1 PEREMPUAN, LAKI-LAKI, DAN TERORISME DALAM NOVEL DEMI ALLAH, AKU JADI TERORIS oleh Qurrotul Ainiy, Maria Josephine K. Mantik Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas novel Demi Allah, Aku Jadi Teroris karya Damien Dematra yang mengisahkan kehidupan seorang perempuan teroris yang bernama Kemala. Kemala merupakan seorang perempuan lemah lembut yang berubah menjadi seorang teroris yang berbahaya karena adanya sebuah pemicu. Pemicu yang berperan dalam perubahan sifat dan sikap Kemala dalam hidupnya sebagian besar dilakukan oleh laki-laki. Penulis ingin mengungkap ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh Kemala serta gambaran terorisme yang terdapat dalam novel dan hubungannya dengan kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, khususnya di Jakarta. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analitis serta pendekatan gender dan sosiologi sastra. Pendekatan gender digunakan untuk mengetahui ketidakadilan gender yang dialami Kemala. Pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk mengetahui hubungan konteks dunia nyata dengan novel Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Hasil penelitian membuktikan bahwa Kemala mengalami ketidakadilan gender. Selain itu, adanya kemiripan antara peristiwa teror yang terjadi di Jakarta dengan yang ada dalam novel Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Kata Kunci: Perempuan, Teroris, Ketidakadilan Gender, Pemerkosaan Women, Men, and Terrorism in Demi Allah, Aku Jadi Terroris Abstract This study discusses the novel Demi Allah, Aku Jadi Teroris by Damien Dematra which tells the life of a female terrorist named Kemala. Kemala is a gentle woman who turns into a dangerous terrorist because of some triggers. The triggers that cause the changes in the nature and attitude of Kemala mostly done by men. The author would like to uncover the gender inequality that occur in Kemala figure as well as an overview of terrorism contained in the novel and its association with terrorism cases that occurred in Indonesia, especially in Jakarta. This study is conducted using descriptive analysis method and approach to gender and sociological literature. Gender approach uses to determine gender injustice that Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 2 Kemala experienced. Sociological literature approach is used to determine the relationship of real-world context with the novel Demi Allah, Aku Jadi Teroris. The results prove that Kemala experienced gender inequality. Moreover, there is similarity between terror events that occurred in Jakarta as in the novel Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Keywords: Women, Terrorist, Gender Inequalities, Rape 1 Pendahuluan Karya sastra merupakan hasil kreativitas orang perorangan yang berjalan terus dalam 1 waktu . Kejutan kreatif maupun novelty (kebaruan) dalam ciptaan orisinal seorang pengarang selalu mungkin hadir. Pembaruan itu terjadi karena sebuah sastra berkembang. Tidak akan ada kebaruan tanpa adanya perkembangan, begitu pula sebaliknya. Kebaruan dalam karya sastra sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Banyak hal yang sebelumnya dianggap tabu justru menjadi topik yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah karya sastra. Realita di masyarakat yang ditutupi justru disibak dengan berani dalam karya sastra. Salah satunya adalah masalah seksualitas. Dalam dunia sastra Indonesia saat ini, “perempuan” dan “seks” merupakan dua isu yang sangat penting: “perempuan” terutama dalam arti pengarang perempuan dan “seks” sebagai tema karya sastra yang sedang ngetren.2 Seksualitas bukan lagi hal yang tabu dalam sebuah karya sastra. Banyak pengarang yang telah mengangkat topik ini dengan berbagai kemasan yang menarik untuk dinikmati. Setiap pengarang memiliki cara tersendiri untuk mengemas karyanya agar menarik untuk dibaca. Contohnya adalah Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, keduanya merupakan perempuan penulis yang sebagian besar karyanya mengangkat unsur seksualitas di dalamnya, tetapi keduanya membuat kemasan yang berbeda dalam masing-masing karya mereka. Ayu Utami membungkus karyanya dengan bahasa yang lebih halus, dipadukan dengan topik sejarah dan politik yang menonjol dari setiap karyanya. Pembaca dibuat melihat seks sebagai suatu keindahan. Berbeda dengan Djenar Maesa Ayu, Djenar menampilkan unsur seksualitas dalam karyanya secara eksplisit, tanpa ditutup atau dibungkus dengan kalimat yang indah. Djenar menyampaikan seks dalam karyanya secara tersurat. Hal-hal tabu yang sebelumnya sangat dihindari bahkan dikecam keberadaannya menjadi hal yang termaafkan. Berbeda dengan sastra pada masa Pujangga Baru, contohnya adalah Armijn Pane dengan novel Belenggu. Novel tersebut ditolak oleh Balai Pustaka karena dinilai tidak mendidik dan terlalu terbuka. Armijn Pane ingin membeberkan bahwa sebenarnya ada masalah perselingkuhan dalam masyarakat, sebuah realita sosial yang diangkatnya menjadi sebuah novel. 1 2 Dami N. Toda, Apakah Sastra?, (Magelang: Indonesiatera, 2005), 4. Katrin Bandel, Sastra, Perempuan, Seks (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), xvii. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 3 Akan tetapi, hal tersebut tidak berterima dalam masyarakat yang saat itu masih menganggap perselingkuhan merupakan hal yang tabu untuk dibahas, hal yang hanya boleh dibahas dalam “dapur” mereka. Karya Armijn Pane tersebut kemudian menjadi karya yang fenomenal karena banyak pro dan kontra yang terjadi. Begitulah karya sastra, penerimaan sangat penting bagi sebuah karya. Meskipun sebagian besar masyarakat sudah mulai menerima berbagai jenis topik yang diangkat dalam sebuah karya, namun masih ada beberapa kelompok masyarakat yang masih belum dapat menerima ketabuan untuk diangkat menjadi sebuah karya. Hal tersebut terlihat saat terjadinya pro dan kontra ketika Djenar Maesa Ayu menerbitkan novelnya yang berjudul Jangan Main-Main dengan Kelaminmu. Akan tetapi, hal tersebut tidak sampai menimbulkan reaksi dari pemerintah, tidak seperti pada era Balai Pustaka yang mengecam bahkan sampai melarang penerbit untuk menerbitkan novel Belenggu karya Armijn Pane. Selain topik seksualitas, topik yang mendiskreditkan agama tertentu juga sangat tabu untuk diangkat ke dalam sebuah karya sastra. Salah satu contohnya adalah novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el Khalieqy. Novel ini sempat menjadi perdebatan antara kaum ulama di Indonesia. Abidah mengangkat kehidupan pesantren dan posisi perempuan dalam agama yang terkesan dibelenggu oleh pihak pesantren dalam novelnya. Hal inilah yang menjadi perdebatan. Banyak yang menentang novel tersebut karena menganggap bahwa kehidupan pesantren tidak seperti itu. Akan tetapi, banyak pula yang mendukung novel tersebut. Mereka mendukung kebebasan perempuan yang sangat dibatasi oleh pihak pesantren. Saat ada suatu karya yang menyentil hal-hal tabu, masyarakat dapat sangat cepat merespons hal tersebut, baik positif maupun negatif. Selain Abidah, terdapat pula penulis yang mengangkat topik agama dalam karyanya. Habiburahman El Shirazy adalah salah satu sosok penulis yang sukses dengan novel-novelnya yang bernafaskan Islam. Judul-judul novel Kang Abik, sapaan akrab Habiburahman El Shirazy, antara lain Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Di Atas Sajadah Cinta, dan Bumi Cinta. Terlihat dari judul novel, topik yang diangkat merupakan perpaduan antara cinta dengan Islam. Perempuan juga menjadi sorotan utama dalam beberapa novel Kang Abik, salah satunya adalah Ayat-Ayat Cinta. Dari sampul depan novel sudah terlihat bahwa tokoh perempuan menjadi sentral dalam novel ini. Novel ini menceritakan kehidupan perempuan Mesir yang jatuh cinta kepada lakilaki Indonesia. Kang Abik juga menggambarkan posisi perempuan dalam Islam dalam novelnya ini. Dari hal di atas, terlihat bahwa hal-hal yang tabu untuk dibicarakan memiliki kaitan dengan perempuan. Di Indonesia, perempuan biasanya dijadikan objek seks laki-laki. Hal itulah yang biasanya diangkat dalam sebuah karya yang mengangkat unsur seksualitas. Unsur agama yang diangkat pun tak lepas dari sosok perempuan. Perempuan menjadi menarik untuk dibahas dengan segala keindahan yang dimilikinya. Meskipun demikian, karya sastra tetaplah suatu hal Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 4 yang fiktif, tidak nyata meskipun banyak diangkat dari realita sosial. Karya sastra tetaplah hasil kreatif seorang pengarang atas imaji-imaji yang direfleksikan melalui tulisan. Salah satu penulis yang mengangkat perempuan sebagai objek yang menarik untuk dijadikan sebuah karya sastra adalah Damien Dematra. Novel Damien berjudul Demi Allah, Aku Jadi Teroris yang selanjutnya akan disingkat menjadi DAAJT. Laki-laki asal Manado, Sulawesi Utara, ini telah menelurkan sebanyak 83 novel dalam bahasa Indonesia dan Inggris3. Novel-novel karya Damiena Dematra yang telah diterbitkan di Indonesia di antaranya adalah Yogyakarta, Obama Anak Menteng, Si Anak Kampoeng, Sejuta Hati untuk Gus Dur, dan Tarian Maut. Selain menjadi seorang novelis, Damien juga seorang sutradara, penulis skenario, produser, fotografer internasional, dan pelukis. Novel Damien Dematra yang berjudul Demi Allah, Aku Jadi Teroris ini pertama kali diterbitkan Desember 2009 oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Tema yang diangkat dalam novel ini adalah perempuan teroris. Seorang perempuan yang lemah lembut dapat menjadi seorang teroris yang berbahaya karena adanya sebuah pemicu. Damien mengangkat tema seorang perempuan teroris. Tokoh perempuan ini dapat berubah 180 derajat karena faktor tekanan, tekanan yang diterima dari lawan jenis—laki-laki—atau dari lingkungan. Pengarang juga menceritakan perkembangan psikologis seorang perempuan yang mendapat tekanan yang begitu hebat. Perkembangan kepribadian sang tokoh dari kecil hingga ia menjadi seorang teroris. Perang batin yang terjadi dalam batin sang tokoh juga dijelaskan secara gamblang dalam novel ini. Perang batin yang akhirnya membawa seorang perempuan merasa tersubordinasi oleh laki-laki sehingga tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikuti kemauan laki-laki tersebut. Selain menggambarkan seorang perempuan teroris, Damien juga membahas tentang agama dan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat tentang agama yang mereka yakini, dalam hal ini adalah agama Islam. Dalam novel ini dipaparkan bahwa Islam bukanlah agama teroris. Penulis tertarik dengan tema yang diangkat oleh Damien Dematra, yaitu tentang perempuan teroris. Unsur agama pun terlihat kental dalam novel ini. Berbeda dengan Habiburahman El Shirazy yang semua novelnya bertemakan Islam, Damien Dematra bukan merupakan penulis yang fokus dengan tema khusus seperti itu. Penulis tertarik akan penggambaran sosok perempuan teroris dan unsur agama yang diangkat oleh Damien Dematra. Ketertarikan penulis terhadap bahasan tersebut berlandaskan pada pengetahuan penulis tentang sosok teroris yang biasanya merupakan laki-laki. Novel ini menarik karena ternyata perempuan dapat pula menjadi seorang teroris. Hal itulah yang membuat penulis mengkaji lebih dalam masalah-masalah yang ada dalam novel DAAJT tersebut. 