BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ikan Patin Ikan

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Ikan Patin
Ikan patin merupakan anggota kelompok catfish dari perairan Asia
Tenggara yang beriklim tropis dengan suhu berkisar 22-260C dengan pH
6,7-7,5. Ikan patin termasuk ikan dasar, namun sesekali muncul ke
permukaan air untuk menghirup oksigen langsung dari udara. Pada habitat
aslinya di sungai dan muara sungai, patin bersifat karnivora dengan
makanan berupa ikan-ikan kecil, cacing, serangga, udang-udang kecil, dan
moluska. Panjang ikan untuk keperluan konsumsi umumnya berkisar 3035 cm, namun panjang ikan dapat mencapai 120 cm. Di Indonesia terdapat
13 jenis spesies ikan patin dengan daerah penyebaran terutama di Jawa,
Sumatera dan Kalimantan. Jenis ikan patin di antaranya adalah patin siam
(Pangasius hypophthalmus), patin jambal (Pangasius djambal), P.
humeralis, P. lithostoma, P.macionema, P. micronemus, P. nasutus, P.
niewenhulsii, dan P. polyuranodon. Beberapa jenis ikan patin yang
dibudidayakan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.1. Adapun jenis
P. sutchi dan P. hypophthalmus yang dikenal sebagai jambal siam
merupakan ikan introduksi dari Thailand. Ikan patin jenis patin siam
memiliki
fekunditas
dan
toleransi
tinggi
terhadap
lingkungan
dibandingkan dengan ikan patin jenis lain, namun mempunyai daging yang
berwarna kekuningan (Suryaningrum, 2012).
Gambar 2.1 Beberapa Jenis Ikan Patin yang Dibudidayakan di Indonesia
6
7
Pangasius sutchi atau Pangasinodon hypopthalmus dikenal dengan
nama patin siam dari Bangkok (Thailand) yang masuk ke Indonesia tahun
1972. Warna badannya kelabu kehitaman, sirip anal putih dengan garis
hitam di tengah. Patin siam bisa mencapai panjang 1,5 meter. Badan ikan
patin siam memanjang dan pipih. Mulut subterminal (agak sebelah bawah)
dengan empat barbel (kumis). Sirip punggung mempunyai duri yang
bergerigi, bersirip tambahan (adipose fin). Garis lengkung mulai dari
kepala sampai pangkal sirip ekor. Bentuk sirip ekor bercagak dengan tepi
berwarna putih (Saparinto dan Rini, 2013). Berikut ini merupakan
klasifikasi ikan patin siam menurut SNI 01-6483.1-2000 :
Phyllum
: Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Class
: Pisces
Sub Class
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub Ordo
: Siluroidea
Famili
: Pangasidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius hypophthalmus
Ikan patin merupakan bahan makanan yang penting sebagai
sumber zat gizi bagi masyarakat. Hasil analisis proksimat daging ikan
mempunyai kadar air 75,75 - 79,42%; kadar protein 12,94 - 7,59%; kadar
lemak 1,81 – 6,57%; serta kadar abu 0,16 – 0,23%. Ikan patin
mengandung kadar protein yang cukup tinggi dan mengandung semua
asam amino esensial serta mengandung lisin dan arginin yang lebih tinggi
dibandingkan dengan protein susu dan daging. Kandungan lemak ikan
patin juga tergolong rendah, bahkan jauh lebih rendah dibandingkan
dengan lemak daging sapi dan daging ayam. Lemak ikan patin
mengandung asam lemak jenuh tinggi yakni 50,28 – 64,42% dari total
asam lemak. Adapun kandungan asam lemak tak jenuh tunggalnya
berkisar 27,79 – 43,49% sedangkan kandungan asam lemak tidak jenuh
8
gandanya rendah (6,93 – 13,07% dari total asam lemak) (Suryaningrum,
2012).
Pada tahun 2009, ikan patin merupakan salah satu dari sepuluh
ikan yang dikonsumsi paling banyak di AS. Menurut National Fisheries
Institute di AS, ikan patin dengan daging berwarna putih dan beraroma
ringan yang ada di pasaran AS merupakan ikan hasil budidaya di Asia.
Dengan kata lain, penggunaan ikan patin dalam berbagai industri makanan
di AS, menggambarkan adanya peluang yang dapat terus dimanfaatkan
oleh para eksportir dan pengusaha ikan patin. Prospek bisnis ikan patin,
baik di pasar domestik maupun untuk ekspor sangat besar. Terlebih lagi,
para pembudidaya jenis ikan ini banyak yang sudah menguasai teknologi
budidaya dan pengolahan yang tepat untuk ikan patin. Namun demikian,
produksi ikan patin di Indonesia sebagian besar masih berupa ikan patin
segar. Padahal, ikan patin yang telah diolah menjadi fillet memiliki nilai
jual yang lebih tinggi dan lebih diminati konsumen global. Di pasar
internasional, harga ikan patin segar per kilogram adalah USD 1
sedangkan harga fillet ikan patin per kilogram mencapai USD 3,4 (KPRI,
2013).
Menurut
Laporan
Pengembangan
Riset
dan
Teknologi,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010, kebutuhan benih ikan
patin siam secara nasional pada tahun 2005 mencapai 55 juta benih.
