jñàna vijñàna yoga dalam kitab bhagawad gìtà

advertisement
JÑÀNA VIJÑÀNA YOGA DALAM KITAB BHAGAWAD GÌTÀ
(SUATU REFLEKSI NILAI TEOLOGI HINDU
DALAM MENYONGSONG ZAMAN)
Oleh : I Gusti Made Widya Sena *)
ABSTRACT
To reduce the many negative impacts of the present and the progress of life
issues are increasingly complex to build awareness and wisdom through
deepening, understanding, and implementation of the sacred teachings from the
scriptures sourced properly and correctly. Particular understanding of the Jñàna
Vijñàna Yoga (actual knowledge) in Bhagavad Gìtà is as basic to have the ability
to understand the meaning and purpose of human life in the world as well as
disengage gradually from worldly ties. Starting from this, to realize the true
knowledge, especially religious knowledge, particularly in teaching Jñàna Vijñàna
Yoga allows one to be part of the life of a harmonious universe. Harmonious
relationship with God, harmony with the others and harmony with the world.
Key words : Bhagawad Gìtà, Jñàna Vijñàna Yoga and Harmony
*
) I Gusti Md Widya Sena, adalah Dosen pada Fakultas Brahma Widya IHDN
Denpasar
I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak perlu
diragukan lagi, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Teknologi yang dibuat
oleh manusia tidak hanya digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan
kehidupannya sendiri melainkan juga dengan adanya teknologi, berbagai rutinitas
kehidupan dapat semakin mudah dilakukan. Misalnya saja seperti yang baru-baru
ini yang terjadi di Bogor-Indonesia, seorang anak sekolah menengah pertama
membuat sepatu yang pada ujung sepatunya di aliri dengan tenaga listrik. Sepatu
ini dapat digunakan tidak hanya bagi anak-anak tetapi juga bagi kaum wanita
untuk melindungi dirinya dari tindakan kekerasan dan pelecehan, dengan
demikian mereka tidak perlu khawatir lagi untuk keluar di malam hari. Selain itu
beberapa kemajuan kualitas teknologi dapat kita lihat dengan ditemukannya helm
anti geger otak, mobil hemat energi bertenaga surya dan biogas, mobil yang dapat
digunakan di dua tempat sekaligus, di darat dan di air, alat yang dapat mengubah
air laut menjadi air tawar, robot yang dapat digunakan didalam membantu
berbagai pekerjaan rumah tangga, sistem internet yang semakin mudah diakses,
yang tidak hanya melalui media laptop dan modem/wifi tapi juga dengan hanya
memiliki hand phone (HP) seseorang dapat mengakses informasi ke seluruh
belahan dunia, bahkan kelebihan lainnya dengan memiliki hand phone seseorang
dapat mengatur sistem keamanan rumahnya tanpa satuan pengamanan selama 24
jam tanpa perlu khawatir jika bepergian beberapa hari ke luar kota untuk
menjalani rutinitasnya, karena ia telah dapat mengakses rumahnya sendiri, dapat
menghidupkan lampu dari jarak jauh, membuka dan menutup pintu pagar dari
jarak yang sedemikian jauh, sampai pada melihat siapa saja yang melintasi depan
rumahnya melalui layar hand phone.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
demikian pesatnya, tidak hanya pengaruh positif (baik) yang ditimbulkan tapi juga
berbagai pengaruh negatif (buruk) juga dapat kita lihat dalam kehidupan seharihari. Mulai dari penyalahgunaan media informasi internet yang tidak hanya
digunakan untuk penipuan di dunia maya tapi juga dengan internet banyak sekali
anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah mengakses berbagai gambar dan
film yang berbau pornografi. Selain itu, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi ini tindak kekerasan dan kejahatan juga semakin menjamur, seperti
yang kita lihat di lapangan banyak sekali kasus perampokan, pembunuhan sampai
pada kerusuhan, hal ini dimulai dari yang berbentuk individu sampai pada
kelompok/geng dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Hal ini muncul, karena tidak saja gaya hidup manusia semakin dimudahkan
dengan keberadaan teknologi itu sendiri sehingga semakin santai dalam hidupnya,
melainkan juga karena keegoisan manusia di dalam menjalani kehidupannya
sehari-hari dengan semakin banyaknya manusia memperoleh kekayaan dengan
berbagai cara, sekalipun jalan itu melanggar ajaran-ajaran agama dan norma yang
ada, penyebab lainnya adalah karena kurang tepatnya pengetahuan dan
pemahaman yang diperoleh dari kitab suci maupun bangku pendidikan sampai
dengan realisasinya dalam kehidupan sehari-hari menuju pada kemerosotan moral
sehingga kehidupan yang santai ini juga pada akhirnya menimbulkan kehidupan
yang selalu diliputi oleh tekanan mental, kekhawatiran, frustasi, stress, dan mudah
terserang penyakit.
