hakekat dan makna teknologi bagi keberadaan

advertisement
RUANG KAJIAN
HAKEKAT DAN MAKNA TEKNOLOGI BAGI KEBERADAAN
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HEIDEGGER
Fadhilah
Abstrak
Perkembangan teknologi dalam 10 tahun terakhir menunjukkan berbagai
fenomena yang secara esensial telah memberi makna bagi kehidupan manusia.
Tulisan yang berjudul ‘Hakekat d an Makna Teknologi bagi Keberadaan
Manusia Menurut Perspektif Heidegger’ adalah salah satu usaha refleksi atas
fenomena tersebut. Salah satu pandangan Heidegger tentang teknologi adalah
apa yang temuat dalam tulisannya tentang “Being and Time”. Teknologi oleh
Heidegger dianalogikan sebagai kuil yang menumpahkan macam-macam
makna, atau asal muasal berbagai pemaknaan, contoh lain: tugu/monumen
yang memberi makna manusia mengingat sesuatu tentang sejarah yang tecermin
dalam tugu itu. Tugu dan kuil tersebut akhirnya digantikan dengan teknologi
sebagai seni. Hal ini berhubungan dengan pandangan Heidegger tentang
makna benda-benda di sekitar manusia adalah karena manusia memberikan
makna kepada benda-benda tersebut. Sebaliknya, jika hanya dilihat dari
bendanya saja, maka kedua benda tersebut tidak bermakna apa-apa, karena
keduanya adalah benda mati. Manusialah yang memberikan makna kepada tugu
dan kuil, antara lain tugu sebagai monumen bersejarah dan kuil sebagai sarana
manusia dalam aktivitas religiusnya. Makna lain dari kedua benda tersebut
dapat juga karena memiliki nilai seni yang tinggi. Namun ketika kedua benda
tersebut dihancurkan dan ditinggalkan manusia karena dianggap tak bermakna,
maka benda-benda tersebut pun akan tak berarti apa-apa lagi. Pandangan ini
dapat dianalogkan dengan teknologi kontemporer, sebagai contoh program
komputer, mulai dari WS, Pentium I, Pentium II, Pentium III dan Pentium IV,
dan seterusya. Begitupun dengan perangkat kerasnya, sekarang sebagian orang
mulai beralih kepada note book/laptop yang dianggap lebih praktis dan
manusiawi, karena kemudahan dalam penggunaannya. Dalam perspektif ini,
manusialah yang memberikan makna terhadap produk-produk teknologi
tersebut.
Kata Kunci: Hakekat Teknologi, Keberadaan Manusia, Filsafat
Pendahuluan
(1813-1855) sebagai sumber utama
pemikiran eksistensialismenya, dan
Edmund Husserl (1859-1938) sebagai
filsuf fenomenologi yang mengilhami
kerangka analisanya, serta metafisika
modern Henry Bergson tentang
“kesadaran” dan “intuisi” yang mewarnai filsafat hidupnya.
Berbagai
corak
pandangan
tentang filsafat teknologi akhir-akhir
ini menjadi salah satu alasan yang
mendorong penulis untuk mencoba
merefleksikan salah satu pemikiran
tentang hakekat dan makna teknologi. Dalam hal ini penulis tertarik
untuk mendeskripsikan kembali pendapat Heidegger tentang hakekat dan
makna teknologi. Hal yang menarik
bagi penulis dari pemikiran Heidegger
tentang hakekat dan makna teknologi
adalah karena Heidegger memandang
teknologi
dari
perspektif
eksistensi manusia yang secara
konkret dapat dilihat dalam fenomena
kehidupannya sehari-hari. Dengan
demikian Heidegger melihat teknologi
tidak semata-mata teoritis, melainkan
sebagai hasil perkembangan/evolusi
pengetahuan
manusia,
sebagai
manifestasi eksistensi dan fenomenologi tentang manusia.
