PENGARUH PERCEIVED BEHAVIORAL CONTROL, DUKUNGAN SOSIAL, DAN RELIGIUSITAS TERHADAP PENERIMAAN DIRI ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) Oleh: Lailatul Ikromah NIM: 1110070000080 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M i MOTTO DAN PERSEMBAHAN If ALLAH brings you to it, He will bring you THROUGH it. BELIEVE IN HIM! Allah loves you more than anyone does. PERSEMBAHAN: Kupersembahkan skripsi ini untuk keluarga, sahabat, dan orang-orang yang selalu mendukung dan menyayangi penulis sepenuh hati. Khususnya untuk kedua pintu surga bagi penulis, Mama dan Ayah. Skripsi ini untuk kalian v ABSTRAK A) Fakultas Psikologi B) Maret 2015 C) Lailatul Ikromah D) Pengaruh Perceived Behavioral Control, Dukungan Sosial, dan Religiusitas terhadap Orang Tua yang Memiliki Anak Down Syndrome E) xv + halaman + lampiran F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 150 orang tua yang memiliki anak down syndrome di komunitas POTADS yang diambil dengan teknik non probability sampling yaitu accidental sampling. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat ukur penerimaan diri yang dibuat sendiri berdasarkan tahapan penerimaan diri menurut Kubler Rose (Gargiulo, 2004), alat ukur perceived behavioral control disusun oleh peneliti berdasarkan pedoman Francis dkk (2004), alat ukur dukungan sosial berdasarkan dimensi menurut Sarafino (2011), dan memodifikasi alat ukur religiusitas yaitu Centrality of Religiosity Scale (CRS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan bahwa dari sebelas independen variabel hanya tiga independen variabel (control belief, dukungan nyata atau instrumental, dan ideologi) yang berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Sementara itu, perceived power, dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan kelompok, intelektual, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Penulis berharap implikasi dari hasil penelitian ini dapat dikaji kembali dan dikembangkan dalam penelitian selanjutnya, misalnya, dengan menambah variabel lain yang terkait dengan penerimaan diri. G) Bahan Bacaan: 27; 10 buku + 14 jurnal + 1 skripsi + 2 artikel vi ABSTRAK A) Psychology Faculty B) March 2015 C) Lailatul Ikromah D) Effect of Perceived Behavioral Control, Social Support, and Religiosity of the Parents of Down Syndrome Children E) xv + page + attachments F) This study was conducted to determine the effect of perceived behavioral control, social support, and religiosity on self-acceptance of parents who have children with Down syndrome. This study used a quantitative approach with multiple regression analysis. The sample totaled 150 parents who have children with Down syndrome in the community POTADS taken with accidental sampling. In this study, the authors use the gauge self-acceptance self made based on the stage of self-acceptance by Kubler Rose (Gargiulo, 2004), perceived behavioral control measurement tool was developed by the researchers based on the guidelines Francis et al (2004), measuring instruments based on the dimensions of social support according Sarafino (2011), and modify the measuring instrument religiosity that centrality of Religiosity Scale (CRS). The results of this study indicate that there is the influence of perceived behavioral control, social support, and religiosity on self-acceptance of parents who have children with Down syndrome. The test results showed that the minor hypothesis of eleven independent variables only three independent variables (control belief, real or instrumental support, and ideology) that significantly influence the acceptance of parents who have children with Down syndrome. Meanwhile, perceived power, emotional support, information support, support groups, intellectuals, religious activities of the group, individual religious activities, and religious experience does not have a significant effect on self-acceptance of parents who have children with Down syndrome. The author hopes that the implications of these results can be reviewed and developed in subsequent studies, for example, by adding other variables associated with self-acceptance. G) Reading Materials: 27; 10 books + 14 journals + 1 thesis + 2 article vii KATA PENGANTAR Segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat Nya kepada manusia. Banyak pihak yang telah membantu sehingga karya ini terselesaikan, maka penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si., Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta para wakil dekan, Dr. Abdul Rahman Shaleh, M.Si, Bapak Ikhwan Luthfi, M.Si, dan Dra. Diana Mutiah, M.Si. 2. Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh ketulusan dan kesabaran serta memberikan wawasan baru terhadap penulis. 3. Drs. Akhmad Baidun, M,Si dosen pembimbing akademik serta seluruh dosen dan staf Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dalam penyelesaian karya ini. 4. Ibu Solicha, M.Si dosen penguji 1 dan Bapak Miftahuddin, M.Si dosen penguji 2 yang telah memberikan saran dan arahan untuk perbaikan skripsi ini. 5. Keluarga besar Persatuan Orang Tua dengan Anak Down Syndrome (POTADS), yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk mengambil data dalam karya ini. 6. Bapak Zaini Kibong dan Ibu Siti Nurjanah, orangtua tercinta yang merupakan motivasi terbesar penulis dalam menyelesaikan karya ini, yang viii selalu mendukung serta mengorbankan segala yang dimilikinya untuk kebahagiaan penulis. Kakak dan adik tersayang Imran Maulana dan Inayatus Sholeha yang memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya ini, serta seluruh keluarga besar yang selalu membantu dan memberikan kemudahan kepada penulis. 7. Keluarga besar kelas B 2010. Estu, Ainun, Retno, Ajeng, Gina, Putri, Nisa, Anita, Sunny, Niken, Winda, Fadhila, Yuni, Syifa, Isnia, Nisyub, Ncan, Tyyas, Adila, Qory, Isti, Skay, Saul, Sabe, Aini, Viny, Chintya, Katty, Aris, Didik, Iil, Kaiki, Danar, Adit, Gian, Deri, Bobby, dan Lian. Terima kasih untuk 5 tahun terakhir yang kita habiskan bersama di kampus dengan canda tawa, tangis haru, kemenangan, kenangan dan support yang kalian berikan kepada penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang. Banyak cinta untuk kalian. Terima kasih. 8. Geng Birthday. Hilal, Chatrine, Kipli, Diko, Adan, Satrio, Ndot, Epi, dan Ekky terima kasih untuk selalu memberikan canda tawa dan support di sela-sela penulisan karya ini. Khususnya untuk Hilal Akbar Firdaus yang selalu menemani dan memberikan kasih sayang serta perhatian kepada penulis. 9. Pejuang Wisuda Mei 2015 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Khususnya untuk Syifa, Rahma, dan Vina yang berjuang bersama dari proses daftar sidang sampai daftar wisuda bareng. Alhamdulillah dan terima kasih untuk support dan kepedulian kalian yang luar biasa. ix 10. Untuk kakak senior, teman seperjuangan angkatan 2010, dan adik junior. Terima kasih telah memberikan motivasi kepada peulis dalam menyelesaikan karya ini. 11. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa, dukungan, serta bantuannya kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan manfaat kepada penulis, pembaca, pihak terkait, serta peneliti yang ingin mengelaborasi penelitian ini. Jakarta, 29 Maret 2015 Penulis x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... HALAMAN PERNYATAAN .................................................................... MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................................................. ABSTRAK .................................................................................................. KATA PENGANTAR ................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. i ii iii iv v vi viii xi xiii xiv xv BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah .................................................... 1.2.1 Pembatasan masalah ..................................................................... 1.2.2 Perumusan masalah ...................................................................... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 1.3.1 Tujuan penelitian .......................................................................... 1.3.2 Manfaat penelitian ........................................................................ 1.4 Sistematika Penulisan ............................................................................ 1-14 1 10 10 11 11 11 12 13 BAB 2 LANDASAN TEORI ...................................................................... 2.1 Penerimaan Diri ..................................................................................... 2.1.1 Pengertian penerimaan diri ........................................................... 2.1.2 Proses dan dampak penerimaan diri ............................................. 2.1.3 Pengukuran penerimaan diri ........................................................ 2.1.4 Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri ............................... 2.2 Perceived Behavioral Control ................................................................ 2.2.1 Pengertian perceived behavioral control ..................................... 2.2.2 Komponen perceived behavioral control ..................................... 2.2.3 Pengukuran perceived behavioral control ................................... 2.3 Dukungan Sosial .................................................................................... 2.3.1 Pengertian dukungan sosial ........................................................... 2.3.2 Dimensi dan sumber dukungan sosial ........................................... 2.3.3 Pengukuran dukungan sosial ......................................................... 2.4 Religiusitas ............................................................................................. 2.4.1 Pengertian religiusitas ................................................................... 2.4.2 Dimensi religiusitas ....................................................................... 2.4.3 Pengukuran religiusitas ................................................................. 2.5 Kerangka Berpikir .................................................................................. 2.6 Hipotesis ................................................................................................. 15-43 15 15 16 20 22 27 27 27 28 29 29 30 31 33 33 33 36 37 42 BAB 3 METODE PENELITAN ............................................................... 44-63 xi 3.1 Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel .............................. 3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ......................... 3.2.1 Variabel penelitian ........................................................................ 3.2.2 Definisi operasional variabel ......................................................... 3.3 Instrumen Pengumpulan Data ................................................................ 3.4 Uji Validitas Konstruk ........................................................................... 3.4.1 Uji validitas konstruk penerimaan diri .......................................... 3.4.2 Uji validitas konstruk perceived behavioral control ..................... 3.4.3 Uji validitas konstruk dukungan sosial ......................................... 3.4.4 Uji validitas konstruk religiusitas ................................................. 3.5 Teknik Analisis Data .............................................................................. 3.6 Prosedur Penelitian ................................................................................. 44 44 44 45 47 51 52 53 55 58 60 63 BAB 4 HASIL PENELITIAN ................................................................... 64-81 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ...................................................... 64 4.2 Analisis Deskriptif ................................................................................ 65 4.3 Kategorisasi Skor ................................................................................... 67 4.3.1 Kategorisasi skor penerimaan diri .................................................. 67 4.3.2 Kategorisasi skor perceived behavioral control ............................ 67 4.3.3 Kategorisasi skor dukungan sosial ................................................. 68 4.3.4 Kategorisasi skor religiusitas .......................................................... 70 4.4 Uji Hipotesis .......................................................................................... 71 BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN .................................. 82-91 5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 82 5.2 Diskusi ................................................................................................... 83 5.3 Saran ....................................................................................................... 89 5.3.1 Saran metodologis ......................................................................... 89 5.3.2 Saran praktis .................................................................................. 90 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 92 LAMPIRAN ................................................................................................ xii DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Skor Favourable dan Unfavourable ............................................ Tabel 3.2 Blue Print Skala Penerimaan Diri ................................................ Tabel 3.3 Blue Print Skala Perceived Behavioral Control .......................... Tabel 3.4 Blue Print Skala Dukungan Sosial ............................................... Tabel 3.5 Blue Print Skala Religiusitas ....................................................... Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Instrumen Penerimaan Diri ........................... Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Instrumen Perceived Behavioral Control ..... Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Instrumen Dukungan Sosial .......................... Tabel 3.9 Hasil Uji Validitas Instrumen Religiusitas ................................... Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden ...................................................... Tabel 4.2 Analisis Deskriptif ....................................................................... Tabel 4.3 Norma Skor .................................................................................. Tabel 4.4 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Penerimaan Diri ........ Tabel 4.5 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Perceived Behavioral Control ......................................................................................... Tabel 4.6 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Dukungan Sosial ....... Tabel 4.7 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Religiusitas ............... Tabel 4.8 Varians DV yang Dijelaskan Oleh Seluruh IV ............................ Tabel 4.9 Anova Pengaruh Seluruh IV terhadap DV ................................... Tabel 4.10 Koefisien Regresi ....................................................................... Tabel 4.11 Proporsi varian DV pada setiap IV ............................................ xiii 47 48 48 49 50 53 55 57 60 64 66 67 67 68 69 70 72 72 73 78 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir ......................................................... 41 xiv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Formulir Permohonan Izin Penelitian Skripsi Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 3 Kuesioner Penelitian Lampiran 4 Syntax Uji Validitas Skala Lampiran 5 Path Diagram xv BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Masalah Kehadiran seorang anak merupakan sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap pasangan suami istri. Anak sebagai buah dalam cinta suami istri merupakan buah hati yang sangat didambakan kelahirannya. Kehadiran seorang anak bukan hanya mempererat tali cinta pasangan suami istri tetapi juga sebagai penerus dalam sebuah keluarga yang tentu saja sangat diharapkan kehadirannya. Mereka tentu menyimpan suatu harapan bahwa kelak anak yang hadir di tengah-tengah mereka adalah seorang anak normal baik secara fisik maupun secara mental. (Rachmayanti, 2007) Melihat pertumbuhan serta perkembangan anak mulai dari bayi sampai dewasa adalah saat yang sangat didambakan dan membahagiakan bagi setiap orang tua. Tapi bila ternyata saat lahir maupun dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya seorang anak mengalami gangguan, tentu keadaan yang ada akan sangat berbeda. Harapan-harapan yang selama ini didambakan oleh orang tua tentu seketika berubah menjadi kekecewaan. Perasaan kecewa dalam diri 1 2 orang tua inilah yang akan mempengaruhi bagaimana penerimaan terhadap seorang anak. Banyak diantara orang tua yang harus menerima kenyataan bahwa anaknya memiliki kebutuhan khusus dibanding dengan anak lainnya, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, down syndrome, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan, autis dan ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders). Reaksi orangtua yang pertama kali muncul saat mengetahui bahwa anaknya mengalami kelainan adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anaknya. Reaksi berikutnya mereka merasa sedih, kecewa dan mungkin merasa marah ketika mereka tahu realitas yang harus dihadapi. Pada saat tersebut, mereka sering merasa bersalah dan menyangkal kenyataan yang dihadapi. Reaksi perasaan biasanya muncul dalam bentuk pertanyaan, mengapa kami dicoba? Apakah kesalahan kami?, dan seterusnya. Setelah itu perasaan tersebut diikuti dengan penerimaan kecacatan anaknya dan mulai bisa menyesuaikan diri dengan kondisi anaknya. Namun demikian proses penerimaan ini akan memakan waktu yang lama; selain itu juga mungkin akan berfluktuasi (Mangunsong, 1998). Gargiulo (2004) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya. Menurut informasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar tentang jumlah anak berkebutuhan khusus tahun 2012, yang teridentifikasi berdasarkan jenis klasifikasinya dapat diketahui bahwa jumlah anak tunagrahita sedang (IQ 3 25-50) dan down syndrome sebanyak 10.563 siswa. Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Berdasarkan hasil studi awal penulis kepada lima orang tua dari anak down syndrome di Jakarta (Desember, 2013), didapatkan hasil bahwa sebanyak 20% responden mengatakan tidak mempercayai kenyataan saat mereka mendengar anak yang dikandungnya mengalami ketidaknormalan dari hasil USG dan informasi dokter ahli kandungan. Kemudian sebanyak 40% menyatakan bahwa mereka mengalami shock berat saat mengetahui anak yang dikandungnya mengalami ketidaknormalan. Terdapat 40% orang tua merasa kecewa dan sedih dengan keadaan anak mereka, empat puluh persen lainnya merasa menerima dan optimis dengan keadaan anak mereka sedangkan 20% lebihnya mengatakan bahwa orang tua bahagia dengan titipan yang diberikan Tuhan. Penulis juga menemukan bahwa 40% orang tua beralasan tetap mengasuh anak mereka karena mereka merasa bahwa dengan kehadiran anaknya yang down syndrome di dalam keluarga, maka mereka akan terlatih lebih sabar dan mendapat banyak ilmu tentang down syndrome. Kemudian 40% lainnya merasa bersyukur dengan kehadiran anak tersebut. Empat puluh persen orang tua menerima anak tersebut dengan berbesar hati dan tulus ikhlas. Sedangkan 20% sisanya merasa bangga karena orang tua tersebut merasa bahwa tidak banyak orang tua yang 4 dapat memiliki anak down syndrome dan menjadi orang tua hebat karena memiliki anak down syndrome. Selain itu juga penulis menemukan 60% orang tua menganggap kebahagiaan dalam mengasuh anak yang tidak normal adalah sebagai hal yang luar biasa karena diberikan kepercayaan oleh Allah SWT untuk mengasuh dan merawat anak down syndrome. Semua responden berasumsi bahwa tingkat keimanan mereka mempengaruhi kebahagiaan mereka dalam menjalankan peran sebagai orang tua yang memiliki anak down syndrome. Healthday, Minggu (2/10/2011), merawat anak down syndrome bukanlah hal yang mudah. Meski begitu, keluarga penyandang down syndrome mengaku lebih bahagia punya anak down syndrome karena lebih memperkaya pengalaman. Survei yang dilakukan Dr Brian Skotko dari Children's Hospital Boston menunjukkan hal yang luar biasa; keluarga penderita down syndrome tidak merasa minder, putus asa atau takut melainkan sangat bahagia. Alasannya memiliki anak down syndrome membuat keluarga harus meningkatkan kualitas hidup dengan mengajarkan kesabaran, penerimaan dan keluwesan. Anak down syndrome telah membuat keluarganya menjadi lebih kuat. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 96% orangtua penyandang down syndrome menyatakan tidak menyesal telah memiliki anak dengan down syndrome. Hampir delapan dari sepuluh orang tua tersebut mengatakan bahwa justru gangguan anaknya itu telah meningkatkan kualitas hidup mereka dengan mengajarkan kesabaran, penerimaan, dan keluwesan. Tak hanya orang tua, saudara-saudara kandung mereka juga memiliki perasaan yang sama. Sembilan 5 puluh empat persen di antaranya mengatakan bahwa mereka merasa bangga akan saudara mereka yang menyandang down syndrome. Sebanyak 88% di antaranya mengatakan bahwa saudara mereka yang menyandang down syndrome itu telah membuat mereka menjadi orang yang lebih baik; Hampir semua penderita down syndrome mengatakan senang dengan kehidupannya saat ini dan menyukai keadaan mereka. Menurut Sarasvati (dalam Rachmayanti, 2007) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis diantaranya adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing orang tua, dan sarana penunjang. Nishinaga (2004) mengatakan bahwa faktor penerimaan diri orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual diantaranya adalah subjective wellbeing, dukungan sosial, dan perceived behavioral control. Ajzen (1991) menyatakan bahwa perceived behavioral control mengacu pada persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan sebuah perilaku, atau persepsi seseorang mengenai seberapa mudah atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) ditemukan bahwa kebanyakan dari partisipan menjawab mereka telah mengalami stres oleh rendahnya perceived behavioral control mereka pada awal-awal mengasuh anak dengan keterbelakangan intelektual. Partisipan menyebutkan bahwa perasaaan 6 mereka yang awalnya merasa direpotkan oleh anak-anak mereka berubah seketika ketika fitur-fitur penerimaan (acceptance) mereka tentang diri mereka dan anakanak mereka berubah. Jadi mereka mengatakan sangat dibutuhkan sekali dukungan untuk mengajarkan para ibu cara yang sangat penting atau perlu untuk mengambil gambaran dari anak-anak mereka yang mengalami keterbelakangan intelektual. Partisipan lain menyatakan bahwa para ibu harus bisa menegaskan diri mereka kalau mereka itu didukung untuk melakukan apapun untuk anak-anak mereka. Dengan alasan yang disebutkan di atas, perceived behavioral control dapat dipandang sebagai faktor penting bagi penerimaan diri para ibu yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Bisa dikatakan bahwa mengajarkan para ibu bagaimana memperlakukan anak-anak mereka yang memiliki keterbelakangan intelektual akan mengurangi kecemasan mereka dan meningkatkan perceived behavioral control mereka. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti kembali tentang pengaruh perceived behavioral control terhadap penerimaan diri dengan mengambil subjek orang tua yang memiliki anak down syndrome. Selain perceived behavioral control, hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan diri adalah dukungan sosial. Seseorang yang mendapatkan support dari lingkungan dan sosial akan membuat orang tersebut lebih merasa diterima keadaan dirinya oleh lingkungan. Perlakuan lingkungan sosial terhadap seseorang membentuk tingkah laku orang tersebut. Hal ini membuat seseorang yang 7 mendapatkan perlakuan dari lingkungan sosial yang mendukung akan dapat menerima dirinya sendiri dengan lebih baik. (Ismail, 2008) Menurut Sarafino (2011) dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk orang dari orang-orang atau kelompok lain. Aspek-aspeknya adalah dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) ditemukan bahwa setengah dari partisipan (6 orang) yang mengikuti penelitiannya mengatakan bahwa mereka membutuhkan konseling publik untuk para ibu yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Partisipan menyatakan bahwa seorang ibu perlu diterima oleh orang lain (misalnya seorang profesional dokter, konselor) selain keluarga mereka sendiri ketika mereka mengetahui tentang keterbelakangan dari anak – anak mereka. Partisipan yang lain mengatakan bahwa merupakan ujian yang sangat sulit bagi seorang ibu untuk menerima anak mereka yang memiliki keterbelakangan intelektual, jadi sangat dibutuhkan dukungan secara psikologis bagi para ibu tersebut bukan untuk menyangkal diri mereka bahwa mereka tidak bisa menerima anak mereka. Lima partisipan lain (Nishinaga, 2004) menyebutkan bahwa persatuan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat mendukung seorang ibu yang memiliki anak-anak dengan keterbelakangan intelektual secara mental. Partisipan menyatakan sangat terkesan oleh kata-kata “anakmu terlihat sangat cantik atau tampan” yang dikatakan oleh ibu yang lebih tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual dan merupakan anggota dari persatuan orang 8 tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus karena tidak ada satupun orangtua yang memandang anak mereka yang memiliki keterbelakangan intelektual sebagai anak yang lucu-lucu. Partisipan yang lain menyatakan bahwa berbicara dengan anggota dari para persatuan anak berkebutuhan khusus, dia seakan diberi support secara mental karena dia tidak mampu berbicara dengan teman biasa tentang keterbelakangan anaknya itu. Hasil ini menyimpulkan bahwa dukungan sosial itu sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dari penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan intelektual. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti kembali tentang pengaruh dukungan sosial terhadap penerimaan diri dengan mengambil subjek orang tua yang memiliki anak down syndrome. Selain perceived behavioral control dan dukungan sosial, hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan diri adalah kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai salah satu indikator religiusitas seseorang. Glock dan Stark (1968) mengartikan religiusitas yang berasal dari kata religi yaitu simbol sistem, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi. Glock dan Stark mengidentifikasikan lima dimensi dari religiusitas: belief, practice, knowledge, experience, dan consequences. Dimensi religiusitas menurut Huber dan Huber (2012) mengacu pada teori Glock dan Stark (1968): pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan. 9 Penelitian yang dilakukan oleh Handadari (dalam Ulina, 2013) menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental berat. Artinya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Penelitian senada yang dilakukan oleh Badaria dan Astuti (dalam Ulina, 2013) juga menunjukan adanya hubungan antara religiusitas dan penerimaan diri pada penderita diabetes melitus. Tetapi berdasarkan hasil penelitian lainnya menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan penerimaan diri. Hal tersebut dapat terjadi karena religiusitas bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi penerimaan diri (Ulina, et al, 2013) Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini melalui penelitian berjudul “Pengaruh Perceived Behavioral Control, Dukungan Sosial, dan Religiusitas terhadap Penerimaan Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Down Syndrome” 10 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah Penelitian ini dibatasi hanya mengenai pengaruh dari variabel prediktor, yaitu perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. adapun pengertian tentang konsep variabel yang digunakan yaitu: 1. Penerimaan diri dalam penelitian ini adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya (Gargiulo, 2004). 2. Perceived behavioral control dalam penelitian ini mengacu pada persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan sebuah perilaku, yang terdiri dari: control belief dan perceived power (Ajzen, 1991). 3. Dukungan sosial dalam penelitian ini mengacu pada dukungan yang tersedia untuk orang dari orang-orang atau kelompok lain, yang terdiri dari: dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok (Sarafino, 2011). 4. Religiusitas dalam penelitian ini adalah sistem yang berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi, yang terdiri dari pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan (Glock & Stark, 1968). 11 5. Subjek penelitian ini adalah para orang tua yang memiliki anak down syndrome yang termasuk dalam komunitas Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) se-Jabodetabek. 1.2.2 Perumusan masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah ada pengaruh signifikan perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome? 2. Apakah ada pengaruh signifikan dimensi perceived behavioral control terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome? 3. Apakah ada pengaruh signifikan dimensi dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome? 4. Apakah ada pengaruh signifikan dimensi religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome? 5. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: 12 1. Menguji pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. 2. Menguji pengaruh dimensi perceived behavioral control terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. 3. Menguji pengaruh dimensi dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. 4. Menguji pengaruh dimensi religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. 5. Menemukan faktor yang paling berpengaruh terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. 1.3.2 Manfaat penelitian a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran yang dapat bermanfaat bagi dunia psikologi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan dengan penerimaan diri orang tua dan anak berkebutuhan khusus (ABK) khususnya anak down syndrome. b. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat menambah informasi mengenai pentingnya memperkuat perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas orang tua yang 13 memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) khususnya anak down syndrome agar bisa menerima dengan baik dan mengembangkan anak secara optimal. 1.4 Sistematika Penulisan BAB 1 Pendahuluan Berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, pembatasan dan perumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian. BAB 2 Landasan Teori Berisi tentang sejumlah teori yang berkaitan dengan penerimaan diri, perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas, kerangka berpikir, serta hipotesis penelitian. BAB 3 Metode Penelitian Berisi tentang subyek penelitian, variabel penelitian, instrumen penelitian, prosedur penelitian, dan teknis analisis data. BAB 4 Hasil Penelitian Berisi tentang hasil penelitian yang meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis penelitian. 14 BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Berisi tentang kesimpulan dan diskusi berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh. Saran praktis dan teoritis juga akan diberikan sebagai masukan yang bermanfaat berdasarkan hasil penelitian. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini berisi uraian tentang landasan teoritis penelitian ini, yang dibagi menjadi lima subbab. Subbab pertama membahas tentang penerimaan diri, subbab kedua membahas tentang perceived behavioral control, subbab ketiga membahas tentang dukungan sosial, subbab keempat membahas tentang religiusitas, subbab kelima membahas tentang kerangka berfikir, subbab ke enam membahas tentang hipotesis penelitian. 2.1 Penerimaan Diri (Self Acceptance) 2.1.1. Pengertian penerimaan diri (Self Acceptance) Gargiulo (2004) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya. Menurut Rohner (2012) penerimaan orang tua mengarah kepada kehangatan, kasih sayang, peduli, kenyamanan, perhatian, mengasuh, mendukung atau perasaan cinta dimana orang tua dapat merasakan dan menunjukkan kepada anaknya secara fisik maupun verbal. Cronbach (1963) mengungkapkan penerimaan diri ialah karakteristik pribadi seseorang dimana ia dapat menjelaskan mengenai fungsi keberadaan dirinya dengan baik. Hurlock (1974) menyatakan bahwa individu yang mampu menerima diri sendiri berarti harus mampu menerima seperti apa adanya (real self), bukan seperti apa yang 15 16 diinginkan (ideal self), serta memiliki harapan yang realistis sesuai dengan kemampuannya. Dari pengertian di atas mengenai penerimaan diri, maka definisi yang digunakan peneliti adalah definisi dari Gargiulo (2004) yaitu penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya. 2.1.2 Proses dan dampak penerimaan diri (Self Acceptance) Berikut adalah proses penerimaan yang dijelaskan oleh Kubler-Ross berkaitan dengan reaksi atau respon yang diberikan ibu terhadap anak retardasi mental. Reaksi-reaksi tersebut adalah shock dan tidak percaya; dalam banyak kasus terdapat beberapa orang tua yang kurang siap ketika mengetahui kabar kecacatan anak mereka. Orang tua terkadang (denial) menolak kenyataan sebagai bentuk pelarian dari realita bahwa anaknya memiliki kecacatan. Tahap awal ini juga ditandai dengan kesedihan (grief), seperti orang tua yang meratapi kehilangan “anak yang ideal” atau “bayi yang sempurna”. Depresi dan penarikan merupakan konsekuensi-konsekuensi umum dari proses berduka (dalam Gargiulo, 2004). Reaksi awal ini diikuti oleh fase sekunder dibedakan dengan periode disorganisasi emosional seperti yang disebutkan oleh Blacher (dalam Gargiulo, 2004). Hal ini terjadi selama tahapan berlangsung bagi orang tua yang terombangambing antara periode total dedikasi dan pengorbanan diri (postur seorang martir) serta penolakan (dalam hal kasih sayang dan / atau kebutuhan fisik). Gargiulo (1985) mengidentifikasi perilaku ini sebagai indikasi ambivalence. Salah satu 17 perasaan paling umum dan sulit bagi orang tua untuk menangani hal tersebut adalah rasa bersalah (guilt) - yang bagaimanapun juga mereka dapat berkontribusi terhadap kecacatan putra atau putri mereka. Rasa bersalah biasanya mengikuti pola “if only” berpikir seperti ini: “kalau saja saya tidak “minum” ketika saya hamil,” “kalau saja kita pergi ke rumah sakit lebih cepat,” “kalau saja saya menyimpan obat dalam lemari yang terkunci.” Selama tahapan ini, kerugian yang banyak pada umumnya, seperti perasaan bersalah orang tua. Umumnya seperti memperlihatkan kemarahan (anger) dan permusuhan, yang sering diikuti dengan pertanyaan “mengapa saya?” dimana tidak ada jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan itu. Akhirnya, muncul rasa malu dan kecewa (shame and embarrassment) merupakan