Kunci Keunggulan Organisasi Penjualan dan Jasa

advertisement
HumanCapital
n
No. 28 n Tahun III n 15 Oktober - 15 November 2013
n
Rp. 30.000,-
Journal
Achieving Human Capital Excellence
w.huma
apitalj
HC
Journal
Digital
na
our l.c
nc
ww
om
COVER STORY
Human Sigma
Kunci Keunggulan
Organisasi Penjualan
dan Jasa
Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie, MBA
"SDM Indonesia Masih Belum Disiplin"
Emotion Economy
The A Team
Latihan,
Latihan, Latihan
Foreword
HumanCapital
Achieving Human Capital Excellence
Journal
Diterbitkan oleh
PT. Menara Kadin Indonesia
(Mki Corporate University)
Patrons
Anindya N. Bakrie, Burhan Uray,
Tedy Djuhar, Putri Kus Wisnu Wardhani,
Teddy Kharsadi
Chief Editor (Penanggung Jawab)
Syahmuharnis
Executive Editor
Yurnas Rachman
Manager, Marketing & Promotion
Ridwan Effendi
Editorial & Business Dev. Executive
Ratri Suyani
Editorial Board
Dasmito Syah, Andedes Cipta, Kristiadi
Lestari Suryawati
Circulation & Advertisment
Dedeh P, Gama Horas, Hadi Ismanto,
Peri Sonata, Purwanti
Siti Insaroh
Alamat Redaksi / Sirkulasi / Iklan
Menara Kadin Indonesia 24th Floor
Jl. HR. Rasuna Said X-5 Kav. 2-3
Jakarta 12950 Indonesia
Phone : (62-21) 5790 3840
Fax. : (62-21) 527 4443
Email : [email protected]
[email protected]
Website :
www.humancapitaljournal.com
www.pt-mki.co.id
Bank :
Bank Mega Cabang Rasuna Said Jakarta.
Rek. No. 010 2000 1100 3221
a/n PT Menara Kadin Indonesia
Redaksi menerima artikel yang sesuai dengan
visi dan misi Human Capital Journal.
Redaksi berhak mengedit isi tulisan yang
dikirim tanpa merubah maksud dan tujuannya.
Dilarang memperbanyak/mengganda kan isi
majalah tanpa izin dari pihak redaksi.
©Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Human Sigma = Human Systems
D
alam dekade terakhir, istilah
Human Capital semakin sering
menjadi terminologi manajemen
organisasi. Maknanya, karyawan merupakan aset terpenting dari organisasi
– mengalahkan segala aset fisik dan
non-fisik lainnya. Ketika kita menyebut
Human Capital, maka satu pertanyaan
yang paling sering muncul adalah bagaimana sesungguhnya peran manusia/
karyawan dalam menciptakan nilai bagi organisasi.
Apa matriks atau indikator
terkait dengan manusia
yang bisa menjelaskan korelasinya terhadap kinerja
finansial organisasi?
Salah satu indikator
yang umum dipakai adalah kepuasan karyawan
(employee satisfaction).
Karyawan yang puas
diharapkan bekerja penuh
komitmen sehingga menghasilkan kinerja finansial
yang bagus. Tapi, banyak
perusahaan yang memiliki
tingkat kepuasan karyawan yang tinggi,
namun kinerja finansial perusahaan
tetap tidak bertumbuh sesuai harapan.
Rupanya karyawan puas pada comfort
zone masing-masing.
Lalu, muncul indikator untuk me­
ngoreksi hal itu, yakni tingkat keterikatan karyawan (employee engagement).
Tingkat keterikatan juga menilai motivasi dan komitmen karyawan untuk
bekerja maksimal. Namun, Gallup
Consulting tidak mau hanya memandang keterikat­an karyawan ini sebagai
indikator pamungkas dari sisi manusia.
Perlu untuk memastikan perusahaan
juga memiliki tingkat keterikatan
pelanggan (customer engagement) yang
juga tinggi.
Pada dasarnya, hubungan karya­
wan-pelanggan inilah yang menentukan kinerja operasional dan finansial
dari perusahaan jasa. Karyawan yang
terikat dan pelanggan yang terikat akan
menghasilkan kinerja operasional dan
finansial yang tinggi. Kedua jenis keterikatan tersebut disebut dengan Human
Sigma, yang menjelaskan peran penting
aspek manusia untuk keberhasilan
organisasi (human systems).
Pertanyaannya, sejauh mana Human Sigma perusahaan kita masing-
masing? Bagaimana strategi dan taktik
untuk meningkatkan Human Sigma?
Edisi kali ini mengupas tuntas tema
Human Sigma dalam rubrik Cover
Story. Tentu, masih banyak tulisan
menarik lainnya yang bisa Anda baca
dan terapkan di organisasi kita masingmasing.
Jangan lupa untuk mengakses
portal humancapitaljournal.com
untuk mendapatkan informasi dan
majalah digital. Jangan lupa pula untuk
senantiasa aktif mengikuti berbagai
event training dan seminar yang diadakan oleh Human Capital Journal dan
perusahaan induknya, MKI. Semoga
memberi kemajuan bagi para pembaca
setia.
Selamat membaca!
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
l Redaksi
n
15 Oktober - 15 November 2013 3
From Chief Editor
“P
Emotional Economy
elanggan ingin lebih dari sekedar puas.
Mereka ingin merasa lebih terikat (engaged)
kepada perusahaan,” tukas John H. Fleming,
Ph.D., and Jim Asplund, kedua-duanya merupakan tokoh utama pada Gallup Consulting (Principal & Chief
Scientist). Ekonomi baru yang lebih ditentukan oleh
jasa, menurut Fleming dan Asplund, identik dengan
Emotional Economy, di mana pengambilan keputusan oleh karyawan dan
pelanggan diwarnai terutama oleh aspek emosi.
Selama ini, aspek emosi
sering dianggap tidak
akurat dan tidak ilmiah
sehingga tidak menjadi
pakem dalam manajemen organisasi.
Toh, konsep Emotional Economy bukanlah hasil analisis subyektif terhadap pentingnya
aspek emosi dalam pengambilan keputusan, melain­
kan hasil riset beberapa dekade terhadap 10 juta pelanggan dan 10 juta karyawan di berbagai perusahaan.
Fleming dan Asplund kemudian memperkenalkan indikator atau mariks Human Sigma sebagai kombinasi
antara keterikatan karyawan (employee engagement)
dan keterikatan pelanggan (customer engagement)
yang menyebabkan sebuah perusahaan terus meningkat kinerja operasional dan finansialnya.
Riset ini menghasilkan kesimpulan bahwa kepuas­
an pelanggan saja tidak lagi memadai. Kepuasan pelanggan muncul sebagai indikator kinerja perusahaan,
namun pemilihannya menurut Fleming dan Asplund
lebih didasarkan kepada aspek intuitif, bukan sebagai
buah dari riset yang komprehensif. Dengan perkataan
lain, kepuasan pelanggan dianggap sesuatu yang
tepat untuk diukur. Para praktisi membuat postulat
bahwa pelanggan yang terpuaskan akan terus membeli
produk dan jasa bila sesuai dengan spesifikasi fungsional dan memenuhi kebutuhan mereka. Atas dasar
postulat itu pula, perusahaan mengevaluasi kinerja
dalam perspektif pelanggan dengan mengevaluasi
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan tersebut.
Sejalan dengan pengetahuan yang semakin matang dalam bidang psikologi, ekonomi perilaku, dan
4 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
neuroscience, banyak periset yang menyadari bahwa
pengambilan keputusan manusia berdasarkan sudut
pandang rational tidak tepat dan tidak lengkap. Saat
ini, para pengiklan lebih banyak menaruh perhatian
kepada dimensi non-rational dan emosional yang
dianggap manusiawi. Sebagai hasilnya, tidaklah
mengejutkan jika para eksekutif dan manajer terus
berjuang untuk memahami kenapa pelanggan yang
tampak puas namun tetap beralih kepada pesaing –
dan kenapa pertumbuhan organik (bertumbuh dari
pelanggan yang ada) menjadi hal yang sulit.
Banyak pebisnis, periset, dan konsultan yang
menaruh perhatian sangat besar kepada kepuasan pelanggan sebagai fondasi untuk membangun hubungan
yang kuat dengan pelanggan. Harus diakui, kepuasan
pelanggan tidak begitu bagus untuk memprediksi perilaku pelanggan di masa depan. Riset Gallup membuktikan hal tersebut.
Hasil empiris riset menyimpulkan bahwa pelanggan yang sangat puas (extremely satisfied) – pelanggan yang memiliki score kepuasan keseluruhan paling
tinggi terhadap produk dan jasa perusahaan – bisa
dibagi menjadi dua kelompok: mereka yang puas
secara emosional (emotionally satisfied) dan mereka
yang puas secara rational (rationally satisfied).
Pelanggan yang puas secara emosional memiliki
keterikatan emosional yang tinggi terhadap perusahaan. Sedangkan, pelanggan yang puas secara rational, puas terhadap produk dan jasa perusahaan namun
tidak memiliki hubungan emosional terhadap perusahaan. Tentu saja, pelanggan kategori pertama jauh
lebih baik dari pelanggan kategori kedua. Pelanggan
yang puas secara emosional cenderung sangat loyal,
kecil kemungkinan untuk berpindah ke produk atau
jasa kompetitor. Kalau perusahaan memiliki tingkat
kepuasan pelanggan yang tinggi, namun pelanggan
gampang berpindah ke produk atau jasa kompetitor,
besar kemungkinan pelanggan tersebut hanya puas
secara rational.
Pemahaman ini memberi arahan kepada para
eksekutif perusahaan untuk memahami Emotional
Economy dan membangun cara berpikir baru terha­
dap realitas pengambilan keputusan oleh karyawan
maupun pelanggan. Sentuhan emosi rupanya jauh
lebih cespleng bagi muncul karyawan dan pelanggan
yang militan. l Syahmuharnis
15 Oktober - 15 November 2013
Contents
Human Capital Journal
Edisi 28/Tahun III 15 Oktober - 15 November 2013
3 FOreword
Human Sigma =
Human Systems
9 HC News
Avaya Jadi Leaders 5 Kali
di Magic Quadrant
4 From Chief Editor
Emotional Economy
Universitas Esa Unggul
Career Day
6 HC News
Menangkan Persaingan lewat
Manajemen Produk yang
Baik
10 HC News
Apa Resep Mempertahankan
Bisnis Keluarga?
7 HC News
Inovasi TI Indonesia
di Metrodata Solution Day
2013
8
HC News
Politeknik Enjinering Indorama
Siap Cetak Tenaga Kerja
Berkualitas
27 PRofile
Ilham A. Habibie, Dr. Ing. MBA
SDM Indonesia
Masih Belum Disiplin
29
PRofile
Susanty Widya Ningsih
Syarat Utama:
Cintai Pekerjaan
Foto sampul oleh : Santhi Serad
31 Periscope
The “A” Team
Oleh Husen Suprawinata
33 Periscope
Gaya Kepemimpinan
Kemandirian dalam
Organisasi Birokrasi
(Solitude Leadership in
Bureaucracy Organisation)
Oleh Ir. Andy Budi Janto
Sutedja, M.Sc.
34 Mekanisme Penghitungan
Pajak Penghasilan Atas
Warga Negara Asing
36 Column: Business Management
Drs. Eddie Priyono
Trial Not Error
12 Cover story Human Sigma Kunci Keunggulan Organisasi Penjualan dan Jasa
Konsep Six Sigma terbukti berhasil mentransformasikan aspek manufaktur
dari bisnis, menghasilkan produk akhir yang bermutu dan seragam serta
menekan jumlah produk cacat (defect goods). Bagaimana halnya dengan
perusahaan berfokus pada penjualan dan jasa? Jawabannya adalah Human
Sigma.
15 Emotional Satisfaction Matters Most
16 Matematik Di Balik Score Human Sigma
20 Lima Langkah Pendekatan Human Sigma
22 Apa Kata Mereka, Abah Rama: Memanusiakan Manusia
24 Apa Kata Mereka, Andi Ilham Said. Direktur Utama PPM Manajemen
Mengelola Karyawan = Mengelola Pelanggan
25 Apa Kata Mereka, Goenawan Loekito: Karyawan Puas Bukan Jaminan
uman Sigma pada Perusahaan Oleh Radita D. Baskoro
26 Pentingnya Konsep H
38 Column:
Managerial & Leadership
Brata Taruna Hardjosubroto
Leaders Must be Able to
Create High Values
(Setiap Pemimpin harus mampu untuk
Menciptakan Nilai Tambah yang Tinggi)
40 column : Success Motivation
Gani Gunawan Djong
Latihan, Latihan, Latihan
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 5
HC News
Menangkan Persaingan lewat
telah maju dengan
mengedepankan
semangat kolaborasi ini seperti China
dan Korea menunjukkan melalui
inovasi semua pihak diuntungkan, dan
mampu meningkatkan nilai inovasi yang
mereka bukukan dan bersinergi untuk
memenangkan persiangan global melalui manajemen produk yang baik.
Dalam acara yang diadakan PDMAI
(Product Development Management
Association Indonesia) bekerjasama
dengan Badan Sertifikasi Gabungan
Perusahaan Farmasi Indonesia dan
PPM Manajemen ini mengangkat tema,
“Winning The Competition Through
Good Product Management”. Acara ini
bertujuan untuk memfasilitasi para
praktisi untuk meningkatkan efektivitas
individu dan organisasi dalam pengembangan manajemen produk baru tentunya melalui manajemen produk yang
baik. Selain Andi Ilham Said sebagai
narasumber sharing session, hadir pula
Rikrik Ilyas, Ph.D (Chief Executive Officer of Innokeys Pte Ltd ) dan DR. Pepey
Riawati Kurnia (Secretary General and
Coordinator of PDMA Indonesia. l
Manajemen Produk yang Baik
A
sosiasi PDMA (Product Development Management Association) di Amerika telah mengambil peran penting dalam
semua kegiatan yang berhubungan dengan manajemen
produk baru dan inovasi, bukan hanya untuk lingkup domestik Amerika namun dunia. Indonesia memiliki potensi untuk
melakukan hal yang sama.
Hal ini ditegaskan oleh Andi Ilham
Said, Ph.D, PDMA Indonesia Chairman & Direktur Utama PPM Manajemen, dalam acara sharing session yang
diadakan tanggal 11 September 2013 lalu
di Gedung PPM. “Tidak berlebihan jika
saya melihat kehadiran PDMA Indonesia
dapat menjadi semacam katalisator yang
mampu mengkolaborasi semua elemen
baik elemen akademisi, bisnis maupun
elemen pemerintah,” ujar pria yang biasa
disapa Ais.
Hal ini seiring dengan pertumbuhan
ekonomi nasional yang tumbuh secara
relatif stabil, sehingga kebutuhan akan
inovasi dan kajian tentang manajemen produk juga bertumbuh secara
signifikan. Organisasi, perusahaan, dan
masyarakat pada umumnya membutuhkan strategi agar dapat terus mengasah
semangat kompetetif mereka agar
dapat menghadapi persaingan di tingkat
global. Pemahaman dan pengetahuan
berkenaan dengan manajemen produk
baru sangat penting artinya, terutama
untuk meningkatkan nilai produk yang
mereka hasilkan dan tentunya untuk
terus menggelorakan semangat berinovasi yang berkelanjutan.
Dalam lingkup yang lebih besar,
Indonesia harus memulai mencanangkan pemahaman baru yang mengkolaborasikan antara elemen Akademisi,
Bisnis dan Pemerintah. Negara yang
6 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
Ratri Suyani
HC News
Inovasi TI Indonesia
di Metrodata Solution Day 2013
T
erobosan baru Teknologi Indonesia (TI) yaitu solusi cloud,
mobility, & internet of everything menjadi pembicaraan
hangat di acara Metrodata Solution Day (MSD) 2013 lalu,
yang digelar selama dua hari, yaitu tanggal 18-19 September 2013
di Jakarta. Saat ini cloud, mobility, social media & big data mulai
saling terkait satu sama lain. Tidak hanya sekadar mengevaluasi
ataupun mencari cara lain dalam pengelolaan layanan, namun
dengan business discovery akan lebih pada mencari cara bagaimana untuk mendorong pertumbuhan bisnis.
Di lain pihak, professional TI memiliki tanggung jawab untuk memberikan
inspirasi atau cara agar para pebisnis
menjadi lebih tangkas, handal, efisien,
dan berkolaborasi melalui keseimbangan antara tradisional dan pendekatan
visioner dalam mengelola teknologi. Hal
ini akan mendorong transformasi tanpa
mengabaikan struktur optimalisasi
biaya. Pemahaman akan cloud, mobility
& internet of everything disertai dengan
praktik terbaik dari teknologi infrastruktur dan kemampuan aplikasi bisnis yang
visioner akan memberikan pengembalian terbaik investasi perusahaan.
Dalam acara bertema “Rethink Your
IT, Reinvent Your Business” ini merupakan acara yang ke-10 kali diadakan oleh
Metrodata Electronics, dan sebelumnya
telah diselenggarakan di Medan, Surabaya, dan Bali, Metrodata melalui unit
bisnis solusi PT. Mitra Integrasi Informatika menawarkan solusi terbarunya
yaitu Qlikview (pemimpin dalam Business Discovery), Data System International (pelopor dan pemimpin Mobile
Enterprise Management), Amazon Web
Services (menawarkan layanan lengkap
berupa infrastruktur dan aplikasi yang
dapat dijalankan di cloud), dan Salesforce.com (pemimpin layanan Customer
Relationship Management on thr cloud).
Menurut Susanto Djaja, President
Director PT. Metrodata Electronics,
pihaknya menyambut gembira dengan
adanya kemajuan teknologi dan munculnya solusi-solusi inovatif saat ini.
“Cloud, Mobility & Internet of Everything akan menjadi
tren bagi pelaku bisnis
di Indonesia masa kini
dan mendatang. Ketiga tren tersebut akan
memegang peranan
penting kepada setiap
perusahaan dalam
menghadapi begitu
banyak perubahan dan
tantangan khususnya
bidang TI yang terus
berevolusi. Dengan
berfokus kepada tren
tersebut, kami sangat
yakin akan mampu
membekali para pelanggan kami menghadapi
perubahan TI ke depan
dan mengambil manfaat maksimal darinya,”
tutur Susanto panjang
lebar. l Ratri Suyani
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 7
HC News
Politeknik Enjinering Indorama
Siap Cetak Tenaga Kerja
Berkualitas
M
enyiapkan tenaga kerja siap
pakai yang berkualitas memang bukan perkara mudah.
Namun semua itu akan menjadi mudah
jika setiap pelaku industri bisa mengikuti jejak Indorama yang mendirikan
Politeknik Enjinering Indorama (PEI).
