Paper Title (use style: paper title)

advertisement
Journal of Indonesian Public Administration and Governance Studies (JIPAGS)
p-issn: 2549-0435
e-issn: 2549-1431
POLITIK PERBEDAAN: MINORITAS DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
M. Dian Hikmawan
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 4 Pakupatan, Serang – Banten, 42122
Email: [email protected]
Abstract
Public policy is always closely connected with the articulation of a distribution
and re-distribution. Wisest form of policy that can accommodate all people
without exception. Therefore, in the implementation of the public policy, it’s
important to view the differences of social group not as a threat. but recognizing
them through the political differences. Imbalances in the system which is too
liberal governance is always to make people as several individuals with their
rights. Finally, the policy only view the majority as a strong power which able to
exclude those who are weak and considered different from the majority rule. This
article at least invites us to re-articulate what is to be achieved in a democracy by
analyzing the implementation of policy for difference groups are excluded by
majority rule.
Keywords: politics of difference, minority, majority, public policy
PENDAHULUAN
dapat terlepas dari kehidupan kita sekarang.
Permasalahan kebijakan publik selalu erat
disinilah public policy hadir untuk membantu
hubungannya dengan artikulasi dari sebuah
mewujudkan equality dalam demokrasi. Namun
distribusi dan re-distribusi. Negara liberal selalu
ternyata good governance yang menjadi wacana
dihadapkan pada bentuk-bentuk baru dari
dalam
sebuah sistem pasar. Artikulasi pasar yang
ternayata menimbulkan masalah baru yaitu
bebas sekarang diikuti instrumen negara yang
membuat
bernamakan public policy yang bertujuan untuk
masyarakat,
distribusi dan re-dstribusi bagi masyarakat. Hal
(majority) karena mereka dianggap sebagai
ini terjadi karena dalam praktik liberalisme
kumpulan-kumpulan individu dalam jumlah
ternyata
ketidaksetaraan
besar yang memegang kebijakan dan yang
(inequality), hal itu dapat terjadi karena
lemah terhadap kebijakan minority (Young.
liberalisme menjamin hak individu sebagai
2000: 15). Kapabilitas menjadi sangat penting
kedaulatan tertinggi. Selanjutnya yang menjadi
karena merupakan sebuah tolak ukur sejauh
akar permasalahan pengakuan akan hak-hak
mana citizen mampu bertahan dalam skema
yang berbeda dari kumpulan individu yang
Neo/liberalisme yang serba kompetitif dan
menjadi mayoritas menjadi realitas yang tidak
profit yang coba dibangun (Hoppe, 2008: 250).
menghadirkan
88
mengimplementasikan
sebuah
yaitu
garis
kesetaraan,
demarkasi
masyarakat
yang
dalam
kuat
Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan
Dalam hal demikian seharusnya implementasi
demokrasi. Tidak hanya membuat kebijakan
dari sebuah kebijakan harus melihat minoritas
yang menguntungkan atau berpihak pada
sebagai
memerlukan
(majority), tetapi juga harus bisa menjamin
contractualism-pun
minority sebagai bentuk pluralitas. Bentuk
ke
perhatian
khususan
lebih.
yang
Model
hanya memberikan wajah baru pada definisi
kebijakan
statewelfare, diamana state dan citizen mebuat
mengakomodir semua lapisan masyarakat tanpa
relasi yang memberikan ruang bagi citizen
terkecuali (Young, 1990: 18). Oleh karena itu,
(demos) dalam konsensus partisipasi yang
dalam
membentuk
perbedaan bukan sebagai ancaman. Tetapi
minority.
majority
Pada
dan
dasarnya
meng-eksklusi
konsensus
yang
bijak
implementasi
tidak
lain
kebijakan,
bisa
melihat
yang
mengakui mereka melalui politik perbedaan
memberikan ruang pada adanya partisipasi,
menyamakan mereka sebagai warga negara.
