ETIKA BISNIS DI INDONESIA: REDEFINISI PERILAKU BISNIS BERETIKA PANCASILA Zarah Puspitaningtyas Universitas Jember, Jember e-mail: [email protected] Abstrak Dunia bisnis di Indonesia terlihat telah berkembang sistem dan praktek bisnis kapitalistik yang tidak etik, karena menekankan pada pengejaran keuntungan sebesar-besarnya dengan kecenderungan mengabaikan hak orang lain. Seolah bangsa ini sudah kehilangan etika dan karakter dalam berperilaku bisnis. Jikalau kapitalisme tak lagi terelakkan, bisakah kita membangun kapitalisme yang bermoral? Kita bisa menyebutnya sebagai etika bisnis Pancasila. Pancasila sebagai ideologi bangsa, sudah seharusnya menjadi pegangan bagi setiap individu dalam menjalankan perannya di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam berperilaku bisnis. Setiap individu menjadi bagian dari bisnis. Sebab, bisnis membutuhkan orang sebagai pemilik, manajer, pekerja, dan konsumen. Oleh karenanya, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membangun kembali bisnis yang beretika Pancasila. Paper ini bertujuan untuk meredefinisi perilaku bisnis yang beretika Pancasila. Memaknai kembali pemahaman tentang setiap sila dalam Pancasila sesuai dengan kaidah waktu, yaitu: pemahaman tentang konsep Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan (Nasionalisme), Demokrasi (Kerakyatan), dan Kesejahteraan Sosial. Diharapkan praktek-praktek bisnis dijalankan dengan pedoman moral Pancasila. Sejatinya, konsep tersebut sejalan dengan prinsip ilmu ekonomi. Bahwa, kedudukan ilmu ekonomi adalah sebagai ilmu moral. Sebagai suatu ilmu moral maka ilmu ekonomi mengenal keadilan, peduli dengan persamaan dan pemerataan, menjunjung tinggi kemanusiaan, serta menghormati nilai-nilai agama. Kata kunci: etika bisnis Pancasila, perilaku bisnis PENDAHULUAN Saat ini masyarakat Indonesia sedang berproses menuju masyarakat modern. Proses modernisasi yang berlangsung secara cepat menjadikan peran etika bisnis sangat penting bagi masyarakat Indonesia di dalam berperilaku bisnis. Salah satu ciri masyarakat modern adalah masyarakat pebisnis. Artinya, segala sesuatu aktivitas yang bersifat transaksi senantiasa mengutamakan perhitungan secara materiil (Anoraga, 2007). Oleh karenanya, dalam menjalankan aktivitas bisnis diperlukan pedoman sebagai pegangan hidup untuk dapat berhubungan satu sama lain dengan saling menghargai. Namun, dunia bisnis di Indonesia terlihat telah berkembang sistem dan praktek bisnis kapitalistik yang tidak etik. Praktek bisnis dijalankan dengan menekankan pada pengejaran keuntungan sebesar-besarnya dengan kecenderungan mengabaikan hak orang lain. Ciri dari praktek kapitalisme ialah cenderung menginginkan hasil atau keuntungan secara serakah, melampaui batas, dan mengabaikan perilaku etika bisnis (Shaw, 2009). Kasus pencucian uang oleh Bank Century sehingga merugikan nasabah hingga milyaran rupiah, kasus pembuangan limbah industri berbahaya ke Kali Surabaya dan Kali Tengah oleh tiga industri di Surabaya (yaitu: PT. Surya Agung Kertas, industri baja PT. Sepindo, dan industri kerupuk PT. Titian Alam Semesta) sehingga merugikan banyak pihak (khususnya warga sekitar), serta kasus Mesuji yang berawal dari sengketa tanah hingga terjadi konflik yang memicu tewasnya warga merupakan contoh-contoh masalah etika bisnis di Indonesia. Seolah bangsa ini sudah kehilangan etika dan karakter dalam berperilaku bisnis. Jikalau kapitalisme tak lagi terelakkan, bisakah kita membangun kapitalisme yang bermoral? Kita bisa menyebutnya sebagai etika bisnis Pancasila. Pancasila sebagai ideologi bangsa, sudah seharusnya menjadi sumber moral atau pegangan bagi setiap individu dalam menjalankan perannya di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam berperilaku bisnis. Setiap individu menjadi bagian dari bisnis. Sebab, bisnis membutuhkan orang sebagai pemilik, manajer, pekerja, dan konsumen. Oleh karenanya, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membangun kembali bisnis yang beretika Pancasila. Paper ini bertujuan untuk meredefinisi perilaku bisnis yang beretika Pancasila. Makna redefinisi menurut Sugiarto (2010) ialah memikirkan kembali segala hal yang menurut kita sudah