Selanjutnya berdasarkan data hingga 5 tahun kedepan yakni hingga tahun
2009, kebutuhan benih ikan patin cenderung semakin meningkat seiring
dengan peningkatan kebutuhan benih ikan patin siam. Sedangkan menurut
Laporan Tahunan Direktorat Produksi Tahun 2013, Kementerian Kelautan
dan Perikanan tahun 2013, produksi ikan patin dari Tahun 2010 hingga
Tahun 2013 menunjukan trend yang positif dengan rata-rata kenaikan per
Tahun sebesar 95,57%. Hingga tahun 2013, data produksi ikan patin telah
mencapai 972.778 ton.
9
2. Penurunan Kualitas Ikan Segar
Ikan dikatakan segar apabila ikan tersebut memiliki kondisi tubuh
sama seperti ikan masih hidup, dimana perubahan fisik, kimiawi, dan
biologis yang terjadi belum sampai menyebabkan kerusakan berat pada
daging ikan. Tingkat kesegaran ikan dapat ditentukan berdasarkan ciri-ciri
yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki ikan segar antara lain
memiliki penampakan permukaan yang cemerlang (cerah dan mengkilap)
dan tidak berlendir, beraroma segar dengan khas spesifik jenis dan
memiliki karakteristik daging yang elastis (pre rigor) dan kaku (rigor) dan
masih melekat kuat pada tulang. Bila ditekan dengan jari akan kembali ke
bentuk semula. Sedangkan karakteristik yang dimiliki ikan tidak segar
antara lain memiliki penampakan permukaan yang kusam dan berlendir,
beraroma busuk menyengat, memiliki tekstur daging yang lunak tidak
elastis sehingga bila ditekan jari tidak atau membutuhkan waktu relatif
lama untuk kembali ke bentuk semula, warna daging sudah berubah
kuning kemerahan, dan daging mudah lepas dari tulang (Liviawaty, 2010).
Pada dasarnya pembusukan pada daging ikan dapat diartikan
sebagai setiap perubahan dari ikan yang masih segar maupun setelah
diolah, dimana perubahan sifat fisik, kimiawi, biologis dan organoleptik
dari ikan tersebut mengakibatkan timbulnya penolakan oleh konsumen.
Penyebab utama proses pembusukan pada ikan segar adalah perombakan
enzimatis, perombakan non enzimatis, dan aktivitas bakteri yang terjadi
baik
setelah
ikan
ditangkap/dipanen,
selama
penanganan
awal,
pengawetan atau pengolahan (Liviawaty, 2010).
Proses pembusukan pada ikan terjadi secara bertahap, diawali
dengan penurunan kesegaran dan diakhiri dengan pembusukan. Ikan akan
membusuk dalam 12-20 jam setelah ditangkap atau dipanen, tergantung
dari jenis dan kondisi ikan, cara penangkapannya, cara penanganan, dan
kondisi
lingkungan.
Ikan
utuh
yang
disimpan
dingin
dapat
mempertahankan kesegarannya hingga hari ketujuh sedangkan bila tidak
10
didinginkan sudah memperlihatkan tanda-tanda kebusukan pada jam
keenam (Liviawaty, 2010).
Setiap jenis ikan mempunyai kecepatan penurunan kesegaran yang
berbeda. Penurunan kesegaran dapat berlangsung secara fisik, kimiawi,
dan mikrobiologis. Pengamatan fisik ikan dengan mengetahui nilai pH
daging dapat memberikan informasi mengenai tingkat kebusukan daging
ikan. Ikan segar mempunyai pH sekitar netral dan akan menurun pada
tahap awal kematiannya karena terbentuk asam laktat sebagai hasil
perombakan glikogen. Pada tahap selanjutnya, pH akan meningkat
kembali karena terbentuk senyawa bersifat basa, seperti amoniak.
Pembentukan amonia disebabkan karena terjadinya ketengikan oksidatif
pada lemak. Sebagian besar lemak ikan termasuk kedalam kelompok asam
lemak tidak jenuh sehingga bersifat labil dan mudah teroksidasi sehingga
terjadi ketengikan. Tahap awal dari proses oksidasi lemak adalah
terbentuknya peroksida yang ditandai dengan hilangnya bau dan citarasa
alami (Liviawaty, 2010)
Afrianto (2014) mengatakan bahwa penurunan kesegaran fillet ikan
disebabkan oleh autolisis dan kontaminasi mikroba. Sayatan yang
dilakukan saat membuat fillet menjadikan daging ikan mudah mengalami
kontaminasi oleh bakteri pembusuk. Aktivitas bakteri pembusuk ini akan
meningkat setelah berlangsung proses autolisis. Menurut Liviawaty
(2010), autolisis merupakan proses perombakan oleh enzim yang ada di
dalam daging ikan mati. Setelah ikan mati, enzim tersebut masih tetap
aktif namun hanya berperan dalam proses perombakan saja. Setelah mati,
aktivitas enzim menjadi tidak terkendali sehingga akan merusak dinding
saluran pencernaan dan daging disekitarnya. Pada tahap autolisis, enzim
akan merombak jaringan otot sehingga daging ikan menjadi lunak.
