TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Struktur di Arsitektur Nusantara Murtijas Sulistijowati Jurusan A rsitektur, F akultas Teknik S ipil dan P erencanaan, Institut Teknologi S epuluh N ov ember S urabay a. Abstrak Arsitektur Nusantara berbeda dengan arsitektur Eropa. Arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan. Arsitektur Eropa merupakan arsitektur perlindungan. Sebagai arsitektur pernaungan, Arsitektur Nusantara memiliki ciri-khas pada struktur landasan, struktur badan dan struktur atap. Artikel ini membahas ciri-khas struktur landasan Nias Utara, Nias Selatan, Tongkonan Toraja, Lobo Ngata Toro, dan Adat Bolon Pematang Purba, serta struktur badan Toraja, Nias Utara dan Batak Karo. Pada Arsitekur Nusantara dit emukan ciri-khas struktur landasan, struktur badan, dan struktur atap terpisah dengan selungkupnya. Selungkup hanyalah tirai non-struktural yang dapat ditempatkan dan diganti dengan mudah. Kata-kunci : arsitektur nusantara, struktur landasan, struktur badan, struktur atap, selungkup Adalah suatu kenyataan bahwa bumi yang kita pijak saat ini, tema yang sedang akan kita bicarakan “Arsitektur Nusantara” terletak di daerah khatulistiwa yang kaya akan sinar matahari dan mempunyai 2 (dua) musim yang berbeda dengan belahan bumi yang lain. Arsitektur Nusantara adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang di daerah tropis lembab tersebar di Kepulauan Nusantara (sekitar 17000 pulau); terletak di daerah cincin api ( Ring of Fire ) dunia; mempunyai kekayaan hutan basah yang mampu menyumbangkan oksigen bagi dunia secara signifikan dan sejarah menyatakan bahwa Nusan-tara ditengarai telah dihuni oleh peradaban manusia sejak 70.000 tahun yang silam. Di sisi lain, Josef Prijotomo (2012) menyatakan bahwa Arsitektur Nusantara hendaklah dilihat, dipelajari, dan dipahami sebagai arsitektur yang berbeda dengan arsitektur di Eropa. Josef Prijotomo menyampaikan perbedaan arsitektur Nusantara dari arsitektur Eropa, khususnya untuk arsitektur Eropa hingga masa Neo-Klasik. Beberapa perbedaan itu adalah : 1. Arsitektur Nusantara dua musim, sedang arsitektur Eropa itu arsitektur 4 musim. 2. Arsitektur Nusantara melibatkan lautan dan daratan sedang arsitektur Eropa hanya melibat kan daratan saja. 3. Arsitektur Nusantara tidak mematikan karya anak bangsanya sedang arsitektur Eropa mematikan arsitektur anak benua. 4. Arsitektur Nusantara menggunakan bahan bangunan yang organik sedang arsitektur Eropa adalah arsitektur batu/anorganik. 5. Arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan dan arsitektur Eropa adalah arsitektur Perlindungan. 6. Arsitektur Nusantara bersolek di (tampang) luar dan arsitektur Eropa bersolek di (tampang) dalam. 7. Arsitektur Nusantara berkonstruksi tanggap gempa sedang arsitektur Eropa berkonstruksi tanpa gempa. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | 19 Struktur di Arsitektur Nusantara 8. Arsitektur mengonsepkan pelestarian dengan ketergantian sedang arsitektur Eropa mengonsepkannya sebagai menjaga dan merawat. 9. Arsitektur Nusantara menjadikan perapian utamanya untuk mengawetkan bahan bangunan organiknya, sedang arsitektur Eropa untuk menghangatkan ruangan dan menjadikannya galih ( core ) dari huniannya. 10. Arsitektur Nusantara mengonsepkan kesementaraan sedang arsitektur Eropa mengonsepkan keabadian. 11. Arsitektur Nusantara adalah arsitektur “kami/kita” sedang arsitektur Eropa adalah arsitektur “aku” Begitu panjang perbedaan yang ditemui di Arsitektur Nusantara bila dipersandingkan dengan arsitektur yang lain, begitu luas kemungkinan yang dapat digunakan untuk menggali dan menemukan serta mengungkapkan apa saja yang ada di Arsitektur Nusantara. Mempelajari Arsitektur Nusantara dengan tepat harus ditegaskan lebih dahulu ruang dan waktu dari kegiatan yang dilakukan. Penjelajahan pengetahuan Arsitektur Nusantara tentu saja menggunakan data arsitektur tradisional untuk dianalisis dan diinterpretasikan