1 PRESENTASI DIRI DOSEN LAJANG (SEBUAH STUDI DRAMATURGI TENTANG KOMUNIKASI VERBAL DAN NONVERBAL DOSEN LAJANG DI KOTA PEKANBARU) Oleh Tika Mutia (210120110009) Abstrak Tesis ini bertujuan untuk dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang presentasi diri secara verbal dan nonverbal seorang tenaga pendidik yang berprofesi sebagai dosen yang dalam hal ini tidak terikat dengan status pernikahan dalam aktivitas di dalam dan di luar lingkungan kampus. Dalam metode penelitian, penulis menggunakan metode kualitatif dengan paradigma interpretif. Pendekatan yang digunakan adalah melalui pendekatan dramaturgi. Informasi penelitian didapatkan terutama melalui sumber primer dengan observasi di lapangan dan wawancara. Wawancara terhadap beberapa informan dosen lajang dengan kriteria tertentu yang nantinya kemudian akan diambil suatu temuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentasi diri pada aktivitas komunikasi verbal dan nonverbal dosen lajang berbeda. Presentasi diri yang berbeda tidak bergantung pada tempat melainkan, ruang-ruang dengan konteks formal dan informal dosen lajang tersebut. Ada 4 panggung dramaturgi dosen lajang. Panggung depan, panggung kanan, panggung kiri dan panggung belakang. Panggung depan dosen lajang adalah di dalam kampus dalam konteks formal, panggung kanan adalah di luar kampus namun, tetap formal. Kemudian Panggung kiri dosen lajang adalah di dalam kampus namun konteksnya informal, sedangkan panggung belakang juga bersifat informal tetapi terjadi di luar kampus. Presentasi diri secara verbal dan nonverbal dosen lajang ditipikasikan menjadi 2 (dua) yakni, presentasi diri dosen lajang wanita dan pria. hal ini lebih dikarenakan terdapat perbedaan simbol-simbol komunikasi yang ditampilkan oleh para dosen lajang tersebut. Kata kunci: Presentasi Diri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Dosen Lajang, Panggung Depan, Panggung Kanan, Panggung Kiri dan Panggung Belakang. 2 LATAR BELAKANG Profesi dosen dipandang sebagai sebuah anugerah diantara banyak profesi lainnya dalam sudut kacamata sosial kemasyarakatan. Berkarier sebagai dosen atau tenaga pendidik dijenjang pendidikan tertinggi pada universitas dianggap mengemban tanggung jawab moral yang penting demi generasi penerus. Menjadi dosen yang berprestasi merupakan cita-cita orang yang mengutamakan aktualisasi diri diatas kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Harus ada motivasi, spirit yang tinggi dan pengorbanan yang tidak main-main untuk mengemas ilmu pengetahuan yang semakin maju dan rumit untuk tetap tetap mudah dipahami. Seperti itulah yang dikatakan oleh salah seorang dosen yang mendedikasikan dirinya pada sebuah lembaga pendidikan tinggi negeri di kota Pekanbaru, Riau. Ketika wawancara dengan peneliti, dosen “A”1 berkali-kali menyatakan secara eksplisit bahwa berkarier sebagai dosen membutuhkan konsentrasi pemikiran, sumbangsih tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Faktor inilah yang seakan menjadi prinsip bagi dosen pria tersebut hingga pada saat memasuki usia lebih dari 41 tahun dan menyelesaikan program doktor di luar negeri serta baru-baru ini menduduki jabatan strategis di kampus, dosen “A” belum juga menikah. Alasannya adalah karier dan dedikasi sebagai pendidik merupakan tujuan utama dalam kehidupan. Selain tidak punya cukup waktu untuk menjalani aktivitas sosial dengan lawan jenis di luar kampus, dosen “A” yang juga aktif dalam kegiatan kemanusiaan di sebuah lembaga swadaya masyarakat mengharuskan ia untuk bepergian ke luar kota setiap minggu sehingga muncul kekhawatiran jika menikah maka, akan berpotensi mengurangi intensitas 1 Dosen “A” merupakan salah seorang staf pengajar tetap pada salah satu fakultas di Universitas Riau. Wawancara dilakukan pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 16:15 WIB 3 dan kualitas eksistensi sebagai dosen dimata publik serta berpotensi menelantarkan istri dan anak-anaknya kelak. Mereka beranggapan bahwa menikah tidak lagi menjadi hal yang harus dan patut untuk dilakukan dan hanya akan menghambat proses peningkatan karier karena nantinya akan disibukkan dengan kegiatan rumah tangga, mengurus suami atau istri, mengurus anakanak dan hal-hal lain yang dianggap akan merepotkan. Dalam era yang semakin mobile dengan giatnya pertukaran informasi yang didominasi oleh tuntutan globalisasi saat ini, lembaga pendidikan seperti dihadapkan pada hal yang mendasar yakni dapatkah mempertahankan eksistensi penyaluran informasi yang disampaikan oleh para tenaga pendidiknya. Sisi lain akibat dari akselerasi kebutuhan akan tenaga pendidik di lingkungan universitas menjadikan banyaknya akademisi-akademisi baru yang bermunculan termasuk dari kalangan muda yang dianggap dinamis dan fresh dari hasil pembelajaran di bangku pendidikan tinggi. Hal ini tentunya berakibat pada semakin tingginya persaingan diantara dosen demi mempertahankan eksistensi dan keberlangsungan kariernya. Sesuai dengan kemiripan perannya, dosen dalam dunia belajar-mengajar diartikan sebagai guru. Hanya saja sebutan dosen lebih dispesialisasikan karena dosen mengajar dan mendidik di tingkat lembaga pendidikan yang paling tinggi yaitu universitas. Jika siswa pada lembaga pendidikan tinggi disebut sebagai mahasiswa, berarti guru yang mengajar pada level universitas lebih tepat jika dipanggil mahaguru. Ini akan berpengaruh pada komitmen dan loyalitasnya dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan membentuk akhlak anak didiknya. Hal ini pula yang dianggap men jadi pemikiran para dosen untu k terus mempresentasikan dirinya secara positif dari dimensi verbal dan nonverbal sebagai sosok yang profesional dimata masyarakat dalam wilayah kepentingannya. Tidak peduli apakah motivasi untuk menjadi dosen profesional itu benar-benar muncul dari dalam hati 4 sanubarinya sehingga akan total menjalankan tugasnya ataukah hanya sebagai tampilan luarnya saja ketika berhadapan dengan sivitas akademika dan masyarakat luas. Pendefinisian terhadap bentuk-bentuk presentasi diri yang dilakukan oleh dosen lajang ini dapat dicirikan dari komunikasi yang melibatkan bahasa verbal maupun nonverbal untuk memenuhi harapan, ataupun tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk memenuhi harapan tersebut, dosen lajang membuat tampilan diri guna mencapai tujuan. Hal ini tidak terlepas dari pengelolaan kesan guna memenuhi harapan tersebut. Dengan demikian, komunikasi yang dilakukan dosen tersebut dalam menyelami definisi presentasi diri dapat dikaji melalui teori dramaturgi dari Erving Goffman. Dimana ciri komunikasi verbal dan nonverbal ketika berada pada wilayah depan yakni di dalam kampus adalah ketika berinteraksi dengan mahasiswanya secara lisan tulisan dan gesture tubuh. Pekanbaru merupakan nama kota dari provinsi Riau. Sampai dengan saat ini, terdapat 7 (tujuh) universitas negeri maupun swasta yang berdiri di kota Pekanbaru namun, yang akan menjadi objek penelitian hanya 3 (tiga) universitas berdasarkan pengambilan sampel yang dilakukan secara purposif oleh peneliti. Adapun 3 (tiga) universitas terbesar di kota Pekanbaru tersebut diambil sesuai dengan jumlah dosen dan tingkat prestasi dosen dan mahasiswa yang telah diraih, yakni Universitas Riau (UR)2, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Khasim (UIN Suska)3 dan Universitas Islam Riau (UIR)4. 2 Berdasarkan webrangking university , UR peringkat 20 webometrix Universitas terbaik se-Indonesia 2009 diposting pada http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=608&kat=4 diakses 21 September 2012 pukul 18:03 WIB 3 Berdasarkan webrangking university , UIN Suska peringkat 49 webometrix kategori tulisan ilmiah seIndonesia 2009 diposting pada http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=608&kat=4 diakses 21 September 2012 pukul 18:03 WIB 4 Berdasarkan survey berbagai media di Sumatera, UIR sebagai kampus terbaik peringkat pertama se-sumatera via http://www.riautoday.com/konten/9706/uir-raih-peringkat-pertama-di-sumatera.html diakses 21 September 2012 pukul 18:06 WIB 5 Selain menambah jumlah tenaga pendidik di berbagai jurusan, upaya yang saat ini juga intensif dilakukan oleh para petinggi universitas adalah membuka kesempatan yang sebesar-besarnya bagi kalangan dosen untuk melanjutkan pendidikan dari strata-2 hingga strata-3 ke berbagai kampus terkemuka di dalam dan luar negeri. Kesempatan ini juga diiringi dengan diberikannya bantuan program beasiswa kepada para dosen untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya sebelum memasuki usia 40 tahun. Upaya ini adalah demi meningkatkan performa kalangan pendidik di universitas di kota Pekanbaru agar bisa meraih misi menjadi “world class university” seperti yang digaungkan oleh beberapa universitas terkemuka lainnya di Indonesia saat ini. Dari data yang diperoleh, jumlah dosen di Universitas Riau hingga tahun 2012 ini tercatat sebanyak 1046 orang, namun yang tercatat aktif hingga saat ini hanya sebanyak 879 orang5. Kemudian jumlah dosen di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Khasim berjumlah 609 orang6 dan dosen di Universitas Islam Riau yakni tercatat 266 orang7. Namun disisi lain, salah satu yang menjadi latar belakang penelitian ini dilaksanakan di kota Pekanbaru adalah dugaan dari sudut pandang kultur lokal yang berkembang dikalangan masyarakat khususnya kota Pekanbaru berasumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan karier seseorang, kemudian semakin memunculkan kekhawatiran orang lain, terutama ketika lawan jenis mendekati atau menjalin hubungan kearah pernikahan. Terlebih lagi, jika orang yang berpendidikan tinggi tersebut adalah wanita, maka, akan ada kecenderungan pria untuk enggan mendekati. Selain itu, ada indikasi adanya pop culture 5 http://spm.unri.ac.id/?page_id=106 diakses tanggal 29 September 2012 Pukul 11:05 WIB 6 http://uin-suska.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=110&Itemid=92 diakses tanggal 29 September 2012 Pukul 11:15 WIB 7 http://uir.ac.id/wp-content/uploads/2011/07/DATA-DOSEN-UNIVERSITAS-ISLAM-RIAU.pdf diakses tanggal 29 September 2012 Pukul 11:20 WIB 6 yang cenderung ditunjukkan dengan gaya hidup individualisme hingga etnosentrisme di kalangan masyarakat Pekanbaru dalam memilih calon pendamping hidup. Dimana, ada beberapa larangan di satu suku daerah tertentu untuk menikahi orang-orang dengan suku dan budaya yang berbeda sehingga, kecenderungan untuk memilih hidup sebagai seorang lajang semakin menemui batas yang lumrah terjadi. Penelitian ini terfokus kepada paradigma interpretif khususnya dideskripsikan melalui pendekatan dramaturgi terhadap interpretasi dosen dalam menjalankan peran kaum intelektual yang mereka lakukan secara verbal dan nonverbal. bagaimana dosen membentuk sosok ideal ketika berada di depan mahasiswanya dan bagaimana mereka berinteraksi ketika berada di wilayah belakang lingkungan formal sebagai