Untuk dapat memahami hakekat
dan makna teknologi dalam perspektif
eksistensi dan fenomenologi manusia
dalam pandangan Heidegger, dibutuhkan analisa dan refleksi yang
mendalam
melalui
pendekatan
eksistensialisme S. Kiekegaard dan
fenomenologi
Husserl
sebagai
landasan ontologis yang melatarbelakangi pemikirannya. Hal tersebut
dapat dilihat dari beberapa tulisan,
artikel ataupun buku yang mengomentari
pendapat
Heidegger
tentang
teknologi,
antara
lain
menyoroti latar belakang atau faktor
yang
mempengaruhi
pandangan
Heidegger terhadap teknologi dan
menganalisa salah satu karya
Heidegger yang terkenal “Being and
Time”. Pandangannya dalam hal ini
dipengaruhi oleh S. Kiekegaard
Pokok-Pokok Pikiran Eksistensialisme sebagai Landasan Ontologis
Heidegger Tentang Manusia dan
Teknologi
Sedikitnya terdapat 4 pemikiran
yang jelas dapat disebut eksistensialisme,
yaitu
pemikiran
Martin
Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl
Jaspers dan Gabriel Marcel. Pengertian eksistensi dalam filsafat
eksistensialisme memiliki makna
khusus, bukan sekedar berada dalam
ruang dan waktu sebagaimana pengertian eksistensi dalam kehidupan
sehari-hari.
Eksistensi adalah cara manusia
berada dalam dunia yang berbeda
dengan beradanya benda-benda.
Beradanya benda-benda menjadi
bermakna karena manusia. Eksistensi
berasal dari kata: eks (keluar) dan
sistensi, yang diturunkan dari kata
kerja sisto (berdiri, menempatkan).
Oleh karena itu kata eksistensi
diartikan manusia berdiri sebagai diri
sendiri keluar dari dirinya. Manusia
sadar bahwa dirinya ada. Dirinya disebut “aku”. Segala sesuatu dihubungkan dengan dirinya. Mejaku,
kursiku, temanku dll. Manusia menyibukkan dirinya dengan apa yang di
luar dirinya dan menggunakan bendabenda yang ada disekitarnya. Dalam
kesibukannya, manusia menemukan
dirinya. Beberapa ciri persamaan
32
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006
filsafat eksistensialisme antara lain
sebagai berikut:
1) Motif pokok adalah apa yang
disebut eksistensi, yaitu cara
manusia berada. Hanya manusia
yang bereksistensi. Eksistensi
adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada
manusia. Oleh karena itu bersifat
humanitis.
2) Bereksistensi
harus
diartikan
secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara
aktif, bereksistensi berarti berarti
berbuat, menjadi, merencanakan.
Setiap saat manusia menjadi lebih
atau kurang dari keadaannya.
3) Di dalam filsafat eksistensialisme
manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas
yang belum selesai, yang masih
harus dibentuk. Pada hakekatnya
manusia terikat kepada dunia
sekitarnya, terlebih-lebih kepada
sesama manusia.
4) Filsafat eksistensialisme memberi
tekanan kepada pengalaman
yang konkrit, pengalaman yang
eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger
memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala
sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers
kepada pengalaman hidup yang
bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan
kesalahan.
Pokok pemikiran Heidegger
dicurahkan untuk pemecahan yang
konkrit terhadap persoalan tentang
arti “berada” selama Heidegger hidup
belum ada yang menjelaskan secara
gamblang, menurutnya hanya samarsamar saja. Menurut Heidegger persoalan “berada” harus dijelaskan se-
cara ontologis dengan menggunakan
metode fenomenologis. Dalam hal ini
ia dipengaruhi oleh pandangan
fenomenologi
Husserl.
Menurut
Heidegger, eksistensi manusia berbeda dengan dunia itu sendiri.
Heidegger
membedakan
antara
“berada” (Sein) dan “yang berada”
(Seinde). Menurutnya “berada” hanya
berlaku bagi manusia. Sedangkan
“yang berada” (Seinde) berlaku untuk
benda-benda mati yang menurut
Heidegger makna keduanya berbeda.
Manusia “berada” dalam arti aktif,
dinamis dan berhadapan dengan
benda-benda yang ada disekitarnya.
Hal ini karena manusia memiliki
“kesadaran” akan dirinya. Keberadaan manusia ini disebut “Dasein” yang
berarti “berada dalam dunia”. Adapun
benda-benda lain meskipun ada di
sekitar manusia, namun jika dipandang pada dirinya sendiri, beradanya terpisah dari benda-benda yang
lain. Benda-benda tersebut memiliki
arti dan makna sepanjang dihubungkan
dengan
manusia.