Beberapa reaksi autolisis masih tetap berlangsung pada ikan meskipun
disimpan pada suhu rendah, namun prosesnya lebih lambat. Trimetil Amin
Oksida (TMAO) akan dirombak menjadi senyawa Trimetil Amin dan
selanjutnya dirombak lagi menjadi dimetil amin dan formaldehid. TMAO,
11
keratin, taurin, dan anserine akan mengalami perombakan selama proses
pembusukan menjadi TMA, ammonia, histamine, hydrogen sulfide, indol
dan senyawa lain.
Liviawaty (2010) mengatakan bahwa pembusukan mikrobiologis
merupakan proses pembusukan yang terjadi karena adanya kontaminasi
mikroba, kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan mikroba, dan
penurunan kualitas bahan pangan. jenis mikroba utama yang dapat
menyebabkan terjadinya proses pembusukan adalah bakteri. Bakteri akan
mensekresikan perombak dan pemecah jaringan, sehingga daging menjadi
rusak dan membusuk. Bakteri akan menyebabkan timbulnya rasa pahit,
bau busuk, lendir yang semula terang menjadi buram, kulit menjadi suram
dan memutih karena kehilangan warna aslinya. Berdasarkan Noseda et al
(2012), jenis mikroflora awal yang umumnya terdapat pada ikan patin
segar terdiri dari berbagai spesies bakteri gram negatif dan gram positif
dari
genus
Acinetobacter,
Aeromonas,
Citrobacter,
Enterobacter,
Escherichia, Flavobacterium, Micrococcus, Moraxella, Pseudomonas,
Staphylococcus, Streptococcus dan Vibrio. Menurut SNI 7388:2009 batas
maksimum cemaran mikroba pada fillet ikan segar dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Fillet Ikan
Jenis Cemaran Mikroba
Jumlah Mikroba (300C, 72 jam)
Angka Paling Mungkin Escherichia coli
Salmonella sp
Vibrio cholera
Sumber : SNI 7889:2009
Batas Maksimum
5 x 105 koloni/g
< 3/g
Negatif/ 25g
Negatif/ 25g
12
3. Fillet Ikan
Fillet adalah bentuk potongan-potongan daging ikan. Fillet ikan
dibuat dengan cara memotong ikan dan membersihkan isi perutnya,
kepala, serta sirip dan sisiknya dibuang. Ikan dipotong membujur mulai
dari bagian punggung, tulang belakang dan durinya dibuang sehingga
didapatkan daging yang kemudian dicuci hingga bersih dan dipotong
sesuai selera. Ikan yang dapat dibuat fillet adalah ikan yang memiliki
ukuran minimal 800 g/ ekor (Cahyono, 2000).
Fillet merupakan bahan setengah jadi dari daging ikan yang
nantinya dapat diolah menjadi makanan lain seperti abon, bakso, sosis dan
juga dapat digunakan untuk fortifikasi berbagai aneka produk olahan.
Fillet memiliki beberapa keuntungan sebagai bahan baku olahan antara
lain (1) dapat digunakan langsung untuk pengolahan produk-produk
makanan seperti bakso, sosis, kamaboko, burger, dan lain-lain; (2) tidak
berbau, bebas tulang dan duri sehingga produk-produk olahannya mudah
dikonsumsi oleh berbagai tingkat usia; (3) suplai dan harganya relatif
stabil karena fillet dapat disimpan lama dan memudahkan perencanaan
olahannya; (4) biaya penyimpanan, distribusi, dan transportasi lebih murah
karena fillet merupakan bagian ikan yang bermanfaat saja; (5) menghemat
waktu dan tenaga kerja karena penangannya lebih mudah; serta (6) bebas
dari masalah pembuangan limbah yang dapat mencemari lingkungan
(Suryaningrum, 2012).
Dibandingkan dengan ikan utuh, fillet lebih rentan terhadap
penurunan kualitas. Hal ini dapat dimengerti sebab fillet sudah tidak
memiliki pertahanan alami. Oleh karena itu, untuk menghambat penurunan
kualitas, selama proses pembuatan fillet berlangsung, kebersihan
lingkungan harus diperhatikan dan penerapan rantai dingin mutlak
diperlukan agar diperoleh produk fillet dengan kualitas baik (Liviawaty,
2010).
13
4. Penyimpanan Suhu Dingin
Pendinginan merupakan teknologi pengawetan pangan yang
didasarkan pada pengambilan panas dari bahan. Secara umum, penurunan
suhu mengakibatkan penundaan seluruh perubahan yang dapat terjadi
selama penyimpanan. Akibatnya, reaksi biokimia dan perubahan akibat
pertumbuhan mikrobia menjadi lambat atau menurun. Dampaknya adalah
daya simpan produk menjadi lebih panjang. Walaupun suhu rendah dapat
menghambat perubahan dalam produk, tetapi proses ini bukan merupakan
sterilisasi sehingga tidak menyebabkan inaktivasi mikroba (Estiasih,
2009).
