Memahami Filsafat Teknologi

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Etika dan Filsafat
Komunikasi
Filsafat teknologi dan
pemanfaatan media komunikasi
Fakultas
Program Studi
Fakultas Ilmu
Komunikasi
Bidang Studi
Advertising and
Marketing
Communication
Tatap Muka
09
Kode MK
Disusun Oleh
MK85009
Muhamad Rosit, S.Sos, M.Si
Abstract
Kompetensi
Filsafat teknologi tidak hanya membahas techne, poiesis dan
kaitannya dengan dunia-kehidupan saja, tapi juga artifak atau
teknofak yang tak dapat dipungkiri mempengaruhi kehidupan dan
juga kesadaran.
Mahasiswa mampu
memahami filsafat
teknologi dan bagaimana
etika komunikasi berkaitan
dengan teknologi
Seperti halnya filsafat, teknologi adalah murni hasil pemikiran manusia dan karena
itu hubungan antara filsafat dan teknologi sangat erat. Jikalau filsafat mengkaji, meneliti dan
menganalisis manusia dalam berbagai aspeknya, maka teknologi berperan sangat
menentukan terhadap nasib manusia. Teknologi tidak hanya dapat menjawab permasalahan
yang dialami manusia pada waktu dan tempat tertentu saja, namun dapat juga menjawab
pertanyaan-pertanyaan metafisik manusia itu sendiri. (Heidegger, 1962) (Martin Heidegger:
Die Technik und die Kehre, Pfullingen, ISBN 978‐3‐608‐91050‐6, 1962)
Kemampuan manusia untuk mengembangkan teknologi didorong oleh kelemahan
fisiknya yang harus berhadapan dengan ancaman dan tantangan lingkungan. Oleh
karenanya, dengan memanfaatkan panca indera dan otaknya, manusia ‘dipaksa’ untuk
memiliki teknologi yang ia perlukan guna mempertahankankelangsungan hidupnya (Gehlen,
1940). (A. Gehlen: Der Mensch, Seine Natur und seiner Stellung in der Welt, Berlin, 1940)
Hanya dengan teknologi yang tepat dan berguna, kualitas karya manusia dapat
ditingkatkan. Nilai karya manusia ditentukan oleh pasar, di mana karya-karya tersebut
bersaing. Sumberdaya alam (SDA) terbarukan atau tidak terbarukan -- akan diberi nilainya
masing-masing di pasar. Tanpa teknologi nilai tersebut tidak dapat ditingkatkan. Hal ini juga
berlaku untuk suatu sistem karya yang merupakan hasil murni pemikiran dan rekayasa
sumberdaya manusia (SDM). Penambahan nilai atau nilai-tambah tersebut hanya dapat
tercapai dengan memanfaatan teknik dan teknologi yang tepat.
Teknologi adalah rangkuman beberapa disiplin Ilmu terapan, sedangkan ilmu
terapan adalah berunsur pada Ilmu dasar terkait. Ilmu dasar dan ilmu terapan akan terus
berkembang sesuai kebutuhan manusia sepanjang masa. Tahap demi tahap teknologi
tepat-guna dan energi telah merubah SDA menjadi produk baru. Untuk perubahan ini
manusia telah diilhami, dirangsang dan belajar dari alam sekitarnya. Ilmu pengetahuan
dasar, dan demikian pula ilmu pengetahuan terapan, diilhami oleh ‘mekanisme alam‘ melalui
suatu evolusi telah berkembang. (Nachtigall, 2005 dan Nachtigall, 2003). (Werner Nachtigall:
Biologisches Design ISBN 3‐540‐22789‐X Springer, 2005; Werner Nachtigall: Bau‐Bionik,
ISBN 3‐540‐44336‐3 Springer, 2003)
Dewasa ini tidak ada satu kebijaksanaan pun yang dapat menyelesaikan masalah,
tanpa memperhatikan filsafat dan teknologi. Apakah masalah ekonomi ataupun politik, sama
saja. Nasib manusia pada waktu ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan manusia
mengembangkan, menerapkan, mengendalikan dan menguasai teknologi.
‘13
2
Etika dan Filsafat Komunikasi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Memahami Filsafat Teknologi
Tak banyak orang yang mengenal filsafat teknologi. Karena filsafat umumnya kita
kenal sebagai maha ilmu yang membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi
manusia, Tuhan ataupun Wujud (realitas). Untuk itu menghubungkan filsafat dan teknologi
akan terkesan tak biasa. Padahal filsafat teknologi adalah salah satu genre dalam ranah
filsafat yang dapat dikatakan banyak menarik perhatian para filsuf. Heidegger, Habermas,
Jacques Ellul, Don Ihde dan Andrew Feenberg adalah beberapa contoh filsuf yang
memberikan perhatian pada hakikat teknologi dalam dunia-kehidupan.