konsekuensi yang khas pada orang tua sebagai hasil dari memiliki anak dengan disabilitas. Beberapa orang tua yang takut bagaimana keluarga, teman, dan masyarakat pada umumnya akan bereaksi terhadap putra atau putri mereka, dan penarikan sosial merupakan hal yang biasa. Harga diri untuk orang tua juga dapat terancam (Gargiulo, 2004). Tawar menawar (bargaining) dimulai pada fase tersier, seperti orang tua berusaha untuk “menyerang kesepakatan” dengan Tuhan, ilmu pengetahuan, atau siapa pun yang mereka percaya mungkin bisa membantu anak mereka. Jarang terlihat oleh orang luar, itu merupakan salah satu langkah akhir yang berkelanjutan dalam proses penyesuain pada orangtua. Sebuah periode adaptasi dan reorganisasi (adaptation and reorganization) juga terjadi, orang tua menjadi semakin nyaman dengan situasi mereka dan mendapatkan kepercayaan diri dalam kemampuan pengasuhan mereka. Dalam model Gargiulo, seperti pada 18 kebanyakan orang, penerimaan dan penyesuaian (acceptance and adjustment) dipandang sebagai tujuan akhir untuk kebanyakan orang tua. Penerimaan ditandai sebagai keadaan pikiran di mana upaya yang dipertimbangkan untuk mengenali, memahami, dan menyelesaikan masalah. Orang tua juga menemukan bahwa penerimaan tidak hanya melibatkan penerimaan putra atau putri mereka, tetapi juga menerima diri mereka sendiri dan mengakui kekuatan dan kelemahan mereka (Gargiulo, 2004) Terkait dengan penerimaan sebagai konsep penyesuaian, berarti tindakan positif dan maju bergerak (Gargiulo, 2004). Penyesuaian merupakan sebuah tahapan dan, dalam beberapa kasus, proses yang sulit dan seumur hidup yang menuntut penataan kembali pada tujuan dan ambisi. Bagi banyak orangtua, itu adalah perjuangan yang sedang berlangsung. Berdasarkan pemaparan tentang proses reaksi awal penerimaan diri di atas, maka penerimaan yang digunakan oleh penulis adalah menggunakan tahap akhir setelah orang mengalami reaksi shock dan tidak percaya, denial, grief, ambivalence, guilt, anger, shame and embarrassment, bargaining, adaptation and reorganization, dan tahap akhir yaitu penerimaan dan penyesuaian diri. Kubler-Ross (dalam Bergeron & Walfet-Defalque, 2013) menegaskan bahwa urutan lima tahap tidak berurutan dan bahwa tidak semua orang akan mengalami semua tahapan ini karena perjalanan emosional bersifat individual. Tahapan menurut Kubler Ross lebih efektif dijadikan sebagai alat untuk membantu coping individu yang fleksibel. Tahapan ini dapat digunakan untuk memfasilitasi komunikasi dan sebagai bantuan untuk menolong mereka ketika 19 mereka siap untuk berproses pada tahap yang lain. Penelitian ini mengindikasikan seseorang pada waktu yang bersamaan dapat berada dalam tahap yang berbeda, dengan perbedaan derajat (Isadore, Pamela J, Diann C, Patrick, Faye H, Harvey, & John, 1983). Hurlock (1974) membagi dampak dari penerimaan diri menjadi dua kategori sebagai berikut: 1. Dalam penyesuaian diri Orang yang memiliki penerimaan diri mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Ia biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence) dan harga diri (self esteem). Selain itu, mereka juga lebih dapat menerima kritik demi perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan adanya rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistik sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif. Dengan penilaian yang realistik terhadap diri, seseorang akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Ia juga merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain. 2. Dalam penyesuaian sosial Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, serta menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukkan rasa empati dan simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat 20 melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri, sehingga mereka cenderung berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya tanpa mengganggu orang lain, serta toleran dan memiliki dorongan untuk membantu orang lain. Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran diri ideal, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan realitas. 2.1.3 Pengukuran penerimaan diri (Self Acceptance) Salah satu alat ukur penerimaan diri adalah Expressed Acceptance on Scale yang disusun oleh Berger, yang terdiri dari 36 item. (Handayani, et al, 1998). Skala ini mengukur dimensi-dimensi penerimaan diri Berger yang terdiri dari: orientasi keluar, percaya kemampuan diri, bertanggung jawab, menerima sifat kemanusiaan, menyesuaikan diri, perasaan sederajat, berpendirian, menyadari keterbatasan, dan tidak malu (Denmark, 1973). Terdapat pula alat ukur lain yang digunakan untuk mengukur penerimaan diri yaitu The Hoffman Gender Scale (HGS) yang disusun oleh Hoffman (2006) yang terdiri dari 14 item dan 7 item diantaranya mengukur tentang penerimaan diri pada jenis kelamin, yang membahas tentang bagaimana individu merasa 21 nyaman dengan jenis kelaminnya sendiri. Jika seseorang memiliki penerimaan diri yang kuat pada jenis kelaminnya baik sebagai wanita atau pria maka individu tersebut akan menerimanya tanpa ada alasan bahwa hal tersebut menjadi sebuah kritikan bagi identitasnya. Alat ukur penerimaan diri dalam penelitian lainnya menggunakan skala penerimaan diri berdasarkan teori Kubler Ross menggunakan lima tahap penerimaan diri yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance dengan reabilitas sebagai berikut: denial, r = 0.81; anger, r = 0.82; bargaining, r = 0.75; depression, r = 0.72; acceptance, r = 0.86 (Isadore, et al, 1983). Penelitian lain yang menggunakan skala penerimaan diri berdasarkan teori Kubler Ross yaitu penelitian yang dilakukan oleh Bergeron dan Wanet-Defalque (2013) yang mengambil tahapan denial dan acceptance untuk mengukur penerimaan diri pasien penyakit Brief Cope. Penerimaan diri dalam penelitian ini diukur dengan memodifikasi skala penerimaan diri dari Kubler Ross (Gargiulo, 2004). Penulis memfokuskan itemitem self acceptance dan adjusment karena yang ingin dilihat adalah seberapa besar penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan ketika orang tua sudah menerima dirinya memiliki anak down syndrome dapat diartikan bahwa orang tua sudah melewati reaksi-reaksi awal dalam tahapan penerimaan diri. Item berkaitan dengan reaksi-reaksi awal yang mrupakan fase sebelum penerimaan, dibuat sebagai item unfavourable dari penerimaan. 22 2.1.4 Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri (Self Acceptance) Terdapat beberapa faktor yang menentukan bagaimana seseorang dapat menyukai dan menerima dirinya sendiri, dimana faktor tersebut berperan penting bagi terwujudnya penerimaan dalam diri setiap individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri menurut Hurlock (1974) adalah: 1. Self Understanding (pemahaman diri) Pemahaman akan diri sendiri adalah persepsi tentang diri sendiri yang dapat timbul jika seseorang mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Dimana individu dapat memahami dirinya sendiri tidak hanya tergantung pada kemampuan intelektual dirinya saja, melainkan juga pada setiap kesempatannya untuk mengenali dirinya sendiri. Pemahaman diri dan penerimaan diri berjalan secara berdampingan. Individu yang memahami dirinya dengan baik, maka akan menerima keadaan dirinya sendiri dan tidak ada keinginan untuk berpurapura menjadi orang lain, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti semakin orang dapat memahami dirinya sendiri, maka senantiasa ia dapat menerima dirinya. 2. Realistic Expectations (harapan yang realistis) Ketika harapan seseorang akan sesuatu hal adalah realistis, maka kesempatan untuk mencapainya akan terwujud sesuai dengan harapannya. Hal ini dapat memberikan kepuasan pada diri sendiri yang sangat berkaitan dengan penerimaan diri. Adanya harapan yang realistis bisa timbul bila individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan 23 pemahaman mengenai kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya. Jadi, ketika individu memiliki harapan, seharusnya ia telah mempertimbangkan kemampuan dirinya dalam mencapai tujuan tersebut. 3. Absence of Enviromental Obstacies (tidak adanya hambatan lingkungan) Ketidakmampuan individu untuk mencapai tujuannya dapat ditimbulkan dari lingkungan. Jika lingkungan sekitarnya menghalangi individu menunjukkan potensinya atau untuk mengekspresikan dirinya, maka penerimaan dirinya tentu akan sulit tercapai. Sebaliknya, apabila didalam lingkungan individu memberikan dukungan seperti orang tua, guru, dan teman-teman, maka individu dapat mencapai tujuannya, merasa puas atas apa yang telah diraihnya, dan harapannya pun menjadi realistis. 4. Favourable Social Attitudes (tingkah laku sosial yang sesuai) Ketika individu menunjukkan tingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat, maka hal tersebut akan membantu dirinya untuk dapat menerima diri. Yang dimaksud favourable social attitudes disini adalah tidak adanya prasangka terhadap diri atau anggota keluarganya, pengakuan individu terhadap kemampuan sosial orang lain, tidak memandang buruk terhadap orang lain, serta adanya kesediaan individu untuk menerima kebiasaan atau norma lingkungan. 24 5. Absence of severe emotional stress (tidak adanya stres emosional yang berat) Stress menandai kondisi tidak seimbang dalam diri individu yang menyebabkan individu bertingkah laku yang dipandang tidak sesuai oleh lingkungannya. Perubahan pandangan ini dapat menyebabkan pandangan individu terhadap dirinya juga berubah kearah yang negatif, sehingga berpengaruh terhadap penerimaan dirinya. Selain itu, tidak adanya gangguan stress emosional yang berat memungkinkan seseorang untuk melakukan yang terbaik dan tidak hanya mementingkan kepentingan dirinya saja. 6. Preponderance of Successes (kenangan akan keberhasilan) Kegagalan yang dialami oleh individu akan menimbulkan penolakan dalam dirinya, sedangkan keberhasilan dapat berpengaruh pada penerimaan dirinya. Seseorang yang berhasil atau gagal akan mendapatkan penilaian sosial dari lingkungannya. Penilaian sosial inilah yang akan diingat oleh individu karena dapat menjadi suatu penilaian tambahan mengenai dirinya. Ketika seseorang mengalami kegagalan, maka ketika ia mengingat keberhasilan dapat membantu memunculkan penerimaan diri. Sebaliknya, kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan penolakan diri. 7. Identification with Well-adjusted People (identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik) Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan orang yang mampu beradaptasi dengan baik, maka hal ini dapat membantu dirinya untuk 25 mengembangkan sikap-sikap yang positif dalam hidupnya dan bersikap baik yang bisa menimbulkan penilaian diri dan penerimaan diri yang baik. 8. Self Perspective (perspektif diri) Seseorang yang mampu memperhatikan pandangan orang lain terhadap dirinya seperti ia memandang dirinya sendiri adalah seseorang yang memiliki pemahaman diri yang cukup baik daripada seseorang yang memiliki perspektif yang sempit mengenai dirinya, hal inilah yang membuat ia dapat menerima dirinya dengan baik. perspektif diri yang luas diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini, usia dan tingkat pendidikan memegang peranan penting bagi seseorang untuk dapat mengembangkan perspektif dirinya. 9. Good Childhood Training (pola asuh masa kecil yang baik) Meskipun ada bermacam cara penyesuaian diri yang dilakukan seseorang untuk membuat perubahan dalam hidupnya, namun yang menetukan penyesuaian diri seseorang dalam hidupnya adalah pola asuh dimasa kecil. Anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis dimana di dalamnya terdapat peraturan yang mengajarkan kepada anak bagaimana ia menerima dirinya sebagai individu dan cenderung berkembang untuk menghargai dirinya sendiri. Konsep diri mulai terbentuk pada masa kanakkanak dimana pola asuh diterapkan, sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri tetap ada meskipun usia individu terus bertambah. 26 10. Stable Self-Concept (konsep diri yang stabil) Konsep diri yang stabil adalah satu cara bagaimana seseorang mampu melihat dirinya sendiri dengan cara yang sama dari waktu ke waktu. Hanya pada konsep diri yang sesuai seseorang mampu menerima dirinya sendiri. Karena apabila individu memiliki konsep diri yang tidak stabil, bisa saja pada satu waktu ia menyukai dirinya, pada waktu lain ia membenci dirinya sendiri. Ini akan membuatnya kesulitan untuk menunjukkan siapa dirinya kepada orang lain karena ia sendiri merasa bertentangan terhadap dirinya sendiri. Selain faktor di atas, penelitian sebelumnya mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang, diantaranya adalah dukungan sosial, coping stress, self-esteem dan self efficacy, optimisme, perilaku asertif, dan health locus of control (Zalewska, et al, 2006). Selain itu Sarasvati (dalam Rachmayanti, 2007) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis diantaranya adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing orang tua, dan sarana penunjang. Nishinaga (2004) mengatakan bahwa faktor penerimaan diri orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual diantaranya adalah subjective wellbeing, dukungan sosial, dan perceived behavioral control. Dari 27 sebagian faktor yang disebutkan diatas, dalam penelitian ini akan diuji beberapa faktor yaitu perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas. 2.2 Perceived Behavioral Control 2.2.1 Pengertian perceived behavioral control Ajzen (1991) menyatakan bahwa perceived behavioral control (PBC) mengacu pada persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan sebuah perilaku, atau persepsi seseorang mengenai seberapa mudah atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Sedangkan menurut Francis et.al., (2004) perceived behavioral control adalah sejauh mana seseorang merasa mampu untuk menampilkan suatu perilaku. Ajzen (2005) menyatakan bahwa perceived behavioral control dianggap sebagai fungsi dari belief. Belief dalam perceived behavioral control yaitu tentang ada atau tidaknya faktor yang memfasilitasi atau menghalangi terwujudnya sebuah perilaku. Belief ini berdasarkan pada bagian pengalaman masa lalu yang berhubungan dengan perilaku. Namun, perceived behavioral control biasanya juga dipengaruhi oleh informasi dari rekan-rekan dan teman serta faktor lain yang dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi tentang kesulitan dalam mewujudkan perilaku tertentu. 2.2.2 Komponen perceived behavioral control Ajzen (2005) menyatakan bahwa perceived behavioral control terdiri dari dua komponen, yaitu: 28 a. Control belief, yaitu faktor atau kondisi yang membuat perilaku sulit atau mudah untuk dilakukan b. Perceived power, kekuatan dari setiap faktor atau kondisi yang mendukung atau menghambat perilaku. 2.2.3 Pengukuran perceived behavioral control Alat ukur perceived behavioral control ini menggunakan teori planned behavior dari Icek Ajzen. Perceived behavioral control diukur dengan menggunakan kuesioner perceived behavioral control yang disusun oleh penulis sendiri didasarkan pada komponen perceived behavioral control yang dikemukakan oleh Francis et al., (2004). Penghitungan skor perceived behavioral control yaitu dengan rumus dibawah ini: PBC = (a x d) + (b x e) + (c x f) Keterangan: PBC adalah total skor perceived behavioral control a, b dan c adalah nilai masing-masing dari item control belief d, e dan f adalah nilai masing-masing dari item belief power yang berhubungan dengan item control belief. Dalam penelitian ini peneliti memodifikasi alat ukur Ajzen dengan sampel orang tua yang memiliki anak down syndrome. 29 2.3 Dukungan Sosial 2.3.1 Pengertian dukungan sosial Menurut Sarafino (2011) dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk orang dari orang-orang atau kelompok lain (Uchino, 2004). Dukungan bisa datang dari banyak sumber seperti pasangan atau kekasih, keluarga, teman, dokter, atau organisasi masyarakat. Orang dengan dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, dihargai, dan merupakan bagian dari kelompok sosial, seperti keluarga atau organisasi masyarakat, yang dapat membantu pada saat dibutuhkan. Jadi, dukungan sosial mengacu pada tindakan yang benar-benar dilakukan oleh orang lain, atau menerima dukungan. Hampir senada dengan Sarafino, Taylor (2006) mendefinisikan dukungan sosial sebagai bentuk pemberian informasi serta merasa dirinya dicintai dan diperhatikan terhormat, dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban timbal balik dari orang tua, kekasih atau kerabat, teman, jaringan lingkungan sosial serta dalam lingkungan masyarakat. Dukungan sosial merupakan interaksi interpersonal yang di dalamnya terkandung perhatian secara emosional dan penilaian diri yang berhubungan dengan lingkungan sekitar. Dukungan sosial dipercayai mempunyai efek positif secara langsung terhadap kesehatan dan secara tidak langsung dapat menahan efek berbahaya dari stres. Dari pengertian di atas mengenai dukungan sosial, maka definisi yang digunakan penulis adalah definisi dari Sarafino (2011) yang mengartikan 30 dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk orang dari orang-orang atau kelompok lain. 2.3.2 Dimensi dan sumber dukungan sosial Sarafino (2011) membagi dukungan sosial menjadi empat dimensi, yaitu: 1. Dukungan emosional Dukungan emosional seperti menyampaikan empati, kepedulian, perhatian, hal positif, dan dorongan terhadap orang tersebut. Ini memberikan kenyamanan dan kepastian dengan rasa memiliki dan dicintai pada saat stres. 