Metode yang dapat digunakan untuk memperlambat proses
penurunan kesegaran ikan secara fisik dapat dilakukan dengan pengaturan
suhu. Pada penanganan ikan segar, temperatur lingkungan yang digunakan
untuk memperpanjang masa simpan adalah suhu rendah. Penggunaan suhu
rendah untuk mempertahankan kesegaran pada ikan yang sudah mati
dilakukan guna menghambat aktivitas biokimia dan aktivitas bakteri
pembusuk dan bakteri patogen. Suhu rendah bukan bukan cara yang
efektif untuk membunuh bakteri pembusuk maupun patogen didalam
bahan pangan, tetapi hanya menghambat aktivitas dan pertumbuhan
bakteri. Pendinginan adalah penanganan hasil perikanan yang dilakukan
pada suhu rendah, yaitu berkisar -1 hingga 150C yaitu suhu awal
berlangsungnya
proses
pembekuan
ikan.
Pendinginan
mampu
mengawetkan ikan segar selama beberapa hari atau minggu tergantung
kondisi awal ikan pada saat akan didinginkan. Jumlah total bakteri
biasanya berkurang selama pendinginan atau pembekuan. Namun
penurunanan tersebut hanya terjadi pada bakteri termofilik dan mesofilik.
Beberapa spesies bakteri pembusuk yang bersifat psikrofilik tetap mampu
bertahan selama masa penyimpanan pada suhu rendah. Bakteri ini akan
berkembang dengan cepat pada saat suhu ikan meningkat kembali,
misalnya pada saat thawing (pelelehan) (Liviawaty, 2010).
14
5. Bakteriosin
Bakteri asam laktat (BAL) mampu berperan sebagai penghasil
senyawa antimikroba, baik melalui penggunaannya secara langsung di
dalam makanan pada proses fermentasi maupun melalui metabolitmetabolit yang dihasilkannya untuk memperpanjang masa simpan,
meningkatkan kualitas produk serta menghambat pertumbuhan mikroba
patogen dan pembusuk. Metabolit-metabolit bakteri asam laktat yang
berfungsi sebagai senyawa antimikroba antara lain asam organik,
bakteriosin, dan hidrogen peroksida (Hafsan, 2014)
Bakteriosin
merupakan
substansi
protein
yang
umumnya
mempunyai berat molekul kecil serta memiliki aktivitas sebagai
bakterisidal (membunuh bakteri). Bakteriosin disintesa secara ribosomal
berupa kompleks peptida berukuran 20-60 asam amino dengan gen
pengkode terdapat di dalam plasmid. Bakteriosin mudah didegradasi
enzim proteolitik dan tahan terhadap panas (thermostabil) (Hafsan, 2014).
Sedangkan menurut Fawzya (2010), bakteriosin adalah protein yang
bersifat toksin, dihasilkan oleh bakteri dan memiliki kemampuan
menghambat bakteri lain (dari spesies yang sama, berbeda strain untuk
spektrum yang sempit atau bakteri lain yang berbeda spesies untuk
spektrum yang luas). Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri
penghasil bakteriosin yang banyak dieksplorasi karena penggunaannya
yang luas untuk industri pangan. Berbagai jenis bakteriosin yang
dihasilkan oleh BAL yang telah dilaporkan antara lain plantacin B oleh
Lactobacillus plantarum, lactacin F oleh Lactobacillus acidophillus,
brevicin oleh L.brevis, sakacin A oleh L.sakei; pediocin oleh Pediococcus
acidilactici F11; dan nisin oleh Lactococcus lactis.
Sebagai komponen protein, bakteriosin dapat terdegradasi pada
sistem pencernaan. Beberapa kelebihan bakteriosin yang menjadikannya
potensial digunakan sebagai biopreservatif yaitu: (i) bukan bahan toksik
dan mudah mengalami degradasi oleh enzim proteolitik karena merupakan
senyawa protein; (ii) tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah
15
dicerna oleh enzim saluran pencernaan; (iii) dapat mengurangi penggunaan
bahan kimia sebagai pengawet pangan; (iv) penggunaannya fleksibel; dan
(v) stabil terhadap pH dan suhu yang cukup luas sehingga tahan terhadap
proses pengolahan yang melibatkan asam dan basa, serta kondisi panas
dan dingin (Usmiati dan Richana, 2011).
Bakteriosin yang didapatkan dari BAL dapat dikelompokan
menjadi tiga sesuai sifat biokimia dan genetiknya. Berikut pengelompokan
bakteriosin berdasarkan Ross et al (2002), Marwati (2012) dan Zacharof
et al (2012) :
a) Kelas I : Golongan Lantibiotik
Bakteriosin berukuran kecil yang biasanya terdiri dari satu atau
dua peptide dengan berat molekul kurang lebih 3 kDa. Lantibiotik
adalah kelas zat peptide yang mengandung karakterisitik polycgylic
thioeter asam amino lanthionine atau methyl lanthionine, serta asam
amino tak jenuh dehydroalanine dan 2-aminoisobutyric acid. Nisin dan
lacticin 3147 yang termasuk dalam golongan lantibiotik mampu
menghambat berbagai bakteri gram positif. Lantibiotik dibagi menjadi
2 kelompok yakni lantibiotik jenis A dan lantibiotik jenis B.
Lantibiotik jenis A memiliki molekul fleksibel memanjang, berbentuk
sekrup, bermuatan positif dan memiliki membran depolarisasi.