secara arsitektural. Mari kita coba untuk menemukan apa yang terselip di antara lipatan-lipatan kekayaan keragaman arsitektur tradisional di Nusantara karena pasti ada sesuatu yang perlu diungkapkan sebagai pengetahuan yang dapat dipelajari dan akan memperkaya kita dalam memahami arsitektur anak bangsa di Nusantara ke depan. Struktur Bawah Struktur dimengerti sebagai sarana untuk menyalurkan beban dan akibat penggunaan dan atau kehadiran bangunan ke dalam tanah. Sarana di sini adalah obyek fisik dan nyata yang merupakan organisasi yang secara keseluruhan terdiri dari unsur-unsur pokok bangunan yang ditempatkan dalam ruang dengan interaksi dari bagian-bagiannya (taat pada prinsip-prinsip dasar perilaku gaya obyek fisik) secara utuh/kesatuan. 20 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 Oleh karena itu dalam memahami suatu struktur ada 3 (tiga) faktor yang harus diperhatikan yaitu unsur-unsur pokok yang saling bekerja sama; tata letak antar unsur-unsur tersebut dan bagaimana unsur-unsur tersebut dikonstruksikan sehingga secara keseluruhan bekerjasama melayani fungsi aktifitas di dalamnya. Mempelajari struktur di Arsitektur Tradisional dengan pengetahuan ke-arsitektur-an yang akan disampaikan memang hanya dilakukan dengan metode pendekatan logika gejala gaya yang diduga. Unsur bangunan dan/atau perencanaan komponen struktur yang ada diamati bentuk dan konstruksinya. Berikut ini akan disampaikan beberapa temuan pada Arsitektur Nusantara bagaimana organisasi struktur bangunan berprilaku dalam menanggapi beban lateral (gempa). Dalam menghadapi gempa, sebuah bangunan akan berperilaku plastis (daktail terhadap ge mpa) disebabkan oleh perencanaan bangunan yang berkaitan dengan konfigurasi atau tata letak unsur-unsur struktur bangunan dan konstruksi pada komponen strukturnya. Sistem struktur pada akhirnya harus dengan aman menyalurkan semua beban bagian struktur ke tanah. Pada intinya, sistem struktur sebuah bangunan, dibangun berdasarkan pemecahan statika gaya sistem strukturnya agar tetap dalam kondisi seimbang. Pada arsitektur tradisional di Nusantara banyak dijumpai rumah-rumah panggung yang berdiri di atas struktur tiang-tiang kayu sebagai landasan, bagian di atasnya terdapat lantai bangunan yang dinaungi oleh atap dan biasanya dengan kemiringan yang curam. Ditemui pada landasan bangunan tiang-tiang dengan berbagai posisi (ada yang diletakkan tegak tetapi juga ditemui tiang-tiang kayu yang direbahkan dan dijumpai pula adanya tiang kayu yang dirikan menyilang). Jenis kayu bervariasi tergantung ketersediaan jenis kayu yang terdapat di sekitarnya. Tinggi dan dimensi kayu serta jarak antar tiang pun ditemui berbagai macam. Rumah Lamin di Kalimantan; Rumah Limas di Palembang; rumah Bumbungan Limo di Sumatra Barat; rumah Tongkonan di Toraja adalah beberapa contoh bangunan yang Murtijas Sulistijow ati mempunyai tiang tinggi. Tiang-tiang ini dipersatukan dengan balok kayu datar dengan konstruksi fleksibel dengan konstruksi ikat dan atau balok kayu mendatar bertugas sebagai pendukung rusuk penahan papan lantai. Sedang rumah tradisional Sunda, Bali, Bugis adalah contoh rumah dengan tiang-tiang pendek, di mana tidak ditemui bracing . Bila kita perhatikan rumah-rumah tradisional yang terletak di daerah level kegempaan tinggi di Nusantara, sistem struktur pasak rumah tradisional Nias Utara dan Nias Selatan menanggapi gaya lateralnya secara khas yaitu dengan memilih bahan dari gelondong kayu sebagai tiang tegak dan tiang bracing miring dengan perletakan yang rapat. Sedang di rumah Batak Simalungun landasan tidak ditemui adanya bracing , tetapi demensi gelondong kayu sangat besar. Struktur Landasan di Nias Utara lateral akibat gempa (yang relatif lebih besar dari tempat lain) dan kesadaran akan karakter bahan bangunan ditanggapi dengan perencanaan struktur di mana gaya reaksi yang dialami satu bagian struktur (goyangan pada tiang/balok utama) menjadi gaya aksi bagi bagian struktur