2 Telaah Intrinsik Novel Demi Allah, Aku Jadi Teroris 3 [Anonim], [Tanpa Tahun], “Profil”, http://www.damiendematra.com/about%20me.htm. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 5 Dua unsur yang digunakan sebagai alat untuk membedah novel DAAJT, yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yang digunakan antara lain tokoh dan latar. Latar menjadi penting sebagai perpanjangan tangan dari unsur ekstrinsik yang akan dikaji. Novel ini bercerita tentang perempuan dan teroris. Topik inilah yang menjadi kerangka besar pembahasan novel DAAJT. Berangkat dari hal itulah, maka penulis melakukan analisis terhadap intrinsik dan ekstrinsik novel. Namun demikian, sebelum lebih jauh membahas tentang perempuan dan teroris, pada bab ini akan diperkenalkan deskripsi serta ringkasan cerita dan akan dipaparkan telaah unsur intrinsik dalam novel DAAJT. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, unsur intinsik yang akan dikaji adalah tokoh dan latar. Kedua unsur tersebut merupakan pijakan awal untuk menganalisis novel DAAJT. Dalam karya sastra, pendekatan intrinsik digunakan sebagai alat untuk membedah unsur yang ada dalam sebuah karya. Pendekatan intrinsik bersifat tekstual dengan melihat hal apa saja yang ditemukan dalam teks yang diteliti. Unsur dalam pendekatan intrinsik yang dilihat dapat dari tokoh, penokohan, latar, alur, dan tema. Berbicara tokoh dan penokohan dalam sebuah karya berarti berbicara tentang pelaku atau lakon yang menjadi penggerak cerita. Dalam sebuah karya sastra, tokoh memegang peranan penting dalam mengungkapkan keseluruhan cerita atau peristiwa. Tanpa tokoh, peristiwa yang ada dalam sebuah karya sulit menemukan unsur penggeraknya. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi ada pula tokoh yang berwujud benda atau binatang yang diinsankan. Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam cerita, sedangkan penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh4. Kemala merupakan tokoh utama dalam novel DAAJT. Perjalanan hidup tokoh Kemala merupakan perjalanan kisah novel tersebut. Kemala merupakan anak tunggal dari hasil hubungan gelap antara Wisnu dan Madewi. Wisnu merupakan rekan kerja sekaligus atasan Madewi di perusahaan tempat Madewi bekerja. Kemala lahir dengan kecantikan yang telah terpancar dari wajah mungilnya. Penggambaran tersebut didapatkan saat Madewi melahirkan Kemala. Madewi Kurnia menatap haru bayi mungil dalam dekapannya. Bayi perempuan itu sempurna. Matanya indah dan bibirnya mungil. Ia masih berwarna kemerahan. Tangan wanita muda itu bergetar saat ujung jarinya bersentuhan dengan kulit pipi bayinya yang lembut.5 Kemala tumbuh menjadi perempuan yang cantik. Kecantikan Kemala dideskripsikan melalui pencerita secara langsung dan melalui tanggapan tokoh lain atas Kemala. Pada usianya yang menginjak 16 tahun, Kemala tumbuh menjadi perempuan yang memancarkan keeksotisan 4 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), 16. Damien Dematra, Demi Allah, Aku Jadi Teroris (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 5—6. 5 Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 6 khas timur. Tubuhnya molek dan padat, tulang wajah yang tinggi dengan anggun membingkai wajah cantik Kemala. Anak-anak perempuan kecil, berusia lima sampai sepuluh tahun, berteriak riuh-rendah di depannya. Wanita itu berpenampilan menarik, namun tidak pernah benar-benar meluangkan waktu untuk menjaga penampilannya. Tubuhnya termasuk kurus, namun dadanya penuh dan lekukan tubuhnya dalam dan elok. Kulitnya kuning langsat dan bersinar sehat. Namun, yang paling menonjol adalah struktur tulang wajahnya yang tinggi, yang membingkai wajahnya yang berdagu lancip. Matanya indah, dengan bulu mata panjang dan lentik, dan hidungnya mancung. Rambutnya yang berwarna hitam legam sepanjang bahu dan bergelombang indah. Sangat ketimuran, lembut, dan eksotik. Demikianlah kesan yang akan didapat orang-orang yang melihatnya, sekalipun wanita itu tidak pernah menyadarinya.6 Kecantikan Kemala juga dideskripsikan oleh pencerita melalui pandangan tokoh lain terhadap Kemala. Rafa, sahabat Kemala, melihat Kemala sebagai sosok perempuan yang anggun sekaligus dingin. Kedua hal ini menyatu dalam kepribadian seorang Kemala. Rafa mendeskripsikan hal ini melalui penglihatan atau pengindraannya atas Kemala, sahabatnya. Dalam novel DAAJT, terdapat beberapa tokoh sampingan, salah satunya adalah Prakasa. Prakasa adalah tokoh bawahan yang paling banyak berhubungan dengan Kemala. Prakasa memiliki porsi lebih banyak dalam novel DAAJT dibandingkan dengan tokoh bawahan lannya seperti Fatima, Kiai Gadil, Mirasati, dan Rafa. Prakasa merupakan seorang intel yang bertugas di bagian penanganan kasus terorisme. Tidak berbeda jauh dengan Kemala, Prakasa memiliki masa lalu yang kelam. Ayahnya merupakan seorang pengacara dan ibunya merupakan mantan model yang akhirnya memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Prakasa telah menjadi yatim piatu sejak kecil, ibunya tewas di tangan ayahnya sendiri, di depan mata Prakasa. Sang ayah tanpa sengaja membunuh ibu Prakasa karena curiga bahwa istrinya itu berselingkuh dengan lawan kerjanya. Beberapa tahun berselang, sang ayah menghembuskan napas terakhir di rumah sakit sebuah penjara setelah akhirnya bertemu Prakasa kembali. Kisah pahit dalam hidup Prakasa ini yang akhirnya membentuk kepribadiannya. Prakasa tinggal bersama dengan pamannya, Abimanyu. Abimanyu menyayangi Prakasa seperti anak kandungnya sendiri. Akan tetapi, semua kasih sayang yang diberikan Abimanyu terpental kembali karena kekerasan hati Prakasa. Prakasa seperti tidak ingin menerima kasih sayang dari orang lain karena dalam pikirannya orang yang saling menyanyangi dapat saling menyakiti bahkan saling membunuh seperti kedua orang tuanya. 