BAB II LANDASAN TEORETIK 2.1. Perubahan Kurikulum Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. perubahan kurikulum Setidaknya tercatat sudah dalam tujuh sejarah, kali yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK tahun 2004 dan KTSP tahun 2006. Namun, apa dampaknya terhadap mutu pendidikan? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial? Jawaban terhadap semua pertanyaan itu agaknyatidak begitu menggembirakan. Selama ini kita sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tertulisnya saja. Perubahan kurikulum di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis, tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan, dan hasil belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami perubahan hanya dimensi dokumen tertulis berupa bukubuku pelajaran dan silabus saja yang sudah dilaksanakan. Persoalan proses dan hasilnya, tak pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan kita. Kita berharap, implementasi KTSP saat ini tidak lagi terjebak ke dalam praktik semu di mana perubahan kurikulum hanya sekadar jadi momentum adu konsep, sedangkan dimensi proses dan hasil-hasilnya sama sekali tak terurus. ASPEK • KURIKULUM KURIKULUM BERBASIS BERBASIS MATERI KOMPETENSI PENGAMBILAN Semua aspek Pembagian KEPUTUSAN kurikulum wewenang dalam ditentukan oleh menentukan Departemen kurikulum (Pusat) • • PUSAT Penyampaian Kompetensi dasar PERHATIAN materi pelajaran yang dikuasai oleh guru siswa Teaching: Learning: berpusat pada berpusat pada guru , metoda siswa, metoda monoton, guru bervariasi, guru sumber ilmu sebagai fasilitator PROSES utama • HASIL Tekanan Menekankan PENDIDIKAN berlebihan pada pada keutuhan aspek kognitif ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik • EVALUASI Acuan norma dan Acuan kriteria, tes obyektif Jika dibandingkan dengan tes, dan portofolio kurikulum sebelumnya, kurikulum berbasis kompetensi ini memuat perubahan yang cukup mendasar terutama dalam hal penerapan pandangan bahwa dalam proses belajar, anak dianggap sebagai pengembang pengetahuan. Selain itu, adanya penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah; berfikir logis, kritis, dan kreatif; serta mengkomunikasikan gagasan secara matematik, digunakan maka teori kemungkinannya belajar adalah yang aliran dominan psikologi perkembangan serta konstruktivisme. Dalam penerapannya, guru antara lain harus mampu menciptakan suatu kondisi sehingga proses asimilasi dan akomodasi seperti yang dikemukakan Piaget dapat berjalan secara efektif. Selain itu, guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman kemampuan di antara siswa sehingga dengan kondisi tertentu yang diciptakan guru, maka potensi masing-masing siswa dapat berkembang secara optimal. Perkembangan lingkungan pendidikan seperti teknologi, kemudahan akses pengetahuan, hilangnya batas-batas antar negara dengan masuknya pendidikan asing ke Indonesia, mengakibatkan perlunya dilakukan penyesuaian secara berkelanjutan. Jika tidak ingin menjadi penonton di negeri sendiri, telah seharusnya sistem pendidikan kita yang salah satunya adalah kurikulum disesuaikan secara terus-menerus. Pandangan pakar pendidikan terkait hal ini sudah banyak dilakukan, masalahnya adalah seberapa besar para pemangku kebijakan memiliki kemauan untuk mengaplikasikannya. Masyarakat sebagai pelanggan pendidikan menantikan bagaimana kira-kira wajah kurikulum pada tingkat satuan pendidikan ini. Tentunya hal ini terkait dengan bentuk revisi yang dilakukan nanti. Paling tidak ada dua pertanyaan, pertama, apakah revisi dilakukan hanya menambah atau mengurangi nama dan jumlah mata pelajaran? Kedua, apakah revisi akan merubah sama sekali format kurikulum tingkat satuan pendidikan? Jika yang dilakukan adalah yang pertama, maka tidak akan banyak perubahan yang terjadi terkait mutu pendidikan kita. Sebaliknya, jika yang dilakukan adalah yang kedua, maka diskusi-diskusi publik secara terencana (strategic planning) harus dilakukan diantara para pelaku, praktisi, pendidik, pemerhati pendidikan dan pemangku kebijakan. Tujuannya adalah agar dihasilkan suatu bentuk kurikulum yang dapat merespon semua kearipan lokal dan perubahan global. Apalagi, pasca otonomi daerah, bidang pendidikan telah diserahkan kepada daerah kabupaten/kota. Tulisan ini ingin mencoba memberikan pertimbangan bagi penyusunan kurikulum pada tingkat Sekolah Dasar (SD). 