perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum
1. Kecemasan Berbicara di Depan Umum
a. Pengertian Kecemasan
Setiap orang pernah merasakan kecemasan dalam hidupnya. Kecemasan
ini dirasakan individu dengan tingkatan yang berbeda-beda. Freud (dalam
Wiramihardja, 2007) menjelaskan kecemasan sebagai suatu perasaan yang
sifatnya umum. Individu yang mengalami kecemasan akan merasa
ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun
wujudnya. Lebih lanjut Groen (dalam Prasodjo, 2006) menjelaskan bahwa
kecemasan dikatakan normal bila intensitas dan cirinya setara dengan situasi
yang dihadapi dan bila akibatnya tidak menyebabkan disorganisasi dan
maladapsi. Berdasarkan pendapat dua ahli tersebut dapat dijelaskan bahwa
kecemasan merupakan suatu perasaan negatif berupa ketakutan atau
perasaan kehilangan kepercayaan diri pada suatu hal dan normal dialami
individu jika intensitas dan cirinya setara dengan situasi yang dihadapi dan
bila akibatnya tidak menyebabkan disorganisasi dan maladapsi.
Durand dan Barlow (2008) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan
suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan
jasmaniah hal ini disebabkan karena individu mengantisipasi kemungkinan
datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
perasaan khawatir. Kecemasan biasanya melibatkan perasaan, perilaku dan
respon-respon fisiologis. Lebih lanjut dijelaskan oleh Leef (dalam Prasodjo,
2006) munculnya kecemasan disertai dengan suatu atau beberapa reaksi
badaniah yang khas dan akan berulang bagi individu tertentu. Reaksi
tersebut dapat berupa rasa kosong di pusat perut, jantung berdebar, dada
merasa sesak, sakit kepala, keringat berlebihan, dan rasa ingin buang air.
Perasaan ini juga disertai dengan rasa ingin bergerak dan gelisah.
Berdasarkan uraian mengenai kecemasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa kecemasan merupakan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif
berupa antisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa
yang akan datang dengan perasaan khawatir, kadang melibatkan perilaku
seperti rasa ingin bergerak karena gelisah dan ditandai oleh respon-respon
fisiologis.
b. Pengertian berbicara di depan umum
Rogers (2004) menyebut berbicara di depan umum dengan komunikasi
publik atau public speaking. Menurut Mulyana (2001) dalam komunikasi
publik, satu orang ditunjuk sebagai pembicara sedangkan yang lain sebagai
pendengar. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga aspek dalam komunikasi
publik. Pertama, komunikasi publik cenderung terjadi di tempat-tempat
yang biasanya disebut sebagai tempat publik seperti auditorium, kelas dan
ruang rapat. Kedua, pembicaraan publik cenderung mengemukakan masalah
sosial daripada mengemukakan masalah-masalah informal dan tidak
terstruktur. Ketiga, komunikasi publik melibatkan norma perilaku yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
relatif jelas. Maka dari itu komunikasi publik sering menuntut pembicara
lebih berhati-hati dan terorganisasi.
Olii (2007) menyebut publik sebagai objek dari pembicara, publik
dijelaskan sebagai sejumlah orang yang dalam kesempatan tertentu akan
berkomunikasi dengan pembicara. Tidak ada batasan pasti mengenai jumlah
individu yang menjadi objek dalam komunikasi publik. Namun, ketika
individu berbicara dihadapan sejumlah orang dengan pembicaraan satu arah
dan percakapan panjang tanpa diputus atau disela pihak lainnya (monolog)
maka hal itu dikatakan sebagai komunikasi publik (Rogers, 2004).
Begitu pula Devito (1997) menjelaskan, bahwa berbicara di depan
umum merupakan suatu bentuk komunikasi dari seorang pembicara yang
menghadapi pendengar dalam jumlah yang relatif besar dengan pembicaraan
yang relatif kontinyu, biasanya bertemu muka. Kemudian dijelaskan lebih
lanjut bahwa berbicara di depan umum memiliki dua tujuan, yaitu tujuan
informatif untuk menciptakan pemahaman dan tujuan persuasif yang
berusaha untuk mempengaruhi sikap dan perilaku. Gunadi (1998)
menjelaskan bahwa tujuan dari berbicara di depan umum, antara lain
mempengaruhi,
mengajak
mendidik,
mengubah
opini,
memberikan
penjelasan, dan memberikan informasi kepada masyarakat di tempat
tertentu. Beberapa contoh berbicara di depan umum ialah dosen yang
memberikan kuliah, individu yang menyampaikan laporan di kelas, individu
yang menyampaikan pendapatnya pada sebuah rapat, dan seorang politikus
yang menyampaikan pidato kampanye.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa berbicara di depan
umum merupakan komunikasi lisan tentang suatu hal oleh seorang
pembicara di depan sejumlah pendengar, dengan pembicaraan satu arah dan
percakapan panjang tanpa diputus atau disela pihak lain, yang bertujuan
untuk memberikan pemahaman atau mempengaruhi sikap dan perilaku
pendengar.
c. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Kecemasan berbicara di depan umum merupakan salah satu dari
kecemasan komunikasi atau sering disebut communication apprehension
(McCroskey, 1977). Burgoon dan Ruffner (dalam Kusumawati, 2012)
menyatakan, kecemasan komunikasi pada dasarnya merupakan suatu reaksi
negatif dalam bentuk kecemasan yang dialami individu dalam pengalaman
komunikasinya, yang terjadi karena individu mengembangkan perasaan
negatif dan memprediksi hasil negatif dalam interaksi komunikasinya
dengan orang lain. Adapun McCroskey (1977) menjelaskan, kecemasan
komunikasi sebagai tingkat ketakutan atau kecemasan individu yang terkait
dengan komunikasi nyata atau komunikasi yang diantisipasi sebelumnya
yang berhubungan dengan orang lain atau orang banyak. Berdasar pendapat
di atas dapat diartikan, bahwa kecemasan komunikasi merupakan suatu
reaksi berupa kecemasan karena individu mengembangkan perasaan negatif
dan memprediksi hasil negatif tentang situasi komunikasi yang sedang atau
yang akan dialami.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Kecemasan berbicara di depan umum diartikan Hanna dan Gibson
(1989) sebagai kegugupan yang berkaitan dengan komunikasi publik.
