perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id SKRINING BAKTERI PENGHASIL EXTENDED SPECTRUM BETALACTAMASES (ESBLs) PADA KASUS INFEKSI SALURAN KEMIH TERKAIT KATETERISASI DI RSUD PANDAN ARANG, BOYOLALI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran KHANIFAH FITRIA DEWI G0007201 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Skrining Bakteri Penghasil Extended Spectrum BetaLactamases (ESBLs) pada Kasus Infeksi Saluran Kemih Terkait Kateterisasi Di RSUD PANDAN ARANG, BOYOLALI Khanifah Fitria Dewi, NIM : G0007201, Tahun : 2010 Telah diuji dan sudah disahkan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari Senin, Tanggal 3 Januari 2011 Pembimbing Utama Nama : Maryani, dr., M.Si. NIP : 19661120 199702 2 001 (……………………....) Pembimbing Pendamping Nama : Suharsono, Drs.,Sp FRS., Apt. NIP : 195220126 198503 1 002 Penguji Utama Nama : Marwoto, dr., M.Sc., SpMK. NIP : 19590203 198601 1 004 (………………………) (………………………) Anggota Penguji Nama : Reviono, dr., SpP NIP : 19651030 200312 1 001 (……………………....) Surakarta commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS Muthmainah, dr., M.Kes NIP : 19660702 199802 2 001 Prof. Dr. AA. Subijanto, dr., M.S. NIP : 19481 107 197310 1 003 PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Surakarta, 3 Januari 2011 Khanifah Fitria Dewi NIM : G0007201 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK KHANIFAH FITRIA DEWI, G0007201, 2010. Skrining Bakteri Penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs) pada Kasus Infeksi Saluran Kemih Terkait Kateterisasi di RSUD Pandan Arang, Boyolali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah sudah terdapat Bakteri Penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs) pada Kasus Infeksi Saluran Kemih terkait Kateterisasi di RSUD Pandan Arang, Boyolali.Penelitian ini bersifat deskriptif. Didapatkan 22 sampel dari urin pasien yang menggunakan kateter selama 3 hari atau lebih. Lakukan pemeriksaan mikroskopis cat Gram untuk menemukan bakteri gram negatif. Selanjutnya dilakakukan hitung angka kuman dengan metode semikuantitatif Colony Forming Unit (CFU). Selanjutnya dilakukan identifikasi kuman berdasarkan sifat biokimiawi. kemudian dilakukan uji sensitifitas terhadap semua disk antibiotik pada media Muller Hinton, apabila didapatkan penurunan sensitifitas terhadap golongan cephalosporin generasi tiga, maka dilakukan final test menggunakan metode Double Disk Methode untuk mengetahui ESBLs. Kemudian dilakukan tabulasi distribusi data Hasil penelitian menunjukkan angka kejadian infeksi saluran kemih terkait kateterisasi sebesar 81,82% (18/22) dari total sampel. 94% di antaranya terinfeksi kuman gram negatif batang. Spesies kuman terbanyak adalah Eschericia coli sebesar 44,44%. Sebesar 72,22% kuman yang diuji resisten terhadap ceftriaxon, sedangkan untuk ceftizoxime, cefotaxime, dan cefoxitin menunjukkan angka resisten yang sama sebesar 55,56%. Resisten terhadap ceftazidime sebesar 44,44%. Kemudian pada cefotaxime dan cefixime didapatkan kuman yang resisten sebesar 27,78%. Pada penelitian didapatkan hasil DDST (-) Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa tingginya angka kejadian infeksi saluran kemih terkai kateterisasi di RSUD Pandan Arang, Boyolali yaitu sebanyak 18 dari total 22 sampel. Didapatkan penuruan sensitifitas terhadap cephalosporin generasi ketiga, yang mengarah pada suspect ESBLs, hal ini menjadikan warning karena sangat mungkin akan muncul ESBLs (+) di kemudian hari. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kata kunci : Infeksi Saluran Kemih terkait kateterisasi – Gram Negartif BatangResistensi Cephalosporin – ESBLs. ABSTRACT KHANIFAH FITRIA DEWI, G0007201, 2010, Screening Bacterial Produced Extended Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs) in Catheter Associated Urinary Tract Infection in RSUD Pandan Arang, Boyolali. The purpose of this research is to know is there Bacterial Produced Extended Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs) in Catheter Associated Urinary Tract Infection in RSUD Pandan Arang, Boyolali. This research was a descritpive. From 22 samples of urine from patients using a catheter for 3 days or more. Tested microscopic examination of Gram for finding gram negative bacteria. Next step was calculate using semiquantitave methode with Colony Forming Unit.. Determined by biochemical test. Further tests sensitivity to all antibiotics disk on Muller Hinton media, if found decreased sensitivity to third generation of cephalosporin class, then performed the final test using the method of Double Disk Method to determine the ESBLs and did the tabulation of data distribution. The results showed that the incidence of urinary tract infections associated catheterization was 81.82% (18/22) from the total sample, 94% of them infected with gram-negative rod bacteria. Most species of bacteria were Eschericia coli 44.44%. Almost 72.22% of germs were resistant to ceftriaxon tested, while for ceftizoxime, cefotaxime, and cefoxitin showed the same resistance figures. They got 55.56%. Resistant to ceftazidime was 44.44%. Then cefotaxime and cefixime obtained 27.78% of resistant germs. In this study found suspect of ESBLs. Based on the results above it can be concluded that the high incidence of urinary tract infections in hospitals related to catheterization in RSUD Pandan Arang, Boyolali was18 from total 22 samples. Found suspect ESBLs, the decrease of sensitivity to third generation of cephalosporins remain to make a warning for hospital admissions, as this can allow the outbreak of ESBLs (+) in the future. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Keywords : Catheter Associated Urinary Tract Infections - Gram Negative Bacilli - Recistane of Cephalosporin – ESBLs. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat atau timbul pada pasien selama dirawat di rumah sakit, yang secara operasional meliputi infeksi yang terjadi setelah 2x24 jam pasien mendapat rawat inap di rumah sakit (WHO, 2002). Lima peringkat teratas lokasi infeksi nosokomial secara relatif menurut Black, 2005 sebagai berikut : (1). Infeksi Saluran Kemih (ISK) 40%, (2). Infeksi luka bedah 19%, (3). Infeksi saluran pernapasan 15% , (4). Kulit 8%, (5). Bakterimia 6%. Infeksi nosokomial dapat terjadi terutama pada pasien yang mengalami instrumenisasi ataupun intervensi pada saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya pada pemasangan kateter, infus, serta tindakan-tindakan invasif lainnya (Hermawan, 2007). Adanya penggunaan antibiotika yang menyebabkan penyakit nosokomial. Karena hal irrasional juga berperan tersebut dapat menjadikan suatu kuman, virus atau bakteri menjadi resisten, dan pada akhirnya mengubah profil kuman “biasa” menjadi superbugs (Pujiarto, 2007). Resistensi terhadap antibiotika dapat timbul dikarenakan beberapa sebab seperti ketidaktepatan penggunaan antibiotika dalam keadaan klinis tertentu, meliputi pemberian antibiotika pada keadaan tanpa adanya infeksi bakteri, pemilihan antibiotika yang salah, dosis yang tidak tepat atau berlebihan. (Widodo, 2010). Adanya resistensi juga berkaitan dengan meningkatnya jumlah bakteri penghasil Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBLs) akibat penggunaan cephalosporin generasi ketiga secara berlebihan (Dwiprahasto, 2005). ESBLs merupakan suatu enzim β-lactamases yang dapat menghidrolisis cephalosporin, penicillins, dan aztreonam (Gomersall, 2007). Enzim ini merupakan pertahanan commit to user yang dimiliki oleh bakteri gram negatif terhadap antibiotika β-laktam. Pada 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2 umunya enzim ini dihasilkan oleh Escherichia coli atau Kleibsiella pneumoniae namun dapat ditransfer kepada Proteus mirabilis, Citrobacter, Serratia dan kuman enterik yang lainnya (Gomersall, 2007). Di Indonesia kejadian ESBLs pada enterobacteriaceae masih belum secara luas diketahui, namun dilaporkan selalu terjadi peningkatan. Selain penggunaan antibiotika yang irrasional, munculnya kejadian ESBLs juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain di antaranya pemakaian instrumen perawatan rumah sakit, seperti penggunaan kateter, perawatan relatif lama di ruang intensif care unit, serta tindakan paska bedah. Adanya kejadian ESBLs ini dapat menimbulkan berbagai masalah seperti pengobatan menjadi tidak efektif, penyakit tidak kunjung sembuh, biaya pengobatan yang meningkat, resistensi bakteri yang meluas dalam masyarakat serta resistensi yang meluas dalam populasi bakteri sendiri. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu distribusi dari infeksi nosokomial, adalah adanya manifestasi klinik yang mengarah ke Infeksi Saluran Kemih (ISK), hal ini berhubungan dengan salah satu tindakan invasif di rumah sakit yaitu pemakaian instrumen kateter urin (Phair, 1994). Infeksi Saluran Kemih menjadi penting karena dapat menjadi sumber invasi bakteri ke dalam aliran darah, dapat menyebabkan kerusakan ginjal, penyebaran infeksi, sepsis, dan mungkin meningkatkan angka kematian (Janas, Sutoto, dan Narain H Punjabi, 1992). Infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh penggunaan kateter yang menetap masih menjadi manifestasi infeksi nosokomial tersering (Emori, 1998). Kateterisasi diduga secara mekanik mendorong beberapa organisme dari bagian luar uretra ke dalam kandung kemih (Ford, 1992). Dari uraian tersebut di atas didapatkan hubungan antara infeksi nosokomial yang bermanifestasi pada infeksi saluran kemih dengan kateterisasi pada kejadian ESBLs Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi mengenai bakteri penghasil Extended commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3 Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs) pada kasus infeksi saluran kemih terkait kateter. B. Perumusan Masalah 1. Apakah sudah terdapat bakteri penghasil Extended Spectrum BetaLactamases (ESBLs) pada kasus infeksi saluran kemih terkait kateterisasi di RSUD Pandan Arang, Boyolali ? 