan tidak begitu relevan dalam membicarakan perolehan wilayah oleh Negara Berkembang. Lihat: JG Starke, Introduction to International Law, 11th ed. (dipersiapkan oleh IA Shearer), (London: Butterworth & Co. Ltd., 1994), 144-154; Rebecca MM Wallace, International Law, 2nd ed. (London: Sweet & Maxwell, 1992), 8997; Werner Levi, Contemporary International Law, 2nd ed. (Boulder: Westview Press1991), 129-132;MN Shaw, International Law, 3rd ed. (Cambridge: Grotius Publications Ltd., 1991), 284-294. 4 Henkin et. al mengatakan “…, criticisms were leveled at the traditional law of state responsibility by representatives of a variety of developing states that objected to being bound by rules formulated without their participation, in many cases, before they emerged as independent states.” Lihat: Louis Henkin et. al., International Law: Cases and Materials, 3rd. ed. (Minnesota: West Publishing Co., 1993) 683. 3 banyak diperuntukkan bagi kepentingan Negara Maju.5 Negara Berkembang berpendapat bahwa hukum internasional lebih banyak mengakomodasi kepentingan Negara Maju daripada kepentingan mereka. Kepentingan ekonomi Negara Maju lebih dominan dan mewarnai wajah hukum internasional. Perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dengan masalah ekonomi lebih banyak mengakomodasi prinsipprinsip yang dianut oleh Negara Maju. Bahkan para pelaku usaha Negara Maju banyak mendapat perlindungan dari perjanjian internasional yang dinegosiasikan antara Negara Maju dan Negara Berkembang. Perbedaan Sikap Negara Maju dan Negara Berkembang terhadap Hukum Internasional Seorang ahli hukum internasional, Antonio Cassase, dalam bukunya yang berjudul ‘International Law in a Divided World’ menulis bahwa negara Barat memiliki sikap (attitude) yang berbeda dengan Negara Berkembang dalam memandang hukum internasional. Berdasarkan tradisi hukum yang mereka miliki, negara Barat memiliki sikap sangat menghormati hukum internasional dan menjadikannya aturan yang harus dipatuhi dalam interaksi antarnegara.6 Hanya saja Cassase mengingat5 Abdulqawi mengatakan, “The network of international organizations created at the end of the Second World War were mainly concerned, during the early years of their existence, with the economic interests of the developed countries, and their functions were geared towards the solution of their problem. The developed countries who mostly contributed to the drafting of the charters of these organizations took little account of the problems of the developing countries. This was particularly true of the GATT, IMF and IBRD.” Lihat: Abdulqawi Yusuf, Legal Aspects of Trade Preferences for Developing States: A Study in the Influence of Development Needs on the Evolution of International Law, (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1982), 10. 6 Cassese berpendapat, “There are several reasons why in the West law was regarded as a highly esteemed value to be cherished and respected per se. Law was among the driving forces behind the moulding of modern States in Europe in the fourteenth and fifteenth centuries. … Furthermore, the two primary unifying factors leading to the creation of the State in England and France between the late 1200s and the fourteenth century, were the 4 kan agar kita tidak berlebihan (overemphasize) dalam melihat sikap negara Barat terhadap hukum internasional karena dalam kata-kata Cassese, “… law was moulded by Western countries in such a way as to suit their interests; it was therefore only natural for them to preach lawabidance and to attempt to live up to legal imperatives which had been forges precisely to reflect and protect their interests.”7 menghendaki adanya perubahan-perubahan mendasar dalam hukum internasional sehingga betul-betul mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh mayoritas penduduk dunia. Critical Legal Studies: Teori untuk Memahami Sikap Negara Berkembang untuk Mengubah Wajah Hukum Internasional Di sisi lain, Cassese mengungkapkan bahwa bagi Negara Berkembang, “… international law is relevant to the extent that it protects them from undue interference by powerful States and is instrumental in bringing about social change, with more equitable conditions stimulating economic development (kursif dari penulis).”8 Pengamatan Cassese ini sungguh sangat tepat dalam mencermati keberadaan hukum internasional dalam konflik kepentingan ekonomi antara Negara Berkembang dan Negara Maju. Untuk melindungi kepentingan ekonominya, Negara Maju menghendaki agar hukum internasional tidak dikutak-katik. Mereka cenderung mempertahankan apa yang sudah ada dalam hukum internasional (status quo). Sementara Negara Berkembang mempunyai sikap reformis, administration of justice by central courts and the levying of taxes by national authorities. … Another significant consideration is that law played an important role in the birth of capitalism. The economic system evolving in the fourteenth and fifteenth centuries was based on free enterprise and free competition. One of the social mechanisms necessary for the new system was a body of predictable and ascertainable standards of behaviour allowing each economic factor to maintain a set of relatively safe expectations as to the conduct of other social actors. Thus law became one of the devices permitting economic activities and consolidating and protecting the fruits of such action. … A further consideration is that a large section of law in Western States was the fruit of political struggles between contending groups.” Lihat: Antonio Cassese, International Law in a Divided World, (Oxford: Oxford University Press, 1986), 106-107. 7 Ibid., hlm. 108. 8 Ibid., hlm. 119. 5 Teori dikemukakan oleh para ahli untuk mempermudah kita memahami gejala yang ada dalam masyarakat. Demikian juga untuk memahami masyarakat internasional dan hukum internasional para pemikir telah mengungkapkan berbagai teori. Teori yang saat ini dikenal, antara lain, adalah hukum alam, teori positivis, functionalism, realisme, teori yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach), dan lain-lain.9 Salah satu fenomena masyarakat internasional yang banyak dibicarakan para ahli adalah keinginan Negara Berkembang untuk mengubah wajah hukum internasional. Dalam membicarakan fenomena ini, masalah yang terkait tidak semata-mata hukum tetapi juga politik. Sayangnya berbagai teori yang telah diungkap oleh para ahli banyak yang tidak memadai apabila politik bercampur dengan hukum. Teoriteori yang ada tersebut dianggap sangat statis dan a-politik. Dari berbagai teori yang ada, menurut saya ada satu teori yang dapat digunakan. Teori yang saya maksud adalah Critical Legal Studies (selanjutnya disingkat “CLS”). CLS merupakan aliran modern dalam teori hukum. Teori ini diperkenalkan pada tahun 1970-an di Amerika 9 Oleh Chen dikatakan bahwa, “(I)nternational law has its origin in the natural law school and has been influenced in varying degrees by all major school of jurisprudence.” Lihat: Lung-Chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, 2nd.ed (New Haven: Yale University Press, 2000), 11. Lebih lanjut Chen yang mengklaim dirinya sebagai pengikut dari aliran policy oriented approach mengatakan tentang aliran ini sebagai, “(I)t seeks not only to demolish the traditional approaches to rigid rule orientation, unrealistic as they often are, but also to provide a constructive jurisprudence of problem solving.” Lihat: ibid., 13. 6 Serikat.10 Esensi pemikiran CLS terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik.11 Doktrin hukum yang selama ini terbentuk sebenarnya lebih berpihak pada mereka yang mempunyai kekuatan (power).12 Teori yang dikemukakan oleh para pemikir CLS sungguh sangat tepat untuk menjelaskan upaya Negara Berkembang dalam mengubah wajah hukum internasional. Hukum internasional adalah produk politik dan sebagian merupakan hasil tarik ulur Negara Berkembang dengan Negara Maju. Kekuatan sering digunakan oleh Negara Maju. Bahkan Negara Maju kerap menggunakan kekuatan yang dimilikinya tanpa sadar sebagaimana dikatakan oleh White, Domination of the system, …, by the rich and powerful States is not necessary carried out in a conscious fashion by the representatives of those States—they simply assume that the imposition of Western values and the extension of the market philosophy to the international plane is a natural and perfectly legitimate exercise. Indeed, since the Western way claims to be the only true path to follow, all others deemed to be wrong hence illegitimate.13 table system.”14 Sehingga doktrin-doktrin hukum yang telah terbentuk dapat direkonstruksi untuk mencerminkan pluralisme nilai yang ada. Untuk melakukan proses de-legitimasi terhadap doktrin hukum yang telah terbentuk, aliran CLS menggunakan metode trashing, deconstruction dan genealogy. Trashing adalah teknik untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk.15 Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.16 Deconstruction adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk.17 Dengan melakukan pembongkaran maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikirin hukum. Sementara genealogy adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi.18 Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah kerap didominasi oleh mereka yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum. Ibid. Dalam kata-kata Arthur dan Shaw, “… a big miscellaneous grab bag of techniques designed to dent the complacent message embedded in legal discourse, that the system has figured out the arrangements that are going to make social life about as free, just, and efficient as it ever can be.” Lihat: John Arthur dan William H. Shaw (eds.), Reading in the Philosophy of Law, 179. 16 Ibid. 17 Dalam kaitan ini Arthur dan Shaw mengatakan “The Crits do not believe, however, that their trashing reveals a random chaos or that what lies behind the seeming order of legal decisions is just pure power (or personal whim). There is patterned chaos, and the aim of Critical scholarship is in part to uncover the patterns. Some of their best work is a familiar kind of left-wing scholarship, unmasking the often unconscious ideological bias behind legal structures and procedures, which regularly makes it easy for business groups to organize collectively to pursue their economic and political interests but which makes it much more difficult for labor, poor people, or civil rights group to pursue theirs.” Lihat: Ibid., 180. 18 Arthur dan Shaw mengatakan, “Still another way to heighten awareness of the transitory, problematic, and manipulable ways legal discourses divide the world is to write their history. The Crits have turned out a lot of history of legal categories.” Lihat: Ibid., hlm. 180-181. 