Selanjutnya dijelaskan, bahwa simtom dalam kecemasan komunikasi terbagi
menjadi dua macam, yang pertama yaitu reaksi-reaksi fisik berupa detak
jantung bertambah cepat, tekanan darah bertambah tinggi, tangan gemetar,
kaki terasa lemah, berkeringat dan wajah memerah. Kedua berupa reaksireaksi psikis berupa kecenderungan lupa akan hal-hal yang telah di siapkan
sebelumnya dan kebiasaan mengalihkan perhatian seperti tidak mau melihat
pendengar untuk mengurangi kegugupan.
Berdasarkan paparan dari para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa
kecemasan berbicara di depan umum merupakan suatu reaksi negatif dalam
bentuk kecemasan yang dialami individu dalam pengalaman komunikasinya
didepan sejumlah orang, disebabkan individu mengembangkan perasaan
negatif dan memprediksi hasil negatif dalam interaksi komunikasinya.
2. Faktor-Faktor Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Kecemasan berbicara di depan umum merupakan salah satu bentuk
kecemasan sosial (social anxiety). Edelmann (1995) membagi empat faktor
yang terkait dengan kecemasan berbicara di depan umum, yaitu:
a. Classical conditioning
Individu mengaitkan situasi berbicara di depan umum dengan
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan. Hal ini akan membuat
cemas saat individu dihadapkan pada situasi yang serupa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
b. Skill deficit model
Kecemasan
berbicara di
depan
umum
merupakan
hasil
dari
ketidakmampuan individu dalam menangani tuntutan untuk berbicara di
depan umum. Ketidakmampuan ini biasanya berasal dari kurangnya praktek
atau kurangnya pengalaman dalam menghadapi situasi serupa. Individu
yang mengalami kecemasan saat berbicara di depan umum merupakan
individu yang kurang memiliki ketrampilan komunikasi publik.
c. Cognitive factors
Individu mengalami kecemasan berbicara di depan umum disebabkan
individu mengembangkan pola pemikiran yang salah. Termasuk di
dalamnya, evaluasi diri yang negatif dari penampilan saat berbicara di depan
umum, statement diri yang negatif sebelum dan selama situasi komunikasi
berlangsung,
kepercayaan
yang
tidak
logis
mengenai
diri
dan
lingkungannya, kecenderungan memilih memori tentang penampilan diri
yang negatif daripada positif, bias perhatian pada isyarat ancaman sosial,
dan harapan yang tidak telalu tinggi terhadap kemampuan dan penampilan.
d. A multicomponent process framework
Model interaktif dari berbagai kompleksitas yang menggabungkan
pengukuran psikobiologi, perilaku, fisiologis, dan kognitif telah diusulkan
sebagai penjelasan untuk kecemasan sosial termasuk di dalamnya
kecemasan berbicara di depan umum. Individu menggabungkan berbagai
komponen untuk mengevaluasi lingkungan luar maupun diri pribadi yang
berpotensi menimbulkan kecemasan berbicara di depan umum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
Fokus perhatian yang dapat menyebabkan kecemasan berbicara di
depan umum dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional (faktor
eksternal individu) dan disposisional (faktor internal individu). Fokus ini
terlebih dulu dirujuk ke self-awareness, lalu ke self-consciousness. Kedua
parameter ini memiliki komponen publik, mengacu pada kesadaran dari
pikiran dan perasaan orang lain yang dapat individu perhatikan, dan
komponen pribadi, mengacu pada kesadaran bahwa pikiran dan perasaan
pribadi diperhatikan oleh orang lain.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pikiran dan perilaku individu
sebelum berbicara. Brydon dan Scott (2006) menyebutkan beberapa faktor
yang dapat memicu kecemasan berbicara di depan umum, sbb :
a. Sikap pesimistis
Jika individu bereaksi positif terhadap suatu situasi, rangsangan yang
dirasakan akan menyenangkan. Sebaliknya, jika individu melihat situasi
secara negatif, maka rangsangan akan dirasakan sebagai suatu hal yang
tidak menyenangkan atau bahkan menghawatirkan.
b. Persiapan dan praktek yang tidak memadai
Salah satu alasan berkembangnya sikap pesimistis untuk berbicara
didepan umum ialah kurangnya persiapan dan praktek. Meminimalkan
pentingnya persiapan dan latihan berpidato hanya meningkatkan jumlah
ketidakpastian saat berbicara di depan umum. Selanjutnya, ketidakpastian
ini adalah penyebab utama kecemasan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
c. Pengalaman negatif atau tidak cukup pengalaman
Pengalaman public speaking di masa lalu yang berhasil dapat membuat
individu merasa lebih siap dalam menghadapi situasi yang serupa. Namun,
jika pengalaman public speaking gagal dan dirasakan tidak menyenangkan
maka individu akan ragu dengan kemampuannya berbicara di depan umum
di masa datang.
d. Tujuan-tujuan yang tidak realistis
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang menetapkan tujuan yang
realistis bagi diri sendiri cenderung kurang cemas dan lebih sukses dari
individu yang menetapkan tujuan yang tidak logis atau jauh dari jangkauan.
e. Negative self-talk
Negative self-talk adalah sebuah pola mengalahkan diri dengan
komunikasi intrapersonal, yang di dalamnya termasuk self-criticizing (kritik
diri), self-pressuring (penekanan diri), dan catastrophizing statements
(pernyataan-pernyataan yang berbahaya), hal-hal ini lah yang akan membuat
individu mengalami kecemasan menghadapi orang banyak.
f. Kekhawatiran yang salah arah
Penelitian menunjukkan, bahwa individu yang sangat cemas terfokus
dengan hal-hal seperti, bagaimana individu akan dievaluasi, berapa lama
harus berbicara, apa topik yang harus dipilih, apakah individu bisa
menggunakan catatan, dan berapa lama persiapan yang harus dilakukan.
Singkatnya, keprihatinan utama pembicara ialah dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi langsung bagaimana individu akan dievaluasi. Kekhawatiran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
ini merupakan tanda-tanda klasik dari kecemasan mental. Selain itu peneliti
menyatakan, bahwa individu-individu yang benar-benar cemas mungkin
begitu sibuk dengan kekhawatiran salah arah mereka, dan mengabaikan hal
penting seperti penyusunan pidato.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa faktor-faktor
kecemasan berbicara di depan umum yaitu: classical conditioning, skill deficit
model, cognitive factors, a multicomponent process framework, sikap
pesimistis, persiapan dan praktek yang tidak memadai, pengalaman negatif
atau tidak cukupnya pengalaman, tujuan-tujuan yang tidak realistis, negative
self-talk, dan kekhawatiran yang salah arah.
3. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Ada beberapa gejala umum yang biasanya dialami oleh individu yang
mengalami kesulitan berbicara di depan umum. Rogers (2004) membagi
kecemasan berbicara di depan umum menjadi tiga aspek, yaitu:
a. Komponen fisik
Gejala fisik biasanya dialami sebelum memulai pembicaraan dan dapat
berbeda untuk setiap orang, tetapi umumnya berupa detak jantung
bertambah cepat, tangan dan kaki gemetar, tangan dan kaki terasa dingin,
badan terasa lemas, suara bergetar, dada terasa sesak, dan berkeringat.
b. Komponen proses mental
Gejala-gejala yang terkait dengan proses mental pada umumnya terjadi
saat pembicara tampil. Kecemasan membuat individu kesulitan mengontrol
pikirannya, hal ini menyebabkan individu sering mengulang kata atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
kalimat, secara tiba-tiba hilang ingatan sehingga tidak dapat mengingat fakta
dengan tepat dan melupakan hal-hal penting, pikiran tersumbat sehingga
membuat individu tidak tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya, dan
melakukan bentuk-bentuk kekacauan yang lain.
c. Komponen emosional
Beberapa gejala emosional dirasakan Individu yang mengalami
kecemasan berbicara di depan umum. Gejala emosional biasanya berupa
perasaan negatif yang mempengaruhi kondisi individu. Gejala emosional
yang dimaksud berupa perasaan takut menjadi pembicara, rasa tidak mampu
dan tidak berdaya mengatasi kenyataan sebagai pembicara, rasa kehilangan
kendali dan panik, dan rasa takut dipermalukan atau disalahkan saat
presentasi berakhir.
Penelitian ini menggunakan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan
umum yang diungkapkan oleh Rogers (2004), yaitu komponen fisik, komponen
proses mental, dan komponen emosional dalam penyusunan skala kecemasan
berbicara di depan umum.
B. Pola Asuh Demokratis
1. Pengertian Pola Asuh Demokratis
Tiap-tiap orangtua memiliki karakteristik yang berbeda dalam menghadapi
anak. Karakteristik tersebut berbentuk pola sikap dan pola perilaku yang
cenderung konsisten dan sering disebut dengan pola asuh. Pola asuh yang
diterapkan orangtua dipercaya memiliki dampak terhadap perilaku dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
perkembangan anak. Darling (1999) menyatakan, bahwa pola asuh merupakan
suatu aktivitas kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa perilaku khusus
yang
dikerjakan
secara
individu
maupun
bersama-sama
yang
akan
mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Aktivitas kompleks tersebut pada
dasarnya digunakan orangtua untuk mendidik, mengontrol, memenuhi
kebutuhan dan memberi perlindungan terhadap anak.
Hurlock (1992) membagi pola asuh menjadi tiga jenis, salah satunya
berupa pola asuh demokratis. Orangtua demokratis terkenal dengan orangtua
yang tinggi pada kejelasan komunikasi. Pola asuh ini menggunakan penjelasan,
diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku
tertentu diharapkan. Pendapat lain diungkapkan oleh Suherman (2000), pola
asuh demokratis mempunyai karakteristik sifat demokrasi, memperlakukan
anak
sesuai
dengan
tingkat-tingkat
perkembangan
usia
anak,
dan
memperhatikan serta mempertimbangkan keinginan-keinginan anak. Anak
dengan pola asuh ini mempunyai sikap atau perilaku tanggung jawab yang
besar, memiliki penyesuaian pribadi dan sosial yang baik, konsep diri yang
sehat, positif, penuh dengan rasa percaya diri, emosinya stabil, mempunyai
keberanian untuk berinisiatif, dan kreatif.
Baumrind (dalam Santrock, 2007) menyebut pola asuh demokratis dengan
authoritative parenting. Orangtua mendorong anak untuk mandiri namun
masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan anak. Karakteristik utama
orangtua dalam pola asuh ini ialah sikap hangat dan mengasuh terhadap anak.
Reuter dan Conger (dalam Santrock, 2010) menyatakan, bahwa orangtua
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
dengan pola asuh demokratis memiliki keseimbangan yang baik antara
pengendalian dan otonomi dengan memberikan peluang kepada anak untuk
mengembangkan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan
bimbingan yang diperlukan oleh anak. Anak dari orangtua yang menerapkan
pola asuh ini biasanya mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial.
Berdasarkan uraian mengenai pengertian pola asuh demokratis di atas
dapat disimpulkan, bahwa pola asuh demokratis ialah suatu aktivitas kompleks
orangtua yang memiliki keseimbangan baik antara pengendalian dan otonomi,
memiliki kejelasan komunikasi yang tinggi terhadap anak karena menggunakan
penjelasan, diskusi, dan penalaran.
2. Aspek-aspek Pola Asuh Demokratis
Kohn (1963) menjelaskan, aspek-aspek pola asuh orangtua antara lain
pandangan terhadap anak, pemberian disiplin, komunikasi, dan pemenuhan
kebutuhan. Berikut ini dijelaskan mengenai karakteristik pola asuh demokratis
yang didasarkan pada tiap-tiap aspek.
a. Pandangan terhadap anak
Orangtua demokratis adalah orangtua yang tidak bersifat memerintah
dengan memberikan kebebasan yang cukup bagi anak. Anak dipandang
sebagai individu yang memiliki keputusan mandiri, kepribadian, minat,
pendapat, dan keinginan yang harus dihargai (Baumrind dalam Papalia dan
Olds 2009). Orangtua dalam pola asuh demokratis menetapkan ekspektasi
dan standar yang realistis bagi anak. Orangtua memberlakukan
pembatasan pada saat memiliki pengetahuan atau wawasan yang lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
besar, dengan tegas menolak dalam menyetujui tuntutan-tuntutan anak
(Baumrind, dalam Hetherington dan parke 1999). Karakteristik pola asuh
demokratis ialah memperlakukan anak sesuai dengan tingkat-tingkat
perkembangan usia anak karena orangtua ingin agar anak dapat
berperilaku dengan cara yang tepat sesuai usia (Dacey, dkk., 2009).
b. Pemberian disiplin
Disiplin mengacu pada setiap upaya orangtua dalam mengubah sikap
dan perilaku anak (Fabes dan Lynn, 2000). Tujuan disiplin ialah untuk
membantu anak mengembangkan kontrol diri sehingga perilaku anak
dapat diterima dan dianggap tepat oleh masyarakat. Orangtua yang
menerapkan pola asuh demokratis percaya, bahwa anak yang disiplin
berarti anak yang memiliki kendali atas perilakunya, sehingga anak
melakukan sesuatu tidak berdasarkan adanya penjaga atau ancaman
(Hurlock, 1992). Hal di atas sering disebut dengan internalisasi.