dosen. Misalnya, dosen lajang ingin dinilai jenius, berdedikasi, tidak bergelar “killer” dimata mahasiswa, dihormati dan diidolakan oleh mahasiswanya. Presentasi diri yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses komunikasi dosen lajang yang dinilai cenderung melakukan pengelolaan kesan I(mpression Management). Ini dikarenakan tidak adanya keterikatan dosen lajang ketika berinteraksi di luar wilayah formalnya pada saat berhadapan dengan masyarakat akademiknya. Contohnya ketika membangun komunikasi informal dengan mahasiswanya di luar kampus, bebas memiliki hubungan interpersonal atau hubungan yang spesial dengan salah seorang mahasiswa/i-nya. Tujuan praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang presentasi diri secara verbal dan nonverbal seorang tenaga pendidik yang berprofesi sebagai dosen yang dalam hal ini tidak terikat dengan status pernikahan dimana banyak mengalami tuntutan agar bisa mentransfer ilmu pengetahuan tidak hanya di dalam lingkungan kampus tetapi, juga di luar kampus, saat berada di tengah-tengah masyarakat akademiknya maupun di dalam area yang lebih luas lainnya. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat 7 mengungkapkan cara berkomunikasi verbal dan nonverbal dosen lajang yang mengandung nilai dramaturgi dalam mempresentasikan dirinya demi kesan tertentu yang ingin dicapainya. KAJIAN TEORITIS Perspektif Dramaturgi Dalam konsep teori Dramaturgi dalam buku The Presentation of Self in Everyday Life oleh Erving Goffman disebutkan bahwa: “The individual will have to act so that he intentionally or unintentionally expresses himself and the others will in turn have to be impressed in some way by him” (Goffman,1959:111). Jadi, masing-masing individu selalu bertindak secara sengaja atau tidak sengaja mengekspresikan dirinya dan orang lain akan terkesan dengan cara ataupun ekspresi tiap-tiap individu tersebut. Kajian Dramaturgi dipopulerkan oleh Erving Goffman, salah seorang sosiolog yang paling berpengaruh pada abad 20. Istilah ini ia tuangkan bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life yang diterbitkan pada tahun 1959, Goffman memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan teateris. Menurut pemikiran Goffman, manusia sebagai aktor yang berusaha untuk menggabungkan keinginan dalam “Pertunjukan Teater” yang dibuat sendiri olehnya. Goffman melihat banyak kesamaan antara pementasan teater dengan berbagai jenis peran yang kita mainkan dalam interaksi dan tindakan seharian. Kehidupan sebenarnya adalah laksana panggung sandiwara, dan di sana kita pamerkan serta kita sajikan kehidupan kita, dan memang itulah waktu yang kita miliki. Jadi, seperti aktor panggung, aktor sosial mempresentasikan diri, membawakan peran, mengasumsikan karakter, dan bermain melalui adegan-adegan ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain. Bagi Goffman (Kivisto and Pittman, 2009, 285), pokok bahasan dramaturgi adalah penciptaan, pemeliharaan, dan memusnahkan pemahaman umum realitas oleh orang-orang 8 yang bekerja secara individual dan kolektif untuk menyajikan gambaran yang satu dan sama dalam realitas. Goffman’s concept of Dramaturgy is that he does not seek to understand the underlying motivation for what the individual is doing. Many people would argue that they do not feel they should be defined by different roles, and that they are still their true selves when playing these roles (Kivisto and Pittman, 2009, 285). Artinya konsep teaterikal dramaturgi Goffman jika diaplikasikan dalam presentasi diri dosen lajang adalah bahwa dosen lajang tidak berusaha untuk memahami motivasi yang mendasari dirinya dalam melakukan dramaturgi. mereka tidak merasa mereka harus didefinisikan oleh peran yang berbeda, dan bahwa mereka masih diri mereka yang sebenarnya ketika bermain peran di wilayah depan ketika berada didalam lingkungan kampus maupun ketika berperan di wilayah belakang kampus. Dalam mencapai tujuan yang diinginkan, menurut konsep dramaturgi, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, penggunakan kata verbal (dialog) dan tindakan nonverbal lainnya. Melalui istilah “Pertunjukan Teater”, teori Goffman (dalam Mulyana, 2008 : 38) membagi dua wilayah kehidupan sosial yaitu : 1. Front Region (wilayah depan), adalah tempat atau per istiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan peran formal atau berperan layaknya seorang aktor. Wilayah ini juga disebut front stage (panggung depan) yang ditonton oleh khalayak. Panggung depan mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri), kemudian terbagi lagi menjadi appearance (penampilan) dan manner (gaya). 2. Back Region (wilayah belakang), adalah tempat untuk individu-individu mempersiapkan perannya di wilayah depan, biasa juga disebut back stage (panggung belakang) atau kamar rias untuk mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Di tempat ini dilakukan semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan akting atau penampilan diri yang ada pada panggung depan. 