14 15 Oleh karenanya White mengatakan, “(I)t is the aim of the critical lawyers to delegitimate this claim to the truth, to reveal it as an exercise of power and domination, and to reveal a fairer and more equi10 Howard Davies dan David Holdcroft, Jurisprudence: Texts and Commentary, (London: Butterworth & Co., 1991), 471. 11 Sebagaimana diungkapkan oleh Hari Chand dalam menggambarkan CLS dengan mengatakan bahwa bagi aliran CLS, “Law is simply politics, dress in different garb.” Lihat: Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: International Law Book Series, 1994), 240. 12 Sebagai akibat dari cara berpikir yang demikian, para sarjana yang masuk dalam aliran CLS banyak ditentang dan dianggap sebagai kekiri-kirian, bahkan para pengkritik aliran ini menganggap pemikiran CLS sebagai ‘a form of class treachery.’ Lihat: John Arthur dan William H. Shaw (eds.), Reading in the Philosophy of Law, 2nd ed., (New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1984), 184. 13 N.D. White, The Law of International Organisations, (Manchester: Manchester University Press, 1996), 20. 7 8 Dengan menggunakan teori CLS, berikut akan dipaparkan keberhasilan, pengupayaan dan kegagalan dari Negara Berkembang dalam mengubah wajah hukum internasional, utamanya agar kepentingan ekonomi mereka terakomodasi. Keberhasilan Negara Berkembang dalam Mengubah Wajah Hukum Internasional: Prinsip Common Heritage of All Mankind Dalam hukum internasional ada suatu wilayah yang merupakan wilayah yang berada di luar yurisdiksi negara, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai commonage (selanjutnya disebut “Wilayah Bersama”). Wilayah Bersama pada dimensi laut terletak pada seabed dan ocean floor yang dikenal dengan istilah Area,19 sementara pada dimensi ruang angkasa, ruang angkasa secara keseluruhan dinyatakan sebagai Wilayah Bersama. Di Wilayah Bersama negara dilarang mengklaim kedaulatan walaupun tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk mengambil keuntungan. Dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi Wilayah Bersama secara tradisional prinsip yang berlaku adalah prinsip res communis. Prinsip res communis harus dibedakan dengan res nullius. Perbedaan mendasar terletak pada tidak diakuinya pemilikan pada Wilayah Bersama dalam res communis. Res communis hanya memperkenankan proses eksploitasi bagi siapa saja tanpa didahului dengan klaim kedaulatan.20 19 Area didefinisikan dalam Pasal 1 angka (1) paragraf (1) Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai “… the sea-bed and ocean floor and subsoil thereof, beyond the limits of national jurisdiction.” 20 Henkin menerangkan kedua konsep ini sebagai berikut, “For some, the seas were res nullius, nobody’s. In principle, therefore, the seas were subject to occupation and acquisition, like land that was nobody’s. … The resources of the sea, too, were res nullius and therefore available for the taking so that all states were free to fish at will. For others, the seas were not res nullius but res communis, not nobody’s but everybody’s. Bering everybody’s, they were not open to appropriation by any state, but being everybody’s, they were open to common use.” Lihat: Louis Henkin, International Law: Politics and Values, (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1995), 79. 9 Hanya saja prinsip res communis mengasumsikan bahwa semua pihak mempunyai kemampuan yang sama, baik dibidang teknologi, modal dan keahlian. Dalam prakteknya prinsip res communis akan memberi keuntungan bagi mereka yang memiliki kemampuan bila dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan. Pada akhirnya first come first serve akan berlaku pada Wilayah Bersama. Bagi Negara Berkembang, menggunakan prinsip res communis sama saja dengan tidak dapat menikmati keuntungan (benefit) apa pun dari Wilayah Bersama. Negara Berkembang yang tidak mempunyai kemampuan dari segi teknologi, modal dan keahlian tidak akan mungkin mengeksploitasi Wilayah Bersama. Padahal Negara Berkembang menghendaki agar keuntungan yang didapat dari Wilayah Bersama dapat dirasakan juga oleh mereka. Untuk itu Negara Berkembang memperkenalkan prinsip common heritage of all mankind atau warisan umat manusia bersama sebagai pengganti dari prinsip res communis.21 Dalam prinsip common heritage of all mankind yang berlaku adalah siapa yang dapat mengeksploitasi Wilayah Bersama maka ia wajib untuk membagi keuntungan yang didapat kepada yang lain.22 Prinsip ini disampaikan untuk pertama kali oleh Duta Besar dari Malta, Dr. Avid Pardo, pada tahun 1967 pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengusulkan untuk dibuat “Declaration and Treaty concerning the reservation exclusively for peaceful purposes of the sea-bed and ocean floor underlying the seas beyond the limits of national jurisdiction, and the use of their resources in the interests of mankind.” Usulan ini kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum 2574 pada tahun 1969 yang didukung oleh mayoritas Negara Berkembang dimana untuk wilayah sea-bed dan dasar laut diadakan moratorium untuk tidak dieksplorasi dan eksploitasi. Pada tahun 1970 dikeluarkan Resolusi Majelis Umum 2749 yang berjudul “Declaration of Principles Governing the Sea Bed and Ocean Floor, and the Subsoil Thereof, beyond the Limits of National Jurisdiction.” dan diadopsi dengan komposisi 108 mendukung, tidak ada yang menentang dan 14 abstain. Dalam resolusi tersebut diungkapkan bahwa, “(1) The sea bed and ocean floor, and the subsoil thereof, beyond the limits of national jurisdiction …, as well as the reources of the Area, are the common heritage of all mankind. …” 22 Williams mencirikan CHM sebagai berikut, “(a) that the areas constituting CHM are not subject to appropriation; (b) that such areas call for a managemnt system where all States participate, (c) that the concept in question implies an active sharing of the 21 10 Dengan menyatakan keuntungan yang didapat dari Wilayah Bersama sebagai warisan umat manusia bersama maka Negara Berkembang akan ikut merasakan apa pun keuntungan yang didapat. Di sini terlihat bahwa Negara Berkembang lebih menginginkan pemanfaatan Wilayah Bersama untuk kepentingan sosial (social interest) daripada kepentingan komersial (commercial interest). Keinginan Negara Berkembang untuk mengubah prinsip res communis menjadi common heritage of all mankind telah diakomodasi dalam perjanjian internasional, seperti Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies (selanjutnya disebut “Perjanjian tentang Bulan”)23 dan United Nations Convention on the Law of the Sea (selanjutnya disebut “Konvensi Hukum Laut 1982”).24 Sayangnya keberhasilan Negara Berkembang dalam mengubah wajah hukum internasional di atas masih dalam tataran konsep, tidak pada tataran implementasinya.25 Secara tidak sadar apa yang dilakukan oleh Negara Berkembang dalam mengubah prinsip res communis menjadi common heritage of all mankind telah menggunakan tiga metode yang diperkenalkan oleh para pemikir CLS. Pertama, Negara Berkembang telah melakukan trashing dengan mengatakan bahwa prinsip res communis bukanlah prinsip yang universal yang diikuti oleh masyarakat internasional mobenefits derived from the exploration and exploitation of those areas; (d) that these areas be used exclusively for peaceful purposes.” Lihat: Sylvia Maureen Williams, “The Law of Outer Space and Natural Resources,” 36 International and Comparative Law Quarterly, (1987): hlm. 144. 23 Dalam Pasal 11 ayat (1) Moon Agreement disebutkan bahwa, “The moon and its natural resources are the common heritage of all mankind, …” 24 Dalam Pasal 136 Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan bahwa, “The Area and its resources are the common heritage of mankind.” 25 Henkin mengatakan, “Exploitation of the seabed is an unlikely prospect for decades ahead, and the economic political institutions that had been negotiated are not likely to materialize as planned. Lihat: Louis Henkin, International Law: Politics and Values, 155. 11 dern. Prinsip res communis hanya berpihak pada Negara Maju yang notabene adalah negara yang memiliki modal, keahlian dan teknologi.26 Selanjutnya Negara Berkembang melakukan deconstruction terhadap prinsip res communis dengan mengatakan bahwa prinsip tersebut hanya menguntungkan Negara Maju saja. Dalam argumentasi Negara Berkembang manfaat dari Wilayah Bersama seharusnya tidak dinikmati terbatas pada mereka yang mempunyai kemampuan untuk mengeksploitasi saja, melainkan oleh seluruh umat manusia. Oleh karenanya prinsip res communis sudah selayaknya ditinggalkan. Teknik genealogy juga diterapkan dengan mengungkapkan bahwa Negara Maju dalam sejarah telah banyak mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat dalam Wilayah Bersama tanpa memperhatikan kepentingan dari negara lain di dunia. Oleh karenanya sudah saatnya prinsip tradisional tersebut diganti sehingga tidak diskriminatif terhadap negara yang tidak memiliki teknologi, modal dan keahlian. Pengupayaan Negara Berkembang dalam Mengubah Wajah Hukum Internasional: Pengaturan di Bidang Perdagangan Internasional Dalam tiga dekade terakhir ini konflik kepentingan ekonomi antara Negara Berkembang dan Negara Maju telah terpusat pada masalah perdagangan antarnegara. Konflik ini dipicu oleh pandangan yang berbeda antara Negara Berkembang dan Negara Maju. Di satu sisi Negara Berkembang cenderung mengambil kebijakan yang menghambat masuknya barang dan jasa dari pelaku usaha asing, utamanya dari Negara Maju. Sebagai negara berdaulat Negara Dalam bukunya Churchill dan Lowe mengatakan bahwa, “(A)s soon as it was realised that sea-bed mining was a commercial possibility, …, it was recognised that as international law then stood the main benefit of mining, would accrue to handful of developed States.” Lihat: R.R. Churcuill and AV Lowe, The Law of the Sea, 3rd ed. (Manchester: Manchester University Press, 1999), 224. 