Internalisasi terjadi ketika ketaatan anak didasarkan pada pengendalian
internal dan standar yang telah digabungkan dengan harapan anak karena
dirinya sendiri. Itu berarti bahwa, anak bertindak dengan tepat karena anak
ingin bertindak (internalisasi), bukan karena anak harus bertindak
(compliance) (Fabes dan Lynn, 2000).
Orangtua dalam pola asuh demokratis menetapkan kontrol yang tinggi
terhadap anak dengan menggunakan standar yang pasti (Dacey, dkk.,
2009).
Standar
atau
peraturan
tersebut
ditetapkan
menggunakan
penjelasan, diskusi, dan penalaran untuk membantu anak mengerti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
mengapa perilaku tertentu diharapkan. Selain diberikan penjelasan tentang
peraturan, anak juga diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat
mereka dan berdiskusi tentang peraturan tersebut.
Pemberian disiplin pada pola asuh demokratis berguna untuk
menegakkan peraturan-peraturan dan standar bagi anak menggunakan
perintah-perintah dan sanksi-sanksi bila dibutuhkan (Baumrind dalam
Mussen, 1983). Sanksi diberikan dengan bijak dan dapat berupa hukuman
maupun penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada
penghargaan. Hukuman digunakan dengan bijak dan bila dibutuhkan,
biasanya tidak berbentuk hukuman badan serta penghargaan biasanya
menggunakan pujian atau pernyataan persetujuan lain.
c. Komunikasi
Orangtua bervariasi dalam seberapa banyak berbicara dengan anak,
apa yang dikatakan dan bagaimana cara mengatakannya. Baumrind (dalam
Mussen, 1983) menyatakan bahwa pola asuh demokratis menerapkan
komunikasi yang terbuka antara orangtua dan anak dengan orangtua
mendengarkan pemikiran sang anak, sebaik orangtua mengekspresikan
pemikiran mereka sendiri.
Orangtua demokratis adalah orangtua yang tinggi pada kejelasan
komunikasi (Dacey, dkk., 2009). Orangtua mendorong verbal give and
take (dorongan saling memberi dan menerima secara lisan) dan membagi
alasan dibalik semua pendapat, disiplin dan aturan rumah tangga yang
telah ditetapkan sehingga anak mengerti dengan jelas apa yang diharapkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
dari dirinya (Fabes dan Lynn, 2000). Ketika terjadi konflik, orangtua yang
demokratis
akan
mengajarkan
anak
cara
yang
positif
untuk
mengomunikasikan pandangannya dan mengajarkan cara melakukan
negosiasi dengan sangat baik (Papalia dan Olds, 2009).
d. Pemenuhan kebutuhan
Hangat
dan
responsif merupakan
karakteristik dari
orangtua
demokratis. Pemenuhan kebutuhan anak tidak didasarkan atas kehendak
orangtua sendiri, namun anak juga diberikan kesempatan untuk
menentukan apa yang diinginkan. Orangtua demokratis memperhatikan
dan mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan anak. Orangtua
mencoba untuk menjaga kesenangan yang seimbang antara dirinya dan
anak (Garbarino dan Bedard, dalam Dacey dkk., 2009). Hal tersebut
sependapat dengan Reuter dan Conger (dalam Santrock, 2010) yang
menyatakan bahwa orangtua dengan pola asuh demokratis memiliki
keseimbangan yang baik antara pengendalian dan otonomi dengan
memberikan peluang kepada anak untuk mengembangkan kedewasaan dan
kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan bimbingan yang
diperlukan oleh anak.
Orangtua mencintai dan menerima tetapi juga menuntut perilaku yang
baik dan tegas dari anak (Baumrind dalam Papalia dan Olds, 2009). Pada
umumnya, kehangatan dan jalan tengah yang diberikan orangtua juga
bersifat terbatas, hal ini diwujudkan dengan orangtua mengharapkan
perilaku anak yang tepat dan matang dengan menetapkan batas yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
wajar, tetapi orangtua juga menjadi responsif dan memperhatikan
kebutuhan anak yang berhubungan dengan perkembangan harga diri anak,
kemampuan beradaptasi, kompetensi, kontrol yang terinternalisasi,
popularitas dengan teman sebaya, dan rendahnya tingkat perilaku
antisosial (Baumrind, dalam Hetherington dan parke, 1999).
Penelitian ini menggunakan aspek-aspek pola asuh yang diungkapkan oleh
Khon (1963) dengan karakteristik pola asuh demokratis dalam penyusunan
skala pola asuh demokratis.
3. Faktor-faktor Pola Asuh Demokratis
Bornstein (dalam Dacey, dkk., 2009) mengelompokkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pola asuh ke dalam tiga faktor besar, yaitu:
a. Karakteristik orangtua, seperti: sikap orangtua, usia, gender, dan pola asuh
terdahulu
Hurlock (1992) berpendapat, bahwa hubungan antara orangtua dan anak
tergantung
pada
sikap
orangtua.
Sikap
orangtua
terhadap
anak
mempengaruhi cara orangtua memperlakukan anak, dan perlakuan orangtua
terhadap anak mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua.
Orangtua yang lebih muda cenderung lebih demokratis dan permisif.
Seorang ibu umumnya lebih mengerti anak, mengerti kebutuhan anak dan
cenderung kurang otoriter dibandingkan ayah. Orangtua cenderung
menggunakan pola asuh yang pernah didapatkan jika dianggap berhasil,
tetapi jika orangtua merasa pola asuh yang pernah didapatkan tidak berhasil
maka orangtua akan beralih pada teknik yang berlawanan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
b. Karakteristik anak, seperti: gender, usia, dan urutan kelahiran
Fabes dan Lynn (2000) menyatakan, bahwa orangtua menggunakan
teknik disiplin yang berbeda untuk masing-masing anak. Orangtua dengan
anak yang mempunyai karakteristik susah dikontrol cenderung menerapkan
power assertion (metode disiplin dengan menggunakan kekuasaan untuk
mengontrol tingkah laku anak). Orangtua juga lebih menggunakan power
assertion untuk anak laki-laki daripada perempuan karena orangtua mengira
anak laki-laki cenderung lebih susah dikontrol.
Hurlock (1992) berpendapat, bahwa semua anak diberi peran menurut
urutan kelahiran dan anak-anak diharapkan memerankan peran tersebut.
