Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 148-160 ISSN 2302-5719 Vol II, Nomor 2 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi BUDI HARTANTO Alumnus STF Driyarkara, Jakarta Surel: [email protected] Diterima: 24 Oktober 2014 Disetujui: 21 Januari 2015 ABSTRACT Philosophy of technology begins with ontological criticism of technology. Existentialism philosophers such as Martin Heidegger, Gabriel Marcel, and Hans Jonas put forth ideas that technology will change the nature of human being. The relevance of cyborg discourse is related to the idea of how technology affects human freedom and authenticity. In order to understand the existence of cyborg is not primarily from its hybrid condition or when technology embedded in human body. The reality of cyborg is constructed through phenomenological relations of human-technology. Human-technology relations here is desribed based on Don Ihde’s phenomenology of instrumentation. I divide two main relations concerning the ontology of cyborg, technology that integrated to human body (embodiment and hermeneutics relations) and human body that integrated to technology (alterity and background relations). I compare cyborg with AI (Artificial Intelligence). AI studies discourse of how consciousness is made in the form of computer program. In the discourse of AI, machinic consciousness is possible limited to language that is understood in its syntax as explained in John Searle’s philosophy. I will end this writing with discussion about the relevance of technological (or cyborg) world. Existentialist thinkers would mostly say that it is not a human ideal condition. In reality, it is the condition of possibility of world as system and lifeworld itself. Keywords: Existence, Cyborg, AI, Phenomenology, Ethics, Technology Pendahuluan Perkembangan teknologi terbaru menciptakan situasi etis yang relevan untuk direfleksikan. Hal ini menjadi nyata terutama ketika dampak yang dihasilkannya tidak hanya pada lingkungan dan kehidupan sosial, melainkan juga terhadap keotentikan dan eksistensi manusia di Bumi. Teknologi memang membawa kemudahan, tetapi pada saat yang sama juga membawa persoalan. Filsafat teknologi menjadi tren diskursus filsafat kontemporer bermula dari 02-Budi.indd 148 pandangan teknologi sebagai entitas nonnetral yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Teknologi menjadi non-netral tentunya karena ia berada dalam relasi dengan manusia. Tanpa adanya relasi ini, teknologi menjadi objek belaka yang tidak bernilai etis. Dalam tulisan ini, saya akan menelaah isu tentang cyborg dari perspektif eksistensialisme (telaah yang didasarkan pada pemikiran Martin Heidegger, Hans Jonas, dan Gabriel Marcel tentang teknologi) dan 4/16/2015 6:19:05 AM Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi budi hartanto 149 garuh tidak hanya pada manusia sebagai tubuh, tetapi yang utama adalah manusia sebagai ‘eksistensi’. Teknologi membentuk suatu ontologi yang diantisipasi oleh filsuf-filsuf ekstensialisme. Ontologi tersebut pada awalnya diterangkan sebagai sebuah materialisme yang mereduksi manusia sebagai benda-benda tidak berjiwa. Inilah yang menstimulasi munculnya kritik eksistensialisme (Driyarkara, 1989: 55-57). Dalam filsafat Heidegger, dijelaskan bahwa teknologi memungkinkan membawa manusia pada suatu kondisi determinisme. Ia berpengaruh secara ontologis pada bagaimana manusia menjalani hidupnya di dunia. Teknologi menurutnya memiliki esensi pada pembingkaian (enframing) yang mengondisikan dunia kehidupan yang terus bergerak untuk menyingkap kebaruan. Selain itu, enframing dalam konteks mode of ordering telah membawa manusia pada kondisi ketika ia, pada suatu saat, tidak lagi bisa berada dalam kondisi alamiahnya (Heidegger, 1977: 20). Esensi teknologi sebagai penyingkapan realitas teknologis didefinisikan Heidegger dengan moda kebenaran. “Technology is therefore no mere means. Technology is a way of revealing. If we give heed to this, then another whole realm for the essence of technology will open itself up to us. It is the realm of revealing, i.e., of truth.” (Heidegger, 1977: 12). Definisi Heideggerian di atas memberi pemahaman bahwa Eksistensialisme dan Kritik Teknologi teknologi menjadi bagian dari cara mengaMembaca filsafat teknologi pada mulanya danya manusia atau mengaktualisasikan adalah membaca kritik eksistensialisme dirinya di dunia. Eksistensi yang terkondisikan oleh terhadap teknologi. Para filsuf eksistensiakebaruan teknologi menjadi ciri filsafat lis seperti Martin Heidegger, Hans Jonas, dan Gabriel Marcel memberi komentar teknologi Heidegger. Teknologi menjadi tentang kemajuan teknologi yang menjadi berbahaya bukan pada potensinya yang ciri modernitas. Perkembangan teknologi, merusak, seperti persenjataaan dan limbah dalam pandangan mereka, telah mendis- industri, tapi ketika penyingkapan realitas torsi nilai kemanusiaan. Refleksi para fil- justru membawa pada situasi yang tidak suf ekstensialisme memberi tilikan bahwa terpikirkan. Terciptanya teknologi menteknologi menjadi kekuatan yang berpen- jadi kekuatan yang mengatasi kebebasan. fenomenologi instrumentasi (didasarkan pada pemikiran Don Ihde). Dalam filsafat eksistensialisme, akan dijelaskan bagaimana relasi manusia dengan teknologi berpengaruh terhadap keotentikan dan kebebasan eksistensialnya. Menjadi cyborg dapat membawa pada suatu keadaan krisis eksistensial. Sedangkan dari perspektif fenomenologi instrumentasi, pembahasan difokuskan pada relasi empiris antara tubuh, instrumen, dan artefak teknologi lainnya. Selain itu, penulis juga berikhtiar untuk mendedah persoalan eksistensi kesadaran mesin (AI). Bila dalam eksistensialisme, keotentikan eksistensial atau kesadaran manusia tereduksi sampai kemudian menjadi terasing, maka, dalam AI, ia dapat berekstensi ke dalam sebuah mesin. Kita merancangnya melalui program komputer berdasarkan logika bahasa mesin yang kemudian termanifestasikan dalam bahasa lisan atau tulisan. AI menjadi problematis terutama ditinjau dari kritik John Searle, ahli filsafat kesadaran, yang meyakini bahwasanya AI hanya memahami bahasa sebatas bentuknya. Dengan alasan ini, kesadaran mesin tidak benar-benar memahami sebuah bahasa. Pada bagian akhir akan dibahas problem etis dan relevansi dunia teknologis. 