26 12 Berkembang, tentunya, sah-sah saja apabila menerapkan berbagai ‘hambatan’ tersebut. Alasan yang sering dikemukakan adalah untuk melindungi lapangan kerja, sebagai sarana untuk memproteksi industri bayi, dalam rangka memperkuat pelaku usaha nasional, hingga mendapatkan devisa. Disisi lain, Negara Maju menghendaki agar tidak ada hambatan yang diberlakukan oleh Negara, termasuk yang diberlakukan oleh Negara Berkembang. Tidak adanya hambatan diidentikkan dengan perdagangan bebas (free trade) yang berarti tidak adanya diskriminasi dari mana barang atau jasa berasal.27 Pasar menjadi penting karena produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha dari Negara Maju harus dibeli. Pasar yang potensial bagi barang dan jasa dari pelaku usaha Negara Maju ada di Negara Berkembang. Ada beberapa alasan mengapa demikian. Pertama konsumen di Negara Berkembang biasanya belum terbentuk.28 Konsumen di Negara Berkembang sangat senang dengan barang-barang yang berasal dari Negara Maju. Kedua dari segi jumlah penduduk, Negara Berkembang sangat potensial. Jumlah penduduk Negara Berkembang sangat fantastis bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di Negara Maju. Hanya saja kelemahan konsumen di Negara Berkembang adalah rendahnya daya beli mereka. Dari dua perspektif di atas, terjadi tarik ulur kepentingan. Bagi Negara Berkembang mereka dengan mudah menentukan hambatan dengan cara memberlakukan perundangan nasional. Sementara bagi Negara Maju, pertanyaan muncul bagaimana cara mereka dapat menghapuskan berbagai hambatan yang dibuat oleh Negara 27 Esensi dari perdagangan bebas adalah perdagangan antarnegara diharapkan bisa sama seperti perdagangan antarpropinsi dimana tidak dipermasalahkan dari mana suatu barang atau jasa berasal. 28 Maksud terbentuk disini adalah ‘taste’ atau preferensi dari konsumen atau masyarakat. Pada konsumen atau masyarakat Negara Maju mereka biasanya sudah memiliki taste maupun preferensi tersendiri sehingga sulit untuk memenetrasi barang atau jasa yang diproduksi oleh Negara Maju lainnya. 13 Berkembang? Sudah pasti Negara Maju tidak mungkin memerintahkan Negara Berkembang untuk mencabut berbagai hambatan tersebut layaknya hubungan antara negara penjajah dan negara jajahan. Alternatif yang paling mungkin adalah dengan membuat kesepakatan-kesepakatan yang untuk kemudian dituangkan dalam perjanjian internasional. Apabila Negara Berkembang turut serta dalam perjanjian internasional dimaksud maka mereka akan terikat untuk melaksanakannya yang pada gilirannya mereka akan menghapuskan berbagai hambatan atas barang dan jasa dari luar negeri. Negara Maju tidak jarang memberi pemanis berupa hibah, pinjaman dan lain sebagainya bagi Negara Berkembang agar mereka mau ikut dalam suatu perjanjian internasional.29 Perjanjian internasional di bidang perdagangan internasional yang telah diupayakan oleh Negara Maju di antaranya adalah General Agreement on Tariffs and Trade (“GATT”), Agreement Establishing the World Trade Organisation (WTO), Agreement on Agriculture, Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs), dan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dan lain-lain. Dalam tulisan Tony Clarke disebutkan bahwa, “In the 1980s, the World Bank and the IMF used debt renegotiations as a club to force the developing nations into implementing structural adjustment programs (SAPs) in their economies. Each SAP package called for sweeping economic and social changes designed to channel the country’s resources and productivity into debt repayments and to enhance transnational competition. … In effect the SAPs have become instruments for the recolonization of many developing countries in the South in the interests of TNCs and banks.” Lihat: Tony Clarke, “Mechanisms of Corporate Rule,” Dalam: Jerry Mander dan Edward Goldsmith, The Case Against the Global Economy and for a Turn Toward the Local, (New York: Sierra Club Books, 1996), 301. Goldsmith juga mengatakan bahwa, “Lending large sums of money to the compliant elite of a nonindustrial country is the most effective method of controlling it and thereby obtaining access to its market and natural resources. … Once in debt, they inevitably become hooked on further and further borrowing rather than cutting down on expenditure and thus fall under the power of the lending countries.” Lihat: Edward Goldsmith, “Development as Colonialism,” Dalam: Jerry Mander dan Edward Goldsmith, The Case Against the Global Economy and for a Turn Toward the Local, (New York: Sierra Club Books, 1996), 261. 29 14 Upaya Negara Maju untuk meneguhkan prinsip perdagangan internasional yang mereka yakini mendapat reaksi dari Negara Berkembang. Sudah sejak lama Negara Berkembang memperjuangkan diubahnya prinsip tradisional perdagangan internasional. Bagi Negara Berkembang yang umumnya sedang bergulat dengan masalah pertumbuhan ekonomi, mereka tidak setuju apabila ekonomi pasar diberlakukan begitu saja dalam perdagangan internasionl.30 Untuk itu pada sidang United Nations Conference on Trade and Development (“UNCTAD”) pertama tahun 1964, dikemukakan tentang perlunya prinsip perlakuan preferensi (preferential treatment) dan nonresiprositas untuk diberlakukan.31 Sebenarnya apa yang dikehendaki oleh Negara Berkembang telah dibicarakan dalam perundingan GATT pada tahun 1954-55. Ketika itu dibicarakan dan disetujui amandemen terhadap Pasal XVIII yang dianggap sebagai permulaan dari ‘differential treatment’ bagi Negara Berkembang.32 Perlakuan yang berbeda untuk Negara Berkembang ditindaklanjuti pada tahun 1965 dengan memasukkan pasal-pasal yang dikelompokkan dalam Bagian IV GATT.33 Hans van Houtte, The Law of International Trade, (London:Sweet & Maxwell, 1995), 51. 31 Dalam prinsip ini disebutkan bahwa “… Developed countries should grant concessions to all developing countries and extend to developing countries all concessions they grant to one another and should not, in granting these or other concessions, require any concessions from developing countries.” Bahkan disebutkan bahwa, “New preferential concessions, both tariff and non-tariff, should be made to developing countries as a whole and such preferences should not be extended to developed countries.” 32 Dalam Pasal XVIII ayat (2) disebutkan bahwa, “The contracting parties recognize further that it may be necessary for those contracting parties, in order to implement programmes and policies of economic development designed to raise the general standard of living of their people, to take protective or other measures affecting imports, … (garis miring dari penulis).” 33 Bagian IV memuat ketentuan prinsip non-resiprositas dalam negosiasi perdagangan antara Negara Maju dan Negara Berkembang. Bagian IV kemudian dirinci lebih lanjut pada tahun 1979 yang kemudian dikenal dengan nama “Enabling Clause.” Ada empat katagori perlakuan yang berbeda, yaitu “(a) Preferential tariff treatment accorded by developed 30 15 Upaya Negara Berkembang untuk mengubah wajah hukum internasional di bidang perdagangan internasional, disadari atau tidak, telah menggunakan metode CLS. Pertama Negara Berkembang melakukan trashing dengan mengatakan bahwa prinsip perdagangan internasional yang dianut, seperti Most Favoured Nations (“MFN”) yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) GATT,34 mengasumsikan bahwa setiap negara mempunyai kesetaraan.35 Fakta menunjukkan bahwa di antara negara-negara tidak ada kesetaraan.36 Sehingga apabila prinsip MFN tetap diberlakukan hal ini akan bertentangan dengan tujuan GATT contracting parties to products originating in developing countries in accordance with the Generalized System of Preferences; (b) Differential and more favourable treatment with respect to the provisions of the GATT concerning non-tariff measures governed by the provisions of instruments multilaterally negotiated under GATT (now WTO) auspices; (c) Regional and global arrangements entered into amongst less-developed contracting parties for the mutual reduction or elimination of tariffs and, in accordance with criteria or conditions which may be prescribed by the GATT contracting parties (now the WTO Ministerial Conference), for the mutual reduction or elimination of non-tariff measures, on products imported from one another; (d) Special treatment of the least-developed among the developing countries in the context of any general or specific measures in favour of developing countries.” Lihat: “Special and Differential Treatment” http:// www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/eol/e/wto01/wto01/wto1_17.htm diakses pada tanggal 25 Oktober 2001. 34 Esensi dari prinsip MFN adalah sebuah negara tidak boleh membuat kebijakan yang diskriminatif terhadap pelaku usaha yang berasal dari negara yang berbeda. 35 Ketentuan tentang MFN dan Prinsip Resiprositas yang dikenal dalam GATT, sebagaimana dikatakan oleh Abdulqawi Yusuf, “… have come under attack from the developing countries because, in their view, although such rules might serve the expansion and liberalization of trade among the developed countries, they were frustating the efforts of the developing countries to use international trade as a means of economic development.” Lihat: Abdulqawi Yusuf, Legal Aspects of Trade Preferences for Developing States: A Study in the Influence of Development Needs on the Evolution of International Law, , 4. 36 Hal ini tercermin dalam laporan untuk persiapan sidang UNCTAD pertama dimana dikatakan bahwa, “By the very nature of its philosophy, which is based on liberalism, GATT inevitably shows a marked lack of understanding of the interest of the underdeveloped and developing countries. This is primarily due to the inequality between the industrialized and developing countries in the matter of bargaining power. Article I of the General Agreement is based on the fiction that there is complete equality among Contracting Parties. There is however no equality treatment except among equals.” Sebagaimana dikutip oleh Abdulqawi, dalam: Ibid., 14. 16 itu sendiri, yaitu tercapainya “mutually advantageous arrangements.”37 Negara Berkembang bahkan menunjukkan ketidaksetujuannya mereka atas perluasan masalah perdagangan internasional yang diusulkan oleh beberapa Negara Maju pada Pertemuan Para Menteri WTO di Doha, seperti perburuhan, eco-labelling, dan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.38 Selanjutnya Negara Berkembang melakukan deconstruction dengan mengargumentasikan bahwa prinsip perdagangan internasional yang ada saat ini merupakan ‘ciptaan’, dan hanya berpihak pada, Negara Maju. Prinsip tersebut sangat menguntungkan pelaku usaha dari Negara Maju, tetapi tidak bagi Negara Berkembang. Keinginan untuk memberlakukan preferential treatment, differential treatment, non-resiprositas, enabling clause merupakan upaya untuk merekonstruksi prinsip perdagangan internasional dalam hukum internasional.39 37 Ada dua paragraf yang terdapat dalam Preambul GATT. Paragraf pertama secara lengkap berbunyi, “Recognizing, that their relations in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to raising standards of living, ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and effective demand, developing the full use of the resources of the world and expanding the production and exchange of goods.” Paragraf kedua berbunyi, “Being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the substantial reduction of tariffs and other barriers to trade and to the elimination of discriminatory treatment in international commerce.” 