namun partisipasi yang tidak di ikuti dengan
Ketimpangan dalam sistem govenrnance yang
kesadaran terhadap warganegara yang berbeda
serba liberalis adalah selalu mnjadikan individu
dan beragam hanya akan menghasilkan sebuah
sebagai kumpulan individu dengan hak-hak
produk politik yang seragam, seragam dalam
nya. Akhirnya kebijakan hanya melihat mereka
artian atribut mayoritas.
yang
Keseragaman dalam kebijakan membuat
kuat
(majority)
sehingga
dapat
mengeksklusi mereka yang lemah (minoriy)
tatanan antara majority dan minority menjadi
yang
produk politik yang hegemonik. Dalam situasi
Setidaknya saya mernagkumnya dalam sebuah
seperti ini. kebijakan publik harus melihat apa
skema dalam menguraikan bagaimana posisi-
ulang apa yang menjadi sifat derifatif dari
posisi
89
dianggap
subjek.
berbeda
Lihat
dari
gambar
majority.
dibawah:
JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98
Kegagalan Neo/liberalisme ini adalah
Demokrasi A-simetrisitas
Memaknai demokrasi merupakan hal
ketidakmampuannya
dalam
esensial yang sedari awal coba dibangun yaitu
permasalahan
collectivism
equality. Prosuderalism mereduksi demokrasi
2008:1013). Mengapa kolektifisme, karena dari
dalam segala bentuk
sehingga demokrasi
elemen tersebut equality lahir. Liberalisme
dimaknai sebagai rutinitas dalam ketertiban
gagal dalam melihat kolektivisme sebagai jalan
ekonomi (Parthasarathy, 2011: 271). Karena
keluar. Keynes sebelumnya mencoba dengan
liberalisme lahir dari sebuah ingatan atas hak
menolak self-regulating market yang diyakini
individu dan liberalisme ekonomi merupakan
ekonomi klasik sebagai jalan keluar (Keynes,
sebuah konsekuensi logis dari individu yang
1936: 57). Tetap harus ada control regulating
dipandang memiliki kapasitas dan kapabilitas
dari negara untuk distribusi welfare bagi demos
dalam mewujudkan yang terbaik bagi dirinya
yang tidak mampu dalam mengantisipasi
(Mill, 1884: 3). Gagasan welfare liberalism
persaingan
menjadi semakin dianggap penting karena
instrumen negara dalam hal ini, namun pada
negara
dalam
dasarnya juga ada hal yang tidak dihitung
mewujudkan welfare dalam iklim persaingan
dalam regulating tersebut. Domestic welfare
bebas. Namun pertanyaan selanjutnya adalah
sebagai karaktek dari citizen.
sejauhmana negara bisa menjamin kesetaraan
Agregative Stucture (Kumpulan Individu)
sosial itu dapat terdistribusi secara merata
dan Politik Perbedaan
(Simonis, Joachim, dan Bröchler. 2010: 37).
Dalam memahami apa itu kebijakan publik,
Bila kita melihat ada kesenjangan yang
banyak para scholar memahaminya sebagai
memisahkan
dengan
sebuah bentuk lain dari hal distribusi dan
liberalisme, yaitu residu terhadap inequality itu
redistribusi. Salah satunya apa yang coba di
sendiri. tujuan demokrasi adalah equality
sampaikan Grindle dalam Politics and Policy
sedangkan liberalisme adalah individu dengan
Implementation in The Third World. Bila kita
segala kapasitasnya. Sebesar apapun besar
melihat uraiannya mengenai bagaimana politics
peran state dalam mengantisipasi kesenjangan
dan public policy berhubungan kita mendapati
sosial akibat dari konsekuensi dari sebuah
dua term yang menjadi kata kunci bagi Grindle
kekuasaan yang dimaknai sebagai kumpulan
yaitu content dan context (Grindle. 1980: 8).
individu (Young. 1990: 41). Group sosial yang
Lebih
berbeda sering dianggap sebagai minoritas
implementasi dalam aggregating structure di
harus mampu hidup dalam majority rules.
