HumanCapital n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 n Rp. 30.000,- Journal Achieving Human Capital Excellence w.huma apitalj HC Journal Digital na our l.c nc ww om COVER STORY Human Sigma Kunci Keunggulan Organisasi Penjualan dan Jasa Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie, MBA "SDM Indonesia Masih Belum Disiplin" Emotion Economy The A Team Latihan, Latihan, Latihan Foreword HumanCapital Achieving Human Capital Excellence Journal Diterbitkan oleh PT. Menara Kadin Indonesia (Mki Corporate University) Patrons Anindya N. Bakrie, Burhan Uray, Tedy Djuhar, Putri Kus Wisnu Wardhani, Teddy Kharsadi Chief Editor (Penanggung Jawab) Syahmuharnis Executive Editor Yurnas Rachman Manager, Marketing & Promotion Ridwan Effendi Editorial & Business Dev. Executive Ratri Suyani Editorial Board Dasmito Syah, Andedes Cipta, Kristiadi Lestari Suryawati Circulation & Advertisment Dedeh P, Gama Horas, Hadi Ismanto, Peri Sonata, Purwanti Siti Insaroh Alamat Redaksi / Sirkulasi / Iklan Menara Kadin Indonesia 24th Floor Jl. HR. Rasuna Said X-5 Kav. 2-3 Jakarta 12950 Indonesia Phone : (62-21) 5790 3840 Fax. : (62-21) 527 4443 Email : [email protected] [email protected] Website : www.humancapitaljournal.com www.pt-mki.co.id Bank : Bank Mega Cabang Rasuna Said Jakarta. Rek. No. 010 2000 1100 3221 a/n PT Menara Kadin Indonesia Redaksi menerima artikel yang sesuai dengan visi dan misi Human Capital Journal. Redaksi berhak mengedit isi tulisan yang dikirim tanpa merubah maksud dan tujuannya. Dilarang memperbanyak/mengganda kan isi majalah tanpa izin dari pihak redaksi. ©Hak Cipta dilindungi Undang-undang Human Sigma = Human Systems D alam dekade terakhir, istilah Human Capital semakin sering menjadi terminologi manajemen organisasi. Maknanya, karyawan merupakan aset terpenting dari organisasi – mengalahkan segala aset fisik dan non-fisik lainnya. Ketika kita menyebut Human Capital, maka satu pertanyaan yang paling sering muncul adalah bagaimana sesungguhnya peran manusia/ karyawan dalam menciptakan nilai bagi organisasi. Apa matriks atau indikator terkait dengan manusia yang bisa menjelaskan korelasinya terhadap kinerja finansial organisasi? Salah satu indikator yang umum dipakai adalah kepuasan karyawan (employee satisfaction). Karyawan yang puas diharapkan bekerja penuh komitmen sehingga menghasilkan kinerja finansial yang bagus. Tapi, banyak perusahaan yang memiliki tingkat kepuasan karyawan yang tinggi, namun kinerja finansial perusahaan tetap tidak bertumbuh sesuai harapan. Rupanya karyawan puas pada comfort zone masing-masing. Lalu, muncul indikator untuk me­ ngoreksi hal itu, yakni tingkat keterikatan karyawan (employee engagement). Tingkat keterikatan juga menilai motivasi dan komitmen karyawan untuk bekerja maksimal. Namun, Gallup Consulting tidak mau hanya memandang keterikat­an karyawan ini sebagai indikator pamungkas dari sisi manusia. Perlu untuk memastikan perusahaan juga memiliki tingkat keterikatan pelanggan (customer engagement) yang juga tinggi. Pada dasarnya, hubungan karya­ wan-pelanggan inilah yang menentukan kinerja operasional dan finansial dari perusahaan jasa. Karyawan yang terikat dan pelanggan yang terikat akan menghasilkan kinerja operasional dan finansial yang tinggi. Kedua jenis keterikatan tersebut disebut dengan Human Sigma, yang menjelaskan peran penting aspek manusia untuk keberhasilan organisasi (human systems). Pertanyaannya, sejauh mana Human Sigma perusahaan kita masing- masing? Bagaimana strategi dan taktik untuk meningkatkan Human Sigma? Edisi kali ini mengupas tuntas tema Human Sigma dalam rubrik Cover Story. Tentu, masih banyak tulisan menarik lainnya yang bisa Anda baca dan terapkan di organisasi kita masingmasing. Jangan lupa untuk mengakses portal humancapitaljournal.com untuk mendapatkan informasi dan majalah digital. Jangan lupa pula untuk senantiasa aktif mengikuti berbagai event training dan seminar yang diadakan oleh Human Capital Journal dan perusahaan induknya, MKI. Semoga memberi kemajuan bagi para pembaca setia. Selamat membaca! Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III l Redaksi n 15 Oktober - 15 November 2013 3 From Chief Editor “P Emotional Economy elanggan ingin lebih dari sekedar puas. Mereka ingin merasa lebih terikat (engaged) kepada perusahaan,” tukas John H. Fleming, Ph.D., and Jim Asplund, kedua-duanya merupakan tokoh utama pada Gallup Consulting (Principal & Chief Scientist). Ekonomi baru yang lebih ditentukan oleh jasa, menurut Fleming dan Asplund, identik dengan Emotional Economy, di mana pengambilan keputusan oleh karyawan dan pelanggan diwarnai terutama oleh aspek emosi. Selama ini, aspek emosi sering dianggap tidak akurat dan tidak ilmiah sehingga tidak menjadi pakem dalam manajemen organisasi. Toh, konsep Emotional Economy bukanlah hasil analisis subyektif terhadap pentingnya aspek emosi dalam pengambilan keputusan, melain­ kan hasil riset beberapa dekade terhadap 10 juta pelanggan dan 10 juta karyawan di berbagai perusahaan. Fleming dan Asplund kemudian memperkenalkan indikator atau mariks Human Sigma sebagai kombinasi antara keterikatan karyawan (employee engagement) dan keterikatan pelanggan (customer engagement) yang menyebabkan sebuah perusahaan terus meningkat kinerja operasional dan finansialnya. Riset ini menghasilkan kesimpulan bahwa kepuas­ an pelanggan saja tidak lagi memadai. Kepuasan pelanggan muncul sebagai indikator kinerja perusahaan, namun pemilihannya menurut Fleming dan Asplund lebih didasarkan kepada aspek intuitif, bukan sebagai buah dari riset yang komprehensif. Dengan perkataan lain, kepuasan pelanggan dianggap sesuatu yang tepat untuk diukur. Para praktisi membuat postulat bahwa pelanggan yang terpuaskan akan terus membeli produk dan jasa bila sesuai dengan spesifikasi fungsional dan memenuhi kebutuhan mereka. Atas dasar postulat itu pula, perusahaan mengevaluasi kinerja dalam perspektif pelanggan dengan mengevaluasi kemampuan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tersebut. Sejalan dengan pengetahuan yang semakin matang dalam bidang psikologi, ekonomi perilaku, dan 4 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n neuroscience, banyak periset yang menyadari bahwa pengambilan keputusan manusia berdasarkan sudut pandang rational tidak tepat dan tidak lengkap. Saat ini, para pengiklan lebih banyak menaruh perhatian kepada dimensi non-rational dan emosional yang dianggap manusiawi. Sebagai hasilnya, tidaklah mengejutkan jika para eksekutif dan manajer terus berjuang untuk memahami kenapa pelanggan yang tampak puas namun tetap beralih kepada pesaing – dan kenapa pertumbuhan organik (bertumbuh dari pelanggan yang ada) menjadi hal yang sulit. Banyak pebisnis, periset, dan konsultan yang menaruh perhatian sangat besar kepada kepuasan pelanggan sebagai fondasi untuk membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan. Harus diakui, kepuasan pelanggan tidak begitu bagus untuk memprediksi perilaku pelanggan di masa depan. Riset Gallup membuktikan hal tersebut. Hasil empiris riset menyimpulkan bahwa pelanggan yang sangat puas (extremely satisfied) – pelanggan yang memiliki score kepuasan keseluruhan paling tinggi terhadap produk dan jasa perusahaan – bisa dibagi menjadi dua kelompok: mereka yang puas secara emosional (emotionally satisfied) dan mereka yang puas secara rational (rationally satisfied). Pelanggan yang puas secara emosional memiliki keterikatan emosional yang tinggi terhadap perusahaan. Sedangkan, pelanggan yang puas secara rational, puas terhadap produk dan jasa perusahaan namun tidak memiliki hubungan emosional terhadap perusahaan. Tentu saja, pelanggan kategori pertama jauh lebih baik dari pelanggan kategori kedua. Pelanggan yang puas secara emosional cenderung sangat loyal, kecil kemungkinan untuk berpindah ke produk atau jasa kompetitor. Kalau perusahaan memiliki tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi, namun pelanggan gampang berpindah ke produk atau jasa kompetitor, besar kemungkinan pelanggan tersebut hanya puas secara rational. Pemahaman ini memberi arahan kepada para eksekutif perusahaan untuk memahami Emotional Economy dan membangun cara berpikir baru terha­ dap realitas pengambilan keputusan oleh karyawan maupun pelanggan. Sentuhan emosi rupanya jauh lebih cespleng bagi muncul karyawan dan pelanggan yang militan. l Syahmuharnis 15 Oktober - 15 November 2013 Contents Human Capital Journal Edisi 28/Tahun III 15 Oktober - 15 November 2013 3 FOreword Human Sigma = Human Systems 9 HC News Avaya Jadi Leaders 5 Kali di Magic Quadrant 4 From Chief Editor Emotional Economy Universitas Esa Unggul Career Day 6 HC News Menangkan Persaingan lewat Manajemen Produk yang Baik 10 HC News Apa Resep Mempertahankan Bisnis Keluarga? 7 HC News Inovasi TI Indonesia di Metrodata Solution Day 2013 8 HC News Politeknik Enjinering Indorama Siap Cetak Tenaga Kerja Berkualitas 27 PRofile Ilham A. Habibie, Dr. Ing. MBA SDM Indonesia Masih Belum Disiplin 29 PRofile Susanty Widya Ningsih Syarat Utama: Cintai Pekerjaan Foto sampul oleh : Santhi Serad 31 Periscope The “A” Team Oleh Husen Suprawinata 33 Periscope Gaya Kepemimpinan Kemandirian dalam Organisasi Birokrasi (Solitude Leadership in Bureaucracy Organisation) Oleh Ir. Andy Budi Janto Sutedja, M.Sc. 34 Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Atas Warga Negara Asing 36 Column: Business Management Drs. Eddie Priyono Trial Not Error 12 Cover story Human Sigma Kunci Keunggulan Organisasi Penjualan dan Jasa Konsep Six Sigma terbukti berhasil mentransformasikan aspek manufaktur dari bisnis, menghasilkan produk akhir yang bermutu dan seragam serta menekan jumlah produk cacat (defect goods). Bagaimana halnya dengan perusahaan berfokus pada penjualan dan jasa? Jawabannya adalah Human Sigma. 15 Emotional Satisfaction Matters Most 16 Matematik Di Balik Score Human Sigma 20 Lima Langkah Pendekatan Human Sigma 22 Apa Kata Mereka, Abah Rama: Memanusiakan Manusia 24 Apa Kata Mereka, Andi Ilham Said. Direktur Utama PPM Manajemen Mengelola Karyawan = Mengelola Pelanggan 25 Apa Kata Mereka, Goenawan Loekito: Karyawan Puas Bukan Jaminan uman Sigma pada Perusahaan Oleh Radita D. Baskoro 26 Pentingnya Konsep H 38 Column: Managerial & Leadership Brata Taruna Hardjosubroto Leaders Must be Able to Create High Values (Setiap Pemimpin harus mampu untuk Menciptakan Nilai Tambah yang Tinggi) 40 column : Success Motivation Gani Gunawan Djong Latihan, Latihan, Latihan Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 5 HC News Menangkan Persaingan lewat telah maju dengan mengedepankan semangat kolaborasi ini seperti China dan Korea menunjukkan melalui inovasi semua pihak diuntungkan, dan mampu meningkatkan nilai inovasi yang mereka bukukan dan bersinergi untuk memenangkan persiangan global melalui manajemen produk yang baik. Dalam acara yang diadakan PDMAI (Product Development Management Association Indonesia) bekerjasama dengan Badan Sertifikasi Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia dan PPM Manajemen ini mengangkat tema, “Winning The Competition Through Good Product Management”. Acara ini bertujuan untuk memfasilitasi para praktisi untuk meningkatkan efektivitas individu dan organisasi dalam pengembangan manajemen produk baru tentunya melalui manajemen produk yang baik. Selain Andi Ilham Said sebagai narasumber sharing session, hadir pula Rikrik Ilyas, Ph.D (Chief Executive Officer of Innokeys Pte Ltd ) dan DR. Pepey Riawati Kurnia (Secretary General and Coordinator of PDMA Indonesia. l Manajemen Produk yang Baik A sosiasi PDMA (Product Development Management Association) di Amerika telah mengambil peran penting dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan manajemen produk baru dan inovasi, bukan hanya untuk lingkup domestik Amerika namun dunia. Indonesia memiliki potensi untuk melakukan hal yang sama. Hal ini ditegaskan oleh Andi Ilham Said, Ph.D, PDMA Indonesia Chairman & Direktur Utama PPM Manajemen, dalam acara sharing session yang diadakan tanggal 11 September 2013 lalu di Gedung PPM. “Tidak berlebihan jika saya melihat kehadiran PDMA Indonesia dapat menjadi semacam katalisator yang mampu mengkolaborasi semua elemen baik elemen akademisi, bisnis maupun elemen pemerintah,” ujar pria yang biasa disapa Ais. Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang tumbuh secara relatif stabil, sehingga kebutuhan akan inovasi dan kajian tentang manajemen produk juga bertumbuh secara signifikan. Organisasi, perusahaan, dan masyarakat pada umumnya membutuhkan strategi agar dapat terus mengasah semangat kompetetif mereka agar dapat menghadapi persaingan di tingkat global. Pemahaman dan pengetahuan berkenaan dengan manajemen produk baru sangat penting artinya, terutama untuk meningkatkan nilai produk yang mereka hasilkan dan tentunya untuk terus menggelorakan semangat berinovasi yang berkelanjutan. Dalam lingkup yang lebih besar, Indonesia harus memulai mencanangkan pemahaman baru yang mengkolaborasikan antara elemen Akademisi, Bisnis dan Pemerintah. Negara yang 6 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 Ratri Suyani HC News Inovasi TI Indonesia di Metrodata Solution Day 2013 T erobosan baru Teknologi Indonesia (TI) yaitu solusi cloud, mobility, & internet of everything menjadi pembicaraan hangat di acara Metrodata Solution Day (MSD) 2013 lalu, yang digelar selama dua hari, yaitu tanggal 18-19 September 2013 di Jakarta. Saat ini cloud, mobility, social media & big data mulai saling terkait satu sama lain. Tidak hanya sekadar mengevaluasi ataupun mencari cara lain dalam pengelolaan layanan, namun dengan business discovery akan lebih pada mencari cara bagaimana untuk mendorong pertumbuhan bisnis. Di lain pihak, professional TI memiliki tanggung jawab untuk memberikan inspirasi atau cara agar para pebisnis menjadi lebih tangkas, handal, efisien, dan berkolaborasi melalui keseimbangan antara tradisional dan pendekatan visioner dalam mengelola teknologi. Hal ini akan mendorong transformasi tanpa mengabaikan struktur optimalisasi biaya. Pemahaman akan cloud, mobility & internet of everything disertai dengan praktik terbaik dari teknologi infrastruktur dan kemampuan aplikasi bisnis yang visioner akan memberikan pengembalian terbaik investasi perusahaan. Dalam acara bertema “Rethink Your IT, Reinvent Your Business” ini merupakan acara yang ke-10 kali diadakan oleh Metrodata Electronics, dan sebelumnya telah diselenggarakan di Medan, Surabaya, dan Bali, Metrodata melalui unit bisnis solusi PT. Mitra Integrasi Informatika menawarkan solusi terbarunya yaitu Qlikview (pemimpin dalam Business Discovery), Data System International (pelopor dan pemimpin Mobile Enterprise Management), Amazon Web Services (menawarkan layanan lengkap berupa infrastruktur dan aplikasi yang dapat dijalankan di cloud), dan Salesforce.com (pemimpin layanan Customer Relationship Management on thr cloud). Menurut Susanto Djaja, President Director PT. Metrodata Electronics, pihaknya menyambut gembira dengan adanya kemajuan teknologi dan munculnya solusi-solusi inovatif saat ini. “Cloud, Mobility & Internet of Everything akan menjadi tren bagi pelaku bisnis di Indonesia masa kini dan mendatang. Ketiga tren tersebut akan memegang peranan penting kepada setiap perusahaan dalam menghadapi begitu banyak perubahan dan tantangan khususnya bidang TI yang terus berevolusi. Dengan berfokus kepada tren tersebut, kami sangat yakin akan mampu membekali para pelanggan kami menghadapi perubahan TI ke depan dan mengambil manfaat maksimal darinya,” tutur Susanto panjang lebar. l Ratri Suyani Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 7 HC News Politeknik Enjinering Indorama Siap Cetak Tenaga Kerja Berkualitas M enyiapkan tenaga kerja siap pakai yang berkualitas memang bukan perkara mudah. Namun semua itu akan menjadi mudah jika setiap pelaku industri bisa mengikuti jejak Indorama yang mendirikan Politeknik Enjinering Indorama (PEI). Hal ini diucapkan oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Musliar Kaslim dalam acara peresmian pengoperasian PEI yang berlokasi di Purwakarta, Jawa Barat tanggal 23 September 2013 lalu. Menurut Musliar, ia berharap dengan kehadiran PEI bisa mendorong pelaku industri lainnya untuk ikut politeknik atau pendidikan tinggi lainnya sehingga bisa meluluskan tenaga yang berkualitas dan siap pakai. Saat ini jumlah tenaga kerja di Indonesia yang tamatan sekolah dasar mencapai hampir 50%. Sementara hanya enam persen saja yang merupakan lulusan perguruan tinggi. “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan 60 persen tenaga kerja di Indonesia merupakan minimal tamatan sekolah menengah pada tahun 2020 dan tenaga kerja yang lulusan perguruan tinggi juga harus ditingkatkan,” tukasnya. Selain Wamendikbud, acara peresmian juga dihadiri Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun, Presdir PT Indorama Synthetics Tbk Amit Lohia, Ketua Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan Indorama Amol Titus, Duta Besar India, Mr. Gurjit Singh, Duta Besar Nigeria, Abdul Rahman Sallahdeen, Duta Besar Uzbekistan, komisaris PT. Indorama Mr. Sri Prakash Lohia, dan tak ketinggalan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. PEI yang didirikan dengan investasi sebesar enam juta dolar AS tersebut memiliki luas 6 hektar yang dilengkapi dengan fasilitas teknologi komputer, lab, perpustakaan dan pelatihan kemampuan Bahasa Inggris. Dalam mengembangkan kurikulum, telah ada nota kesepahaman antara pihak PEI dengan Universitas Atma Jaya dan Politeknik Negeri Jakarta. Hal ini juga untuk men- 8 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 dukung pelatihan pengajar, penelitian gabungan, pertukaran siswa dan sistem institusional yang kuat. Di fase pertamanya, PEI akan menawarkan diploma tiga tahun dalam program studi Teknik Mesin, Teknik Elektro dan Teknik Mekatronika. Dengan persetujuan dari Dikti, pene­rimaan kelas akan dimulai pada 30 September – 31 Oktober 2013 melalui rekrutmen terbuka. Biaya pendidikan akan mendapat subsidi dari perseroan dan industri di kawasan sekitar kampus. PEI menargetkan bisa meluluskan 150 lulusan setiap tahunnya. Politeknik yang berlokasi di Kembang Kuning, Ubrug, Jatiluhur, Purwakarta ini didirikan sebagai bagian dari kontribusi CSR Indorama terhadap pertumbuhan dan kemakmuran Indonesia, terutama di daerah Purwakarta. Pimpinan Group Indorama S.P Lohia mengatakan PEI didirikan sebagai bagian dari kontribusi jangka panjang Indorama terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan kemakmuran negara khususnya wilayah Kabupaten Purwakarta. Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, SH, dalam sambutannya menyampaikan bahwa sudah 40 tahun Indorama berperan dalam pembangunan di Purwakarta, dimulai dengan membangun industrinya hingga sekarang membangun pendidikan yang sangat modern. l Ratri Suyani HC News Avaya Jadi Leaders 5 Kali di Magic Quadrant A vaya, diposisikan sebagai pemimpin oleh Gartner di Magic Quadrant untuk kategori unified communications (UC) dan Kolaborasi tahun 2013. Ini merupakan tahun kelima Avaya diposisikan pada Leaders Quadrant dan diakui sebagai pemain utama dalam industri di bidang Unified Communications (UC) dan kolaborasi. Menurut Gartner, pasar UC perusahaan terus tumbuh selama 12 bulan terakhir dan kini dianggap telah me- masuki tahap awal adopsi mainstream. Perusahaan analis terpercaya ini memprediksi bahwa produk dan praktik terbaik, baik untuk penggelaran maupun penggunaan yang semakin banyak oleh end-user akan semakin matang selama beberapa tahun ke depan. Laporan ini juga menyebutkan bahwa saham untuk vendor di pasar UC enterprise sangat tinggi. Menurut Adrian Rozaq, Avaya Solution Consultant, Avaya bisa terus memimpin selama lima tahun berturut-turut karena Avaya terfokus pada karakteristik ini dengan mobilitas dan daya tarik solusi yang berada di garis depan solusi inovatif. “Avaya mempunyai pemikiran, bagaimana customer masih bisa terhubung meski sedang diluar.” Ujar Adrian dalam acara media gathering tanggal 20 September 2013 lalu di Jakarta. l Ratri Suyani Universitas Esa Unggul Career Day U niversitas Esa Unggul (UEU) menggelar acara Career Day & Bazaar 2013 yang diadakan pada 25-26 September 2013 lalu di Aula Kemala, Universitas Esa Unggul Jakarta. Acara yang diadakan bekerjasama dengan Sentral Job ini diisi oleh presentasi dari beberapa perusahaan, seminar dengan pembicara Gabelas MS dari Sentral Job, interview langsung oleh peserta Job Fair dari beberapa perusahaan terkemuka di Indonesia, bazaar, music & stand up comedy dan masih banyak lagi. Menurut Ari Pambudi, Wakil Rektor III UEU, acara ini bermanfaat bagi calon wisudawan UEU karena menjadi suatu tantangan knowledge buat para lulusan akademis yang ingin mencari kerja. Sementara itu dalam acara seminar, Gabelas yang merupakan mantan Sales & Development Head Bank Danamon yang kini menjabat sebagai Sales & Marketing Director Career Builder mengatakan bahwa kegiatan ini menjadi ajang pengenalan potensi diri sehingga lulusan akademis memahami dunia kerja dan bagaimana mereka bisa meraih karir. “Jangan menolak jika perusahaan memberikan gaji hanya sebesar sekian juta atau memilih-milih jenis pekerjaan. Yang terpenting adalah Anda bekerja dan tidak lagi menjadi beban bagi orang tua Anda,” saran Gabelas kepada calon wisudawan UEU. l Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 9 HC News Apa Resep Mempertahankan Bisnis Keluarga? S ebagian besar bisnis di Indonesia adalah bisnis keluarga dan bisnis keluarga menjadi salah satu penggerak perekonomian Indonesia. Sayangnya, bisnis keluarga di Indonesia rawan terhadap kebangkrutan. Menurut Nugroho Budisatrio Sukamdani, hal ini dikarenakan bisnis keluarga memiliki beberapa kelemahan. “Di antaranya adalah kurang professional, memiliki tata kelola yang kurang baik, masalah suksesi atau kesulitan mencari pengganti pemimpin, adanya konflik keluarga yang berimbas pada bisnis dan masih banyak lagi,” ujar putra pasangan Sukamdani Sahid Gitosardjono dan sang istri Juliah Sukamdani, dalam acara PPM Book Talk yang diadakan PPM Manajemen tanggal 27 September 2013 lalu. Nugroho menambahkan, meski memiliki beberapa kelemahan, namun para pengelola bisnis keluarga yang notabene juga anggota keluarga akan berusaha keras agar bisnis mereka tetap jalan karena mereka harus berpikir keluarga akan makan apa jika bisnis tersebut 10 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 tidak berjalan. “Kalau perusahaan tutup, keluarga mereka, anak dan istri mereka mau makan apa,” lanjut pria yang menjabat sebagai Vice President Grand Sahid Jaya Hotel. Dalam acara yang bertema “Long Life Family Business: The Secret!” ini, Nugroho mengupas bagaimana mempertahankan perusahaan keluarga dari generasi ke generasi dan memperkenalkan buku terbarunya berjudul “Solusi Perusahaan Keluarga”. Dalam bukut tersebut dijelaskan pula berbagai solusi berbagai masalah yang muncul dalam perusahaan keluarga, mulai dari cara mendirikan, mengembangkan, sampai dengan menjaga kelanggengannya. Selain Nugroho, tampil pula pembicara Nyoman Marpa, penulis buku “Perusahaan Keluarga Sukses atau Mati” yang membahas tentang perencanaan strategis yang harus dilakukan di perusahaan keluarga. Menurutnya, sekitar 96% perusahaan di Indonesia adalah perusahaan keluarga. “Perlu dipahami bagaimana mengelola perusahaan keluarga, bagaimana menangani konflik internal, dan membuat perusahaan mampu bertahan hingga puluhan generasi,” ujar Nyoman antusias. Acara ini dipandu oleh Shanti Poesposoetjipto, aktivis perempuan dan pengusaha di bidang teknologi informasi dan merupakan anak dari pemilik bisnis Soedarpo Corporation, dan dihadiri oleh Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Juliah Sukamdani serta para praktisi bisnis. l Ratri Suyani HC News Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 11 Cover Story Human Sigma Kunci Keunggulan Organisasi Penjualan dan Jasa 12 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 Cover Story M utu adalah sebuah ukuran yang mudah diukur dan dikelola dalam bisnis manufaktur, tetapi hal yang sama sulit untuk dilakukan pada bisnis jasa, macam usaha ritel, layanan keuangan, jasa call center, dan usaha-usaha non-manufaktur lainnya. Dalam bisnis manufaktur, nilai diciptakan pada usaha produksi di pabrik. Sementara untuk organisasi penjualan dan jasa, nilai diciptakan ketika seorang karyawan perusahaan berinteraksi dengan seorang pelanggan. Bisa disimpulkan, hubungan karyawanpelanggan merupakan pabrik produksi dari usaha jasa. Jika perusahaan jasa ingin meraih peningkatan kinerja operasional dan keuangan, maka hubungan karyawan-pelanggan harus dikelola dengan perhatian penuh. Metodologi peningkatan mutu menggunakan Six Sigma sangat bermanfaat dalam konteks manufaktur, di mana berbagai properti bisa dikombinasikan secara berulang-ulang dan bisa diprediksi. Akan tetapi, Six Sigma tidak banyak membantu dalam bisnis berbasis hubungan karyawan-pelanggan, di mana dimensi manusianya sangat bervariasi. Untuk mengatasi hal ini, John H. Fleming, Curt Coffman, dan James K. Harter mengembangkan pendekatan peningkatan mutu yang disebut dengan Human Sigma, dan memaparkannya untuk pertama kali dalam Harvard Business Review (HBR) Juli-Agustus 2005, dengan judul Managing Human Sigma. Human Sigma fokus kepada upaya menekan ketidakseragaman sekaligus meningkatkan kinerja usaha jasa. Bilamana Six Sigma diterapkan terhadap mutu proses, sistem, dan output, Human Sigma memfokuskan kepada mutu hubungan karyawan-pelanggan, Konsep Six Sigma terbukti berhasil mentransformasikan aspek manufaktur dari bisnis, menghasilkan produk akhir yang bermutu dan seragam serta menekan jumlah produk cacat (defect goods). Bagaimana halnya dengan perusahaan berfokus pada penjualan dan jasa? Jawabannya adalah Human Sigma. mengembangkan sebuah metode yang konsisten dalam mengases, mengelola, dan meningkatkannya. Berdasarkan riset dan analisis tentang Human Sigma, Fleming dan kawan-kawan menemukan beberapa prinsip dasar untuk mengukur dan mengelola interaksi antara karyawan dan pelanggan: - Penting untuk tidak berpikir seperti seorang ekonom atau insinyur dalam mengases interaksi karyawan-pelanggan. Emosi yang dikonversikan dalam bentuk penilaian dan perilaku jauh lebih menentukan ketimbang aspek rational. - Hubungan karyawan-pelanggan harus diukur dan dikelola secara lokal, karena terdapat banyak variasi dalam mutu pada level unit kerja dan individu. - Mungkin untuk menetapkan satu ukuran saja tentang efektifitas hubungan karyawan-pelanggan, di mana ukuran tersebut haruslah berkorelasi kuat dengan kinerja finansial. -Untuk meningkatkan kualitas hubungan karyawan-pelanggan, perusahaan harus melakukan intervensi jangka pendek yang bersifat transaksional (seperti coaching) dengan tindakan transformasi berjangka panjang (seperti meng­ ubah proses untuk merekrut dan promosi pegawai). Seringkali pula, struktur organisasi perusahaan harus disesuaikan agar hubungan karyawan-pelanggan bisa dikelola secara holistik. Konsep Human Sigma dikembangkan berdasarkan riset bertahun-tahun yang bertujuan untuk memetakan korelasi hubungan karyawan dengan pelanggan. Fleming dan kawan-kawan mengidentifikasi cara mengukur efektifitas hubungan tersebut, mengeksplorasi bagaimana matriks tersebut dipergunakan, dan mengases manfaat yang dihasilkan dari aplikasi tersebut. Pekerjaan ini didasarkan kepada pengalaman Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 13 Cover Story dengan ratusan perusahaan dan jutaan karyawan serta pelanggan. Kemudian mereka menguji dan melakukan validasi silang temuan terhadap 1.979 unit bisnis dalam 10 perusahaan yang bergerak dalam jasa keuangan, jasa profesional, ritel, dan penjualan. Hasilnya ternyata sangat luar biasa. Kesepuluh perusahaan tersebut yang menerapkan prinsip-prinsip terbaik dalam mengelola hubungan karyawan-pelanggan secara bersamasama mengalahkan 5 pesaing terbesar masing-masing tahun 2003 sebesar 26% dalam marjin kotor dan sebanyak 85% dalam hal pertumbuhan penjualan. “Kami tidak bisa menjamin hal itu akan selalu terjadi, tetapi kami yakin tindakan monitoring yang komprehensif terhadap kualitas hubungan karyawan-pelanggan akan menghasilkan peningkatan kinerja yang dramatis,” tukas Fleming dan kawan-kawan dalam HBR. Keterkaitan dengan Kinerja Finansial Analisis konvensional antara sikap karyawan, persyaratan pelanggan, dan kinerja finansial memberikan penekan­ an kepada hubungan linear di antara ketiga faktor tersebut. Sikap karyawan mempengaruhi sikap pelanggan, dan sikap pelanggan mempengaruhi kiner­ ja finansial organisasi. Fleming dan kawan-kawan meyakini bahwa ketiga faktor tersebut saling berinteraksi de­ ngan cara yang rumit. Matriks Human Sigma mengkombinasikan keterikatan (engagement) karyawan dengan pelanggan ke dalam satu ukuran, yang mereka yakini memberikan cara yang komprehensif dalam memahami sistem yang dinamis ini. Model Human Sigma, diakui Fleming dan kawan-kawan, juga dibangun berdasarkan sejumlah kegagalan dalam bereksperimen. Beberapa tahun lalu, cerita Fleming, mereka bekerja untuk perusahaan ritel yang besar dan memiliki banyak cabang/toko untuk melaksanakan 2 inisiatif terpisah, yakni untuk mengukur dan meningkatkan hubungan antara karyawan dan pelanggan. Dengan mensurvey seluruh pekerja dan pelanggan dari setiap toko, mereka bisa menyajikan matriks dari hubung­ an keduanya pada level lokal. Mereka menemukan toko yang memiliki tingkat hubungan karyawan-pelanggan yang tinggi juga menghasilkan kinerja finan­ sial yang tinggi pula. Sejalan dengan perkembangan pekerjaan, mereka ingin mengetahui apa yang dilakukan toko berkinerja tinggi untuk setiap ukuran tersebut dibandingkan dengan toko-toko yang berkinerja lebih rendah. Langkah pertama adalah mengidentifikasi 10 toko berkinerja paling tinggi berdasarkan level keterikatan karyawan (employee engagement) dan keterikatan pelanggan (customer engagement). Asumsi mereka adalah, beberapa toko dengan employee engagement yang tinggi juga memiliki customer engagement yang juga tinggi. Ternyata mereka salah. Hanya ada satu toko yang berada pada kedua daftar tersebut. Lalu, mereka melakukan pengkajian ulang terha­ dap data-data dan menemukan 2 hal: Seperti yang diharapkan toko-toko yang berkinerja bagus (berada pada posisi 50% teratas, bukan 10 besar) dalam hal keterikatan karyawan dan pelanggan menghasilkan kinerja finansial yang lebih bagus. Tetapi, toko-toko yang berkinerja bagus dalam kedua matriks tersebut mengalahkan kinerja toko-toko yang memiliki score tinggi hanya untuk satu matriks saja. Observasi ini menghasilkan kesimpulan bahwa keterikatan karyawan dan pelanggan berinteraksi positif untuk meningkatkan kinerja finansial. Riset lanjutan menunjukkan bahwa level keterikatan karyawan dan pelanggan berbeda-beda di tingkat lokal sehingga memunculkan peluang untuk meningkatkan kinerja finansial. Analisis-meta yang dilakukan terhadap 1.979 unit bisnis dari 10 perusahaan jasa terdahulu menunjukkan bahwa score di atas median database dari ukuran 14 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 keterikatan karyawan dan pelanggan secara rata-rata 3,4 kali lebih efektif secara finansial (dalam hal penjualan dan pendapatan, pencapaian target ki­ nerja, dan pertumbuhan penjualan serta pendapatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya) ketimbang unit kerja yang berada di 50% terbawah dari kedua ukuran tersebut. Pada sebuah perusahaan jaringan ritel mewah, contohnya, toko-toko yang memiliki score tinggi dalam keterikatan karyawan dan pelanggan menghasilkan rata-rata pendapatan per m2 lebih tinggi US$21 dibandingkan toko-toko lainnya – sebuah perbedaan yang bisa menghasilkan tambahan laba tahunan sebesar US$32 juta bagi perusahaan. Konsep Human Sigma mengkombinasikan score keterikatan karyawan dengan keterikatan pelanggan pada level lokal/unit kerja untuk mendapatkan score tunggal yang berkaitan dengan kinerja finansial unit kerja secara keseluruhan (lihat box: “Matematika Dibalik Score Human Sigma”). Score ini memungkinkan kita untuk mengklasifikasi unit kerja dalam 6 level kinerja. Unit-unit yang berada pada 2 level terendah membutuhkan sekali peningkatan. Unit kerja yang memiliki score keterikatan karyawan tinggi tetapi ke­terikatan pelanggan rendah terlalu fokus ke faktor internal dan kehilang­ an arah. Unit kerja yang memiliki score keteri­katan pelanggan tinggi dan keterikatan karyawan rendah tidak akan berkelanjut­an, hanya menunggu waktu keterikatan