Journal of Indonesian Public Administration and Governance Studies (JIPAGS) p-issn: 2549-0435 e-issn: 2549-1431 POLITIK PERBEDAAN: MINORITAS DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN M. Dian Hikmawan Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Pakupatan, Serang – Banten, 42122 Email: [email protected] Abstract Public policy is always closely connected with the articulation of a distribution and re-distribution. Wisest form of policy that can accommodate all people without exception. Therefore, in the implementation of the public policy, it’s important to view the differences of social group not as a threat. but recognizing them through the political differences. Imbalances in the system which is too liberal governance is always to make people as several individuals with their rights. Finally, the policy only view the majority as a strong power which able to exclude those who are weak and considered different from the majority rule. This article at least invites us to re-articulate what is to be achieved in a democracy by analyzing the implementation of policy for difference groups are excluded by majority rule. Keywords: politics of difference, minority, majority, public policy PENDAHULUAN dapat terlepas dari kehidupan kita sekarang. Permasalahan kebijakan publik selalu erat disinilah public policy hadir untuk membantu hubungannya dengan artikulasi dari sebuah mewujudkan equality dalam demokrasi. Namun distribusi dan re-distribusi. Negara liberal selalu ternyata good governance yang menjadi wacana dihadapkan pada bentuk-bentuk baru dari dalam sebuah sistem pasar. Artikulasi pasar yang ternayata menimbulkan masalah baru yaitu bebas sekarang diikuti instrumen negara yang membuat bernamakan public policy yang bertujuan untuk masyarakat, distribusi dan re-dstribusi bagi masyarakat. Hal (majority) karena mereka dianggap sebagai ini terjadi karena dalam praktik liberalisme kumpulan-kumpulan individu dalam jumlah ternyata ketidaksetaraan besar yang memegang kebijakan dan yang (inequality), hal itu dapat terjadi karena lemah terhadap kebijakan minority (Young. liberalisme menjamin hak individu sebagai 2000: 15). Kapabilitas menjadi sangat penting kedaulatan tertinggi. Selanjutnya yang menjadi karena merupakan sebuah tolak ukur sejauh akar permasalahan pengakuan akan hak-hak mana citizen mampu bertahan dalam skema yang berbeda dari kumpulan individu yang Neo/liberalisme yang serba kompetitif dan menjadi mayoritas menjadi realitas yang tidak profit yang coba dibangun (Hoppe, 2008: 250). menghadirkan 88 mengimplementasikan sebuah yaitu garis kesetaraan, demarkasi masyarakat yang dalam kuat Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan Dalam hal demikian seharusnya implementasi demokrasi. Tidak hanya membuat kebijakan dari sebuah kebijakan harus melihat minoritas yang menguntungkan atau berpihak pada sebagai memerlukan (majority), tetapi juga harus bisa menjamin contractualism-pun minority sebagai bentuk pluralitas. Bentuk ke perhatian khususan lebih. yang Model hanya memberikan wajah baru pada definisi kebijakan statewelfare, diamana state dan citizen mebuat mengakomodir semua lapisan masyarakat tanpa relasi yang memberikan ruang bagi citizen terkecuali (Young, 1990: 18). Oleh karena itu, (demos) dalam konsensus partisipasi yang dalam membentuk perbedaan bukan sebagai ancaman. Tetapi minority. majority Pada dan dasarnya meng-eksklusi konsensus yang bijak implementasi tidak lain kebijakan, bisa melihat yang mengakui mereka melalui politik perbedaan memberikan ruang pada adanya partisipasi, menyamakan mereka sebagai warga negara. namun partisipasi yang tidak di ikuti dengan Ketimpangan dalam sistem govenrnance yang kesadaran terhadap warganegara yang berbeda serba liberalis adalah selalu