1 Kajian Produksi, Fisik Ubi, Gaplek dan Pati pada Lokasi

advertisement
Kajian Produksi, Fisik Ubi, Gaplek dan Pati pada Lokasi Penanaman yang Berbeda
Putri Andini Mandasari 1) dan 2) Eko Murniyanto
Asisten Lapang Pilot Project Ubikayu Model Kooperatif Kabupaten Sampang
2)
Tim Leader Pilot Project Ubikayu Model Kooperatif Kabupaten Sampang, Dewan Riset
Daerah Wonogiri dan Fakultas Pertanian UTM
Email : [email protected]
1)
ABSTRACT
Ubi pada ubikayu termasuk dalam ubi akar karenanya jumlah akar dan lingkungan perakaran
(rhizosfer) menentukan perkembangan ubi dan mutunya. Lingkungan perakaran menyangkut
sifat fisik, kimia, biologi dan ini berbeda untuk setiap jenis tanah. Manakala diketahui maka
beberapa sifat diantaranya dikondisikan melalui teknologi budidaya, namun petani di beberapa
wilayah penanaman ubikayu memiliki kapasitas yang sama akibatnya sifat-sifat tanah
mendominasi terhadap potensi produksi dan sifat-sifat lainnya. Kajian di 3 (tiga) lokasi
penanaman menunjukkan terjadinya perbedaan dan itu yang akan ditunjukkan dalam uraian
selanjutnya.
Kata kunci : lokasi penanaman, produksi, gaplek, pati.
PENDAHULUAN
Ubikayu (Manihot esculenta Grantz)
saat
ini
menjadi
komoditi
akibat
kemanfaatannya untuk berbagai keperluan
industry. Industri olahan berbahan baku
ubikayu diantaranya chip, pellet, tepung
tapioka, dekstrose, maltose, sukrose, sirup
glukose dan alkohol, butanol, aseton, asam
laktat, sorbitol. Pengolahan lanjut dari hasil
olahan tersebut dapat berupa pakan,
makanan, minuman dan barang-barang
lainnya seperti bioplastik. Hafsah (2003
dalam Saleh dkk., 2012) menyatakan bahwa
sebagian besar produksi ubikayu di
Indonesia digunakan untuk memenuhi
kebutuhan
dalam
negeri
(85-90%),
sedangkan sisanya diekspor dalam bentuk
gaplek, chip dan tepung tapioka. Dari total
produksi yang ada (19,3 juta ton), lebih
kurang sebanyak 75% dikonsumsi sebagai
bahan pangan (secara langsung atau melalui
proses
pengolahan),
13-14%
untuk
keperluan industri non-pangan, 2% untuk
pakan dan 9% tercecer. Usaha peternakan
yang meningkat dengan laju pertumbuhan
12,9% per tahun untuk ternak pedaging dan
18,0% per tahun untuk ternak petelur,
permintaan ubikayu untuk pakan juga akan
meningkat.
Produktivitas ubikayu setiap hektar
sebanyak 18,2 ton, dalam dasa warsa
terakhir rata-rata laju peningkatan produksi
sebanyak 3,25% namun luas penanaman
menurun -0,37% (Saleh dkk., 2012).
Fluktuasi produksi tahunan ini diakibatkan
tingkat produktivitas dan luas penanaman
mengalami pasang surut. Ditinjau dari
tingkat produktivitas dimungkinkan akibat
penerapan teknologi yang tersedia kurang
optimal
atau
teknologi
belum
mempertimbangkan kondisi lahan dimana
ubikayu ditanam. Ubikayu yang ditanam di
lahan dengan jenis tanah liat berbeda tingkat
pertumbuhan dan perkembangannya jika
ditanam di jenis tanah debu atau pasiran.
Meskipun jenis tanah sama jika solum tanah
berbeda, antara tipis dan tebal, maka
keragaan ubikayu juga berbeda. Ubikayu
yang ditanam pada lahan dengan kandungan
liat tinggi, solum tipis cenderung
membentuk ubi yang besar dan pendek,
sebaliknya jika di tanam pada lahan dengan
kandungan debu tinggi dan solum tebal
cenderung membentuk ubi yang kecil dan
panjang. Lebih lanjut terhadap penampakan
ubi, pati dan tepung gapleknya. Karama
(2003)
menyatakan bahwa rendahnya
produktivitas ubikayu dan ubijalar antara
lain disebabkan oleh: (a). Sebagian besar
petani masih menggunakan varietas lokal
yang umumnya produktivitasnya rendah,
(b). Kualitas bibit yang digunakan seringkali
1
kurang baik, (c). Ubikayu dan ubijalar
sebagian besar diusahakan di lahan kering
yang seringkali kesuburannya lebih rendah
dibanding lahan sawah, (d). Pengelolaan
tanaman dilakukan secara sederhana dengan
masukan (input) sekedarnya.
