Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah

advertisement
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 148-160
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI):
Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
BUDI HARTANTO
Alumnus STF Driyarkara, Jakarta
Surel: [email protected]
Diterima: 24 Oktober 2014
Disetujui: 21 Januari 2015
ABSTRACT
Philosophy of technology begins with ontological criticism of technology. Existentialism philosophers such as Martin Heidegger, Gabriel Marcel, and Hans Jonas put forth ideas that technology
will change the nature of human being. The relevance of cyborg discourse is related to the idea of
how technology affects human freedom and authenticity. In order to understand the existence of
cyborg is not primarily from its hybrid condition or when technology embedded in human body.
The reality of cyborg is constructed through phenomenological relations of human-technology.
Human-technology relations here is desribed based on Don Ihde’s phenomenology of instrumentation. I divide two main relations concerning the ontology of cyborg, technology that integrated to
human body (embodiment and hermeneutics relations) and human body that integrated to technology (alterity and background relations). I compare cyborg with AI (Artificial Intelligence). AI
studies discourse of how consciousness is made in the form of computer program. In the discourse
of AI, machinic consciousness is possible limited to language that is understood in its syntax as
explained in John Searle’s philosophy. I will end this writing with discussion about the relevance
of technological (or cyborg) world. Existentialist thinkers would mostly say that it is not a human
ideal condition. In reality, it is the condition of possibility of world as system and lifeworld itself.
Keywords: Existence, Cyborg, AI, Phenomenology, Ethics, Technology
Pendahuluan
Perkembangan teknologi terbaru menciptakan situasi etis yang relevan untuk direfleksikan. Hal ini menjadi nyata terutama
ketika dampak yang dihasilkannya tidak
hanya pada lingkungan dan kehidupan sosial, melainkan juga terhadap keotentikan
dan eksistensi manusia di Bumi. Teknologi memang membawa kemudahan, tetapi
pada saat yang sama juga membawa persoalan. Filsafat teknologi menjadi tren diskursus filsafat kontemporer bermula dari
02-Budi.indd 148
pandangan teknologi sebagai entitas nonnetral yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Teknologi menjadi non-netral tentunya karena ia berada dalam relasi
dengan manusia. Tanpa adanya relasi ini,
teknologi menjadi objek belaka yang tidak
bernilai etis.
Dalam tulisan ini, saya akan menelaah
isu tentang cyborg dari perspektif eksistensialisme (telaah yang didasarkan pada
pemikiran Martin Heidegger, Hans Jonas,
dan Gabriel Marcel tentang teknologi) dan
4/16/2015 6:19:05 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
budi hartanto 149
garuh tidak hanya pada manusia sebagai
tubuh, tetapi yang utama adalah manusia
sebagai ‘eksistensi’. Teknologi membentuk
suatu ontologi yang diantisipasi oleh filsuf-filsuf ekstensialisme. Ontologi tersebut
pada awalnya diterangkan sebagai sebuah
materialisme yang mereduksi manusia sebagai benda-benda tidak berjiwa. Inilah
yang menstimulasi munculnya kritik eksistensialisme (Driyarkara, 1989: 55-57).
Dalam filsafat Heidegger, dijelaskan
bahwa teknologi memungkinkan membawa manusia pada suatu kondisi determinisme. Ia berpengaruh secara ontologis pada
bagaimana manusia menjalani hidupnya di
dunia. Teknologi menurutnya memiliki esensi pada pembingkaian (enframing) yang
mengondisikan dunia kehidupan yang terus bergerak untuk menyingkap kebaruan.
Selain itu, enframing dalam konteks mode
of ordering telah membawa manusia pada
kondisi ketika ia, pada suatu saat, tidak
lagi bisa berada dalam kondisi alamiahnya (Heidegger, 1977: 20). Esensi teknologi
sebagai penyingkapan realitas teknologis
didefinisikan Heidegger dengan moda
kebenaran. “Technology is therefore no mere
means. Technology is a way of revealing. If we
give heed to this, then another whole realm for
the essence of technology will open itself up to
us. It is the realm of revealing, i.e., of truth.”
(Heidegger, 1977: 12). Definisi Heideggerian di atas memberi pemahaman bahwa
Eksistensialisme dan Kritik Teknologi
teknologi menjadi bagian dari cara mengaMembaca filsafat teknologi pada mulanya danya manusia atau mengaktualisasikan
adalah membaca kritik eksistensialisme dirinya di dunia.
Eksistensi yang terkondisikan oleh
terhadap teknologi. Para filsuf eksistensiakebaruan
teknologi menjadi ciri filsafat
lis seperti Martin Heidegger, Hans Jonas,
dan Gabriel Marcel memberi komentar teknologi Heidegger. Teknologi menjadi
tentang kemajuan teknologi yang menjadi berbahaya bukan pada potensinya yang
ciri modernitas. Perkembangan teknologi, merusak, seperti persenjataaan dan limbah
dalam pandangan mereka, telah mendis- industri, tapi ketika penyingkapan realitas
torsi nilai kemanusiaan. Refleksi para fil- justru membawa pada situasi yang tidak
suf ekstensialisme memberi tilikan bahwa terpikirkan. Terciptanya teknologi menteknologi menjadi kekuatan yang berpen- jadi kekuatan yang mengatasi kebebasan.
fenomenologi instrumentasi (didasarkan
pada pemikiran Don Ihde). Dalam filsafat eksistensialisme, akan dijelaskan bagaimana relasi manusia dengan teknologi
berpengaruh terhadap keotentikan dan
kebebasan eksistensialnya. Menjadi cyborg
dapat membawa pada suatu keadaan krisis eksistensial. Sedangkan dari perspektif
fenomenologi instrumentasi, pembahasan
difokuskan pada relasi empiris antara tubuh, instrumen, dan artefak teknologi lainnya.
Selain itu, penulis juga berikhtiar untuk
mendedah persoalan eksistensi kesadaran
mesin (AI). Bila dalam eksistensialisme,
keotentikan eksistensial atau kesadaran
manusia tereduksi sampai kemudian menjadi terasing, maka, dalam AI, ia dapat
berekstensi ke dalam sebuah mesin. Kita
merancangnya melalui program komputer
berdasarkan logika bahasa mesin yang kemudian termanifestasikan dalam bahasa
lisan atau tulisan. AI menjadi problematis
terutama ditinjau dari kritik John Searle,
ahli filsafat kesadaran, yang meyakini bahwasanya AI hanya memahami bahasa sebatas bentuknya. Dengan alasan ini, kesadaran mesin tidak benar-benar memahami
sebuah bahasa. Pada bagian akhir akan
dibahas problem etis dan relevansi dunia
teknologis.