negara berkembang sehingga kebijakan tidak
dirasa
harus
antara
turut
serta
demokrasi
dalam
bebas.
jauh
Public
policy
pembahsannya
menjawab
(Park,
menjadi
mengenai
ter-implementasi sebagaimana mestinya (Knodt
90
Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan
dan Stoiber. 2010:83). Keyakinan grindle
menekankan agregatif struktur sosial untuk
terhadap agregatif struktur sebagai penunjang
menghimpun kekuatan agar dapat berpartisipasi
implementasi
yang menarik.
dalam kebijakan. Hal tersebut yang menjadi
Karena dalam sisi agregatif struktur pada
kejelian Grindle memasukan partisipasi dalam
intinya memberikan celah partisipasi bagi
bentuk agregatif sosial dan memikirkan hal
citizen dalam kebijakan publik (Lee. 2010: 60).
tersebut agar public turut serta dengan apa yang
Hal demikian kelebihan yang ditawarkan dalam
akan
konsep ini, namun pada yang saat bersamaan
permasalahannya timbul karena sebenarnya
penulis meilhat hal itu juga membuka celah
persoalan agregatif sosial menjadikan bentuk
yang menjadi kekurangannya. Dimana penulis
grup-grup
melihat dengan kacamata berbeda sehingga
direduksi menjadi kelompok dengan suatu
melihat celah yang sama itu (agregatif struktur)
kepentingan.
Kebanayakan
nantinya menjadi bahan tinjauan bagi politik
menekankan
aktor-aktor
perbedaan dalam melihat demokrasi agregatif
(Abubakar, 2011: 2). Bagi negara yang plural
sebagai tools dalam implementasi kebijakan.
dari grup sosial yang ada menjadi tantangan
menjadi
hal
dijalani
mereka
sosial
nantinya.
dalam
Namun
demokrasi
public
dalam
yang
policy
kerjanya
Bila kita melihat ulang permasalahan
dalam distribusi dalam beragam kepentingan.
dalam dunia ketiga adalah bagaimana interest
Hal ini merupakan sebuah usaha juga dalam
group yang menjadi permasalahan sehingga
mencapai
tidak
yang
kebijakan yang nantinya dapat diterima atau
menghadirkan collective demand bagi political
tidak dalam implementasinya (Wolley, 2008:
leadership. Padahal dalam demokrasi dan
162).
pluralitas negara, kita mendapati grup sosial
liberal mengakomodir kepentingan dengan
menjadi sebuah kenyataan dimana kita bisa
macam konsensus yang pada akhirnya meng-
meilhat perbedaan dari grup satu dengan yang
eksklusi grup sosial minoritas yang sebenarnya
lainnya. namun disanalah seharusnya negara
mereka memiliki hak dalam partisipasi guna
hadir untuk mengakomodir semua dalam
kebijakan
kebijakan
publik.
(Young.
terhadap
kelemahan
bisa
menjadi
struktur
Ke
sosial
khawatiran
legitimasi
dari
sebuah
Model demokrasi agregat-electoral-
yang
1990:
akan
43).
dihasilkan
tersebut
Ter-eksklusi
karena
membentuk
agregatif majority yang menjadi dasar dari
agregatitf struktur sebenarnya disandarkan pada
konsensus, dan mereka (minority) terpaksa
praktek-praktek elite politik yang mengambil
masuk dalam konsensus majority (Young.
peran besar dalam mengambil kebijakan baik
2000: 15)
dalam
distribusi
dan
dalam
grindle
sebuah
redistribusi
tanpa
Grup, di sisi lain, mengkonstitusi
partisipasi aktif dari citizens (Grindle, 1980:
individu. Pemahaman khusus seseorang
15). Hal tersebut yang membuat grindle
mengenai sejarah, pertalian hubungan,
91
JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98
dan keterpisahan, bahkan cara bernalar,
pertentangan. Pandangan kaum liberal tersebut
mengevaluasi,
mengekspresikan
lahir dari ketakutan bahwa memfokuskan pada
perasaan secara sebagian dikonstitusi
perbedaan akan menciptakan stigma seperti di
oleh
masa lalu, seperti rasisme ataupun seksisme.
grup
dan
tempatnya
terkait.