Sentra produksi ubikayu meliputi:
Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat, Nusa Tenggara Timur dan D.I.
Yogyakarta. Data produksi ubikayu tahun
2000-2009 terlihat pada tahun 2000 pulau
Jawa masih merupakan sentra produksi
ubikayu yang dominan dalam memberi
kontribusi produksi nasional sebesar 57,2%.
Saleh et al. (2000) juga menjelaskan bahwa
sebagian besar usahatani ubikayu di
Indonesia yang dilakukan oleh petani kecil
dengan kemampuan modal dan teknologi
terbatas sangat respon terhadap signal harga
yang diimplementasikan dalam bentuk
usahatani ubikayu mereka pada tahun
berikutnya. Apabila harga ubikayu baik,
luas panen musim berikutnya naik dan
sebaliknya bila harga ubikayu pada musim
tersebut kurang bagus, maka luas panen
pada tahun berikutnya juga berkurang.
METODE
Kajian ini dilakukan di tiga lokasi
yaitu Sampang, Pati dan Blora. Kajian
dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2017.
Pada bulan itu ubikayu telah berumur 18
bulan. Kondisi ini terjadi akibat pada tahun
2016 terjadi hujan hampIr sepanjang tahun,
sementara itu harga ubikayu mengalami
penurunan yang tajam. Bulan dimana kajian
ini dilakukan curah hujan hampir tidak ada,
sementara harga mulai naik.
Penetapan sampel satuan lahan
dilakukan secara purposive, sampel ubikayu
dilakukan dengan memilih varietas yang
sama yaitu Kasesart, sedangkan teknologi
yang diterapkan terhadap ubikayu sampel
dipilih pada petani yang melakukan
budidaya ubikayu secara konvensional.
Jumlah petani sampel di masing-masing
daerah kajian ditetapkan 3 (tiga) orang.
Produksi ubikayu dalam bentuk ubi basah
dihitung dengan mengalikan antara produksi
setiap pohon dengan populasi/ha. Populasi
didekati dengan menghitung jarak tanam
yang diterapkan. Fisik ubi diamati pada
bentuk, panjang ubi dan diameter ubi.
Gaplek diamati dengan cara menimbang ubi
yang telah dikupas untuk setiap batang.
Tepung tapioca dihitung dengan menimbang
tepung yang terjadi setelah ubi dikupas,
diparut, diperas, diendapkan kemudian
dikeringkan matahari. Data yang diperoleh
dianalisa secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Agroklimat Daerah Kajian
Kabupaten Sampang berada disekitar
garis
khatulistiwa,
mengalami
dua
perubahan musim yaitu kemarau dan
penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi
pada bulan April sampai September,
sedangkan musim penghujan terjadi pada
bulan Oktober sampai Maret. Rata-rata hari
hujan tertinggi terdapat di Kecamatan
Pangarengan, sedang yang terrendah
terdapat di Kecamatan Banyuates. Rata-rata
hujan bulanan tertinggi terdapat di
Kecamatan Kedungdung, sedang terendah
terdapat pada Kecamatan Torjun. Luas
panen budidaya ubi kayu tertinggi di
Kabupaten Sampang terdapat di Kecamatan
Omben, Ketapang dan Tambelangan
demikian juga dengan hasil produksinya
(BPS Sampang).
Nugraha dkk. (2015) menyebutkan
bahwa Kabupaten Pati memiliki variasi
agroklimat yang cukup tinggi. Kondisi ini
belum tentu cocok untuk budidaya tanaman
ubikayu. Masyarakat Kabupaten Pati yang
membudidayakan ubikayu terdapat pada
wilayah pesisir utara laut Jawa hingga lereng
gunung Muria. Adanya variasi perlakuan
yang diterapkan oleh para petani
mempengaruhi produktivitas hingga potensi
ekonomi dari tanaman ubikayu. Untuk dapat
berproduksi optimal, ubikayu memerlukan
curah hujan 150-200 mm pada umur 1-3
bulan, 250-300 mm pada umur 4-7 bulan,
dan 100-150 mm pada fase menjelang dan
saat panen (Wargiono et al., 2006).