02-Budi.indd 149
4/16/2015 6:19:05 AM
150 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
“What is dangerous is not technology. There is
no demonry of technology, but rather there is the
mystery of its essence” (Heidegger, 1977: 28).
Heidegger berpandangan pesimis mengenai perkembangan teknologi yang bergerak seturut dengan esensinya, yang pada
gilirannya membawa pada suatu keadaan
ketika teknologi mendeterminasi kehidupan manusia. Teknologi menjadi entitas non-netral
yang mendeterminasi tidak hanya soal bagaimana kita menjalani hidup, melainkan
juga berpotensi merenggut kebebasan dan
keotentikan manusia. Heidegger melihat
bahaya teknologi dari perspektif esensinya
yang bersifat universal yang berkarakter
‘selalu membawa kebaruan yang merupakan takdir dari peradaban’. Kita tidak
bisa mencegah perkembangan teknologi
dalam arti enframing ini. Filsafat Heidegger
menjelaskan bahwa enframing telah mencipta situasi yang di dalamnya kekuatan
teknologi relevan untuk diantisipasi keberadaannya.
Seperti halnya Heidegger, Hans Jonas
turut menyatakan bahwa teknologi telah menciptakan persoalan etis yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Fenomena kemajuan teknologi membuat
esensi manusia berjarak dengan alam yang
kemudian mendistorsi kealamiahan manusia. Distorsi ini pertama-tama dapat dipahami sebagai sebuah peralihan menuju esensi manusia yang merupakan bagian dari
teknologi. Menurut Jonas, kondisi etis ini
tidak terelakkan, sehingga mengharuskan
kita untuk mengambil sikap bertanggung
jawab terhadap alam. Sikap bertanggung
jawab terhadap alam, dalam bentuk antisipasi dan menidak terhadap teknologi,
dalam etika Jonas diperoleh melalui heuristic of fear, yaitu dengan melihat dampak
negatif yang dihasilkannya terhadap kehidupan (Ihde, 1979: 134). Ini menjadi sikap
02-Budi.indd 150
Vol II, 2014
etis Hans Jonas untuk mengatasi distorsi
teknologi terhadap diri manusia.
Distorsi terhadap esensi, dalam filsafat Jonas, tentunya juga membawa pada
distorsi eksistensi. Ketika teknologi membuat manusia berada pada situasi berjarak
dengan alam, maka terbentuklah eksistensi
atau konsepsi diri yang berbeda dibandingkan ketika ia berada dalam kondisi alamiahnya (Ihde, 1979: 138). Meski Jonas lebih
membahas pengaruh teknologi terhadap
lingkungan, pemikirannya mengantisipasi
situasi cyborg. Pada titik ultimnya, teknologi tidak hanya merusak, tapi juga bergerak
menuju keadaan singularitas yang pada
akhirnya menghilangkan jati diri manusia.
Maka pengandaian Jonas adalah bahwa
teknologi berpengaruh terhadap tubuh
manusia menuju suatu keadaan keterasingan, yaitu dari tubuh yang alami, kemudian menjadi cyborg yang bersifat hibrid dan
relasional, sampai akhirnya sepenuhnya
menjadi mesin.
Tidak berbeda dengan Heidegger dan
Jonas, dalam filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, keotentikan tidak bisa diraih
dengan hidup secara teknologis. Bahkan
menurutnya teknologi mereduksi nilainilai spiritual atau kesakralan dalam diri
manusia (Gendreau, 1998). Mengenai persoalan keotentikan eksistensi ini,dapat
kita telaah dari pemikirannya mengenai
relasi eksistensialistis kepemilikan tubuh.
Pernyataan filosofis ‘Aku memiliki tubuhku’ dalam filsafat Marcel menjelaskan tentang misteri keberadaan manusia di Bumi
sebagai eksistensi (Marcel, 1949: 45). Eksistensi manusia menjadi filosofis ketika
kita menjumpai misteri pada pernyataan
‘Aku memiliki tubuhku’, yaitu persis ketika kita merasakan sensasi pada tubuh
kita. Di satu sisi pernyataan ‘Aku memiliki
tubuhku’ mengandaikan Aku sebagai entitas yang terpisah, tetapi di sisi lain ketika
tubuh merasakan sensasi diketahui adanya
4/16/2015 6:19:05 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
kesatuan antara Aku dan tubuh. Eksistensi
dalam filsafat eksistensialisme Marcel adalah ketika ia menemukan ambiguitas pada
pernyataan ‘Aku memiliki tubuhku’. Inilah yang mengonstruksi kedirian atau keberadaan Aku sebagai suatu eksistensi.
Ada (being) dan memiliki (having) dalam
filsafat Marcel memberikan tilikan tentang
asal-usul kesadaran eksistensial manusia.
Pernyataan bahwa ‘Aku memiliki tubuhku’
mengungkapkan eksistensi yang melampaui materialitas tubuh. “Aku” menjadi entitas yang tidak dapat diterangkan, tetapi
eksistensinya tetap dikatakan nyata sebagai entitas yang memiliki tubuh. Perkataan
“memiliki tubuh”, menurut Marcel, dapat
disamakan dengan memiliki benda-benda
atau teknologi, contohnya: piano, gergaji
dan pisau cukur. Kata ‘memiliki’ di sini
bermakna sama dengan ‘memiliki tubuh’.
Meskipun demikian, kita menjumpai kesulitan untuk memahami misteri kedirian
dalam kepemilikan ini. Memiliki teknologi
mengandaikan keterpisahan dengan tubuh, sedangkan ‘memiliki tubuh’ membentuk suatu gagasan filosofis tentang adanya
ambiguitas pada pernyataan “Aku memiliki tubuhku” (Marcel, 1949: 14). Karena
itu relasi kepemilikan teknologi tidak bisa
menjadi otentik secara eksistensial dibandingkan dengan relasi kepemilikan tubuh.
Walaupun Marcel membedakan secara
esensial antara eksistensi dengan relasi
kepemilikan tubuh, tetapi keduanya samasama dapat dikategorikan sebagai medium
untuk memperoleh pengetahuan. Ketika
manusia menggunakan artefak teknologi,
secara pragmatis tercipta suatu ontologi
kepemilikan. Ponsel pintar (smartphone)
yang kita miliki mengonstruksi konsep
kedirian (atau subjektivitas) yang selalu
berada dalam relasi. Aku, tubuh, dan ponsel pintar menjadi kesatuan ontologis yang
berciri relasional. Kesadaran eksistensial
cyborg dapat dikategorikan berada dalam
02-Budi.indd 151
budi hartanto 151
kesatuan relasional ini. Hanya saja keterpisahan relasional dalam kepemilikan
ponsel pintar membuatnya tidak otentik,
sebagaimana kepemilikan tubuh. Relasi
ini menurut Marcel tidak bisa membentuk subjektivitas eksistensial sebagaimana
kepemilikan tubuh. Bahkan Marcel menjelaskan bahwa ia hanya mendistorsi keotentikan eksistensi.
