perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum 1. Kecemasan Berbicara di Depan Umum a. Pengertian Kecemasan Setiap orang pernah merasakan kecemasan dalam hidupnya. Kecemasan ini dirasakan individu dengan tingkatan yang berbeda-beda. Freud (dalam Wiramihardja, 2007) menjelaskan kecemasan sebagai suatu perasaan yang sifatnya umum. Individu yang mengalami kecemasan akan merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya. Lebih lanjut Groen (dalam Prasodjo, 2006) menjelaskan bahwa kecemasan dikatakan normal bila intensitas dan cirinya setara dengan situasi yang dihadapi dan bila akibatnya tidak menyebabkan disorganisasi dan maladapsi. Berdasarkan pendapat dua ahli tersebut dapat dijelaskan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan negatif berupa ketakutan atau perasaan kehilangan kepercayaan diri pada suatu hal dan normal dialami individu jika intensitas dan cirinya setara dengan situasi yang dihadapi dan bila akibatnya tidak menyebabkan disorganisasi dan maladapsi. Durand dan Barlow (2008) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah hal ini disebabkan karena individu mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan commit to user 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 perasaan khawatir. Kecemasan biasanya melibatkan perasaan, perilaku dan respon-respon fisiologis. Lebih lanjut dijelaskan oleh Leef (dalam Prasodjo, 2006) munculnya kecemasan disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniah yang khas dan akan berulang bagi individu tertentu. Reaksi tersebut dapat berupa rasa kosong di pusat perut, jantung berdebar, dada merasa sesak, sakit kepala, keringat berlebihan, dan rasa ingin buang air. Perasaan ini juga disertai dengan rasa ingin bergerak dan gelisah. Berdasarkan uraian mengenai kecemasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif berupa antisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir, kadang melibatkan perilaku seperti rasa ingin bergerak karena gelisah dan ditandai oleh respon-respon fisiologis. b. Pengertian berbicara di depan umum Rogers (2004) menyebut berbicara di depan umum dengan komunikasi publik atau public speaking. Menurut Mulyana (2001) dalam komunikasi publik, satu orang ditunjuk sebagai pembicara sedangkan yang lain sebagai pendengar. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga aspek dalam komunikasi publik. Pertama, komunikasi publik cenderung terjadi di tempat-tempat yang biasanya disebut sebagai tempat publik seperti auditorium, kelas dan ruang rapat. Kedua, pembicaraan publik cenderung mengemukakan masalah sosial daripada mengemukakan masalah-masalah informal dan tidak terstruktur. Ketiga, komunikasi publik melibatkan norma perilaku yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 relatif jelas. Maka dari itu komunikasi publik sering menuntut pembicara lebih berhati-hati dan terorganisasi. Olii (2007) menyebut publik sebagai objek dari pembicara, publik dijelaskan sebagai sejumlah orang yang dalam kesempatan tertentu akan berkomunikasi dengan pembicara. Tidak ada batasan pasti mengenai jumlah individu yang menjadi objek dalam komunikasi publik. Namun, ketika individu berbicara dihadapan sejumlah orang dengan pembicaraan satu arah dan percakapan panjang tanpa diputus atau disela pihak lainnya (monolog) maka hal itu dikatakan sebagai komunikasi publik (Rogers, 2004). Begitu pula Devito (1997) menjelaskan, bahwa berbicara di depan umum merupakan suatu bentuk komunikasi dari seorang pembicara yang menghadapi pendengar dalam jumlah yang relatif besar dengan pembicaraan yang relatif kontinyu, biasanya bertemu muka. Kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa berbicara di depan umum memiliki dua tujuan, yaitu tujuan informatif untuk menciptakan pemahaman dan tujuan persuasif yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan perilaku. Gunadi (1998) menjelaskan bahwa tujuan dari berbicara di depan umum, antara lain mempengaruhi, mengajak mendidik, mengubah opini, memberikan penjelasan, dan memberikan informasi kepada masyarakat di tempat tertentu. Beberapa contoh berbicara di depan umum ialah dosen yang memberikan kuliah, individu yang menyampaikan laporan di kelas, individu yang menyampaikan pendapatnya pada sebuah rapat, dan seorang politikus yang menyampaikan pidato kampanye. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa berbicara di depan umum merupakan komunikasi lisan tentang suatu hal oleh seorang pembicara di depan sejumlah pendengar, dengan pembicaraan satu arah dan percakapan panjang tanpa diputus atau disela pihak lain, yang bertujuan untuk memberikan pemahaman atau mempengaruhi sikap dan perilaku pendengar. c. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum Kecemasan berbicara di depan umum merupakan salah satu dari kecemasan komunikasi atau sering disebut communication apprehension (McCroskey, 1977). Burgoon dan Ruffner (dalam Kusumawati, 2012) menyatakan, kecemasan komunikasi pada dasarnya merupakan suatu reaksi negatif dalam bentuk kecemasan yang dialami individu dalam pengalaman komunikasinya, yang terjadi karena individu mengembangkan perasaan negatif dan memprediksi hasil negatif dalam interaksi komunikasinya dengan orang lain. Adapun McCroskey (1977) menjelaskan, kecemasan komunikasi sebagai tingkat ketakutan atau kecemasan individu yang terkait dengan komunikasi nyata atau komunikasi yang diantisipasi sebelumnya yang berhubungan dengan orang lain atau orang banyak. Berdasar pendapat di atas dapat diartikan, bahwa kecemasan komunikasi merupakan suatu reaksi berupa kecemasan karena individu mengembangkan perasaan negatif dan memprediksi hasil negatif tentang situasi komunikasi yang sedang atau yang akan dialami. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 Kecemasan berbicara di depan umum diartikan Hanna dan Gibson (1989) sebagai kegugupan yang berkaitan dengan komunikasi publik. Selanjutnya dijelaskan, bahwa simtom dalam kecemasan komunikasi terbagi menjadi dua macam, yang pertama yaitu reaksi-reaksi fisik berupa detak jantung bertambah cepat, tekanan darah bertambah tinggi, tangan gemetar, kaki terasa lemah, berkeringat dan wajah memerah. Kedua berupa reaksireaksi psikis berupa kecenderungan lupa akan hal-hal yang telah di siapkan sebelumnya dan kebiasaan mengalihkan perhatian seperti tidak mau melihat pendengar untuk mengurangi kegugupan. Berdasarkan paparan dari para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa kecemasan berbicara di depan umum merupakan suatu reaksi negatif dalam bentuk kecemasan yang dialami individu dalam pengalaman komunikasinya didepan sejumlah orang, disebabkan individu mengembangkan perasaan negatif dan memprediksi hasil negatif dalam interaksi komunikasinya. 2. Faktor-Faktor Kecemasan Berbicara di Depan Umum Kecemasan berbicara di depan umum merupakan salah satu bentuk kecemasan sosial (social anxiety). Edelmann (1995) membagi empat faktor yang terkait dengan kecemasan berbicara di depan umum, yaitu: a. Classical conditioning Individu mengaitkan situasi berbicara di depan umum dengan pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan. Hal ini akan membuat cemas saat individu dihadapkan pada situasi yang serupa. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 b. Skill deficit model Kecemasan berbicara di depan umum merupakan hasil dari ketidakmampuan individu dalam menangani tuntutan untuk berbicara di depan umum. Ketidakmampuan ini biasanya berasal dari kurangnya praktek atau kurangnya pengalaman dalam menghadapi situasi serupa. Individu yang mengalami kecemasan saat berbicara di depan umum merupakan individu yang kurang memiliki ketrampilan komunikasi publik. c. Cognitive factors Individu mengalami kecemasan berbicara di depan umum disebabkan individu mengembangkan pola pemikiran yang salah. Termasuk di dalamnya, evaluasi diri yang negatif dari penampilan saat berbicara di depan umum, statement diri yang negatif sebelum dan selama situasi komunikasi berlangsung, kepercayaan yang tidak logis mengenai diri dan lingkungannya, kecenderungan memilih memori tentang penampilan diri yang negatif daripada positif, bias perhatian pada isyarat ancaman sosial, dan harapan yang tidak telalu tinggi terhadap kemampuan dan penampilan. d. A multicomponent process framework Model interaktif dari berbagai kompleksitas yang menggabungkan pengukuran psikobiologi, perilaku, fisiologis, dan kognitif telah diusulkan sebagai penjelasan untuk kecemasan sosial termasuk di dalamnya kecemasan berbicara di depan umum. Individu menggabungkan berbagai komponen untuk mengevaluasi lingkungan luar maupun diri pribadi yang berpotensi menimbulkan kecemasan berbicara di depan umum. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 Fokus perhatian yang dapat menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional (faktor eksternal individu) dan disposisional (faktor internal individu). Fokus ini terlebih dulu dirujuk ke self-awareness, lalu ke self-consciousness. Kedua parameter ini memiliki komponen publik, mengacu pada kesadaran dari pikiran dan perasaan orang lain yang dapat individu perhatikan, dan komponen pribadi, mengacu pada kesadaran bahwa pikiran dan perasaan pribadi diperhatikan oleh orang lain. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pikiran dan perilaku individu sebelum berbicara. Brydon dan Scott (2006) menyebutkan beberapa faktor yang dapat memicu kecemasan berbicara di depan umum, sbb : a. Sikap pesimistis Jika individu bereaksi positif terhadap suatu situasi, rangsangan yang dirasakan akan menyenangkan. Sebaliknya, jika individu melihat situasi secara negatif, maka rangsangan akan dirasakan sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan atau bahkan menghawatirkan. b. Persiapan dan praktek yang tidak memadai Salah satu alasan berkembangnya sikap pesimistis untuk berbicara didepan umum ialah kurangnya persiapan dan praktek. Meminimalkan pentingnya persiapan dan latihan berpidato hanya meningkatkan jumlah ketidakpastian saat berbicara di depan umum. Selanjutnya, ketidakpastian ini adalah penyebab utama kecemasan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 c. Pengalaman negatif atau tidak cukup pengalaman Pengalaman public speaking di masa lalu yang berhasil dapat membuat individu merasa lebih siap dalam menghadapi situasi yang serupa. Namun, jika pengalaman public speaking gagal dan dirasakan tidak menyenangkan maka individu akan ragu dengan kemampuannya berbicara di depan umum di masa datang. d. Tujuan-tujuan yang tidak realistis Penelitian menunjukkan bahwa individu yang menetapkan tujuan yang realistis bagi diri sendiri cenderung kurang cemas dan lebih sukses dari individu yang menetapkan tujuan yang tidak logis atau jauh dari jangkauan. e. Negative self-talk Negative self-talk adalah sebuah pola mengalahkan diri dengan komunikasi intrapersonal, yang di dalamnya termasuk self-criticizing (kritik diri), self-pressuring (penekanan diri), dan catastrophizing statements (pernyataan-pernyataan yang berbahaya), hal-hal ini lah yang akan membuat individu mengalami kecemasan menghadapi orang banyak. f. Kekhawatiran yang salah arah Penelitian menunjukkan, bahwa individu yang sangat cemas terfokus dengan hal-hal seperti, bagaimana individu akan dievaluasi, berapa lama harus berbicara, apa topik yang harus dipilih, apakah individu bisa menggunakan catatan, dan berapa lama persiapan yang harus dilakukan. Singkatnya, keprihatinan utama pembicara ialah dengan faktor-faktor yang mempengaruhi langsung bagaimana individu akan dievaluasi. Kekhawatiran commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 ini merupakan tanda-tanda klasik dari kecemasan mental. Selain itu peneliti menyatakan, bahwa individu-individu yang benar-benar cemas mungkin begitu sibuk dengan kekhawatiran salah arah mereka, dan mengabaikan hal penting seperti penyusunan pidato. Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa faktor-faktor kecemasan berbicara di depan umum yaitu: classical conditioning, skill deficit model, cognitive factors, a multicomponent process framework, sikap pesimistis, persiapan dan praktek yang tidak memadai, pengalaman negatif atau tidak cukupnya pengalaman, tujuan-tujuan yang tidak realistis, negative self-talk, dan kekhawatiran yang salah arah. 3. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara di Depan Umum Ada beberapa gejala umum yang biasanya dialami oleh individu yang mengalami kesulitan berbicara di depan umum. Rogers (2004) membagi kecemasan berbicara di depan umum menjadi tiga aspek, yaitu: a. Komponen fisik Gejala fisik biasanya dialami sebelum memulai pembicaraan dan dapat berbeda untuk setiap orang, tetapi umumnya berupa detak jantung bertambah cepat, tangan dan kaki gemetar, tangan dan kaki terasa dingin, badan terasa lemas, suara bergetar, dada terasa sesak, dan berkeringat. b. Komponen proses mental Gejala-gejala yang terkait dengan proses mental pada umumnya terjadi saat pembicara tampil. Kecemasan membuat individu kesulitan mengontrol pikirannya, hal ini menyebabkan individu sering mengulang kata atau commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 kalimat, secara tiba-tiba hilang ingatan sehingga tidak dapat mengingat fakta dengan tepat dan melupakan hal-hal penting, pikiran tersumbat sehingga membuat individu tidak tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya, dan melakukan bentuk-bentuk kekacauan yang lain. c. Komponen emosional Beberapa gejala emosional dirasakan Individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum. Gejala emosional biasanya berupa perasaan negatif yang mempengaruhi kondisi individu. Gejala emosional yang dimaksud berupa perasaan takut menjadi pembicara, rasa tidak mampu dan tidak berdaya mengatasi kenyataan sebagai pembicara, rasa kehilangan kendali dan panik, dan rasa takut dipermalukan atau disalahkan saat presentasi berakhir. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum yang diungkapkan oleh Rogers (2004), yaitu komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen emosional dalam penyusunan skala kecemasan berbicara di depan umum. B. Pola Asuh Demokratis 1. Pengertian Pola Asuh Demokratis Tiap-tiap orangtua memiliki karakteristik yang berbeda dalam menghadapi anak. Karakteristik tersebut berbentuk pola sikap dan pola perilaku yang cenderung konsisten dan sering disebut dengan pola asuh. Pola asuh yang diterapkan orangtua dipercaya memiliki dampak terhadap perilaku dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 perkembangan anak. Darling (1999) menyatakan, bahwa pola asuh merupakan suatu aktivitas kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa perilaku khusus yang dikerjakan secara individu maupun bersama-sama yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Aktivitas kompleks tersebut pada dasarnya digunakan orangtua untuk mendidik, mengontrol, memenuhi kebutuhan dan memberi perlindungan terhadap anak. Hurlock (1992) membagi pola asuh menjadi tiga jenis, salah satunya berupa pola asuh demokratis. Orangtua demokratis terkenal dengan orangtua yang tinggi pada kejelasan komunikasi. Pola asuh ini menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Pendapat lain diungkapkan oleh Suherman (2000), pola asuh demokratis mempunyai karakteristik sifat demokrasi, memperlakukan anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangan usia anak, dan memperhatikan serta mempertimbangkan keinginan-keinginan anak. Anak dengan pola asuh ini mempunyai sikap atau perilaku tanggung jawab yang besar, memiliki penyesuaian pribadi dan sosial yang baik, konsep diri yang sehat, positif, penuh dengan rasa percaya diri, emosinya stabil, mempunyai keberanian untuk berinisiatif, dan kreatif. Baumrind (dalam Santrock, 2007) menyebut pola asuh demokratis dengan authoritative parenting. Orangtua mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan anak. Karakteristik utama orangtua dalam pola asuh ini ialah sikap hangat dan mengasuh terhadap anak. Reuter dan Conger (dalam Santrock, 2010) menyatakan, bahwa orangtua commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 dengan pola asuh demokratis memiliki keseimbangan yang baik antara pengendalian dan otonomi dengan memberikan peluang kepada anak untuk mengembangkan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan bimbingan yang diperlukan oleh anak. Anak dari orangtua yang menerapkan pola asuh ini biasanya mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial. Berdasarkan uraian mengenai pengertian pola asuh demokratis di atas dapat disimpulkan, bahwa pola asuh demokratis ialah suatu aktivitas kompleks orangtua yang memiliki keseimbangan baik antara pengendalian dan otonomi, memiliki kejelasan komunikasi yang tinggi terhadap anak karena menggunakan penjelasan, diskusi, dan penalaran. 2. Aspek-aspek Pola Asuh Demokratis Kohn (1963) menjelaskan, aspek-aspek pola asuh orangtua antara lain pandangan terhadap anak, pemberian disiplin, komunikasi, dan pemenuhan kebutuhan. Berikut ini dijelaskan mengenai karakteristik pola asuh demokratis yang didasarkan pada tiap-tiap aspek. a. Pandangan terhadap anak Orangtua demokratis adalah orangtua yang tidak bersifat memerintah dengan memberikan kebebasan yang cukup bagi anak. Anak dipandang sebagai individu yang memiliki keputusan mandiri, kepribadian, minat, pendapat, dan keinginan yang harus dihargai (Baumrind dalam Papalia dan Olds 2009). Orangtua dalam pola asuh demokratis menetapkan ekspektasi dan standar yang realistis bagi anak. Orangtua memberlakukan pembatasan pada saat memiliki pengetahuan atau wawasan yang lebih commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 besar, dengan tegas menolak dalam menyetujui tuntutan-tuntutan anak (Baumrind, dalam Hetherington dan parke 1999). Karakteristik pola asuh demokratis ialah memperlakukan anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangan usia anak karena orangtua ingin agar anak dapat berperilaku dengan cara yang tepat sesuai usia (Dacey, dkk., 2009). b. Pemberian disiplin Disiplin mengacu pada setiap upaya orangtua dalam mengubah sikap dan perilaku anak (Fabes dan Lynn, 2000). Tujuan disiplin ialah untuk membantu anak mengembangkan kontrol diri sehingga perilaku anak dapat diterima dan dianggap tepat oleh masyarakat. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis percaya, bahwa anak yang disiplin berarti anak yang memiliki kendali atas perilakunya, sehingga anak melakukan sesuatu tidak berdasarkan adanya penjaga atau ancaman (Hurlock, 1992). Hal di atas sering disebut dengan internalisasi. Internalisasi terjadi ketika ketaatan anak didasarkan pada pengendalian internal dan standar yang telah digabungkan dengan harapan anak karena dirinya sendiri. Itu berarti bahwa, anak bertindak dengan tepat karena anak ingin bertindak (internalisasi), bukan karena anak harus bertindak (compliance) (Fabes dan Lynn, 2000). Orangtua dalam pola asuh demokratis menetapkan kontrol yang tinggi terhadap anak dengan menggunakan standar yang pasti (Dacey, dkk., 2009). Standar atau peraturan tersebut ditetapkan menggunakan penjelasan, diskusi, dan penalaran untuk membantu anak mengerti commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 mengapa perilaku tertentu diharapkan. Selain diberikan penjelasan tentang peraturan, anak juga diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka dan berdiskusi tentang peraturan tersebut. Pemberian disiplin pada pola asuh demokratis berguna untuk menegakkan peraturan-peraturan dan standar bagi anak menggunakan perintah-perintah dan sanksi-sanksi bila dibutuhkan (Baumrind dalam Mussen, 1983). Sanksi diberikan dengan bijak dan dapat berupa hukuman maupun penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman digunakan dengan bijak dan bila dibutuhkan, biasanya tidak berbentuk hukuman badan serta penghargaan biasanya menggunakan pujian atau pernyataan persetujuan lain. c. Komunikasi Orangtua bervariasi dalam seberapa banyak berbicara dengan anak, apa yang dikatakan dan bagaimana cara mengatakannya. Baumrind (dalam Mussen, 1983) menyatakan bahwa pola asuh demokratis menerapkan komunikasi yang terbuka antara orangtua dan anak dengan orangtua mendengarkan pemikiran sang anak, sebaik orangtua mengekspresikan pemikiran mereka sendiri. Orangtua demokratis adalah orangtua yang tinggi pada kejelasan komunikasi (Dacey, dkk., 2009). Orangtua mendorong verbal give and take (dorongan saling memberi dan menerima secara lisan) dan membagi alasan dibalik semua pendapat, disiplin dan aturan rumah tangga yang telah ditetapkan sehingga anak mengerti dengan jelas apa yang diharapkan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 dari dirinya (Fabes dan Lynn, 2000). Ketika terjadi konflik, orangtua yang demokratis akan mengajarkan anak cara yang positif untuk mengomunikasikan pandangannya dan mengajarkan cara melakukan negosiasi dengan sangat baik (Papalia dan Olds, 2009). d. Pemenuhan kebutuhan Hangat dan responsif merupakan karakteristik dari orangtua demokratis. Pemenuhan kebutuhan anak tidak didasarkan atas kehendak orangtua sendiri, namun anak juga diberikan kesempatan untuk menentukan apa yang diinginkan. Orangtua demokratis memperhatikan dan mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan anak. Orangtua mencoba untuk menjaga kesenangan yang seimbang antara dirinya dan anak (Garbarino dan Bedard, dalam Dacey dkk., 2009). Hal tersebut sependapat dengan Reuter dan Conger (dalam Santrock, 2010) yang menyatakan bahwa orangtua dengan pola asuh demokratis memiliki keseimbangan yang baik antara pengendalian dan otonomi dengan memberikan peluang kepada anak untuk mengembangkan kedewasaan dan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan bimbingan yang diperlukan oleh anak. Orangtua mencintai dan menerima tetapi juga menuntut perilaku yang baik dan tegas dari anak (Baumrind dalam Papalia dan Olds, 2009). Pada umumnya, kehangatan dan jalan tengah yang diberikan orangtua juga bersifat terbatas, hal ini diwujudkan dengan orangtua mengharapkan perilaku anak yang tepat dan matang dengan menetapkan batas yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 wajar, tetapi orangtua juga menjadi responsif dan memperhatikan kebutuhan anak yang berhubungan dengan perkembangan harga diri anak, kemampuan beradaptasi, kompetensi, kontrol yang terinternalisasi, popularitas dengan teman sebaya, dan rendahnya tingkat perilaku antisosial (Baumrind, dalam Hetherington dan parke, 1999). Penelitian ini menggunakan aspek-aspek pola asuh yang diungkapkan oleh Khon (1963) dengan karakteristik pola asuh demokratis dalam penyusunan skala pola asuh demokratis. 3. Faktor-faktor Pola Asuh Demokratis Bornstein (dalam Dacey, dkk., 2009) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh ke dalam tiga faktor besar, yaitu: a. Karakteristik orangtua, seperti: sikap orangtua, usia, gender, dan pola asuh terdahulu Hurlock (1992) berpendapat, bahwa hubungan antara orangtua dan anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua terhadap anak mempengaruhi cara orangtua memperlakukan anak, dan perlakuan orangtua terhadap anak mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Orangtua yang lebih muda cenderung lebih demokratis dan permisif. Seorang ibu umumnya lebih mengerti anak, mengerti kebutuhan anak dan cenderung kurang otoriter dibandingkan ayah. Orangtua cenderung menggunakan pola asuh yang pernah didapatkan jika dianggap berhasil, tetapi jika orangtua merasa pola asuh yang pernah didapatkan tidak berhasil maka orangtua akan beralih pada teknik yang berlawanan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 b. Karakteristik anak, seperti: gender, usia, dan urutan kelahiran Fabes dan Lynn (2000) menyatakan, bahwa orangtua menggunakan teknik disiplin yang berbeda untuk masing-masing anak. Orangtua dengan anak yang mempunyai karakteristik susah dikontrol cenderung menerapkan power assertion (metode disiplin dengan menggunakan kekuasaan untuk mengontrol tingkah laku anak). Orangtua juga lebih menggunakan power assertion untuk anak laki-laki daripada perempuan karena orangtua mengira anak laki-laki cenderung lebih susah dikontrol. Hurlock (1992) berpendapat, bahwa semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan anak-anak diharapkan memerankan peran tersebut. Orangtua menganggap anak yang lebih muda tidak dapat mengerti penjelasan, sehingga orangtua cenderung menggunakan pola asuh otoriter. c. Konteks, seperti: budaya dan status sosioekonomi Harkness dan Super (dalam Santrock, 2007) menyatakan, budaya yang berbeda sering kali memberikan jawaban yang berbeda atas pertanyaan dasar seperti peran ayah dalam keluarga, sistem dukungan yang tersedia bagi keluarga, dan bagaimana