Berdasarkan karakteristik iklim di Indonesia
dan kebutuhan air tersebut, ubikayu dapat
dikembangkan di hampir semua kawasan,
baik di daerah beriklim basah maupun
beriklim kering sepanjang air tersedia sesuai
2
dengan kebutuhan tanaman tiap fase
atas 56%tanah grumosol, 39% tanah
pertumbuhan. Daerah sentra produksi
mediteran dan 5% tanah aluvial. Komoditas
ubikayu memiliki tipe iklim C, D, dan E,
ubi kayu merupakan komoditas yang
serta jenis lahan yang didominasi oleh tanah
ditanam pada lahan kering/ladang sehingga
alkalin dan tanah masam, kurang subur, dan
pertumbuhannya sangat tergantung pada
peka terhadap erosi (Roja, 2009).
iklim dan curah hujan. Luas panen ubikayu
Keadaan iklim rata-rata yang
di Kabupaten Blora tertinggi terdapat pada
dikeluarkan oleh Badan Meteoroologi,
Kecamatan Japah, Randublatung dan
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa
Todonan.
Tengah, meyebutkan bahwa iklim rata-rata
Produksi
Kabupaten Blora yaitu: suhu terendah 23°C
Produktivitas ubikayu dalam lima
dan tertinggi 40°C. Kelembaban udara
tahun terakhir di tiga daerah kajian
terendah 58% dan tertinggi 77%, Curah
menunjukkan bahwa Pati merupakan
hujan terendah 12,00 mm/th dan tertinggi
Kabupaten dengan tingkat produktivitas
1.074,00 mm/th. Kecepatan angin rata-rata
tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten
terendah 6,4 knot dan tertinggi 38,6 knot.
Blora dan produktivitas terendah terdapat
Susunan tanah di Kabupaten Blora terdiri
pada Kabupaten Sampang. (Tabel 1).
Tabel 1. Produktivitas Ubikayu di Tiga Daerah Kajian (ton/ha)
Tahun
Sampang
Pati
Blora
---------------------ton/ha--------------------2015
11,38
43,55
28,76
2014
11,47
41,67
27,60
2013
11,01
43,03
27,55
2012
11,72
37,21
18,73
2011
*
30,57
18,20
*= tidak tersedia data Sumber data : BPS Sampang, Pati dan Blora
Pada tahun 2012, produksi ubi kayu
Kabupaten Sampang sebanyak 11,72 ton/ha.
Produksi mengalami penurunan menjadi
11,01 pada tahun 2013. Kemudian pada tahu
selanjutnya
produksi
mengalami
peningkatan yaitu 11,47 ton/ha pada tahun
2014 dan 11,38 ton/ha pada tahun 2015.
Kabupaten Pati merupakan salah satu
daerah penghasil ubikayu terbesar di Jawa
Tengah. Pada tahun 2011 dan 2012 produksi
ubikayu di Kabupaten Pati sekitar 30 ton/ha,
yaitu 30,57 ton/ha (2011) dan 37,21 ton/ha
(2012). Pada tahun 2013 sampai tahun 2015
mengalami peningkatan produksi menjadi
43,03 ton/ha (2013), meskipun demikian
pada tahun 2014 mengalami penurunan
menjadi 41, 67 ton/ha dan meningkat
kembali menjadi 43,55 ton/ha pada tahun
2015. (Badan Pusat Statistik Kabupaten
Pati).
Kabupaten Blora menjadi Kabupaten
dengan produksi tertinggi kedua pada derah
kajian setelah kabupaten Pati. Jumlah
produksi ubi kayu Kabupaten Blora pada
tahun 2011 dan 2012 sekitar 18 ton/ha yaitu
18,20 ton pada tahun 2011 dan 18,73 ton
pada tahun 2012. Pada tahun 2013 dan tahun
2014 mengalami peningkatan yaitu 27,55
ton/ha (2013) dan 27,76 ton/ha (2014).
Produksi tertinggi selama 5 tahun terakhir
terjadi pada tahun 2015 yaitu 28,76 ton/ha.