9 Lebih lanjut Mulyana mengemukakan bahwa Goffman membagi wilayah panggung depan ini ke dalam dua kategori, yaitu front pribadi (personal front) dan setting, yaitu situasi fisik atau penampilan yang dapat terlihat dan harus ada ketika individu harus melakukan petunjukkan. “Personal front ini mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor” (Mulyana, 2008: 115). Maka dengan demikian dapat diasumsikan bahwa bahasa verbal dosen lajang dapat dimaknai melalui cara berbicara, intonasi berbicara, atau pengucapan istilahistilah asing. Sedangkan bahasa nonverbal dosen lajang dapat dimaknai melalui gesture tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, ciri-ciri fisik, dan lain sebagainya. Dimensi Komunikasi Verbal dan Nonverbal Komunikasi verbal adalah komunikasi yang didasarkan pada interaksi antarmanusia yang menggunakan kata-kata lisan atau tertulis secara sadar dan dilakukan untuk berhubungan dengan manusia lain (Deddy Mulyana, 2002). Komunikasi verbal sama dengan bahasa verbal (karena menggunakan bahasa) sebagai sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud individu. Komunikasi verbal oleh dosen lajang dalam penelitian ini dapat dilakukan secara lisan lewat kata-kata yang dapat diwujudkan lewat pembicaraan lisan ketika berada di dalam dan di luar kampus, maupun lewat tulisan contohnya pada blog dosen tersebut atau jejaring sosial. Sistem simbol dalam komunikasi verbal menurut Verdeber (Liliweri, 1994) terdiri dari : (1) ‘Kata-kata’ yang diketahui (vocabularly) yang dipelajari dengan cara-cara tertentu dan, (2) Tata bahasa (grammar) dan sintaksis. Menurut DeVito (1978); Victoria dan Robert (1983) dalam Liliweri (1994), ada enam jenis komunikasi lisan (verbal), diantaranya: (a) Emotive Speech, merupakan gaya bicara yang lebih mementingkan aspek psikologis. Ia lebih mengutamakan pilihan kata yang didukung oleh pesan nonverbal. (b) Patchic speech, gaya komunikasi verbal yang berusaha menciptakan hubungan sosial sebagaimana dikatakan oleh Bronislaw Malinowski dengan pathic communication, phatic speech ini tidak dapat diterjemahkan secara tepat karena ia harus dilihat dalam 10 kaitannya dengan konteks di saat kata diucapkan dalam suatu tatanan sosial suatu masyarakat. (c) Cognitive speech, jenis komunikasi verbal yang mengacu pada kerangka berpikir atau rujukan yang secara tegas mengartikan suatu kata secara denotatif dan bersifat informatif. (d) Rethorical speech, mengacu pada komunikasi verbal yang menekankan sifat konatif. Gaya bicara ini mengarahkan pilihan ucapan yang mendorong terbentuknya perilaku. (e) Metalingual speech, komunikasi lisan secara verbal, tema pembicaraannya tidak mengacu pada obyek dan peristiwa dalam dunia nyata melainkan tentang pembicaraan itu sendiri. (f) Poetic speech, komunikasi lisan yang secara verbal berkutat pada struktur penggunaan kata yang tepat melalui perindahan pilihan kata, ketepatan ungkapan biasanya menggambarkan rasa seni dan pandangan serta gaya-gaya lain yang khas. Sedangkan komunikasi nonverbal menurut Steveen A. Beebe, Susan J.Beebe dan Mark V. Reamond dalam bukunya Interpersonal Communication relating to others (dalam Beebe,1996): Komunikasi nonverbal tidak bisa dipisahkan dari aktivitas manusia setiap hari. di ruang publik, seperti di mal, bandara, terminal, kita sering memperhatikan orang disekitar kita dan memberi makna atas perilaku nonverbal yang ditampilkan seperti gerak tubuh, pakaian yang digunakan dan disaat itu kita berperan sebagai watcher (penonton). Secara sederhana komunikasi nonverbal pada dosen lajang dapat didefinisikan sebagai berikut: non berarti tidak, verbal berarti bermakna kata-kata sehingga komunikasi nonverbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata yang dipraktekkan oleh dosen lajang tersebut terutama ketika berinteraksi melalui simbol-simbol dalam rangka mempresentasikan dirinya agar mendapat kesan yang baik, contohnya memakai pakaian berkelass, jenis kendaraan tertentu, ekspresi wajah tertentu, bahasa tubuh dan lain sebagainya Joseph A. DeVito (1997:187) yang membagi lima jenis komunikasi nonverbal, diantaranya: 1) 2) 3) 4) 5) Komunikasi tubuh Komunikasi wajah Komunikasi mata Ruang, kewilayahan, dan sentuhan Parabahasa dan waktu 11 METODOLOGI Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu sebuah pendekatan yang dirasa relevan untuk meneliti fenomena yang terjadi di masyarakat, yang menempatkan pandangan peneliti terhadap sesuatu yang diteliti secara subyektif dan selalu berusaha memahami pemaknaan individu (Moleong, 2001:3). Menurut Bodgan dan Biklen, ada banyak istilah yang digunakan dalam penelitan kualitatif diantaranya penelitian fenomenologi, etnografi, interaksionis simbolik, penelitian naturalistik, perspektif ke dalam, etnometodologi, “The Chicago School”, studi kasus, interpretatif, ekologis dan deskriptif ( Dalam Moleong, 2001). Untuk meneliti gejala dan aktivitas para dosen lajang di dalam dan di luar kampus, peneliti menggunakan desain penelitian perspektif dramaturgis yang merupakan salah satu pendekatan varian dari interaksi simbolik. “Interaksionisme simbolik telah mengilhami perspektif lainnya, seperti perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, “teori penjulukan” (labelling theory) dalam studi tentang penyimpa ngan perilaku (deviance), dan etnometodologi dari Harold Garfinkel (Kuswarno, 2009:129). Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui observasi partisipasi dan selebihnya melalui wawancara, dokumenter, dan metode penelusuran data online. Informan yang berjumlah 6 orang terdiri dari 3 orang berjenis kelamin wanita dan selebihnya adalah pria. Dalam pemilihan informan ini peneliti menggunakan teknik purposive (bertujuan) yaitu peneliti memilih orang-orang yang dianggap mengetahui secara jelas permasalahan yang diteliti (Faisal, 1990:12). Dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan triangulasi dengan sumber yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang 12 diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif Dari data yang diperoleh, jumlah dosen di Universitas Riau hingga tahun 2012 ini tercatat sebanyak 1046 orang, namun yang tercatat aktif saat ini hanya sebanyak 879 orang8. Kemudian jumlah dosen di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Khasim berjumlah 609 orang9 dan dosen di Universitas Islam Riau yakni tercatat 266 orang10. Sedangkan umur informan adalah diatas 35 tahun. Pembatasan umur informan dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat Sugiri Syarif dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)11 yang mengatakan bahwa usia ideal untuk menikah di Indonesia untuk wanita adalah 20-35 tahun dan 25-40 tahun untuk pria. Oleh karenanya pemilihan informan dosen lajang adalah minimal 35 tahun untuk wanita dan 40 tahun untuk pria. Kemudian penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei hingga Desember 2012. 8 http://spm.unri.ac.id/?page_id=106 diakses tanggal 29 September 2012 Pukul 11:05 WIB 9 http://uin-suska.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=110&Itemid=92 diakses tanggal 29 September 2012 Pukul 11:15 WIB 10 http://uir.ac.id/wp-content/uploads/2011/07/DATA-DOSEN-UNIVERSITAS-ISLAM-RIAU.pdf diakses tanggal 29 September 2012 Pukul 11:20 WIB 11 http://news.detik.com/read/2011/05/18/064537/1641322/10/menikah-ideal-usia-20-35-untuk-wanita-2540-untuk-pria diakses tanggal 27 Juli 2012 pukul 22:49 WIB 13 HASIL PENELITIAN Panggung Dramaturgi Dosen Lajang Dalam interaksi sosialnya yang ditandai dengan aktivitas di berbagai wilayah area, dosen lajang memiliki 2 (dua) wilayah yang kemudian menjadi indentifikasi aktivitas komunikasi verbal dan nonverbalnya yakni di dalam dan diluar kampus. Namun, dari hasil observasi di lapangan ternyata menunjukkan bahwa bukanlah wilayah yang identik dengan tempat aktivitas dosen lajang berinteraksi yang menjadi panggung depan dan belakangnya, melainkan segala aktivitas yang memiliki unsur konteks formal dan informal. Segala kegiatan komunikasi yang mengatasnamakan konteks formal dan informal ini lantas menjadi wilayah yang oleh dosen lajang dipakai sebagai media memuluskan jalannya untuk mempraktekkan manajemen impresi bagi lawan bicara dan juga publik yang menyorotinya. Sehingga dalam temuan penelitian ini didapati bahwa ada panggung lain selain dari panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung tersebut yakni panggung kanan dan kiri dari aktivitas dramaturgi dosen lajang. Panggung kanan dosen lajang terjadi disegala aktivitasnya yang masih tergolong kedalam konteks formal namun terjadi di luar kampus. Sedangkan panggung kiri dosen lajang terjadi pada aktivitasnya di dalam kampus namun, bersifat informal. Panggung depan dosen lajang yakni segala aktivitas yang biasanya terjadi di dalam kampus, di kelas ketika berinteraksi dengan mahasiswa pada saat mengajar atau pada jadwal bimbingan tugas akhir, bersama rekan-rekannya di ruang rapat, dan di ruang kerjanya. Pada panggung ini terjadi aktivitas komunikasi secara verbal dan nonverbal yang lumrah terjadi pada orang-orang yang melakukan impression management yakni mengatur sedemikian rupa hal-hal yang ingin disampaikan melalui lisan, tulisan dan isyarat-isyarat nonbahasa. 14 Umumnya dosen lajang dalam penelitian ini melakukan impression management dengan baik. Ini terbukti dengan dipercayakannya sebagian besar dari dosen lajang ini untuk memangku jabatan tertentu di kampus. Sebagian besar dosen lajang tersebut memiliki prestasi kerja dan dikenal orang banyak khususnya sivitas akademika di kampus mereka masing-masing. Panggung kanan dosen lajang contohnya seperti di beberapa tempat di luar kampus dalam forum resmi yang serba formal. Contohnya saja ketika PB (informan pria, 43 tahun) yang tetap terlihat membatasi komunikasi verbal dan mengatur isyarat tubuhnya ketika sedang berhadapan dengan tamu-tamu universitas dalam jamuan makan malam di suatu hotel. Dihadapannya hadir berbagai perwakilan dari negara-negara yang menjadi anggota dalam suatu perhelatan yang ditaja oleh universitasnya. Komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan oleh PB diidentifikasikan dari caranya berbicara dengan bahasa yang lugas, teratur, menggunakan kalimat yang formal dan menggunakan isyarat tubuh yang selaras dan sepadan. Hal ini juga terjadi umumnya pada dosen lajang lainnya ketika berada di luar kampus. Namun, tetap pada situasi formal yang mengharuskan mereka untuk tetap membatasi sikap. Kemudian panggung kiri dosen lajang contohnya ketika peneliti menemui BU (dosen lajang wanita,58 tahun) di ruang kerjanya terlihat beberapa orang rekan kerja BU yang juga merupakan dosen di universitas tempatnya mengabdi. Rekan- rekan BU tersebut saling mengobrol dan sesekali mengajak BU bercanda dengan bahasa-bahasa dan isyarat tubuh yang begitu santai dan leluasa tanpa ada beban akan kehadiran peneliti di ruang kerja BU yang tertutup tersebut. Sesekali terdengar istilah-istilah informal lewat bahasa daerah dari pembicaraan yang mereka lakukan. Hal inilah yang menjadikan simpulan bagi peneliti bahwa meskipun masih didalam area kampus tetapi, dosen lajang mempunyai area panggung yang tidak bisa disorot publik secara langsung sehingga pada panggung kiri ini para dosen lajang 15 bisa lebih bebas berekspresi tanpa harus dibebani dengan keinginan untuk menjaga sikap dan tutur bahasa seperti