Pertanyaan tentang hakikat teknologi sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunani
kuno (Aristoteles). Saat itu dikenal terma filsafat: techne dan poiesis. Heidegger
mengungkap hal ini dalam bukunya The Question Concerning Technology (1977). Techne
dapat dijelaskan sebagai pengetahuan tentang cara memproduksi atau mentransfomasikan,
sedangkan poiesis adalah sebuah penyingkapan, yang dengannya sesuatu yang baru hadir
di muka bumi. Pada masa modern filsafat teknologi tidak hanya membahas techne, poiesis
dan kaitannya dengan dunia-kehidupan saja, tapi juga artifak atau teknofak yang tak dapat
dipungkiri mempengaruhi kehidupan dan juga kesadaran.
Heidegger adalah salah satu filsuf yang membuka diskursus filsafat teknologi.
Karakter dan hakikat teknik (teknologi) bahkan sudah dibicarakan oleh Heidegger dalam
buku besarnya Being and Time(1927), yang kemudian dtuntaskan dalam bukunya The
Question Concerning Technology(1977). Menurut Heidegger hakikat teknologi adalah bukan
sesuatu yang bersifat teknologis, melainkan enframing; membuat, mencipta atau
mentransformasikan (yang kemudian mengungkapkan sesuatu yang baru). Yang teknologis
kemudian dimengerti bukan semata-mata yang teknis tetapi juga yang reflektif filosofis.
Refleksi filosofis tentang teknologi telah mencipta tanggapan yang berbeda-beda tentang
hakikat teknologi.
Di Amerika misalnya dikenal sebuah gerakan atau perkumpulan anti-teknologi.
Gerakan ini bernama Neo-Luddite. Nama ini berasal dari Luddisme, yaitu sebuah gerakan
anti industrialisasi di Inggris pada awal abad 19. Gerakan ini sering dikisahkan sebagai
gerakan merusak mesin yang dilakukan oleh para buruh karena mengancam lahan
kerjanya, salah satunya diperkirakan orang yang bernama Ned Ludd. Demikianlah Luddisme
dikenal. Sekarang kita mengenal neo-luddite sebagai gerakan anti teknologi. Gerakan yang
mempunyai manifesto bahwa: biosphere itu lebih utama dari technosphere. Mesin misalnya
menurut Neo-Luddite merupakan dekadensi dalam peradaban. Ia telah mengambil alih kerja
(keterampilan tangan/seni) manusia—memproduksi secara massal. Gerakan ini bahkan
menolak produksi/percetakan buku atau kertas—padahal dikenal sebagai gerakan kaum
‘13
3
Etika dan Filsafat Komunikasi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
intelektual. Alasannya, produksi buku (kertas) secara masal telah menghabiskan hutanhutan di Eropa. Selain itu menurut mereka budaya baca buku telah menghilangkan tradisi
bercerita atau mendongeng.
Filsafat teknologi tentu tidak terbatas pada bagaimana relasi manusia dengan artifak
(dan teknofak) itu dapat dijelaskan. Jacques Ellul, seorang pemikir dari Perancis dalam
bukunya The Technological Society (1964) melihat teknologi (lebih spesifik dunia teknik)
sebagai entitas yang otonom, manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan
teknik. Hanya teknologi yang dapat mengontrol dan mengatasi dirinya sendiri.
Dengan kata lain, implikasi etis, sosiologis dan ekologis dari kemajuan teknik hanya
dapat diatasi oleh teknik itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan limbah industri misalnya
diperlukan teknologi baru untuk mengolah atau mengatasi permasalahan limbah. Sehingga
teknik terus menerus maju untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya.
Ia bergerak dengan sendirinya layaknya sebuah organisme–bagian dari laju evolusi
kehidupan. Karena itu ia tidak dapat dikontrol, seperti monsternya Frankenstein.
Bahkan Teknologi di sini diandaikan seperti roh absolut Hegel yang bergerak secara masif
mengontrol dan menguasai dunia-kehidupan. Tidak ada kekuatan selain dunia teknik itu
sendiri. Karena teknik adalah syarat bagi kehidupan. Dengan kata lain orang yang tidak
menggunakan atau anti teknologi (teknik) akan dengan sendirinya tersingkir dan tereliminasi
dari dunia-kehidupan.