mnjadikan individu dan beragam hanya akan menghasilkan sebuah sebagai kumpulan individu dengan hak-hak produk politik yang seragam, seragam dalam nya. Akhirnya kebijakan hanya melihat mereka artian atribut mayoritas. yang Keseragaman dalam kebijakan membuat kuat (majority) sehingga dapat mengeksklusi mereka yang lemah (minoriy) tatanan antara majority dan minority menjadi yang produk politik yang hegemonik. Dalam situasi Setidaknya saya mernagkumnya dalam sebuah seperti ini. kebijakan publik harus melihat apa skema dalam menguraikan bagaimana posisi- ulang apa yang menjadi sifat derifatif dari posisi 89 dianggap subjek. berbeda Lihat dari gambar majority. dibawah: JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98 Kegagalan Neo/liberalisme ini adalah Demokrasi A-simetrisitas Memaknai demokrasi merupakan hal ketidakmampuannya dalam esensial yang sedari awal coba dibangun yaitu permasalahan collectivism equality. Prosuderalism mereduksi demokrasi 2008:1013). Mengapa kolektifisme, karena dari dalam segala bentuk sehingga demokrasi elemen tersebut equality lahir. Liberalisme dimaknai sebagai rutinitas dalam ketertiban gagal dalam melihat kolektivisme sebagai jalan ekonomi (Parthasarathy, 2011: 271). Karena keluar. Keynes sebelumnya mencoba dengan liberalisme lahir dari sebuah ingatan atas hak menolak self-regulating market yang diyakini individu dan liberalisme ekonomi merupakan ekonomi klasik sebagai jalan keluar (Keynes, sebuah konsekuensi logis dari individu yang 1936: 57). Tetap harus ada control regulating dipandang memiliki kapasitas dan kapabilitas dari negara untuk distribusi welfare bagi demos dalam mewujudkan yang terbaik bagi dirinya yang tidak mampu dalam mengantisipasi (Mill, 1884: 3). Gagasan welfare liberalism persaingan menjadi semakin dianggap penting karena instrumen negara dalam hal ini, namun pada negara dalam dasarnya juga ada hal yang tidak dihitung mewujudkan welfare dalam iklim persaingan dalam regulating tersebut. Domestic welfare bebas. Namun pertanyaan selanjutnya adalah sebagai karaktek dari citizen. sejauhmana negara bisa menjamin kesetaraan Agregative Stucture (Kumpulan Individu) sosial itu dapat terdistribusi secara merata dan Politik Perbedaan (Simonis, Joachim, dan Bröchler. 2010: 37). Dalam memahami apa itu kebijakan publik, Bila kita melihat ada kesenjangan yang banyak para scholar memahaminya sebagai memisahkan dengan sebuah bentuk lain dari hal distribusi dan liberalisme, yaitu residu terhadap inequality itu redistribusi. Salah satunya apa yang coba di sendiri. tujuan demokrasi adalah equality sampaikan Grindle dalam Politics and Policy sedangkan liberalisme adalah individu dengan Implementation in The Third World. Bila kita segala kapasitasnya. Sebesar apapun besar melihat uraiannya mengenai bagaimana politics peran state dalam mengantisipasi kesenjangan dan public policy berhubungan kita mendapati sosial akibat dari konsekuensi dari sebuah dua term yang menjadi kata kunci bagi Grindle kekuasaan yang dimaknai sebagai kumpulan yaitu content dan context (Grindle. 1980: 8). individu (Young. 1990: 41). Group sosial yang Lebih berbeda sering dianggap sebagai minoritas implementasi dalam aggregating structure di harus mampu hidup dalam majority rules. negara berkembang sehingga kebijakan tidak dirasa harus antara turut serta demokrasi dalam bebas. jauh Public policy pembahsannya menjawab (Park, menjadi mengenai ter-implementasi sebagaimana mestinya (Knodt 90 Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan dan Stoiber. 