BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ikan Patin Ikan patin merupakan anggota kelompok catfish dari perairan Asia Tenggara yang beriklim tropis dengan suhu berkisar 22-260C dengan pH 6,7-7,5. Ikan patin termasuk ikan dasar, namun sesekali muncul ke permukaan air untuk menghirup oksigen langsung dari udara. Pada habitat aslinya di sungai dan muara sungai, patin bersifat karnivora dengan makanan berupa ikan-ikan kecil, cacing, serangga, udang-udang kecil, dan moluska. Panjang ikan untuk keperluan konsumsi umumnya berkisar 3035 cm, namun panjang ikan dapat mencapai 120 cm. Di Indonesia terdapat 13 jenis spesies ikan patin dengan daerah penyebaran terutama di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Jenis ikan patin di antaranya adalah patin siam (Pangasius hypophthalmus), patin jambal (Pangasius djambal), P. humeralis, P. lithostoma, P.macionema, P. micronemus, P. nasutus, P. niewenhulsii, dan P. polyuranodon. Beberapa jenis ikan patin yang dibudidayakan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.1. Adapun jenis P. sutchi dan P. hypophthalmus yang dikenal sebagai jambal siam merupakan ikan introduksi dari Thailand. Ikan patin jenis patin siam memiliki fekunditas dan toleransi tinggi terhadap lingkungan dibandingkan dengan ikan patin jenis lain, namun mempunyai daging yang berwarna kekuningan (Suryaningrum, 2012). Gambar 2.1 Beberapa Jenis Ikan Patin yang Dibudidayakan di Indonesia 6 7 Pangasius sutchi atau Pangasinodon hypopthalmus dikenal dengan nama patin siam dari Bangkok (Thailand) yang masuk ke Indonesia tahun 1972. Warna badannya kelabu kehitaman, sirip anal putih dengan garis hitam di tengah. Patin siam bisa mencapai panjang 1,5 meter. Badan ikan patin siam memanjang dan pipih. Mulut subterminal (agak sebelah bawah) dengan empat barbel (kumis). Sirip punggung mempunyai duri yang bergerigi, bersirip tambahan (adipose fin). Garis lengkung mulai dari kepala sampai pangkal sirip ekor. Bentuk sirip ekor bercagak dengan tepi berwarna putih (Saparinto dan Rini, 2013). Berikut ini merupakan klasifikasi ikan patin siam menurut SNI 01-6483.1-2000 : Phyllum : Chordata Sub Phyllum : Vertebrata Class : Pisces Sub Class : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasius Spesies : Pangasius hypophthalmus Ikan patin merupakan bahan makanan yang penting sebagai sumber zat gizi bagi masyarakat. Hasil analisis proksimat daging ikan mempunyai kadar air 75,75 - 79,42%; kadar protein 12,94 - 7,59%; kadar lemak 1,81 – 6,57%; serta kadar abu 0,16 – 0,23%. Ikan patin mengandung kadar protein yang cukup tinggi dan mengandung semua asam amino esensial serta mengandung lisin dan arginin yang lebih tinggi dibandingkan dengan protein susu dan daging. Kandungan lemak ikan patin juga tergolong rendah, bahkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan lemak daging sapi dan daging ayam. Lemak ikan patin mengandung asam lemak jenuh tinggi yakni 50,28 – 64,42% dari total asam lemak. Adapun kandungan asam lemak tak jenuh tunggalnya berkisar 27,79 – 43,49% sedangkan kandungan asam lemak tidak jenuh 8 gandanya rendah (6,93 – 13,07% dari total asam lemak) (Suryaningrum, 2012). Pada tahun 2009, ikan patin merupakan salah satu dari sepuluh ikan yang dikonsumsi paling banyak di AS. Menurut National Fisheries Institute di AS, ikan patin dengan daging berwarna putih dan beraroma ringan yang ada di pasaran AS merupakan ikan hasil budidaya di Asia. Dengan kata lain, penggunaan ikan patin dalam berbagai industri makanan di AS, menggambarkan adanya peluang yang dapat terus dimanfaatkan oleh para eksportir dan pengusaha ikan patin. Prospek bisnis ikan patin, baik di pasar domestik maupun untuk ekspor sangat besar. Terlebih lagi, para pembudidaya jenis ikan ini banyak yang sudah menguasai teknologi budidaya dan pengolahan yang tepat untuk ikan patin. Namun demikian, produksi ikan patin di Indonesia sebagian besar masih berupa ikan patin segar. Padahal, ikan patin yang telah diolah menjadi fillet memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan lebih diminati konsumen global. Di pasar internasional, harga ikan patin segar per kilogram adalah USD 1 sedangkan harga fillet ikan patin per kilogram mencapai USD 3,4 (KPRI, 2013). Menurut Laporan Pengembangan Riset dan Teknologi, Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010, kebutuhan benih ikan patin siam secara nasional pada tahun 2005 mencapai 55 juta