Hal ini diucapkan oleh Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Musliar Kaslim dalam acara
peresmian pengoperasian PEI yang berlokasi di Purwakarta, Jawa Barat tanggal
23 September 2013 lalu.
Menurut Musliar, ia berharap dengan
kehadiran PEI bisa mendorong pelaku
industri lainnya untuk ikut politeknik
atau pendidikan tinggi lainnya sehingga
bisa meluluskan tenaga yang berkualitas
dan siap pakai.
Saat ini jumlah tenaga kerja di
Indonesia yang tamatan sekolah dasar
mencapai hampir 50%. Sementara hanya
enam persen saja yang merupakan
lulusan perguruan tinggi. “Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan 60 persen tenaga kerja di Indonesia
merupakan minimal tamatan sekolah
menengah pada tahun 2020 dan tenaga
kerja yang lulusan perguruan tinggi juga
harus ditingkatkan,” tukasnya.
Selain Wamendikbud, acara peresmian juga dihadiri Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun, Presdir
PT Indorama Synthetics Tbk Amit
Lohia, Ketua Dewan Pengawas Yayasan
Pendidikan Indorama Amol Titus, Duta
Besar India, Mr. Gurjit Singh, Duta Besar Nigeria, Abdul Rahman Sallahdeen,
Duta Besar Uzbekistan, komisaris PT.
Indorama Mr. Sri Prakash Lohia, dan
tak ketinggalan Bupati Purwakarta, Dedi
Mulyadi.
PEI yang didirikan dengan investasi
sebesar enam juta dolar AS tersebut
memiliki luas 6 hektar yang dilengkapi
dengan fasilitas teknologi komputer, lab,
perpustakaan dan pelatihan kemampuan Bahasa Inggris. Dalam mengembangkan kurikulum, telah ada nota
kesepahaman antara pihak PEI dengan
Universitas Atma Jaya dan Politeknik
Negeri Jakarta. Hal ini juga untuk men-
8 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
dukung pelatihan pengajar, penelitian
gabungan, pertukaran siswa dan sistem
institusional yang kuat. Di fase pertamanya, PEI akan menawarkan diploma
tiga tahun dalam program studi Teknik
Mesin, Teknik Elektro dan Teknik Mekatronika. Dengan persetujuan dari Dikti,
pene­rimaan kelas akan dimulai pada 30
September – 31 Oktober 2013 melalui
rekrutmen terbuka. Biaya pendidikan
akan mendapat subsidi dari perseroan
dan industri di kawasan sekitar kampus.
PEI menargetkan bisa meluluskan 150
lulusan setiap tahunnya.
Politeknik yang berlokasi di Kembang Kuning, Ubrug, Jatiluhur, Purwakarta ini didirikan sebagai bagian dari
kontribusi CSR Indorama terhadap pertumbuhan dan kemakmuran Indonesia,
terutama di daerah Purwakarta. Pimpinan Group Indorama S.P Lohia mengatakan PEI didirikan sebagai bagian dari
kontribusi jangka panjang Indorama
terhadap pertumbuhan, perkembangan,
dan kemakmuran negara khususnya
wilayah Kabupaten Purwakarta. Bupati
Purwakarta, Dedi Mulyadi, SH, dalam
sambutannya menyampaikan bahwa sudah 40 tahun Indorama berperan dalam
pembangunan di Purwakarta, dimulai
dengan membangun industrinya hingga
sekarang membangun pendidikan yang
sangat modern. l Ratri Suyani
HC News
Avaya Jadi Leaders 5 Kali
di Magic Quadrant
A
vaya, diposisikan sebagai
pemimpin oleh Gartner di Magic
Quadrant untuk kategori unified
communications (UC) dan Kolaborasi tahun 2013. Ini merupakan tahun
kelima Avaya diposisikan pada Leaders
Quadrant dan diakui sebagai pemain
utama dalam industri di bidang Unified
Communications (UC) dan kolaborasi.
Menurut Gartner, pasar UC perusahaan terus tumbuh selama 12 bulan
terakhir dan kini dianggap telah me-
masuki tahap awal adopsi mainstream.
Perusahaan analis terpercaya ini
memprediksi bahwa produk dan praktik terbaik, baik untuk penggelaran
maupun penggunaan yang semakin
banyak oleh end-user akan semakin
matang selama beberapa tahun ke
depan. Laporan ini juga menyebutkan
bahwa saham untuk vendor di pasar
UC enterprise sangat tinggi.
Menurut Adrian Rozaq, Avaya
Solution Consultant, Avaya bisa terus
memimpin selama lima tahun berturut-turut karena Avaya terfokus pada
karakteristik ini dengan mobilitas dan
daya tarik solusi yang berada di garis
depan solusi inovatif. “Avaya mempunyai pemikiran, bagaimana customer
masih bisa terhubung meski sedang diluar.” Ujar Adrian dalam acara media
gathering tanggal 20 September 2013
lalu di Jakarta. l Ratri Suyani
Universitas Esa Unggul Career Day
U
niversitas Esa Unggul (UEU) menggelar acara Career Day & Bazaar 2013 yang diadakan pada 25-26
September 2013 lalu di Aula Kemala, Universitas Esa
Unggul Jakarta. Acara yang diadakan bekerjasama dengan
Sentral Job ini diisi oleh presentasi dari beberapa perusahaan, seminar dengan pembicara Gabelas MS dari Sentral
Job, interview langsung oleh peserta Job Fair dari beberapa
perusahaan terkemuka di Indonesia, bazaar, music & stand
up comedy dan masih banyak lagi.
Menurut Ari Pambudi, Wakil Rektor III UEU, acara ini
bermanfaat bagi calon wisudawan UEU karena menjadi
suatu tantangan knowledge buat para lulusan akademis
yang ingin mencari kerja. Sementara itu dalam acara seminar, Gabelas yang merupakan mantan Sales & Development
Head Bank Danamon yang kini menjabat sebagai Sales &
Marketing Director Career Builder mengatakan bahwa
kegiatan ini menjadi ajang pengenalan potensi diri sehingga
lulusan akademis memahami dunia kerja dan bagaimana
mereka bisa meraih karir.
“Jangan menolak jika perusahaan memberikan gaji
hanya sebesar sekian juta atau memilih-milih jenis pekerjaan. Yang terpenting adalah Anda bekerja dan tidak lagi
menjadi beban bagi orang tua Anda,” saran Gabelas kepada
calon wisudawan UEU. l
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 9
HC News
Apa Resep Mempertahankan
Bisnis Keluarga?
S
ebagian besar bisnis di Indonesia adalah bisnis keluarga dan
bisnis keluarga menjadi salah satu
penggerak perekonomian Indonesia.
Sayangnya, bisnis keluarga di Indonesia
rawan terhadap kebangkrutan. Menurut
Nugroho Budisatrio Sukamdani, hal ini
dikarenakan bisnis keluarga memiliki
beberapa kelemahan. “Di antaranya
adalah kurang professional, memiliki
tata kelola yang kurang baik, masalah
suksesi atau kesulitan mencari pengganti
pemimpin, adanya konflik keluarga yang
berimbas pada bisnis dan masih banyak
lagi,” ujar putra pasangan Sukamdani
Sahid Gitosardjono dan sang istri Juliah
Sukamdani, dalam acara PPM Book Talk
yang diadakan PPM Manajemen tanggal
27 September 2013 lalu.
Nugroho menambahkan, meski
memiliki beberapa kelemahan, namun
para pengelola bisnis keluarga yang
notabene juga anggota keluarga akan
berusaha keras agar bisnis mereka tetap
jalan karena mereka harus berpikir keluarga akan makan apa jika bisnis tersebut
10 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
tidak berjalan. “Kalau perusahaan tutup,
keluarga mereka, anak dan istri mereka
mau makan apa,” lanjut pria yang menjabat sebagai Vice President Grand Sahid
Jaya Hotel. Dalam acara yang bertema
“Long Life Family Business: The Secret!”
ini, Nugroho mengupas bagaimana
mempertahankan perusahaan keluarga
dari generasi ke generasi dan memperkenalkan buku terbarunya berjudul “Solusi
Perusahaan Keluarga”. Dalam bukut
tersebut dijelaskan pula berbagai solusi
berbagai masalah yang muncul dalam
perusahaan keluarga, mulai dari cara
mendirikan, mengembangkan, sampai
dengan menjaga kelanggengannya.
Selain Nugroho, tampil pula pembicara Nyoman Marpa, penulis buku
“Perusahaan Keluarga Sukses atau
Mati” yang membahas tentang perencanaan strategis yang harus dilakukan
di perusahaan keluarga. Menurutnya,
sekitar 96% perusahaan di Indonesia
adalah perusahaan keluarga. “Perlu
dipahami bagaimana mengelola perusahaan keluarga, bagaimana menangani
konflik internal, dan membuat perusahaan mampu bertahan hingga puluhan
generasi,” ujar Nyoman antusias. Acara
ini dipandu oleh Shanti Poesposoetjipto,
aktivis perempuan dan pengusaha di
bidang teknologi informasi dan merupakan anak dari pemilik bisnis Soedarpo
Corporation, dan dihadiri oleh Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Juliah
Sukamdani serta para praktisi bisnis. l
Ratri Suyani
HC News
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 11
Cover Story
Human Sigma
Kunci Keunggulan
Organisasi Penjualan dan Jasa
12 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
Cover Story
M
utu adalah sebuah
ukuran yang mudah
diukur dan dikelola
dalam bisnis manufaktur, tetapi hal
yang sama sulit untuk dilakukan pada bisnis jasa, macam
usaha ritel, layanan keuangan, jasa call
center, dan usaha-usaha non-manufaktur lainnya. Dalam bisnis manufaktur,
nilai diciptakan pada usaha produksi
di pabrik. Sementara untuk organisasi
penjualan dan jasa, nilai diciptakan
ketika seorang karyawan perusahaan
berinteraksi dengan seorang pelanggan.
Bisa disimpulkan, hubungan karyawanpelanggan merupakan pabrik produksi
dari usaha jasa. Jika perusahaan jasa
ingin meraih peningkatan kinerja operasional dan keuangan, maka hubungan
karyawan-pelanggan harus dikelola
dengan perhatian penuh.
Metodologi peningkatan mutu menggunakan Six Sigma sangat bermanfaat
dalam konteks manufaktur, di mana
berbagai properti bisa dikombinasikan secara berulang-ulang dan
bisa diprediksi. Akan tetapi, Six
Sigma tidak banyak membantu
dalam bisnis berbasis hubungan
karyawan-pelanggan, di mana
dimensi manusianya sangat
bervariasi.
Untuk mengatasi hal ini, John
H. Fleming, Curt Coffman, dan
James K. Harter mengembangkan pendekatan peningkatan
mutu yang disebut dengan Human Sigma, dan memaparkannya untuk pertama kali dalam
Harvard Business Review (HBR)
Juli-Agustus 2005, dengan judul
Managing Human Sigma. Human Sigma fokus kepada upaya
menekan ketidakseragaman
sekaligus meningkatkan kinerja
usaha jasa. Bilamana Six Sigma
diterapkan terhadap mutu proses,
sistem, dan output, Human Sigma memfokuskan kepada mutu
hubungan karyawan-pelanggan,
Konsep Six Sigma terbukti berhasil mentransformasikan aspek
manufaktur dari bisnis,
menghasilkan produk
akhir yang bermutu dan
seragam serta menekan
jumlah produk cacat (defect goods). Bagaimana
halnya dengan perusahaan berfokus pada penjualan dan jasa? Jawabannya adalah Human
Sigma.
mengembangkan sebuah metode yang
konsisten dalam mengases, mengelola,
dan meningkatkannya.
Berdasarkan riset dan analisis
tentang Human Sigma, Fleming dan
kawan-kawan menemukan beberapa
prinsip dasar untuk mengukur dan
mengelola interaksi antara karyawan
dan pelanggan:
- Penting untuk tidak berpikir seperti
seorang ekonom atau insinyur dalam
mengases interaksi karyawan-pelanggan. Emosi yang dikonversikan
dalam bentuk penilaian dan perilaku
jauh lebih menentukan ketimbang
aspek rational.
- Hubungan karyawan-pelanggan
harus diukur dan dikelola secara
lokal, karena terdapat banyak variasi
dalam mutu pada level unit kerja dan
individu.
- Mungkin untuk menetapkan satu
ukuran saja tentang efektifitas
hubungan karyawan-pelanggan,
di mana ukuran tersebut haruslah
berkorelasi kuat dengan kinerja
finansial.
-Untuk meningkatkan kualitas
hubungan karyawan-pelanggan,
perusahaan harus melakukan intervensi jangka pendek yang bersifat
transaksional (seperti coaching)
dengan tindakan transformasi
berjangka panjang (seperti meng­
ubah proses untuk merekrut dan
promosi pegawai). Seringkali pula,
struktur organisasi perusahaan
harus disesuaikan agar hubungan
karyawan-pelanggan bisa dikelola
secara holistik.
Konsep Human Sigma dikembangkan berdasarkan riset bertahun-tahun
yang bertujuan untuk memetakan
korelasi hubungan karyawan dengan
pelanggan. Fleming dan kawan-kawan
mengidentifikasi cara mengukur efektifitas hubungan tersebut, mengeksplorasi
bagaimana matriks tersebut dipergunakan, dan mengases manfaat yang
dihasilkan dari aplikasi tersebut. Pekerjaan ini didasarkan kepada pengalaman
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 13
Cover Story
dengan ratusan perusahaan dan jutaan
karyawan serta pelanggan. Kemudian
mereka menguji dan melakukan validasi
silang temuan terhadap 1.979 unit bisnis
dalam 10 perusahaan yang bergerak
dalam jasa keuangan, jasa profesional,
ritel, dan penjualan.
Hasilnya ternyata sangat luar
biasa. Kesepuluh perusahaan tersebut yang menerapkan prinsip-prinsip
terbaik dalam mengelola hubungan
karyawan-pelanggan secara bersamasama mengalahkan 5 pesaing terbesar
masing-masing tahun 2003 sebesar
26% dalam marjin kotor dan sebanyak
85% dalam hal pertumbuhan penjualan.
“Kami tidak bisa menjamin hal itu akan
selalu terjadi, tetapi kami yakin tindakan
monitoring yang komprehensif terhadap
kualitas hubungan karyawan-pelanggan
akan menghasilkan peningkatan kinerja
yang dramatis,” tukas Fleming dan
kawan-kawan dalam HBR.
Keterkaitan dengan Kinerja
Finansial
Analisis konvensional antara sikap
karyawan, persyaratan pelanggan, dan
kinerja finansial memberikan penekan­
an kepada hubungan linear di antara
ketiga faktor tersebut. Sikap karyawan
mempengaruhi sikap pelanggan, dan
sikap pelanggan mempengaruhi kiner­
ja finansial organisasi. Fleming dan
kawan-kawan meyakini bahwa ketiga
faktor tersebut saling berinteraksi de­
ngan cara yang rumit. Matriks Human
Sigma mengkombinasikan keterikatan
(engagement) karyawan dengan pelanggan ke dalam satu ukuran, yang mereka
yakini memberikan cara yang komprehensif dalam memahami sistem yang
dinamis ini.
Model Human Sigma, diakui Fleming dan kawan-kawan, juga dibangun
berdasarkan sejumlah kegagalan dalam
bereksperimen. Beberapa tahun lalu,
cerita Fleming, mereka bekerja untuk
perusahaan ritel yang besar dan memiliki banyak cabang/toko untuk melaksanakan 2 inisiatif terpisah, yakni untuk
mengukur dan meningkatkan hubungan
antara karyawan dan pelanggan.
Dengan mensurvey seluruh pekerja
dan pelanggan dari setiap toko, mereka
bisa menyajikan matriks dari hubung­
an keduanya pada level lokal. Mereka
menemukan toko yang memiliki tingkat
hubungan karyawan-pelanggan yang
tinggi juga menghasilkan kinerja finan­
sial yang tinggi pula. Sejalan dengan
perkembangan pekerjaan, mereka ingin
mengetahui apa yang dilakukan toko
berkinerja tinggi untuk setiap ukuran
tersebut dibandingkan dengan toko-toko
yang berkinerja lebih rendah.
Langkah pertama adalah mengidentifikasi 10 toko berkinerja paling tinggi
berdasarkan level keterikatan karyawan
(employee engagement) dan keterikatan pelanggan (customer engagement).
Asumsi mereka adalah, beberapa toko
dengan employee engagement yang
tinggi juga memiliki customer engagement yang juga tinggi. Ternyata mereka
salah. Hanya ada satu toko yang berada
pada kedua daftar tersebut. Lalu, mereka
melakukan pengkajian ulang terha­
dap data-data dan menemukan 2 hal:
Seperti yang diharapkan toko-toko yang
berkinerja bagus (berada pada posisi
50% teratas, bukan 10 besar) dalam hal
keterikatan karyawan dan pelanggan
menghasilkan kinerja finansial yang
lebih bagus. Tetapi, toko-toko yang
berkinerja bagus dalam kedua matriks
tersebut mengalahkan kinerja toko-toko
yang memiliki score tinggi hanya untuk
satu matriks saja. Observasi ini menghasilkan kesimpulan bahwa keterikatan
karyawan dan pelanggan berinteraksi
positif untuk meningkatkan kinerja
finansial.
Riset lanjutan menunjukkan
bahwa level keterikatan karyawan dan
pelanggan berbeda-beda di tingkat
lokal sehingga memunculkan peluang
untuk meningkatkan kinerja finansial.
Analisis-meta yang dilakukan terhadap
1.979 unit bisnis dari 10 perusahaan jasa
terdahulu menunjukkan bahwa score
di atas median database dari ukuran
14 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
keterikatan karyawan dan pelanggan
secara rata-rata 3,4 kali lebih efektif
secara finansial (dalam hal penjualan
dan pendapatan, pencapaian target ki­
nerja, dan pertumbuhan penjualan serta
pendapatan dibandingkan periode yang
sama tahun sebelumnya) ketimbang unit
kerja yang berada di 50% terbawah dari
kedua ukuran tersebut.
Pada sebuah perusahaan jaringan
ritel mewah, contohnya, toko-toko yang
memiliki score tinggi dalam keterikatan
karyawan dan pelanggan menghasilkan
rata-rata pendapatan per m2 lebih tinggi
US$21 dibandingkan toko-toko lainnya
– sebuah perbedaan yang bisa menghasilkan tambahan laba tahunan sebesar
US$32 juta bagi perusahaan.
Konsep Human Sigma mengkombinasikan score keterikatan karyawan
dengan keterikatan pelanggan pada level
lokal/unit kerja untuk mendapatkan
score tunggal yang berkaitan dengan
kinerja finansial unit kerja secara
keseluruhan (lihat box: “Matematika
Dibalik Score Human Sigma”).