2010:83). Keyakinan grindle menekankan agregatif struktur sosial untuk terhadap agregatif struktur sebagai penunjang menghimpun kekuatan agar dapat berpartisipasi implementasi yang menarik. dalam kebijakan. Hal tersebut yang menjadi Karena dalam sisi agregatif struktur pada kejelian Grindle memasukan partisipasi dalam intinya memberikan celah partisipasi bagi bentuk agregatif sosial dan memikirkan hal citizen dalam kebijakan publik (Lee. 2010: 60). tersebut agar public turut serta dengan apa yang Hal demikian kelebihan yang ditawarkan dalam akan konsep ini, namun pada yang saat bersamaan permasalahannya timbul karena sebenarnya penulis meilhat hal itu juga membuka celah persoalan agregatif sosial menjadikan bentuk yang menjadi kekurangannya. Dimana penulis grup-grup melihat dengan kacamata berbeda sehingga direduksi menjadi kelompok dengan suatu melihat celah yang sama itu (agregatif struktur) kepentingan. Kebanayakan nantinya menjadi bahan tinjauan bagi politik menekankan aktor-aktor perbedaan dalam melihat demokrasi agregatif (Abubakar, 2011: 2). Bagi negara yang plural sebagai tools dalam implementasi kebijakan. dari grup sosial yang ada menjadi tantangan menjadi hal dijalani mereka sosial nantinya. dalam Namun demokrasi public dalam yang policy kerjanya Bila kita melihat ulang permasalahan dalam distribusi dalam beragam kepentingan. dalam dunia ketiga adalah bagaimana interest Hal ini merupakan sebuah usaha juga dalam group yang menjadi permasalahan sehingga mencapai tidak yang kebijakan yang nantinya dapat diterima atau menghadirkan collective demand bagi political tidak dalam implementasinya (Wolley, 2008: leadership. Padahal dalam demokrasi dan 162). pluralitas negara, kita mendapati grup sosial liberal mengakomodir kepentingan dengan menjadi sebuah kenyataan dimana kita bisa macam konsensus yang pada akhirnya meng- meilhat perbedaan dari grup satu dengan yang eksklusi grup sosial minoritas yang sebenarnya lainnya. namun disanalah seharusnya negara mereka memiliki hak dalam partisipasi guna hadir untuk mengakomodir semua dalam kebijakan kebijakan publik. (Young. terhadap kelemahan bisa menjadi struktur Ke sosial khawatiran legitimasi dari sebuah Model demokrasi agregat-electoral- yang 1990: akan 43). dihasilkan tersebut Ter-eksklusi karena membentuk agregatif majority yang menjadi dasar dari agregatitf struktur sebenarnya disandarkan pada konsensus, dan mereka (minority) terpaksa praktek-praktek elite politik yang mengambil masuk dalam konsensus majority (Young. peran besar dalam mengambil kebijakan baik 2000: 15) dalam distribusi dan dalam grindle sebuah redistribusi tanpa Grup, di sisi lain, mengkonstitusi partisipasi aktif dari citizens (Grindle, 1980: individu. Pemahaman khusus seseorang 15). Hal tersebut yang membuat grindle mengenai sejarah, pertalian hubungan, 91 JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98 dan keterpisahan, bahkan cara bernalar, pertentangan. Pandangan kaum liberal tersebut mengevaluasi, mengekspresikan lahir dari ketakutan bahwa memfokuskan pada perasaan secara sebagian dikonstitusi perbedaan akan menciptakan stigma seperti di oleh masa lalu, seperti rasisme ataupun seksisme. grup dan tempatnya terkait. Hal tersebut bukan berarti bahwa orang Liberalisme tidak memiliki gaya pribadi atau tidak minority group hanya sebagai bentuk dari mampu untuk mentransendensikan atau inconsistent terhadap hak individual mereka menolak identitas grup. Ini juga tidak (Banks, 2008: 131) berarti bahwa suatu identitas grup belum menjadi usaha kepentingan politik menghalangi seseorang dari memiliki seluruh anggota aspek-aspek akhirnya dikonstitusi oleh bentuk autokrasi yang independen dari identitas grup. (Young, 1990: 45) Alternatif demokratisasi hanya menganggap bahwa Demokrasi konsensus masyarakat karena pada yaitu sentralisasi oleh pemerintah pusat dan yang korporasi oleh kelompok dominan disampaikan Young adalah tanggapan terhadap (Mouffe,2005: 99) yang dalam liberalisme kaum liberal yang berusaha meng-idealkan adalah mereka Keadilan