2. Bagaimanakah pola resistensi bakteri penghasil ESBLs terhadap antibiotika di RSUD Pandan Arang, Boyolali ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apakah sudah terdapat bakteri penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs) pada kasus infeksi saluran kemih terkait kateterisasi di RSUD Pandan Arang, Boyolali 2. Untuk mengetahui pola resistensi bakteri penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs) terhadap antibiotika di RSUD Pandan Arang, Boyolali D. Manfaat Penelitian 1. Aspek Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai kejadian ESBLs. 2. Aspek Aplikatif a. Bagi Rumah Sakit dapat memberikan gambaran mengenai pola resistensi kuman, sehingga berguna dalam kebijakan pemilihan antibiotika sesuai dengan pola resistensi kuman, yang pada akhirnya sebagai salah bentuk upaya pengendalian penyakit infeksi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4 b. Bagi klinisi sebagai acuan dalam pemberian terapi empirik khususnya pemberian antibiotika yang efektif sebagai salah satu upaya pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi terkait multi drug resistance c. Bagi peneliti dapat mengidentifikasi kejadian ESBLs serta kaitannya dengan pola resistensi kuman. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Infeksi dan Infeksi Nosokomial Penyakit infeksi adalah suatu penyakit yang ditimbulkan akibat adanya interaksi dengan pejamu yang rentan terjadi melalui kode transmisi kuman tertentu. Mekanisme transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara, dan dengan kontak langsung. Adanya invasi mikroorganisme pada jaringan pejamu atau efek yang ditimbulkan mikroorganisme pada permukaan mukosa, nantinya akan menimbulkan gangguan kesehatan. (Stephen, 2007). Sedangkan infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat atau timbul pada pasien selama dirawat di rumah sakit, yang secara operasional meliputi infeksi yang terjadi setelah 2 x 24 jam pasien mendapatkan rawat inap di rumah sakit. (WHO, 2002). Secara keseluruhan, menurut center for disease control and prevention (CDC, 2005) infeksi nosokomial diklasifikasikan menjadi: a. Infeksi saluran kemih baik yang simtomatik maupun asimtomatik. b. Infeksi luka bedah c. Pneumonia d. Bakterimia primer e. Infeksi tulang dan sendi f. Infeksi susunan saraf pusat g. Infeksi sistem kardiovaskular dan gastrointestinal h. Infeksi mata, telinga, hidung, tenggorokan dan mulut i. Infeksi kulit dan jaringan lemak Infeksi nosokomial biasanya terjadi bila barier alamiah terhadap invasi mikroba terganggu, atau bila penderita lemah (Phair, 1994). Infeksi nosokomial dapat terjadi secara endogen maupun eksogen. Infeksi commit to user 5 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6 endogen disebabkan organisme yang berasal dari flora normal pasien sendiri, sedangkan infeksi eksogen disebabkan oleh organisme dari luar penderita yang didapat dari peralatan rumah sakit, lingkungan maupun dari personel rumah sakit. (Sim, 2001) Infeksi nosokomial banyak diketemukan di Unit Perawatan Intensif karena di tempat tersebut banyak digunakan tindakan invasif seperti pemasangan alat ventilasi, pemasangan nasogastrik tube, serta kateter urin. Tindakan invasif tersebut memungkinkan peralatan yang dipasang terkontaminasi oleh kuman yang dapat berasal dari penderita sendiri atau dari lingkungan setempat dan berasal dari tenaga kesehatan yang bekerja di tempat tersebut. (Iskandar, 2007) Dalam keadaan seperti ini dibutuhkan penatalaksanaan serta pengobatan yang cepat dan tepat khususnya dalam pemberian antibiotika. (Iskandar, 2007). Hal yang perlu diperhatikan sebelum pemberian terapi antibiotika adalah diagnosis penyakit pasien dan penyebabnya, kemudian setelah diketahui penyebabnya baru akan diketahui pemilihan antibiotika yang cocok untuk jenis penyakit tersebut (Hendrik, 2000). Selain itu yang perlu diingat adalah dosis, lama dan cara pemakaian antibiotika itu sendiri. Yang tidak kalah penting adalah mengetahui sensitivitas antibiotik, dan fokus tempat penyakit infeksi berasal, sehingga dalam pemberiannya dapat tepat sasaran. Namun perlu diperhatikan juga dalam pemberian antibiotika haruslah sesuai prosedur, agar nantinya tidak menimbulkan multi drug resistance yang dapat berakibat pada munculnya kejadian ESBLs. 2. Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah penyakit yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. (Enday, 2007). Bentuk yang paling ringan berupa “bakteriuria asimtomatik” di mana urin mengandung bakteri tetapi tidak ditemukan gejala inflamasi. Bentuk ISK yang paling commit to user berat adalah “pielonefritis akut” yang bisa disertai destruksi jaringan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7 bahkan septikemia. (Hutagalung, 1994). Secara mikrobiologi, ISK dinyatakan ada jika terdapat bakteriuria yang bermakna yaitu 105/ml pada kemih aliran tengah yang dikumpulkan dengan cara yang benar. (Sylvia, 1995) Organisme yang menyebabkan infeksi di saluran kemih biasanya gram negatif, tetapi perkecualian bisa juga gram positif (Staphylococcus albus dan Staphylococcus aureus). Berdasarkan pemeriksaan secara mikroskopis ditemukannya mikroorganisme patogen pada infeksi saluran kemih yaitu : (1). E. coli, 85%, (2). Kleibsiella 8%, (3). Proteus 4%, (4). Staphylococcus albus, 3% Pada kebanyakan kasus, organisme tersebut dapat mencapai kandung kemih dengan cara ascending atau dengan cara penyebaran hematogen. Penyebaran hematogen dapat terjadi pada keadaan bakterimi, yang mengakibatkan terjadinya mikroabses di kortek dan lemak perirenal. (Hutagalung, 1994) Infeksi dapat terjadi pada saluran kemih bagian bawah dan saluran kemih bagian atas. Pada infeksi saluran kemih bawah dapat melalaui uretra. Infeksi dimulai dari sistitis, dapat terbatas di kandung kemih saja atau dapat pula merambat ke atas melalui ureter sampai ke ginjal. Organisme juga dapat sampai ke ginjal melalui aliran darah atau getah bening. (Sylvia, 1995). Faktor-faktor predisposisi yang dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan pielonefritis adalah (Sylvia, 1995) : (1). Obstruksi saluran kemih, (2). Jenis kelamin, (3). Umur, (4). Kehamilan, (5). Refluks vesikoureter, (6). Peralatan kedokteran (kateter urin), (7). Kandung kemih neurogenik, (8). Penyalahgunaan analgesik secara kronik, (9). Penyakit ginjal, (10). Penyakit metabolik. (11). Tidak terhubungnya kateter dengan kantong drainase; (12). Perawatan kateter yang salah; (13). Terapi antibiotik sistemik yang tidak rasional. Pada pemasangan kateter jangka panjang sering dihubungkan user kemih. (Enday, 2007). Data dengan adanya kejadian commit infeksitosaluran perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 penelitian melaporkan prevalensi infeksi nosokomial mencapai 40% diduga terkait pemasangan kateter urin. (Enday, 2007). Terdapat 98% insidens infeksi dalam jangka waktu 48 jam pada pemasangan kateter tinggal, kecuali apabila diperhatikan agar sistem drainasenya sudah tertutup dengan baik. Bahkan sekalipun sistem itu sudah tertutup dengan baik, kemih hanya steril selama 5 sampai 7 hari. (Sylvia, 1995). Infeksi terjadi ketika bakteri mencapai kandung kemih melalui satu atau dua jalur berikut : dengan bermigrasi melewati bagian dalam lumen kateter (jalur intraluminal) atau dengan berpindah melalui lapisan mukosa, di luar kateter (jalur periuretral). Kuman patogen yang didapat di rumah sakit dapat mencapai kateter pasien atau sistem pengumpulan urin melalui tangan petugas rumah sakit, malalui larutan pencuci yang sudah tercemar dan melalui alat atau desinfektan yang sudah tercemar. Masuknya bakteri ke dalam sistem kateter biasanya terjadi pada pertemuan kateter dan pipa pengumpul urin atau pada jalan masuk kantong drainase. Kemudian bakteri naik secara intraluminal ke dalam kandung kemih dalam 24 sampai 72 jam. Cara lain, flora dalam usus besar pasien sendiri berdiam di kulit perineum dan daerah periuretra dan mencapai kandung kemih melalui permukaan luar kateter. Jalur ini sangat umum terjadi pada perempuan. Penelitian terbaru menunjukkan peran penting perlekatan dan pertumbuhan bakteri di permukaan dalam kateter pada patogenesis infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan kateter. Pertumbuhan bakteri seperti ini pada di permukaan dalam kateter tentunya akan menghasilkan pembentukan krusta yang terdiri atas bakteri, glikokalices bakteri, protein urin penderita, dan garam urin, di mana semua komponen tersebut biasa disebut dengan biofilm. Pembentukan krusta merupakan tempat baik untuk bakteri dan dapat melindungi mereka dari antimikroba dan sel fagosit (Stamm, 2000). Faktor risiko penderita yang menggunakan kateter untuk menjadi infeksi disebabkan karena : (a). Lama pemakaian kateter, (b). Kolonisasi di to user kantong drainase, (c). commit Diabetes melitus, (d). Diare, (e). Tidak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9 menggunakan antibiotik, (f). Perawatan kateter yang salah, (g). Imunokompromise, (h). Status kesadaran (Emmons, 1996) Seseorang didiagnosis menderita infeksi saluran kemih bila : a. Lekosituria/Piuria yaitu adanya sel darah putih dalam urin sebanyak ≥ 10 lekosit/LPB. Laki-laki > 5/LPB sedangkan wanita > 15-20/LPB. b. Bakteriuria yaitu adanya bakteri dalam urin. Kriteria praktis diagnosis bakteriuria (Marsh, 1976) : 1) > 100.000 kuman/ml dari 2 biakan urin porsi tengah yang dilakukan secara berturut. 2) > 100.000 kuman/ml dari 1 biakan urin porsi tengah yang disertai eritrosit > 10/ml tanpa sentrifuge 3) > 100.000 kuman/ml dari 1 biakan urin porsi tengah disertai gejala klinis infeksi saluran kemih. 