pelanggan tersebut akan turun. Lantas, unit kerja yang berada di 3 level teratas, hanya perlu dioptimalkan. Sejatinya, perusahaan penjualan dan jasa seyogyanya berusaha maksimal meningkatkan kinerja setiap unit kerjanya ke tingkat puncak. Artinya, perbedaan lokal atau antar unit kerja harus ditekan dan kinerja keseluruhan ditingkatkan. Kendati sulit, peningkatan semacam itu mungkin untuk dilakukan. Emosi Penentu Hubungan: Cover Story Customer Engagement Berbeda dengan Six Sigma yang relatif mudah dikuantifikasikan, Human Sigma tidaklah sesederhana itu. Orang boleh saja merasa bahwa perilakunya murni rational, tetapi sesungguhnya hal itu sangat jarang. Riset sekitar 20 tahun terhadap 2 bidang berbeda – neuroscience dan ekonomi perilaku – menghasilkan kesimpulan yang cukup kuat bahwa manusia membuat keputusan berdasarkan gabungan yang rumit antara emosi dan alasan/logika. Bahkan, dalam banyak riset terbaru, emosi malah memainkan peran yang lebih penting ketimbang analisa. Riset tentang neuroscienece dan ekonomi perilaku didorong oleh riset tentang kepuasan (satisfaction) dan ke­terikatan (engagement) pelanggan. Hasil dari studi-studi banyak kasus menyimpulkan, pelanggan yang sangat puas (orang yang memberikan score kepuasan paling tinggi terhadap produk dan jasa perusahaan) bisa dibagi menjadi 2 ke­lompok: mereka yang memiliki hubungan emosional yang kuat dengan perusahaan dan mereka yang tidak memiliki hubungan emosional yang kuat dengan perusahaan. Kalau beberapa indikator perilaku pelanggan dipelajari lebih lanjut (seperti persentase yang beralih ke perusahaan lain, frekuensi penggunaan, total penda- patan, dan total pengeluaran), maka sebuah pola yang jelas dan menarik muncul. Pelanggan yang puas secara emosional berkontribusi jauh lebih besar terhadap kinerja keuangan ketimbang pelanggan yang terpuaskan secara rational, kendatipun hasil pengukur­ an menunjukkan mereka sama-sama “puas”. Kenyataannya, perilaku pelanggan yang puas secara rational cenderung tidak berbeda dengan pelanggan yang tidak puas. Hal ini ditunjukkan dalam box tulisan berjudul “Emotional Satisfaction Matters Most”. Beberapa studi dilakukan untuk mengetahui hal ini lebih jauh. Misalnya dengan memantau reaksi otak Box 1 Emotional Satisfaction Matters Most P ada sebuah bank ritel besar di AS, laju pengurangan pelanggan yang tidak puas (attrition rate) tampak tidak berbeda antara pelanggan yang puas secara rational, yakni kelompok nasabah yang mengaku sangat puas tetapi rendah dalam keterikatan secara emosional kepada perusahaan berdasarkan 4 dimensi – confidence, Tabel. Laju Pengurangan Pelanggan Bank Kategori Pelanggan Puas Secara Emosional Puas Secara Rational Tidak Puas % 3,8 6,0 5,8 Sumber: Harvard Business Review, 2005 Tabel. Rata-Rata Pengeluaran Bulanan Pemilik Kartu Kredit Kredit Puas Secara Emosional Puas Secara Rational Tidak Puas US$ 251 136 integrity, pride, dan passion. Sebaliknya, attrition rate dari pelanggan yang secara emosional terikat rata-rata 37% lebih rendah. Begitu pula, pelanggan yang tidak puas dari jasa internasional kartu kredit tidak begitu beda antara pemilik kartu kredit yang puas secara rational. Namun, pemilik kartu kredit yang puas secara emosional oleh faktor-faktor jasa, fitur, dan image merek berbelanja lebih banyak secara rata-rata dibandingkan kelompok pelanggan lainnya (Pelanggan yang puas secara emosional juga meningkatkan belanja sebesar 67% dalam 12 bulan ke depan, sementara peningkatan untuk kelompok yang tidak puas sangat kecil). Sumber: Harvard Business Review, 2005 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 15 Cover Story ketika diminta berimajinasi terhadap sebuah perusahaan. Apakah pelanggan yang memiliki hubungan emosional yang kuat dengan perusahaan menunjukkan aktifitas otak yang sama dengan pelanggan lainnya? Jawabannya tidak. Hasil riset terha­ dap pelanggan peritel mewah di Jepang menunjukkan hal itu. Satu grup pelanggan tergolong sangat terikat secara emosional dengan perusahaan; satu sedang-sedang saja; dan satu kelompok pelanggan lagi kurang atau tidak terikat secara emosional. Menggunakan alat functional magnetic resonance machine (fMRI), pelanggan diminta menjawab pertanyaan dengan pilihan setuju dan tidak setuju tentang peritel tersebut, terhadap bank mereka, dan terhadap berbagai aspek dalam kehidupan seharihari. Otak pelanggan yang memiliki keterikatan emosional tertinggi terhadap peritel tersebut secara signifikan lebih aktif ketika diminta memikirkan subjek terkait perusahaan tersebut. Aktifitas otak yang meningkat terkonsentrasi pada bagian-bagian otak yang berkaitan dengan emosi, pemrosesan emosionalkognitif, dan memori. Lebih hebat lagi, peningkatan aktifitas otak bersifat spesifik perusahaan: pelanggan yang mencintai betul perusahaan ritel tersebut tetapi bukan terhadap banknya tidak menunjukkan peningkatan level aktifitas otak ketika memikirkan bank. Menariknya lagi, hubungan antara keterikatan emosional dan laporan pembelian pribadi berkorelasi sangat kuat sebesar 0,6 pada skala -1,0 hingga +1,0. Tampaknya ada mekanisme neurologikal yang menghubungkan keterikatan emo- Box 2 Matematik Di Balik Score Human Sigma S core Human Sigma dari sebuah unit kerja dihitung pertama kali dengan mengkonversikan score tengah dari keterikatan karyawan dan keterikatan pelanggan dalam ukuran percentile (berdasarkan distribusi score yang diamati dari setiap matriks). Jika sebuah unit kerja memiliki score konversi dari kedua keterikatan itu di atas rata-rata nilai distribusi, score Human Sigma akar dari nilai 2 percentile, terkoreksi untuk kondisi-kondisi dengan batas tertentu. (Nilai koreksi ini ekuivalen dengan ratio 2 percentile – tertinggi atau terendah – pangkat 0,125). Jika score unit kerja yang dikonversi di bawah dari nilai rata-rata distribusi, score Human Sigma adalah akar dari produk nilai 2 percentile dibagi 2. Langkah ini menghasilkan sebuah score terdistribusi secara bimodal yang kemudian digunakan untuk menetapkan nilai treshold dari setiap level Human Sigma, HS1 hingga HS6. Treshold dari HS4 ditetapkan 50. Treshold HS3 didefinisikan sebagai satu deviasi standar di bawahnya (menggunakan deviasi standar dari distribusi score Human Sigma). Treshold HS5 didefinisikan sebagai deviasi standar di atas treshold HS4. Jadi, kalau percentile keterikatan karyawan dan percentile keterikatan pelanggan, kedua-duanya, di atas 50, maka rumusnya: 16 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n Sebaran Score Dari Setiap Toko Ritel HS = √(EE Percentile x CE Percentile) x (Percentile max/Percentile Min)0,125 Jika percentile keterikatan karyawan dan percentile keterikatan pelanggan kurang atau sama dengan 50, maka rumusnya: HS = √(EE Percentile x CE Percentile)/2 15 Oktober - 15 November 2013 Cover Story sional dengan berbagai perilaku lainnya. Tak pelak lagi, pendekatan Six Sigma dalam mengukur dan mengelola kualitas interaksi karyawan-pelanggan perlu memasukkan emosi pelanggan ke dalam pertimbangan. Dibangun berdasarkan riset psikolog Ben Schneider dan profesor manajemen David Bowen, Fleming dan kawan-kawan mengembangkan sebuah ukuran dari keterikatan pelanggan. Ukuran ini hasil mengkombinasikan indikator tradisional dari loyalitas pelanggan (kepuasan menyeluruh, kecenderungan untuk membeli kembali, dan kecenderungan untuk merekomendasikan kepada orang lain) dengan beberapa komponen untuk menilai kondisi emosional dari komitmen pelanggan. Dimensi pertama yang dilihat, yakni aspek keyakinan (confidence). Apakah perusahaan ini selalu memberikan apa yang dijanjikannya? Apakah orangorangnya kompeten? Dimensi kedua adalah aspek integritas (integrity). Apakah perusahaan ini memperlakukan saya sebagaimana mestinya? Jika sesuatu yang buruk terjadi, apakah saya bisa menghandalkan perusahaan mengatasinya dengan cepat? Dimensi ketiga adalah kebanggaan (pride), sebuah proses identifikasi positif terhadap perusahaan. Dimensi keempat adalah kecintaan yang luar biasa (passion). Apakah perusahaan tidak tergantikan dalam kehidupan saya dan sangat sempurna untuk saya? Sejujurnya, pelanggan yang benar-benar cinta sa­ngat langka. Mereka itu adalah pelanggan seumur hidup dan mereka ibarat emas bagi perusahaan. Riset yang dilakukan Fleming dan kawan-kawan menyimpulkan, bagi ba­nyak perusahaan, pelanggan yang benar-benar terikat – pelanggan yang memiliki score 15%-20% teratas – menghasilkan sebuah nilai tambahan 23% dibandingkan dengan pelanggan rata-rata dalam hal nilai belanja, profitabilitas, pendapatan, dan pertumbuhan hubungan. Pelanggan yang tidak terikat – mereka yang scorenya 20%-30% terbawah – menunjukkan 13% discount dari ukuran tersebut. Dalam level unit bisnis perusahaan yang diteliti, unit bisnis yang memiliki score keterikatan pelanggan top 25%, cenderung mengalahkan seluruh unit kerja lainnya dalam indikator kontribusi laba, penjualan, dan pertumbuhan penjualan dengan faktor 2:1. Employee Engagement Setiap interaksi yang terjadi antara karyawan dengan pelanggan memberikan peluang untuk membangun hubung­ an emosional dengan pelanggan. Tentu saja interaksi ini bukan satu-satunya cara menyentuh hati pelanggan, tetapi hal ini memainkan peran paling penting. Di AS, menurut data Gallup Poll, hanya 29% karyawan yang bersemangat dan berkomitmen di tempat kerja. Lebih buruk lagi, 54% karyawan bekerja de­ ngan efektifitas sedang – mereka bekerja sesuai yang diharapkan, tidak lebih. Sisa karyawan, hampir 20%, tergolong tidak terikat. Unit kerja yang para anggotanya terikat secara positif memiliki tingkat produktifitas dan profitabilitas lebih tinggi, tingkat keselamatan dan tingkat kehadiran lebih baik, dan tingkat retensi yang lebih baik. Hal ini tidak mengejutkan, karena karyawan tersebut lebih efektif menciptakan keterikatan kepada pelanggan yang mereka layani. Karyawan yang tidak terikat, sebaliknya, juga berdampak besar bagi perusahaan. Diperkirakan biaya yang ditanggung perusahaan di Amerika mencapai US$300 miliar per tahun karena kehilangan produktifitas. Mereka juga menghancurkan hubungan dengan pelanggan. Matriks kinerja yang mengakui pentingnya keterikatan emosional – dari sisi karyawan dan pelanggan – menghasilkan hubungan yang lebih kuat terhadap hasil operasional dan keuangan. Memilih matriks mana yang digunakan merupakan langkah pertama untuk manajemen yang efektif dari hubung­ an karyawan-pelanggan. Selanjutnya, memutuskan bagaimana menerapkannya juga tidak kalah penting. Sayangnya, dalam banyak perusahaan, matriks yang didesain dengan keinginan yang benar, diterapkan secara salah. Hubungan Tersebut Harus Diukur Secara Lokal Mari kita lihat fakta-fakta berikut. Sebuah perusahaan penerbangan melaporkan bahwa mereka menjadi pemimpin industri dalam hal ketepatan waktu (on-time performance) dan memiliki data keberangkatan serta kedatangan untuk mendukung klaim tersebut. Sebuah provider seluler mengklaim menjadi pemimpin industri dalam hal kepuasan pelanggan, meng­ acu kepada hasil survey independen terhadap pelanggan. Sebuah perusahaan ritel mengumumkan telah memenangkan penghargaan salah satu perusahaan terbaik untuk bekerja dalam 5 tahun berturut-turut. Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 17 Cover Story Setiap klaim di atas – berdasarkan hasil survey – mungkin saja legimate, tetapi tinjauan cepat tentang apa yang disebut dengan ketepatan waktu terbang dan mendarat untuk pesawat spesifik atau kepuasan pelanggan pastinya memiliki kisaran kinerja yang tersembunyi di balik rata-rata tersebut. Beberapa penerbangan mungkin selalu tepat waktu, beberapa lainnya tidak. Beberapa pelanggan selalu mendapatkan masalah, beberapa lainnya mungkin saja sangat puas. Dan, beberapa toko boleh jadi menjadi tempat terbaik untuk bekerja, sedangkan toko-toko lainnya sangat tidak menyenangkan. Sistem pengukuran rata-rata kinerja level perusahaan mungkin berguna dari sisi pemasaran, membuat para eksekutif merasa lebih baik tentang posisi mereka di pasar. Namun, karena mereka mengabaikan adanya variasi kinerja yang berbeda dari lokasi ke lokasi atau unit kerja ke unit kerja dalam perusahaan, maka hal itu tidak memberikan informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja kepada manajer dan eksekutif. Variasi lokal kinerja ternyata bisa sangat besar. Kenyataannya, variasi dalam perusahaan mudah mengecilkan makna perbedaan dengan para pesaing. Kinerja biasanya juga mengikuti pola distribusi normal, menegaskan bahwa keberagaman lokal sebagian besar tidak terkelola. Bagi perusahaan penjualan dan jasa, keberagaman yang tidak terkelola dalam mutu yang dirasakan oleh pelanggan menunjukkan ancaman yang signifikan terhadap keberlanjutan perusahaan, karena variasi pengalaman pelanggan – bukan karena rata-rata kepuasan pelanggan. Hal yang persis sama terjadi dalam pola variasi kinerja dari ukuran karya­ wan dengan implikasi serupa. Satusatunya cara untuk meningkatkan kinerja lokal adalah memberikan umpan balik pada level di mana keberagaman itu muncul. Sering terjadi, hubungan karyawan-pelanggan diukur pada level spesifik yang salah sehingga tidak terlalu bermanfaat. Apa makna dari provider telepon seluler yang menyebut dirinya sebagai pemimpin industri dalam hal kepuasan pelanggan bagi seorang pelanggan yang selalu mendapatkan layanan apa adanya di tingkat lokal? Dan apa makna label perusahaan sebagai perusahaan pilihan untuk bekerja tetapi karyawan dalam unit kerja lokal selalu dalam tekanan? Pada saat hubungan karyawan-pelanggan pada level unit kerja diases, para eksekutif bisa belajar banyak tentang kinerja organisasi. Ambil contoh layanan call center yang dioperasikan sebuah perusahaan telekomunikasi. Layanan call center di sini dilengkapi dengan fasilitas modern, termasuk aplikasi CRM (Customer Relationship Management) yang memungkinkan petugas (Call Center Representative) untuk mengases hubungan seorang pelanggan dengan perusahaan. Setiap panggilan telepon 18 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 langsung diarahkan secara otomatis kepada petugas yang tersedia. Setiap petugas dilatih, dimonitor, dibimbing secara komprehensif, dan tingkat remunerasi antar call center relatif sama. Untuk mengetahui seberapa bagus sebuah unit call center melayani pelanggan, perusahaan mengukur kepuasan pelanggan pada tingkat perusahaan secara reguler. Perusahaan Telkom ini juga rutin menggelar survey tahunan kepuasan pegawai. Misalnya, dari survey triwulan diperoleh tingkat kepuasan pelanggan adalah 88%. Hasil survey pegawai, di sisi lain, menunjukkan hanya 40% pegawai yang merasa dibayar dengan memadai. Lantas, apa makna dari informasi ini? Menurut Fleming dan kawan-kawan, informasi yang ada tidaklah banyak. Untuk mengetahui hubungan karyawan-pelanggan secara total, perusahaan perlu indikator yang menukik ke dalam perusahaan. Untungnya, perusahaan Telkom ini telah memiliki indikator tersebut dan mereka mendapatkan beberapa pemahaman baru. Pemahaman baru Cover Story pertama adalah pengalaman pelanggan masih tergantung kepada siapa petugas yang mengambil panggilan telepon. Sebanyak 10% petugas terbaik menghasilkan 6 interaksi positif untuk setiap 1 interaksi negatif, berdasarkan wawancara pasca kontak dengan pelanggan. Sedangkan 10% petugas terburuk menghasilkan 3 interaksi positif untuk 4 interaksi negatif. Informasi kritikal semacam ini ha­ nya tersembunyi dari score keseluruhan kepuasan pelanggan 88%. Tanpa matriks yang lebih dalam, seorang pimpinan call center tidak akan mampu mengidentifikasi atau mengelola sumber-sumber penyebab kinerja yang payah dan kinerja yang sangat bagus. Contoh lain adalah sebuah Bank B. Beberapa tahun lalu, eksekutif puncaknya memahami bahwa karyawan mempengaruhi profitabilitas melalui 2 jalur berbeda. Jalur pertama disebut dengan efisiensi biaya langsung. Karya­ wan yang berkomitmen menghasilkan output yang lebih besar dengan kualitas lebih baik dibandingkan karyawan yang tidak berkomitmen. Mereka juga bertahan di perusahaan lebih lama, menurunkan biaya training dan penggantian pegawai. Efisiensi ini menjelma menjadi peningkatan profitabilitas. Jalur kedua disebut dengan outcome pelanggan tidak langsung. Pegawai yang produktif dan berkomitmen melahirkan hubungan dengan pelanggan yang lebih bagus, yang berujung kepada retensi pelanggan, profitabilitas, dan