ASPEK SOSIAl DAN HUKUM TINGKAH lAKU ORANG MABUK

advertisement
11111; 11111 da 1/ I'ell//} a IIJ.{ 111/111/
456
ASPEK SOSIAl DAN HUKUM TINGKAH lAKU
ORANG MABUK AlKOHOl
•
Oleh Soerjono Soekanto
,
Masyarakat dapat menerima penyimpanganpenyimpangan selama hal itu tidak mengganggu
nilai-nilai dan norma-norma yang dianut secara
umum. Karangan ini mencoba meninjau alkoholisme dan pemabuk dari segi hukum dan sosial.
Dalam batas-batas tertentu minum-minum 'merupakan alat pergaulan dan aktivitas ini dipan. . dang oleh sementara orang makin bergeng~i '
kalau disertai sajian minuman yang mengandung
alkohol.
Namun
kalau
hal
itu
menyebabkan
.;.:-:<
yang bersangkutan menjadi pemabuk, ia mempunyai akibat-akibat hukum dan juga dapat
menganggu ketenangan keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Hal ini merupakan penyimpangan yang perlu mendapat perhatian.
Pengantar
Masalah yang timbul dari tingkah laku orang rnabuk alkohol akan ditinjau
secara sosiologis dan yuridis. Hal ini disebabkan, karena tinjauan sosiologis akan
dipergunakan untuk menelaah aspek sosialnya, sedangkan aspek hukum akan ditin- ,
jau dari sudut pandangan yuridis.
Telaah Ie rhadap tingkah lol kuora ng mabuk akan dilandaskan pada asumsi, bahwa
hal itu merupakan penyim(llngan atau deviasi. Penyim(llngan atau deviasi tersebut
dari sudut akibat yang da(llt diproyeksikan mungkin bersifat positif, oleh karena
menjadi penyebab lejadinya perubahan yang positif pula. Akan tetapi tidakjarang
bahW<l penyim(llngan atau deviasi itu dianggap negatif, karena merupakan suatu
ganggmn terhadap keserasian yang ada dalam rnasyarakat.
Apabila asumsi tersebut untuk sementara da(llt dianggap benar, maka aspek
, sosial
menjadi landasan bagi aspek hukum dari rnasalah tersebut. Aspek sosial diartikan
dalam konteks I uas, yang mencakup struktur sosial, proses sosial (ya ng berintikan
intera ksi), perubahan-perubahan rna upun rnasalah-masalahnya. Pembicaraan mengenai aspek hukum akan dibatasi pada perundang-undangan yang berlaku, yang
merupakan hukum positif tertulis .
Penyimpangan atau deviasi
Penyim(llnganataudeviasi mempunyaiarti yang relatif,oleh karena ada kemungkinan bahW<l tolok ukumya berbeda-beda. Ada kalanya dibedakan antara penyimpangan pada taraf interaksi sosial, dengan penyim(llngan yang bersifat pribadi atau
psikologis. Lindesmith dan Strauss memberikan ilustrasi, sebagai berikut (Alfred R.
Lindesmith & Anselm L. Strauss 1956: 665).
•
•
UI;/o/Jer 1988
Aspek Soswl
457
"A person who believeshe is being injured by the magical pmctices of his associates
would bediagno~d as a psychotic and paranoiac. However, ifhe \yerea member of a
group which belie\ed in nngical practices his belief in nngic might be entrirely
expected and nOllnal. In fact, if he did not share the general belief in magic he might
be tho~ht of as deviant his associates."
Contoh ter9:!but menggambarkan reIativitas budaya dari penyimpangan sosial dan
indi vid wI. Sudah te ntu bahWtl penyimpa ngan-penyimpa ngan tertentu sifatn)'<l sosial
maupun individual9:! perti misalnya hubungan sumbang ("incest"). Namun adakalanya terdaplt pengelompokan penyimpangan yang ~cara sosial tidak berinteraksi .