Seiring dengan perkembangan teknologi, tentu saja relasi eksistensial kepemilikan
teknologi dapat kita pertimbangkan relevansinya (atau keotentikannya). Banyak
teknologi yang terintegrasi dengan tubuh
mengondisikan manusia sebagai cyborg.
Dalam dunia medis, kita ketahui bagaimana organ-organ tubuh dapat tergantikan.
Transparansi atau kesatuan tubuh dalam
relasinya dengan teknologi menjadikan eksistensi dalam arti tertentu bisa sama otentiknya.
Eksistensialisme versi Heidegger, Jonas, Marcel seperti telah dijelaskan di atas
sama-sama mengafirmasi bahwa teknologi
memang berpengaruh terhadap eksistensi
manusia. Mereka juga mengantisipasi agar
teknologi tidak menguasai kebebasan. Argumen eksistensialisme sudah menegaskan pengaruh teknologi secara empiris
terhadap dunia kehidupan. Marcel, misalnya, melihat bahaya teknologi terhadap
masyarakat, sementara Heidegger mengantisipasi kebaruan teknologi, dan Jonas melihat bahaya teknologi terhadap lingkungan.
Namun, pembahasan mereka lebih dalam
perspektif filsafatnya yang khas yaitu pengaruh teknologi terhadap eksistensi.
Fenomenologi Cyborg
Relasi manusia-teknologi tentu tidak semata bersifat abstrak dan universal seperti
diuraikan dalam filsafat eksistensialisme.
Bila ditelaah secara fenomenologis, relasi
manusia-teknologi tersebut berada dalam
4/16/2015 6:19:05 AM
152 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
kategori relasi-relasi yang bersifat partikular. Don Ihde, seorang filsuf teknologi,
menjelaskan hal ini dalam fenomenologi
instrumentasi (Ihde, 1979). Fenomenologi
instrumentasi membahas lebih spesifik dan
empiris ihwal relasi-relasi manusia dengan
mesin. Pemikiran Ihde membawa pada pemahaman tentang manusia sebagai cyborg
yang terkonstruksi berdasarkan relasi-relasi fenomenologis manusia-teknologi. Intensionalitas yang tertuju pada dunia termediasikan atau berada dalam relasi dengan
teknologi.
Cyborg adalah makhluk hibrida organisme dan artefak teknologi yang biasanya
memiliki kekuatan lebih dibandingkan
dengan tubuh alami. Cyborg merupakan
wujud fenomena berekstensinya persepsi
inderawi dan pengetahuan dengan mediasi teknologi. Meskipun direka-bayangkan
sebagai makhluk superior setengah mesin,
dalam kenyataannya kondisi ini merupakan kompensasi dari kekurangan-kekurangan yang ada pada tubuh atau suatu kondisi cacat. Penggunaan instrumen teknologis
yang terintegrasi dengan tubuh dalam arti
tertentu bukan merupakan pilihan bebas
manusia. Kendati demikian, dalam tulisan
ini cyborg dibahas dalam makna generiknya
yaitu amplifikasi pengetahuan, persepsi inderawi, dan motorik melalui teknologi.
Mengenai Cyborg bisa dilihat proyek
Neil Harbisson dalam Cyborg Foundation
(http://cyborgism.wix.com/cyborg),
yang bermarkas di kota Barcelona. Dalam
proyek tersebut, Harbisson memperjuangkan kebebasan untuk menjadi cyborg atau
menggunakan instrumen-instrumen yang
menjadikan seseorang berpotensi memiliki daya persepsi dan pengetahuan lebih
luas dari yang lainnya. Harbisson adalah
seorang aktivis cyborg yang buta warna
sejak lahir. Ia membuat perangkat yang
terintegrasi dengan tubuhnya yang ia namakan eyeborg yang berbentuk mirip head-
02-Budi.indd 152
Vol II, 2014
phone, dan terpasang seperti kamera di depan kepala. Perangkat ini dapat mengubah
tampilan warna pada benda-benda menjadi frekuensi-frekuensi dalam wujud suara.
Dengan eyeborg, ia dapat memahami warna
melalui suara-suara yang dikonversikan
secara teknologis. Harbisson dapat mendengar warna pada benda-benda melalui
instrumen. Ia mendefinisikan kondisi hibrida dirinya dengan istilah sonochromatism,
yaitu situasi ketika ia dapat membedakan
warna-warna yang sebelumnya tidak bisa
ia bedakan dalam bentuk suara teknologis.
Kemampuannya mendengar gelombang
cahaya (warna) mencipta suatu keadaan
cyborg, karena ia dapat melihat dengan cara
mendengar dunia melalui mediasi eyeborg.
Eyeborg mengoptimalisasi kemampuan tubuhnya.
Harbisson dan instrumen yang digunakannya dapat kita telaah secara filosofis
menggunakan pendekatan fenomenologi
instrumentasi Ihde. Instrumen eyeborg dalam fenomenologi instrumentasi berada
dalam kategori relasi fenomenologis kemenubuhan (Ihde, 1990: 72). Relasi ini
mengonstruksi kesatuan relasi manusia-instrumen. Instrumen seperti menjadi indera
baru baginya. Amplifikasi dan reduksi realitas dalam hal ini adalah transformasi pengalaman dunia inderawi yang sebelumnya
tidak dapat dipersepsikan olehnya. Dengan
instrumen eyeborg, ia dapat ‘mendengar’
warna-warna yang tidak dapat dilihatnya
dalam keseharian. Ia dapat mendengar seluruh bentuk sinar, seperti misalnya sinar
ultraviolet dan inframerah, yang tidak dapat diinderai dengan mata alamiah yang
terbatas.
Eyeborg yang terpasang di kepala Harbisson menjadi indera baru yang merupakan bentuk transparansi dalam relasi kemenubuhan, yang di dalamnya tubuh dan
instrumen menjadi kesatuan relasional.
Dalam arti ini, teknologi tidak berjarak dan
4/16/2015 6:19:05 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
menjadi bagian dari tubuh manusia. Eyeborg yang digunakan Harbisson merupakan ekstensi indera yang terkoneksi dengan
indera lainnya, yakni indera pendengaran.