pertumbuhan. Upaya awal eksekutif Bank B untuk meningkatkan produktifitas dan komitmen pegawai adalah secara rutin mengases opini pegawai melalui survey secara acak. Mereka berharap bisa mengidentifikasikan satu set isu kunci, yang kalau ditingkatkan, akan membuat pegawai lebih gembira dan produktif. Hasilnya sangat mengecewakan sampai mereka mengases sikap pegawai pada tingkat cabang. Pada kantor cabang, sikap pegawai bervariasi mulai dari yang kurang bagus sampai dengan sangat bagus. Karena Bank B mengukur pada level spesifikasi yang tepat, maka bank tersebut bisa menemukan beberapa unit kerja menghasilkan standar pelayanan ekselen tetapi yang lainnya menghancurkannya. Variasi kinerja lokal adalah alat organisasi untuk meningkatkan kinerja. Dengan kondisi alamiah dari distribusi kinerja memperlihatkan adanya variasi tersebut, tetapi seberapa besar variasi tersebut menjadi ukuran kritikal dari kesehatan organisasi. Sekitar 3 dekade lalu, W. Edwards Deming dan Joseph Juran mencatat variasi dari matriks kinerja kritikal adalah ancaman terha­ dap keberlanjutan perusahaan karena itu berarti bisnis tidak dikelola secara efektif. Bisa disimpulkan, makin besar kisaran kinerja dari indikator kinerja kritikal, semakin mahal biaya operasional perusahaan. Sayangnya, pada banyak organisasi, variasi efektifitas hubungan karyawanpelanggan seringkali tidak terdiagnosa. Sebagai akibatnya, laba dan pendapatan tidak tercapai dan pertumbuhan sulit diraih. Data secara korporat tidak ba­ nyak berguna dibandingkan variasi data kinerja di level unit kerja. Para manajer lokal atau cabang, misalnya, kadangkadang menyalahkan perbedaan antar lokasi berdasarkan indikator ukuran toko, umur pekerja, atau hal-hal lokal yang di luar kontrol. Riset yang dilakukan Fleming dan kawan-kawan membuktikan hal itu tidak benar. Sebagai contoh, dalam perusahaan jaringan ritel, kemampuan mengontrol variabel-variabel yang tidak terhindarkan – termasuk faktor demografi lokal dan ada atau tidak adanya pesaing – mengeliminasi hanya porsi kecil dalam variasi kinerja antar toko. Artinya, kita bisa mengontrol faktor-faktor yang tidak bisa diubah. Faktor produk, harga, proses, kebijakan, dan sebagainya – halhal yang mendorong level keterikatan pelanggan – semuanya berlaku sama untuk setiap toko sehingga bukanlah faktor khas lokal. Jika faktor-faktor tersebut tidak berbeda dari lokasi ke lokasi, faktor kunci lainnya adalah cara proses dan kebijakan tersebut diterapkan di level lokal. Hal itu mendorong kita untuk melihat siapa yang menerapkannya, dan bagaimana implementasinya dikelola. Untuk mengurangi variasi dalam pengalaman pelanggan, perusahaan harus fokus untuk mengurangi variasi kinerja dari proses yang dilakukan pegawai-pegawai lokal. Setiap unit kerja bisa mengidentifikasi dan mengoreksi masalah masing-masing. "Apa yang disumbangkan Six Sigma bagi usaha manufaktur, Human Sigma melakukan hal yang sama untuk usaha jasa,” tukas Ralph Oliva, Executive Director, Institute for the Study of Business Markets, Penn State University. l SYH Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 19 Cover Story Lima Langkah Pendekatan Human Sigma D alam bukunya yang berjudul “Human Sigma”, dua pakar dan Principal Gallup John H, Fleming, Ph.D. dan Jim Asplund merekomendasikan 5 aturan baru dalam mengelola usaha jasa. Riset menunjukkan, perusahaan yang memiliki tingkat keterikatan karyawan (employee engagement) yang tinggi berhasil mencatat pertumbuhan laba per saham 2,6 kali lebih tinggi ketimbang perusahaan dengan karyawan yang tidak merasa terikat. Pada era industrial, nilai diciptakan melalui pekerja atau buruh, yakni upaya fisik untuk menciptakan produk berkualitas. Tetapi, dalam era ekonomi baru, kekuatan dan laba sepenuhnya mengandalkan pekerja. Semakin tinggi keterikatan karyawan, semakin besar laba yang bisa dihasilkan. Sebuah riset Gallup terhadap 89 perusahaan menunjukkan betapa besar dampak dari keterikatan karyawan tersebut terhadap aspek finansial perusahaan: perusahaan dengan tingkat keterikatan karyawan yang tinggi menghasilkan pertumbuhan laba per saham 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan perusahaan dengan tingkat keterikatan karyawan yang rendah. Dengan nilai dan laba sesungguhnya ada di balik hubungan karyawanpelanggan, maka interaksi tersebut telah menjadi pusat dari penciptaan nilai dalam service-driven economy. Untuk bisa memaksimalkan kualitas hubungan karyawan-pelanggan, perusahaan perlu mengukur dan mengelola hubungan tersebut dan manusia yang menciptakannya. “Human Sigma menciptakan satu set aturan baru dan sebuah cara berpikir yang berbeda terkait pengelolaan sistem manusia yang kompleks dalam organisasi. Didasarkan kepada hasil studi terhadap 10 juta pelanggan dan 10 juta pegawai di seluruh dunia, Fleming dan Asplund merekomendasikan 5 aturan baru dalam mengelola sistem manusia organisasi, yang dikenal dengan pendekatan Human Sigma. Rule 1. Anda tidak bisa mengukur dan mengelola pengalaman karyawan dan pelanggan sebagai entitas yang terpisah. Kedua sistem manusia tersebut berjalan beriringan, dan oleh karena itu perusahaan perlu mereorganisasikannya. Kebanyakan perusahaan saat ini tidak diorganisasikan atau disiapkan untuk mengelola karyawan dan pelanggan di bawah payung organisasi yang sama. Namun, karena hubungan penting dalam menciptakan nilai untuk organisasi penjualan dan jasa terletak pada interaksi antara karyawan dan pelanggan, maka perusahaan perlu memandang hubungan karyawan dan pelanggan saling berkaitan dan saling tergantung. Sebagai hasilnya, perusahaan perlu meng­ases dan mengelola sistem manusia ini sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Pertanyannya, siapa yang mengelola pengalaman karyawan? Dan, siapa pula yang mengelola pengalaman pelanggan? 20 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 Bagaimana upaya untuk mengintegrasikannya? Rule 2. Emosi membentuk hubungan karyawan-pelanggan. Emosi yang diwujudkan dalam bentuk penilaian dan perilaku jauh lebih besar ketimbang pemikiran rational. Sebab, pertama,karyawan dan pelanggan adalah manusia, dan, kedua, mereka selalu diselimuti oleh kondisi yang tidak stabil dan irasional layaknya manusia biasa. Jika perusahaan bisa memahami secara mendalam para karyawan dan pelanggan, maka faktor kuncinya adalah memperhatikan aspek kemanusiaan tersebut secara serius. Selama ini, hal ini adalah bagian paling sulit karena emosi dan perasaan dianggap tidak akurat dan tidak ilmiah dalam sistem manajemen modern. Tentunya bisa untuk secara tepat mengevaluasi dimensi emosional yang penting bagi karyawan dan pelanggan. Pengukuran dan pengelolaan hubungan karyawan-pelanggan harus memperhatikan dan memasukkan infrastruktur emosi dari perilaku manusia dan pengambilan keputusan, menghasilkan konsep lebih luas dari pertimbangan tradisional kepuasan karyawan dan pelanggan menjadi konsep yang disebut keterikatan (engagement). Rule 3: Anda hars mengukur dan mengelola hubungan karyawan-pelanggan pada level lokal. Kendatipun perusahaan bisa mengelola berbagai aktifitas organisasi secara efektif dari atas ke bawah (top down), hubungan karyawan-pelanggan secara intens merupakan fenomena lokal yang beragam dari lokasi ke lokasi Cover Story atau dari unit kerja ke unit kerja dalam sebuah perusahaan yang sama. Keberagaman kinerja pada level lokal tersebut harus diukur dan dikelola secara lokal pula. Pertanyannya, apakah matriks korporat dan aktifitas lainnya sudah diseleraskan untuk mendukung peningkatan kinerja di level lokal? Rule 4: Kita bisa mengkuantifikasikan dan menyimpulkan efektifitas hubungan karyawanpelanggan dalam sebuah ukuran kinerja – matriks Human Sigma – yang sangat terkait dengan kinerja finansial. Riset Fleming dan Asplund menemukan bahwa hubungan karyawanpelanggan saling mempengaruhi dan bisa dikuantifikasikan menjadi sebuah matriks human Sigma. Pengaruh interaktif keterikatan karyawan dan pelanggan pada level lokal secara eksponensial menentukan kinerja operasional dan keuangan serta pertumbuhan. Pertanyaannya, apakah matriks kinerja korporat perusahaan Anda sudah memasuk- kan matriks Human Sigma ini? Rule 5: Perbaikan kinerja Human Sigma di level lokal mensyaratkan adanya intervensi menyeluruh melalui pemberian perhatian terhadap kombinasi aktifitas intervensi transaksional dan transformasional. Pengukuran saja tidak cukup untuk meningkatkan kinerja. Menciptakan perubahan perusahaan butuh kerja keras dan intervensi menyeluruh. Dari riset ditemukan beberapa perusahaan menerapkan beragam aktifitas intervensi untuk menciptakan perubahan nyata dan berkelanjutan. Aktifitas transaksional, seperti perencanaan, training, dan intervensi agresif lainnya adalah intervensi siklikal yang cenderung bersifat tematik dan berjangka pendek. Mereka dirancang untuk membantu perusahaan untuk mengerjakan apa sudah dikerjakan, tetapi dengan cara yang lebih baik. Di lain pihak, aktifitas transformasional merupakan intervensi struktural yang terfokus kepada bagaimana perusahaan menyeleksi karyawan, menyeleksi dan mempromosikan manajer, mengevaluasi kinerja karyawan, memberikan penghargaan yang tepat, melaksanakan perencanaan suksesi, dan mengembangkan karyawan. Aktifitas transformasional fokus kepada penciptaan infrastuktur yang mendukung Human Sigma. Mereka didesain untuk membantu organisasi Anda untuk menciptakan cara baru dalam mengerjakan segala sesuatu. Pertanyaanya, apa yang perusahaan Anda miliki untuk mendukung strategi Human Sigma? Secara khusus, Gallup mengembangkan model Gallup’s Human Sigma Chain untuk menunjukkan bagaimana Human Sigma menentukan keberhasilan organisasi secara komprehensif. Dalam Human Sigma Chain terlihat bagaimana interaksi positif antara karyawan yang terikat (engaged employee) dengan pelanggan yang terikat (engaged customer) menghasilkan pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth), peningkatan laba riil (real profit increase), dan berujung kepada kenaikan harga saham (stock increase). Namun, yang menarik, untuk bisa mengReal Profit Stock hasilkan pegawai yang Increase Increase terikat, pertama kali setiap karyawan harus diidentifikasi kekuatanSustainable nya (identify strength), Growth ditempatkan pada temHuman Sigma pat yang sesuai dengan Engaged kekuatannya (the right Engaged Customers fit), dan dipimpin oleh Employees manajer yang hebat (great manager). Sebuah model yang Great sangat menarik untuk Managers Identify menjelaskan rantai Strengths The kunci dalam mencipRight Fit takan organisasi yang ekselen melalui sumCopyright© 1996, 2002, 2007 Gallup, Inc. All rights reserved berdaya manusia yang Gallup path, “Microeconomic: A behavioral economic model for organization,” kokoh. l SYH Gallup Consulting, “Employee Engagement” brochure, 2008 Gallup’s “HumanSigma”® Chain ® Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 21 Cover Story Apa Kata Mereka? Abah Rama Memanusiakan Manusia R ama Royani atau yang lebih dikenal dengan nama Abah Rama ini menekankan bahwa pendekatan Human Sigma lebih kepada “memanusiakan manusia” yang tentunya jauh lebih baik ketimbang “memesinkan manusia”. Alumni Teknik Fisika ITB Bandung sekaligus Pencipta Personal Strength Statement, Strategi Based Team Building, Multimedia HR Mapping, Individual Job Fit Mapping dan 30 Strength Typology ini juga menekankan bahwa pendekatan tersebut merupakan Tools dan semua Tools adalah baik. “Karena itu, yang paling penting ketika perusahaan akan menggunakan pendekatan Human Sigma adalah harus sesuai dengan maksud dan tujuan ketika Tools ini dibuat,” ujar Abah Rama. Kepada Human Capital Journal, ia menjelaskan tentang pendekatan Human Sigma dan bagaimana penerapannya di perusahaan Indonesia. Human Sigma adalah sebuah metode pengembangan manajemen SDM berbasis Employee Engagement (EE) dan Customer Engagement (CE). Menurut Anda, bagaimana konsep Human Sigma bisa diterapkan di Indonesia? Menurut saya performance measuring dengan Human Sigma sebaiknya dilakukan segera karena kecepatan pengukurannya yang sangat dibutuhkan manajemen untuk mengambil keputusan. Saat ini banyak management tools yang tidak memperhatikan unsur kecepatan penyajian yang akibatnya tidak mencapai sasaran yang diinginkan yaitu Performance dan upaya yang dilakukan menjadi mubazir. Yang perlu difahami adalah apa 22 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n yang mendasari dibuatnya Human Sigma. Pertama, Gallup memahami bahwa meningkatkan kinerja perusahaan tidak perlu mengukur karyawan per karyawannya, karena selain lama juga tidak efektif, maka Gallup memfokuskan dirinya mengukur kinerja “atasan langsung dari unit kerja”, karena kinerja perusahaan tergantung pada kinerja dari masing masing unit kerja dan kinerja unit kerja sangat tergantung dari atasan langsungnya. Awal cerita sebenarnya adalah karena kurang adanya korelasi antara hasil pengukuran Employee Satisfaction maupun Customer Satisfaction dengan hasil usaha sehingga Gallup di pertengahan tahun 1990 membuat Employee Engagement Survey yang dinamakan Q12 dan dirilis di buku Break All The Rules ditahun 1999. Dalam 15 Oktober - 15 November 2013 Cover Story Apa Kata Mereka? penelitian tersebut terlihat ada nya hubungan yang kuat antara EE dengan Produktivitas sehingga sejak saat banyak ahli manajemen yang ikut menciptakan Tools untuk EE. Akan tetapi belakangan Gallup menyadari bahwa EE saja tidak cukup untuk mengukur kinerja atasan karena juga diperlukan informasi dari pengguna jasa unit kerja tersebut sehingga ditahun 2002 ditemukan Human Sigma. Bagaimana cara pengukurannya? Ada dua dimensi yang diukur adalah EE (mengukur suasana kerja didalam satu unit kerja tertentu dan terdiri dari 12 pernyataan) dan CE (mengukur suasana hati dari pengguna jasa unit kerja diatas dan terdiri dari 11 pernyataan yang didalamnya ada 8 pernyataan terkait Emosi dan 3 pernyataan terkait Ratio). Metode-metode apa saja yang digunakan dalam pendekatan Human Sigma dan bagaimana penerapannya di perusahaan? Dari 12 pernyataan EE terkait Emosi dapat dibagi kedalam 4 kategori, yaitu Confidence, Integrity, Pride, dan Passion. Kemudian dari 11 pernyataan CE dapat dibagi dalam 4 kategori, yaitu Basic Needs, Management Support, Team Work, dan Growth. Pengukuran sebaiknya dilakukan setiap 6 bulan yang hasilnya harus ditunjukan kepada masing masing manager unit kerja agar yang bersangkutan tahu posisinya dan berusaha untuk meningkatkan Human Sigma. Seberapa akurat penggunakan pendekatan Human Sigma terhadap perusahaan yang berkaitan dengan CE? Dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengukur dan mengetahui EE dan CE? Beberapa pengukuran yang sempat dilakukan menunjukan akurasi yang cukup tinggi dengan catatan bahwa customer disini adalah Internal dan Eksternal. Perusahaan bahkan lebih banyak Customer Internalnya. Masing-masing asesmen hanya membutuhkan waktu 1015 menit sehingga keduanya sekitar 20 -30 menit EE memiliki kaitan yang erat dengan suasana kerja dan kinerja perusahaan. Rendahnya EE bisa berpengaruh buruk kepada kesehatan fisik maupun mental. Bagaimana pendekatan Human Sigma mengatasi kondisi seperti ini? Rendahnya EE menandakan bahwa atasan langsung dari unit kerja yang bersangkutan belum mampu atau memang tidak mampu menjadi manager dan apabila nilai Human Sigma terus menerus rendah dalam kurun waktu 3 kali pengukuran (12-18 bulan), maka perlu ada tindakan dari manajemen untuk mengatasinya spt menggantinya, melatihnya kalau punya potensi, menempatkan pada posisi lain yang sesuai. Bagaimana mengkorelasikan antara intervensi perusahaan dan disiplin karyawan sehingga bisa menghasilkan EE? Engagement sangat berbeda dengan stick and carrot motivation (reward and punishment) karena penelitian puluhan tahun menunjukan bahwa stick and carrot motivation (extrinsic motivation) hanya berhasil untuk tugas tugas terkait otak kiri maupun semangat akan tetapi untuk tugas tugas terkait otak kanan atas (kreativitas) maupun otak kanan bawah (inter personal) maka diperlukan Engagement yaitu dengan memfasilitasi potensi seseorang melalui Coaching. Disini sebenarnya akan terasa bagaimana pentingnya proses rekrutment dimana core talents harus diselaraskan core mission perusahaan, akan tetapi apabila karena organisasinya sudah terbentuk dimana