Hal
tersebut bukan berarti bahwa orang
Liberalisme
tidak memiliki gaya pribadi atau tidak
minority group hanya sebagai bentuk dari
mampu untuk mentransendensikan atau
inconsistent terhadap hak individual mereka
menolak identitas grup. Ini juga tidak
(Banks, 2008: 131)
berarti bahwa suatu identitas grup
belum menjadi usaha kepentingan politik
menghalangi seseorang dari memiliki
seluruh anggota
aspek-aspek
akhirnya dikonstitusi oleh bentuk autokrasi
yang
independen
dari
identitas grup. (Young, 1990: 45)
Alternatif
demokratisasi
hanya
menganggap
bahwa
Demokrasi konsensus
masyarakat
karena pada
yaitu sentralisasi oleh pemerintah pusat dan
yang
korporasi
oleh
kelompok
dominan
disampaikan Young adalah tanggapan terhadap
(Mouffe,2005: 99) yang dalam liberalisme
kaum liberal yang berusaha meng-idealkan
adalah mereka
Keadilan melalui konsensus mengenai common
rasional. Contoh diskriminasi yang terjadi di
rights.
dalam
Indonesia, dalam berbagai hal yang menjadi
bentuk
permasalahan dari timbulnya majority dan
Selama
masyarakat
ini
keseimbangan
diusahakan
melalui
homogenitas yang tidak menampakan adanya
yang menyandang atribut
minority dalam masyarakat liberal.
Tabel 1. Beberapa Kasus Diskriminasi Terhadap Minoritas Di Indonesia
Waktu & Tempat Peristiwa
awal 1967
Keterangan
Militan Muslim menyerang properti Kristen di Meulaboh
di Aceh, Makassar di Sulawesi, dan Jakarta, mengklaim
mereka melawan “Kristenisasi
Sejak
2002,
Batuplat, Muslim Batuplat, menghadapi kesulitan mendirikan masjid
kecamatan Alak, Kupang,
karena protes dari umat Kristiani di daerah mayoritas
Kristen tersebut. Beberapa kelompok Kristen menentang
komunitas Muslim memakai bangunan mereka untuk shalat
Jumat.
2006
Kasus pelarangan pendirian rumah ibadah baru di wilayah
mayoritas. SKB tiga menteri 2006 menjadi pembenaran.
Tercatat ada sebanyak 12 kasus baik itu di mayoritas
kristen dan mayoritas muslim
antara 1993 dan 2007
Gereja HKBP Ciketing. Mereka selalu gagal meski sudah
memenuhi syarat minimal jumlah tandatangan dari warga
setempat guna membangun gereja. Mereka menghadapi
intimidasi terus-menerus, dua kali pembakaran, dan
kekerasan sejak berusaha mendirikan gereja pada 1993
14 Februari 2008, Bekasi
Dinas Tata Kota dan Pertamanan Bogor mendadak
92
Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan
membekukan izin bangunan GKI Yasmin tanpa memberi
alasan jelas.
Juni 2008
Di keluarkannya surat keputusan bersama anti-Ahmadiyah.
akibatnya, sedikitnya 30 masjid Ahmadiyah disegel.
Pada 6 Februari 2011 di desa Sekitar 1.500 militan Islamis menyerang 21 jemaah
Umbulan, Cikeusik, kawasan Ahmadiyah dengan batu, bambu dan golok.
Barat Jawa
Agustus 2011, Riau
Pembakaran gereja Pantekosta di Kuantan Singingi, Riau
2011, Bangil, dekat Surabaya, Lebih dari 200 militan memasuki YAPI dan
Jawa Timur
menghancurkan properti sekolah. Dan sejak 2010 sering
terjadi penyerangan serupa.