38 Dalam masalah perburuhan, misalnya, pemerintahan Negara Berkembang beranggapan bahwa, “… attempts to introduce this issue into the WTO represent a thinly veiled form of protectionism which is designed to undermine the comparative advantage of the lowerwage developing countries. Lihat: “Doha WTO Ministerial 2001: Briefing Notes—Trade and Labor Standards—A Difficult Issue for many Governments.” http://www-svca.wtoministerial.org/english/thewto_e/minist_e/min01_e/brief16_e.html diakses pada tanggal 25 Oktober 2001. 39 Secara tepat Bulajic menggambarkan argumentasi Negara Berkembang sebagai berikut, “…, if we accept that the main purpose of the NIEO is to reequlibrate international economic relations, or rather the international economic system, in order to make it a more congenial environment for, and more conducive in its mechanism, to the development of Third World countries, then positive discrimination or preferential treatment for 17 Metode genealogy juga digunakan oleh Negara Berkembang. Mereka mengemukakan berbagai prinsip perdagangan internasional yang diformulasikan oleh para pemimpin negara Barat pada Konferensi Bretton Woods tahun 1944, dirasakan sebagai tidak mencerminkan aspirasi Negara Berkembang. Hal ini karena pada saat itu banyak di antara Negara Berkembang belum memperoleh kemerdekaan. Harus diakui banyak prinsip-prinsip perdagangan internasional yang berawal dari Eropa dan mulai dipraktekkan sejak abad ke-12.40 Kegagalan Negara Berkembang dalam Mengubah Wajah Hukum Internasional: Membatasi Gerak Multinational Corporation Dalam konflik kepentingan ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju, masalah lain yang mengemuka adalah kegiatan yang dilakukan oleh Transnational Corporation (TNC) atau Multinational Corporation (selanjutnya disingkat “MNC”). MNC adalah perusahaan yang mempunyai jaringan kerja yang mendunia. Keberadaan MNC sebenarnya bukan hal baru. Pada masa Negara Berkembang masih menjadi negara jajahan MNC sudah melakukan kegiatan.41 Salah satu masalah yang muncul sehubungan dengan keberadaan MNC adalah kekhawatiran Negara Berkembang atas kekuatan dominan MNC yang dapat mengancam kedaulatan dan eksistensi Negara developing countries would in one way or another be at the bass of all corrective action, whether remedial or affirmative …” Lihat: Milan Bulajic, Principles of International Development Law, 2nd ed., (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1992), 287. 40 John Jackson mengatakan bahwa, “The MFN obligation has a long history which is easily traced back to the twelfth century, although the phrase seems to have first appeared in the seventeenth century.” John Jackson, The World Trading System and the Policy of International Economic Relations,” (Cambridge: The MIT Press, 1991), 104; Di bagian lain Jackson mengatakan, “A national treatment obligation can be found in some treaties, dating back to earlier centuries.” Ibid., 120. 41 Menurut Muchilinski MNC sudah ada sejak tahun 1850. Lihat: Peter Muchilinski, Multinational Enterprises and the Law, (Oxford: Blackwell Publishers Ltd., 1995), 20. 18 Berkembang. 42 Sebagai contoh, MNC kerap ‘memaksa’ Negara Berkembang agar peraturan perundang-undangan yang dibuat berpihak dan menguntungkan mereka.43 Untuk mencapai tujuan ini tidak segansegan MNC mengancam akan memindahkan usaha mereka.44 Bahkan MNC dapat mempengaruhi pemerintah negaranya, termasuk juga lembaga-lembaga internasional, untuk melakukan suatu tindakan terhadap pemerintah Negara Berkembang yang merugikan mereka.45 Muchilinski menggambarkan sebagai berikut, “The MNC began to be described as a challenge to the national state, a creature with no loyalties except to itself, an entity that caused economic, social and political disruption in both the host and home countries, and aimed at global dominance.” Lihat: Ibid., hlm. 7. Demikian juga Sornarajah yang mengatakan, “Multinational corporations, … became the principal instruments of foreign direct investment and exerted power and influence akin to and sometimes exceeding those of states.” Lihat: M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 2. 43 Hal ini sangat bergantung pada posisi tawar (bargaining position) antara MNC dengan negara penerima (host state). Muchilinski mengatakan, “The relationship between the host state and a MNC will be the outcome of a bargaining process between them. In this regard the formal content of the host state’s law and regulations should be viewed as a starting point for negotiation, as an initial statement of the host’s regulatory goals. How far that system is actually applied in a given case will depend on the outcome of bargaining at the stage of entry. This, in turn, depends on the relative bargainning strength of the host state and the MNE.” Lihat: Peter Muchilinski, 104; Bahkan Goldsmith mengatakan, “TNCs will now have the power to force national governments to defend corporate interests whenever such interests are in conflict with those of the people whose interest the government have been elected to protect.” Lihat: Edward Goldsmith, “Development as Colonialism,” Dalam: Jerry Mander dan Edward Goldsmith, The Case Against the Global Economy and for a Turn Toward the Local, (New York: Sierra Club Books, 1996), 266. Demikian juga Sornarajah mengatakan, “Multinational corporations wild significant power to shape the law on foreign investment to their advantage.” Lihat:: M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, 52. 44 Goldsmith mengatakan, “If a country passes a law that TNCs regard as hindrance to their further expansion, they merely threaten to leave and establish themselves elsewhere, which under the new conditions, they can do at the drop of a hat.” Lihat: Edward Goldsmith, “Development as Colonialism,” Dalam: Jerry Mander dan Edward Goldsmith, The Case Against the Global Economy and for a Turn Toward the Local, 265. 45 Sornarajah mengungkapkan, “Back by its own immense financial resources as well as the power of its home state, it may influence the political course of the host states in which it seeks to invest.” Lihat: M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, 51. Lebih lanjut ia mengatakan, “The power of multinational corporation to 42 19 Disamping itu MNC dapat meminta pemerintahnya untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam forum internasional. Salah satunya adalah dalam pembentukan perjanjian internasional. Perjanjian internasional yang dibuat untuk melindungi kepentingan MNC dapat dikelompokkan paling tidak menjadi tiga kategori. Pertama, perjanjian-perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi MNC dari tindakan sepihak pemerintah setempat.46 Selanjutnya, perjanjianperjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi produk, termasuk hak atas kekayaan intelektual, yang dihasilkan oleh MNC.47 Ketiga, perjanjian-perjanjian internasional yang memberi jalan keluar (remedy) bagi perselisihan yang terjadi antara MNC dengan pemerintah Negara Berkembang.48 Menghadapi kekuatan besar yang dimiliki oleh MNC, Negara Berkembang telah lama mengupayakan agar hukum internasional dapat membatasi aktivitas MNC. Hasil maksimal yang dapat dicapai oleh Negara Berkembang adalah pembentukan UN-Draft Code of Conduct on Transnational Corporations (selanjutnya disebut “Code of ensure that their home states maintain stance favourable to the protection of their global investments is very clear. … they are also helped by their home states through international agencies which they control to ensure that states which are hostile to multinational corporations are denied priviliges conferred by the agencies. The examples given in the literature are of the International Monetary Fund and the World Bank.” Lihat: Ibid., 53. 46 Contoh perjanjian internasional yang masuk dalam katagori ini adalah Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency, dan Agreement on Trade Related Investment Measures. 47 Contoh perjanjian internasional yang masuk dalam katagori ini adalah Convention for the Protection of Industrial Property, Agreement concerning International Registration of Marks, Agreement for Protection of Appellations of Origin and their International Registration, Convention concerning International Deposit of Industrial Designs, Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods. 48 Contoh perjanjian internasional yang masuk dalam katagori ini adalah Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States. 20 Conduct”).49 Code of Conduct hingga sekarang tidak pernah ditetapkan menjadi resolusi PBB, apalagi perjanjian internasional. Oleh karenanya saya berpendapat, Negara Berkembang mengalami kegagalan dalam usahanya membatasi kegiatan MNC. Ada paling tidak empat alasan mengapa demikian. Pertama, bagaimanapun tidak disukai kegiatan yang dilakukan oleh MNC, Negara Berkembang membutuhkan kehadirannya, baik dalam rangka pemasukan devisa, alih teknologi, penyerapan tenaga kerja dan lain-lain. Kedua, pembatasan aktivitas MNC bukan sekedar perdebatan dalam tataran konsep, melainkan harus berhadapan dengan kenyataan dan praktek yang sudah lama terbentuk. Ketiga, dengan kekuatan yang dimiliki oleh MNC, mereka dapat memastikan bahwa ide untuk membatasi mereka akan gagal. Terakhir, suka atau tidak suka, krisis ekonomi yang melanda berbagai negara di Asia dan resesi ekonomi dunia, membuat ketergantungan Negara Berkembang terhadap MNC semakin tinggi. Upaya Negara Berkembang untuk membatasi gerak MNC telah menggunakan metode trashing, deconstruction dan geneality. Negara Berkembang melakukan trashing terhadap asumsi Negara Maju bahwa Negara Berkembang melakukan tindakan sepihak terhadap kepentingan MNC. Pertanyaannya adalah apakah memang Negara Berkembang melakukan tindakan sepihak secara semena-mena? Negara Berkembang merasa bahwa tindakan sepihak dilakukan karena ada kebutuhan yang mendasar untuk itu.50 Tanpa tindakan sepihak, Negara Berkembang Pembatasan ruang gerak dari MNC yang tercantum dalam Code of Conduct tersebut, di antaranya, respect for national sovereignty and observance of domestic laws, regulations and administrative practices, adherence to economic goals and development objectives, policies and priorities, adherence to socio-cultural objectives and values, respect for human rights and fundamental freedoms, non-interference in internal affairs of host countries. Lihat: UN Doc. E/1988/39/Add. 1 tertanggal 1 Februari 1988. 