4) > 10.000 kuman/ml urin kateter. Penatalaksanaan infeksi saluran kemih nosokomial dengan pemberian antibiotika haruslah hati-hati. Sangat diperhatikan dalam ketepatan penggunaan. Baik dalam pilihan obat hingga dosis yang diberikan. Uji klinis laboratorium mengenai kuman yang berperan menyebabkan infeksi serta diagnosis juga perlu diperhatikan, karena hal ini berhubungan pemberian terapi empirik khususnya pemberian antibiotika. Karena apabila antibiotika digunakan secara irrasional dan tidak sesuai dengan diagnosis, seperti misalnya tidak didapatkan adanya infeksi oleh bakteri, namun tetap diberikan terapi antibiotik. Hal seperti ini nantinya dapat menimbulkan adanya suatu resistensi kuman terhadap antibiotik, yang pada akhirnya akan timbul suatu keadaan multi drug resistance di mana merupakan faktor penyebab terjadinya ESBLs 3. ESBLs a. Kuman Penghasil ESBLs ESBLs merupakan suatu enzim β-Lactamases yang dapat commit to user menghidrolisis cephalosporin, penicillins, dan aztreonam. (Gomersall, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 2007). Enzim ini merupakan pertahanan yang dimiliki oleh bakteri gram negatif terhadap antibiotika β-laktam terutama Eschericia coli dan Kleibsiella pneumoniae (Kohler et al., 1999). Masalah ESBLs tetap menjadi sorotan sampai saat ini, karena insiden kejadiannya mengalami peningkatan pada kasus penyakit infeksi, pemakaian antibiotika yang irrasional, dan sikap pasien yang tidak kooperatif selama masa perawatan khususnya dalam mengkonsumsi antibiotika. Berdasarkan sebuah studi di Spanyol, menyebutkan bahwa dari 11274 sampel Eschericia coli, 1124 Salmonella enterica, 602 Kleibsiella oxytoca, 1109 Kleibsiella pneumoniae, ternyata 1% Eschericia coli, 2,9% Kleibsiella pneumoniae, 0,66% Kleibsiella oxytoca, dan 0,44% Salmonella enterica menghasilkan ESBLs (Romero et al., 2007). 1) Eschericia coli Escherichia coli adalah kuman oportunis yang banyak ditemukan di dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Genus dari Eschericia coli terdiri dari 2 spesies yaitu : Escherichia coli dan Escherichia hermanii. Banyak dari infeksi bakteri yang disebabkan oleh E.coli di antaranya cholecystitis, diare, bakterimia, infeksi saluran kencing, dan infeksi klinis lainnya seperti meningitis neonatus, pneumonia, serta infeksi luka terutama luka di dalam abdomen. Escherichia coli yang memproduksi ESBLs diduga erat kaitannya dengan pemakaian kateter terutama pada pasien ISK serta pemakaian antibiotika yang tidak rasional dari golongan penisilin dan cephalosporin generasi pertama. (Husada, 2008). Oleh karena ESBLs diperantarai oleh plasmid terutama plasmid tipe R, maka kekebalan dapat ditransfer ke strain lain antara beberapa spesies, sementara itu bakteri penghasil ESBLs dapat pula menimbulkan resistensi silang ke golongan antibiotika commit to user jenis lain. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 2) Kleibsiella sp. Kleibsiella adalah genus dari bakteri yang merupakan anggota dari family Enterobacteriaceae dan merupakan kuman gram negatif berbentuk batang. Di mana pada dinding sel terselubungi oleh kapsul polisakarida. Kleibsiella merupakan flora normal yang terdapat di usus besar manusia. Sebagian besar kuman enterik tidak menimbulkan penyakit pada host, bila kuman tetap berada dalam usus besar, namun apabila terjadi suatu perubahan pada host atau terdapat keadaan yang memberikan kesempatan kuman ini memasuki bagian tubuh yang lain, maka dimungkinkan kuman akan berubah menjadi patogen. Misalnya, kuman ini dapat membentuk koloni pada kulit, faring, dan saluran pencernaan. Kuman juga dapat membentuk koloni pada luka terbuka yang steril dan urin. Pada orofaring, dapat terinfeksi oleh kuman melalui pemakaian intubasi endotrakheal, daya tahan tubuh yang melemah, serta penggunaan antimikroba yang irrasional. Kleibsiella juga dihubungkan dengan kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit, organ yang paling sering terinfeksi oleh bakteri ini adalah saluran kencing, saluran pernapasan bawah, sistem billiar dan luka paska operasi. Kuman ini juga memberikan gambaran clinical syndrome seperti pneumonia, bakterimia, thrombophlebitis, infeksi saluran kencing, cholecystitis, diare, infeksi saluran pernapasan atas, osteomyelitis serta meningitis. Gambaran seperti ini disebabkan oleh penggunaan instrumen rumah sakit yang terkontaminasi, seperti dari alat bantu pernapasan, penggunaan kateter urin serta penggunaan antimikroba yang dapat meningkatkan infeksi nosokomial pada spesies ini. (Umeh, 2009) Penggunaan antibiotika berspektrum luas yang irrasional to user pada pasien dengancommit perawatan di rumah sakit, akan meningkatkan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 angka kejadian multi drug ressistance, yang nantinya dapat berpotensi produksi dari Extended-Spectrum-Beta-Lactamases ESBLs. Selain penggunaan antibiotika yang irrasional, faktor risiko lain seperti pemakaian kateter urin, nasogastrik tube,kateter vena sentral, status kesehatan yang rendah, dan perawatan di ruang intensive care unit. Beberapa hal tersebut di atas dapat meningkatkan potensi terjadinya resistensi dan transfer plasmid ke organisme lain (Umeh, 2009) 3) Salmonella spp. Salmonella sering bersifat patogen untuk manusia atau hewan bila masuk melalui mulut. Bakteri ini ditularkan dari hewan atau produk hewan kepada manusia dan menyebabkan enteritis, infeksi sistemik dan demam enterik (Jawetz et al., 2005). Salmonella menjadi masalah endemik pada negara dengan sanitasi buruk, serta penyebaran secara sporadik, sehingga memerlukan penanganan yang serius. ESBLs yang diproduksi oleh mikroorganisme ini menyebabkan timbulnya beberapa penyakit infeksi salah satunya Salmonelosis (Alena, 2009). 4) Proteus spp. Proteus merupakan bakteri gram negatif famili enterobacteriaceae. 90% dari Proteus mirabillis dapat menyebabkan infeksi. Infeksi traktus urinarius merupakan manifestasi klinis tersering dari infeksi Proteus. Bakteri ini juga dapat menyebabkan sepsis neonatorum dan bakterimia disertai demam dan neutropenia (Kelley, 2009). Proteus mirabillis dapat dilumpuhkan dengan semua antimikroba kecuali tetracyclin. Dari strain ini sekitar 10-20% dapat terjadi resistensi terhadap ampicillin dan cephalosporin generasi I. Selain itu Proteus mirabillis mungkin sensitif terhadap ampicillin, commit cephalosporin to user broad-spectrum penicillin, generasi I,II,III, imipenem perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 dan aztreonam (Kelley, 2009). Kejadian resisten dari Proteus mirabillis juga dapat disebabkan oleh karena bakteri ini mendapat transfer enzim ESBLs dari bakteri lain. 5) Serratia sp. Serratia merupakan sebuah genus dari bakteri gram negatif, anaerob fakultatif, bentuk batang, yang termasuk dalam family Enterobacteriaceae. Serratia merupakan penyebab infeksi nosokomial sekitar 2%, pada sirkulasi darah, saluran pernapasan bawah, traktus urinarius, tindakan bedah, dan juga pada kulit serta jaringan lunak dari pasien dewasa. Selain itu serratia dapat menyebabkan endokarditis serta arthritis pada pasien yang menerima injeksi intraartikuler (Ania, 2009). Ania (2009) menyatakan bahwa “ Serratia marcescens resisten terhadap ampicillin dan cephalosporin generasi I. Terapi untuk infeksi Serratia sebaiknya menggunakan aminoglycosida. Pada umunya strain ini dapat dilawan dengan amikacin, akan tetapi didapatkan laporan bahwa terjadi peningkatan resistensi terhadap gentamycin. Terapi yang tepat hendaknya didasarkan pada hasil sensitivitas tes karena kejadian multiresiten dari strain ini cukup sering muncul”. 6) Citrobacter spp. Citrobacter spp merupakan bakteri enterik gram negatif, secara alami berada dalam usus manusia sebagai flora normal. Pada umumnya kejadian infeksi nosokomial berkenaan dengan status immunokompromised, pasien dengan usia lebih dari 60 tahun, dan neonatus. Bakteri-bakteri ini dapat menyebabkan infeksi pada traktus urinarius, pneumonia, meningitis, abses otak, bakterimia, endokarditis, dan infeksi saluran intra abdomen (Auwaerter, 2007). Tes sensitivitas harus dilakukan mengingat adanya kemungkinan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 kejadian multiple drugs resistance, termasuk di dalamnya kejadian ESBLs. b. Klasifikasi ESBLs Extended Spectrum Beta-Lactamases dihasilkan oleh adanya peningkatan resistensi terhadap golongan cephalosporin generasi ketiga pada beberapa kuman, khususnya gram negatif seperti E.coli dan Kleibsiella spp. Di mana kuman tersebut dapat menghidrolisis serta mendegradasi antibiotik secara enzimatik. Pola penyebaran kuman penghasil enzim ESBLs melalui transfer antar plasmid yang diperantarai oleh mutasi dari kuman yang sebelumnya sudah terkena. ESBLs menurut Jacoby et al. (2007) dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur nukleotida dan asam amino, yang terdiri atas: 1) ESBLs klas A meliputi : a) TEM-type beta lactamases merupakan bentuk beta laktamase yang paling sering dijumpai pada bakteri gram negatif. Terdiri dari TEM-10, TEM-12, dan TEM 26 yang banyak ditemukan di Negara Amerika b) SHV 1-type beta lactamases paling sering ditemukan di K.pneumoniae dan sebanyak 20% dilaporkan bertanggung jawab atas perlawanan terhadap ampicillin yang dimediasi oleh plasmid. Lebih dari 60 varietas dari SHV telah diketahui, jenis terbanyak yang ditemukan adalah SHV-5 dan SHV-12. dan jenis ini paling banyak ditemukan di Negara bagian Eropa dan Amerika serikat. c) CTX-M beta lactamases enzim ini mempunyai aktivitas perlawanan yang besar terhadap cefotaxime daripada substrat oxymino-beta-lactam yang lain (ceftazidime, ceftriaxone, atau cefepime). Tipe ini tidak mempunyai suatu korelasi terhadap tipe TEM ataupun SHV. Lebih dari 40 jenis CTX-M diketahui. Jenis ini banyak didapatkan pada strain Salmonella enterica commit toCTX-M-3, user dan E.coli. CTX-M-14, serta CTX-M-2 adalah yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 paling banyak tingkat persebarannya. Sedangkan untuk CTXM-15 paling banyak didapatkan pada E.coli 2) ESBLs klas B. Juga disebut sebagai enzim metallo-lactamases dan cukup berbahaya 3) ESBLs kelas C. Disebut juga plasmid-mediated AmpC Enzymes. Jenis ini bertanggung jawab atas perluasan spectrum terhadap cephalosporin, dan tahan terhadap bakteri gram negatif. Yang membedakan dari ESBLs jenis lain AmpC beta laktamases dapat menginaktivasi cephamycins serta tidak dihambat oleh inhibitor beta lactam seperti asam klavulanat. 