Intensionalitas eyeborg dalam hal ini adalah
kemampuan Harbisson untuk mencerap
warna dalam bentuk suara. Sedangkan amplifikasi dalam konteks fenomenologi instrumentasi terwujud dalam kemampuannya mendengar semua bentuk sinar atau
melihat warna dalam bentuk suara.
Namun, bila dilihat secara bahasa, cyborg bermakna organisme sibernetik (cybernetics), karena itu tentunya ia tidak terbatas
pada teknologi yang melekat pada tubuh,
atau ekstensi dari persepsi inderawi dan
pengetahuan instrumental sebagaimana
proyek yang dikembangkan Harbisson
dan Cyborg Foundation. Ketika kita menggunakan tang, kunci stem, dan bor listrik
misalnya, maka terkonstruksi sebuah entitas relasional instrumental. Seperti halnya
Harbisson dengan eyeborg yang melekat
pada tubuhnya, relasi manusia dengan
instrumen-instrumen tersebut merupakan
kesatuan relasional dengan tubuh. Instrumen yang mengamplifikasi kemampuan
tubuh menjadikan tubuh memiliki intensionalitas cyborg.
Relasi dengan teknologi tidak terbatas
pada instrumen yang menubuh atau dalam
relasi kemenubuhan. Dalam filsafat Ihde,
selain relasi kemenubuhan, ada juga relasi hermeneutis, background, dan alteritas
(Ihde, 1990: 80). Dalam relasi hermeneutis,
instrumen digunakan untuk membaca dan
memahami dunia. Dalam relasi ini, realitas
tidak dipersepsikan oleh tubuh secara langsung melainkan melalui suatu pembacaan.
Dalam relasi background, teknologi melatari
dunia kehidupan. Semua bentuk teknologi
dari infrastruktur sampai artefak-artefak
teknologi yang kita jumpai sehari-hari
merupakan teknologi dalam kategori relasi
background. Sedangkan dalam relasi alteri-
02-Budi.indd 153
budi hartanto 153
tas, teknologi hadir sebagai ‘yang lain yang
berhadapan dengan manusia’. Program
komputer atau AI, misalnya, menjadikan
komputer dipahami sebagai ‘yang lain’.
Demikian pula dengan teknologi-teknologi
yang terintegrasi dengan sistem AI, yang
berciri otomatis. Otomatisasi menjadikan
teknologi berhadapan dengan manusia sebagai ‘yang lain’ (the other).
Berdasarkan relasi-relasi tersebut di
atas, dapat dirumuskan bahwa eksistensi
manusia dalam relasinya dengan teknologi
atau kondisi cyborg tidak terbatas pada tubuh. Lingkungan atau artefak yang melatari dunia kehidupan mengondisikan dunia cyborg. Dalam relasi hermeneutis, artefak
teknologi secara konseptual berjarak dengan tubuh, tapi kita dapat membacanya sebagai pengetahuan. Dalam dunia keseharian, hal ini bisa dicontohkan dengan jam,
ponsel pintar, dan google glass. Meskipun
berada dalam kesatuan relasional dengan
tubuh, amplifikasi realitas yang dimampukan teknologi tersebut adalah melalui
pembacaan atau kategori relasi hermeneutis. Google glass menggunakan teknologi
GPS yang terintegrasi dengan internet untuk keperluan navigasi, informasi cuaca,
pemesanan tiket atau reservasi hotel dan
informasi lainnya yang berada di sekitar
pengguna google glass.
Internet menjadi prakondisi dalam hal
amplifikasi pengetahuan dari relasi-relasi
manusia-instrumen. Infrastruktur internet
ini merupakan teknologi dalam relasi background yang meliputi jaringan teknologi
informasi dan komunikasi (satelit, modem,
komputer, dll). Dengan demikian, situasi
cyborg juga mensyaratkan suatu lingkungan teknologis. Lingkungan teknologis
tentu tidak terbatas pada infrastruktur peradaban, tetapi juga teknologi yang berciri
otomatis, efisien, dan terkoneksi dalam
sebuah jaringan (internet).
4/16/2015 6:19:05 AM
154 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
Vol II, 2014
Dalam sistem teknologi gedung bertingkat, misalnya, kita temui suatu lingkungan teknologis. Gedung merupakan lingkungan teknologis yang berjarak dengan
alam. Di dalamnya sistem teknologi gedung (lampu, pendingin udara, lift, tangga
jalan, dll.) terintegrasi dalam sebuah jaringan komputer atau sistem BAS (Building
Automatic System), yang dapat dikontrol
operasional otomatisasinya oleh manusia.
Otomatisasi artefak teknologi menjadikan
gedung sebagai lingkungan teknologis.
Lingkungan teknologis memberi gambaran keberadaan dua bentuk integrasi
manusia dan teknologi. Pertama, ketika
teknologi yang bersifat partikular menjadi
bagian dari tubuh--dalam hal ini teknologi
digunakan secara instrumental fungsional, yaitu dalam relasi kemenubuhan dan
hermeneutis. Kedua, ketika teknologi menyubordinasi tubuh manusia. Teknologi
menjadi sistem kompleks yang mengatasi
tubuh manusia, yaitu dalam relasi alteritas
dan background. Kemampuan cyborg tidak
terbatas pada tubuh dan instrumen yang
digunakan dalam relasi hermeneutis dan
kemenubuhan, tapi juga terkondisikan
oleh teknologi dalam relasi background dan
alteritas.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa
kondisi cyborg ternyata mencakup lingkungan teknologis secara lebih luas dan
tidak terbatas pada teknologi yang berada
dalam relasi dengan tubuh. Dengan kata
lain, kondisi cyborg adalah kondisi ketika
manusia telah berada dalam suatu sistem
teknologi, baik itu sebagai bagian dari tubuh atau teknologi yang mengondisikan
kehidupan.
derawi melalui teknologi mengonstruksi
kesadaran terbatas pada relasi-relasi yang
termediasikan. Pada bagian ini akan dibahas persoalan eksistensi kesadaran mesin
atau AI (Artificial Intelligence). AI adalah
diskursus yang menjelaskan kecerdasan
yang ada pada artefak teknologi sehingga
ia dikatakan ‘memiliki kesadaran’. Kecerdasan yang ada pada mesin ini merupakan
‘mimikri’ dari kecerdasan yang ada pada
manusia.
Dua bentuk AI adalah strong dan weak
AI. Strong AI merupakan sebuah keadaan
ketika eksistensi kesadaran mesin terkonstruksi berdasarkan pemahaman bahasa
dalam sebuah simulasi program komputer.