melalui konsensus mengenai common rasional. Contoh diskriminasi yang terjadi di rights. dalam Indonesia, dalam berbagai hal yang menjadi bentuk permasalahan dari timbulnya majority dan Selama masyarakat ini keseimbangan diusahakan melalui homogenitas yang tidak menampakan adanya yang menyandang atribut minority dalam masyarakat liberal. Tabel 1. Beberapa Kasus Diskriminasi Terhadap Minoritas Di Indonesia Waktu & Tempat Peristiwa awal 1967 Keterangan Militan Muslim menyerang properti Kristen di Meulaboh di Aceh, Makassar di Sulawesi, dan Jakarta, mengklaim mereka melawan “Kristenisasi Sejak 2002, Batuplat, Muslim Batuplat, menghadapi kesulitan mendirikan masjid kecamatan Alak, Kupang, karena protes dari umat Kristiani di daerah mayoritas Kristen tersebut. Beberapa kelompok Kristen menentang komunitas Muslim memakai bangunan mereka untuk shalat Jumat. 2006 Kasus pelarangan pendirian rumah ibadah baru di wilayah mayoritas. SKB tiga menteri 2006 menjadi pembenaran. Tercatat ada sebanyak 12 kasus baik itu di mayoritas kristen dan mayoritas muslim antara 1993 dan 2007 Gereja HKBP Ciketing. Mereka selalu gagal meski sudah memenuhi syarat minimal jumlah tandatangan dari warga setempat guna membangun gereja. Mereka menghadapi intimidasi terus-menerus, dua kali pembakaran, dan kekerasan sejak berusaha mendirikan gereja pada 1993 14 Februari 2008, Bekasi Dinas Tata Kota dan Pertamanan Bogor mendadak 92 Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan membekukan izin bangunan GKI Yasmin tanpa memberi alasan jelas. Juni 2008 Di keluarkannya surat keputusan bersama anti-Ahmadiyah. akibatnya, sedikitnya 30 masjid Ahmadiyah disegel. Pada 6 Februari 2011 di desa Sekitar 1.500 militan Islamis menyerang 21 jemaah Umbulan, Cikeusik, kawasan Ahmadiyah dengan batu, bambu dan golok. Barat Jawa Agustus 2011, Riau Pembakaran gereja Pantekosta di Kuantan Singingi, Riau 2011, Bangil, dekat Surabaya, Lebih dari 200 militan memasuki YAPI dan Jawa Timur menghancurkan properti sekolah. Dan sejak 2010 sering terjadi penyerangan serupa. Oktober 2010 Antonius Richmond Bawengan, pengkhotbah kontroversial dari Jakarta, membagikan selebaran tentang tiga agama Nabi Ibrahim (menawarkan tafsiran sendiri, yakni Yehova Yudaisme, Yesus Kristus Kristiani, dan Islam Allah). Selebarannya memicu kemarahan kalangan Muslim di Temanggung, Jawa Tengah, mendorong polisi menangkapnya. 20 Maret 2012, Bekasi Kesulitan dalam mendirikan rumah ibadah baru penganut HKBP Filadelfia 12 Februari 2012, Bekasi Walikota Bekasi menyegel tiga gereja setelah ada tekanan dari FPI Bekasi: Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI), HKBP Kaliabang, dan Gereja Pantekosta. Mei 2012, di Singkil, Aceh Militan FPI melakukan memprotes gereja “illegal” dan selatan menuntut pemerintah menutupnya. Hasilnya pemerintah Singkil menyegel 19 gereja dan satu rumah ibadah kepercayaan lokal. Seluruh rumah ibadah ini sebenarnya dibangun sebelum ada peraturan 2006 2012 Bertahun-tahun, sekelompok Sunni gencar berkampanye menentang komunitas Syiah di kabupaten Sampang, Madura, dan melawan ulamanya, Tajul Muluk. Pada Juli 2012, Muluk didakwa tuduhan penodaan dan dihukum dua tahun penjara. Pengadilan tinggi menaikkan hukuman jadi empat tahun penjara. Maret 2012 Penuntutan pidana terhadap Andreas Guntur, guru spiritual Amanat Keagungan Ilahi, yang dipenjara empat tahunoleh pengadilan Klaten, Jawa Tengah, karena tuduhan mengajarkan Islam yang berbeda dari yang diyakini kebanyakan Muslim 10 Mei 2012 Sekelompok orang, mengenakan pakaian yang didentifikasi anggota Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mengganggu diskusi Manji di Lembaga Kajian Islam dan Sosial, sebuah perusahaan penerbitan Yogyakarta. Anggota MMI memecahkan jendela dan menendang serta memukul sejumlah peserta