Score ini memungkinkan kita untuk
mengklasifikasi unit kerja dalam 6 level
kinerja. Unit-unit yang berada pada 2
level terendah membutuhkan sekali
peningkatan. Unit kerja yang memiliki
score keterikatan karyawan tinggi tetapi
ke­terikatan pelanggan rendah terlalu
fokus ke faktor internal dan kehilang­
an arah. Unit kerja yang memiliki
score keteri­katan pelanggan tinggi dan
keterikatan karyawan rendah tidak akan
berkelanjut­an, hanya menunggu waktu
keterikatan pelanggan tersebut akan turun. Lantas, unit kerja yang berada di 3
level teratas, hanya perlu dioptimalkan.
Sejatinya, perusahaan penjualan
dan jasa seyogyanya berusaha maksimal meningkatkan kinerja setiap unit
kerjanya ke tingkat puncak. Artinya,
perbedaan lokal atau antar unit kerja
harus ditekan dan kinerja keseluruhan
ditingkatkan. Kendati sulit, peningkatan
semacam itu mungkin untuk dilakukan.
Emosi Penentu Hubungan:
Cover Story
Customer Engagement
Berbeda dengan Six Sigma yang
relatif mudah dikuantifikasikan, Human
Sigma tidaklah sesederhana itu. Orang
boleh saja merasa bahwa perilakunya
murni rational, tetapi sesungguhnya hal
itu sangat jarang. Riset sekitar 20 tahun
terhadap 2 bidang berbeda – neuroscience dan ekonomi perilaku – menghasilkan kesimpulan yang cukup kuat
bahwa manusia membuat keputusan
berdasarkan gabungan yang rumit
antara emosi dan alasan/logika. Bahkan,
dalam banyak riset terbaru, emosi malah
memainkan peran yang lebih penting
ketimbang analisa.
Riset tentang neuroscienece dan
ekonomi perilaku didorong oleh riset
tentang kepuasan (satisfaction) dan
ke­terikatan (engagement) pelanggan.
Hasil dari studi-studi banyak kasus
menyimpulkan, pelanggan yang sangat
puas (orang yang memberikan score
kepuasan paling tinggi terhadap produk
dan jasa perusahaan) bisa dibagi menjadi 2 ke­lompok: mereka yang memiliki
hubungan emosional yang kuat dengan
perusahaan dan mereka yang tidak
memiliki hubungan emosional yang kuat
dengan perusahaan.
Kalau beberapa indikator perilaku
pelanggan dipelajari lebih lanjut (seperti
persentase yang beralih ke perusahaan
lain, frekuensi penggunaan, total penda-
patan, dan total pengeluaran), maka
sebuah pola yang jelas dan menarik
muncul. Pelanggan yang puas secara
emosional berkontribusi jauh lebih besar
terhadap kinerja keuangan ketimbang
pelanggan yang terpuaskan secara
rational, kendatipun hasil pengukur­
an menunjukkan mereka sama-sama
“puas”. Kenyataannya, perilaku pelanggan yang puas secara rational cenderung
tidak berbeda dengan pelanggan yang
tidak puas.
Hal ini ditunjukkan dalam box
tulisan berjudul “Emotional Satisfaction
Matters Most”. Beberapa studi dilakukan
untuk mengetahui hal ini lebih jauh.
Misalnya dengan memantau reaksi otak
Box 1
Emotional Satisfaction
Matters Most
P
ada sebuah bank ritel besar di AS, laju pengurangan
pelanggan yang tidak puas (attrition rate) tampak
tidak berbeda antara pelanggan yang puas secara
rational, yakni kelompok nasabah yang mengaku sangat
puas tetapi rendah dalam keterikatan secara emosional
kepada perusahaan berdasarkan 4 dimensi – confidence,
Tabel. Laju Pengurangan Pelanggan Bank
Kategori Pelanggan
Puas Secara Emosional
Puas Secara Rational
Tidak Puas
%
3,8
6,0
5,8
Sumber: Harvard Business Review, 2005
Tabel. Rata-Rata Pengeluaran Bulanan Pemilik Kartu Kredit
Kredit
Puas Secara Emosional
Puas Secara Rational
Tidak Puas
US$
251
136
integrity, pride, dan passion. Sebaliknya, attrition rate
dari pelanggan yang secara emosional terikat rata-rata
37% lebih rendah. Begitu pula, pelanggan yang tidak puas
dari jasa internasional kartu kredit tidak begitu beda
antara pemilik kartu kredit yang puas secara rational.
Namun, pemilik kartu kredit yang puas secara emosional
oleh faktor-faktor jasa, fitur, dan image merek berbelanja
lebih banyak secara rata-rata dibandingkan kelompok
pelanggan lainnya (Pelanggan yang puas secara emosional
juga meningkatkan belanja sebesar 67% dalam 12 bulan ke
depan, sementara peningkatan untuk kelompok yang tidak
puas sangat kecil).
Sumber: Harvard Business Review, 2005
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 15
Cover Story
ketika diminta berimajinasi terhadap
sebuah perusahaan. Apakah pelanggan
yang memiliki hubungan emosional yang
kuat dengan perusahaan menunjukkan
aktifitas otak yang sama dengan pelanggan lainnya?
Jawabannya tidak. Hasil riset terha­
dap pelanggan peritel mewah di Jepang
menunjukkan hal itu. Satu grup pelanggan tergolong sangat terikat secara
emosional dengan perusahaan; satu
sedang-sedang saja; dan satu kelompok
pelanggan lagi kurang atau tidak terikat
secara emosional. Menggunakan alat
functional magnetic resonance machine
(fMRI), pelanggan diminta menjawab
pertanyaan dengan pilihan setuju dan
tidak setuju tentang peritel tersebut,
terhadap bank mereka, dan terhadap
berbagai aspek dalam kehidupan seharihari.
Otak pelanggan yang memiliki
keterikatan emosional tertinggi terhadap
peritel tersebut secara signifikan lebih
aktif ketika diminta memikirkan subjek
terkait perusahaan tersebut. Aktifitas
otak yang meningkat terkonsentrasi
pada bagian-bagian otak yang berkaitan
dengan emosi, pemrosesan emosionalkognitif, dan memori. Lebih hebat lagi,
peningkatan aktifitas otak bersifat
spesifik perusahaan: pelanggan yang
mencintai betul perusahaan ritel tersebut tetapi bukan terhadap banknya tidak
menunjukkan peningkatan level aktifitas
otak ketika memikirkan bank.
Menariknya lagi, hubungan antara
keterikatan emosional dan laporan pembelian pribadi berkorelasi sangat kuat
sebesar 0,6 pada skala -1,0 hingga +1,0.
Tampaknya ada mekanisme neurologikal
yang menghubungkan keterikatan emo-
Box 2
Matematik Di Balik
Score Human Sigma
S
core Human Sigma dari sebuah unit kerja dihitung
pertama kali dengan mengkonversikan score tengah
dari keterikatan karyawan dan keterikatan pelanggan dalam ukuran percentile (berdasarkan distribusi
score yang diamati dari setiap matriks). Jika sebuah unit
kerja memiliki score konversi dari kedua keterikatan itu
di atas rata-rata nilai distribusi, score Human Sigma akar
dari nilai 2 percentile, terkoreksi untuk kondisi-kondisi
dengan batas tertentu. (Nilai koreksi ini ekuivalen dengan
ratio 2 percentile – tertinggi atau terendah – pangkat
0,125).
Jika score unit kerja yang dikonversi di bawah dari
nilai rata-rata distribusi, score Human Sigma adalah akar
dari produk nilai 2 percentile dibagi 2. Langkah ini menghasilkan sebuah score terdistribusi secara bimodal yang
kemudian digunakan untuk menetapkan nilai treshold
dari setiap level Human Sigma, HS1 hingga HS6. Treshold dari HS4 ditetapkan 50. Treshold HS3 didefinisikan
sebagai satu deviasi standar di bawahnya (menggunakan
deviasi standar dari distribusi score Human Sigma). Treshold HS5 didefinisikan sebagai deviasi standar di atas
treshold HS4.
Jadi, kalau percentile keterikatan karyawan dan percentile keterikatan pelanggan, kedua-duanya, di atas 50,
maka rumusnya:
16 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
Sebaran Score Dari Setiap Toko Ritel
HS = √(EE Percentile x CE Percentile) x (Percentile max/Percentile Min)0,125
Jika percentile keterikatan karyawan dan percentile
keterikatan pelanggan kurang atau sama dengan 50,
maka rumusnya:
HS = √(EE Percentile x CE Percentile)/2
15 Oktober - 15 November 2013
Cover Story
sional dengan berbagai
perilaku lainnya. Tak pelak
lagi, pendekatan Six Sigma
dalam mengukur dan
mengelola kualitas interaksi karyawan-pelanggan
perlu memasukkan emosi
pelanggan ke dalam pertimbangan.
Dibangun berdasarkan riset psikolog Ben
Schneider dan profesor
manajemen David Bowen,
Fleming dan kawan-kawan
mengembangkan sebuah
ukuran dari keterikatan pelanggan.
Ukuran ini hasil mengkombinasikan
indikator tradisional dari loyalitas
pelanggan (kepuasan menyeluruh,
kecenderungan untuk membeli kembali,
dan kecenderungan untuk merekomendasikan kepada orang lain) dengan beberapa komponen untuk menilai kondisi
emosional dari komitmen pelanggan.
Dimensi pertama yang dilihat, yakni
aspek keyakinan (confidence). Apakah
perusahaan ini selalu memberikan apa
yang dijanjikannya? Apakah orangorangnya kompeten?
Dimensi kedua adalah aspek integritas (integrity). Apakah perusahaan
ini memperlakukan saya sebagaimana
mestinya? Jika sesuatu yang buruk terjadi, apakah saya bisa menghandalkan
perusahaan mengatasinya dengan cepat?
Dimensi ketiga adalah kebanggaan
(pride), sebuah proses identifikasi positif
terhadap perusahaan. Dimensi keempat
adalah kecintaan yang luar biasa (passion). Apakah perusahaan tidak tergantikan dalam kehidupan saya dan sangat
sempurna untuk saya? Sejujurnya, pelanggan yang benar-benar cinta sa­ngat
langka. Mereka itu adalah pelanggan
seumur hidup dan mereka ibarat emas
bagi perusahaan.
Riset yang dilakukan Fleming dan
kawan-kawan menyimpulkan, bagi
ba­nyak perusahaan, pelanggan yang
benar-benar terikat – pelanggan yang
memiliki score 15%-20% teratas –
menghasilkan sebuah nilai tambahan
23% dibandingkan dengan pelanggan
rata-rata dalam hal nilai belanja, profitabilitas, pendapatan, dan pertumbuhan
hubungan. Pelanggan yang tidak terikat
– mereka yang scorenya 20%-30%
terbawah – menunjukkan 13% discount
dari ukuran tersebut.
Dalam level unit bisnis perusahaan
yang diteliti, unit bisnis yang memiliki
score keterikatan pelanggan top 25%,
cenderung mengalahkan seluruh unit
kerja lainnya dalam indikator kontribusi laba, penjualan, dan pertumbuhan
penjualan dengan faktor 2:1.
Employee Engagement
Setiap interaksi yang terjadi antara
karyawan dengan pelanggan memberikan peluang untuk membangun hubung­
an emosional dengan pelanggan. Tentu
saja interaksi ini bukan satu-satunya
cara menyentuh hati pelanggan, tetapi
hal ini memainkan peran paling penting.
Di AS, menurut data Gallup Poll, hanya
29% karyawan yang bersemangat dan
berkomitmen di tempat kerja. Lebih
buruk lagi, 54% karyawan bekerja de­
ngan efektifitas sedang – mereka bekerja
sesuai yang diharapkan, tidak lebih. Sisa
karyawan, hampir 20%, tergolong tidak
terikat.
Unit kerja yang para anggotanya
terikat secara positif memiliki tingkat
produktifitas dan profitabilitas lebih
tinggi, tingkat keselamatan dan tingkat
kehadiran lebih baik, dan
tingkat retensi yang lebih
baik. Hal ini tidak mengejutkan, karena karyawan
tersebut lebih efektif
menciptakan keterikatan
kepada pelanggan yang
mereka layani.
Karyawan yang tidak
terikat, sebaliknya, juga
berdampak besar bagi
perusahaan. Diperkirakan
biaya yang ditanggung perusahaan di Amerika mencapai US$300 miliar per
tahun karena kehilangan produktifitas.
Mereka juga menghancurkan hubungan
dengan pelanggan.
Matriks kinerja yang mengakui
pentingnya keterikatan emosional – dari
sisi karyawan dan pelanggan – menghasilkan hubungan yang lebih kuat terhadap hasil operasional dan keuangan.
Memilih matriks mana yang digunakan
merupakan langkah pertama untuk
manajemen yang efektif dari hubung­
an karyawan-pelanggan. Selanjutnya,
memutuskan bagaimana menerapkannya juga tidak kalah penting. Sayangnya,
dalam banyak perusahaan, matriks yang
didesain dengan keinginan yang benar,
diterapkan secara salah.
Hubungan Tersebut Harus
Diukur Secara Lokal
Mari kita lihat fakta-fakta berikut. Sebuah perusahaan penerbangan
melaporkan bahwa mereka menjadi
pemimpin industri dalam hal ketepatan waktu (on-time performance)
dan memiliki data keberangkatan
serta kedatangan untuk mendukung
klaim tersebut. Sebuah provider seluler
mengklaim menjadi pemimpin industri
dalam hal kepuasan pelanggan, meng­
acu kepada hasil survey independen
terhadap pelanggan. Sebuah perusahaan
ritel mengumumkan telah memenangkan penghargaan salah satu perusahaan
terbaik untuk bekerja dalam 5 tahun
berturut-turut.
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 17
Cover Story
Setiap klaim di atas – berdasarkan
hasil survey – mungkin saja legimate,
tetapi tinjauan cepat tentang apa yang
disebut dengan ketepatan waktu terbang
dan mendarat untuk pesawat spesifik
atau kepuasan pelanggan pastinya
memiliki kisaran kinerja yang tersembunyi di balik rata-rata tersebut. Beberapa
penerbangan mungkin selalu tepat
waktu, beberapa lainnya tidak. Beberapa
pelanggan selalu mendapatkan masalah,
beberapa lainnya mungkin saja sangat
puas. Dan, beberapa toko boleh jadi
menjadi tempat terbaik untuk bekerja,
sedangkan toko-toko lainnya sangat
tidak menyenangkan.
Sistem pengukuran rata-rata kinerja
level perusahaan mungkin berguna dari
sisi pemasaran, membuat para eksekutif
merasa lebih baik tentang posisi mereka
di pasar. Namun, karena mereka mengabaikan adanya variasi kinerja yang
berbeda dari lokasi ke lokasi atau unit
kerja ke unit kerja dalam perusahaan,
maka hal itu tidak memberikan informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan
kinerja kepada manajer dan eksekutif.
Variasi lokal kinerja ternyata bisa sangat
besar. Kenyataannya, variasi dalam
perusahaan mudah mengecilkan makna
perbedaan dengan para pesaing.
Kinerja biasanya juga mengikuti pola
distribusi normal,
menegaskan bahwa
keberagaman lokal
sebagian besar tidak
terkelola. Bagi perusahaan penjualan
dan jasa, keberagaman yang tidak
terkelola dalam mutu
yang dirasakan oleh
pelanggan menunjukkan ancaman
yang signifikan terhadap keberlanjutan
perusahaan, karena
variasi pengalaman
pelanggan – bukan
karena rata-rata
kepuasan pelanggan.
Hal yang persis sama terjadi dalam
pola variasi kinerja dari ukuran karya­
wan dengan implikasi serupa. Satusatunya cara untuk meningkatkan
kinerja lokal adalah memberikan umpan
balik pada level di mana keberagaman
itu muncul. Sering terjadi, hubungan
karyawan-pelanggan diukur pada level
spesifik yang salah sehingga tidak terlalu
bermanfaat. Apa makna dari provider
telepon seluler yang menyebut dirinya
sebagai pemimpin industri dalam hal
kepuasan pelanggan bagi seorang
pelanggan yang selalu mendapatkan
layanan apa adanya di tingkat lokal? Dan
apa makna label perusahaan sebagai
perusahaan pilihan untuk bekerja tetapi
karyawan dalam unit kerja lokal selalu
dalam tekanan?
Pada saat hubungan karyawan-pelanggan pada level unit kerja diases, para
eksekutif bisa belajar banyak tentang
kinerja organisasi. Ambil contoh layanan
call center yang dioperasikan sebuah
perusahaan telekomunikasi. Layanan
call center di sini dilengkapi dengan
fasilitas modern, termasuk aplikasi CRM
(Customer Relationship Management)
yang memungkinkan petugas (Call
Center Representative) untuk mengases
hubungan seorang pelanggan dengan
perusahaan. Setiap panggilan telepon
18 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
langsung diarahkan secara otomatis kepada petugas yang tersedia. Setiap petugas dilatih, dimonitor, dibimbing secara
komprehensif, dan tingkat remunerasi
antar call center relatif sama.
Untuk mengetahui seberapa bagus
sebuah unit call center melayani pelanggan, perusahaan mengukur kepuasan
pelanggan pada tingkat perusahaan
secara reguler. Perusahaan Telkom ini
juga rutin menggelar survey tahunan
kepuasan pegawai. Misalnya, dari survey
triwulan diperoleh tingkat kepuasan
pelanggan adalah 88%. Hasil survey
pegawai, di sisi lain, menunjukkan
hanya 40% pegawai yang merasa dibayar
dengan memadai. Lantas, apa makna
dari informasi ini? Menurut Fleming
dan kawan-kawan,
informasi yang ada
tidaklah banyak.
Untuk mengetahui hubungan
karyawan-pelanggan secara
total, perusahaan
perlu indikator
yang menukik ke
dalam perusahaan. Untungnya,
perusahaan Telkom
ini telah memiliki
indikator tersebut
dan mereka mendapatkan beberapa
pemahaman baru.
Pemahaman baru
Cover Story
pertama adalah pengalaman pelanggan masih tergantung kepada siapa
petugas yang mengambil panggilan
telepon. Sebanyak 10% petugas terbaik
menghasilkan 6 interaksi positif untuk
setiap 1 interaksi negatif, berdasarkan
wawancara pasca kontak dengan pelanggan. Sedangkan 10% petugas terburuk
menghasilkan 3 interaksi positif untuk 4
interaksi negatif.
Informasi kritikal semacam ini ha­
nya tersembunyi dari score keseluruhan
kepuasan pelanggan 88%. Tanpa matriks
yang lebih dalam, seorang pimpinan call
center tidak akan mampu mengidentifikasi atau mengelola sumber-sumber
penyebab kinerja yang payah dan kinerja
yang sangat bagus.
Contoh lain adalah sebuah Bank B.