4) ESBLs kelas D. OXA-type beta lactamases. Tipe ini ditandai dengan mempunyai aktifitas hidrolitik yang tinggi, dan kurang dihambat oleh asam klavulanat. Banyak ditemukan pada Pseudomonas aeruginosa, terutama di Negara Perancis dan Turki. Kejadian luar biasa pada kuman penghasil ESBLs didapatkan adanya pemakaian cephalosporin yang tidak terkontrol baik penulisan resep, dosis, frekuensi dan pemberian yang tepat. Infeksi yang disebabkan oleh kuman penghasil ESBLs dapat dibagi lagi menurut berbagai organ/sistem sebagai berikut (Lestari, 2009) : (1). Infeksi saluran kemih, (2). Bakterimia primer dan sekunder, (3). Infeksi saluran napas bawah nosokomial, (4). Infeksi saluran cernaabses intra abdominal (5). Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, (6). Infeksi luka infus-pemasangan kateter vena sentral dan perifer, (7). Sinusitis, (8). Neurosurgical meningitis Selain itu didapatkan beberapa faktor resiko terjadinya infeksi atau kolonisasi kuman penghasil ESBLs antara lain (Lestari, 2009) : 1) Pemasangan kateter a) Kateter arteri b) Kateter vena sentral c) Kateter saluran kemih commit to user tube d) Gastrostomy atau jejunostomy perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 e) Kateter umbilikal 2) Tindakan Bedah a) Operasi abdominal b) Laparotomi darurat 3) Pemakaian antibiotik a) Cephalosporin generasi III (terutama Ceftazidime) b) Fluoroquinolone c) Trimetroprim – sulfamethoxazole 4) Perawatan sebelumnya di panti jompo. 5) Lamanya waktu perawatan di rumah sakit atau di ICU. c. Identifikasi ESBLs Kejadian ESBLs sangat erat hubungannya dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien, khususnya pada pasien yang mendapatkan perawatan di ruang intensif care unit. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan pemeriksaan laboratorium secara tepat dan akurat agar kegagalan klinis pada terapi terhadap antimikroba dapat dihindari. Pada umunya uji klinis yang dilakukan di laboratorium pada semua isolate E.coli dan Kleibsiella spp dengan menggunakan ceftazidime ( merupakan indikator yang paling baik untuk ESBLs tipe TEM dan SHV ) dan cefotaxime (merupakan indikator yang paling baik untuk ESBLs tipe CTX-M ). Namun, sebagai alternatif dapat digunakan cefpodoxime untuk semua tipe ESBLs. (Andrews, 2000) Banyak teknik untuk mendeteksi adanya kejadian ESBLs, namun sebagai screening awal dan diagnosis rutin, biasanya menggunakan perpaduan cara antara asam klavulanat dan indikator terhadap cephalosporin. Deteksi dengan metode two disk detection telah dikenalkan. Metode yang pertama berdasarkan original double disk method, yang telah dilakukan oleh Jarlier et al dengan membandingkan perluasan zona inhibisi dari cephalosporin yang didekatkan dengan disk yang commit to20+10 user mengandung co-amoxiclav mg. Selanjutnya dengan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 membandingkan, zona inhibisi pada kombinasi yang berisi antara cephalosporin dan asam klavulanat dengan zona inhibisi yang hanya berisi cephalosporin saja. Sebuah perluasan zona inhibisi lebih dari 5 mm atau 50% ( berdasarkan particular product dan manufacturer guideline ) mengindikasikan adanya produksi ESBLs (Andrews, 2000). Metode yang kedua adalah dengan disk kombinasi (combination disk) yang berasal dari Oxoid, Mast dan Beckton Dickinson (Cambridge Diagnostic Servis Ltd, Cambridge, UK). Teknik ini secara umum dapat diunakan untuk deteksi kejadian ESBLs pada E.coli dan Kleibsiella namun metode ini mempunyai kerugian yaitu, mengenai jarak optimum antara jenis-jenis disk tersebut dengan kuman yang diteliti, ini berarti bahwa serangkaian tes tersebut akan dapat diselesaikan dengan jarak deteksi ESBLs yang sub-optimum. Tidak satupun dari metode tersebut ideal untuk Enterobacter, Citrobacter, dan Serratia spp, yang dapat menginduksi AmpC β-lactamases. (Andrews, 2000) 4. Resistensi Antimikroba Antibiotika adalah susbtansi kimiawi yang dihasilkan berbagai macam spesies mikroorganisme yang dalam konsentrasi kecil dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Antibiotika merupakan obat yang sebagian besar tidak mempunyai efek intrinsik terhadap organ tubuh sendiri. (Hendrawan, 2008). Mekanisme kerja antibiotik dapat dibagi menjadi 4 cara (Jawetz et a..l, 2005) : (1). Penghambatan sintesis dinding sel, (2). Penghambatan fungsi selaput sel, (3). Penghambatan sintesis protein translasi dan transkripsi bahan genetik, (4). penghambatan sintesis asam nukleat. Antibiotika beta laktam merupakan penghambat spesifik terhadap biosintesis dinding sel bakteri (peptidoglikan), suatu struktur sel yang spesifik untuk sel bakteri, yang tidak terdapat pada sel mammalia. Antibiotika beta laktam merupakan antibiotika yang ideal dipandang dari commit to user sudut toksisitas selektif, sehingga dimaksudkan antibiotika tersebut dapat perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 membunuh mikroorganisme yang menginvasi host tanpa merusak sel host (Stephen, 2007). a) Cephalosporin Cephalosporin merupakan derivate fermentasi produk dari Cephalosporium acremonium. Jamur Cephalosporium menghasilkan beberapa antibiotika yang menyerupai penisilin tetapi resisten terhadap beta-laktamases serta aktif terhadap bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. (Katzung, 1997). Inti dasar cephalosporin C adalah asam 7-aminosefalosporanat yang terdiri atas cicncin beta laktam yang berfusi dengan cincin dihidrotiazin . inti cephalosporin C resisten terhadap penisilimase, tetapi dirusak oleh cephalosporinase. Hidrolisis cephalosporin menghasilkan asam 7-aminosefalosporanat yang kemudian dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik cephalosporin. Aktivitas antimikroba intrinsik cephalosporin alamiah rendah, tetapi perlekatan berbagai gugusan R1 dan R2 telah menghasilkan obat dengan aktivitas terapi yang baik dan toksisitas yang rendah. Mekanisme kerja cephalosporin hampir sama dengan penisilin yaitu : (1) pengikatan pada protein pengikat penisilin yang spesifik (PBPS), yang bertindak sebagai reseptor obat pada bakteri; (2) menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat transpeptidasi peptidoglikan; dan (3) mengaktifkan enzim autolitik dalam dinding sel, yang menyebabkan trauma sehingga sel bakteri mati. (Katzung, 1997) Munculnya resistensi terhadap cephalosporin dikarenakan oleh beberapa faktor antara lain : (1) penetrasi obat kurang pada bakteri, (2) kurangnya PBPS terhadap obat spesifik, (3) penghancuran obat oleh beta-laktamase, (4) timbulnya beta-laktamases khusus selama pengobatan pada batang gram-negatif tertentu (strain Enterobacter, Serratia, Pseudomonas), dan (5) gagalnya aktivasi enzim autolitik commit to user dalam dinding sel. (Itokazu, 2005). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 Farmakokinetik dari cephalosporin ialah antibiotik cephalosporin diekskresi terutama melalui ginjal, oleh karena itu dosis obat ini harus disesuaikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Beberapa obat seperti probenesid dapat memperlambat sekresi tubular dari cephalosporin. Beberapa cephalosporin seperti sefoperazon dan sefpiramid dieksresi terutama melalui empedu setelah sebelumnya mengalami metabolisme di hepar. Sefotaksim juga mengalami metabolisme di hepar, dan metabolismenya yang mempunyai aktivitas antimikroba yang lebih rendah dieksresikan melalui ginjal. (Katzung, 1997) Beberapa jenis cephalosporin seperti sefotaksim, seftriakson, dan sefepim mempunyai daya penetrasi yang baik ke sistem saraf pusat dalam konsentrasi yang adekuat, dan oleh karena itu bermanfaat untuk mengobati infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis. Cephalosporin juga dapat menembus plasenta, serta dapat ditemukan pula di cairan sinovial dan perikardial dalam konsentrasi yang tinggi. Selain itu pemberian cephalosporin generasi ke tiga secara sistemik di humor akuos akan memberikan hasil penetrasi yang relatif cukup baik. Cephalosporin dibagi menjadi tiga grup utama atau “generasi”, pembagian ini didasarkan terutama pada spektrum aktivitas antimikroba. 1) Cephalosporin Generasi Pertama Yang termasuk dalam grup ini adalah sefadroksil, sefazolin, sefaleksin, sefalotin, sefapirin, dan sefadrin. Cephalosporin generasi pertama mempunyai aktivitas yang baik terhadap bakteri gram positif dan aktivitas moderat terhadap bakteri gram negatif. Selain itu juga efektif untuk bakteri-bakteri yang sensitif maupun resisten terhadap penisilin. Keunggulannya dari penisilin adalah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar Staphylococcus aureus dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 Streptococcus, termasuk S. pyogens, S . viridans, dan S. pneumoniae. Obat per oral dapat digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih, luka kecil yang disebabkan oleh Staphylococcus, atau untuk infeksi kecil oleh polibakteri seperti selulitis dan infeksi jaringan lunak. Sedangkan obat intravena digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Kleibsiella pneumoniae, akan tetapi penetrasinya ke susunan saraf pusat kurang baik sehingga tidak bisa digunakan untuk pengobatan meningitis. Untuk pemberian secara intramuskular pengobatan ini cenderung menimbulkan rasa sakit lokal. (Katzung, 1997). 2) Cephalosporin Generasi Kedua Anggota dari grup ini adalah sefaklor, sefamandol, sefonisid, seforanid, sefoksitin, sefmetazol, sefotetan, sefuroksim, sefprozil, lorakarbef, dan sefpodoksim. Cephalosporin generasi kedua adalah kelompok obat yang heterogen dengan perbedaan aktivitas, farmakokinetik, dan toksisitas yang sangat individual. Pada umunya, obat ini kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi obat ini mencakup gram negatif yang luas, seperti Enterobacter, Kleibsiella, Proteus indol positif. Akan tetapi antibiotik ini kurang aktif untuk enterococcus atau pseudomonas aeruginosa. 