benar ke arah yang lebih sesuai dengan semangat jaman dan cita-cita. Tujuan meredefinisi perilaku bisnis yang beretika Pancasila ialah memaknai kembali pemahaman tentang setiap sila dalam Pancasila sesuai dengan kaidah waktu, yaitu: pemahaman tentang konsep Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan (Nasionalisme), Demokrasi (Kerakyatan), dan Kesejahteraan Sosial. Diharapkan praktek-praktek bisnis dijalankan dengan pedoman moral Pancasila. Sejatinya, dalam diri kita masih ada nurani yang bisa diajak bicara. Karena hidup bukan hanya masalah materi, tetapi bagaimana memaknai hidup ini lebih baik dan lebih bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Penjelasan paper ini akan diawali dengan uraian tentang modernisasi dan etika bisnis. Bahwa, proses modernisasi yang tengah berlangsung memiliki pengaruh kuat terhadap perubahan socio-cultural di kehidupan masyarakat, serta akan berdampak pula pada perkembangan etika bisnis. Dalam melaksanakan bisnis, diperlukan suatu sumber moral sebagai pedoman atau pegangan hidup. Masih kah masyarakat Indonesia menjadikan Pancasila sebagai sumber moral? Oleh karenanya, uraian selanjutnya ialah tentang Pancasila sebagai sumber moral dalam berperilaku bisnis di Indonesia. Dan, sebagai upaya untuk memaknai kembali definisi Pancasila sebagai pegangan hidup di segala bidang kehidupan, termasuk dalam berperilaku bisnis, maka penjelasan dilanjutkan dengan uraian tentang redefinisi perilaku bisnis yang beretika Pancasila. MATERI DAN DISKUSI Modernisasi dan Etika Bisnis Modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah upaya tindakan menuju perbaikan dari kondisi sebelumnya. Aspek modernisasi di bidang ekonomi ialah menata kembali dan melegitimasikan beberapa bentuk pengetahuan dari kegiatan ekonomi untuk menjadi lebih baik (Budiman, 2000; Fakih, 2002; Taddei, 2011). Modernisasi mengandung konsekuensi terhadap beberapa aspek kehidupan masyarakat Indonesia, salah satunya ialah kebutuhan akan etika dalam berperilaku bisnis. Etika ialah pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk dilakukan (Haddad, 2007). Etika berperan sebagai suatu pedoman untuk mendapatkan hidup yang bernilai atau bermartabat. Sedangkan, bisnis merupakan pertukaran barang atau jasa dengan saling menguntungkan atau saling memberikan manfaat (Anoraga, 2007). Oleh karenanya, etika bisnis menyangkut tata pergaulan di dalam berperilaku bisnis. Sepanjang sejarah, kegiatan bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis bisa dikatakan seumur dengan bisnis itu sendiri (Kulshreshtha, 2005; Schwartz, 2007). Perbuatan menipu atau berbohong dalam bisnis, serta mengurangi timbangan atau takaran merupakan contoh konkrit adanya hubungan antara etika dan bisnis. Proses modernisasi menuju masyarakat bisnis (baik lokal, nasional, maupun internasional) tidak bisa dipisahkan dari etika bisnis. Pada umumnya modernisasi berdampak pada perubahan socio-cultural, dan perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap perubahan moral bangsa (Rees dan Miazhevich, 2009; Lu dan Lu, 2010). Redfern dan Crawford (2010) menyebutkan bahwa proses modernisasi harus berpegang pada sumber moral. Oleh karenanya, agar dapat mencapai tujuannya maka bisnis harus dilaksanakan secara beretika. Etika bisnis pada dasarnya terdiri dari tiga komponen prinsip (Svensson dan Wood, 2008), yaitu: (1) harapan (expectation), (2) persepsi (perception), dan (3) evaluasi (evaluation). Ketiga prinsip tersebut saling berhubungan dengan enam sub-komponen, yaitu: (1) harapan masyarakat (societal expectation), (2) nilai organisasi (values organization), (3) norma dan keyakinan (norms and beliefs), (4) hasil (outcome), (5) evaluasi masyarakat (society evaluation), dan (6) rekoneksi (reconnection). Jadi, etika bisnis dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan yang terbaik atas kegiatan bisnis sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dan disepakati bersama. Etika berperan sebagai suatu aturan bisnis dalam suatu kelompok masyarakat dan diharapkan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good behavior) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan (Schnebel dan