Beberapa tahun lalu, eksekutif puncaknya memahami bahwa karyawan
mempengaruhi profitabilitas melalui
2 jalur berbeda. Jalur pertama disebut
dengan efisiensi biaya langsung. Karya­
wan yang berkomitmen menghasilkan
output yang lebih besar dengan kualitas
lebih baik dibandingkan karyawan yang
tidak berkomitmen. Mereka juga bertahan di perusahaan lebih lama, menurunkan biaya training dan penggantian
pegawai. Efisiensi ini menjelma menjadi
peningkatan profitabilitas. Jalur kedua
disebut dengan outcome pelanggan tidak
langsung. Pegawai yang produktif dan
berkomitmen melahirkan hubungan
dengan pelanggan yang lebih bagus,
yang berujung kepada retensi pelanggan,
profitabilitas, dan pertumbuhan.
Upaya awal eksekutif Bank B untuk meningkatkan produktifitas dan
komitmen pegawai adalah secara rutin
mengases opini pegawai melalui survey
secara acak. Mereka berharap bisa
mengidentifikasikan satu set isu kunci,
yang kalau ditingkatkan, akan membuat
pegawai lebih gembira dan produktif.
Hasilnya sangat mengecewakan sampai
mereka mengases sikap pegawai pada
tingkat cabang. Pada kantor cabang,
sikap pegawai bervariasi mulai dari yang
kurang bagus sampai dengan sangat
bagus. Karena Bank B mengukur pada
level spesifikasi yang tepat, maka bank
tersebut bisa menemukan beberapa unit
kerja menghasilkan standar pelayanan
ekselen tetapi yang lainnya menghancurkannya.
Variasi kinerja lokal adalah alat
organisasi untuk meningkatkan kinerja.
Dengan kondisi alamiah dari distribusi
kinerja memperlihatkan adanya variasi
tersebut, tetapi seberapa besar variasi
tersebut menjadi ukuran kritikal dari
kesehatan organisasi. Sekitar 3 dekade
lalu, W. Edwards Deming dan Joseph
Juran mencatat variasi dari matriks
kinerja kritikal adalah ancaman terha­
dap keberlanjutan perusahaan karena
itu berarti bisnis tidak dikelola secara
efektif. Bisa disimpulkan, makin besar
kisaran kinerja dari indikator kinerja
kritikal, semakin mahal biaya operasional perusahaan.
Sayangnya, pada banyak organisasi,
variasi efektifitas hubungan karyawanpelanggan seringkali tidak terdiagnosa.
Sebagai akibatnya, laba dan pendapatan
tidak tercapai dan pertumbuhan sulit
diraih. Data secara korporat tidak ba­
nyak berguna dibandingkan variasi data
kinerja di level unit kerja. Para manajer
lokal atau cabang, misalnya, kadangkadang menyalahkan perbedaan antar
lokasi berdasarkan indikator ukuran
toko, umur pekerja, atau hal-hal lokal
yang di luar kontrol. Riset yang dilakukan Fleming dan kawan-kawan membuktikan hal itu tidak benar.
Sebagai contoh, dalam perusahaan
jaringan ritel, kemampuan mengontrol
variabel-variabel yang tidak terhindarkan – termasuk faktor demografi lokal
dan ada atau tidak adanya pesaing –
mengeliminasi hanya porsi kecil dalam
variasi kinerja antar toko. Artinya, kita
bisa mengontrol faktor-faktor yang
tidak bisa diubah. Faktor produk, harga,
proses, kebijakan, dan sebagainya – halhal yang mendorong level keterikatan
pelanggan – semuanya berlaku sama
untuk setiap toko sehingga bukanlah
faktor khas lokal.
Jika faktor-faktor tersebut tidak
berbeda dari lokasi ke lokasi, faktor
kunci lainnya adalah cara proses dan
kebijakan tersebut diterapkan di level
lokal. Hal itu mendorong kita untuk
melihat siapa yang menerapkannya, dan
bagaimana implementasinya dikelola.
Untuk mengurangi variasi dalam
pengalaman pelanggan, perusahaan
harus fokus untuk mengurangi variasi
kinerja dari proses yang dilakukan
pegawai-pegawai lokal. Setiap unit kerja
bisa mengidentifikasi dan mengoreksi
masalah masing-masing.
"Apa yang disumbangkan Six Sigma
bagi usaha manufaktur, Human Sigma
melakukan hal yang sama untuk usaha
jasa,” tukas Ralph Oliva, Executive Director, Institute for the Study of Business
Markets, Penn State University. l SYH
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 19
Cover Story
Lima Langkah Pendekatan
Human Sigma
D
alam bukunya
yang berjudul
“Human Sigma”,
dua pakar dan
Principal Gallup
John H, Fleming, Ph.D. dan Jim
Asplund merekomendasikan 5
aturan baru dalam mengelola
usaha jasa. Riset menunjukkan,
perusahaan yang memiliki tingkat keterikatan karyawan (employee engagement) yang tinggi
berhasil mencatat pertumbuhan
laba per saham 2,6 kali lebih
tinggi ketimbang perusahaan
dengan karyawan yang tidak
merasa terikat.
Pada era industrial, nilai diciptakan melalui pekerja atau buruh, yakni
upaya fisik untuk menciptakan produk
berkualitas. Tetapi, dalam era ekonomi
baru, kekuatan dan laba sepenuhnya
mengandalkan pekerja. Semakin tinggi
keterikatan karyawan, semakin besar laba yang bisa dihasilkan. Sebuah
riset Gallup terhadap 89 perusahaan
menunjukkan betapa besar dampak dari
keterikatan karyawan tersebut terhadap
aspek finansial perusahaan: perusahaan
dengan tingkat keterikatan karyawan
yang tinggi menghasilkan pertumbuhan laba per saham 2,6 kali lebih tinggi
dibandingkan perusahaan dengan tingkat keterikatan karyawan yang rendah.
Dengan nilai dan laba sesungguhnya ada di balik hubungan karyawanpelanggan, maka interaksi tersebut telah
menjadi pusat dari penciptaan nilai
dalam service-driven economy. Untuk
bisa memaksimalkan kualitas hubungan
karyawan-pelanggan, perusahaan perlu
mengukur dan mengelola hubungan
tersebut dan manusia yang menciptakannya. “Human Sigma menciptakan
satu set aturan baru dan sebuah cara
berpikir yang berbeda terkait pengelolaan sistem manusia yang kompleks
dalam organisasi.
Didasarkan kepada hasil studi
terhadap 10 juta pelanggan dan 10 juta
pegawai di seluruh dunia, Fleming dan
Asplund merekomendasikan 5 aturan
baru dalam mengelola sistem manusia organisasi, yang dikenal dengan
pendekatan Human Sigma.
Rule 1. Anda tidak bisa mengukur dan mengelola pengalaman
karyawan dan pelanggan sebagai
entitas yang terpisah.
Kedua sistem manusia tersebut
berjalan beriringan, dan oleh karena itu
perusahaan perlu mereorganisasikannya. Kebanyakan perusahaan saat ini
tidak diorganisasikan atau disiapkan
untuk mengelola karyawan dan pelanggan di bawah payung organisasi yang
sama. Namun, karena hubungan penting
dalam menciptakan nilai untuk organisasi penjualan dan jasa terletak pada interaksi antara karyawan dan pelanggan,
maka perusahaan perlu memandang
hubungan karyawan dan pelanggan
saling berkaitan dan saling tergantung.
Sebagai hasilnya, perusahaan perlu
meng­ases dan mengelola sistem manusia
ini sebagai sebuah kesatuan yang utuh.
Pertanyannya, siapa yang mengelola
pengalaman karyawan? Dan, siapa pula
yang mengelola pengalaman pelanggan?
20 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
Bagaimana upaya untuk mengintegrasikannya?
Rule 2. Emosi membentuk
hubungan karyawan-pelanggan.
Emosi yang diwujudkan dalam
bentuk penilaian dan perilaku jauh lebih
besar ketimbang pemikiran rational.
Sebab, pertama,karyawan dan pelanggan adalah manusia, dan, kedua, mereka
selalu diselimuti oleh kondisi yang tidak
stabil dan irasional layaknya manusia
biasa.
Jika perusahaan bisa memahami
secara mendalam para karyawan dan
pelanggan, maka faktor kuncinya adalah
memperhatikan aspek kemanusiaan
tersebut secara serius. Selama ini, hal ini
adalah bagian paling sulit karena emosi
dan perasaan dianggap tidak akurat dan
tidak ilmiah dalam sistem manajemen
modern.
Tentunya bisa untuk secara tepat
mengevaluasi dimensi emosional yang
penting bagi karyawan dan pelanggan.
Pengukuran dan pengelolaan hubungan
karyawan-pelanggan harus memperhatikan dan memasukkan infrastruktur emosi dari perilaku manusia dan
pengambilan keputusan, menghasilkan
konsep lebih luas dari pertimbangan
tradisional kepuasan karyawan dan
pelanggan menjadi konsep yang disebut
keterikatan (engagement).
Rule 3: Anda hars mengukur
dan mengelola hubungan karyawan-pelanggan pada level lokal.
Kendatipun perusahaan bisa
mengelola berbagai aktifitas organisasi
secara efektif dari atas ke bawah (top
down), hubungan karyawan-pelanggan
secara intens merupakan fenomena
lokal yang beragam dari lokasi ke lokasi
Cover Story
atau dari unit kerja ke unit kerja dalam
sebuah perusahaan yang sama. Keberagaman kinerja pada level lokal tersebut
harus diukur dan dikelola secara lokal
pula. Pertanyannya, apakah matriks
korporat dan aktifitas lainnya sudah
diseleraskan untuk mendukung peningkatan kinerja di level lokal?
Rule 4: Kita bisa mengkuantifikasikan dan menyimpulkan
efektifitas hubungan karyawanpelanggan dalam sebuah ukuran
kinerja – matriks Human Sigma –
yang sangat terkait dengan kinerja
finansial.
Riset Fleming dan Asplund menemukan bahwa hubungan karyawanpelanggan saling mempengaruhi dan
bisa dikuantifikasikan menjadi sebuah
matriks human Sigma. Pengaruh interaktif keterikatan karyawan dan pelanggan pada level lokal secara eksponensial
menentukan kinerja operasional dan
keuangan serta pertumbuhan. Pertanyaannya, apakah matriks kinerja korporat perusahaan Anda sudah memasuk-
kan matriks Human Sigma ini?
Rule 5: Perbaikan kinerja Human Sigma di level lokal
mensyaratkan adanya intervensi
menyeluruh melalui pemberian
perhatian terhadap kombinasi
aktifitas intervensi transaksional
dan transformasional.
Pengukuran saja tidak cukup untuk
meningkatkan kinerja. Menciptakan
perubahan perusahaan butuh kerja
keras dan intervensi menyeluruh. Dari
riset ditemukan beberapa perusahaan
menerapkan beragam aktifitas intervensi untuk menciptakan perubahan
nyata dan berkelanjutan. Aktifitas transaksional, seperti perencanaan, training,
dan intervensi agresif lainnya adalah intervensi siklikal yang cenderung bersifat
tematik dan berjangka pendek. Mereka
dirancang untuk membantu perusahaan
untuk mengerjakan apa sudah dikerjakan, tetapi dengan cara yang lebih baik.
Di lain pihak, aktifitas transformasional merupakan intervensi struktural yang terfokus kepada bagaimana
perusahaan menyeleksi karyawan,
menyeleksi dan mempromosikan manajer, mengevaluasi kinerja karyawan,
memberikan penghargaan yang tepat,
melaksanakan perencanaan suksesi, dan
mengembangkan karyawan. Aktifitas
transformasional fokus kepada penciptaan infrastuktur yang mendukung
Human Sigma. Mereka didesain untuk
membantu organisasi Anda untuk menciptakan cara baru dalam mengerjakan
segala sesuatu. Pertanyaanya, apa yang
perusahaan Anda miliki untuk mendukung strategi Human Sigma?
Secara khusus, Gallup mengembangkan model Gallup’s Human Sigma
Chain untuk menunjukkan bagaimana
Human Sigma menentukan keberhasilan
organisasi secara komprehensif. Dalam
Human Sigma Chain terlihat bagaimana
interaksi positif antara karyawan yang
terikat (engaged employee) dengan pelanggan yang terikat (engaged customer)
menghasilkan pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth), peningkatan
laba riil (real profit increase), dan berujung kepada kenaikan
harga saham (stock
increase).
Namun, yang menarik, untuk bisa mengReal Profit
Stock
hasilkan pegawai yang
Increase
Increase
terikat, pertama kali
setiap karyawan harus
diidentifikasi kekuatanSustainable
nya (identify strength),
Growth
ditempatkan pada temHuman Sigma
pat yang sesuai dengan
Engaged
kekuatannya (the right
Engaged
Customers
fit), dan dipimpin oleh
Employees
manajer yang hebat
(great manager).
Sebuah model yang
Great
sangat
menarik untuk
Managers
Identify
menjelaskan rantai
Strengths
The
kunci dalam mencipRight Fit
takan organisasi yang
ekselen melalui sumCopyright© 1996, 2002, 2007 Gallup, Inc. All rights reserved
berdaya manusia yang
Gallup path, “Microeconomic: A behavioral economic model for organization,”
kokoh. l SYH
Gallup Consulting, “Employee Engagement” brochure, 2008
Gallup’s “HumanSigma”® Chain
®
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 21
Cover Story
Apa Kata Mereka?
Abah Rama
Memanusiakan Manusia
R
ama Royani atau yang lebih
dikenal dengan nama Abah Rama
ini menekankan bahwa pendekatan Human Sigma lebih kepada
“memanusiakan manusia” yang tentunya
jauh lebih baik ketimbang “memesinkan
manusia”. Alumni Teknik Fisika ITB Bandung sekaligus Pencipta Personal Strength
Statement, Strategi Based Team Building,
Multimedia HR Mapping, Individual Job Fit
Mapping dan 30 Strength Typology ini juga
menekankan bahwa pendekatan tersebut
merupakan Tools dan semua Tools adalah
baik. “Karena itu, yang paling penting ketika
perusahaan akan menggunakan pendekatan
Human Sigma adalah harus sesuai dengan
maksud dan tujuan ketika Tools ini dibuat,”
ujar Abah Rama. Kepada Human Capital
Journal, ia menjelaskan tentang pendekatan
Human Sigma dan bagaimana penerapannya di perusahaan Indonesia.
Human Sigma adalah sebuah metode
pengembangan manajemen SDM berbasis
Employee Engagement (EE) dan Customer
Engagement (CE). Menurut Anda, bagaimana
konsep Human Sigma bisa diterapkan di Indonesia?
Menurut saya performance measuring dengan Human Sigma sebaiknya dilakukan segera karena kecepatan pengukurannya yang sangat dibutuhkan manajemen
untuk mengambil keputusan. Saat ini banyak management tools yang tidak memperhatikan unsur kecepatan
penyajian yang akibatnya tidak mencapai sasaran yang
diinginkan yaitu Performance dan upaya yang dilakukan menjadi mubazir. Yang perlu difahami adalah apa
22 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
yang mendasari dibuatnya Human Sigma. Pertama,
Gallup memahami bahwa meningkatkan kinerja perusahaan tidak perlu mengukur karyawan per karyawannya,
karena selain lama juga tidak efektif, maka Gallup memfokuskan dirinya mengukur kinerja “atasan langsung
dari unit kerja”, karena kinerja perusahaan tergantung
pada kinerja dari masing masing unit kerja dan kinerja
unit kerja sangat tergantung dari atasan langsungnya.
Awal cerita sebenarnya adalah karena kurang adanya
korelasi antara hasil pengukuran Employee Satisfaction maupun Customer Satisfaction dengan hasil usaha
sehingga Gallup di pertengahan tahun 1990 membuat
Employee Engagement Survey yang dinamakan Q12 dan
dirilis di buku Break All The Rules ditahun 1999. Dalam
15 Oktober - 15 November 2013
Cover Story
Apa Kata Mereka?
penelitian tersebut terlihat ada nya hubungan yang kuat
antara EE dengan Produktivitas sehingga sejak saat banyak ahli manajemen yang ikut menciptakan Tools untuk
EE. Akan tetapi belakangan Gallup menyadari bahwa EE
saja tidak cukup untuk mengukur kinerja atasan karena
juga diperlukan informasi dari pengguna jasa unit kerja
tersebut sehingga ditahun 2002 ditemukan Human
Sigma.
Bagaimana cara pengukurannya?
Ada dua dimensi yang diukur adalah EE (mengukur
suasana kerja didalam satu unit kerja tertentu dan terdiri
dari 12 pernyataan) dan CE (mengukur suasana hati
dari pengguna jasa unit kerja diatas dan terdiri dari 11
pernyataan yang didalamnya ada 8 pernyataan terkait
Emosi dan 3 pernyataan terkait Ratio).
Metode-metode apa saja yang digunakan dalam pendekatan Human Sigma dan bagaimana
penerapannya di perusahaan?
Dari 12 pernyataan EE terkait Emosi dapat dibagi
kedalam 4 kategori, yaitu Confidence, Integrity, Pride,
dan Passion. Kemudian dari 11 pernyataan CE dapat
dibagi dalam 4 kategori, yaitu Basic Needs, Management Support, Team Work, dan Growth. Pengukuran
sebaiknya dilakukan setiap 6 bulan yang hasilnya harus
ditunjukan kepada masing masing manager unit kerja
agar yang bersangkutan tahu posisinya dan berusaha
untuk meningkatkan Human Sigma.
Seberapa akurat penggunakan pendekatan Human Sigma terhadap perusahaan yang
berkaitan dengan CE? Dan berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk mengukur dan mengetahui EE dan CE?
Beberapa pengukuran yang sempat dilakukan
menunjukan akurasi yang cukup tinggi dengan catatan
bahwa customer disini adalah Internal dan Eksternal.
Perusahaan bahkan lebih banyak Customer Internalnya.
Masing-masing asesmen hanya membutuhkan waktu 1015 menit sehingga keduanya sekitar 20 -30 menit
EE memiliki kaitan yang erat dengan suasana
kerja dan kinerja perusahaan. Rendahnya EE
bisa berpengaruh buruk kepada kesehatan fisik
maupun mental. Bagaimana pendekatan Human
Sigma mengatasi kondisi seperti ini?
Rendahnya EE menandakan bahwa atasan langsung
dari unit kerja yang bersangkutan belum mampu atau
memang tidak mampu menjadi manager dan apabila nilai
Human Sigma terus menerus rendah dalam kurun waktu
3 kali pengukuran (12-18 bulan), maka perlu ada tindakan
dari manajemen untuk mengatasinya spt menggantinya,
melatihnya kalau punya potensi, menempatkan pada
posisi lain yang sesuai.
Bagaimana mengkorelasikan antara intervensi perusahaan dan disiplin karyawan sehingga bisa menghasilkan EE?