02-Budi.indd 149 4/16/2015 6:19:05 AM 150 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi “What is dangerous is not technology. There is no demonry of technology, but rather there is the mystery of its essence” (Heidegger, 1977: 28). Heidegger berpandangan pesimis mengenai perkembangan teknologi yang bergerak seturut dengan esensinya, yang pada gilirannya membawa pada suatu keadaan ketika teknologi mendeterminasi kehidupan manusia. Teknologi menjadi entitas non-netral yang mendeterminasi tidak hanya soal bagaimana kita menjalani hidup, melainkan juga berpotensi merenggut kebebasan dan keotentikan manusia. Heidegger melihat bahaya teknologi dari perspektif esensinya yang bersifat universal yang berkarakter ‘selalu membawa kebaruan yang merupakan takdir dari peradaban’. Kita tidak bisa mencegah perkembangan teknologi dalam arti enframing ini. Filsafat Heidegger menjelaskan bahwa enframing telah mencipta situasi yang di dalamnya kekuatan teknologi relevan untuk diantisipasi keberadaannya. Seperti halnya Heidegger, Hans Jonas turut menyatakan bahwa teknologi telah menciptakan persoalan etis yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Fenomena kemajuan teknologi membuat esensi manusia berjarak dengan alam yang kemudian mendistorsi kealamiahan manusia. Distorsi ini pertama-tama dapat dipahami sebagai sebuah peralihan menuju esensi manusia yang merupakan bagian dari teknologi. Menurut Jonas, kondisi etis ini tidak terelakkan, sehingga mengharuskan kita untuk mengambil sikap bertanggung jawab terhadap alam. Sikap bertanggung jawab terhadap alam, dalam bentuk antisipasi dan menidak terhadap teknologi, dalam etika Jonas diperoleh melalui heuristic of fear, yaitu dengan melihat dampak negatif yang dihasilkannya terhadap kehidupan (Ihde, 1979: 134). Ini menjadi sikap 02-Budi.indd 150 Vol II, 2014 etis Hans Jonas untuk mengatasi distorsi teknologi terhadap diri manusia. Distorsi terhadap esensi, dalam filsafat Jonas, tentunya juga membawa pada distorsi eksistensi. Ketika teknologi membuat manusia berada pada situasi berjarak dengan alam, maka terbentuklah eksistensi atau konsepsi diri yang berbeda dibandingkan ketika ia berada dalam kondisi alamiahnya (Ihde, 1979: 138). Meski Jonas lebih membahas pengaruh teknologi terhadap lingkungan, pemikirannya mengantisipasi situasi cyborg. Pada titik ultimnya, teknologi tidak hanya merusak, tapi juga bergerak menuju keadaan singularitas yang pada akhirnya menghilangkan jati diri manusia. Maka pengandaian Jonas adalah bahwa teknologi berpengaruh terhadap tubuh manusia menuju suatu keadaan keterasingan, yaitu dari tubuh yang alami, kemudian menjadi cyborg yang bersifat hibrid dan relasional, sampai akhirnya sepenuhnya menjadi mesin. Tidak berbeda dengan Heidegger dan Jonas, dalam filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, keotentikan tidak bisa diraih dengan hidup secara teknologis. Bahkan menurutnya teknologi mereduksi nilainilai spiritual atau kesakralan dalam diri manusia (Gendreau, 1998). Mengenai persoalan keotentikan eksistensi ini,dapat kita telaah dari pemikirannya mengenai relasi eksistensialistis kepemilikan tubuh. Pernyataan filosofis ‘Aku memiliki tubuhku’ dalam filsafat Marcel menjelaskan tentang misteri keberadaan manusia di Bumi sebagai eksistensi (Marcel, 1949: 45). Eksistensi manusia menjadi filosofis ketika kita menjumpai misteri pada pernyataan ‘Aku memiliki tubuhku’, yaitu persis ketika kita merasakan sensasi pada tubuh kita. Di satu sisi pernyataan ‘Aku memiliki tubuhku’ mengandaikan Aku sebagai entitas yang terpisah, tetapi di sisi lain ketika tubuh merasakan sensasi diketahui adanya 4/16/2015 6:19:05 AM Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi kesatuan antara Aku dan tubuh. Eksistensi dalam filsafat eksistensialisme Marcel adalah ketika ia menemukan ambiguitas pada pernyataan ‘Aku memiliki tubuhku’. Inilah yang mengonstruksi kedirian atau keberadaan Aku sebagai suatu eksistensi. Ada (being) dan memiliki (having) dalam filsafat Marcel memberikan tilikan tentang asal-usul kesadaran eksistensial manusia. Pernyataan bahwa ‘Aku memiliki tubuhku’ mengungkapkan eksistensi yang melampaui materialitas tubuh. “Aku” menjadi entitas yang tidak dapat diterangkan, tetapi eksistensinya tetap dikatakan nyata sebagai entitas yang memiliki tubuh. Perkataan “memiliki tubuh”, menurut Marcel, dapat disamakan dengan memiliki benda-benda atau teknologi, contohnya: piano, gergaji dan pisau cukur. Kata ‘memiliki’ di sini bermakna sama dengan ‘memiliki tubuh’. Meskipun demikian, kita menjumpai kesulitan untuk memahami misteri kedirian dalam kepemilikan ini. Memiliki teknologi mengandaikan keterpisahan dengan tubuh, sedangkan ‘memiliki tubuh’ membentuk suatu gagasan filosofis tentang adanya ambiguitas pada pernyataan “Aku memiliki tubuhku” (Marcel, 1949: 14). Karena itu relasi kepemilikan teknologi tidak bisa menjadi otentik secara eksistensial dibandingkan dengan