3) Cephalosporin Generasi Ketiga Contohnya adalah sefotaksim, seftriakson, sefoperazon, seftazidim, seftizoksim, sefiksim, dan moksalaktam. Cephalosporin generasi ketiga mempunyai aktivitas yang lemah terhadap bakteri gram positif dan mempunyai aktivitas yang kuat terhadap bakteri gram negatif. Hal ini disebabkan oleh stabilitas obat ini terhadap beta-laktamase dan kemampuannya melewati amplop bakteri gram negatif. Obat ini aktif melawan bakteri seperti Enterobacter, commit toNeisseria, user Citrobacter, Haemophilus, P.aeruginosa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 Dewasa ini masalah resistensi terhadap antibiotik menjadi sorotan utama di dunia kesehatan. Hal ini terkait kemampuan beberapa antibiotik dalam melawan infeksi terhadap bakteri atau kuman. Tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan para klinisi, karena nantinya akan berdampak pada mortalitas serta morbiditas yang meningkat. Selain itu juga berakibat pada efektivitas dari suatu antibiotik. Dikenal beberapa macam jenis resistensi menurut prosesnya yaitu : 1) Resistensi genetik atau spontan, 2) Resistensi dipindahkan dengan tahapan transformasi, transduksi, dan konjugasi, 3) Resistensi non genetik, 4) Resistensi silang (Hendrik, 2000) Peningkatan tumbuh dan berkembangnya resistensi antimikroba terjadi karena proses seleksi yang berkaitan dengan penggunaan antibiotik dan adanya suatu penyebaran. Proses seleksi dapat dihambat dengan cara meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijaksana, sedangkan proses penyebaran dapat dihambat dengan cara melaksanakan pengendalian infeksi (universal precautions) secara benar. Sebagian besar mikroba yang resisten terhadap obat muncul akibat perubahan genetik dan proses seleksi yang kemudian terjadi oleh obat antimikroba ( Jawetz et a..l, 2005 ). Resistensi terhadap obat pada suatu mikroorganisme dapat disebabkan oleh suatu faktor yang memang sudah ada pada mikroorganisme itu sebelumnya atau mungkin juga faktor itu diperoleh kemudian. ( Pelczar, 2006 ). Aksi antibiotik adalah suatu tekanan lingkungan, dan bakteri yang bermutasi akan bertahan dan berkembang biak. Mereka kemudian akan menurunkan ciri ini kepada keturunannya, yang akan menjadi generasi yang sepenuhnya resisten. ( Wikipedia, 2006 ). Secara genetis resistensi antibiotika menyebar melalui populasi bakteri baik secara ”vertikal”, saat generasi baru mewarisi gen-gen to user yang resisten terhadapcommit antibiotika, dan secara ”horisontal”, saat bakteri perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 berbagi atau saling menukar materi genetis dengan bakteri yang lain. Transfer gen secara horisontal dapat terjadi di antara spesies bakteri yang berbeda. Pada lingkungan, resistensi antibiotika menyebar saat bakteri tersebut bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, bakteri dapat menyebar melalui pesawat udara, air dan angin. Orang dapat menyebarkan bakteri yang resisten kepada orang lain, misalnya melalui, melalui batuk atau kontak langsung dengan tangan-tangan yang tidak dicuci sebelumnya. Terdapat banyak mekanisme di mana bakteri mendapatkan resistensi terhadap antibiotika antara lain ( Pratiwi, 1993 ) : 1) Bakteri menghasilkan enzim-enzim yang merusak antibiotika, misalnya Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin G menghasilkan enzim beta laktamase yang merusak penisilin. 2) Bakteri merubah permeabilitasnya terhadap obat 3) Bakteri mengembangkan target struktural pengganti antibiotika 4) Bakteri mengembangkan sebuah jalur metabolik pengganti yang tidak memerlukan reaksi yang dihambat oleh antibiotika 5) Bakteri mengembangkan enzim pengganti yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya, hanya lebih sedikit terpengaruh oleh antibiotika daripada enzim pada bakteri yang sensitif. Terbentuknya resistensi dapat dikurangi dengan cara (Pelczar, 2006) : (1). Mencegah pemakaian antibiotik tanpa pembedaan pada kasus-kasus yang tidak membutuhkannya, (2). Menghentikan penggunaan antibiotik pada infeksi biasa atau sebagi obat luar, (3). Menggunakan antibiotik yang tepat dengan dosis yang tepat pula agar infeksi cepat sembuh, (4). menggunakan antibiotik yang lain bila ada tanda-tanda bahwa suatu organisme akan menjadi resisten terhadap antibiotik yang digunakan semula. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 Pada kasus ESBLs pemberian terapi antibiotika mutlak diperhatikan. Dasar pertimbangan ideal sebelum diberikan terapi antibiotika meliputi identifikasi dan sensitivitas organisme, tempat infeksi, status pasien, keamanan antibiotika, serta harga daripada antibiotika itu sendiri. Infeksi yang disebabkan oleh kuman penghasil ESBL menunjukkan dilema therapeutic yang besar karena pilihan antibiotik yang terbatas. Hal ini disebabkan karena enzim betalaktamase yang dihasilkan kuman mempunyai spektrum lebar, kuman penghasil ESBL bersifat resisten terhadap semua golongan beta-laktam termasuk cephalosporin spektrum lebar, aztreonam, penisilin spektrum lebar, dan sering dihubungkan dengan masalah resisten terhadap fluoroquinolon Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa masalah resistensi merupakan masalah yang rumit. Karena nantinya hal tersebut akan berdampak pada pemberian terapi yang efektif kepada pasien. Oleh karena itu dapat dilakukan beberapa langkah untuk pencegahan misalnya dalam pemberian Antibiotik seharusnya hanya diberikan kepada pasien dengan diagnosis infeksi bakteri yang sudah ditegakkan. Apabila bukan infeksi bakteri tetapi infeksi virus atau persangkaan klinis nampaknya bukan suatu infeksi bakterial dianjurkan jangan diberi antibiotika. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 B. Kerangka Pemikiran Infeksi Nosokomial Ventilator Pneumonia Nasogastrik Tube Infus Kateter Infeksi Saluran Pernapasan Flebitis ISK Penggunaan antibiotika βlaktam (penicilin) yang berlebihan Penggunaan antibiotika βlaktam (cephalosporin) yang berlebihan Penggunaan Antibiotika Irrasional Multi Drug Resistance Microorganisme Kuman Menghasilkan ESBLs (Karena Mutasi Genetik dan Perantara Plasmid) Kuman dapat menginaktifkan β-laktam generasi I : Penicilin Kleibsiella Proteus E.coli Serratia Kuman menjadi resisten terhadap penicillin dan cephalosporin commit to user Pengobatan tidak efektif Citrobacter perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian deskriptif. B. Lokasi Penelitian 1. Pengambilan sampel dilakukan di RSUD Pandan Arang, Boyolali. 2. Pengujian laboratorium dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. C. Populasi Penelitian 1. Subyek penelitian Subyek penelitian adalah urin kateterisasi pada Pasien Rawat inap di RSUD Pandan Arang, Boyolali dengan : a. Kriteria inklusi : 1) Pemasangan kateter dengan lama pemakaian ≥ 3 hari b. Kriteria eksklusi : 1) Obstruksi saluran kemih 2) Kehamilan 3) Diabetes melitus 2. Teknik sampling Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik consecutive sampling. Di mana pemilihan subyek penelitian sebagai sampel secara berurutan, semua subyek yang memenuhi kriteria pemilihan disertakan sebagai sampel sehingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. (Sastroasmoro, 1995). Dalam penelitian ini, sampel diambil selama kurun waktu penelitian yaitu Juni-Agustus, kemudian dilanjutkan pada bulan Oktober, sampel diambil secara acak keseluruhan, di mana memenuhi kriteria inklusi yaitu pemakaian kateter selama ≥ 3 hari . commit to user 25 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 D. Waktu Penelitian Penelitan dilakukan selama dua bulan yaitu Juni-Agustus kemudian dilanjutkan pada bulan Oktober E. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas : urin kateterisasi 2. Variabel Terikat : kejadian ESBLs F. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Urin kateterisasi a. Yang dimaksud dengan urin kateterisasi adalah, sampel yang diambil dari spesimen urin pada pasien rawat inap, dengan penggunaan kateter selama ≥ 3 hari. b. Skala pengukuran dari variabel ini skala nominal. 2. Kejadian ESBLs a. Yang dimaksud kejadian ESBLs adalah ditemukannya kuman yang telah resisten terhadap antibiotik beta laktam sehingga dapat menghidrolisis antibiotika jenis tersebut yang ditentukan dengan metode Double Disk Synergi Test. b. Skala pengukuran dari variabel ini adalah skala nominal. G. Instrumental Penelitian Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain : 1. Media Mc Conkey agar 2. Media Muller Hinton agar 3. Media identifikasi (KIA, SIM, Urea, Simon Citrat) 4. Media kaldu pepton cair 5. Media Nutrien Agar miring 6. Cat gram 7. Disk cefotaxime, ceftazidime, amoxycillin, imipenem, dan augmentin. 8. Oshe kolong dan Oshe jarum 9. Api spiritus 10. Inkubator 11. Tabung reaksi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 12. Tabung steril 13. Kapas lidi steril 14. Obyek glas 15. Pipet tetes 16. Pinset 17. Mikroskop 18. Jangka sorong 19. Swab alkohol 20. Jarum Gauge 21 dan syringe H. Prosedur Penelitian 1. Pengambilan Sampel a. Selang kateter diklem untuk mengumpulkan urin dalam selang (klem tidak boleh lebih dari 30 menit) b. Tempat pengambilan sampel (atau selang khusus kalau tersedia) dibersihkan dengan Swab alkohol c. Jarum diaspirasikan ke dalam selang tempat pengambilan sampel yang telah dibersihkan tadi (seproksimal mungkin) dan urin segera dimasukkan ke dalam syringe Sampel urin dipindahkan ke dalam tabung steril d. Sampel urin disimpan dalam pendingin apabila tidak bisa segera diperiksa setelah 30 menit setelah sampel diambil. Sampel urin yang didinginkan segera dibiakkan sebelum 24 jam. e. Sampel diisolasikan ke dalam media kaldu peptone cair dan nutrien agar kemudian inkubasikan pada suhu 3 o C selama 24 jam. 2. Identifikasi kuman a. Kuman yang positif pada media kaldu peptone cair kemudian diambil dengan oshe kolong yang sebelumnya telah dipanaskan. b. Kuman pada oshe kolong tersebut diratakan pada objek glass, dan kemudian dilakukan pengecatan gram. c. Hasil positif jika ditemukan kuman gram negatif berbentuk batang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 d. Jika kuman tersebut adalah kuman gram negatif berbentuk batang, maka sisa koloni bakteri pada nutrient agar tadi diambil dan ditanam pada media Mc Conkey agar. 3. Penanaman pada media Mc Conkey agar a. Diambil satu oshe kolong koloni bakteri yang sama pada pengecatan gram dari nutrient agar plate kemudian digoreskan pada median Mc Conkey. b. Inkubasi pada suhu 30o C selama 24 jam. c. Melakukan identifikasi pada masing-masing koloni kuman yang berbeda 4. Pembiakan pada media deret identifikasi a. Mengambil salah satu koloni dari media tersebut untuk ditanam pada media deret identifikasi. b. Pengambilan koloni bakteri pada media Mc Conkey (setelah dilakukan pengecatan gram) menggunakan oshe jarum yang sebelumnya sudah dipanaskan. c. Menusukkan oshe jarum tersebut pada media deret identifikasi (KIA, SIM, Urea, Simon Citrat). d. Inkubasi pada suhu 30o C selama 24 jam. e. Pertumbuhan kuman pada media deret identifikasi diamati dan dicocokkan dengan tabel untuk mengidentifikasi kuman. 