Oktober 2010
Antonius Richmond Bawengan, pengkhotbah kontroversial
dari Jakarta, membagikan selebaran tentang tiga agama
Nabi Ibrahim (menawarkan tafsiran sendiri, yakni Yehova
Yudaisme, Yesus Kristus Kristiani, dan Islam Allah).
Selebarannya memicu kemarahan kalangan Muslim di
Temanggung,
Jawa
Tengah,
mendorong
polisi
menangkapnya.
20 Maret 2012, Bekasi
Kesulitan dalam mendirikan rumah ibadah baru penganut
HKBP Filadelfia
12 Februari 2012, Bekasi
Walikota Bekasi menyegel tiga gereja setelah ada tekanan
dari FPI Bekasi: Gereja Kristus Rahmani Indonesia
(GKRI), HKBP Kaliabang, dan Gereja Pantekosta.
Mei 2012, di Singkil, Aceh Militan FPI melakukan memprotes gereja “illegal” dan
selatan
menuntut pemerintah menutupnya. Hasilnya pemerintah
Singkil menyegel 19 gereja dan satu rumah ibadah
kepercayaan lokal. Seluruh rumah ibadah ini sebenarnya
dibangun sebelum ada peraturan 2006
2012
Bertahun-tahun, sekelompok Sunni gencar berkampanye
menentang komunitas Syiah di kabupaten Sampang,
Madura, dan melawan ulamanya, Tajul Muluk. Pada Juli
2012, Muluk didakwa tuduhan penodaan dan dihukum dua
tahun penjara. Pengadilan tinggi menaikkan hukuman jadi
empat tahun penjara.
Maret 2012
Penuntutan pidana terhadap Andreas Guntur, guru spiritual
Amanat Keagungan Ilahi, yang dipenjara empat tahunoleh
pengadilan Klaten, Jawa Tengah, karena tuduhan
mengajarkan Islam yang berbeda dari yang diyakini
kebanyakan Muslim
10 Mei 2012
Sekelompok orang, mengenakan pakaian yang didentifikasi
anggota Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mengganggu
diskusi Manji di Lembaga Kajian Islam dan Sosial, sebuah
perusahaan penerbitan Yogyakarta. Anggota MMI
memecahkan jendela dan menendang serta memukul
sejumlah peserta diskusi.
Dan lain lain : beberapa diantara diskriminasi dalam
pembuatan KTP,pencatatan pernikahan,akte kelahiran,
serta diskriminasi di tempat tempat publik, seperti di
sekolah pada anak anak penganut keyakinan minoritas.
Sumber : Human Rigths Watch: “In Religion’s Name ; Abuses against Religious Minorities in Indonesia”
93
JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98
Dalam hal seperti inilah bagaimana
juga sebagai pengaruh dari political situation,
kebijakan publik seharusnya dibuat agar dapat
sejauh mana pula kebijakan tersebut sesuai
mengakomodir semua perbedaan yang ada.
dengan kebutuhan group or individual demand
Implementasi dari sebuah kebijakan publik
dalam lingkungannya (Grindle. 1980: 13).
seharusnya juga memperhitungkan apa yang
Namun kita juga pada situasi ini kita melihat
menjadi
Tidak
sebuah paradoksial saat content dan context
menjadi
dijadikan ukuran dalam implementasi namun
hanya
kebutuhan
masyarakatnya.
mengakomodir
keinginan
apa
mayoritas,
yang
namun
harus
bisa
hanya
sebatas
tools
bukan
untuk
hasil
menjangkau terhadap minoritas juga. Oleh
keputusan, karena decision maker tersebut pada
karena itu dibutuhkan teori politik yang
akhirnya hanya diberikan pada aktor-aktor
menghargai dan mengakomodasi perbedaan
(Grindle. 1980: 20), yang mana aktor-aktor
dalam menghadapi stigma dan ketakutan
decision
tersebut. Sudut pandang yang mendasari politik
struktur grup.
