Kajian Produksi, Fisik Ubi, Gaplek dan Pati pada Lokasi Penanaman yang Berbeda Putri Andini Mandasari 1) dan 2) Eko Murniyanto Asisten Lapang Pilot Project Ubikayu Model Kooperatif Kabupaten Sampang 2) Tim Leader Pilot Project Ubikayu Model Kooperatif Kabupaten Sampang, Dewan Riset Daerah Wonogiri dan Fakultas Pertanian UTM Email : [email protected] 1) ABSTRACT Ubi pada ubikayu termasuk dalam ubi akar karenanya jumlah akar dan lingkungan perakaran (rhizosfer) menentukan perkembangan ubi dan mutunya. Lingkungan perakaran menyangkut sifat fisik, kimia, biologi dan ini berbeda untuk setiap jenis tanah. Manakala diketahui maka beberapa sifat diantaranya dikondisikan melalui teknologi budidaya, namun petani di beberapa wilayah penanaman ubikayu memiliki kapasitas yang sama akibatnya sifat-sifat tanah mendominasi terhadap potensi produksi dan sifat-sifat lainnya. Kajian di 3 (tiga) lokasi penanaman menunjukkan terjadinya perbedaan dan itu yang akan ditunjukkan dalam uraian selanjutnya. Kata kunci : lokasi penanaman, produksi, gaplek, pati. PENDAHULUAN Ubikayu (Manihot esculenta Grantz) saat ini menjadi komoditi akibat kemanfaatannya untuk berbagai keperluan industry. Industri olahan berbahan baku ubikayu diantaranya chip, pellet, tepung tapioka, dekstrose, maltose, sukrose, sirup glukose dan alkohol, butanol, aseton, asam laktat, sorbitol. Pengolahan lanjut dari hasil olahan tersebut dapat berupa pakan, makanan, minuman dan barang-barang lainnya seperti bioplastik. Hafsah (2003 dalam Saleh dkk., 2012) menyatakan bahwa sebagian besar produksi ubikayu di Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (85-90%), sedangkan sisanya diekspor dalam bentuk gaplek, chip dan tepung tapioka. Dari total produksi yang ada (19,3 juta ton), lebih kurang sebanyak 75% dikonsumsi sebagai bahan pangan (secara langsung atau melalui proses pengolahan), 13-14% untuk keperluan industri non-pangan, 2% untuk pakan dan 9% tercecer. Usaha peternakan yang meningkat dengan laju pertumbuhan 12,9% per tahun untuk ternak pedaging dan 18,0% per tahun untuk ternak petelur, permintaan ubikayu untuk pakan juga akan meningkat. Produktivitas ubikayu setiap hektar sebanyak 18,2 ton, dalam dasa warsa terakhir rata-rata laju peningkatan produksi sebanyak 3,25% namun luas penanaman menurun -0,37% (Saleh dkk., 2012). Fluktuasi produksi tahunan ini diakibatkan tingkat produktivitas dan luas penanaman mengalami pasang surut. Ditinjau dari tingkat produktivitas dimungkinkan akibat penerapan teknologi yang tersedia kurang optimal atau teknologi belum mempertimbangkan kondisi lahan dimana ubikayu ditanam. Ubikayu yang ditanam di lahan dengan jenis tanah liat berbeda tingkat pertumbuhan dan perkembangannya jika ditanam di jenis tanah debu atau pasiran. Meskipun jenis tanah sama jika solum tanah berbeda, antara tipis dan tebal, maka keragaan ubikayu juga berbeda. Ubikayu yang ditanam pada lahan dengan kandungan liat tinggi, solum tipis cenderung membentuk ubi yang besar dan pendek, sebaliknya jika di tanam pada lahan dengan kandungan debu tinggi dan solum tebal cenderung membentuk ubi yang kecil dan panjang. Lebih lanjut terhadap penampakan ubi, pati dan tepung gapleknya. Karama (2003) menyatakan bahwa rendahnya produktivitas ubikayu dan ubijalar antara lain disebabkan oleh: (a). Sebagian besar petani masih menggunakan varietas lokal yang umumnya produktivitasnya rendah, (b). Kualitas bibit yang digunakan seringkali 1 kurang