benih. Selanjutnya berdasarkan data hingga 5 tahun kedepan yakni hingga tahun 2009, kebutuhan benih ikan patin cenderung semakin meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan benih ikan patin siam. Sedangkan menurut Laporan Tahunan Direktorat Produksi Tahun 2013, Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2013, produksi ikan patin dari Tahun 2010 hingga Tahun 2013 menunjukan trend yang positif dengan rata-rata kenaikan per Tahun sebesar 95,57%. Hingga tahun 2013, data produksi ikan patin telah mencapai 972.778 ton. 9 2. Penurunan Kualitas Ikan Segar Ikan dikatakan segar apabila ikan tersebut memiliki kondisi tubuh sama seperti ikan masih hidup, dimana perubahan fisik, kimiawi, dan biologis yang terjadi belum sampai menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan. Tingkat kesegaran ikan dapat ditentukan berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki ikan segar antara lain memiliki penampakan permukaan yang cemerlang (cerah dan mengkilap) dan tidak berlendir, beraroma segar dengan khas spesifik jenis dan memiliki karakteristik daging yang elastis (pre rigor) dan kaku (rigor) dan masih melekat kuat pada tulang. Bila ditekan dengan jari akan kembali ke bentuk semula. Sedangkan karakteristik yang dimiliki ikan tidak segar antara lain memiliki penampakan permukaan yang kusam dan berlendir, beraroma busuk menyengat, memiliki tekstur daging yang lunak tidak elastis sehingga bila ditekan jari tidak atau membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali ke bentuk semula, warna daging sudah berubah kuning kemerahan, dan daging mudah lepas dari tulang (Liviawaty, 2010). Pada dasarnya pembusukan pada daging ikan dapat diartikan sebagai setiap perubahan dari ikan yang masih segar maupun setelah diolah, dimana perubahan sifat fisik, kimiawi, biologis dan organoleptik dari ikan tersebut mengakibatkan timbulnya penolakan oleh konsumen. Penyebab utama proses pembusukan pada ikan segar adalah perombakan enzimatis, perombakan non enzimatis, dan aktivitas bakteri yang terjadi baik setelah ikan ditangkap/dipanen, selama penanganan awal, pengawetan atau pengolahan (Liviawaty, 2010). Proses pembusukan pada ikan terjadi secara bertahap, diawali dengan penurunan kesegaran dan diakhiri dengan pembusukan. Ikan akan membusuk dalam 12-20 jam setelah ditangkap atau dipanen, tergantung dari jenis dan kondisi ikan, cara penangkapannya, cara penanganan, dan kondisi lingkungan. Ikan utuh yang disimpan dingin dapat mempertahankan kesegarannya hingga hari ketujuh sedangkan bila tidak 10 didinginkan sudah memperlihatkan tanda-tanda kebusukan pada jam keenam (Liviawaty, 2010). Setiap jenis ikan mempunyai kecepatan penurunan kesegaran yang berbeda. Penurunan kesegaran dapat berlangsung secara fisik, kimiawi, dan mikrobiologis. Pengamatan fisik ikan dengan mengetahui nilai pH daging dapat memberikan informasi mengenai tingkat kebusukan daging ikan. Ikan segar mempunyai pH sekitar netral dan akan menurun pada tahap awal kematiannya karena terbentuk asam laktat sebagai hasil perombakan glikogen. Pada tahap selanjutnya, pH akan meningkat kembali karena terbentuk senyawa bersifat basa, seperti amoniak. Pembentukan amonia disebabkan karena terjadinya ketengikan oksidatif pada lemak. Sebagian besar lemak ikan termasuk kedalam kelompok asam lemak tidak jenuh sehingga bersifat labil dan mudah teroksidasi sehingga terjadi ketengikan. Tahap awal dari proses oksidasi lemak adalah terbentuknya peroksida yang ditandai dengan hilangnya bau dan citarasa alami (Liviawaty, 2010) Afrianto (2014) mengatakan bahwa penurunan kesegaran fillet ikan disebabkan oleh autolisis dan kontaminasi mikroba. Sayatan yang dilakukan saat membuat fillet menjadikan daging ikan mudah mengalami kontaminasi oleh bakteri pembusuk. Aktivitas bakteri pembusuk ini akan meningkat setelah berlangsung proses autolisis. Menurut Liviawaty (2010), autolisis merupakan proses perombakan oleh enzim yang ada di dalam daging ikan mati. Setelah ikan mati, enzim tersebut masih tetap aktif namun hanya berperan dalam proses perombakan saja. Setelah mati, aktivitas enzim menjadi tidak terkendali sehingga akan merusak dinding saluran pencernaan dan daging disekitarnya. Pada tahap autolisis, enzim akan merombak jaringan otot sehingga daging ikan menjadi lunak. Beberapa reaksi autolisis masih tetap berlangsung pada ikan meskipun disimpan pada suhu rendah, namun prosesnya