Beberapa faktor yang mempengaruhi
produksi ubi kayu meluputi: luas lahan,
tenaga kerja, bibit, pupuk urea dan pupuk
posca secara serempak berpengaruh positif
dan nyata terhadap jumlah produksi ubi
kayu. Luas lahan, dan bibit secara parsial
berpengaruh positif dan nyata terhadap
produksi ubi kayu, sedangkan tenaga kerja
pupuk urea dan pupuk posca tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi ubi
kayu (Syafina et al., 2015). Jarak tanam erat
hubungannya dengan jumlah populasi.
Semakin banyak populasi, semakin tinggi
potensi hasil yang diperoleh. Pemilihan
jarak tanam ini tergantung dari jenis varietas
yang digunakan dan tingkat kesuburan
tanah. Untuk tanah-tanah yang subur
digunakan jarak tanam 1 m x 1 m; 1 m x 0,8
m; 1 m x 0,75 m maupun 1 m x 0,7 m,
3
sedangkan untuk tanah-tanah miskin
digunakan jarak tanam rapat yaitu 1 m x 0,5
m, 0,8 m x 0,7 m (Roja, 2009).
Ubikayu yang ditanam pada bulan
September-Nopember dan dipanen pada
bulan Juli-Oktober atau pada usia 9-11 BST
memilik hasil panen dengan bobot dan
rendemen pati terbaik (Radjit et al., 2012).
Adaptasi ubi kayu pada lingkungan
tumbuh lebih baik dibanding tanaman
pangan lain (toleran kekeringan, toleran
masam, toleran kadar Al-dd yang lebih
tinggi, mampu mengekstrak hara yang lebih
efektif). Kemampuan adaptasi yang baik
tersebut menyebabkan tanaman ini dapat
tumbuh dan menghasilkan meskipun
diusahakan pada lahan sub-optimal atau
marjinal. Jumlah hara yang diambil dalam
setiap ton ubi yang dihasilkan adalah lebih
kurang 6,5 kg N, 2,24 P205 dan 4,32 kg
K20. Hara yang terangkut dari dalam tanah
tersebut perlu diganti melalui tindakan
pemupukan
organik
dan
anorganik
(Howeler, 1994; Howeler, 2002). Oleh
karena itu produktivitas ubi kayu dalam
jangka
panjang
pada
lahan
sub-
optimal/marjinal akan cepat menurun
apabila dalam pengusahaannya apabila tidak
disertai dengan pemupukan yang seimbang
dengan hara yang diekstraksi.
Dalam rangka memperoleh hasil ubi
kayu yang tinggi pemupukan sangat
diperlukan, mengingat tanaman ini sebagian
besar dibudidayakan pada lahan yang
tanahnya mempunyai kesuburan sedang
sampai rendah seperti tanah Alfisol
(Mediteran), Oxisol (Latosol), dan Ultisol
(Podsolik).
Karena
relatif
banyak
membutuhkan hara N dan K, ubikayu
tanggap terhadap pemupukan unsur hara
tersebut.
Gaplek
Gaplek merupakan produk olahan
ubi kayu yang dihasilkan melalui proses
pengeringan dan dapat disimpan dalam
waktu yang lama sekitar 6-8 bulan.
Pembuatan
gaplek
diawali
dengan
pengelupasan ubi, pencucian, pencacahan
menjadi ukuran lebih kecil dari bentuk
sebenarnya. Persentase bobot ubi lepas kulit,
kulit basah dan gaplek disajikan dalam
Tabel
2.
Tabel 2. Persentase Bobot Ubi Lepas Kulit, Kulit Basah dan Gaplek Belah di Tiga Daerah Kajian
Lokasi
Bobot Ubi Lepas Kulit
Bobot Kulit Ubi
Bobot Gaplek Belah
-------------------%----------------------Sampang
80.95
19.05
38.87
Pati
87.39
12.61
41.03
Blora
78.67
22.33
36.89
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada lokasi
Pati mendapati persentase bobot ubi lepas
tertinggi yaitu 87,39% dibandingkan
Sampang dan Blora. Hal ini sejalan dengan
persentase bobot kulit ubi dari lokasi Pati
mendapati persentase bobot paling rendah
yaitu 12,61%. Hal ini disebabakan karena
struktur kulit ubi tipis. Lokasi Blora
mendapati persentase bobot lepas kulit
terrendah yaitu 78,67% karena persentase
bobot kulit ubi mendapatdan persentase
terdapat yaitu 87,39%. Hal ini disebabkan
karena struktur kulit ubi lokasi tersebut
tebal. Kulit yang tebal diduga terjadi karena
struktur tanah penanaman remah atau
gembur atau yang dipertahankan sejak awal
pertumbuhan sampai panen sehingga
sirkulasi O2 dan CO2 terutama di daerah
lapisan olah mendukung pembesaran ubi
sangat baik. Hal ini dapat diketahui dari
bentuk/wujud/onggok ubi kayu lepas kulit
asal lokasi Blora besar namun persentase
bobot gapleknya terrendah yaitu 36,89%,
dapat bermakna kandungan air lokasi
tersebut tinggi. Struktur tanah yang remah
dan gembur disebabkan karena kandungan
bahan organik yang cukup. Pupuk organik
yang ditambahkan pada tanah mempunyai
fungsi untuk menggemburkan lapisan tanah
permukaan (trop soil), meningkatkan
populasi jazad renik tanah, mempertinggi
daya serap dan daya simpan air yang secara
4
keseluruhan akan meningkatkan kesuburan
tanah. Pori total tanah akan meningkat dan
A. Sampang
B.