relasi kepemilikan tubuh. Walaupun Marcel membedakan secara esensial antara eksistensi dengan relasi kepemilikan tubuh, tetapi keduanya samasama dapat dikategorikan sebagai medium untuk memperoleh pengetahuan. Ketika manusia menggunakan artefak teknologi, secara pragmatis tercipta suatu ontologi kepemilikan. Ponsel pintar (smartphone) yang kita miliki mengonstruksi konsep kedirian (atau subjektivitas) yang selalu berada dalam relasi. Aku, tubuh, dan ponsel pintar menjadi kesatuan ontologis yang berciri relasional. Kesadaran eksistensial cyborg dapat dikategorikan berada dalam 02-Budi.indd 151 budi hartanto 151 kesatuan relasional ini. Hanya saja keterpisahan relasional dalam kepemilikan ponsel pintar membuatnya tidak otentik, sebagaimana kepemilikan tubuh. Relasi ini menurut Marcel tidak bisa membentuk subjektivitas eksistensial sebagaimana kepemilikan tubuh. Bahkan Marcel menjelaskan bahwa ia hanya mendistorsi keotentikan eksistensi. Seiring dengan perkembangan teknologi, tentu saja relasi eksistensial kepemilikan teknologi dapat kita pertimbangkan relevansinya (atau keotentikannya). Banyak teknologi yang terintegrasi dengan tubuh mengondisikan manusia sebagai cyborg. Dalam dunia medis, kita ketahui bagaimana organ-organ tubuh dapat tergantikan. Transparansi atau kesatuan tubuh dalam relasinya dengan teknologi menjadikan eksistensi dalam arti tertentu bisa sama otentiknya. Eksistensialisme versi Heidegger, Jonas, Marcel seperti telah dijelaskan di atas sama-sama mengafirmasi bahwa teknologi memang berpengaruh terhadap eksistensi manusia. Mereka juga mengantisipasi agar teknologi tidak menguasai kebebasan. Argumen eksistensialisme sudah menegaskan pengaruh teknologi secara empiris terhadap dunia kehidupan. Marcel, misalnya, melihat bahaya teknologi terhadap masyarakat, sementara Heidegger mengantisipasi kebaruan teknologi, dan Jonas melihat bahaya teknologi terhadap lingkungan. Namun, pembahasan mereka lebih dalam perspektif filsafatnya yang khas yaitu pengaruh teknologi terhadap eksistensi. Fenomenologi Cyborg Relasi manusia-teknologi tentu tidak semata bersifat abstrak dan universal seperti diuraikan dalam filsafat eksistensialisme. Bila ditelaah secara fenomenologis, relasi manusia-teknologi tersebut berada dalam 4/16/2015 6:19:05 AM 152 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi kategori relasi-relasi yang bersifat partikular. Don Ihde, seorang filsuf teknologi, menjelaskan hal ini dalam fenomenologi instrumentasi (Ihde, 1979). Fenomenologi instrumentasi membahas lebih spesifik dan empiris ihwal relasi-relasi manusia dengan mesin. Pemikiran Ihde membawa pada pemahaman tentang manusia sebagai cyborg yang terkonstruksi berdasarkan relasi-relasi fenomenologis manusia-teknologi. Intensionalitas yang tertuju pada dunia termediasikan atau berada dalam relasi dengan teknologi. Cyborg adalah makhluk hibrida organisme dan artefak teknologi yang biasanya memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan tubuh alami. Cyborg merupakan wujud fenomena berekstensinya persepsi inderawi dan pengetahuan dengan mediasi teknologi. Meskipun direka-bayangkan sebagai makhluk superior setengah mesin, dalam kenyataannya kondisi ini merupakan kompensasi dari kekurangan-kekurangan yang ada pada tubuh atau suatu kondisi cacat. Penggunaan instrumen teknologis yang terintegrasi dengan tubuh dalam arti tertentu bukan merupakan pilihan bebas manusia. Kendati demikian, dalam tulisan ini cyborg dibahas dalam makna generiknya yaitu amplifikasi pengetahuan, persepsi inderawi, dan motorik melalui teknologi. Mengenai Cyborg bisa dilihat proyek Neil Harbisson dalam Cyborg Foundation (http://cyborgism.wix.com/cyborg), yang bermarkas di kota Barcelona. Dalam proyek tersebut, Harbisson memperjuangkan kebebasan untuk menjadi cyborg atau menggunakan instrumen-instrumen yang menjadikan seseorang berpotensi memiliki daya persepsi dan pengetahuan lebih luas dari yang lainnya. Harbisson adalah seorang aktivis cyborg yang buta warna sejak lahir. Ia membuat perangkat yang terintegrasi dengan tubuhnya yang ia namakan eyeborg yang berbentuk mirip head- 02-Budi.indd 152 Vol II, 2014 phone, dan terpasang seperti kamera di depan kepala. Perangkat ini dapat mengubah tampilan warna pada benda-benda menjadi frekuensi-frekuensi dalam wujud suara. Dengan eyeborg, ia dapat memahami warna melalui suara-suara yang dikonversikan secara teknologis. Harbisson dapat mendengar warna pada benda-benda melalui instrumen. Ia mendefinisikan kondisi hibrida dirinya dengan istilah sonochromatism, yaitu situasi ketika ia dapat membedakan warna-warna yang sebelumnya tidak bisa ia bedakan dalam bentuk suara teknologis. Kemampuannya mendengar gelombang cahaya (warna) mencipta suatu keadaan cyborg, karena ia dapat melihat dengan cara mendengar dunia melalui mediasi eyeborg. Eyeborg mengoptimalisasi kemampuan tubuhnya. Harbisson dan instrumen yang digunakannya dapat kita telaah secara filosofis menggunakan pendekatan fenomenologi instrumentasi Ihde. Instrumen eyeborg dalam fenomenologi instrumentasi berada dalam kategori relasi fenomenologis kemenubuhan (Ihde, 1990: 72). Relasi ini mengonstruksi kesatuan relasi manusia-instrumen. Instrumen seperti menjadi indera baru baginya. Amplifikasi dan reduksi realitas dalam hal ini adalah transformasi pengalaman dunia inderawi yang sebelumnya tidak dapat dipersepsikan olehnya. Dengan instrumen eyeborg, ia dapat ‘mendengar’ warna-warna yang tidak dapat dilihatnya dalam keseharian. Ia dapat mendengar seluruh bentuk sinar, seperti misalnya sinar ultraviolet dan inframerah, yang tidak dapat diinderai dengan mata