core talents-nya tidak selaras dengan misi inti organisasi maka yang diperlukan adalah seorang Leader yang memiliki core talents yang sesuai dengan core mission organisasi dan keras dalam menjaga core values organisasi. Kunci untuk menghasilkan skor EE dan CE yang tinggi terletak ditangan atasannya langsung. Apa saja tantangan-tantangan dan kendala yang dihadapi perusahaan ketika akan menerapkan pendekatan Human Sigma serta bagaimana cara mengatasinya? Sebenarnya tidak ada kendala dalam menerapkan pendekatan Human Sigma karena pendekatan ini “memanusiakan manusia” yang tentunya jauh lebih baik ketimbang “memesinkan manusia”. Akan tetapi karena ini merupakan Tools dan semua Tools adalah baik maka yang penting adalah penggunaan Human Sigma harus sesuai dengan maksud dan tujuan ketika Tools ini dibuat. dibuat untuk level supervisor keatas karena tujuannya adalah untuk mengukur kemampuan manajemen seorang atasan di unit kerja tertentu dan skor Human Sigma ini bisa juga digunakan untuk membuat Talent Pool Mapping dimana sumbu X-nya Human Sigma sumbu Y-nya Leadership Potential. Masalahnya adalah bagaimana kita mengetahui Leadership Potential seseorang yang akhir­ nya terjawab oleh 99 Leaders Typology sebagai software turunan dari Talents Mapping. l RS Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 23 Cover Story Andi Ilham Said Direktur Utama PPM Manajemen Mengelola Karyawan = Mengelola Pelanggan K aryawan dan pelanggan adalah dua hal yang harus dikelola secara terintegrasi. Menurut Andi Ilham Said, Direktur Utama PPM Manajemen, hal ini dise­babkan semua perusahaan pada dasarnya adalah bersifat pelayanan. “Meskipun perusahaan tersebut adalah perusahaan manufaktur, pasti di dalam produknya terkandung unsur layanan atau yang dirasakan oleh konsumen sebagai layanan,” imbuh Ais, sapaan akrabnya. Ia mencontohkan, di sebuah perusahaan otomotif yang memproduksi dan menjual mobil tentu terdapat pula unsur layanan yaitu membantu melayani pelanggan agar bisa mengendarai mobil dengan benar. “Mobil ini termasuk alat transportasi. Karena itu, semua yang berkaitan dengan mobil semua merupakan jasa. Mulai dari jasa untuk meng­adakan bahan baku, jasa untuk mengubah bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan seterusnya hingga mobil tersebut ada di tangan pembeli. Semua adalah kumpulan dari jasa-jasa. Artinya, perusahaan itu adalah perusahaan dari kumpulan jasa yang dilakukan oleh karyawannya,” tambahnya. Asumsinya, jika ada jasa yang dilakukan dengan baik oleh karyawannya, maka akan berujung baik ke pelanggan. Karena itu, jika ada salah satu jasa yang salah dalam kumpulan jasa tersebut, maka hasilnya akan berdampak pada pelanggannya. “Perlu ada integrasi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa atau pelanggan. Makanya, mengelola karyawan sama dengan mengelola pelanggan,” Ais menegaskan hal ini. Diakuinya, konsep Human Sigma justru berusaha mengubah anggapan “pelanggan adalah raja”. “Sekarang ini semua raja, pelanggan dan karyawan sama-sama raja. Kalau kita bisa memperlakukan karyawan dengan baik, maka itu akan berdampak dengan baik kepada pelanggan. Ia memberikan istilah “you are what employee in” yang artinya Anda adalah apa yang karyawan Anda kerjakan,” kata Ais. Istilah tersebut menunjukkan bahwa mensejaherakan karyawan agar happy untuk membuat pelanggan happy. Ketika disinggung soal keterkaitan kepuasan karya­ wan dengan suasana kerja dan kinerja perusahaan yang bisa berpengaruh kepada kese­hatan fisik maupun mental karyawan, Ais mengaku bahwa membuat karyawan bahagia bisa berarti banyak. Diakuinya, berbicara disiplin karyawan bukan berarti tidak membahagiakan karyawan. Perusahaan bisa melakukan berbagai hal seperti memberikan remunerasi yang bagus, reward untuk mereka yang kreatif atau berprestasi, penciptaan ruangan yang nyaman, program pengembangan karir yang baik, dan masih banyak lagi. “Mungkin yang jadi pertanyaan jika Human Sigma diterapkan adalah sistem yang menggunakan KPI dengan Balance Scorecard (BSc). Tampaknya setelah semua perusahaan menggunakan BSc, ini menjadi masalah. Karena ada orang dengan tipe non mekanistik atau saat di lapangan memerlukan ide-ide kreatif, tapi adapula yang cocok di perusahaan yang bersifat organik, atau terbiasa dengan standar,” tutur Ais. l RS Jika ada jasa yang dilakukan dengan baik oleh karyawannya, maka akan berujung baik ke pelanggan. Karena itu, jika ada salah satu jasa yang salah dalam kumpulan jasa tersebut, maka hasilnya akan berdampak pada pelanggannya. 24 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 Cover Story Apa Kata Mereka? Goenawan Loekito, Praktisi Bisnis Karyawan Puas Bukan Jaminan B erbicara konsep manajemen SDM yang ada di dunia – termasuk konsep Human Sigma -- tidak semua yang diterapkan bisa memiliki kecocokan dengan kebutuhan setiap perusahaan. Menurut praktisi bisnis Goenawan Loekito, hal ini disebabkan setiap perusahaan mempunyai spesifikasi kebutuhan masing-masing. “Jadi metode apapun intinya tidak ada yang cocok 100 persen dengan kebutuhan perusahaan karena ada spesifik kebutuhan masing-masing,” ujar Goenawan. Kedua, konsep Human Sigma tidak bisa diterapkan, tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan industrinya. Menurutnya, saat ini perusahaan-perusahaan di Indonesia umumnya hanya mengambil otomasisasi. “Artinya diambil dari apa yang ada di konsep tersebut dan dijalankan secara manual. Kemudian dari manual akan diotomasisasi,” katanya. Mereka berharap dengan mengadopsi sistem atau konsep yang terkemuka dan sudah digunakan di negaranegara maju bisa membawa nilai tambah bagi perusahaan di Indonesia. Indonesia mempunyai satu kebutuhan target yang jelas. Dikatakan Goenawan, pada umumnya biasanya para CEO, direksi, pemegang saham, terkadang tidak memahami mau dibawa kemana tujuan akhirnya saat mereka menerapkan konsep Human Sigma. “Yang penting adalah diterapkan konsep tersebut dan dijalankan. Padahal hasil akhirnya seiring dengan berjalannya dengan waktu ternyata tidak sesuai. Makanya ada friksi-fiksi yang harus ‘dibereskan’,” imbuh Goenawan. Selain para pemimpin harus mengerti tujuan dan hasil yang ingin dicapai, para pemimpin tersebut juga harus konsekuen dengan apa yang sudah menjadi keputusan ketika menggunakan konsep tersebut. “Mereka mengerti tujuannya apa, dan pada saat itu ada satu kebijakan yang ‘belok kiri-belok kanan, tetapi ujung-ujungnya dilanggar oleh mereka sendiri. Sebagai pemimpin, dia harusnya memberi contoh atau walk the talk,” tegasnya. Pemimpin harus memberi contoh bahwa dia melakukan sesuai dengan kebijakan yang telah dia berikan kepada karyawan dan mempunyai kepatuhan pada etika. “Jadi sebenarnya perusahaan harus punya semuanya, kepatuhan yang bagus, etika yang bagus, sistem yang bagus, baru bisa berjalan,” jelasnya. Benarkah ada korelasi antara kepuasan pelanggan dengan kepuasan karyawan? Saat ditanya demikian, Goe- nawan mengutarakan bahwa slogan “pelanggan adalah raja” sudah tidak berlaku lagi. Saat ini jaman sudah berubah dan pelanggan sudah dianggap sebagai partner bisnis. “Kenapa? Kalau dulu seolah-olah tanpa mereka, kita tidak bisa bertahan. Pelanggan juga dulu dianggap tidak mengerti apa-apa sehingga kita harus menjelaskan semuanya,” sambung Goenawan kembali. Namun seiring dengan kemajuan teknologi, pelanggan sudah bisa memahami produk atau layanan apa yang dijual dengan hanya melihat melalui internet. “Makanya kita sekarang harus lebih adil, terbuka, transparansi dan memberikan value untuk membangun kepuasan pelanggan,” katanya lagi. Demikian juga membangun kepuasan internal. Artinya, memberi kenyamanan untuk karyawan juga perlu yaitu dengan cara memperlakukan mereka dengan baik, memberi arahan dengan baik, dan memberikan satu rekrutmen dan retirement yang jelas. “Kebanyakan di perusahaan, retirement-nya tidak jelas. Mereka cuma berpikir, result, result, result dan profit, profit, profit. Memang profit harus sebab tanpa profit, perusahaan akan mati. Cuma sekarang ini bagaimana mengarahkannya secara elegan, karyawan senang, yang mengerjakan juga senang, yang mencari profit juga senang, di semua bagian juga senang. Semua itu kan harus dilakukan dengan hati, bukan sekadar otomasisasi,” papar Goenawan panjang lebar. Pada dasarnya setiap perusahaan harus dibuat senyaman mungkin. Misalnya, dulu tidak memungkinan karyawan untuk mobile, mereka harus di kantor selama delapan jam, sekarang karyawan sudah tidak diharuskan berada di satu tempat saja. Mereka bisa bekerja dimana saja karena yang penting ada hasilnya dan bisa diukur. “Karyawan dibuat nyaman supaya dia bisa memberikan servis kepada pelanggan dengan nyaman pula,” ia menambahkan. Yang perlu diingat, perusahaan harus melakukan pengelompokan karyawan dan mengetahui karyawan tersebut lebih tepat bekerja di posisi apa. Masalahnya yaitu perusahaan seringkali menempatkan karyawan tidak sesuai dengan pengelompokan. Karena itu semua harus dimulai dari rekrutmen hingga karyawan pensiun. “Tidak setiap karyawan hanya butuh uang. Ada di level tertentu dia sudah tidak butuh uang, tetapi melihat benefitnya, kemudian di level tertentu di hanya butuh kesibukan. Ada yang tidak suka di sales, tetapi malah ditempatkan di bagian sales. Bisa stress karyawan tersebut. Yang ada pelanggan akan complain terus,” lanjutnya. Tapi jika karyawan senang tidak menjamin pelanggan juga akan ikut senang. Ditegaskan Goenawan, jika tidak diikuti dengan sistem yang bagus, maka complain dari pelanggan akan tetap ada. l RS Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 25 Cover Story Pentingnya Konsep Human Sigma pada Perusahaan M asih ingat sampai dengan sekitar jasa atau suatu produk dari perusahaan sepuluh tahun lalu bagaimana namun tidak ada ikatan emosional, dan kinerja maskapai nasional kita puas secara emosional, dimana customPT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk. er merasakan sangat puas terhadap jasa yang mana kualitasnya masih terbilang atau produk yang ditawarkan mereka buruk? Jika melihat dan memiliki emosionsaat ini transformasi al yang kuat dengan PT. Garuda Indoneperusahaan. Tentunya sia (Persero), Tbk. rasa puas secara emobisa dibilang bersional ini memberikan hasil yang akhirnya keuntungan yang lebih mendapatkan banyak kepada perusahaan, penghargaan dari seperti dapat menjadi World Airline Awards sumber word of mouth seperti urutan ke deyang menyebarkan lapan di Global Airkepuasannya terhadap Oleh line Ranking, serta suatu jasa atau produk Radita D. Baskoro Best Economy Class yang ditawarkan oleh Senior Executive di dunia, dan urutan perusahaan. Firstasia Consultants ke lima sebagai Best Untuk lebih detailAirline di Asia. Hal nya, Fleming (2007) tersebut juga terpaksa diikuti oleh PT. menjabarkan ada empat jenis customer Kereta Api Indonesia (Persero) yang juga berdasarkan ikatan emosio­nalnya, berkembang secara signifikan saat ini. yaitu fully engaged,yaitu customer Tentunya ini tidak dikarenakan keberun- yang memiliki ikatan emosional yang tungan semata, dimana upaya perbaikan kuat dengan perusahaan dan paling termasuk peningkatan service excellence menguntungkan untuk perusahaan; kepada customer kerap mereka lakukan engaged, yaitu customer yang belum disamping tentunya pengembangan dan sepenuhnya terbentuk ikatan namun reward-reward kepada karyawan interberpotensi untuk menjalin ikatan yang nalnya juga mereka lakukan. lebih jauh; not engaged, yaitu customer Terkait hal-hal di atas ada konsep yang netral dan cenderung tidak mengyang bernama Human Sigma yang gunakan jasa atau produk perusahaan; memiliki tujuan akhir untuk meningkat- dan actively disengaged, yaitu customer kan kepuasan pelanggan dan karyawan yang memilki rasa kecewa atau negatif sampai ke tingkatan emosional yang pa­ terhadap perusahaan. ling tinggi, yaitu fully engaged, sehing­ Setelah melihat pentingnya rasa ga memberikan keuntungan dari sisi keterikatan emosi yang terbentuk pada keuangan dan operasional perusahaan customer dengan perusahaan, maka menurut Fleming, Coffman, dan Harter ada hal yang sama pentingnya (atau (2005). Dalam konsep Human Sigma lebih penting?) dalam konsep Human dibagi menjadi dua jenis rasa puas yang Sigma yaitu hubungan perusahaan dirasakan oleh customer, ada yang dengan karyawannya sendiri. Kepuadisebut sebagai puas secara rasional, san pelanggan tidak dapat tercipta jika yaitu customer merasa puas terhadap tidak terjalin hubungan yang baik pada 26 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 perusahaan dengan karyawan internalnya sendiri. Hubungan antara karyawan dengan perusahaan ini dapat dijelaskan dengan konsep employee engagement. Meningkatnya employee engagement di sebuah perusahaan tentunya akan memberikan hal-hal positif kepada sebuah perusahaan atau organisasi. Nalarnya dengan adanya peningkat­ an employee engagement di sebuah perusahaan, tentunya akan mendorong produktivitas karyawan, lalu disam­ ping itu sisi service serta kualitas yang diberikan kepada customer atau rekannya pun juga akan meningkat. Hal tersebut tentunya juga akan membentuk customer satisfaction yang lebih tinggi kepada pihak-pihak yang terkait dengan fungsi kerjanya yang mana akan me­ nguntungkan sebuah organisasi ataupun perusahaan. Memang konsep Human Sigma ini adalah konsep yang bisa dibilang masih tertidur di kebanyakan perusahaan dan konsep ini membutuhkan kerjasama yang baik yang berawal dari internal perusahaan. Untuk mengukur level human sigma pada suatu perusahaan salah satunya dengan menggunakan kuesioner customer engagement dan employee engagement. Dengan ini perusahaan dapat berintrospeksi dan meningkatkan kembali apa yang yang perlu ditingkatkan untuk bersaing dengan perusahaan lain serta mendapatkan keuntungan yang lebih baik, hubungan dengan customer ataukah hubungan dengan karyawannya. l Firstasia Consultants. Wisma 76 - 18th floor Jl. Letjen S. Parman Kav 76 Slipi, Jakarta Barat P: 62.21.536 66 618 | F: 62.21.536 77 666 | www.firstasiaconsultants.com Profile Ilham A. Habibie, Dr. Ing. MBA S umber Daya Manusia (SDM) Indonesia diakui putra sulung pasangan Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie dan Alm Ibu Hasri Ainun Besari tidak kalah dengan SDM dari negara-negara lain. Permasalahannya di antaranya adalah lowongan kerja termasuk di bidang teknologi yang masih sedikit, SDM Indonesia yang kurang disiplin, dan pemerintah Indonesia yang belum konsisten. Apa maksudnya? Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n Foto : Santhi Serad SDM Indonesia Masih Belum Disiplin 15 Oktober - 15 November 2013 27 Profile Santhi Serad Ratri Suyani Bicara kualitas SDM Indonesia menurut pemilik nama lengkap Ilham Akbar Habibie bukan hanya bicara soal pemerintah semata. “Concern pemerintah sudah dari sisi ABPN yang dialokasikan untuk pendidikan. Komitmen secara makro sudah jelas ada,” jelas pria kelahiran 16 Mei 1963 di Aachen, Jerman dengan antusias. Menurutnya, masyarakat Indonesia tidak bisa mengatakan bahwa pemerintah tidak mendukung SDM di negeri sendiri. “Masalahnya adalah, menggunakan yang sudah dididik itu yang memang masih kurang,”tutur President Director PT. Ilthabi Rekatama. Menurutnya, masih belum ada kese­ larasan antara lulusan sarjana dengan pekerjaan yang dibutuhkan. “Seringkali lowongan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan mereka tidak ada, sehingga seringkali mereka malah bekerja di luar negeri atau mereka malah bekerja di industri dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan jurusan mereka. Jadi, kurang selaras antara orang yang dididik di satu bidang dengan pemanfaatan industri yang terkait.Tapi mungkin ini lebih kepada kebijakan ekonomi,” imbuh Ilham. Tak jarang, sumber daya alam (SDA) kita, tidak diproses dengan baik. Kita masih lebih banyak ekspor SDA dalam bentuk mentah atau setengah diproses. Cara fikir itu berlanjut diterapkan keproduk-produk lainnya, misalnya produk industri. “Orang kita sendiri sering masih berpikir kenapa kita harus susah-susah mengembangkannya jika kita bisa mengimpor dari luar. Mungkin ini seperti yang dibahas oleh dunia internasional ‘Kutukan dari negara yang kaya SDAnya’,” tambahnya. Ketika ditanya apakah memang benar SDM Indonesia kalah jauh dengan Negara lain, Ilham menjawab bahwa semua itu memang relatif. “Sebenarnya begini, semua itu tergantung dari budaya nasional yang kuat dan mendukung pengembangan SDM yang menitikberatkan pendidikan, pekerjaan dan karir. Jika dibandingkan dengan China misalnya, Indonesia kan lebih memiliki budaya nasional yang relatif baru dan sangat pluralis karena terdiri dari berbagai suku dan merdeka baru tahun 1945. Budaya suku-suku di Indonesia berbeda-beda dari segi sikap terhadap pendidikan, pekerjaan dan karir itu. Beda dengan China yang sudah menjadi Negara kesatuan sejak lama dan punya budaya nasional dengan sikap yang lebih homogen. Analisa saya seperti itu,” tegasnya. Namun ketika disinggung apakah Indonesia bisa mencontoh negara-negara maju dalam hal pengembangan SDM, ia langsung menegaskan bahwa Indonesia boleh mencontoh. “Tapi jangan copy 28 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 paste! Mungkin lebih ke konsistensi. Sekarang ini terlalu banyak lompat-lompat terkait dengan pengembangan SDM. Mungkin karena adanya perbedaan pemerintahannya. Padahal di negara maju biasanya ada beberapa kebijakan terkait SDM yang tidak boleh diubah,” akunya. Ia pun menyayangkan jumlah SDM di bidang teknologi yang masih minim. Jangankan bicara kualitas, dari sisi kuantitas saja SDM Indonesia masih belum cukup. “Sangat tidak cukup. Dimulai dari lowongan kerja yang tidak ada sehingga mereka terpaksa bekerja di bagian lain,” lontarnya kembali. Pembenahan bisa dimulai dari persiapan industri yang terkait dengan bidang teknologi. Menurutnya, SDM akan ada jika industrinya sudah ada. “Kalau orangnya dulu ada baru industrinya diadakan, ya akan percuma. Makanya harus ada penciptaan industrinya terlebih dulu,” Ilham menambahkan. Selain itu, infrastruktur yang ada juga harus diperbaharui agar Indonesia tidak kalah saing dengan negara lain. “Yang terpenting juga adalah orang Indonesia masih belum disiplin. Bisa dilihat dari yang sederhana saja, untuk mengantri, mereka belum disiplin,” kata Ilham yang saat ini sedangkan mempersiapkan pesawat R80 melalui PT Regio Aviasi Industri (RAI) bersama rekannya Erry Firmansyah, mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia dan merupakan proyek berdasarkan konsep pesawat N250 karya sang ayah, BJ Habibie yang dipaksa gagal. l Ratri Suyani Profile Syarat Utama: Cintai Pekerjaan B erkarir di beberapa jenis industri yang berbeda merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi Susanty Widya Ningsih. “Semua permasalahan bisa diatasi asalkan penuhi satu syarat,” ujar wanita kelahiran 11 September 1979. Mengawali karir sebagai Public Relations Officer di Hotel Sol Elite Marbella pada 2003 hingga 2006 merupakan tantangan pertama yang dihadapi lulusan STIKOM Interstudi jurusan public relations ini. “Sukanya, saya banyak bertemu dan berinteraksi dengan orang banyak. Belum lagi saat itu adalah masalah tsunami yang membuat jumlah tamu yang menginap berkurang sangat drastis,” tutur Susan menceritakan pengalamannya kala itu. Kerja keras yang dilakukan Susan dan tim manajemen hotel agar jumlah tamu yang menginap bisa kembali normal bukan perkara mudah. “Kami harus meyakinkan para tamu sehingga ketika mereka berlibur di Anyer, mereka mau menginap di Marbella,” akunya. Juni 2006, penggemar Japanese food ini menerima tawaran sebagai Public Relations Manager di Novotel Hotel Bogor hingga tahun 2008. Kemudian ia memutuskan menerima tantangan sebagai Corporate Marketing Manager Indonesia di Novus Hotels & Resorts pada Maret 2007 – Juli 2009, dan pada Juli 2009, ia menjadi Consultant Manager Image Dynamics hingga tahun 2010. “Yang jelas banyak hal yang menyenangkan ketika saya bekerja dan menjalani tantangan yang ada,” aku wanita yang menjadi Bussiness Manager Cerebro tahun 2010 – 2011. Kemudian, pencinta warna biru ini memutuskan untuk berkarir di PT. Strategic Partner Solution dengan menjabat sebagai Marketing Head pada Maret 2011. Baru pada Maret 2013 lalu, ia menerima tawaran dengan menjadi International Marketing Head Data On, sebuah perusahaan software HR lokal terkemuka di Indonesia. “Banyak pengetahuan yang saya terima ketika bekerja di Data On. Kenapa? Jujur saja karena Ini adalah hal yang bertolak belakang dengan industri tempat saya bekerja sebelumnya. Saya banyak belajar banyak tentang teknologi, HR dan haus akan pengetahuan membuat pekerjaan ini sangat menyenangkan,” celoteh Susan Ketika ditanya apakah duka yang ia rasakan selama berkarir, dengan santai, wanita yang gemar traveling ini menjelaskan bahwa siapapun bisa dijalani pekerjaan dan profesinya dengan baik selama ia menyukai pekerjaan tersebut. “Saya tipikal orang yang ingin semuanya bisa diatasi. Kalau ditanya pusing atau tidak, pasti semua pusing. Tapi prinsip saya, dimanapun saya bekerja saya akan mencintai pekerjaan saya. Sehingga tidak ada kata bosan atau tidak suka dengan pekerjaan. Semua pasti akan berjalan dengan lancar selama kita berusaha dan berdoa”, tutur Susan antusias.l Ratri Suyani Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III Ratri Suyani Susanty Widya Ningsih n 15 Oktober - 15 November 2013 29 ADVERTORIAL MKI Corporate University HC News Center of Excellence in Business, Leadership & Management PROGRAM CHRP Certified Human Resources Professional 5 Days Intensive Course, In Class Assignments, and Paper Work after Inclass Program G Moduls: Developed Based on Body of Knowledge in Global HR Certification Facilitators: Experienced Executives & Practitioners in HRM Examiners: Experts from MKI Corporate University & Kazian Global School of Management lobalisasi ekonomi dan bisnis berdampak kepada kompetensi para profesional di berbagai bidang, termasuk mereka yang mengelola sumberdaya manusia (SDM). Untuk bisa bersaing di dunia bisnis, para praktisi dan eksekutif manajemen SDM perlu untuk memiliki kompetensi dalam manajemen SDM yang diakui secara luas. Bekerjasama dengan Kazian Global School of Manage­ ment yang terafiliasi dengan Mahatma Gandhi University di India – pusat pembelajaran ilmu bisnis terkemuka di kawasan Asia – maka MKI Corporate University meluncurkan program Certified Human Resources Professional (CHRP), di mana para lulusannya berhak mencantumkan gelar CHRP di belakang namanya sebagai identitas profesional yang dimiliki. Para pemilik gelar CHRP ini memiliki peluang lebih besar untuk mengembangkan karirnya dan bekerja secara global. Tujuan dan Sasaran Program CHRP Program CHRP bertujuan untuk menciptakan profesional manajemen SDM dengan penguasaan teori dan praktik yang memadai untuk menjalankan peran sebagai seorang profesional di bidang manajemen SDM. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: Peserta mampu memahami lingkup kerja dan dinamika Manajemen SDM, mampu memahami pendekatan-pendekatan baru yang aplikatif, dan memiliki keterampilan memadai dalam manajemen SDM. Peserta CHRP Peserta Program CHRP adalah profesional di bidang manajemen SDM, pengalaman kerja di bidang manajemen SDM minimal 3 tahun. Informasi dan Pendaftaran PT Menara Kadin Indonesia (MKI) (Learning, Consulting, Assessment Center, Research & HCJournal) Program CHRP dikembangkan mengacu kepada Body of Know­ ledge dari beberapa program Certified yang dikeluarkan oleh The HR Certification Institute, USA (hrci.org/global). Para peserta Program CHRP tidak hanya diajarkan tentang berbagai subyek utama dalam siklus manajemen SDM (HR Cycle), melainkan juga bagaimana membangun dan menjalankan manajemen SDM secara lebih strategik. Peran strategik tersebut ditunjukkan dalam pengelolaan kompetensi dan kinerja SDM. Semakin disadari oleh perusahaan bahwa ada keterkaitan langsung antara pencapaian strategi dan sasaran perusahaan dengan pengelolaan kompetensi dan kinerja SDM. Program CHRP mengintegrasikan kebutuhan riil di tempat kerja dengan perubahan paradigma yang sedang terjadi dalam dunia manajemen SDM saat ini dan di masa depan. Team Fasilitator, Pembimbing, dan Penguji CHRP Team Fasilitator, Pembimbing, dan Penguji memiliki latar belakang pengalaman praktik dan konsultansi manajemen dengan pengalaman minimal 15 tahun di berbagai perusahaan terkemuka. Semuanya memiliki gelar S-2 di dalam dan luar negeri, di samping S-1 dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Proses Sertifikasi Proses sertifikasi CHRP dilakukan dalam bentuk serangkaian pembekalan, penugasan, dan pengujian yang keseluruhannya memakan waktu sekitar 3 bulan Modul Program CHRP Keseluruhan terdapat 9 Modul Pembelajaran dalam waktu 5 (lima) hari efektif Penyerahan sertifikat CHRP Sertifikat CHRP akan diserahkan secara resmi melalui pos, kurir atau pola lain yang memungkinkan. Biaya Program CHRP Biaya program CHRP adalah Rp 12 juta per peserta (di luar PPN). Biaya tersebut mencakup: biaya program training 5 hari, modul, bimbingan dan penilaian tugas in class dan paper pasca program training, makan siang dan snack selama program training, sertifikat CHRP, dan biaya pengiriman sertifikat. Biaya tersebut tidak termasuk biaya transportasi dan akomodasi peserta selama program training CHRP. Gedung Menara Kadin Lantai 24 Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Fax. (021) 527 4443. Email: [email protected] Contact Person: Mrs. Dedeh, Ms Anti, Mrs. Iin, Mr. Hadi 30 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 (021) Periscope The S “A” Team (Bagian 1 dari 2 tulisan) elama beberapa dekade, para peneliti dalam bidang organisasi telah berupaya untuk mendapatkan ciri-ciri yang membedakan perusahaan-perusahaan yang berhasil dan bertahan karena memiliki tim yang bagus dengan perusahaan-perusahaan lain yang sebelumnya menorehkan kinerja sangat gemilang tetapi kemudian gagal dan bahkan terpaksa hanya tinggal nama saja. Perusahaan-perusahaan sangat membutuhkan tim yang berkualitas pada setiap tingkatan organisasi mereka untuk dapat menghadapi beragam tantangan dan perubahan yang mereka hadapi dewasa ini dan di masa mendatang. Anda mungkin saja sudah berupaya maksimal dan berhasil mendapatkan anggota-anggota tim yang memiliki berbagai kompetensi yang dibutuhkan namun apakah anda dengan demikian pasti sudah memiliki tim yang berkualitas yang akan menghasilkan kinerja tinggi? Kinerja tim yang rendah selalu merupakan masalah dan akan sangat Oleh Husen Suprawinata SE MM ScHK MKI Executive Partner, LMI Director & Certified Facilitator SMI Associate Partner & Certified Coach berbahaya bila hal tersebut terjadi pada tim di tingkatan organisasi paling atas. Apalagi manakala perusahaan berada dalam keadaan sulit hal tersebut dapat mengakibatkan perusahaan hancur. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi berkala untuk tidak saja mengidentifikasi berbagai berbagai kelebihan dan terutama kekurangan-kekurangan yang ada untuk segera dapat diatasi, melainkan juga untuk dapat mengoptimalkan kinerja tim dengan pendayagunaan dan penyelerasan berbagai kompetensi yang dimiliki para anggota tim dengan sasaran-sasaran strategis yang dimiliki perusahaan. Sebuah tim yang tertata dengan baik akan mampu menghasilkan lebih dari sekedar penjumlahan kapasitas dari setiap anggotanya. Sebaliknya, dalam sebuah tim yang tidak tertata dengan baik, semua kapasitas yang dimiliki oleh setiap anggota tim terbuang sia-sia karena tidak didayagunakan dengan semestinya. Didayagunakan adalah kata kunci yang membedakan sebuah tim yang berkualitas dan menghasilkan kinerja tinggi dengan tim dengan kinerja biasabiasa padahal memiliki anggota-anggota dengan kompetensi dan kapasitas yang lebih kurang sama. Tentu saja adalah sangat penting untuk dapat mengidentifikasi segala kelebihan dan kekuatan yang dimiliki oleh setiap anggota tim sehingga dengan talenta-talenta mereka tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Namun pada saat yang bersamaan, perusahaan juga perlu untuk dapat mengidentifikasi berbagai kelemahan dalam kerjasama tim dan menyelaraskan pendayagunaan semua talenta yang dimiliki para anggota tim Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 31 Periscope dengan sasaran-sasaran yang ingin diraih perusahaan. Penggunaan sistem penilaian kinerja selain untuk mengukur hasil-hasil yang dicapai dibandingkan dengan sasaransasaran, juga perlu dipergunakan untuk membandingkan berbagai kompetensi yang telah dimiliki setiap anggota tim dengan proyeksi kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang perusahaan. Disinilah peranan sangat penting dari para pimpinan dalam hal pendayagunaan dan penyelarasan semua talenta yang ada dalam perusahaan sehingga merupakan kunci dari keberhasilan perusahaan dalam mencapai sasaran-sasaran jangka menengah dan jangka panjang. Karena tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan berbagai kompetensi dan talenta namun kuncinya ada pada kemampuan para pemimpin dalam perusahaan, mulai dari pimpinan puncak hingga penyelia di tingkat operasional, untuk dapat mengatur pendayagunaan kompetensi dan talenta yang sudah tersedia dan menyelaraskannya dengan sasaran-sasaran perusahaan. Dinamika dalam dunia bisnis yang bergerak dan terkadang berubah arah dengan sangat cepat membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tidak saja mampu bereaksi dengan cepat namun tetap dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas tim yang ada karena para pimpinan dalam berbagai tingkatan organisasi tersebut tidak akan dapat bekerja sendiri. Berbagai krisis yang menerpa perekonomian dunia dalam 2 dekade terakhir telah berdampak luas pada dunia bisnis di semua negara dan telah memaksa hampir semua perusahaan melakukan restrukturisasi, relokasi, reposisi, atau bahkan terpaksa secara radikal meredefinisikan ulang model bisnis dan strategi perusahaan-perusahaan mereka. Dalam jangka pendek, upaya-upaya efisiensi mungkin akan menolong perusahaan keluar dari situasi krisis yang dihadapi namun sering berakibat fatal untuk jangka menengah dan jangka panjang. Kenyataan yang sering didapati dalam banyak perusahaan adalah bahwa banyak tim dalam perusahaanperusahaan tersebut tidak berfungsi secara efektif. Dalam banyak kasus mereka terlalu banyak menghabiskan waktu untuk berbagai wacana, pembi- caraan, diskusi, debat dan terlalu sedikit melakukan hal-hal yang mereka bicarakan tersebut. Seringkali wacana-wacana yang disampaikan hanya berputar-putar pada masalah yang dihadapi sehingga masukan-masukan penting yang bisa didapat dari luar maupun usulan-usulan bernada kritis dari dalam terabaikan. Banyak terjadi dalam situasi-situasi yang kritis, kekompakan tim yang coba dibina sebelumnya justeru goyah dan runtuh sehingga perusahaan masuk dalam situasi krisis. Dalam banyak perusahaan dimana ada para pimpinan yang memiliki kompetensi jauh di atas rata-rata dan memiliki juga orang-orang yang memiliki berbagai kompetensi dalam tim mereka namun ternyata mereka gagal untuk memimpin organisasi mereka meraih potensi yang seharusnya. Apa yang seharusnya dilakukan 32 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 oleh para pimpinan tersebut sehingga berbagai talenta yang mereka dan orangorang mereka miliki dapat menghasilkan kinerja melebihi penjumlahan kapasitas setiap orang yang ada dalam tim? Sebenarnya jawabannya sudah banyak diketahui oleh para pimpinan perusahaan yaitu bahwa mereka perlu memperluas fokus dari sekedar memperhatikan kualitas dan kapasitas masing-masing individu menjadi sebuah gambaran keseluruhan tim dimana semua kapasitas dan talenta tersebut akan dipergunakan. Sebagai pimpinan dalam organisasi anda perlu mulai menganalisa struktur, berbagai proses dan perilaku serta pola pikir yang ada, berbagai kompetensi dan kapasitas individu, serta mulai mencoba berbagai alternatif perubahan untuk mendapatkan susunan tim manajemen yang lebih efektif yang akan dapat memberikan hasil-hasil yang lebih optimal. Dalam melakukan perubahan-perubahan tersebut, penting dijaga transparensi dengan menyertakan setiap individu yang ada dalam organisasi untuk berpartisipasi memberikan masukan dan kritikan dimana diperlukan. Faktor penting yang sering terlupakan dalam penyusunan struktur adalah pola-pola perilaku dan berbagai interaksi antar anggota tim serta interaksi antar tim yang justeru sering kali menjadi penyebab utama dari kegagalan sebuah tim menghasilkan sinergi dimana tujuan dari penambahan 1+1 dapat menghasilkan lebih dari 2. Struktur dan alur proses tentu penting namun agar tim dapat menghasilkan kinerja