diskusi. Dan lain lain : beberapa diantara diskriminasi dalam pembuatan KTP,pencatatan pernikahan,akte kelahiran, serta diskriminasi di tempat tempat publik, seperti di sekolah pada anak anak penganut keyakinan minoritas. Sumber : Human Rigths Watch: “In Religion’s Name ; Abuses against Religious Minorities in Indonesia” 93 JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98 Dalam hal seperti inilah bagaimana juga sebagai pengaruh dari political situation, kebijakan publik seharusnya dibuat agar dapat sejauh mana pula kebijakan tersebut sesuai mengakomodir semua perbedaan yang ada. dengan kebutuhan group or individual demand Implementasi dari sebuah kebijakan publik dalam lingkungannya (Grindle. 1980: 13). seharusnya juga memperhitungkan apa yang Namun kita juga pada situasi ini kita melihat menjadi Tidak sebuah paradoksial saat content dan context menjadi dijadikan ukuran dalam implementasi namun hanya kebutuhan masyarakatnya. mengakomodir keinginan apa mayoritas, yang namun harus bisa hanya sebatas tools bukan untuk hasil menjangkau terhadap minoritas juga. Oleh keputusan, karena decision maker tersebut pada karena itu dibutuhkan teori politik yang akhirnya hanya diberikan pada aktor-aktor menghargai dan mengakomodasi perbedaan (Grindle. 1980: 20), yang mana aktor-aktor dalam menghadapi stigma dan ketakutan decision tersebut. Sudut pandang yang mendasari politik struktur grup. maker tersebut adalah agregatif perbedaan adalah perbedaan bukan keliyanan, Decision maker justru akan mereduksi oposisi yang ekslusif, tetapi merupakan variasi dari setiap partisipasi, dan agregatif sebagai heteroginitas (Young, 1990: 171). Oleh karena dominan partisipatif memiliki peranan besar itu konsep keadilan yang disampaikan oleh dalam desicion maker. Hal tersebut merupakan Young berusaha agar setiap grup sosial sebuah cara bagaimana kita melihat kebijakan memiliki merepresentasikan publik dalam hal mengakomodir perbedaan dan kepentingannya dalam ranah publik (1990: kepentingan. Model agregatif truktur dalam 184). Merepresentasikan suara dari grup sosial konsensus liberal hanya fokus terhadap cara yang berarti implementasi dan agregatif struktur sebagai mentransformasikan posisi mereka menjadi kekuatan terbanyak (majority). Menjadi sebuah setara dengan kelompok yang selama ini telah permasalahan baru bila kita tidak melihat ulang dominan dalam pembuatan kebijakan publik. bagaimana kebijakan tersebut dalam distribusi hak untuk mengalami penindasan dan redistribusi keadilan bagi semua lapisan Paradoksial dalam Content dan Context citizens (Young, 2000: 27). Model agregatif Sebagai Implementasi (Public Policy) konsensus selalu mensyaratkan eksklusi grup Dalam kebijakan publik yang akan di implementasikan. Grindle melihat minoritas karena keputusan disandarkan kepada ulang hasil agregatif (majority), atau yang lebih content atau program menjadi hal yang penting memprihatinkan dimana jauh diasumsikan menjadi suara terbanyak atau yang kebijakan tersebut dapat terlaksana (Grindle. dominan dari suatu grup. Agregatif strukturlah 1980: 9). Di lain sisi beliau melihat context akhirnya yang mengambil keputusan dan untuk mengukur seberapa 94 adalah common rights Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan keputusan tersebut hanya partisipasi dari grup di-reifikasi seakan mereka statis, bukannya dominan. dipertimbangkan sebagai relasi sosial dan Kekurangan terbesar menjadikan proses (Young, 1990: 16). kebjakan hanya berbasis sekumpulan individu yang bersepakat adalah Rekognisi terhadap kebutuhan khusus menghilangkan yang selama ini teropresi oleh general will keberbedaan dari yang bersepakat. Mayoritas adalah sebagai stakeholder yang memiliki kekuatan kebijakan besat bisa saja merupah hasil dari kebijakan kepentingan semua