maker
tersebut
adalah
agregatif
perbedaan adalah perbedaan bukan keliyanan,
Decision maker justru akan mereduksi
oposisi yang ekslusif, tetapi merupakan variasi
dari setiap partisipasi, dan agregatif sebagai
heteroginitas (Young, 1990: 171). Oleh karena
dominan partisipatif memiliki peranan besar
itu konsep keadilan yang disampaikan oleh
dalam desicion maker. Hal tersebut merupakan
Young berusaha agar setiap grup sosial
sebuah cara bagaimana kita melihat kebijakan
memiliki
merepresentasikan
publik dalam hal mengakomodir perbedaan dan
kepentingannya dalam ranah publik (1990:
kepentingan. Model agregatif truktur dalam
184). Merepresentasikan suara dari grup sosial
konsensus liberal hanya fokus terhadap cara
yang
berarti
implementasi dan agregatif struktur sebagai
mentransformasikan posisi mereka menjadi
kekuatan terbanyak (majority). Menjadi sebuah
setara dengan kelompok yang selama ini telah
permasalahan baru bila kita tidak melihat ulang
dominan dalam pembuatan kebijakan publik.
bagaimana kebijakan tersebut dalam distribusi
hak
untuk
mengalami
penindasan
dan redistribusi keadilan bagi semua lapisan
Paradoksial dalam Content dan Context
citizens (Young, 2000: 27). Model agregatif
Sebagai Implementasi (Public Policy)
konsensus selalu mensyaratkan eksklusi grup
Dalam kebijakan publik yang akan di
implementasikan.
Grindle
melihat
minoritas karena keputusan disandarkan kepada
ulang
hasil agregatif (majority), atau yang lebih
content atau program menjadi hal yang penting
memprihatinkan
dimana
jauh
diasumsikan menjadi suara terbanyak atau yang
kebijakan tersebut dapat terlaksana (Grindle.
dominan dari suatu grup. Agregatif strukturlah
1980: 9). Di lain sisi beliau melihat context
akhirnya yang mengambil keputusan dan
untuk
mengukur
seberapa
94
adalah
common
rights
Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan
keputusan tersebut hanya partisipasi dari grup
di-reifikasi seakan mereka statis, bukannya
dominan.
dipertimbangkan sebagai relasi sosial dan
Kekurangan
terbesar
menjadikan
proses (Young, 1990: 16).
kebjakan hanya berbasis sekumpulan individu
yang
bersepakat
adalah
Rekognisi terhadap kebutuhan khusus
menghilangkan
yang selama ini teropresi oleh general will
keberbedaan dari yang bersepakat. Mayoritas
adalah
sebagai stakeholder yang memiliki kekuatan
kebijakan
besat bisa saja merupah hasil dari kebijakan
kepentingan semua citizens (Young, 1990:
yang akan dihasilkan. Dalam implementasi
185), sesuai dengan nilai demokrasi. Jika
kebijakan, pembuat kebijakan harus bisa
pandangan umum
melihat perbedaan bukan sebagai ancaman.
insentif terhadap pihak tertentu dianggap
Melainkan pembuat kebijakan harus mampu
sebagai ketidakadilan, justru representasi dari
melihat hal tersebut sebagai identitas yang
berbagai grup sosial sebenarnya akan membuka
unik. Re-artikulasi terhadap perbedaan pelu
kepentingan
mejadi perhatian khusus dalam menentukan
mampu mengurangi ketidakadilan yang selama
kebijakan
ini
seperti
apa
yang
akan
di
suatu
langkah
publik
grup
disebabkan
awal
yang
lebih
pembuatan
mewakili
menganggap pemberian
tertentu
oleh
sehingga akan
dominasi
perspektif.
implementasikan agar dapat mengakomodir
Langkah penting dalam politik perbedaan
semua warga negara.
adalah demokrasi komunikatif yang telah
diperluas (Young, 1996:120).