50 Dalam laporan UN Center and Commission on Transnational Corporations pada tahun 1985 terungkap bahwa Negara Berkembang (the emergence of new States) tidak menyetujui konsep tradisional yang berlaku untuk tanggung jawab negara terhadap nasionalisasi karena, 49 21 tidak mungkin melakukan pembangunan segera setelah mendapat kemerdekaannya dan terbebas dari masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya. Selanjutnya, Negara berkembang melakukan deconstruction terhadap pemikiran Negara Maju untuk melindungi MNC. Dalam pemikiran Negara Maju perlindungan diberikan karena seolah MNC tidak berdaya dalam menghadapi tindakan Negara Berkembang. Padahal, menurut Negara Berkembang, justru MNC yang abusive terhadap Negara Berkembang.51 Pendapat demikian menjadi dasar untuk mengatakan bahwa, “… Transnational corporation shall not intervene in the internal affairs of a host State,” sebagaimana tertuang dalam Charter of Economic Rights and Duties of States.52 Dengan demikian perlindungan yang diberikan oleh hukum internasional seharusnya tidak diberikan kepada MNC melainkan kepada mereka.53 “… the application of those principles to the newly independent States was seen as perpetuating an exploitative system beneficial to the developed market economies.” Lihat: Henkin, Louis et. al., International Law: Cases and Materials, 686. 51 Misalnya sebagaimana diungkap oleh Samuel Asante, sebagaimana dikutip oleh Sidney Dell, “Under the concession, the transnational corporation made a direct equity investment for the purpose of exploiting a particular natural resource. In many cases, the concession amounted to a virtual assumption of sovereignty by transnational corporations over the host country’s natural resources—an example of the old international economic order, (kursip dari penulis)” Lihat: Sidney Dell, The United Nations and International Business, (Durham: Duke University Press, 1990), 38. 52 Pasal 2 ayat (2) huruf (b) kalimat ke-2 Charter of Economic Rights and Duties. Charter of Economic Rights and Duties terdapat dalam Resolusi Majelis Umum PBB A/ 3281 (XXIX) tertanggal 12 Desember 1976. Dalam: 28 Year Book of United Nations (1974), 403. 53 Schacter, misalnya, ketika mendiskusikan tentang tindakan Negara Berkembang melakukan tindakan pengambilalihan aset MNC mengatakan, “Pervading the political atmosphere in these cases were ideological and emotional reactions to foreign domination. Memories of past abuses by colonial rulers had not disappeared. The sense of continued dependency of foreign sources of capital and on foreign markets intensified the desire for greater economic independence. The strongly worded resolutions in the United Nations demanding full sovereign rights over resources and foreign business were a political reflection of these sentiments.” Lihat: Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1991), 303. 22 Pemikiran inilah yang dipakai dalam Code of Conduct yang esensinya adalah merekonstruksi prinsip-prinsip dan pemikiran tradisional. Tidak heran apabila ketentuan yang terdapat dalam Code of Conduct sangat berpihak pada kepentingan Negara Berkembang.54 Teknik geneality digunakan oleh Negara Berkembang dengan mengatakan bahwa pemberian perlindungan bagi MNC oleh Negara Maju didasarkan pada fakta sejarah yang menunjukkan Negara Berkembang kerap melakukan tindakan sepihak terhadap kepentingan MNC. 55 Sementara sejarah yang menunjukkan bahwa Negara Berkembang justru dieksploitasi oleh MNC seolah diabaikan, kalau tidak dapat dikatakan dihilangkan. Apabila sejarah ini yang diungkap maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Negara Berkembang sudah sepantasnya mendapat perlindungan hukum internasional dari aktivitas dan tindakan MNC. Demikianlah telah saya utarakan bagaimana eksistensi hukum internasional dalam konflik kepentingan antara Negara Berkembang dan Negara Maju. Kalau di permulaan pidato ini saya kemukakan pengelompokan Negara Berkembang dan Negara Maju, saat ini saya ingin mengatakan bahwa negara yang masuk dalam kelompok Negara Berkembang apabila kelak masuk dalam kelompok Negara Maju maka negara tersebut akan menghadapi pilihan yang dilematis. Apakah negara tersebut akan bertindak sebagaimana layaknya Negara Maju atau memperjuangkan idealisme semasa negara tersebut masih menjadi Negara Berkembang. Biarlah waktu yang menjawabnya. Sebagai contoh ketentuan angka (7) dari Code of Conduct disebutkan bahwa “Transnational corporations shall respect national sovereignty of the countries in which they operate …” mengingat aktivitas MNC yang kerap mengancam kedaulatan Negara Berkembang; Kemudian ketentuan angka (8) menentukan bahwa, “An entity of a transnational corporation is subject to the laws, regulations and established administrative practices of the country in which it operates” karena aktivitas MNC justru banyak yang tidak menghormati peraturan perundang-undangan Negara; Ketentuan angka (10) menyebutkan bahwa, “Transnational corporations should carry out their activities in conformity with the development policies, objectives and priorities set out by the Governments of the countries in which they operate … Transnational corporations should co-operate with the Governments of the countries in which they operate with a view to contributing to the development process …, thereby establishing mutually beneficial relations with this countries” mengingat kerap terjadi pemerintahan Negara Berkembang justru yang mengikuti apa yang dikehendaki oleh MNC; Ketentuan dalam angka (16) menentukan bahwa, “… transnational corporation shall not interfere in the internal affairs of host countries” karena MNC seringkali mempengaruhi jalannya pemerintahan Negara Berkembang; Bahkan ketentuan angka (17) menyebutkan bahwa, “Transnational corporations shall not interfere in intergovernmental relations…” mengingat MNC tidak segan-segan memanfaatkan negara asalnya yang notabene adalah Negara Maju untuk berhadapan dengan Negara Berkembang demi kepentingannya. 55 Sejarah yang menunjukkan hal ini lebih banyak terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia II, kecuali di negara-negara Amerika Latin. Padahal keberadaan MNC sudah lama ada, jauh sebelum Negara Berkembang memperoleh kemerdekaannya. Alasan Negara Berkembang melakukan tindakan sepihak, seperti nasionalisasi, lebih dikarenakan kondisi ekonomi mereka yang menuntut demikian. Perancang dan Negosiator Perjanjian Internasional yang Handal: Tantangan Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia 54 23 Untuk memperkuat Negara Berkembang, termasuk Indonesia, dalam mengubah wajah hukum internasional maka diperlukan perancang dan negosiator yang handal. Kelihaian para juru runding dan perancang tidak bisa lain selain dihadapi dengan kelihaian pula. Kelihaian di sini memegang peran yang penting mengingat dalam alam pikiran CLS, “Law is not, of couse uniquely the tool of the powerful. Everyone invokes the authority of law in everyday interactions, and the content of laws registers many concessions to groups struggling for change from below, as well as to the wishes of the politically and economically dominant. But to be able to wield legal discourses with facility and authority or to pay others (lawyers, legislatiors, lobbyists, etc.) to wield them on your behalf is a large part of what it means to possess power in society.”56 56 Robert W. Gordon, “Critical Legal Studies,” Dalam: John Arthur dan William H. Shaw (eds.), 177-178. 24 Oleh karenanya pendidikan hukum di Indonesia perlu dirancang untuk menghasilkan para sarjana hukum yang tidak saja paham dalam masalah teori tetapi mampu mempraktekkan pengetahuan mereka.57 Kelemahan para juru runding dan perancang perjanjian internasional dari Indonesia adalah kelihaian untuk melakukan perundingan dan perancangan itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dari luar negeri, jelas mereka jauh tertinggal. Di sinilah arti penting memotivasi dan menekankan pada para mahasiswa untuk memiliki kelihaian yang dibutuhkan. Selanjutnya, kurikulum pendidikan hukum di Indonesia harus diorientasikan untuk menghasilkan sarjana hukum yang memiliki percaya diri yang tinggi. Pengajar harus meninggalkan proses belajar mengajar dengan metode hapalan dan menggantinya dengan metode legal reasoning yang didasarkan pada penelitian. Dari pengalaman saya mengajar perancangan kontrak, sungguh sangat memprihatinkan lulusan sarjana hukum dalam menerapkan ilmunya ke dalam pembuatan kontrak. Mereka kurang mampu dalam menerapkan ilmu yang didapat dibangku kuliah, apalagi melakukan riset sebelum kontrak dibuat. Lebih lanjut saya ingin menekankan pentingnya penguasaan bahasa Inggris. Bagi para mahasiswa, bahasa Inggris merupakan suatu keharusan. Penguasaan bahasa Inggris dewasa ini tidak cukup sekedar Sebenarnya hal ini disebabkan perbedaan pendidikan hukum yang mendasar antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Di Amerika, pendidikan hukum disebut sebagai “school” karena di sana pendidikan hukum dianggap sebagai professional school. Sebagai professional school maka pendidikan ditujukan untuk melahirkan lulusan yang mahir menggunakan hukum. Persyaratan untuk masuk ke law school adalah calon mahasiswa harus memiliki ilmu yang dipelajari di universitas, seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu teknik (biasanya lulus dengan bachelor degree). Sementara di Indonesia seperti kebanyakan negara di Eropa memperlakukan pendidikan hukum sebagai ilmu sehingga yang menyelenggarakan pendidikan hukum disebut “fakultas” atau “faculty.” Lulusan fakultas hukum tidak diharuskan untuk memasuki profesi-profesi tradisional hukum. Menurut hemat saya pendidikan hukum di Indonesia sedang berada di dalam persimpangan. Apakah akan mejadi professional school atau tempat untuk mendalami ilmu hukum. 