Orangtua menganggap anak yang lebih muda tidak dapat mengerti
penjelasan, sehingga orangtua cenderung menggunakan pola asuh otoriter.
c. Konteks, seperti: budaya dan status sosioekonomi
Harkness dan Super (dalam Santrock, 2007) menyatakan, budaya yang
berbeda sering kali memberikan jawaban yang berbeda atas pertanyaan
dasar seperti peran ayah dalam keluarga, sistem dukungan yang tersedia
bagi keluarga, dan bagaimana anak-anak semestinya didisiplinkan. Intinya
terdapat variasi lintas budaya yang penting dalam pengasuhan.
Menurut Hoff, Laursen, dan Tardif (dalam Santrock, 2007), orangtua
dengan status sosioekonomi lebih rendah cenderung menginginkan anak
dapat menyesuaikan diri dengan keinginan masyarakat, menciptakan
suasana bahwa orangtua memiliki otoritas atas anak, menggunakan
hukuman fisik yang lebih banyak dalam mendisiplinkan anak, dan lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
mengatur serta kurang suka mengadakan percakapan dengan anak.
Sedangkan orangtua dengan status sosioekonomi yang lebih tinggi
cenderung lebih peduli pada pembentukan inisiatif anak, memposisikan
anak hampir setara dengan orangtua dan mendiskusikan aturan-aturan, lebih
sedikit menggunakan hukuman fisik, dan tidak mengatur serta lebih
membuka percakapan dengan anak.
C. Self-enhancement
1. Pengertian Self-enhancement
Sedikides dan Strube (1997) menjelaskan, bahwa self-enhancement
merupakan salah satu motif atau kecenderungan saat individu mengevaluasi
diri. Kecenderungan ini berbentuk fokus individu hanya terhadap informasiinformasi positif yang berkaitan dengan diri. Sedikides dan Luke (2007)
menyatakan, bahwa self-enhancement merupakan suatu kecenderungan untuk
fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari konsep diri seseorang,
(misalnya sifat, kemampuan dan cita-cita), kehidupan seseorang (misalnya
kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diinginkan dan kapasitas
untuk mengendalikan kejadian-kejadian semacam itu) atau informasi yang
berkenaan dengan diri yang baru masuk (misalnya umpan-balik).
Individu dengan self-enhancement kadang kala mengevaluasi dirinya
terlalu positif atau lebih positif dari pendapat orang lain mengenai diri individu.
Taylor dan Brown (dalam Taylor, Peplau, Sears, 1997) menjelaskan, bahwa
self-enhancement dapat membuat individu mempersepsi diri secara berlebihan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
kearah positif sehubungan dengan kemampuan, bakat, dan ketrampilan sosial
yang sebenarnya. Hal tersebut setara dengan Dunning (1999) menjelaskan,
bahwa self-enhancement merupakan kecenderungan untuk mempertahankan
harga diri yang positif di bawah segala keadaan. Tujuan utamanya ialah untuk
memelihara, melindungi, dan meningkatkan kepositifan konsep diri.
Self-enhancement membuat individu lebih suka mengetahui hal-hal positif
daripada hal-hal negatif diri (Miller dan Ross, dalam Taylor dkk., 1997). Hal
tersebut dikarenakan berpikiran baik tentang diri dengan mengingat hal-hal
positif diri membuat individu merasa senang sehingga tetap termotivasi dalam
pekerjaan yang produktif dan kreatif, dan meyakini bahwa individu
mempunyai talenta merupakan sebuah usaha agar kesuksesan terus mengiringi
individu (Taylor dkk., 1997)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa self-enhancement
merupakan suatu motif atau kecenderungan saat individu mengevaluasi diri,
dengan cara fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari konsep diri
seseorang, kehidupan seseorang atau informasi yang berkenaan dengan diri
yang baru masuk agar individu tetap termotivasi dalam pekerjaan yang
produktif dan kreatif.
2. Sumber dan Konsep Self-enhancement
Schwartz (1999) menjelaskan self-enhancement berasal dari nilai yang
terdapat pada diri seseorang. Schwartz (1999) mendefinisikan nilai sebagai
suatu konsep yang diinginkan yang berfungsi untuk memandu individu dalam
menyeleksi tindakan, mengevaluasi seseorang ataupun peristiwa, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
menjelaskan tindakan maupun melakukan evaluasi. Nilai yang dimiliki
individu merupakan hasil dari pengalaman dan nilai-nilai budaya bersama yang
ada di lingkungannya. Walaupun demikian, perbedaan pengalaman kepribadian
antar-individu akan membawa individu memiliki perbedaan prioritas nilai.
Nilai meliputi sikap individu, standar bagi perilaku, dan keyakinan (belief).
Nilai dipelajari dari budaya, keluarga, dan orang-orang disekitar individu. Nilai
yang dimiliki individu dapat digunakan untuk menyatakan kepada orang lain
apa yang penting menurut pribadinya dan dapat digunakan untuk menuntun
individu dalam mengambil keputusan. Nilai yang dimiliki akan memandu
individu salah satunya dalam hal evaluasi diri.
Bersama para koleganya Schwartz dan Bardi (2001) melakukan kajian
lintas budaya dan membuat konstruksi 10 nilai dasar yang diakui individu dari
berbagai budaya yaitu, pengarahan diri (self-direction), hedonism (hedonism),
keamanan
(security),
prestasi
(achievement),
kebajikan
(benevolent),
kekuasaan (power), stimulasi (stimulation), konformitas (conformity), tradisi
(tradition), dan universalisme (universalism). Kesepuluh nilai tersebut
digolongkan menjadi empat kelompok yaitu keterbukaan terhadap perubahan
(openness to change), transendensi diri (self-transcendence), konservasi
(conservation), dan peningkatan diri (self-enhancement).
Schwartz dan Bardi (2001) menjelaskan konsep self-enhancement sebagai
suatu nilai yang terdiri dari tiga nilai dasar, yaitu hedonism (hedonism),
prestasi (achievement), dan kekuasaan (power). Pendapat lain mengenai konsep
self-enhancement diungkapkan oleh Sedikides dan Strube (1997) yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
menyatakan, bahwa self-enhancement merupakan salah satu motif dari evaluasi
diri.
Sedikides dan Strube (1997) menyatakan, bahwa terdapat empat motif
evaluasi diri, diantaranya: self-verification (individu termotivasi untuk menjaga
konsistensi antara self-consept dengan self-relevant information yang baru),
self-improvement (individu termotivasi untuk memperbaiki sifat, kemampuan,
ketrampilan, kesehatan dan perilakunya), self-assessment (individu termotivasi
untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai dirinya), dan yang
terakhir yaitu self-enhancement (individu termotivasi untuk meninggikan
kepositifan konsep diri mereka dan melindungi konsep diri dari informasi
negatif).