Eksistensi kesadaran mesin ini menemukan bentuknya dalam sebuah bahasa yang
diartikulasikan, baik itu lisan atau tulisan.
Sedangkan weak AI, seperti dinyatakan filsuf Amerika, John Rogers Searle, adalah
fenomena kecerdasan yang bersifat fungsional atau otomatisasi, yang berada dalam
relasi dengan manusia (Searle, 1997: 17).
Fenomena cyborg dapat kita kategorikan
sebagai weak AI, yang di dalamnya teknologi digunakan sebagai ekstensifikasi kecerdasan manusia.
Dalam dunia pemrograman komputer,
kita temukan cukup banyak contoh yang
mengindikasikan adanya kecerdasan buatan. Program games catur dapat kita kategorikan sebagai AI karena kita berinteraksi
dengan komputer sebagai ‘yang lain’. Selain catur, masih ada sejumlah games yang
merepresentasikan kecerdasan buatan.
Tapi yang menjadi pokok utama dalam diskursus ini adalah menjelaskan bagaimana
suatu program dikatakan memiliki identitas atau kesadaran (strong AI). Contoh
strong AI adalah HAL 9000 dalam film 2001:
Eksistensi Kesadaran Mesin
A Space Odyssey karya sutradara Stanley
Dalam fenomenologi cyborg, kesadaran Kubrick. HAL 9000 adalah komputer super
yang menubuh berada dalam relasi den- yang dapat berinteraksi secara sosial dan
gan teknologi. Ekstensifikasi persepsi in- merespon segala bentuk persoalan yang
02-Budi.indd 154
4/16/2015 6:19:05 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
ditanyakan kepadanya. HAL 9000 menjadi contoh idealitas kesadaran mesin yang
dikonstruksikan melalui program komputer.
Dalam diskursus AI, ada cukup banyak
program yang mencoba menyimulasikan
kecerdasan manusia. Informasi terbaru per
Juni 2014 menyebutkan adanya program
simulasi kecerdasan buatan yang dinyatakan lolos dari tes Turing. Tes Turing adalah tes untuk mengetahui bagaimana suatu
mesin, melalui serangkaian pertanyaan,
dapat dikatakan memiliki kecerdasan. Program tersebut, sebuah chatterbot, bernama
Eugene Goostman. Eugene adalah identitas
AI yang dibuat programer kelahiran Rusia
bernama Vladimir Veselov dan programmer kelahiran Ukraina bernama Eugene
Demchenko, serta Sergey Ulasen. Eugene
dapat berinteraksi sebagaimana anak berumur 13 tahun. Program ini adalah program
AI pertama yang lolos dari tes Turing, sehingga bila seseorang berinteraksi dengan
Eugene, ia tidak akan menyangka bahwa
Eugene adalah sebuah program komputer.
Mengacu pada temuan terbaru program
Eugene, visi futuristis eksistensi kesadaran
mesin seperti HAL 9000 tentu bukan dongeng semata.
AI mengonstruksi kesadaran berdasarkan pada logika bahasa, yang dipahami
dalam konteks kesadaran logosentris yang
menubuh dengan teknologi komputer.
Searle mempersoalkan kesadaran mesin
yang terkonstruksi berdasarkan pada logika bahasa. Meskipun dikatakan dan dibuktikan dapat berinteraksi secara sosial atau
memiliki identitas layaknya manusia, tetapi
kesadaran mesin tetap tidak bisa dibuktikan eksistensinya sebagaimana manusia.
Menurut Searle, AI terbatas memahami bahasa dalam sintaksisnya, sedangkan kesadaran dalam arti ‘pemahaman’ tidak hanya
berhenti pada sintaksis, tetapi juga sampai pada semantis: sebuah kata meliputi
02-Budi.indd 155
budi hartanto 155
maknanya yang terlepas dari bentuknya
(Searle, 2003:28). Progam Eugene, misalnya, memiliki kesadaran dalam konteks
sintaksis. Eugene memahami bentuk kalimat dan menjawab dengan bentuk serupa,
seolah-olah ia memahami maknanya.
Searle menjelaskan hal ini lebih jauh
dalam argumen tentang AI yang ia beri istilah Chinesse Room Argument (CRA), yaitu
sebuah argumen tentang ketidakmungkinan adanya kesadaran mesin (strong AI).
Argumen ini berbunyi bahwa kita dapat
memahami bahasa yang tidak kita mengerti melalui instruksi-instruksi dengan bahasa yang kita mengerti. Bila seseorang
tidak memahami bahasa Mandarin, misalnya, maka melalui sebuah mekanisme programatis, seakan-akan ia dapat mengerti.
Contohnya, bila kita disodori sebuah pertanyaan dengan huruf-huruf Mandarin,
kita dapat memahaminya melalui program
yang berisi instruksi-instruksi dengan bahasa yang kita pahami. Instruksi menjelaskan bahwa untuk menjawab pertanyaan
dengan huruf-huruf bentuk tertentu, maka
jawablah dengan huruf-huruf bentuk tertentu pula. Dalam arti ini bahasa dimengerti sebatas bentuknya atau sintaksis.
Eksistensi AI seperti Eugene sama
seperti CRA yang diajukan Searle, karena
pembuktiannya diperoleh melalui bahasa
yang diartikulasikan sebatas bentuknya.
Strong AI yang ditinjau lewat argumentasi
Searle lantas tidak memungkinkan untuk
eksis. Meski demikian, memahami kesadaran mesin dengan bertolak dari bahasa,
lisan atau tulisan, menurut Searle kita akan
menjumpai misteri. Program Eugene dapat
berinteraksi melalui bahasa yang terbatas
dalam bentuknya (sintaksis) seakan-akan
memahami maknanya (semantis).
Pemikiran Searle mengenai CRA juga
dapat kita terapkan pada kesadaran nonmesin selain dari diri kita. Kesadaran ‘selain diri’ mengartikulasikan dirinya mela-
4/16/2015 6:19:05 AM
156 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
lui bahasa. Kita tidak pernah tahu apakah
kesadaran ‘selain diri’ ini dapat merasakan
hal yang sama dalam kaitannya dengan
pemahaman sebuah bahasa. Melalui CRA,
bisa saja ‘selain diri’ kita memahami bahasa
sebatas bentuknya, dan bukan maknanya,
karena kita tidak pernah tahu hal-hal yang
menandakan pemahaman akan bahasa.