Memiliki molekul massa bervariasi antara 2 sampai 4 kDa. Contoh
dari lantibiotik jenis ini adalah nisin dan lacticin 3147. Lantibiotik
jenis B memiliki struktur globural dan dapat mengganggu reaksi
enzimatik seluler. Molekul massa mereka terletak antara 2 sampai 3
kDa dan tidak memiliki muatan. Contoh dari lantibiotik jenis ini
adalah mersacidin, actagardine.
b) Kelas II : Peptida kecil tidak termodifikasi
Bakteriosin ini adalah peptide tidak termoditifikasi, relatif tahan
panas, non-lanthionine mengandung membran aktif peptide, dan
berukuran kecil sekitar <10 kDa, yang dibagi menjadi dua kelompok
utama. Kelas IIa adalah pediocin – seperti atau bakteriosin aktif
16
Listeria. Contoh dari bakteriosin jenis ini adalah pediocin PA-1 dan
sakacin A. Kelas IIb adalah bakteriosin yang terdiri dari dua peptide
yang terpisah atau bakteriosin yang memerlukan dua peptide untuk
bekerja secara sinergis dalam aktivitas antimikrobanya. Contoh dari
bakteriosin jenis ini adalah lactacin F dan lactococcin G.
c) Kelas III : Protein Besar Labil Terhadap Panas
Bakteriosin kelas III terdiri dari protein yang labil terhadap panas
berukuran besar yakni >30 kDa. Bakteriosin yang mewakili kelompok
ini adalah Helvetin J yang diproduki oleh Lactobacillus helveticus dan
enterolysin yang diproduksi oleh Enterococcus Faecium.
d) Kelas IV : Bakteriosin kelas IV merupakan bakteriosin yang
mengandung protein kompleks, terdiri atas komponen karbohidrat
maupun lipid.
Fawya (2010) mengatakan bahwa Lactococcus lactis subsp. Lactis
adalah bakteri gram positif yang menghasilkan asam laktat dan bakteriosin
yang disebut nisin. Nisin (C14H228O37N42S7) memiliki berat molekul 3348,
tersusun dari 34 asam amino dengan didehidroalanillisin pada terminal
karboksilat (COOH) dan isoleusin pada terminal NH2. Nisin lebih bersifat
antimikroba, bukan antibiotik. Kelarutan, stabilitas, dan aktivitas biologi
nisin sangat tergantung pada pH larutan. Meningkatnya pH dapat
menyebabkan penurunan ketiga parameter tersebut secara drastis.
Kelarutan nisin pada pH 2,0 adalah sekitar 57 mg/mL dan menurun apabila
pH larutan turun. Stabilitas nisin berkaitan dengan kelarutannya. Larutan
nisin dapat dimasak (direbus) dalam asam klorida encer pada pH ≤ 2,5
tanpa mengalami penurunan aktivitas biologi. Nisin juga tetap stabil
setelah diautoklaf pada suhu 115,60C pH 2,0. Zacharof dan Lovitt (2012)
menambahkan bahwa nisin stabil terhadap panas pada suhu 1210C tetapi
untuk pemanasan yang lama menjadi lebih kurang stabil, terutama antara
pH 5 sampai 7. Asam klorida adalah larutan akuatik dari gas hidrogen
klorida (HCl). Penggunaan HCl 0,02 N dengan pH ≤ 2 dapat digunakan
sebagai pelarut nisin tanpa mengalami penurunan aktivitas biologi.
17
Nisin adalah peptida yang terdiri dari 34 residu asam amino dengan
berat molekul 3,5 kDa dan diklasifikasikan sebagai bakteriosin kelas Ia
atau lantibiotik. Nisin memiliki molekul permukaan yang aktif yang
mampu mengikat senyawa yang berbeda misalnya asam lemak atau
fosfolipid. Hal ini membuatnya cocok untuk mengadsorpsi permukaan
padat dan membunuh sel-sel bakteri. Bakteriosin akan menembus
membran sitoplasma dengan membentuk pori-pori di membran. Nisin aktif
melawan bakteri gram positif namun aktivitas penghambatannya terhadap
bakteri gram negatif masih banyak diuji (Laukova et al, 2011).