lebih lambat. Trimetil Amin Oksida (TMAO) akan dirombak menjadi senyawa Trimetil Amin dan selanjutnya dirombak lagi menjadi dimetil amin dan formaldehid. TMAO, 11 keratin, taurin, dan anserine akan mengalami perombakan selama proses pembusukan menjadi TMA, ammonia, histamine, hydrogen sulfide, indol dan senyawa lain. Liviawaty (2010) mengatakan bahwa pembusukan mikrobiologis merupakan proses pembusukan yang terjadi karena adanya kontaminasi mikroba, kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan mikroba, dan penurunan kualitas bahan pangan. jenis mikroba utama yang dapat menyebabkan terjadinya proses pembusukan adalah bakteri. Bakteri akan mensekresikan perombak dan pemecah jaringan, sehingga daging menjadi rusak dan membusuk. Bakteri akan menyebabkan timbulnya rasa pahit, bau busuk, lendir yang semula terang menjadi buram, kulit menjadi suram dan memutih karena kehilangan warna aslinya. Berdasarkan Noseda et al (2012), jenis mikroflora awal yang umumnya terdapat pada ikan patin segar terdiri dari berbagai spesies bakteri gram negatif dan gram positif dari genus Acinetobacter, Aeromonas, Citrobacter, Enterobacter, Escherichia, Flavobacterium, Micrococcus, Moraxella, Pseudomonas, Staphylococcus, Streptococcus dan Vibrio. Menurut SNI 7388:2009 batas maksimum cemaran mikroba pada fillet ikan segar dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Fillet Ikan Jenis Cemaran Mikroba Jumlah Mikroba (300C, 72 jam) Angka Paling Mungkin Escherichia coli Salmonella sp Vibrio cholera Sumber : SNI 7889:2009 Batas Maksimum 5 x 105 koloni/g < 3/g Negatif/ 25g Negatif/ 25g 12 3. Fillet Ikan Fillet adalah bentuk potongan-potongan daging ikan. Fillet ikan dibuat dengan cara memotong ikan dan membersihkan isi perutnya, kepala, serta sirip dan sisiknya dibuang. Ikan dipotong membujur mulai dari bagian punggung, tulang belakang dan durinya dibuang sehingga didapatkan daging yang kemudian dicuci hingga bersih dan dipotong sesuai selera. Ikan yang dapat dibuat fillet adalah ikan yang memiliki ukuran minimal 800 g/ ekor (Cahyono, 2000). Fillet merupakan bahan setengah jadi dari daging ikan yang nantinya dapat diolah menjadi makanan lain seperti abon, bakso, sosis dan juga dapat digunakan untuk fortifikasi berbagai aneka produk olahan. Fillet memiliki beberapa keuntungan sebagai bahan baku olahan antara lain (1) dapat digunakan langsung untuk pengolahan produk-produk makanan seperti bakso, sosis, kamaboko, burger, dan lain-lain; (2) tidak berbau, bebas tulang dan duri sehingga produk-produk olahannya mudah dikonsumsi oleh berbagai tingkat usia; (3) suplai dan harganya relatif stabil karena fillet dapat disimpan lama dan memudahkan perencanaan olahannya; (4) biaya penyimpanan, distribusi, dan transportasi lebih murah karena fillet merupakan bagian ikan yang bermanfaat saja; (5) menghemat waktu dan tenaga kerja karena penangannya lebih mudah; serta (6) bebas dari masalah pembuangan limbah yang dapat mencemari lingkungan (Suryaningrum, 2012). Dibandingkan dengan ikan utuh, fillet lebih rentan terhadap penurunan kualitas. Hal ini dapat dimengerti sebab fillet sudah tidak memiliki pertahanan alami. Oleh karena itu, untuk menghambat penurunan kualitas, selama proses pembuatan fillet berlangsung, kebersihan lingkungan harus diperhatikan dan penerapan rantai dingin mutlak diperlukan agar diperoleh produk fillet dengan kualitas baik (Liviawaty, 2010). 13 4. Penyimpanan Suhu Dingin Pendinginan merupakan teknologi pengawetan pangan yang didasarkan pada pengambilan panas dari bahan. Secara umum, penurunan suhu mengakibatkan penundaan seluruh perubahan yang dapat terjadi selama penyimpanan. Akibatnya, reaksi biokimia dan perubahan akibat pertumbuhan mikrobia menjadi lambat atau menurun. Dampaknya adalah daya simpan produk menjadi lebih panjang. Walaupun suhu rendah dapat menghambat perubahan dalam produk, tetapi proses ini bukan merupakan sterilisasi sehingga tidak menyebabkan inaktivasi mikroba (Estiasih, 2009). Metode yang dapat digunakan untuk memperlambat proses penurunan kesegaran ikan secara fisik dapat dilakukan dengan pengaturan suhu. Pada penanganan ikan segar, temperatur lingkungan yang digunakan untuk memperpanjang masa simpan adalah suhu rendah. Penggunaan suhu rendah untuk mempertahankan kesegaran pada ikan yang sudah mati dilakukan guna menghambat aktivitas biokimia dan aktivitas bakteri pembusuk dan bakteri patogen. Suhu rendah bukan