Pati
akan menurunkan berat volume tanah
(Atmojo, 2006).
C. Blora
Gambar 1. Ubi kayu lepas kulit dari tiga daerah kajian
kayu. Tepung tapioka mempunyai kegunaan
Gaplek chips, Tapioka dan Ampas
Gaplek chips merupakan olahan kering dari
sebagai pembantu dalam berbagai industri.
ubi kayu yang dipotong-potong tipis
Dan juga dapat digunakan sebagai bahan
menyerupai lempengan. Gaplek chips dibuat
bantu warna pemutih (Tri dan Agusto,
dengan tujuan agar pengeringan lebih cepat
1990). Ampas merupakan limbah ubi kayu
karena ukuran potongan kecil dan tipis.
yang salah satunya dapat dijadikan sebagai
Selain itu hasil dari chips memudahkan
pakan ternak. Persentase bobot Gaplek chips
dalam proses pengolahan selanjutnya seperti
kering, tepung tapioka dan ampas kering
proses penepungan. Tepung tapioka
disajikan
dalam
Tabel
3.
merupakan tepung pati hasil ekstrak dari ubi
Tabel 3. Persentase Bobot Chips Kering di Tiga Daerah Kajian
Lokasi
Gaplek Chips Kering
Tepung Tapioka
Ampas Kering
-------------------%-------------------Sampang
34.77
22.90
11.17
Pati
39.23
37.50
15.75
Blora
35.52
27.90
13.56
Ubi kayu dapat diolah menjadi tepung
pengganti terigu sampai sebanyak 20%.
Pada tahun 2012 Indonesia mengimpor
terigu 6 juta ton, apabila ubikayu dapat
dimanfaatkan untuk substitusi terigu sebesar
30%, maka devisa yang dapat diselamatkan
sangat besar. Ubi kayu mempunyai
produktivitas biomasa tinggi sehingga
mampu
dikembangkan
feedstock
bioindustry yaitu menjadi bioenergi dan
produk biomasa utamanya akan menjadi
pakan ternak (Simatupang, 2012). Usahatani
ubi kayu memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan tanaman pangan
lainnya. Peluang peningkatan hasil ubi di
tingkat petani masih besar dengan cara
perbaikan budidaya dan penggunaan varietas
unggul (Prastiawati et al., 2011). Secara
umum, rendemen kadar pati meningkat
seiring
bertambahnya
umur
panen.
Bertambahnya rendemen pati pada umur
tertentu yaitu sekitar 8-9 bulan, setelahnya
akan mengalami penurunan kadar pati.
Penurunan kadar pati diduga akibat
meningkatnya komponen-komponen non
pati seperti selulosa, hemiselulosa, pektin
dan lignin. Peningkatan komponenkomponen non pati tersebut disebabkan
terjadinya degradasi komponen non pati dan
penurunan kadar pati (Pantasico, 1975).
5
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan kajian produksi, fisik ubi,
gaplek dan pati pada lokasi penanaman yang
berbeda, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Produksi ubi kayu pada lokasi
penanaman yang berbeda menghasilkan
hasil yang beda pula.
2. Ubikayu yang ditanam di Kabupaten
Pati memiliki potensi gaplek belah,
gaplek chips dan tepung tapioca paling
tinggi dibanding dua daerah kajian
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. ?????. Kabupaten Sampang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Sampang.
Atmojo, S.W. Peranan Bahan Organik
terhadap Kesuburan Tanah dan
Upaya Pengelolaannya. Sebelas
Maret University Press. Surakarta.