Untuk meredam berbagai dampak buruk dari kemajuan zaman sekarang ini
dan berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks adalah dengan membangun
kesadaran dan kebijaksanaan melalui pendalaman, pemahaman, dan pelaksanaan
ajaran suci agama yang bersumber dari kitab suci secara baik dan benar.
Khususnya Pemahaman terhadap jalan Jñàna
Vijñàna Yoga (realisasi
pengetahuan) di dalam kitab Bhagawad Gìtà adalah sebagai dasar untuk memiliki
kemampuan memahami makna dan tujuan hidup manusia di dunia serta
melepaskan diri secara berangsur-angsur dari ikatan duniawi. Keterikatan
terhadap hal-hal yang bersifat duniawi hanya membuat kesengsaraan hidup baik
lahir maupun bathin.
II. PEMBAHASAN
2.1 Sekilas Tentang Kitab Bhagawad Gìtà
Bhagawad Gìtà, nyanyian Dewata, adalah salah satu suplemen kitab Weda.
Ia adalah salah satu kitab suci yang disebut Pañcama Weda (Weda kelima), yang
memuat tentang sari pati ajaran Agama Hindu yang isinya sederhana dan sangat
diperlukan oleh masyarakat luas khususnya bagi umat Hindu sebagai pedoman
dalam hidup sehari-hari.
Bhagawad Gìtà diawali dengan pertanyaan dari Prabu Dhritarashtra pada
Sanjaya mengenai perkembangan di medan perang Kuruksetra. Sanjaya dengan
seksama menguraikan semua kejadian dalam hubungan peperangan antara
Pandawa dan Kurawa.
Secara struktural isi Bhagawad Gìtà lebih terarah dan merupakan
pengumpulan dari Weda-Weda sebelumnya. Ini merupakan satu langkah
perkembangan sejarah berpikir dari Agama Hindu. Penelitian mendalam dan
meluas telah membuktikan bahwa sebagaimana halnya disebut-sebut di dalam
Purana bahwa usaha kodifikasi Catur Weda sebagai jasa terbesar Bhagavan
Abiasa (Vyàsa), tampaknya penggubahan Bhagavad Gìtà pun merupakan buah
karya besar Bhagavan Vyàsa. Tidak banyak kita ketahui kapan Bhagawad Gìtà
mulai ditulis. Sarjana Barat dan para arkeolog berpendapat yang mendasarkan
pemahaman mereka atas dasar pendekatan ajaran dengan filsafat Samkhya dan
Yoga berkesimpulan bahwa Bhagawad Gìtà mulai ditulis sekitar abad III S.M.,
yang walaupun demikian tampaknya tidak semua penulis sependapat karena kalau
dilihat dari aspek analogi dengan upanisad, dimana upanisad yang tertua adalah
svetasvatara maka R. Garbe, tokoh orientalis berkesimpulan setidak-tidaknya
sebelum abad I Masehi (Pudja, 2003:XIV).
Bhagawad Gìtà juga disebut dengan lain nama yaitu, “upanisad”, atau
bagian akhir dari Kitab Suci Weda. Ini mengingat juga bahwa apa yang diajarkan
oleh Sri Krishna sebagai Awatàra dari Dewa Wiûóu adalah pengetahuan suci yang
abadi dan diulangi dari zaman ke zaman bila keadaan dunia dalam kegelapan di
mana umat manusia melupakan-Nya. Penampilan dialog antara guru dengan úiûya
sebagaimana yang kita jumpai dalam Bhagawad Gìtà menunjukkan bahwa metode
yang ditempuh adalah sejalan dengan sistem mistik atau Raja Yoga, dimana di
dalam ajaran mistik intinya adalah bagaimana seorang guru dapat melimpahkan
ilmunya yang bersifat rahasia itu kepada pengikutnya. Penampilan inipun
merupakan metode yang sampai sekarang tetap dianut dalam sistem upanisad itu.