Gagasan Ellul tentu saja terkesan ambisius. Mengapa kita tidak bisa mengontrolnya?
Bukankah semua itu kreasi manusia? Banyak pemikir melihat bahwa determinisme teknik
adalah konsekuensi dari ideologi modernisme, yang di dalamnya terdapat gagasan ideologis
tentang kemajuan dan perubahan. Sehingga gagasan deterministik mengandaikan sebuah
kondisi sejarah yang tak terelakkan, kita hidup dalam sebuah keniscayaan sejarah yang
menempatkan dunia teknik sebagai syarat-syaratnya.
Don Ihde, ahli fenomenologi dari Amerika menanggapi dengan berbeda soal
determinisme ini, bahkan dalam beberapa hal menolaknya. Ia mengupas terlebih dahulu
relasi teknologi dan kebudayaan manusia. Argumen diawali dengan penjelasan tentang
relasi hermeneutis dalam konteks kultural, yaitu sebuah interpretasi yang terjadi ketika suatu
budaya menangkap atau menerima artifak teknologi kebudayaan lain. Don Ihde melihat
bahwa ada kegiatan hermeneutis ketika teknologi sebagai instrumen kultural dimaknai dan
diinterpretasikan secara berbeda; Yaitu ketika terjadi transfer teknologi (Don Ihde,
Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, 1990: 125).
Nilai praktis teknologi dalam proses transfer teknologi dapat diinterpretasikan secara
berbeda bahkan tidak dimengerti. Namun bila nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer
teknologi menjadi mudah. Dapat dikatakan tidak ada kegiatan hermeneutis. Orang Papua
Nugini misalnya dapat mengkonversikan pisau/kapak dari batu menjadi pisau/kapak dari
‘13
4
Etika dan Filsafat Komunikasi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
besi karena nilai praktis yang dapat dimengerti atau sama. Berbeda ketika mereka pertama
kali melihat senapan. Mereka tidak mengerti nilai praktis senapan.
Perlu adanya kegiatan hermeneutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna.
Jadi sama seperti kita pertama kali melihat komputer atau teknologi lainnya. Orang yang
tidak mengerti nilai praktis teknologi tentunya akan bertanya-tanya ketika melihat benda
teknologi tersebut.
Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi. Setiap
budaya misalnya mempunyai teknologi yang sama, namun mempunyai nilai praktis yang
berbeda. Di Cina pada awalnya bubuk mesiu digunakan untuk petasan, perayaan-perayaan,
berbeda dengan di Barat yang menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, peperangan.
Begitu juga tenaga angin (kincir angin), ia juga sama-sama dipakai di Barat dan juga di
Timur (Iran). Namun nilai praktisnya berbeda, di Barat tenaga angin membawa banyak
kegunaan, sedangkan di Iran hanya untuk tenaga irigasi. Jadi setiap budaya mempunyai
ekspresi berbeda tentang teknologi yang digunakannya. Masing-masing mempunyai nilai
praktisnya sendiri.
Berdasarkan interpretasi antropologis, Don Ihde kemudian menyimpulkan bahwa
teknologi itu inheren dengan kebudayaan. Bila kita melihat contoh di atas benarlah bahwa
setiap artifak kebudayaan itu mengandung nilai teknologisnya sendiri. Setiap budaya
menggunakan instrumen teknologi (artifak) sesuai dengan tradisi yang diturunkan, dan ia
bersifat unik. Karena itu teknologi inheren dengan budaya itu sendiri. Maka pertanyaan pun
beralih, apakah budaya itu dapat dikontrol atau tidak? Atau apakah budaya itu bersifat
determinisitik?
Tentu tidak semudah itu mengatakan bahwa apakah budaya itu dapat dikontrol atau
tak dapat dikontrol (deterministik). Kata kontrol dalam konteks ini bermasalah. Karena dalam
nalar Don Ihde relasi manusia-teknologi (budaya) sudah mengandaikan adanya kegiatan
“mengontrol” dan “dikontrol” (Technology and the Lifeworld, 1990: 140). Untuk itu budayateknologi tidak dapat dipertanyakan apakah ia dapat dikontrol atau tidak. Teknologi bukanlah
monster yang berdiri bebas dan otonom. Karena ia digunakan dan bersifat intensional,
artinya manusia mempunyai kebebasan untuk mengontrol dan dikontrol. Dalam konteks
inilah Don Ihde menolak asumsi metafisika deterministik dari teknologi.