5. Pemeriksaan bakteri penghasil ESBLs dengan metode (Double Disk Synergi Test). a. Kuman atau bakteri yang teridentifikasi sebagai Escherecia coli, Kleibsiella spp, Salmonella spp, Proteus spp, Serratia spp dan Citrobacter spp selanjutnya ditanam pada media penyubur kaldu pepton. b. Inkubasi pada suhu 30o C selama 24 jam c. Kuman dari media penyubur diisolasikan pada media MullerHinton agar. to user24 jam. d. Inkubasi pada suhucommit 30o C selama perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 e. Letakkan disk cefotaxime dan ceftazidime, kemudian augmentin berada di tengah di antara keduanya pada garis tengah media Muller-Hinton agar yang telah ditumbuhi koloni kuman dengan jarak masing-masing 25 mm. Inkubasi pada suhu 30o C selama 24 jam. f. Ketika pada Muller-Hinton agar ditemukan adanya sinergi yang meluas di sekitar disk augmentin maka dinyatakan sebagai ESBL positif. 6. Tes sensitivitas a. Kuman atau bakteri yang positif menghasilkan ESBLs kemudian dilanjutkan dengan uji sensitivitas dengan metode difusi cakram. Cakram antimikroba yang digunakan adalah golongan penicillin, cephalosporin, dan imipinem. b. Kuman yang akan diuji dan kuman kontrol (bukan penghasil ESBLs) diisolasikan dalam media Muller Hinton agar. c. Inkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam d. Kemudian letakkan tiga jenis cakram antimikroba tersebut ke dalam media Muller Hinton agar berisi koloni bakteri dengan jarak tertentu. e. Inkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam. f. Mengukur luasnya zona halo dengan menggunakan jangka sorong. g. Hasil tes sensitivitas didasarkan pada tabel sensitivitas antimikroba. I. Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif sehingga tidak menggunakan analisis statistik. Hasil dari penelitian ditampilkan dalam tabel dan diagram distribusi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 J. Alur Penelitian Sampel Urin ISK (+) ISK( - ) Identifikasi morfologi : Pengecatan Gram Gram + Gram - Kokus Batang Identifikasi koloni : Media selektif Mc Concey Identifikasi biokimia : Media deret identifikasi Identifikasi species Media penyubur : KP DDST ESBL (+) commit to user ESBL (-) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap 22 sampel dari urine keteterisasi pada Pasien Rawat Inap di RSUD Pandan Arang Boyolali, selama bulan Juni-Agustus, kemudian dilanjutkan pada bulan Oktober dengan kriteria inklusi pemasangan keteter dengan lama pemakaian ≥ 3 hari dan kriteria eksklusi obstruksi saluran kemih, kehamilan dan diabetes mellitus. Sampel berasal dari 4 bangsal yaitu bangsal Anggrek, Bougenvil, Cempaka, dan Flamboyan. Dari hasil pemeriksaan urine pada sampel penelitian ini, kemudian dilakukan pemeriksaan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Univesitas Sebelas Maret Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan 18 sampel positif ISK, 17 sampel di antaranya ditemukan bakteri gram negatif, pada satu sampel lain ditemukan bakteri gram positif coccus. Sedangkan 4 di antaranya ditemukan bacillus (4 sampel). Analisis berikutnya hanya dilakukan pada pasien yang positif ISK. Berikut adalah distribusi profil sampel hasil penelitian di RSUD Pandan Arang, Boyolali. commit to user 31 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 Grafik 1. Angka Kejadian ISK di RSUD Pandan Arang, Boyolali. Dari grafik 1 dapat diketahui besarnya angka kejadian ISK di RSUD Pandan Arang boyolali, terbukti dari 22 sampel yang diperiksa menunjukkan 81,82% ISK positif (18/22). Beberapa hal menyebabkan adanya angka ISK terkait kateterisasi yang tinggi antara lain teknik pemasangan, lama dan cara perawatan, serta faktor kerentanan host. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 Grafik 2. Distribusi Sampel Menurut Jenis Kelamin Grafik 2 menunjukkan profil sampel menurut jenis kelamin, bahwasanya dari 22 sampel urin kateterisasi yang diambil secara acak sesuai dengan kriteria inklusi dan tidak dibagi dalam proporsi yang sama, didapatkan 68,18% (15/22) sampel laki-laki paling banyak. Tabel 1. Distribusi Penderita ISK Menurut Umur Umur ≤ 20 21 - 40 41 - 60 61 -80 >80 Jumlah (+) ISK Jml % 1 4,55% 1 4,55% 11 50,00% 4 18,18% 1 4,55% 18 81,82% ( - ) ISK Jml % 1 4,55% 0 0,00% 1 4,55% 9,09% 2 0,00% 0 18,18% 4 Total Jml % 2 9,09% 1 4,55% 12 54,55% 6 26,73% 1 4,55% 22 100% Tabel 1 menunjukkan besarnya angka kejadian ISK menurut prevalensi commit to user umur. Sampel diambil secara acak sesuai dengan kriteria inklusi, sehingga perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 didapatkan kejadian ISK pada kelompok umur 41-60 tahun, yaitu sebesar 50,00%, dari total 54,55% (11/12). Sedangkan pada kelompok umur 61-80 tahun didapatkan 18,18% ISK dari total 26,73% (4/6). ISK pada kelompok usia tua dapat terjadi akibat penurunan fungsi secara fisiologis dari sistem urinarius, dan adanya penurunan status imun, yang memudahkan invasi mikroorganisme penyebab infeksi. Tabel 2. Distribusi Penderita ISK Menurut Lama Pemakaian Kateter Lama Kateter 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari Jumlah (+) ISK Jml % 4,55% 1 40,91% 9 27,27% 6 9,09% 2 18 81,82% ( - ) ISK Jml % 0 0,00% 1 4,55% 2 9,09% 1 4,55% 4 18,18% Total Jml % 1 4,55% 10 45,45% 8 36,36% 3 13,64% 22 100% Berdasarkan tabel 2 di atas sampel yang diambil secara acak menurut kriteria inklusi menunjukkan bahwa pemakaian kateter selama 4 hari sudah memunculkan adanya kejadian ISK sebanyak 40,91% dari total 45,45% (9/10). Sedangkan pada pemakaian 5 hari didapatkan angka kejadian ISK sebesar 27,27% dari total 36,36% (6/8). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 Tabel 3. Distribusi ISK Menurut Bangsal Bangsal Cempaka III.1 Cempaka III.3 Anggrek Bougenvil Flamboyan Jumlah (+) ISK Jml % 13,64% 3 13,64% 3 11 50,00% 4,55% 1 0,00% 0 18 81,82% ( - ) ISK Jml % 0 0,00% 0 0,00% 0 0,00% 0 0,00% 4 18,18% 4 18,18% Total Jml % 3 13,64% 3 13,64% 11 50% 1 5% 4 18% 22 100% Berdasarkan tabel 3 di atas, maka dapat diketahui bahwa dari 22 pasein yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini terdapat 3 pasien atau sebesar 13,64% yang berasal dari bangsal Cempaka III.1. Terdapat 3 pasien atau sebesar 13,64% yang berasal dari bangsal Cempaka III.3. Terdapat 11 pasien atau sebesar 50,00% yang berasal dari bangsal Anggrek dan terdapat 1 pasien atau 4,55% yang berasal dari bangsal Bougenvil yang ada di RSUD Pandan Arang, Boyolali. Terdapat 4 pasien atau sebesar 18,8% yang berasal dari bangsal flamboyan. Bangsal anggrek merupakan bangsal penyakit dalam, sehingga paling banyak dalam indikasi tindakan kateterisasi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 Grafik 3 . Distribusi Mikroorganisme Dalam Urine ISK RSUD Pandan Arang, Boyolali. Dari grafik 3 diketahui bahwa sebesar 94% jenis mikroorganisme penyebab ISK tersering adalah batang gram negatif. Bakteri gram negative. mempunyai suatu sturuktur pilli fimbriae yang dapat melakukan perlekatan pada mukosa urotelium saat terjadi invasi dan kolonisasi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 Grafik 4. Distribusi Jenis Kuman Pada Penderita ISK Dari grafik 4 dapat diketahu bahwa E.Coli ditemukan paling banyak sebagai penyebab ISK terkait kateterisasi sebesar 44,44%. Disusul dengan Pseudomonas sp yang ditemukan sebesar 27,76%. Kuman tersebut diatas merupakan golongan Enterobacteriaceae, kecuali Staphylococcus dimana merupakan kuman flora normal usus, yang pada keadaan tertentu dapat berubah menjadi patologis E.Coli tertinggi dikarenakan struktur morfologi, dimana E.Coli mempunyai pilli dan toksin dan menyebar secara ascending. commit to user 38 Tabel 4. Sensitivitas Kuman Terhadap Sefalosporin Generasi III (Ceftriaxone, Ceftizoxime, Cefuroxime, Cefotaxime, Ceftazidime, Cefoxitin, Cefixime) CRO No. 1 2 3 4 5 6 7 Kuman ∑ 8 E. Colli Pseudomonas sp e. aerogenes 5 1 1 serratia proteus rittguri 1 1 kleibsiella Staphilococcus Jumlah (%) 1 ZOX CXM CTX CAZ FOX CFM R/Ir S R/Ir S R/Ir S R/Ir S R/Ir S R/Ir S R/Ir S 6 2 5 3 6 2 2 6 5 3 5 3 0 0 3 2 2 3 1 4 2 3 2 3 2 3 2 3 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 27,72% 55,56% 44,44% 55,56% 16,67% 27,78% 11,11% 44,44% 50,00% 55,56% 22,22% 27,78% 5,56% 72,22% Dari tabel 4 dapat dilihat kuman yang mempunyai kepekaan paling tinggi terhadap antibiotika sefalosporin antara lain yaitu: Escherichia coli, Pseudomonas sp 38 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 Tabel 5 . Distribusi Resistensi Cephalosporin Generasi III Menurut Bangsal Di RSUD Pandan Arang, Boyolali. Bangsal Cempaka III.1 Cempaka III.3 Anggrek Bougenvil Flamboyan CRO 1 1 9 ZOX CXM 1 8 1 1 8 1 CTX 2 1 3 CAZ FOX 1 6 1 10 ∑ CRM Isolat 3 2 3 1 11 3 1 4 Tabel 6. Screening Test Microrganisme penghasil ESBI. CRO CAZ R S ZOX R S FOX R KODE SAMPEL KUMAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 S.CIII YK.CIII R.CIII F.Ang K.Ang S1.Ang HS.Ang M.Ang K.CIII DW.CIII GM.Ang D.Ang Pseudomonas sp Enterobacter Pseudomonas sp E.Coli Pseudomonas Pseudomonas Serratia marcescens Proteus Ritgorri Pseudomonas Pseudomonas sp Pseudomonas sp Staphilococcus aureus R R R R R R S S S R S - R R R R S S R S R S S S - R R R R R S S S R S S S - R R R S R R R S S - - Susp.ESBLs Susp.ESBLs Susp.ESBLs Susp.ESBLs Susp.ESBLs Susp.ESBLs 13 14 15 16 17 18 SP1.Ang N.Ang S2.Ang SP2.Ang P.Ang J.Boug E.Coli E.Coli E.Coli E.Coli E.Coli E.Coli R R R R S S - R R S S R R - R R R S S R - R R R R R S - - Susp.ESBLs Susp.ESBLs Susp.ESBLs - NO R S DDST KET S Ket Tabel : R = Resisten, S = Sensistif , DDST = Double Disk Synergi Test CRO = Ceftriaxon, CAZ = Ceftazidime, ZOX = Ceftizoxime, FOX = commit to user Cefoxitin perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 Dari tabel 6 dapat diketahui bahwa tingkat sensitifitas terhadap cephalosporin generasi tiga, dimana beberapa sampel menunjukkan penurunan sensitifitas terhadap cephalosporin generasi tiga. Dikatakan suspect ESBLs apabila terdapat penurunan terhadap tiga golongan cephalosporin generasi tiga. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapatkan setelah penderita dirawat di rumah sakit, baik yang muncul pada saat dirawat di rumah sakit atau pada penderita yang pulang dari rumah sakit. Kasus terbanyak yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah adanya perlakukan selama perawatan berlangsung. Infeksi Saluran Kemih terkait penggunaan kateter juga salah satu kasus terbanyak yang memungkinkan terjadinya infeksi nosokomial. Penelitian ini bertujuan untuk selain mengetahui kejadian ESBLs pada pasien rawat inap dengan keteterisasi urine di RSUD Pandan Arang, Boyolali juga untuk mengetahui pola resistensi kuman penghasil ESBLs terhadap antibiotika di RSUD RSUD Pandan Arang,Boyolali. Dalam penelitian sampel diambil dari beberapa bangsal rawat inap yang ada di RSUD RSUD Pandan Arang,Boyolali sesuai dengan kriteria dalam penelitian ini. Pengambilan sampel tidak dikhususnya pada ruang atau bangsal tertentu karena mengingat kejadian ESBLs dapat terjadi diruang mana saja dan sampel apa saja, di mana kuman-kuman enterik patogen berada. Hal ini juga dikarenakan bahwa penyebaran kuman khususnya di rumah sakit dapat sangat cepat, salah satunya melalui transfer genetik. “Suatu jenis bakteri dapat kebal terhadap suatu antibioti dengan cara bertukar genetik dengan bakteri lainnya yang sudah resisten”(Gendi, 2007) commit to user 40 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 Grafik 1 dan 2 merupakan grafik distribusi profil sampel. Grafik 1 menunjukkan menunjukkan angka kejadian ISK. Dari hasil pemeriksaan 22 sampel, lebih dari setengahnya positif ISK. Patofisiologi secara umum ISK disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui meatus uretra bisa karena terkontaminasi dengan feses, kateterisasi, sistokopi maupun berasal dari infeksi darah dan limfe yang terinfeksi mikroorganisme. Pada normalnya kandung kemih mampu membersihkan dirinya dari sejumlah besar bakteri dalam 2 hari sejak masuknya bakteri ke dalam kandung kemih. Akan tetapi infeksi dapat terjadi karena bakteri mencapai kandung kemih, melekat pada mukosa dan mengkolonisasi epithelium traktus urinarius untuk menghindari pembilasan kandung kemih (Yulianto,2009) Distensi kandung kemih mengurangi aliran darah ke lapisan mukosa dan submukosa sehingga jaringan menjadi lebih rentan bakteri. Urine yang tersisa di dalam kandung kemih menjadi lebih basa sehingga kandung kemih merupakan tempat yang ideal untuk pertumbuhan organisme. Infeksi Saluran Kencing terkait kateter sering berkembang menjadi infeksi nosokomial dengan akurasi lebih dari 95%. Faktor risiko terjadinya ISK terkait kateter tergantung pada cara pemasangan dan perawatan selama pemakaian kateter, durasi pemakaian, dan kerentanan daripada pejamu itu sendiri (Ariwijaya, 2007). Walaupun cara pemasangan kateter sudah dilakukan sesuai dengan prosedur dan teknik aseptik yang semestinya , infeksi masih saja terjadi sebesar 2% pada kateterisasi tunggal 10% pada kateterisasi berulang dan 95-100% pada kateterisasi menetap (Furqan, 2003). Infeksi saluran kemih setelah pemasangan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 kateter terjadi karena kuman dapat masuk ke dalam kandung kemih dengan jalan berjalan melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding kateter dengan mukosa uretra, sebab lain adalah bentuk uretra yang sulit dicapai oleh antiseptik (Cravens, 2000). Faktor risiko yang menyebabkan ISK terkait kateter antara lain : (1) Jenis kelamin wanita; (2) Kateterisasi menetap yang lama; (3) Penyakit berat yang mendasari; (4) Tidak terhubungnya kateter dengan kantong drainase; (5) Perawatan Kateter yang salah,; (6) Terapi antibiotik sistemik yang tidak adekuat (Stamm. 2005). Didapatkan angka 90 % bakteriuria asimptomatik selama pemakaian kateter. Tidak dianjurkan pengobatan yang spesifik pada kasus ini, karena bakteriuria asimptomatik akan berangsur hilang dengan sendirinya setelah kateter dilepas. Sedangkan pada bakteriuria simtomatik, pengobatannya cukup sulit dikarenakan adanya infeksi polimikroba pada kateterisasi yang lama, resistensi antibiotik dan pembentukan biofilm pada kateter di mana adanya biofilm akan menghambat aksi melawan bakteri. (Wong, 2001). Grafik 2 menggambarkan distribusi ISK menurut jenis kelamin. Teori mengenai ISK menjelaskan bahwa insidensi lebih sering terjadi pada wanita, salah satu penyebabnya karena kedekatan jarak anus dengan meatus uretra dan uretra wanita lebih pendek sehingga bakteri kontaminan lebih mudah masuk ke kandung kemih. Faktor lain adalah kecenderungan wanita menahan miksi, serta iritasi kulit lubang uretra. Uterus pada wanita juga dapat menghambat aliran urine pada keadaan tertentu (Yulianto,2009). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 Namun pada penelitian menunjukkan bahwa didapatkan sampel lelaki paling banyak. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel secara acak yang memenuhi kriteria inklusi pemakaian kateter selama ≥ 3 hari, dan tidak mengambil target proporsi yang sama antara sampel lelaki dan perempuan. Sehingga dalam penelitian ini tidak dapat disimpulkan secara signifikan mengenai prevalensi kejadian ISK menurut jenis kelamin. Tabel 1 memuat distribusi sampel menurut umur. Berdasarkan teorinya, resiko infeksi semakin meningkat dengan bertambahnya umur hal ini disebabkan karena kemunduran atau perburukan fungsional dari sistem saluran kemih (Weiss et al.,2001). Selain itu dapat pula disebabkan karena semakin lemahnya sistem imun pada usia lanjut, maka semakin mudah pula orang tersebut mengalami infeksi. Beberapa faktor predisposisi terjadinya ISK pada geriatri, khususnya perempuan paska menopause disebabkan oleh karena prolaps kandung kemih atau uterus sehingga pengosongan kandung kemih tidak sempurna, kehilangan hormon estrogen yang diikuti perubahan pH vagina menjadi lebih basa. Padahal pH vagina asam penting dalam melindungi mukosa vagina, serta kehilangan lactobacilli yang mempengaruhi kolonisasi periuretral dengan bakteri gram negatif aerob (Howes, 2008). Selain itu geriatri dengan gangguan mood dan penurunan faal kogintif cenderung sulit merawat kebersihan diri. Kebersihan terutama daerah genital kurang terjaga, hal ini memungkinkan adanya kolonisasi kuman sehingga mudah terjadi infeksi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 Faktor predisposisi lain adalah penurunan status fungsional. Hal ini dapat ditemukan pada pasien paska stroke. Kemampuan gerak ekstermitas yang berkurang, ketidakseimbangan postural serta gangguan koordinasi mengakibatkan usia lanjut kurang melakukan aktivitas terutama membersihkan diri sendiri, khususnya pada daerah genitalia. Pada pria usia lanjut, faktor predisposisi yang tersering adalah prostitis kronis (Maya, 2009). Pendapat lain menyebutkan prevalensi ISK pada usia lanjut meningkat disebabkan oleh : a). Sisa urin dalam kandung kemih meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif, sisa urin yang meningkat mengakibatkan distensi yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, b). Mobilitas menurun, c). Nutrisi yang sering kurang baik, d). Adanya hambatan pada aliran urin, f). Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat (Ircham, 2008). Dari hasil penelitian diperoleh pada kelompok umur 41-60 tahun, 11 dari 12 sampel atau sebanyak 50,00% dari 54,55% didapatkan infeksi saluran kemih. Sedangkan pada kelompok umur 61-80 tahun diperoleh 4 dari 6 sampel atau sebanyak 18,18% dari 26,73% didapatkan infeksi saluran kemih. Hal ini menggambarkan tingginya angka kejadian ISK pada kelompok umur yang semakin tua. Namun karena pengambilan sampel dilakukan secara acak, sehingga sampel pada kelompok umur tertentu yang terbanyak, maka akan menunjukkan angka ISK positif yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena pengambilan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 sampel berdasarkan kriteria inklusi yaitu pemakaian kateter ≥ 3 hari, dan tidak ditargetkan pada suatu proporsi yang sama pada kelompok umur tertentu. Sehingga hal ini kurang signifikan mencerminkan prevalensi ISK menurut umur. Tabel 2 menunjukkan distribusi ISK berdasarkan lama pemasangan kateter. Pada teori menerangkan bahwa semakin lama kateter terpasang, maka semakin tinggi pula risiko menderita ISK karena memungkinkan pula terjadinya kolonisasi kuman (Barbara,2000). Dalam sebuah studi didapatkan prosentase sebesar 1% untuk pemakaian selama 2 hari, 5% untuk 5-6 hari, dan sebesar 100% untuk pemakaian kateter lebih dari 14 hari. Pemasangan kateter dianggap benda asing oleh tubuh, sehingga pemakaian kateter dalam waktu yang lama akan menstimulasi mukosa dalam kandung kemih dan uretra yang nantinya kemampuan untuk merusak lingkungan fisiologis, serta menggangu melawan bakteri (Nicola,2000). Keberadaan kateter menghilangkan pertahanan mekanik dari pejamu, menyebabkan kandung kemih overdistensi dan reflek berkemih tidak tuntas sehingga meninggalkan sisa urin untuk pertumbuhan kuman. Selain itu instrumensasi benda asing seperti kateter ke dalam kandung kemih, meningkatkan kepekaan pasien terhadap ISK karena kateter berperan dalam memaparkan bakteri oportunistik ke dalam saluran kemih. Terdapat dua jalur yang sering menyebabkan ISK terkait kateter yaitu jalur intraluminal dan ekstraluminal. Jalur ekstraluminal terjadi lebih awal, dengan inokulasi