RUANG KAJIAN HAKEKAT DAN MAKNA TEKNOLOGI BAGI KEBERADAAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HEIDEGGER Fadhilah Abstrak Perkembangan teknologi dalam 10 tahun terakhir menunjukkan berbagai fenomena yang secara esensial telah memberi makna bagi kehidupan manusia. Tulisan yang berjudul ‘Hakekat d an Makna Teknologi bagi Keberadaan Manusia Menurut Perspektif Heidegger’ adalah salah satu usaha refleksi atas fenomena tersebut. Salah satu pandangan Heidegger tentang teknologi adalah apa yang temuat dalam tulisannya tentang “Being and Time”. Teknologi oleh Heidegger dianalogikan sebagai kuil yang menumpahkan macam-macam makna, atau asal muasal berbagai pemaknaan, contoh lain: tugu/monumen yang memberi makna manusia mengingat sesuatu tentang sejarah yang tecermin dalam tugu itu. Tugu dan kuil tersebut akhirnya digantikan dengan teknologi sebagai seni. Hal ini berhubungan dengan pandangan Heidegger tentang makna benda-benda di sekitar manusia adalah karena manusia memberikan makna kepada benda-benda tersebut. Sebaliknya, jika hanya dilihat dari bendanya saja, maka kedua benda tersebut tidak bermakna apa-apa, karena keduanya adalah benda mati. Manusialah yang memberikan makna kepada tugu dan kuil, antara lain tugu sebagai monumen bersejarah dan kuil sebagai sarana manusia dalam aktivitas religiusnya. Makna lain dari kedua benda tersebut dapat juga karena memiliki nilai seni yang tinggi. Namun ketika kedua benda tersebut dihancurkan dan ditinggalkan manusia karena dianggap tak bermakna, maka benda-benda tersebut pun akan tak berarti apa-apa lagi. Pandangan ini dapat dianalogkan dengan teknologi kontemporer, sebagai contoh program komputer, mulai dari WS, Pentium I, Pentium II, Pentium III dan Pentium IV, dan seterusya. Begitupun dengan perangkat kerasnya, sekarang sebagian orang mulai beralih kepada note book/laptop yang dianggap lebih praktis dan manusiawi, karena kemudahan dalam penggunaannya. Dalam perspektif ini, manusialah yang memberikan makna terhadap produk-produk teknologi tersebut. Kata Kunci: Hakekat Teknologi, Keberadaan Manusia, Filsafat Pendahuluan (1813-1855) sebagai sumber utama pemikiran eksistensialismenya, dan Edmund Husserl (1859-1938) sebagai filsuf fenomenologi yang mengilhami kerangka analisanya, serta metafisika modern Henry Bergson tentang “kesadaran” dan “intuisi” yang mewarnai filsafat hidupnya. Berbagai corak pandangan tentang filsafat teknologi akhir-akhir ini menjadi salah satu alasan yang mendorong penulis untuk mencoba merefleksikan salah satu pemikiran tentang hakekat dan makna teknologi. Dalam hal ini penulis tertarik untuk mendeskripsikan kembali pendapat Heidegger tentang hakekat dan makna teknologi. Hal yang menarik bagi penulis dari pemikiran Heidegger tentang hakekat dan makna teknologi adalah karena Heidegger memandang teknologi dari perspektif eksistensi manusia yang secara konkret dapat dilihat dalam fenomena kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian Heidegger melihat teknologi tidak semata-mata teoritis, melainkan sebagai hasil perkembangan/evolusi pengetahuan manusia, sebagai manifestasi eksistensi dan fenomenologi tentang manusia. Untuk dapat memahami hakekat dan makna teknologi dalam perspektif eksistensi dan fenomenologi manusia dalam pandangan Heidegger, dibutuhkan analisa dan refleksi yang mendalam melalui pendekatan eksistensialisme S. Kiekegaard dan fenomenologi Husserl sebagai landasan ontologis yang melatarbelakangi pemikirannya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa tulisan, artikel ataupun buku yang mengomentari pendapat Heidegger tentang teknologi, antara lain menyoroti latar belakang atau faktor yang mempengaruhi pandangan Heidegger terhadap teknologi dan menganalisa salah satu karya Heidegger yang terkenal “Being and Time”. Pandangannya dalam hal ini dipengaruhi oleh S. Kiekegaard Pokok-Pokok Pikiran Eksistensialisme sebagai Landasan Ontologis Heidegger Tentang Manusia dan Teknologi Sedikitnya terdapat 4 pemikiran yang jelas dapat disebut eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel. Pengertian eksistensi dalam filsafat eksistensialisme memiliki makna khusus, bukan sekedar