2.1.1 Hakikat Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) Istilah kurikulum pada zaman Yunani kuno bersal dari kata “Curere”yang berarti “tempat perlindungan”. Kurikulum diartikan “jarak yang harus ditempuh dalam suatu perlombaan lari“ atau “raca cource“. Analog denganmakna diatas kurikulum dalam pendidikan diartikan sebagai sejumlah matapelajaran dan materi yang harus dikuasai peserta didik pengertian ini dalambidang rencana untuk dan memperolehijazah kurikulum pendidikan. pengaturan tertentu. digunakan Dengan pertama Kurikulum adalah mengenai tujuan, kali seperangkat isi, bahan pembelajaran, dan cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Depdiknas , 2004). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Menurut BSNP (2007) KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP. KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip (1) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, (2) beragam dan terpadu, (3) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan, (5) menyeluruh dan berkesinambungan, (6) belajar sepanjang hayat. 2.2. Teori tentang sikap, Intensi dan perilaku Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isue. (Petty, Cocopio, dalam Azwar S., 2000 : 6). Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu (Azwar S., 2000 : 23): 1) Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan apabila menyangkut penanganan masalah isu (opini) atau terutama problem yang kontroversial. 2) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruhpengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. 3) Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang, serta berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Sikap dapat diukur. Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai obyek sikap mungkin yang berisi hendak atau diungkap. mengatakan Pernyataan hal-hal yang sikap positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorable dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali obyek sikap (Azwar, 2003). Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/ pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung pernyataanpernyataan dapat hipotesis dilakukan kemudian dengan ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap obyek sikap antara lain :1). Pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional; 2). Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. 3). Pengaruh Kebudayaan. Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. 4). Media Massa. Dalam pemberitaan surat kabar mauoun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyekstif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya. 5). Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama. Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap; 6). Faktor Emosional. Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.(Azwar, 2003). 2.2.1. Teori Perilaku Dalam bukunya yang berjudul The Teory of Planned Behavior (TPB) atau Teori Perilaku Terencana, Ajzen (1991) mengemukakan bahwa sikap ditentukan oleh keyakinan yang diperoleh mengenai konsekuensi dari suatu perilaku atau disebut juga behavioral beliefs. Belief berkaitan dengan penilaian-penilaian sekitarnya, subjektif pemahaman seseorang mengenai terhadap diri dan dunia juga lingkungannya. Bagaimana cara mengetahui belief ini? Nah ternyata dalam teorinya TPB ini, Ajzen cerita bahwa belief dapat diungkap dengan cara menghubungkan suatu perilaku yang akan kita prediksi dengan berbagai manfaat atau kerugian yang mungkin diperoleh apabila kita melakukan atau tidak melakukan perilaku itu. Keyakinan ini dapat memperkuat sikap terhadap perilaku itu apabila berdasarkan evaluasi, diperoleh data bahwa perilaku itu dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya. Inti teori ini mencakup 3 hal yaitu; yaitu keyakinan tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioral beliefs), keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs), serta keyakinan