lainnya melalui gaya reaksi balok-balok bracing pada arah sejajar dan secara kesatuan saling bergoyang sebagai aksi dan reaksi. Dengan demikian momen torsi yang terjadi pada tiangtiang tegak dikunci oleh balok mendatar yang mengikuti alur dan menusuk tiang-tiang landasan. Struktur Landasan Tongkonan Toraja Tetapi kita juga menemui pemecahan struktur di daerah rawan gempa ini dengan menggunakan gelondong kayu yang diletakkan mendatar se bagai landasan bangunan seperti ditemui antara lain di Bolon Adat Simalungun dan Lobo di Ngata Toro Sulawesi tengah. Struktur Landasan di Nias Selatan Hal ini memperlihatkan teknologi dalam menanggapi gaya lateral diselesaikan dengan memperluas permukaan yang menerima gaya lateral dan memperberat kekakuan bahan bangunan (reaksi internal bahan bangunan). Berbeda lagi dengan rumah Tongkonan di Toraja yang memecahkan masalah beban dan gaya lateral dengan menggunakan balok kayu mendatar. Mekanisme distribusi beban terutama gaya Kalau diperhatikan pada contoh bangunan arsitektur tradisional di atas, maka semua landasan yang berupa tiang tegak atau balok mendatar di daerah tersebut diletakkan di atas Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | 21 Struktur di Arsitektur Nusantara umpak batu. Hal ini juga memperlihatkan bahwa distribusi beban yang disalurkan oleh tiang tegak maupun mendatar adalah gaya aksial saja. Sistem Base Isolation adalah pemecahan yang brilian dan mencengangkan bagaimana kesadaran akan perilaku gaya yang terjadi akibat bentuk bangunan dan pemilihan bahan bangunan dari kayu yang tidak tahan terhadap torsi diselesaikan dengan konstruksi goyang yang fleksibel dan perletakkan yang bersifat roll. Struktur Landasan Lobo, Ngata Toro Struktur Landasan Adat Bolon, Pematang Purba Berdasarkan temuan pada rumah-rumah tradisional di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan bahan kayu dan pemahaman akan karakter bahan kayu; tinggi tiang kayu; jarak antar tiang; ukuran diameter kayu; pemilihan konstruksi sambungan yang fleksibel merupakan keandalan cemerlang struktur rumah tradisional dalam menanggapi gaya lateral gempa. 22 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 Struktur Atas Pada pembicaraan sebelumnya kita telah membuka lipatan-lipatan pengetahuan tentang landasan bangunan maka pada sesi kedua ini akan kita buka lipatan-lipatan pada bagian atas alas bangunan di arsitektur Tradisional. Pada dasarnya struktur bangunan terdiri dari 3 bagian sarana struktur yaitu struktur landasan bangunan dan struktur badan bangunan serta struktur atap bangunan. Arsitektur Nusantara menurut Josef Prijotomo (2012) adalah A rsitektur Pernaungan di mana konsep perencanaan di Arsitektur Nusantara terdiri dari “alas/lantai bangunan” yang mewadahi kegiatan bernaung dan “Atap’ yang menaungi kegiatan di atas alas tersebut. Mari kita perhatikan tata-cara membangun rumah tradisional Wae Rebo, tiang-tiang tegak landasan didirikan dengan menanamnya sampai 1 (satu) meter ke dalam tanah. Sebelum ditanam, tiang-tiang dibalut dengan tali ijuk sepanjang bagian tiang kayu yang dibenamkan dalam tanah. Kemudian tiang-2 ini dipersatukan dengan balokbalok kayu mendatar yang berfungsi sebagai rusuk papan lantai. Di atas alas lantai ini didirikan2 (dua) tiang utama yang menjadi penopang rusuk rangka atap. Baru setelah itu papan kayu sebagai penutup rangka badan bangunan. Demikian pula dapat kita saksikan kerangka bangunan arsitektur tradisional di Nusantara yang mempunyai prosedur membangun yang sama (rumah Jawa, rumah Nias; rumah Tongkonan; rumah Limas; rumah Batak dll). Dari sisi teknik membangun, proses pembangunan menunjukkan bahwa landasan adalah bagian bangunan yang didirikan lebih dahulu, kemudian kerangka lantai dipasang dan kemudian diatasnya didirikan tiang-tiang penyangga struktur atap. Sehingga yang terjadi lebih dahulu adalah kerangka utama bangunan, barulah dipasangkan penutup atap dan penutup badan bangunan. Bagian atap bangunan