Brenert, 2004). Tujuan etika dalam bisnis ialah mengarahkan pelaku bisnis untuk mematuhi unsur-unsur etika (Smith et al., 2005). Etika tidak dapat membuat kehidupan individu menjadi sempurna, namun etika dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang merugikan individu (masyarakat) lain (Robin, 2009). Anoraga (2007) menyebutkan empat unsur etika, yaitu: (1) kejujuran (honesty), mengatakan dan berbuat yang benar, menjunjung tinggi kebenaran; (2) reliabilitas (reliability), menepati janji, yaitu tepat menurut isi perjanjian (ikrar), waktu, tempat, dan syarat; (3) loyalitas (loyality), setia kepada janjinya sendiri, setia kepada siapa saja yang dijanjikan kesetiaannya, setia kepada organisasinya, berikut pimpinannya, rekan-rekan, bawahan, relasi, klien, anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya; dan (4) disiplin (discipline), tanpa disuruh atau dipaksa oleh siapa pun taat kepada sistem, peraturan, prosedur, dan teknologi yang telah ditetapkan. Setiap lingkungan masyarakat mempunyai rumusan empat unsur etika yang dikehendaki bersama. Kutipan Chan (2008) atas pernyataan Smith dalam The Wealth of Nations, bahwa setiap orang harus bekerja untuk kepentingan pribadinya yang akan berdampak pada perekonomian secara keseluruhan, melalui the invisible hand akan tumbuh dan memberikan (baik secara sengaja maupun tidak disengaja) manfaat kepada publik (masyarakat). Oleh karenanya, bisnis bisa dikatakan sebagai kegiatan ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Haase (2004) menyebutkan bahwa bisnis tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Ahli etika berupaya untuk mengembangkan poin moral dengan tidak didasarkan pada economic rasionality, akan tetapi mempertimbangkan klaim dari semua pelaku sehubungan dengan masalah etika tertentu. Berdasarkan pada sudut pandang moral, ahli etika mengembangkan “how to do it knowledge of orientation” hanya terhadap praktek bisnis. Orientasi ini tidak untuk disalahpahami sebagai suatu “intruksi”, akan tetapi hanya untuk menunjukkan bagaimana mengatasi masalah etika tanpa membatasi etika bisnis hanya untuk kepentingan kekuatan tertentu (Beschomer, 2006). Artinya, praktek etika bisnis berlaku bagi semua masyarakat dan bukan untuk golongan tertentu saja. Pancasila sebagai Sumber Moral dalam Berperilaku Bisnis Berperilaku bisnis memerlukan moral sebagai pegangan untuk menghadapi segala tantangan. Moral merupakan suatu pendorong bagi individu untuk melakukan kebaikan. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika sebagai pedoman yang menjamin kegiatan bisnis berlangsung secara seimbang, selaras, dan serasi. Dengan kata lain, dengan menerapkan etika yang baik dapat membantu bisnis untuk tumbuh dan tetap dalam persaingan yang sehat (Spurgin, 2000, Dalimunthe, 2004; Wang, 2010). Apakah yang menjadi sumber moral dalam berperilaku bisnis di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan tersebut sejak bangsa Indonesia lahir hingga kini tetaplah sama, bahwa Pancasila adalah sumber moral bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam berperilaku bisnis. Di negara barat, etika bisnis berkaitan dengan Christian Morality. Namun, di Prancis yang dihuni oleh jutaan warganya yang non-Kristen atau non-Nasrani, etika bisnis bersifat Deontologie yang benar-benar bersih dari warna politik, selera budaya, dan kepercayaan. Di Jepang, etika bisnis bersifat case by case. Indonesia, dengan ideologi Pancasila, merupakan bangsa yang mempunyai identitas dan sifat khas Indonesia di berbagai aspek kehidupan. Etika bisnis di Indonesia, kita kenal dengan sebutan etika bisnis Pancasila. Etika bisnis Pancasila merupakan arah dalam menjalankan usaha yang dijiwai nilai-nilai Pancasila, yang pada hakekatnya merupakan perpaduan sistem ekonomi pasar (liberal) dan sistem ekonomi komando (etatisme) (Anoraga, 2007). Nilai-nilai Pancasila adalah sumber moral yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan bangsa. Nilai-nilai tersebut tetap relevan sebagai pedoman atau pegangan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Moral sangat erat kaitannya dengan agama dan budaya, artinya kaidahkaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran agama serta budaya yang dimiliki oleh masing-masing pelaku bisnis. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, termasuk di dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam berperilaku bisnis. Jadi, moral sudah jelas merupakan sesuatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi pihak-pihak yang terkait. Dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekuen, jelas pihak-pihak yang bertransaksi akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat dan saling menguntungkan (Dalimunthe, 2004; Lu dan Lu, 2010). Aasland (2004) menyebutkan bahwa etika atau moral tidak bersumber dalam rasionalitas (rasionality), akan tetapi dalam diri pribadi (personal). Artinya, moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang lain sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang berdasarkan pengetahuan ajaran agama yang dianut, budaya yang dimiliki, serta harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Cara terbaik untuk membuat orang berperilaku etis adalah menciptakan situasi dengan perilaku etis yang diharapkan dan itu bisa diawali dari diri pribadi (Dalimunthe, 2004; Heath, 2008; Vitell, 2009). Isu yang berkembang ialah semakin cepatnya proses modernisasi, jika tidak diimbangi dengan dunia bisnis yang bermoral (beretika), maka bangsa Indonesia akan menjadi suatu rimba modern yang menindas yang lemah. Sehingga apa yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 untuk kesejahteraan sosial tidak akan pernah terwujud. Ditambah lagi, generasi muda sekarang dinilai kurang memiliki rasa nasionalisme yang kuat, sehingga makna dari nilai-nilai Pancasila sebagai sumber moral bangsa kurang dapat dipahami secara baik dan benar. Disinilah, redefinisi Pancasila menjadi penting untuk dilakukan. Redefinisi Perilaku Bisnis yang Beretika Pancasila Setiap bangsa dan negara yang ingin tetap berdiri kokoh dan kuat, tidak mudah terombang-ambing oleh segala permasalahan berbangsa dan bernegara, harus memiliki ideologi (sebagai dasar negara) yang kokoh dan kuat pula. Memaknai kembali nilai-nilai Pancasila serta mempelajarinya secara lebih dalam menjadikan kita sadar, bahwa sebagai bangsa Indonesia kita memiliki jati diri yang harus tercermin dalam pergaulan hidup untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi. Perubahan sosial-budaya yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu akibat dari kegiatan ekonomi kapitalis. Ekonomi kapitalis menuntut adanya sistem nilai, seperti efisiensi kerja, kemauan untuk bekerja keras agar orang terus berproduksi. Selanjutnya, sistem kapitalis menumbuhkan semangat untuk membeli dengan berbagai cara strategi pemasaran agar sifat konsumeristik dapat ditumbuhkan (Anoraga, 2007). Subarkah (2010) menyebutkan bahwa kapitalisme yang mengedepankan penumpukan modal dan penindasan buruh adalah sistem yang dipandang merugikan kaum buruh oleh para sosialis. Persaingan bebas, liberalisasi dan sekulerisme adalah ciri khas dari sistem kapitalis yang dianggap “tanpa nurani”. Kita pahami bahwa sistem ekonomi kapitalis memiliki nilai positif dan negatif. Bisakah kita mengambil makna positif untuk diterapkan dalam sistem ekonomi Indonesia? Seperti telah disebutkan, jikalau kapitalisme tak lagi terelakkan, bisakah kita membangun kapitalisme yang bermoral? Kita bisa menyebutnya sebagai etika bisnis Pancasila. Kapitalisme yang bermoral adalah yang kaum buruh (dan petani untuk Indonesia) ikut serta aktif dalam “manajemen produksi”, yang serius mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan, dan jelas-jelas berusaha meningkatkan pemerataan dan hasil-hasil pembangunan (Sugiarto, 2010). Pancasila sebagai ideologi bangsa membawa konsekuensi logis bahwa nilainilai Pancasila menjadi landasan fundamental bagi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila berisi lima sila yang pada hakekatnya berisi lima nilai dasar yang bersifat fundamental. Nilai-nilai dasar dari Pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai persatuan Indonesia, nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa nilai dasar Pancasila adalah nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan (Sugiarto, 