tentang adanya factor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs). Behavioral beliefs menghasilkan sikap suka atau tidak suka berdasarkan perilaku individu tersebut. Normative beliefs menghasilkan kesadaran akan tekanan dari lingkungan sosial atau norma subyektif, sedangkan control beliefs menimbulkan kontrol terhadap perilaku tersebut. Dalam perpaduannya, ketiga faktor tersebut menghasilkan intensi perilaku (behavior intention). Secara umum, apabila sikap dan norma subyektif menunjuk ke arah positif serta semakin kuat kontrol yang dimiliki maka akan lebih besar kemungkinan seseorang akan cenderung melakukan perilaku tersebut. Tahapan intervensi tingkah laku berdasarkan Theory of Planned Behavior (TPB) secara singkat dapat dilihat pada Gambar 02 dibawah ini yang merupakan hipotesis Gambar 1. Theory of planned behavior Dari Gambar 1 tersebut di atas nampak bahwa model teoritik dari Teori Planned Behavior mengandung berbagai variabel yaitu :. 1). Sikap adalah Evaluasi Umum yang di buat Guru terhadap evaluasi. 2). Norma subjektif (Subjective Norm) adalah sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya (Normative Belief). Kalau individu merasa itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang akan dilakukannya. menggunakan istilah menggambarkan Fishbein motivation fenomena ini, & to yaitu Ajzen (1975) comply untuk apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak.3). Persepsi kemampuan mengontrol atau kontrol keperilakuan (Perceived Behavioral Control), yaitu keyakinan (beliefs) bahwa individu pernah melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku tertentu, individu melakukan estimasi memiliki perilaku atas kemampuan itu, fasilitas kemudian kemampuan atau tidak dirinya memiliki dan waktu untuk individu melakukan apakah dia punya kemampuan untuk melaksanakan perilaku itu. Ajzen menamakan kondisi ini dengan “persepsi kemampuan mengontrol” (perceived behavioral control). 2.2.2. Intensi Intensi (intention) adalah niat untuk melakukan perilaku atau kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya. Ajzen (dalam Azwar.2011) menjelaskan intensi sebagai hal yang mengindikasikan besarnya usaha yang dikeluarkan individu untuk melakukan suatu tingkah laku. Intensi atau behavioral intention didefinisikan sebagai: “As a person location on subjective probability dimention involving a relation between himself and some action. A behavioral intention therefore, refers to a person’s subjective probability that he will perform some behavior.” (Fishbein & Ajzen, 1975; hal 288) Berdasarkan definisi ini berarti intensi menunjukkan kemungkinan dilakukannya suatu perilaku oleh individu. Jika belum menjadi perilaku nyata, intensi masih merupakan suatu disposisi (kecenderungan) untuk bertingkah laku. Namun, ketika kesempatan atau situasi yang tepat muncul, intensi berubah menjadi suatu usaha untuk melakukan tingkah laku tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perilaku jika ia memiliki intensi untuk melakukan perilaku tersebut. Intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku, persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang bersangkutan, dan aspek kontrol perilaku yang dihayati (Azwar, 1995:10-11). Intensi seringkali dipandang sebagai suatu komponen konatif (kecenderungan bertingkah laku) dari sikap (Fishbein, 1975). Biasanya diasumsikan bahwa intensi merupakan komponen afektif (menyangkut kehidupan emosional seseorang) dari sikap. Menurut teori perilaku terencana (theory of planned behavior) yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein menjelaskan bahwa faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah intensi untuk menampilkan perilaku tertentu (Ajzen,1991). Intensi diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Intensi merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Jadi, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, semakin besar kecenderungan dia untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut. Intensi untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya jika perilaku tersebut ada di bawah kontrol individu. Individu memiliki pilihan untuk memutuskan