6 Ibid., 63. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 7 “Aku ingin melindunginya,” Abimanyu berkata pelan. “Tapi tidak mudah menjadi ayah angkat. Anak itu memantulkan kembali semua perhatian yang kuberikan kepadanya.”7 Selain keras pada diri sendiri, Prakasa memiliki pengendalian diri yang baik. Ia mampu menahan segala emosinya dan menutupinya dengan sifat acuh. Hal tersebut tercermin saat Sartoyo melihat kepedihan yang dalam di mata Prakasa dan mencoba menenangkannya dengan tersenyum. Akan tetapi, Prakasa dengan tenang mengajak Abimanyu pulang. Prakasa mengacuhkan perhatian yang hendak diberikan oleh Sartoyo. Begitulah cara Prakasa untuk membentengi dirinya. Sartoyo melihat kilatan kepedihan yang dalam di mata Prakasa dan merasa terenyum melihatnya. Cahaya kecil dalam mata itu memendarkan sinar kepedihan yang dalam… Sartoyo sudah hampir mengucapkan sesuatu untuk menghiburnya saat ia mendengar Prakasa berkata tenang sambil menatap Abimanyu, “Ayo kita pulang, Oom.”8 Kekerasan hati Prakasa lebih banyak ditunjukkan oleh tokoh lain seperti Sartoyo dan Abimanyu. Abimanyu berpikir bahwa kekerasan hati Prakasa, selain akibat dari masa lalunya yang kelam, juga merupakan turunan dari ayahnya, kakak dari Abimanyu. Tidak berbeda dengan Prakasa, kakaknya pun keras terhadap dirinya sendiri. Saat ia sadar telah membunuh istrinya, Setiawan, ayah Prakasa, meminta pengadilan untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya atas tindakan yang telah dilakukannya. Setiawan tidak meminta dibela sedikit pun. Sifat keras terhadap diri sendiri itulah yang menurun pada anaknya, Prakasa. Abimanyu Setiawan mendesah dan berpikir dalam hati. Sama seperti ayahnya. Mereka sama-sama keras terhadap kehidupan mereka sendiri.9 Selain tokoh dan penokohan, unsur intrinsik lain yang dibahas adalah latar. Latar yang akan dibahas dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu latar waktu dan latar tempat. Kedua latar ini akan menunjukkan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi dalam novel serta membantu menemukan peristiwa-peristiwa yang dimunculkan dalam novel. Pembahasan latar juga membantu untuk melakukan analisis pada tahap berikutnya. Latar waktu dalam novel ditandai dengan adanya angka tahun yang terdapat pada tiap awal bab. Latar tempat dalam novel dibagi menjadi tiga, yaitu Café Bistro Amerika, Jakarta, dan Pegunungan (Camp Pelatihan). Pembagian latar tersebut didasarkan atas banyaknya latar yang sering digunakan dalam novel. 7 Ibid., 25. Ibid., 26—27. 9 Ibid., 27. 8 Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 8 3 Perempuan, Laki-Laki, dan Terorisme Pendekatan ekstrinsik dipergunakan guna melihat hubungan sebuah karya dengan hal di luar karya tersebut. Pencerminan atau penggambaran masyarakat dalam sebuah karya dapat dilihat dari unsur ekstrinsik yang ada dalam karya. Pembacaan sosiologi sastra dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan terorisme di Indonesia dengan terorisme dalam novel DAAJT. Selain itu, dilakukan pula analisis gender untuk mengetahui posisi perempuan, laki-laki, dan terorisme dalam novel ini. Sebelum melangkah ke pembahasan sosiologi sastra dan gender, terlebih dahulu dijelaskan tentang terorisme secara umum serta terorisme di Indonesia. Sapardi Djoko Damono10 mengungkapkan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada dengan segala permasalahan sosial, ekonomi, agama, politik, dan lain-lain. Sedangkan karya sastra sendiri adalah sebuah karya hasil imaji pengarang. Jadi, sosiologi sastra dapat diartikan sebagai pendekatan terhadap sebuah karya sastra dengan mempertimbangkan unsur-unsur kemasyarakatan yang ada di dalamnya, seperti unsur sosial, ekonomi, budaya, politik dan agama. Seperti sifat sastra yaitu Dulce et Utile yang berarti menghibur sekaligus memberi pengetahuan, sastra memiliki fungsi sosial. Manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi ini menyiratkan bahwa permasalahan studi sastra merupakan masalah sosial. Sastra dapat dikaitkan dengan situasi tertentu, atau dapat juga dikaitkan dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Akan tetapi, jika sastra ditasbihkan sebagai cerminan dari suatu kondisi sosial pada zaman tertentu merupakan hal yang salah. Kembali pada hakikat sastra, fiksi, imaji pengarang sangat kuat dalam pembentukan sebuah karya. Jadi, mungkin saja sebuah karya mengekspresikan hidup, tetapi bukan “mencerminkan” karena mencerminkan berarti merefleksikan secara menyeluruh, tidak ada batasan dalam pencerminan tersebut, hal yang bertentangan dengan prinsip karya fiksi. Pembahasan mengenai sastra dan masyarakat tersebut terangkat menjadi sosiologi sastra. Sosiologi sastra dapat menggiring pembaca mengetahui situasi yang ada dalam karya tersebut. Meskipun tidak dapat seratus persen dikatakan mewakili keadaan zaman pada saat karya sastra itu dibuat karena mungkin ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sudah tidak berlaku lagi pada saat karya dibuat, tetapi pembaca tetap dapat melihat bahwa ternyata ada kondisi sosial seperti yang ada dalam karya sastra terjadi dalam dunia nyata. Hal tersebut dikarenakan sebuah karya sastra terdiri atas fakta yang ditambahkan imajinasi pengarang, jadi sangat tidak menutup 10 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (Ciputat: Editum, 1984), 6. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 9 kemungkinan bahwa sebuah karya mewakili11, bukan berarti mencerminkan, keadaan suatu zaman tertentu. Sosiologi dan sastra sebenarnya dua bidang yang tidak berdekatan, sastra penuh dengan imaji, sedangkan sosiologi mempelajari keadaan masyarakat pada dunia nyata. Akan tetapi, hal tersebut ternyata dapat digabungkan dari dua bidang ilmu yang berbeda menjadi satu pendekatan yang dapat memberikan ilmu baru. Dalam novel DAAJT, selain unsur sosiologi sastra yang menonjol, unsur gender pun sarat dalam novel ini. Belakangan ini, gender menjadi isu yang kembali hangat diperbincangkan. Banyak fasilitas yang mengatasnamakan gender, misalnya, gerbong khusus wanita dan kereta khusus wanita. Perempuan atau dalam kasus ini—wanita—mendapat fasilitas yang berbeda dari laki-laki. Hal tersebut didasarkan pada kepentingan perempuan. Hal yang malah menjadikan gender semakin tidak memiliki makna di masyarakat. Laki-laki merasa diperlakukan tidak adil atas nama kesetaraan gender tersebut. Gender adalah cara masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan serta memberikan peran-peran sosial kepada mereka.12 Dari definisi tersebut, terlihat bahwa sebenarnya penggunaan kata gender pada kasus gerbong dan kereta khusus wanita itu tidak sesuai dengan pengertian gender yang sebenarnya. Gender berkaitan dengan peran seorang laki-laki dan perempuan. Pembentukan gender terjadi karena nilai-nilai yang ditanamkan pada individu tempat ia tinggal. Gender tidak bersifat kodrati seperti jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, yang memang sudah terbentuk sejak individu lahir. Hal-hal yang bersifat biologis seperti seorang perempuan yang memang ditakdirkan memiliki rahim agar dapat mengandung dan laki-laki yang memiliki jakun bukan merupakan gender. Perbedaan gender dan seks sebenarnya jelas terlihat. Seks merupakan pembagian jenis kelamin berdasarkan biologis, sedangkan gender adalah pembagian peran yang didasarkan pada perbedaan seksual biologi13, termasuk di dalamnya yang disebut sebagai identitas gender14. Melalui pembacaan sosiologi sastra, novel DAAJT merupakan cerminan atas kasus teror yang dilakukan para teroris di Indonesia. Ditemukan bahwa adanya keterkaitan aksi terorisme dalam novel dengan aksi terorisme di Indonesia. Tempat serta tahun yang serupa menandakan adanya keterkaitan tersebut. Terorisme sendiri ada di Indonesia sejak zaman orde baru. Perekrutan Sifat “mewakili zaman” dianggap sebagai hasil kehebatan nilai artistik suatu karya sastra. Karya sastra yang jelek atau yang biasa-biasa saja—walaupun dianggap sebagai dokumen sosial yang lebih baik dari ahli sosiologi modern—dinilai tidak ekspresif oleh Traine; jadi, tidak mewakili zamannya. Sastra bagi aliran ini bukan cerminan proses sosial, melainkan intisari dan ringkasan dari semua sejarah (Wellek & Warren, 1989:111). 12 Kamla Bashin, Memahami Gender (Jakarta: Teplok Press, 2001), 1. 13 Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), 27. 14 Identitas gender adalah definisi atas diri seseorang sebagai laki-laki dan perempuan. Karakterisrik perilaku yang berkembang merupakan hasil dari interaksi kompleks antara kondisi biologisnya sebagai perempuan atau laki-laki. Perkembangan identitas gender ini dimulai sejak lahir, sejak berinteraksi dengan orang-orang tertentu (ayah, ibu, atau pengasuh). 11 Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 10 anggota hingga pelatihan yang dilakukan para pimpinan teroris memiliki konsep yang mirip. Mereka merekrut anggota untuk menjadikan mereka seorang militan yang dapat berperang melawan musuh yang telah mereka tetapkan. Karakteristik teroris antara lain terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, dan militan. Taktik yang dilakukan teroris sangat rapi. Mereka memiliki ahli-ahli dalam bidangnya masingmasing. Hal tersebut terbentuk karena organisasi mereka sangat kuat. Dalam novel Kemala pun dilatih secara militant oleh ahli-ahli dalam bidangnya, ada ahli taktik dan strategi, ahli perakitan senjata, serta ahli ilmu umum. Ustadz Mansur, seorang yang berbadan tegap dengan mata tajam cerdas, dan kumis tebal menatap murid-muridnya. Saat itu mereka berada dalam sebuah gudang besar, yang diisi boks-boks kayu yang ditutupi oleh terpal. Ia mengambil sebuah granat. “Ini adalah granat. Saat memegangnya, yang paling penting adalah leher dan granat digenggam dengan tangan kanan, dan jempol kiri dimasukkan ke dalam ring, siaga untuk menarik ring…”15 “Sementara itu, ustadz yang mengajarkan ilmu umum, Ustadz Ali, menghampiri pria asing itu dengan berjalan menjauh pula.16 Dalam camp, Kemala mendapat pelatihan khusus dari ahlinya. Ada Ustadz Mansur yang mengajarkan cara menggunakan senjata dan bela diri. Ada pula Ustadz Ali yang mengajarkan ilmu umum. Hal itu dilakukan agar para anggota memiliki keterampilan dan kecakapan dalam ilmu umum dan ilmu persenjataan. Aksi yang dilakukan terorisme dalam novel adalah aksi teror dengan cara pengeboman. Pada tahun 2000-2004, di Indonesia sendiri marak aksi teror dengan jalan pengeboman. Salah satu contoh adalah aksi bom bunuh diri yang dilakukan terorisme di Bali pada tahun 2002. Dalam novel, aksi teror yang dilakukan terorisme pun dengan jalan bom bunuh diri. Kemala digunakan sebagai alat para teroris untuk menjalankan aksinya. Kemala