57 25 digunakan untuk membuka wawasan tetapi harus sudah berada dalam tahap digunakan untuk mengartikulasi pendapat dalam bernegosiasi dan membuat perjanjian internasional. Penguasaan bahasa Inggris yang demikian bukan hal yang mustahil. Dengan adanya kemajuan teknologi, seperti satelit dan internet para mahasiswa dapat membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Inggris layaknya native speaker. Peran universitas dan fakultas adalah memfasilitasi para mahasiswa agar diberi kesempatan dalam menggunakan bahasa Inggris yang mereka kuasai. Contohnya adalah apa yang telah dirintis oleh Fakultas Hukum UI dengan mengadakan kuliah bersama melalui video conferencing dengan University of South Carolina di Amerika Serikat. Fakultas Hukum UI juga telah merintis dan kemudian menjadikannya kegiatan tetap untuk mengirim mahasiswa ke forum-forum kompetisi peradilan semu (moot court competition) di luar negeri. Para mahasiswa sudah tiga kali berpartisipasi dalam Asia Cup di Jepang dan satu kali mengikuti Phillip Jessup Moot Court Competition di Amerika Serikat. Para Undangan yang Terhormat Sampailah saya pada penghujung pidato saya. Dalam kesempatan ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih ke berbagai pihak. Pertama tentunya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para guru sejak saya mulai menjalani taman kanak-kanak hingga ke jenjang perguruan tinggi yang telah membukakan wawasan saya terhadap berbagai hal. Terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Ibu Sri Rahayu guru Kimia saya pada waktu di SMA yang melihat potensi saya yang tidak sesuai dengan penjurusan saya namun terus mendorong saya walaupun tahu bahwa nilai yang saya dapatkan selalu jelek. Harus saya akui secara jujur bahwa pada masa menjalani SMA di Jakarta nilai yang saya peroleh pasti ‘merah’ dan bagi mereka yang mengenal saya di SMA tentunya tidak akan percaya dengan apa yang saya 26 capai hari ini. Apa yang saya alami sebenarnya merupakan kelemahan terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Pertama adalah murid terlalu cepat untuk dijuruskan (mengingat saya murid pindahan dari luar negeri). Kedua sistem pengajaran yang sangat menekankan pada pemberian materi secara sepihak oleh guru. Murid tidak dirangsang dan dimotivasi untuk menyukai pengetahuan yang diajarkan. Selanjutnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah mendorong karier saya sebagai dosen di Fakultas Hukum UI. Saya sungguh bersyukur karena selama meniti karier di Fakultas Hukum saya bertemu dengan banyak pihak yang sangat memperhatikan dan mau mengeksploitasi potensi yang saya miliki. Tanpa mereka potensi yang saya miliki hanyalah potensi. Untuk itu perkenankan saya mengenang dan mengucapkan terima kasih kepada almarhum Ibu Estiana Hermina atau yang lebih dikenal dengan Ibu Dhenok. Beliau adalah pendorong saya diawal karier sebagai pengajar. Saya belajar banyak dari Ibu Dhenok, utamanya disiplin Belandanya dalam bekerja dan melakukan pekerjaan. Saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Erman Rajagukguk yang saya biasa panggil dengan sebutan “Abang.” Pertama kali saya bertemu dengan Bang Erman adalah sewaktu beliau kembali dari belajar di Amerika Serikat pada tahun 1988. Bang Erman-lah yang tidak henti-hentinya mengingatkan untuk mengutamakan penyelesaian pendidikan akademis dalam berkarier sebagai pengajar. Sewaktu saya berada di Jepang, Abang yang satu ini sempat berkunjung dan meminta saya untuk meneruskan studi ke jenjang yang lebih tinggi, walaupun dari saya ada kekhawatiran perkuliahan di Indonesia akan terganggu. Kekhawatiran itu beliau sanggah dengan mengatakan, “fakultas hukum tidak akan runtuh dengan tidak adanya kamu.” Selanjutnya, Bang Erman pula yang mengingatkan saya agar segera menyelesaikan program S-3 saya dengan kata-kata yang selalu 27 saya ingat, “anyone can be a lawyer, but not every lawyer can be a Doctor.” Setelah akhirnya mendapatkan gelar Doktor, kembali Bang Erman memanas-manasi saya dengan mengatakan “anyone can be a Doctor, but not every Doctor can be a professor.” Bahkan ketika saya ragu dan hampir putus asa untuk dicalonkan sebagai guru besar, beliau mengatakan bahwa, “jangan pikir guru besar untuk dirimu sendiri tetapi pikir untuk institusi.” Memang benar ungkapan beliau itu, kita menjadi guru besar selain ada kebanggaan bagi diri sendiri tetapi jauh lebih penting adalah bagi institusi. Sebagai institusi, Fakultas Hukum UI akan dilihat dari berapa jumlah dosen yang berpendidikan S-2, S-3 dan jumlah pengajar dengan jabatan guru besar. Apalagi kalau kita menetapkan fakultas hukum di luar negeri sebagai saingan UI. Prof. Erman tidak saja mendorong dan memotivasi saya, tetapi lebih dari itu, beliau memberi kesempatan bagi saya untuk tampil sebagai pembicara dalam berbagai seminar, meminta saya untuk menjadi pengajar dan instruktur dalam berbagai perguruan tinggi dan lembaga pendidikan, sehingga selain kum (angka kredit) terkumpul, dapur pun mengepul. Bahkan Prof. Erman memantau karier saya secara langsung dan dekat hingga saya sampai pada mimbar yang terhormat ini. Untuk segala yang telah Abang berikan, saya tidak mungkin bisa membalas budi Abang, kecuali berjanji untuk ikut dalam ajakan Abang untuk menghasilkan ‘gihik (nama kecil saya)-gihik” baru. Perkenankanlah saya di sini mengucapkan terima kasih saya kepada Prof. Mochtar Kusuma Atmadja yang pada suatu ketika saya diberi kesempatan untuk berhubungan secara dekat dengan beliau. Beliaulah yang menasehati saya untuk mempunyai rencana hidup karena manusia hidup hanya sekali. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Rektor, Prof A. Budi Santoso yang telah membantu dan mendorong penyelesaian studi S-3 saya dan memberi kesempatan yang 28 luas kepada saya dalam berbagai hal. Demikian pula dengan para mantan rektor, Prof. Sujudi dan Prof. M.K. Tadjudin yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk melanjutkan studi S-2 di Jepang. Saya ingin menyampaikan terima kasih saya kepada Prof. Sidik Suraputra, Prof Sri Setianingsih Suwardi dan Bapak Suwardi, seniorsenior saya di bagian hukum internasional. Selanjutnya saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada para mantan dekan, Prof. Mardjono Reksodiputro, Prof. Charles Himawan, dan Prof. Girindro Pringodigdo. Kepada dekan, Bapak Abdul Bari Azed, saya tak lupa menyampaikan penghargaan saya karena telah ‘berani’ mengusulkan saya sebagai guru besar semoga saya tidak mengecewakan Bapak. Beliau-beliau sangat membantu kemajuan karier saya di fakultas. Bahkan sebagai staf Prof. Mardjono sewaktu beliau mejadi dekan, saya mendapat pengalaman untuk bekerja secara teliti dan memahami rumitnya mengelola fakultas. Beliau juga yang mengirim saya belajar ke Jepang, kata beliau ketika itu“sehingga staf kita tidak berorientasi hanya pada Amerika dan Eropa.” Sementara Prof. Charles telah banyak memberi pandangan-pandangan beliau pada saya sebagai akademisi sejati. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih saya kepada Prof. Tahir Azhary yang secara diam-diam mengikuti perkembangan saya dan memberi kesempatan bagi kemajuan karier saya di fakultas. Kepada Dr. Harkristuti Harkrisnowo, Dr. Jufrina Rizal, Mas Adijaya Yusuf, Bang Akhiar Salmi dan Adik saya Melda Kamil ucapan terima kasih saya tujukan kepada mereka. Melalui diskusi dan hubungan kakakadik, saya telah mendapat berbagai keuntungan dari mereka hingga saya bisa berada di mimbar yang terhormat ini. Demikian pula dengan senior saya yang dahulu pernah menjadi penasehat akademis saya ketika mahasiswa, Mbak Retno Murniati, dan senior yang mendorong 29 saya untuk berkarier sebagai dosen, Ibu Sri Mamudji, saya sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih. Tak lupa saya ucapkan terima kasih secara khusus kepada rekan Kurnia Toha yang mempunyai visi jangka panjang dalam mengembangkan Fakultas Hukum UI. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mendalami dunia praktek. Kepada Bapak Kaligis saya sungguh berterima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menyelami kehidupan pengacara. Kepada para senior partners Lubis, Ganie, Surowidjojo Law Firm saya juga ingin menyampaikan terima kasih, utamanya kepada Mas Arief T. Surowidjojo yang ketika saya bekerja di situ, beliau menjadi atasan langsung saya. Kelihaian dan profesionalisme beliau sebagai lawyer menjadi teladan bagi saya untuk menyelami kehidupan sebagai konsultan hukum. Selanjutnya perkenankanlah saya mengenang dan menyampaikan terima kasih kepada Bapak Parulian Sidabutar, mantan Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang telah membuka kesempatan dan memberikan kepercayaan pada saya untuk menduduki jabatan penting dalam birokrasi. Selanjutnya saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada para sahabat dekat saya. Kepada rekan saya Gatot Subagio, Mirza Karim, Hendri DS Budiono, Heri Fuad dan Ahmad Fikri Assegaf saya mengucapkan terima kasih anda atas persahabatan selama ini dan di masa yang akan datang. Terakhir saya ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga saya. Pertama tentunya kepada kedua orang tua saya, Juwana dan Siti Aisjah Juwana. Kepada Ibu yang telah melahirkan saya dan kepada ayah yang telah meyakinkan pentingnya makna pendidikan. Di suatu malam saya masih teringat akan cerita ayah saya bahwa jangan sampai putaran roda berlaku di keluarga. Anak-anak diminta untuk mempertahankan apa yang telah dicapai oleh generasi pendahulu. 20 Memang dalam keluarga yang sudah mapan, mempertahankan apa yang sudah ada lebih sulit. Apabila tidak hati-hati kemapanan cenderung mengarah pada kejatuhan. Beliau juga yang mengarahkan secara persuasif agar saya mengambil ilmu hukum sebagai ilmu yang saya geluti dan ternyata arahan tersebut tidak salah. Bahkan, beliau tidak terlalu antusias dengan keinginan saya bekerja di Departemen Luar Negeri, karena “kalau baik akan dikira karena ada Bapak di situ, tapi kalau jelek akan merusak nama Bapak.” Ternyata saran beliau benar, justru saya dengan menjadi dosen dapat mengekspresikan diri saya tanpa beban ketergantungan pada nama besar beliau. Hidup sederhana juga menjadi pelajaran yang sangat berharga. Sebagai anak seorang diplomat, bahkan duta besar, status tersebut tidak berdampak pada cara hidup anak-anaknya. Ayah selalu memantau setiap kemajuan hidup yang dicapai oleh anak-anaknya. Ia tidak pernah jemu-jemu berperan sebagai lawan diskusi. Bahkan pada saat penulisan pidato pengukuhan ini, beliau masih sempat mengatakan, “bawa sini biar saya periksa dulu,” suatu pernyataan dari seorang ayah yang tidak menghendaki kegagalan dari anaknya. Terus terang saya mendambakan prosesi ini untuk terjadi, karena bagi saya tidak ada barang di dunia ini yang mampu saya beli yang ayah saya tidak mampu membelinya. Perkenankanlah saya mempersembahkan upacara kebesaran ini untuk Ayah saya sebagai ungkapan rasa terima kasih saya. “Pak, terima kasih.” Selanjutnya, ucapan terima kasih juga ingin saya sampaikan kepada kedua mertua saya Bapak Soemarno dan Ibu Iim Halimah. Demikian pula kepada para kakek dan nenek saya. Bapak Soedjalmo yang pada usia 97 tahun menyempatkan datang ke Jakarta walaupun tidak dapat menghadiri upacara hari ini dan almarhum Ibu Suripni. Demikian pula dengan almarhum Bapak Roeslan Tjakraningrat, yang pernah menjadi Gubernur pertama untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Ibu 31 Hatimah. Sungguh saya bangga mempunyai mereka semua. Kepada istri tercinta, Nenden Esty Nurhayati, saya mengucap syukur ke hadirat illahi karena mempertemukan saya dengan dia. Saya ucapkan terima kasih atas kesabarannya dan kepercayaannya agar suaminya dapat menjalani profesi sebagai pengajar. Pengorbanan istri saya tidak hanya terbatas pada kesabaran tetapi secara nyata telah menggantikan peran saya sebagai pencari