Engagement sangat berbeda dengan stick and carrot
motivation (reward and punishment) karena penelitian
puluhan tahun menunjukan bahwa stick and carrot motivation (extrinsic motivation) hanya berhasil untuk tugas
tugas terkait otak kiri maupun semangat akan tetapi
untuk tugas tugas terkait otak kanan atas (kreativitas)
maupun otak kanan bawah (inter personal) maka diperlukan Engagement yaitu dengan memfasilitasi potensi
seseorang melalui Coaching. Disini sebenarnya akan
terasa bagaimana pentingnya proses rekrutment dimana
core talents harus diselaraskan core mission perusahaan,
akan tetapi apabila karena organisasinya sudah terbentuk
dimana core talents-nya tidak selaras dengan misi inti
organisasi maka yang diperlukan adalah seorang Leader
yang memiliki core talents yang sesuai dengan core
mission organisasi dan keras dalam menjaga core values
organisasi. Kunci untuk menghasilkan skor EE dan CE
yang tinggi terletak ditangan atasannya langsung.
Apa saja tantangan-tantangan dan kendala
yang dihadapi perusahaan ketika akan menerapkan pendekatan Human Sigma serta bagaimana
cara mengatasinya?
Sebenarnya tidak ada kendala dalam menerapkan
pendekatan Human Sigma karena pendekatan ini
“memanusiakan manusia” yang tentunya jauh lebih baik
ketimbang “memesinkan manusia”. Akan tetapi karena
ini merupakan Tools dan semua Tools adalah baik maka
yang penting adalah penggunaan Human Sigma harus
sesuai dengan maksud dan tujuan ketika Tools ini dibuat.
dibuat untuk level supervisor keatas karena tujuannya
adalah untuk mengukur kemampuan manajemen seorang
atasan di unit kerja tertentu dan skor Human Sigma ini
bisa juga digunakan untuk membuat Talent Pool Mapping dimana sumbu X-nya Human Sigma sumbu Y-nya
Leadership Potential. Masalahnya adalah bagaimana kita
mengetahui Leadership Potential seseorang yang akhir­
nya terjawab oleh 99 Leaders Typology sebagai software
turunan dari Talents Mapping. l RS
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 23
Cover Story
Andi Ilham Said
Direktur Utama PPM Manajemen
Mengelola Karyawan =
Mengelola Pelanggan
K
aryawan dan pelanggan adalah dua hal yang harus
dikelola secara terintegrasi. Menurut Andi Ilham
Said, Direktur Utama PPM Manajemen, hal ini
dise­babkan semua perusahaan pada dasarnya adalah
bersifat pelayanan. “Meskipun
perusahaan tersebut adalah
perusahaan manufaktur, pasti
di dalam produknya terkandung unsur layanan atau yang
dirasakan oleh konsumen
sebagai layanan,” imbuh Ais,
sapaan akrabnya.
Ia mencontohkan, di
sebuah perusahaan otomotif yang memproduksi dan
menjual mobil tentu terdapat pula unsur layanan yaitu
membantu melayani pelanggan agar bisa mengendarai
mobil dengan benar. “Mobil
ini termasuk alat transportasi. Karena itu, semua yang
berkaitan dengan mobil
semua merupakan jasa.
Mulai dari jasa untuk
meng­adakan bahan baku,
jasa untuk mengubah
bahan baku menjadi
bahan setengah jadi dan
seterusnya hingga mobil
tersebut ada di tangan
pembeli. Semua adalah
kumpulan dari jasa-jasa.
Artinya, perusahaan
itu adalah perusahaan
dari kumpulan jasa yang
dilakukan oleh karyawannya,” tambahnya.
Asumsinya, jika ada jasa yang dilakukan dengan baik
oleh karyawannya, maka akan berujung baik ke pelanggan.
Karena itu, jika ada salah satu jasa yang salah dalam kumpulan jasa tersebut, maka hasilnya akan berdampak pada
pelanggannya. “Perlu ada integrasi antara penyedia jasa
dengan pengguna jasa atau pelanggan. Makanya, mengelola
karyawan sama dengan mengelola pelanggan,” Ais menegaskan hal ini. Diakuinya, konsep Human Sigma justru berusaha mengubah anggapan “pelanggan adalah raja”. “Sekarang ini semua raja, pelanggan dan karyawan sama-sama
raja. Kalau kita bisa memperlakukan karyawan dengan baik,
maka itu akan berdampak dengan baik kepada pelanggan.
Ia memberikan istilah “you are what employee in” yang
artinya Anda adalah apa yang
karyawan Anda kerjakan,” kata
Ais. Istilah tersebut menunjukkan bahwa mensejaherakan
karyawan agar happy untuk
membuat pelanggan happy.
Ketika disinggung soal
keterkaitan kepuasan karya­
wan dengan suasana kerja dan
kinerja perusahaan yang bisa
berpengaruh kepada kese­hatan
fisik maupun mental karyawan,
Ais mengaku bahwa membuat
karyawan bahagia bisa berarti
banyak. Diakuinya, berbicara disiplin karyawan bukan
berarti tidak membahagiakan
karyawan. Perusahaan bisa
melakukan berbagai hal seperti
memberikan remunerasi yang
bagus, reward untuk
mereka yang kreatif atau
berprestasi, penciptaan
ruangan yang nyaman,
program pengembangan karir yang baik,
dan masih banyak lagi.
“Mungkin yang jadi
pertanyaan jika Human
Sigma diterapkan adalah
sistem yang menggunakan KPI dengan Balance
Scorecard (BSc). Tampaknya setelah semua perusahaan menggunakan
BSc, ini menjadi masalah.
Karena ada orang dengan tipe non mekanistik atau saat di
lapangan memerlukan ide-ide kreatif, tapi adapula yang
cocok di perusahaan yang bersifat organik, atau terbiasa
dengan standar,” tutur Ais. l RS
Jika ada jasa yang dilakukan
dengan baik oleh karyawannya, maka akan berujung baik
ke pelanggan. Karena itu, jika
ada salah satu jasa yang salah
dalam kumpulan jasa tersebut, maka hasilnya akan berdampak pada pelanggannya.
24 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
Cover Story
Apa Kata Mereka?
Goenawan Loekito,
Praktisi Bisnis
Karyawan Puas Bukan
Jaminan
B
erbicara konsep manajemen SDM yang ada di dunia
– termasuk konsep Human Sigma -- tidak semua
yang diterapkan bisa memiliki kecocokan dengan
kebutuhan setiap perusahaan. Menurut praktisi bisnis
Goenawan Loekito, hal ini disebabkan setiap perusahaan
mempunyai spesifikasi kebutuhan masing-masing. “Jadi
metode apapun intinya tidak ada yang cocok 100 persen
dengan kebutuhan perusahaan karena ada spesifik kebutuhan masing-masing,” ujar Goenawan. Kedua, konsep Human Sigma tidak bisa diterapkan, tetapi harus disesuaikan
dengan kebutuhan industrinya.
Menurutnya, saat ini perusahaan-perusahaan di Indonesia umumnya hanya mengambil otomasisasi. “Artinya diambil dari apa yang ada di konsep tersebut dan dijalankan
secara manual. Kemudian dari manual akan diotomasisasi,”
katanya. Mereka berharap dengan mengadopsi sistem atau
konsep yang terkemuka dan sudah digunakan di negaranegara maju bisa membawa nilai tambah bagi perusahaan
di Indonesia.
Indonesia mempunyai satu kebutuhan target yang jelas.
Dikatakan Goenawan, pada umumnya biasanya para CEO,
direksi, pemegang saham, terkadang tidak memahami mau
dibawa kemana tujuan akhirnya saat mereka menerapkan
konsep Human Sigma. “Yang penting adalah diterapkan
konsep tersebut dan dijalankan. Padahal hasil akhirnya
seiring dengan berjalannya dengan waktu ternyata tidak
sesuai. Makanya ada friksi-fiksi yang harus ‘dibereskan’,”
imbuh Goenawan.
Selain para pemimpin harus mengerti tujuan dan hasil
yang ingin dicapai, para pemimpin tersebut juga harus konsekuen dengan apa yang sudah menjadi keputusan ketika
menggunakan konsep tersebut. “Mereka mengerti tujuannya apa, dan pada saat itu ada satu kebijakan yang ‘belok
kiri-belok kanan, tetapi ujung-ujungnya dilanggar oleh
mereka sendiri. Sebagai pemimpin, dia harusnya memberi
contoh atau walk the talk,” tegasnya. Pemimpin harus memberi contoh bahwa dia melakukan sesuai dengan kebijakan
yang telah dia berikan kepada karyawan dan mempunyai
kepatuhan pada etika. “Jadi sebenarnya perusahaan harus
punya semuanya, kepatuhan yang bagus, etika yang bagus,
sistem yang bagus, baru bisa berjalan,” jelasnya.
Benarkah ada korelasi antara kepuasan pelanggan
dengan kepuasan karyawan? Saat ditanya demikian, Goe-
nawan mengutarakan bahwa slogan “pelanggan adalah raja”
sudah tidak berlaku lagi. Saat ini jaman sudah berubah dan
pelanggan sudah dianggap sebagai partner bisnis. “Kenapa?
Kalau dulu seolah-olah tanpa mereka, kita tidak bisa bertahan. Pelanggan juga dulu dianggap tidak mengerti apa-apa
sehingga kita harus menjelaskan semuanya,” sambung Goenawan kembali. Namun seiring dengan kemajuan teknologi,
pelanggan sudah bisa memahami produk atau layanan apa
yang dijual dengan hanya melihat melalui internet. “Makanya kita sekarang harus lebih adil, terbuka, transparansi dan
memberikan value untuk membangun kepuasan pelanggan,”
katanya lagi.
Demikian juga membangun kepuasan internal. Artinya,
memberi kenyamanan untuk karyawan juga perlu yaitu
dengan cara memperlakukan mereka dengan baik, memberi arahan dengan baik, dan memberikan satu rekrutmen
dan retirement yang jelas. “Kebanyakan di perusahaan,
retirement-nya tidak jelas. Mereka cuma berpikir, result,
result, result dan profit, profit, profit. Memang profit harus
sebab tanpa profit, perusahaan akan mati. Cuma sekarang
ini bagaimana mengarahkannya secara elegan, karyawan
senang, yang mengerjakan juga senang, yang mencari profit
juga senang, di semua bagian juga senang. Semua itu kan
harus dilakukan dengan hati, bukan sekadar otomasisasi,”
papar Goenawan panjang lebar.
Pada dasarnya setiap perusahaan harus dibuat senyaman mungkin. Misalnya, dulu tidak memungkinan karyawan untuk mobile, mereka harus di kantor selama delapan
jam, sekarang karyawan sudah tidak diharuskan berada di
satu tempat saja. Mereka bisa bekerja dimana saja karena
yang penting ada hasilnya dan bisa diukur. “Karyawan
dibuat nyaman supaya dia bisa memberikan servis kepada
pelanggan dengan nyaman pula,” ia menambahkan.
Yang perlu diingat, perusahaan harus melakukan
pengelompokan karyawan dan mengetahui karyawan
tersebut lebih tepat bekerja di posisi apa. Masalahnya yaitu
perusahaan seringkali menempatkan karyawan tidak sesuai
dengan pengelompokan. Karena itu semua harus dimulai
dari rekrutmen hingga karyawan pensiun. “Tidak setiap
karyawan hanya butuh uang. Ada di level tertentu dia sudah
tidak butuh uang, tetapi melihat benefitnya, kemudian di
level tertentu di hanya butuh kesibukan. Ada yang tidak
suka di sales, tetapi malah ditempatkan di bagian sales. Bisa
stress karyawan tersebut. Yang ada pelanggan akan complain terus,” lanjutnya.
Tapi jika karyawan senang tidak menjamin pelanggan
juga akan ikut senang. Ditegaskan Goenawan, jika tidak
diikuti dengan sistem yang bagus, maka complain dari
pelanggan akan tetap ada. l RS
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 25
Cover Story
Pentingnya Konsep
Human Sigma pada Perusahaan
M
asih ingat sampai dengan sekitar jasa atau suatu produk dari perusahaan
sepuluh tahun lalu bagaimana
namun tidak ada ikatan emosional, dan
kinerja maskapai nasional kita
puas secara emosional, dimana customPT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk.
er merasakan sangat puas terhadap jasa
yang mana kualitasnya masih terbilang
atau produk yang ditawarkan mereka
buruk? Jika melihat
dan memiliki emosionsaat ini transformasi
al yang kuat dengan
PT. Garuda Indoneperusahaan. Tentunya
sia (Persero), Tbk.
rasa puas secara emobisa dibilang bersional ini memberikan
hasil yang akhirnya
keuntungan yang lebih
mendapatkan banyak
kepada perusahaan,
penghargaan dari
seperti dapat menjadi
World Airline Awards
sumber word of mouth
seperti urutan ke deyang menyebarkan
lapan di Global Airkepuasannya terhadap
Oleh
line Ranking, serta
suatu jasa atau produk
Radita
D.
Baskoro
Best Economy Class
yang ditawarkan oleh
Senior Executive
di dunia, dan urutan
perusahaan.
Firstasia Consultants
ke lima sebagai Best
Untuk lebih detailAirline di Asia. Hal
nya, Fleming (2007)
tersebut juga terpaksa diikuti oleh PT.
menjabarkan ada empat jenis customer
Kereta Api Indonesia (Persero) yang juga berdasarkan ikatan emosio­nalnya,
berkembang secara signifikan saat ini.
yaitu fully engaged,yaitu customer
Tentunya ini tidak dikarenakan keberun- yang memiliki ikatan emosional yang
tungan semata, dimana upaya perbaikan kuat dengan perusahaan dan paling
termasuk peningkatan service excellence menguntungkan untuk perusahaan;
kepada customer kerap mereka lakukan
engaged, yaitu customer yang belum
disamping tentunya pengembangan dan
sepenuhnya terbentuk ikatan namun
reward-reward kepada karyawan interberpotensi untuk menjalin ikatan yang
nalnya juga mereka lakukan.
lebih jauh; not engaged, yaitu customer
Terkait hal-hal di atas ada konsep
yang netral dan cenderung tidak mengyang bernama Human Sigma yang
gunakan jasa atau produk perusahaan;
memiliki tujuan akhir untuk meningkat- dan actively disengaged, yaitu customer
kan kepuasan pelanggan dan karyawan
yang memilki rasa kecewa atau negatif
sampai ke tingkatan emosional yang pa­
terhadap perusahaan.
ling tinggi, yaitu fully engaged, sehing­
Setelah melihat pentingnya rasa
ga memberikan keuntungan dari sisi
keterikatan emosi yang terbentuk pada
keuangan dan operasional perusahaan
customer dengan perusahaan, maka
menurut Fleming, Coffman, dan Harter
ada hal yang sama pentingnya (atau
(2005). Dalam konsep Human Sigma
lebih penting?) dalam konsep Human
dibagi menjadi dua jenis rasa puas yang
Sigma yaitu hubungan perusahaan
dirasakan oleh customer, ada yang
dengan karyawannya sendiri. Kepuadisebut sebagai puas secara rasional,
san pelanggan tidak dapat tercipta jika
yaitu customer merasa puas terhadap
tidak terjalin hubungan yang baik pada
26 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
perusahaan dengan karyawan internalnya sendiri. Hubungan antara karyawan
dengan perusahaan ini dapat dijelaskan
dengan konsep employee engagement.
Meningkatnya employee engagement di sebuah perusahaan tentunya
akan memberikan hal-hal positif kepada
sebuah perusahaan atau organisasi.
Nalarnya dengan adanya peningkat­
an employee engagement di sebuah
perusahaan, tentunya akan mendorong
produktivitas karyawan, lalu disam­
ping itu sisi service serta kualitas
yang diberikan kepada customer atau
rekannya pun juga akan meningkat. Hal
tersebut tentunya juga akan membentuk
customer satisfaction yang lebih tinggi
kepada pihak-pihak yang terkait dengan
fungsi kerjanya yang mana akan me­
nguntungkan sebuah organisasi ataupun
perusahaan.
Memang konsep Human Sigma ini
adalah konsep yang bisa dibilang masih
tertidur di kebanyakan perusahaan dan
konsep ini membutuhkan kerjasama
yang baik yang berawal dari internal
perusahaan. Untuk mengukur level human sigma pada suatu perusahaan salah
satunya dengan menggunakan kuesioner
customer engagement dan employee
engagement. Dengan ini perusahaan
dapat berintrospeksi dan meningkatkan
kembali apa yang yang perlu ditingkatkan untuk bersaing dengan perusahaan
lain serta mendapatkan keuntungan
yang lebih baik, hubungan dengan
customer ataukah hubungan dengan
karyawannya. l
Firstasia Consultants.
Wisma 76 - 18th floor Jl. Letjen S. Parman Kav 76
Slipi, Jakarta Barat P: 62.21.536 66 618 |
F: 62.21.536 77 666 | www.firstasiaconsultants.com
Profile
Ilham A. Habibie, Dr. Ing. MBA
S
umber Daya Manusia (SDM) Indonesia diakui putra sulung pasangan Bapak
Bacharuddin Jusuf Habibie dan Alm Ibu Hasri Ainun Besari tidak kalah
dengan SDM dari negara-negara lain. Permasalahannya di antaranya adalah
lowongan kerja termasuk di bidang teknologi yang masih sedikit, SDM Indonesia yang kurang disiplin, dan pemerintah Indonesia yang belum konsisten. Apa
maksudnya?
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
Foto : Santhi Serad
SDM Indonesia
Masih Belum Disiplin
15 Oktober - 15 November 2013 27
Profile
Santhi Serad
Ratri Suyani
Bicara kualitas SDM Indonesia
menurut pemilik nama lengkap Ilham
Akbar Habibie bukan hanya bicara
soal pemerintah semata. “Concern
pemerintah sudah dari sisi ABPN yang
dialokasikan untuk pendidikan. Komitmen secara makro sudah jelas ada,” jelas
pria kelahiran 16 Mei 1963 di Aachen,
Jerman dengan antusias. Menurutnya, masyarakat Indonesia tidak bisa
mengatakan bahwa pemerintah tidak
mendukung SDM di negeri sendiri.
“Masalahnya adalah, menggunakan
yang sudah dididik itu yang memang
masih kurang,”tutur President Director
PT. Ilthabi Rekatama.
Menurutnya, masih belum ada kese­
larasan antara lulusan sarjana dengan
pekerjaan yang dibutuhkan. “Seringkali
lowongan pekerjaan yang sesuai dengan
jurusan mereka tidak ada, sehingga
seringkali mereka malah bekerja di luar
negeri atau mereka malah bekerja di
industri dan pekerjaan yang tidak sesuai
dengan jurusan mereka. Jadi, kurang
selaras antara orang yang dididik di satu
bidang dengan pemanfaatan industri
yang terkait.Tapi mungkin ini lebih kepada kebijakan ekonomi,” imbuh Ilham.
Tak jarang, sumber daya alam (SDA)
kita, tidak diproses dengan baik. Kita
masih lebih banyak ekspor SDA dalam
bentuk mentah atau setengah diproses.
