pengaruh perceived behavioral control, dukungan

advertisement
PENGARUH PERCEIVED BEHAVIORAL CONTROL,
DUKUNGAN SOSIAL, DAN RELIGIUSITAS
TERHADAP PENERIMAAN DIRI ORANG TUA YANG
MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh:
Lailatul Ikromah
NIM: 1110070000080
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
If ALLAH brings you to it,
He will bring you THROUGH it.
BELIEVE IN HIM!
Allah loves you more than anyone does.
PERSEMBAHAN:
Kupersembahkan skripsi ini untuk
keluarga, sahabat, dan orang-orang yang
selalu mendukung dan menyayangi
penulis sepenuh hati.
Khususnya untuk kedua pintu surga bagi
penulis, Mama dan Ayah. Skripsi ini
untuk kalian
v
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi
B) Maret 2015
C) Lailatul Ikromah
D) Pengaruh Perceived Behavioral Control, Dukungan Sosial, dan Religiusitas
terhadap Orang Tua yang Memiliki Anak Down Syndrome
E) xv + halaman + lampiran
F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perceived behavioral
control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua
yang memiliki anak down syndrome. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 150 orang tua
yang memiliki anak down syndrome di komunitas POTADS yang diambil
dengan teknik non probability sampling yaitu accidental sampling. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan alat ukur penerimaan diri yang dibuat
sendiri berdasarkan tahapan penerimaan diri menurut Kubler Rose (Gargiulo,
2004), alat ukur perceived behavioral control disusun oleh peneliti
berdasarkan pedoman Francis dkk (2004), alat ukur dukungan sosial
berdasarkan dimensi menurut Sarafino (2011), dan memodifikasi alat ukur
religiusitas yaitu Centrality of Religiosity Scale (CRS).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh perceived behavioral
control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua
yang memiliki anak down syndrome. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan
bahwa dari sebelas independen variabel hanya tiga independen variabel
(control belief, dukungan nyata atau instrumental, dan ideologi) yang
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki
anak down syndrome. Sementara itu, perceived power, dukungan emosional,
dukungan informasi, dukungan kelompok, intelektual, kegiatan keagamaan
kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak down syndrome. Penulis berharap implikasi dari hasil
penelitian ini dapat dikaji kembali dan dikembangkan dalam penelitian
selanjutnya, misalnya, dengan menambah variabel lain yang terkait dengan
penerimaan diri.
G) Bahan Bacaan: 27; 10 buku + 14 jurnal + 1 skripsi + 2 artikel
vi
ABSTRAK
A) Psychology Faculty
B) March 2015
C) Lailatul Ikromah
D) Effect of Perceived Behavioral Control, Social Support, and Religiosity of the
Parents of Down Syndrome Children
E) xv + page + attachments
F) This study was conducted to determine the effect of perceived behavioral
control, social support, and religiosity on self-acceptance of parents who have
children with Down syndrome. This study used a quantitative approach with
multiple regression analysis. The sample totaled 150 parents who have
children with Down syndrome in the community POTADS taken with
accidental sampling. In this study, the authors use the gauge self-acceptance
self made based on the stage of self-acceptance by Kubler Rose (Gargiulo,
2004), perceived behavioral control measurement tool was developed by the
researchers based on the guidelines Francis et al (2004), measuring
instruments based on the dimensions of social support according Sarafino
(2011), and modify the measuring instrument religiosity that centrality of
Religiosity Scale (CRS).
The results of this study indicate that there is the influence of perceived
behavioral control, social support, and religiosity on self-acceptance of parents
who have children with Down syndrome. The test results showed that the
minor hypothesis of eleven independent variables only three independent
variables (control belief, real or instrumental support, and ideology) that
significantly influence the acceptance of parents who have children with
Down syndrome. Meanwhile, perceived power, emotional support,
information support, support groups, intellectuals, religious activities of the
group, individual religious activities, and religious experience does not have a
significant effect on self-acceptance of parents who have children with Down
syndrome. The author hopes that the implications of these results can be
reviewed and developed in subsequent studies, for example, by adding other
variables associated with self-acceptance.
G) Reading Materials: 27; 10 books + 14 journals + 1 thesis + 2 article
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala
nikmat Nya kepada manusia. Banyak pihak yang telah membantu sehingga karya
ini terselesaikan, maka penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si., Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta para wakil
dekan, Dr. Abdul Rahman Shaleh, M.Si, Bapak Ikhwan Luthfi, M.Si, dan
Dra. Diana Mutiah, M.Si.
2. Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si dosen pembimbing skripsi yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh ketulusan dan
kesabaran serta memberikan wawasan baru terhadap penulis.
3. Drs. Akhmad Baidun, M,Si dosen pembimbing akademik serta seluruh
dosen dan staf Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah membantu dalam penyelesaian karya ini.
4. Ibu Solicha, M.Si dosen penguji 1 dan Bapak Miftahuddin, M.Si dosen
penguji 2 yang telah memberikan saran dan arahan untuk perbaikan skripsi
ini.
5. Keluarga besar Persatuan Orang Tua dengan Anak Down Syndrome
(POTADS), yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk
mengambil data dalam karya ini.
6. Bapak Zaini Kibong dan Ibu Siti Nurjanah, orangtua tercinta yang
merupakan motivasi terbesar penulis dalam menyelesaikan karya ini, yang
viii
selalu mendukung serta mengorbankan segala yang dimilikinya untuk
kebahagiaan penulis. Kakak dan adik tersayang Imran Maulana dan
Inayatus Sholeha yang memberikan motivasi kepada penulis untuk
menyelesaikan karya ini, serta seluruh keluarga besar yang selalu
membantu dan memberikan kemudahan kepada penulis.
7. Keluarga besar kelas B 2010. Estu, Ainun, Retno, Ajeng, Gina, Putri,
Nisa, Anita, Sunny, Niken, Winda, Fadhila, Yuni, Syifa, Isnia, Nisyub,
Ncan, Tyyas, Adila, Qory, Isti, Skay, Saul, Sabe, Aini, Viny, Chintya,
Katty, Aris, Didik, Iil, Kaiki, Danar, Adit, Gian, Deri, Bobby, dan Lian.
Terima kasih untuk 5 tahun terakhir yang kita habiskan bersama di
kampus dengan canda tawa, tangis haru, kemenangan, kenangan dan
support yang kalian berikan kepada penulis dengan penuh cinta dan kasih
sayang. Banyak cinta untuk kalian. Terima kasih.
8. Geng Birthday. Hilal, Chatrine, Kipli, Diko, Adan, Satrio, Ndot, Epi, dan
Ekky terima kasih untuk selalu memberikan canda tawa dan support di
sela-sela penulisan karya ini. Khususnya untuk Hilal Akbar Firdaus yang
selalu menemani dan memberikan kasih sayang serta perhatian kepada
penulis.
9. Pejuang Wisuda Mei 2015 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Khususnya untuk Syifa, Rahma, dan Vina yang berjuang bersama dari
proses daftar sidang sampai daftar wisuda bareng. Alhamdulillah dan
terima kasih untuk support dan kepedulian kalian yang luar biasa.
ix
10. Untuk kakak senior, teman seperjuangan angkatan 2010, dan adik junior.
Terima kasih
telah
memberikan motivasi
kepada peulis
dalam
menyelesaikan karya ini.
11. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan doa, dukungan, serta bantuannya kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan manfaat
kepada penulis, pembaca, pihak terkait, serta peneliti yang ingin mengelaborasi
penelitian ini.
Jakarta, 29 Maret 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..............................................................
ABSTRAK ..................................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................
DAFTAR TABEL ......................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
viii
xi
xiii
xiv
xv
BAB 1 PENDAHULUAN ..........................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah .........................................................................
1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah ....................................................
1.2.1 Pembatasan masalah .....................................................................
1.2.2 Perumusan masalah ......................................................................
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................
1.3.1 Tujuan penelitian ..........................................................................
1.3.2 Manfaat penelitian ........................................................................
1.4 Sistematika Penulisan ............................................................................
1-14
1
10
10
11
11
11
12
13
BAB 2 LANDASAN TEORI ......................................................................
2.1 Penerimaan Diri .....................................................................................
2.1.1 Pengertian penerimaan diri ...........................................................
2.1.2 Proses dan dampak penerimaan diri .............................................
2.1.3 Pengukuran penerimaan diri ........................................................
2.1.4 Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri ...............................
2.2 Perceived Behavioral Control ................................................................
2.2.1 Pengertian perceived behavioral control .....................................
2.2.2 Komponen perceived behavioral control .....................................
2.2.3 Pengukuran perceived behavioral control ...................................
2.3 Dukungan Sosial ....................................................................................
2.3.1 Pengertian dukungan sosial ...........................................................
2.3.2 Dimensi dan sumber dukungan sosial ...........................................
2.3.3 Pengukuran dukungan sosial .........................................................
2.4 Religiusitas .............................................................................................
2.4.1 Pengertian religiusitas ...................................................................
2.4.2 Dimensi religiusitas .......................................................................
2.4.3 Pengukuran religiusitas .................................................................
2.5 Kerangka Berpikir ..................................................................................
2.6 Hipotesis .................................................................................................
15-43
15
15
16
20
22
27
27
27
28
29
29
30
31
33
33
33
36
37
42
BAB 3 METODE PENELITAN ............................................................... 44-63
xi
3.1 Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel ..............................
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel .........................
3.2.1 Variabel penelitian ........................................................................
3.2.2 Definisi operasional variabel .........................................................
3.3 Instrumen Pengumpulan Data ................................................................
3.4 Uji Validitas Konstruk ...........................................................................
3.4.1 Uji validitas konstruk penerimaan diri ..........................................
3.4.2 Uji validitas konstruk perceived behavioral control .....................
3.4.3 Uji validitas konstruk dukungan sosial .........................................
3.4.4 Uji validitas konstruk religiusitas .................................................
3.5 Teknik Analisis Data ..............................................................................
3.6 Prosedur Penelitian .................................................................................
44
44
44
45
47
51
52
53
55
58
60
63
BAB 4 HASIL PENELITIAN ................................................................... 64-81
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ...................................................... 64
4.2 Analisis Deskriptif ................................................................................ 65
4.3 Kategorisasi Skor ................................................................................... 67
4.3.1 Kategorisasi skor penerimaan diri .................................................. 67
4.3.2 Kategorisasi skor perceived behavioral control ............................ 67
4.3.3 Kategorisasi skor dukungan sosial ................................................. 68
4.3.4 Kategorisasi skor religiusitas .......................................................... 70
4.4 Uji Hipotesis .......................................................................................... 71
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN .................................. 82-91
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 82
5.2 Diskusi ................................................................................................... 83
5.3 Saran ....................................................................................................... 89
5.3.1 Saran metodologis ......................................................................... 89
5.3.2 Saran praktis .................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 92
LAMPIRAN ................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Skor Favourable dan Unfavourable ............................................
Tabel 3.2 Blue Print Skala Penerimaan Diri ................................................
Tabel 3.3 Blue Print Skala Perceived Behavioral Control ..........................
Tabel 3.4 Blue Print Skala Dukungan Sosial ...............................................
Tabel 3.5 Blue Print Skala Religiusitas .......................................................
Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Instrumen Penerimaan Diri ...........................
Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Instrumen Perceived Behavioral Control .....
Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Instrumen Dukungan Sosial ..........................
Tabel 3.9 Hasil Uji Validitas Instrumen Religiusitas ...................................
Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden ......................................................
Tabel 4.2 Analisis Deskriptif .......................................................................
Tabel 4.3 Norma Skor ..................................................................................
Tabel 4.4 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Penerimaan Diri ........
Tabel 4.5 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Perceived Behavioral
Control .........................................................................................
Tabel 4.6 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Dukungan Sosial .......
Tabel 4.7 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Religiusitas ...............
Tabel 4.8 Varians DV yang Dijelaskan Oleh Seluruh IV ............................
Tabel 4.9 Anova Pengaruh Seluruh IV terhadap DV ...................................
Tabel 4.10 Koefisien Regresi .......................................................................
Tabel 4.11 Proporsi varian DV pada setiap IV ............................................
xiii
47
48
48
49
50
53
55
57
60
64
66
67
67
68
69
70
72
72
73
78
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir ......................................................... 41
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Formulir Permohonan Izin Penelitian Skripsi
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 3 Kuesioner Penelitian
Lampiran 4 Syntax Uji Validitas Skala
Lampiran 5 Path Diagram
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan
religiusitas terhadap penerimaan diri, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Kehadiran seorang anak merupakan sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap
pasangan suami istri. Anak sebagai buah dalam cinta suami istri merupakan buah
hati yang sangat didambakan kelahirannya. Kehadiran seorang anak bukan hanya
mempererat tali cinta pasangan suami istri tetapi juga sebagai penerus dalam
sebuah keluarga yang tentu saja sangat diharapkan kehadirannya. Mereka tentu
menyimpan suatu harapan bahwa kelak anak yang hadir di tengah-tengah mereka
adalah seorang anak normal baik secara fisik maupun secara mental.
(Rachmayanti, 2007)
Melihat pertumbuhan serta perkembangan anak mulai dari bayi sampai
dewasa adalah saat yang sangat didambakan dan membahagiakan bagi setiap
orang tua. Tapi bila ternyata saat lahir maupun dalam masa pertumbuhan dan
perkembangannya seorang anak mengalami gangguan, tentu keadaan yang ada
akan sangat berbeda. Harapan-harapan yang selama ini didambakan oleh orang
tua tentu seketika berubah menjadi kekecewaan. Perasaan kecewa dalam diri
1
2
orang tua inilah yang akan mempengaruhi bagaimana penerimaan terhadap
seorang anak. Banyak diantara orang tua yang harus menerima kenyataan bahwa
anaknya memiliki kebutuhan khusus dibanding dengan anak lainnya, seperti
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar,
gangguan perilaku, down syndrome, anak berbakat dan anak dengan gangguan
kesehatan, autis dan ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders).
Reaksi orangtua yang pertama kali muncul saat mengetahui bahwa
anaknya mengalami kelainan adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin,
terkejut dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anaknya. Reaksi
berikutnya mereka merasa sedih, kecewa dan mungkin merasa marah ketika
mereka tahu realitas yang harus dihadapi. Pada saat tersebut, mereka sering
merasa bersalah dan menyangkal kenyataan yang dihadapi. Reaksi perasaan
biasanya muncul dalam bentuk pertanyaan, mengapa kami dicoba? Apakah
kesalahan kami?, dan seterusnya. Setelah itu perasaan tersebut diikuti dengan
penerimaan kecacatan anaknya dan mulai bisa menyesuaikan diri dengan kondisi
anaknya. Namun demikian proses penerimaan ini akan memakan waktu yang
lama; selain itu juga mungkin akan berfluktuasi (Mangunsong, 1998). Gargiulo
(2004) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana
seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai
dengan harapannya.
Menurut informasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar tentang
jumlah anak berkebutuhan khusus tahun 2012, yang teridentifikasi berdasarkan
jenis klasifikasinya dapat diketahui bahwa jumlah anak tunagrahita sedang (IQ
3
25-50) dan down syndrome sebanyak 10.563 siswa. Down syndrome adalah suatu
kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan
adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat
kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi
pembelahan.
Berdasarkan hasil studi awal penulis kepada lima orang tua dari anak
down syndrome di Jakarta (Desember, 2013), didapatkan hasil bahwa sebanyak
20% responden mengatakan tidak mempercayai kenyataan saat mereka
mendengar anak yang dikandungnya mengalami ketidaknormalan dari hasil USG
dan informasi dokter ahli kandungan. Kemudian sebanyak 40% menyatakan
bahwa mereka mengalami shock berat saat mengetahui anak yang dikandungnya
mengalami ketidaknormalan. Terdapat 40% orang tua merasa kecewa dan sedih
dengan keadaan anak mereka, empat puluh persen lainnya merasa menerima dan
optimis dengan keadaan anak mereka sedangkan 20% lebihnya mengatakan
bahwa orang tua bahagia dengan titipan yang diberikan Tuhan.
Penulis juga menemukan bahwa 40% orang tua beralasan tetap mengasuh
anak mereka karena mereka merasa bahwa dengan kehadiran anaknya yang down
syndrome di dalam keluarga, maka mereka akan terlatih lebih sabar dan mendapat
banyak ilmu tentang down syndrome. Kemudian 40% lainnya merasa bersyukur
dengan kehadiran anak tersebut. Empat puluh persen orang tua menerima anak
tersebut dengan berbesar hati dan tulus ikhlas. Sedangkan 20% sisanya merasa
bangga karena orang tua tersebut merasa bahwa tidak banyak orang tua yang
4
dapat memiliki anak down syndrome dan menjadi orang tua hebat karena
memiliki anak down syndrome.
Selain itu juga penulis menemukan 60% orang tua menganggap
kebahagiaan dalam mengasuh anak yang tidak normal adalah sebagai hal yang
luar biasa karena diberikan kepercayaan oleh Allah SWT untuk mengasuh dan
merawat anak down syndrome. Semua responden berasumsi bahwa tingkat
keimanan mereka mempengaruhi kebahagiaan mereka dalam menjalankan peran
sebagai orang tua yang memiliki anak down syndrome.
Healthday, Minggu (2/10/2011), merawat anak down syndrome bukanlah
hal yang mudah. Meski begitu, keluarga penyandang down syndrome mengaku
lebih bahagia punya anak down syndrome karena lebih memperkaya pengalaman.
Survei yang dilakukan Dr Brian Skotko dari Children's Hospital Boston
menunjukkan hal yang luar biasa; keluarga penderita down syndrome tidak merasa
minder, putus asa atau takut melainkan sangat bahagia. Alasannya memiliki anak
down syndrome membuat keluarga harus meningkatkan kualitas hidup dengan
mengajarkan kesabaran, penerimaan dan keluwesan. Anak down syndrome telah
membuat keluarganya menjadi lebih kuat.
Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 96% orangtua penyandang
down syndrome menyatakan tidak menyesal telah memiliki anak dengan down
syndrome. Hampir delapan dari sepuluh orang tua tersebut mengatakan bahwa
justru gangguan anaknya itu telah meningkatkan kualitas hidup mereka dengan
mengajarkan kesabaran, penerimaan, dan keluwesan. Tak hanya orang tua,
saudara-saudara kandung mereka juga memiliki perasaan yang sama. Sembilan
5
puluh empat persen di antaranya mengatakan bahwa mereka merasa bangga akan
saudara mereka yang menyandang down syndrome. Sebanyak 88% di antaranya
mengatakan bahwa saudara mereka yang menyandang down syndrome itu telah
membuat mereka menjadi orang yang lebih baik; Hampir semua penderita down
syndrome mengatakan senang dengan kehidupannya saat ini dan menyukai
keadaan mereka.
Menurut Sarasvati (dalam Rachmayanti, 2007) faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis diantaranya
adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar
belakang agama, sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan
suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing
orang tua, dan sarana penunjang. Nishinaga (2004) mengatakan bahwa faktor
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual
diantaranya adalah subjective wellbeing, dukungan sosial, dan perceived
behavioral control.
Ajzen (1991) menyatakan bahwa perceived behavioral control mengacu
pada persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk
menampilkan sebuah perilaku, atau persepsi seseorang mengenai seberapa mudah
atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) ditemukan
bahwa kebanyakan dari partisipan menjawab mereka telah mengalami stres oleh
rendahnya perceived behavioral control mereka pada awal-awal mengasuh anak
dengan keterbelakangan intelektual. Partisipan menyebutkan bahwa perasaaan
6
mereka yang awalnya merasa direpotkan oleh anak-anak mereka berubah seketika
ketika fitur-fitur penerimaan (acceptance) mereka tentang diri mereka dan anakanak mereka berubah. Jadi mereka mengatakan sangat dibutuhkan sekali
dukungan untuk mengajarkan para ibu cara yang sangat penting atau perlu untuk
mengambil gambaran dari anak-anak mereka yang mengalami keterbelakangan
intelektual. Partisipan lain menyatakan bahwa para ibu harus bisa menegaskan diri
mereka kalau mereka itu didukung untuk melakukan apapun untuk anak-anak
mereka.
Dengan alasan yang disebutkan di atas, perceived behavioral control dapat
dipandang sebagai faktor penting bagi penerimaan diri para ibu yang memiliki
anak dengan keterbelakangan intelektual. Bisa dikatakan bahwa mengajarkan para
ibu bagaimana memperlakukan anak-anak mereka yang memiliki keterbelakangan
intelektual akan mengurangi kecemasan mereka dan meningkatkan perceived
behavioral control mereka.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas,
maka penulis merasa tertarik untuk meneliti kembali tentang pengaruh perceived
behavioral control terhadap penerimaan diri dengan mengambil subjek orang tua
yang memiliki anak down syndrome.
Selain perceived behavioral control, hal lain yang dapat meningkatkan
penerimaan diri adalah dukungan sosial. Seseorang yang mendapatkan support
dari lingkungan dan sosial akan membuat orang tersebut lebih merasa diterima
keadaan dirinya oleh lingkungan. Perlakuan lingkungan sosial terhadap seseorang
membentuk tingkah laku orang tersebut. Hal ini membuat seseorang yang
7
mendapatkan perlakuan dari lingkungan sosial yang mendukung akan dapat
menerima dirinya sendiri dengan lebih baik. (Ismail, 2008)
Menurut Sarafino (2011) dukungan sosial mengacu pada kenyamanan,
kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk orang dari orang-orang
atau kelompok lain. Aspek-aspeknya adalah dukungan emosional, dukungan nyata
atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) ditemukan
bahwa setengah dari partisipan (6 orang) yang mengikuti penelitiannya
mengatakan bahwa mereka membutuhkan konseling publik untuk para ibu yang
memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Partisipan menyatakan bahwa
seorang ibu perlu diterima oleh orang lain (misalnya seorang profesional dokter,
konselor) selain keluarga mereka sendiri ketika mereka mengetahui tentang
keterbelakangan dari anak – anak mereka. Partisipan yang lain mengatakan bahwa
merupakan ujian yang sangat sulit bagi seorang ibu untuk menerima anak mereka
yang memiliki keterbelakangan intelektual, jadi sangat dibutuhkan dukungan
secara psikologis bagi para ibu tersebut bukan untuk menyangkal diri mereka
bahwa mereka tidak bisa menerima anak mereka.
Lima partisipan lain (Nishinaga, 2004) menyebutkan bahwa persatuan
orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat mendukung seorang ibu
yang memiliki anak-anak dengan keterbelakangan intelektual secara mental.
Partisipan menyatakan sangat terkesan oleh kata-kata “anakmu terlihat sangat
cantik atau tampan” yang dikatakan oleh ibu yang lebih tua yang memiliki anak
dengan keterbelakangan intelektual dan merupakan anggota dari persatuan orang
8
tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus karena tidak ada satupun orangtua
yang memandang anak mereka yang memiliki keterbelakangan intelektual sebagai
anak yang lucu-lucu. Partisipan yang lain menyatakan bahwa berbicara dengan
anggota dari para persatuan anak berkebutuhan khusus, dia seakan diberi support
secara mental karena dia tidak mampu berbicara dengan teman biasa tentang
keterbelakangan anaknya itu. Hasil ini menyimpulkan bahwa dukungan sosial itu
sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dari
penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan intelektual.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka penulis merasa tertarik untuk meneliti kembali tentang pengaruh dukungan
sosial terhadap penerimaan diri dengan mengambil subjek orang tua yang
memiliki anak down syndrome.
Selain perceived behavioral control dan dukungan sosial, hal lain yang
dapat meningkatkan penerimaan diri adalah kedekatan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, sebagai salah satu indikator religiusitas seseorang. Glock dan Stark (1968)
mengartikan religiusitas yang berasal dari kata religi yaitu simbol sistem, sistem
keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan yang semuanya
berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling
maknawi. Glock dan Stark mengidentifikasikan lima dimensi dari religiusitas:
belief, practice, knowledge, experience, dan consequences. Dimensi religiusitas
menurut Huber dan Huber (2012) mengacu pada teori Glock dan Stark (1968):
pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok,
kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan.
9
Penelitian yang dilakukan oleh Handadari (dalam Ulina, 2013)
menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada orang
tua yang memiliki anak retardasi mental berat. Artinya semakin tinggi religiusitas
maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi
mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah religiusitas maka akan
semakin rendah penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental
berat. Penelitian senada yang dilakukan oleh Badaria dan Astuti (dalam Ulina,
2013) juga menunjukan adanya hubungan antara religiusitas dan penerimaan diri
pada penderita diabetes melitus.
Tetapi berdasarkan hasil penelitian lainnya menunjukkan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan penerimaan diri. Hal tersebut
dapat terjadi karena religiusitas bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi
penerimaan diri (Ulina, et al, 2013)
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik
untuk meneliti lebih jauh tentang pengaruh perceived behavioral control,
dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini melalui penelitian berjudul
“Pengaruh Perceived Behavioral Control, Dukungan Sosial, dan Religiusitas
terhadap Penerimaan Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Down Syndrome”
10
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1
Pembatasan masalah
Penelitian ini dibatasi hanya mengenai pengaruh dari variabel prediktor, yaitu
perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. adapun pengertian
tentang konsep variabel yang digunakan yaitu:
1. Penerimaan diri dalam penelitian ini adalah suatu kondisi dimana
seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang
tidak sesuai dengan harapannya (Gargiulo, 2004).
2. Perceived behavioral control dalam penelitian ini mengacu pada
persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk
menampilkan sebuah perilaku, yang terdiri dari: control belief dan
perceived power (Ajzen, 1991).
3. Dukungan sosial dalam penelitian ini mengacu pada dukungan yang
tersedia untuk orang dari orang-orang atau kelompok lain, yang terdiri
dari: dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental,
dukungan informasi, dan dukungan kelompok (Sarafino, 2011).
4. Religiusitas dalam penelitian ini adalah sistem yang berpusat pada
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling
maknawi, yang terdiri dari pengetahuan keagamaan, keyakinan
keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan
individu, dan pengalaman keagamaan (Glock & Stark, 1968).
11
5. Subjek penelitian ini adalah para orang tua yang memiliki anak down
syndrome yang termasuk dalam komunitas Persatuan Orang Tua Anak
dengan Down Syndrome (POTADS) se-Jabodetabek.
1.2.2
Perumusan masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Apakah ada pengaruh signifikan perceived behavioral control,
dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua
yang memiliki anak down syndrome?
2. Apakah ada pengaruh signifikan dimensi perceived behavioral control
terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome?
3. Apakah ada pengaruh signifikan dimensi dukungan sosial terhadap
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome?
4. Apakah ada pengaruh signifikan dimensi religiusitas terhadap
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome?
5. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap penerimaan diri orang
tua yang memiliki anak down syndrome?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
12
1. Menguji pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan
religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak
down syndrome.
2. Menguji pengaruh dimensi perceived behavioral control terhadap
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.
3. Menguji pengaruh dimensi dukungan sosial terhadap penerimaan diri
orang tua yang memiliki anak down syndrome.
4. Menguji pengaruh dimensi religiusitas terhadap penerimaan diri orang
tua yang memiliki anak down syndrome.
5. Menemukan faktor yang paling berpengaruh terhadap penerimaan diri
orang tua yang memiliki anak down syndrome.
1.3.2
Manfaat penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan
sumbangan pemikiran yang dapat bermanfaat bagi dunia psikologi
untuk
penelitian-penelitian
berikutnya
yang
berkaitan
dengan
penerimaan diri orang tua dan anak berkebutuhan khusus (ABK)
khususnya anak down syndrome.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat
menambah informasi mengenai pentingnya memperkuat perceived
behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas orang tua yang
13
memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) khususnya anak down
syndrome agar bisa menerima dengan baik dan mengembangkan anak
secara optimal.
1.4 Sistematika Penulisan
BAB 1
Pendahuluan
Berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian mengenai
pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan
religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak
down syndrome, pembatasan dan perumusan masalah, serta tujuan
dan manfaat penelitian.
BAB 2
Landasan Teori
Berisi tentang sejumlah teori yang berkaitan dengan penerimaan
diri,
perceived
behavioral
control,
dukungan
sosial,
dan
religiusitas, kerangka berpikir, serta hipotesis penelitian.
BAB 3
Metode Penelitian
Berisi tentang subyek penelitian, variabel penelitian, instrumen
penelitian, prosedur penelitian, dan teknis analisis data.
BAB 4
Hasil Penelitian
Berisi tentang hasil penelitian yang meliputi analisis deskriptif dan
uji hipotesis penelitian.
14
BAB 5
Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Berisi tentang kesimpulan dan diskusi berdasarkan hasil penelitian
yang telah diperoleh. Saran praktis dan teoritis juga akan diberikan
sebagai masukan yang bermanfaat berdasarkan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi uraian tentang landasan teoritis penelitian ini, yang dibagi menjadi
lima subbab. Subbab pertama membahas tentang penerimaan diri, subbab kedua
membahas tentang perceived behavioral control, subbab ketiga membahas
tentang dukungan sosial, subbab keempat membahas tentang religiusitas, subbab
kelima membahas tentang kerangka berfikir, subbab ke enam membahas tentang
hipotesis penelitian.
2.1 Penerimaan Diri (Self Acceptance)
2.1.1. Pengertian penerimaan diri (Self Acceptance)
Gargiulo (2004) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi
dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak
sesuai dengan harapannya. Menurut Rohner (2012) penerimaan orang tua
mengarah kepada kehangatan, kasih sayang, peduli, kenyamanan, perhatian,
mengasuh, mendukung atau perasaan cinta dimana orang tua dapat merasakan dan
menunjukkan kepada anaknya secara fisik maupun verbal. Cronbach (1963)
mengungkapkan penerimaan diri ialah karakteristik pribadi seseorang dimana ia
dapat menjelaskan mengenai fungsi keberadaan dirinya dengan baik. Hurlock
(1974) menyatakan bahwa individu yang mampu menerima diri sendiri berarti
harus mampu menerima seperti apa adanya (real self), bukan seperti apa yang
15
16
diinginkan (ideal self), serta memiliki harapan yang realistis sesuai dengan
kemampuannya.
Dari pengertian di atas mengenai penerimaan diri, maka definisi yang
digunakan peneliti adalah definisi dari Gargiulo (2004) yaitu penerimaan diri
adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang
terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya.
2.1.2
Proses dan dampak penerimaan diri (Self Acceptance)
Berikut adalah proses penerimaan yang dijelaskan oleh Kubler-Ross berkaitan
dengan reaksi atau respon yang diberikan ibu terhadap anak retardasi mental.
Reaksi-reaksi tersebut adalah shock dan tidak percaya; dalam banyak kasus
terdapat beberapa orang tua yang kurang siap ketika mengetahui kabar kecacatan
anak mereka. Orang tua terkadang (denial) menolak kenyataan sebagai bentuk
pelarian dari realita bahwa anaknya memiliki kecacatan. Tahap awal ini juga
ditandai dengan kesedihan (grief), seperti orang tua yang meratapi kehilangan
“anak yang ideal” atau “bayi yang sempurna”. Depresi dan penarikan merupakan
konsekuensi-konsekuensi umum dari proses berduka (dalam Gargiulo, 2004).
Reaksi awal ini diikuti oleh fase sekunder dibedakan dengan periode
disorganisasi emosional seperti yang disebutkan oleh Blacher (dalam Gargiulo,
2004). Hal ini terjadi selama tahapan berlangsung bagi orang tua yang terombangambing antara periode total dedikasi dan pengorbanan diri (postur seorang martir)
serta penolakan (dalam hal kasih sayang dan / atau kebutuhan fisik). Gargiulo
(1985) mengidentifikasi perilaku ini sebagai indikasi ambivalence. Salah satu
17
perasaan paling umum dan sulit bagi orang tua untuk menangani hal tersebut
adalah rasa bersalah (guilt) - yang bagaimanapun juga mereka dapat berkontribusi
terhadap kecacatan putra atau putri mereka. Rasa bersalah biasanya mengikuti
pola “if only” berpikir seperti ini: “kalau saja saya tidak “minum” ketika saya
hamil,” “kalau saja kita pergi ke rumah sakit lebih cepat,” “kalau saja saya
menyimpan obat dalam lemari yang terkunci.” Selama tahapan ini, kerugian yang
banyak pada umumnya, seperti perasaan bersalah orang tua. Umumnya seperti
memperlihatkan kemarahan (anger) dan permusuhan, yang sering diikuti dengan
pertanyaan “mengapa saya?” dimana tidak ada jawaban yang memuaskan untuk
pertanyaan itu. Akhirnya, muncul rasa malu dan kecewa (shame and
embarrassment) merupakan konsekuensi yang khas pada orang tua sebagai hasil
dari memiliki anak dengan disabilitas. Beberapa orang tua yang takut bagaimana
keluarga, teman, dan masyarakat pada umumnya akan bereaksi terhadap putra
atau putri mereka, dan penarikan sosial merupakan hal yang biasa. Harga diri
untuk orang tua juga dapat terancam (Gargiulo, 2004).
Tawar menawar (bargaining) dimulai pada fase tersier, seperti orang tua
berusaha untuk “menyerang kesepakatan” dengan Tuhan, ilmu pengetahuan, atau
siapa pun yang mereka percaya mungkin bisa membantu anak mereka. Jarang
terlihat oleh orang luar, itu merupakan salah satu langkah akhir yang
berkelanjutan dalam proses penyesuain pada orangtua. Sebuah periode adaptasi
dan reorganisasi (adaptation and reorganization) juga terjadi, orang tua menjadi
semakin nyaman dengan situasi mereka dan mendapatkan kepercayaan diri dalam
kemampuan pengasuhan mereka. Dalam model Gargiulo, seperti pada
18
kebanyakan orang, penerimaan dan penyesuaian (acceptance and adjustment)
dipandang sebagai tujuan akhir untuk kebanyakan orang tua. Penerimaan ditandai
sebagai keadaan pikiran di mana upaya yang dipertimbangkan untuk mengenali,
memahami, dan menyelesaikan masalah. Orang tua juga menemukan bahwa
penerimaan tidak hanya melibatkan penerimaan putra atau putri mereka, tetapi
juga menerima diri mereka sendiri dan mengakui kekuatan dan kelemahan mereka
(Gargiulo, 2004)
Terkait dengan penerimaan sebagai konsep penyesuaian, berarti tindakan
positif dan maju bergerak (Gargiulo, 2004). Penyesuaian merupakan sebuah
tahapan dan, dalam beberapa kasus, proses yang sulit dan seumur hidup yang
menuntut penataan kembali pada tujuan dan ambisi. Bagi banyak orangtua, itu
adalah perjuangan yang sedang berlangsung. Berdasarkan pemaparan tentang
proses reaksi awal penerimaan diri di atas, maka penerimaan yang digunakan oleh
penulis adalah menggunakan tahap akhir setelah orang mengalami reaksi shock
dan tidak percaya, denial, grief, ambivalence, guilt, anger, shame and
embarrassment, bargaining, adaptation and reorganization, dan tahap akhir yaitu
penerimaan dan penyesuaian diri.
Kubler-Ross (dalam Bergeron & Walfet-Defalque, 2013) menegaskan
bahwa urutan lima tahap tidak berurutan dan bahwa tidak semua orang akan
mengalami semua tahapan ini karena perjalanan emosional bersifat individual.
Tahapan menurut Kubler Ross lebih efektif dijadikan sebagai alat untuk
membantu coping individu yang fleksibel. Tahapan ini dapat digunakan untuk
memfasilitasi komunikasi dan sebagai bantuan untuk menolong mereka ketika
19
mereka siap untuk berproses pada tahap yang lain. Penelitian ini mengindikasikan
seseorang pada waktu yang bersamaan dapat berada dalam tahap yang berbeda,
dengan perbedaan derajat (Isadore, Pamela J, Diann C, Patrick, Faye H, Harvey,
& John, 1983).
Hurlock (1974) membagi dampak dari penerimaan diri menjadi dua
kategori sebagai berikut:
1. Dalam penyesuaian diri
Orang yang memiliki penerimaan diri mampu mengenali kelebihan dan
kekurangannya. Ia biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence) dan
harga diri (self esteem). Selain itu, mereka juga lebih dapat menerima
kritik demi perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan
adanya rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan
seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistik sehingga dapat
menggunakan potensinya secara efektif. Dengan penilaian yang realistik
terhadap diri, seseorang akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Ia juga
merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk
menjadi orang lain.
2. Dalam penyesuaian sosial
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang
lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk
menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, serta
menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukkan rasa empati dan
simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat
20
melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang
yang merasa rendah diri, sehingga mereka cenderung berorientasi pada
dirinya sendiri (self oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya
tanpa mengganggu orang lain, serta toleran dan memiliki dorongan untuk
membantu orang lain.
Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena
penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan
konsep diri dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki
penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki konsep diri
yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran diri ideal, sehingga
bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan realitas.
2.1.3
Pengukuran penerimaan diri (Self Acceptance)
Salah satu alat ukur penerimaan diri adalah Expressed Acceptance on Scale yang
disusun oleh Berger, yang terdiri dari 36 item. (Handayani, et al, 1998). Skala ini
mengukur dimensi-dimensi penerimaan diri Berger yang terdiri dari: orientasi
keluar,
percaya
kemampuan
diri,
bertanggung
jawab,
menerima
sifat
kemanusiaan, menyesuaikan diri, perasaan sederajat, berpendirian, menyadari
keterbatasan, dan tidak malu (Denmark, 1973).
Terdapat pula alat ukur lain yang digunakan untuk mengukur penerimaan
diri yaitu The Hoffman Gender Scale (HGS) yang disusun oleh Hoffman (2006)
yang terdiri dari 14 item dan 7 item diantaranya mengukur tentang penerimaan
diri pada jenis kelamin, yang membahas tentang bagaimana individu merasa
21
nyaman dengan jenis kelaminnya sendiri. Jika seseorang memiliki penerimaan diri
yang kuat pada jenis kelaminnya baik sebagai wanita atau pria maka individu
tersebut akan menerimanya tanpa ada alasan bahwa hal tersebut menjadi sebuah
kritikan bagi identitasnya.
Alat ukur penerimaan diri dalam penelitian lainnya menggunakan skala
penerimaan diri berdasarkan teori Kubler Ross menggunakan lima tahap
penerimaan diri yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance
dengan reabilitas sebagai berikut: denial, r = 0.81; anger, r = 0.82; bargaining, r =
0.75; depression, r = 0.72; acceptance, r = 0.86 (Isadore, et al, 1983). Penelitian
lain yang menggunakan skala penerimaan diri berdasarkan teori Kubler Ross yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Bergeron dan Wanet-Defalque (2013) yang
mengambil tahapan denial dan acceptance untuk mengukur penerimaan diri
pasien penyakit Brief Cope.
Penerimaan diri dalam penelitian ini diukur dengan memodifikasi skala
penerimaan diri dari Kubler Ross (Gargiulo, 2004). Penulis memfokuskan itemitem self acceptance dan adjusment karena yang ingin dilihat adalah seberapa
besar penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan ketika
orang tua sudah menerima dirinya memiliki anak down syndrome dapat diartikan
bahwa orang tua sudah melewati reaksi-reaksi awal dalam tahapan penerimaan
diri. Item berkaitan dengan reaksi-reaksi awal yang mrupakan fase sebelum
penerimaan, dibuat sebagai item unfavourable dari penerimaan.
22
2.1.4
Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri (Self Acceptance)
Terdapat beberapa faktor yang menentukan bagaimana seseorang dapat menyukai
dan menerima dirinya sendiri, dimana faktor tersebut berperan penting bagi
terwujudnya penerimaan dalam diri setiap individu. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan diri menurut Hurlock (1974) adalah:
1. Self Understanding (pemahaman diri)
Pemahaman akan diri sendiri adalah persepsi tentang diri sendiri yang
dapat
timbul
jika
seseorang
mengenali
kemampuan
dan
ketidakmampuannya. Dimana individu dapat memahami dirinya sendiri
tidak hanya tergantung pada kemampuan intelektual dirinya saja,
melainkan juga pada setiap kesempatannya untuk mengenali dirinya
sendiri.
Pemahaman
diri
dan
penerimaan
diri
berjalan
secara
berdampingan. Individu yang memahami dirinya dengan baik, maka akan
menerima keadaan dirinya sendiri dan tidak ada keinginan untuk berpurapura menjadi orang lain, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti semakin
orang dapat memahami dirinya sendiri, maka senantiasa ia dapat
menerima dirinya.
2. Realistic Expectations (harapan yang realistis)
Ketika harapan seseorang akan sesuatu hal adalah realistis, maka
kesempatan untuk mencapainya akan terwujud sesuai dengan harapannya.
Hal ini dapat memberikan kepuasan pada diri sendiri yang sangat
berkaitan dengan penerimaan diri. Adanya harapan yang realistis bisa
timbul bila individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan
23
pemahaman mengenai kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang
lain dalam mencapai tujuannya. Jadi, ketika individu memiliki harapan,
seharusnya ia telah mempertimbangkan kemampuan dirinya dalam
mencapai tujuan tersebut.
3. Absence of Enviromental Obstacies (tidak adanya hambatan lingkungan)
Ketidakmampuan individu untuk mencapai tujuannya dapat ditimbulkan
dari lingkungan. Jika lingkungan sekitarnya menghalangi individu
menunjukkan potensinya atau untuk mengekspresikan dirinya, maka
penerimaan dirinya tentu akan sulit tercapai. Sebaliknya, apabila didalam
lingkungan individu memberikan dukungan seperti orang tua, guru, dan
teman-teman, maka individu dapat mencapai tujuannya, merasa puas atas
apa yang telah diraihnya, dan harapannya pun menjadi realistis.
4. Favourable Social Attitudes (tingkah laku sosial yang sesuai)
Ketika individu menunjukkan tingkah laku yang dapat diterima oleh
masyarakat, maka hal tersebut akan membantu dirinya untuk dapat
menerima diri. Yang dimaksud favourable social attitudes disini adalah
tidak adanya prasangka terhadap diri atau anggota keluarganya, pengakuan
individu terhadap kemampuan sosial orang lain, tidak memandang buruk
terhadap orang lain, serta adanya kesediaan individu untuk menerima
kebiasaan atau norma lingkungan.
24
5. Absence of severe emotional stress (tidak adanya stres emosional yang
berat)
Stress menandai kondisi tidak seimbang dalam diri individu yang
menyebabkan individu bertingkah laku yang dipandang tidak sesuai oleh
lingkungannya. Perubahan pandangan ini dapat menyebabkan pandangan
individu terhadap dirinya juga berubah kearah yang negatif, sehingga
berpengaruh terhadap penerimaan dirinya. Selain itu, tidak adanya
gangguan stress emosional yang berat memungkinkan seseorang untuk
melakukan yang terbaik dan tidak hanya mementingkan kepentingan
dirinya saja.
6. Preponderance of Successes (kenangan akan keberhasilan)
Kegagalan yang dialami oleh individu akan menimbulkan penolakan
dalam
dirinya,
sedangkan
keberhasilan
dapat
berpengaruh
pada
penerimaan dirinya. Seseorang yang berhasil atau gagal akan mendapatkan
penilaian sosial dari lingkungannya. Penilaian sosial inilah yang akan
diingat oleh individu karena dapat menjadi suatu penilaian tambahan
mengenai dirinya. Ketika seseorang mengalami kegagalan, maka ketika ia
mengingat keberhasilan dapat membantu memunculkan penerimaan diri.
Sebaliknya, kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan penolakan diri.
7. Identification with Well-adjusted People (identifikasi dengan orang yang
memiliki penyesuaian diri yang baik)
Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan orang yang mampu
beradaptasi dengan baik, maka hal ini dapat membantu dirinya untuk
25
mengembangkan sikap-sikap yang positif dalam hidupnya dan bersikap
baik yang bisa menimbulkan penilaian diri dan penerimaan diri yang baik.
8. Self Perspective (perspektif diri)
Seseorang yang mampu memperhatikan pandangan orang lain terhadap
dirinya seperti ia memandang dirinya sendiri adalah seseorang yang
memiliki pemahaman diri yang cukup baik daripada seseorang yang
memiliki perspektif yang sempit mengenai dirinya, hal inilah yang
membuat ia dapat menerima dirinya dengan baik. perspektif diri yang luas
diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini, usia dan tingkat
pendidikan memegang peranan penting bagi seseorang untuk dapat
mengembangkan perspektif dirinya.
9. Good Childhood Training (pola asuh masa kecil yang baik)
Meskipun ada bermacam cara penyesuaian diri yang dilakukan seseorang
untuk membuat perubahan dalam hidupnya, namun yang menetukan
penyesuaian diri seseorang dalam hidupnya adalah pola asuh dimasa kecil.
Anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis dimana di dalamnya
terdapat peraturan yang mengajarkan kepada anak bagaimana ia
menerima dirinya sebagai individu dan cenderung berkembang untuk
menghargai dirinya sendiri. Konsep diri mulai terbentuk pada masa kanakkanak dimana pola asuh diterapkan, sehingga pengaruhnya terhadap
penerimaan diri tetap ada meskipun usia individu terus bertambah.
26
10. Stable Self-Concept (konsep diri yang stabil)
Konsep diri yang stabil adalah satu cara bagaimana seseorang mampu
melihat dirinya sendiri dengan cara yang sama dari waktu ke waktu.
Hanya pada konsep diri yang sesuai seseorang mampu menerima dirinya
sendiri. Karena apabila individu memiliki konsep diri yang tidak stabil,
bisa saja pada satu waktu ia menyukai dirinya, pada waktu lain ia
membenci dirinya sendiri. Ini akan membuatnya kesulitan untuk
menunjukkan siapa dirinya kepada orang lain karena ia sendiri merasa
bertentangan terhadap dirinya sendiri.
Selain faktor di atas, penelitian sebelumnya mengatakan bahwa ada
beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang, diantaranya
adalah dukungan sosial, coping stress, self-esteem dan self efficacy, optimisme,
perilaku asertif, dan health locus of control (Zalewska, et al, 2006). Selain itu
Sarasvati (dalam Rachmayanti, 2007) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis diantaranya
adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar
belakang agama, sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan
suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing
orang tua, dan sarana penunjang.
Nishinaga (2004) mengatakan bahwa faktor penerimaan diri orang tua
yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual diantaranya adalah
subjective wellbeing, dukungan sosial, dan perceived behavioral control. Dari
27
sebagian faktor yang disebutkan diatas, dalam penelitian ini akan diuji beberapa
faktor yaitu perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas.
2.2 Perceived Behavioral Control
2.2.1
Pengertian perceived behavioral control
Ajzen (1991) menyatakan bahwa perceived behavioral control (PBC) mengacu
pada persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk
menampilkan sebuah perilaku, atau persepsi seseorang mengenai seberapa mudah
atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Sedangkan menurut Francis
et.al., (2004) perceived behavioral control adalah sejauh mana seseorang merasa
mampu untuk menampilkan suatu perilaku.
Ajzen (2005) menyatakan bahwa perceived behavioral control dianggap
sebagai fungsi dari belief. Belief dalam perceived behavioral control yaitu tentang
ada atau tidaknya faktor yang memfasilitasi atau menghalangi terwujudnya
sebuah perilaku. Belief ini berdasarkan pada bagian pengalaman masa lalu yang
berhubungan dengan perilaku. Namun, perceived behavioral control biasanya
juga dipengaruhi oleh informasi dari rekan-rekan dan teman serta faktor lain yang
dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi tentang kesulitan dalam
mewujudkan perilaku tertentu.
2.2.2
Komponen perceived behavioral control
Ajzen (2005) menyatakan bahwa perceived behavioral control terdiri dari dua
komponen, yaitu:
28
a. Control belief, yaitu faktor atau kondisi yang membuat perilaku sulit atau
mudah untuk dilakukan
b. Perceived power, kekuatan dari setiap faktor atau kondisi yang
mendukung atau menghambat perilaku.
2.2.3
Pengukuran perceived behavioral control
Alat ukur perceived behavioral control ini menggunakan teori planned behavior
dari Icek Ajzen. Perceived behavioral control diukur dengan menggunakan
kuesioner perceived behavioral control yang disusun oleh penulis sendiri
didasarkan pada komponen perceived behavioral control yang dikemukakan oleh
Francis et al., (2004).
Penghitungan skor perceived behavioral control yaitu dengan rumus
dibawah ini:
PBC = (a x d) + (b x e) + (c x f)
Keterangan:
PBC adalah total skor perceived behavioral control
a, b dan c adalah nilai masing-masing dari item control belief
d, e dan f adalah nilai masing-masing dari item belief power yang berhubungan
dengan item control belief.
Dalam penelitian ini peneliti memodifikasi alat ukur Ajzen dengan sampel
orang tua yang memiliki anak down syndrome.
29
2.3 Dukungan Sosial
2.3.1
Pengertian dukungan sosial
Menurut Sarafino (2011) dukungan sosial mengacu pada kenyamanan,
kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk orang dari orang-orang
atau kelompok lain (Uchino, 2004). Dukungan bisa datang dari banyak sumber
seperti pasangan atau kekasih, keluarga, teman, dokter, atau organisasi
masyarakat. Orang dengan dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai,
dihargai, dan merupakan bagian dari kelompok sosial, seperti keluarga atau
organisasi masyarakat, yang dapat membantu pada saat dibutuhkan. Jadi,
dukungan sosial mengacu pada tindakan yang benar-benar dilakukan oleh orang
lain, atau menerima dukungan.
Hampir senada dengan Sarafino, Taylor (2006) mendefinisikan dukungan
sosial sebagai bentuk pemberian informasi serta merasa dirinya dicintai dan
diperhatikan terhormat, dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan
komunikasi dan kewajiban timbal balik dari orang tua, kekasih atau kerabat,
teman, jaringan lingkungan sosial serta dalam lingkungan masyarakat. Dukungan
sosial merupakan interaksi interpersonal yang di dalamnya terkandung perhatian
secara emosional dan penilaian diri yang berhubungan dengan lingkungan sekitar.
Dukungan sosial dipercayai mempunyai efek positif secara langsung terhadap
kesehatan dan secara tidak langsung dapat menahan efek berbahaya dari stres.
Dari pengertian di atas mengenai dukungan sosial, maka definisi yang
digunakan penulis adalah definisi dari Sarafino (2011) yang mengartikan
30
dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, harga diri, atau bantuan
yang tersedia untuk orang dari orang-orang atau kelompok lain.
2.3.2
Dimensi dan sumber dukungan sosial
Sarafino (2011) membagi dukungan sosial menjadi empat dimensi, yaitu:
1. Dukungan emosional
Dukungan
emosional
seperti
menyampaikan
empati,
kepedulian,
perhatian, hal positif, dan dorongan terhadap orang tersebut. Ini
memberikan kenyamanan dan kepastian dengan rasa memiliki dan dicintai
pada saat stres.
2. Dukungan nyata atau instrumental
Dukungan nyata atau instrumental seperti melibatkan bantuan langsung,
ketika orang memberikan atau meminjamkan uang atau orang membantu
tugas-tugas pada saat stres.
3. Dukungan informasi
Dukungan informasi termasuk memberikan nasihat, arah, saran, atau
umpan balik tentang cara orang tersebut melakukan sesuatu.
4. Dukungan kelompok
Dukungan kelompok mengacu pada ketersediaan orang lain untuk
menghabiskan waktu dengan orang, sehingga memberikan suatu perasaan
tentang keanggotaan dalam kelompok orang-orang yang memiliki hal yang
sama dan kegiatan sosial.
31
Sumber-sumber dukungan sosial banyak diperoleh oleh individu dari
lingkungan sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan
sosial ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan sosial
merupakan aspek paling penting untuk diketahui dan dipahami. Dengan
pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang akan tahu pada siapa ia akan
mendapatkan dukungan sosial yang sesuai dengan situasi dan keinginannya yang
spesifik, sehingga dukungan sosial memiliki makna yang berarti bagi kedua belah
pihak. Sarafino (2011) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat diperoleh dari
berbagai sumber yang berbeda, yaitu: pasangan atau kekasih, keluarga, teman,
dokter, atau organisasi masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dukungan sosial yang diterima individu
dapat diperoleh dari rekan sejawat di kantor, anggota keluarga, teman sebaya, dan
organisasi yang diikuti. Dalam penelitian ini, sumber-sumber dukungan sosial
diperoleh dari pasangan, anggota keluarga, teman dan anggota komunitas yang
sama-sama memiliki anak down syndrome.
2.3.3
Pengukuran dukungan sosial
Contoh pengukuran dukungan sosial yang dilakukan oleh menggunakan alat ukur
yang biasa disebut dengan Assessing Social Support: The Social Support
Questionaire (SSQ). Terdapat dua aspek yang membentuknya, yaitu persepsi akan
jumlah orang dan tingkat kepuasan dari dukungan yang diberikan oleh lingkungan
sosial mereka. SSQ pada awal dibentuknya, yaitu pada tahun 1983 oleh Sarason,
Levine dan Basbha berjumlah 27 item dari dua aspek. Kemudian pada tahun 1987
32
dirubah menjadi 6 item dan dikenal dengan Social Support Questioner Short
Form (Sarason, 1983)
Alat ukur lainnya yang digunakan untuk mengukur dukungan sosial adalah
Infentory of Socially Supportive Behaviors (ISSB) yang dikembangkan oleh
Barrera, Sandler, dan Ramsay (1981). Terdiri dari 40 item dengan menggunakan 5
skala poin: 1 (tidak sama sekali), 2 (sekali atau dua kali), 3 (sekali dalam
seminggu), 4 (beberapa kali), 5 (setiap hari). ISSB terlihat sebagai alat
menjanjikan untuk memahami proses pemberian bantuan yang alami.
Pengukuran dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala dukungan sosial yang disusun berdasarkan teori yang dikembangkan oleh
Sarafino (2011) yaitu dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental,
dukungan informasi, dan dukungan kelompok. Untuk mengukur dukungan sosial
dibuat indikator-indikator berdasarkan keempat dimensi di atas yaitu:
Dukungan emosional mencakup empati, peduli, perhatian, perasaan
nyaman, dan perasaan dicintai.
Dukungan nyata atau instrumental mencakup melibatkan bantuan
langsung, dan membantu tugas pada saat stres.
Dukungan informasi mencakup pemberian nasehat, pemberian saran,
dan pemberian bimbingan.
Dukungan kelompok mencakup menjadi anggota dari suatu kelompok,
dan mempunyai teman senasib.
33
2.4 Religiusitas
2.4.1
Pengertian religiusitas
Glock dan Stark (1968) mengartikan religiusitas adalah sistem simbol, sistem
keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya
berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling
maknawi. Fetzer (1999) mendefinisikan religiusitas sebagai sesuatu yang lebih
menitik beratkan pada masalah perilaku, sosial, dan merupakan sebuah doktrin
dari setiap agama atau golongan. Karena doktrin yang dimiliki oleh setiap agama
wajib diikuti oleh setiap pengikutnya.
Dari pengertian di atas mengenai religiusitas, maka definisi yang
digunakan peneliti adalah definisi dari Glock dan Stark (1968) yang mengartikan
religiusitas adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem
perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan
yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi.
2.4.2
Dimensi religiusitas
Glock dan Stark telah memberikan pengaruh dalam mendefinisikan orientasi
agama, asal-usul, dan dimensi-dimensinya. Glock dan Stark mengidentifikasikan
lima dimensi dari religiusitas: belief, practice, knowledge, experience, dan
consequences (Glock & Stark, 1968).
Dimensi religiusitas menurut Huber dan Huber (2012) mengacu pada teori Glock
dan Stark (1968):
34
1. Dari perspektif sosiologis, dimensi pengetahuan keagamaan mengacu pada
harapan sosial bahwa orang-orang religius memiliki pengetahuan agama,
dan bahwa mereka dapat menjelaskan pandangan mereka tentang
transendensi, agama dan religiusitas. Dalam sistem konstruk agama
pribadi dimensi ini direpresentasikan sebagai tema yang menarik,
keterampilan hermeneutik, gaya pemikiran dan interpretasi, dan sebagai
tubuh pengetahuan. Indikator umum untuk dimensi pengetahuan
keagamaan adalah frekuensi berpikir tentang isu-isu agama. Hal ini
menunjukkan seberapa sering isi religius “diperbarui” melalui media
berpikir, yang mengarah ke jantung dimensi pengetahuan keagamaan.
Selanjutnya, isi indikator ini adalah independen dari bias pengakuan atau
afiliasi keagamaan. Oleh karena itu dapat diterapkan di seluruh agama.
2. Dimensi keyakinan keagamaan mengacu pada harapan sosial bahwa
agama individu memiliki keyakinan tentang keberadaan dan esensi dari
sebuah realitas transenden dan hubungan antara transendensi dan manusia.
Dalam sistem konstruk agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai
keyakinan, keyakinan dipertanyakan dan pola masuk akal. Indikator umum
dimensi ini harus fokus hanya pada aspek masuk akal dari adanya realitas
transenden, misalnya, “Untuk apa memperpanjang apakah Anda percaya
pada keberadaan Tuhan atau sesuatu yang ilahi”. Ini “dasar keyakinan”
adalah umum untuk tradisi keagamaan besar, karena merupakan prasyarat
untuk semua konsep lebih lanjut dan dogma mengenai esensi dari realitas
ini. Setelah responden menganggap realitas transenden sebagai masuk
35
akal, konstruksi spesifik transendensi lazim dalam tradisi yang berbeda
bisa menjadi psikologis yang relevan.
3. Dimensi kegiatan keagamaan kelompok merujuk pada harapan sosial
bahwa agama individu milik umat beragama yang diwujudkan dalam
partisipasi publik dalam ritual keagamaan dan kegiatan komunal. Dalam
sistem konstruk agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai pola
tindakan dan sebagai rasa memiliki terhadap tubuh sosial tertentu serta
imajinasi ritual tertentu transendensi tersebut. Intensitas umum dimensi ini
dapat diukur dengan mudah dengan bertanya tentang frekuensi seseorang
yang mengambil bagian dalam pelayanan keagamaan. Dalam studi
antaragama itu dianjurkan untuk beragam label untuk ibadah sesuai
dengan agama yang dianut mayoritas responden misalnya “kehadiran di
gereja” bagi orang Kristen, dan “shalat Jumat” bagi umat Islam.
4. Dimensi kegiatan keagamaan individu merujuk pada harapan sosial bahwa
agama individu mengabdikan diri untuk transendensi dalam kegiatan
individual dan ritual di ruang pribadi. Dalam sistem konstruk agama
individu dimensi ini digambarkan sebagai pola tindakan dan gaya
pengabdian individu kepada transendensi tersebut. Masuk akal untuk
mempertimbangkan baik doa dan meditasi ketika mengukur intensitas
umum kegiatan keagamaan individu, karena mereka mengekspresikan
bentuk-bentuk dasar dan tereduksi menangani diri untuk transendensi.
Melekat
pada
struktur
doa
adalah
tindakan
mengatasi
sebuah
“pendamping”. Dinamika ini menunjukkan pola dialogis spiritualitas.
36
Sebaliknya, meditasi terstruktur lebih mendasar dengan mengacu pada diri
sendiri dan / atau prinsipnya semua-meresap, dan karena itu lebih sesuai
dengan pola partisipatif spiritualitas. Mengingat kedua bentuk kegiatan
keagamaan pribadi berarti bahwa kedua pola dasar spiritualitas tertutup.
5. Dimensi pengalaman keagamaan mengacu pada harapan sosial bahwa
orang religius memiliki “semacam kontak langsung kerealitas tertinggi”
yang mempengaruhi mereka secara emosional. Dalam sistem konstruk
agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai pola persepsi agama dan
sebagai tubuh pengalaman dan perasaan religius. Analog ke kegiatan
keagamaan individu, dua bentuk dasar mengalami transendensi dapat
dibedakan,
“satu-ke-satu
pengalaman”
yang
sesuai
dengan
pola
spiritualitas dialogis dan “pengalaman berada di satu” sesuai dengan yang
partisipatif. Oleh karena itu, kami menyarankan penggunaan kedua
ekspresi pengalaman religius untuk pengukuran intensitas umum.
2.4.3
Pengukuran religiusitas
Salah satu pengukuran religiusitas dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang
biasa disebut dengan The Daily Spiritual Experiences Scale. Skala ini terdiri dari
16 item yang disusun menggunakan skala Likert dengan 5 pilihan jawaban.
Alat ukur lainnya yang digunakan untuk mengukur religiusitas adalah
Rajmanickam’s Religious Attitude Scales, skala ini digunakan oleh Mojtaba
Aghili dan Kumar (2008) untuk diberikan pada sampel orang Iran yang jumlahnya
37
banyak. Skala ini menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban sangat tidak
setuju, tidak setuju, agak setuju, setuju, dan sangat setuju.
Pengukuran religiusitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
model Likert modifikasi alat ukur CRS yang mengacu pada teori Glock dan Stark
meliputi lima jenis yaitu intelektual (pengetahuan keagamaan), ideologi
(keyakinan keagamaan), kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan
individu, dan pengalaman keagamaan.
2.5 Kerangka Berfikir
Kelahiran
anak
merupakan
saat
yang
ditunggu-tunggu
dan
sangat
menggembirakan bagi pasangan suami istri. Anak merupakan pertautan cinta
suami dan istri, serta merupakan buah hati yang sangat diharapkan kehadirannya.
Kehadirannya bukan saja mempererat tali cinta pasangan suami istri, tetapi juga
sebagai penerus generasi yang sangat diharapkan oleh keluarga tersebut.
Saat yang menegangkan dan menggembirakan tersebut dapat berubah
menjadi suatu kekecewaan, manakala suami istri menyaksikan anak yang baru
dilahirkan itu mengalami kecacatan, atau mempunyai ketidaksempurnaan pada
salah satu atau beberapa organ tubuh maupun bagian tubuhnya. Seperti
mempunyai kaki dan tangan yang tidak lengkap, tidak sempurnanya fungsi
jantung, ginjal atau pun otak yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya dan
lain lain. Reaksi umum yang terjadi pada orang tua yang mengetahui anaknya
mengalami kecacatan adalah sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak, atau
marah-marah (Cartwright, 1984)
38
Memiliki anak down syndrome adalah salah satu pengalaman yang
dimiliki oleh beberapa orang tua di dunia. Pengalaman ini pada akhirnya juga
dapat mempengaruhi dan membentuk kebahagiaan orang tua melalui evaluasi dan
penghayatan terhadap kehidupannya. Sebagai orang tua yang memiliki anak down
syndrome, orang tua juga memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki
kebahagiaan hidup.
Gargiulo (2004) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu
kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya
yang tidak sesuai dengan harapannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak autis diantaranya adalah dukungan dari keluarga besar,
kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, sikap para ahli yang
mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan suami istri, status perkawinan, sikap
masyarakat umum, usia dari masing-masing orang tua, dan sarana penunjang.
(sarasvati, 2004).
Selain faktor di atas Nishinaga (2004) mengatakan juga bahwa perceived
behavioral control dapat dipandang sebagai faktor penting dari penerimaan diri
para ibu yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Bisa dikatakan
bahwa mengajarkan para ibu bagaimana memperlakukan anak-anak mereka yang
memiliki keterbelakangan intelektual akan mengurangi kecemasan mereka dan
meningkatkan perceived behavioral control mereka.
Unsur-unsur perceived behavioral control yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah control belief yang dimiliki orang tua yang memiliki anak
39
down syndrome, dan perceived power yang dimiliki orang tua yang memiliki anak
down syndrome.
Selain perceived behavioral control hal lain yang dapat meningkatkan
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome adalah dukungan
sosial. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Sarasvati (2004) salah satu faktor yang
mempengaruhi penerimaan diri orang tua adalah dukungan sosial. Dukungan
sosial membuat orang tua yang memiliki anak down syndrome lebih dapat
menerima dirinya dengan keadaan yang di hadapi. Nishinaga (2004) menjelaskan
bahwa dukungan sosial itu sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh dari penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan
intelektual.
Dukungan emosional yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak
down syndrome dapat membuat orang tua merasa nyaman tentram kembali,
merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, diberi bantuan dalam
bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta. Dukungan nyata atau
instrumental yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak down syndrome
membuat orang tua mendapatkan bantuan nyata dengan merawat anak down
syndrome. Dukungan informasi yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak
down syndrome membuat orang tua mendapatkan informasi sesuai dengan apa
yang dihadapi; dalam penelitian ini contohnya adalah informasi mengenai anak
down syndrome. Dukungan kelompok yang diterima oleh orangtua yang memiliki
anak down syndrome sangat membantu orang tua dalam menerima dirinya dengan
dia merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana
40
anggota-anggotanya dapat saling berbagi; misalnya menemani orang yang sedang
stres ketika beristirahat atau berekreasi.
Selain perceived behavioral control dan dukungan sosial, hal lain yang
dapat meningkatkan penerimaan adalah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Religiusitas memberikan pengaruh positif yang dapat membuat
orang tua yang memiliki anak down syndrome berani menghadapi masalahnya,
mengatasi rasa cemas, stress atau depresi yang sedang di alami. Penelitian yang
dilakukan oleh Handadari (2012) menunjukkan ada hubungan antara religiusitas
dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental berat.
Artinya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri
orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Begitu pula sebaliknya
semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua
yang memiliki anak retardasi mental berat.
Dengan memiliki keyakinan beragama yang kuat, orang tua anak down
syndrome meyakini adanya Tuhan dan keajaiban dari Tuhan; kegiatan keagamaan
kelompok dan individu yang dijalankan oleh orang tua seperti beribadah sesuai
agama yang dianut dan mengikuti siraman-siraman rohani yang mampu
meningkatkan keimanan dari orang tua yang memiliki anak down syndrome
tersebut. Pengalaman agama yang telah dilalui oleh orang tua dapat memperkuat
tingkat religiusitas yang dimiliki, pengetahuan agama yang dimiliki seperti
tentang ajaran agama dan dasar-dasar agama yang dianut, dan konsekuensi
beragama yang mencakup kesabaran, kejujuran, keihklasan dalam menerima
cobaan, dan saling memaafkan yang dimiliki oleh orang tua anak down syndrome
41
akan mempengaruhi penerimaan dan tingkat kebahagiaannya dalam menjalani
kehidupannya.
Hubungan antar variabel penelitian, selanjutnya dapat dilihat pada bagan
kerangka berpikir sebagai berikut:
PERCEIVED
BEHAVIORAL CONTROL
Control Belief
Perceived Power
DUKUNGAN SOSIAL
Dukungan Emosional
Dukungan Nyata atau
Instrumental
Penerimaan
Diri
Dukungan Informasi
Dukungan Kelompok
RELIGIUSITAS
Pengetahuan Keagamaan
Keyakinan Keagamaan
Kegiatan Keagamaan
Kelompok
Kegiatan Keagamaan
Individu
Pengalaman Keagamaan
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
42
2.6 Hipotesis Penelitian
H1
: Ada pengaruh positif signifikan perceived behavioral control, dukungan
sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki
anak down syndrome.
H2
: Ada pengaruh yang signifikan control belief dari perceived behavioral
control terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome.
H3
: Ada pengaruh yang signifikan perceived power dari perceived behavioral
control terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome.
H4
: Ada pengaruh yang signifikan dukungan emosional dari dukungan sosial
terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.
H5
: Ada pengaruh yang signifikan dukungan nyata atau instrumental dari
dukungan sosial terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak
down syndrome.
H6
: Ada pengaruh yang signifikan dukungan informasi dari dukungan sosial
terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.
H7
: Ada pengaruh yang signifikan dukungan kelompok dari dukungan sosial
terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.
H8
: Ada pengaruh yang signifikan pengetahuan keagamaan dari religiusitas
terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome.
43
H9
: Ada pengaruh yang signifikan antara keyakinan keagamaan dari
religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome.
H10
: Ada pengaruh yang signifikan antara kegiatan keagamaan kelompok dari
religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome.
H11
: Ada pengaruh yang signifikan kegiatan keagamaan individu dari
religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome.
H12
: Ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman keagamaan dari
religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab ini dibahas mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian,
instrumen pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas, teknik analisis data,
dan prosedur penelitian.
3.1
Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak down
syndrome. Dengan jumlah populasi tidak diketahui dalam komunitas POTADS seJabodetabek, karena orang tua yang menjadi anggota dari komunitas ini tidak
terikat sehingga bisa dengan bebas keluar atau masuk ke dalam komunitas
POTADS. Adapun sampel dalam penelitian ini sebanyak 150 orang tua dengan
anak down syndrome.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
non-probability sampling, yaitu accidental tekhnik sampling, dimana partisipan
diambil dalam kesempatan event yang diselenggarakan oleh komunitas POTADS.
3.2
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
3.2.1 Variabel penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yang digunakan oleh penulis
sebagai berikut:
1. Penerimaan Diri (Dependent Variable)
44
45
2. Perceived Behavioral Control (Independent Variable)
a. Control Belief
b. Perceived Power
3. Dukungan Sosial (Independent Variable) yang bersumber dari pasangan,
keluarga, dan teman.
a. Dukungan Emosional
b. Dukungan Nyata atau Instrumental
c. Dukungan Informasi
d. Dukungan Kelompok
4. Religiusitas (Independent Variable)
a. Pengetahuan Keagamaan
b. Keyakinan Keagamaan
c. Kegiatan Keagamaan Kelompok
d. Kegiatan Keagamaan Individu
e. Pengalaman Keagamaan
3.2.2
Definisi operasional
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah penerimaan diri, perceived
behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas. Definisi operasional dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima
keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya.
Penerimaan diri dalam penelitian ini diukur dengan memodifikasi skala
46
penerimaan diri dari Kubler Ross (Gargiulo, 2004). Penulis memfokuskan
item-item self acceptance dan adjusment karena yang ingin dilihat adalah
seberapa besar penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome, dan ketika orang tua sudah menerima dirinya memiliki anak
down syndrome dapat diartikan bahwa orang tua sudah melewati reaksireaksi awal yang merupakan fase sebelum penerimaan, dibuat sebagai item
unfavourable dari penerimaan.
2. Perceived behavioral control adalah sejauh mana seseorang dapat
menampilkan perilaku. Perceived behavioral control diukur dengan
menggunakan beberapa pernyataan yang telah disiapkan. Pernyataan
tersebut disusun penulis berdasarkan pedoman yang digunakan oleh
Francis, et al (2004), meliputi dimensi control belief dan perceived power.
3. Dukungan sosial adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh
orang-orang terdekat individu, yaitu pasangan, keluarga, dan teman..
Dukungan sosial diukur dengan skala dukungan sosial berdasarkan
dimensi-dimensi dukungan sosial yang dikembangkan oleh Sarafino
(2011), yaitu dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental,
dukungan informasi, dan dukungan kelompok.
4. Religiusitas adalah sistem simbol, keyakinan, nilai, dan perilaku yang
terlembaga, semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati
sebagai
sesuatu
yang
paling
maknawi.
Pengukuran
religiusitas
menggunakan skala model Likert modifikasi alat ukur CRS yang mengacu
pada teori Glock dan Stark meliputi lima jenis yaitu pengetahuan
47
keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok,
kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan.
3.3
Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner yang berbentuk
skala Likert dengan empat pilihan jawaban, yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S),
tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Selanjutnya penulis membagi dua
kategori item pernyataan, yaitu favorable dan unfavorable dan menentukan bobot
nilai sebagai berikut:
Tabel 3.1
Skor Favorable dan Unfavorable
Skor
Alternatif Jawaban
Favorable Unfavorable
Sangat Setuju
4
1
Setuju
3
2
Tidak Setuju
2
3
Sangat Tidak Setuju
1
4
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat alat
ukur. Adapun empat alat ukur tersebut adalah:
1. Skala Penerimaan Diri
Skala penerimaan diri dalam penelitian ini diukur dengan memodifikasi
skala penerimaan diri dari Kubler Ross (Gargiulo, 2004). Penulis
memfokuskan item-item self acceptance dan adjusment karena yang ingin
dilihat adalah seberapa besar penerimaan diri orang tua yang memiliki
anak down syndrome, dan ketika orang tua sudah menerima dirinya
memiliki anak down syndrome dapat diartikan bahwa orang tua sudah
48
melewati reaksi-reaksi awal yang merupakan fase sebelum penerimaan,
dibuat sebagai item unfavourable dari penerimaan.
Table 3.2
Blue print skala penerimaan diri
No.
1.
Tahapan
Indikator
1. Tidak malu mengakui
anaknya
Penerimaan 2. Bersyukur
dan
3. Bersikap baik dan
Penyesuaian
memberikan cinta kasih
Diri
kepada anak
4. Mengusahakan terapi dan
pendidikan bagi anak
Jumlah
Item
Fav Unfav
4
5, 10
1, 6
7, 8
Jumlah
3
2
2
2, 3
9
3
10
2. Skala Perceived Behavioral Control
Skala ini disusun berdasarkan pedoman yang digunakan oleh Francis, et al
(2004). Adapun blue print dari skala perceived behavioral control sebagai
berikut:
Tabel 3.3
Blue print skala perceived behavioral control
No.
Dimensi
Indikator
1.
1.
Control Belief
2.
Perceived
Power
1.
Nomor Item
Fav
Unfav
Jumlah
Kondisi yang membuat
individu merasa mudah
untuk menerima dirinya
memiliki
anak
down
syndrome
1, 2,
3, 4, 5
5
Kondisi yang mendukung
untuk
memunculkan
penerimaan diri
6, 7,
8, 9,
10
5
Jumlah
10
49
2. Skala Dukungan Sosial
Untuk mengukur dukungan sosial pada subjek penelitian, penulis
membuat sendiri alat ukur dukungan sosial dengan mengacu pada
dimensi-dimensi dukungan sosial yang dikemukakan oleh Sarafino (2011).
Adapun dimensi-dimensi tersebut adalah dukungan emosional, dukungan
nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok.
Dukungan sosial ini bersumber dari pasangan, keluarga, dan teman.
Tabel 3.4
Blue Print Skala Dukungan Sosial
No.
Dimensi
Indikator
1.
Dukungan
Emosional
1. Empati
2. Peduli
3. Perhatian
2.
Dukungan
Nyata atau
Instrumental
3.
4.
Dukungan
Informasi
Dukungan
Kelompok
1. Bantuan jasa
2. Bantuan
Uang
Nomor Item
Fav
Unfav
Jumlah
1, 2,
17, 23,
24, 25
9, 10
8
3, 4,
18, 26,
27, 31
11, 12
8
13, 14
8
15, 16
7
1. Mendapatkan
nasihat
dan 5, 6,
19, 20,
saran
2. Mendapatkan 28, 29
informasi
1. Perasaan
7, 8,
keanggotaan
21, 22,
dalam
kelompok
30
2. Saling berbagi
permasalahan
Jumlah
32
3. Skala Religiusitas
Skala religiusitas dalam penelitian ini memodifikasi alat ukur CRS yang
mengacu pada teori Glock dan Stark (1968). Item-item dalam skala ini
50
dibuat berdasarkan lima dimensi yaitu pengetahuan keagamaan, keyakinan
keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu,
dan pengalaman keagamaan.
Tabel 3.5
Blueprint Skala Religiusitas
No.
1.
2.
Dimensi
Merasa
penting untuk
mengetahui
Pengetahuan dan
Keagamaan memahami
pokok-pokok
ajaran agama
Keyakinan
Keagamaan
3.
Kegiatan
Keagamaan
Kelompok
4.
Kegiatan
Keagamaan
Individu
5.
Indikator
Pengalaman
Keagamaan
Keyakinan
tentang
kebenaran
konsep
teologi
Menganggap
penting dan
melaksanakan
ibadah secara
berjamaah
Melaksanakan
ibadah privasi
Mengalami
peristiwa atau
pengalaman
batin
yang
datang
dari
Tuhan
Jumlah
Nomer item
Fav
Unfav
Jumlah
1, 6, 11
16
4
2, 7, 12
17
4
3, 8, 13,
18
4
4, 9, 14
19
4
5, 10, 15
20
4
20
51
3.4
Uji Validitas Konstruk
Sebelum melakukan analisis data, penulis melakukan pengujian terhadap
validitas konstruk keempat instrumen yang dipakai, yaitu penerimaan diri,
perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas. Untuk
menguji validitas konstruk alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini,
penulis menggunakan Confirmatory Faktor Analysis (CFA). Adapun logika
dari CFA (Umar, 2011) :
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang
didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau
pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor,
sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis
terhadap respon atas item-itemnya.
2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga
tiap subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun
subtes bersifat unidimensional.
3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks
korelasi
antar
item
yang
seharusnya
diperoleh
jika
memang
unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma (Σ), kemudian
dibandingkan dengan matriks dari data empiris, yang disebut matriks S.
Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya tidak ada
perbedaan antara matriks Σ - matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan Σ
- S = 0.
52
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan
chisquare. Jika hasil chisquare tidak signifikan p > 0.05, maka hipotesis
nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut
dapat diterima bahwa item ataupun sub tes instrumen hanya mengukur
satu faktor saja.
5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan
atau tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan tvalue. Jika hasil t-value tidak signifikan maka item tersebut tidak
signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang
demikian di keluarkan dan sebaliknya.
6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan
faktornya negatif, maka item tersebut harus di keluarkan. Sebab hal ini
tidak sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable).
Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan menggunakan
software LISREL 8.70 (Linear Structural Relationship).
3.4.1
Uji validitas konstruk penerimaan diri
Penulis menguji apakah ke 10 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur penerimaan diri. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 414.02, df = 35,
P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.270, oleh sebab itu penulis melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-
53
square = 16.66, df = 16, P value = 0.40781, dan nilai RMSEA = 0.017. Gambar
model fit dapat dilihat pada lampiran.
Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang
hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.6 berikut ini:
Tabel 3.6
Tabel hasil uji validitas instrumen penerimaan diri
No Item
Lambda
Standard Error
T Value
1
0.50
0.08
6.18
2
0.56
0.08
7.15
3
0.50
0.08
6.56
4
0.87
0.09
9.90
5
0.76
0.08
9.61
6
0.38
0.08
4.62
7
0.90
0.08
11.12
8
0.68
0.08
8.59
9
0.33
0.07
4.67
10
0.54
0.08
6.79
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Signifikan
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Dari hasil tabel 3.6 dapat kita lihat bahwa semua item yang berjumlah 10
item merupakan item yang signifikan berkoefisien bermuatan positif dengan nilai
T > 1.96.
3.4.2
Uji validitas konstruk perceived behavioral control
Di bawah ini merupakan tabel 3.7 menjelaskan hasil uji validitas instrumen
perceived behavioral control yang meliputi dimensi control belief dan perceived
power. Setiap dimensi diuji satu per satu, namun dalam penyajiannya digabung
menjadi satu tabel.
54
Langkah pertama penulis menguji apakah 10 item yang terdiri dari 2
dimensi perceived behavioral control bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur perceived behavioral control. Kedua aspek tersebut yaitu
dimensi control belief dan perceived power.
Berdasarkan CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata pada
dimensi control belief model satu faktor tidak fit dengan Chi-square = 75.39, df =
5, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.307, oleh sebab itu penulis
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square = 3.94, df = 3, P value = 0.26770, dan nilai RMSEA = 0.046.
Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar
model fit dapat dilihat pada lampiran.
Pada dimensi perceived power dari hasil analisi CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 18.65, df = 5, P
value = 0.00223, dan nilai RMSEA = 0.135, oleh sebab itu penulis melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 6.09, df = 4, P value = 0.19286, dan nilai RMSEA = 0.059. Sehingga
keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit
dapat dilihat pada lampiran. Ada pun hasil uji validitas instrumen perceived
behavioral control seluruh dimensi lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3.7
berikut ini:
55
Tabel 3.7
Tabel hasil uji validitas instrumen perceived behavioral control
No Item
Lambda
Standard Error
T Value
1
0.80
0.07
11.67
2
0.83
0.07
12.45
3
0.94
0.06
15.16
4
0.81
0.07
12.06
5
0.99
0.06
16.69
6
0.62
0.05
7.14
7
0.57
0.10
5.93
8
0.55
0.09
6.32
9
0.57
0.09
6.52
10
0.64
0.09
6.77
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Signifikan
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Dari hasil tabel 3.7 dapat kita lihat bahwa semua item yang berjumlah 10
item merupakan item yang signifikan berkoefisien bermuatan positif dengan nilai
T > 1.96.
3.4.3
Uji validitas konstruk dukungan sosial
Di bawah ini merupakan tabel 3.8 menjelaskan hasil uji validitas instrumen
dukungan sosial yang meliputi dimensi dukungan emosional, dukungan nyata atau
instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok. Setiap dimensi diuji
satu per satu, namun dalam penyajiannya digabung menjadi satu tabel.
Langkah pertama penulis menguji apakah 31 item yang terdiri dari 4
dimensi dukungan sosial bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur
dukungan sosial. Keempat aspek tersebut yaitu dimensi dukungan emosional,
dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok.
Berdasarkan CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata pada
dimensi dukungan emosional model satu faktor tidak fit dengan Chi-square =
141.45, df = 20, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.202, oleh sebab itu
56
penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model fit dengan Chi-square = 20.31, df = 15, P value = 0.16025, dan nilai
RMSEA = 0.049. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang
dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran.
Pada dimensi dukungan nyata atau instrumental dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square =
183.28, df = 20, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.234, oleh sebab itu
penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model fit dengan Chi-square = 19.11, df = 13, P value = 0.11962, dan nilai
RMSEA = 0.056. Sehingga terdapat 1 item yang dikeluarkan atau di drop.
Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran.
Pada dimensi dukungan informasi dari hasil analisis CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 158.11, df = 20,
P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.215, oleh sebab itu penulis melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 21.75, df = 13, P value = 0.08401, dan nilai RMSEA = 0.061. Sehingga
keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit
dapat dilihat pada lampiran.
Untuk dimensi dukungan kelompok dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 60.80,
57
df = 14, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.150, oleh sebab itu penulis
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square = 15.76, df = 10, P value = 0.10683, dan nilai RMSEA =
0.062. Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan.
Gambar model fit dapat dilihat pada lampiran. Ada pun hasil uji validitas
instrumen dukungan sosial seluruh dimensi lebih lengkap dapat dilihat pada tabel
3.8 berikut ini:
Tabel 3.8
Tabel hasil uji validitas instrumen dukungan sosial
No Item
1
2
9
10
17
23
24
25
3
4
11
12
18
26
27
31
5
6
13
14
19
20
28
29
7
8
15
16
21
22
30
Lambda
0.59
0.81
0.79
0.45
0.61
0.74
0.45
0.60
0.86
0.74
0.66
0.70
0.39
0.16
0.37
0.33
0.78
0.76
0.48
0.67
0.51
0.67
0.37
0.52
0.86
0.62
0.68
0.65
0.68
0.87
0.41
Standard Error
0.08
0.07
0.07
0.08
0.08
0.07
0.08
0.08
0.07
0.08
0.08
0.08
0.09
0.09
0.09
0.09
0.08
0.08
0.08
0.08
0.08
0.09
0.09
0.08
0.07
0.08
0.08
0.08
0.07
0.07
0.08
T Value
7.14
11.55
10.62
5.56
7.90
10.28
5.65
7.26
11.60
9.78
8.51
9.14
4.19
1.77
4.27
3.80
10.36
9.88
6.11
8.91
6.11
7.79
4.31
6.67
12.66
7.67
9.61
8.62
9.21
12.51
4.93
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Signifikan
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
X
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
58
Dari hasil tabel 3.8 dapat kita lihat bahwa ada 30 item yang signifikan
berkoefisien bermuatan positif serta 1 yang bermuatan negatif. Pada muatan yang
negatif nilai T Ë‚ 1.96 maka pada item 26 tidak signifikan sehingga item tersebut
dikeluarkan.
3.4.4
Uji validitas konstruk religiusitas
Di bawah ini merupakan tabel 3.9 menjelaskan hasil uji validitas instrumen
religiusitas
yang
meliputi
dimensi
pengetahuan
keagamaan,
keyakinan
keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan
pengalaman keagamaan. Setiap dimensi diuji satu per satu, namun dalam
penyajiannya digabung menjadi satu tabel.
Langkah pertama penulis menguji apakah 20 item yang terdiri dari 5
dimensi religiusitas bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur
religiusitas. Kelima aspek tersebut yaitu dimensi pengetahuan keagamaan,
keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan
individu, dan pengalaman keagamaan.
Berdasarkan CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata pada
dimensi pengetahuan keagamaan model satu faktor ternyata fit dengan Chi-square
= 1.47, df = 2, P value = 0.47837, dan nilai RMSEA = 0.000. Sehingga
keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit
dapat dilihat pada lampiran.
Pada dimensi keyakinan keagamaan dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 6.08,
59
df = 2, P value = 0.04789, dan nilai RMSEA = 0.117, oleh sebab itu penulis
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square = 0.08, df = 1, P value = 0.78267, dan nilai RMSEA = 0.000.
Sehingga keseluruhan item diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar
model fit dapat dilihat pada lampiran.
Pada dimensi kegiatan keagamaan kelompok dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit dengan Chi-square = 0.74, df = 2,
P value = 0.69005, dan nilai RMSEA = 0.000. Sehingga keseluruhan item
diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada
lampiran.
Untuk dimensi kegiatan keagamaan individu dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-square = 25.46,
df = 2, P value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.281, oleh sebab itu penulis
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square = 0.00, df = 1, P value = 1.00000, dan nilai RMSEA = 0.000.
Sehingga terdapat 1 item yang dkeluarkan atau di drop. Gambar model fit dapat
dilihat pada lampiran.
Untuk dimensi pengalaman keagamaan dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit dengan Chi-square = 2.95, df = 2,
P value = 0.22919, dan nilai RMSEA = 0.056. Sehingga keseluruhan item
diterima dan tidak ada yang dikeluarkan. Gambar model fit dapat dilihat pada
60
lampiran. Ada pun hasil uji validitas instrumen religiusitas seluruh dimensi lebih
lengkap dapat dilihat pada tabel 3.9 berikut ini:
Tabel 3.9
Tabel hasil uji validitas instrumen religiusitas
No Item
Lambda
Standard Error
T Value
1
0.36
0.11
3.46
6
0.77
0.15
5.24
11
0.46
0.11
4.13
16
0.31
0.10
3.00
2
0.75
0.07
10.19
7
0.72
0.07
9.81
12
0.40
0.08
5.22
17
1.04
0.06
16.33
3
0.77
0.08
10.10
8
0.37
0.09
4.26
13
0.86
0.07
11.64
18
0.72
0.08
9.41
4
0.15
0.10
1.53
9
0.68
0.10
6.79
14
0.70
0.10
6.95
19
0.54
0.09
5.75
5
0.98
0.08
11.97
10
0.65
0.08
7.85
15
0.44
0.08
5.33
20
0.52
0.08
6.27
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Signifikan
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
X
√
√
√
√
√
√
√
Dari hasil tabel 3.8 dapat kita lihat bahwa ada 19 item yang signifikan
berkoefisien bermuatan positif serta 1 yang bermuatan negatif. Pada muatan yang
negatif nilai T Ë‚ 1.96 maka pada item 4 tidak signifikan sehingga item tersebut
dikeluarkan.
3.5
Teknik Analisis Data
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat pengaruh yang
signifikan dimensi perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas
sebagai variabel independen terhadap dimensi penerimaan diri sebagai variabel
61
dependen dan untuk mengetahui seberapa besar sumbangan yang diberikan
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen, maka penulis
menggunakan metode statistika karena datanya berupa angka-angka yang
merupakan hasil pengukuran atau perhitungan.
Variabel bebas pada penelitian ini berjumlah sebelas variabel, dua variabel
dari dimensi perceived behavioral control (control belief, dan perceived power),
empat variabel dari dimensi dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan
nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok) dan lima
variabel dari dimensi religiusitas (pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan,
kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman
keagamaan). Dalam hal ini penulis menggunakan teknik analisis regresi berganda,
yang penghitungannya menggunakan bantuan program atau software SPSS 17.0
untuk mengetahui besar dan arah pengaruh antara variabel X1 hingga X11
terhadap variabel Y yang pada penelitian ini adalah penerimaan diri.
Adapun persamaan umum analisis regresi bergandanya adalah sebagai
berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X78 + b9X9
+ b10X10 + b11X11 + e
Keterangan :
Y : Dependent Variabel (DV) Penerimaan Diri
X1 : Dimensi Perceived Behavioral Control Control Belief
X2 : Dimensi Perceived Behavioral Control Perceived Power
X3 : Dimensi Dukungan Sosial Dukungan Emosional
62
X4 : Dimensi Dukungan Sosial Dukungan Nyata atau Instrumental
X5 : Dimensi Dukungan Sosial Dukungan Informasi
X6 : Dimensi Dukungan Sosial Dukungan Kelompok
X7 : Dimensi Religiusitas Pengetahuan Keagamaan
X8 : Dimensi Religiusitas Keyakinan Keagamaan
X9 : Dimensi Religiusitas Kegiatan Keagamaan Kelompok
X10 : Dimensi Religiusitas Kegiatan Keagamaan Individu
X11 : Dimensi Religiusitas Pengalaman Keagamaan
a : Intercept/ konstan
b1, b2, ......, b11: Koefisien regresi untuk masing-masing IV
e: residual
Dalam analisis regresi berganda ini dapat diperoleh beberapa informasi, yaitu:
1. R2 (R square) untuk mengetahui berapa persen (%) sumbangan variabel
dependen yang dijelaskan oleh variabel independen.
2. Dapat
diketahui
apakah secara keseluruhan
variabel
independen
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.
3. Diketahui signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing
variabel dependen. Koefisien yang signifkan menunjukkan dampak yang
signifikan dari variabel independen yang bersangkutan.
4. Dapat diketahui besarnya sumbangan dari setiap variabel independen pada
variabel dependen, dan melihat signifikansinya.
5. Semua perhitungan dan komputerisasi dilakukan dengan bantuan program
SPSS versi 17.0
63
3.6
Prosedur Penelitian
Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu:
a. Mempersiapkan alat pengumpulan data atau instrumen penelitian dengan
menentukan alat ukur yang akan digunakan.
b. Menterjemahkan item-item alat ukur religiusitas dari bahasa aslinya, yaitu,
Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Penulis mengadaptasi itemitem tersebut dan menambahkan atau menguranginya agar dipahami
dengan baik oleh responden.
c. Meminta expert judgement, yaitu dosen pembimbing yang dianggap ahli
untuk menilai apakah pengadaptasian item-item dan penambahan serta
pengurangan yang dilakukan sudah benar dan tepat berdasarkan teori yang
telah dipaparkan.
d. Menyesuaikan hasil expert judgement dengan pengklasifikasian yang telah
dibuat, sehingga didapat pengklasifikasian item yang tepat dan sesuai
dengan dasar teori yang telah dikemukakan.
e. Menyusun alat ukur yang akan disebarkan kepada responden penelitian.
Penyusunan terdiri dari pengaturan tampilan huruf dan halaman kuesioner,
pengantar penelitian dan petunjuk pengisian, serta pengelompokkan alat
ukur menjadi lima bagian, yaitu bagian kata pengantar dan data diri
subjek, skala penerimaan diri, skala perceived behavioral control, skala
dukungan sosial, dan skala religiusitas.
f. Memohon persetujuan dan bimbingan dari dosen pembimbing perihal
pelaksanaan penelitian.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Bab berikut ini akan membahas mengenai analisis data meliputi gambaran responden,
deskriptif statistik variabel penelitian, kategorisasi skor variabel penelitian dan hasil
uji hipotesis.
4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai responden yang digunakan dalam penelitian
ini. Responden dalam penelitian ini sebanyak 150 orang. Responden dalam penelitian
ini adalah orang tua yang memiliki anak down syndrome se-Jabodetabek.
a. Gambaran subjek penelitian berdasarkan agama dan jenis kelamin
Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai latar belakang subjek penelitian,
maka pada sub bab ini ditampilkan gambaran banyaknya subjek penelitian
berdasarkan agama dan jenis kelamin.
Tabel 4.1
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Agama dan Jenis Kelamin
No.
Kategorisasi
Kategori
Frekuensi
Presentase
berdasarkan
1
Agama
Islam
142
94,67%
Kristen
8
5,33%
2
Jenis Kelamin
Perempuan
111
74%
Laki-Laki
39
26%
64
65
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa keseluruhan responden dalam
penelitian ini berjumlah 150 orang. Dengan rincian, responden dengan jenis kelamin
laki-laki berjumlah 39 orang (26%) dan perempuan berjumlah 111 orang (74%). Hal
ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, jumlah responden perempuan lebih
banyak dari laki-laki. Sedangkan berdasarkan agama responden dengan agama Islam
berjumlah 142 orang (94,67%) dan agama Kristen berjumlah 8 orang (5,33%). Hal ini
menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, jumlah responden beragama Islam lebih
banyak dari Kristen.
4.2. Analisis Deskriptif
Hasil analisis deskriptif adalah hasil yang memberikan gambaran data penelitian.
Dalam hasil analisis deskriptif ini akan disajikan nilai maksimum, minimum, mean
dan standar deviasi dari setiap variabel serta kategorisasi tinggi dan rendahnya skor
variabel penelitian. Gambaran hasil analisis deskriptif ini dapat dilihat pada tabel 4.2
berikut.
66
Tabel 4.2
Tabel analisis deskriptif
N
Self
Acceptance
Control
Belief
Perceived
Power
Dukungan
Emosional
Dukungan
Nyata atau
Instrumental
Dukungan
Informasi
Dukungan
Kelompok
Pengetahuan
Keyakinan
Kegiatan
Keagamaan
Kelompok
Kegiatan
Keagamaan
Individu
Pengalaman
Keagamaan
Minimum
Maximum
Mean
150
14.68
59.76
50
Standard
Deviasi
8.92324
150
-10.64
55.40
50
9.48221
150
31.26
67.04
50
7.93129
150
24.89
64.43
50
8.91264
150
24.99
66.02
50
8.88998
150
23.46
69.23
50
8.84885
150
19.77
64.74
50
9.29662
150
150
150
30.54
7.92
28.11
60.68
55.74
62.99
50
50
50
8.69213
9.23360
7.95623
150
24.57
61.50
50
8.98888
150
21.45
56.64
50
8.53725
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat dari kolom minimum diketahui variabel
control belief memiliki nilai terendah dengan nilai -10.64. Sementara itu, berdasarkan
kolom maximum diketahui variabel dukungan informasi memiliki nilai tertinggi
dengan nilai 69.23.
67
4.3. Kategorisasi Skor
Kategorisasi dalam penelitian ini dibuat menjadi dua kategori yaitu tinggi dan rendah.
Adapun norma kategorisasi tersebut dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3
Norma Skor
Norma
X > Mean
X < Mean
Intepretasi
Tinggi
Rendah
4.3.1. Kategorisasi skor penerimaan diri
Uraian mengenai gambaran kategorisasi skor variabel berdasarkan tinggi dan
rendahnya variabel penerimaan diri dijelaskan pada tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat penerimaan diri
Kategori
Frekuensi
Tinggi
90
Rendah
60
Total
150
Presentase
60%
40%
100%
Dari tabel tersebut diketahui bahwa terdapat 90 responden (60%) memiliki skor
penerimaan diri tinggi dan 60 responden (40%) memiliki skor penerimaan diri
rendah.
4.3.2. Kategorisasi skor perceived behavioral control
Pada tabel 4.5 akan dijelaskan mengenai distribusi sampel berdasarkan variabel
independen, pertama akan dijelaskan mengenai tingkat perceived behavioral control
68
yang terdiri dari dua dimensi perceived behavioral control, yaitu control belief, dan
perceived power.
Tabel 4.5
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat perceived behavioral control
Dimensi
Kategori
Frekuensi
Presentase
Control Belief
Tinggi
108
72%
Rendah
42
28%
Perceived Power
Tinggi
71
47.33%
Rendah
79
56.67%
Berdasarkan hasil jawaban kuesioner subjek dalam penelitian ini, subjek
memiliki tingkat perceived behavioral control yang berbeda-beda. Setiap dimensi
dibagi menjadi dua kategori, tinggi dan rendah. Dari tabel 4.5 diketahui bahwa
terdapat 108 responden (72%) memiliki skor control belief tinggi dan 42 responden
(28%) memiliki skor control belief rendah. Serta diketahui bahwa terdapat 71
responden (47.33%) memiliki skor perceived power tinggi dan 79 responden
(52.67%) memiliki skor perceived power rendah.
4.3.3. Kategorisasi dukungan sosial
Pada tabel 4.6 akan dijelaskan mengenai distribusi sampel berdasarkan variabel
independen, pertama akan dijelaskan mengenai tingkat dukungan sosial subjek yang
terdiri dari empat dimensi dukungan sosial, yaitu dukungan emosional, dukungan
nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok.
69
Tabel 4.6
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat dukungan sosial
Dimensi
Kategori Frekuensi
Dukungan Emosional
Tinggi
71
Rendah
79
Dukungan Nyata atau Instrumental
Tinggi
65
Rendah
85
Dukungan Informasi
Tinggi
63
Rendah
87
Dukungan Kelompok
Tinggi
71
Rendah
79
Presentase
47.33%
52.67%
43.33%
56.67%
42%
58%
47.33%
52.67%
Berdasarkan hasil jawaban kuesioner subjek dalam penelitian ini, subjek
memiliki tingkat dukungan sosial yang berbeda-beda. Setiap dimensi dibagi menjadi
dua kategori, tinggi dan rendah. Dari tabel 4.6 diketahui bahwa terdapat 71 responden
(47.33%) memiliki skor dukungan emosional tinggi dan 79 responden (52.67%)
memiliki skor dukungan emosional rendah. Dari tabel tersebut diketahui bahwa
terdapat 65 responden (43.33%) memiliki skor dukungan nyata atau instrumental
tinggi dan 85 responden (56.67%) memiliki skor dukungan nyata atau instrumental
rendah. Dari tabel tersebut diketahui bahwa terdapat 63 responden (42%) memiliki
skor dukungan informasi tinggi dan 87 responden (58%) memiliki skor dukungan
informasi rendah. Dari tabel tersebut diketahui bahwa terdapat 71 responden
(47.33%) memiliki skor dukungan kelompok tinggi, 79 responden (52.67%) memiliki
skor dukungan kelompok rendah.
70
4.3.4. Kategorisasi religiusitas
Pada tabel 4.7 dijelaskan mengenai distribusi sampel berdasarkan variabel
independen, pertama akan dijelaskan mengenai tingkat religiusitas, yaitu variabel
pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok,
kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan.
Tabel 4.7
Tabel subjek berdasarkan tingkat religiusitas
Dimensi
Kategori
Pengetahuan Keagamaan
Tinggi
Rendah
Keyakinan Keagamaan
Tinggi
Rendah
Kegiatan Keagamaan Kelompok Tinggi
Rendah
Kegiatan Keagamaan Individu
Tinggi
Rendah
Pengalaman Keagamaan
Tinggi
Rendah
Frekuensi
74
76
107
43
76
74
60
90
103
47
Presentase
49.33%
50.67%
71.33%
28.67%
50.67%
49.33%
40%
60%
68.67%
31.33%
Dari tabel 4.7 diketahui bahwa terdapat 74 responden (49.33%) memiliki skor
pengetahuan keagamaan tinggi dan 76 responden (50.67%) memiliki skor
pengetahuan keagamaan rendah. Dari tabel tersebut diketahui 107 responden
(71.33%) memiliki skor keyakinan keagamaan tinggi dan 43 responden (28.67%)
memiliki skor keyakinan keagamaan rendah. Dari tabel tersebut diketahui 76
responden (50.67%) memiliki skor kegiatan keagamaan kelompok tinggi dan 74
responden (49.33%) memiliki skor kegiatan keagamaan kelompok rendah. Dari tabel
tersebut diketahui 60 responden (40%) memiliki skor kegiatan keagamaan individu
71
tinggi dan 90 responden (60%) memiliki skor kegiatan keagamaan individu rendah.
Dari tabel tersebut diketahui 103 responden (68.67%) memiliki skor pengalaman
keagamaan tinggi dan 47 responden (31.33%) memiliki skor pengalaman keagamaan
rendah.
4.4. Uji Hipotesis
Selanjutnya, analisis uji hipotesis yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dalam penelitian ini
adalah menggunakan teknik regresi berganda. Data yang dianalisis adalah faktor
score atau true score yang diperoleh dari hasil analisis faktor.
Pada tahapan ini penulis menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi
berganda dengan menggunakan software SPSS 17. Dalam regresi ada tiga hal yang
dilihat, yaitu melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen varians
variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independen, kedua apakah secara
keseluruhan variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
dependen , dan yang ketiga adalah melihat siginifikan atau tidaknya koefisien regresi
dari masing-masing variabel independen.
4.4.1. Uji hipotesis penerimaan diri
Pengujian hipotesis dilakukan dengan beberapa tahapan. Langkah pertama penulis
melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen varians variabel dependen
72
yang dijelaskan oleh variabel independen. Selanjutnya untuk tabel R square dapat
dilihat pada tabel 4.8 berikut:
Tabel 4.8
Varians variabel dependen yang dijelaskan oleh seluruh variabel independen
Model Summary
Std. Error of the
Model
R
R Square
Adjusted R Square Estimate
1
.688a
.473
.431
6.72805
a. Predictors: (Constant), pengalaman, dukungan_instrumental, praktek_individu,
dukungan_kelompok, control_belief, perceived_power, praktek_kelompok,
intelektual, dukungan_emosional, ideologi, dukungan_informasi
Dari tabel 4.8 dapat kita lihat bahwa perolehan R square sebesar 0.473 atau
47,3%. Artinya proporsi varians dari variabel penerimaan diri yang dijelaskan oleh
perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas adalah sebesar 47,3%,
sedangkan 52.7% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini.
Langkah kedua penulis menganalisis dampak dari seluruh variabel independen
terhadap perilaku penerimaan diri. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.9
berikut.
Tabel 4.9
Anova pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependen
ANOVAb
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of Squares Df
Mean Square
F
Sig.
5617.220
6246.796
11864.015
510.656
45.267
11.281
.000a
11
138
149
a. Predictors: (Constant), pengalaman,
dukungan_instrumental, praktek_individu,
dukungan_kelompok, control_belief, perceived_power, praktek_kelompok, intelektual,
dukungan_emosional, ideologi, dukungan_informasi
b. Dependent Variable: self_acceptance
73
Jika melihat kolom keenam dari kiri diketahui bahwa nilai p (sig) sebesar
0.000. Dengan demikian diketahui bahwa p (0.000) < 0.05, maka hipotesis nihil yang
menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari seluruh variabel independen
terhadap perilaku penerimaan diri ditolak. Artinya, ada pengaruh yang signifikan dari
dimensi perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap
perilaku penerimaan diri.
Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi dari masing-masing
variabel independen. Jika nilai t > 1,96 atau nilai sig < 0,05 maka koefisien regresi
tersebut signifikan yang berarti bahwa variabel independen tersebut memiliki dampak
yang signifikan terhadap variabel penerimaan diri dan begitupun sebaliknya. Adapun
analisisnya ditampilkan pada table 4.10 berikut:
Tabel 4.10
Koefisien Regresi
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
control_belief
perceived_power
dukungan_emosional
dukungan_instrumental
dukungan_informasi
dukungan_kelompok
Pengetahuan_keagamaan
Keyakinan_keagamaan
praktek_kelompok
praktek_individu
Pengalaman_keagamaan
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
B
Std. Error
Beta
t
Sig.
2.246
.338
.130
-.015
.245
-.103
.102
-.121
.193
-.050
.049
.188
5.170
.077
.089
.110
.087
.117
.076
.091
.097
.097
.077
.103
.359
.115
-.015
.244
-.103
.106
-.117
.200
-.044
.049
.180
.434
4.412
1.451
-.134
2.818
-.884
1.342
-1.318
1.996
-.510
.640
1.831
.665
.000
.149
.894
.006
.378
.182
.190
.048
.611
.523
.069
a. Dependent Variable: self_acceptance
74
Berdasarkan koefisien regresi pada tabel 4.10 Dapat dijelaskan persamaan regresi
sebagai berikut (* signifikan) :
Penerimaan diri = 2.246 + 0.338 (control belief)* + 0.130 (perceived power) - 0.015
(dukungan emosional) + 0.245 (dukungan nyata atau instrumental)* - 0.103
(dukungan informasi) + 0.102 (dukungan kelompok) - 0.121 (pengetahuan
keagamaan) + 0.193 (keyakinan keagamaan)* - 0.050 (kegiatan keagamaan
kelompok) + 0.049 (kegiatan keagamaan individu) + 0.188 (pengalaman
keagamaan)
Dari tabel 4.10, dapat dilihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang
dihasilkan, dengan melihat nilai sig pada kolom yang paling kanan (kolom ke-6). Jika
P < 0.05, maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap
perilaku penerimaan diri dan sebaliknya.
Dari hasil di atas, koefisien regresi dari control belief, dukungan instrumental,
dan keyakinan keagamaan dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan sedangkan
variabel lainnya memiliki pengaruh yang tidak signifikan. Hal ini berarti dari sebelas
variabel independen hanya tiga yang signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi
yang diperoleh pada masing-masing variabel independen adalah sebagai berikut:
1. Variabel dimensi control belief
Nilai koefisien regresi sebesar 0.338 dengan signifikansinya sebesar 0,000 (p
< 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel control belief secara positif
75
berpengaruh signifikan terhadap perilaku penerimaan diri. Nilai koefisien
regresi yang positif menunjukkan arah hubungan yang positif antara control
belief dan penerimaan diri. Dari arah hubungan tersebut dapat diartikan bahwa
semakin tinggi nilai control belief seseorang, maka semakin tinggi pula
perilaku penerimaan dirinya dan begitupun sebaliknya.
2. Variabel dimensi perceived power
Nilai koefisien regresi sebesar 0.086 dengan signifikansinya sebesar 0,255 (p
> 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel perceived power tidak berpengaruh
signifikan terhadap penerimaan diri.
3. Variabel dimensi dukungan emosional
Nilai koefisien regresi sebesar -0.015 dengan signifikansinya sebesar 0,894 (p
> 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel dukungan emosional tidak berpengaruh
signifikan terhadap penerimaan diri.
4. Variabel dimensi dukungan nyata atau instrumental
Nilai koefisien regresi sebesar 0.245 dengan signifikansinya sebesar 0,006 (p
< 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel dukungan nyata atau instrumental
secara positif berpengaruh signifikan terhadap perilaku penerimaan diri. Nilai
koefisien regresi yang positif menunjukkan arah hubungan yang positif antara
dukungan nyata atau instrumental dan penerimaan diri. Dari arah hubungan
tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai dukungan nyata atau
instrumental seseorang, maka semakin tinggi pula perilaku penerimaan
dirinya dan begitupun sebaliknya.
76
5. Variabel dimensi dukungan informasi
Nilai koefisien regresi sebesar -0,103 dengan signifikansinya sebesar 0,378 (p
> 0.05). Hal ini berarti bahwa variabel dukungan informasi tidak berpengaruh
signifikan terhadap penerimaan diri.
6. Variabel dimensi dukungan kelompok
Nilai koefisien regresi sebesar 0.102 dengan signifikansinya sebesar 0,182 (p
> 0.05), yang berarti bahwa variabel dukungan kelompok tidak berpengaruh
signifikan terhadap penerimaan diri.
7. Variabel pengetahuan keagamaan
Nilai koefisien regresi sebesar -0,121 dengan signifikansinya sebesar 0,190 (p
> 0.05), yang berarti bahwa variabel pengetahuan keagamaan tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri.
8. Variabel keyakinan keagamaan
Nilai koefisien regresi sebesar 0,193 dengan signifikansinya sebesar 0,048 (p
< 0.05), Hal ini berarti bahwa variabel keyakinan keagamaan secara positif
berpengaruh signifikan terhadap perilaku penerimaan diri. Nilai koefisien
regresi yang positif menunjukkan arah hubungan yang positif antara
keyakinan keagamaan dan penerimaan diri. Dari arah hubungan tersebut dapat
diartikan bahwa semakin tinggi nilai keyakinan keagamaan seseorang, maka
semakin tinggi pula perilaku penerimaan dirinya dan begitupun sebaliknya.
77
9. Variabel kegiatan keagamaan kelompok
Nilai koefisien regresi sebesar -0.050 dengan signifikansinya sebesar 0,611 (p
> 0.05), yang berarti bahwa variabel kegiatan keagamaan kelompok tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri.
10. Variabel kegiatan keagamaan individu
Nilai koefisien regresi sebesar 0,49 dengan signifikansinya sebesar 0,523 (p >
0.05), yang berarti bahwa variabel kegiatan keagamaan individu tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri.
11. Variabel pengalaman keagamaan
Nilai koefisien regresi sebesar 0,188 dengan signifikansinya sebesar 0,069 (p
> 0.05), yang berarti bahwa variabel pengalaman keagamaan tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri.
4.4.2 Pengujian proporsi varians
Selanjutnya, diuji bagaimana sumbangan proporsi varians dari masing-masing
variabel independen terhadap penerimaan diri.
Berikut ini disajikan tabel dimana tabel tersebut terdiri atas kolom pertama
(model) adalah independen variabel yang dianalisis satu persatu, kolom ketiga (R
square) merupakan penambahan varians dependen variabel dari tiap independen
variabel yang dianalisis satu persatu tersebut, kolom keenam (R square change)
merupakan nilai murni varians dari variabel dependen dari tiap variabel independen
yang dianalisis satu persatu, kemudian kolom df adalah derajat kebebasan atau taraf
78
nyata bagi variabel independen yang bersangkutan dan df terdiri atas numerator dan
denumerator. Lalu yang terakhir adalah kolom signifikansi (Sig. F change). Besarnya
proporsi varians pada penerimaan diri dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut ini:
Tabel 4.11
Proporsi varian variabel dependen pada setiap variabel independen
Change Statistics
Model
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
R
a
.599
.617b
.630c
.644d
.644e
.647f
.648g
.677h
.678i
.679j
.688
R Square
R Square
Change
F Change
df1
df2
Sig. F Change
.359
.381
.397
.414
.414
.419
.420
.459
.459
.461
.473
.359
.022
.016
.017
.000
.005
.001
.039
.000
.002
.012
82.755
5.353
3.830
4.318
.008
1.162
.142
10.213
.046
11.873
3.352
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
148
147
146
145
144
143
142
141
140
139
138
.000
.022
.052
.039
.930
.283
.707
.002
.831
.000
.069
Berdasarkan data pada tabel 4.11 dapat disampaikan informasi sebagai berikut :
1. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel perceived behavioral control (control belief) memberikan sumbangan
sebesar 35.9% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan
secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.000 (p < 0.05)
2. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel perceived behavioral control (perceived power) memberikan
79
sumbangan sebesar 2.2% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut
signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.022 (p < 0.05)
3. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel dukungan sosial (dukungan emosional) memberikan sumbangan
sebesar 1.6% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak
signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.052 (p > 0.05)
4. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel dukungan sosial (dukungan nyata atau instrumental) memberikan
sumbangan sebesar 1.7% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut
signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.039 (p < 0.05)
5. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel dukungan sosial (dukungan informasi) memberikan sumbangan
sebesar 0% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak
signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.930 (p > 0.05)
6. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel dukungan sosial (dukungan kelompok) memberikan sumbangan
sebesar 0.5% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak
signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.283 (p > 0.05)
7. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel religiusitas (pengetahuan) memberikan sumbangan sebesar 0.1%
dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara
statistik karena nilai Sig. F Change = 0.707 (p > 0.05)
80
8. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel religiusitas (keyakinan) memberikan sumbangan sebesar 3.9% dalam
varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan secara statitik karena
nilai Sig. F Change = 0.002 (p < 0.05)
9. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel religiusitas (kegiatan keagamaan kelompok) memberikan sumbangan
sebesar 0% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut tidak
signifikan secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.831 (p > 0.05)
10. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel religiusitas (kegiatan keagamaan individu) memberikan sumbangan
sebesar 0.2% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan
secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.000 (p < 0.05)
11. Dari 47.3% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel religiusitas (pengalaman keagamaan)
memberikan sumbangan
sebesar 1.2% dalam varians penerimaan diri. Sumbangan tersebut signifikan
secara statistik karena nilai Sig. F Change = 0.069 (p > 0.05)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat sembilan variabel independen,
yaitu control belief, perceived power, dukungan emosional, dukungan nyata atau
instrumental, dukungan kelompok, pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan,
kegiatan keagamaan individu, pengalaman keagamaan yang memberikan sumbangan
terhadap penerimaan diri dan dua variabel independen yang tidak memberikan
sumbangan yaitu dukungan informasi dan kegiatan keagamaan kelompok jika dilihat
81
dari besarnya pertambahan R Square yang dihasilkan setiap kali dilakukan
penerimaan variabel independen (sumbangan proporsi varian yang diberikan). Dari
kesembilan variabel independen dilihat dari besarnya pertambahan R Square yaitu
variabel control belief yang memberikan sumbangan terbesar, yaitu 35,9% terhadap
penerimaan diri.
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab lima penulis memaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang telah
dilakukan. Bab ini terdiri dari tiga bagian yaitu kesimpulan, diskusi, dan saran.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data serta pengujian hipotesis yang telah dikemukakan
pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah: “Terdapat pengaruh yang signifikan secara keseluruhan dimensi perceived
behavioral control (dimensi control belief dan dimensi perceived power), dimensi
dukungan sosial (dimensi dukungan emosional, dimensi dukungan nyata atau
instrumental, dimensi dukungan informasi, dan dimensi dukungan kelompok), dan
dimensi
religiusitas
(dimensi
religiusitas
pengetahuan
keagamaan,
dimensi
religiusitas keyakinan keagamaan, dimensi religiusitas kegiatan keagamaan
kelompok, dimensi religiusitas kegiatan keagamaan individu, dan dimensi religiusitas
pengalaman keagamaan) terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak
down syndrome.
Namun jika dilihat dari signifikan tidaknya koefesien regresi dari masingmasing variabel independen, ditemukan bahwa hanya terdapat tiga variabel
independen yang diteliti yang menghasilkan koefesien regresi signifikan, yaitu
koefisien regresi dari dimensi perceived behavioral control (control belief), dimensi
82
83
dukungan sosial (dukungan nyata atau instrumental) dan dimensi religiusitas
(keyakinan keagamaan). Variabel yang tidak signifikan adalah dimensi perceived
behavioral control (perceived power), dimensi dukungan sosial (dukungan
emosional, dukungan informasi, dan dukungan kelompok), dan dimensi religiusitas
(pengetahuan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan
individu dan pengalaman keagamaan).
5.2 Diskusi
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi perceived
behavioral control yaitu control belief dan perceived power, dimensi dukungan sosial
yaitu dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi,
dan dukungan kelompok, dan dimensi religiusitas yaitu pengetahuan keagamaan,
keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu,
dan pengalaman keagamaan mempengaruhi penerimaan diri secara signifikan. Hal ini
berarti ada pengaruh yang signifikan dimensi perceived behavioral control, dimensi
dukungan sosial, dan dimensi religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak down syndrome.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel dimensi control belief
memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak down syndrome, artinya semakin tinggi control belief semakin tinggi
pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) yang meneliti
84
dengan metode kualitatif, mengatakan bahwa perceived behavioral control
berpengaruh terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak dengan
keterbelakangan intelektual. Dalam penelitian ini faktor atau kondisi yang membuat
perilaku sulit atau mudah untuk dilakukan berkaitan dengan penerimaan diri orang
tua yang memiliki anak down syndrome, karena orang tua memiliki kepercayaan
mengenai kemampuan dalam mengendalikan perilaku penerimaan dirinya. Dimensi
control belief merupakan dimensi dari perceived behavioral control.
Sedangkan perceived power berpengaruh positif terhadap penerimaan diri
orang tua yang memiliki anak down syndrome artinya semakin tinggi perceived
power yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki
anak down syndrome. Namun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik terhadap
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, hasil ini bertolak
belakang dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) hal ini
mungkin disebabkan oleh perbedaan metode yang dilakukan dan sample yang
digunakan oleh peneliti. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004)
menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara kepada 12 orang tua
yang memiliki anak dengan keterbelakangan mental, sedangkan hasil penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan skala model Likert kepada
150 sample orang tua yang memiliki anak down syndrome. Hal ini juga dapat
disebabkan karena jumlah sampel yang memiliki perceived power yang tinggi dalam
penelitian ini lebih sedikit dibanding dengan orang tua yang memiliki perceived
power yang rendah.
85
Selanjutnya, dimensi dukungan nyata atau instrumental memiliki pengaruh
positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome,
artinya semakin tinggi dukungan nyata atau instrumental yang dimiliki semakin
tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, dan
pengaruh tersebut signifikan secara statistik. Hasil ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) yang meneliti dengan metode
kualitatif mengatakan bahwa dukungan sosial itu sangat penting dan merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh dari penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki
keterbelakangan intelektual. Bantuan langsung yang diberikan oleh pasangan, teman,
dan keluarga membuat orang tua yang memiliki anak down syndrome merasa di
dukung dan membuat bebannya sedikit berkurang dalam merawat anaknya, sehingga
orang tua dapat menerima dirinya memiliki anak down syndrome karena merasa
kerabatnya mendukung secara langsung dalam hal apapun yang berkaitan dengan
anaknya. Dukungan nyata atau instrumental ini merupakan dimensi dari dukungan
sosial berdasarkan teori Sarafino (2011).
Sedangkan, dimensi dukungan emosional dan dukungan informasi tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nishinaga (2004) hal ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan waktu pada saat
mengisi kuesioner yang dibagikan pada saat mengikuti acara kopi darat komunitas
POTADS dan pada saat mengisi kuesioner ada beberapa orang tua yang terlihat
sedang mengurus anaknya sehingga terjadi human error ketika mengisi kuesioner
86
yang dibagikan oleh peneliti. Hal lain yang mungkin menyebabkan perbedaan hasil
karena metode yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya dengan diambil oleh
peneliti berbeda. Penelitian sebelumnya menggunakan metode kualitatif sedangkan
peneliti menggunakan metode kuantitatif. Karena penerimaan diri bersifat fluktuatif
atau naik turun, dapat menyebabkan dukungan emosional dan informasi tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri.
Dimensi lain yaitu dimensi dukungan kelompok berpengaruh positif terhadap
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome artinya semakin tinggi
dukungan kelompok semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang memiliki
anak down syndrome. Namun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik terhadap
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, hasil ini bertolak
belakang dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nishinaga (2004) hal ini
mungkin disebabkan oleh perbedaan metode yang dilakukan dan sample yang
digunakan oleh peneliti. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga (2004)
menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara kepada 12 orang tua
yang memiliki anak dengan keterbelakangan mental, sedangkan hasil penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan skala Likert kepada 150
sample orang tua yang memiliki anak down syndrome. Dalam penelitian ini dukungan
kelompok tidak berpengaruh signifikan secara statistik karena peran komunitasnya
belum maksimal, dalam komunitas POTADS orang tua bisa masuk dan keluar dari
komunitas tanpa ada ikatan apapun sehingga beberapa orang tua merasa dukungan
dari kelompok tidak berarti terhadap penerimaan diri mereka.
87
Kemudian, dimensi keyakinan keagamaan memiliki pengaruh positif terhadap
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, artinya semakin
tinggi keyakinan keagamaan yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang
tua yang memiliki anak down syndrome, dan pengaruh tersebut signifikan secara
statistik. Keyakinan tentang kebenaran konsep ketuhanan secara teoritis berpengaruh
terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome. Keyakinan
keagamaan senada dengan nilai keimanan bahwa orang tua percaya kepada Tuhan
dengan melahirkan anak down syndrome adalah takdir dan anak sebagai amanah dari
Tuhan. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Handadari
(dalam Ulina, 2013) menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan
penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental berat. Artinya
semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang
memiliki anak retardasi mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah
religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua yang memiliki anak
retardasi mental berat. Penelitian senada yang dilakukan oleh Badaria dan Astuti
(dalam Ulina, 2013) juga menunjukan adanya hubungan antara religiusitas dan
penerimaan diri pada penderita diabetes melitus. Dimensi keyakinan keagamaan
termasuk dimensi dari variabel religiusitas.
Sedangkan, dimensi pengetahuan keagamaan dan kegiatan keagamaan
kelompok tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak down syndrome. Secara teoritis religiusitas seharusnya berpengaruh
terhadap penerimaan diri, tetapi tidak semua dimensi menunjukkan pengaruh yang
88
signifikan karena tidak semua orang tua yang memiliki pengetahuan keagamaan dan
melakukan kegiatan keagamaan kelompok memiliki tingkat keyakinan terhadap
Tuhan. Tidak semua orang tua yang mengikuti kegiatan keagamaan kelompok seperti
mengaji, shalat berjamaah dan yang lain sebagainya melakukannya karena adanya
faktor internal dalam diri, bisa jadi karena orang tua tidak enak dengan lingkungan
sekitar yang mengharuskan mereka mengikuti pengajian berjamaah dan mengikuti
solat berjamaah karena ada norma yang berlaku dimasyarakat, sehingga pada dimensi
ini tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki
anak down syndrome. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulina,
dkk (2013) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
religiusitas dengan penerimaan diri. Hal tersebut dapat terjadi karena religiusitas
bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi penerimaan diri.
Dimensi terakhir yaitu kegiatan keagamaan individu dan pengalaman
keagamaan berpengaruh positif terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki
anak down syndrome artinya semakin tinggi praktek individu dan pengalaman
keagamaan yang dimiliki semakin tinggi pula penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak down syndrome. Namun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik
terhadap penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome, hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulina, dkk (2013) yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan penerimaan
diri. Hal ini dapat terjadi karena tidak semua orang yang melakukan kegiatan
keagamaan individu memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan; mereka
89
melakukan kegiatan keagamaan individu seperti beribadah dan berdoa karena hal
tersebut adalah hal yang telah dipelajari dan diajarkan sejak kecil dan mereka
menjalankannya secara formalitas menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh agama.
Begitu pula dengan pengalaman keagamaan yang dialami oleh tiap orang berbeda dan
memiliki persepsi yang berbeda dari tiap orang yang mengalaminya, sehingga kedua
dimensi ini tidak signifikan secara statistik terhadap penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak down syndrome.
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis memberikan beberapa saran untuk bahan
pertimbangan sebagai penyempurnaan penelitian selanjutnya yang terkait dengan
penelitian serupa, yaitu saran metodologis dan saran praktis.
5.3.1 Saran metodologis
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, untuk penelitian selanjutnya disarankan:
a. Meneliti lebih lanjut mengenai penerimaan diri dengan menambah variabel
yang berhubungan dengan penerimaan diri seperti self esteem, coping stress,
optimism, dan self efficacy.
b. Selain itu dapat juga menggunakan sampel lain yang lebih beragam agar dapat
diteliti apakah ditemukan hasil yang berbeda untuk sampel yang berbeda.
90
c. Pada penelitian ini penerimaan diri diukur menggunakan skala penerimaan
diri dari Kubler Ross, untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk
menggunakan alat ukur lain seperti Expressed Acceptance on Scale yang
disusun oleh Berger.
d. Pada penelitian selanjutnya yang menggunakan sampel serupa disarankan
agar
pengaruh
variabel
independen
terhadap
variabel
dependen
dikelompokkan berdasarkan lamanya orang tua yang memiliki anak down
syndrome agar terlihat pengaruh dari masing-masing waktu lamanya orang tua
memiliki anak down syndrome.
5.3.2 Saran praktis
Mengingat pentingnya variabel-variabel yang dapat mempengaruhi penerimaan diri
orang tua yang memiliki anak down syndrome maka penulis menyarankan beberapa
hal, yaitu:
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan yang positif bagi orang
tua, keluarga, dan pihak lain yang terkait untuk lebih memperhatikan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki
anak down syndrome. Terutama dalam hal religiusitas, karena religiusitas
dalam konteks keyakinan atau keimanan memiliki peran yang cukup penting
yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down
syndrome. Seperti meningkatkan kepercayaan orang tua kepada Tuhan bahwa
91
memiliki anak down syndrome adalah takdir dan anak merupakan amanah dari
Tuhan.
b. Hendaknya orang tua dapat menambahkan wawasan baru tentang beberapa
faktor yang dapat meningkatkan penerimaan diri mereka sehingga mereka
dapat membimbing, mendidik, dan merawat anak down syndrome dengan
penuh kasih sayang dan rasa ikhlas.
DAFTAR PUSTAKA
Aghili, Mojtaba and Kumar, G. Venkatesh. (2008). Relationship between religion
attitude and happiness among prefessional employees. Journal of the
Indian Academy of Applied Psychology. 34, Special issue, 66-69.
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and
Human Decision Processes. 50, 179-211.
Ajzen, I. (2005). Attitudes, personality, and behavior (2nd ed). England: McGraw
Hill Education.
Bergeron, Catherine M & Wanet-Defalque, Marie-Chantal. (2013). Psychological
adaptation to visual impairment: The traditional grief process revised.
British Journal of Visual Impairment. 20-31.
Cartwright, G.P & Cartwright, C.A & Ward, M.E. (1984). Educating special
learner. California: Weddsworth.
Cronbach, Gee. J. (1963). Educational psychology. 2 end edition. New York:
Harcout, Brucae and Word.
Denmark, L.K. (1973). Self acceptance and leader effectiveness. Journal of
Extension: Winter 1973. Texas A & m University. Retrieved June, 2, 2009.
From the joe website: http://www.joe.org/joe/1973winter/1973-4-al.pdf.
Fetzer, J.E. (2003). Multidimensional measurement of religiousness/spirituality
for use in health research. Kalamazoo: Fetzer Institute.
Francis, J., Eccles, M., Johnston, M., Walker, A., Grimshaw, J., Foy, R., Kaner,
E., Smith, L., & Bonetti, D. (2004). Constructing questionnares based on
the theory of planned behaviour: A manual for health services
researchers. United Kingdom: Centre for Health Services Research
University of Newcastle.
Gargiulo, R.M. (2004). Special education in contemporary society. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Handayani, Ratnawati, & Helmi. (1998). Efektivitas pelatihan pengenalan diri
terhadap peningkatan penerimaan diri & harga diri. Jurnal Psikologi
UGM. XXV, 2, 47-55.
Hoffman. (2006). Gender self definition and gender self acceptance in women:
intersections with feminist, womanist, and ethnic identities. Journal of
counseling & development. 84, 358-372.
Huber, Stefan. Huber, O.W (2012). The centrality of religiousity scale (CRS).
Journal of Religion. 3, 710-724.
92
93
Hurlock. Elizabeth, B. (1974). Personality development. McGraw Hill, inc: New
Delhi.
Ismail, A. (2008). Hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu
dari anak autis. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang.
Mangunsong, F. (1998). Psikologi dan pendidikan anak luar biasa. Jakarta:
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
(LPSP3) UI.
Newman, Isadore., Smith, Pamela J., Griffith, Diann C., Maloney, Patrick.,
Dambrot, Faye H., Sterns, Harvey., Daubney, John. (1983). The alphaomega scale: The measurement of stress situation coping styles. Ohio
Journal of Science (Ohio Academy of Science). 83 (5), 241-246.
Nishinaga, K. (2004). Self-acceptance of mothers who have children with
intellectual disabilities: A Study by Semi-Structured Interview.
Rachmayanti, S & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan diri orang tua terhadap anak
autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi. 1 (1), 717.
Rohner. (2012). “Introduction to parental acceptance-rejection theory, methods,
evidence and implications”.
Sarafino, E. P. (1998). Health psychology: Biopsychosocial interaction. New
York: John Willey & Sons, Inc.
Sarason, I.G., Levine, H.M., Basham, R.B., et al. (1983). Assessing social
support: The Social Support Questionnaire. Journal of Personality and
Social Psychology. 44, 127- 139.
Stark, Rodney., Glock, Charles. Y.,. (1968). American piety: The nature of
religious commitment. Berkeley: The Regents of University of California.
Taylor, S.E. (2006). The handbook of health psychology. New York: Oxford
University Press.
Ulina, M. O., Kurniasih, O. I., & Putri, D. E. (2013). Hubungan religiusitas
dengan penerimaan diri pada masyarakat miskin. Proceeding PESAT
(Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil), 5.
www.health.detik.com diunduh pada tanggal 6 Januari 2014 pukul 12.30.
Zalewska, A. (2006). Acceptance of chronic illness in psoriasis vulgaris patient.
European Academy of Dermatology and Venereology. 21, 235-242.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
FORMULIR PERMOHONAN IZIN PENELITIAN SKRIPSI
LAMPIRAN 2
SURAT PERMOHONAN IZIN PENELITIAN
LAMPIRAN 3
KUESIONER PENELITIAN
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam kenal, saya Lailatul Ikromah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, saat ini sedang menyelesaikan studi akhir. Untuk
keperluan tersebut, saya melakukan penelitian dimana penelitian ini menggunakan
alat ukur berupa kuesioner yang terdiri dari beberapa item pernyataan. Saya
membutuhkan bantuan dari Bapak/Ibu untuk menjadi responden dalam penelitian
dengan mengisi persyaratan yang terlampir. Bagi, Bapak/Ibu yang bersedia, maka
isilah lembar pernyataan yang tersedia.
Pada setiap bagian akan tersedia petunjuk pengisian, bacalah dahulu petunjuk
mengisian sehingga jawaban yang Bapak/Ibu berikan sesuai dengan apa yang
diminta. Tidak ada jawaban yang salah, semua jawaban adalah benar, dan saya
menjaga kerahasiaan Bapak/Ibu.
Terima kasih atas bantuan Bapak/Ibu yang telah menjadi responden peneliti.
Jakarta, Desember 2014
Peneliti
Lailatul Ikromah
LEMBAR KESEDIAAN
Dengan ini secara sukarela saya menyatakan bersedia untuk mengisi angket ini. Pada
saat pelaksanaan, saya akan mengisi identitas pribadi dan mengisi angket atau
kuesioner dengan lengkap.
Terima kasih atas segala kerjasama dan bantuan Bapak/Ibu yang baik ini.
Identitas Responden :
Nama
:
Jenis Kelamin :
Usia
:
Agama
:
Pekerjaan
:
Jakarta, ……………………… 2014
(Tanda Tangan dan Nama)
Menyatakan bersedia menjadi responden
PETUNJUK PENGISIAN
Berikut
ini
terdapat
pernyataan-pernyataan
untuk
membantu
Bapak/Ibu
menggambarkan diri Anda sendiri. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti dan
dimohon untuk menjawab setiap pernyataan tersebut, dengan memberikan tanda
tanda cheklist (√) atau tanda silang (x) pada salah satu alternative jawaban yang telah
disediakan. Adapun empat pilihan jawaban pada setiap pernyataan mempunyai arti
sebagai berikut:
SS
= Sangat Sesuai
S
= Sesuai
TS
= Tidak Sesuai
STS
= Sangat Tidak Sesuai
Jika Anda keliru melingkari atau berubah pendapat, ubahlah jawaban Anda dengan
menchecklist (√) atau silang (x) dengan (≠) yang keliru tadi dan checklist (√) jawaban
yang Anda anggap lebih tepat.
Contoh :
No.
Pernyataan
1.
Saya bisa melakukan hal yang lebih
SS
S
√
baik dari sebelumnya
2.
TS
Saya bisa melakukan hal yang lebih
baik dari sebelumnya
√
√
STS
Skala 1
No.
Pernyataan
1.
Saya merawat anak dengan ikhlas
2.
3.
Secara rutin saya mengantar anak saya terapi
Saya memberikan pendidikan yang terbaik
untuk anak saya
Saya
mengajak
anak
saya
untuk
bersosialisasi dengan tetangga sekitar
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
SS
S
TS
STS
SS
S
TS
STS
Saya malu untuk mengajak anak saya keluar
rumah
Memiliki anak dengan down syndrome
membuat saya menjadi pribadi yang lebih
besyukur
Saya mencintai anak saya dengan segala
keterbatasannya
Setiap orang pasti memiliki kekurangan
Terapi untuk anak down syndrome tidak
bermanfaat
Memiliki anak down syndrome merupakan
aib keluarga
Skala 2
No.
Pernyataan
1.
Anak adalah titipan dari yang maha kuasa
2.
3.
Anak adalah buah hati dari saya dan
pasangan
Anak adalah pembawa rezeki
4.
Anak adalah penerus keluarga
5.
Anak adalah harta yang paling berharga
6.
Saya memiliki kemampuan untuk merawat
anak down syndrome dengan baik
No.
Pernyataan
7.
Banyak orang tua yang memiliki anak down
syndrome
8.
Saya memiliki fasilitas materi untuk
merawat anak down syndrome
Banyak anak down syndrome yang memiliki
prestasi
9.
10.
SS
S
TS
STS
SS
S
TS
STS
Saya memiliki kemampuan mengubah
kekurangan anak down syndrome menjadi
suatu kelebihan
Skala 3
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pernyataan
Saya tidak merasa sendirian karena memiliki
sahabat yang peduli satu dengan yang
lainnya
Jika sedang merasa sangat lelah dengan
kehidupan, pasangan senantiasa menghibur
saya
Pasangan selalu meluangkan waktunya
untuk saya dan anak-anak
Keluarga menawarkan bantuan financial
ketika saya perlukan
Jika saya mengeluh akan sesuatu hal,
keluarga senantiasa menasehati saya
Ketika saya membutuhkan informasi
tertentu, ada keluarga yang selalu bersedia
membantu
Saya memiliki komunitas yang peduli
terhadap keadaan dan kondisi anggotanya
Saya dapat berbagi cerita dengan teman
komunitas yang memiliki masalah serupa
No.
Pernyataan
SS
9.
Saya merasa hidup seorang diri mengasuh
anak dengan down syndrome
10.
Pasangan seperti
perasaan saya
11.
Ketika saya memerlukan bantuan, tetangga
seperti tidak bersedia membantu
tidak
peduli
dengan
12. Keluarga tidak mau direpotkan ketika saya
membutuhkan bantuan secara financial
13.
Ketika saya membutuhkan saran, saya tidak
mendapatkannya dari keluarga
14.
Pasangan tidak berusaha membantu saya
untuk mendapatkan informasi mengenai
kebutuhan anak kami
15.
Bergabung dengan komunitas tertentu bagi
saya tidak begitu penting
16.
Teman saya tidak ingin
pengalamannya kepada saya
17.
Saya dapat berbagi kesedihan
kebahagiaan dengan keluarga
18.
Teman saya tidak sungkan untuk
meminjamkan uang disaat saya butuhkan
19.
Saya mendapatkan saran-saran
bercerita kepada sahabat
20.
Saya mendapatkan cukup informasi dari
lingkungan sekitar tentang merawat anak
dengan down syndrome
Saya merasakan banyak sekali manfaat
positif ketika bergabung dengan komunitas
21.
22.
membagikan
dan
ketika
Saya sering berbagi pengalaman dengan
teman komunitas
S
TS
STS
No.
Pernyataan
23.
Keluarga merasakan apa yang saya rasakan
dalam merawat anak dengan down syndrome
24.
Kepedulian lingkungan sekitar membuat
saya semangat merawat anak saya
25.
Perhatian dari pasangan membuat saya lebih
semangat merawat anak saya
26.
Jika saya sedang sibuk, pasangan
menawarkan diri untuk membantu
SS
S
TS
STS
SS
S
TS
STS
27. Keluarga tidak sungkan untuk memberikan
bantuan uang apabila dibutuhkan
28.
Pasangan dapat menenangkan hati saya
dengan nasehat-nasehatnya
29.
Saya mendapatkan informasi yang cukup
banyak tentang merawat anak dengan down
syndrome dari internet
30.
Teman komunitas memberikan kekuatan
tersendiri bagi saya sebagai orang tua
31.
Bila diperlukan ada kerabat yang bersedia
membantu mengantar anak saya terapi
Skala 4
No.
1.
2.
Pernyataan
Saya sering berpikir tentang permasalahan
agama
Saya percaya bahwa Tuhan selalu ada dalam
kehidupan saya
3.
Saya sering melaksanakan ibadah di rumah
ibadah (masjid, gereja, pura, dsb)
4.
Saya sering berdoa kepada Tuhan
No.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Pernyataan
SS
Saya sering merasa bahwa Tuhan menolong
saya dari kesulitan dalam hidup saya
Saya tertarik untuk mempelajari lebih
banyak tentang topik agama
Saya percaya adanya kehidupan setelah
kematian seperti keabadian jiwa dan
kebangkitan
Melaksanakan ibadah berjamaah merupakan
hal yang penting bagi saya
Saya sering bersedekah kepada orang-orang
yang membutuhkan
Saya merasa bahwa terkadang
memberikan petunjuk kepada saya
Tuhan
11.
Saya sering mendapatkan informasi tentang
agama dari radio, televisi, internet, koran,
dan buku
12. Saya yakin bahwa Tuhan selalu melindungi
saya
13.
Saya bergabung dalam komunitas religius
14.
Saya sering melakukan ibadah diluar ibadah
wajib
15.
Saya merasa bahwa Tuhan selalu mengawasi
perilaku saya
16.
Menambah pengetahuan tentang agama
bukanlah hal yang penting bagi diri saya
17.
Saya tidak merasakan kasih sayang Tuhan
18.
Saya melakukan ibadah secara berjamaah di
rumah dengan keluarga.
19.
Saya jarang melaksanakan ibadah yang
diwajibkan oleh agama
S
TS
STS
No.
Pernyataan
20.
Saya merasa doa saya tidak didengar Tuhan
SS
S
TS
STS
LAMPIRAN 4
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA PENERIMAAN DIRI
UJI ANALISA FAKTOR SELF ACCEPTANCE
DA NI=10 NO=150 MA=KM
LA
IT01 IT02 IT03 IT04 IT05 IT06 IT07 IT08 IT09 IT10
KM SY FI=selfa.cor
se
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10/
MO NX=10 NK=1 TD=SY LX=FR
LK
SELFA
FR TD 10 5 TD 3 1 TD 10 3 TD 6 1 TD 6 5 TD 7 2 TD 7 4 TD 5 1 TD 7 5
FR TD 10 7 TD 5 4 TD 4 3 TD 3 2 TD 7 6 TD 7 1 TD 8 4 TD 8 3 TD 10 9
FR TD 9 5
PD
OU AD=OFF TV MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA CONTROL BELIEF
UJI VALIDITAS CONTROL BELIEF
DA NI=10 NO=150 MA=KM
LA
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
KM SY FI=P.COR
SE
1 2 3 4 5/
MO NX=5 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
CBELIEF
FR TD 2 1 TD 5 1
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA PERCEIVED POWER
UJI VALIDITAS PERCEIVE POWER
DA NI=10 NO=150 MA=KM
LA
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
KM SY FI=P.COR
SE
6 7 8 9 10/
MO NX=5 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
PPOWER
FR TD 5 2
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA DUKUNGAN EMOSIONAL
UJI VALIDITAS DUKUNGAN EMOSIONAL
DA NI=31 NO=150 MA=KM
LA
DS1 DS2 DS3 DS4 DS5 DS6 DS7 DS8 DS9 DS10
DS11 DS12 DS13 DS14 DS15 DS16 DS17 DS18 DS19 DS20
DS21 DS22 DS23 DS24 DS25 DS26 DS27 DS28 DS29 DS30 DS31
KM SY FI=DKS.COR
SE
1 2 9 10 17 23 24 25/
MO NX=8 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
DEMOSIONAL
FR TD 8 1 TD 5 4 TD 8 3 TD 3 1 TD 6 5
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA DUKUNGAN NYATA ATAU
INSTRUMENTAL
UJI VALIDITAS DUKUNGAN NYATA ATAU INSTRUMENTAL
DA NI=31 NO=150 MA=KM
LA
DS1 DS2 DS3 DS4 DS5 DS6 DS7 DS8 DS9 DS10
DS11 DS12 DS13 DS14 DS15 DS16 DS17 DS18 DS19 DS20
DS21 DS22 DS23 DS24 DS25 DS26 DS27 DS28 DS29 DS30 DS31
KM SY FI=DKS.COR
SE
3 4 11 12 18 26 27 31/
MO NX=8 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
DNYATA
FR TD 6 5 TD 7 5 TD 5 4 TD 4 3 TD 8 6 TD 8 5 TD 5 1
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA DUKUNGAN INFORMASI
UJI VALIDITAS DUKUNGAN INFORMASI
DA NI=31 NO=150 MA=KM
LA
DS1 DS2 DS3 DS4 DS5 DS6 DS7 DS8 DS9 DS10
DS11 DS12 DS13 DS14 DS15 DS16 DS17 DS18 DS19 DS20
DS21 DS22 DS23 DS24 DS25 DS26 DS27 DS28 DS29 DS30 DS31
KM SY FI=DKS.COR
SE
5 6 13 14 19 20 28 29/
MO NX=8 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
DINFORMASI
FR TD 6 5 TD 6 2 TD 6 1 TD 7 5 TD 7 6 TD 8 7
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA DUKUNGAN KELOMPOK
UJI VALIDITAS DUKUNGAN KELOMPOK
DA NI=31 NO=150 MA=KM
LA
DS1 DS2 DS3 DS4 DS5 DS6 DS7 DS8 DS9 DS10
DS11 DS12 DS13 DS14 DS15 DS16 DS17 DS18 DS19 DS20
DS21 DS22 DS23 DS24 DS25 DS26 DS27 DS28 DS29 DS30 DS31
KM SY FI=DKS.COR
SE
7 8 15 16 21 22 30/
MO NX=7 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
DKELOMPOK
FR TD 6 2 TD 3 1 TD 7 2 TD 7 5
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA PENGETAHUAN KEAGAMAAN
UJI VALIDITAS INTELEKTUAL
DA NI=20 NO=150 MA=KM
LA
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20
KM SY FI=RLG.COR
SE
1 6 11 16/
MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
INTELEKTUAL
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA KEYAKINAN KEAGAMAAN
UJI VALIDITAS IDEOLOGI
DA NI=20 NO=150 MA=KM
LA
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20
KM SY FI=RLG.COR
SE
2 7 12 17/
MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
IDEOLOGI
FR TD 3 2
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA KEGIATAN KEAGAMAAN KELOMPOK
UJI VALIDITAS PRAKTEK KELOMPOK
DA NI=20 NO=150 MA=KM
LA
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20
KM SY FI=RLG.COR
SE
3 8 13 18/
MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
PKELOMPOK
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA KEGIATAN KEAGAMAAN INDIVIDU
UJI VALIDITAS PRAKTEK INDIVIDU
DA NI=20 NO=150 MA=KM
LA
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20
KM SY FI=RLG.COR
SE
4 9 14 19/
MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
PINDIVIDU
FR TD 4 1
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
SYNTAX UJI VALIDITAS SKALA PENGALAMAN KEAGAMAAN
UJI VALIDITAS PENGALAMAN
DA NI=20 NO=150 MA=KM
LA
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20
KM SY FI=RLG.COR
SE
5 10 15 20/
MO NX=4 NK=1 TD=SY PH=ST LX=FR
LK
PENGALAMAN
PD
OU TV IT=1000 AD=OFF MI SS
LAMPIRAN 5
PATH DIAGRAM
Model Fit Penerimaan Diri
Model Fit Control Belief
Modil Fit Perceived Power
Model Fit Dukungan Emosional
Model Fit Dukungan Nyata atau Instrumental
Model Fit Dukungan Informasi
Model Fit Dukungan Kelompok
Model Fit Pengetahuan Keagamaan
Model Fit Keyakinan Keagamaan
Model Fit Kegiatan Keagamaan Kelompok
Model Fit Kegiatan Keagamaan Individu
Model Fit Pengalaman Keagamaan
Download