menampilkan perilaku tertentu atau tidak sama sekali (Ajzen, 1991:6 dalam Kurniasari, 2005:16). Seberapa jauh individu akan menampilkan perilaku, tergantung pada faktor-faktor non motivasional. Salah satu contoh dari faktor non motivasional adalah ketersediaan kesempatan dan sumber yang dimiliki (misalnya uang, waktu, dan bantuan dari pihak lain). Faktor-faktor ini mencerminkan kontrol aktual terhadap perilaku. Jika kesempatan dan sumber-sumber yang dimiliki tersedia dan terdapat intensi untuk menampilkan perilaku, maka kemungkinan perilaku itu muncul sangat besar. Dengan kata lain, suatu perilaku akan muncul jika terdapat intensi dan kemampuan mengontrol (kontrol perilaku). Pernyataan tersebut didasari oleh dua hal penting yaitu: 1) jika intensi dianggap sebagai faktor yang konstan, maka usaha-usaha untuk menampilkan perilaku tertentu tergantung pada sejauh mana kontrol yang dimiliki individu tersebut, 2) bahwa ada hubungan langsung antara kontrol keperilakuan perilaku nyatanya, (perceived seringkali behavioral dapat control) digunakan dan sebagai pengganti atau subtitusi untuk mengukur kontrol nyata (actual control). 2.3. Peran Guru Dalam Implementasi Kurikulum KTSP Implementasi KBK berimplikasi terhadap serangkaian tuntutan yang harusdipenuhi oleh seorang guru dalam menjalan tugas keprofesionalannya Dengan asumsi bahwa gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan pesertadidik, perbedaan perorangan (individual) siswa, daya serap, suasana dalam kegiatanpembelajaran, serta sarana dan sumber yang tersedia untuk menjabarkan dan maka guru mengembangkan berwenang kurikulum ke dalam silabus. Pengembangan ini hendaknya mendasarkan pada beberapa hal diantaranya: isi (konten), konsep,kecakapan / keterampilan, masalah, serta minat siswa (Anonim, 2004). mengajar Guru yang kemampuaninternal perlu mengacu siswa. memahami pada Peningkatan prinsip-prinsip peningkatan kemampuan ini misalnya dilakukan dengan menerapkan berbagai strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa mampu mencapaikompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual (Anonim, 2003). Peran kurikulum guru dalam berbasis (2005),adalah pembelajaran kompetensi, sebagai: (1) pada konteks menurut fasilitator; (2) Sanjaya manajer; (3) demonstrator; (4) administrator; (5)motivator; (6) organisator; dan (7) evaluator. untuk memudahkan Sebagai siswa fasilitator dalam guru berperan melaksanakan proses pembelajaran, terutama dalamkaitannya dengan penggunaan media dan sumber belajar. Sebagai manajerpembelajaran guru berperan dalam menciptakan suasana / iklim belajar yangmemungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman, melalui pengelolaan kelas yangbaik. Peran sebagai demonstrator dapat ditunjukkan dengan penampilan guru yangmenjadi acuan bagi siswa. Sebagai administrator guru memungsikan penggunaandokumentasi dan data siswa untuk keperluan pembinaan dan bimbingan. Sebagaiorganisator peran yang diharapkan pada guru dalam mengorganisasi siswa, baik secara kelompok maupun individual, sehingga tetap terjaga keharmonisan diantarasiswa. Guru sebagai evaluator harus memilik kemampuan untuk mengukurketercapaian tujuan pembelajaran pada masingmasing siswa menggunakannya lanjut.Dibalik dan kelompok sebagai sejumlah alat siswa,serta untuk manfaat yang penentuan mampu tindak diharapkan dari kurikulum ini, muncul juga sejumlah kekhawatiran akan keberhasilannya, terutama berkaitan dengan kualitas guru. Mulyasa (2004) menyatakan banyaknya sekolah yang memiliki sedikit guru profesional dan tidak mampu melakukan proses pembelajaran secara optimal. Dalam implementasi KTSP guru dituntut dapat tampil sebagai Guru yang benar-benar professional. Profesional guru menyangkut kompetensi dua hal. professional Pertama, dan guru pedagogik harus memiliki yang memadai sehingga mampu mengembangkan kurikulum setiap mata pelajaran pada tingkat satuan pendidikan yang sesuai dan tepat bagi peserta didiknya (Mungin Eddy Wibowo, 2007). Dilihat dari sisi ini fakta menunjukkan bahwa guru belum terbiasa mengembangkan kurikulum secara mandiri karena selama ini guru hanya disodori kurikulum yang sudah baku dari pusat. professional