Cara fikir itu berlanjut diterapkan
keproduk-produk lainnya, misalnya
produk industri. “Orang kita sendiri
sering masih berpikir kenapa kita harus
susah-susah mengembangkannya jika
kita bisa mengimpor dari luar. Mungkin
ini seperti yang dibahas oleh dunia internasional ‘Kutukan dari negara yang kaya
SDAnya’,” tambahnya.
Ketika ditanya apakah memang
benar SDM Indonesia kalah jauh dengan
Negara lain, Ilham menjawab bahwa
semua itu memang relatif. “Sebenarnya
begini, semua itu tergantung dari budaya
nasional yang kuat dan mendukung
pengembangan SDM yang menitikberatkan pendidikan, pekerjaan dan
karir. Jika dibandingkan dengan China
misalnya, Indonesia kan lebih memiliki budaya nasional yang relatif baru
dan sangat pluralis karena terdiri dari
berbagai suku dan merdeka baru tahun
1945. Budaya suku-suku di Indonesia
berbeda-beda dari segi sikap terhadap
pendidikan, pekerjaan dan karir itu.
Beda dengan China yang sudah menjadi
Negara kesatuan sejak lama dan punya
budaya nasional dengan sikap yang
lebih homogen. Analisa saya seperti itu,”
tegasnya.
Namun ketika disinggung apakah
Indonesia bisa mencontoh negara-negara
maju dalam hal pengembangan SDM, ia
langsung menegaskan bahwa Indonesia
boleh mencontoh. “Tapi jangan copy
28 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
paste! Mungkin lebih ke konsistensi.
Sekarang ini terlalu banyak lompat-lompat terkait dengan pengembangan SDM.
Mungkin karena adanya perbedaan pemerintahannya. Padahal di negara maju
biasanya ada beberapa kebijakan terkait
SDM yang tidak boleh diubah,” akunya.
Ia pun menyayangkan jumlah SDM
di bidang teknologi yang masih minim.
Jangankan bicara kualitas, dari sisi
kuantitas saja SDM Indonesia masih belum cukup. “Sangat tidak cukup. Dimulai
dari lowongan kerja yang tidak ada sehingga mereka terpaksa bekerja di bagian
lain,” lontarnya kembali. Pembenahan
bisa dimulai dari persiapan industri
yang terkait dengan bidang teknologi.
Menurutnya, SDM akan ada jika industrinya sudah ada. “Kalau orangnya dulu
ada baru industrinya diadakan, ya akan
percuma. Makanya harus ada penciptaan industrinya terlebih dulu,” Ilham
menambahkan.
Selain itu, infrastruktur yang ada
juga harus diperbaharui agar Indonesia
tidak kalah saing dengan negara lain.
“Yang terpenting juga adalah orang
Indonesia masih belum disiplin. Bisa
dilihat dari yang sederhana saja, untuk
mengantri, mereka belum disiplin,” kata
Ilham yang saat ini sedangkan mempersiapkan pesawat R80 melalui PT Regio
Aviasi Industri (RAI) bersama rekannya
Erry Firmansyah, mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia dan merupakan proyek berdasarkan konsep pesawat
N250 karya sang ayah, BJ Habibie yang
dipaksa gagal. l Ratri Suyani
Profile
Syarat Utama:
Cintai Pekerjaan
B
erkarir di beberapa jenis industri yang berbeda
merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi
Susanty Widya Ningsih. “Semua permasalahan bisa diatasi asalkan penuhi satu syarat,” ujar wanita
kelahiran 11 September 1979.
Mengawali karir sebagai Public Relations Officer di
Hotel Sol Elite Marbella pada 2003 hingga 2006 merupakan tantangan pertama yang dihadapi lulusan STIKOM
Interstudi jurusan public relations ini. “Sukanya, saya
banyak bertemu dan berinteraksi dengan orang banyak.
Belum lagi saat itu adalah masalah tsunami yang membuat
jumlah tamu yang menginap berkurang sangat drastis,”
tutur Susan menceritakan pengalamannya kala itu. Kerja
keras yang dilakukan Susan dan tim manajemen hotel agar
jumlah tamu yang menginap bisa kembali normal bukan
perkara mudah. “Kami harus meyakinkan para tamu
sehingga ketika mereka berlibur di Anyer, mereka mau
menginap di Marbella,” akunya.
Juni 2006, penggemar Japanese food ini menerima
tawaran sebagai Public Relations Manager di Novotel Hotel
Bogor hingga tahun 2008. Kemudian ia memutuskan menerima tantangan sebagai Corporate Marketing Manager
Indonesia di Novus Hotels & Resorts pada Maret 2007
– Juli 2009, dan pada Juli 2009, ia menjadi Consultant
Manager Image Dynamics hingga tahun 2010. “Yang jelas
banyak hal yang menyenangkan ketika saya bekerja dan
menjalani tantangan yang ada,” aku wanita yang menjadi
Bussiness Manager Cerebro tahun 2010 – 2011.
Kemudian, pencinta warna biru ini memutuskan untuk
berkarir di PT. Strategic Partner Solution dengan menjabat sebagai Marketing Head pada Maret 2011. Baru pada
Maret 2013 lalu, ia menerima tawaran dengan menjadi
International Marketing Head Data On, sebuah perusahaan software HR lokal terkemuka di Indonesia. “Banyak
pengetahuan yang saya terima ketika bekerja di Data On.
Kenapa? Jujur saja karena Ini adalah hal yang bertolak
belakang dengan industri tempat saya
bekerja sebelumnya. Saya banyak belajar
banyak tentang teknologi, HR dan haus
akan pengetahuan membuat pekerjaan
ini sangat menyenangkan,” celoteh
Susan
Ketika ditanya apakah duka yang ia
rasakan selama berkarir, dengan santai,
wanita yang gemar traveling ini menjelaskan bahwa siapapun bisa dijalani
pekerjaan dan profesinya dengan baik
selama ia menyukai pekerjaan tersebut.
“Saya tipikal orang yang ingin semuanya
bisa diatasi. Kalau ditanya pusing atau
tidak, pasti semua pusing. Tapi prinsip
saya, dimanapun saya bekerja saya
akan mencintai pekerjaan saya. Sehingga tidak ada kata bosan atau tidak
suka dengan pekerjaan. Semua pasti
akan berjalan dengan lancar selama
kita berusaha dan berdoa”, tutur Susan
antusias.l Ratri Suyani
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
Ratri Suyani
Susanty Widya Ningsih
n
15 Oktober - 15 November 2013 29
ADVERTORIAL
MKI Corporate University
HC News
Center of Excellence in Business, Leadership & Management
PROGRAM
CHRP
Certified Human Resources Professional
5 Days Intensive Course, In Class Assignments,
and Paper Work after Inclass Program
G
Moduls: Developed Based on Body of Knowledge in Global HR Certification
Facilitators: Experienced Executives & Practitioners in HRM
Examiners: Experts from MKI Corporate University & Kazian Global School of Management
lobalisasi ekonomi dan bisnis berdampak kepada kompetensi
para profesional di berbagai bidang, termasuk mereka yang
mengelola sumberdaya manusia (SDM). Untuk bisa bersaing
di dunia bisnis, para praktisi dan eksekutif manajemen SDM
perlu untuk memiliki kompetensi dalam manajemen SDM yang diakui
secara luas. Bekerjasama dengan Kazian Global School of Manage­
ment yang terafiliasi dengan Mahatma Gandhi University di India
– pusat pembelajaran ilmu bisnis terkemuka di kawasan Asia – maka
MKI Corporate University meluncurkan program Certified Human
Resources Professional (CHRP), di mana para lulusannya berhak
mencantumkan gelar CHRP di belakang namanya sebagai identitas
profesional yang dimiliki. Para pemilik gelar CHRP ini memiliki peluang
lebih besar untuk mengembangkan karirnya dan bekerja secara global.
Tujuan dan Sasaran
Program CHRP
Program CHRP bertujuan untuk menciptakan
profesional manajemen SDM dengan
penguasaan teori dan praktik yang memadai untuk menjalankan peran sebagai
seorang profesional di bidang manajemen SDM.
Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah:
Peserta mampu memahami lingkup kerja
dan dinamika Manajemen SDM, mampu
memahami pendekatan-pendekatan baru
yang aplikatif, dan memiliki keterampilan memadai dalam manajemen SDM.
Peserta CHRP
Peserta Program CHRP adalah profesional di
bidang manajemen SDM, pengalaman kerja di
bidang manajemen SDM minimal 3 tahun.
Informasi dan Pendaftaran
PT Menara Kadin Indonesia (MKI)
(Learning, Consulting, Assessment Center, Research & HCJournal)
Program CHRP dikembangkan mengacu kepada Body of Know­
ledge dari beberapa program Certified yang dikeluarkan oleh The HR
Certification Institute, USA (hrci.org/global). Para peserta Program
CHRP tidak hanya diajarkan tentang berbagai subyek utama dalam
siklus manajemen SDM (HR Cycle), melainkan juga bagaimana membangun dan menjalankan manajemen SDM secara lebih strategik.
Peran strategik tersebut ditunjukkan dalam pengelolaan kompetensi dan kinerja SDM. Semakin disadari oleh perusahaan bahwa
ada keterkaitan langsung antara pencapaian strategi dan sasaran
perusahaan dengan pengelolaan kompetensi dan kinerja SDM. Program CHRP mengintegrasikan kebutuhan riil di tempat kerja dengan
perubahan paradigma yang sedang terjadi dalam dunia manajemen
SDM saat ini dan di masa depan.
Team Fasilitator,
Pembimbing,
dan Penguji CHRP
Team Fasilitator, Pembimbing, dan Penguji
memiliki latar belakang pengalaman praktik
dan konsultansi manajemen dengan pengalaman minimal 15 tahun di berbagai perusahaan
terkemuka. Semuanya memiliki gelar S-2 di
dalam dan luar negeri, di samping S-1 dari
perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.
Proses Sertifikasi
Proses sertifikasi CHRP dilakukan dalam
bentuk serangkaian pembekalan, penugasan,
dan pengujian yang keseluruhannya memakan
waktu sekitar 3 bulan
Modul Program CHRP
Keseluruhan terdapat 9 Modul Pembelajaran dalam waktu 5 (lima) hari efektif
Penyerahan sertifikat CHRP
Sertifikat CHRP akan diserahkan secara
resmi melalui pos, kurir atau pola lain
yang memungkinkan.
Biaya Program CHRP
Biaya program CHRP adalah Rp 12 juta
per peserta (di luar PPN). Biaya tersebut
mencakup: biaya program training 5
hari, modul, bimbingan dan penilaian
tugas in class dan paper pasca program
training, makan siang dan snack selama
program training, sertifikat CHRP, dan
biaya pengiriman sertifikat. Biaya tersebut tidak termasuk biaya transportasi
dan akomodasi peserta selama program
training CHRP.
Gedung Menara Kadin Lantai 24 Jl. HR Rasuna Said, Jakarta
Fax. (021) 527 4443. Email: [email protected]
Contact Person: Mrs. Dedeh, Ms Anti, Mrs. Iin, Mr. Hadi
30 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
(021)
Periscope
The
S
“A”
Team
(Bagian 1 dari 2 tulisan)
elama beberapa dekade, para
peneliti dalam bidang organisasi
telah berupaya untuk mendapatkan ciri-ciri yang membedakan
perusahaan-perusahaan yang berhasil
dan bertahan karena memiliki tim yang
bagus dengan perusahaan-perusahaan
lain yang sebelumnya menorehkan
kinerja sangat gemilang tetapi kemudian
gagal dan bahkan terpaksa hanya tinggal
nama saja.
Perusahaan-perusahaan sangat
membutuhkan tim yang berkualitas
pada setiap tingkatan organisasi mereka
untuk dapat menghadapi beragam
tantangan dan perubahan yang mereka
hadapi dewasa ini dan di masa mendatang.
Anda mungkin saja sudah berupaya
maksimal dan berhasil mendapatkan
anggota-anggota tim yang memiliki
berbagai kompetensi yang dibutuhkan
namun apakah anda dengan demikian
pasti sudah memiliki tim yang berkualitas yang akan menghasilkan kinerja
tinggi?
Kinerja tim yang rendah selalu
merupakan masalah dan akan sangat
Oleh
Husen Suprawinata SE MM ScHK
MKI Executive Partner,
LMI Director & Certified Facilitator
SMI Associate Partner & Certified Coach
berbahaya bila hal tersebut terjadi pada
tim di tingkatan organisasi paling atas.
Apalagi manakala perusahaan berada
dalam keadaan sulit hal tersebut dapat
mengakibatkan perusahaan hancur.
Oleh karena itu perlu dilakukan
evaluasi berkala untuk tidak saja mengidentifikasi berbagai berbagai kelebihan
dan terutama kekurangan-kekurangan
yang ada untuk segera dapat diatasi, melainkan juga untuk dapat mengoptimalkan kinerja tim dengan pendayagunaan
dan penyelerasan berbagai kompetensi
yang dimiliki para anggota tim dengan
sasaran-sasaran strategis yang dimiliki
perusahaan.
Sebuah tim yang tertata dengan baik
akan mampu menghasilkan lebih dari
sekedar penjumlahan kapasitas dari
setiap anggotanya. Sebaliknya, dalam
sebuah tim yang tidak tertata dengan
baik, semua kapasitas yang dimiliki
oleh setiap anggota tim terbuang sia-sia
karena tidak didayagunakan dengan
semestinya.
Didayagunakan adalah kata kunci
yang membedakan sebuah tim yang
berkualitas dan menghasilkan kinerja
tinggi dengan tim dengan kinerja biasabiasa padahal memiliki anggota-anggota
dengan kompetensi dan kapasitas yang
lebih kurang sama.
Tentu saja adalah sangat penting
untuk dapat mengidentifikasi segala
kelebihan dan kekuatan yang dimiliki oleh setiap anggota tim sehingga
dengan talenta-talenta mereka tersebut diharapkan dapat meningkatkan
kinerja perusahaan. Namun pada saat
yang bersamaan, perusahaan juga perlu
untuk dapat mengidentifikasi berbagai
kelemahan dalam kerjasama tim dan
menyelaraskan pendayagunaan semua
talenta yang dimiliki para anggota tim
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 31
Periscope
dengan sasaran-sasaran yang ingin
diraih perusahaan.
Penggunaan sistem penilaian kinerja
selain untuk mengukur hasil-hasil yang
dicapai dibandingkan dengan sasaransasaran, juga perlu dipergunakan untuk
membandingkan berbagai kompetensi
yang telah dimiliki setiap anggota tim
dengan proyeksi kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang perusahaan.
Disinilah peranan sangat penting
dari para pimpinan dalam hal pendayagunaan dan penyelarasan semua talenta
yang ada dalam perusahaan
sehingga merupakan kunci
dari keberhasilan perusahaan dalam mencapai
sasaran-sasaran jangka
menengah dan jangka panjang. Karena tidaklah terlalu
sulit untuk mendapatkan
berbagai kompetensi dan
talenta namun kuncinya
ada pada kemampuan para
pemimpin dalam perusahaan, mulai dari pimpinan
puncak hingga penyelia di
tingkat operasional, untuk
dapat mengatur pendayagunaan kompetensi dan talenta yang sudah
tersedia dan menyelaraskannya dengan
sasaran-sasaran perusahaan.
Dinamika dalam dunia bisnis yang
bergerak dan terkadang berubah arah
dengan sangat cepat membutuhkan
pemimpin-pemimpin yang tidak saja
mampu bereaksi dengan cepat namun
tetap dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas tim yang ada
karena para pimpinan dalam berbagai
tingkatan organisasi tersebut tidak akan
dapat bekerja sendiri.
Berbagai krisis yang menerpa
perekonomian dunia dalam 2 dekade
terakhir telah berdampak luas pada
dunia bisnis di semua negara dan telah
memaksa hampir semua perusahaan
melakukan restrukturisasi, relokasi,
reposisi, atau bahkan terpaksa secara
radikal meredefinisikan ulang model bisnis dan strategi perusahaan-perusahaan
mereka.
Dalam jangka pendek, upaya-upaya
efisiensi mungkin akan menolong perusahaan keluar dari situasi krisis yang
dihadapi namun sering berakibat fatal
untuk jangka menengah dan jangka
panjang. Kenyataan yang sering didapati dalam banyak perusahaan adalah
bahwa banyak tim dalam perusahaanperusahaan tersebut tidak berfungsi
secara efektif. Dalam banyak kasus
mereka terlalu banyak menghabiskan
waktu untuk berbagai wacana, pembi-
caraan, diskusi, debat dan terlalu sedikit
melakukan hal-hal yang mereka bicarakan tersebut. Seringkali wacana-wacana
yang disampaikan hanya berputar-putar
pada masalah yang dihadapi sehingga
masukan-masukan penting yang bisa
didapat dari luar maupun usulan-usulan
bernada kritis dari dalam terabaikan.
Banyak terjadi dalam situasi-situasi
yang kritis, kekompakan tim yang coba
dibina sebelumnya justeru goyah dan
runtuh sehingga perusahaan masuk
dalam situasi krisis.
Dalam banyak perusahaan dimana
ada para pimpinan yang memiliki kompetensi jauh di atas rata-rata dan memiliki juga orang-orang yang memiliki
berbagai kompetensi dalam tim mereka
namun ternyata mereka gagal untuk
memimpin organisasi mereka meraih
potensi yang seharusnya.
Apa yang seharusnya dilakukan
32 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
oleh para pimpinan tersebut sehingga
berbagai talenta yang mereka dan orangorang mereka miliki dapat menghasilkan
kinerja melebihi penjumlahan kapasitas
setiap orang yang ada dalam tim?
Sebenarnya jawabannya sudah
banyak diketahui oleh para pimpinan perusahaan yaitu bahwa mereka
perlu memperluas fokus dari sekedar
memperhatikan kualitas dan kapasitas
masing-masing individu menjadi sebuah
gambaran keseluruhan tim dimana semua kapasitas dan talenta tersebut akan
dipergunakan.
Sebagai pimpinan dalam
organisasi anda perlu mulai
menganalisa struktur, berbagai proses dan perilaku serta
pola pikir yang ada, berbagai
kompetensi dan kapasitas
individu, serta mulai mencoba
berbagai alternatif perubahan
untuk mendapatkan susunan
tim manajemen yang lebih
efektif yang akan dapat memberikan hasil-hasil yang lebih
optimal.
Dalam melakukan
perubahan-perubahan tersebut, penting dijaga transparensi dengan
menyertakan setiap individu yang ada
dalam organisasi untuk berpartisipasi
memberikan masukan dan kritikan
dimana diperlukan.