Ketika setiap budaya mempunyai ekspresi yang berbeda tentang teknologi, maka
teknologi dipahami bersifat non-netral. Bahkan Ihde melihat bahwa teknologi itu bersifat
ambigu. Ketika teknologi dimaknai sebagai kode-kode budaya maka ia pun dapat dimaknai
secara berbeda. Karenanya teknologi sebagai bagian inheren dari budaya bersifat
kontekstual dan mempunyai ciri multistabil (Technology and the Lifeworld, 1990: 144).
Multistabilitas ini dapat dipahami sebagai pandangan khas/unik setiap budaya dalam
‘13
5
Etika dan Filsafat Komunikasi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
memahami dan menjelaskan dunianya. Jadi relasi teknik dan relasi hermeneutis setiap
budaya dalam menjelaskan dan memahami dunia itu berbeda-beda
Karena pengalaman kebudayaan berbeda-beda maka persepsi tentang teknologi
pun berbeda. Mulstabilitas yang terjadi pada relasi manusia-teknologi ini dapat dicontohkan
dalam sistem navigasional. Orang Barat mempunyai sistem yang baik untuk navigasi kapal,
tapi tetap tidak bisa mentransfer teknologi navigasionalnya ke suku-suku di Pasifik Selatan.
Artinya suku di Pasifik Selatan itu tetap tidak mengerti teknologi navigasional orang Barat
yang bersifat hermeneutis/representasional (penggunaan kompas misalnya). Mereka tetap
mempunyai teknologinya sendiri, seperti membaca arah lewat pola-pola ombak atau pola
bintang-bintang (relasi kemenubuhan).
Gagasan determinisme teknologi tak dapat dimungkiri juga terkait dengan fenomena
kesadaran dan relasinya dengan artifak-artifak teknik. Habermas misalnya melihat bahwa
kemajuan teknik (teknologi) akhirnya menentukan kesadaran masyarakat modern. Selfunderstanding masyarakat modern tentang dunianya menurut Habermas dimediasikan oleh
apropriasi hermeneutis terhadap budaya teknologi yang bergerak secara teleologis. Ini
memberikan sebuah asumsi bahwa jaring-jaring logika teknik kemudian menjadi determinan
utama kesadaran. Aksi-intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku
dalam dunia teknologi.
Akibatnya menurut Habermas pengejawantahan rasio melulu bersifat teknis, artinya
dimensi praksis rasio adalah kegiatan produktif yang hanya mengungkapkan nilai-nilai
efesien dan fungsional. Dimensi praksis rasio kemudian semata-mata dimengerti sebagai
aplikasi teknis yang merupakan penerapan sains dan rasionalitas. Hal inilah yang kemudian
menggejala dalam bentuk kontrol teknis terhadap alam. Sehingga tujuan utama pencerahan
(emansipasi sosial ) terlupakan. Ilmu pengetahuan kemudian semata-mata dimengerti
sebagai moda atau cara bagaimana mengontrol dan memanipulasi alam. Inilah yang
membuat masyarakat modern tenggelam dan terarahkan oleh dimensi teknis dari
pengetahuan. Padahal tujuan utama pencerahan adalah emansipasi sosial yang terkait
dengan kesadaran bahwa lewat pengetahuan kita dapat melepaskan diri dari segala
dogmatisme dan kepicikan.
Berbicara tentang teknologi dalam konteks filsafat tentu tak lepas dari persoalan
bagaimana kita secara ontologis memahami dunia lewat instrumen teknik. Dalam nalar
Heideggerian hal ini menyangkut bagaimana interaksi kita terhadap dunia dapat dijelaskan
dan diatasi melalui instrumen.Seperti kita ketahui pada zaman kuno dunia dijelaskan lewat
mitos, manusia mengkonstruksikan sebuah sistem untuk menjelaskan dunianya lewat
pengandaian-pengandaian mitologis. Sekarang manusia menggunakan atau menciptakan
instrumen untuk menjelaskan dan memahami dunia. Instrumen teknologi secara perseptual
kemudian merepresentasikan realitas. Kita menggunakan teropong (teleskop) untuk melihat
‘13
6
Etika dan Filsafat Komunikasi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
benda-benda di kejauhan, termometer untuk mengukur suhu, atau mikroskop untuk melihat
partikel-partikel yang tak dapat dilihat secara telanjang oleh mata. Dunia dihadirkan lewat
instrumen teknologi.