ditugaskan menyamar menjadi penari di sebuah kafe di Jakarta guna menyelidiki dan memata-matai kegiatan kafe tersebut. Setelah itu Kemala mendapat tugas untuk melakukan hal yang mereka anggap suci, melakukan bom bunuh diri di kafe tersebut, Kafe Bistro Amerika. Karena menurut mereka, kafe tersebut penuh dengan orang kafir. Mereka sangat membenci orang kafir dan orang Amerika. Kemala pun akhirnya menjalankan tugasnya sebagai bom manusia. Di dalam tubuhnya dipasangi sejumlah bom yang dapat diledakkan dengan remote control yang sudah disiapkan para teroris untuknya. “Kemala?” Salah seorang dokter bertanya padanya. Tangannya telah ditutu sarung tangan steril. Bau alkohol sangat menyengat. “Kami diminta memasukkan sebuah benda penting ke dalam tubuhmu. Kami tidak mengetahui apa itu, dan 15 16 Dematra, op.cit., 148. Ibid., 150. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 11 kami tidak ingin tahu. Orang itu juga menitipkan sebuah amplop coklat dalam kamar operasi. Katanya kau akan membutuhkannya.17 Sebelum Kemala, anggota teroris yang melakukan bom bunuh diri adalah Hamal. Hamal memasang bom di tubuhnya saat ia akan ditangkap anggota intel. Selain untuk mengebom suatu tempat, bom bunuh diri dilakukan teroris saat para teroris berada dalam situasi yang terdesak sehingga tidak memungkinkan untuk lari. Teroris memilih untuk mati syahid sekaligus meledakkan para intel daripada harus tertangkap. Hal tersebut teroris lakukan selain demi keyakinan yang mereka anut bahwa mati dalam jalan Allah adalah syahid dan langsung masuk surga, juga demi menjaga kerahasiaan organisasi. Anggota teroris tersebut sudah didoktrin sedemikian rupa sehingga rela mengorbankan nyawa demi menjaga kerahasiaan organisasi. Tidak ada benda yang meledak ataupun jatuh dari atas pintu. Prakasa langsung menyadari bahwa pria itu bukanlah kelas kakap. Mereka menyerbu masuk. Hasan dan Toni memeriksa ruangan-ruangan yang sempit, sementara Prakasa menatap Hamal yang berkeringat sambil menodongkan senjatanya. Dengan cermat ia mempelajari bom bunuh diri yang melekat di tubuh Hamal.18 Melihat latar waktu pengeboman dalam novel DAAJT, yakni tahun 2010, aksi yang dilakukan teroris dalam novel serupa dengan aksi terorisme yang terjadi di Jakarta pada 17 Juli tahun 2009. Pengeboman Hotel JW Marriot terjadi pada tahun 2009. Pengeboman dengan jalan bom bunuh diri semakin marak karena cara ini merupakan cara yang efektif dan aman untuk dilakukan. Polisi bahkan intel sulit melacak bom bunuh diri karena biasanya bom dimasukkan ke dalam tubuh manusia seperti yang dilakukan para teroris pada Kemala. Kedua aksi bom ini berdekatan. Dalam novel, aksi bom bunuh diri oleh Kemala terjadi pada Mei 2010, sedangkan dalam realita, pengeboman JW Marriot terjadi pada Juli 2009. Keterkaitan ini terjadi karena pengarang mendapat inspirasi dari aksi pengeboman yang marak terjadi di Jakarta pada saat itu. Rekam jejak pengeboman pun mirip, mulai dari pelatihan teroris hingga aksi pada hari H. Dalam novel DAAJT, pola tersebut terjadi pada Kemala, seorang mahasiswi yang direkrut oleh kelompok teroris untuk menjadi bagian dari mereka. Kemala dibaiat dan dilatih menjadi seorang militan. Hal tersebut mengubah kepribadian Kemala yang awalnya lemah lembuh menjadi keras dan penuh rasa benci. Selain itu, Kemala merupakan perempuan teroris. Di dalam novel hal tersebut tidak dianggap aneh. Berbeda dengan yang terjadi di masyarakat. Melalui analisis gender, seorang perempuan teroris dianggap aneh karena tidak lazim di masyarakat. Seorang teroris pada umumnya adalah seorang laki-laki karena teror merupakan hal yang keras dan berbahaya, tidak cocok untuk seorang perempuan yang dianggap lemah lembut. Hal itulah 17 18 Ibid., 194. Ibid., 140. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 12 yang membedakan stereotip masyarakat dalam kehidupan nyata dengan masyarakat dalam novel yang memandang perempuan teroris adalah hal yang wajar, tidak ubahnya dengan laki-laki teroris. Erich Fromm19 menyatakan bahwa perbedaan biologis tertentu berakhir dalam perbedaan karakterologikal; perbedaan-perbedaan tersebut bercampur dengan perbedaan yang secara langsung diproduksi oleh faktor sosial. Faktor sosial itulah yang efeknya lebih kuat sehingga dapat meningkatkan, mengeliminasi, atau membalikkan perbedaan-perbedaan yang berakar secara biologi. Pada akhirnya, karakter perempuan dan laki-laki tidak pernah membuat perbedaan dalam hal nilai karena tidak secara langsung dibatasi oleh kebudayaan. Dapat dikatakan, perbedaanperbedaan karakterologikal bukanlah perbedaan dalam hal “benar” atau “salah”, tetapi lebih kepada penyematan “baik” atau “buruk” yang diberikan oleh masyarakat. Penyematan tersebut ada yang didasarkan atas jenis kelamin seperti yang terjadi di Indonesia, peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki dapat dicap “baik” atau “buruk” jika sesuai atau tidak sesuai dengan paham yang dianut masyarakat. Indonesia sendiri masih menganut system patriarkal yang taat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perempuan dianggap inferior, sedangkan laki-laki dianggap superior. Konsepsi bahwa perempuan itu lemah juga tergambar dalam novel. Perempuan yang menjadi anggota kelompok dianggap lemah sehingga perlu mendapatkan pelatihan yang keras agar dapat sama dengan laki-laki. Perempuan diajarkan menggunakan senjata karena senjata merupakan lambang kejantanan yang hanya dimiliki oleh laki-laki dan perempuan yang ingin menjadi kuat seperti laki-laki harus bersusah payah menggunakan senjata