baik, (c). Ubikayu dan ubijalar sebagian besar diusahakan di lahan kering yang seringkali kesuburannya lebih rendah dibanding lahan sawah, (d). Pengelolaan tanaman dilakukan secara sederhana dengan masukan (input) sekedarnya. Sentra produksi ubikayu meliputi: Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur dan D.I. Yogyakarta. Data produksi ubikayu tahun 2000-2009 terlihat pada tahun 2000 pulau Jawa masih merupakan sentra produksi ubikayu yang dominan dalam memberi kontribusi produksi nasional sebesar 57,2%. Saleh et al. (2000) juga menjelaskan bahwa sebagian besar usahatani ubikayu di Indonesia yang dilakukan oleh petani kecil dengan kemampuan modal dan teknologi terbatas sangat respon terhadap signal harga yang diimplementasikan dalam bentuk usahatani ubikayu mereka pada tahun berikutnya. Apabila harga ubikayu baik, luas panen musim berikutnya naik dan sebaliknya bila harga ubikayu pada musim tersebut kurang bagus, maka luas panen pada tahun berikutnya juga berkurang. METODE Kajian ini dilakukan di tiga lokasi yaitu Sampang, Pati dan Blora. Kajian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2017. Pada bulan itu ubikayu telah berumur 18 bulan. Kondisi ini terjadi akibat pada tahun 2016 terjadi hujan hampIr sepanjang tahun, sementara itu harga ubikayu mengalami penurunan yang tajam. Bulan dimana kajian ini dilakukan curah hujan hampir tidak ada, sementara harga mulai naik. Penetapan sampel satuan lahan dilakukan secara purposive, sampel ubikayu dilakukan dengan memilih varietas yang sama yaitu Kasesart, sedangkan teknologi yang diterapkan terhadap ubikayu sampel dipilih pada petani yang melakukan budidaya ubikayu secara konvensional. Jumlah petani sampel di masing-masing daerah kajian ditetapkan 3 (tiga) orang. Produksi ubikayu dalam bentuk ubi basah dihitung dengan mengalikan antara produksi setiap pohon dengan populasi/ha. Populasi didekati dengan menghitung jarak tanam yang diterapkan. Fisik ubi diamati pada bentuk, panjang ubi dan diameter ubi. Gaplek diamati dengan cara menimbang ubi yang telah dikupas untuk setiap batang. Tepung tapioca dihitung dengan menimbang tepung yang terjadi setelah ubi dikupas, diparut, diperas, diendapkan kemudian dikeringkan matahari. Data yang diperoleh dianalisa secara diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Agroklimat Daerah Kajian Kabupaten Sampang berada disekitar garis khatulistiwa, mengalami dua perubahan musim yaitu kemarau dan penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan April sampai September, sedangkan musim penghujan terjadi pada bulan Oktober sampai Maret. Rata-rata hari hujan tertinggi terdapat di Kecamatan Pangarengan, sedang yang terrendah terdapat di Kecamatan Banyuates. Rata-rata hujan bulanan tertinggi terdapat di Kecamatan Kedungdung, sedang terendah terdapat pada Kecamatan Torjun. Luas panen budidaya ubi kayu tertinggi di Kabupaten Sampang terdapat di Kecamatan Omben, Ketapang dan Tambelangan demikian juga dengan hasil produksinya (BPS Sampang). Nugraha dkk. (2015) menyebutkan bahwa Kabupaten Pati memiliki variasi agroklimat yang cukup tinggi. Kondisi ini belum tentu cocok untuk budidaya tanaman ubikayu. Masyarakat Kabupaten Pati yang membudidayakan ubikayu terdapat pada wilayah pesisir utara laut Jawa hingga lereng gunung Muria. Adanya variasi perlakuan yang diterapkan oleh para petani mempengaruhi produktivitas hingga potensi ekonomi dari tanaman ubikayu. Untuk dapat berproduksi