Misalnya, keban)'<lkan "waria" mempun)'<li periIaku yang sima, akan tetapi apabiIa
antara mereka takada interaksi sosial, maka takada kelompok sosial. Para "waria"
itu secara iridividwl tidak saling pengaruh-mempengaruhi, sehingga lebih tepat
untuk men)Cbutnya ~bagai penyimpang-penyimpang individwl yang membentuk
kategori sosial tertentu.
Dari penjelasan diatas ~cara samar-samar tercennin bahWtl penyimpangan
merupakan tingkahlaku yang dianggap menjauhi hal )'<lng dianggap nOllnal. Kecuali
itu, penyimpa ngan merupakan pro~s yang mengenal taraf-taraf intensitas. Sebagai•
mana dikatakan oleh Matza, maka (David Matza 1969: 10).
" ..... we inevitably return to the wi~ observation that there are many kinds of
deviance and that deviance is in some measure a matter of degree."
Pada ~tiap masyarakat pasti terdapat penyimpangan. Namun tak ada yang
menyim pa ng 9:!cara ekstrim ata u patuh ~cara berlebihan, karena keduanya merupakan kutub-kutub yang ideal. MeI¥enai hal ini Bell menyatakan, sebagai berikut (R.
Bell 1976: 9).
"Somewhat between the extremes ina society is the mnge of tolerance, acceptable
in society. This allows some deviance being acceptable to sociaety but ~ts up limits
beyond which social and often legal punishments are the con~qrences of deviance ..
Forexample, the dringking of alcoholic beverages is acceptable to society so long as
the dringking does notgo beyond a certain point - a point ~enas threatening in some
way to society."
Dengan demikia n, sebagaima na disinggung pada a Wtll tulisa n ini, ada penyimpa ngan yang mernang diterirna oleh masyarakat. Masyarakat dapat menerima penyimpangan 9:!Iama pro9:!S itu tidak menganggu niIai-ililai dan nOfma-nOllna yang dianut
~cara umum. Namun, pihak-pihak mana yang menetapkan apakah pro~s penyimpangan terte ntu bersifat positif atau negatif,j uga merupakan rnasalah yang mengakibatkan relativitas pada penyimpangan ter9:!but.
Secara sosiologis, kaIau hal ini dapat dipergunakan 9:!bagai patokan ~mentara,
penyimpangan merupakangejaIa yang memerlukan
pengaWtlsanatau
pengendalian.
.
.
Untuk menjelaskan hal ini, diketengahkan pendapat Erikson, sebagai berikut (K. T.
Erikson 1964: 10,11).
"From a sociologial standpoint, devience can be defined as conduct which is
genemlly tho~ht to require the attention of social control agencies - that is, conduct
about whicht "something should be done". Deviance is not a property inherent in
certain fOllns of beha vior; it is the property conferred upon the~ fOllns by the
•
•
OklOber 1988
Hukum dan Pembangunan
458
,
!
amieB)es which directly or indirectly witness them. Sociologically, then, the critical
variable in the study of devience is the social audience rather than the individual
person, since it is the audience which eventually decides whether or not any given
action or actions will become a visible case of deviation."
Gejala penyimillngandalam swtu masyarakat tidak mustahil mengakibatkan
timbulnya Kebu:layaan Khusus ("sub-ctilture"). Menurut Sebald,
maka kebudayaan khusus merupakan bagian dari kebudayaan umum yang dianut
oleh bagian tertentu dari masyarakat pendukung kebudayaan umum (Hans Sebald
1968: 205). Kebu:layaan khusus tadi mungkin sesuai dengan kebudayaan umum,
atau mungkin bertentangan ("counter-culture"). Walaupun bertentangan, kebudayaan tandingan tidak !l!lalu buruk. Kebudayaan tandingan biasanya timbul, karem terpenuhinya syarat-syarat, sebagai berikut :
1. Suatu bagian dari masyarakat atau kelompok sosial tertentu, menghadapi
masalah, yang bukan men:ipakan persoalan yang dihadapi oleh warga-warga
iainnya.