Faktor penting yang sering terlupakan dalam penyusunan struktur adalah
pola-pola perilaku dan berbagai interaksi antar anggota tim serta interaksi antar
tim yang justeru sering kali menjadi
penyebab utama dari kegagalan sebuah
tim menghasilkan sinergi dimana tujuan
dari penambahan 1+1 dapat menghasilkan lebih dari 2. Struktur dan alur
proses tentu penting namun agar tim
dapat menghasilkan kinerja tinggi akan
diperlukan sebuah suasana dimana pola
perilaku mengacu pada standar-standar
nilai universal. Interaksi yang tidak berjalan baik bahkan bisa kontra produktif
sehingga 1 + 1 menghasilkan bahkan
kurang dari 2. l (Bersambung)
Periscope
Gaya Kepemimpinan Kemandirian
dalam Organisasi Birokrasi
(Solitude Leadership in Bureaucracy Organisation)
M
enjadi seorang pemimpin
berarti banyak kali kita
perlu berdiri dan menunjukkan visi dan misi apa
yang kita punyai. Bagaimana visi dan
misi akan memberikan arti dan dampak
positif kepada orang lain.
Hal yang sama ketika kita bekerja
dalam organisasi birokrasi. Ini tidak
berarti bahwa jika kita bekerja di sana
hidup kita dan masa depan tergantung
pada bos anda dalam organisasi itu.
Pengembangan dan perubahan dimulai
dari diri kita sendiri bukan dari orang
lain. Kita bisa membuat perubahan
melalui solitude leadership (kepemimpinan kemandirian). Menjadi seorang
pemimpin besar tidak menyalin apa-apa
atau melakukan hal yang sama yang
bos kita lakukan dan tidak lakukan di
kantor.
William Deresiewicz mengatakan
dalam tulisannya Solitude and Leadership dalam kuliahnya di United States
Military Academy di West Point pada
October 2009,
"Itu benar-benar misteri besar
tentang birokrasi. Mengapa begitu sering
bahwa orang-orang terbaik yang terjebak di tengah orang-orang yang menjalankan kepemimpinan – adalah orang
yang mediokrasi? Karena keunggulan
biasanya bukan apa yang membuat
Anda buat untuk berhasil menaiki tiang
yang berminyak. Tapi apa yang membuat Anda berhasil di dalam organisasi
birokrasi adalah bakat untuk melakukan
manuver. Mencium dan orang-orang
di atas Anda, menendang dan membuang orang-orang di bawah Anda.
Menyenangkan guru atau dosen Anda,
menyenangkan atasan Anda, memilih
mentor yang kuat dan sedang naik dan
Oleh
Ir. Andy Budi Janto Sutedja, M.Sc.
The Best Strategic Leadership Coach
di Indonesia
Master License dari
Leadership Management Indonesia
www.lmindonesia.com
[email protected]
anda mengekor sampai saatnya untuk
menikamnya dari belakang. Meloncat
melalui lingkaran. Bergaul dengan pergi
bersama dan menjadi apapun orang lain
inginkan anda menjadi, sehingga akhir­
nya datang tampak. Anda tidak dalam
diri Anda sama sekali. Tidak mengambil
risiko, menurut anda bodoh seperti
mencoba untuk mengubah bagaimana
hal tersebut dilakukan atau bertanya
mengapa mereka begitu. Hanya menjaga
rutinitas saja yang terjadi."
Anda tidak akan menjadi pemimpin
yang berbeda dengan bos Anda, titik!
Jika kita tidak mengubah ini, kita
akan mengalami krisis kepemimpinan
dalam tengah-tengah kita seperti dalam
pemerintah Amerika yang William
Deresiewicz sampaikan. Hal yang sama
terjadi di negara kita tercinta, Indonesia
juga. Kita memerlukan Solitude Leadership – pemimpin yang mempunyai
prinsip (kemandirian).
Kita harus berdiri dan mengambil keputusan. Kita membutuhkan
pemimpin-pemimpin seperti Anda dan
saya untuk berdiri, memiliki keberanian baik mental maupun moral yang
penuh keberanian, percaya diri, berani mengambil resiko, pemikir besar,
pemimpin yang bervisi perubahan dan
perbaikan masa depan, perencana dan
agen perubahan. Pergerakan ini di Indonesia sudah mulai terlihat di beberapa
tempat seperti di KPK dan Gubernur Wakil Gubernur DKI. Kita memerlukan
lebih banyak yang demikian.
Menjadi pemimpin kemandirian
tidak berarti anda akan betul-betul
seorang diri melakukan semuanya itu.
Seperti Johnny Depp bermain sebagai
orang Indian Comanche di filmnya The
Lone Ranger, ia menemani Lone Ranger
untuk saling meluruskan masing-masing
perspektif satu dengan yang lain.
William menambahkan bahwa,
"Anda perlu satu orang lainnya yang dapat Anda percaya, satu orang lain kepada
siapa Anda bisa mengungkapkan jiwa
Anda. Satu orang lain yang mana Anda
merasa cukup aman untuk memungkinkan Anda untuk mengakui hal-hal
tertentu, dan untuk hal-hal tertentu
mengungkapkan diri anda - yang Anda
sendiri tidak biasa lakukan."
Menjadi pemimpin besar dimulai
dari dalam dan namun kita memiliki seseorang yang kita percaya untuk
membuat introspeksi dan meluruskan
nilai-nilai dan pemikiran kita.
Kami tidak pernah kehabisan
pemimpin besar dalam organisai
birokrasi dengan kepemimpinan
kemandirian. Ya, kita dapat membuat
perubahan. l
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 33
Konsultasi Pajak
Mekanisme Penghitungan
Pajak Penghasilan Atas
B
agaimana perbedaan ketentuan
withholding tax (pemotongan)
PPh 21 terhadap karyawan asing
yang pertama sifatnya adalah
estimasi (asumsi ia mulai berada di Indonesia sejak AWAL TAHUN SEHINGGA
DIKALI 12), dan yang kedua adalah
berkaitan dengan penghitungan ulang
pada SPT pribadi yang bersangkutan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,
yaitu ternyata sudah berada di Indonesia sejak 20 April 2013. Perhitungan
PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh perusahaan, yaitu dengan menyetahunkan
penghasilan sebulan?
Jawab :
Hal yang perlu diketahui adalah Warga
Negara Asing bisa dikategorikan sebagai Subjek
Pajak Dalam Negeri (SPDN) jika bertempat
tinggal di Indonesia melebihi Time Test 183 hari sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPPh.
Pertama, Perhitungan PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh
perusahaan, yaitu dengan menyetahunkan penghasilan sebulan menjadi 12 bulan. Lalu setelah diperoleh pajaknya setahun,
maka PPh sebulannya dibagi 12. Perhitungan PPh 21 ini sudah
sesuai dengan petunjuk pemotongan PPh Pasal 21.
Kedua, Penghitungan PPh di SPT Orang Pribadi yang bersangkutan. Prinsipnya adalah melakukan penghitungan ulang
atas seluruh penghasilan yang diterimanya dalam 1 tahun
pajak. Dan karena keberadaan dia di Indonesia adalah sejak
20 April, yang berarti dalam tahun tersebut adalah selama 251
hari. Jumlah penghasilan yang diterima selama 251 hari adalah
kebetulan hanya dari gaji ia bekerja selama 5 bulan sebesarRp
97.500.000,- yang ini berarti adalah seluruh penghasilan yang
diterimanya selama 251 hari di tahun 2010. Sehingga penyetahunan penghasilan adalah dengan 360/251 x Rp 97.500.000,-.
Tentu saja akan menghasilkan jumlah PPh yang lebih kecil dengan yang sudah dipotong sehingga akan terjadi lebih bayar.
Duaperhitungan di atas memang berbeda sudut pandang,
yang no.1 adalah berkaitan dengan withholding tax (pemoton34 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
gan) PPh 21 yang sifatnya adalah estimasi (asumsi ia mulai berada di Indonesia sejak memperoleh penghasilan), no.2 adalah
berkaitan dengan penghitungan ulang pada SPT pribadi yang
bersangkutan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, yaitu
ternyata sudah berada di Indonesia sejak 20 April 2013
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam
negeri, terutang untuk Tahun Pajak adalah jangka waktu 1
(satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Namun demikian, untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri dapat saja terjadi terutang pajak dalam Bagian Tahun
Pajak, yaitu dalam hal kewajiban pajak subjektif orang pribadi
tersebut baru timbul atau berakhir dalam tahun berjalan. Apabila orang pribadi bertempat tinggal atau berada di Indonesia
hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun
pajak tersebut menggantikan tahun pajak.
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (WPOP DN) yang
terutang dalam bagian tahun pajak, yaitu dalam hal :
a. Baru berada atau bertempat tinggal di Indonesia dalam
tahun berjalan
b. Meninggal dunia dalam tahun berjalan
c. Meninggalkan Indonesia selamanya dalam tahun berjalan
15 Oktober - 15 November 2013
Konsultasi Pajak
Warga Negara Asing
Bagaimana penghitungan pajaknya?
Contoh Kasus, sebagai berikut :
Mr. Hollanda (TK/1) berkewarganegaraan Belanda datang
ke Indonesia tanggal 20 April 2013 dan berniat menetap di Indonesia. Kemudian bekerja sebagai pegawai tetap pada sebuah
perusahaan terkemuka di Indonesia mulai 01 Agustus 2013
dengan gaji sebesar Rp. 20.000.000 sebulan.
Apabila Mr. Hollanda sudah ber-NPWP sejak tanggal 25
April 2013, berapa besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong
setiap bulan, dan berapa besarnya PPh terutang dalam bagian
tahun pajak 2013?
Pembahasan :
Mr. Hollanda pada saat datang di Indonesia tanggal 20
April 2013 berstatus tidak kawin dengan satu tanggungan.
Penghitungan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian
tahun pajak, yaitu tanggal 20 April 2013. Dengan demikian
PTKP untuk tahun 2013 adalah TK/1.
Pertama,
Penghitungan PPh Pasal 21 setiap bulan :
Gaji sebulan = Rp. 20.000.000
Biaya Jabatan (5% X Rp. 20.000.000) = Rp. 500.000
(maksimum diperkenankan)
Penghasilan neto sebulan
= Rp. 19.500.000
Penghasilan neto disetahunkan = Rp. 234.000.000
PTKP (TK/1)
= Rp. 26.325.000*
Penghasilan Kena Pajak = Rp. 207.675.000
PPh Pasal 21 disetahunkan = Rp. 26.151.250
PPh Pasal 21 harus dipotong sebulan = Rp. 2.179.271
Dengan demikian PPh Pasal yang telah dipotong tahun 2013
(Agustus sd. Desember) = 5 X Rp. 2.179.271 = Rp. 10.896.355
Kedua,
Penghitungan PPh terutang untuk bagian tahun pajak 2013 :
Penghitungan Bagian Tahun Pajak :
Bulan April (tgl. 20 sd. Tgl. 30) = 11 hari
Bulan Mei sd. Desember
= 8 X 30 hari = 240 hari
Bagian Tahun Pajak
= 240 hari + 11 hari = 251 hari
Penghasilan neto sebulan
= Rp. 19.500.000
Boy Sinaga
Tax Consultant
Penghasilan neto (Agt sd. Des)
Penghasilan neto disetahunkan
(360/251 X Rp. 97.500.000 )
= Rp. = Rp. 97.500.000
139.840.637
PTKP (TK/1)
= Rp. Penghasilan Kena Pajak
= Rp. PPh terutang disetahunkan
= Rp. PPh terutang dalam Bagian Tahun Pajak =
251/360 x Rp. 12.027.346 = Rp. 26.325.000*
113.515.637
12.027.346
8.385.733
Telah dipotong PPh Pasal 21 Agustus sd. Desember
= Rp. 10.896.355
PPh yang lebih dibayar
=
(Rp. 2.510.622)
pada Penghitungan PPh Pasal 21 setiap bulan
PPh Pasal 21 disetahunkan
= Rp. 26.151.250
Karena kewajiban pajak subjek baru ada dalam tahun berjalan,
maka penghasilan-nya disetahunkan.
Ph Kena Pajak
= Rp. 207.675.000,PPh terutang :
5% X 50.00.000
= Rp. 2.500.000,15% X 157.675.000
= Rp. 23.651.250,Jumlah = Rp. 26.151.250,*PTKP yang berlaku per- 1 Januari 2013 (PMK-162/
PMK.011/2012)
Penulis adalah tax consultant Solusi Protax
Kantor Konsultan Pajak Solusi ProTax
Perkantoran Indo Ruko Jl. Daan Mogot II No. 100H-I Jakarta 11470
Telp. 021-5669 659|082111049623 Fax. 021-5669 629
Email: [email protected] / [email protected]
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013 35
Column: Business Management
Trial N
S
aat yang paling kritis sedang dihadapi
oleh seorang kandidat General Manager Marketing, di salah satu korporasi
yang telah go public. Akhir dari proses
rekruitmen yang harus dia jalani adalah
personal interview, dihadiri oleh Founder sekaligus Presiden Komisaris dari korporasi, bersama
CEOnya.
Setengah jam telah berlalu, saat sang Founder
mulai berbicara. Korporasi diminta mempersiapkan dan mengisi posisi GM Export untuk kandidat, bukan sebagai GM Marketing. Si kandidat
pun tertegun dan balik bertanya, saya punya background, job experiences dan personal strength di
bidang marketing, dan saya datang ke sini untuk
bisa ikut berkontribusi kepada korporasi, sesuai
keahlian saya.
Kenapa tiba tiba saya harus masuk ke bidang
ekspor yang masih zero, perlu waktu lagi untuk
adaptasi dan belajar? Dengan tersenyum, sang
founder berujar, bahwa dari pengamatan interview ini, dia yakin kandidat mampu di bidang baru
ini, dan dalam waktu 3 bulan ke depan, seandainyapun gagal, dipersilakan untuk memimpin direktorat marketing seperti rencana semula. Tiga bulan berlalu, sang talent yang menjadi GM Export
pun bergembira, karena kesuksesannya. Korporasi
merasakan hasil dari kinerjanya, dengan dibukanya pasar produk mereka ke Timur Tengah, sampai
ke Rusia. Potensi, bakat, pengalaman, kerja keras
dan dukungan manajemen telah menghasilkan
seorang profesional baru di bidang International
Marketing, bermanfaat bagi korporasi sekaligus
sang talent.
Inilah satu keputusan ‘Trial N Error’ yang
berhasil, meski hanya berdasar instink dan feeling.
Ini adalah suatu percobaan yang beresiko tinggi,
bagi korporasi, dan tentunya bagi talent, yang seandainya gagal dalam kinerjanya, membuat kepercayaan diri talent akan jatuh. Instink ataupun feeling memang berperan besar dalam hal ini, tetapi
bukankah feeling dan instink itu lebih bersifat
subjektif dan sulit diukur?
36 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
Kompetensi
Dalam setiap sesi interview yang dilakukan
oleh seorang Direktur ataupun Kepala Bagian
bersama HR, sudah lazim ditanyakan kepada
kandidat, apa ‘personal strength’ saudara? Dan
apa yang menjadi ‘kelemahan’ saudara? Jawaban
yang diberikan kandidat bisa terbaca, apakah dia
membual, over confidence, jujur, atau sebaliknya
tidak percaya diri, dengan cara membandingkan
dan membaca data pribadi, referensi dan hasil test
sebelumnya termasuk psikotes.
Korporasi sudah selayaknya menganggap
si talents, sebagai calon capital goods sebagai
bagian dari human capital, yang ikut dalam proses manajemen mencapai missinya. Si talent akan
ikut menentukan upaya pencapaian manfaat dan
produktifitas, sejajar dengan bentuk capital goods
lainnya, seperti mesin, modal, teknologi dan lain
lain. Ada hal yang menarik dengan 2 pendekatan
untuk mengoptimalkan potensi talents, seandainya diputuskan untuk diterima di dalam korporasi.
Yaitu, dengan memberikan pelatihan untuk meminimalisir kelemahan talents. Atau sebaliknya, dengan mendapatkan personal strength yang sesungguhnya, mengembangkan dengan intensif ‘plus
point‘ tadi untuk keahlian yang optimal dan dimanfaatkan penuh oleh korporasi.
Memompa plus point akan menjadikan talents
konsentrasi dalam kinerja, mendapatkan kompetensi sesuai standard korporasi, dan otomatis
meninggalkan minor yang menjadi kelemahannya.
Untuk mendeteksi, apa dan seperti apa bakat yang
akan menuntun talents kepada kompetensi tinggi,
diperlukan suatu personal mapping, atau sering
disebut sebagai talents mapping. Diperlukan value
of attitude, beliefs, abilities, knowledge, skill dan
lainnya, maka tidaklah mudah mendeteksi untuk
mendapatkan ’strength’ yang benar dia miliki.
Hal ini perlu satu sistem baku dan pengetahuan psikologi dari seorang talents. Ilustrasi yang
factual telah diberikan oleh satu kebijakan yang
diambil Kementerian Diknas cq Direktorat Dikti,
dengan mengimplementasi satu program pendidi-
Oleh : Drs. Eddie Priyono. MM
Not Error
kan strata D3, dimulai di satu Universitas tertua dan terbesar di Indonesia. Disebut Program
pendidikan untuk Warga Negara Berkebutuhan
Khusus, jurusan Politeknik. Mahasiswa seperti
ini, yang biasa IQ nya sedikit dibawah normal dan
disebut sebagai ‘border line’, kecenderungan autis
dan kadang motoric yang slow, sangat sulit diketahui bakat, kemampuan yang tersimpan.
Mereka diberikan pelatihan agar satu saat
bisa hidup mandiri, bisa ditemukan dalam talents
mapping mereka, satu bakat dan keahlian yang
dikembangkan, bahkan melebihi seseorang yang
normal. Perjuangan yang berat bagi dosen dan
pembimbingnya, karena dalam semester pertama,
sangat intens diadakan pendampingan termasuk
oleh para ahli psikologi, mendapatkan hasil mapping bakat si mahasiswa.
Setelah satu semester, dan diketemukan potensi, bakat dan sesuatu yang bisa dikembangkan
menjadi produktif, maka semester berikutnya
adalah saatnya mendidik dan mengembangkan
plus point, menjadi suatu skill, knowledge, abilities untuk kemandiriian. Mapping kepada anak
berkebutuhan khusus memang terasa berat, namun sebenarnya mapping kepada talents jauh
lebih berat, dikarenakan para talents yang bisa
dan biasa memodifikasi dirinya, dengan keingin­
an yang berbeda dengan personal strength yang
sebenarnya. Assesment terhadap real potensi ini,
secara jujur bisa menemukan potensi kekuatan
dan bakat dominan si talents, melalui satu system
assessment yang professional oleh para ahli ta­
lents mapping.
Self confidence, adalah kata kunci untuk seorang talents, setelah dia berhasil menemukan
personal strength yang sebenarnya, dan didukung
serta difasilitasi oleh korporasi untuk menjadikan kompetensi sesuai standard korporasi. Trial
janganlah menjadi error, karena bisa menjadi
bencana bagi korporasi. Trial boleh dilaksanakan
untuk mengukur kinerja, setelah tahu bakat, kemampuan dan pengembangannya sesuai assessment personal mapping. Trial but not error.