alamiah yang terbatas. Eyeborg yang terpasang di kepala Harbisson menjadi indera baru yang merupakan bentuk transparansi dalam relasi kemenubuhan, yang di dalamnya tubuh dan instrumen menjadi kesatuan relasional. Dalam arti ini, teknologi tidak berjarak dan 4/16/2015 6:19:05 AM Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi menjadi bagian dari tubuh manusia. Eyeborg yang digunakan Harbisson merupakan ekstensi indera yang terkoneksi dengan indera lainnya, yakni indera pendengaran. Intensionalitas eyeborg dalam hal ini adalah kemampuan Harbisson untuk mencerap warna dalam bentuk suara. Sedangkan amplifikasi dalam konteks fenomenologi instrumentasi terwujud dalam kemampuannya mendengar semua bentuk sinar atau melihat warna dalam bentuk suara. Namun, bila dilihat secara bahasa, cyborg bermakna organisme sibernetik (cybernetics), karena itu tentunya ia tidak terbatas pada teknologi yang melekat pada tubuh, atau ekstensi dari persepsi inderawi dan pengetahuan instrumental sebagaimana proyek yang dikembangkan Harbisson dan Cyborg Foundation. Ketika kita menggunakan tang, kunci stem, dan bor listrik misalnya, maka terkonstruksi sebuah entitas relasional instrumental. Seperti halnya Harbisson dengan eyeborg yang melekat pada tubuhnya, relasi manusia dengan instrumen-instrumen tersebut merupakan kesatuan relasional dengan tubuh. Instrumen yang mengamplifikasi kemampuan tubuh menjadikan tubuh memiliki intensionalitas cyborg. Relasi dengan teknologi tidak terbatas pada instrumen yang menubuh atau dalam relasi kemenubuhan. Dalam filsafat Ihde, selain relasi kemenubuhan, ada juga relasi hermeneutis, background, dan alteritas (Ihde, 1990: 80). Dalam relasi hermeneutis, instrumen digunakan untuk membaca dan memahami dunia. Dalam relasi ini, realitas tidak dipersepsikan oleh tubuh secara langsung melainkan melalui suatu pembacaan. Dalam relasi background, teknologi melatari dunia kehidupan. Semua bentuk teknologi dari infrastruktur sampai artefak-artefak teknologi yang kita jumpai sehari-hari merupakan teknologi dalam kategori relasi background. Sedangkan dalam relasi alteri- 02-Budi.indd 153 budi hartanto 153 tas, teknologi hadir sebagai ‘yang lain yang berhadapan dengan manusia’. Program komputer atau AI, misalnya, menjadikan komputer dipahami sebagai ‘yang lain’. Demikian pula dengan teknologi-teknologi yang terintegrasi dengan sistem AI, yang berciri otomatis. Otomatisasi menjadikan teknologi berhadapan dengan manusia sebagai ‘yang lain’ (the other). Berdasarkan relasi-relasi tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa eksistensi manusia dalam relasinya dengan teknologi atau kondisi cyborg tidak terbatas pada tubuh. Lingkungan atau artefak yang melatari dunia kehidupan mengondisikan dunia cyborg. Dalam relasi hermeneutis, artefak teknologi secara konseptual berjarak dengan tubuh, tapi kita dapat membacanya sebagai pengetahuan. Dalam dunia keseharian, hal ini bisa dicontohkan dengan jam, ponsel pintar, dan google glass. Meskipun berada dalam kesatuan relasional dengan tubuh, amplifikasi realitas yang dimampukan teknologi tersebut adalah melalui pembacaan atau kategori relasi hermeneutis. Google glass menggunakan teknologi GPS yang terintegrasi dengan internet untuk keperluan navigasi, informasi cuaca, pemesanan tiket atau reservasi hotel dan informasi lainnya yang berada di sekitar pengguna google glass. Internet menjadi prakondisi dalam hal amplifikasi pengetahuan dari relasi-relasi manusia-instrumen. Infrastruktur internet ini merupakan teknologi dalam relasi background yang meliputi jaringan teknologi informasi dan komunikasi (satelit, modem, komputer, dll). Dengan demikian, situasi cyborg juga mensyaratkan suatu lingkungan teknologis. Lingkungan teknologis tentu tidak terbatas pada infrastruktur peradaban, tetapi juga teknologi yang berciri otomatis, efisien, dan terkoneksi dalam sebuah jaringan (internet). 4/16/2015 6:19:05 AM 154 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi Vol II, 2014 Dalam sistem teknologi gedung bertingkat, misalnya, kita temui suatu lingkungan teknologis. Gedung merupakan lingkungan teknologis yang berjarak dengan alam. Di dalamnya sistem teknologi gedung (lampu, pendingin udara, lift, tangga jalan, dll.) terintegrasi dalam sebuah jaringan komputer atau sistem BAS (Building Automatic System), yang dapat dikontrol operasional otomatisasinya oleh manusia. Otomatisasi artefak teknologi menjadikan gedung sebagai lingkungan teknologis. Lingkungan teknologis memberi gambaran keberadaan dua bentuk integrasi manusia dan teknologi. Pertama, ketika teknologi yang bersifat partikular menjadi bagian dari tubuh--dalam hal ini teknologi digunakan secara instrumental fungsional, yaitu dalam relasi kemenubuhan dan hermeneutis. Kedua, ketika teknologi menyubordinasi tubuh manusia. Teknologi menjadi sistem kompleks yang mengatasi tubuh manusia, yaitu dalam relasi alteritas dan background. Kemampuan cyborg tidak terbatas pada tubuh dan instrumen yang digunakan dalam relasi hermeneutis dan kemenubuhan, tapi juga terkondisikan oleh teknologi dalam relasi background dan alteritas. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kondisi cyborg ternyata mencakup lingkungan teknologis secara lebih luas dan tidak terbatas pada teknologi yang berada dalam relasi dengan tubuh. Dengan kata lain, kondisi cyborg adalah kondisi ketika manusia telah berada dalam suatu sistem teknologi, baik itu sebagai bagian dari tubuh atau teknologi yang mengondisikan kehidupan. derawi melalui teknologi mengonstruksi kesadaran terbatas pada relasi-relasi yang termediasikan. Pada bagian ini akan dibahas persoalan eksistensi kesadaran mesin atau AI (Artificial Intelligence). AI adalah diskursus yang menjelaskan kecerdasan yang ada pada artefak teknologi sehingga ia dikatakan ‘memiliki kesadaran’. Kecerdasan yang ada pada mesin ini merupakan ‘mimikri’ dari kecerdasan yang ada pada manusia. Dua bentuk AI adalah strong dan weak AI. Strong AI merupakan sebuah keadaan ketika eksistensi kesadaran mesin terkonstruksi berdasarkan pemahaman bahasa dalam sebuah simulasi program komputer. Eksistensi kesadaran mesin ini menemukan bentuknya dalam sebuah bahasa yang diartikulasikan, baik itu lisan atau tulisan. Sedangkan weak AI, seperti dinyatakan filsuf Amerika, John Rogers Searle, adalah fenomena kecerdasan yang bersifat fungsional atau otomatisasi, yang berada dalam relasi dengan manusia (Searle, 1997: 17). Fenomena cyborg dapat kita kategorikan sebagai weak AI, yang di dalamnya teknologi digunakan sebagai ekstensifikasi kecerdasan manusia. Dalam dunia pemrograman komputer, kita temukan cukup banyak contoh yang mengindikasikan adanya kecerdasan buatan. Program games catur dapat kita kategorikan sebagai AI karena kita berinteraksi dengan komputer sebagai ‘yang lain’. Selain catur, masih ada sejumlah games yang merepresentasikan kecerdasan buatan. Tapi yang menjadi pokok utama dalam diskursus ini adalah menjelaskan bagaimana suatu program dikatakan memiliki identitas atau kesadaran (strong AI). Contoh strong AI adalah HAL 9000 dalam film 2001: Eksistensi Kesadaran Mesin A Space Odyssey karya sutradara Stanley Dalam fenomenologi cyborg, kesadaran Kubrick. HAL 9000 adalah komputer super yang menubuh berada dalam relasi den- yang dapat berinteraksi secara sosial dan gan teknologi. Ekstensifikasi persepsi in- merespon segala bentuk persoalan yang 02-Budi.indd 154 4/16/2015 6:19:05 AM Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi ditanyakan kepadanya. HAL 9000 menjadi contoh idealitas kesadaran mesin yang dikonstruksikan melalui program komputer. Dalam diskursus AI, ada cukup banyak program yang mencoba menyimulasikan kecerdasan manusia. Informasi terbaru per Juni 2014 menyebutkan adanya program simulasi kecerdasan buatan yang dinyatakan lolos dari tes Turing. Tes Turing adalah tes untuk mengetahui bagaimana suatu mesin, melalui serangkaian pertanyaan, dapat dikatakan memiliki kecerdasan. Program tersebut, sebuah chatterbot, bernama Eugene Goostman. Eugene adalah identitas AI yang dibuat programer kelahiran Rusia bernama Vladimir Veselov dan programmer kelahiran Ukraina bernama Eugene Demchenko, serta Sergey Ulasen. Eugene dapat berinteraksi sebagaimana anak berumur 13 tahun. Program ini adalah program AI pertama yang lolos dari tes Turing, sehingga bila seseorang berinteraksi dengan Eugene, ia tidak akan menyangka bahwa Eugene adalah sebuah program komputer. Mengacu pada temuan terbaru program Eugene, visi futuristis eksistensi kesadaran mesin seperti HAL 9000 tentu bukan dongeng semata. AI mengonstruksi kesadaran berdasarkan pada logika bahasa, yang dipahami dalam konteks kesadaran logosentris yang menubuh dengan teknologi komputer. Searle mempersoalkan kesadaran mesin yang terkonstruksi berdasarkan pada logika bahasa. Meskipun dikatakan dan dibuktikan dapat berinteraksi secara sosial atau memiliki identitas layaknya manusia, tetapi kesadaran mesin tetap tidak bisa dibuktikan eksistensinya sebagaimana manusia. Menurut Searle, AI terbatas memahami bahasa dalam sintaksisnya, sedangkan kesadaran dalam arti ‘pemahaman’ tidak hanya berhenti pada sintaksis, tetapi juga sampai pada semantis: sebuah kata meliputi 02-Budi.indd 155 budi hartanto 155 maknanya yang terlepas dari bentuknya (Searle, 2003:28). Progam Eugene, misalnya, memiliki kesadaran dalam konteks sintaksis. Eugene memahami bentuk kalimat dan menjawab dengan bentuk serupa, seolah-olah ia memahami maknanya. Searle menjelaskan hal ini lebih jauh dalam argumen tentang AI yang ia beri istilah Chinesse Room Argument (CRA), yaitu sebuah argumen tentang ketidakmungkinan adanya kesadaran mesin (strong AI). Argumen ini berbunyi bahwa kita dapat memahami bahasa yang tidak kita mengerti melalui instruksi-instruksi dengan bahasa yang kita mengerti. Bila seseorang tidak memahami bahasa Mandarin, misalnya, maka melalui sebuah mekanisme programatis, seakan-akan ia dapat mengerti. Contohnya, bila kita disodori sebuah pertanyaan dengan huruf-huruf Mandarin, kita dapat memahaminya melalui program yang berisi instruksi-instruksi dengan bahasa yang kita pahami. Instruksi menjelaskan bahwa untuk menjawab pertanyaan dengan huruf-huruf bentuk tertentu, maka jawablah dengan huruf-huruf bentuk tertentu pula. Dalam arti ini bahasa dimengerti sebatas bentuknya atau sintaksis. Eksistensi AI seperti Eugene sama seperti CRA yang diajukan Searle, karena pembuktiannya diperoleh melalui bahasa yang diartikulasikan sebatas bentuknya. Strong AI yang ditinjau lewat argumentasi Searle lantas tidak memungkinkan untuk eksis. Meski demikian, memahami kesadaran mesin dengan bertolak dari bahasa, lisan atau tulisan, menurut Searle kita akan menjumpai misteri. Program Eugene dapat berinteraksi melalui bahasa yang terbatas dalam bentuknya (sintaksis) seakan-akan memahami maknanya (semantis). Pemikiran Searle mengenai CRA juga dapat kita terapkan pada kesadaran nonmesin selain dari diri kita. Kesadaran ‘selain diri’ mengartikulasikan dirinya mela- 4/16/2015 6:19:05 AM 156 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi lui bahasa. Kita tidak pernah tahu apakah kesadaran ‘selain diri’ ini dapat merasakan hal yang sama dalam kaitannya dengan pemahaman sebuah bahasa. Melalui