optimal, ubikayu memerlukan curah hujan 150-200 mm pada umur 1-3 bulan, 250-300 mm pada umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm pada fase menjelang dan saat panen (Wargiono et al., 2006). Berdasarkan karakteristik iklim di Indonesia dan kebutuhan air tersebut, ubikayu dapat dikembangkan di hampir semua kawasan, baik di daerah beriklim basah maupun beriklim kering sepanjang air tersedia sesuai 2 dengan kebutuhan tanaman tiap fase atas 56%tanah grumosol, 39% tanah pertumbuhan. Daerah sentra produksi mediteran dan 5% tanah aluvial. Komoditas ubikayu memiliki tipe iklim C, D, dan E, ubi kayu merupakan komoditas yang serta jenis lahan yang didominasi oleh tanah ditanam pada lahan kering/ladang sehingga alkalin dan tanah masam, kurang subur, dan pertumbuhannya sangat tergantung pada peka terhadap erosi (Roja, 2009). iklim dan curah hujan. Luas panen ubikayu Keadaan iklim rata-rata yang di Kabupaten Blora tertinggi terdapat pada dikeluarkan oleh Badan Meteoroologi, Kecamatan Japah, Randublatung dan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa Todonan. Tengah, meyebutkan bahwa iklim rata-rata Produksi Kabupaten Blora yaitu: suhu terendah 23°C Produktivitas ubikayu dalam lima dan tertinggi 40°C. Kelembaban udara tahun terakhir di tiga daerah kajian terendah 58% dan tertinggi 77%, Curah menunjukkan bahwa Pati merupakan hujan terendah 12,00 mm/th dan tertinggi Kabupaten dengan tingkat produktivitas 1.074,00 mm/th. Kecepatan angin rata-rata tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten terendah 6,4 knot dan tertinggi 38,6 knot. Blora dan produktivitas terendah terdapat Susunan tanah di Kabupaten Blora terdiri pada Kabupaten Sampang. (Tabel 1). Tabel 1. Produktivitas Ubikayu di Tiga Daerah Kajian (ton/ha) Tahun Sampang Pati Blora ---------------------ton/ha--------------------2015 11,38 43,55 28,76 2014 11,47 41,67 27,60 2013 11,01 43,03 27,55 2012 11,72 37,21 18,73 2011 * 30,57 18,20 *= tidak tersedia data Sumber data : BPS Sampang, Pati dan Blora Pada tahun 2012, produksi ubi kayu Kabupaten Sampang sebanyak 11,72 ton/ha. Produksi mengalami penurunan menjadi 11,01 pada tahun 2013. Kemudian pada tahu selanjutnya produksi mengalami peningkatan yaitu 11,47 ton/ha pada tahun 2014 dan 11,38 ton/ha pada tahun 2015. Kabupaten Pati merupakan salah satu daerah penghasil ubikayu terbesar di Jawa Tengah. Pada tahun 2011 dan 2012 produksi ubikayu di Kabupaten Pati sekitar 30 ton/ha, yaitu 30,57 ton/ha (2011) dan 37,21 ton/ha (2012). Pada tahun 2013 sampai tahun 2015 mengalami peningkatan produksi menjadi 43,03 ton/ha (2013), meskipun demikian pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 41, 67 ton/ha dan meningkat kembali menjadi 43,55 ton/ha pada tahun 2015. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati). Kabupaten Blora menjadi Kabupaten dengan produksi tertinggi kedua pada derah kajian setelah kabupaten Pati. Jumlah produksi ubi kayu Kabupaten Blora pada tahun 2011 dan 2012 sekitar 18 ton/ha yaitu 18,20 ton pada tahun 2011 dan 18,73 ton pada tahun 2012. Pada tahun 2013 dan tahun 2014 mengalami peningkatan yaitu 27,55 ton/ha (2013) dan 27,76 ton/ha (2014). Produksi tertinggi selama 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2015 yaitu 28,76 ton/ha. Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi ubi kayu meluputi: luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk urea dan pupuk posca secara serempak berpengaruh positif dan nyata terhadap jumlah produksi ubi kayu. Luas lahan, dan bibit secara parsial berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi ubi kayu, sedangkan tenaga kerja pupuk urea dan pupuk posca tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ubi kayu (Syafina et al., 2015). Jarak tanam erat hubungannya dengan jumlah populasi. Semakin banyak populasi, semakin tinggi potensi hasil yang diperoleh. Pemilihan jarak tanam ini tergantung dari jenis varietas yang digunakan dan tingkat kesuburan tanah. Untuk tanah-tanah yang subur digunakan jarak tanam 1 m x 1 m; 1 m x 0,8 m; 1 m x 0,75 m maupun 1 m x 0,7 m, 3 sedangkan untuk tanah-tanah miskin digunakan jarak tanam rapat yaitu 1 m x 0,5 m, 0,8 m x 0,7 m (Roja, 2009). Ubikayu yang ditanam pada bulan September-Nopember dan dipanen pada bulan Juli-Oktober atau pada usia 9-11 BST memilik hasil panen dengan bobot dan rendemen pati terbaik (Radjit et al., 2012). Adaptasi ubi kayu pada lingkungan tumbuh lebih baik dibanding tanaman pangan lain (toleran kekeringan, toleran masam, toleran kadar Al-dd yang lebih tinggi, mampu mengekstrak hara yang lebih efektif). Kemampuan adaptasi yang baik tersebut menyebabkan tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan meskipun diusahakan pada lahan sub-optimal atau marjinal. Jumlah hara yang diambil dalam setiap ton ubi yang dihasilkan adalah lebih kurang 6,5 kg N, 2,24 P205 dan 4,32 kg K20. Hara yang terangkut dari dalam tanah tersebut perlu diganti melalui tindakan pemupukan organik dan anorganik (Howeler, 1994; Howeler, 2002). Oleh karena itu produktivitas ubi kayu dalam jangka panjang pada lahan sub- optimal/marjinal akan cepat menurun apabila dalam pengusahaannya apabila tidak disertai dengan pemupukan yang seimbang dengan hara yang diekstraksi. Dalam rangka memperoleh hasil ubi kayu yang tinggi pemupukan sangat diperlukan, mengingat tanaman ini sebagian besar dibudidayakan pada lahan yang tanahnya mempunyai kesuburan sedang sampai rendah seperti tanah Alfisol (Mediteran), Oxisol (Latosol), dan Ultisol (Podsolik). Karena relatif banyak membutuhkan hara N dan K, ubikayu tanggap terhadap pemupukan unsur hara tersebut. Gaplek Gaplek merupakan produk olahan ubi kayu yang dihasilkan melalui proses pengeringan dan dapat disimpan dalam waktu yang lama sekitar 6-8 bulan. Pembuatan gaplek diawali dengan pengelupasan ubi, pencucian, pencacahan menjadi ukuran lebih kecil dari bentuk sebenarnya. Persentase bobot ubi lepas kulit, kulit basah dan gaplek disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Persentase Bobot Ubi Lepas Kulit, Kulit Basah dan Gaplek Belah di Tiga Daerah Kajian Lokasi Bobot Ubi Lepas Kulit Bobot Kulit Ubi Bobot Gaplek Belah -------------------%----------------------Sampang 80.95 19.05 38.87 Pati 87.39 12.61 41.03 Blora 78.67 22.33 36.89 Tabel 2 menunjukkan bahwa pada lokasi Pati mendapati persentase bobot ubi lepas tertinggi yaitu 87,39% dibandingkan Sampang dan Blora. Hal ini sejalan dengan persentase bobot kulit ubi dari lokasi Pati mendapati persentase bobot paling rendah yaitu 12,61%. Hal ini disebabakan karena struktur kulit ubi tipis. Lokasi Blora mendapati persentase bobot lepas kulit terrendah yaitu 78,67% karena persentase bobot kulit ubi mendapatdan persentase terdapat yaitu 87,39%. Hal ini disebabkan karena struktur kulit ubi lokasi tersebut tebal. Kulit yang tebal diduga terjadi karena struktur tanah penanaman remah atau gembur atau yang dipertahankan sejak awal