nafkah di kala saya tidak mempunyai penghasilan yang berarti karena menjalani sekolah di luar negeri. Istri saya dapat diibaratkan sebagai penambang. Pada waktu bertemu untuk pertama kali dengan saya dan kemudian melanjutkan ke jenjang pernikahan ia saya anggap telah mengambil risiko yang sangat besar. Sebagai dosen banyak gadis yang tidak melihat suatu kehidupan yang menjanjikan. Sekarang saya telah membuktikan padanya bahwa risiko yang diambil ternyata tidak sia-sia. Demikian juga kepada anakanakku, Ogi Pratama Juwana, Tannia Meisa Juwana dan Afira Diara Juwana, Papa sangat berterima kasih atas pengertian kalian karena waktu kalian sering Papa ambil untuk mengajar, menulis dan melakukan penelitian. Pernah Ogi, si sulung, pada usia 3 tahun bertanya pada saya, “Papa ngapain kok sibuk banget?” Jawaban saya ketika itu “Mencari uang.” Lalu ia jawab, “Memangnya hilang dimana Pa?” seolah ingin ikut membantu mencarikan karena tidak rela ditinggal ayahnya. Kepada anak-anakku Papa dan Mama tentunya berharap kalian bertiga dapat menjadi anak-anak yang saleh, taat pada agama dan berguna bagi bangsa dan negara. Semoga papa dan mama berhasil mendidik kalian seperti Grandpa dan Meme. Para Hadirin sekalian Akhirul kata, tidak lupa saya mengucapkan beribu terima kasih atas kehadiran para hadirin sekalian dalam prosesi ini. Apa yang saya capai di sini bukanlan life time achievement bagi saya. Saya harus 32 membuktikan pada para hadirin dan masyarakat luas bahwa saya mampu mengemban jabatan mulia ini dengan terus mengajar, meneliti dan menghasilkan karya-karya ilmiah saya. Untuk itu saya mohon do’a dan restu para hadirin sekalian. Wabillahi al-Taufiq wal-Hidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh DAFTAR PUSTAKA I. Buku dan Jurnal Arthur, John dan William H. Shaw (eds.), Reading in the Philosophy of Law, 2nd ed. (New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1984). Bulajic, Milan, Principles of International Development Law, 2nd ed. (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1992). Allot, Philip, Theory and International Law: An Introduction (London: The British Institute of International and Comperative Law). Cassese, Antonio, International Law in a Divided World (Oxford: Oxford University Press, 1986). Chand, Hari, Modern Jurisprudence (Kuala Lumpur: International Law Book Series, 1994). Chen, Lung-Chu, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, 2nd.ed. (New Haven: Yale University Press, 2000). Churchill, R.R. dan AV Lowe, The Law of the Sea, 3rd ed. (Manchester: Manchester University Press, 1999). Davies, Howard dan David Holdcroft, Jurisprudence: Texts and Commentary (London: Butterworth & Co., 1991). 33 34 Dell, Sidney, The United Nations and International Business (Durham: Duke University Press, 1990). Shaw, MN, International Law, 3rd ed. (Cambridge: Grotius Publications Ltd., 1991). Gill, Stephen dan David Law, The Global Political Economy: Perspectives, Problems, and Policies (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1988). Snyder, Frederick E. dan Surakiart Sathiratai (eds.), Third World Attitudes Toward International Law—An Introduction, (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 1987). Henkin, Louis et. al., International Law: Cases and Materials, 3rd ed. (Minnesota: West Publishing Co., 1993). Sornarajah, M., The International Law on Foreign Investment (Cambridge: Cambridge University Press, 1994). ____________, International Law: Politics and Values (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1995). Starke, JG, Introduction to International Law, 11th ed. (dipersiapkan oleh IA Shearer), (London: Butterworth & Co. Ltd., 1994). Houtte, Hans van, The Law of International Trade (London: Sweet & Maxwell, 1995). Trebilcock, Michael J. dan Robert Howse, The Regulation of International Trade, 2nd ed., (New York: Routledge, 1999). John Jackson, The World Trading System and the Policy of International Economic Relations (Cambridge: The MIT Press, 1991). Verzijl, JH, International Law in Historical Perspective (Leyden: Sijthoff, 1968). Levi, Werner, Contemporary International Law, 2nd ed. (Boulder: Westview Press, 1991). Wallace, Rebecca MM, International Law, 2nd ed. (London: Sweet & Maxwell, 1992). Mander, Jerry dan Edward Goldsmith, The Case Against the Global Economy and for a Turn Toward the Local (New York: Sierra Club Books, 1996). White, N.D., The Law of International Organisations, (Manchester: Manchester University Press, 1996). Muchilinski, Peter, Multinational Enterprises and the Law, (Oxford: Blackwell Publishers Ltd., 1995). Nussbaum, Arthur, A Concise History of the Law of Nations, edisi revisi (New York: The MacMillan Co., 1958). 35 Williams, Sylvia Maureen, “The Law of Outer Space and Natural Resources,” 36 International and Comparative Law Quarterly, (1987). Yusuf, Abdulqawi, Legal Aspects of Trade Preferences for Develop36 ing States: A Study in the Influence of Development Needs on the Evolution of International Law (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1982). Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs) Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods Bahan Internet “Doha Ministerial Meeting 2001: Trade and Labour Standards—A Difficult Issue for many WTO Governments” http://www-svca.wtoministerial.org/english/thewto_e/minist_e/min01_e/brief16_e.html “Doha Ministerial Meeting 2001: Transparency in Government Procurement,” http://www-scva.wto-ministerial.org/English/thewto_e/ minist_e/min01/brief14_htm “Doha Ministerial Meeting 2001: Trade and Services,” http://wwwscva.wto-ministerial.org/English/thewto_e/minist_e/min01/ brief106_htm “Doha Ministerial Meeting 2001: Transparency in Government Procurement,” http://www-scva.wto-ministerial.org/English/thewto_e/ minist_e/min01/brief14_htm Agreement for Protection of Appellations of Origin and their International Registration Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies. Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency, dan Agreement on Trade Related Investment Measures Convention for the Protection of Industrial Property, Agreement concerning International Registration of Marks Convention concerning International Deposit of Industrial Designs Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States General Agreement on Tariffs and Trade United Nations Convention on the Law of the Sea “Special and Differential Treatment,” http://www.wto.org/english/ thewto_e/whatis_e/eol/e/wto01/wto01/wto1_17.htm Charter of Economic Rights and Duties terdapat dalam Resolusi Majelis Umum PBB A/3281 (XXIX) tertanggal 12 Desember 1976 Declaration of Principles Governing the Sea Bed and Ocean Floor, and the Subsoil Thereof, beyond the Limits of National Jurisdiction, Resolusi Majelis Umum PBB No. 2749 Dokumen Agreement Establishing the World Trade Organisation UN-Draft Code of Conduct on Transnational Corporations dalam UN Doc. E/1988/39/Add. 1 tertanggal 1 Februari 1988. Agreement on Agriculture 37 38 c. RIWAYAT HIDUP I. Data Pribadi Nama : Tempat dan Tangal Lahir: Nomor Induk Pegawai : Jabatan : Pangkat : Golongan : Istri : Anak : Alamat : SMA • Hillcrest High School, New York (1980-1981). • SMA VI, Jakarta (1981-1983). 2. Pendidikan Tinggi a. Sarjana Hukum (SH) dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1983-1987). b. Master of Law (LL.M) dari Keio University, Jepang (1990-1992). c. Mengikuti satu semester pada Program Pascasarjana S-3 Universitas Indonesia (1992). d. Doctor of Philosophy (Ph.D) dari University of Nottingham, Inggris (1993-1997). e. Mengikuti satu semester dari tiga Semester Master in Public Policy pada National University of Singapore, Singapura (1998). Hikmahanto Juwana Jakarta, 23 November 1965 131 796 086 Guru Besar Fakultas Hukum UI Penata Tingkat I III/d Nenden H. Juwana 1. Ogi Pratama Juwana 2. Tannia Meisa Juwana 3. Afira Diara Juwana Perumahan Graha Mutiara Blok I No. 7 Pengasinan, Bekasi Timur (17115) 3. Pendidikan Tambahan a. Pendidikan Bahasa Jepang pada International Center, Keio University, Jepang (April 1989-April 1990). b. Pendidikan dan Pelatihan bagi Profesi Penunjang untuk Konsultan Hukum Pasar Modal Angkatan V (Juni 1996). c. Pelatihan “Legislative Drafting” yang diselenggarakan oleh International Legislative Institute, The Public Law Center, New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat, Juni 2000. d. Workshop on Competition Law yang diselenggarakan oleh USAID, Juni 1998. e. Workshop on Competition Law and Policy: Cross Country Approaches and Experiences yang diselenggarakan oleh World Bank Institute dan Singapore Cooperation Programme, Ministry of Foreign Affairs, Singapore di Singapura 14-20 Mei 2000. II. Latar Belakang Pendidikan 1. Pendidikan Dasar dan Menengah a. SD • Sekolah Indonesia di Phnom Penh, Kamboja (19711973). • Sekolah Indonesia di Bangkok, Thailand (1973-1974). • SD Katholik Krida Dharma, Blora, Jawa Tengah (1974-1975). • SD Tegal Parang Pagi, Jakarta (1975-1976). b. SMP • Sekolah Indonesia Singapura, Singapura (1976-1978). • Russel Sage Junior High School, New York (19781980). 39 40 III. Pengalaman Kerja • Akademis 1. Jenjang S-1 • • • • • • Pengajar pada Fakultas Hukum UI untuk mata kuliah (a) Hukum Internasional dan (b) Hukum Udara dan Angkasa dengan jenjang jabatan sebagai berikut: a. Asisten Ahli (1988-1992) b. Asisten Ahli Madya (1992-1994) c. Lektor Muda (1996-1998) d. Lektor (loncat jabatan) (1998- 2001) e. Lektor Kepala (inpassing) (1 Januari 2001) f. Guru Besar (loncat jabatan) (Juli 2001- ) Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI untuk mata kuliah Hukum Internasional. Ko-Pengajar dengan Prof. David Linnan dalam kuliah bersama melalui video conference pada University of South Carolina Law School, Amerika Serikat untuk mata kuliah Public International Law. Pengajar pada Akademi Ilmu Imigrasi untuk mata kuliah Hukum Internasional. Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Moestopo untuk mata kuliah Hukum Internasional. • • • • Program Non-Ilmu Hukum • Pengajar pada Program Studi Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah Hukum Bisnis dan Hukum Perdagangan Internasional. • Pengajar pada Program Studi Ilmu Teknik Program Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah (a) Hukum dalam Manajemen Proyek dan (b) Hukum Konstruksi dan Hukum Kontrak. • Pengajar pada Program Studi MM Program Pascasarjana untuk Universitas Bina Nusantara untuk mata kuliah Legal Environment dan Corporation Law. 2. Jenjang S-2 Program Ilmu Hukum • Pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI untuk mata kuliah (a) Teori Hukum, (b) Hukum Perdagangan Internasional dan (c) Perancangan Kontrak Bisnis. 