Di dalam pengajaran upanisad itu kita jumpai pula metode dialog antara guru
dengan úiûya, antara brahmàóa dengan raja, antara brahmàóa dengan brahmàóa
lainnya mengenai berbagai hakekat Ketuhanan yang bersifat rahasia. Sifat
kerahasiaan inilah yang menyebabkan ajaran Bhagawad Gìtà tergolong pula
ajaran mistik.
2.2 Konsep Teologi Hindu
Secara etimologi kata Teologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “theos”
yang artinya Tuhan dan “logos” yang artinya ilmu. Jadi Teologi adalah
“pengetahuan tentang Tuhan”. Ada banyak batasan atau definisi teologi, salah
satunya sebagaimana uraian berikut: teologi secara harfiah berarti teori atau studi
tentang “Tuhan”. Dalam praktek, istilah digunakan untuk kumpulan doktrin dari
kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu (Maulana, 2003:500).
Sejenis dengan istilah teologi di atas, di dalam Agama Hindu dikenal
dengan istilah Brahmavidyà. Brahmavidyà berarti pengetahuan tentang Tuhan
Yang Maha Esa, mencakup semua manifestasi-Nya, ciptaan-Nya dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Pengertian yang terakhir ini telah mencakup
pengertian yang amat luas tentang brahmavidyà. Menurut Pudja (1984:14) teologi
di dalam Bahasa Sanskerta disebut Brahmavidyà atau Brahma Tattva Jñàna.
Simbol-simbol dalam Agama Hindu sangat terkait dan tidak dapat
dipisahkan dengan ajaran ketuhanan (teologi Hindu), karena simbol-simbol
tersebut merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri manusia kepada-Nya.
Simbol-simbol tersebut berupa arca atau pratima untuk dewa-dewa, vàhana
devatà atau kendaraan dewa-dewa, bangunan suci sebagai sthana untuk memujaNya, para devatà atau roh suci leluhur. Di samping juga berupa mantra, mudrà,
yantra, rarajahan dan huruf-huruf suci, juga persembahan suci berupa sesajen
yang beraneka ragam dan lain-lain.
Tuhan adalah asal dari semua yang ada, alam semesta (bhuawana agung)
beserta isinya, manusia (bhuwana alit) adalah ciptaan-Nya juga. Semua ciptaanNya itu merupakan wujud maya-Nya yang bersifat tidak kekal, karena dapat
mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaan-Nya
kembali kepada-Nya (Tim, 1999:2).
Menurut Sura (2005:25) menjelaskan bahwa ajaran Teologi (Ketuhanan)
dalam Weda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya.
Namun Ia meliputi segala banyak nama. Ia yang Esa berada pada semua yang ada,
semua yang ada berada pada yang Esa. Tuhan sumber segalanya agama Hindu
mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan
dan kembali kepada Tuhan, hal ini dinyatakan dalam sastra-sastra agama Hindu
baik yang berbahasa Sansekerta maupun yang berbahasa Jawa Kuna atau Bahasa
Bali. Tuhan berada dimana-mana bersifat wyapi-wyapaka yaitu meresapi segalaNya. Tidak ada tempat yang tidak Ia tempati. Tuhan dipahami dengan dua aspek
yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman. Nirguna Brahman artinya Tuhan
tidak terkena sifat apapun dan tidak dapat disamakan dengan apapun. Menurut
pandangan ini Tuhan diyakini tidak memiliki manifestasi dalam wujud apapun.
Saguna Brahman artinya Tuhan memiliki sifat dan bisa digambarkan dalam
bentuk apapun seperti Dewa atau lainnya. Saguna Brahman merupakan salah satu
jalan atau cara untuk menghayati dan meyakini Tuhan dalam berbagai aspek
manifestasi-Nya, baik sebagai dewa-dewa atau sebagai awatàra (reinkarnasi
Tuhan).
Sah pita, Ia adalah ayah. Sah mata, Ia adalah ibu. Sah mitram, Ia adalah
sahabat. Sah guru, Ia adalah guru. Dalam hubungan ini Ia adalah Personal God,
Tuhan Yang Berpribadi. Disamping sebagai Personal God, Ia juga adalah
Impersonal God, Tuhan Yang tidak berpribadi, yang tanpa wujud. Ia adalah
acintya yaitu yang tidak dapat dipikirkan. Ia adalah anadi madhyàntam, yaitu
tidak mempunyai awal, tengah dan akhir. Ia adalah amita, yaitu tidak terbatas,
agatram, yaitu tak berbadan, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, Teologi Hindu diberi dengan bermacam-macam
istilah (nama) antara lain yaitu: Brahmavidyà atau Brahma Tattva Jñàna. Menurut
Teologi Hindu (Brahmavidyà) salah satu ajaran didalamnya juga memuat
pengetahuan yang tidak hanya mengenai hakikat Tuhan tetapi juga mengenai cara
manusia dalam mencapai Tuhan. Hal ini dituangkan melalui jalan untuk
menghubungkan diri manusia dengan Tuhan, yang dikenal dengan istilah “Catur
Marga”.
Catur Marga yakni empat jalan menghubungkan diri dengan Brahman
(Tuhan). Keempat jalan tersebut adalah: pertama Karma Marga atau jalan kerja
(kegiatan) tanpa pamrih, ini berarti bahwa segala perbuatan yang dilakukan adalah
perbuatan yang baik dan tanpa mengharapkan hasil dari perbuatan yang
dilakukannya tersebut. Semua kegiatan yang dilakukan baik itu berpikir, berkata
dan berbuat selalu berlandaskan pada ketulusan hati dan kebenaran. Jalan kedua
adalah Bhakti Marga atau jalan pengabdian. Jalan meningkatkan pengabdian ini
dapat dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain: memuja keagungan Tuhan,
sujud kepada Tuhan, mengucapkan dan menyanyikan nama-nama Tuhan,
mengingat nama Tuhan, mempelajari keagungan Tuhan, penyerahan diri secara
total kepada Tuhan, memandang Tuhan sebagai teman sejati dan melayani
sesama. Jalan ketiga adalah Jñàna Marga atau jalan ilmu pengetahuan. Hal ini
mengandung makna bahwasanya melalui jalan jñàna marga, seseorang dapat
mencapai Tuhan dengan mempelajari ilmu pengetahuan tentang eksistensi diri dan
Tuhan serta mengimplementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Lontar
Bhuana Kosa, untuk memiliki pengetahuan tersebut tidaklah mudah, ia harus
dicari dengan tekun dan teliti dan dengan persyaratan yang berat, seperti :
1.
Memiliki keperibadian yang baik
2.
Memiliki tata krama yang baik
3.
Berpikir tenang
4.
Tidak minum-minuman keras
5.
Menjauhi perbuatan nista
6.
Guru Susrusa
7.
Tekun menjalankan brata
8.
Memiliki pengetahuan tentang Weda dan sastra lainnya
9.
Memiliki keyakinan yang kuat akan ajaran tersebut
10.
Penguasaan ajaran itu yang dapat dilaksanakan dengan mempelajari secara
tekun dan teliti.
11.
Melaksanakan yoga
Dan jalan terakhir dari Catur Marga adalah Raja Marga atau jalan
meditasi. Jalan meditasi adalah jalan untuk mencapai Tuhan dengan cara
pengekangan diri. Jalan ini dapat dilaksanakan dengan cara mengontrol aktivitas
pikiran. Melatih dan memutuskan segala keterikatan pikiran dengan obyek indria
dengan berkonsentrasi. Konsentrasi dimulai dari obyek yang nyata meningkat
kepada obyek yang abstrak.
2.3 Konsep Zaman (Perspektif Teologi Hindu)
Zaman di dalam pandangan teologi Hindu disebut dengan “Yuga”. Menurut
Kamus Istilah Agama Hindu, Yuga adalah pembagian zaman. Yuga (zaman) ini
terbagi menjadi empat bagian (empat yuga), yakni: Krta Yuga, Dwapara Yuga,
Treta Yuga dan Kali Yuga. Sebagaimana diuraikan pada sloka 68-72 dalam
Manawa Dharmaúastra di bawah ini:
Brahmasya tu ksapahasya
Yatpramanam samasatah
Ekaikaço yuganam tu
Krama çastanni bodhata.
(Manawa Dharmaúastra I.68)
Selanjutnya perhatikanlah tentang hari siang dan malamnya
Brahma dan macam-macam Yuga (zaman) menurut urutannya.
Catwaryahuh sahasrani
Warsanam tat krtam yugam,
Tasya tawacchati samdhya
Sasamdhyamçesu ca trisu
Widhah.
(Manawa Dharmaúastra I.69)
Krta Yuga dinyatakan empat ribu tahunnya Dewa, fajarnya meliputi
ratusan tahun dan senjanya meliputi ratusan tahun juga yang sama
jumlahnya.
Itaresu ssam dhyesu
Sasamdhyesu ca trisu,
Ekapayena wartante
Sahasrani catani ca.
(Manawa Dharmaúastra I.70)
Tiga yuga berikutnya masa fajar dan senjanya, ribuan dan ratusan tahunnya
masing-masing berkurang dengan satu secara berturut-turut.
Yadetatparisamkhyatama
Dawewa caturyugam,
Etad dwadaça sahasram
Dewanam yugamucyate.
(Manawa Dharmaúastra I.71)
Empat yuga yang jumlah tahunnya dua belas ribu tahun manusia
dinyatakan satu yuganya Dewa.
Daiwikanam yuganam tu
Sahasram parisamkhyaya,
Brahmaneka maharjneyam
Tawatim ratrimewa ca.
(Manawa Dharmaúastra I.72)
Tetapi ketahuilah bahwa sesungguhnya dua belas ribu yuganya Dewa-dewa
merupakan seharinya Brahman, dan malamnya sama lamanya.
Dari uraian di atas, menurut Manawa Dharmaúastra, satu yuga menurut
sloka 69 = 4.000 tahun dewa atau 4.000 x 365 tahun manusia yaitu ± 1.460.000
tahun manusia dengan ketentuan tiap yuga berikutnya umurnya berkurang satu
dari empat fase zaman. Manusia itu merupakan satu zamannya dewa-dewa
sedangkan ribuan zaman dari dewa sama dengan satu hari satu malamnya harinya
Brahman.
2.4 Konsep Jñàna Vijñàna Yoga Dalam kitab Bhagawad Gìtà
Berbicara mengenai batasan atau pengertian Jñàna dan Vijñàna Yoga ini
tentunya tidak dapat kita lepaskan pandangan ini dari beberapa ahli filsafat
terkemuka sepanjang sejarah Hindu, seperti Mahàrsi Patanjali dengan konsep
Yoganya dan Úrì Úaòkara dengan konsep Advaitanya.
Mahàrsi Patanjali sebagai pendiri filsafat yoga berpendapat bahwa yoga
adalah cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dengan jalan
mengendalikan pikiran untuk mengalami kenyataan jiwa, yakni bersatunya Jiwa
pribadi (jivàtman) dengan Jiwa Universal (Paramàtman). Implementasi
pelaksanaan yoga ini dilakukan melalui tahapan-tahapan yoga yang dikenal
dengan istilah aûþangga yoga. Aûþangga yoga adalah delapan tahapan yoga, yang
terdiri dari: Yama ialah pengendalian diri tahap pertama, Niyama ialah
pengendalian diri tahap kedua, Asana ialah sikap duduk, Prànàyàma ialah
pengaturan nafas, Pratyàhàra ialah penarikan indria dari obyeknya, dhàrana ialah
pikiran yang teguh, dhyàna ialah pemusatan pikiran dan Samadhi ialah luluhnya
pikiran dengan àtma.
Menurut Patanjali, selain konsep aûþangga yoga di atas, filsafat yoga terdiri
dari empat bagian (pada) seperti yang termuat didalam buku Pendit (2007:110)
dengan nama masing-masing:
1. Samadhipada : Menjelaskan sifat, tujuan dan bentuk yoga, serta
modifikasi jiwa (organ dalam) dan berbagai cara untuk
mencapai Yoga.
2. Shadanapada : Menjelaskan kriyayoga (pelaksanaan yoga) untuk
mencapai Samadhi, klesa (sumber penderitaan),
karmaphala (hasil perbuatan) yang sifatnya sangat
memilukan dan 4 macam penderitaan serta
penyebabnya, hentinya penderitaan dan cara
menghapus penderitaan tersebut.
3. Vibhutipada : Menjelaskan aspek dalam sukma serta kekuatan gaib
yang diperoleh dengan jalan yoga.
4. Kaivalyapada : Menjelaskan sifat serta bentuk kelepasan, dan
transedentalnya, jiwa serta terpisahnya alam dunia ini.
Kebijaksanaan Vedànta dan pengetahuan Sàýkhya yang diperinci dapat
diartikan sebagai Jñàna dan Vijñàna. Úrì Úaòkara menyatakan bahwa Jñàna
adalah pengetahuan tentang sang diri dan hal lain yang didapatkan dari kitab suci
dan para guru atau Jñàna juga ditafsirkan sebagai kebijaksanaan pencerahan
spiritual langsung dan Vijñàna adalah pengalaman pribadi dari hal-hal yang
diajarkan, pengetahuan rasional, prinsip eksistensi yang diperinci.