Don Ihde membuat isitilah hermeneutika teknik untuk menjelaskan fenomena
tersebut di atas. Menurutnya, teknologi itu sendiri adalah sebuah teks. Kita secara interpretif
memahami dunia lewat artifak teknologi sebagai sebuah teks (Technology and the Lifeworld,
1990: 81). Lebih jauh Hermenutika teknik adalah moda tentang bagaimana manusia
menginterpretasikan, membaca, dan memahami dunianya lewat artifak teknologi. Misalnya
pilot tidak melihat secara langsung dunia, melainkan membaca lewat panel kontrol. Manusia
dalam hal ini menggambarkan dunia lewat sebuah teks atau instrumen teknologi.
Dalam hermenutika teknik juga dikenal relasi kemenubuhan. Ini berarti instrumen teknologi
dipahami sebagai kepanjangan atau ekstensi dari fungsi tubuh. Artinya secara transparan
dunia ditampilkan oleh instrumen. Tidak ada jarak antara manusia dengan teknologi dalam
relasi kemenubuhan. Hal ini dapat diilustrasikan demikian: (I-Technology)-World. Aku dan
teknologi menjadi satu berhadapan dengan dunia. Jadi seperti seorang buta dengan
tongkatnya. Teknologi adalah tongkat yang digunakan untuk membaca dan mengatasi
dunia. (Aku-Tongkat)-Dunia. Relasi kemenubuhan dalam konteks teknologi adalah relasi
yang telah ada sejak manusia primitif. Sejak manusia mulai membuat instrumen dari batu.
Membuat instrumen untuk memperluas kemampuan atau fungsi organ-organ tubuhnya.
Instrumen teknik adalah mimesis dari fungsi tubuh manusia.
Sekarang artifak teknologi telah meluas tidak hanya sebatas nilai efesiensi dan
fungsionalitas. Teknologi baru yang berhubungan dengan dunia-kehidupan manusia
sekarang terkait dengan nilai-nilai yang mengandung unsur permainan. Bahkan di negara
kurang maju ia menjadi semacam perhiasan saja atau fashion. Misalnya ada suku-suku di
Afrika yang tidak dapat menerima dan mengerti budaya jam, mereka kemudian
menganggap jam tangan sebagai gelang perhiasan. Fungsionalitas jam tangan dalam hal ini
tak dapat dimengerti.
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dunia teknologi
kemudian semakin sulit dimengerti. Artinya cara kerja/sistem (teknis) artifak teknologi itu
dalam beberapa hal hanya dipahami oleh para ilmuwan atau teknisi saja. Sekarang artifak
teknologi tidak lagi sebatas instrumen untuk membaca dan memahami dunia. Ia telah
meluas dan membentuk dunianya sendiri. Yang teknis tidak lagi terkait dengan pengalaman
konkret, seperti analogi tongkat di atas. Teknologi tidak hanya memberikan makna
intrumental dan fungsional saja. Ia juga secara ontologis membentuk dunianya sendiri.
Dapat dikatakan dunia teknologi pada masa modern terbagi menjadi dua: dunia makna dan
dunia teknis yang tersembunyi. Seperti yang ungkapkan oleh Dr. Karlina Supelli (dalam
‘13
7
Etika dan Filsafat Komunikasi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
seminar terbatas “Technology and the Lifeworld“) bahwa ada pemilahan analitis dalam
dunia-teknologi, yaitu ranah makna dan ranah teknis.
ranah teknis dapat dinterpretasikan sebagai dunia yang hanya dipahami dengan baik
oleh oleh para teknisi. Misalnya kebanyakan orang tidak mengerti mengapa AC bisa
membuat udara menjadi dingin atau mengapa besi bisa terbang di udara. Ini berbeda
dengan dunia makna yang menjelaskan artifak teknologi sebatas fungsionalitasnya saja.
Dengan kata lain instrumen tersebut sudah siap pakai. Kita tinggal menggunakannya saja,
dalam beberapa hal kita tidak mempedulikan teknik atau cara kerjanya. Radio atau televisi
dapat langsung kita nikmati, kita terkadang tidak menyadari bahwa di dalamnya ada dunia
teknik yang bekerja. Dunia teknis kemudian menjadi dunia yang selalu terbungkus. Dunia
yang makin lama makin sulit dimengerti, semakin asing.
Daftar Pustaka
Martin Heidegger: Die Technik und die Kehre, Pfullingen, 1962
Gehlen: Der Mensch, Seine Natur und seiner Stellung in der Welt, Berlin, 1940
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, 1990
‘13
8
Etika dan Filsafat Komunikasi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download