yang mereka perlihatkan pada wilayah panggung depan. Sedangkan panggung terakhir dosen lajang setelah panggung depan, kanan dan kiri yakni panggung belakang. Pada wilayah ini sudah jelas bahwa semua dosen lajang memiliki area tempat mereka menyiapkan segala sesuatunya dipanggung lain, dimana pada panggung belakang setiap aktivitas dan tingkah laku dari dosen lajang bisa dikatakan sebagian besar tidak terekspos oleh mata publik secara keseluruhan terutama publik yang berada di panggung depan. Pada area panggung belakang ini, dosen lajang biasanya memperlihatkan komunikasi verbal dan simbol-simbol komunikasi nonverbal pada orang-orang tertentu yang tentu saja telah memiliki kedekatan secara emosional dengan para dosen lajang tersebut. Demikian sisi panggung kehidupan yang terjadi pada dosen lajang. Kadar dramaturgi yang terjadi pada setiap panggung dosen lajang tersebut ditentukan bukan dari area tempatnya beraktivitas dan berkomunikasi, melainkan bergantung pada konteks aktivitasnya yang berbau formal dan informal. Secara umum para dosen lajang tersebut menampakkan sisi dramaturgi yang tergolong tinggi pada wiayah panggung depan dan panggung kanan. Sedangkan pada wilayah panggung kiri dan belakang cenderung lebih bebas berekspresi sesuai karakter dari masing-masing dosen lajang tersebut. Selanjutnya jika digambarkan ke dalam sebuah model, maka panggung dramatugri dosen lajang akan terlihat seperti ini : 16 Gambar 2.1 Model Panggung Dramaturgi Dosen Lajang Panggung Depan (Konteks Formal, di dalam Kampus) Panggung Kiri (Konteks Informal, di dalam kampus) Lisan, tulisan Isyarat tubuh,penampilan Wajah,mata Jarak,sentuhan Nada dan intonasi suara Panggung Kanan (Konteks Formal, di luar kampus) Panggung Belakang (Konteks Informal, di luar kampus) Sumber : (Hasil Analisis peneliti, 2012) Tipikasi Bentuk Dramaturgi Dalam Presentasi Diri Dosen Lajang Dimensi Verbal dan Nonverbal Dari temuan lapangan mengenai bentuk-bentuk dramaturgi Goffman dalam komunikasi verbal dan nonverbal dosen lajang. Maka, didapat model presentasi diri dosen lajang yang ditipikasi menjadi 2 model yakni model presentasi diri dosen lajang wanita dan pria yang diamati dari dimensi komunikasi verbal dan nonverbal panggung depan dan belakang dalam perspektif dramaturgi Goffman. Model-model tersebut ditipikasikan sebab, 17 terdapat perbedaan simbol-simbol komunikasi yang ditampilkan oleh para dosen lajang tersebut. Dari dimensi komunikasi verbal, dosen lajang wanita umumnya dinilai lebih ekspresif dan lebih memperlihatkan kemampuannya dalam membaca simbol komunikasi dibanding dosen lajang pria yang dinilai tidak seekspresif wanita. Pada dimensi nonverbal, dosen lajang wanita umumnya tidak menjaga jarak komunikasi dengan lawan bicara hingga cenderung haptic atau menyentuh lawan bicara misalnya, dosen lajang wanita ketika bertemu orang lain umumnya berjabat tangan lalu menyentuh atau mencium pipi kiri dan kanan lawan bicaranya sehingga mengekspresikan kedekatan komunikasi. Namun, hal ini tidak terjadi pada dosen lajang pria yang umumnya hanya mengekspresikan jarak pribadi dengan mahasiswa maupun rekan-rekannya hanya dengan saling berjabat tangan. Selain itu, perbedaan panggung depan, panggung kanan, panggung kiri dan belakang dosen lajang wanita dan pria terletak pada simbol verbal berupa batasan dalam berbicara dan menulis yang umumnya mereka menggunakan bahasa atau istilah-istilah formal ketika berada di wilayah panggung depan dan panggung kanan. Sementara di panggung kiri dan belakang dosen lajang wanita dan pria tersebut lebih tidak terbatasi dalam berkomunikasi lisan dan tulisan. Karena umumnya pada wilayah ini mereka menggunakan istilah informal, bahasa daerah dan bahasa gaul secara lebih bebas. Sedangkan pada dimensi nonverbal umumnya mereka berkomunikasi dengan nada suara yang berbeda, komunikasi tubuh, wajah dan mata yang juga berbeda antara panggung-panggung tersebut. Selain itu, yang paling identik dari perbedaan presentasi diri dosen lajang adalah melalui penampilan yang diatur sedemikian rupa panggung depan dengan berpakaian formal dan sopan namun, terlihat sangat berbeda ketika mereka berada di panggung belakang. Mereka cenderung berpenampilan bebas sesuai dengan keinginan diri masing-masing. Sehingga jika digambarkan maka, model penerapan 18 dramaturgi terhadap presentasi diri dosen lajang wanita dan pria akan terlihat sebagai berikut : Gambar 2.3 Model Dramaturgi Dosen Lajang Dalam Presentasi Diri Pada Komunikasi Verbal dan Nonverbal 1.Lisan dan tulisan formal dan ilmiah 2.Isyarat tubuh,wajah dan mata dibatasi 3.Penampilan formal, pakaian dinas 4.Jarak dan Sentuhan dibatasi 5.Nada suara dan intonasi rendah Panggung Depan Panggung Belakang 1.Lisan dan tulisan informal 2.Isyarat tubuh,wajah, mata bebas cenderung ekspresif 3.Penampilan santai,cuek 4. Jarak dan sentuhan tidak dibatasi 5.Nada dan intonasi suara lebih bervariasi PRESENTASI DIRI DOSEN LAJANG 1.Lisan dan tulisan formal dan semiformal 2.Isyarat tubuh,wajah dan mata dibatasi 3.Penampilan formal, tidak berpakaian dinas 4.Jarak dan Sentuhan dibatasi 5.Nada suara dan intonasi rendah 1.Lisan dan tulisan informal dan semiformal 2.Isyarat tubuh,wajah, mata bebas cenderung ekspresif 3.Penampilan formal, pakaian dinas 4. Jarak dan sentuhan tidak dibatasi 5.Nada dan intonasi suara lebih bervariasi Panggung Kiri Sumber : Analisis Peneliti (2012) Panggung Kanan 19 KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan a. Presentasi diri dosen lajang dalam menjalani aktivitasnya terbagi menjadi dua dimensi yakni dimensi komunikasi verbal yang terdiri dari lisan dan tulisan. Sedangkan dimensi lainnya bersifat nonverbal yang terdiri dari isyarat tubuh, penampilan wajah, mata, jarak, sentuhan, nada dan intonasi suara. Aktivitas verbal dan nonverbal terjadi pada empat wilayah panggung dramaturgi yakni panggung depan, panggung kanan, panggung kiri, dan panggung belakang. Panggung depan yakni ketika dosen lajang berada di dalam area kampus dan berkomunikasi secara formal, panggung kanan yakni ketika dosen lajang berada di luar area kampus namun, aktivitasnya tetap dalam konteks formal, kemudian panggung kiri yakni ketika dosen lajang berada di dalam kampus tetapi aktivitasnya informal dan di luar area kampus yang tidak tertangkap oleh mata publik sebagai panggung belakang. Menurut perspektif dramaturgi Goffman jika dikomparasikan dalam penelitian ini ditemukan bahwa 4 panggung dramaturgi bukan saja bergantung pada wilayah maupun area aktivitas dosen lajang, melainkan lebih tertuju pada ruang-ruang dengan konteks aktivitas formal dan informal yang menuntut dosen lajang tersebut mempresentasikan diri demi memperoleh kesan yang baik dan dipandang ideal oleh publik disekitarnya. Panggung depan dosen lajang adalah di dalam kelas, di ruang rapat, seminar, ruang sidang, sedangkan panggung kanan adalah pada forum-forum resmi lainnya yang bisa saja terjadi di luar kampus. Sedangkan yang menjadi panggung kiri dosen lajang adalah di dalam ruang kerja yang 20 tidak terekspos publik dan aktivitas bersifat informal, dan panggung belakang dosen lajang adalah area-area yang juga berkonteks informal yang secara keseluruhan terjadi di luar kampus dimana pada ruang ini dosen lajang akan menampilkan presentasi dirinya secara lebih bebas. b. Presentasi diri secara verbal dan nonverbal dosen lajang ditipikasikan menjadi 2 (dua) yakni, presentasi diri dosen lajang wanita dan pria. hal ini lebih dikarenakan terdapat perbedaan simbol-simbol komunikasi yang ditampilkan oleh para dosen lajang tersebut. Dari dimensi komunikasi verbal, dosen lajang wanita umumnya dinilai lebih kspresif e dan lebih memperlihatkan kemampuannya dalam membaca simbol komunikasi dibanding dosen lajang pria yang dinilai tidak seekspresif wanita. Sedangkan pada dimensi nonverbal, dosen lajang wanita umumnya tidak menjaga jarak komunikasi dengan lawan bicara hingga cenderung haptic atau menyentuh lawan bicara misalnya, dosen lajang wanita ketika bertemu orang lain umumnya berjabat tangan lalu menyentuh atau mencium pipi kir i dan kanan lawan bicaranya sehingga mengekspresikan kedekatan komunikasi. Namun, hal ini tidak terjadi pada dosen lajang pria yang umumnya hanya mengekspresikan jarak pribadi dengan mahasiswa maupun rekan-rekannya hanya dengan saling berjabat tangan. c. Terdapat 3 hal yang menjadi faktor penyebab keberadaan dosen lajang atau dosen lajang diantaranya : Pertama, Fenomena budaya pop atau pop culture melajang yang diadopsi dari budaya individualisme sebagai gaya hidup suatu subkultur yang dinilai kebarat-baratan dikalangan mereka yang mengutamakan pendidikan dan karir, sehingga mereka merasa wajar menunda menikah atau lebih memilih memiliki pasangan tanpa ikatan pernikahan. Kedua, yakni ruang 21 perbedaan cara komunikasi pria dan wanita yang ditandai dengan kesalahpahaman komunikasi ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis sehingga menjauhkan jarak ruang perbedaan komunikasi pria dan wanita. Dan ketiga pandangan negatif (stereotype) yang berasal dari nilai-nilai budaya yang berujung pada etnosentrisme dalam memilih pasangan hidup. 3.2 Saran 1. Untuk menjaga presentasi diri yang positif, dosen yang berstatus lajang sebaiknya selalu berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku disetiap wilayah tempatnya berinteraksi. Oleh karena cenderung dipandang sebagai kaum pendidik yang tentu saja telah lebih dahulu terdidik maka, sebaiknya dosen yang berstatus lajang ini selalu mengambil sikap yang menunjukkan komitmennya dalam menjaga nama baik tidak hanya dalam konteks formal saja agar dosen lajang terhindar dari opini negatif publik. Sebab, dimanapun dosen lajang berada, ia tidak akan bebas begitu saja dari mata publik. 2. Perbedaan presentasi diri antara dosen lajang wanita dan pria diharapkan dapat menjadi gambaran yang memberikan masukan secara praktis kepada orang lain terutama mahasiswa dan rekan-rekannya untuk dapat memahami komunikasi verbal dan nonverbal dosen yang berstatus lajang dalam penelitian ini sehingga meminimalisasi kesalahpahaman agar yang lebih erjalin t komunikasi yang semakin berkualitas. 3. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi inspirasi bagi peneliti lain yang mungkin saja membahas fenomena dengan metode yang sama yakni dramaturgi. Hal yang positif yang dapat dipahami bahwa setiap orang dalam 22 belahan dunia manapun, dengan status dan jabatan tertentu berpotensi melakukan dramaturgi. Selain itu, secara teoritis peneliti berharap penelitian ini dapat memperluas wawasan dalam menginterpretasikan suatu fenomena. Fenomena budaya pop atau popular culture yang berasal dari suatu subkultur yang dinilai kebarat-baratan yang marak terjadi di berbagai belahan dunia cenderung berujung pada gaya hidup individualisme hendaknya ditanggapi secara bijak oleh para dosen al jang tersebut. Sebab, sebagai kaum yang terdidik dan dipandang sebagai teladan bagi orang banyak, sudah sewajarnya bagi dosen walaupun ia berstatus lajang tetap mencerminkan budaya timur bangsa sendiri yang bergantung pada nilai agama dan adat seh ingga kedepannya selalu menjaga marwah dan nama baik diri dan tanah airnya. 