Kecenderungan individu ketika mengevaluasi diri berasal dari nilai-nilai
yang dianut. Self-enhancement membuat individu hanya terfokus pada
informasi-informasi positif yang berkaitan dengan diri. Hal tersebut membuat
individu lebih menyayangi dirinya sehingga individu tetap termotivasi (Taylor
dkk., 1997).
3. Aspek-aspek Self-enhancement
Schwartz (1992) menjelaskan, bahwa terdapat tiga aspek untuk mengukur
self-enhancement yaitu:
a. Nilai hedonism
Nilai spesifik yang meliputi hedonism ialah: pleasure (kepuasan dari
keinginan pribadi), dan enjoying life (menikmati kehidupan seperti
menikmati makanan, sex, dan waktu luang). Nilai hedonism berasal dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
kebutuhan makhluk hidup dan kesenangan yang memuaskan diri. Tujuan
dari motivasi hedonisme ialah sebagai kesenangan atau kepuasan hidup
untuk diri sendiri.
b. Nilai achievement
Nilai spesifik yang meliputi achievement ialah: Ambitious (bekerja
keras dan memiliki cita-cita), successful (dapat mencapai tujuan), capable
(mampu atau memiliki kompetensi, efektif, dan efisien). Tujuan nilai
achievement adalah kesuksesan individu dengan menunjukkan kompetensi
yang di dasarkan pada standar sosial. Nilai-nilai achievement ditekankan
dengan menunjukkan kompetensi dalam hal yang berlaku sesuai standar
budaya, sehingga memperoleh persetujuan sosial.
c. Nilai power
Nilai spesifik yang meliputi power ialah: preserving public image
(menjaga citra diri dan harga diri), social recognition (penghormatan dan
persetujuan dari orang lain), authority (hak untuk memimpin dan
memerintah), dan social power (mengontrol orang lain dan mendominasi).
Tujuan utama nilai-nilai kekuasaan (power) ialah sebagai pencapaian status
sosial dan prestise (martabat atau gengsi), dan kontrol atau dominasi
terhadap sumber daya dan orang lain.
Adapun menurut Sedikides dan Strube (1997), terdapat enam aspek dalam
mengungkap self-enhancement,yaitu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
a. Recall and processing of self-relevant information
Penelusuran self-enhancement dapat dilakukan dengan mengetahui
proses dan isi memori manusia. Individu dengan motif self-enhancement
menganggap sifat-sifat relevan diri yang positif lebih baik daripada yang
negatif dan mengingat timbal balik kesuksessan lebih baik dari timbal balik
kegagalan. Individu memproses informasi relevan diri yang positif lebih
cepat dari yang negatif dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk
membaca informasi-informasi yang mendukung dirinya daripada informasi
yang tidak mendukung. Individu mencari-cari informasi yang kurang untuk
mendukung kesimpulan yang menyenangkan bagi pribadi dibandingkan
dengan
kesimpulan
yang
tidak
menyenangkan,
membuat
perilaku
melindungi diri ketika membuat keputusan yang berisiko, ketika menjalin
negosiasi dan ketika membahas pesan-pesan yang berhubungan dengan
kesehatan.
Selain itu, individu menilai penampilan diri kurang akurat dan menilai
lebih positif dari persepsi individu lain, dan menganggap hal-hal positif
lebih bermanfaat daripada hal-hal negatif, terutama ketika individu berpikir
tentang efeknya di masa depan. Selain itu, individu mengumpulkan buktibukti untuk mendukung kualitas diri yang dipercayai diinginkan secara
sosial (socially desirable). Pada akhirnya, individu mengartikan sifat-sifat
dan kemampuannya dalam cara melayani diri (self-serving manner). Bahkan
kategori-kategori pada bentuk dasar yang digunakan individu dalam
penilaian sosial menggunakan cara melayani diri (self-serving manner).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
Dengan demikian, dunia sosial disimpulkan dengan istimewa menggunakan
cara-cara yang dapat meningkatkan diri.
b. The above-average effect
Individu menilai diri di atas rata-rata dalam karakteristik personal dan
aktivitas-aktivitas pribadi. Dibandingkan rata-rata orang, individu percaya
bahwa dirinya lebih bahagia, melakukan pekerjaan lebih baik, memiliki
kepemimpinan dan
ketrampilan sosial yang lebih baik, memiliki
kemampuan mengontrol yang lebih baik, kemahiran mengatur yang lebih
baik, standar etika yang lebih tinggi, serta kemungkinann-kemungkinan
kesehatan yang lebih tinggi. Individu juga percaya bahwa sifat-sifat pribadi
lebih baik jika dibandingkan dengan individu lain.
Lebih jauh lagi, individu percaya kemungkinan kejadian positif terjadi
lebih tinggi padanya daripada orang lain dan kemungkinan kejadian negatif
lebih rendah dari rerata orang (misalnya, kecelakaan dan korban kejahatan).
Individu mempertahankan keyakinan seperti terlalu positif, dengan
menghasilkan dan mengevaluasi teori-teori kausal yang mendukung.
c. Causal attributions
Pekerjaan utama dalam atribusi ialah mengetahui alasan perilaku
seseorang dan alasan terjadinya suatu peristiwa. Ketika individu terpengaruh
oleh fokus untuk self-enhancement, individu akan membuat kesimpulan
yang
menguntungkan
diri.
Sebagai
contoh,
individu
menganggap
kesuksesan diri disebabkan oleh kemampuan dan usahanya, sedangkan
kegagalan disebabkan oleh faktor situasi yang tidak mendukung. Fenomena
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
ini disebut self-serving bias. Selain itu, individu mencari dan memaksakan
makna pada peristiwa kehidupan. Membuat penegasan dengan aspek-aspek
yang tidak berhubungan dengan diri, interpretasi umpan balik yang ambigu
sebagai umpan balik yang positif, dan penyangkalan.
d. The self relevance of failure or weakness
Konsisten
dengan
motif
self-enhancement,
kegagalan
individu
dipercaya karena tugas kurang relevan dengan diri. Sebuah proses yang
disebutkan Tajfel dan Turner (dalam Sedikides dan Strube, 1997) sebagai
lemahan
pribadi sebagai hal yang wajar atau biasa dan mengartikan kelebihan pribadi
sebagai hal yang unik. Perilaku yang konsisten dengan konsep diri juga
dinilai sebagai keunikan.