pertumbuhan sampai panen sehingga sirkulasi O2 dan CO2 terutama di daerah lapisan olah mendukung pembesaran ubi sangat baik. Hal ini dapat diketahui dari bentuk/wujud/onggok ubi kayu lepas kulit asal lokasi Blora besar namun persentase bobot gapleknya terrendah yaitu 36,89%, dapat bermakna kandungan air lokasi tersebut tinggi. Struktur tanah yang remah dan gembur disebabkan karena kandungan bahan organik yang cukup. Pupuk organik yang ditambahkan pada tanah mempunyai fungsi untuk menggemburkan lapisan tanah permukaan (trop soil), meningkatkan populasi jazad renik tanah, mempertinggi daya serap dan daya simpan air yang secara 4 keseluruhan akan meningkatkan kesuburan tanah. Pori total tanah akan meningkat dan A. Sampang B. Pati akan menurunkan berat volume tanah (Atmojo, 2006). C. Blora Gambar 1. Ubi kayu lepas kulit dari tiga daerah kajian kayu. Tepung tapioka mempunyai kegunaan Gaplek chips, Tapioka dan Ampas Gaplek chips merupakan olahan kering dari sebagai pembantu dalam berbagai industri. ubi kayu yang dipotong-potong tipis Dan juga dapat digunakan sebagai bahan menyerupai lempengan. Gaplek chips dibuat bantu warna pemutih (Tri dan Agusto, dengan tujuan agar pengeringan lebih cepat 1990). Ampas merupakan limbah ubi kayu karena ukuran potongan kecil dan tipis. yang salah satunya dapat dijadikan sebagai Selain itu hasil dari chips memudahkan pakan ternak. Persentase bobot Gaplek chips dalam proses pengolahan selanjutnya seperti kering, tepung tapioka dan ampas kering proses penepungan. Tepung tapioka disajikan dalam Tabel 3. merupakan tepung pati hasil ekstrak dari ubi Tabel 3. Persentase Bobot Chips Kering di Tiga Daerah Kajian Lokasi Gaplek Chips Kering Tepung Tapioka Ampas Kering -------------------%-------------------Sampang 34.77 22.90 11.17 Pati 39.23 37.50 15.75 Blora 35.52 27.90 13.56 Ubi kayu dapat diolah menjadi tepung pengganti terigu sampai sebanyak 20%. Pada tahun 2012 Indonesia mengimpor terigu 6 juta ton, apabila ubikayu dapat dimanfaatkan untuk substitusi terigu sebesar 30%, maka devisa yang dapat diselamatkan sangat besar. Ubi kayu mempunyai produktivitas biomasa tinggi sehingga mampu dikembangkan feedstock bioindustry yaitu menjadi bioenergi dan produk biomasa utamanya akan menjadi pakan ternak (Simatupang, 2012). Usahatani ubi kayu memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya. Peluang peningkatan hasil ubi di tingkat petani masih besar dengan cara perbaikan budidaya dan penggunaan varietas unggul (Prastiawati et al., 2011). Secara umum, rendemen kadar pati meningkat seiring bertambahnya umur panen. Bertambahnya rendemen pati pada umur tertentu yaitu sekitar 8-9 bulan, setelahnya akan mengalami penurunan kadar pati. Penurunan kadar pati diduga akibat meningkatnya komponen-komponen non pati seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Peningkatan komponenkomponen non pati tersebut disebabkan terjadinya degradasi komponen non pati dan penurunan kadar pati (Pantasico, 1975). 5 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan kajian produksi, fisik ubi, gaplek dan pati pada lokasi penanaman yang berbeda, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Produksi ubi kayu pada lokasi penanaman yang berbeda menghasilkan hasil yang beda pula. 2. Ubikayu yang ditanam di Kabupaten Pati memiliki potensi gaplek belah, gaplek chips dan tepung tapioca paling tinggi dibanding dua daerah kajian lainnya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. ?????. Kabupaten Sampang Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sampang. Atmojo, S.W. Peranan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Balitkabi. 