dengan baik. “Tarik kokang kalian dan tembak! Jangan seperti wanita, sekalipun kalian wanita! Jangan tunjukkan kelemahan kalian! Fatin! Perlakukan senjata itu dengan jantan!” Mansur berteriak di dekat telinga Kemala.20 Dengan kelemahan perempuan yang seperti itu, laki-laki dengan mudah menggunakan perempuan sebagai alat untuk menjalankan tujuan mereka. Pada kutipan di bawah ini terlihat bahwa Kiai Gadil mempercayakan tugas yang sangat penting ini pada Kemala untuk menyamar di Kafe Bistro Amerika karena ia adalah seorang perempuan. Hal tersebut berlandaskan pada pemikiran bahwa perempuan adalah makhluk lemah, jadi tidak mungkin orang-orang menaruh curiga pada Kemala yang seorang perempuan. Perempuan dianggap tidak menjadi ancaman yang berarti. Kiai Gadil memanfaatkan stereotip masyarakat yang seperti itu untuk memasukkan Kemala menjadi mata-mata di Kafe Bistro Amerika dan ternyata hal tersebut berhasil. Terlihat bahwa stereotip tentang perempuan itu lemah dan tidak membahayakan masih ada dalam masyarakat. 19 Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriarki: Kajian Komprehensif tentang Gender (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 121 20 Dematra, op. cit., 149. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 13 “Ya, Abdullah. Tidak ada orang yang lebih sesuai daripada dirinya dalam kasus ini. Ia dapat masuk tanpa dicurigai di sana. Ia seorang wanita, penari. Aku akan menugaskan anta untuk daerah lain.”21 Pada kenyataannya, pemilihan perempuan sebagai teroris merupakan suatu pendobrakan. Dalam masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, para pelaku teror pada umumnya adalah laki-laki. Hingga saat ini belum ditemukan perempuan sebagai teroris. Contohnya, pelaku aksi pengeboman yang terjadi di Bali pada tahun 2002 dan 2005 adalah laki-laki antara lain Imam Samudra, Amrozi, Ali Imron, dan Ali Ghufron. Keempat pelaku tersebut mendapat hukuman mati atas perbuatan yang mereka lakukan. Perempuan dalam kehidupan teroris hanya sebatas peran sebagai seorang istri. Keempat teroris tersebut cenderung melindungi keluarganya (orang tua, mertua, istri, dan anak-anak) dengan tidak memberi tahu hal yang mereka lakukan selama ini. Saat tertangkap pun, perempuan dalam kehidupan teroris tidak ada kaitannya dengan kejahatan yang dilakukan para suami. Perempuan benar-benar tidak memiliki keterkaitan sedikit pun dengan aksi teroris di Indonesia. Berbeda dengan novel, pelaku yang melakukan bom bunuh diri adalah Kemala, seorang perempuan. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan pun dapat melakukan hal yang dalam pikiran masyarakat hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Dengan dimunculkannya perempuan sebagai teroris, pengarang seolah-olah ingin mendobrak stereotip yang ada di masyarakat. Perempuan disimbolkan sangat kuat dalam novel ini, bahkan kekuatannya dapat melebihi laki-laki. 4 Simpulan Novel DAAJT secara intrinsik menggunakan tokoh-tokoh yang jelas penggambaran baik buruknya. Tokoh baik digambarkan dengan jelas sebagai tokoh baik begitu pun sebaliknya. Penggambaran tokoh dilakukan dengan menggunakan teknik lakuan dan uraian. Penggambaran lakuan berarti mengetahui sifat tokoh melalui hal yang ia lakukan, sedangkan penggambaran uraian berarti sifat-sifat tokoh dijelaskan oleh narator. Dalam novel DAAJT, kedua teknik penggambaran tersebut seimbang. Ada kalanya penulis mengetahui sifat tokoh dari lakuan yang dilakukan tokoh, tetapi ada kalanya juga diketahui dari pandangan tokoh lain. Dalam novel DAAJT, tokoh yang memiliki porsi terbanyak adalah Kemala sebagai tokoh sentral. Kemala berperan sebagai penggerak cerita. Semua peristiwa yang ada dalam novel berhubungan dengan Kemala. Kemala terlibat dalam kejadian-kejadian dalam novel, mulai dari pemerkosaan, pembaiatan, terorisme, hingga penangkapan teroris oleh intel. Hal itulah yang membuat Kemala menjadi tokoh sentral dalam novel DAATJ. Kedua adalah Prakasa, tokoh bawahan yang paling banyak berhubungan dengan Kemala. Prakasa memiliki porsi lebih banyak dalam novel DAAJT dibandingkan dengan tokoh bawahan 21 Ibid., 152. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 14 lannya seperti Fatima, Kiai Gadil, Mirasati, dan Rafa. Selain hubungannya dengan Kemala dalam kisah ini, Prakasa menjadi satu-satunya tokoh bawahan yang memiliki cerita sendiri dalam novel DAAJT, terlepas dari kaitannya dengan Kemala sebagai tokoh utama. Tokoh-tokoh di dalam DAAJT merupakan sosok representasi dari kehidupan sosial pada zaman ini. Peristiwa yang terjadi dalam novel sangat dekat dengan kehidupan nyata karena ada beberapa kejadian yang sangat mirip dengan kejadian yang ada di Indonesia. Dalam novel DAAJT, Kemala sebagai perempuan berperan menjadi objek dan subjek. Kemala sebagai objek saat dirinya dimanfaatkan oleh teroris, tubuhnya digunakan untuk menjadi mata-mata. Kemala dimanfaatkan untuk menjadi penari di Kafe Bistro Amerika. Selain itu, Kemala pun dijadikan objek seks oleh Hamal, salah satu anggota teroris, dengan cara memperkosanya. Kemala merasa putus asa karena telah diperkosa. Hal tersebut menimbulkan kebencian mendalam terhadap orang yang telah memperkosanya. Kemala merasa terintimidasi oleh peristiwa yang bahkan belum pernah ia bayangkan seumur hidup. Saat Kemala merasa terpuruk seperti itulah ia berada dalam sebuah kelompok yang fanatik, yang melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya. Berangkat dari hal tersebut, akhirnya Kemala bermetamorfosis dari seorang perempuan baik-baik dan lemah lembut menjadi