Balitkabi. 2003. Hasil Utama Penelitian
Kacang-kacangan dan Ubi-ubian.
Balitkabi Malang.
Balitkabi. 2010. Hasil Utama Penelitian
Kacang-kacangan dan Ubi-ubian
Tahun 2005-2009. Balitkabi Malang.
Hafsah, M.J. 2003. Bisnis ubi kayu
Indonesia. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Nugraha, H.D., Agus Suryanto dan Agung
Nugroho. 2015. Kajian Potensi
Produktivitas Ubikayu (Manihot
esculenta Crantz.) di Kabupaten Pati
. Jurnal Produksi Tanaman, Volume
3, Nomor 8, Desember 2015, hlm.
673 – 682
Howeler, R.H. 1994. Integrated soil and
crop management to prevent
environment degradation in cassava
based cropping systems in Asia.
Proc. of workshop on Upland
Agriculture in Asia, April 6-8,
Bogor, Indonesia, : 195-224
Howeler, R.H. 2002. Cassava mineral
nutrition and fertilization. In. R.J.
Hillocks,
J.M.
Thresh
and
A.C.Belloti (ed). Cassava Biology.
Production and Utilization. Pp: 115 –
147.
Cabi
Publishing,
CAB
International, Wallingford. Oxon.
Karama, S. 2003. Potensi, tantangan dan
kendala ubi kayu dalam mendukung
ketahanan pangan, p.1–14. Dalam:
Koes
Hartojo
et
al.
(ed.).
Pemberdayaan ubi kayu mendukung
ketahanan pangan nasional dan
pengembangan
agribisnis
kerakyatan.
Balai
Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Ubiubian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Nasir Saleh,
St.A. Rahayuningsih dan
M.Muchlis Adie. 2012. Peningkatan
Produksi dan Kualitas Ubi-ubian.
Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Ubi-ubian (Balitkabi),
Malang.
Pantastico,
E.B.
1975.
Postharvest
Physiology
Handling
and
Ultilization
of
Tropical
and
Subtropical Fruit and Vegetable.
Edited by ER. B. Pantastico.
Westport, Connecticut. The Avi
Publishing, Co., Inc.
Prasetiaswati, Nila., Budhi S. Radjit, Yudi
Widodo, dan Nasir Saleh. 2012.
Kelayakan
Usahatani
Ubikayu
Sistem Mukibat di Tingkat Petani:
Studi Kasus di Jawa dan Lampung.
Prosiding
Seminar
Nasional
Tanaman Pangan Inovasi Teknologi
Berbasis
Ketahanan
Pangan
Berkelanjutan Buku 3. Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor. Hal: 671680.
Radjit, Budhi S., N. Saleh., dan A. Munip.
2012. Penyediaan Ubikayu Sebagai
Bahan Baku Industri Melalui
Pengaturan Waktu Tanam dan Umur
Panen. Prosiding Seminar Nasional
Tanaman Pangan Inovasi Teknologi
Berbasis
Ketahanan
Pangan
Berkelanjutan Buku 3. Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor. Hal : 714721.
Roja, A. 2009. Ubikayu : Varietas dan
Teknologi
Budidaya.
Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Barat. Padang.
6
Saleh, N. , B. Santoso, Y. Widodo, A.
Munip,
E.Ginting
dan
N.
Prasyaswati.
2006.
Alternatif
teknologi
produksi
ubikayu
mendukung agroindustri. Laporan
akhir tahun 2006.
Saleh, N., K. Hartojo and Suyamto. 2000.
Present situation and future potential
of cassava in Indonesia. Cassava
Potential in Asia in 21 st Century.
Proc.
6th
Regional
Cassava
Workshop. Ho Chi Minh city,
Vietnam. p : 47-60.
Syafina, L., Supriana, T., dan Emalisa.
2015.
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi Produksi Ubi kayu
(Manihot esculanta). Journal on
SocialEconomic of Agriculture and
Agribusiness. Vol. 4 (1).
Tri, Radiyati dan Agusto, W.M. 1990.
Tepung
Tapioka
(perbaikan).
Subang: BPTTG Puslitbang Fisika
Terapan-LIPI, 1990 Hal 10-13.
Wargiono, J., A. Hasanuddin, dan Suyamto.
2006. Teknologi Produksi Ubikayu
Mendukung Industri Bioethanol.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
7
Download