Nisin adalah satu-satunya bakteriosin yang memiliki penggunaan
komersial yang sangat luas. Penggunaan nisin sebagai bahan pengawet
pangan pada awalnya bertujuan untuk menghambat pembusukan dan
mikroorganisme patogen pada pembuatan keju. Namun dengan melakukan
sejumlah penelitian dengan memproduksi nisin dan nisaplinR, menunjukan
bahwa nisin efektif dalam menghambat L. monocytogenes pada keju dan
beberapa jenis produk makanan yang mengandung keju termasuk keju
olahan, produk susu, makanan kaleng, produk ikan dan kaleng, pembuatan
anggur (wine), dan produk makanan manis (confectionery) (Ross et al,
2002)
Nisin telah dinyatakan aman penggunaannya oleh Badan Pangan
Dunia (FAO/WHO) sebagai pengawet alami sejak 1969 dan diberikan
nomor bahan tambahan makanan (food additive) E234. Pada tahun 1988,
nisin diijinkan penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA)
pada makanan kaleng untuk menghambat pertumbuhan Clostridium
botullinum. Nisin merupakan satu-satunya bakteriosin murni yang
disetujui penggunaannya untuk pengawetan makanan di US dan juga telah
diijinkan penggunaannya oleh lebih dari 50 negara. Di Indonesia, nisin
juga termasuk dalam bahan tambahan makanan
yang diijinkan
penggunaannya (BPOM No. 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet) (Fawya, 2010). Contoh
aplikasi nisin di beberapa negara beserta dengan kadar maksimal nisin
18
berdasarkan Cleveland et al (2001) antara lain adalah Amerika (10.000
IU/g pada keju oles), Argentina (500 IU/g pada keju olah), Italia (500 IU/g
pada keju), Belanda (800 IU/g pada keju olah), Rusia (8000 IU/g pada
sayur dalam kaleng dan keju olah), Belgia (100 IU/g pada keju), Inggris
(tidak ada batasan kadar nisin pada keju dan makanan kaleng), Australia
(tidak ada batasan kadar nisin pada keju, tomat dalam kaleng, dan keju
olah), Perancis (tidak ada batasan kadar nisin pada keju olah)
Nisin dilaporkan memiliki kemampuan menghambat bakteri
terutama
bakteri
Staphylococcus
gram
aureus,
positif
seperti
Streptococcus
Clostridium
hemolyticus,
botullinum,
Listeria
monocytogenes, Bacillus stearothermophilus, dan Bacillus subtilis. Bakteri
gram negatif relatif lebih tahan terhadap nisin karena dinding selnya
kurang permeable (lebih sulit ditembus) dibandingkan dengan bakteri
gram positif (Fawya, 2010). Bakteri gram negatif memiliki membran luar
(outer membran) pada dinding selnya sehingga lebih resisten terhadap
antibakteri bakteriosin. Aktivitas bakteriosin melawan bakteri gram negatif
seperti E.coli dan Salmonella hanya tampak pada saat integritas membran
luar bakteri terganggu, misalnya setelah perlakuan tekanan osmotic atau
pH rendah, pemberian deterjen atau agen pengkelat, atau setelah perlakuan
getaran listrik atau tekanan tinggi (Vuyst et al, 2007).
Bakteri gram positif lebih efektif dihambat pertumbuhannya oleh
nisin dibandingkan bakteri gram negatif. Berdasarkan Purwani dkk (2009),
bakteri gram negatif mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap
senyawa antimikroba dikarenakan bakteri gram negatif memiliki sistem
seleksi terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida. Struktur
dinding sel bakteri gram negatif relatif lebih kompleks, berlapis tiga yaitu
lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa
lipopolisakarida dan lapisan dalam berupa peptidoglikan. Sedangkan
struktur dinding sel bakteri gram positif relatif lebih sederhana sehingga
memudahkan senyawa antimikroba untuk masuk ke dalam sel dan
menemukan sasaran untuk bekerja.
19
Mekanisme kerja awal dari nisin dalam menghambat bakteri gram
positif adalah nisin memiliki kemampuan untuk mengikat membran dan
membentuk pori yang merusak integritas membran. Pembentukan pori
mengarah pada kebocoran ion K+ dan ATP, penipisan Proton Motive
Force (PMF), dan depolarisasi dari potensial transmembran yang
menyebabkan kematian sel. Dilaporkan juga bahwa nisin dapat
mengganggu biosintesis dinding sel dengan mengikat lipid II (pendahulu
peptidoglikan) (White, 2011). Zacharof et al (2012) menambahkan bahwa
nisin memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan lipid anionic yang
berkaitan dengan aktivitas antimicrobial. Pembentukan pori-pori pada
membran lipid disebabkan karena interaksi antara pendahulu peptidoglikan
yakni lipid II. Kehadiran dari lipid akan meningkatkan kemampuan nisin
untuk mendepolarisasi potensial transmembran dan mengganggu lipid
yang terikat pada membran.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Anton et al (2006), dikatakan
bahwa nisin yang tertelan atau masuk ke dalam tubuh akan diinaktifkan
oleh enzim tripsin dan pankreatin dan tidak akan berpengaruh pada
mikroflora usus sehingga dapat disimpulkan bahwa nisin aman untuk
digunakan. Nisin yang digunakan pada pengolahan bahan pangan tidak
menggunakan nisin dalam bentuk murni karena aktivitas spesifiknya yang
sangat tinggi. Oleh sebab itu ditetapkan spesifikasi untuk bahan pangan
yakni konsentrat nisin komersial yang mengandung minimal 2,25% nisin
aktif. Fawya (2010) menambahkan bahwa secara komersial nisin tersedia
dalam suatu formulasi protein terdenaturasi, laktosa dan garam dapur
dengan berbagai nama dagang dan produsen yang berbeda seperti Nisaplin
(Aplin & Barrett Ltd.), nisni produksi Chihonbio Mfg (Cina), nisitrol dari
AS dan nisin dari Rhodia (Perancis) atau tersedia dalam bentuk murni
(Koch-Light Ltd; Sigma Chemical Co.). Salah satu produk nisin tersedia
dalam bentuk bubuk berwarna putih keabu-abuan atau kekuningan dengan
pembawa (carrier) NaCl minimal 50%, umumnya dengan nama dagang
Nisin atau Nisaplin.