(Harun
Hadiwijono: 150).
Keberadaan manusia dalam
ruang dan waktu diketahui melalui
“kesadaran” tentang “aku”-nya manusia. Hal ini berbeda dengan
hakekat “ada” pada benda-benda
mati. Manusia berada secara aktif
dan dinamis. Manusia berada dalam
dunia dan memiliki dunia. Manusia
adalah subyek dalam dunia. Sedangkan benda-benda, jika dipandang
pada dirinya sendiri beradanya
secara terpisah dengan benda
lainnya, karena tidak saling menyapa.
Hal inilah yang membedakan makna
beradanya manusia dengan beradanya benda-benda mati, yaitu karena
“kesadaran”. Dalam kesadarannya,
manusia
berhadapan
dengan
33
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006
manusia lain, terikat oleh sesama
manusia, bahkan terbelenggu oleh
nasibnya. Meskipun demikian manusia dapat keluar dari keberadaan
semu (dalam pengertian sehari-hari)
menuju keberadaan yang sesungguhnya. Cara berada manusia antara lain
dengan seolah-olah keluar dari
dirinya, menyibukkan diri dengan apa
yang ada di luarnya, menggunakan
benda-benda di sekitarnya. Bendabenda hanya bermakna sejauh dihubungkan dengan manusia. Sebaliknya jika manusia tak membutuhkan,
maka benda-benda tersebut tidak
mempunyai makna apa-apa.
Pemikiran eksistensialisme dan
fenomenologis tersebut menjadi latar
belakang pandangan Heidegger tentang teknologi. Karena latar belakang
pemikirannya yang eksistensialis dan
fenomenologis, serta dipengaruhi
oleh filsafat hidup Bergson, maka
pandangan Heidegger terhadap teknologi juga sangat humanistis .
Pokok-pokok Pikiran
tentang Teknologi
berbeda dari posisi-posisi yang
dominan pada waktu itu dan
merupakan suatu penyimpangan dari
dan bergantung pada pengetahuan
praksis yang lebih primitif.
Hubungan primer kita dengan
dunia/lingkungan pengalaman pertama tidaklah bersifat konseptual,
tetapi adalah hubungan jasmaniah
praksis yang tercermin dalam aktivitas keseharian. Contoh: Palu
dalam konteks penggunaan-penggunaan khusus yang relasional,
dimana palu itu menjadi suatu bagian
dari bidang tugas, yang menunjuk
pada paku, sol-sol sepatu, produksi
artifak. Tetapi palu yang dipakai itu
bukan suatu obyek semata, melainkan secara aktual kegunaannya
menunjukkan corak pengetahuan
praktis tertentu yang tidak bersifat
konseptual, tetapi bersifat jasmaniah.
Teknologi dipandang sebagai
peran dalam pengalaman awal
manusia terhadap lingkungan. Namun
hal itu nampak, justru ketika teknologi
berfungsi secara tidak baik. Pada
saat teknologi berfungsi dengan baik,
hal itu justru perannya tidak nampak.
Contoh
mesin
ketik/komputer,
ketika sedang digunakan tanpa ada
masalah, maka perannya tidak
nampak, tetapi justru ketika ada
hambatan, maka peran mesin ketik
tadi lebih nampak. Contoh lain mobil
yang sering dipakai sebagai alat
transportasi dalam menjalankan tugas
sehari-hari. Ketika tidak ada masalah,
seperti mogok tiba-tiba dll, maka
fungsi/peran mobil tidak terlalu
dirasakan. Namun ketika di tengah
jalan mobil yang dikendarai tiba-tiba
mesinnya mogok, maka baru terasa
bahwa peran/fungsi atau hubungan
mobil dengan pekerjaan manusia
sangat tersebut sangat penting.
Heidegger
Dalam buku yang berjudul
Filsafat Teknologi Suatu Pengantar,
karangan asli Dr. Don Idhe dan
diterjemahan oleh Yudian W. Asmin,
Penerbit Al Ikhlas, Surabaya Indonesia, tahun 1995, cetakan ke I,
antara lain menguraikan pemikiran
Heidegger tentang teknologi.
Pemikiran Heidegger tertuang
dalam tulisannya tentang Being and
Time (Ada dan Waktu). Heidegger
merespon
analisa
“kesadaran
modern” gaya Husserl melahirkan
analisa kuat terhadap praksis biasa.