e. Social comparison processes
Self-enhancement telah dibuktikan dalam perbandingan diri dengan
orang lain. individu mengurangi jumlah perbandingan sosial atau membuat
perbandingan ke bawah daripada ke atas ketika pribadi mengalami
kegagalan atau efek negatif. Perbandingan sosial ke bawah meningkatkan
penyesuaian psikologis dan meningkatkan status harga diri, terutama pada
orang-orang yang memiliki harga diri rendah yang kronis. Individu
menghindari perbandingan sosial ketika individu menduga bahwa hasilnya
akan negatif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
f. Self-presentation
Presentasi diri berkaitan dengan strategi manajemen kesan individu
terhadap orang lain. Taktik presentasi diri bisa secara langsung, seperti
mengeluarkan informasi positif tentang diri, membuat alasan untuk
kemampuan sosial yang tidak dimiliki, dan self-handicapping, atau tidak
langsung, seperti menghapus kualitas negatif yang terkait dengan individu.
Terlepas dari itu, tujuan self-presentasi yang menyeluruh adalah untuk
mengendalikan audiens menuju citra yang menguntungkan diri. Presentasi
diri tidak perlu positif, tujuannya adalah untuk mendapatkan hasil yang
menguntungkan atau menghindari hasil negatif, kadang-kadang dengan
pencapaian terbaik, misalnya ditunjukkan dengan kesederhanaan presentasi
diri. Titik kuncinya ialah individu sensitif terhadap tuntutan situasional yang
unik dan evaluasi publik atas perilaku yang berbeda.
Penelitian
ini
menggunakan
aspek-aspek
self-enhancement
yang
diungkapkan oleh Sedikides dan Strube (1997), meliputi: recall and processing
of self-relevant information, the above-average effect,causal attributions, the
self-relevance of failure or weakness, social comparison processes, dan selfpresentation dalam penyusunan skala.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
D. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dan Self-enhancement dengan
Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa
1. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dan Self-enhancement dengan
Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa
Berbagai kegiatan di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk
menguasai kemampuan berbicara di depan umum. Namun, banyak mahasiswa
yang mengalami ketakutan ketika menyampaikan gagasan di depan sejumlah
orang yang sering disebut kecemasan berbicara di depan umum. Kecemasan
berbicara di depan umum berasal dari ketakutan-ketakutan yang dikembangkan
sebelum individu berbicara di depan umum (Harefa, 2003). Situasi berbicara di
depan umum berbeda dengan situasi komunikasi biasa. Situasi ini cenderung
lebih formal, terjadi di tempat-tempat publik, dan dihadiri oleh sejumlah orang
yang menuntut individu sebagai pembicara sekaligus sebagai pusat perhatian.
Mahasiswa yang kurang memiliki pengalaman berkomunikasi akan
mengalami kesulitan berkomunikasi dan tidak mempu menyampaikan pesan
dengan jelas, akibatnya mahasiswa mengalami kecemasan berbicara di depan
umum (Muslimin, 2013). Pengalaman berkomunikasi didapatkan individu,
tidak terkecuali di dalam keluarga. Baumrind (dalam Mussen, 1983)
menyatakan, orangtua dalam pola asuh demokratis menggunakan komunikasi
terbuka antara orangtua dan anak, dengan orangtua mendengarkan pemikiran
sang anak, sebaik orangtua mengekspresikan pemikirannya sendiri.
Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis memberikan kesempatan
bagi anak untuk berpendapat, mengungkapkan gagasan dan perasaannya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
pendapat anak didengar, dihargai, dan dipertimbangkan orangtua. Orangtua
pun turut berpendapat sehingga terjadi diskusi atau percakapan dua arah yang
aktif. Aktivitas-aktivitas tersebut akan berulang dalam keseharian anak dan
berlangsung disepanjang perkembangan anak, sehingga dapat dijadikan proses
pembelajaran dalam hal berkomunikasi. Aktivitas-aktivitas dalam pola asuh
demokratis menjadikan anak terbiasa mengkomunikasikan pendapat. Anak
terbiasa berpikir atau terlatih mengolah kata agar orangtua mengerti dengan
jelas maksud dari pesan yang disampaikan.
Anak
yang terbiasa
diberikan kesempatan
oleh orangtua
untuk
berpendapat, menyampaikan pemikiran dan perasaannya akan membuat anak
merasa bahwa dirinya dihargai. Penghargaan yang diberikan orangtua
mendorong anak untuk menilai atau mengevaluasi dirinya secara positif.
Sedikides dan Luke (2007) menjelaskan, bahwa self-enhancement merupakan
suatu kecenderungan saat individu mengevaluasi diri dengan cara fokus dan
menekankan aspek-aspek positif dari diri. Self-enhancement membuat individu
hanya fokus terhadap informasi-informasi positif tentang diri, hal-hal negatif
diri tidak dilibatkan dalam evaluasi diri, sehingga individu tetap berpikir positif
terhadap diri.
Penelitian yang dilakukan oleh Lea (2010) menyatakan, bahwa semakin
tinggi kemampuan berpikir positif, salah satunya berpikir positif tentang diri,
maka semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Perlakuan
dan kesempatan yang diberikan orangtua dalam pola asuh demokratis membuat
anak merasa bahwa dirinya dihargai, sehingga anak cenderung menilai atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
mengevaluasi diri secara positif yang sering disebut dengan self-enhancement.
Hal tersebut dapat membuat individu terhindar dari kecemasan berbicara di
depan umum.
2. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dengan Kecemasan Berbicara di
Depan Umum pada Mahasiswa
Banyak mahasiswa yang masih menganggap berbicara di depan umum
menjadi kegiatan yang menakutkan, yang sering disebut dengan kecemasan
berbicara di depan umum. Berkembangnya kompetensi yang dimiliki
mahasiswa berasal dari pengalamannya didalam keluarga.
Keluarga
merupakan
lingkungan
pertama
yang
mempengaruhi
perkembangan individu. Hal tersebut dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas
kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa sikap dan perilaku khusus
orangtua yang nantinya akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak.