2010). Etika bisnis di Indonesia yang dapat kita sebut sebagai etika bisnis Pancasila mengacu pada setiap sila dari Pancasila. Menurut Bung Karno, pada pidato kelahiran Pancasila (1 Juni 1945), Pancasila dapat diperas menjadi Sila Tunggal (yaitu: Gotong Royong), atau Tri Sila, yaitu: (1) Socio-nasionalisme (Kebangsaan dan Peri Kemanusiaan), (2) Socio-demokrasi (Demokrasi/ Kerakyatan, dan Kesejahteraan Sosial), (3) Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sugiarto, 2010). Lebih lanjut, Sugiarto (2010) menyebutkan bahwa syarat mutlak untuk dapat mewujudkan etika bisnis Pancasila adalah mengakui terlebih dahulu Pancasila sebagai ideologi bangsa, sehingga asas-asasnya dapat menjadi pedoman perilaku setiap individu dalam kehidupan ekonomi dan bisnis. Setelah asas-asas Pancasila benar-benar dijadikan pedoman etika bisnis, maka praktek-praktek bisnis dapat dinilai sejalan atau tidak dengan pedoman moral sistem ekonomi Pancasila. Redefinisi nilai Pancasila berarti memaknai kembali pemahaman tentang setiap sila dalam Pancasila sesuai dengan kaidah waktu, yaitu: pemahaman tentang konsep Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan (Nasionalisme), Demokrasi (Kerakyatan), dan Kesejahteraan Sosial dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Konsep Ketuhanan, mengandung makna adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Konsep ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama, serta menghormati kemerdekaan beragama. 2. Konsep Kemanusiaan, mengandung makna bagaimana manusia menelaah, memperlakukan, dan memprediksikan diri pribadinya dalam tindakantindakannya, serta dalam hubungannya dengan memperlakukan individu lainnya dalam suatu pergaulan sebagaimana mestinya yang dilandasi kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan nurani. 3. Konsep Kebangsaan (Nasionalisme), mengandung makna bergerak bersama ke arah persatuan dalam kebulatan sebagai bangsa Indonesia, memupuk dan membina rasa nasionalisme dalam NKRI. 4. Konsep Demokrasi (Kerakyatan), mengandung makna menjunjung tinggi kedaulatan rakyat serta kebebasan menyampaikan pendapat. 5. Konsep Kejahteraan Sosial, mengandung makna bersama-sama mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara lahir dan batin. Diharapkan praktek-praktek bisnis di Indonesia dijalankan dengan pedoman moral Pancasila. Sejatinya, konsep tersebut sejalan dengan prinsip ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan (wants) yang tidak terbatas dengan ketersediaan sumber daya (resources) yang terbatas. Bahwa, ilmu ekonomi sebagai ilmu moral mengkaji tentang moral manusia serta cara-cara bagaimana menjaga dan meningkatkan moral individu (Alhabshi, 2007). Swasono (2005) mengungkapkan bahwa sebagai ilmu moral maka ilmu ekonomi mengenal keadilan, peduli dengan persamaan dan pemerataan, kemanusiaan, serta menghormati nilai-nilai agama. Bahwa, ilmu ekonomi secara etika mengenal dan menghormati “kepentingan-kepentingan bersama” (kesejahteraan sosial dan solidaritas) serta mengenal dan menghormati pula “kepentingan-kepentingan individu” (kebebasan untuk meraih kesenangan atau kebahagiaan). KESIMPULAN Proses modernisasi yang berlangsung secara cepat menjadikan peran etika bisnis sangat penting bagi masyarakat Indonesia di dalam berperilaku bisnis. Moral dan etika dalam dunia bisnis dimaksudkan agar pelaku bisnis melahirkan kondisi dan realitas bisnis yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja, terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara berkesinambungan, serta menghindarkan perilaku bisnis yang menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan. Dalam berperilaku bisnis, pengejaran keuntungan sebesar-besarnya (tanpa batas) dengan kecenderungan mengabaikan hak orang lain harus dihilangkan. Etika bisnis Pancasila sebagai pedoman berperilaku bisnis di Indonesia harus berpegang teguh pada upaya-upaya mewujudkan kesejahteraan sosial yang adil dan merata. Bahwa, Pancasila berisi lima sila yang pada hakekatnya berisi lima konsep fundamental, yaitu: konsep Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan (Nasionalisme), Demokrasi (Kerakyatan), dan Kesejahteraan Sosial. Sejatinya, konsep