Dalam buku utamanya Being and
Time (1927), dikemukakan argumentasi bahwa pengetahuan saintifik
34
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006
Dalam eseinya yang berjudul
“The Question Concerning Technology”, Heidegger menarik kesimpulan
tentang teknologi, bahwa secara
ontologis, teknologi mendahului sains.
Hal ini dapat dilihat dalam sejarah
perkembangan
teknologi
awal
dengan adanya penemuan berbagai
alat penting dalam masa sebelum
sains berkembang pesat, seperti alat
pengukur waktu dan jarak (sundial,
elypsadra dan gnomon) pada filsafat
pasca
Aristoteles,
pada
masa
Hellenika Romawi, sejak Archimedes
(287-252). Sejak masa itu dianggap
sebagai masa perkembangan teknologi dan eksperimen. Dengan penemuan-penemuan tersebut, justru
bermanfaat
bagi pengembangan
sains berikutnya. Penggunaan matematika, metode eksperimental dan
observasi saintifik, teori itu sendiri
harus dipandang sebagai suatu corak
alat dalam cara pandang teknologis.
Tentang
teknologi
sebagai
wujud/ada, adanya teknologi sebagai
wujud keberadaan manusia. Wujud
teknologi adalah ciptaan manusia.
Contoh: adanya palu menunjukkan
sesuatu yang ada di balik palu, yaitu
komunitas kerja/proyek. Esensi palu
adalah sesuatu yang memperkuat
sesuatu. Dari sisi ini, maka Heidegger
memandang esensi teknologi sebagai
salah satu cara beradanya manusia.
Dengan demikian, makna palu bagi
manusia menunjukkan komunitas
manusia yang berhubungan dengan
kerja/proyek.
esensi manusia berbeda dengan
eksistensinya. Begitu pun dengan
teknologi. Esensi teknologi berbeda
dengan teknologi itu sendiri. Esensi
teknologi adalah aktivitas/produk
manusia. Dengan kata lain teknologi
adalah bentuk aktivitas dan hasil
aktivitas manusia. Di sisi lain
teknologi
dipandang
sebagai
instrumen/alat bagi manusia.
Dalam contoh “palu” sebagai
alat kerja proyek, dapat juga sebagai
alat untuk mengesol sepatu. Fungsi
palu adalah untuk memperkuat. Di
sisi lain adanya palu memberikan
gambaran tentang hal-hal di balik
palu. Palu dapat mencerminkan komunitas kerja manusia yang berbeda
dengan palu itu sendiri.
Pada masa sekarang hal ini
bisa diambil contoh, misalnya teknologi komputer yang dirancang untuk
dijadikan sebagai alat penyimpan
data yang memudahkan manusia
dalam aktivitas kerja yang memerlukan data base. Dengan kata lain
teknologi komputer dalam hal ini
dipandang sebagai sarana untuk
mewujudkan
eksistensi
manusia
dalam dunia kerja yang membutuhkan penyimpanan data.
Teknologi bukan hanya sebagai
alat, tetapi sebuah jalan yang
membuka sesuatu, dari yang semula
tidak nampak menjadi nampak/pembuka pikiran/kerangka pemikiran;
memberi pemaknaan baru. Sebagai
pembuka pikiran dari hal yang semula
tidak nampak menjadi nampak, hal ini
bisa dicontohkan dengan adanya
penemuan mikroskop sebagai alat
untuk melihat benda yang sangat
kecil dalam jarak dekat dengan kaca
pembesar. Begitu juga dengan ditemukannya teleskop/alat teropong
bintang, memungkinkan manusia
Esensi Teknologi berbeda dengan
Teknologi itu sendiri
Pandangan Heidegger tentang
hal ini dilandasi oleh pemikiran
tentang
eksistensialisme,
bahwa
35
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006
dapat melakukan perhitungan kalender Hijriyah dengan lebih tepat. Di era
sekarang dengan perkembangan
teknologi IT dan internet, HP, TV dan
radio memungkinkan manusia dapat
melihat dan mendengar berbagai
informasi dan fenomena yang sebelumnya tidak nampak/tidak dapat
dilihat atau ditangkap. Dengan HP
seseorang bisa mengetahui posisinya
dimana.