bukan cara yang efektif untuk membunuh bakteri pembusuk maupun patogen didalam bahan pangan, tetapi hanya menghambat aktivitas dan pertumbuhan bakteri. Pendinginan adalah penanganan hasil perikanan yang dilakukan pada suhu rendah, yaitu berkisar -1 hingga 150C yaitu suhu awal berlangsungnya proses pembekuan ikan. Pendinginan mampu mengawetkan ikan segar selama beberapa hari atau minggu tergantung kondisi awal ikan pada saat akan didinginkan. Jumlah total bakteri biasanya berkurang selama pendinginan atau pembekuan. Namun penurunanan tersebut hanya terjadi pada bakteri termofilik dan mesofilik. Beberapa spesies bakteri pembusuk yang bersifat psikrofilik tetap mampu bertahan selama masa penyimpanan pada suhu rendah. Bakteri ini akan berkembang dengan cepat pada saat suhu ikan meningkat kembali, misalnya pada saat thawing (pelelehan) (Liviawaty, 2010). 14 5. Bakteriosin Bakteri asam laktat (BAL) mampu berperan sebagai penghasil senyawa antimikroba, baik melalui penggunaannya secara langsung di dalam makanan pada proses fermentasi maupun melalui metabolitmetabolit yang dihasilkannya untuk memperpanjang masa simpan, meningkatkan kualitas produk serta menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan pembusuk. Metabolit-metabolit bakteri asam laktat yang berfungsi sebagai senyawa antimikroba antara lain asam organik, bakteriosin, dan hidrogen peroksida (Hafsan, 2014) Bakteriosin merupakan substansi protein yang umumnya mempunyai berat molekul kecil serta memiliki aktivitas sebagai bakterisidal (membunuh bakteri). Bakteriosin disintesa secara ribosomal berupa kompleks peptida berukuran 20-60 asam amino dengan gen pengkode terdapat di dalam plasmid. Bakteriosin mudah didegradasi enzim proteolitik dan tahan terhadap panas (thermostabil) (Hafsan, 2014). Sedangkan menurut Fawzya (2010), bakteriosin adalah protein yang bersifat toksin, dihasilkan oleh bakteri dan memiliki kemampuan menghambat bakteri lain (dari spesies yang sama, berbeda strain untuk spektrum yang sempit atau bakteri lain yang berbeda spesies untuk spektrum yang luas). Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri penghasil bakteriosin yang banyak dieksplorasi karena penggunaannya yang luas untuk industri pangan. Berbagai jenis bakteriosin yang dihasilkan oleh BAL yang telah dilaporkan antara lain plantacin B oleh Lactobacillus plantarum, lactacin F oleh Lactobacillus acidophillus, brevicin oleh L.brevis, sakacin A oleh L.sakei; pediocin oleh Pediococcus acidilactici F11; dan nisin oleh Lactococcus lactis. Sebagai komponen protein, bakteriosin dapat terdegradasi pada sistem pencernaan. Beberapa kelebihan bakteriosin yang menjadikannya potensial digunakan sebagai biopreservatif yaitu: (i) bukan bahan toksik dan mudah mengalami degradasi oleh enzim proteolitik karena merupakan senyawa protein; (ii) tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah 15 dicerna oleh enzim saluran pencernaan; (iii) dapat mengurangi penggunaan bahan kimia sebagai pengawet pangan; (iv) penggunaannya fleksibel; dan (v) stabil terhadap pH dan suhu yang cukup luas sehingga tahan terhadap proses pengolahan yang melibatkan asam dan basa, serta kondisi panas dan dingin (Usmiati dan Richana, 2011). Bakteriosin yang didapatkan dari BAL dapat dikelompokan menjadi tiga sesuai sifat biokimia dan genetiknya. Berikut pengelompokan bakteriosin berdasarkan Ross et al (2002), Marwati (2012) dan Zacharof et al (2012) : a) Kelas I : Golongan Lantibiotik Bakteriosin berukuran kecil yang biasanya terdiri dari satu atau dua peptide dengan berat molekul kurang lebih 3 kDa. Lantibiotik adalah kelas zat peptide yang mengandung karakterisitik polycgylic thioeter asam amino lanthionine atau methyl lanthionine, serta asam amino tak jenuh dehydroalanine dan 2-aminoisobutyric acid. Nisin dan lacticin 3147 yang termasuk dalam golongan lantibiotik mampu menghambat berbagai bakteri gram positif. Lantibiotik dibagi menjadi 2 kelompok yakni lantibiotik jenis A dan lantibiotik jenis B. Lantibiotik jenis A memiliki molekul fleksibel memanjang, berbentuk sekrup, bermuatan positif dan memiliki membran depolarisasi. Memiliki molekul massa bervariasi antara 2 sampai 4 kDa. Contoh dari lantibiotik jenis ini adalah nisin dan lacticin 3147. Lantibiotik jenis B memiliki struktur globural dan dapat mengganggu reaksi enzimatik seluler. Molekul massa mereka terletak antara 2 sampai 3 kDa dan tidak memiliki muatan. Contoh