2. Robington dan W.einher berpendaIllt, bahwa kebudayaan tandingan mencerminkan (Earl Rubington & Martin S.Weinberg 1968: 203). '
" ..... a common understanding and prescribed ways of thinking, feeling, and
acting when in the comIllny of one's own deviant peers and dealing with
repre!l!ntati\es of the con\entional world. Once these defiant (counter) - culture
come.into being, and flourish, they have consequences for their bearers and
con\entional outsiders as well."
3. Anggotl-anggotl kelompok sosialyang menimbulkan kebudayaan tandingan
mempunyai araf ketedibatan tertentu yang dianggap signifikan.
4. Ada snatu lembaga total ("total institution"), yaitu (Erving Goffman 1961 : xiii).
" ..... a place where people Ii\e and work with a large number of li.ke-situated
persons,where they are, cut-{)ff from the broader society for significant periode of
time, am where they lead andenclo!l!d, fonnaly administered life."
Di Amerika Serikat, misalnya, lembaga-kmbaga total tersebut mencakup paling
sedikit lima kategori, yakni :
1. lembaga-Iembaga bagi warga rnasyarakat yang cacat dan jom po
2. lembal?fl-Iembaga bagi mereka yang sakit dan dianggap membabayakan masyarakat.
3. lemba~-lembaga bagi mereka yang dianggapjabat, sehingga membahayakan.
4. lembaga-Iembaga yangsecara khusus dibentuk untuk mencap:ti tujuan keIja
tei1entu.
S. lembaga-Iembaga kepercayaan keagamaan.
Sehlbungan dengan adanya kebudayaan tlndingan itu perlu disinggung adanya
golongan penyimptl1g maIjinal. Golongan itu tidakditerima sebagai warga masyarakat yang kon\ensional,namun juga tidak diakui !l!bagai anggota kelompok sosial
penganut kebudayaan andingan. Contohnya adaIah mantan pernabuk yang sudah
diny.ttlkan sembuh karem dira wat di suatu lembaga tertentu. [)engan demikian
daptt disimpulkan bahwa (Hans Sebald 1968: 207).
, "the sufficent conditions for the establishment of a (counter)-culture lie in the
•
.
•
Aspek Sosia/
459
acceptance of common nOllnsand values specifically the "proper" and"right" wayof
doing things."
Aspe k sosial
Berdasarkan penjelasan dimuka dapltlah dikatakan, bahwa omng mabuk merupakan penyimJllngan. Masalahalkoholisme dan pernabuk pada kebanyakan masyarakat Jllda umumnya tidak berkisar Jllda aJllkah alkohol boleh atau dilarang
dipergunakan. Persoalan pokoknya adalah siaJll yang boleh menggunakann)Q,
dirnana, bilamana dan dalam kondisi yang bagaimana. Umumnya orang awam
berpendat
bah\va
alkohol
meruJllkan
suatu
stimulan,
padahal
sesungguhnya
alkohol
•
merupakan mcun protoplasmik yang mempunyai efek depresan pada sistem s)Qraf.
Sebagaimana dikatakan oleh Nowlis, maka (Helen H. Howlis 1969: 85 dan seterusnya).
"Alcohol is thought to exert first its depresingaction on the more primitive parts of
the brain responsible for integrating the activity of other parts of th-e centml--ne(vous
system, thereby releasing the higher centers fOlln control."
Akibatnya, seomng pemabuk semakjn kumng kemampwnnya untuk mengendalikan diri, baik secam fisik, psikol~is rnaupun sosial. Namun perlu dicatat bahwa
ketergantungan pada alkohol merupakan swtu proses tersendiri, yang
mernakan
•
waktu. Mengenai hal ini Nowlispernah menyatakan,bahwa (Helen H. Nowlis 1969:
87).
"In the dependent individual, even a few hours of abstinence precipitates the
beginning of the alcohol withdra wal
syndrome,
a
syndrome
similar
to
that
following
•
withdm wal of the baibitumtes of other depressant drugs."