seorang perempuan militan yang sanggup membunuh siapa pun. Komposisi rasa tertekan seorang manusia akibat kekerasan yang diderita dengan rasa tertekan seorang perempuan akibat perlakuan laki-laki dapat menjadi begitu berbahaya. Kemala berubah menjadi seorang teroris. Kemala digunakan oleh organisasi teroris layaknya boneka yang digerakkan sesuai keinginan organisasi. Kemala sebagai subjek adalah saat Kemala bertemu dengan Prakasa. Kemala akhirnya sadar jika perbuatannya selama ini salah dan akhirnya membantu Prakasa memberantas organisasi teroris. Kemala juga mengajak Fatima untuk kembali ke jalan yang benar, menyadari bahwa menebarkan teror merupakan hal yang salah. Selain itu, Kemala mengalami ketidakadilan gender. Kemala mengalami subordinasi yang dilakukan oleh Kiai Gadil. Kemala dianggap tidak layak untuk menjadi pemimpin karena ia merupakan seorang perempuan. Anggapan-anggapan negatif terhadap Kemala itulah yang menimbulkan stereotip. Kemala sebagai perempuan distereotipkan sosok lemah yang dapat ditindas oleh laki-laki. Stereotip seperti itulah yang membuat Hamal berani melakukan tindak kekerasan terhadap Kemala dengan memperkosa perempuan itu. Terlihat bahwa Kemala mengalami ketidakadilan gender, antara lain subordinasi, stereotip, dan kekerasan. Selain gender, ditemukan bahwa adanya keterkaitan aksi terorisme dalam novel dengan aksi terorisme di Indonesia. Tempat serta tahun yang serupa menandakan adanya keterkaitan tersebut. Terorisme sendiri ada di Indonesia sejak zaman orde baru. Perekrutan anggota hingga pelatihan yang dilakukan para pimpinan teroris memiliki konsep yang mirip. Mereka merekrut anggota untuk menjadikan mereka seorang militan yang dapat berperang melawan musuh yang telah mereka tetapkan. Peristiwa dalam novel DAAJT ternyata memiliki kemiripan dengan kasus Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 15 teroris yang ada di Indonesia, khususnya di Jakarta. Penulis menemukan dua hal yang menunjukkan kemiripan tersebut. Pertama, kemiripan tersebut berada di tokoh dan kedua, kemiripan tersebut berada di latar waktu serta latar tempat dalam cerita. Terdapat tokoh Kiai Gadil sebagai pemimpin teroris yang berdisiplin tinggi dalam membentuk sosok Kemala sebagai seorang teroris. Latar tempat dan latar waktu dalam novel DAAJT memiliki kemiripan dengan kasus pengeboman yang terjadi di Jakarta. Latar waktu pengeboman dalam novel terjadi tahun 2010, tidak terpaut jauh dengan pengeboman yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton pada tahun 2009. Latar tempat pengeboman yang dilakukan di Jakarta serta camp pelatihan teroris yang berada di daerah pegunungan mirip dengan tempat-tempat teroris yang pernah digerebek oleh pihak kepolisian, yaitu di daerah pegunungan atau di dalam hutan yang sulit untuk dijangkau orang banyak. Selain itu, motif dari teroris dalam novel DAAJT yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam memiliki kemiripan dengan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang ada di Indonesia. Daftar Pustaka Buku Altorki, Soraya dan Camillia Fawzi El-Solh.ed. 1989 Arab Woman in the Field. Egypt: The American University in Cairo Press. Aminuddin. 1984. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. Bashin, Kamla. 2001. Memahami Gender (terj. Moh. Zaki Hussein). Jakarta: Teplok Press. Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum. Dematra, Damien. 2009. Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Fromm, Erich. 2011. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki: Kajian Komprehensif tentang Gender. Yogyakarta: Jalasutra. K. S., Yudiono. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa. Mantik, Maria Josephine Kumaat. 2006. Gender dalam Sastra. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Manullang, A.C. 2006. Terorisme & Perang Intelijen. Jakarta: Manna Zaitun. Pedoman Operasi Terpadu dalam Penanganan Aksi Terorisme 2004. Desk Koordinasi Pemberantasan Korupsi. Rimmon. Shlomith dan Kenan. 2002. Narrative Fiction: Contemporary Poetics, 2nd edition. London dan New York: Routledge. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013 16 Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2012. Terorisme di Indonesia: dalam Tinjauan Psikologi. Tangerang: PT Pustaka Alvabet. Slamet, Suprapti dan Sumarmo Markam. 2007. Pengantar Psikologi Klinis. Depok: Universitas Indonesia (UI-Press). Stern, Jessica. 2004. Terror in the Name of God: Why Religious Militans Kill. New York: Harper Collins Publishers Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Toda, Dami N. 2005. Apakah Sastra?. Magelang: Indonesiatera. Wadud, Amina. 1999. Qur’an and Woman: Recreaded the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York. Oxford University Press. Wahid, Abdul, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik. 2004. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM, dan Hukum. Bandung: PT Refika Aditama. Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. Internet [Anonim]. [Tanpa Tahun]. “Profil”. http://www.damiendematra.com/about%20me.htm. Diakses 21 Maret 2013. Kurniawan, Tri. 2011. “Baasyir: Pelaku Bom Masjid Kafir”. http://news.okezone.com/read/2011/04/15/337/446545/baasyir-pelaku-bom-masjid-kafir. Diakses 10 Mei 2013 pukul 00:23 WIB. Purwadi, Didi. 2011. “Abu Bakar Ba'asyir: Pelaku Bom Cirebon Kafir”. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/04/15/ljozii-abu-bakar-baasyir-pelaku-bomcirebon-kafir. Diakses 10 Mei 2013 pukul 01:00 WIB. Perempuan, Laki-laki..., Qurrotul Ainiy, FIB UI, 2013