dari lantibiotik jenis ini adalah mersacidin, actagardine. b) Kelas II : Peptida kecil tidak termodifikasi Bakteriosin ini adalah peptide tidak termoditifikasi, relatif tahan panas, non-lanthionine mengandung membran aktif peptide, dan berukuran kecil sekitar <10 kDa, yang dibagi menjadi dua kelompok utama. Kelas IIa adalah pediocin – seperti atau bakteriosin aktif 16 Listeria. Contoh dari bakteriosin jenis ini adalah pediocin PA-1 dan sakacin A. Kelas IIb adalah bakteriosin yang terdiri dari dua peptide yang terpisah atau bakteriosin yang memerlukan dua peptide untuk bekerja secara sinergis dalam aktivitas antimikrobanya. Contoh dari bakteriosin jenis ini adalah lactacin F dan lactococcin G. c) Kelas III : Protein Besar Labil Terhadap Panas Bakteriosin kelas III terdiri dari protein yang labil terhadap panas berukuran besar yakni >30 kDa. Bakteriosin yang mewakili kelompok ini adalah Helvetin J yang diproduki oleh Lactobacillus helveticus dan enterolysin yang diproduksi oleh Enterococcus Faecium. d) Kelas IV : Bakteriosin kelas IV merupakan bakteriosin yang mengandung protein kompleks, terdiri atas komponen karbohidrat maupun lipid. Fawya (2010) mengatakan bahwa Lactococcus lactis subsp. Lactis adalah bakteri gram positif yang menghasilkan asam laktat dan bakteriosin yang disebut nisin. Nisin (C14H228O37N42S7) memiliki berat molekul 3348, tersusun dari 34 asam amino dengan didehidroalanillisin pada terminal karboksilat (COOH) dan isoleusin pada terminal NH2. Nisin lebih bersifat antimikroba, bukan antibiotik. Kelarutan, stabilitas, dan aktivitas biologi nisin sangat tergantung pada pH larutan. Meningkatnya pH dapat menyebabkan penurunan ketiga parameter tersebut secara drastis. Kelarutan nisin pada pH 2,0 adalah sekitar 57 mg/mL dan menurun apabila pH larutan turun. Stabilitas nisin berkaitan dengan kelarutannya. Larutan nisin dapat dimasak (direbus) dalam asam klorida encer pada pH ≤ 2,5 tanpa mengalami penurunan aktivitas biologi. Nisin juga tetap stabil setelah diautoklaf pada suhu 115,60C pH 2,0. Zacharof dan Lovitt (2012) menambahkan bahwa nisin stabil terhadap panas pada suhu 1210C tetapi untuk pemanasan yang lama menjadi lebih kurang stabil, terutama antara pH 5 sampai 7. Asam klorida adalah larutan akuatik dari gas hidrogen klorida (HCl). Penggunaan HCl 0,02 N dengan pH ≤ 2 dapat digunakan sebagai pelarut nisin tanpa mengalami penurunan aktivitas biologi. 17 Nisin adalah peptida yang terdiri dari 34 residu asam amino dengan berat molekul 3,5 kDa dan diklasifikasikan sebagai bakteriosin kelas Ia atau lantibiotik. Nisin memiliki molekul permukaan yang aktif yang mampu mengikat senyawa yang berbeda misalnya asam lemak atau fosfolipid. Hal ini membuatnya cocok untuk mengadsorpsi permukaan padat dan membunuh sel-sel bakteri. Bakteriosin akan menembus membran sitoplasma dengan membentuk pori-pori di membran. Nisin aktif melawan bakteri gram positif namun aktivitas penghambatannya terhadap bakteri gram negatif masih banyak diuji (Laukova et al, 2011). Nisin adalah satu-satunya bakteriosin yang memiliki penggunaan komersial yang sangat luas. Penggunaan nisin sebagai bahan pengawet pangan pada awalnya bertujuan untuk menghambat pembusukan dan mikroorganisme patogen pada pembuatan keju. Namun dengan melakukan sejumlah penelitian dengan memproduksi nisin dan nisaplinR, menunjukan bahwa nisin efektif dalam menghambat L. monocytogenes pada keju dan beberapa jenis produk makanan yang mengandung keju termasuk keju olahan, produk susu, makanan kaleng, produk ikan dan kaleng, pembuatan anggur (wine), dan produk makanan manis (confectionery) (Ross et al, 2002) Nisin telah dinyatakan aman penggunaannya oleh Badan Pangan Dunia (FAO/WHO) sebagai pengawet alami sejak 1969 dan diberikan nomor bahan tambahan makanan (food additive) E234. Pada tahun 1988, nisin diijinkan penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA) pada makanan kaleng untuk menghambat pertumbuhan Clostridium botullinum. Nisin merupakan satu-satunya bakteriosin murni yang disetujui penggunaannya untuk pengawetan makanan di US dan juga telah diijinkan penggunaannya oleh lebih dari 50 negara. Di Indonesia, nisin juga termasuk dalam bahan tambahan makanan yang diijinkan penggunaannya (BPOM No. 