Dalam kenyataannya, rnasyamkat mempunyai pengaruh tertent,\terhadap peng.
gunaan alkohol. Pada umumnya proses pengaruh terse but adalah s::bagai berikut:
••
r. Setiap rnasyaralGj,t mempunyaimekanisme untuk mengeooalikan, mengintegmsika n dan membang un warga-warganya. Proses tersebut tidak selalu mempunyai
pengaruh yang seluruhnya positif. Apabihl ada pengaruh negatif, IIIaka hal itu
mengakibatkan teIjadinya ketegangan atau keresahan pada diri warga mas)Qrakat. Salah satu upaya mengatasinya adalah menggunaka~ alkohol kalau perlu
samJlli rnabuk. Sebagaimana dikatakan oleh Nowlis, rnaka (Helen H. Nowlis
1969: 27).
"The positi\e orientation of drinking is based on its usefulness in decreasing
feelings of tension and anxiety and in fostering pleasant and sociable moods in
most individmls."
2. Setiap Ilnsyamkat membentuk lembaga-Iembaga atau pola-pola tertentu, yang
daplt menyalUIkan msa tegang atau msa kha \vatir. Lembaga-Iembaga atau polapola tersebut mempunyai tAraf kernampmn tertentu untuk menyalurkan rasa
tegang atau rasa kha \vatir. Taraf kernampmn itu ikut mempeIlgilruhi lwssempitnya kemungkimn menggunakanalkohol untuk penyalumnkelOOlhandiri.
3. Dalam setiap Imsyarakat berkembang pola sikap tindak 1ertentu terhadap perilaku minum-minum. Secara tmdisional minum-minum merupakan acara yang
mempunyai pelbagai fungsi, antara lain, untuk memperlancar pergaulan. Sebagai
•
•
•
•
Oktober 1988
460
Hukum dan Pembangunan
samna memperlancar pergaulan, pola minum-minum menganc\ung aspek-aspek
tertentu, misaln)'<l, prestise sosial. Dalam batas-batas tertentu pola minum-minum
tenebut terutama dimana minuman yang disajikan menganc\ung alkohol, mencerminkan pola perilaku kelas sosial tertentu. Di Amerika Serikat, misaI n)'<l, bagi
kelas sosial menengah pola minum-minum mempun)'<li fungsi tertentu. Pittman
men)'<ltakan bahwa (David J. Pittman 1967 : 18).
"In the middle classa system of norms and behavior patterns related to drinking
has developed. Permissive dringking goes with a notion of cosmopolitanism, and
abstinence is often seen as a negative symbol of a life-style. To drink socially is to
be cosmopolitan and often carries with it the implication that one is emancipated
from tmdisional Puritan values. The person who doesn't drink is often looked
down upon as a "sqmre" - as one who lacks sophistication."
Menurut hasil penelitian )'<lng pemah dilakukan oleh Sebald, maka keterlibatan
para rernaja dengan alkohol merupakan suatu proses yang mencakup tamf-tamf
tertentu, seperti misaln)'<l (Hans Sebald 1968: 477).
"( 1) rela ti vel y harmless, occasiona I drinking, consisting of nothing more than mere
imitation of a permissible adult custom.
(2) peer - asSociated drinking that has overtones of rebelliousness against and
aliemtion from adult instituions,
(3) hea vy "escapist" drinking symptomatic of seriDus personality problems."
4. Setiap rnas)'<lmkat cenderung menempatkan pemabuk sebagai pihak yang
menyimpang atau bahkan pelanggar. Dengan lain perkataan, peminum adalah
pihak yang secam potensial merupakan pelanggar. Akan tetapi hal itu juga
tergantung pada tamf ketetapan norma-nOima yang mengatur perilaku )'<lng
berkaitan de~an itu. Sebagairnana pemah din)'<ltakan oleh Larsen dan AbuLaban, rnaka (Donald E. Larsen & Bahan Abu-Laban 1968: 449).