anak-anak semestinya didisiplinkan. Intinya terdapat variasi lintas budaya yang penting dalam pengasuhan. Menurut Hoff, Laursen, dan Tardif (dalam Santrock, 2007), orangtua dengan status sosioekonomi lebih rendah cenderung menginginkan anak dapat menyesuaikan diri dengan keinginan masyarakat, menciptakan suasana bahwa orangtua memiliki otoritas atas anak, menggunakan hukuman fisik yang lebih banyak dalam mendisiplinkan anak, dan lebih commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 mengatur serta kurang suka mengadakan percakapan dengan anak. Sedangkan orangtua dengan status sosioekonomi yang lebih tinggi cenderung lebih peduli pada pembentukan inisiatif anak, memposisikan anak hampir setara dengan orangtua dan mendiskusikan aturan-aturan, lebih sedikit menggunakan hukuman fisik, dan tidak mengatur serta lebih membuka percakapan dengan anak. C. Self-enhancement 1. Pengertian Self-enhancement Sedikides dan Strube (1997) menjelaskan, bahwa self-enhancement merupakan salah satu motif atau kecenderungan saat individu mengevaluasi diri. Kecenderungan ini berbentuk fokus individu hanya terhadap informasiinformasi positif yang berkaitan dengan diri. Sedikides dan Luke (2007) menyatakan, bahwa self-enhancement merupakan suatu kecenderungan untuk fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari konsep diri seseorang, (misalnya sifat, kemampuan dan cita-cita), kehidupan seseorang (misalnya kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diinginkan dan kapasitas untuk mengendalikan kejadian-kejadian semacam itu) atau informasi yang berkenaan dengan diri yang baru masuk (misalnya umpan-balik). Individu dengan self-enhancement kadang kala mengevaluasi dirinya terlalu positif atau lebih positif dari pendapat orang lain mengenai diri individu. Taylor dan Brown (dalam Taylor, Peplau, Sears, 1997) menjelaskan, bahwa self-enhancement dapat membuat individu mempersepsi diri secara berlebihan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 kearah positif sehubungan dengan kemampuan, bakat, dan ketrampilan sosial yang sebenarnya. Hal tersebut setara dengan Dunning (1999) menjelaskan, bahwa self-enhancement merupakan kecenderungan untuk mempertahankan harga diri yang positif di bawah segala keadaan. Tujuan utamanya ialah untuk memelihara, melindungi, dan meningkatkan kepositifan konsep diri. Self-enhancement membuat individu lebih suka mengetahui hal-hal positif daripada hal-hal negatif diri (Miller dan Ross, dalam Taylor dkk., 1997). Hal tersebut dikarenakan berpikiran baik tentang diri dengan mengingat hal-hal positif diri membuat individu merasa senang sehingga tetap termotivasi dalam pekerjaan yang produktif dan kreatif, dan meyakini bahwa individu mempunyai talenta merupakan sebuah usaha agar kesuksesan terus mengiringi individu (Taylor dkk., 1997) Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa self-enhancement merupakan suatu motif atau kecenderungan saat individu mengevaluasi diri, dengan cara fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari konsep diri seseorang, kehidupan seseorang atau informasi yang berkenaan dengan diri yang baru masuk agar individu tetap termotivasi dalam pekerjaan yang produktif dan kreatif. 2. Sumber dan Konsep Self-enhancement Schwartz (1999) menjelaskan self-enhancement berasal dari nilai yang terdapat pada diri seseorang. Schwartz (1999) mendefinisikan nilai sebagai suatu konsep yang diinginkan yang berfungsi untuk memandu individu dalam menyeleksi tindakan, mengevaluasi seseorang ataupun peristiwa, dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 menjelaskan tindakan maupun melakukan evaluasi. Nilai yang dimiliki individu merupakan hasil dari pengalaman dan nilai-nilai budaya bersama yang ada di lingkungannya. Walaupun demikian, perbedaan pengalaman kepribadian antar-individu akan membawa individu memiliki perbedaan prioritas nilai. Nilai meliputi sikap individu, standar bagi perilaku, dan keyakinan (belief). Nilai dipelajari dari budaya, keluarga, dan orang-orang disekitar individu. Nilai yang dimiliki individu dapat digunakan untuk menyatakan kepada orang lain apa yang penting menurut pribadinya dan dapat digunakan untuk menuntun individu dalam mengambil keputusan. Nilai yang dimiliki akan memandu individu salah satunya dalam hal evaluasi diri. Bersama para koleganya Schwartz dan Bardi (2001) melakukan kajian lintas budaya dan membuat konstruksi 10 nilai dasar yang diakui individu dari berbagai budaya yaitu, pengarahan diri (self-direction), hedonism (hedonism), keamanan (security), prestasi (achievement), kebajikan (benevolent), kekuasaan (power), stimulasi (stimulation), konformitas (conformity), tradisi (tradition), dan universalisme (universalism). Kesepuluh nilai tersebut digolongkan menjadi empat kelompok yaitu keterbukaan terhadap perubahan (openness to change), transendensi diri (self-transcendence), konservasi (conservation), dan peningkatan diri (self-enhancement). Schwartz dan Bardi (2001) menjelaskan konsep self-enhancement sebagai suatu nilai yang terdiri dari tiga nilai dasar, yaitu hedonism (hedonism), prestasi (achievement), dan kekuasaan (power). Pendapat lain mengenai konsep self-enhancement diungkapkan oleh Sedikides dan Strube (1997) yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 menyatakan, bahwa self-enhancement merupakan salah satu motif dari evaluasi diri. Sedikides dan Strube (1997) menyatakan, bahwa terdapat empat motif evaluasi diri, diantaranya: self-verification (individu termotivasi untuk menjaga konsistensi antara self-consept dengan self-relevant information yang baru), self-improvement (individu termotivasi untuk memperbaiki sifat, kemampuan, ketrampilan, kesehatan dan perilakunya), self-assessment (individu termotivasi untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai dirinya), dan yang terakhir yaitu self-enhancement (individu termotivasi untuk meninggikan kepositifan konsep diri mereka dan melindungi konsep diri dari informasi negatif). Kecenderungan individu ketika mengevaluasi diri berasal dari nilai-nilai yang dianut. Self-enhancement membuat individu hanya terfokus pada informasi-informasi positif yang berkaitan dengan diri. Hal tersebut membuat individu lebih menyayangi dirinya sehingga individu tetap termotivasi (Taylor dkk., 1997). 