citizens (Young, 1990: yang akan dihasilkan. Dalam implementasi 185), sesuai dengan nilai demokrasi. Jika kebijakan, pembuat kebijakan harus bisa pandangan umum melihat perbedaan bukan sebagai ancaman. insentif terhadap pihak tertentu dianggap Melainkan pembuat kebijakan harus mampu sebagai ketidakadilan, justru representasi dari melihat hal tersebut sebagai identitas yang berbagai grup sosial sebenarnya akan membuka unik. Re-artikulasi terhadap perbedaan pelu kepentingan mejadi perhatian khusus dalam menentukan mampu mengurangi ketidakadilan yang selama kebijakan ini seperti apa yang akan di suatu langkah publik grup disebabkan awal yang lebih pembuatan mewakili menganggap pemberian tertentu oleh sehingga akan dominasi perspektif. implementasikan agar dapat mengakomodir Langkah penting dalam politik perbedaan semua warga negara. adalah demokrasi komunikatif yang telah diperluas (Young, 1996:120). “Politics of Difference” Sebagai Semua usaha tersebut bertujuan untuk memberikan kesetaraan politik dan kesetaraan Implementasi Asumsi antropologis impartialitas pada sosial bagi seluruh warga negara. akhirnya hanya terfokus pada masalah perataan Ketidakmemadaian universal citizenship yang distribusi keadilan karena kebutuhan setiap dipahami dalam kerangka kesamaan justru individu telah diketahui seragam, yaitu primary melahirkan paksaan untuk asimilasi bagi yang goods (Mouffe, 1993: 58). Padahal konsepsi berbeda. Ironisnya, mereka akan tetap dilihat tersebut malah membatasi proses evaluasi sebagai berbeda. Oleh karena itu Young model distribusi yang sebenarnya sangat mengajukan ide differentiated citizenship agar tergantung pada struktur sosial dan konteks mereka yang mengalami ketidakadilan sosial institusional (Young, 1990: 15). Masalah lain karena dianggap berbeda dapat menjalankan dari paradigma distribusi adalah kenyataan kesetaraan politik yang telah mereka miliki bahwa primary goods tidak hanya menyangkut sebagai warga negara materi semata. Sayangnya hal-hal non-materi untuk meminta perlakuan khusus agar dapat tersebut – hak, kebebasan, penghargaan diri – membawa pada kesetaraan sosial. Melalui 95 JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98 dialog antar perbedaan, kita dapat melakukan semua yang diluar nalar seperti budaya, nilai, transformasi sudut pandang dan memahami dan tradisi (Hammack dan Cohler, 2011: 175). kondisi sosial kelompok lain. Bahwa pada kenyataannya persepsi akan pengalaman saya Daftar Pustaka juga dari perspektif tertentu akan membimbing Buku: kita untuk semakin memahami ketiadaan Mill, John Stuart. 1884. Principle of political general interest dalam pembuatan kebijakan economy with some of their Application publik (Medvetz, 2010: 562). Merekognisi to keunikan pengalaman yang berbeda akan Princeton University Press. social philosophy. New Jersey: memperkaya pengetahuan sosial kita serta Keynes, John Maynard 1936.The General menambah solusi dalam menghadapi masalah Theory of Employment, Interest, and dalam masyarakat (Young, 1996: 128). Money. New Jersey: Princeton University Kebijakan pada akhirnya tidak hanya Press. melihat content dan context. Namun kita harus Jayasuriya, Kanishka. 2006. Statecraft, Welfare, bisa melihat apa yang disebut partisipasi dan and the Politics of Inclusion. Dalam publik. Publik tidak bisa disebut sebagai public Principal Research Fellow Asia Research selama partisipasi hanya disandarkan pada Center. Published: Murdoch University, bentuk Australi konsensus agregatif struktural, melainkan harus bisa merekognisi semua Merilee S, Grindle. 1980. Politics and Policy lapisan termasuk minoritas sebagai grup yang Implementation in The Third World. berbeda (Young, 1996: 132). Jadi saat kita Princeton, mendiskusikan Press. kebijakan ulang public, kita implementasi memikirkan dari ulang NJ: Princeton Mouffe, Chantal. 