20
Aktivitas antimikroba bakteriosin bersifat
bakterisidal
dan
bakteriostatik. Secara umum bakteriosin memiliki kemampuan melawan
bakteri lain dengan efek bakterisidal dengan mekanisme sebagai berikut:
(1) molekul bakteriosin kontak dengan membran sel, (2) proses kontak ini
mengganggu potensial membran sitoplasma berupa destabilitasi sehingga
sel
menjadi
tidak
kuat,
dan
(3)
ketidakstabilan
membran
sel
mengakibatkan pembentukan lubang/ pori pada membran dengan
mengganggu PMF. Pembentukan lubang pada sitoplasma merupakan
akibat adanya bakteriosin yang menyebabkan terjadinya perubahan
gradient potensial membrane (DP) dan pelepasan molekul intraseluler
maupun masuknya substansi ekstraseluler (dari lingkungan). Efeknya
pertumbuhan sel terhambat dan menyebabkan proses kematian sel yang
sensitif terhadap bakteriosin (Usmiati, 2011).
Efektivitas nisin sebagai bahan pengawet tergantung dari besarnya
konsentrani nisin yang ditambahkan. Mekanisme kerja nisin diawali
dengan pembentukan kompleks nisin dengan lipid II (suatu molekul
precursor dalam pembentukan dinding sel bakteri), kemudian kontak
langsung kompleks ini dengan membran sitoplasma sel menyebabkan
terbentuknya lubang atau pori pada membran sel dan reduksi Proton
Motive Force (PMF) sehingga stabilitas membran terganggu. Akibatnya
terjadi kebocoran dan pelepasan molekul intraseluler maupun masuknnya
substansi
ekstraseluler
dari
lingkungan
sehingga
menghambat
pertumbuhan sel dan diikuti dengan proses kematian pada sel yang sensitif
terhadap nisin (Fawya, 2010)
Penggunaan bakteriosin komersial sebagai biopreservatif sudah
dilakukan di beberapa negara dan diaplikasikan pada beberapa jenis
makanan. Beberapa strategi yang mungkin untuk dilakukan dalam
aplikasi bakteriosin untuk pengawetan pangan antara lain: 1) Inokulasi
bakteri asam laktat penghasil bakteriosin dalam makanan (produksi in
situ) contohnya pada proses fermentasi makanan; 2) Penambahan
bakteriosin sebagai pengawet makanan yang biasanya digunakan dalam
21
pengawetan bahan makanan segar, seperti daging, ikan, dan buah segar;
dan 3) Menggunakan produk hasil fermentasi dengan bakteriosin yang
menghasilkan strain sebagai bahan formulasi makanan. Contohnya pada
pembuatan keju (Hafsan, 2014).
Penggunaan nisin sebagai bahan pengawet telah banyak diteliti dan
diujikan pada beberapa produk pangan, salah satunya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Behnam et al, (2013) yang menguji efek
penyemprotan larutan Nisin komersial (Serva-Nurk yang diproduksi dari
Lactococcus lactis, Art number: 30413) pada ikan rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) yang disimpan pada suhu 4⁰C dalam kondisi
vakum. Hasilnya adalah penggunaan nisin pada konsentrasi 100 µg/g
dapat mempertahankan kualitas ikan hingga 16 hari penyimpanan dilihat
dari angka peroksida, indeks TBA, pH, dan TVB-N ikan.
6. Edible coating
Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk
lembaran (edible film). Edible coating merupakan kategori bahan kemasan
yang unik yang berbeda dari bahan-bahan kemasan konvensional yang
dapat dimakan. Edible coating diklasifikasikan menjadi 3 kategori dengan
mempertimbangkan sifat komponennya: (1) hydrocolloids, yakni yang
mengandung protein, polisakarida, dan alginat; (2) lemak, yakni yang
dibentuk oleh asam lemak, acyglycerol atau waxes; dan (3) komposit,
yakni yang dibuat dengan menggabungkan zat dari dua kategori. Edible
coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan
semi basah (intermediate/ moisture foods), produk konfeksionari, ayam
beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama
untuk pelapis kapsul. Ada lima aplikasi edible coating, yaitu pencelupan
(dip
application),
penyapuan
dengan
busa
(foam
application),
penyemprotan (spray application), dan penetesan terkontrol (controlled
drip application). Pencelupan mempunyai keuntungan antara lain
ketebalan materi coating yang lebih besar serta memudahkan pembuatan
22
dan pengaturan viskositas larutan. Kelemahannya adalah munculnya
deposit kotoran dari larutan (Arief dkk, 2012)
Edible coating dapat berasal dari bahan baku yang mudah
diperbaharui seperti campuran lipid, polisakarida, dan protein yang
berfungsi sebagai barrier uap air, gas, dan zat-zat terlarut lain serta
berfunsi sebagai carrier (pembawa) berbagai macam ingridien seperti
emulsifier, antimikroba dan antioksidan. Beberapa keuntungan produk
yang dikemas dengan edible coating berbasis pati antara lain (1)
menurunkan aktivitas air pada permukaan bahan sehingga kerusakan oleh
mikroorganisme dapat dihindari karena terlindung oleh lapisan edible; (2)
memperbaiki struktur permukaan bahan sehingga permukaan menjadi
mengkilat; (3) mengurangi terjadinya dehidrasi sehingga susut bobot dapat
dicegah; (4) mengurangi kontak oksigen dengan bahan sehingga oksidasi
atau ketengikan dapat dihambat; (5) sifat asli produk seperti flavor tidak
mengalami perubahan; dan (6) memperbaiki penampilan produk
(Widaningrum dkk, 2015).