3. Aspek-aspek Self-enhancement Schwartz (1992) menjelaskan, bahwa terdapat tiga aspek untuk mengukur self-enhancement yaitu: a. Nilai hedonism Nilai spesifik yang meliputi hedonism ialah: pleasure (kepuasan dari keinginan pribadi), dan enjoying life (menikmati kehidupan seperti menikmati makanan, sex, dan waktu luang). Nilai hedonism berasal dari commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 kebutuhan makhluk hidup dan kesenangan yang memuaskan diri. Tujuan dari motivasi hedonisme ialah sebagai kesenangan atau kepuasan hidup untuk diri sendiri. b. Nilai achievement Nilai spesifik yang meliputi achievement ialah: Ambitious (bekerja keras dan memiliki cita-cita), successful (dapat mencapai tujuan), capable (mampu atau memiliki kompetensi, efektif, dan efisien). Tujuan nilai achievement adalah kesuksesan individu dengan menunjukkan kompetensi yang di dasarkan pada standar sosial. Nilai-nilai achievement ditekankan dengan menunjukkan kompetensi dalam hal yang berlaku sesuai standar budaya, sehingga memperoleh persetujuan sosial. c. Nilai power Nilai spesifik yang meliputi power ialah: preserving public image (menjaga citra diri dan harga diri), social recognition (penghormatan dan persetujuan dari orang lain), authority (hak untuk memimpin dan memerintah), dan social power (mengontrol orang lain dan mendominasi). Tujuan utama nilai-nilai kekuasaan (power) ialah sebagai pencapaian status sosial dan prestise (martabat atau gengsi), dan kontrol atau dominasi terhadap sumber daya dan orang lain. Adapun menurut Sedikides dan Strube (1997), terdapat enam aspek dalam mengungkap self-enhancement,yaitu: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 a. Recall and processing of self-relevant information Penelusuran self-enhancement dapat dilakukan dengan mengetahui proses dan isi memori manusia. Individu dengan motif self-enhancement menganggap sifat-sifat relevan diri yang positif lebih baik daripada yang negatif dan mengingat timbal balik kesuksessan lebih baik dari timbal balik kegagalan. Individu memproses informasi relevan diri yang positif lebih cepat dari yang negatif dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca informasi-informasi yang mendukung dirinya daripada informasi yang tidak mendukung. Individu mencari-cari informasi yang kurang untuk mendukung kesimpulan yang menyenangkan bagi pribadi dibandingkan dengan kesimpulan yang tidak menyenangkan, membuat perilaku melindungi diri ketika membuat keputusan yang berisiko, ketika menjalin negosiasi dan ketika membahas pesan-pesan yang berhubungan dengan kesehatan. Selain itu, individu menilai penampilan diri kurang akurat dan menilai lebih positif dari persepsi individu lain, dan menganggap hal-hal positif lebih bermanfaat daripada hal-hal negatif, terutama ketika individu berpikir tentang efeknya di masa depan. Selain itu, individu mengumpulkan buktibukti untuk mendukung kualitas diri yang dipercayai diinginkan secara sosial (socially desirable). Pada akhirnya, individu mengartikan sifat-sifat dan kemampuannya dalam cara melayani diri (self-serving manner). Bahkan kategori-kategori pada bentuk dasar yang digunakan individu dalam penilaian sosial menggunakan cara melayani diri (self-serving manner). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 Dengan demikian, dunia sosial disimpulkan dengan istimewa menggunakan cara-cara yang dapat meningkatkan diri. b. The above-average effect Individu menilai diri di atas rata-rata dalam karakteristik personal dan aktivitas-aktivitas pribadi. Dibandingkan rata-rata orang, individu percaya bahwa dirinya lebih bahagia, melakukan pekerjaan lebih baik, memiliki kepemimpinan dan ketrampilan sosial yang lebih baik, memiliki kemampuan mengontrol yang lebih baik, kemahiran mengatur yang lebih baik, standar etika yang lebih tinggi, serta kemungkinann-kemungkinan kesehatan yang lebih tinggi. Individu juga percaya bahwa sifat-sifat pribadi lebih baik jika dibandingkan dengan individu lain. Lebih jauh lagi, individu percaya kemungkinan kejadian positif terjadi lebih tinggi padanya daripada orang lain dan kemungkinan kejadian negatif lebih rendah dari rerata orang (misalnya, kecelakaan dan korban kejahatan). Individu mempertahankan keyakinan seperti terlalu positif, dengan menghasilkan dan mengevaluasi teori-teori kausal yang mendukung. c. Causal attributions Pekerjaan utama dalam atribusi ialah mengetahui alasan perilaku seseorang dan alasan terjadinya suatu peristiwa. Ketika individu terpengaruh oleh fokus untuk self-enhancement, individu akan membuat kesimpulan yang menguntungkan diri. Sebagai contoh, individu menganggap kesuksesan diri disebabkan oleh kemampuan dan usahanya, sedangkan kegagalan disebabkan oleh faktor situasi yang tidak mendukung. Fenomena commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 ini disebut self-serving bias. Selain itu, individu mencari dan memaksakan makna pada peristiwa kehidupan. Membuat penegasan dengan aspek-aspek yang tidak berhubungan dengan diri, interpretasi umpan balik yang ambigu sebagai umpan balik yang positif, dan penyangkalan. d. The self relevance of failure or weakness Konsisten dengan motif self-enhancement, kegagalan individu dipercaya karena tugas kurang relevan dengan diri. Sebuah proses yang disebutkan Tajfel dan Turner (dalam Sedikides dan Strube, 1997) sebagai lemahan pribadi sebagai hal yang wajar atau biasa dan mengartikan kelebihan pribadi sebagai hal yang unik. Perilaku yang konsisten dengan konsep diri juga dinilai sebagai keunikan. e. Social comparison processes Self-enhancement telah dibuktikan dalam perbandingan diri dengan orang lain. individu mengurangi jumlah perbandingan sosial atau membuat perbandingan ke bawah daripada ke atas ketika pribadi mengalami kegagalan atau efek negatif. Perbandingan sosial ke bawah meningkatkan penyesuaian psikologis dan meningkatkan status harga diri, terutama pada orang-orang yang memiliki harga diri rendah yang kronis. Individu menghindari perbandingan sosial ketika individu menduga bahwa hasilnya akan negatif. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 f. Self-presentation Presentasi diri berkaitan dengan strategi manajemen kesan individu terhadap orang lain. Taktik presentasi diri bisa secara langsung, seperti mengeluarkan informasi positif tentang diri, membuat alasan untuk kemampuan sosial yang tidak dimiliki, dan self-handicapping, atau tidak langsung, seperti menghapus kualitas negatif yang terkait dengan individu. Terlepas dari itu, tujuan self-presentasi yang menyeluruh adalah untuk mengendalikan audiens menuju citra yang menguntungkan diri. Presentasi diri tidak perlu positif, tujuannya adalah untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan atau menghindari hasil negatif, kadang-kadang dengan pencapaian terbaik, misalnya ditunjukkan dengan kesederhanaan presentasi diri. Titik kuncinya ialah individu sensitif terhadap tuntutan situasional yang unik dan evaluasi publik atas perilaku yang berbeda. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek self-enhancement yang diungkapkan oleh Sedikides dan Strube (1997), meliputi: recall and processing of self-relevant information, the above-average effect,causal attributions, the self-relevance of failure or weakness, social comparison processes, dan selfpresentation dalam penyusunan skala. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 D. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dan Self-enhancement dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa 1. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dan Self-enhancement dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa Berbagai kegiatan di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk menguasai kemampuan berbicara di depan umum. Namun, banyak mahasiswa yang mengalami ketakutan ketika menyampaikan gagasan di depan sejumlah orang yang sering disebut kecemasan berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum berasal dari ketakutan-ketakutan yang dikembangkan sebelum individu berbicara di depan umum (Harefa, 2003). Situasi berbicara di depan umum berbeda dengan situasi komunikasi biasa. Situasi ini cenderung lebih formal, terjadi di tempat-tempat publik, dan dihadiri oleh sejumlah orang yang menuntut individu sebagai pembicara sekaligus sebagai pusat perhatian. Mahasiswa yang kurang memiliki pengalaman berkomunikasi akan mengalami kesulitan berkomunikasi dan tidak mempu menyampaikan pesan dengan jelas, akibatnya mahasiswa mengalami kecemasan berbicara di depan umum (Muslimin, 2013). Pengalaman berkomunikasi didapatkan individu, tidak terkecuali di dalam keluarga. Baumrind (dalam Mussen, 1983) menyatakan, orangtua dalam pola asuh demokratis menggunakan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, dengan orangtua mendengarkan pemikiran sang anak, sebaik orangtua mengekspresikan pemikirannya sendiri. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis memberikan kesempatan bagi anak untuk berpendapat, mengungkapkan gagasan dan perasaannya, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 pendapat anak didengar, dihargai, dan dipertimbangkan orangtua. Orangtua pun turut berpendapat sehingga terjadi diskusi atau percakapan dua arah yang aktif. Aktivitas-aktivitas tersebut akan berulang dalam keseharian anak dan berlangsung disepanjang perkembangan anak, sehingga dapat dijadikan proses pembelajaran dalam hal berkomunikasi. Aktivitas-aktivitas dalam pola asuh demokratis menjadikan anak terbiasa mengkomunikasikan pendapat. Anak terbiasa berpikir atau terlatih mengolah kata agar orangtua mengerti dengan jelas maksud dari pesan yang disampaikan. Anak yang terbiasa diberikan kesempatan oleh orangtua untuk berpendapat, menyampaikan pemikiran dan perasaannya akan membuat anak merasa bahwa dirinya dihargai. Penghargaan yang diberikan orangtua mendorong anak untuk menilai atau mengevaluasi dirinya secara positif. Sedikides dan Luke (2007) menjelaskan, bahwa self-enhancement merupakan suatu kecenderungan saat individu mengevaluasi diri dengan cara fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari diri. Self-enhancement membuat individu hanya fokus terhadap informasi-informasi positif tentang diri, hal-hal negatif diri tidak dilibatkan dalam evaluasi diri, sehingga individu tetap berpikir positif terhadap diri. Penelitian yang dilakukan oleh Lea (2010) menyatakan, bahwa semakin tinggi kemampuan berpikir positif, salah satunya berpikir positif tentang diri, maka semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Perlakuan dan kesempatan yang diberikan orangtua dalam pola asuh demokratis membuat anak merasa bahwa dirinya dihargai, sehingga anak cenderung menilai atau commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 mengevaluasi diri secara positif yang sering disebut dengan self-enhancement. Hal tersebut dapat membuat individu terhindar dari kecemasan berbicara di depan umum. 2. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa Banyak mahasiswa yang masih menganggap berbicara di depan umum menjadi kegiatan yang menakutkan, yang sering disebut dengan kecemasan berbicara di depan umum. Berkembangnya kompetensi yang dimiliki mahasiswa berasal dari pengalamannya didalam keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Hal tersebut dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa sikap dan perilaku khusus orangtua yang nantinya akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Aktivitas-aktivitas kompleks tersebut sering disebut sebagai pola asuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orangtua berkaitan dengan perkembangan kompetensi anak (Berns, dalam Lestari 2012). Menurut Baumrind (dalam Mussen, 1983) anak dari orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis terbukti menjadi lebih kompeten dibandingkan dengan anak dari orangtua yang otoriter dan permisif. Berbagai perlakuan dalam penerapan pola asuh demokratis memberikan kesempatan-kesempatan bagi anak untuk meningkatkan kompetensi anak, begitu pula dengan kompetensi anak dalam berkomunikasi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 Berbicara di depan umum merupakan sebuah kompetensi penting untuk mahasiswa. Namun beberapa mahasiswa