1993. The Return of The sejauhmana model dari kebijakan yang bisa Political. London: Verso. mengakomodir semua termasuk kelompok yang _____. berbeda tersebut. baik Mouffe maupun Young 2005. The Democratic Young, Iris Marion.. 1990. Justice and The citizens yang memiliki kekhususan sehingga Politics of kebijakan harus mencapai juga kelompok- Princeton University Press. kelompok tersebut. sehingga partisipasi juga dalam kebijakan publik Paradox. London: Verso. menaruh perhatian terhadap kebijakan bagi hadir University Difference. New Jersey: _____. 2000. Inclusion and Democracy. New yang York: Oxford University Press. mengakomodir semua pihak tanpa eksklusi Jurnal : karena hanya Basyarahil, Abubakar. 2011. Kebijakan Publik menerima yang rasional dan meng-eksklusi Dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan. tutntutan agregatif yang 96 Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan Publika: Jurnal Ilmiah Administrasi City University of New York. JSTORE Negara. Tahun II, Nomor 2. pp. 3-18. Accessed: 03/01/2014 03:23 Banks. A. James. 2008. Diversity, Group Medvetz, Thomas. 2010. “Public Policy is Like Identity, and Citizenship Education in a Having a Vaudeville Act”: Languages of Global Age. Educational Researcher, Vol. Duty and Difference among Think Tank- 37, No. 3, pp. 129-139 Published by: Affiliated Policy Experts. Qual Sociol 33. American pp.549–562 Educational Research JSTORE Accessed: Association. Published online: Springerlink.com 03/01/2014 03:25 Michèle Knodt dan Michael Stoiber. 2010. Georg Simonis, Hans-Joachim Lauth, dan Comparative politics in the context of Stephan Bröchler. 2010. Comparative multilevel analysis. Z Vgl Polit Wiss 4 Politics in the 21st Century. Z Vgl Polit pp.79–102. Wiss Springerlink.com 4 pp. 35–54. Published online: Springerlink.com Parthasarathy, Human Rigths Watch. 2013. In Religion’s Name ; Abuses against knowledge? Published Shobita. 2011. What values? online: Whose The Religious comparative politics of patenting life Minorities in Indonesia. Published: in the forms in the United States and Europe. United States of America. Policy Sci 44, pp. 267–288 Published Hammack, L. Philip. dan Cohler. J. Betram. online: Springerlink.com 2011. Narrative, Identity, and the Politics Park. W. Julian. 2008. A More Meaningful of Exclusion: Social Change and the Gay Citizenship Test? Unmasking the and Lesbian Life Course. Sex Res Soc Construction of a Universalist,Principle- Policy Vol 8. pp. 162–182. Published Based Citizenship Ideology. California online: Springerlink.com Law Review, Vol. 96, No. 4. pp. 999- Hoppe, Robert. 2008. Scientific advice and 1047. Published by: California Law public policy: expert advisers’ and Review, JSTORE Accessed: 03/01/2014 policymakers’ discourses on boundary 03:28 work. Poiesis Prax Young, Iris Marion. 2009. “Polity and Group 6. pp. 235–263 Published online: Springerlink.com Difference: A Critique of the Ideal of Lee. T. Charles. 2010. Bare Life, Interstices, Universal Citizenship” dalam Democracy and the Third Space of Citizenship. and Source: Women's Studies Quarterly, Vol. Boundaries of The Political ed vol. 99, 38, No. 1/2, CITIZENSHIP pp. 57-81. no. 2. Published by: The Feminist Press at the 97 Difference: Contesting the JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98 _____. 2012. “Communication and The Other: Beyond Deliberative Democracy” dalam Democracy and Difference: Contesting the Boundaries of The Political ed. Seyla Benhabib. New Jersey: Princeton University Press. Woolley, Alice. 2008. Legitimating Public Policy. The University of Toronto Law Journal, Vol. 58, No. 2, pp. 153-184. Published by: University of Toronto Press. JSTORE Accessed: 03/01/2014 98