CRA, bisa saja ‘selain diri’ kita memahami bahasa sebatas bentuknya, dan bukan maknanya, karena kita tidak pernah tahu hal-hal yang menandakan pemahaman akan bahasa. Argumen Searle bisa dijelaskan ketika suatu pemahaman bahasa berada dalam konteks proses kimia dan biologis dalam tubuh. Misteri makna sebuah kata (semantis), sebagaimana dikatakan Searle, dapat kita ketahui dengan melihat respon tubuh terhadap makna kata tersebut. Melalui penelitian ilmiah, misalnya, kita dapat mengetahui bahwa pemahaman itu bersifat materialistik. Antonio R. Damasio adalah neuroscientist ternama yang menyanggah pandangan ontologis klasik dari René Descartes (1596 – 1650) yang menyatakan bahwa pikiran itu terpisah dari tubuh (res cogitans vs. res extensa). Menurut kajian Damasio, memahami rasionalitas tidak bisa dilepaskan dari pemahaman atas emosi, perasaan, atau hal-hal yang bersifat kimiawi dan biologis dalam tubuh (Damasio, 1994: 245). Dengan demikian, makna sebuah kata, yang dijelaskan Searle sebagai misteri, ternyata terkait dengan mekanisme tubuh. Makna dapat dipahami, mengikuti temuan Damasio, ketika ia berada dalam mekanisme tubuh yang menyertakan emosi atau perasaan. Karena itu, makna sebuah kata bukanlah misteri seperti diyakini Searle. Pemahaman yang tidak terkatakan, dapat diketahui melalui mekanisme tubuh. Respon terhadap pemahaman tidak selalu dapat dibuktikan melalui bahasa. Penelitian Damasio membantu kita menggaris-bawahi pandangan yang menyatakan bahwa pemahaman suatu kata inheren dengan mekanisme tubuh. Konsekuensinya, pemahaman yang terlepas dari tubuh tidak bisa dikatakan sebagai 02-Budi.indd 156 Vol II, 2014 pemahaman. AI merupakan simulasi kecerdasan manusia yang dimanifestasikan melalui sebuah program. Program AI memahami kata dalam bentuknya dan meresponnya berdasarkan instruksi, seperti diargumentasikan CRA. Secara bahasa, pandangan ini memang sulit dibantah, sehingga dapat mendorong terbentuknya gagasan tentang ‘eksistensi kesadaran mesin’ atau, menggunakan istilah Ihde, ‘relasi dengan teknologi sebagai yang lain (alteritas)’. Hal ini mengacu pada gagasan bahwa pemahaman atas makna sebuah kata pada dasarnya tertutup atau hanya dapat dirasakan oleh si pemilik kesadaran itu sendiri. Akan tetapi, dengan mengacu pada pemahaman yang ditentukan secara kimiawi, berkat temuan penelitian Damasio, dalam beberapa hal, eksistensi kesadaran mesin dapat dibuktikan. Problem eksistensi kesadaran mesin yang terkonstruksi melalui bahasa juga dapat kita telaah berdasarkan perspektif hermeneutika Heidegger. Dalam hermeneutika Heidegger, bahasa menjadi syarat keberadaan kita di dunia. Dalam arti ini, pemahaman menentukan Adanya manusia di dunia. Interpretasi adalah ihwal mendasar yang menjadi syarat bagaimana manusia memahami dunianya. Bahasa adalah hal pokok yang dengannya kita memahami keberadaan diri kita di dunia secara eksistensial (Ihde, 1983: 150). Dengan demikian, problem AI, sebagaimana diajukan Searle, dapat kita bandingkan dengan hermeneutika Heidegger. Lewat model hermeneutika Heidegger, dapat dipahami bahwa kesadaran pada dasarnya terkait dengan interpretasi dan pemahaman. Tentunya kesadaran interpretif dalam nalar Heideggerian ini tidak terbatas pada teks. Interpretasi merupakan cara mengada (mode of being) yang menentukan keberadaan manusia. Dalam perspektif hermeneutika Heidegger, eksistensi mensyaratkan interpretasi, 4/16/2015 6:19:06 AM Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi dalam arti pemahaman yang bersifat linguistik menjadi hal yang mendasar. Dapat diproposisikan bahwa konstruksi AI pada dasarnya bersifat Heideggerian karena ditentukan dalam batas-batas pemahaman sebuah bahasa. Namun, AI, seperti telah dipaparkan di atas, terbatas pada pemahaman teks. Hal ini berbeda dengan perspektif Heidegger yaitu bahwa interpretasi, meskipun berpijak pada bahasa, tetapi tidak terbatas pada interpretasi teks. AI menjadi lebih menarik tentunya bila komputer dikonstruksikan agar dapat melihat atau memiliki mata yang berciri mesin dan juga dapat mendengar. Dalam perkembangan teknologi komputer, kita jumpai adanya teknologi program komputer bernama face recognition (www.face-rec. org). Program ini dapat mengenali bentuk wajah secara programatis melalui kamera seperti halnya indera penglihatan mata manusia. Meskipun program ini belum digunakan sebagai sesuatu yang inheren dalam program strong AI, tetapi teknologinya memungkinkan untuk terintegrasi dengannya. Dengan adanya program face recognition, eksistensi kesadaran mesin seperti Eugene tentunya tidak hanya dapat mengartikulasikan bahasa, tetapi juga dapat melihat dan mengenali wajah. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teknologi AI terbatas pada kecerdasan logosentrisme dan simulasi-simulasi programatis. AI tetap sama dengan fenomenologi cyborg dalam hal ekstensifikasi kesadaran melalui artefak teknologi (weak AI). Kecerdasan dalam konteks AI berada pada tataran konseptual linguistik: AI dieksternalisasikan sebagai sesuatu yang berjarak dengan tubuh, yang dimanifestasikan melalui program, dalam batas-batas pemahaman bahasa. Relevansi dari telaah AI ini tentunya berupa daya kalkulasi matematisnya yang jauh lebih cepat dari pikiran manusia. 