Argumen Searle bisa dijelaskan ketika
suatu pemahaman bahasa berada dalam
konteks proses kimia dan biologis dalam
tubuh. Misteri makna sebuah kata (semantis), sebagaimana dikatakan Searle, dapat
kita ketahui dengan melihat respon tubuh terhadap makna kata tersebut. Melalui penelitian ilmiah, misalnya, kita dapat
mengetahui bahwa pemahaman itu bersifat materialistik. Antonio R. Damasio adalah neuroscientist ternama yang menyanggah pandangan ontologis klasik dari René
Descartes (1596 – 1650) yang menyatakan
bahwa pikiran itu terpisah dari tubuh (res
cogitans vs. res extensa). Menurut kajian
Damasio, memahami rasionalitas tidak bisa
dilepaskan dari pemahaman atas emosi,
perasaan, atau hal-hal yang bersifat kimiawi dan biologis dalam tubuh (Damasio,
1994: 245). Dengan demikian, makna
sebuah kata, yang dijelaskan Searle sebagai
misteri, ternyata terkait dengan mekanisme
tubuh. Makna dapat dipahami, mengikuti
temuan Damasio, ketika ia berada dalam
mekanisme tubuh yang menyertakan emosi atau perasaan. Karena itu, makna sebuah
kata bukanlah misteri seperti diyakini
Searle. Pemahaman yang tidak terkatakan,
dapat diketahui melalui mekanisme tubuh.
Respon terhadap pemahaman tidak selalu
dapat dibuktikan melalui bahasa.
Penelitian Damasio membantu kita
menggaris-bawahi pandangan yang menyatakan bahwa pemahaman suatu kata
inheren dengan mekanisme tubuh. Konsekuensinya, pemahaman yang terlepas
dari tubuh tidak bisa dikatakan sebagai
02-Budi.indd 156
Vol II, 2014
pemahaman. AI merupakan simulasi kecerdasan manusia yang dimanifestasikan
melalui sebuah program. Program AI memahami kata dalam bentuknya dan meresponnya berdasarkan instruksi, seperti
diargumentasikan CRA. Secara bahasa,
pandangan ini memang sulit dibantah, sehingga dapat mendorong terbentuknya gagasan tentang ‘eksistensi kesadaran mesin’
atau, menggunakan istilah Ihde, ‘relasi
dengan teknologi sebagai yang lain (alteritas)’. Hal ini mengacu pada gagasan bahwa
pemahaman atas makna sebuah kata pada
dasarnya tertutup atau hanya dapat dirasakan oleh si pemilik kesadaran itu sendiri.
Akan tetapi, dengan mengacu pada pemahaman yang ditentukan secara kimiawi,
berkat temuan penelitian Damasio, dalam
beberapa hal, eksistensi kesadaran mesin
dapat dibuktikan.
Problem eksistensi kesadaran mesin
yang terkonstruksi melalui bahasa juga
dapat kita telaah berdasarkan perspektif
hermeneutika Heidegger. Dalam hermeneutika Heidegger, bahasa menjadi syarat
keberadaan kita di dunia. Dalam arti ini,
pemahaman menentukan Adanya manusia
di dunia. Interpretasi adalah ihwal mendasar yang menjadi syarat bagaimana manusia memahami dunianya. Bahasa adalah
hal pokok yang dengannya kita memahami
keberadaan diri kita di dunia secara eksistensial (Ihde, 1983: 150). Dengan demikian,
problem AI, sebagaimana diajukan Searle,
dapat kita bandingkan dengan hermeneutika Heidegger. Lewat model hermeneutika Heidegger, dapat dipahami bahwa
kesadaran pada dasarnya terkait dengan
interpretasi dan pemahaman. Tentunya kesadaran interpretif dalam nalar Heideggerian ini tidak terbatas pada teks. Interpretasi merupakan cara mengada (mode of being)
yang menentukan keberadaan manusia.
Dalam perspektif hermeneutika Heidegger, eksistensi mensyaratkan interpretasi,
4/16/2015 6:19:06 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
dalam arti pemahaman yang bersifat linguistik menjadi hal yang mendasar. Dapat
diproposisikan bahwa konstruksi AI pada
dasarnya bersifat Heideggerian karena ditentukan dalam batas-batas pemahaman
sebuah bahasa. Namun, AI, seperti telah
dipaparkan di atas, terbatas pada pemahaman teks. Hal ini berbeda dengan perspektif Heidegger yaitu bahwa interpretasi,
meskipun berpijak pada bahasa, tetapi
tidak terbatas pada interpretasi teks.
AI menjadi lebih menarik tentunya
bila komputer dikonstruksikan agar dapat
melihat atau memiliki mata yang berciri
mesin dan juga dapat mendengar. Dalam
perkembangan teknologi komputer, kita
jumpai adanya teknologi program komputer bernama face recognition (www.face-rec.
org). Program ini dapat mengenali bentuk
wajah secara programatis melalui kamera
seperti halnya indera penglihatan mata
manusia. Meskipun program ini belum digunakan sebagai sesuatu yang inheren dalam program strong AI, tetapi teknologinya
memungkinkan untuk terintegrasi dengannya. Dengan adanya program face recognition, eksistensi kesadaran mesin seperti
Eugene tentunya tidak hanya dapat mengartikulasikan bahasa, tetapi juga dapat
melihat dan mengenali wajah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teknologi AI terbatas
pada kecerdasan logosentrisme dan simulasi-simulasi programatis. AI tetap sama
dengan fenomenologi cyborg dalam hal
ekstensifikasi kesadaran melalui artefak
teknologi (weak AI). Kecerdasan dalam
konteks AI berada pada tataran konseptual
linguistik: AI dieksternalisasikan sebagai
sesuatu yang berjarak dengan tubuh, yang
dimanifestasikan melalui program, dalam
batas-batas pemahaman bahasa. Relevansi
dari telaah AI ini tentunya berupa daya kalkulasi matematisnya yang jauh lebih cepat
dari pikiran manusia.
02-Budi.indd 157
budi hartanto 157
Etika Dunia Teknologis
Berdasarkan kritik eksistensialisme terhadap teknologi dan relasi manusiateknologi dalam fenomenologi instrumentasi, dapat kita ajukan pertanyaan filosofis
mengenai relevansi etis kondisi cyborg.