2. Dukungan nyata atau instrumental Dukungan nyata atau instrumental seperti melibatkan bantuan langsung, ketika orang memberikan atau meminjamkan uang atau orang membantu tugas-tugas pada saat stres. 3. Dukungan informasi Dukungan informasi termasuk memberikan nasihat, arah, saran, atau umpan balik tentang cara orang tersebut melakukan sesuatu. 4. Dukungan kelompok Dukungan kelompok mengacu pada ketersediaan orang lain untuk menghabiskan waktu dengan orang, sehingga memberikan suatu perasaan tentang keanggotaan dalam kelompok orang-orang yang memiliki hal yang sama dan kegiatan sosial. 31 Sumber-sumber dukungan sosial banyak diperoleh oleh individu dari lingkungan sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan sosial ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan sosial merupakan aspek paling penting untuk diketahui dan dipahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang akan tahu pada siapa ia akan mendapatkan dukungan sosial yang sesuai dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan sosial memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak. Sarafino (2011) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda, yaitu: pasangan atau kekasih, keluarga, teman, dokter, atau organisasi masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka dukungan sosial yang diterima individu dapat diperoleh dari rekan sejawat di kantor, anggota keluarga, teman sebaya, dan organisasi yang diikuti. Dalam penelitian ini, sumber-sumber dukungan sosial diperoleh dari pasangan, anggota keluarga, teman dan anggota komunitas yang sama-sama memiliki anak down syndrome. 2.3.3 Pengukuran dukungan sosial Contoh pengukuran dukungan sosial yang dilakukan oleh menggunakan alat ukur yang biasa disebut dengan Assessing Social Support: The Social Support Questionaire (SSQ). Terdapat dua aspek yang membentuknya, yaitu persepsi akan jumlah orang dan tingkat kepuasan dari dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial mereka. SSQ pada awal dibentuknya, yaitu pada tahun 1983 oleh Sarason, Levine dan Basbha berjumlah 27 item dari dua aspek. Kemudian pada tahun 1987 32 dirubah menjadi 6 item dan dikenal dengan Social Support Questioner Short Form (Sarason, 1983) Alat ukur lainnya yang digunakan untuk mengukur dukungan sosial adalah Infentory of Socially Supportive Behaviors (ISSB) yang dikembangkan oleh Barrera, Sandler, dan Ramsay (1981). Terdiri dari 40 item dengan menggunakan 5 skala poin: 1 (tidak sama sekali), 2 (sekali atau dua kali), 3 (sekali dalam seminggu), 4 (beberapa kali), 5 (setiap hari). ISSB terlihat sebagai alat menjanjikan untuk memahami proses pemberian bantuan yang alami. Pengukuran dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dukungan sosial yang disusun berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Sarafino (2011) yaitu dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok. Untuk mengukur dukungan sosial dibuat indikator-indikator berdasarkan keempat dimensi di atas yaitu: Dukungan emosional mencakup empati, peduli, perhatian, perasaan nyaman, dan perasaan dicintai. Dukungan nyata atau instrumental mencakup melibatkan bantuan langsung, dan membantu tugas pada saat stres. Dukungan informasi mencakup pemberian nasehat, pemberian saran, dan pemberian bimbingan. Dukungan kelompok mencakup menjadi anggota dari suatu kelompok, dan mempunyai teman senasib. 33 2.4 Religiusitas 2.4.1 Pengertian religiusitas Glock dan Stark (1968) mengartikan religiusitas adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi. Fetzer (1999) mendefinisikan religiusitas sebagai sesuatu yang lebih menitik beratkan pada masalah perilaku, sosial, dan merupakan sebuah doktrin dari setiap agama atau golongan. Karena doktrin yang dimiliki oleh setiap agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya. Dari pengertian di atas mengenai religiusitas, maka definisi yang digunakan peneliti adalah definisi dari Glock dan Stark (1968) yang mengartikan religiusitas adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi. 2.4.2 Dimensi religiusitas Glock dan Stark telah memberikan pengaruh dalam mendefinisikan orientasi agama, asal-usul, dan dimensi-dimensinya. Glock dan Stark mengidentifikasikan lima dimensi dari religiusitas: belief, practice, knowledge, experience, dan consequences (Glock & Stark, 1968). Dimensi religiusitas menurut Huber dan Huber (2012) mengacu pada teori Glock dan Stark (1968): 34 1. Dari perspektif sosiologis, dimensi pengetahuan keagamaan mengacu pada harapan sosial bahwa orang-orang religius memiliki pengetahuan agama, dan bahwa mereka dapat menjelaskan pandangan mereka tentang transendensi, agama dan religiusitas. Dalam sistem konstruk agama pribadi dimensi ini direpresentasikan sebagai tema yang menarik, keterampilan hermeneutik, gaya pemikiran dan interpretasi, dan sebagai tubuh pengetahuan. Indikator umum untuk dimensi pengetahuan keagamaan adalah frekuensi berpikir tentang isu-isu agama. Hal ini menunjukkan seberapa sering isi religius “diperbarui” melalui media berpikir, yang mengarah ke jantung dimensi pengetahuan keagamaan. Selanjutnya, isi indikator ini adalah independen dari bias pengakuan atau afiliasi keagamaan. Oleh karena itu dapat diterapkan di seluruh agama. 2. Dimensi keyakinan keagamaan mengacu pada harapan sosial bahwa agama individu memiliki keyakinan tentang keberadaan dan esensi dari sebuah realitas transenden dan hubungan antara transendensi dan manusia. Dalam sistem konstruk agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai keyakinan, keyakinan dipertanyakan dan pola masuk akal. Indikator umum dimensi ini harus fokus hanya pada aspek masuk akal dari adanya realitas transenden, misalnya, “Untuk apa memperpanjang apakah Anda percaya pada keberadaan Tuhan atau sesuatu yang ilahi”. Ini “dasar keyakinan” adalah umum untuk tradisi keagamaan besar, karena merupakan prasyarat untuk semua konsep lebih lanjut dan dogma mengenai esensi dari realitas ini. Setelah responden menganggap realitas transenden sebagai masuk 35 akal, konstruksi spesifik transendensi lazim dalam tradisi yang berbeda bisa menjadi psikologis yang relevan. 3. Dimensi kegiatan keagamaan kelompok merujuk pada harapan sosial bahwa agama individu milik umat beragama yang diwujudkan dalam partisipasi publik dalam ritual keagamaan dan kegiatan komunal. Dalam sistem konstruk agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai pola tindakan dan sebagai rasa memiliki terhadap tubuh sosial tertentu serta imajinasi ritual tertentu transendensi tersebut. Intensitas umum dimensi ini dapat diukur dengan mudah dengan bertanya tentang frekuensi seseorang yang mengambil bagian dalam pelayanan keagamaan. Dalam studi antaragama itu dianjurkan untuk beragam label untuk ibadah sesuai dengan agama yang dianut mayoritas responden misalnya “kehadiran di gereja” bagi orang Kristen, dan “shalat Jumat” bagi umat Islam. 4. Dimensi kegiatan keagamaan individu merujuk pada harapan sosial bahwa agama individu mengabdikan diri untuk transendensi dalam kegiatan individual dan ritual di ruang pribadi. Dalam sistem konstruk agama individu dimensi ini digambarkan sebagai pola tindakan dan gaya pengabdian individu kepada transendensi tersebut. Masuk akal untuk mempertimbangkan baik doa dan meditasi ketika mengukur intensitas umum kegiatan keagamaan individu, karena mereka mengekspresikan bentuk-bentuk dasar dan tereduksi menangani diri untuk transendensi. Melekat pada struktur doa adalah tindakan mengatasi sebuah “pendamping”. Dinamika ini menunjukkan pola dialogis spiritualitas. 36 Sebaliknya, meditasi terstruktur lebih mendasar dengan mengacu pada diri sendiri dan / atau prinsipnya semua-meresap, dan karena itu lebih sesuai dengan pola partisipatif spiritualitas. Mengingat kedua bentuk kegiatan keagamaan pribadi berarti bahwa kedua pola dasar spiritualitas tertutup. 5. Dimensi pengalaman keagamaan mengacu pada harapan sosial bahwa orang religius memiliki “semacam kontak langsung kerealitas tertinggi” yang mempengaruhi mereka secara emosional. Dalam sistem konstruk agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai pola persepsi agama dan sebagai tubuh pengalaman dan perasaan religius. Analog ke kegiatan keagamaan individu, dua bentuk dasar mengalami transendensi dapat dibedakan, “satu-ke-satu pengalaman” yang sesuai dengan pola spiritualitas dialogis dan “pengalaman berada di satu” sesuai dengan yang partisipatif. Oleh karena itu, kami menyarankan penggunaan kedua ekspresi pengalaman religius untuk pengukuran intensitas umum. 2.4.3 Pengukuran religiusitas Salah satu pengukuran religiusitas dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang biasa disebut dengan The Daily Spiritual Experiences Scale. Skala ini terdiri dari 16 item yang disusun menggunakan skala Likert dengan 5 pilihan jawaban. Alat ukur lainnya yang digunakan untuk mengukur religiusitas adalah Rajmanickam’s Religious Attitude Scales, skala ini digunakan oleh Mojtaba Aghili dan Kumar (2008) untuk diberikan pada sampel orang Iran yang jumlahnya 37 banyak. Skala ini menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban sangat tidak setuju, tidak setuju, agak setuju, setuju, dan sangat setuju. Pengukuran religiusitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert modifikasi alat ukur CRS yang mengacu pada teori Glock dan Stark meliputi lima jenis yaitu intelektual (pengetahuan keagamaan), ideologi (keyakinan keagamaan), kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan. 2.5 Kerangka Berfikir Kelahiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat menggembirakan bagi pasangan suami istri. Anak merupakan pertautan cinta suami dan istri, serta merupakan buah hati yang sangat diharapkan kehadirannya. Kehadirannya bukan saja mempererat tali cinta pasangan suami istri, tetapi juga sebagai penerus generasi yang sangat diharapkan oleh keluarga tersebut. Saat yang menegangkan dan menggembirakan tersebut dapat berubah menjadi suatu kekecewaan, manakala suami istri menyaksikan anak yang baru dilahirkan itu mengalami kecacatan, atau mempunyai ketidaksempurnaan pada salah satu atau beberapa organ tubuh maupun bagian tubuhnya. Seperti mempunyai kaki dan tangan yang tidak lengkap, tidak sempurnanya fungsi jantung, ginjal atau pun otak yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya dan lain lain. Reaksi umum yang terjadi pada orang tua yang mengetahui anaknya mengalami kecacatan adalah sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak, atau marah-marah (Cartwright, 1984) 38 Memiliki anak down syndrome adalah salah satu pengalaman yang dimiliki oleh beberapa orang tua di dunia. Pengalaman ini pada akhirnya juga dapat mempengaruhi dan membentuk kebahagiaan orang tua melalui evaluasi dan penghayatan terhadap kehidupannya. Sebagai orang tua yang memiliki anak down syndrome, orang tua juga memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki kebahagiaan hidup. Gargiulo (2004) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis diantaranya adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing orang tua, dan sarana penunjang. (sarasvati, 2004). Selain faktor di atas Nishinaga (2004) mengatakan juga bahwa perceived behavioral control dapat dipandang sebagai faktor penting dari penerimaan diri para ibu yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Bisa dikatakan bahwa mengajarkan para ibu bagaimana memperlakukan anak-anak mereka yang memiliki keterbelakangan intelektual akan mengurangi kecemasan mereka dan meningkatkan perceived behavioral control mereka. Unsur-unsur perceived behavioral control yang dimaksud dalam penelitian ini adalah control belief yang dimiliki orang tua yang memiliki anak 39 down syndrome, dan perceived power yang dimiliki orang tua yang memiliki anak down syndrome. Selain perceived behavioral control hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome adalah dukungan sosial. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Sarasvati (2004) salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua adalah dukungan sosial. Dukungan sosial membuat orang tua yang memiliki anak down syndrome lebih dapat menerima dirinya dengan keadaan yang di hadapi. Nishinaga (2004) menjelaskan bahwa dukungan sosial itu sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dari penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan intelektual. Dukungan emosional yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak down syndrome dapat membuat orang tua merasa nyaman tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, diberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta. Dukungan nyata atau instrumental yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak down syndrome membuat orang tua mendapatkan bantuan nyata dengan merawat anak down syndrome. Dukungan informasi yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak down syndrome membuat orang tua mendapatkan informasi sesuai dengan apa yang dihadapi; dalam penelitian ini contohnya adalah informasi mengenai anak down syndrome. Dukungan kelompok yang diterima oleh orangtua yang memiliki anak down syndrome sangat membantu orang tua dalam menerima dirinya dengan dia merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana 40 anggota-anggotanya dapat saling berbagi; misalnya menemani orang yang sedang stres ketika beristirahat atau berekreasi. Selain perceived behavioral control dan dukungan sosial, hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan adalah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Religiusitas memberikan pengaruh positif yang dapat membuat orang tua yang memiliki anak down syndrome berani menghadapi masalahnya, mengatasi rasa cemas, stress atau depresi yang sedang di alami. Penelitian yang dilakukan oleh Handadari (2012) menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental berat. Artinya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Dengan memiliki keyakinan beragama yang kuat, orang tua anak down syndrome meyakini adanya Tuhan dan keajaiban dari Tuhan; kegiatan keagamaan kelompok dan individu yang dijalankan oleh orang tua seperti beribadah sesuai agama yang dianut dan mengikuti siraman-siraman rohani yang mampu meningkatkan keimanan dari orang tua yang memiliki anak down syndrome tersebut. Pengalaman agama yang telah dilalui oleh orang tua dapat memperkuat tingkat religiusitas yang dimiliki, pengetahuan agama yang dimiliki seperti tentang ajaran agama dan dasar-dasar agama yang dianut, dan konsekuensi beragama yang mencakup kesabaran, kejujuran, keihklasan dalam menerima cobaan, dan saling memaafkan yang dimiliki oleh orang tua anak down syndrome 41 akan mempengaruhi penerimaan dan tingkat kebahagiaannya dalam menjalani kehidupannya. Hubungan antar variabel penelitian, selanjutnya dapat dilihat pada bagan kerangka berpikir sebagai berikut: PERCEIVED BEHAVIORAL CONTROL Control Belief Perceived Power DUKUNGAN SOSIAL Dukungan Emosional Dukungan Nyata atau Instrumental Penerimaan Diri Dukungan Informasi Dukungan Kelompok RELIGIUSITAS Pengetahuan Keagamaan Keyakinan Keagamaan Kegiatan Keagamaan Kelompok Kegiatan Keagamaan Individu Pengalaman Keagamaan Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 42 2.6 Hipotesis Penelitian H1 : Ada pengaruh positif signifikan perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H2 : Ada pengaruh yang signifikan control belief dari perceived behavioral control terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H3 : Ada pengaruh yang signifikan perceived power dari perceived behavioral control terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H4 : Ada pengaruh yang signifikan dukungan emosional dari dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H5 : Ada pengaruh yang signifikan dukungan nyata atau instrumental dari dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H6 : Ada pengaruh yang signifikan dukungan informasi dari dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H7 : Ada pengaruh yang signifikan dukungan kelompok dari dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H8 : Ada pengaruh yang signifikan pengetahuan keagamaan dari religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. 43 H9 : Ada pengaruh yang signifikan antara keyakinan keagamaan dari religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H10 : Ada pengaruh yang signifikan antara kegiatan keagamaan kelompok dari religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H11 : Ada pengaruh yang signifikan kegiatan keagamaan individu dari religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. H12 : Ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman keagamaan dari religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. BAB 3 METODE PENELITIAN Pada bab ini dibahas mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas, teknik analisis data, dan prosedur penelitian. 3.1 Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak down syndrome. Dengan jumlah populasi tidak diketahui dalam komunitas POTADS seJabodetabek, karena orang tua yang menjadi anggota dari komunitas ini tidak terikat sehingga bisa dengan bebas keluar atau masuk ke dalam komunitas POTADS. Adapun sampel dalam penelitian ini sebanyak 150 orang tua dengan anak down syndrome. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling, yaitu accidental tekhnik sampling, dimana partisipan diambil dalam kesempatan event yang diselenggarakan oleh komunitas POTADS. 