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet) (Fawya, 2010). Contoh aplikasi nisin di beberapa negara beserta dengan kadar maksimal nisin 18 berdasarkan Cleveland et al (2001) antara lain adalah Amerika (10.000 IU/g pada keju oles), Argentina (500 IU/g pada keju olah), Italia (500 IU/g pada keju), Belanda (800 IU/g pada keju olah), Rusia (8000 IU/g pada sayur dalam kaleng dan keju olah), Belgia (100 IU/g pada keju), Inggris (tidak ada batasan kadar nisin pada keju dan makanan kaleng), Australia (tidak ada batasan kadar nisin pada keju, tomat dalam kaleng, dan keju olah), Perancis (tidak ada batasan kadar nisin pada keju olah) Nisin dilaporkan memiliki kemampuan menghambat bakteri terutama bakteri Staphylococcus gram aureus, positif seperti Streptococcus Clostridium hemolyticus, botullinum, Listeria monocytogenes, Bacillus stearothermophilus, dan Bacillus subtilis. Bakteri gram negatif relatif lebih tahan terhadap nisin karena dinding selnya kurang permeable (lebih sulit ditembus) dibandingkan dengan bakteri gram positif (Fawya, 2010). Bakteri gram negatif memiliki membran luar (outer membran) pada dinding selnya sehingga lebih resisten terhadap antibakteri bakteriosin. Aktivitas bakteriosin melawan bakteri gram negatif seperti E.coli dan Salmonella hanya tampak pada saat integritas membran luar bakteri terganggu, misalnya setelah perlakuan tekanan osmotic atau pH rendah, pemberian deterjen atau agen pengkelat, atau setelah perlakuan getaran listrik atau tekanan tinggi (Vuyst et al, 2007). Bakteri gram positif lebih efektif dihambat pertumbuhannya oleh nisin dibandingkan bakteri gram negatif. Berdasarkan Purwani dkk (2009), bakteri gram negatif mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antimikroba dikarenakan bakteri gram negatif memiliki sistem seleksi terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida. Struktur dinding sel bakteri gram negatif relatif lebih kompleks, berlapis tiga yaitu lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa lipopolisakarida dan lapisan dalam berupa peptidoglikan. Sedangkan struktur dinding sel bakteri gram positif relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antimikroba untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. 19 Mekanisme kerja awal dari nisin dalam menghambat bakteri gram positif adalah nisin memiliki kemampuan untuk mengikat membran dan membentuk pori yang merusak integritas membran. Pembentukan pori mengarah pada kebocoran ion K+ dan ATP, penipisan Proton Motive Force (PMF), dan depolarisasi dari potensial transmembran yang menyebabkan kematian sel. Dilaporkan juga bahwa nisin dapat mengganggu biosintesis dinding sel dengan mengikat lipid II (pendahulu peptidoglikan) (White, 2011). Zacharof et al (2012) menambahkan bahwa nisin memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan lipid anionic yang berkaitan dengan aktivitas antimicrobial. Pembentukan pori-pori pada membran lipid disebabkan karena interaksi antara pendahulu peptidoglikan yakni lipid II. Kehadiran dari lipid akan meningkatkan kemampuan nisin untuk mendepolarisasi potensial transmembran dan mengganggu lipid yang terikat pada membran. Pada penelitian yang dilakukan oleh Anton et al (2006), dikatakan bahwa nisin yang tertelan atau masuk ke dalam tubuh akan diinaktifkan oleh enzim tripsin dan pankreatin dan tidak akan berpengaruh pada mikroflora usus sehingga dapat disimpulkan bahwa nisin aman untuk digunakan. Nisin yang digunakan pada pengolahan bahan pangan tidak menggunakan nisin dalam bentuk murni karena aktivitas spesifiknya yang sangat tinggi. Oleh sebab itu ditetapkan spesifikasi untuk bahan pangan yakni konsentrat nisin komersial yang mengandung minimal 2,25% nisin aktif. Fawya (2010) menambahkan bahwa secara komersial nisin tersedia dalam suatu formulasi protein terdenaturasi, laktosa dan garam dapur dengan berbagai nama dagang dan produsen yang berbeda seperti Nisaplin (Aplin & Barrett Ltd.), nisni produksi Chihonbio Mfg (Cina), nisitrol dari AS dan nisin dari Rhodia (Perancis) atau tersedia dalam bentuk murni (Koch-Light Ltd; Sigma Chemical Co.). Salah satu produk nisin tersedia dalam bentuk bubuk berwarna putih keabu-abuan atau kekuningan dengan pembawa (carrier) NaCl minimal 50%, umumnya dengan nama dagang Nisin atau Nisaplin. 