Esensi teknologi antara lain
sebagai Gestall/enframing: set to
reveal/world as bestand/standing
resarve. Contoh: ketika melihat
sungai, maka yang ada dalam pikiran
kita adalah sungai dapat menjadi
sebuah cadangan pembangkit tenaga
listrik. Teknologi dalam hal ini dapat
dipandang sebagai aset yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup manusia
di masa yang akan datang.
Teknologi adalah suatu pengetahuan. Sebagai cara untuk mengetahui. Teknologi sebagai episteme
= ilmu murni yang memberi kita
pengetahuan. Sedangkan techne =
pekerjaan tukang/art. Dalam arti ini,
teknologi adalah knowledge yang
sejajar dengan science. Dengan
demikian teknologi berbeda dengan
techne
yang
hanya
bermakna
sebagai pekerjaan tukang.
Teknologi dapat menjadi alat
yang membebaskan diri manusia dari
hegemoni/pandangan yang salah/
tidak tepat tentang sesuatu yang
mengikat manusia. Heidegger tidak
setuju dengan pandangan Aristoteles
tentang 4 causa (causa formalis,
causa materialis, causa finalis dan
causa efisien) yang telah menghegemoni masyarakat kuno. Dalam
makna teknologi sebagai alat yang
membebaskan manusia dari hegemoni/pandangan yang salah antara
lain dapat dilihat dalam contoh
penemuan alat teropong bintang yang
mampu mendorong munculnya revolusi Copernicus. Sebelum teropong
bintang
ditemukan,
masyarakat
Yunani percaya bahwa bumi adalah
sebagai pusat tata surya (pandangan
geosentris). Namun setelah alat
teropong bintang ditemukan, maka
pandangan
geosentris
tersebut
berubah/digantikan menjadi pandangan heliosentris, yaitu bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya
kita.
Teknologi dianalogikan sebagai
kuil yang menumpahkan macammacam makna, atau asal muasal
berbagai pemaknaan, contoh lain:
tugu/monumen yang memberi makna
manusia mengingat sesuatu tentang
sejarah yang tecermin dalam tugu itu.
Tugu dan kuil tersebut akhirnya
digantikan dengan teknologi sebagai
seni. Hal ini berhubungan dengan
pandangan Heidegger tentang makna
benda-benda di sekitar manusia
adalah karena manusia memberikan
makna kepada benda-benda tersebut. Sebaliknya, jika hanya dilihat
dari bendanya saja, maka kedua
benda tersebut tidak bermakna apaapa, karena keduanya adalah benda
mati. Manusialah yang memberikan
makna kepada tugu dan kuil, antara
lain tugu sebagai monumen bersejarah dan kuil sebagai sarana
manusia dalam aktivitas religiusnya.
Makna lain dari kedua benda tersebut
dapat juga karena memiliki nilai seni
yang tinggi. Namun ketika kedua
benda tersebut dihancurkan dan
ditinggalkan manusia karena dianggap tak bermakna, maka bendabenda tersebut pun akan tak berarti
apa-apa lagi. Pandangan ini dapat
dianalogikan dengan teknologi dari
36
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006
sisi yang lain. Ketika dahulu orang
belum menemukan teknologi canggih,
maka beberapa penemuan di bidang
teknologi yang pada waktu itu sangat
membantu manusia dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari,
maka teknologi yang ada tersebut
dianggap sangat bermakna bagi
hidup manusia. Tetapi setelah ada
penemuan teknologi canggih, maka
teknologi lama tidak lagi dianggap
bermakna bagi manusia. Contoh:
penggunaan komputer pertama kali
dengan program WS dan sekarang
dengan
ditemukannya
program
Windows dengan Pentium I, II, III, IV,
dst., maka orang tidak lagi memberikan makna pada program komputer yang dianggap sudah usang
dan ketinggalan jaman. Begitupun
dengan perangkat kerasnya, sekarang sebagian orang mulai beralih
kepada notebook/laptop yang dianggap lebih praktis dan manusiawi,
karena kemudahan dalam penggunaannya.
Dalam perspektif ini, manusialah
yang memberikan makna terhadap
produk-produk teknologi tersebut.