Biarlah pengalaman GM Export tadi menjadi
kenangan manis karena good feeling CEO. Kita
tunggu hasil personal mapping di pendidikan
Politeknik untuk warga negara berkebutuhan
khusus, mendapatkan bakat terpendam, dikembangkan dan berguna dalam kemandirian me­
reka. Berguna untuk nusa bangsa.
Semoga. l
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
Penulis adalah
Penasehat Lembaga
Pusat Studi dan
Komunikasi
Pemerintahan
(PUSKOPEM), Direktur
PT. Victory Jaya Perkasa
dan pendiri Yayasan
Quantum Galaxi
15 Oktober - 15 November 2013 37
Column: Managerial & Leadership
Leaders Must be Able t
(Setiap Pemimpin harus mampu untuk M
S
etiap usaha bisnis memiliki tujuan yang
seragam, yaitu untuk mengembangkan
pendapatan dan laba perusahaan. Agar
laba usaha dapat meningkat, maka perlu terjadi peningkatan pendapatan atau
penurunan biaya. Pendapatan usaha dapat me­
ningkat sejalan dengan Nilai Tambah atau Values
yang meningkat semakin tinggi. Bila tidak terjadi peningkatan Nilai Tambah, maka akan tidak
terjadi peningkatan Pendapatan. Demikian pula
dengan aspek biaya, bila tidak terjadi peningkat­
an Nilai tambah baik pada proses produksi atau
operasi, maka tidak akan terjadi efisiensi.
Nilai tambah adalah merupakan hasil dari
kreatifitas dan inovasi karyawan terhadap berbagai aspek produksi atau operasi pada perusahaan. Untuk maksud inilah maka seluruh jajaran
pemimpin harus mampu untuk memiliki kompetensi yang kuat pada bidang Managerial, Leadership dan Business. Dengan kompetensi yang
tinggi para pemimpin akan mampu untuk menciptakan kondisi kerja yang kondusif sehingga
memungkinkan terjadinya proses pengembangan
kreatifitas dan pembentukan Inovasi.
Kondisi kerja yang kondusif akan dapat tercipta melalui kemampuan leadership yang kuat.
Sedangkan pengetahuan dan wawasan yang luas
pada aspek bisnis, pasar, produk dan manajemen,
akan dapat menciptakan kreatifitas dan inovasi
yang pada akhirnya akan menghasilkan Nilai
Tambah.
Pada perusahaan yang memiliki kondisi kerja
yang buruk atau tidak kondusif, maka tidak akan
mungkin menghasilkan kreatifitas dan inovasi.
Terlebih lagi bila para pimpinan memiliki leadership style yang kurang/tidak ethical, seperti se­
ring mencela, atau memimpin dengan kekerasan,
komunikasi yang cenderung menimbulkan demotivasi karyawan. Bila pada perusahaan tidak
tercipta kreatifitas dan inovasi, maka perusahaan
tersebut cenderung akan mengalami perlambatan
dalam pertumbuhannya.
38 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
Jadi, kreatifitas dan inovasi hanya dapat tercipta dengan baik, bilamana hubungan antar kar­
yawan secara vertical maupun horizontal da­pat
terjalin dengan baik dan kondisi kerja terbentuk
dengan kondusif.Untuk itulah maka sa­ngat pen­
ting bagi setiap jajaran pemimpin untuk memiliki kemampuan leadership yang kuat. Salah satu
kesalahan yang cukup fatal terjadi pada banyak
perusahaan ialah dengan memilih pimpinan nya
berdasarkan kompetensi teknis. Seseorang yang
memiliki keahlian di bidang teknis, belum tentu
memiliki leadership atau soft skill yang kuat. Bilamana hal tersebut terjadi, maka sangat tidak
disarankan untuk mempromosikan karyawan
tersebut menjadi manager.
Langkah proses pembentukan kreatifitas dan
inovasi, dapat dilakukan sebagai berikut:
I. Membentuk Creative & Innovation Culture (Budaya Kreatifitas dan Inovatif)
Sebagai media untuk dapat terciptanya kreatifitas karyawan, maka setiap pimpinan mutlak
untuk terlebih dahulu membangun kondisi dan
hubungan kerja yang kondusif. Hal ini agar dapat
melakukan pengembangan produk, system prosedur, metodologi, policy, dsb. Untuk itu pimpinan
perlu untuk berperilaku ‘rendah hati’, bersikap
selalu positif, dinilai ‘credible’ oleh team nya, dan
memiliki kemampuan komunikasi yang inspiratif
dan efektif.
Pimpinan atau manager yang rendah hati dan
bersikap positif, akan sangat efektif untuk mewujudkan kondisi kerja yang kondusif, karena antara
lain akan baik dalam ‘mendengar serta mencerna’
masukan atau ide dari teamnya. Tentu saja harus
disertai pula dengan kompetensi yang menunjang. Penilaian ‘credible’ adalah terwujud dari
aspek Integritas, Kompetensi, dan Komunikasi
yang efektif. Dengan demikian maka seluruh
team akan sepenuhnya percaya (Trust) terhadap
pimpinannya.
Dengan mengaplikasikan leadership style
Oleh : Brata Taruna Hardjosubroto
to Create High Values
Menciptakan Nilai Tambah yang Tinggi)
tion’. Jadi pada sesi ini, seluruh team diharapkan memberi kontribusi pemikiran
yang kreatif dengan pola normative ataupun ‘out of the box’. Seluruh idea harus di
inventori, tanpa ada unsur penolakan.
Setelah seluruh idea tercatat dengan
baik, maka mulai dilakukan proses seleksi
atas ide-ide yang dinilai baik dan dimungkinkan untuk di adopsi. Dari seluruh ide
yang di adopsi tersebut, kemudian dilakukan evaluasi lebih rinci dan seksama, sehingga diperoleh urutan ide yang di nilai
acceptable. Proses ini merupakan proses
‘short listed’.
yang sesuai, pimpinan tersebut perlu secara regular ‘menstimulasi’ team nya untuk selalu berfikir
kreatif atau memberikan masukan ide yang kreatif. Kondisi yang berlangsung terus menerus,
akan membentuk budaya ‘learning organization’,
dan akan menghasilkan banyak kreatifitas dan
inovasi.
II.Menetapkan Sasaran yang harus dicapai, dan menerapkan ‘Creative Strategy’
Agar dapat tercipta ‘nilai tambah’ yang tinggi,
maka perlu diawali dengan ‘sasaran kerja’ yang
tinggi pula. Penentuan sasaran kerja adalah
melalui proses ‘planning’ atau perencanaan, baik
ditingkat korporat maupun planning di tingkat
departemental. Perlu diingat bahwa untuk menentukan sasaran, harus dilandasi pula dengan
faktor eksternal, yang meliputi antara lain kondisi
ekonomi, situasi pasar, regulasi, profil pelanggan,
dsb. Selain itu juga perlu untuk memahami kondisi internal, dimana pada proses strategic management dikenal dengan SWOT.
Proses pembentukan ‘creative strategy atau
program’ dilakukan dengan proses yang bertahap.
Diawali dengan session yang disebut ‘idea genera-
III.Pengambilan Keputusan untuk
Implementasi
Proses selanjutnya ialah pengambilan keputusan atas seluruh alternative creative idea yang
dinilai paling baik. Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan cara melakukan evaluasi
lanjutan atas alternative yang ada, dan juga dilakukan simulasi atas feasibility atau probabilitas
keberhasilan, bilamana nantinya diterapkan.
IV.Implementasi, Monitoring, Evaluasi
dan Korektif
Implementasi creative solution atau idea yang
terpilih, diawali dengan merumuskan rencana
kerja atau penyusunan ‘operating plan’. Hal ini
untuk meyakinkan agar proses implementasi dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Selanjutnya, hasil implementasi harus dilakukan monitoring dengan seksama dan disesuaikan dengan
harapan atas tingkat keberhasilan nya. Bila dari
hasil evaluasi, ternyata diperlukan perubahan
atau penyesuaian, maka perlu untuk segera dilakukan koreksi seperlunya. Proses monitoring
dan evaluasi tetap terus dilakukan hingga seluruh implementasi sudah sesuai dengan hasil yang
diharapkan. l
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
Penulis adalah
mantan Eksekutif
IBM & Indosat Group,
sekarang berprofesi
sebagai Executive
Coach dan Practice
Leader MKI Corporate
University.
15 Oktober - 15 November 2013 39
Column : Success Motivation
Latihan, La
D
alam suatu kesempatan saya menghadiri suatu konser musik yang
menampilkan para anak-anak dan
remaja-remaja yang memiliki ta­
lenta dibidang musik untuk memperlihatkan keahlian mereka dalam memainkan
beragam alat musik, ada yang tampil solo, duet,
dan juga kelompok. Sebagian tampil dengan sa­
ngat memukau, namun ada juga yang biasa-biasa
saja. Saya sempat berbicara dengan seorang panitia pelaksana yang juga seorang guru musik, dan
dia bercerita bahwa acara ini dibuat secara rutin
setiap tiga bulan untuk memberikan kesempatan
kepada para murid-murid di sekolah musik yang
dikelolanya untuk memperlihatkan talenta yang
dimiliki mereka khususnya kepada para orang
tua yang telah mempercayakan anak-anak me­
reka. Namun guru musik tersebut kemudian menambahkan bahwa banyak anak-anak tersebut
yang memiliki bakat yang luar biasa namun tidak
tampil dengan memukau, namun sebaliknya
ada anak-anak yang bakatnya biasa, namun bisa
tampil dengan sangat memukau. Ketika saya ta­
nyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi, dia kemudian menjelaskan bahwa ada 3 alasan mengapa mereka yang bakatnya biasa-biasa saja namun
dapat tampil dengan luar biasa yakni LATIHAN,
LATIHAN dan LATIHAN. Jadi talenta atau bakat
saja tidak cukup, diperlukan latihan, latihan dan
latihan untuk mempertajamnya.
Hal yang sama juga berlaku dalam dunia Olah
Raga dan Seni Peran (keartisan). Michael Jordan
sang maha bintang bola basket NBA, melakukan
latihan, latihan, latihan bidikan sambil melompat ratusan kali setiap harinya, dan tanpa kecuali
Christiano Ronaldo, pemain sepakbola dengan bayaran tertinggi saat ini, sering kali terus melakukan latihan dengan menjejerkan bola-bola dari
berbagai jarak dari gawang dan berlatih, berlatih
dan berlatih untuk mencetak gol. Dia menjadi top
score ketika membela tim elite Manchester United dan sekarang di Real Madrid. Begitu juga Jim
Carrey yang merupakan seorang komedian dan
40 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
15 Oktober - 15 November 2013
bintang film yang memasang tarif tinggi dalam
sebuah film yang dibintanginya, memiliki talenta
yang unik karena dia dapat mengubah wajah serta
tubuhnya sedemikian rupa dan terkadang seolaholah tampaknya ia terbuat dari karet, dan hal ini
bisa terjadi karena ketika masih remaja dia menghabiskan waktu berjam-jam setiap harinya berlatih, berlatih dan berlatih di depan cermin. Mereka
bertiga menyadari bakat uniknya, dan mereka
terus mempertajamnya dengan melakukan tiga
hal yakni LATIHAN, LATIHAN dan LATIHAN.
Lantas bagaimana dalam dunia bisnis dan
manajemen serta ketenaga kerjaan? Mungkin
kita seringkali melihat banyak karyawan, staf,
dan manajer, yang seharusnya memiliki potensi
dalam suatu posisi pekerjaan yang telah dipercayakan oleh para pimpinan ataupun pemilik
bisnis kepada mereka, namun ternyata dalam
menjalankan tugas yang diembannya tidak memberikan kinerja seperti apa yang diharapkan.
Dalam suatu sesi pelatihan di bidang penjualan,
kami seringkali membandingkan kinerja se-
Oleh : Gani Gunawan Djong, ICM, ICC
atihan, Latihan
orang Top Sales dengan yang Average serta Under Perform, ternyata mereka semua memahami
produk-produk yang dijualnya, mereka juga tahu
kepada siapa harus menjualnya, namun ada yang
membedakannya, yakni seorang Top Sales, selalu
melatih dirinya dengan lebih banyak melakukan
Daily Sales Activity melalui Sales Call dan Visit
serta terus mengembangkan Skillnya, yang akhir­
nya mereka mempunyai Sales Habit yang berbeda
dengan mereka yang kinerja rata-rata dan rendah. Hal yang sama juga berlaku bagi para Manager yang belum tentu semuanya memiliki jiwa
kepemimpinan (Leadership), dimana diperlukan Latihan, Latihan, serta Latihan.
Ada 3 hal yang perlu diketahui mengenai pentingnya latihan. Yang pertama bahwa Latihan
akan memampukan perkembangan seseorang
untuk memiliki keahlian baru, dan disini letak
permasalahannya, apakah seseorang memiliki
kemauan untuk melakukannya. Jika anda ingin
memperbaiki dan mengembangkan diri, maka
anda harus berlatih, karena itu akan mengizin­
kan anda untuk memecahkan rekor anda sendiri
dan melampui apa yang anda lakukan kemarin.
Dan jika latihan ini dilakukan dengan tepat akan
membuat anda semakin baik dan jika sebaliknya
akan mengurangi potensi anda. Hal yang kedua,
bahwa melalui latihan akan menuntun anda pada
suatu penemuan, karena kinerja anda akan
terus diperbaiki dan semakin menemukan lingkungan yang tepat serta ada harga yang harus
dibayar untuk mencapai tingkat selanjutnya. Dan
hal yang ketiga adalah setiap latihan menuntut
adanya disiplin, seperti apa yang dikatakan oleh
filsuf Yunani Aristoteles ; “keunggulan adalah
suatu seni yang dimenangkan oleh pelatihan
dan kebiasaan”
Suatu latihan akan menjadi efektif jika ada 5
unsur didalamnya. Yang pertama adalah setiap
orang yang sukses pasti memiliki nasihat dan
pendapat dari para guru dan pelatih yang baik.
Dan mereka seperti juga para pemimpin yang
baik mengetahui kekuatan dan kelemahan seseorang yang dipimpinnya. Unsur yang kedua, adalah sesorang hanya dapat menjadi lebih melalui
latihan jika memang orang tersebut mengingin­
kannya, seperti yang dikatakan oleh Andrew Carnagie ; “ tidak ada gunanya sama sekali berusaha
menolong orang-orang yang tidak mau menolong
diri mereka sediri “. Unsur ketiga bahwa se­
seorang yang mau sukses harus memiliki maksud dan sasaran yang jelas dari latihan tersebut.
Unsur yang keempat bahwa seseorang harus menyadari potensi dalam dirinya, dan hanya akan
menjadi maksimal jika dia mau terus melatih
dan mengembangkannya. Survei menyatakan
bahwa rata-rata orang hanya menggunakan 25%
hingga 35 % dari potensinya. Dan unsur kelima
adalah sumber daya yang tepat. Karena bisa saja
seseorang sudah menemukan pelatih / pembim­
bing yang tepat, memusatkan perhatian pada bidang potensinya, memberikan yang terbaik, dan
melakukan dengan maksud tertentu, tapi jika
tidak disertai sumber daya yang tepat, anda juga
bisa gagal. l
Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
Gani Gunawan
Djong, ICC, ICM
SMI (Success Motivation Institute) Coach/
Trainer/Writer
15 Oktober - 15 November 2013 41
LEARN, SHARE & CREATE VALUE
Measuring, Mapping, and
Improving Corporate & Employee
Productivity
Gedung
Menara Kadin Lantai 24/29
Jl. HR Rasuna Said, Jakarta
Selasa 29 Oktober 2013
Pukul 13.15 – 16.15 WIB
Pendahuluan
M
anajemen organisasi selalu dihadapkan kepada persoalan tingkat produktifitas perusahaan dan pegawai. Produktifitas merupakan indikator kinerja utama dari sebuah
organisasi dan seluruh pegawai yang ada di dalamnya. Dengan perkataan lain, produktifitas merupakan unjuk kinerja dari sebuah organisasi dan para pegawai. Produktifitas adalah kata kunci dalam persaingan bisnis maupun antar bangsa. Produktifitas menentukan
hidup-mati perusahaan.
Sayangnya, produktifitas pegawai Indonesia dianggap rendah oleh para pengusaha. Kamar Dagang
Korea Selatan menilai pro¬duktivitas karyawan di Indonesia rendah jika dibandingkan dengan
pekerja di negara Asia lainnya. “Dibandingkan dengan Cina, Thailand, Pakistan, dan Bangladesh,
produktifitas pekerja di Indonesia sangat rendah. Daya saing kurang, produktivitas kalah jauh,
dan harus ada training center,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Korea, Lee Kang Hyun,
dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Lantas, apa yang perlu dilakukan segera oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia? Pertama,
tentu, melakukan pengukuran tingkat produktifitas perusahaan dan pegawai. Atas dasar itu, setiap
perusahaan bisa melakukan benchmarking dengan perusahaan sejenis di dalam dan luar negeri
tentang sejauh mana tingkat produktifitas perusahaan dan karyawannya. Langkah ini akan menghasilkan gap produktifitas. Kedua, menetapkan langkah-langkah untuk meningkatkan produktifitas perusahaan dan para pegawainya untuk menutup gap produktifitas tersebut.
HC Forum kali ini akan membahas kedua langkah terpenting di atas.
Pembicara
Biaya Investasi
1. Ir. Syahmuharns, MBA., Director PT Menara Kadin Indonesia (MKI): “Measuring & Mapping Company Productivity
Against Competitors”
2. Husen Suprawinata, Bc.Hk, MM., Executive Partner
MKI & Mantan CEO ICI Paints, American Standard & Catur
Perdana Adisantosa: “How to Improve Employee Productivity Effectively”.
Rp 350.000 per peserta dengan diskon khusus untuk jumlah
peserta 2 orang ke atas dari 1 organisasi. Peserta akan mendapatkan snack, kopi-teh, sertifikat, dan materi terkait.
Pendaftaran & Informasi
Hubungi :
Ridwan, Andedes, Ratri, Hadi, Iin, Purwanti, Dedeh
PT Menara Kadin Indonesia (MKI)
(Learning, Consulting, Assessment Center, Research & HCJournal)
Peserta
Gedung Menara Kadin Lantai 24
Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Fax. (021) 527 4443.
Email: [email protected]
(021)
Seluruh praktisi HR, jajaran manajemen, dan pihak-pihak yang
terkait dengan peningkatan produktifitas perusahaan maupun
pegawai.
5790 3840
This forum is fully supported by:
HUMANCAPITAL
Achieving Human Capital Excellence
JOURNAL
42 Human Capital Journal n No. 28 n Tahun III
n
humancapital
Portal
www.humancapitaljournal.com
15 Oktober - 15 November 2013
Download