" .. , heavy drinking is associated with a relative Lack of norms regarding the
consumption of alcoholic beverages in an environment wicht does not prohibit
drinki~."
Suatu aspek sosial yang ~cam sosiologis sangat penting adalah pengaruh omng
mabuk ~rhadap kehidupan kelmrga. Kimn)'<l perlu disajikan smtu hasil penelitian
yang dilakukan:oleh Joan Jackson denganjooul "The Adjustment of the Family to
the Crisis of A1coh olism" (1968). Penelitiann)'<l tertuj u pada reaksi kelmrga terhadap
kepala rumah n ngga )'<lng menjadi pemabuk. Pro~s ini berlangsung secara bertahap,
sebagai berikut :
1. Pada waktu suami mulai rninum-minum agak diluar batas walaupun secam
spomdis, isteri mulai menderita tekanan-tekanan batini)'<lh. Hubungan antara
smmi de~an isteri mulai te.rganggu keserasiann)'<l.
2. Pada nhapkedm frekuensi minum-minum meningkat,sehingga hub unganantara
smmidenganisteri rnaupunanak-anak ~makin tegang. Dalam pada itukelmrga
ter~but diGaP oleh rnasyamkat sekitarnya sebagai kelmrga pemabuk.
3. Pada' nfup ketiga isteri dan anggota kelmrga lainnya sooah tidak lagi mencoba
untuk mengatasi IlBsaiah umum yang dihadapi, namun mencari jalan sendirisendiri untuk mem~gu1angi ga,nggmn individual yang dialamin)'<l.
•
•
I
,
.J 6 !
4. Paua tahap kccmpal iSlcri mcnga mbil alih pcranan sc ba ga i kqu la rumah r<lngga .
islcri mula i mcmbcntuk kcmhali kcpcrcayaan paua uirin y.l sc ndiri. bahw,l uia
ma m pu l.lllluk mc
ng urus k elm rg a ta n p:l. ba nlua n s l.tl mi .
.
5. Paua ~l ha p kclima aua kcm ungkina n bahwa islcri scpcnuh nyd Il1cngc ndalika n
kcltu rga .
.
6. Pada ~lhapkccnall1 istcridan a nak-anak Il1cngOl~a ni sa s i kelmrga tanJllmcngikut
scrta ka n sua mi .
7. Pada taha p kClujuh ada kcml.lngkinan bahwa suami Scl uar akan kckcliruannya.
sc hi ng ga scca ra pc ha n-Ia ha n kCll1bali ke hid upa n ya ng nOll11a I. Dala m ta ha pi ni
akan timbul ke sulilan bag i sua mi . karena mula-mula dia masih dianggap sebagai
pe n yi m pa ng ma rj im I.
Aspck Hukum
Pembicaraa n mcngenai as pek hukl.lm hany<! akan dibata si pada pcrl.lndangl.lndanga n. Perundang-undangan merupakan sega la kepUIl.lsan resmi seeara tertuli s
yang dibuat pcnguaSc1, yang me ngikal. Dengan demikian JXrLUldang-l.lndangan
me r l.lpa ka n sa t u se gi sa ja da ri a spe k h uk l.lm , ka re na d isa m pi ng pe rl.lnd a ng-l.l nda nga n
ada hukl.lm adat , hukum Yl.lri spm.lensi, dan seterusny<!.
Pembiearaan meng e mi aspek hukl.lm yang dibata si pada perl.lndang-l.lnc.iangan.
akan dipl.lsa tkan pada akibat pemakaian alkohol. Artin y<!. ya ng akan disajikan
adalah meng emi orang mabuk dan kea daan yang berkaitan denga n ilu. yang sebena rn Y<! berla ndaska n aspe k sosia I.