41 Pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (Kelas Khusus Departemen Kehakiman) untuk mata kuliah Perbandingan Hukum Acara Arbitrase Internasional (UNCITRAL, ICC, AAA, LCIA Rules). Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jayabaya untuk mata kuliah (a) Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi (sampai dengan 2000) dan (b) Hukum Dagang Internasional. Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia untuk mata kuliah Hukum Perdagangan Internasional. Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Surabaya untuk mata kuliah Kontrak Bisnis Internasional. Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Pancasila untuk mata kuliah Teori Hukum. Pembimbing dan Penguji pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 42 3. Jenjang S-3 • • • 5. Anggota Dewan Redaksi Majalah Hukum dan Pembangunan (1992-2000). 6. Konsultan Hukum pada Law Firm Lubis, Ganie, Surowidjojo (Oktober 1994-Januari 1997). 7. Pembantu Asisten (eselon II/a) urusan Hak Atas Kekayaan Intelektual pada Asisten Menko Ekuin III, Kantor Menko Ekuin (16 Agustus 1999-Juli 2000). 8. Staf Ahli Menteri (eselon I/b) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Bidang Hukum dan Kelembagaan (Juli 2000- Februari 2001). 9. Ketua Program Kekhususan Pascasarjana Fakultas Hukum UI (2001-sekarang). 10. Wakil Ketua Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi (1999sekarang). 11. Ketua Partnership for Business Competition (PBC) (1999-sekarang). 12. Anggota Dewan Pakar Departemen Kehakiman (2001sekarang). Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah Teori Hukum pada Program Pascasarjana S-3 Universitas Indonesia. Ko-promotor dan penguji pada Program S-3 Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Salah satu Pengajar untuk mata kuliah Teori Hukum pada Program Pascasarjana S-3 Universitas Islam Indonesia. 4. Pendidikan Lanjutan/Pelatihan • • Instruktur untuk Perancangan Kontrak (Contract Drafting) pada berbagai lembaga pendidikan lanjutan di lingkungan universitas maupun lembaga pendidikan swasta. Narasumber Hukum Persaingan pada berbagai lembaga yang terkait dengan hukum persaingan. III. Penguasaan Bahasa Asing 1. Inggris 2. Jepang Non-Akademis 1. 2. 3. 4. Asisten Pengacara pada Kantor Pengacara OC Kaligis, SH & Associates (1986-1987). Staf pada Sekretariat Pimpinan Fakultas Hukum UI (19871988). Guru SMP dan SMA (paruh waktu) pada Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) (1991-1992). Staf Peneliti pada Pusat Studi Wawasan Nusantara (Mei 1992-September 1993). 43 IV. Tulisan yang Dipublikasikan Dalam Bentuk Buku 1. “The Liberalization of Foreign Trade and Investment, and the Competition Law and Policy in Indonesia,” dalam Competition Law and Policy in Indonesia and Japan, Joint Research Project on Supporting Economic Structural Reforms in Asian 44 Countries, Institute of Developing Economies Japan External Trade Organization, Maret 2001. 2. “A Survey on the Influence of International Economic Policy on Indonesian Laws: Implementation and Problems,” dalam Naoyuki Sakumoto dan Koesnadi Hardjasomantri (ed.) Current Development of Laws in Indonesia, Institute of Developing Economies Japan External Trade Organization, 1999. 3. “An Overview of Indonesia’s Antimonopoly Law” dalam Jurnal Hukum Washington University at St. Louis, Amerika Serikat (segera terbit). 4. “Foreign Intervention” dalam Jurnal Hukum Transnational Law and Business University, Korea (segera terbit). Jurnal/Majalah Nasional 3. “Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia,” editor bersama Ayudha D. Prayoga, Hamid Chalid, Laode Syarif, Syarifuddin dan Ningrum Natasya Sirait, 2000. 1. “Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Pembentukan Hukum Angkasa,” dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 5 Tahun XVIII, Oktober 1988. 4. “Pertahanan Negara dalam Perspektif Hukum Internasional” diterbitkan oleh Badan Penerbit Fakultas Hukum UI (segera terbit). 2. “Masalah Penafsiran terhadap Pasal 9 Konstitusi Jepang,” dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 3 Tahun XXII, Juni 1992. 3. “Tinjauan Hukum Organisasi Internasional terhadap Perbedaan Status Subsidiary Organs dan Specialized Agencies Perserikatan Bangsa-Bangsa,” Majalah Pro Justitia, Tahun X Nomor 4, Oktober 1992. 4. “Studi Awal tentang Perjanjian Internasional yang Bertentangan,” dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 6 Tahun XXII, Desember 1992. 5. “Perilaku Pengusaha Jepang terhadap Hukum,” dimuat dalam Majalah Newsletter, No. 11/III, Desember 1992. 6. “Perluasan Ruang Lingkup Hukum Angkasa,” dimuat dalam Majalah UNISA, Nomor 18, Tahun XIII Triwulan 3, 1993. Dalam Bentuk Jurnal/Majalah/Koran Jurnal Internasional 1. 2. “Japan’s Defence Conception and Its Implication for Southeast Asia,” dimuat dalam majalah The Indonesian Quarterly, Vol. XXI. No. 4, Fourth Quarter, Centre for Strategic and International Studies, 1993. “Intelectual Property Protection in Asia,” bersama Asti Soekanto dimuat dalam Asia Business Law Review, No. 10, Oktober 1995. 45 46 7. 8. 9. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur,” dimuat dalam Majalah Mimbar Hukum, No. 34/II/2000. “Dampak dari Konflik Perdagangan antara Amerika Serikat dan Jepang terhadap Tatanan Perdagangan Internasional: Analisa Hukum Berdasarkan Kesepakatan GATT/WTO,” dimuat dalam Majalah Newsletter, No. 22/VI, September 1995. 15. “Kontrak Bisnis yang berdimensi Publik,” dimuat dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 2 No. 1, Februari 2000. “Masalah Status BUMN pada Persero yang telah ‘Go Public’,” dimuat dalam Majalah Newsletter, Nomor 31/Tahun VIII, Desember 1997. 16. “Hukum Telematika dan Perkembangan E-Commerce di Indonesia,” dimuat dalam Majalah Newsletter, No. 44, Maret 2001. “Analisa Ekonomi atas Hukum Perbankan,” dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 1-3 Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998. Majalah Populer/Koran 1. “Masyarakat Jepang Tak Perlu Hukum?” dimuat dalam Majalah Forum Keadilan, Nomor 28, Maret 1991. 2. “Renungan terhadap Eksistensi Hukum Kita,” dimuat dalam Koran Media Indonesia, 24 Juni 1992. 3. “Eksklusivitas vs Persaingan dalam UU Telekomunikasi,” dimuat dalam Majalah dotNET, Edisi 2, 25 Juli – 7 Agustus 2000. 4. “Memorandum of Understanding,” dimuat dalam Majalah Forum Keadilan, No. 38, 24 Desember 2000. 13. “Merjer, Konsolidasi dan Akuisisi dalam Perspektif Hukum Persaingan dan UU No. 5 Tahun 1999,” dimuat dalam Majalah Newsletter, No. 38/X, September 1999. 5. “Menolak Peradilan Internasional,” dimuat dalam Majalah GARDA, No. 47/Th. II, 24-30 Januari 2000. 14. “Beberapa Masalah Hukum Internasional dari Dugaan 6. “Intervensi Pihak Asing,” dimuat dalam Harian Suara Pembaharuan, 8 Maret 2000. 10. “Sekilas tentang Hukum Persaingan dan Undang-undang No. 5/1999,” dimuat dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 1 No. 1, September 1999. 11. “Mahkamah Pidana Internasional,” dimuat dalam Jurnal Hukum, Nomor 11 Vol. 6/1999. 12. “Menyambut Berlakunya UU No. 5 Tahun 1999: Beberapa Harapan dalam Penerapannya oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha,” dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 4 Tahun XXXIX, Oktober-Desember 1999. 47 48 7. “Peradilan Nasional bagi Pelaku Kejahatan Internasional,” dimuat dalam Harian Kompas, 17 Februari 2000. 8. “Urgensi Pengaturan Arbitrase dalam UU Pasar Modal” dimuat dalam Jurnal Hukum Bisnis, vol. 15, September 2001. 9. “Aspek Penting Pembentukan Hukum Teknologi Informasi,” dimuat dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 17, November 2001. 4. Economic Legal Infrastructure and Corporate Governance: The Indonesian Experience, disampaikan pada Symposium on Corporate Governance and Economic Legal Infrastructure in the 21st Century: Is Corporate Governance Delivering Value?, yang diselenggarakan oleh Jetro dan Insead, di Singapura, 12 Juni 2001. 5. An Overview of Indonesia’s Antimonopoly Law, yang diselenggarakan oleh APEC Competition Policy and Economic Development bekerjasama dengan Center for Global Partnership dan the Institute of Comparative Law in Japan, Chuo University di Tokyo, Jepang 5-7 Juli 2001. 6. International Law Teaching in Indonesia, disampaikan pada Conference on the Teaching & Research of International Law in Asia, diselenggarakan oleh Singapore International Law Society dan Development of International Law in Asia, di Singapura, 30-31 Juli 2001. 7. The Legal Infrastructure for Trade and Investment in Indonesia, disampaikan pada ASEAN International Law Conference, yang diselenggarakan oleh Asia-Europe Institute, University of Malaya di Kuala Lumpur, Malaysia, 3-4 September 2001. V. Pertemuan Ilmiah (selaku pembicara) Internasional 1. The Ideal Philosophy of Education in Indonesia and The Present Situation, disampaikan pada The Asia-Pacific Education Conference, yang diselenggarakan The Asia-Pacific Educational Conference, Tokyo, 7 Agustus 1991. 2. 3. The UN Peacekeeping Operations Experience from Indonesia, disampaikan pada Seminar on Legal Aspect of Peacekeeping Operations, yang diselenggarakan oleh The Japan Institute of International Affairs, 20-22 Februari 1996. Developing Business Curricula at the Faculty of Law: The Indonesian Experience, disampaikan pada Cambodia Law and Business Curriculum Conference, yang diselenggarakan oleh The University of San Francisco Law School, Cambodian Law and Democracy Project, The Public Affairs Office: U.S. Embassy, The National Institute of Management of Cambodia and The Faculty of Law and Economics of Cambodia, di Phnom Penh 15-17 Desember 1999. 49 Ilmiah Nasional (sebagian) 1. 50 Distributionship and Intellectual Property Rights Consideration in Investing in Indonesia, disampaikan pada Seminar on Joint Ventures in Indonesia, diselenggarakan oleh Center for Management Technology, 3 Maret 1997. 2. Pemikiran Jepang tentang Pertahanan dan Implikasinya bagi Asia Tenggara, disampaikan pada Seminar Sehari mengenai Peningkatan Pembelian Senjata, ZOPFAN dan Stabilitas Politik di Asia Tenggara, diselenggarakan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri, 13 April 1993. 3. Perlunya Undang-undang Antimonopoli: Agenda Mendesak untuk Tatanan Masa Depan Indonesia, disampaikan pada Simposium Universitas Indonesia dengan tema “Kepedulian Universitas Indonesia terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia,” diselenggarakan oleh Universitas Indonesia, 1 April 1998. 4. Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan, disampaikan pada Seminar Nasional “Pendekatan Ekonomi Dalam Pengembangan Sistem Hukum Nasional dalam rangka Globalisasi”, diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 30 April 1998. 51