berada dalam ruang dan waktu sebagaimana pengertian eksistensi dalam kehidupan sehari-hari. Eksistensi adalah cara manusia berada dalam dunia yang berbeda dengan beradanya benda-benda. Beradanya benda-benda menjadi bermakna karena manusia. Eksistensi berasal dari kata: eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Dirinya disebut “aku”. Segala sesuatu dihubungkan dengan dirinya. Mejaku, kursiku, temanku dll. Manusia menyibukkan dirinya dengan apa yang di luar dirinya dan menggunakan bendabenda yang ada disekitarnya. Dalam kesibukannya, manusia menemukan dirinya. Beberapa ciri persamaan 32 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006 filsafat eksistensialisme antara lain sebagai berikut: 1) Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusia yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanitis. 2) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. 3) Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia. 4) Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan. Pokok pemikiran Heidegger dicurahkan untuk pemecahan yang konkrit terhadap persoalan tentang arti “berada” selama Heidegger hidup belum ada yang menjelaskan secara gamblang, menurutnya hanya samarsamar saja. Menurut Heidegger persoalan “berada” harus dijelaskan se- cara ontologis dengan menggunakan metode fenomenologis. Dalam hal ini ia dipengaruhi oleh pandangan fenomenologi Husserl. Menurut Heidegger, eksistensi manusia berbeda dengan dunia itu sendiri. Heidegger membedakan antara “berada” (Sein) dan “yang berada” (Seinde). Menurutnya “berada” hanya berlaku bagi manusia. Sedangkan “yang berada” (Seinde) berlaku untuk benda-benda mati yang menurut Heidegger makna keduanya berbeda. Manusia “berada” dalam arti aktif, dinamis dan berhadapan dengan benda-benda yang ada disekitarnya. Hal ini karena manusia memiliki “kesadaran” akan dirinya. Keberadaan manusia ini disebut “Dasein” yang berarti “berada dalam dunia”. Adapun benda-benda lain meskipun ada di sekitar manusia, namun jika dipandang pada dirinya sendiri, beradanya terpisah dari benda-benda yang lain. Benda-benda tersebut memiliki arti dan makna sepanjang dihubungkan dengan manusia. (Harun Hadiwijono: 150). Keberadaan manusia dalam ruang dan waktu diketahui melalui “kesadaran” tentang “aku”-nya manusia. Hal ini berbeda dengan hakekat “ada” pada benda-benda mati. Manusia berada secara aktif dan dinamis. Manusia berada dalam dunia dan memiliki dunia. Manusia adalah subyek dalam dunia. Sedangkan benda-benda, jika dipandang pada dirinya sendiri beradanya secara terpisah dengan benda lainnya, karena tidak saling menyapa. Hal inilah yang membedakan makna beradanya manusia dengan beradanya benda-benda mati, yaitu karena “kesadaran”. Dalam kesadarannya, manusia berhadapan dengan 33 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006 manusia lain, terikat oleh sesama manusia, bahkan terbelenggu oleh nasibnya. Meskipun demikian manusia dapat keluar dari keberadaan semu (dalam pengertian sehari-hari) menuju keberadaan yang sesungguhnya. Cara berada manusia antara lain dengan seolah-olah keluar dari dirinya, menyibukkan diri dengan apa yang ada di luarnya, menggunakan benda-benda di sekitarnya. Bendabenda hanya bermakna sejauh dihubungkan dengan manusia. Sebaliknya jika manusia tak membutuhkan, maka benda-benda tersebut tidak mempunyai makna apa-apa. Pemikiran eksistensialisme dan fenomenologis tersebut menjadi latar belakang pandangan Heidegger tentang teknologi. Karena latar belakang pemikirannya yang eksistensialis dan fenomenologis, serta dipengaruhi oleh filsafat hidup Bergson, maka pandangan Heidegger terhadap teknologi juga sangat humanistis . Pokok-pokok Pikiran tentang Teknologi berbeda dari posisi-posisi yang dominan pada waktu itu dan merupakan suatu penyimpangan dari dan bergantung pada pengetahuan praksis yang lebih primitif. Hubungan primer kita dengan dunia/lingkungan pengalaman pertama tidaklah bersifat konseptual, tetapi adalah hubungan jasmaniah praksis yang tercermin dalam aktivitas keseharian. Contoh: Palu dalam konteks penggunaan-penggunaan khusus yang relasional, dimana palu itu menjadi suatu bagian dari bidang