2003. Hasil Utama Penelitian Kacang-kacangan dan Ubi-ubian. Balitkabi Malang. Balitkabi. 2010. Hasil Utama Penelitian Kacang-kacangan dan Ubi-ubian Tahun 2005-2009. Balitkabi Malang. Hafsah, M.J. 2003. Bisnis ubi kayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Nugraha, H.D., Agus Suryanto dan Agung Nugroho. 2015. Kajian Potensi Produktivitas Ubikayu (Manihot esculenta Crantz.) di Kabupaten Pati . Jurnal Produksi Tanaman, Volume 3, Nomor 8, Desember 2015, hlm. 673 – 682 Howeler, R.H. 1994. Integrated soil and crop management to prevent environment degradation in cassava based cropping systems in Asia. Proc. of workshop on Upland Agriculture in Asia, April 6-8, Bogor, Indonesia, : 195-224 Howeler, R.H. 2002. Cassava mineral nutrition and fertilization. In. R.J. Hillocks, J.M. Thresh and A.C.Belloti (ed). Cassava Biology. Production and Utilization. Pp: 115 – 147. Cabi Publishing, CAB International, Wallingford. Oxon. Karama, S. 2003. Potensi, tantangan dan kendala ubi kayu dalam mendukung ketahanan pangan, p.1–14. Dalam: Koes Hartojo et al. (ed.). Pemberdayaan ubi kayu mendukung ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis kerakyatan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Ubiubian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Nasir Saleh, St.A. Rahayuningsih dan M.Muchlis Adie. 2012. Peningkatan Produksi dan Kualitas Ubi-ubian. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Ubi-ubian (Balitkabi), Malang. Pantastico, E.B. 1975. Postharvest Physiology Handling and Ultilization of Tropical and Subtropical Fruit and Vegetable. Edited by ER. B. Pantastico. Westport, Connecticut. The Avi Publishing, Co., Inc. Prasetiaswati, Nila., Budhi S. Radjit, Yudi Widodo, dan Nasir Saleh. 2012. Kelayakan Usahatani Ubikayu Sistem Mukibat di Tingkat Petani: Studi Kasus di Jawa dan Lampung. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan Inovasi Teknologi Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal: 671680. Radjit, Budhi S., N. Saleh., dan A. Munip. 2012. Penyediaan Ubikayu Sebagai Bahan Baku Industri Melalui Pengaturan Waktu Tanam dan Umur Panen. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan Inovasi Teknologi Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal : 714721. Roja, A. 2009. Ubikayu : Varietas dan Teknologi Budidaya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Padang. 6 Saleh, N. , B. Santoso, Y. Widodo, A. Munip, E.Ginting dan N. Prasyaswati. 2006. Alternatif teknologi produksi ubikayu mendukung agroindustri. Laporan akhir tahun 2006. Saleh, N., K. Hartojo and Suyamto. 2000. Present situation and future potential of cassava in Indonesia. Cassava Potential in Asia in 21 st Century. Proc. 6th Regional Cassava Workshop. Ho Chi Minh city, Vietnam. p : 47-60. Syafina, L., Supriana, T., dan Emalisa. 2015. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Ubi kayu (Manihot esculanta). Journal on SocialEconomic of Agriculture and Agribusiness. Vol. 4 (1). Tri, Radiyati dan Agusto, W.M. 1990. Tepung Tapioka (perbaikan). Subang: BPTTG Puslitbang Fisika Terapan-LIPI, 1990 Hal 10-13. Wargiono, J., A. Hasanuddin, dan Suyamto. 2006. Teknologi Produksi Ubikayu Mendukung Industri Bioethanol. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 7