langsung saat kateter dimasukkan, lalu kemudian mikroorganisme secara ascending naik dari perineum oleh aksil lendir kapiler pada mukosa yang tipis menuju ke permukaan luar dari kateter. Sedangkan untuk jalur intraluminal commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 terjadi apabila ada refluk dari mikroorganisme ke lumen kateter ataupun adanya kegagaln sistem drainase tertutup (Nicola, 2000). Pada penelitian diperoleh sampel penderita ISK dengan lama pemakain kateter terbanyak yaitu pada kelompok hari keempat pemasangan. Dimana pada kelompok ini didapatkan dari 10 sampel, 9 diantaranya terkena infeksi saluran kemih, atau sebanyak 40,91% dari total 45,45% dimana lebih dari setengahnya menunjukkan infeksi saluran kemih. Pada pemasangan kateter hari kelima didapatkan 8 sampel, dan 6 diantaranya menunjukkan infeksi saluran kemih, atau sebanyak 27,27% dari total 36,36% lebih dari setengahnya positif infeksi saluran kemih. Namun hal ini tidak dapat disimpulkan karena pengambilan sampel yang acak sesuai kriteria inklusi, dan tidak ditargetkan proporsi yang sama pada kelompok lama pemakaian kateter tertentu, sehingga kurang menggambarkan prevalensi ISK menurut lama pemakaian kateter. Tabel 3 memuat distribusi ISK menurut bangsal. Dapat dilihat bahwa prosesntase ISK terbanyak ada pada Bangsal Anggrek (50%). Kemudian disusul Bangsal Cempaka (13,64%). Besarnya prosentase ini kemungkinan besar dikarenakan Bangsal Anggrek-Bougenville merupakan bangsal penyakit dalam, di mana terdapat banyak penyakit yang mengindikasikan untuk penggunaan kateter. Seperti stroke, gagal jantung kongestif, serta pasien hiperplasi prostat, di mana penyakit tersebut membutuhkan pemakaian kateter dengan tujuan : a). meringankan obstruksi saluran kemih, b). untuk memperlancar kemih yang keluar pada pasien dengan disfungsi kandung kemih neurogenik dan retensi urin, c). untuk membantu dalam bedah urologi pada struktur bagian yang berdekatan, d). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 untuk mengukur atau mengetahui keakuratan jumlah urin yang keluar (Nicola, 2000) Besarnya prosesentasi ini kemungkinan besar bisa dikarenakan pasien yang dirawat di bangsal ini mempunyai kondisi tubuh yang lemah. Kondisi tubuh yang lemah ditambah dengan imobilisasi yang lama meningkatkan risiko ISK. Sedangkan tidak didapatkan gram negatif batang dan kejadian ISK pada Bangsal Flamboyan Grafik 3 menunjukkan distribusi mikroorganisme yang diperoleh dari pemeriksaan mikroskopis. Dari tabel bisa dilihat bahwa kuman batang gram negatif mempunyai porsi lebih banyak menyebabkan ISK (94%). Sedangkan jenis penyebab infeksi saluran kemih non-bakterial adalah biasanya adenovirus yang dapat menyebabkan sistitis hemoragik. Bakteri lain yang dapat menyebabkan ISK melalui cara hematogen adalah brusella, nocardia, actinomises dan Mycobacterium tuberculosa. Candida sp merupakan jamur yang paling sering menyebabkan ISK terutama pada pasien-pasien yang menggunakan kateter urin, pasien dengan penyakit imunnocompromised, dan pasien yang mendapat pengobatan antibiotik berspektrum luas. Semua jamur sistemik dapat menulari saluran kemih secara hematogen (Budi, 2000) Grafik 4 menunjukkan spesien kuman gram negatif batang penyebab ISK yang diperoleh setelah melakukan pemeriksaan biokimiawi. Kuman Gram negatif terbanyak penyebab ISK yaitu E.Coli yaitu sebesar 44,44%. Disusul Pseudomonas Sp yaitu sebesar 16,67%. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48 Ada beberapa macam patogen penyebab ISK terkait kateter, termasuk E. Coli Klebsiella, Proteus, Enterococcus, Pseudomonas, Enterobacter, Serratia dan Candida. Sebagian besar dari mikroorganisme ini merupakan bagan dari flora normal dalam usus besar manusia, tapi bisa juga didapatkan melalui kontaminasi silang dari pasien lain atau dari tenaga medis atau juga dari peralatan yang kurang steril. Patogen seperti Serratia marcescens dan Pseudomonas cepacia memiliki suatu kekhususan bahwa mikroorganisme tersebut tidak umum berada di saluran cerna, sehingga isolasi mereka menunjukkan akuisisi penyebaran yang bersumber dari luar (Wong, 2005). Prosentase E.Coli yang tinggi sebagai penyebab ISK dikarenakan hampir 95% ISK terjadi akibat infeksi ascending. Mekanisme E.Coli menyebabkan ISK adalah karena struktur fimbria bakteri menempel pada sel-sel uroepitelial untuk menghindari eliminasi (Warren,2007). Strain uropatogenis E.Coli dapat menahan eliminasi oleh komplemen. Setelah penempelan terjadi, internalisasi bakteri terjadi. Internalisasi sel bakteri ke dalam vakuola sel epitel mendorong kelangsungan hidup sel bakteri dengan menyediakan perlawanan pada sistem kekebalan tubuh host dan memungkinkan patogen untuk memilikki akses pada jaringan yang lebih dalam. Ketika proses internalisasi selesai, bakteri tumbuh di dalam sel epitel dan membentuk struktur seperti ”pod”. E.coli intraseluler membentuk reservoir di mukosa kandung kemih, yang merupakan faktor utama infeksi akut berulang (Warren,2007) Dari hasil pemeriksaan laboratorium dengan melakukan uji sensitivitas dan pengecatan gram dapat diketahui bahwa dari 18 pasien rawat inap dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49 keteterisasi yang ada di RSUD Pandan Arang Boyolali terdapat beberapa kuman di antaranya yaitu Enterobacter Aerogenes, Psedomonas Sp, E. Coli, Pseudomonas, Serratia, Proteus Rittguri, dan Stapyilococcus. Berdasarkan hasil uji sensitivitas yang dipaparkan pada tabel 4 dapat diketahui bahwa beberapa spesies kuman menunjukkan resistensi terhadap cephalosporin generasi ketiga terutama E. Coli dan Pseudomonas. Sedangkan Kleibsiella masih menunjukkan sensitifitasnya terhadap cephalosporin generasi ketiga. Resistensi terhadap Ceftriaxon adalah yang terbanyak yaitu sebesar (72,22%), kemudian disusul dengan prosenstase yang sama oleh Ceftizoxim, Cefuroxim, dan Cefoxcitin sebesar (55,56%), sedangkan Ceftazidim dengan prosentase sebanyak (44,44%). Adanya peningkatan resistensi terhadap cephalosporin generasi ketiga ditengarai oleh adanya produksi ESBL oleh bakteri. Kuman atau bakteri yang menghasilkan ESBLs dapat menghidrolisa cefotaxime, ceftazidime, aztreonam dan obat golongan cephalosporin lainnya pada berbagai tingkatan resistensi (Seema, 1999). Pada tabel hasil uji dengan metode double disk method untuk mengetahui EBSLs yang tertera pada tabel 6 dapat diketahui bahwa dari 18 pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dengan adanya infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap dengan keteterisasi yang ada di RSUD Pandan Arang Boyolali diketahui 9 sampel mengalami penurunan sensitifitas terhadap cephalosporin generasi tiga, adanya penurunan terhadap tiga macam golongan cephalosporin mengindikasikan adanya suspect ESBLs. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50 ESBLs adalah enzim yang memodifikasi β-laktamase yang terutama dihasilkan TEM 1-2 dan SHV-1, enzim yang dimediasi plasmid yang menghidrolisis spectrum luas cephalosporin pada berbagai tingkatan. Banyak βlaktamse yang menghasilkan resistensi terhadap cephalosporin generasi ketiga pada Enterobactericeae. Spesies seperti Enterobacter, Citrobacter, dan Serratia memiliki kromosom β-laktamase berspektrum luas yang normalnya tidak muncul dan ketika diinduksi akan menghasilkan resistensi terhadap cephalosporin generasi ketiga. Kleibsiella dan E.coli biasanya mempunyai β-laktamase tipe SHV aatau TEM dan adanya mutasi pada enzim ini menghasilkan ESBL yang sebenarnya. Selain itu adanya transfer plasmid memungkinkan suatu bakteri yang sebelumnya tidak menghsailkan ESBL menjadi ESBL positif. Penggunaan antibiotik cephalosporin generasi ketiga secara bebas menyebabkan resistensi ESBL di antara Enterobacter dan Enterobactericeae secara luas. Penggunaan antibiotik sebelumnya adalah faktor risiko penting untuk kolonisasi dan infeksi bakteri. Hubungan antara infeksi yang dimediasi ESBL dan penggunaan cephalosporin generasi ketiga menegaskan pentingnya penggunaan cephalosporin generasi ketiga yang lebih baik. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Ditemukan adanya Infeksi Saluran Kemih (ISK) akibat pemakaian kateter ≥ 3-5 hari di RSUD Pandan Arang, Boyolali pada periode Juni-Agustus, kemudian Oktober 2010 sebesar 81,82% (18 dari 22 sampel) dan 94% (17 dari 18 sampel) terinfeksi kuman gram negatif batang. 2. Spesies kuman yang terbanyak adalah Eschereschia coli (44,44%) 3. Resistensi kuman ditemukan sebesar 72,22% (13 dari 18 sampel) terhadap ceftriaxon, 55,56% (10 dari 18 sampel) terhadap ceftizoxim, 55,56% (10 dari 18 sampel) terhadap cefuroxim, dan sebesar 55,56% (10 dari 18 sampel) terhadap cefoxitin. 4. Didapatkan penurunan sensitivitas terhadap golongan cephalosporin, hal ini ditunjukkan dengan resisten terhadap tiga macam golongan cephalosporin. Didapatkan 9 dari total 18 sampel penderita infeksi saluran kemih suspect ESBLs 5. Pada double disk synergi test tidak diidentifikasi adanya ESBLs. commit to user 51 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52 B. Saran Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat direkomendasikan saran yang terkait dengan permasalahan yaitu sebagai berikut : 1. Meskipun dalam penelitian kejadian ESBLs masih berupa suspect, tetapi perlu diwaspadai resistensi kuman tersebut, karena sangat mungkin akan berkembang menjadi ESBLs dikemudian hari. 2. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa kuman yang ada sebagian besar telah resisten terhadap cephalosporin generasi III. Sehingga harus lebih cermat dalam penggunaan antibiotika golongan tersebut. 3. Perlu penyesuaian mengenai pemberian terapi terhadap antibiotika yang didasarkan pola resistensi kuman yaitu dengan memperhatikan antibiotic guidline . 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui tingkat populasi (epidomiologi) ESBLs yang ada di RSUD Pandan Arang, Boyolali. 5. Meninjau kembali upaya pengendalian terhadap infeksi nosokomial. 6. Screening lebih lanjut dan dilakukan dipertimbangkan. commit to user secara berkala perlu