penerapan Kedua, untuk KTSP guru dituntut memiliki mengimplementasikan menuntut adanya komitmen KTSP inovasi, karena improvisasi, kreativitas dan motivasi yang kuat, selain itu penerapan KTSP berimplikasi pada semakin beratnya beban kerja guru. 2.4. Penelitian Relevan Dr. Morris A. Okun dari Department of Psychology, Arizona State University, Amarika Serikat dan Erin S. Sloane dari Los Angeles Unified School District, California, Amerika Serikat melakukan penelitian yang didasarkan pada TPB untuk memprediksi keikutsertaan (enrollment) mahasiswa sebagai relawan dalam suatu program kampus (Okun & Sloane, 2002). Penelitiannya dilatarbelakangi pemikiran bahwa menjadi relawan dalam suatu kegiatan dipercaya akan member manfaat bagi individu maupun masyarakat, tetapi hanya individu-individu tertentu saja yang tertarik untuk menjadi relawan. Penelitiannya dirancang untuk menguji hipotesis yang diturunkan dari TPB. Hipotesis pertamanya adalah bahwa sikap, norma subjektif, dan kontrol keperilakuan (Perceived Behavioral Control/PBC) PBC akan menjadi predictor signifikan dari intensi menjadi relawan. Hipotesis kedua, bahwa intensi merupakan satu-satunya prediktor signifikan menjadi relawan secara aktual. Sampel penelitian didapatkan secara random dari para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Pengantar Psikologi pada suatu universitas besar di Amerika, sebanyak 647 orang. Setelah kepada mereka disampaikan pesan mengenai rekrutmen dari kegiatan tersebut (menjadi relawan pada the Student Life Community Service Program = SLCSP), mereka diminta mengisi kuesioner yang berisi komponen-komponen dalam TPB dan dua bulan kemudian keikutsertaan mereka dalam kegiatan tersebut dicek. Konsisten dengan TPB, sikap, norma subjektif dan PBC merupakan prediktor intensi untuk menjadi relawan pada SLCSP, dan selanjutnya bisa memprediksi keikutsertaan mereka secara nyata sebagai relawan pada SLCSP. Akan tetapi, kurang dari 33% mahasiswa yang memiliki skor intensi yang tinggi yang benar-benar menjadi relawan dalam program tersebut. Ini menggambarkan bahwa diperlukan suatu strategi untuk memperkuat intensi agar bisa diwujudkan dalam perilaku nyata. Jeffrey J. Martin dari the Division of Kinesiology, Health and Sport Studies at Wayne State University bersama Pamela Hodges Kulinna dari the Department of Physical Education at Arizona State University melakukan penelitian yang didasarkan pada TPB dan Self-Efficacy Theory untuk menguji penentu-penentu (determinan) intensi para guru olahraga untuk melakukan aktivitas fisik ketika mengajar di kelas-kelas mereka (yaitu menggunakan sedikitnya 50% dari waktu 13 mereka untuk melakukan aktivitas fisik dari yang sedang hingga berat). dilatarbelakangi Dilakukannya pengamatan penelitian mereka tesebut bahwa semakin meningkat usia seseorang, semakin berkurang aktivitas fisik yang dilakukan, padahal melakukan aktivitas fisik penting bagi kesehatan jantung. Sementara, para guru olah raga seharusnya mengajak para murid mereka untuk melakukan aktivitas fisik sebagai bagian dari proses pembelajaran yang menjadi tanggung jawab mereka. Subjek penelitian Martin dan Kulinna (2004) tersebut menggunakan 342 guru olah raga dari SD hingga SMA, pria dan wanita, berusia antara 23 hingga 62 tahun dengan pengalaman mengajar 1 sampai 40 tahun. Instrumen pengukuran yang digunakan berupa kuesioner (untuk data-data demografis) dan skala (untuk semua variabel penelitian). Dari data yang terkumpul menunjukkan bahwa para guru tersebut memiliki intensi yang kuat untuk mengajar kelas yang banyak melibatkan aktivitas fisik untuk murid-murid mereka. Mereka juga menunjukkan sikap yang positif untuk mengajar kelas yang aktif dan memiliki motivasi untuk patuh terhadap kelompok sosial yang penting (orang tua, para murid) yang mengharapkan mereka mengajar dengan melibatkan banyak aktivitas fisik. Para guru tersebut juga memiliki PBC yang tinggi untuk bisa mengajar kelas-kelas yang melibatkan banyak aktivitas fisik. dengan tujuan dianalisis penelitian, dengan teknik data-data regresi tersebut bertingkat Sesuai kemudian (hierarchical regression). Hasilnya menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan yaitu bahwa intensi para guru untuk mengajar kelas yang banyak melibatkan aktivitas fisik untuk murid-murid mereka ditentukan oleh sikap, norma subjektif dan PBC, diterima. TPB mendapat dukungan, bahwa intensi berperilaku para guru tersebut 59%-nya ditentukan oleh sikap, norma subjektif dan PBC mereka Stephen Richard Marrone dari Columbia University Teachers College di tahun 2005 melakukan penelitian yang juga didasarkan pada TPB dari Ajzen dan Fishbein, terkait dengan intensi para perawat gawat darurat untuk memberi pelayanan yang secara kultural sesuai bagi pasien Muslim Arab. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menyelidiki hubungan antara sikap, norma subjektif dan PBC para perawat gawat darurat dengan intensi mereka untuk memberikan pelayanan yang secara kulutral sesuai dengan pasien-pasien Muslim Arab. Subjek penelitian terdiri dari 208 orang perawat. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala model Likert. Masing masing subjek memperoleh skor sikap, norma subjektif, PBC dan intensi. Hasil penelitian Marrone (2005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap para perawat gawat darurat dan norma subjektif mereka dengan intensi untuk memberikan pelayanan yang secara kultural sesuai untuk pasien Muslim Arab; dan ada hubungan positif yang signifikan antara PBC dengan sikap. Perbedaan yang signifikan juga ditemukan dalam hal sikap dan norma subjektif antara mereka yang memiliki intensi dan tidak memiliki intensi memberikan pelayanan yang secara kultur sesuai terhadap pasien Muslim Arab. Dari penelitiannya tersebut Marrone kemudian menyarankan akan pentingnya memberikan materi-materi yang transkultural pada proses pendidikan pendidikan perawat. dan Ia juga pelayanan menyarankan perawat agar juga dalam dilakukan pendekatan pendekatan yang didasarkan pada informasiinformasi yang terkait dengan budaya-budaya tertentu 2.5. Model Kerangka berpikir Model teoritik dari Teori Planned Behavior (Perilaku yang direncanakan) mengandung berbagai variabel yaitu : a) Keyakinan Perilaku atau behavioral belief yaitu hal-hal yang diyakini oleh individu mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan negatif, sikap terhadap perilaku atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif terhadap suatu perilaku, dalam bentuk suka atau tidak suka pada perilaku tersebut. b) Keyakinan Normatif (Normative Beliefs), yang berkaitan langsung dengan pengaruh lingkungan yang secara tegas dikemukakan oleh Lewin dalam Field Theory. Pendapat Lewin ini digaris bawahi juga oleh Ajzen melalui PBT. Menurut Ajzen, faktor lingkungan sosial khususnya orang-orang kehidupan individu yang berpengaruh (significant mempengaruhi keputusan individu. others) bagi dapat Hasilnya berupa Norma subjektif (Subjective Norm) adalah sejauh mana seseorang memiliki pandangan orang motivasi terhadap untuk perilaku mengikuti yang akan dilakukannya (Normative Belief). Kalau individu merasa itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang akan dilakukannya. Fishbein & Ajzen (1975) menggunakan istilah motivation to comply untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak. c) Keyakinan bahwa suatu perilaku dapat dilaksanakan (control beliefs) diperoleh dari berbagai hal, pertama adalah pengalaman melakukan perilaku yang sama sebelumnya atau pengalaman yang diperoleh karena melihat orang lain (misalnya teman, keluarga dekat) melaksanakan perilaku itu sehingga ia memiliki keyakinan bahwa ia pun akan dapat melaksanakannya. Selain pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman, keyakinan individu mengenai suatu perilaku akan dapat dilaksanakan ditentukan juga oleh ketersediaan waktu untuk melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya fasilitas untuk melaksanakannya, dan memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan yang menghambat pelaksanaan perilaku. Hasilnya berupa Persepsi kemampuan mengontrol (Perceived Behavioral Control), yaitu keyakinan (beliefs) bahwa individu pernah melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku itu, kemudian individu melakukan estimasi atas kemampuan dirinya apakah dia punya kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan perilaku itu. Ajzen menamakan kondisi ini dengan “persepsi kemampuan mengontrol” (perceived behavioral control). Niat untuk melakukan perilaku (Intention) adalah kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari orang-orang berpengaruh dalam kehidupannya. lain yang Secara skematis, model kerangka berpikir dalam penelitian ini tergambar dalam gambar No. 2 berikut. [ Attitude Toward The Behavior Memutuskan : Setuju untuk melaksanakan perubahan KTSP karena memberikan keuntungan ATAU Tidak setuju karena dipandang merugikan diri sendiri Subjective Norm Adanya dorongan dari lingkungan sosial : keluarga, siswa, teman sejawat, kepala sekolah,penilik sekolah dan warga masyarakat pendidikan yang mendukung pengimplementasian perubahan KTSP. Intensi Indikasi adanya niat untuk untuk melaksanakan perubahan KTSP Perilaku Perilaku melaksanakan perubahan KTSP Perceived Behavioral Control Memahami bahwa faktor implementasi perubahan kurikulum merupakan keharusan untuk dilakukan karena dapat menimngkatkan profesionalisme dan dapat meningkatkan kompetensi para siswa. Gambar 2. Model Kertangka berpikir berdasarkan Teori TPB Ajzen (2005) Model kerangka berpikir ini menggambarkan bahwa persepsi guru terhadap manfaat mengimplementasikan kurikulum KTSP serta peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja guru dengan mengimplementasikan perubahan KTSP mempengaruhi setiap komponen perilaku, yaitu a) sikap setuju untuk melaksanakan KTSP karena memberikan keuntungan atau jika persepsinya negatif cenderung tidak setuju karena dipandang merugikan diri sendiri, b) adanya dorongan dari lingkungan sosial : keluarga, siswa, teman sejawat, kepala sekolah,penilik sekolah dan warga masyarakat pendidikan yang mendukung pengimplementasian perubahan KTSP, c) memahami bahwa faktor implementasi kurikulum merupakan keharusan untuk dilakukan karena dapat menimngkatkan profesionalisme dan dapat meningkatkan kompetensi para siswa, d) dorongan berperilaku menerima dan mengimplementasikan perubahan kurikulum dipengaruhi oleh sejauhmana individu guru menangkap bahwa produk hukum berupa Permendiknas pemberlakuan KTSP mengikat untuk diimplementasikan, e) sinergi kompleks antar komponen (sikap, norma subyektif dan kontrol keperilakuan) memunculkan intensi untuk menerima dan melaksanakan perubahan kurikulum KTSP, akhirnya f) intensi menerima dan mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP akan menjadi perilaku nyata dalam mengemban tugas profesinya sebagai guru. 2.6. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1 Ho Tidak ada pengaruh positif dan signifikan : antara sikap guru dan intensi mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP Ha Terdapat pengaruh : antara sikap positif dan guru dan signifikan intensi mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP 2 Ho Tidak ada pengaruh positif dan signifikan : antara norma subyektif guru dan intensi mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP Ha Terdapat pengaruh positif dan : antara norma subyektif guru signifikan dan intensi mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP 3 Ho Tidak ada pengaruh positif dan signifikan : antara kontrol keperilakuan guru dan intensi mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP Ha Terdapat pengaruh positif dan signifikan : antara kontrol keperilakuan guru dan intensi mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP 4 Ho Tidak ada pengaruh positif dan signifikan : antara sikap guru, norma subyektif dan kontrol keperilakuan secara simultan dengan intensi mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP Ha Terdapat pengaruh positif dan signifikan : antara sikap guru, norma subyektif dan kontrol keperilakuan secara simultan dengan intensi mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP 5 Ho Tidak ada pengaruh positif dan signifikan : antara intensi menerima perubahan kurikulum KTSP dan perilaku mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP Ha Terdapat : antara intensi menerima perubahan kurikulum KTSP pengaruh dan perilaku positif dan signifikan mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP