JÑÀNA VIJÑÀNA YOGA DALAM KITAB BHAGAWAD GÌTÀ (SUATU REFLEKSI NILAI TEOLOGI HINDU DALAM MENYONGSONG ZAMAN) Oleh : I Gusti Made Widya Sena *) ABSTRACT To reduce the many negative impacts of the present and the progress of life issues are increasingly complex to build awareness and wisdom through deepening, understanding, and implementation of the sacred teachings from the scriptures sourced properly and correctly. Particular understanding of the Jñàna Vijñàna Yoga (actual knowledge) in Bhagavad Gìtà is as basic to have the ability to understand the meaning and purpose of human life in the world as well as disengage gradually from worldly ties. Starting from this, to realize the true knowledge, especially religious knowledge, particularly in teaching Jñàna Vijñàna Yoga allows one to be part of the life of a harmonious universe. Harmonious relationship with God, harmony with the others and harmony with the world. Key words : Bhagawad Gìtà, Jñàna Vijñàna Yoga and Harmony * ) I Gusti Md Widya Sena, adalah Dosen pada Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar I. PENDAHULUAN Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak perlu diragukan lagi, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Teknologi yang dibuat oleh manusia tidak hanya digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan kehidupannya sendiri melainkan juga dengan adanya teknologi, berbagai rutinitas kehidupan dapat semakin mudah dilakukan. Misalnya saja seperti yang baru-baru ini yang terjadi di Bogor-Indonesia, seorang anak sekolah menengah pertama membuat sepatu yang pada ujung sepatunya di aliri dengan tenaga listrik. Sepatu ini dapat digunakan tidak hanya bagi anak-anak tetapi juga bagi kaum wanita untuk melindungi dirinya dari tindakan kekerasan dan pelecehan, dengan demikian mereka tidak perlu khawatir lagi untuk keluar di malam hari. Selain itu beberapa kemajuan kualitas teknologi dapat kita lihat dengan ditemukannya helm anti geger otak, mobil hemat energi bertenaga surya dan biogas, mobil yang dapat digunakan di dua tempat sekaligus, di darat dan di air, alat yang dapat mengubah air laut menjadi air tawar, robot yang dapat digunakan didalam membantu berbagai pekerjaan rumah tangga, sistem internet yang semakin mudah diakses, yang tidak hanya melalui media laptop dan modem/wifi tapi juga dengan hanya memiliki hand phone (HP) seseorang dapat mengakses informasi ke seluruh belahan dunia, bahkan kelebihan lainnya dengan memiliki hand phone seseorang dapat mengatur sistem keamanan rumahnya tanpa satuan pengamanan selama 24 jam tanpa perlu khawatir jika bepergian beberapa hari ke luar kota untuk menjalani rutinitasnya, karena ia telah dapat mengakses rumahnya sendiri, dapat menghidupkan lampu dari jarak jauh, membuka dan menutup pintu pagar dari jarak yang sedemikian jauh, sampai pada melihat siapa saja yang melintasi depan rumahnya melalui layar hand phone. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesatnya, tidak hanya pengaruh positif (baik) yang ditimbulkan tapi juga berbagai pengaruh negatif (buruk) juga dapat kita lihat dalam kehidupan seharihari. Mulai dari penyalahgunaan media informasi internet yang tidak hanya digunakan untuk penipuan di dunia maya tapi juga dengan internet banyak sekali anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah mengakses berbagai gambar dan film yang berbau pornografi. Selain itu, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ini tindak kekerasan dan kejahatan juga semakin menjamur, seperti yang kita lihat di lapangan banyak sekali kasus perampokan, pembunuhan sampai pada kerusuhan, hal ini dimulai dari yang berbentuk individu sampai pada kelompok/geng dengan latar belakang yang berbeda-beda. Hal ini muncul, karena tidak saja gaya hidup manusia semakin dimudahkan dengan keberadaan teknologi itu sendiri sehingga semakin santai dalam hidupnya, melainkan juga karena keegoisan manusia di dalam menjalani kehidupannya sehari-hari dengan semakin banyaknya manusia memperoleh kekayaan dengan berbagai cara, sekalipun jalan itu melanggar ajaran-ajaran agama dan norma yang ada, penyebab lainnya adalah karena kurang tepatnya pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari kitab suci maupun bangku pendidikan sampai dengan realisasinya dalam kehidupan sehari-hari menuju pada kemerosotan moral sehingga kehidupan yang santai ini juga pada akhirnya menimbulkan kehidupan yang selalu diliputi oleh tekanan mental, kekhawatiran, frustasi, stress, dan mudah terserang penyakit. Untuk meredam berbagai dampak buruk dari kemajuan zaman sekarang ini dan berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks adalah dengan membangun kesadaran dan kebijaksanaan melalui pendalaman, pemahaman, dan pelaksanaan ajaran suci agama yang bersumber dari kitab suci secara baik dan benar. Khususnya Pemahaman terhadap jalan Jñàna Vijñàna Yoga (realisasi pengetahuan) di dalam kitab Bhagawad Gìtà adalah sebagai dasar untuk memiliki kemampuan memahami makna dan tujuan hidup manusia di dunia serta melepaskan diri secara berangsur-angsur dari ikatan duniawi. Keterikatan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi hanya membuat kesengsaraan hidup baik lahir maupun bathin. II. PEMBAHASAN 2.1 Sekilas Tentang Kitab Bhagawad Gìtà Bhagawad Gìtà, nyanyian Dewata, adalah salah satu suplemen kitab Weda. Ia adalah salah satu kitab suci yang disebut Pañcama Weda (Weda kelima), yang memuat tentang sari pati ajaran Agama Hindu yang isinya sederhana dan sangat diperlukan oleh masyarakat luas khususnya bagi umat Hindu sebagai pedoman dalam hidup sehari-hari. Bhagawad Gìtà diawali dengan pertanyaan dari Prabu Dhritarashtra pada Sanjaya mengenai perkembangan di medan perang Kuruksetra. Sanjaya dengan seksama menguraikan semua kejadian dalam hubungan peperangan antara Pandawa dan Kurawa. Secara struktural isi Bhagawad Gìtà lebih terarah dan merupakan pengumpulan dari Weda-Weda sebelumnya. Ini merupakan satu langkah perkembangan sejarah berpikir dari Agama Hindu. Penelitian mendalam dan meluas telah membuktikan bahwa sebagaimana halnya disebut-sebut di dalam Purana bahwa usaha kodifikasi Catur Weda sebagai jasa terbesar Bhagavan Abiasa (Vyàsa), tampaknya penggubahan Bhagavad Gìtà pun merupakan buah karya besar Bhagavan Vyàsa. Tidak banyak kita ketahui kapan Bhagawad Gìtà mulai ditulis. Sarjana Barat dan para arkeolog berpendapat yang mendasarkan pemahaman mereka atas dasar pendekatan ajaran dengan filsafat Samkhya dan Yoga berkesimpulan bahwa Bhagawad Gìtà mulai ditulis sekitar abad III S.M., yang walaupun demikian tampaknya tidak semua penulis sependapat karena kalau dilihat dari aspek analogi dengan upanisad, dimana upanisad yang tertua adalah svetasvatara maka R. Garbe, tokoh orientalis berkesimpulan setidak-tidaknya sebelum abad I Masehi (Pudja, 2003:XIV). Bhagawad Gìtà juga disebut dengan lain nama yaitu, “upanisad”, atau bagian akhir dari Kitab Suci Weda. Ini mengingat juga bahwa apa yang diajarkan oleh Sri Krishna sebagai Awatàra dari Dewa Wiûóu adalah pengetahuan suci yang abadi dan diulangi dari zaman ke zaman bila keadaan dunia dalam kegelapan di mana umat manusia melupakan-Nya. Penampilan dialog antara guru dengan úiûya sebagaimana yang kita jumpai dalam Bhagawad Gìtà menunjukkan bahwa metode yang ditempuh adalah sejalan dengan sistem mistik atau Raja Yoga, dimana di dalam ajaran mistik intinya adalah bagaimana seorang guru dapat melimpahkan ilmunya yang bersifat rahasia itu kepada pengikutnya. Penampilan inipun merupakan metode yang sampai sekarang tetap dianut dalam sistem upanisad itu. Di dalam pengajaran upanisad itu kita jumpai pula metode dialog antara guru dengan úiûya, antara brahmàóa dengan raja, antara brahmàóa dengan brahmàóa lainnya mengenai berbagai hakekat Ketuhanan yang bersifat rahasia. Sifat kerahasiaan inilah yang menyebabkan ajaran Bhagawad Gìtà tergolong pula ajaran mistik. 2.2 Konsep Teologi Hindu Secara etimologi kata Teologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “theos” yang artinya Tuhan dan “logos” yang artinya ilmu. Jadi Teologi adalah “pengetahuan tentang Tuhan”. Ada banyak batasan atau definisi teologi, salah satunya sebagaimana uraian berikut: teologi secara harfiah berarti teori atau studi tentang “Tuhan”. Dalam praktek, istilah digunakan untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu (Maulana, 2003:500). Sejenis dengan istilah teologi di atas, di dalam Agama Hindu dikenal dengan istilah Brahmavidyà. Brahmavidyà berarti pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa, mencakup semua manifestasi-Nya, ciptaan-Nya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Pengertian yang terakhir ini telah mencakup pengertian yang amat luas tentang brahmavidyà. Menurut Pudja (1984:14) teologi di dalam Bahasa Sanskerta disebut Brahmavidyà atau Brahma Tattva Jñàna. Simbol-simbol dalam Agama Hindu sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan ajaran ketuhanan (teologi Hindu), karena simbol-simbol tersebut merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri manusia kepada-Nya. Simbol-simbol tersebut berupa arca atau pratima untuk dewa-dewa, vàhana devatà atau kendaraan dewa-dewa, bangunan suci sebagai sthana untuk memujaNya, para devatà atau roh suci leluhur. Di samping juga berupa mantra, mudrà, yantra, rarajahan dan huruf-huruf suci, juga persembahan suci berupa sesajen yang beraneka ragam dan lain-lain. Tuhan adalah asal dari semua yang ada, alam semesta (bhuawana agung) beserta isinya, manusia (bhuwana alit) adalah ciptaan-Nya juga. Semua ciptaanNya itu merupakan wujud maya-Nya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaan-Nya kembali kepada-Nya (Tim, 1999:2). Menurut Sura (2005:25) menjelaskan bahwa ajaran Teologi (Ketuhanan) dalam Weda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya. Namun Ia meliputi segala banyak nama. Ia yang Esa berada pada semua yang ada, semua yang ada berada pada yang Esa. Tuhan sumber segalanya agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan dan kembali kepada Tuhan, hal ini dinyatakan dalam sastra-sastra agama Hindu baik yang berbahasa Sansekerta maupun yang berbahasa Jawa Kuna atau Bahasa Bali. Tuhan berada dimana-mana bersifat wyapi-wyapaka yaitu meresapi segalaNya. Tidak ada tempat yang tidak Ia tempati. Tuhan dipahami dengan dua aspek yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman. Nirguna Brahman artinya Tuhan tidak terkena sifat apapun dan tidak dapat disamakan dengan apapun. Menurut pandangan ini Tuhan diyakini tidak memiliki manifestasi dalam wujud apapun. Saguna Brahman artinya Tuhan memiliki sifat dan bisa digambarkan dalam bentuk apapun seperti Dewa atau lainnya. Saguna Brahman merupakan salah satu jalan atau cara untuk menghayati dan meyakini Tuhan dalam berbagai aspek manifestasi-Nya, baik sebagai dewa-dewa atau sebagai awatàra (reinkarnasi Tuhan). Sah pita, Ia adalah ayah. Sah mata, Ia adalah ibu. Sah mitram, Ia adalah sahabat. Sah guru, Ia adalah guru. Dalam hubungan ini Ia adalah Personal God, Tuhan Yang Berpribadi. Disamping sebagai Personal God, Ia juga adalah Impersonal God, Tuhan Yang tidak berpribadi, yang tanpa wujud. Ia adalah acintya yaitu yang tidak dapat dipikirkan. Ia adalah anadi madhyàntam, yaitu tidak mempunyai awal, tengah dan akhir. Ia adalah amita, yaitu tidak terbatas, agatram, yaitu tak berbadan, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, Teologi Hindu diberi dengan bermacam-macam istilah (nama) antara lain yaitu: Brahmavidyà atau Brahma Tattva Jñàna. Menurut Teologi Hindu (Brahmavidyà) salah satu ajaran didalamnya juga memuat pengetahuan yang tidak hanya mengenai hakikat Tuhan tetapi juga mengenai cara manusia dalam mencapai Tuhan. Hal ini dituangkan melalui jalan untuk menghubungkan diri manusia dengan Tuhan, yang dikenal dengan istilah “Catur Marga”. Catur Marga yakni empat jalan menghubungkan diri dengan Brahman (Tuhan). Keempat jalan tersebut adalah: pertama Karma Marga atau jalan kerja (kegiatan) tanpa pamrih, ini berarti bahwa segala perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang baik dan tanpa mengharapkan hasil dari perbuatan yang dilakukannya tersebut. Semua kegiatan yang dilakukan baik itu berpikir, berkata dan berbuat selalu berlandaskan pada ketulusan hati dan kebenaran. Jalan kedua adalah Bhakti Marga atau jalan pengabdian. Jalan meningkatkan pengabdian ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain: memuja keagungan Tuhan, sujud kepada Tuhan, mengucapkan dan menyanyikan nama-nama Tuhan, mengingat nama Tuhan, mempelajari keagungan Tuhan, penyerahan diri secara total kepada Tuhan, memandang Tuhan sebagai teman sejati dan melayani sesama. Jalan ketiga adalah Jñàna Marga atau jalan ilmu pengetahuan. Hal ini mengandung makna bahwasanya melalui jalan jñàna marga, seseorang dapat mencapai Tuhan dengan mempelajari ilmu pengetahuan tentang eksistensi diri dan Tuhan serta mengimplementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Lontar Bhuana Kosa, untuk memiliki pengetahuan tersebut tidaklah mudah, ia harus dicari dengan tekun dan teliti dan dengan persyaratan yang berat, seperti : 1. Memiliki keperibadian yang baik 2. Memiliki tata krama yang baik 3. Berpikir tenang 4. Tidak minum-minuman keras 5. Menjauhi perbuatan nista 6. Guru Susrusa 7. Tekun menjalankan brata 8. Memiliki pengetahuan tentang Weda dan sastra lainnya 9. Memiliki keyakinan yang kuat akan ajaran tersebut 10. Penguasaan ajaran itu yang dapat dilaksanakan dengan mempelajari secara tekun dan teliti. 11. Melaksanakan yoga Dan jalan terakhir dari Catur Marga adalah Raja Marga atau jalan meditasi. Jalan meditasi adalah jalan untuk mencapai Tuhan dengan cara pengekangan diri. Jalan ini dapat dilaksanakan dengan cara mengontrol aktivitas pikiran. Melatih dan memutuskan segala keterikatan pikiran dengan obyek indria dengan berkonsentrasi. Konsentrasi dimulai dari obyek yang nyata meningkat kepada obyek yang abstrak. 2.3 Konsep Zaman (Perspektif Teologi Hindu) Zaman di dalam pandangan teologi Hindu disebut dengan “Yuga”. Menurut Kamus Istilah Agama Hindu, Yuga adalah pembagian zaman. Yuga (zaman) ini terbagi menjadi empat bagian (empat yuga), yakni: Krta Yuga, Dwapara Yuga, Treta Yuga dan Kali Yuga. Sebagaimana diuraikan pada sloka 68-72 dalam Manawa Dharmaúastra di bawah ini: Brahmasya tu ksapahasya Yatpramanam samasatah Ekaikaço yuganam tu Krama çastanni bodhata. (Manawa Dharmaúastra I.68) Selanjutnya perhatikanlah tentang hari siang dan malamnya Brahma dan macam-macam Yuga (zaman) menurut urutannya. Catwaryahuh sahasrani Warsanam tat krtam yugam, Tasya tawacchati samdhya Sasamdhyamçesu ca trisu Widhah. (Manawa Dharmaúastra I.69) Krta Yuga dinyatakan empat ribu tahunnya Dewa, fajarnya meliputi ratusan tahun dan senjanya meliputi ratusan tahun juga yang sama jumlahnya. Itaresu ssam dhyesu Sasamdhyesu ca trisu, Ekapayena wartante Sahasrani catani ca. (Manawa Dharmaúastra I.70) Tiga yuga berikutnya masa fajar dan senjanya, ribuan dan ratusan tahunnya masing-masing berkurang dengan satu secara berturut-turut. Yadetatparisamkhyatama Dawewa caturyugam, Etad dwadaça sahasram Dewanam yugamucyate. (Manawa Dharmaúastra I.71) Empat yuga yang jumlah tahunnya dua belas ribu tahun manusia dinyatakan satu yuganya Dewa. Daiwikanam yuganam tu Sahasram parisamkhyaya, Brahmaneka maharjneyam Tawatim ratrimewa ca. (Manawa Dharmaúastra I.72) Tetapi ketahuilah bahwa sesungguhnya dua belas ribu yuganya Dewa-dewa merupakan seharinya Brahman, dan malamnya sama lamanya. Dari uraian di atas, menurut Manawa Dharmaúastra, satu yuga menurut sloka 69 = 4.000 tahun dewa atau 4.000 x 365 tahun manusia yaitu ± 1.460.000 tahun manusia dengan ketentuan tiap yuga berikutnya umurnya berkurang satu dari empat fase zaman. Manusia itu merupakan satu zamannya dewa-dewa sedangkan ribuan zaman dari dewa sama dengan satu hari satu malamnya harinya Brahman. 2.4 Konsep Jñàna Vijñàna Yoga Dalam kitab Bhagawad Gìtà Berbicara mengenai batasan atau pengertian Jñàna dan Vijñàna Yoga ini tentunya tidak dapat kita lepaskan pandangan ini dari beberapa ahli filsafat terkemuka sepanjang sejarah Hindu, seperti Mahàrsi Patanjali dengan konsep Yoganya dan Úrì Úaòkara dengan konsep Advaitanya. Mahàrsi Patanjali sebagai pendiri filsafat yoga berpendapat bahwa yoga adalah cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dengan jalan mengendalikan pikiran untuk mengalami kenyataan jiwa, yakni bersatunya Jiwa pribadi (jivàtman) dengan Jiwa Universal (Paramàtman). Implementasi pelaksanaan yoga ini dilakukan melalui tahapan-tahapan yoga yang dikenal dengan istilah aûþangga yoga. Aûþangga yoga adalah delapan tahapan yoga, yang terdiri dari: Yama ialah pengendalian diri tahap pertama, Niyama ialah pengendalian diri tahap kedua, Asana ialah sikap duduk, Prànàyàma ialah pengaturan nafas, Pratyàhàra ialah penarikan indria dari obyeknya, dhàrana ialah pikiran yang teguh, dhyàna ialah pemusatan pikiran dan Samadhi ialah luluhnya pikiran dengan àtma. Menurut Patanjali, selain konsep aûþangga yoga di atas, filsafat yoga terdiri dari empat bagian (pada) seperti yang termuat didalam buku Pendit (2007:110) dengan nama masing-masing: 1. Samadhipada : Menjelaskan sifat, tujuan dan bentuk yoga, serta modifikasi jiwa (organ dalam) dan berbagai cara untuk mencapai Yoga. 2. Shadanapada : Menjelaskan kriyayoga (pelaksanaan yoga) untuk mencapai Samadhi, klesa (sumber penderitaan), karmaphala (hasil perbuatan) yang sifatnya sangat memilukan dan 4 macam penderitaan serta penyebabnya, hentinya penderitaan dan cara menghapus penderitaan tersebut. 3. Vibhutipada : Menjelaskan aspek dalam sukma serta kekuatan gaib yang diperoleh dengan jalan yoga. 4. Kaivalyapada : Menjelaskan sifat serta bentuk kelepasan, dan transedentalnya, jiwa serta terpisahnya alam dunia ini. Kebijaksanaan Vedànta dan pengetahuan Sàýkhya yang diperinci dapat diartikan sebagai Jñàna dan Vijñàna. Úrì Úaòkara menyatakan bahwa Jñàna adalah pengetahuan tentang sang diri dan hal lain yang didapatkan dari kitab suci dan para guru atau Jñàna juga ditafsirkan sebagai kebijaksanaan pencerahan spiritual langsung dan Vijñàna adalah pengalaman pribadi dari hal-hal yang diajarkan, pengetahuan rasional, prinsip eksistensi yang diperinci. Menurut kitab Upaniûad pengetahuan (Jñàna) yang dimiliki oleh orang bijaksana (Jñànin) disebut apara widyà dan para widyà. para widyà adalah pengetahuan tentang hakikat kebenaran (tentang Àtma dan Brahma). Pengetahuan ini digunakan untuk mencapai kelepasan menuju moksa, sedangkan apara widyà adalah pengetahuan yang meliputi pengetahuan biasa dan pengetahuan suci, yakni pengetahuan tentang maya duniawi. Pengetahuan ini digunakan untuk mencapai jagaddhita yaitu kesejahteraan jasmani. Seperti yang tertuang di dalam Kitab Bhagawad Gìtà Bab VII sloka 2 di bawah ini: Jñànaý te `haý sa-vijñànam Idaý vakûyàmy aúeûataá Yaj jñàtvà neha bhùyo `nyaj Jñàtavyam avaúiûyate (Bhagawad Gìtà Bab VII.2) Kepadamu akan Kuajarkan selengkapnya tentang realisasi yang digabungkan dengan ilmu pengetahuan, yang setelah semuanya diketahui, tidak ada lagi sisanya untuk diketahui Terjemahan di atas menandakan bahwasanya kita seharusnya tidak hanya memiliki pengetahuan tentang ketiadaan hubungan yang mutlak tetapi juga pengetahuan tentang berbagai manifestasi-Nya, yang tertinggi ada dalam diri manusia dan alam walaupun hal ini tidak membatasi-Nya. Maka dari pada itu, kombinasi keduanya (dalam hal ini pengetahuan dan realisasinya) mutlak bagi manusia di dalam mengarungi kehidupannya demi pencapaian kebahagiaan jasmani dan rohani. Dikarenakan sangat penting bagi kehidupan manusia, khususnya bagi manusia yang tidak hanya didalam memahami pribadinya sendiri juga orang lain, melainkan juga pengaruh maya dalam kehidupan, alam dan dalam hubungannya dengan Tuhan, maka ajaran Jñàna dan Vijñàna ini tidak hanya tertuang pada salah satu bab didalam Kitab Bhagawad Gìtà khususnya pada Bab VII saja, melainkan juga pada beberapa bab lainnya, salah satunya adalah pada Kitab Bhagawad Gìtà Bab ke-III sloka 41, seperti yang tertuang di bawah ini: Tasmàt tvam indriyàóy àdau Niyamya bharatarûabha Pàpmàmanaý prajahi hy enaý Jñàna- Vijñàna-nàúanam (Bhagawad Gìtà Bab III.41) Dari itu, pertama-tama kendalikanlah panca indriamu dan Basmilah nafsu yang penuh dosa, perusak segala pengetahuan dan Kebijakan, wahai arjuna yang baik. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Jñàna Vijñàna Yoga adalah jalan manusia untuk menghubungkan diri dengan Tuhan melalui realisasi pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Realisasi pengetahuan ini diawali dari apara widyà (pengetahuan tentang maya duniawi) menuju pada pengetahuan tentang hakikat kebenaran (para widyà) dalam mencapai jagaddhita dan moksa. Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Bhagawad Gìtà mengajarkan agar setiap orang menyadari hakekat Ketuhanan dalam dirinya, Hal ini dapat dilakukan dengan cara: 1. Mempelajari segala tattwa (jñànabhyudreka), 2. Tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indrianyayogamarga), 3. Tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk (trsnadosaksaya) Sehingga dengan melaksanakan ketiga hal di atas, seseorang akan mengalami lima bentuk perubahan Citta/ pikiran yaitu : 1. Pramana yaitu pengamatan yang benar. 2. Wiparyaya yaitu pengamatan yang salah. 3. Wikalpa yaitu pengamatan yang hanya ada dalam kata-kata. 4. Nidra yaitu pengamatan dalam keadaan tidur atau mimpi. 5. Smrti yaitu pengamatan terhadap apa yang diingat dari sesuatu yang dialami. Dari perubahan citta inilah sang jiwa yang ada dalam diri ini memandang dirinya mengalami kelahiran, kematian, tidur, jaga, berbuat salah, benar dan sebagainya, dimana sesungguhnya sang jiwa itu mengatasi segala hal. Semua perubahan citta ini muncul dari klesa-klesa atau kesulitan-kesulitan yang merintangi yang menimbulkan kesulitan dan kesedihan dalam hidup ini. Oleh karena itu Kåûna mulai menjelaskan makna pengertian àtman dan dengan hubungannya dengan Parama àtman atau Brahman. Alam semesta dengan segala bentuk ciptaan itu disebut dengan bhùta, yang memiliki lima komponen yang disebut dengan pañca mahàbhùta, terdiri dari Påthivi (tanah), Àpah (air), Teja (api), Vàyu (angin) dan Àkaúa (eter). Kelima unsur tersebut muncul karena adanya prakåti dan sebagai akibat dari evolusi prakåti. Disamping unsur materi terdapat unsur rohani yang disebut dengan jiwa/ àtman yang menyebabkan timbulnya ciptaan (såûþi). Kata „àtma” atau “àtman” berarti: nafas, jiwa atau roh. Àtman adalah nafas hidup yang dapat dijumpai dalam beberapa mantram Veda, dan dalam pengertiannya yang lebih tua berarti jiwa atau yang menghidupkan, yang juga berarti sang diri dan dibedakan dengan yang bukan sang diri, dan hal ini dibedakan menjadi 4 jenis, yakni: 1. milik perorangan, milik badan yang bertentangan dengan dunia luar, 2. tubuh yang dibedakan dengan lengan, 3. jiwa yang dibedakan dengan badan, dan 4. yang intisari yang dibedakan dengan yang bukan intisari. Jiwa/ àtman adalah bagian dari Brahman dan perlu disadari adalah hubungan pengertian antara àtman dengan Brahman. Di dalam melakukan sàmadhi, hakikat inilah yang harus dicapai dalam pengertian dan makna akûara mantra “AUÝ” sebagai manifestasi Brahman. Ketidaksadaran dan kekeliruan pandangan pada manusia adalah karena kekuatan màyà, sehingga manusia salah mengidentifikasi dan menyamakan jiwa dengan prakåti. Bila seseorang menyadari hal ini maka ia akan mulai dapat mengarahkan pikirannya secara benar dan berawal dari hal inilah akan dapat terlihat aku adalah Brahman dan ada pula di setiap makhluk. 2.5 Manfaat Merealisasikan Ajaran Jñàna Vijñàna Yoga dalam Hidup Sehari-hari Melalui pemahaman ajaran Agama Hindu, khususnya pada ajaran Jñàna Vijñàna Yoga dan realisasi yang benar dalam kehidupan sehari-hari tentunya memberikan banyak manfaat, baik manfaat internal atau bagi diri sendiri dan manfaat eksternal (di luar dirinya). Salah satunya adalah dengan merealisasikan ajaran Jñàna Vijñàna Yoga dengan benar maka seseorang akan memiliki kesadaran akan keberadaannya ditengah-tengah masyarakat, meningkatnya kemampuan kerja sama dan sikap empati, baik kepada sesama manusia maupun dengan mahluk hidup lainnya. Menurut Daya (2004:xi) Pesan moral sosial dan individual, nilai-nilai keyakinan transedental, ritus-ritus universal kandungan masing-masing agama dan kebutuhan mutlak umat manusia akan kedamaian, ketenangan, kesejahteraan, kesatuan dan persatuan, telah merangsang kesadaran manusia, terutama manusia beragama, akan betapa pentingnya kerjasama diantara mereka. Kerjasama diperlukan juga untuk menghadapi dan memecahkan masalah-masalah bersama dalam usaha mewujudkan kemakmuran. Pemahaman suatu fenomena religius meliputi empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi, ide-ide dari orang lain dan sebagainya (Dhavamony, 2010:35). Tindakan memahami ini tidak akan diperoleh lewat pengalaman reproduktif dari emosi dan pemikiran orang lain. Misalnya, orang akan tetap bersikap tenang ketika dia menyampaikan bahwa orang lain sangat gembira; atau seseorang dalam keadaan gembira dapat mengerti bahwa ada orang lain sedang sedih. Empati memperlihatkan pemahaman terhadap tingkah laku orang lain berdasarkan pengalaman dan tingkah lakunya dirinya sendiri. Selain hal-hal di atas, dengan melakukan berbagai perbuatan yang mulia dalam kehidupan, seperti; saling menolong, menghormati dan selalu berlindung kepada-Nya merupakan proses bhakti yang semakin diperdalam dan pengetahuan tentang Tuhan diperluas hingga mencapai pandangan bahwa sang Diri Tunggal dimana-mana. Itulah kehidupan abadi, terlepas dari kelahiran dan kematian, seperti yang tertuang dalam Kitab Bhagawad Gìtà Bab VII sloka 28-29 di bawah ini: Yeûàý tv anta-gataý pàpaý Janànàý puya-karmaàm Te dvandva-moha-nirmuktà Bhajante màm ðådha-vratàá (Bhagawad Gìtà Bab VII : 28) Tetapi mereka yang berperilaku mulia, yang tak mempunyai dosa lagi, yang bebas dari khayalan pasangan yang berlawanan memuja Aku, yang tetap teguh dalam sumpahnya. Jarà-maraa-mokàya Màm àúritya yatanti ye, Te brahma tad viduá kåtsnam Adhyàtmaý karma càkhilam (Bhagawad Gìtà Bab VII : 29) Mereka yang berlindung pada-Ku, dan berusaha untuk dapat lepas dari umur tua dan kematian, mereka menyadari sepenuhnya Brahman, sang diri pribadi dan segala karma. Berawal dari kedua sloka Kitab Bhagawad Gìtà tersebut, merealisasikan pengetahuan dengan benar, utamanya pengetahuan agama, khususnya pada ajaran Jñàna Vijñàna Yoga memungkinkan seseorang menjadi bagian dari kehidupan semesta yang harmonis. Harmonis dalam hubungannya dengan Tuhan, harmonis dengan sesama dan harmonis dengan alam. 2.6 Refleksi Ajaran Jñàna Vijñàna Yoga Dewasa ini Ajaran Jñàna Vijñàna Yoga menuju kepada realisasi pengetahuan dalam hidup sehari-hari memang tidak mudah, semudah lidah ini mengeluarkan katakata, karena dewasa ini justru yang terjadi dilapangan malah berbanding terbalik dengan apa yang diinginkan oleh pengetahuan tersebut, yakni manusia yang berbudi pekerti luhur dan eling akan keberadaannya. Penerapan ajaran agama yang berlandaskan pengetahuan Kitab Suci Veda itu sebagian implementasinya baru berupa lips service belaka, sehingga sering kali terjadi ketimpangan yang cukup besar diantara realisasi/ penerapan pengetahuan dengan kata-kata yang dikeluarkan. Sebagai salah satu contoh di atas, banyak orang yang dapat berbicara tentang pengetahuan, tapi jarang yang dapat menerapkannya secara benar dalam kehidupannya sehari-hari, dengan latar belakang yang berbeda, membuat seseorang dihadapkan pada pilihan hidup untuk melakukan apa yang dilidahnya benar tapi tidak dengan yang dilakukannya. Berbagai tindakan penipuan yang terjadi, korupsi, penyalahgunaan wewenang, pemerkosaan, sampai pada pencurian dan seks bebas merupakan salah satu contoh kecil bagaimana refleksi ajaran Jñàna Vijñàna Yoga ini kurang begitu sampai ditelinga dan akhirnya berbuah pada pemahaman dan tindakan yang benar, khususnya bagi umat Hindu. Selain pengetahuan dan pemahaman akan ajaran agama yang kurang tepat, keinginan yang berlebihan dengan tidak disertai oleh sumber daya yang mumpuni dan kebencian yang muncul ke permukaan, merupakan beberapa ciri kecil bagaimana seseorang dapat menjadi tersesat sehingga berakibat melakukan halhal negatif seperti contoh di atas, yang tidak hanya membahayakan bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi kehidupan orang lain, seperti yang tertuang pada Bhagawad Gìtà Bab VII sloka 27 di bawah ini: Icchà-dveûa-samutthena Dvandva-mohena bhàrata, Sarva-bhùtàni sammohaý Sarge yànti paraýtapa (Bhagawad Gìtà Bab VII: 27) Wahai Arjuna, karena dibingungkan oleh pasangan yang saling berlawanan, yang muncul dari keinginan dan kebencian, semua mahluk didunia ini menjadi tersesat, wahai penakluk musuh (Arjuna). Untuk itu pengetahuan yang tepat akan keberadaan-Nya dan ajaran-ajaranNya, perlu ditindak lanjuti yang tidak hanya sampai di permukaan telinga saja melainkan masuk kedalam dan membuka pikiran yang penuh dengan maya dengan keagungan-Nya. Keagungan akan sifat-sifat Maha-Nya dan meresapi segalanya (wyàpi-wyàpaka nirwikàra). Menurut Pudja (2003:199) Wujud yang kita tumpangkan pada yang tanpa wujud disebabkan oleh keterbatasan kita sendiri. Kita berpaling dari perenungan realitas tertinggi untuk berkonsentrasi terhadap rekonstruksi yang kita bayangkan. Segala dewa kecuali Tuhan sendiri, adalah wujud-wujud yang kita tumpangkan pada-Nya. Tuhan bukanlah salah satu dari yang banyak, tetapi satu-satunya dibalik kejamakan yang selalu berubah, yang melampaui segala wujud, sebagai pusat abadi dari perubahan tanpa akhir ini. Hal ini dituangkan dalam Bhagawad Gìtà Bab VII sloka 24 di bawah ini: Avyaktaý vyaktim àpannaý Manyante màm abuddhayah Paraý bhàvam ajànanto Mamàvyayam anuttamam (Bhagawad Gìtà Bab VII: 24) Orang yang picik pengertian beranggapan Aku yang tak berbentuk menjadi termanifestasikan, tidak mengetahui sifat-Ku yang lebih tinggi yang kekal abadi dan Yang Maha Tinggi. Sloka di atas menandakan bahwa Tuhan yang tak terbatas digambarkan secara terbatas. Karena itu, ia sering disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti ; Brahma, Wisnu, Iswara/Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bhawa Pasupati, Sarwajna, sesuai dengan tempat yang ditempatinya. Sadyojata, Bhamadewa, Tatpurusa, Aghora dan Isana dalam Panca Brahma. Tuhan bersifat immanent dan trancendent. Immanent artinya Ia meresapi segala, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (wyàpiwyàpaka nirwikàra). Trancendent artinya Tuhan meliputi segala tetapi Ia berbeda di luar batas pikiran dan indriya. Meskipun Tuhan immanent dan trancendent pada semua makhluk, tetapi Tuhan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaan-Nya Tuhan digambarkan seperti api dalam kayu, minyak dalam santan. Tuhan ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya. III. SIMPULAN Pengetahuan dan pemahaman akan ajaran agama yang kurang tepat, keinginan yang berlebihan dengan tidak disertai oleh sumber daya yang mumpuni dan kebencian yang muncul ke permukaan, merupakan beberapa ciri bagaimana seseorang dapat menjadi tersesat sehingga berakibat melakukan hal-hal negatif, yang tidak hanya membahayakan bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi kehidupan orang lain. Untuk itu pengetahuan yang tepat akan keberadaan-Nya dan ajaran-ajaranNya, perlu ditindak lanjuti yang tidak hanya sampai di permukaan telinga saja melainkan masuk kedalam dan membuka pikiran yang penuh dengan maya dengan keagungan-Nya. Keagungan akan sifat-sifat Maha-Nya dan meresapi segalanya (wyàpi-wyàpaka nirwikàra) Berawal dari hal tersebut, merealisasikan pengetahuan dengan benar, utamanya pengetahuan agama, khususnya pada ajaran Jñàna Vijñàna Yoga memungkinkan seseorang menjadi bagian dari kehidupan semesta yang harmonis. Harmonis dalam hubungannya dengan Tuhan, harmonis dengan sesama dan dalam harmonis dengan alam. Jñàna Vijñàna Yoga adalah jalan manusia untuk menghubungkan diri dengan Tuhan melalui realisasi pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Realisasi pengetahuan ini berawal dari apara widyà (pengetahuan tentang maya duniawi) menuju pada pengetahuan tentang hakikat kebenaran (para widyà) dalam mencapai jagaddhita dan moksa. DAFTAR PUSTAKA Aziz, Abdul. 2006. Esai-esai Sosiologi Agama. Jakarta: Diva Pustaka Daya, Burhanuddin. 2004. Agama Dialogis “Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama”. Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya Dhavamony, Mariasusai. 2010. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius Maulana, Achmad. 2003. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Absolut Pendit, Nyoman S. 2007. Filsafat Hindu Dharma, Sad Darsana, Enam Aliran Astika (Ortodoks). Denpasar: Pustaka Bali Post Pudja, G. 1984. Sraddha. Jakarta: Mayasari -----------. 2003. Bhagawad Gìtà (Pancama Veda). Surabaya: Paramita. Pudja, G., Rai Sudharta, Tjokorda. 2003. Manawa Dharmaúastra (Manu Dharmasastra). Jakarta: Mitra Jaya. Sura, I Gede. 2005. Siwa Tattwa. Denpasar : Tri Guna. Tim, Penyusun. 1999. Siwa Tattwa. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali Proyek Peningkatan Prasarana Kehidupan Beragama Terbesar di Daerah Tingkat II. -------------------. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita. -------------------. 2011. Teologi Dalam Susastra Hindu. Surabaya: Paramita Vos, De, H. Pengantar Etika. 2006. Surabaya: Adis