Kemasan antimikroba merupakan suatu kemasan yang dapat
menghentikan,
menghambat,
mengurangi,
atau
memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme patogen pada makanan dan bahan kemasan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa edible coating/ film dapat
berfungsi sebagai pembawa (carrier) aditif makanan seperti bersifat agens
antipencoklatan, antimikroba, pewarna, pemberi flavour, nutrisi dan
bumbu. Edible coating/ film yang bersifat antimikroba berpotensi dapat
mencegah kontaminasi patogen pada berbagai bahan pangan yang
memiliki jaringan (daging, buah-buahan, dan sayuran). Kombinasi
antimikroba dengan pengemas film untuk mengendalikan pertumbuhan
mikroba pada makanan dapat memperpanjang masa simpan dan
memperbaiki mutu pangan. Jenis bahan antimikroba yang dapat
ditambahkan ke dalam matriks edible coating/ film antara lain adalah
minyak atsiri, rempah-rempah dalam bentuk bubuk atau oleoresin, kitosan,
dan bakteriosin seperti nisin. Keuntungan penambahan bahan aktif
23
antimikroba ke dalam edible coating adalah meningkatkan daya simpan.
Selain itu, sifat penghalang yang berasal dari lapisan film yang diperkuat
dengan komponen aktif antimikroba dapat menghambat bakteri pembusuk
dan mengurangi resiko kesehatan (Winarti dkk, 2012).
Salah satu polisakarida yang dapat digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan edible coating adalah tapioka. Tapioka mudah didapatkan dan
harganya relatif lebih murah. Menurut Santoso dkk (2004), edible coating
dari tapioka memiliki kelebihan yaitu sifat kohesif sangat baik, laju
transmisi gas dan uap air rendah, namun tapioka mempunyai kelemahan
yaitu ketahanan uap air sangat rendah. Beberapa penelitian telah
menambahkan bahan antimikroba ke dalam edible coating/ film berbahan
dasar pati tapioka. Utami dkk (2013) melaporkan bahwa penambahan
0,1% minyak atsiri kunyit putih (Kampferia rotunda) pada edible film pati
tapioka mampu menghambat Pseudomonas putida dan Pseudomonas
fluorescens. Utami dkk (2015) melaporkan bahwa penambahan oleoresin
daun jeruk purut mampu menurunkan jumlah mikroba dan menstabilkan
warna sosis sapi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rokhati dkk (2015),
penambahan larutan kitosan pada edible film pati tapioka mampu
meningkatkan aktivitas mikroba dalam menghambat pertumbuhan
mikroba pada buah strawberry dibandingkan dengan penggunaan edible
film yang hanya menggunakan pati tapioka.
Penggunaan edible coating antimikroba yang terbuat dari tapioka
dengan penambahan nisin telah banyak diteliti. Salah satunya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Resa et al (2014) dimana nisin dan
natamisin ditambahkan ke dalam edible film berbasis pati tapioka untuk
mengontrol pertumbuhan kultur pada keju Port Salut. Hasilnya adalah
penggunaan nisin pada matriks pati tapioka dapat digunakan untuk
mengontrol pertumbuhan L. innocua pada kultur keju Port Salut dan
memiliki potensi yang besar sebagai kemasan antimikrobia. Basch et al
(2011) juga melaporkan penggunaan nisin pada edible film pati tapioka
dimana penggunaan kombinasi nisin dengan edible film pati tapioka dapat
24
dikembangkan sebagai kemasan aktif sebagai penghalang keberadaan
mikroba pada pangan dan bertindak sebagai penghalang kontaminasi pada
produk.
25
B. Kerangka Berpikir
Ikan patin
merupakan ikan
unggulan ekspor
yang biasanya
dalam bentuk fillet
Kerusakan fillet
ikan selama
penyimpanan
dingin disebabkan
karena peristiwa
autolisis, oksidasi
lemak dan adanya
pembusukan oleh
bakteri
Nisin yang
dihasilkan oleh L.
lactis diketahui
sebagai senyawa
biopreservatif
dalam makanan
Perlu dikaji
pengaruh
penggunaan Nisin
terhadap kualitas
fillet ikan patin
selama penyimpan
dingin
Fillet ikan yang
disimpan dalam
keadaan dingin
masih bisa
mengalami
kerusakan
Dibutuhkan metode
pengawetan fillet
ikan agar tidak
terjadi penurunan
kualitas
Penggunaan nisin
dengan aktivitas
tertentu dapat
mempertahankan
kualitas bahan
pangan
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir
C. Hipotesis
Penggunaan nisin dari Lactococcus lactis subs. Lactis dengan metode
edible coating berbasis tapioka berpengaruh terhadap kualitas fillet ikan patin
(Pangasius hypophthalmus) dilihat dari angka TPC, pH, TVB-N dan TBA
yang disimpan pada suhu dingin (4±1⁰C) selama 16 hari penyimpanan.
Download