20 Aktivitas antimikroba bakteriosin bersifat bakterisidal dan bakteriostatik. Secara umum bakteriosin memiliki kemampuan melawan bakteri lain dengan efek bakterisidal dengan mekanisme sebagai berikut: (1) molekul bakteriosin kontak dengan membran sel, (2) proses kontak ini mengganggu potensial membran sitoplasma berupa destabilitasi sehingga sel menjadi tidak kuat, dan (3) ketidakstabilan membran sel mengakibatkan pembentukan lubang/ pori pada membran dengan mengganggu PMF. Pembentukan lubang pada sitoplasma merupakan akibat adanya bakteriosin yang menyebabkan terjadinya perubahan gradient potensial membrane (DP) dan pelepasan molekul intraseluler maupun masuknya substansi ekstraseluler (dari lingkungan). Efeknya pertumbuhan sel terhambat dan menyebabkan proses kematian sel yang sensitif terhadap bakteriosin (Usmiati, 2011). Efektivitas nisin sebagai bahan pengawet tergantung dari besarnya konsentrani nisin yang ditambahkan. Mekanisme kerja nisin diawali dengan pembentukan kompleks nisin dengan lipid II (suatu molekul precursor dalam pembentukan dinding sel bakteri), kemudian kontak langsung kompleks ini dengan membran sitoplasma sel menyebabkan terbentuknya lubang atau pori pada membran sel dan reduksi Proton Motive Force (PMF) sehingga stabilitas membran terganggu. Akibatnya terjadi kebocoran dan pelepasan molekul intraseluler maupun masuknnya substansi ekstraseluler dari lingkungan sehingga menghambat pertumbuhan sel dan diikuti dengan proses kematian pada sel yang sensitif terhadap nisin (Fawya, 2010) Penggunaan bakteriosin komersial sebagai biopreservatif sudah dilakukan di beberapa negara dan diaplikasikan pada beberapa jenis makanan. Beberapa strategi yang mungkin untuk dilakukan dalam aplikasi bakteriosin untuk pengawetan pangan antara lain: 1) Inokulasi bakteri asam laktat penghasil bakteriosin dalam makanan (produksi in situ) contohnya pada proses fermentasi makanan; 2) Penambahan bakteriosin sebagai pengawet makanan yang biasanya digunakan dalam 21 pengawetan bahan makanan segar, seperti daging, ikan, dan buah segar; dan 3) Menggunakan produk hasil fermentasi dengan bakteriosin yang menghasilkan strain sebagai bahan formulasi makanan. Contohnya pada pembuatan keju (Hafsan, 2014). Penggunaan nisin sebagai bahan pengawet telah banyak diteliti dan diujikan pada beberapa produk pangan, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Behnam et al, (2013) yang menguji efek penyemprotan larutan Nisin komersial (Serva-Nurk yang diproduksi dari Lactococcus lactis, Art number: 30413) pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) yang disimpan pada suhu 4⁰C dalam kondisi vakum. Hasilnya adalah penggunaan nisin pada konsentrasi 100 µg/g dapat mempertahankan kualitas ikan hingga 16 hari penyimpanan dilihat dari angka peroksida, indeks TBA, pH, dan TVB-N ikan. 6. Edible coating Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film). Edible coating merupakan kategori bahan kemasan yang unik yang berbeda dari bahan-bahan kemasan konvensional yang dapat dimakan. Edible coating diklasifikasikan menjadi 3 kategori dengan mempertimbangkan sifat komponennya: (1) hydrocolloids, yakni yang mengandung protein, polisakarida, dan alginat; (2) lemak, yakni yang dibentuk oleh asam lemak, acyglycerol atau waxes; dan (3) komposit, yakni yang dibuat dengan menggabungkan zat dari dua kategori. Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah (intermediate/ moisture foods), produk konfeksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul. Ada lima aplikasi edible coating, yaitu pencelupan (dip application), penyapuan dengan busa (foam application), penyemprotan (spray application), dan penetesan terkontrol (controlled drip application). Pencelupan mempunyai keuntungan antara lain ketebalan materi coating yang lebih besar serta memudahkan pembuatan 22 dan pengaturan viskositas larutan. Kelemahannya adalah munculnya deposit kotoran dari larutan (Arief dkk, 2012) Edible coating dapat berasal dari bahan baku yang mudah diperbaharui seperti campuran lipid, polisakarida, dan protein yang berfungsi sebagai barrier uap air, gas, dan zat-zat terlarut lain serta berfunsi sebagai carrier (pembawa) berbagai macam ingridien seperti emulsifier, antimikroba dan antioksidan. Beberapa keuntungan produk yang dikemas dengan edible coating berbasis pati antara lain (1) menurunkan aktivitas air pada permukaan bahan sehingga kerusakan oleh mikroorganisme dapat dihindari karena terlindung oleh lapisan edible; (2) memperbaiki struktur permukaan bahan sehingga permukaan menjadi mengkilat; (3) mengurangi terjadinya dehidrasi sehingga susut bobot dapat dicegah; (4) mengurangi kontak oksigen dengan bahan sehingga oksidasi atau