tinggi akan diperlukan sebuah suasana dimana pola perilaku mengacu pada standar-standar nilai universal. Interaksi yang tidak berjalan baik bahkan bisa kontra produktif sehingga 1 + 1 menghasilkan bahkan kurang dari 2. l (Bersambung) Periscope Gaya Kepemimpinan Kemandirian dalam Organisasi Birokrasi (Solitude Leadership in Bureaucracy Organisation) M enjadi seorang pemimpin berarti banyak kali kita perlu berdiri dan menunjukkan visi dan misi apa yang kita punyai. Bagaimana visi dan misi akan memberikan arti dan dampak positif kepada orang lain. Hal yang sama ketika kita bekerja dalam organisasi birokrasi. Ini tidak berarti bahwa jika kita bekerja di sana hidup kita dan masa depan tergantung pada bos anda dalam organisasi itu. Pengembangan dan perubahan dimulai dari diri kita sendiri bukan dari orang lain. Kita bisa membuat perubahan melalui solitude leadership (kepemimpinan kemandirian). Menjadi seorang pemimpin besar tidak menyalin apa-apa atau melakukan hal yang sama yang bos kita lakukan dan tidak lakukan di kantor. William Deresiewicz mengatakan dalam tulisannya Solitude and Leadership dalam kuliahnya di United States Military Academy di West Point pada October 2009, "Itu benar-benar misteri besar tentang birokrasi. Mengapa begitu sering bahwa orang-orang terbaik yang terjebak di tengah orang-orang yang menjalankan kepemimpinan – adalah orang yang mediokrasi? Karena keunggulan biasanya bukan apa yang membuat Anda buat untuk berhasil menaiki tiang yang berminyak. Tapi apa yang membuat Anda berhasil di dalam organisasi birokrasi adalah bakat untuk melakukan manuver. Mencium dan orang-orang di atas Anda, menendang dan membuang orang-orang di bawah Anda. Menyenangkan guru atau dosen Anda, menyenangkan atasan Anda, memilih mentor yang kuat dan sedang naik dan Oleh Ir. Andy Budi Janto Sutedja, M.Sc. The Best Strategic Leadership Coach di Indonesia Master License dari Leadership Management Indonesia www.lmindonesia.com [email protected] anda mengekor sampai saatnya untuk menikamnya dari belakang. Meloncat melalui lingkaran. Bergaul dengan pergi bersama dan menjadi apapun orang lain inginkan anda menjadi, sehingga akhir­ nya datang tampak. Anda tidak dalam diri Anda sama sekali. Tidak mengambil risiko, menurut anda bodoh seperti mencoba untuk mengubah bagaimana hal tersebut dilakukan atau bertanya mengapa mereka begitu. Hanya menjaga rutinitas saja yang terjadi." Anda tidak akan menjadi pemimpin yang berbeda dengan bos Anda, titik! Jika kita tidak mengubah ini, kita akan mengalami krisis kepemimpinan dalam tengah-tengah kita seperti dalam pemerintah Amerika yang William Deresiewicz sampaikan. Hal yang sama terjadi di negara kita tercinta, Indonesia juga. Kita memerlukan Solitude Leadership – pemimpin yang mempunyai prinsip (kemandirian). Kita harus berdiri dan mengambil keputusan. Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin seperti Anda dan saya untuk berdiri, memiliki keberanian baik mental maupun moral yang penuh keberanian, percaya diri, berani mengambil resiko, pemikir besar, pemimpin yang bervisi perubahan dan perbaikan masa depan, perencana dan agen perubahan. Pergerakan ini di Indonesia sudah mulai terlihat di beberapa tempat seperti di KPK dan Gubernur Wakil Gubernur DKI. Kita memerlukan lebih banyak yang demikian. Menjadi pemimpin kemandirian tidak berarti anda akan betul-betul seorang diri melakukan semuanya itu. Seperti Johnny Depp bermain sebagai orang Indian Comanche di filmnya The Lone Ranger, ia menemani Lone Ranger untuk saling meluruskan masing-masing perspektif satu dengan yang lain. William menambahkan bahwa, "Anda perlu satu orang lainnya yang dapat Anda percaya, satu orang lain kepada siapa Anda bisa mengungkapkan jiwa Anda. Satu orang lain yang mana Anda merasa cukup aman untuk memungkinkan Anda untuk mengakui hal-hal tertentu, dan untuk hal-hal tertentu mengungkapkan diri anda - yang Anda sendiri tidak biasa lakukan." Menjadi pemimpin besar dimulai dari dalam dan namun kita memiliki seseorang yang kita percaya untuk membuat introspeksi dan meluruskan nilai-nilai dan pemikiran kita. Kami tidak pernah kehabisan pemimpin besar dalam organisai birokrasi dengan kepemimpinan kemandirian. Ya, kita dapat membuat perubahan. l Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 33 Konsultasi Pajak Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Atas B agaimana perbedaan ketentuan withholding tax (pemotongan) PPh 21 terhadap karyawan asing yang pertama sifatnya adalah estimasi (asumsi ia mulai berada di Indonesia sejak AWAL TAHUN SEHINGGA DIKALI 12), dan yang kedua adalah berkaitan dengan penghitungan ulang pada SPT pribadi yang bersangkutan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, yaitu ternyata sudah berada di Indonesia sejak 20 April 2013. Perhitungan PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh perusahaan, yaitu dengan menyetahunkan penghasilan sebulan? Jawab : Hal yang perlu diketahui adalah Warga Negara Asing bisa dikategorikan sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) jika bertempat tinggal di Indonesia melebihi Time Test 183 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPPh. Pertama, Perhitungan PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh perusahaan, yaitu dengan menyetahunkan penghasilan sebulan menjadi 12 bulan. Lalu setelah diperoleh pajaknya setahun, maka PPh sebulannya dibagi 12. Perhitungan PPh 21 ini sudah sesuai dengan petunjuk pemotongan PPh Pasal 21. Kedua, Penghitungan PPh di SPT Orang Pribadi yang bersangkutan. Prinsipnya adalah melakukan penghitungan ulang atas seluruh penghasilan yang diterimanya dalam 1 tahun pajak. Dan karena keberadaan dia di Indonesia adalah sejak 20 April, yang berarti dalam tahun tersebut adalah selama 251 hari. Jumlah penghasilan yang diterima selama 251 hari adalah kebetulan hanya dari gaji ia bekerja selama 5 bulan sebesarRp 97.500.000,- yang ini berarti adalah seluruh penghasilan yang diterimanya selama 251 hari di tahun 2010. Sehingga penyetahunan penghasilan adalah dengan 360/251 x Rp 97.500.000,-. Tentu saja akan menghasilkan jumlah PPh yang lebih kecil dengan yang sudah dipotong sehingga akan terjadi lebih bayar. Duaperhitungan di atas memang berbeda sudut pandang, yang no.1 adalah berkaitan dengan withholding tax (pemoton34 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n gan) PPh 21 yang sifatnya adalah estimasi (asumsi ia mulai berada di Indonesia sejak memperoleh penghasilan), no.2 adalah berkaitan dengan penghitungan ulang pada SPT pribadi yang bersangkutan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, yaitu ternyata sudah berada di Indonesia sejak 20 April 2013 Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam negeri, terutang untuk Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Namun demikian, untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat saja terjadi terutang pajak dalam Bagian Tahun Pajak, yaitu dalam hal kewajiban pajak subjektif orang pribadi tersebut baru timbul atau berakhir dalam tahun berjalan. Apabila orang pribadi bertempat tinggal atau berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (WPOP DN) yang terutang dalam bagian tahun pajak, yaitu dalam hal : a. Baru berada atau bertempat tinggal di Indonesia dalam tahun berjalan b. Meninggal dunia dalam tahun berjalan c. Meninggalkan Indonesia selamanya dalam tahun berjalan 15 Oktober - 15 November 2013 Konsultasi Pajak Warga Negara Asing Bagaimana penghitungan pajaknya? Contoh Kasus, sebagai berikut : Mr. Hollanda (TK/1) berkewarganegaraan Belanda datang ke Indonesia tanggal 20 April 2013 dan berniat menetap di Indonesia. Kemudian bekerja sebagai pegawai tetap pada sebuah perusahaan terkemuka di Indonesia mulai 01 Agustus 2013 dengan gaji sebesar Rp. 20.000.000 sebulan. Apabila Mr. Hollanda sudah ber-NPWP sejak tanggal 25 April 2013, berapa besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan, dan berapa besarnya PPh terutang dalam bagian tahun pajak 2013? Pembahasan : Mr. Hollanda pada saat datang di Indonesia tanggal 20 April 2013 berstatus tidak kawin dengan satu tanggungan. Penghitungan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak, yaitu tanggal 20 April 2013. Dengan demikian PTKP untuk tahun 2013 adalah TK/1. Pertama, Penghitungan PPh Pasal 21 setiap bulan : Gaji sebulan = Rp. 20.000.000 Biaya Jabatan (5% X Rp. 20.000.000) = Rp. 500.000 (maksimum diperkenankan) Penghasilan neto sebulan = Rp. 19.500.000 Penghasilan neto disetahunkan = Rp. 234.000.000 PTKP (TK/1) = Rp. 26.325.000* Penghasilan Kena Pajak = Rp. 207.675.000 PPh Pasal 21 disetahunkan = Rp. 26.151.250 PPh Pasal 21 harus dipotong sebulan = Rp. 2.179.271 Dengan demikian PPh Pasal yang telah dipotong tahun 2013 (Agustus sd. Desember) = 5 X Rp. 2.179.271 = Rp. 10.896.355 Kedua, Penghitungan PPh terutang untuk bagian tahun pajak 2013 : Penghitungan Bagian Tahun Pajak : Bulan April (tgl. 20 sd. Tgl. 30) = 11 hari Bulan Mei sd. Desember = 8 X 30 hari = 240 hari Bagian Tahun Pajak = 240 hari + 11 hari = 251 hari Penghasilan neto sebulan = Rp. 19.500.000 Boy Sinaga Tax Consultant Penghasilan neto (Agt sd. Des) Penghasilan neto disetahunkan (360/251 X Rp. 97.500.000 ) = Rp. = Rp. 97.500.000 139.840.637 PTKP (TK/1) = Rp. Penghasilan Kena Pajak = Rp. PPh terutang disetahunkan = Rp. PPh terutang dalam Bagian Tahun Pajak = 251/360 x Rp. 12.027.346 = Rp. 26.325.000* 113.515.637 12.027.346 8.385.733 Telah dipotong PPh Pasal 21 Agustus sd. Desember = Rp. 10.896.355 PPh yang lebih dibayar = (Rp. 2.510.622) pada Penghitungan PPh Pasal 21 setiap bulan PPh Pasal 21 disetahunkan = Rp. 26.151.250 Karena kewajiban pajak subjek baru ada dalam tahun berjalan, maka penghasilan-nya disetahunkan. Ph Kena Pajak = Rp. 207.675.000,PPh terutang : 5% X 50.00.000 = Rp. 2.500.000,15% X 157.675.000 = Rp. 23.651.250,Jumlah = Rp. 26.151.250,*PTKP yang berlaku per- 1 Januari 2013 (PMK-162/ PMK.011/2012) Penulis adalah tax consultant Solusi Protax Kantor Konsultan Pajak Solusi ProTax Perkantoran Indo Ruko Jl. Daan Mogot II No. 100H-I Jakarta 11470 Telp. 021-5669 659|082111049623 Fax. 021-5669 629 Email: [email protected] / [email protected] Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 35 Column: Business Management Trial N S aat yang paling kritis sedang dihadapi oleh seorang kandidat General Manager Marketing, di salah satu korporasi yang telah go public. Akhir dari proses rekruitmen yang harus dia jalani adalah personal interview, dihadiri oleh Founder sekaligus Presiden Komisaris dari korporasi, bersama CEOnya. Setengah jam telah berlalu, saat sang Founder mulai berbicara. Korporasi diminta mempersiapkan dan mengisi posisi GM Export untuk kandidat, bukan sebagai GM Marketing. Si kandidat pun tertegun dan balik bertanya, saya punya background, job experiences dan personal strength di bidang marketing, dan saya datang ke sini untuk bisa ikut berkontribusi kepada korporasi, sesuai keahlian saya. Kenapa tiba tiba saya harus masuk ke bidang ekspor yang masih zero, perlu waktu lagi untuk adaptasi dan belajar? Dengan tersenyum, sang founder berujar, bahwa dari pengamatan interview ini, dia yakin kandidat mampu di bidang baru ini, dan dalam waktu 3 bulan ke depan, seandainyapun gagal, dipersilakan untuk memimpin direktorat marketing seperti rencana semula. Tiga bulan berlalu, sang talent yang menjadi GM Export pun bergembira, karena kesuksesannya. Korporasi merasakan hasil dari kinerjanya, dengan dibukanya pasar produk mereka ke Timur Tengah, sampai ke Rusia. Potensi, bakat, pengalaman, kerja keras dan dukungan manajemen telah menghasilkan seorang profesional baru di bidang International Marketing, bermanfaat bagi korporasi sekaligus sang talent. Inilah satu keputusan ‘Trial N Error’ yang berhasil, meski hanya berdasar instink dan feeling. Ini adalah suatu percobaan yang beresiko tinggi, bagi korporasi, dan tentunya bagi talent, yang seandainya gagal dalam kinerjanya, membuat kepercayaan diri talent akan jatuh. Instink ataupun feeling memang berperan besar dalam hal ini, tetapi bukankah feeling dan instink itu lebih bersifat subjektif dan sulit diukur? 36 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 Kompetensi Dalam setiap sesi interview yang dilakukan oleh seorang Direktur ataupun Kepala Bagian bersama HR, sudah lazim ditanyakan kepada kandidat, apa ‘personal strength’ saudara? Dan apa yang menjadi ‘kelemahan’ saudara? Jawaban yang diberikan kandidat bisa terbaca, apakah dia membual, over confidence, jujur, atau sebaliknya tidak percaya diri, dengan cara membandingkan dan membaca data pribadi, referensi dan hasil test sebelumnya termasuk psikotes. Korporasi sudah selayaknya menganggap si talents, sebagai calon capital goods sebagai bagian dari human capital, yang ikut dalam proses manajemen mencapai missinya. Si talent akan ikut menentukan upaya pencapaian manfaat dan produktifitas, sejajar dengan bentuk capital goods lainnya, seperti mesin, modal, teknologi dan lain lain. Ada hal yang menarik dengan 2 pendekatan untuk mengoptimalkan potensi talents, seandainya diputuskan untuk diterima di dalam korporasi. Yaitu, dengan memberikan pelatihan untuk meminimalisir kelemahan talents. Atau sebaliknya, dengan mendapatkan personal strength yang sesungguhnya, mengembangkan dengan intensif ‘plus point‘ tadi untuk keahlian yang optimal dan dimanfaatkan penuh oleh korporasi. Memompa plus point akan menjadikan talents konsentrasi dalam kinerja, mendapatkan kompetensi sesuai standard korporasi, dan otomatis meninggalkan minor yang menjadi kelemahannya. Untuk mendeteksi, apa dan seperti apa bakat yang akan menuntun talents kepada kompetensi tinggi, diperlukan suatu personal mapping, atau sering disebut sebagai talents mapping. Diperlukan value of attitude, beliefs, abilities, knowledge, skill dan lainnya, maka tidaklah mudah mendeteksi untuk mendapatkan ’strength’ yang benar dia miliki. Hal ini perlu satu sistem baku dan pengetahuan psikologi dari seorang talents. Ilustrasi yang factual telah diberikan oleh satu kebijakan yang diambil Kementerian Diknas cq Direktorat Dikti, dengan mengimplementasi satu program pendidi- Oleh : Drs. Eddie Priyono. MM Not Error kan strata D3, dimulai di satu Universitas tertua dan terbesar di Indonesia. Disebut Program pendidikan untuk Warga Negara Berkebutuhan Khusus, jurusan Politeknik. Mahasiswa seperti ini, yang biasa IQ nya sedikit dibawah normal dan disebut sebagai ‘border line’, kecenderungan autis dan kadang motoric yang slow, sangat sulit diketahui bakat, kemampuan yang tersimpan. Mereka diberikan pelatihan agar satu saat bisa hidup mandiri, bisa ditemukan dalam talents mapping mereka, satu bakat dan keahlian yang dikembangkan, bahkan melebihi seseorang yang normal. Perjuangan yang berat bagi dosen dan pembimbingnya, karena dalam semester pertama, sangat intens diadakan pendampingan termasuk oleh para ahli psikologi, mendapatkan hasil mapping bakat si mahasiswa. Setelah satu semester, dan diketemukan potensi, bakat dan sesuatu yang bisa dikembangkan menjadi produktif, maka semester berikutnya adalah saatnya mendidik dan mengembangkan plus point, menjadi suatu skill, knowledge, abilities untuk kemandiriian. Mapping kepada anak berkebutuhan khusus memang terasa berat, namun sebenarnya mapping kepada talents jauh lebih berat, dikarenakan para talents yang bisa dan biasa memodifikasi dirinya, dengan keingin­ an yang berbeda dengan personal strength yang sebenarnya. Assesment terhadap real potensi ini, secara jujur bisa menemukan potensi kekuatan dan bakat dominan si talents, melalui satu system assessment yang professional oleh para ahli ta­ lents mapping. Self confidence, adalah kata kunci untuk seorang talents, setelah dia berhasil menemukan personal strength yang sebenarnya, dan didukung serta difasilitasi oleh korporasi untuk menjadikan kompetensi sesuai standard korporasi. Trial janganlah menjadi error, karena bisa menjadi bencana bagi korporasi. Trial boleh dilaksanakan untuk mengukur kinerja, setelah tahu bakat, kemampuan dan pengembangannya sesuai assessment personal mapping. Trial but not error. Biarlah pengalaman GM Export tadi menjadi kenangan manis karena good feeling CEO. Kita tunggu hasil personal mapping di pendidikan Politeknik untuk warga negara berkebutuhan khusus, mendapatkan bakat terpendam, dikembangkan dan berguna dalam kemandirian me­ reka. Berguna untuk nusa bangsa. Semoga. l Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n Penulis adalah Penasehat Lembaga Pusat Studi dan Komunikasi Pemerintahan (PUSKOPEM), Direktur PT. Victory Jaya Perkasa dan pendiri Yayasan Quantum Galaxi 15 Oktober - 15 November 2013 37 Column: Managerial & Leadership Leaders Must be Able t (Setiap Pemimpin harus mampu untuk M S etiap usaha bisnis memiliki tujuan yang seragam, yaitu untuk mengembangkan pendapatan dan laba perusahaan. Agar laba usaha dapat meningkat, maka perlu terjadi peningkatan pendapatan atau penurunan biaya. Pendapatan usaha dapat me­ ningkat sejalan dengan Nilai Tambah atau Values yang meningkat semakin tinggi. Bila tidak terjadi peningkatan Nilai Tambah, maka akan tidak terjadi peningkatan Pendapatan. Demikian pula dengan aspek biaya, bila tidak terjadi peningkat­ an Nilai tambah baik pada proses produksi atau operasi, maka tidak akan terjadi efisiensi. Nilai tambah adalah merupakan hasil dari kreatifitas dan inovasi karyawan terhadap berbagai aspek produksi atau operasi pada perusahaan. Untuk maksud inilah maka seluruh jajaran pemimpin harus mampu untuk memiliki kompetensi yang kuat pada bidang Managerial, Leadership dan Business. Dengan kompetensi yang tinggi para pemimpin akan mampu untuk menciptakan kondisi kerja yang kondusif sehingga memungkinkan terjadinya proses pengembangan kreatifitas dan pembentukan Inovasi. Kondisi kerja yang kondusif akan dapat tercipta melalui kemampuan leadership yang kuat. Sedangkan pengetahuan dan wawasan yang luas pada aspek bisnis, pasar, produk dan manajemen, akan dapat menciptakan kreatifitas dan inovasi yang pada akhirnya akan menghasilkan Nilai Tambah. Pada perusahaan yang memiliki kondisi kerja yang buruk atau tidak kondusif, maka tidak akan mungkin menghasilkan kreatifitas dan inovasi. Terlebih lagi bila para pimpinan memiliki leadership style yang kurang/tidak ethical, seperti se­ ring mencela, atau memimpin dengan kekerasan, komunikasi yang cenderung menimbulkan demotivasi karyawan. Bila pada perusahaan tidak tercipta kreatifitas dan inovasi, maka perusahaan tersebut cenderung akan mengalami perlambatan dalam pertumbuhannya. 