23 DAFTAR PUSTAKA Buku : Abdurrachman, O. 1993. Dasar-dasar Public Relations. Bandung: Citra Aditya Bakti. Basrowi, Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif, Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia. Beebe, Steven A. Beebe, Susan J. & Reamond, Mark V. 1996. Interpersonal Communication Relating to others. USA: Allyn & Bacon. Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group. Chaney, David. 2011. Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra. Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and research Design. California : Sage Publications DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books. ———————-, 2004. Interpersonal Communication Book . Long-man Inc : New York Effendy, Uhjana, Onong. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung : Mandar Maju. Eriksen, Thomas H. 2009. Antropologi Sosial dan Budaya: Sebuah Pengantar. Ledalero: Maumere . Faisal, S. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang : Yayasan Asih. Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. New York : Doubleday Anchor Garden City. Griffin, EM. 2006. A First Look At Communication Theory. New York : Mc Graw Hill. Kivisto, Peter and, Pittman, Dan. 2009. Goffman’s Dramaturgical Sociology: Personal Sales and Service in a Commodified World. Pine Forge Press: 271-297. Kuswarno, Engkus, MS. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi Konsepsi Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung : Widya Padjadjaran. Lesmana, Tjipta. 2008. Dari Soekarno Sampai SBY- Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal Dan Nonverbal. Bandung: Citra Aditya Bakti. 24 Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. 5th Edition, Wadsworth: Belmont California. Littauer, F. 1992. Personality plus: Bagaimana memahami orang lain dengan memahami diri anda sendiri (Edisi Revisi). Jakarta: Binarupa Aksara. Mead, G. H. 1934. Mind, self, and society. Chicago, IL: University of Chicago Press. Moekijat. 1986. Perencanaan dan Pengembangan Karier Pegawai. Bandung : Remaja Karya. Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya ———————-, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung : ———————-.,2002. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. ———————-, 2004. Komunikasi Populer; Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Bandung : Remaja Rosdakarya. ———————-, 2004. Komunikasi Efektif. Bandung: Remaja Rosdakarya ———————-, 2005. Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. ———————-, 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy dan Solatun, (ed.), 2008. Metode Penelitian Komunikasi; Contoh-contoh Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Bandung : Remaja Rosdakarya. Pease, Allan dan Barbara Pease. 2010. Why Men Want Sex and Women Need Love. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Rakhmat, Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi, cetakan keduapuluhtujuh, Bandung: Remaja Rosdakarya. Sisdiknas. 2005. Himpunan Peraturan Per Undang – Undangan Guru dan Dosen. Bandung : Fokusmedia Santrock, J,W. 1995. Perkembangan Masa Hidup (Edisi 5 jilid 2). Jakarta : Erlangga Soemirat, S., Ardianto, E., & Suminar, Y. R. 1999. Komunikasi organisasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Soetopo, H. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta. 25 Sukmadinoto, NS. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya. Stein, P,J. 1976. Lajang.New Jersey : Prentice Hall Inc. Turner, J.S & Helms, D.B. 1995. Life Span Development (5 th). Fort Worth : Hartcourtbrace Collage Publishing. Usman, MU. 2006. Menjadi Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosdakarya. West, Richard, dan Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika Williams, Johnson, Simon. 1986. Appraising Goffman. Blackwell Publishing. 37(3) 348-369. Wojowasito, WJS. Poerwadarminta. 1980. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia. Hasta : Bandung Non buku : http://edwi.dosen.upnyk.ac.id/PSIKOM.9.pdf diakses tanggal 29 Juli 2012 pukul 00:42 WIB http://news.detik.com/read/2011/05/18/064537/1641322/10/menikah-ideal-usia-20-35untuk-wanita-25-40-untuk-pria diakses tanggal 27 Juli 2012 pukul 22:49 WIB http://www.averroes.or.id/research/hubungan-sikap-terhadap-penundaan-usiaperkawinan-dengan-intensi-penundaan-usia-perkawinan.html diakses tanggal 20 September 2012 pukul 20:03 WIB http://www.pekanbaru.go.id/sejarah-pekanbaru/ diakses pada tanggal 21 September 2012 pukul 17: 23 WIB http://spm.unri.ac.id/?page_id=106 diakses tanggal 29 September 2012 Pukul 11:05 WIB http://uin-suska.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=110&Itemid=92 diakses tanggal 29 September 2012 Pukul 11:15 WIB http://uir.ac.id/wp-content/uploads/2011/07/DATA-DOSEN-UNIVERSITAS-ISLAM-RIAU.pdf diakses tanggal 29 September 2012 Pukul 11:20 WIB http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=608&kat=4 diakses 21 September 2012 pukul 18:03 WIB http://www.riautoday.com/konten/9706/uir-raih-peringkat-pertama-di-sumatera.html diakses 21 September 2012 pukul 18:06 WIB http://www.mercubuana.ac.id/files/42014-9-856133538980.doc diakses pada tanggal 15 November 2012 pukul 13:26 WIB 26