masih mengalami kecemasan berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara didepan umum dialami salah satunya karena mahasiswa kurang pengalaman positif dalam berkomunikasi ( Orangtua dengan pola asuh demokratis memberikan banyak kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kemampuan komunikasi. Salah satu karakteristik pola asuh demokratis ialah terciptanya suasana komunikasi yang baik antara orangtua dan anak serta sesama keluarga (Jamal dan Idris, 1992). Pola asuh demokratis memberikan kesempatan-kesempatan bagi anak untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan, pendapat anak didengar dan dipertimbangkan orangtua. Anak yang didengarkan merasa bahwa pendapatnya dihargai. Penghargaan inilah yang membuat anak nyaman dengan pola komunikasi yang dibangun orangtua sehingga aktivitas-aktivitas ini akan berulang di keseharian anak dan menjadi pengalaman komunikasi yang positif bagi anak. Individu yang dididik dalam pola asuh demokratis menjadi terampil berkomunikasi karena terbiasa mengungkapkan gagasan yang diolah sedemikian rupa supaya orangtua memahami maksud gagasan tersebut. Penelitian yang dilakukan Putri (2013) menunjukkan, semakin tinggi ketrampilan komunikasi pada mahasiswa maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum. Dijelaskan lebih lanjut bahwa, ketidakmampuan mengungkapkan keinginan, perasaan, dan mengekspresikan apa yang ada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 dalam benak individu menjadi masalah yang dapat menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum, sehingga individu membutuhkan pengalaman berkomunikasi. Aktivitas-aktivitas mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain menjadi kegiatan sehari-hari bagi anak dalam pola asuh demokratis. Pengalaman-pengalaman komunikasi dalam pola asuh demokratis dapat menjadi bahan pembelajaran yang akan membuat anak terampil berkomunikasi sehingga dapat meminimalisir kecemasan berbicara di depan umum. 3. Hubungan antara Self-enhancement dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa Berbicara di depan umum merupakan sebuah kemampuan yang dibutuhkan mahasiswa. Kemampuan ini banyak dilakukan oleh mahasiswa tapi banyak mahasiswa yang masih mengalami kegugupan saat berbicara di depan umum. Kegugupan yang berkaitan dengan komunikasi publik disebut Hanna dan Gibson (1989) sebagai kecemasan berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum erat terkait dengan bagaimana evaluasi atau penilaian individu terhadap kemampuannya atau sering disebut McCroskey (1966) sebagai self-perceived communication competence. McCroskey (1966) mengungkapkan, bahwa individu yang merasa tidak mempunyai cukup kemampuan berkomunikasi cenderung mengalami kecemasan berbicara di depan umum. Self-enhancement merupakan salah satu kecenderungan saat individu mengevaluasi diri, dengan memberikan penilaian positif pada diri individu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 (Sedikides dan Strube, 1997). Individu dengan kecenderungan self- enhancement saat mengevaluasi diri akan merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan, bahkan penilaian individu terhadap kemampuannya bisa jadi telalu positif. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Taylor dan Brown (dalam Taylor, dkk., 1997) yang menjelaskan, bahwa selfenhancement dapat membuat individu mempersepsi diri secara berlebihan kearah positif sehubungan dengan kemampuan, bakat, dan ketrampilan sosial yang sebenarnya. Hal tersebut berarti, self-enhancement akan membuat individu merasa memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Jika dihadapkan pada situasi komunikasi publik, Individu merasa bahwa dirinya memiliki talenta untuk berbicara di depan umum. Perasaan positif atau bahkan terlalu positif tentang kemampuan diri inilah yang dapat menghindarkan individu dari kecemasan berbicara di depan umum. Selain itu, Edelmann (1995) menyatakan, bahwa kecemasan berbicara di depan umum dapat disebabkan karena individu mengaitkan situasi berbicara di depan umum dengan pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan. Mengingat pengalaman negatif dimungkinkan memberi dampak buruk bagi kemajuan mahasiswa. Self-enhancement membuat mahasiswa terhindar dari ingatan-ingatan negatif tentang diri, hal tersebut disebabkan individu saat mengevaluasi diri hanya terfokus pada informasi-informasi positif diri. Kuiper dkk. (dalam Taylor dkk., 1997) menyatakan, self-enhancement membuat individu hanya mengingat informasi positif diri tapi informasi negatif seringkali terselip dengan nyaman di benak individu. Hal tersebut dikarenakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 berpikiran baik tentang diri membuat mahasiswa merasa senang sehingga tetap termotivasi dalam pekerjaan yang produktif dan kreatif (Taylor dkk., 1997). Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa self-enhancement membuat pengalaman negatif tidak memberikan dampak yang buruk bagi mahasiswa sehingga kecemasan berbicara di depan umum dapat dihindari. E. Kerangka Berpikir H2 Pola Asuh Demokratis H1 Kecemasan Berbicara di Depan Umum SelfEnhancement H3 Bagan 1 Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis dan Self-enhancement dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum Keterangan: H1 : Hubungan antara pola asuh demokratis dan self-enhancement dengan kecemasan berbicara di depan umum H2 : Hubungan antara pola asuh demokratis dengan kecemasan berbicara di depan umum H3 : Hubungan antara self-enhancement dengan kecemasan berbicara di depan umum commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 F. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: 4. Terdapat hubungan antara pola asuh demokratis dan self-enhancement dengan kecemasan berbicara di depan umum pada anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Terdapat hubungan negatif antara pola asuh demokratis dengan kecemasan berbicara di depan umum pada anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Terdapat hubungan negatif antara self-enhancement dengan kecemasan berbicara di depan umum pada anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta. commit to user