tersebut sejalan dengan prinsip ilmu ekonomi. Bahwa, kedudukan ilmu ekonomi adalah sebagai ilmu moral. Sebagai suatu ilmu moral maka ilmu ekonomi mengenal keadilan, peduli dengan persamaan dan pemerataan, menjunjung tinggi kemanusiaan, serta menghormati nilai-nilai agama. REFERENSI Alhabshi (2007), “Pengenalan Kepada Ekonomi,” Http://www.ekonkur.com Anoraga, P (2007), Pengantar Bisnis: Pengelolaan Bisnis dalam Era Globalisasi, Rineka Cipta: Jakarta. Aasland, DG (2004), “On the ethics behind “business ethics”,” Journal of Business Ethics, Vol. 53, pp. 3-8. Beschomer, T (2006), “Ethical theory and business practices: the case of discourse ethics,” Journal of Business Ethics, Vol. 66, pp. 127-139. Budiman, A (2000), Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Chan, GKY (2008), “The relevance and value of confucianism in contemporary business ethics,” Journal of Business Ethics, Vol. 77, pp. 347-360. Dalimunthe, RF (2004), “Etika bisnis,” e-USU Repository Universitas Sumatera Utara. Fakih, M (2002), Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Haase, M (2004), “Business ethics: between normativism, illusion and reponsibility,” Zeitschrift für Wirtschafts- und Unternehmensethik, Vol. 5, No. 2, pp. 193-198. Haddad, L (2007), “The ethics of business and the business of ethics,” The Middle East Business and Economic Review, Vol. 19, No. 1, pp. 56-67. Heath, J (2008), “Business ethics and moral motivation: A Criminological Perspective,” Journal of Business Ethics, Vol. 83, pp. 595-614. Kulshreshtha, P (2005), “Business ethics versus economic incentives: contemporary issues and dilemmas,” Journal of Business Ethics, Vol. 60, pp. 393-410. Lu, LC dan CJ Lu (2010), “Moral philosophy, materialism, and consumer ethics: An exploratory study in Indonesia,” Journal of Business Ethics, Vol. 94, pp. 193-210. Redfern, K dan J Crawford (2010), “Regional differences in business ethics in the people’s Republic of China: A multi-dimensional approach to the effects of modernisastion,” Asia Pacific Journal Management, Vol. 27, pp. 215-235. Rees, CJ dan G Miazhevich (2009), “Socio-cultural change and business ethics in post-soviet countries: the case of Belarus and Estonia,” Journal of Business Ethics, Vol. 86, pp. 51-63. Robin, D (2009), “Toward and applied meaning for ethics in business,” Journal of Business Ethics, Vol. 89, pp. 139-150. Schnebel, E dan MA Bernert (2004), “Implementing ethics in business organizations,” Journal of Business Ethics, Vol. 53, pp. 203-211. Schwartz, M (2007), “The “business ethics” of management theory,” Journal of Management History, Vol. 13, No. 1, pp. 43-54. Shaw, WH (2009), “Marxism, business ethics, and corporate responsibility,” Journal of Business Ethics, Vol. 84, pp. 565-576. social Smith, LP, Smith KT, dan Mulig EV (2005), “Application and assessment of an ethics presentation for accounting and business classes,” Journal of Business Ethics, Vol. 61, pp. 153-164. Spurgin, EW (2000), “What’s so special about a special ethics for business?,” Journal of Business Ethics, Vol. 24, No. 4, pp. 273-281. Subarkah, A (2010), “Kapitalisme, sosialisme, dan kemiskinan: Perspektif materialisme Karl Mark dan idealisme Max Weber,” http://adesubarkah.files.wordpress.com/2010/07/tugas-1-_marx-nweber_.pdf Sugiarto (2010), “Etika Bisnis dan Pancasila,” http://sugiartobabon.blogspot.com/2010/11/etika-bisnis-dan-pancasila.html Svensson, G dan G Wood (2008), “A model of business ethics,” Journal of Business Ethics, Vol. 7, No. 3, pp. 303-322. Swasono (2005), Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas, Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM: Yogyakarta. Taddei, R (2011), “Watered-down democratization: modernization versus social participation in water management in Northeast Brazil,” Agric Hum Values, Vol. 28, pp. 109-121. Vitell, SJ (2009), “The role of religiosity in business and consumer ethics: A review of the literature,” Journal of Business Ethics, Vol. 90, pp. 155-167. Wang, PY (2010), “The comparison of ethics code in the business negotiation of Taiwan and Indonesia,” The Journal of Human Resources and Adult Learning, Vol. 6, No. 1, pp. 94-98.