02-Budi.indd 157 budi hartanto 157 Etika Dunia Teknologis Berdasarkan kritik eksistensialisme terhadap teknologi dan relasi manusiateknologi dalam fenomenologi instrumentasi, dapat kita ajukan pertanyaan filosofis mengenai relevansi etis kondisi cyborg. Menjadi cyborg mengandaikan keadaan relasi transparansi dengan teknologi, yang sesuai dengan fitrahnya, mendistorsi kealamian tubuh. Bahkan, seperti dicitrakan dalam fiksi sains, ia selalu merupakan hasil konstruksi, seiring dengan kekurangannya. Dalam film Robocop, Terminator, dan film-film makhluk setengah mesin lainnya, cyborg adalah keadaan yang di dalamnya teknologi digunakan untuk mengoptimalisasi kemampuan tubuh manusia. Dalam perspektif eksistensialisme, menjadi cyborg tentunya suatu kondisi eksistensi yang tidak ideal. Bahkan, keotentikan eksistensial diasumsikan menjadi hilang karenanya. Eksistensi cyborg menciptakan situasi poshumanistik yang menimbulkan persoalan etis yang sulit diselesaikan. Salah satunya adalah perihal kemampuan cyborg dalam mempersepsikan dan mengetahui yang melampaui kapasitas tubuh alamiah. Hal yang sama juga bisa dikatakan terkait visi terciptanya eksistensi kesadaran mesin (AI). AI membawa pada situasi munculnya mesin berkesadaran, yang sesuai logikanya dapat berinteraksi dan tentunya juga berkompetisi. Meskipun diargumentasikan tidak bisa memiliki kesadaran sebagaimana manusia, tetapi keputusankeputusan kalkulatif dan programatis yang menjadi ciri kecerdasan mesin merupakan kekuatan nyata AI yang dapat mengatasi manusia. Selain itu, AI juga menjadi representasi teknologi yang dapat mendeterminasi kehidupan. Bila ditelusuri lebih lanjut, pemikiran tentang kekuatan teknologi sebagai ‘yang lain’ ini berawal dari gerakan anti-mesin pada masa revolusi industri. Visi distopian AI pada mulanya dibayangkan 4/16/2015 6:19:06 AM 158 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi sebagai keadaan ketika mesin mengambil alih berbagai kerja manusia sampai kemudian menguasai kehidupan. Dalam model filsafat Hans Jonas, laju perkembangan teknologi diteorikan bergerak menuju kerusakan. Tidak hanya itu saja, teknologi menurutnya menciptakan situasi etis yang tidak bisa diselesaikan oleh etika klasik atau tradisional (Ihde, 1979: 138-139). Etika klasik berada dalam dimensi alamiah manusia, sedangkan teknologi mengondisikan kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga berjarak dengan kondisi alamiahnya. Jonas mengatakan bahwa idealitas manusia justru berada dalam kondisi alamiahnya. Situasi etis yang dihasilkan teknologi, dalam filsafat etika masa depan Jonas, menjadi konter-argumen untuk meredam perkembangan teknologi, terutama dalam konteks cyborg dan AI. Yang alami, dalam pandangan Jonas, lebih bernilai secara eksistensial. Heidegger dan Marcel, seperti halnya Jonas, mengingatkan manusia akan potensi keterasingan dan hilangnya kebebasan yang diakibatkan oleh relasi manusia-teknologi. Pandangan pesimistis dari aliran eksistensialisme terhadap dunia teknologis menjelaskan bahwa teknologi pada dasarnya tidak bisa membebaskan manusia. Dari kritik eksistensialisme tersebut, dapat dipahami bahwa teknologi tidak selalu membawa kemudahan. Setiap kali tercipta suatu teknologi, selalu muncul persoalan yang diakibatkan olehnya. Inilah yang didalilkan Jacques Ellul yaitu bahwa perkembangan teknik (atau teknologi) bergerak secara dialektis berdasarkan persoalan dan penyelesaian yang dihasilkannya (Ellul, 1964: 92). Perkembangan dialektis ini menjadikan teknologi sebagai kekuatan yang mengontrol kehidupan. Mengacu pada model dialektika perkembangan teknologi, dapat dirumuskan bahwa cyborg dan AI terkonstruksi seiring den- 02-Budi.indd 158 Vol II, 2014 gan dialektika perkembangan teknologi. Ketika suatu teknologi memunculkan persoalan, kita membuat teknologi (baru) untuk menyelesaikannya, demikian seterusnya. Ketika polusi udara sudah sedemikian parah, misalnya, kita dikondisikan untuk selalu menggunakan masker. Dilihat dari perspektif filsafat teknologi Ellul, perkembangan teknologi memiliki logikanya yang khas, sehingga seolah-olah kita tidak bisa berbuat banyak berkenaan dengan persoalan tersebut. Pemikiran Ellul ini dapat kita pahami, kemudian tanggapi, terutama ketika teknologi secara universal merujuk hanya pada yang ada di negara-negara maju. Limbah industri, nuklir, dan polusi udara merupakan persoalan khas yang dihadapi negara-negara maju. Sementara itu, di beberapa wilayah lainnya, teknologi masih digunakan selaras dengan nilai-nilai kebudayaan wilayah tersebut. Pandangan tentang teknologi yang diacu secara universal ini berseberangan dengan pandangan Ihde tentang pluralitas teknologi. Menurut Ihde tidak ada “Teknologi” (dengan huruf kapital) yang bergerak mendeterminasi kehidupan. Ihde meyakini bahwa teknologi selalu berada dalam relasi dengan kebudayaan. Kemajuan teknologi sama artinya dengan kemajuan kebudayaan. Karena itu, tidak semua kebudayaan berkembang menjadi peradaban teknologis. Ada kebudayaan yang tetap tidak berkembang karena mempertahankan kondisi alamiah. Namun, ada juga kebudayaan yang berkembang menjadi peradaban teknologis, beradaptasi dengan kompleksitas masyarakat, dan mengikuti dialektika perkembangan sains dan teknologi. Dari sini dapat kita simpulkan secara umum bahwa semua bentuk relasi manusia dengan artefak kebudayaan pada dasarnya mengondisikan manusia sebagai cyborg. Memakai sepatu, misalnya, memunculkan 4/16/2015 6:19:06 AM Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi pengalaman yang teramplifikasi karena sepatu melindungi telapak kaki dari batu atau duri sehingga kita bisa bergerak dengan bebas. Contoh lain, menggunakan pakaian (kain) untuk menahan udara dingin. Kondisi cyborg pada mulanya merupakan suatu keadaan beradaptasi menghadapi lingkungan. Relevansi etis cyborg tentu saja harus dilihat dalam konteks proses adaptasi manusia dengan keadaan lingkungan dan juga tentunya dengan kebudayaan. Dengan melihat teknologi sebagai kebudayaan, ia tidak selalu