3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 3.2.1 Variabel penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yang digunakan oleh penulis sebagai berikut: 1. Penerimaan Diri (Dependent Variable) 44 45 2. Perceived Behavioral Control (Independent Variable) a. Control Belief b. Perceived Power 3. Dukungan Sosial (Independent Variable) yang bersumber dari pasangan, keluarga, dan teman. a. Dukungan Emosional b. Dukungan Nyata atau Instrumental c. Dukungan Informasi d. Dukungan Kelompok 4. Religiusitas (Independent Variable) a. Pengetahuan Keagamaan b. Keyakinan Keagamaan c. Kegiatan Keagamaan Kelompok d. Kegiatan Keagamaan Individu e. Pengalaman Keagamaan 3.2.2 Definisi operasional Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah penerimaan diri, perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya. Penerimaan diri dalam penelitian ini diukur dengan memodifikasi skala 46 penerimaan diri dari Kubler Ross (Gargiulo, 2004). Penulis memfokuskan item-item self acceptance dan adjusment karena yang ingin dilihat adalah seberapa besar penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan ketika orang tua sudah menerima dirinya memiliki anak down syndrome dapat diartikan bahwa orang tua sudah melewati reaksireaksi awal yang merupakan fase sebelum penerimaan, dibuat sebagai item unfavourable dari penerimaan. 2. Perceived behavioral control adalah sejauh mana seseorang dapat menampilkan perilaku. Perceived behavioral control diukur dengan menggunakan beberapa pernyataan yang telah disiapkan. Pernyataan tersebut disusun penulis berdasarkan pedoman yang digunakan oleh Francis, et al (2004), meliputi dimensi control belief dan perceived power. 3. Dukungan sosial adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh orang-orang terdekat individu, yaitu pasangan, keluarga, dan teman.. Dukungan sosial diukur dengan skala dukungan sosial berdasarkan dimensi-dimensi dukungan sosial yang dikembangkan oleh Sarafino (2011), yaitu dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok. 4. Religiusitas adalah sistem simbol, keyakinan, nilai, dan perilaku yang terlembaga, semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi. Pengukuran religiusitas menggunakan skala model Likert modifikasi alat ukur CRS yang mengacu pada teori Glock dan Stark meliputi lima jenis yaitu pengetahuan 47 keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan. 3.3 Instrumen Pengumpulan Data Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner yang berbentuk skala Likert dengan empat pilihan jawaban, yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Selanjutnya penulis membagi dua kategori item pernyataan, yaitu favorable dan unfavorable dan menentukan bobot nilai sebagai berikut: Tabel 3.1 Skor Favorable dan Unfavorable Skor Alternatif Jawaban Favorable Unfavorable Sangat Setuju 4 1 Setuju 3 2 Tidak Setuju 2 3 Sangat Tidak Setuju 1 4 Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat alat ukur. Adapun empat alat ukur tersebut adalah: 1. Skala Penerimaan Diri Skala penerimaan diri dalam penelitian ini diukur dengan memodifikasi skala penerimaan diri dari Kubler Ross (Gargiulo, 2004). Penulis memfokuskan item-item self acceptance dan adjusment karena yang ingin dilihat adalah seberapa besar penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan ketika orang tua sudah menerima dirinya memiliki anak down syndrome dapat diartikan bahwa orang tua sudah 48 melewati reaksi-reaksi awal yang merupakan fase sebelum penerimaan, dibuat sebagai item unfavourable dari penerimaan. Table 3.2 Blue print skala penerimaan diri No. 1. Tahapan Indikator 1. Tidak malu mengakui anaknya Penerimaan 2. Bersyukur dan 3. Bersikap baik dan Penyesuaian memberikan cinta kasih Diri kepada anak 4. Mengusahakan terapi dan pendidikan bagi anak Jumlah Item Fav Unfav 4 5, 10 1, 6 7, 8 Jumlah 3 2 2 2, 3 9 3 10 2. Skala Perceived Behavioral Control Skala ini disusun berdasarkan pedoman yang digunakan oleh Francis, et al (2004). Adapun blue print dari skala perceived behavioral control sebagai berikut: Tabel 3.3 Blue print skala perceived behavioral control No. Dimensi Indikator 1. 1. Control Belief 2. Perceived Power 1. Nomor Item Fav Unfav Jumlah Kondisi yang membuat individu merasa mudah untuk menerima dirinya memiliki anak down syndrome 1, 2, 3, 4, 5 5 Kondisi yang mendukung untuk memunculkan penerimaan diri 6, 7, 8, 9, 10 5 Jumlah 10 49 2. Skala Dukungan Sosial Untuk mengukur dukungan sosial pada subjek penelitian, penulis membuat sendiri alat ukur dukungan sosial dengan mengacu pada dimensi-dimensi dukungan sosial yang dikemukakan oleh Sarafino (2011). Adapun dimensi-dimensi tersebut adalah dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok. Dukungan sosial ini bersumber dari pasangan, keluarga, dan teman. Tabel 3.4 Blue Print Skala Dukungan Sosial No. Dimensi Indikator 1. Dukungan Emosional 1. Empati 2. Peduli 3. Perhatian 2. Dukungan Nyata atau Instrumental 3. 4. Dukungan Informasi Dukungan Kelompok 1. Bantuan jasa 2. Bantuan Uang Nomor Item Fav Unfav Jumlah 1, 2, 17, 23, 24, 25 9, 10 8 3, 4, 18, 26, 27, 31 11, 12 8 13, 14 8 15, 16 7 1. Mendapatkan nasihat dan 5, 6, 19, 20, saran 2. Mendapatkan 28, 29 informasi 1. Perasaan 7, 8, keanggotaan 21, 22, dalam kelompok 30 2. Saling berbagi permasalahan Jumlah 32 3. Skala Religiusitas Skala religiusitas dalam penelitian ini memodifikasi alat ukur CRS yang mengacu pada teori Glock dan Stark (1968). Item-item dalam skala ini 50 dibuat berdasarkan lima dimensi yaitu pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan. Tabel 3.5 Blueprint Skala Religiusitas No. 1. 2. Dimensi Merasa penting untuk mengetahui Pengetahuan dan Keagamaan memahami pokok-pokok ajaran agama Keyakinan Keagamaan 3. Kegiatan Keagamaan Kelompok 4. Kegiatan Keagamaan Individu 5. Indikator Pengalaman Keagamaan Keyakinan tentang kebenaran konsep teologi Menganggap penting dan melaksanakan ibadah secara berjamaah Melaksanakan ibadah privasi Mengalami peristiwa atau pengalaman batin yang datang dari Tuhan Jumlah Nomer item Fav Unfav Jumlah 1, 6, 11 16 4 2, 7, 12 17 4 3, 8, 13, 18 4 4, 9, 14 19 4 5, 10, 15 20 4 20 51 3.4 Uji Validitas Konstruk Sebelum melakukan analisis data, penulis melakukan pengujian terhadap validitas konstruk keempat instrumen yang dipakai, yaitu penerimaan diri, perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas. Untuk menguji validitas konstruk alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan Confirmatory Faktor Analysis (CFA). Adapun logika dari CFA (Umar, 2011) : 1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya. 2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes bersifat unidimensional. 3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma (Σ), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks Σ - matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan Σ - S = 0. 52 4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chisquare. Jika hasil chisquare tidak signifikan p > 0.05, maka hipotesis nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat diterima bahwa item ataupun sub tes instrumen hanya mengukur satu faktor saja. 5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan tvalue. Jika hasil t-value tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di keluarkan dan sebaliknya. 6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan faktornya negatif, maka item tersebut harus di keluarkan. Sebab hal ini tidak sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable). Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan menggunakan software LISREL 8.70 (Linear Structural Relationship). 3.4.1 Uji validitas konstruk penerimaan diri Penulis menguji apakah ke 10 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur penerimaan diri. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 414.02, df = 35, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.270, oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi- 53 square = 16.66, df = 16, P value = 0.40781, dan nilai RMSEA = 0.017. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.6 berikut ini: Tabel 3.6 Tabel hasil uji validitas instrumen penerimaan diri No Item Lambda Standard Error T Value 1 0.50 0.08 6.18 2 0.56 0.08 7.15 3 0.50 0.08 6.56 4 0.87 0.09 9.90 5 0.76 0.08 9.61 6 0.38 0.08 4.62 7 0.90 0.08 11.12 8 0.68 0.08 8.59 9 0.33 0.07 4.67 10 0.54 0.08 6.79 Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Signifikan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Dari hasil tabel 3.6 dapat kita lihat bahwa semua item yang berjumlah 10 item merupakan item yang signifikan berkoefisien bermuatan positif dengan nilai T > 1.96. 3.4.2 Uji validitas konstruk perceived behavioral control Di bawah ini merupakan tabel 3.7 menjelaskan hasil uji validitas instrumen perceived behavioral control yang meliputi dimensi control belief dan perceived power. Setiap dimensi diuji satu per satu, namun dalam penyajiannya digabung menjadi satu tabel. 54 Langkah pertama penulis menguji apakah 10 item yang terdiri dari 2 dimensi perceived behavioral control bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur perceived behavioral control. Kedua aspek tersebut yaitu dimensi control belief dan perceived power. Berdasarkan CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata pada dimensi control belief model satu faktor tidak fit dengan Chi-square = 75.39, df = 5, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.307, oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-square = 3.94, df = 3, P value = 0.26770, dan nilai RMSEA = 0.046. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Pada dimensi perceived power dari hasil analisi CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 18.65, df = 5, P value = 0.00223, dan nilai RMSEA = 0.135, oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 6.09, df = 4, P value = 0.19286, dan nilai RMSEA = 0.059. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Ada pun hasil uji validitas instrumen perceived behavioral control seluruh dimensi lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3.7 berikut ini: 55 Tabel 3.7 Tabel hasil uji validitas instrumen perceived behavioral control No Item Lambda Standard Error T Value 1 0.80 0.07 11.67 2 0.83 0.07 12.45 3 0.94 0.06 15.16 4 0.81 0.07 12.06 5 0.99 0.06 16.69 6 0.62 0.05 7.14 7 0.57 0.10 5.93 8 0.55 0.09 6.32 9 0.57 0.09 6.52 10 0.64 0.09 6.77 Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Signifikan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Dari hasil tabel 3.7 dapat kita lihat bahwa semua item yang berjumlah 10 item merupakan item yang signifikan berkoefisien bermuatan positif dengan nilai T > 1.96. 3.4.3 Uji validitas konstruk dukungan sosial Di bawah ini merupakan tabel 3.8 menjelaskan hasil uji validitas instrumen dukungan sosial yang meliputi dimensi dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok. Setiap dimensi diuji satu per satu, namun dalam penyajiannya digabung menjadi satu tabel. Langkah pertama penulis menguji apakah 31 item yang terdiri dari 4 dimensi dukungan sosial bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur dukungan sosial. Keempat aspek tersebut yaitu dimensi dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok. Berdasarkan CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata pada dimensi dukungan emosional model satu faktor tidak fit dengan Chi-square = 141.45, df = 20, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.202, oleh sebab itu 56 penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-square = 20.31, df = 15, P value = 0.16025, dan nilai RMSEA = 0.049. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Pada dimensi dukungan nyata atau instrumental dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 183.28, df = 20, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.234, oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-square = 19.11, df = 13, P value = 0.11962, dan nilai RMSEA = 0.056. Sehingga terdapat 1 item yang dikeluarkan atau di drop. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Pada dimensi dukungan informasi dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 158.11, df = 20, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.215, oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 21.75, df = 13, P value = 0.08401, dan nilai RMSEA = 0.061. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Untuk dimensi dukungan kelompok dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 60.80, 57 df = 14, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.150, oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-square = 15.76, df = 10, P value = 0.10683, dan nilai RMSEA = 0.062. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Ada pun hasil uji validitas instrumen dukungan sosial seluruh dimensi lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3.8 berikut ini: Tabel 3.8 Tabel hasil uji validitas instrumen dukungan sosial No Item 1 2 9 10 17 23 24 25 3 4 11 12 18 26 27 31 5 6 13 14 19 20 28 29 7 8 15 16 21 22 30 Lambda 0.59 0.81 0.79 0.45 0.61 0.74 0.45 0.60 0.86 0.74 0.66 0.70 0.39 0.16 0.37 0.33 0.78 0.76 0.48 0.67 0.51 0.67 0.37 0.52 0.86 0.62 0.68 0.65 0.68 0.87 0.41 Standard Error 0.08 0.07 0.07 0.08 0.08 0.07 0.08 0.08 0.07 0.08 0.08 0.08 0.09 0.09 0.09 0.09 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.09 0.09 0.08 0.07 0.08 0.08 0.08 0.07 0.07 0.08 T Value 7.14 11.55 10.62 5.56 7.90 10.28 5.65 7.26 11.60 9.78 8.51 9.14 4.19 1.77 4.27 3.80 10.36 9.88 6.11 8.91 6.11 7.79 4.31 6.67 12.66 7.67 9.61 8.62 9.21 12.51 4.93 Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Signifikan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 58 Dari hasil tabel 3.8 dapat kita lihat bahwa ada 30 item yang signifikan berkoefisien bermuatan positif serta 1 yang bermuatan negatif. Pada muatan yang negatif nilai T Ë‚ 1.96 maka pada item 26 tidak signifikan sehingga item tersebut dikeluarkan. 3.4.4 Uji validitas konstruk religiusitas Di bawah ini merupakan tabel 3.9 menjelaskan hasil uji validitas instrumen religiusitas yang meliputi dimensi pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan. Setiap dimensi diuji satu per satu, namun dalam penyajiannya digabung menjadi satu tabel. Langkah pertama penulis menguji apakah 20 item yang terdiri dari 5 dimensi religiusitas bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur religiusitas. Kelima aspek tersebut yaitu dimensi pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan. Berdasarkan CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata pada dimensi pengetahuan keagamaan model satu faktor ternyata fit dengan Chi-square = 1.47, df = 2, P value = 0.47837, dan nilai RMSEA = 0.000. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Pada dimensi keyakinan keagamaan dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 6.08, 59 df = 2, P value = 0.04789, dan nilai RMSEA = 0.117, oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-square = 0.08, df = 1, P value = 0.78267, dan nilai RMSEA = 0.000. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Pada dimensi kegiatan keagamaan kelompok dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit dengan Chi-square = 0.74, df = 2, P value = 0.69005, dan nilai RMSEA = 0.000. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Untuk dimensi kegiatan keagamaan individu dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 25.46, df = 2, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.281, oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-square = 0.00, df = 1, P value = 1.00000, dan nilai RMSEA = 0.000. Sehingga terdapat 1 item yang dkeluarkan atau di drop. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Untuk dimensi pengalaman keagamaan dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit dengan Chi-square = 2.95, df = 2, P value = 0.22919, dan nilai RMSEA = 0.056. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada 60 lampiran. Ada pun hasil uji validitas instrumen religiusitas seluruh dimensi lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3.9 berikut ini: Tabel 3.9 Tabel hasil uji validitas instrumen religiusitas No Item Lambda Standard Error T Value 1 0.36 0.11 3.46 6 0.77 0.15 5.24 11 0.46 0.11 4.13 16 0.31 0.10 3.00 2 0.75 0.07 10.19 7 0.72 0.07 9.81 12 0.40 0.08 5.22 17 1.04 0.06 16.33 3 0.77 0.08 10.10 8 0.37 0.09 4.26 13 0.86 0.07 11.64 18 0.72 0.08 9.41 4 0.15 0.10 1.53 9 0.68 0.10 6.79 14 0.70 0.10 6.95 19 0.54 0.09 5.75 5 0.98 0.08 11.97 10 0.65 0.08 7.85 15 0.44 0.08 5.33 20 0.52 0.08 6.27 Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Signifikan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ Dari hasil tabel 3.8 dapat kita lihat bahwa ada 19 item yang signifikan berkoefisien bermuatan positif serta 1 yang bermuatan negatif. Pada muatan yang negatif nilai T Ë‚ 1.96 maka pada item 4 tidak signifikan sehingga item tersebut dikeluarkan. 3.5 Teknik Analisis Data Untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas sebagai variabel independen terhadap dimensi penerimaan diri sebagai variabel 61 dependen dan untuk mengetahui seberapa besar sumbangan yang diberikan masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen, maka penulis menggunakan metode statistika karena datanya berupa angka-angka yang merupakan hasil pengukuran atau perhitungan. Variabel bebas pada penelitian ini berjumlah sebelas variabel, dua variabel dari dimensi perceived behavioral control (control belief, dan perceived power), empat variabel dari dimensi dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok) dan lima variabel dari dimensi religiusitas (pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan). Dalam hal ini penulis menggunakan teknik analisis regresi berganda, yang penghitungannya menggunakan bantuan program atau software SPSS 17.0 untuk mengetahui besar dan arah pengaruh antara variabel X1 hingga X11 terhadap variabel Y yang pada penelitian ini adalah penerimaan diri. Adapun persamaan umum analisis regresi bergandanya adalah sebagai berikut: Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X78 + b9X9 + b10X10 + b11X11 + e Keterangan : Y : Dependent Variabel (DV) Penerimaan Diri X1 : Dimensi Perceived Behavioral Control Control Belief X2 : Dimensi Perceived Behavioral Control Perceived Power X3 : Dimensi Dukungan Sosial Dukungan Emosional 62 X4 : Dimensi Dukungan Sosial Dukungan Nyata atau Instrumental X5 : Dimensi Dukungan Sosial Dukungan Informasi X6 : Dimensi Dukungan Sosial Dukungan Kelompok X7 : Dimensi Religiusitas Pengetahuan Keagamaan X8 : Dimensi Religiusitas Keyakinan Keagamaan X9 : Dimensi Religiusitas Kegiatan Keagamaan Kelompok X10 : Dimensi Religiusitas Kegiatan Keagamaan Individu X11 : Dimensi Religiusitas Pengalaman Keagamaan a : Intercept/ konstan b1, b2, ......, b11: Koefisien regresi untuk masing-masing IV e: residual Dalam analisis regresi berganda ini dapat diperoleh beberapa informasi, yaitu: 1. R2 (R square) untuk mengetahui berapa persen (%) sumbangan variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independen. 2. Dapat diketahui apakah secara keseluruhan variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. 3. Diketahui signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing variabel dependen. Koefisien yang signifkan menunjukkan dampak yang signifikan dari variabel independen yang bersangkutan. 4. Dapat diketahui besarnya sumbangan dari setiap variabel independen pada variabel dependen, dan melihat signifikansinya. 5. Semua perhitungan dan komputerisasi dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 17.0 63 3.6 Prosedur Penelitian Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu: a. Mempersiapkan alat pengumpulan data atau instrumen penelitian dengan menentukan alat ukur yang akan digunakan. b. Menterjemahkan item-item alat ukur religiusitas dari bahasa aslinya, yaitu, Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Penulis mengadaptasi itemitem tersebut dan menambahkan atau menguranginya agar dipahami dengan baik oleh responden. c. Meminta expert judgement, yaitu dosen pembimbing yang dianggap ahli untuk menilai apakah pengadaptasian item-item dan penambahan serta pengurangan yang dilakukan sudah benar dan tepat berdasarkan teori yang telah dipaparkan. d. Menyesuaikan hasil expert judgement dengan pengklasifikasian yang telah dibuat, sehingga didapat pengklasifikasian item yang tepat dan sesuai dengan dasar teori yang telah dikemukakan. e. Menyusun alat ukur yang akan disebarkan kepada responden penelitian. Penyusunan terdiri dari pengaturan tampilan huruf dan halaman kuesioner, pengantar penelitian dan petunjuk pengisian, serta pengelompokkan alat ukur menjadi lima bagian, yaitu bagian kata pengantar dan data diri subjek, skala penerimaan diri, skala perceived behavioral control, skala dukungan sosial, dan skala religiusitas. f. Memohon persetujuan dan bimbingan dari dosen pembimbing perihal pelaksanaan penelitian. BAB 4 HASIL PENELITIAN Bab berikut ini akan membahas mengenai analisis data meliputi gambaran responden, deskriptif statistik variabel penelitian, kategorisasi skor variabel penelitian dan hasil uji hipotesis. 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian Pada sub bab ini akan dibahas mengenai responden yang digunakan dalam penelitian ini. Responden dalam penelitian ini sebanyak 150 orang. Responden dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak down syndrome se-Jabodetabek. a. Gambaran subjek penelitian berdasarkan agama dan jenis kelamin Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai latar belakang subjek penelitian, maka pada sub bab ini ditampilkan gambaran banyaknya subjek penelitian berdasarkan agama dan jenis kelamin. Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Agama dan Jenis Kelamin No. Kategorisasi Kategori Frekuensi Presentase berdasarkan 1 Agama Islam 142 94,67% Kristen 8 5,33% 2 Jenis Kelamin Perempuan 111 74% Laki-Laki 39 26% 64 65 Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa keseluruhan responden dalam penelitian ini berjumlah 150 orang. Dengan rincian, responden dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 39 orang (26%) dan perempuan berjumlah 111 orang (74%). Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, jumlah responden perempuan lebih banyak dari laki-laki. Sedangkan berdasarkan agama responden dengan agama Islam berjumlah 142 orang (94,67%) dan agama Kristen berjumlah 8 orang (5,33%). Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, jumlah responden beragama Islam lebih banyak dari Kristen. 4.2. Analisis Deskriptif Hasil analisis deskriptif adalah hasil yang memberikan gambaran data penelitian. Dalam hasil analisis deskriptif ini akan disajikan nilai maksimum, minimum, mean dan standar deviasi dari setiap variabel serta kategorisasi tinggi dan rendahnya skor variabel penelitian. Gambaran hasil analisis deskriptif ini dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut. 66 Tabel 4.2 Tabel analisis deskriptif N Self Acceptance Control Belief Perceived Power Dukungan Emosional Dukungan Nyata atau Instrumental Dukungan Informasi Dukungan Kelompok Pengetahuan Keyakinan Kegiatan Keagamaan Kelompok Kegiatan Keagamaan Individu Pengalaman Keagamaan Minimum Maximum Mean 150 14.68 59.76 50 Standard Deviasi 8.92324 150 -10.64 55.40 50 9.48221 150 31.26 67.04 50 7.93129 150 24.89 64.43 50 8.91264 150 24.99 66.02 50 8.88998 150 23.46 69.23 50 8.84885 150 19.77 64.74 50 9.29662 150 150 150 30.54 7.92 28.11 60.68 55.74 62.99 50 50 50 8.69213 9.23360 7.95623 150 24.57 61.50 50 8.98888 150 21.45 56.64 50 8.53725 Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat dari kolom minimum diketahui variabel control belief memiliki nilai terendah dengan nilai -10.64. Sementara itu, berdasarkan kolom maximum diketahui variabel dukungan informasi memiliki nilai tertinggi dengan nilai 69.23. 67 4.3. Kategorisasi Skor Kategorisasi dalam penelitian ini dibuat menjadi dua kategori yaitu tinggi dan rendah. Adapun norma kategorisasi tersebut dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3 Norma Skor Norma X > Mean X < Mean Intepretasi Tinggi Rendah 4.3.1. Kategorisasi skor penerimaan diri Uraian mengenai gambaran kategorisasi skor variabel berdasarkan tinggi dan rendahnya variabel penerimaan diri dijelaskan pada tabel 4.4 berikut: Tabel 4.4 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat penerimaan diri Kategori Frekuensi Tinggi 90 Rendah 60 Total 150 Presentase 60% 40% 100% Dari tabel tersebut diketahui bahwa terdapat 90 responden (60%) memiliki skor penerimaan diri tinggi dan 60 responden (40%) memiliki skor penerimaan diri rendah. 4.3.2. Kategorisasi skor perceived behavioral control Pada tabel 4.5 akan dijelaskan mengenai distribusi sampel berdasarkan variabel independen, pertama akan dijelaskan mengenai tingkat perceived behavioral control 68 yang terdiri dari dua dimensi perceived behavioral control, yaitu control belief, dan perceived power. Tabel 4.5 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat perceived behavioral control Dimensi Kategori Frekuensi Presentase Control Belief Tinggi 108 72% Rendah 42 28% Perceived Power Tinggi 71 47.33% Rendah 79 56.67% Berdasarkan hasil jawaban kuesioner subjek dalam penelitian ini, subjek memiliki tingkat perceived behavioral control yang berbeda-beda. Setiap dimensi dibagi menjadi dua kategori, tinggi dan rendah. Dari tabel 4.5 diketahui bahwa terdapat 108 responden (72%) memiliki skor control belief tinggi dan 42 responden (28%) memiliki skor control belief rendah. Serta diketahui bahwa terdapat 71 responden (47.33%) memiliki skor perceived power tinggi dan 79 responden (52.67%) memiliki skor perceived power rendah. 4.3.3. Kategorisasi dukungan sosial Pada tabel 4.6 akan dijelaskan mengenai distribusi sampel berdasarkan variabel independen, pertama akan dijelaskan mengenai tingkat dukungan sosial subjek yang terdiri dari empat dimensi dukungan sosial, yaitu dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok. 69 Tabel 4.6 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat dukungan sosial Dimensi Kategori Frekuensi Dukungan Emosional Tinggi 71 Rendah 79 Dukungan Nyata atau Instrumental Tinggi 65 Rendah 85 Dukungan Informasi Tinggi 63 Rendah 87 Dukungan Kelompok Tinggi 71 Rendah 79 Presentase 47.33% 52.67% 43.33% 56.67% 42% 58% 47.33% 52.67% Berdasarkan hasil jawaban kuesioner subjek dalam penelitian ini, subjek memiliki tingkat dukungan sosial yang berbeda-beda. Setiap dimensi dibagi menjadi dua kategori, tinggi dan rendah. Dari tabel 4.6 diketahui bahwa terdapat 71 responden (47.33%) memiliki skor dukungan emosional tinggi dan 79 responden (52.67%) memiliki skor dukungan emosional rendah. Dari tabel tersebut diketahui bahwa terdapat 65 responden (43.33%) memiliki skor dukungan nyata atau instrumental tinggi dan 85 responden (56.67%) memiliki skor dukungan nyata atau instrumental rendah. Dari tabel tersebut diketahui bahwa terdapat 63 responden (42%) memiliki skor dukungan informasi tinggi dan 87 responden (58%) memiliki skor dukungan informasi rendah. Dari tabel tersebut diketahui bahwa terdapat 71 responden (47.33%) memiliki skor dukungan kelompok tinggi, 79 responden (52.67%) memiliki skor dukungan kelompok rendah. 70 4.3.4. Kategorisasi religiusitas Pada tabel 4.7 dijelaskan mengenai distribusi sampel berdasarkan variabel independen, pertama akan dijelaskan mengenai tingkat religiusitas, yaitu variabel pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan. Tabel 4.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat religiusitas Dimensi Kategori Pengetahuan Keagamaan Tinggi Rendah Keyakinan Keagamaan Tinggi Rendah Kegiatan Keagamaan Kelompok Tinggi Rendah Kegiatan Keagamaan Individu Tinggi Rendah Pengalaman Keagamaan Tinggi Rendah Frekuensi 74 76 107 43 76 74 60 90 103 47 Presentase 49.33% 50.67% 71.33% 28.67% 50.67% 49.33% 40% 60% 68.67% 31.33% Dari tabel 4.7 diketahui bahwa terdapat 74 responden (49.33%) memiliki skor pengetahuan keagamaan tinggi dan 76 responden (50.67%) memiliki skor pengetahuan keagamaan rendah. Dari tabel tersebut diketahui 107 responden (71.33%) memiliki skor keyakinan keagamaan tinggi dan 43 responden (28.67%) memiliki skor keyakinan keagamaan rendah. Dari tabel tersebut diketahui 76 responden (50.67%) memiliki skor kegiatan keagamaan kelompok tinggi dan 74 responden (49.33%) memiliki skor kegiatan keagamaan kelompok rendah. Dari tabel tersebut diketahui 60 responden (40%) memiliki skor kegiatan keagamaan individu 71 tinggi dan 90 responden (60%) memiliki skor kegiatan keagamaan individu rendah. Dari tabel tersebut diketahui 103 responden (68.67%) memiliki skor pengalaman keagamaan tinggi dan 47 responden (31.33%) memiliki skor pengalaman keagamaan rendah. 4.4. Uji Hipotesis Selanjutnya, analisis uji hipotesis yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik regresi berganda. Data yang dianalisis adalah faktor score atau true score yang diperoleh dari hasil analisis faktor. Pada tahapan ini penulis menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunakan software SPSS 17. Dalam regresi ada tiga hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen varians variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independen, kedua apakah secara keseluruhan variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen , dan yang ketiga adalah melihat siginifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing variabel independen. 4.4.1. Uji hipotesis penerimaan diri Pengujian hipotesis dilakukan dengan beberapa tahapan. Langkah pertama penulis melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen varians variabel dependen 72 yang dijelaskan oleh variabel independen. Selanjutnya untuk tabel R square dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut: Tabel 4.8 Varians variabel dependen yang dijelaskan oleh seluruh variabel independen Model Summary Std. Error of the Model R R Square Adjusted R Square Estimate 1 .688a .473 .431 6.72805 a. Predictors: (Constant), pengalaman, dukungan_instrumental, praktek_individu, dukungan_kelompok, control_belief, perceived_power, praktek_kelompok, intelektual, dukungan_emosional, ideologi, dukungan_informasi Dari tabel 4.8 dapat kita lihat bahwa perolehan R square sebesar 0.473 atau 47,3%. Artinya proporsi varians dari variabel penerimaan diri yang dijelaskan oleh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas adalah sebesar 47,3%, sedangkan 52.7% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Langkah kedua penulis menganalisis dampak dari seluruh variabel independen terhadap perilaku penerimaan diri. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut. Tabel 4.9 Anova pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependen ANOVAb Model 1 Regression Residual Total Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 5617.220 6246.796 11864.015 510.656 45.267 11.281 .000a 11 138 149 a. Predictors: (Constant), pengalaman, dukungan_instrumental, praktek_individu, dukungan_kelompok, control_belief, perceived_power, praktek_kelompok, intelektual, dukungan_emosional, ideologi, dukungan_informasi b. Dependent Variable: self_acceptance 73 Jika melihat kolom keenam dari kiri diketahui bahwa nilai p (sig) sebesar 0.000. Dengan demikian diketahui bahwa p (0.000) < 0.05, maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari seluruh variabel independen terhadap perilaku penerimaan diri ditolak. Artinya, ada pengaruh yang signifikan dari dimensi perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap perilaku penerimaan diri. Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi dari masing-masing variabel independen. Jika nilai t > 1,96 atau nilai sig < 0,05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa variabel independen tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap variabel penerimaan diri dan begitupun sebaliknya. Adapun analisisnya ditampilkan pada table 4.10 berikut: Tabel 4.10 Koefisien Regresi Coefficientsa Model 1 (Constant) control_belief perceived_power dukungan_emosional dukungan_instrumental dukungan_informasi dukungan_kelompok Pengetahuan_keagamaan Keyakinan_keagamaan praktek_kelompok praktek_individu Pengalaman_keagamaan Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients B Std. Error Beta t Sig. 2.246 .338 .130 -.015 .245 -.103 .102 -.121 .193 -.050 .049 .188 5.170 .077 .089 .110 .087 .117 .076 .091 .097 .097 .077 .103 .359 .115 -.015 .244 -.103 .106 -.117 .200 -.044 .049 .180 .434 4.412 1.451 -.134 2.818 -.884 1.342 -1.318 1.996 -.510 .640 1.831 .665 .000 .149 .894 .006 .378 .182 .190 .048 .611 .523 .069 a. Dependent Variable: self_acceptance 74 Berdasarkan koefisien regresi pada tabel 4.10 Dapat dijelaskan persamaan regresi sebagai berikut (* signifikan) : Penerimaan diri = 2.246 + 0.338 (control belief)* + 0.130 (perceived power) - 0.015 (dukungan emosional) + 0.245 (dukungan nyata atau instrumental)* - 0.103 (dukungan informasi) + 0.102 (dukungan kelompok) - 0.121 (pengetahuan keagamaan) + 0.193 (keyakinan keagamaan)* - 0.050 (kegiatan keagamaan kelompok) + 0.049 (kegiatan keagamaan individu) + 0.188 (pengalaman keagamaan) Dari tabel 4.10, dapat dilihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan, dengan melihat nilai sig pada kolom yang paling kanan (kolom ke-6). Jika P < 0.05, maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap perilaku penerimaan diri dan sebaliknya. Dari hasil di atas, koefisien regresi dari control belief, dukungan instrumental, dan keyakinan keagamaan dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan sedangkan variabel lainnya memiliki pengaruh yang tidak signifikan. Hal ini berarti dari sebelas variabel independen hanya tiga yang signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing variabel independen adalah sebagai berikut: 1. Variabel dimensi control belief Nilai koefisien regresi sebesar 0.338 dengan signifikansinya sebesar 0,000 (p < 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel control belief secara positif 75 berpengaruh signifikan terhadap perilaku penerimaan diri. Nilai koefisien regresi yang positif menunjukkan arah hubungan yang positif antara control belief dan penerimaan diri. Dari arah hubungan tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai control belief seseorang, maka semakin tinggi pula perilaku penerimaan dirinya dan begitupun sebaliknya. 2. Variabel dimensi perceived power Nilai koefisien regresi sebesar 0.086 dengan signifikansinya sebesar 0,255 (p > 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel perceived power tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri. 3. Variabel dimensi dukungan emosional Nilai koefisien regresi sebesar -0.015 dengan signifikansinya sebesar 0,894 (p > 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel dukungan emosional tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri. 4. Variabel dimensi dukungan nyata atau instrumental Nilai koefisien regresi sebesar 0.245 dengan signifikansinya sebesar 0,006 (p < 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel dukungan nyata atau instrumental secara positif berpengaruh signifikan terhadap perilaku penerimaan diri. Nilai koefisien regresi yang positif menunjukkan arah hubungan yang positif antara dukungan nyata atau instrumental dan penerimaan diri. Dari arah hubungan tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai dukungan nyata atau instrumental seseorang, maka semakin tinggi pula perilaku penerimaan dirinya dan begitupun sebaliknya. 76 5. Variabel dimensi dukungan informasi Nilai koefisien regresi sebesar -0,103 dengan signifikansinya sebesar 0,378 (p > 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel dukungan informasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri. 6. Variabel dimensi dukungan kelompok Nilai koefisien regresi sebesar 0.102 dengan signifikansinya sebesar 0,182 (p > 0.05), yang berarti bahwa variabel dukungan kelompok tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri. 7. Variabel pengetahuan keagamaan Nilai koefisien regresi sebesar -0,121 dengan signifikansinya sebesar 0,190 (p > 0.05), yang berarti bahwa variabel pengetahuan keagamaan tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri. 8. Variabel keyakinan keagamaan Nilai koefisien regresi sebesar 0,193 dengan signifikansinya sebesar 0,048 (p < 0.05), Hal ini berarti bahwa variabel keyakinan keagamaan secara positif berpengaruh signifikan terhadap perilaku penerimaan diri. Nilai koefisien regresi yang positif menunjukkan arah hubungan yang positif antara keyakinan keagamaan dan penerimaan diri. Dari arah hubungan tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai keyakinan keagamaan seseorang, maka semakin tinggi pula perilaku penerimaan dirinya dan begitupun sebaliknya. 77 9. Variabel kegiatan keagamaan kelompok Nilai koefisien regresi sebesar -0.050 dengan signifikansinya sebesar 0,611 (p > 0.05), yang berarti bahwa variabel kegiatan keagamaan kelompok tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri. 10. Variabel kegiatan keagamaan individu Nilai koefisien regresi sebesar 0,49 dengan signifikansinya sebesar 0,523 (p > 0.05), yang berarti bahwa variabel kegiatan keagamaan individu tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri. 11. Variabel pengalaman keagamaan Nilai koefisien regresi sebesar 0,188 dengan signifikansinya sebesar 0,069 (p > 0.05), yang berarti bahwa variabel pengalaman keagamaan tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri. 4.4.2 Pengujian proporsi varians Selanjutnya, diuji bagaimana sumbangan proporsi varians dari masing-masing variabel independen terhadap penerimaan diri. Berikut ini disajikan tabel dimana tabel tersebut terdiri atas kolom pertama (model) adalah independen variabel yang dianalisis satu persatu, kolom ketiga (R square) merupakan penambahan varians dependen variabel dari tiap independen variabel yang dianalisis satu persatu tersebut, kolom keenam (R square change) merupakan nilai murni varians dari variabel dependen dari tiap variabel independen yang dianalisis satu persatu, kemudian kolom df adalah derajat kebebasan atau taraf 78 nyata bagi variabel independen yang bersangkutan dan df terdiri atas numerator dan denumerator. Lalu yang terakhir adalah kolom signifikansi (Sig. F change). Besarnya proporsi varians pada penerimaan diri dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut ini: Tabel 4.11 Proporsi varian variabel dependen pada setiap variabel independen Change Statistics Model 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 R a .599 .617b .630c .644d .644e .647f .648g .677h .678i .679j .688 R Square R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change .359 .381 .397 .414 .414 .419 .420 .459 .459 .461 .473 .359 .022 .016 .017 .000 .005 .001 .039 .000 .002 .012 82.755 5.353 3.830 4.318 .008 1.162 .142 10.213 .046 11.873 3.352 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 148 147 146 145 144 143 142 141 140 139 138 .000 .022 .052 .039 .930 .283 .707 .002 .831 .000 .069 Berdasarkan data pada tabel 4.11 dapat disampaikan informasi sebagai berikut : 1. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel perceived behavioral control (control belief) memberikan sumbangan sebesar 35.9% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.000 (p < 0.05) 2. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel perceived behavioral control (perceived power) memberikan 79 sumbangan sebesar 2.2% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.022 (p < 0.05) 3. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel dukungan sosial (dukungan emosional) memberikan sumbangan sebesar 1.6% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.052 (p > 0.05) 4. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel dukungan sosial (dukungan nyata atau instrumental) memberikan sumbangan sebesar 1.7% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.039 (p < 0.05) 5. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel dukungan sosial (dukungan informasi) memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.930 (p > 0.05) 6. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel dukungan sosial (dukungan kelompok) memberikan sumbangan sebesar 0.5% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.283 (p > 0.05) 7. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel religiusitas (pengetahuan) memberikan sumbangan sebesar 0.1% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.707 (p > 0.05) 80 8. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel religiusitas (keyakinan) memberikan sumbangan sebesar 3.9% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan secara statitik karena nilai Sig. F Change = 0.002 (p < 0.05) 9. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel religiusitas (kegiatan keagamaan kelompok) memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.831 (p > 0.05) 10. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel religiusitas (kegiatan keagamaan individu) memberikan sumbangan sebesar 0.2% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.000 (p < 0.05) 11. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel religiusitas (pengalaman keagamaan) memberikan sumbangan sebesar 1.2% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.069 (p > 0.05) Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat sembilan variabel independen, yaitu control belief, perceived power, dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan kelompok, pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan individu, pengalaman keagamaan yang memberikan sumbangan terhadap penerimaan diri dan dua variabel independen yang tidak memberikan sumbangan yaitu dukungan informasi dan kegiatan keagamaan kelompok jika dilihat 81 dari besarnya pertambahan R Square yang dihasilkan setiap kali dilakukan penerimaan variabel independen (sumbangan proporsi varian yang diberikan). Dari kesembilan variabel independen dilihat dari besarnya pertambahan R Square yaitu variabel control belief yang memberikan sumbangan terbesar, yaitu 35,9% terhadap penerimaan diri. BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab lima penulis memaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Bab ini terdiri dari tiga bagian yaitu kesimpulan, diskusi, dan saran. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data serta pengujian hipotesis yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: “Terdapat pengaruh yang signifikan secara keseluruhan dimensi perceived behavioral control (dimensi control belief dan dimensi perceived power), dimensi dukungan sosial (dimensi dukungan emosional, dimensi dukungan nyata atau instrumental, dimensi dukungan informasi, dan dimensi dukungan kelompok), dan dimensi religiusitas (dimensi religiusitas pengetahuan keagamaan, dimensi religiusitas keyakinan keagamaan, dimensi religiusitas kegiatan keagamaan kelompok, dimensi religiusitas kegiatan keagamaan individu, dan dimensi religiusitas pengalaman keagamaan) terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Namun jika dilihat dari signifikan tidaknya koefesien regresi dari masingmasing variabel independen, ditemukan bahwa hanya terdapat tiga variabel independen yang diteliti yang menghasilkan koefesien regresi signifikan, yaitu koefisien regresi dari dimensi perceived behavioral control (control belief), dimensi 82 83 dukungan sosial (dukungan nyata atau instrumental) dan dimensi religiusitas (keyakinan keagamaan). Variabel yang tidak signifikan adalah dimensi perceived behavioral control (perceived power), dimensi dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan informasi, dan dukungan kelompok), dan dimensi religiusitas (pengetahuan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu dan pengalaman keagamaan). 5.2 Diskusi Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi perceived behavioral control yaitu control belief dan perceived power, dimensi dukungan sosial yaitu dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok, dan dimensi religiusitas yaitu pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan mempengaruhi penerimaan diri secara signifikan. Hal ini berarti ada pengaruh yang signifikan dimensi perceived behavioral control, dimensi dukungan sosial, dan dimensi religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel dimensi control belief memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, artinya semakin tinggi control belief semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) yang meneliti 84 dengan metode kualitatif, mengatakan bahwa perceived behavioral control berpengaruh terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Dalam penelitian ini faktor atau kondisi yang membuat perilaku sulit atau mudah untuk dilakukan berkaitan dengan penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, karena orang tua memiliki kepercayaan mengenai kemampuan dalam mengendalikan perilaku penerimaan dirinya. Dimensi control belief merupakan dimensi dari perceived behavioral control. Sedangkan perceived power berpengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome artinya semakin tinggi perceived power yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Namun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, hasil ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metode yang dilakukan dan sample yang digunakan oleh peneliti. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara kepada 12 orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan mental, sedangkan hasil penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan skala model Likert kepada 150 sample orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hal ini juga dapat disebabkan karena jumlah sampel yang memiliki perceived power yang tinggi dalam penelitian ini lebih sedikit dibanding dengan orang tua yang memiliki perceived power yang rendah. 85 Selanjutnya, dimensi dukungan nyata atau instrumental memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, artinya semakin tinggi dukungan nyata atau instrumental yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan pengaruh tersebut signifikan secara statistik. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) yang meneliti dengan metode kualitatif mengatakan bahwa dukungan sosial itu sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dari penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan intelektual. Bantuan langsung yang diberikan oleh pasangan, teman, dan keluarga membuat orang tua yang memiliki anak down syndrome merasa di dukung dan membuat bebannya sedikit berkurang dalam merawat anaknya, sehingga orang tua dapat menerima dirinya memiliki anak down syndrome karena merasa kerabatnya mendukung secara langsung dalam hal apapun yang berkaitan dengan anaknya. Dukungan nyata atau instrumental ini merupakan dimensi dari dukungan sosial berdasarkan teori Sarafino (2011). Sedangkan, dimensi dukungan emosional dan dukungan informasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) hal ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan waktu pada saat mengisi kuesioner yang dibagikan pada saat mengikuti acara kopi darat komunitas POTADS dan pada saat mengisi kuesioner ada beberapa orang tua yang terlihat sedang mengurus anaknya sehingga terjadi human error ketika mengisi kuesioner 86 yang dibagikan oleh peneliti. Hal lain yang mungkin menyebabkan perbedaan hasil karena metode yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya dengan diambil oleh peneliti berbeda. Penelitian sebelumnya menggunakan metode kualitatif sedangkan peneliti menggunakan metode kuantitatif. Karena penerimaan diri bersifat fluktuatif atau naik turun, dapat menyebabkan dukungan emosional dan informasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri. Dimensi lain yaitu dimensi dukungan kelompok berpengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome artinya semakin tinggi dukungan kelompok semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Namun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, hasil ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metode yang dilakukan dan sample yang digunakan oleh peneliti. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara kepada 12 orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan mental, sedangkan hasil penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan skala Likert kepada 150 sample orang tua yang memiliki anak down syndrome. Dalam penelitian ini dukungan kelompok tidak berpengaruh signifikan secara statistik karena peran komunitasnya belum maksimal, dalam komunitas POTADS orang tua bisa masuk dan keluar dari komunitas tanpa ada ikatan apapun sehingga beberapa orang tua merasa dukungan dari kelompok tidak berarti terhadap penerimaan diri mereka. 87 Kemudian, dimensi keyakinan keagamaan memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, artinya semakin tinggi keyakinan keagamaan yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan pengaruh tersebut signifikan secara statistik. Keyakinan tentang kebenaran konsep ketuhanan secara teoritis berpengaruh terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Keyakinan keagamaan senada dengan nilai keimanan bahwa orang tua percaya kepada Tuhan dengan melahirkan anak down syndrome adalah takdir dan anak sebagai amanah dari Tuhan. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Handadari (dalam Ulina, 2013) menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental berat. Artinya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Penelitian senada yang dilakukan oleh Badaria dan Astuti (dalam Ulina, 2013) juga menunjukan adanya hubungan antara religiusitas dan penerimaan diri pada penderita diabetes melitus. Dimensi keyakinan keagamaan termasuk dimensi dari variabel religiusitas. Sedangkan, dimensi pengetahuan keagamaan dan kegiatan keagamaan kelompok tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Secara teoritis religiusitas seharusnya berpengaruh terhadap penerimaan diri, tetapi tidak semua dimensi menunjukkan pengaruh yang 88 signifikan karena tidak semua orang tua yang memiliki pengetahuan keagamaan dan melakukan kegiatan keagamaan kelompok memiliki tingkat keyakinan terhadap Tuhan. Tidak semua orang tua yang mengikuti kegiatan keagamaan kelompok seperti mengaji, shalat berjamaah dan yang lain sebagainya melakukannya karena adanya faktor internal dalam diri, bisa jadi karena orang tua tidak enak dengan lingkungan sekitar yang mengharuskan mereka mengikuti pengajian berjamaah dan mengikuti solat berjamaah karena ada norma yang berlaku dimasyarakat, sehingga pada dimensi ini tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulina, dkk (2013) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan penerimaan diri. Hal tersebut dapat terjadi karena religiusitas bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi penerimaan diri. Dimensi terakhir yaitu kegiatan keagamaan individu dan pengalaman keagamaan berpengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome artinya semakin tinggi praktek individu dan pengalaman keagamaan yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Namun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulina, dkk (2013) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan penerimaan diri. Hal ini dapat terjadi karena tidak semua orang yang melakukan kegiatan keagamaan individu memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan; mereka 89 melakukan kegiatan keagamaan individu seperti beribadah dan berdoa karena hal tersebut adalah hal yang telah dipelajari dan diajarkan sejak kecil dan mereka menjalankannya secara formalitas menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh agama. Begitu pula dengan pengalaman keagamaan yang dialami oleh tiap orang berbeda dan memiliki persepsi yang berbeda dari tiap orang yang mengalaminya, sehingga kedua dimensi ini tidak signifikan secara statistik terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. 5.3 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis memberikan beberapa saran untuk bahan pertimbangan sebagai penyempurnaan penelitian selanjutnya yang terkait dengan penelitian serupa, yaitu saran metodologis dan saran praktis. 5.3.1 Saran metodologis Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, untuk penelitian selanjutnya disarankan: a. Meneliti lebih lanjut mengenai penerimaan diri dengan menambah variabel yang berhubungan dengan penerimaan diri seperti self esteem, coping stress, optimism, dan self efficacy. b. Selain itu dapat juga menggunakan sampel lain yang lebih beragam agar dapat diteliti apakah ditemukan hasil yang berbeda untuk sampel yang berbeda. 90 c. Pada penelitian ini penerimaan diri diukur menggunakan skala penerimaan diri dari Kubler Ross, untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan alat ukur lain seperti Expressed Acceptance on Scale yang disusun oleh Berger. d. Pada penelitian selanjutnya yang menggunakan sampel serupa disarankan agar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dikelompokkan berdasarkan lamanya orang tua yang memiliki anak down syndrome agar terlihat pengaruh dari masing-masing waktu lamanya orang tua memiliki anak down syndrome. 5.3.2 Saran praktis Mengingat pentingnya variabel-variabel yang dapat mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome maka penulis menyarankan beberapa hal, yaitu: a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan yang positif bagi orang tua, keluarga, dan pihak lain yang terkait untuk lebih memperhatikan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Terutama dalam hal religiusitas, karena religiusitas dalam konteks keyakinan atau keimanan memiliki peran yang cukup penting yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Seperti meningkatkan kepercayaan orang tua kepada Tuhan bahwa 91 memiliki anak down syndrome adalah takdir dan anak merupakan amanah dari Tuhan. b. Hendaknya orang tua dapat menambahkan wawasan baru tentang beberapa faktor yang dapat meningkatkan penerimaan diri mereka sehingga mereka dapat membimbing, mendidik, dan merawat anak down syndrome dengan penuh kasih sayang dan rasa ikhlas. DAFTAR PUSTAKA Aghili, Mojtaba and Kumar, G. Venkatesh. (2008). Relationship between religion attitude and happiness among prefessional employees. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. 34, Special issue, 66-69. Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes. 50, 179-211. Ajzen, I. (2005). Attitudes, personality, and behavior (2nd ed). England: McGraw Hill Education. Bergeron, Catherine M & Wanet-Defalque, Marie-Chantal. (2013). Psychological adaptation to visual impairment: The traditional grief process revised. British Journal of Visual Impairment. 20-31. Cartwright, G.P & Cartwright, C.A & Ward, M.E. (1984). Educating special learner. California: Weddsworth. Cronbach, Gee. J. (1963). Educational psychology. 2 end edition. New York: Harcout, Brucae and Word. Denmark, L.K. (1973). Self acceptance and leader effectiveness. Journal of Extension: Winter 1973. Texas A & m University. Retrieved June, 2, 2009. From the joe website: http://www.joe.org/joe/1973winter/1973-4-al.pdf. Fetzer, J.E. (2003). Multidimensional measurement of religiousness/spirituality for use in health research. Kalamazoo: Fetzer Institute. Francis, J., Eccles, M., Johnston, M., Walker, A., Grimshaw, J., Foy, R., Kaner, E., Smith, L., & Bonetti, D. (2004). Constructing questionnares based on the theory of planned behaviour: A manual for health services researchers. United Kingdom: Centre for Health Services Research University of Newcastle. Gargiulo, R.M. (2004). Special education in contemporary society. Boston: Houghton Mifflin Company. Handayani, Ratnawati, & Helmi. (1998). Efektivitas pelatihan pengenalan diri terhadap peningkatan penerimaan diri & harga diri. Jurnal Psikologi UGM. XXV, 2, 47-55. Hoffman. (2006). Gender self definition and gender self acceptance in women: intersections with feminist, womanist, and ethnic identities. Journal of counseling & development. 84, 358-372. Huber, Stefan. Huber, O.W (2012). The centrality of religiousity scale (CRS). Journal of Religion. 3, 710-724. 92 93 Hurlock. Elizabeth, B. (1974). Personality development. McGraw Hill, inc: New Delhi. Ismail, A. (2008). Hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu dari anak autis. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Mangunsong, F. (1998). Psikologi dan pendidikan anak luar biasa. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI. Newman, Isadore., Smith, Pamela J., Griffith, Diann C., Maloney, Patrick., Dambrot, Faye H., Sterns, Harvey., Daubney, John. (1983). The alphaomega scale: The measurement of stress situation coping styles. Ohio Journal of Science (Ohio Academy of Science). 83 (5), 241-246. Nishinaga, K. (2004). Self-acceptance of mothers who have children with intellectual disabilities: A Study by Semi-Structured Interview. Rachmayanti, S & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan diri orang tua terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi. 1 (1), 717. Rohner. (2012). “Introduction to parental acceptance-rejection theory, methods, evidence and implications”. Sarafino, E. P. (1998). Health psychology: Biopsychosocial interaction. New York: John Willey & Sons, Inc. Sarason, I.G., Levine, H.M., Basham, R.B., et al. (1983). Assessing social support: The Social Support Questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology. 44, 127- 139. Stark, Rodney., Glock, Charles. Y.,. (1968). American piety: The nature of religious commitment. Berkeley: The Regents of University of California. Taylor, S.E. (2006). The handbook of health psychology. New York: Oxford University Press. Ulina, M. O., Kurniasih, O. I., & Putri, D. E. (2013). Hubungan religiusitas dengan penerimaan diri pada masyarakat miskin. Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil), 5. www.health.detik.com diunduh pada tanggal 6 Januari 2014 pukul 12.30. Zalewska, A. (2006). Acceptance of chronic illness in psoriasis vulgaris patient. European Academy of Dermatology and Venereology. 21, 235-242. LAMPIRAN LAMPIRAN 1 FORMULIR PERMOHONAN IZIN PENELITIAN SKRIPSI LAMPIRAN 2 SURAT PERMOHONAN IZIN PENELITIAN LAMPIRAN 3 KUESIONER PENELITIAN KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Salam kenal, saya Lailatul Ikromah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, saat ini sedang menyelesaikan studi akhir. Untuk keperluan tersebut, saya melakukan penelitian dimana penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang terdiri dari beberapa item pernyataan. Saya membutuhkan bantuan dari Bapak/Ibu untuk menjadi responden dalam penelitian dengan mengisi persyaratan yang terlampir. Bagi, Bapak/Ibu yang bersedia, maka isilah lembar pernyataan yang tersedia. Pada setiap bagian akan tersedia petunjuk pengisian, bacalah dahulu petunjuk mengisian sehingga jawaban yang Bapak/Ibu berikan sesuai dengan apa yang diminta. Tidak ada jawaban yang salah, semua jawaban adalah benar, dan saya menjaga kerahasiaan Bapak/Ibu. Terima kasih atas bantuan Bapak/Ibu yang telah menjadi responden peneliti. Jakarta, Desember 2014 Peneliti Lailatul Ikromah LEMBAR KESEDIAAN Dengan ini secara sukarela saya menyatakan bersedia untuk mengisi angket ini. Pada saat pelaksanaan, saya akan mengisi identitas pribadi dan mengisi angket atau kuesioner dengan lengkap. Terima kasih atas segala kerjasama dan bantuan Bapak/Ibu yang baik ini. Identitas Responden : Nama : Jenis Kelamin : Usia : Agama : Pekerjaan : Jakarta, ……………………… 2014 (Tanda Tangan dan Nama) Menyatakan bersedia menjadi responden PETUNJUK PENGISIAN Berikut ini terdapat pernyataan-pernyataan untuk membantu Bapak/Ibu menggambarkan diri Anda sendiri. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti dan dimohon untuk menjawab setiap pernyataan tersebut, dengan memberikan tanda tanda cheklist (√) atau tanda silang (x) pada salah satu alternative jawaban yang telah disediakan. Adapun empat pilihan jawaban pada setiap pernyataan mempunyai arti sebagai berikut: SS = Sangat Sesuai S = Sesuai TS = Tidak Sesuai STS = Sangat Tidak Sesuai Jika Anda keliru melingkari atau berubah pendapat, ubahlah jawaban Anda dengan menchecklist (√) atau silang (x) dengan (≠) yang keliru tadi dan checklist (√) jawaban yang Anda anggap lebih tepat. Contoh : No. Pernyataan 1. Saya bisa melakukan hal yang lebih SS S √ baik dari sebelumnya 2. TS Saya bisa melakukan hal yang lebih baik dari sebelumnya √ √ STS Skala 1 No. Pernyataan 1. Saya merawat anak dengan ikhlas 2. 3. Secara rutin saya mengantar anak saya terapi Saya memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak saya Saya mengajak anak saya untuk bersosialisasi dengan tetangga sekitar 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. SS S TS STS SS S TS STS Saya malu untuk mengajak anak saya keluar rumah Memiliki anak dengan down syndrome membuat saya menjadi pribadi yang lebih besyukur Saya mencintai anak saya dengan segala keterbatasannya Setiap orang pasti memiliki kekurangan Terapi untuk anak down syndrome tidak bermanfaat Memiliki anak down syndrome merupakan aib keluarga Skala 2 No. Pernyataan 1. Anak adalah titipan dari yang maha kuasa 2. 3. Anak adalah buah hati dari saya dan pasangan Anak adalah pembawa rezeki 4. Anak adalah penerus keluarga 5. Anak adalah harta yang paling berharga 6. Saya memiliki kemampuan untuk merawat anak down syndrome dengan baik No. Pernyataan 7. Banyak orang tua yang memiliki anak down syndrome 8. Saya memiliki fasilitas materi untuk merawat anak down syndrome Banyak anak down syndrome yang memiliki prestasi 9. 10. SS S TS STS SS S TS STS Saya memiliki kemampuan mengubah kekurangan anak down syndrome menjadi suatu kelebihan Skala 3 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pernyataan Saya tidak merasa sendirian karena memiliki sahabat yang peduli satu dengan yang lainnya Jika sedang merasa sangat lelah dengan kehidupan, pasangan senantiasa menghibur saya Pasangan selalu meluangkan waktunya untuk saya dan anak-anak Keluarga menawarkan bantuan financial ketika saya perlukan Jika saya mengeluh akan sesuatu hal, keluarga senantiasa menasehati saya Ketika saya membutuhkan informasi tertentu, ada keluarga yang selalu bersedia membantu Saya memiliki komunitas yang peduli terhadap keadaan dan kondisi anggotanya Saya dapat berbagi cerita dengan teman komunitas yang memiliki masalah serupa No. Pernyataan SS 9. Saya merasa hidup seorang diri mengasuh anak dengan down syndrome 10. Pasangan seperti perasaan saya 11. Ketika saya memerlukan bantuan, tetangga seperti tidak bersedia membantu tidak peduli dengan 12. Keluarga tidak mau direpotkan ketika saya membutuhkan bantuan secara financial 13. Ketika saya membutuhkan saran, saya tidak mendapatkannya dari keluarga 14. Pasangan tidak berusaha membantu saya untuk mendapatkan informasi mengenai kebutuhan anak kami 15. Bergabung dengan komunitas tertentu bagi saya tidak begitu penting 16. Teman saya tidak ingin pengalamannya kepada saya 17. Saya dapat berbagi kesedihan kebahagiaan dengan keluarga 18. Teman saya tidak sungkan untuk meminjamkan uang disaat saya butuhkan 19. Saya mendapatkan saran-saran bercerita kepada sahabat 20. Saya mendapatkan cukup informasi dari lingkungan sekitar tentang merawat anak dengan down syndrome Saya merasakan banyak sekali manfaat positif ketika bergabung dengan komunitas 21. 22. membagikan dan ketika Saya sering berbagi pengalaman dengan teman komunitas S TS STS No. Pernyataan 23. Keluarga merasakan apa yang saya rasakan dalam merawat anak dengan down syndrome 24. Kepedulian lingkungan sekitar membuat saya semangat merawat anak saya 25. Perhatian dari pasangan membuat saya lebih semangat merawat anak saya 26. Jika saya sedang sibuk, pasangan menawarkan diri untuk membantu SS S TS STS SS S TS STS 27. Keluarga tidak sungkan untuk memberikan bantuan uang apabila dibutuhkan 28. Pasangan dapat menenangkan hati saya dengan nasehat-nasehatnya 29. Saya mendapatkan informasi yang cukup banyak tentang merawat anak dengan down syndrome dari internet 30. Teman komunitas memberikan kekuatan tersendiri bagi saya sebagai orang tua 31. Bila diperlukan ada kerabat yang bersedia membantu mengantar anak saya terapi Skala 4 No. 1. 2. Pernyataan Saya sering berpikir tentang permasalahan agama Saya percaya bahwa Tuhan selalu ada dalam kehidupan saya 3. Saya sering melaksanakan ibadah di rumah ibadah (masjid, gereja, pura, dsb) 4. Saya sering berdoa kepada Tuhan No. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Pernyataan SS Saya sering merasa bahwa Tuhan menolong saya dari kesulitan dalam hidup saya Saya tertarik untuk mempelajari lebih banyak tentang topik agama Saya percaya adanya kehidupan setelah kematian seperti keabadian jiwa dan kebangkitan Melaksanakan ibadah berjamaah merupakan hal yang penting bagi saya Saya sering bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan Saya merasa bahwa terkadang memberikan petunjuk kepada saya Tuhan 11. Saya sering mendapatkan informasi tentang agama dari radio, televisi, internet, koran, dan buku 12. Saya yakin bahwa Tuhan selalu melindungi saya 13. Saya bergabung dalam komunitas religius 14. Saya sering melakukan ibadah diluar ibadah wajib 15. Saya merasa bahwa Tuhan selalu mengawasi perilaku saya 16. Menambah pengetahuan tentang agama bukanlah hal yang penting bagi diri saya 17. Saya tidak merasakan kasih sayang Tuhan 18. Saya melakukan ibadah secara berjamaah di rumah dengan keluarga. 19. Saya jarang melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agama S TS STS No. Pernyataan 20. Saya merasa doa saya tidak didengar Tuhan SS S TS STS LAMPIRAN 4 SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA PENERIMAAN DIRI UJI ANALISA FAKTOR SELF ACCEPTANCE DA NI=10 NO=150 MA=KM LA IT01 IT02 IT03 IT04 IT05 IT06 IT07 IT08 IT09 IT10 KM SY FI=selfa.cor se 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10/ MO NX=10 NK=1 TD=SY LX=FR LK SELFA FR TD 10 5 TD 3 1 TD 10 3 TD 6 1 TD 6 5 TD 7 2 TD 7 4 TD 5 1 TD 7 5 FR TD 10 7 TD 5 4 TD 4 3 TD 3 2 TD 7 6 TD 7 1 TD 8 4 TD 8 3 TD 10 9 FR TD 9 5 PD OU AD=OFF TV MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA CONTROL BELIEF UJI VALIDITAS CONTROL BELIEF DA NI=10 NO=150 MA=KM LA P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 KM SY FI=P.COR SE 1 2 3 4 5/ MO NX=5 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK CBELIEF FR TD 2 1 TD 5 1 PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA PERCEIVED POWER UJI VALIDITAS PERCEIVE POWER DA NI=10 NO=150 MA=KM LA P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 KM SY FI=P.COR SE 6 7 8 9 10/ MO NX=5 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK PPOWER FR TD 5 2 PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA DUKUNGAN EMOSIONAL UJI VALIDITAS DUKUNGAN EMOSIONAL DA NI=31 NO=150 MA=KM LA DS1 DS2 DS3 DS4 DS5 DS6 DS7 DS8 DS9 DS10 DS11 DS12 DS13 DS14 DS15 DS16 DS17 DS18 DS19 DS20 DS21 DS22 DS23 DS24 DS25 DS26 DS27 DS28 DS29 DS30 DS31 KM SY FI=DKS.COR SE 1 2 9 10 17 23 24 25/ MO NX=8 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK DEMOSIONAL FR TD 8 1 TD 5 4 TD 8 3 TD 3 1 TD 6 5 PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA DUKUNGAN NYATA ATAU INSTRUMENTAL UJI VALIDITAS DUKUNGAN NYATA ATAU INSTRUMENTAL DA NI=31 NO=150 MA=KM LA DS1 DS2 DS3 DS4 DS5 DS6 DS7 DS8 DS9 DS10 DS11 DS12 DS13 DS14 DS15 DS16 DS17 DS18 DS19 DS20 DS21 DS22 DS23 DS24 DS25 DS26 DS27 DS28 DS29 DS30 DS31 KM SY FI=DKS.COR SE 3 4 11 12 18 26 27 31/ MO NX=8 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK DNYATA FR TD 6 5 TD 7 5 TD 5 4 TD 4 3 TD 8 6 TD 8 5 TD 5 1 PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA DUKUNGAN INFORMASI UJI VALIDITAS DUKUNGAN INFORMASI DA NI=31 NO=150 MA=KM LA DS1 DS2 DS3 DS4 DS5 DS6 DS7 DS8 DS9 DS10 DS11 DS12 DS13 DS14 DS15 DS16 DS17 DS18 DS19 DS20 DS21 DS22 DS23 DS24 DS25 DS26 DS27 DS28 DS29 DS30 DS31 KM SY FI=DKS.COR SE 5 6 13 14 19 20 28 29/ MO NX=8 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK DINFORMASI FR TD 6 5 TD 6 2 TD 6 1 TD 7 5 TD 7 6 TD 8 7 PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA DUKUNGAN KELOMPOK UJI VALIDITAS DUKUNGAN KELOMPOK DA NI=31 NO=150 MA=KM LA DS1 DS2 DS3 DS4 DS5 DS6 DS7 DS8 DS9 DS10 DS11 DS12 DS13 DS14 DS15 DS16 DS17 DS18 DS19 DS20 DS21 DS22 DS23 DS24 DS25 DS26 DS27 DS28 DS29 DS30 DS31 KM SY FI=DKS.COR SE 7 8 15 16 21 22 30/ MO NX=7 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK DKELOMPOK FR TD 6 2 TD 3 1 TD 7 2 TD 7 5 PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA PENGETAHUAN KEAGAMAAN UJI VALIDITAS INTELEKTUAL DA NI=20 NO=150 MA=KM LA R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 KM SY FI=RLG.COR SE 1 6 11 16/ MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK INTELEKTUAL PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA KEYAKINAN KEAGAMAAN UJI VALIDITAS IDEOLOGI DA NI=20 NO=150 MA=KM LA R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 KM SY FI=RLG.COR SE 2 7 12 17/ MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK IDEOLOGI FR TD 3 2 PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA KEGIATAN KEAGAMAAN KELOMPOK UJI VALIDITAS PRAKTEK KELOMPOK DA NI=20 NO=150 MA=KM LA R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 KM SY FI=RLG.COR SE 3 8 13 18/ MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK PKELOMPOK PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA KEGIATAN KEAGAMAAN INDIVIDU UJI VALIDITAS PRAKTEK INDIVIDU DA NI=20 NO=150 MA=KM LA R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 KM SY FI=RLG.COR SE 4 9 14 19/ MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK PINDIVIDU FR TD 4 1 PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA PENGALAMAN KEAGAMAAN UJI VALIDITAS PENGALAMAN DA NI=20 NO=150 MA=KM LA R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 KM SY FI=RLG.COR SE 5 10 15 20/ MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR LK PENGALAMAN PD OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS LAMPIRAN 5 PATH DIAGRAM Model Fit Penerimaan Diri Model Fit Control Belief Modil Fit Perceived Power Model Fit Dukungan Emosional Model Fit Dukungan Nyata atau Instrumental Model Fit Dukungan Informasi Model Fit Dukungan Kelompok Model Fit Pengetahuan Keagamaan Model Fit Keyakinan Keagamaan Model Fit Kegiatan Keagamaan Kelompok Model Fit Kegiatan Keagamaan Individu Model Fit Pengalaman Keagamaan