Menjadi cyborg mengandaikan keadaan
relasi transparansi dengan teknologi, yang
sesuai dengan fitrahnya, mendistorsi kealamian tubuh. Bahkan, seperti dicitrakan dalam fiksi sains, ia selalu merupakan hasil
konstruksi, seiring dengan kekurangannya. Dalam film Robocop, Terminator, dan
film-film makhluk setengah mesin lainnya,
cyborg adalah keadaan yang di dalamnya
teknologi digunakan untuk mengoptimalisasi kemampuan tubuh manusia. Dalam
perspektif eksistensialisme, menjadi cyborg
tentunya suatu kondisi eksistensi yang
tidak ideal. Bahkan, keotentikan eksistensial diasumsikan menjadi hilang karenanya. Eksistensi cyborg menciptakan situasi
poshumanistik yang menimbulkan persoalan etis yang sulit diselesaikan. Salah satunya adalah perihal kemampuan cyborg
dalam mempersepsikan dan mengetahui
yang melampaui kapasitas tubuh alamiah.
Hal yang sama juga bisa dikatakan
terkait visi terciptanya eksistensi kesadaran
mesin (AI). AI membawa pada situasi munculnya mesin berkesadaran, yang sesuai
logikanya dapat berinteraksi dan tentunya
juga berkompetisi. Meskipun diargumentasikan tidak bisa memiliki kesadaran sebagaimana manusia, tetapi keputusankeputusan kalkulatif dan programatis yang
menjadi ciri kecerdasan mesin merupakan
kekuatan nyata AI yang dapat mengatasi
manusia. Selain itu, AI juga menjadi representasi teknologi yang dapat mendeterminasi kehidupan. Bila ditelusuri lebih lanjut,
pemikiran tentang kekuatan teknologi sebagai ‘yang lain’ ini berawal dari gerakan
anti-mesin pada masa revolusi industri. Visi
distopian AI pada mulanya dibayangkan
4/16/2015 6:19:06 AM
158 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
sebagai keadaan ketika mesin mengambil
alih berbagai kerja manusia sampai kemudian menguasai kehidupan.
Dalam model filsafat Hans Jonas, laju
perkembangan teknologi diteorikan bergerak menuju kerusakan. Tidak hanya itu saja,
teknologi menurutnya menciptakan situasi
etis yang tidak bisa diselesaikan oleh etika
klasik atau tradisional (Ihde, 1979: 138-139).
Etika klasik berada dalam dimensi alamiah
manusia, sedangkan teknologi mengondisikan kehidupan manusia sedemikian
rupa sehingga berjarak dengan kondisi
alamiahnya. Jonas mengatakan bahwa idealitas manusia justru berada dalam kondisi
alamiahnya. Situasi etis yang dihasilkan
teknologi, dalam filsafat etika masa depan Jonas, menjadi konter-argumen untuk
meredam perkembangan teknologi, terutama dalam konteks cyborg dan AI. Yang alami, dalam pandangan Jonas, lebih bernilai
secara eksistensial. Heidegger dan Marcel,
seperti halnya Jonas, mengingatkan manusia akan potensi keterasingan dan hilangnya kebebasan yang diakibatkan oleh relasi
manusia-teknologi. Pandangan pesimistis
dari aliran eksistensialisme terhadap dunia
teknologis menjelaskan bahwa teknologi
pada dasarnya tidak bisa membebaskan
manusia.
Dari kritik eksistensialisme tersebut,
dapat dipahami bahwa teknologi tidak
selalu membawa kemudahan. Setiap kali
tercipta suatu teknologi, selalu muncul
persoalan yang diakibatkan olehnya. Inilah
yang didalilkan Jacques Ellul yaitu bahwa
perkembangan teknik (atau teknologi)
bergerak secara dialektis berdasarkan persoalan dan penyelesaian yang dihasilkannya (Ellul, 1964: 92). Perkembangan dialektis ini menjadikan teknologi sebagai
kekuatan yang mengontrol kehidupan.
Mengacu pada model dialektika perkembangan teknologi, dapat dirumuskan bahwa cyborg dan AI terkonstruksi seiring den-
02-Budi.indd 158
Vol II, 2014
gan dialektika perkembangan teknologi.
Ketika suatu teknologi memunculkan persoalan, kita membuat teknologi (baru) untuk menyelesaikannya, demikian seterusnya. Ketika polusi udara sudah sedemikian
parah, misalnya, kita dikondisikan untuk
selalu menggunakan masker. Dilihat dari
perspektif filsafat teknologi Ellul, perkembangan teknologi memiliki logikanya yang
khas, sehingga seolah-olah kita tidak bisa
berbuat banyak berkenaan dengan persoalan tersebut.
Pemikiran Ellul ini dapat kita pahami, kemudian tanggapi, terutama ketika
teknologi secara universal merujuk hanya
pada yang ada di negara-negara maju.
Limbah industri, nuklir, dan polusi udara
merupakan persoalan khas yang dihadapi
negara-negara maju. Sementara itu, di beberapa wilayah lainnya, teknologi masih
digunakan selaras dengan nilai-nilai kebudayaan wilayah tersebut. Pandangan tentang teknologi yang diacu secara universal
ini berseberangan dengan pandangan Ihde
tentang pluralitas teknologi. Menurut Ihde
tidak ada “Teknologi” (dengan huruf kapital) yang bergerak mendeterminasi kehidupan. Ihde meyakini bahwa teknologi selalu
berada dalam relasi dengan kebudayaan.
Kemajuan teknologi sama artinya dengan
kemajuan kebudayaan. Karena itu, tidak
semua kebudayaan berkembang menjadi
peradaban teknologis. Ada kebudayaan
yang tetap tidak berkembang karena mempertahankan kondisi alamiah. Namun, ada
juga kebudayaan yang berkembang menjadi peradaban teknologis, beradaptasi dengan kompleksitas masyarakat, dan mengikuti dialektika perkembangan sains dan
teknologi.
Dari sini dapat kita simpulkan secara
umum bahwa semua bentuk relasi manusia
dengan artefak kebudayaan pada dasarnya
mengondisikan manusia sebagai cyborg.
Memakai sepatu, misalnya, memunculkan
4/16/2015 6:19:06 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
pengalaman yang teramplifikasi karena
sepatu melindungi telapak kaki dari batu
atau duri sehingga kita bisa bergerak dengan bebas. Contoh lain, menggunakan pakaian (kain) untuk menahan udara dingin.
Kondisi cyborg pada mulanya merupakan
suatu keadaan beradaptasi menghadapi
lingkungan. Relevansi etis cyborg tentu saja
harus dilihat dalam konteks proses adaptasi manusia dengan keadaan lingkungan
dan juga tentunya dengan kebudayaan.