Manusia menjadi ukuran dan subyek
yang memberi makna. Namun di sisi
lain, selain mengandung berbagai
macam makna teknologi juga telah
banyak membawa berbagai dampak
negatif bagi kehidupan manusia,
contoh: dengan adanya HP, internet,
dan TV di era informasi telah memberikan berbagai macam makna bagi
hidup manusia, baik makna ekonomis, bisnis, etis, religius, hiburan
dan lain-lain.
Demikianlah garis besar pandangan Heidegger tentang teknologi
yang dapat direfleksikan lebih jauh
lagi dalam fenomena kehidupan
manusia sebagai wujud eksistensi diri
manusia dari sisi yang lain.
Kesimpulan: Tanggapan dan Kritik
Berdasarkan uraian di atas
maka nampak jelas pandangan
Heidegger tentang teknologi yang
bersifat humanistis, karena dilandasi
oleh pemikirannya tentang eksistensialisme S. Kiekegaard dan fenomenologi Husserl, serta adanya
pengaruh filsafat hidup Bergson.
Karena filsafatnya yang bercorak
eksistensialis tersebut, Heidegger
menempatkan teknologi dalam wujud
dan peranan dari segi praksis sebagai
cara beradanya manusia.
Dalam kesadaran manusia yang
terikat dengan keberadaan manusia
lain, menyebabkan peran teknologi
menjadi kompleks, sesuai dengan
makna yang diberikan oleh manusia
terhadap teknologi tersebut. Manusia
menjadi tolok ukur adanya dan
peranan teknologi. Dari sisi ini penulis
menilai pandangan Heidegger tentang teknologi cenderung subyektif.
Namun pada fenomena perkembangan teknologi canggih, ada kecenderungan manusia terkadang
justru dikendalikan oleh teknologi,
sehingga makna teknologi bukan lagi
manusia yang menentukan, melainkan otonomi teknologi yang justru
membuat manusia bergantung dan
tunduk pada sistem teknologi yang
ada (teknologi deterministik). Dengan
demikian, manusialah yang menjadi
obyek teknologi.
Dalam dimensi etis kedudukan
manusia dalam ilmu/science dan
teknologi adalah sebagai subyek dan
obyek sekaligus. Hal ini karena
esensi manusia dan eksistensinya
terikat dengan dunia sekitar, dimana
37
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006
teknologi sekarang telah mampu
mengendalikan
dan
mengatur
manusia. Contoh dalam layanan
telekomunikasi, identitas pengguna
jasa layanan berada dalam kontrol
teknologi
telekomunikasi.
Dalam
administrasi kependudukan, nomor
KTP juga sebagai salah satu bentuk
kontrol teknologi terhadap manusia.
Begitu juga dalam sistem pengambilan uang melalui ATM dengan
menggunakan nomor PIN adalah
bukti konkrit manusia dikendalikan
oleh sistem teknologi.
Meskipun demikian, secara
umum pandangan Heidegger merupakan pemikiran yang sangat lekat
dengan realitas hidup manusia
sekarang, bahkan di era informasi
global, ketika Heidegger tidak lagi
sempat meresponnya, karena tak lagi
“berada” dalam dunia. Pandangan
tentang teknologi yang humanistis
dari Heidegger seharusnya dapat
dijadikan landasan etis bagi pengembangan
dan
penggunaan
teknologi pada masa kini dan yang
akan datang yang cenderung menempatkan manusia sebagai obyek
teknologi. Hal ini tentunya harus
dikembalikan kepada subyek (ma-
nusia) teknologi yang bertanggung
jawab, karena bagaimanapun juga
tujuan sains dan teknologi harus
diprioritaskan untuk kepentingan dan
kesejahteraan
hidup
manusia.
Dengan demikian terhadap dampak
sains dan teknologi yang negatif
hendaknya semaksimal mungkin
manusia mencegah/mengantisipasinya.
Referensi
Don, Idhe. (1995). Filsafat Teknologi
Suatu Pengantar, cetakan ke I,
Penterjemah Yudian W. Asmin,
Penerbit Al Ikhlas, Surabaya
Indonesia.
Harun, Hadiwijono. (2005). Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, cetakan
ke 21, Kanisius, Yogyakarta.
Van Melsen. (1992). Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab
Kita, Gramedia, Jakarta.
Jacob, Teuku. (1996). Menuju Teknologi Berperikemanusiaan, Yayasan Obor, Jakarta.
38
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006
Download