“Politics
of
Difference”
Sebagai
Semua usaha tersebut bertujuan untuk
memberikan kesetaraan politik dan kesetaraan
Implementasi
Asumsi
antropologis
impartialitas
pada
sosial
bagi
seluruh
warga
negara.
akhirnya hanya terfokus pada masalah perataan
Ketidakmemadaian universal citizenship yang
distribusi keadilan karena kebutuhan setiap
dipahami dalam kerangka kesamaan justru
individu telah diketahui seragam, yaitu primary
melahirkan paksaan untuk asimilasi bagi yang
goods (Mouffe, 1993: 58). Padahal konsepsi
berbeda. Ironisnya, mereka akan tetap dilihat
tersebut malah membatasi proses evaluasi
sebagai berbeda. Oleh karena itu Young
model distribusi
yang sebenarnya sangat
mengajukan ide differentiated citizenship agar
tergantung pada struktur sosial dan konteks
mereka yang mengalami ketidakadilan sosial
institusional (Young, 1990: 15). Masalah lain
karena dianggap berbeda dapat menjalankan
dari paradigma distribusi adalah kenyataan
kesetaraan politik yang telah mereka miliki
bahwa primary goods tidak hanya menyangkut
sebagai warga negara
materi semata. Sayangnya hal-hal non-materi
untuk meminta perlakuan khusus agar dapat
tersebut – hak, kebebasan, penghargaan diri –
membawa pada kesetaraan sosial. Melalui
95
JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98
dialog antar perbedaan, kita dapat melakukan
semua yang diluar nalar seperti budaya, nilai,
transformasi sudut pandang dan memahami
dan tradisi (Hammack dan Cohler, 2011: 175).
kondisi sosial kelompok lain. Bahwa pada
kenyataannya persepsi akan pengalaman saya
Daftar Pustaka
juga dari perspektif tertentu akan membimbing
Buku:
kita untuk semakin memahami ketiadaan
Mill, John Stuart. 1884. Principle of political
general interest dalam pembuatan kebijakan
economy with some of their Application
publik (Medvetz, 2010: 562). Merekognisi
to
keunikan pengalaman yang berbeda akan
Princeton University Press.
social
philosophy.
New
Jersey:
memperkaya pengetahuan sosial kita serta
Keynes, John Maynard 1936.The General
menambah solusi dalam menghadapi masalah
Theory of Employment, Interest, and
dalam masyarakat (Young, 1996: 128).
Money. New Jersey: Princeton University
Kebijakan pada akhirnya tidak hanya
Press.
melihat content dan context. Namun kita harus
Jayasuriya, Kanishka. 2006. Statecraft, Welfare,
bisa melihat apa yang disebut partisipasi dan
and the Politics of Inclusion. Dalam
publik. Publik tidak bisa disebut sebagai public
Principal Research Fellow Asia Research
selama partisipasi hanya disandarkan pada
Center. Published: Murdoch University,
bentuk
Australi
konsensus
agregatif
struktural,
melainkan harus bisa merekognisi semua
Merilee S, Grindle. 1980. Politics and Policy
lapisan termasuk minoritas sebagai grup yang
Implementation in The Third World.
berbeda (Young, 1996: 132). Jadi saat kita
Princeton,
mendiskusikan
Press.
kebijakan
ulang
public,
kita
implementasi
memikirkan
dari
ulang
NJ:
Princeton
Mouffe, Chantal. 1993. The Return of The
sejauhmana model dari kebijakan yang bisa
Political. London: Verso.
mengakomodir semua termasuk kelompok yang
_____.
berbeda tersebut. baik Mouffe maupun Young
2005.
The
Democratic
Young, Iris Marion.. 1990. Justice and The
citizens yang memiliki kekhususan sehingga
Politics of
kebijakan harus mencapai juga kelompok-
Princeton University Press.
kelompok tersebut. sehingga partisipasi juga
dalam
kebijakan
publik
Paradox.