Kete ntuan-k ete ntuan ya ng me ngatur pe rihal keadaa n mabl.lk , da p:lt dijl.lmpai
dala m bebera pa pasal Kita b U nd a ng-U ndang Huk l.lm Pidana (K UH Pl . K UH P ya ng
dipergunakand ewasa ini me rupakanhasil te rjema han tidak n:: smidari Wetboek V<l n
Stra frec ht ya ng d i pe rla k uka n oleh pemeri nta h Hi nd ia Bela nda. Ketenlua n-k etentua n
ya ng berka ita n denga n keadaan mabuk dibedaka n a nta ra pera tl.lra n te ntang kejahatan dan pelanggaran.
Dalam KUHP hany<! terdapat sa tl.l pasal yang mengaiur tentang kea daan rnabuk
se bagai kejahatan. Pasa l itu adalah pa sa l 300 ya ng isiny<! adalah,sebagai berikut :
(I)Diancamdenganpidana penjara paling lama satu tahunataudenda palingbany<!k
empat ribu lima ratus rupiah:
I. barang siap:l deng a n se ngaja menjual atau memberikan minuma n yang
mernabukkan kep:tda seseom ng yang telah kelihatan rnabuk;
2. bara ng sia pa dengan sengaja membikin rna buk seom ng a nak Y<! ng umurnYd
belum c ukup e nam bela s tahun;
3. barang siapa dengan kekera sa n a'tau ancaman kekerasan memaksa orang
untuk minum minuman yang memabukkan.
(2)'/ika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidam penjara paling lama tujuh tahun.
(3)'/ika perbuatan me ngakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
. penjara pa ling lama sembilan ta hun.
(4)'/ika ydng bersalah melakukan kejahatantersebut dalam menjalankan pencaharianny<! , dapat dicabut haknya untuk merijalankan pencarian itu.
Yang menjadi tolok ukur adalah perbuatan yang dirumuskan dalam pasal tersebut
•
•
Okwber 1988.
Hukum dan Pembangunan
462
•
khususn}'<l ayat 1 sub 1, 2 dan 3. Kesemuan}'<l merupakan tindakan-tindakan yang
ada s}'<lratn}'<l, yakni keadaan sudah mabuk, dibawah umur dan dengan melakukan
pakSi an.
Selain dari itu, maka ketentuan-ketentuan lainn}'<l berkaitan dengan pelanggaran.
PaSiI 494 men}'<ltakan, bahwa :
, (1) Barang siapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi Ialu lintas, atau
menganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain, atau melakukan
seswtuyang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan
penjagaan ~rtentu lebih dahulu agar jangan membahayakan n}'<l wa atau kesehatan
OIang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana
deooa paling ban}'<lk tiga IlltUS tujuh puluh lima rupiah.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adan}'<l
pemidanaan }'<lng menjadi tetap karena pelanggaran yang Sima, atau karena hal }'<lng
dirumuskandalam paSi1536, dijatuhkan pidana kurungan paling lama dua minggu.
Sebenamya rwng lingkup paSiI ini Singat luas, akan tetapi kesemuanya dikwlifikasikan !ebagai pelanggaran,sehingga ancaman hukumannya relatif ringan (apabila
dibaooiI¥kan dengan akibat tingkahlaku tersebut).
Apabila seseoIllng dalam keadaan mabuk berada dijalan umum, maka (X:rbuatan
itu diatur oleh paSiI 536 yang menyatakan, bahwa :
(l)Barang siapi ierang dalam keadaan nnbuk berada di jalan umum, diancam
dengan pidana deooa piling ban}'<lk dw ratus lima pllluh lima rupiah.
(2)Jikaketika melakukan pelanggaran belum lewat Situ. tahun sejakadanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang Sima atau dirumuskan dalam
paSiI492, pidana deooa dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga
hari.
(3)Jika teIjadi pengulangan kedw dalam Situ tahun setelah pemidanaan pertama
bera khirdan menjadi teta p,dikenakan pidana kurungan paling lama dua minggu.
(4)Pada pengulangan ketiga kalinya atau lebihdalam Situ tahun, setelah pemidanaan
kemooian
sekali
karena
pengulangan
kedua
kalinya
atau
lebih
menjadi
yang
.
.
tetap, dikenakan pidam kurungan paling lama tiga bulan.