38 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 Jadi, kreatifitas dan inovasi hanya dapat tercipta dengan baik, bilamana hubungan antar kar­ yawan secara vertical maupun horizontal da­pat terjalin dengan baik dan kondisi kerja terbentuk dengan kondusif.Untuk itulah maka sa­ngat pen­ ting bagi setiap jajaran pemimpin untuk memiliki kemampuan leadership yang kuat. Salah satu kesalahan yang cukup fatal terjadi pada banyak perusahaan ialah dengan memilih pimpinan nya berdasarkan kompetensi teknis. Seseorang yang memiliki keahlian di bidang teknis, belum tentu memiliki leadership atau soft skill yang kuat. Bilamana hal tersebut terjadi, maka sangat tidak disarankan untuk mempromosikan karyawan tersebut menjadi manager. Langkah proses pembentukan kreatifitas dan inovasi, dapat dilakukan sebagai berikut: I. Membentuk Creative & Innovation Culture (Budaya Kreatifitas dan Inovatif) Sebagai media untuk dapat terciptanya kreatifitas karyawan, maka setiap pimpinan mutlak untuk terlebih dahulu membangun kondisi dan hubungan kerja yang kondusif. Hal ini agar dapat melakukan pengembangan produk, system prosedur, metodologi, policy, dsb. Untuk itu pimpinan perlu untuk berperilaku ‘rendah hati’, bersikap selalu positif, dinilai ‘credible’ oleh team nya, dan memiliki kemampuan komunikasi yang inspiratif dan efektif. Pimpinan atau manager yang rendah hati dan bersikap positif, akan sangat efektif untuk mewujudkan kondisi kerja yang kondusif, karena antara lain akan baik dalam ‘mendengar serta mencerna’ masukan atau ide dari teamnya. Tentu saja harus disertai pula dengan kompetensi yang menunjang. Penilaian ‘credible’ adalah terwujud dari aspek Integritas, Kompetensi, dan Komunikasi yang efektif. Dengan demikian maka seluruh team akan sepenuhnya percaya (Trust) terhadap pimpinannya. Dengan mengaplikasikan leadership style Oleh : Brata Taruna Hardjosubroto to Create High Values Menciptakan Nilai Tambah yang Tinggi) tion’. Jadi pada sesi ini, seluruh team diharapkan memberi kontribusi pemikiran yang kreatif dengan pola normative ataupun ‘out of the box’. Seluruh idea harus di inventori, tanpa ada unsur penolakan. Setelah seluruh idea tercatat dengan baik, maka mulai dilakukan proses seleksi atas ide-ide yang dinilai baik dan dimungkinkan untuk di adopsi. Dari seluruh ide yang di adopsi tersebut, kemudian dilakukan evaluasi lebih rinci dan seksama, sehingga diperoleh urutan ide yang di nilai acceptable. Proses ini merupakan proses ‘short listed’. yang sesuai, pimpinan tersebut perlu secara regular ‘menstimulasi’ team nya untuk selalu berfikir kreatif atau memberikan masukan ide yang kreatif. Kondisi yang berlangsung terus menerus, akan membentuk budaya ‘learning organization’, dan akan menghasilkan banyak kreatifitas dan inovasi. II.Menetapkan Sasaran yang harus dicapai, dan menerapkan ‘Creative Strategy’ Agar dapat tercipta ‘nilai tambah’ yang tinggi, maka perlu diawali dengan ‘sasaran kerja’ yang tinggi pula. Penentuan sasaran kerja adalah melalui proses ‘planning’ atau perencanaan, baik ditingkat korporat maupun planning di tingkat departemental. Perlu diingat bahwa untuk menentukan sasaran, harus dilandasi pula dengan faktor eksternal, yang meliputi antara lain kondisi ekonomi, situasi pasar, regulasi, profil pelanggan, dsb. Selain itu juga perlu untuk memahami kondisi internal, dimana pada proses strategic management dikenal dengan SWOT. Proses pembentukan ‘creative strategy atau program’ dilakukan dengan proses yang bertahap. Diawali dengan session yang disebut ‘idea genera- III.Pengambilan Keputusan untuk Implementasi Proses selanjutnya ialah pengambilan keputusan atas seluruh alternative creative idea yang dinilai paling baik. Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan cara melakukan evaluasi lanjutan atas alternative yang ada, dan juga dilakukan simulasi atas feasibility atau probabilitas keberhasilan, bilamana nantinya diterapkan. IV.Implementasi, Monitoring, Evaluasi dan Korektif Implementasi creative solution atau idea yang terpilih, diawali dengan merumuskan rencana kerja atau penyusunan ‘operating plan’. Hal ini untuk meyakinkan agar proses implementasi dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Selanjutnya, hasil implementasi harus dilakukan monitoring dengan seksama dan disesuaikan dengan harapan atas tingkat keberhasilan nya. Bila dari hasil evaluasi, ternyata diperlukan perubahan atau penyesuaian, maka perlu untuk segera dilakukan koreksi seperlunya. Proses monitoring dan evaluasi tetap terus dilakukan hingga seluruh implementasi sudah sesuai dengan hasil yang diharapkan. l Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n Penulis adalah mantan Eksekutif IBM & Indosat Group, sekarang berprofesi sebagai Executive Coach dan Practice Leader MKI Corporate University. 15 Oktober - 15 November 2013 39 Column : Success Motivation Latihan, La D alam suatu kesempatan saya menghadiri suatu konser musik yang menampilkan para anak-anak dan remaja-remaja yang memiliki ta­ lenta dibidang musik untuk memperlihatkan keahlian mereka dalam memainkan beragam alat musik, ada yang tampil solo, duet, dan juga kelompok. Sebagian tampil dengan sa­ ngat memukau, namun ada juga yang biasa-biasa saja. Saya sempat berbicara dengan seorang panitia pelaksana yang juga seorang guru musik, dan dia bercerita bahwa acara ini dibuat secara rutin setiap tiga bulan untuk memberikan kesempatan kepada para murid-murid di sekolah musik yang dikelolanya untuk memperlihatkan talenta yang dimiliki mereka khususnya kepada para orang tua yang telah mempercayakan anak-anak me­ reka. Namun guru musik tersebut kemudian menambahkan bahwa banyak anak-anak tersebut yang memiliki bakat yang luar biasa namun tidak tampil dengan memukau, namun sebaliknya ada anak-anak yang bakatnya biasa, namun bisa tampil dengan sangat memukau. Ketika saya ta­ nyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi, dia kemudian menjelaskan bahwa ada 3 alasan mengapa mereka yang bakatnya biasa-biasa saja namun dapat tampil dengan luar biasa yakni LATIHAN, LATIHAN dan LATIHAN. Jadi talenta atau bakat saja tidak cukup, diperlukan latihan, latihan dan latihan untuk mempertajamnya. Hal yang sama juga berlaku dalam dunia Olah Raga dan Seni Peran (keartisan). Michael Jordan sang maha bintang bola basket NBA, melakukan latihan, latihan, latihan bidikan sambil melompat ratusan kali setiap harinya, dan tanpa kecuali Christiano Ronaldo, pemain sepakbola dengan bayaran tertinggi saat ini, sering kali terus melakukan latihan dengan menjejerkan bola-bola dari berbagai jarak dari gawang dan berlatih, berlatih dan berlatih untuk mencetak gol. Dia menjadi top score ketika membela tim elite Manchester United dan sekarang di Real Madrid. Begitu juga Jim Carrey yang merupakan seorang komedian dan 40 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013 bintang film yang memasang tarif tinggi dalam sebuah film yang dibintanginya, memiliki talenta yang unik karena dia dapat mengubah wajah serta tubuhnya sedemikian rupa dan terkadang seolaholah tampaknya ia terbuat dari karet, dan hal ini bisa terjadi karena ketika masih remaja dia menghabiskan waktu berjam-jam setiap harinya berlatih, berlatih dan berlatih di depan cermin. Mereka bertiga menyadari bakat uniknya, dan mereka terus mempertajamnya dengan melakukan tiga hal yakni LATIHAN, LATIHAN dan LATIHAN. Lantas bagaimana dalam dunia bisnis dan manajemen serta ketenaga kerjaan? Mungkin kita seringkali melihat banyak karyawan, staf, dan manajer, yang seharusnya memiliki potensi dalam suatu posisi pekerjaan yang telah dipercayakan oleh para pimpinan ataupun pemilik bisnis kepada mereka, namun ternyata dalam menjalankan tugas yang diembannya tidak memberikan kinerja seperti apa yang diharapkan. Dalam suatu sesi pelatihan di bidang penjualan, kami seringkali membandingkan kinerja se- Oleh : Gani Gunawan Djong, ICM, ICC atihan, Latihan orang Top Sales dengan yang Average serta Under Perform, ternyata mereka semua memahami produk-produk yang dijualnya, mereka juga tahu kepada siapa harus menjualnya, namun ada yang membedakannya, yakni seorang Top Sales, selalu melatih dirinya dengan lebih banyak melakukan Daily Sales Activity melalui Sales Call dan Visit serta terus mengembangkan Skillnya, yang akhir­ nya mereka mempunyai Sales Habit yang berbeda dengan mereka yang kinerja rata-rata dan rendah. Hal yang sama juga berlaku bagi para Manager yang belum tentu semuanya memiliki jiwa kepemimpinan (Leadership), dimana diperlukan Latihan, Latihan, serta Latihan. Ada 3 hal yang perlu diketahui mengenai pentingnya latihan. Yang pertama bahwa Latihan akan memampukan perkembangan seseorang untuk memiliki keahlian baru, dan disini letak permasalahannya, apakah seseorang memiliki kemauan untuk melakukannya. Jika anda ingin memperbaiki dan mengembangkan diri, maka anda harus berlatih, karena itu akan mengizin­ kan anda untuk memecahkan rekor anda sendiri dan melampui apa yang anda lakukan kemarin. Dan jika latihan ini dilakukan dengan tepat akan membuat anda semakin baik dan jika sebaliknya akan mengurangi potensi anda. Hal yang kedua, bahwa melalui latihan akan menuntun anda pada suatu penemuan, karena kinerja anda akan terus diperbaiki dan semakin menemukan lingkungan yang tepat serta ada harga yang harus dibayar untuk mencapai tingkat selanjutnya. Dan hal yang ketiga adalah setiap latihan menuntut adanya disiplin, seperti apa yang dikatakan oleh filsuf Yunani Aristoteles ; “keunggulan adalah suatu seni yang dimenangkan oleh pelatihan dan kebiasaan” Suatu latihan akan menjadi efektif jika ada 5 unsur didalamnya. Yang pertama adalah setiap orang yang sukses pasti memiliki nasihat dan pendapat dari para guru dan pelatih yang baik. Dan mereka seperti juga para pemimpin yang baik mengetahui kekuatan dan kelemahan seseorang yang dipimpinnya. Unsur yang kedua, adalah sesorang hanya dapat menjadi lebih melalui latihan jika memang orang tersebut mengingin­ kannya, seperti yang dikatakan oleh Andrew Carnagie ; “ tidak ada gunanya sama sekali berusaha menolong orang-orang yang tidak mau menolong diri mereka sediri “. Unsur ketiga bahwa se­ seorang yang mau sukses harus memiliki maksud dan sasaran yang jelas dari latihan tersebut. Unsur yang keempat bahwa seseorang harus menyadari potensi dalam dirinya, dan hanya akan menjadi maksimal jika dia mau terus melatih dan mengembangkannya. Survei menyatakan bahwa rata-rata orang hanya menggunakan 25% hingga 35 % dari potensinya. Dan unsur kelima adalah sumber daya yang tepat. Karena bisa saja seseorang sudah menemukan pelatih / pembim­ bing yang tepat, memusatkan perhatian pada bidang potensinya, memberikan yang terbaik, dan melakukan dengan maksud tertentu, tapi jika tidak disertai sumber daya yang tepat, anda juga bisa gagal. l Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n Gani Gunawan Djong, ICC, ICM SMI (Success Motivation Institute) Coach/ Trainer/Writer 15 Oktober - 15 November 2013 41 LEARN, SHARE & CREATE VALUE Measuring, Mapping, and Improving Corporate & Employee Productivity Gedung Menara Kadin Lantai 24/29 Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selasa 29 Oktober 2013 Pukul 13.15 – 16.15 WIB Pendahuluan M anajemen organisasi selalu dihadapkan kepada persoalan tingkat produktifitas perusahaan dan pegawai. Produktifitas merupakan indikator kinerja utama dari sebuah organisasi dan seluruh pegawai yang ada di dalamnya. Dengan perkataan lain, produktifitas merupakan unjuk kinerja dari sebuah organisasi dan para pegawai. Produktifitas adalah kata kunci dalam persaingan bisnis maupun antar bangsa. Produktifitas menentukan hidup-mati perusahaan. Sayangnya, produktifitas pegawai Indonesia dianggap rendah oleh para pengusaha. Kamar Dagang Korea Selatan menilai pro¬duktivitas karyawan di Indonesia rendah jika dibandingkan dengan pekerja di negara Asia lainnya. “Dibandingkan dengan Cina, Thailand, Pakistan, dan Bangladesh, produktifitas pekerja di Indonesia sangat rendah. Daya saing kurang, produktivitas kalah jauh, dan harus ada training center,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Korea, Lee Kang Hyun, dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu. Lantas, apa yang perlu dilakukan segera oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia? Pertama, tentu, melakukan pengukuran tingkat produktifitas perusahaan dan pegawai. Atas dasar itu, setiap perusahaan bisa melakukan benchmarking dengan perusahaan sejenis di dalam dan luar negeri tentang sejauh mana tingkat produktifitas perusahaan dan karyawannya. Langkah ini akan menghasilkan gap produktifitas. Kedua, menetapkan langkah-langkah untuk meningkatkan produktifitas perusahaan dan para pegawainya untuk menutup gap produktifitas tersebut. HC Forum kali ini akan membahas kedua langkah terpenting di atas. Pembicara Biaya Investasi 1. Ir. Syahmuharns, MBA., Director PT Menara Kadin Indonesia (MKI): “Measuring & Mapping Company Productivity Against Competitors” 2. Husen Suprawinata, Bc.Hk, MM., Executive Partner MKI & Mantan CEO ICI Paints, American Standard & Catur Perdana Adisantosa: “How to Improve Employee Productivity Effectively”. Rp 350.000 per peserta dengan diskon khusus untuk jumlah peserta 2 orang ke atas dari 1 organisasi. Peserta akan mendapatkan snack, kopi-teh, sertifikat, dan materi terkait. Pendaftaran & Informasi Hubungi : Ridwan, Andedes, Ratri, Hadi, Iin, Purwanti, Dedeh PT Menara Kadin Indonesia (MKI) (Learning, Consulting, Assessment Center, Research & HCJournal) Peserta Gedung Menara Kadin Lantai 24 Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Fax. (021) 527 4443. Email: [email protected] (021) Seluruh praktisi HR, jajaran manajemen, dan pihak-pihak yang terkait dengan peningkatan produktifitas perusahaan maupun pegawai. 5790 3840 This forum is fully supported by: HUMANCAPITAL Achieving Human Capital Excellence JOURNAL 42 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III n humancapital Portal www.humancapitaljournal.com 15 Oktober - 15 November 2013