London: Verso.
menaruh perhatian terhadap kebijakan bagi
hadir
University
Difference. New Jersey:
_____. 2000. Inclusion and Democracy. New
yang
York: Oxford University Press.
mengakomodir semua pihak tanpa eksklusi
Jurnal :
karena
hanya
Basyarahil, Abubakar. 2011. Kebijakan Publik
menerima yang rasional dan meng-eksklusi
Dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan.
tutntutan
agregatif
yang
96
Hikmawan, Politik Perbedaan: Minoritas Dalam Implementasi Kebijakan
Publika:
Jurnal
Ilmiah
Administrasi
City University of New York. JSTORE
Negara. Tahun II, Nomor 2. pp. 3-18.
Accessed: 03/01/2014 03:23
Banks. A. James. 2008. Diversity, Group
Medvetz, Thomas. 2010. “Public Policy is Like
Identity, and Citizenship Education in a
Having a Vaudeville Act”: Languages of
Global Age. Educational Researcher, Vol.
Duty and Difference among Think Tank-
37, No. 3, pp. 129-139 Published by:
Affiliated Policy Experts. Qual Sociol 33.
American
pp.549–562
Educational
Research
JSTORE
Accessed:
Association.
Published
online:
Springerlink.com
03/01/2014 03:25
Michèle Knodt dan Michael Stoiber. 2010.
Georg Simonis, Hans-Joachim Lauth, dan
Comparative politics in the context of
Stephan Bröchler. 2010. Comparative
multilevel analysis. Z Vgl Polit Wiss 4
Politics in the 21st Century. Z Vgl Polit
pp.79–102.
Wiss
Springerlink.com
4 pp. 35–54. Published online:
Springerlink.com
Parthasarathy,
Human Rigths Watch. 2013. In Religion’s
Name
;
Abuses
against
knowledge?
Published
Shobita.
2011.
What
values?
online:
Whose
The
Religious
comparative politics of patenting life
Minorities in Indonesia. Published: in the
forms in the United States and Europe.
United States of America.
Policy Sci 44, pp. 267–288 Published
Hammack, L. Philip. dan Cohler. J. Betram.
online: Springerlink.com
2011. Narrative, Identity, and the Politics
Park. W. Julian. 2008. A More Meaningful
of Exclusion: Social Change and the Gay
Citizenship
Test?
Unmasking
the
and Lesbian Life Course. Sex Res Soc
Construction of a Universalist,Principle-
Policy Vol 8. pp. 162–182. Published
Based Citizenship Ideology. California
online: Springerlink.com
Law Review, Vol. 96, No. 4. pp. 999-
Hoppe, Robert. 2008. Scientific advice and
1047. Published by: California Law
public policy: expert advisers’ and
Review, JSTORE Accessed: 03/01/2014
policymakers’ discourses on boundary
03:28
work. Poiesis Prax
Young, Iris Marion. 2009. “Polity and Group
6. pp. 235–263
Published online: Springerlink.com
Difference: A Critique of the Ideal of
Lee. T. Charles. 2010. Bare Life, Interstices,
Universal Citizenship” dalam Democracy
and the Third Space of Citizenship.
and
Source: Women's Studies Quarterly, Vol.
Boundaries of The Political ed vol. 99,
38, No. 1/2, CITIZENSHIP pp. 57-81.
no. 2.
Published by: The Feminist Press at the
97
Difference:
Contesting
the
JIPAGS, Volume 01 Nomor 01 Januari Tahun 2017, 88-98
_____. 2012. “Communication and The Other:
Beyond Deliberative Democracy” dalam
Democracy and Difference: Contesting
the Boundaries of The Political ed. Seyla
Benhabib.
New
Jersey:
Princeton
University Press.
Woolley, Alice. 2008. Legitimating Public
Policy. The University of Toronto Law
Journal, Vol. 58, No. 2, pp. 153-184.
Published by: University of Toronto
Press. JSTORE Accessed: 03/01/2014
98
Download