PaSiI. ini berlakubagi OIllng mabuk yang berada dijalan umum; artin}'<l,
keberadaan.
nya yang mcrupakan pelanggaran, dan bukan akibat keadaan I1nbuk. Selanjutnya
pasal-paSaI lainnya seperti rniSilnya pasal 537, 538 dan 539 mengatur perihal
pemberi, penjwl atau pihak yang men)Cdiakanminuman yang memabukkan pada
swtu keIllmaian.
Dalam kenyataannya ketentwn-ketentuan itu secara relatif kUlllng diterapkan,
sehingga perkara-perlmra mengemi oIllng-orang mabukjarang)Qng diumumkan di
mediarnasSi. Ada kemungkinan bahwa pada waktu peraturan ini dibuat, gejala
omng-omng yang mabukdanberadadi tempat umum belum begitu membahayakan
oleh karem itu paSll-paSlI'tersebut dimasukkan dalam bab mengemi kejahatan dan
KUHP
disebutkejahatan
dan
pelanggaran terbadapaturan
sopan-santun
yang
dalam
.
.
pelanggaran terbadap kesllsilaan.
Penutup
sebagaikesimpulan sementara dapatlah dikatakan bahwa pola minum
rninuman
,
,
,
Aspek Sosial
463
yang mengandung alkohol dalam batas-batas tertentu dianggap biasa. Akan tetapi
kalau perbuatan ter~but mengakibatkan keadaan nabuk, maka. hal itu dianggap
sebagai penyimptngan yang tidak terlamptu bernt, aptbila belum menjadi kebia•
saan.
De~an demikian, maka dari strlut aspek sosial yang penting adalah mencegah
adan)Q pernabuk. Disamping itu, maka )Qng j~a penting adalah menanggulangi
keadaandimana strlahada pemabuk. Aspek hukum diIndonesia tamptkn)Q mengikuti aspek sosial. Han)Q sayang bahwa kalangan penegak hukum belum menaruh
perhatian yang proporsional terhadap masalah ini, seperti misaln)Q tindakantindaka n )Qng dilakukan t!rhadap pengedardan pemakai narkotika. Padahal pengedaran dan penggunaan narkotika jelas merupakan perbuatan yang dilarang. Akan
tetapi mengenaialkoholisme belum
ada kecenderungan yal)g ~rius untuk mengang-.
.
gapn)Q sebagai proses yang cukup membahayakan mas)Q ra kat, aptlagi dengan
adan)Q pro~s mod emisasi dimana norma-nOllna dan nilai-nilai biasan)Q mengalami
kego)Qhan.
Daftar Puslaka
Bell, R. Social Deviance, Homewood, lllinois : The
Dor~y
Press 1976.
Erikson, R T. Wayward Puritans: A Sttrlyin the Sociology of Deviance, New York:
Wiley, 1966.
Jakcson, Joan. "The Adjustment of the Family to the Crisis ofAlcoolism. "Earl
Rubington & Martin S. Weinberg (eds). Deviance: The lnteractionist Perspective.
New Yolk : Macmilla n, 1968.
'
Lar~n, llinald. E. & Baha Abu-Laban. "Norm qUllities and Deviant Drinking
Behavior. "Social Problems, Spring, 1968.
Lindesmith, Alfred. R. & Anselm L.Strnuss. Social Psychology, New York, Dr}den
Press, 1956.
Matza,
David, Becoming Deviant. New York: Prentile Hall, 1969.
.
,
Nowlis, Helen H. Drugs on the College Campus. New York: Anchor Books, 1969.
Pittman, David, Alcoholism, New Yolk: Harper and Row, 1967.
Rubington, Earl & Martin S. Weinberg (eds). Deviance: The lnteractionist Perspective, New Yoirk : Macmillan, 1968.
Sebald, Hans. Adole~ence: A Sociological Analysis, New Yrok: Appleton -Century
- Crofts, 1968.
•
.",OT
orjl#ice.
. Ortut4)
Oklober 1988
Download