tugas, yang menunjuk pada paku, sol-sol sepatu, produksi artifak. Tetapi palu yang dipakai itu bukan suatu obyek semata, melainkan secara aktual kegunaannya menunjukkan corak pengetahuan praktis tertentu yang tidak bersifat konseptual, tetapi bersifat jasmaniah. Teknologi dipandang sebagai peran dalam pengalaman awal manusia terhadap lingkungan. Namun hal itu nampak, justru ketika teknologi berfungsi secara tidak baik. Pada saat teknologi berfungsi dengan baik, hal itu justru perannya tidak nampak. Contoh mesin ketik/komputer, ketika sedang digunakan tanpa ada masalah, maka perannya tidak nampak, tetapi justru ketika ada hambatan, maka peran mesin ketik tadi lebih nampak. Contoh lain mobil yang sering dipakai sebagai alat transportasi dalam menjalankan tugas sehari-hari. Ketika tidak ada masalah, seperti mogok tiba-tiba dll, maka fungsi/peran mobil tidak terlalu dirasakan. Namun ketika di tengah jalan mobil yang dikendarai tiba-tiba mesinnya mogok, maka baru terasa bahwa peran/fungsi atau hubungan mobil dengan pekerjaan manusia sangat tersebut sangat penting. Heidegger Dalam buku yang berjudul Filsafat Teknologi Suatu Pengantar, karangan asli Dr. Don Idhe dan diterjemahan oleh Yudian W. Asmin, Penerbit Al Ikhlas, Surabaya Indonesia, tahun 1995, cetakan ke I, antara lain menguraikan pemikiran Heidegger tentang teknologi. Pemikiran Heidegger tertuang dalam tulisannya tentang Being and Time (Ada dan Waktu). Heidegger merespon analisa “kesadaran modern” gaya Husserl melahirkan analisa kuat terhadap praksis biasa. Dalam buku utamanya Being and Time (1927), dikemukakan argumentasi bahwa pengetahuan saintifik 34 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006 Dalam eseinya yang berjudul “The Question Concerning Technology”, Heidegger menarik kesimpulan tentang teknologi, bahwa secara ontologis, teknologi mendahului sains. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah perkembangan teknologi awal dengan adanya penemuan berbagai alat penting dalam masa sebelum sains berkembang pesat, seperti alat pengukur waktu dan jarak (sundial, elypsadra dan gnomon) pada filsafat pasca Aristoteles, pada masa Hellenika Romawi, sejak Archimedes (287-252). Sejak masa itu dianggap sebagai masa perkembangan teknologi dan eksperimen. Dengan penemuan-penemuan tersebut, justru bermanfaat bagi pengembangan sains berikutnya. Penggunaan matematika, metode eksperimental dan observasi saintifik, teori itu sendiri harus dipandang sebagai suatu corak alat dalam cara pandang teknologis. Tentang teknologi sebagai wujud/ada, adanya teknologi sebagai wujud keberadaan manusia. Wujud teknologi adalah ciptaan manusia. Contoh: adanya palu menunjukkan sesuatu yang ada di balik palu, yaitu komunitas kerja/proyek. Esensi palu adalah sesuatu yang memperkuat sesuatu. Dari sisi ini, maka Heidegger memandang esensi teknologi sebagai salah satu cara beradanya manusia. Dengan demikian, makna palu bagi manusia menunjukkan komunitas manusia yang berhubungan dengan kerja/proyek. esensi manusia berbeda dengan eksistensinya. Begitu pun dengan teknologi. Esensi teknologi berbeda dengan teknologi itu sendiri. Esensi teknologi adalah aktivitas/produk manusia. Dengan kata lain teknologi adalah bentuk aktivitas dan hasil aktivitas manusia. Di sisi lain teknologi dipandang sebagai instrumen/alat bagi manusia. Dalam contoh “palu” sebagai alat kerja proyek, dapat juga sebagai alat untuk mengesol sepatu. Fungsi palu adalah untuk memperkuat. Di sisi lain adanya palu memberikan gambaran tentang hal-hal di balik palu. Palu dapat mencerminkan komunitas kerja manusia yang berbeda dengan palu itu sendiri. Pada masa sekarang hal ini bisa diambil contoh, misalnya teknologi komputer yang dirancang untuk dijadikan sebagai alat penyimpan data yang memudahkan manusia dalam aktivitas kerja yang memerlukan data base. Dengan kata lain teknologi komputer dalam hal ini dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan eksistensi manusia dalam dunia kerja yang membutuhkan penyimpanan data. Teknologi bukan hanya sebagai alat, tetapi sebuah jalan yang membuka sesuatu, dari yang semula tidak nampak menjadi nampak/pembuka pikiran/kerangka pemikiran; memberi pemaknaan baru. Sebagai pembuka pikiran dari hal yang semula tidak nampak menjadi nampak, hal ini bisa dicontohkan dengan adanya penemuan mikroskop sebagai alat untuk melihat benda yang sangat kecil dalam jarak dekat dengan kaca pembesar. Begitu juga dengan ditemukannya teleskop/alat teropong bintang, memungkinkan manusia Esensi Teknologi berbeda dengan Teknologi itu sendiri Pandangan Heidegger tentang hal ini dilandasi oleh pemikiran tentang eksistensialisme, bahwa 35 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006 dapat melakukan perhitungan kalender Hijriyah dengan lebih tepat. Di era sekarang dengan perkembangan teknologi IT dan internet, HP, TV dan radio memungkinkan manusia dapat melihat dan mendengar berbagai informasi dan fenomena yang sebelumnya tidak nampak/tidak dapat dilihat atau ditangkap. Dengan HP seseorang bisa mengetahui posisinya dimana. Esensi teknologi antara lain sebagai Gestall/enframing: set to reveal/world as bestand/standing resarve. Contoh: ketika melihat sungai, maka yang ada dalam pikiran kita adalah sungai dapat menjadi sebuah cadangan pembangkit tenaga listrik. Teknologi dalam hal ini dapat dipandang sebagai aset yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia di masa yang akan datang. Teknologi adalah suatu pengetahuan. Sebagai cara untuk mengetahui. Teknologi sebagai episteme = ilmu murni yang memberi kita pengetahuan. Sedangkan techne = pekerjaan tukang/art. Dalam arti ini, teknologi adalah knowledge yang sejajar dengan science. Dengan demikian teknologi berbeda dengan techne yang hanya bermakna sebagai pekerjaan tukang. Teknologi dapat menjadi alat yang membebaskan diri manusia dari hegemoni/pandangan yang salah/ tidak tepat tentang sesuatu yang mengikat manusia. Heidegger tidak setuju dengan pandangan Aristoteles tentang 4 causa (causa formalis, causa materialis, causa finalis dan causa efisien) yang telah menghegemoni masyarakat kuno. Dalam makna teknologi sebagai alat yang membebaskan manusia dari hegemoni/pandangan yang salah antara lain dapat dilihat dalam contoh penemuan alat teropong bintang yang mampu mendorong munculnya revolusi Copernicus. Sebelum teropong bintang ditemukan, masyarakat Yunani percaya bahwa bumi adalah sebagai pusat tata surya (pandangan geosentris). Namun setelah alat teropong bintang ditemukan, maka pandangan geosentris tersebut berubah/digantikan menjadi pandangan heliosentris, yaitu bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya kita. Teknologi dianalogikan sebagai kuil yang menumpahkan macammacam makna, atau asal muasal berbagai pemaknaan, contoh lain: tugu/monumen yang memberi makna manusia mengingat sesuatu tentang sejarah yang tecermin dalam tugu itu. Tugu dan kuil tersebut akhirnya digantikan dengan teknologi sebagai seni. Hal ini berhubungan dengan pandangan Heidegger tentang makna benda-benda di sekitar manusia adalah karena manusia memberikan makna kepada benda-benda tersebut. Sebaliknya, jika hanya dilihat dari bendanya saja, maka kedua benda tersebut tidak bermakna apaapa, karena keduanya adalah benda mati. Manusialah yang memberikan makna kepada tugu dan kuil, antara lain tugu sebagai monumen bersejarah dan kuil sebagai sarana manusia dalam aktivitas religiusnya. Makna lain dari kedua benda tersebut dapat juga karena memiliki nilai seni yang tinggi. Namun ketika kedua benda tersebut dihancurkan dan ditinggalkan manusia karena dianggap tak bermakna, maka bendabenda tersebut pun akan tak berarti apa-apa lagi. Pandangan ini dapat dianalogikan dengan teknologi dari 36 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006 sisi yang lain. Ketika dahulu orang belum menemukan teknologi canggih, maka beberapa penemuan di bidang teknologi yang pada waktu itu sangat membantu manusia dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari, maka teknologi yang ada tersebut dianggap sangat bermakna bagi hidup manusia. Tetapi setelah ada penemuan teknologi canggih, maka teknologi lama tidak lagi dianggap bermakna bagi manusia. Contoh: penggunaan komputer pertama kali dengan program WS dan sekarang dengan ditemukannya program Windows dengan Pentium I, II, III, IV, dst., maka orang tidak lagi memberikan makna pada program komputer yang dianggap sudah usang dan ketinggalan jaman. Begitupun dengan perangkat kerasnya, sekarang sebagian orang mulai beralih kepada notebook/laptop yang dianggap lebih praktis dan manusiawi, karena kemudahan dalam penggunaannya. Dalam perspektif ini, manusialah yang memberikan makna terhadap produk-produk teknologi tersebut. Manusia menjadi ukuran dan subyek yang memberi makna. Namun di sisi lain, selain mengandung berbagai macam makna teknologi juga telah banyak membawa berbagai dampak negatif bagi kehidupan manusia, contoh: dengan adanya HP, internet, dan TV di era informasi telah memberikan berbagai macam makna bagi hidup manusia, baik makna ekonomis, bisnis, etis, religius, hiburan dan lain-lain. Demikianlah garis besar pandangan Heidegger tentang teknologi yang dapat direfleksikan lebih jauh lagi dalam fenomena kehidupan manusia sebagai wujud eksistensi diri manusia dari sisi yang lain. Kesimpulan: Tanggapan dan Kritik Berdasarkan uraian di atas maka nampak jelas pandangan Heidegger tentang teknologi yang bersifat humanistis, karena dilandasi oleh pemikirannya tentang eksistensialisme S. Kiekegaard dan fenomenologi Husserl, serta adanya pengaruh filsafat hidup Bergson. Karena filsafatnya yang bercorak eksistensialis tersebut, Heidegger menempatkan teknologi dalam wujud dan peranan dari segi praksis sebagai cara beradanya manusia. Dalam kesadaran manusia yang terikat dengan keberadaan manusia lain, menyebabkan peran teknologi menjadi kompleks, sesuai dengan makna yang diberikan oleh manusia terhadap teknologi tersebut. Manusia menjadi tolok ukur adanya dan peranan teknologi. Dari sisi ini penulis menilai pandangan Heidegger tentang teknologi cenderung subyektif. Namun pada fenomena perkembangan teknologi canggih, ada kecenderungan manusia terkadang justru dikendalikan oleh teknologi, sehingga makna teknologi bukan lagi manusia yang menentukan, melainkan otonomi teknologi yang justru membuat manusia bergantung dan tunduk pada sistem teknologi yang ada (teknologi deterministik). Dengan demikian, manusialah yang menjadi obyek teknologi. Dalam dimensi etis kedudukan manusia dalam ilmu/science dan teknologi adalah sebagai subyek dan obyek sekaligus. Hal ini karena esensi manusia dan eksistensinya terikat dengan dunia sekitar, dimana 37 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006 teknologi sekarang telah mampu mengendalikan dan mengatur manusia. Contoh dalam layanan telekomunikasi, identitas pengguna jasa layanan berada dalam kontrol teknologi telekomunikasi. Dalam administrasi kependudukan, nomor KTP juga sebagai salah satu bentuk kontrol teknologi terhadap manusia. Begitu juga dalam sistem pengambilan uang melalui ATM dengan menggunakan nomor PIN adalah bukti konkrit manusia dikendalikan oleh sistem teknologi. Meskipun demikian, secara umum pandangan Heidegger merupakan pemikiran yang sangat lekat dengan realitas hidup manusia sekarang, bahkan di era informasi global, ketika Heidegger tidak lagi sempat meresponnya, karena tak lagi “berada” dalam dunia. Pandangan tentang teknologi yang humanistis dari Heidegger seharusnya dapat dijadikan landasan etis bagi pengembangan dan penggunaan teknologi pada masa kini dan yang akan datang yang cenderung menempatkan manusia sebagai obyek teknologi. Hal ini tentunya harus dikembalikan kepada subyek (ma- nusia) teknologi yang bertanggung jawab, karena bagaimanapun juga tujuan sains dan teknologi harus diprioritaskan untuk kepentingan dan kesejahteraan hidup manusia. Dengan demikian terhadap dampak sains dan teknologi yang negatif hendaknya semaksimal mungkin manusia mencegah/mengantisipasinya. Referensi Don, Idhe. (1995). Filsafat Teknologi Suatu Pengantar, cetakan ke I, Penterjemah Yudian W. Asmin, Penerbit Al Ikhlas, Surabaya Indonesia. Harun, Hadiwijono. (2005). Sari Sejarah Filsafat Barat 2, cetakan ke 21, Kanisius, Yogyakarta. Van Melsen. (1992). Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Gramedia, Jakarta. Jacob, Teuku. (1996). Menuju Teknologi Berperikemanusiaan, Yayasan Obor, Jakarta. 38 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2006