merupakan struktur tersendiri yang didirikan diatas lantai/alas bangunan (tiang penahan atap t idak menerus dari tanah). Tidak menggunakan kuda-kuda Murtijas Sulistijow ati Toraja Nias Utara sebagai penahan beban atap. Contoh tiang tunjuk langit di Bolon Adat berdiri di atas struktur lantai. Bentuk bangunan mengikuti tinggi rendahnya tiang-tiang pemegang bagian atas lempeng penutup atap. Momen torsi yang terjadi pada masing-masing kerangka atap di kunci/dikat oleh balok-balok mendatar mengelilingi ruang seturut alur. Sehingga masingmasing balok merupakan gaya reaksi terhadap beban yang disalurkan dari bagian struktur lainnya secara fleksibel tetapi tetap dalam kestabilan bangunan. Pada rumah Limas dari Palembang; rumah Dalem dari Jawa Tengah bila diperlukan, lempengan penutup badan bangunan ini bisa dilepas. Dengan demikian ruang menjadi lebih luas terbuka. Dapat kita temui bahwa penutup badan bangunan (gebyok) di Dalem Jawa Tengah dapat dilepas, hal ini juga ditemui di rumah Limas Palembang. Hanya yang lebih menarik pada rumah Limas Palembang ditemui bahwa penutup badan bangunan ini (di sisi depan yang berbatasan dengan teras) berfungsi juga sebagai daun pintu yang hanya bisa di buka ke atas, Seluruh penutup badan di sisi ini dikaitkan pada balok/gording, sehingga tidak perlu dipindahkan dan dapat menjadi plafond sekaligus. Dinding pada tongkonan Toraja (oma Sebua) dibentuk oleh papan-papan kayu yang diletakkan melintang dan diisi oleh lidah papan kayu Aru atau kayu Kelapi yang dipenuhi ukiran di sisi luar. Lidah papan pengisi yang berukuran sama (25 x Batak Karo 40 cm) yang diatur secara alur. Bila terjadi kerusakan di satu lidah akan mudah diganti. Demikian pula yang ditemui pada uma Sebua, Nias Selatan, dinding sisi depan (towa) terdiri kerangka dari bilah-bilah papan (Ina Lago dan Ono Lago) yang berdiri vertikal. Lempeng dinding sisi depan Uma ini terdiri dari 2 bagian. Dinding bagian atas menumpang balok kayu Lago-lago. Dinding bagian bawah menumpu pada balok skholi. Pemakaian bilah papan yang diletakkan tanpa sambungan yang rumit, memudahkan dalam mengganti, mencopot karena alasan kerusakan. Pada Siwaluh Jabu Batak Karo, penutup badan bangunan diletakkan miring. Penutup ini juga terdiri dari bilah bilah papan yang diukir di bagian luar. Bilah bilah ini di jepit oleh balok kayu mendatar dan yang didirikan terlepas dari tiang-tiang tegak penahan struktur atap. Beberapa temuan di atas menunjukkan bahwa struktur atap disalurkan melalui tiang tiang tegak di badan bangunan dan kemudian oleh struktur landasan/dasar bangunan beban mati dan beban dinamis lainnya diteruskan ke dalam tanah melalui tiang-tiang landasan. Kestabilan badan bangunan diperoleh dari bagaimana balok-balok kayu pengikat/pengunci bergerak menanggapi aksi torsi tiang tegaknya secara kesatuan Dengan memahami bahwa bagian demi bagian struktur atap dan landasan yang saling bergerak sebagai sebuah gaya aksi-reaksi hal ini juga menunjukkan bahwa sistem st ruktur bangunan Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | 23 Struktur di Arsitektur Nusantara tradisional dari Arsitektur Nusantara di atas menggunakan sistem struktur rangka batang yang berperilaku sebagai rangka ruang terutama pada daerah dengan tingkat kegempaan tinggi. Akibat sistem rangka batang ini, keberadaan penutup badan bangunan hanyalah sebagai selungkup bangunan yang berfungsi hanya sebagai tirai atau bagian bangunan yang non struktural, sehingga sangat layak bila ia bersifat fleksibel bagi penggunaan fungsi dan pengembangan ruangan yang lain serta memudahkan untuk diperbaiki tanpa merusak bagian yang lain. Temuan-temuan yang telah disampaikan adalah sebagian kecil hasil membuka lipatan lipatan pengetahuan struktur di Arsitektur Nusantara. Kecemerlangan dan kearifan lokal Arsitektur Nusantara masih perlu digali untuk dipelajari dan dijadikan langkah awal mengkinikannya. 24 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016