Aktivitas-aktivitas kompleks tersebut sering disebut sebagai pola asuh. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orangtua berkaitan dengan
perkembangan kompetensi anak (Berns, dalam Lestari 2012). Menurut
Baumrind (dalam Mussen, 1983) anak dari orangtua yang menerapkan pola
asuh demokratis terbukti menjadi lebih kompeten dibandingkan dengan anak
dari orangtua yang otoriter dan permisif. Berbagai perlakuan dalam penerapan
pola asuh demokratis memberikan kesempatan-kesempatan bagi anak untuk
meningkatkan kompetensi anak, begitu pula dengan kompetensi anak dalam
berkomunikasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
Berbicara di depan umum merupakan sebuah kompetensi penting untuk
mahasiswa. Namun beberapa mahasiswa masih mengalami kecemasan
berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara didepan umum dialami salah
satunya karena mahasiswa kurang pengalaman positif dalam berkomunikasi
(
Orangtua dengan pola asuh
demokratis memberikan banyak kesempatan bagi anak untuk mengembangkan
kemampuan komunikasi.
Salah satu karakteristik pola asuh demokratis ialah terciptanya suasana
komunikasi yang baik antara orangtua dan anak serta sesama keluarga (Jamal
dan Idris, 1992). Pola asuh demokratis memberikan kesempatan-kesempatan
bagi anak untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan, pendapat
anak didengar dan dipertimbangkan orangtua. Anak yang didengarkan merasa
bahwa pendapatnya dihargai. Penghargaan inilah yang membuat anak nyaman
dengan pola komunikasi yang dibangun orangtua sehingga aktivitas-aktivitas
ini akan berulang di keseharian anak dan menjadi pengalaman komunikasi
yang positif bagi anak.
Individu yang dididik dalam pola asuh demokratis menjadi terampil
berkomunikasi
karena
terbiasa
mengungkapkan gagasan
yang diolah
sedemikian rupa supaya orangtua memahami maksud gagasan tersebut.
Penelitian yang dilakukan Putri (2013) menunjukkan, semakin tinggi
ketrampilan komunikasi pada mahasiswa maka semakin rendah kecemasan
berbicara di depan umum. Dijelaskan lebih lanjut bahwa, ketidakmampuan
mengungkapkan keinginan, perasaan, dan mengekspresikan apa yang ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
dalam benak individu menjadi masalah yang dapat menyebabkan kecemasan
berbicara di depan umum, sehingga individu membutuhkan pengalaman
berkomunikasi.
Aktivitas-aktivitas mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan kepada
orang lain menjadi kegiatan sehari-hari bagi anak dalam pola asuh demokratis.
Pengalaman-pengalaman komunikasi dalam pola asuh demokratis dapat
menjadi bahan pembelajaran yang akan membuat anak terampil berkomunikasi
sehingga dapat meminimalisir kecemasan berbicara di depan umum.
3. Hubungan antara Self-enhancement dengan Kecemasan Berbicara di
Depan Umum pada Mahasiswa
Berbicara di depan umum merupakan sebuah kemampuan yang
dibutuhkan mahasiswa. Kemampuan ini banyak dilakukan oleh mahasiswa tapi
banyak mahasiswa yang masih mengalami kegugupan saat berbicara di depan
umum. Kegugupan yang berkaitan dengan komunikasi publik disebut Hanna
dan Gibson (1989) sebagai kecemasan berbicara di depan umum.
Kecemasan berbicara di depan umum erat terkait dengan bagaimana
evaluasi atau penilaian individu terhadap kemampuannya atau sering disebut
McCroskey (1966)
sebagai self-perceived communication
competence.
McCroskey (1966) mengungkapkan, bahwa individu yang merasa tidak
mempunyai
cukup
kemampuan
berkomunikasi
cenderung
mengalami
kecemasan berbicara di depan umum.
Self-enhancement merupakan salah satu kecenderungan saat individu
mengevaluasi diri, dengan memberikan penilaian positif pada diri individu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
(Sedikides
dan Strube,
1997). Individu dengan
kecenderungan
self-
enhancement saat mengevaluasi diri akan merasa bahwa dirinya memiliki
kemampuan-kemampuan yang diperlukan, bahkan penilaian individu terhadap
kemampuannya bisa jadi telalu positif. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Taylor dan Brown (dalam Taylor, dkk., 1997) yang menjelaskan, bahwa selfenhancement dapat membuat individu mempersepsi diri secara berlebihan
kearah positif sehubungan dengan kemampuan, bakat, dan ketrampilan sosial
yang sebenarnya. Hal tersebut berarti, self-enhancement akan membuat
individu merasa memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Jika
dihadapkan pada situasi komunikasi publik, Individu merasa bahwa dirinya
memiliki talenta untuk berbicara di depan umum. Perasaan positif atau bahkan
terlalu positif tentang kemampuan diri inilah yang dapat menghindarkan
individu dari kecemasan berbicara di depan umum.
Selain itu, Edelmann (1995) menyatakan, bahwa kecemasan berbicara di
depan umum dapat disebabkan karena individu mengaitkan situasi berbicara di
depan umum dengan pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.
Mengingat pengalaman negatif dimungkinkan memberi dampak buruk bagi
kemajuan mahasiswa. Self-enhancement membuat mahasiswa terhindar dari
ingatan-ingatan negatif tentang diri, hal tersebut disebabkan individu saat
mengevaluasi diri hanya terfokus pada informasi-informasi positif diri. Kuiper
dkk. (dalam Taylor dkk., 1997) menyatakan, self-enhancement membuat
individu hanya mengingat informasi positif diri tapi informasi negatif
seringkali terselip dengan nyaman di benak individu. Hal tersebut dikarenakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
berpikiran baik tentang diri membuat mahasiswa merasa senang sehingga tetap
termotivasi dalam pekerjaan yang produktif dan kreatif (Taylor dkk., 1997).
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa self-enhancement membuat
pengalaman negatif tidak memberikan dampak yang buruk bagi mahasiswa
sehingga kecemasan berbicara di depan umum dapat dihindari.
E. Kerangka Berpikir
H2
Pola Asuh
Demokratis
H1
Kecemasan Berbicara di
Depan Umum
SelfEnhancement
H3
Bagan 1
Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis dan Self-enhancement dengan
Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Keterangan:
H1 : Hubungan antara pola asuh demokratis dan self-enhancement
dengan kecemasan berbicara di depan umum
H2 : Hubungan antara pola asuh demokratis dengan kecemasan
berbicara di depan umum
H3 : Hubungan antara self-enhancement dengan kecemasan berbicara
di depan umum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
F. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:
4.
Terdapat hubungan antara pola asuh demokratis dan self-enhancement
dengan kecemasan berbicara di depan umum pada anggota Badan Eksekutif
Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5.
Terdapat hubungan negatif antara pola asuh demokratis dengan kecemasan
berbicara di depan umum pada anggota Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6.
Terdapat hubungan negatif antara self-enhancement dengan kecemasan
berbicara di depan umum pada anggota Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
Download