Dengan melihat teknologi sebagai kebudayaan, ia tidak selalu berkembang sesuai dengan dialektika teknik seperti dirumuskan Ellul. Dunia yang semakin canggih
secara teknologis memang membawa kemungkinan bahaya-bahaya yang merusak
lingkungan sehingga, untuk mengatasinya,
manusia perlu beradaptasi dengan membuat teknologi-teknologi baru. Namun,
kondisi ini tidak bersifat universal, melainkan terjadi hanya pada wilayah tertentu. Ellul menunjukkan kondisi ini terbatas
pada masyarakat teknologis perkotaan.
Gagasan bahwa peradaban teknologis
membawa pada suatu keadaan determinisme, yang di dalamnya kebebasan manusia tersubordinasi dan juga potensi hilangnya eksistensi seperti disampaikan kritik
eksistensialisme, dapat kita siasati dengan
melihat teknologi sebagai kebudayaan. Bukan berarti implikasinya lalu kita menidak
pada perkembangan teknologi. Tidak menerima teknologi dengan mengacu pada idealitas kebudayaan dapat menjadikan kita
tertinggal dari kebudayaan lainnya, baik
secara ekonomi maupun politis.
Dalam konteks Indonesia, pesatnya
perkembangan teknologi tentu saja bisa kita
pertimbangkan dengan melihatnya dari
idealitas nilai-nilai Pancasila yang menjadi
landasan dalam kehidupan bernegara. Kebudayaan nasional dapat menjadi pertimbangan tersendiri dalam mengembangkan
proses transfer teknologi. Alur pemikiran
02-Budi.indd 159
budi hartanto 159
teknologi sebagai kebudayaan menyatakan
bahwa menerima begitu saja teknologi dari
luar sama dengan menerima kebudayaannya. Bila teknologi yang diimpor tersebut
sesuai atau compatible dengan kebudayaan
yang menerimanya tentu hal ini tidak menjadi persoalan. Dalam negara industri, jam
atau komputer, misalnya, merupakan piranti penting penanda waktu dan fungsi
lainnya. Dalam negara pra-industri, dalam
arti tertentu, teknologi tidak bisa sepenuhnya dapat diaplikasikan. Akhirnya, dapat
disimpulkan bahwa relevansi etis peradaban teknologis dapat dilihat dari perspektif
kebudayaan nasional. Selain itu, sikap terbuka terhadap kebaruan menjadi penting
tanpa melupakan antisipasi terhadap situasi keterasingan seperti disuarakan filsafat
eksistensialisme.
Penutup
Perkembangan teknologi telah sampai
pada keadaan ketika ia mememungkinkan
untuk mengamplifikasi persepsi inderawi,
pengetahuan, dan juga daya motorik tubuh yang merupakan suatu kondisi cyborg.
Walaupun demikian, de facto, tidak banyak
yang diketahui tentang fenomena ini. Penggunaan teknologi lebih bersifat pragmatis
dan instrumental. Saya sendiri berpandangan bahwa kondisi alamiah tetap ideal, kecuali ketika kehidupan dikondisikan oleh
suatu keadaan yang mengharuskan kita
menggunakan teknologi.
Mengenai teknologi yang telah berhasil
menyimulasi eksistensi kesadaran, ternyata
masih berada dalam batas-batas kesadaran
linguistik atau bersifat logosentris. Ia tetap
dikategorikan dalam arti ekstensifikasi kecerdasan yang bersifat fungsional. Walau
demikian, eksistensi kesadaran AI menjadikan teknologi sebagai the other yang
merupakan mimikri kecerdasan manusia.
Persoalan eksistensi, dalam kaitannya den-
4/16/2015 6:19:06 AM
160 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
Vol II, 2014
gan teknologi baru, tentu menarik untuk _____. (1983). Existential Technics. New
direfleksikan, terutama ketika muncul dan
York: State University of New York
diwacanakannya visi distopian tentang
Press.
mesin yang menguasai kehidupan dan hil- _____. (1979). Technics and Praxis. Holland
dan Boston (USA): D. Riedel Publishangnya keotentikan diri manusia.
ing Company.
Mahzar, Armahedi. (2004). Revolusi IntegralDAFTAR PUSTAKA
isme Islam: Merumuskan Paradigma Sains
dan Teknologi Islami. Bandung: Mizan.
Damasio, Antonio. (1995). Descartes’ Error:
Emotion, Reason, and Human Brain. New Marcel, Gabriel. (1962). Man Against Mass
Society. Chicago: H Regnery.
York: Harper Perennial.
Driyarkara SJ, N. (1989). Percikan Filsafat. _____. (1949). Being and Having. New York:
Harper dan Row.
Jakarta: PT Pembangunan.
Ellul, Jacques. (1964). Technological Society. Palmer, Richard E. (1969). Hermeneutics:
Interpretation Theory in Schleiermacher,
New York: Alfred A. Knopf, Inc. dan
Dilthey, Heidegger, and Gadamer. NorthRandom House, Inc.
western University Press Evanston.
Gendreau, Bernard. (1998). The CautionSearle,
John. (2002). Consciousness and Lanary Ontological Approach to Technology
guage. Cambridge: Cambridge Univerof Gabriel Marcel. Papers for Twentieth
sity Press.
World Congress of Philosophy. Dipublikasikan dalam Paideia Archive, bisa _____. (1980). Minds, Brains, and Programs.
Daring. Diunduh dari www.cup.cam.
diakses di http://www.bu.edu/wcp/
ac.uk
MainTech.htm
Hakken, David. (1999). Cyborg@cyberspace? _____. (1980). Minds, Brains and Science.
Harvard: Harvard University Press.
An Etnographer Look at the Future. New
The Institute for Ethics and Emerging TechYork dan London: Routledge.
nologies (IEET). Laman Facebook, www.
Hartanto, Budi. (2013). Dunia Pasca-Manufacebook.com/ieet.org.
sia: Menjelajahi Tema-Tema Kontemporer
Filsafat Teknologi. Depok: Penerbit Ke- Verbeek, Peter-Paul. (2008). “Cyborg intentionality: rethinking the phenomenolpik.
ogy of human-technology relations”
Heidegger, M. (1977). The Question Concerndalam Phenomenology and the Cognitive
ing Technology and Other Essays. Terj. W.
Sciences, September 2008, Volume 7,
Lovitt. New York: Harper dan Row.
Issue 3, hlm. 387-395. Versi daring diIhde, Don. (1990). Technology and the Lifeakses dari Springer Science + Business
world: from Garden to Earth. BloomingMedia B.V. (http://link.springer.com/
ton/Indianapolis: Indiana University
article/10.1007%2Fs11097-008-9099-x)
Press.
02-Budi.indd 160
4/16/2015 6:19:06 AM
Download