berkembang sesuai dengan dialektika teknik seperti dirumuskan Ellul. Dunia yang semakin canggih secara teknologis memang membawa kemungkinan bahaya-bahaya yang merusak lingkungan sehingga, untuk mengatasinya, manusia perlu beradaptasi dengan membuat teknologi-teknologi baru. Namun, kondisi ini tidak bersifat universal, melainkan terjadi hanya pada wilayah tertentu. Ellul menunjukkan kondisi ini terbatas pada masyarakat teknologis perkotaan. Gagasan bahwa peradaban teknologis membawa pada suatu keadaan determinisme, yang di dalamnya kebebasan manusia tersubordinasi dan juga potensi hilangnya eksistensi seperti disampaikan kritik eksistensialisme, dapat kita siasati dengan melihat teknologi sebagai kebudayaan. Bukan berarti implikasinya lalu kita menidak pada perkembangan teknologi. Tidak menerima teknologi dengan mengacu pada idealitas kebudayaan dapat menjadikan kita tertinggal dari kebudayaan lainnya, baik secara ekonomi maupun politis. Dalam konteks Indonesia, pesatnya perkembangan teknologi tentu saja bisa kita pertimbangkan dengan melihatnya dari idealitas nilai-nilai Pancasila yang menjadi landasan dalam kehidupan bernegara. Kebudayaan nasional dapat menjadi pertimbangan tersendiri dalam mengembangkan proses transfer teknologi. Alur pemikiran 02-Budi.indd 159 budi hartanto 159 teknologi sebagai kebudayaan menyatakan bahwa menerima begitu saja teknologi dari luar sama dengan menerima kebudayaannya. Bila teknologi yang diimpor tersebut sesuai atau compatible dengan kebudayaan yang menerimanya tentu hal ini tidak menjadi persoalan. Dalam negara industri, jam atau komputer, misalnya, merupakan piranti penting penanda waktu dan fungsi lainnya. Dalam negara pra-industri, dalam arti tertentu, teknologi tidak bisa sepenuhnya dapat diaplikasikan. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa relevansi etis peradaban teknologis dapat dilihat dari perspektif kebudayaan nasional. Selain itu, sikap terbuka terhadap kebaruan menjadi penting tanpa melupakan antisipasi terhadap situasi keterasingan seperti disuarakan filsafat eksistensialisme. Penutup Perkembangan teknologi telah sampai pada keadaan ketika ia mememungkinkan untuk mengamplifikasi persepsi inderawi, pengetahuan, dan juga daya motorik tubuh yang merupakan suatu kondisi cyborg. Walaupun demikian, de facto, tidak banyak yang diketahui tentang fenomena ini. Penggunaan teknologi lebih bersifat pragmatis dan instrumental. Saya sendiri berpandangan bahwa kondisi alamiah tetap ideal, kecuali ketika kehidupan dikondisikan oleh suatu keadaan yang mengharuskan kita menggunakan teknologi. Mengenai teknologi yang telah berhasil menyimulasi eksistensi kesadaran, ternyata masih berada dalam batas-batas kesadaran linguistik atau bersifat logosentris. Ia tetap dikategorikan dalam arti ekstensifikasi kecerdasan yang bersifat fungsional. Walau demikian, eksistensi kesadaran AI menjadikan teknologi sebagai the other yang merupakan mimikri kecerdasan manusia. Persoalan eksistensi, dalam kaitannya den- 4/16/2015 6:19:06 AM 160 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi Vol II, 2014 gan teknologi baru, tentu menarik untuk _____. (1983). Existential Technics. New direfleksikan, terutama ketika muncul dan York: State University of New York diwacanakannya visi distopian tentang Press. mesin yang menguasai kehidupan dan hil- _____. (1979). Technics and Praxis. Holland dan Boston (USA): D. Riedel Publishangnya keotentikan diri manusia. ing Company. Mahzar, Armahedi. (2004). Revolusi IntegralDAFTAR PUSTAKA isme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami. Bandung: Mizan. Damasio, Antonio. (1995). Descartes’ Error: Emotion, Reason, and Human Brain. New Marcel, Gabriel. (1962). Man Against Mass Society. Chicago: H Regnery. York: Harper Perennial. Driyarkara SJ, N. (1989). Percikan Filsafat. _____. (1949). Being and Having. New York: Harper dan Row. Jakarta: PT Pembangunan. Ellul, Jacques. (1964). Technological Society. Palmer, Richard E. (1969). Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, New York: Alfred A. Knopf, Inc. dan Dilthey, Heidegger, and Gadamer. NorthRandom House, Inc. western University Press Evanston. Gendreau, Bernard. (1998). The CautionSearle, John. (2002). Consciousness and Lanary Ontological Approach to Technology guage. Cambridge: Cambridge Univerof Gabriel Marcel. Papers for Twentieth sity Press. World Congress of Philosophy. Dipublikasikan dalam Paideia Archive, bisa _____. (1980). Minds, Brains, and Programs. Daring. Diunduh dari www.cup.cam. diakses di http://www.bu.edu/wcp/ ac.uk MainTech.htm Hakken, David. (1999). Cyborg@cyberspace? _____. (1980). Minds, Brains and Science. Harvard: Harvard University Press. An Etnographer Look at the Future. New The Institute for Ethics and Emerging TechYork dan London: Routledge. nologies (IEET). Laman Facebook, www. Hartanto, Budi. (2013). Dunia Pasca-Manufacebook.com/ieet.org. sia: Menjelajahi Tema-Tema Kontemporer Filsafat Teknologi. Depok: Penerbit Ke- Verbeek, Peter-Paul. (2008). “Cyborg intentionality: rethinking the phenomenolpik. ogy of human-technology relations” Heidegger, M. (1977). The Question Concerndalam Phenomenology and the Cognitive ing Technology and Other Essays. Terj. W. Sciences, September 2008, Volume 7, Lovitt. New York: Harper dan Row. Issue 3, hlm. 387-395. Versi daring diIhde, Don. (1990). Technology and the Lifeakses dari Springer Science + Business world: from Garden to Earth. BloomingMedia B.V. (http://link.springer.com/ ton/Indianapolis: Indiana University article/10.1007%2Fs11097-008-9099-x) Press. 02-Budi.indd 160 4/16/2015 6:19:06 AM