ketengikan dapat dihambat; (5) sifat asli produk seperti flavor tidak mengalami perubahan; dan (6) memperbaiki penampilan produk (Widaningrum dkk, 2015). Kemasan antimikroba merupakan suatu kemasan yang dapat menghentikan, menghambat, mengurangi, atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogen pada makanan dan bahan kemasan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa edible coating/ film dapat berfungsi sebagai pembawa (carrier) aditif makanan seperti bersifat agens antipencoklatan, antimikroba, pewarna, pemberi flavour, nutrisi dan bumbu. Edible coating/ film yang bersifat antimikroba berpotensi dapat mencegah kontaminasi patogen pada berbagai bahan pangan yang memiliki jaringan (daging, buah-buahan, dan sayuran). Kombinasi antimikroba dengan pengemas film untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba pada makanan dapat memperpanjang masa simpan dan memperbaiki mutu pangan. Jenis bahan antimikroba yang dapat ditambahkan ke dalam matriks edible coating/ film antara lain adalah minyak atsiri, rempah-rempah dalam bentuk bubuk atau oleoresin, kitosan, dan bakteriosin seperti nisin. Keuntungan penambahan bahan aktif 23 antimikroba ke dalam edible coating adalah meningkatkan daya simpan. Selain itu, sifat penghalang yang berasal dari lapisan film yang diperkuat dengan komponen aktif antimikroba dapat menghambat bakteri pembusuk dan mengurangi resiko kesehatan (Winarti dkk, 2012). Salah satu polisakarida yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan edible coating adalah tapioka. Tapioka mudah didapatkan dan harganya relatif lebih murah. Menurut Santoso dkk (2004), edible coating dari tapioka memiliki kelebihan yaitu sifat kohesif sangat baik, laju transmisi gas dan uap air rendah, namun tapioka mempunyai kelemahan yaitu ketahanan uap air sangat rendah. Beberapa penelitian telah menambahkan bahan antimikroba ke dalam edible coating/ film berbahan dasar pati tapioka. Utami dkk (2013) melaporkan bahwa penambahan 0,1% minyak atsiri kunyit putih (Kampferia rotunda) pada edible film pati tapioka mampu menghambat Pseudomonas putida dan Pseudomonas fluorescens. Utami dkk (2015) melaporkan bahwa penambahan oleoresin daun jeruk purut mampu menurunkan jumlah mikroba dan menstabilkan warna sosis sapi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rokhati dkk (2015), penambahan larutan kitosan pada edible film pati tapioka mampu meningkatkan aktivitas mikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba pada buah strawberry dibandingkan dengan penggunaan edible film yang hanya menggunakan pati tapioka. Penggunaan edible coating antimikroba yang terbuat dari tapioka dengan penambahan nisin telah banyak diteliti. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Resa et al (2014) dimana nisin dan natamisin ditambahkan ke dalam edible film berbasis pati tapioka untuk mengontrol pertumbuhan kultur pada keju Port Salut. Hasilnya adalah penggunaan nisin pada matriks pati tapioka dapat digunakan untuk mengontrol pertumbuhan L. innocua pada kultur keju Port Salut dan memiliki potensi yang besar sebagai kemasan antimikrobia. Basch et al (2011) juga melaporkan penggunaan nisin pada edible film pati tapioka dimana penggunaan kombinasi nisin dengan edible film pati tapioka dapat 24 dikembangkan sebagai kemasan aktif sebagai penghalang keberadaan mikroba pada pangan dan bertindak sebagai penghalang kontaminasi pada produk. 25 B. Kerangka Berpikir Ikan patin merupakan ikan unggulan ekspor yang biasanya dalam bentuk fillet Kerusakan fillet ikan selama penyimpanan dingin disebabkan karena peristiwa autolisis, oksidasi lemak dan adanya pembusukan oleh bakteri Nisin yang dihasilkan oleh L. lactis diketahui sebagai senyawa biopreservatif dalam makanan Perlu dikaji pengaruh penggunaan Nisin terhadap kualitas fillet ikan patin selama penyimpan dingin Fillet ikan yang disimpan dalam keadaan dingin masih bisa mengalami kerusakan Dibutuhkan metode pengawetan fillet ikan agar tidak terjadi penurunan kualitas Penggunaan nisin dengan aktivitas tertentu dapat mempertahankan kualitas bahan pangan Gambar 2.2 Kerangka Berfikir C. Hipotesis Penggunaan nisin dari Lactococcus lactis subs. Lactis dengan metode edible coating berbasis tapioka berpengaruh terhadap kualitas fillet ikan patin (Pangasius hypophthalmus) dilihat dari angka TPC, pH, TVB-N dan TBA yang disimpan pada suhu dingin (4±1⁰C) selama 16 hari penyimpanan.