Menurut kitab Upaniûad pengetahuan (Jñàna) yang dimiliki oleh orang
bijaksana (Jñànin) disebut apara widyà dan para widyà. para widyà adalah
pengetahuan tentang hakikat kebenaran (tentang Àtma dan Brahma). Pengetahuan
ini digunakan untuk mencapai kelepasan menuju moksa, sedangkan apara widyà
adalah pengetahuan yang meliputi pengetahuan biasa dan pengetahuan suci, yakni
pengetahuan tentang maya duniawi. Pengetahuan ini digunakan untuk mencapai
jagaddhita yaitu kesejahteraan jasmani. Seperti yang tertuang di dalam Kitab
Bhagawad Gìtà Bab VII sloka 2 di bawah ini:
Jñànaý te `haý sa-vijñànam
Idaý vakûyàmy aúeûataá
Yaj jñàtvà neha bhùyo `nyaj
Jñàtavyam avaúiûyate
(Bhagawad Gìtà Bab VII.2)
Kepadamu akan Kuajarkan selengkapnya tentang realisasi yang
digabungkan dengan ilmu pengetahuan, yang setelah semuanya diketahui,
tidak ada lagi sisanya untuk diketahui
Terjemahan di atas menandakan bahwasanya kita seharusnya tidak hanya
memiliki pengetahuan tentang ketiadaan hubungan yang mutlak tetapi juga
pengetahuan tentang berbagai manifestasi-Nya, yang tertinggi ada dalam diri
manusia dan alam walaupun hal ini tidak membatasi-Nya. Maka dari pada itu,
kombinasi keduanya (dalam hal ini pengetahuan dan realisasinya) mutlak bagi
manusia di dalam mengarungi kehidupannya demi pencapaian kebahagiaan
jasmani dan rohani.
Dikarenakan sangat penting bagi kehidupan manusia, khususnya bagi
manusia yang tidak hanya didalam memahami pribadinya sendiri juga orang lain,
melainkan juga pengaruh maya dalam kehidupan, alam dan dalam hubungannya
dengan Tuhan, maka ajaran Jñàna dan Vijñàna ini tidak hanya tertuang pada salah
satu bab didalam Kitab Bhagawad Gìtà khususnya pada Bab VII saja, melainkan
juga pada beberapa bab lainnya, salah satunya adalah pada Kitab Bhagawad Gìtà
Bab ke-III sloka 41, seperti yang tertuang di bawah ini:
Tasmàt tvam indriyàóy àdau
Niyamya bharatarûabha
Pàpmàmanaý prajahi hy enaý
Jñàna- Vijñàna-nàúanam
(Bhagawad Gìtà Bab III.41)
Dari itu, pertama-tama kendalikanlah panca indriamu dan
Basmilah nafsu yang penuh dosa, perusak segala pengetahuan dan
Kebijakan, wahai arjuna yang baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Jñàna Vijñàna
Yoga adalah jalan manusia untuk menghubungkan diri dengan Tuhan melalui
realisasi pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Realisasi pengetahuan ini
diawali dari apara widyà (pengetahuan tentang maya duniawi) menuju pada
pengetahuan tentang hakikat kebenaran (para widyà) dalam mencapai jagaddhita
dan moksa.
Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Bhagawad Gìtà mengajarkan agar
setiap orang menyadari hakekat Ketuhanan dalam dirinya, Hal ini dapat dilakukan
dengan cara:
1. Mempelajari segala tattwa (jñànabhyudreka),
2. Tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indrianyayogamarga),
3. Tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk
(trsnadosaksaya)
Sehingga dengan melaksanakan ketiga hal di atas, seseorang akan
mengalami lima bentuk perubahan Citta/ pikiran yaitu :
1. Pramana yaitu pengamatan yang benar.
2. Wiparyaya yaitu pengamatan yang salah.
3. Wikalpa yaitu pengamatan yang hanya ada dalam kata-kata.
4. Nidra yaitu pengamatan dalam keadaan tidur atau mimpi.
5. Smrti yaitu pengamatan terhadap apa yang diingat dari sesuatu yang dialami.
Dari perubahan citta inilah sang jiwa yang ada dalam diri ini memandang
dirinya mengalami kelahiran, kematian, tidur, jaga, berbuat salah, benar dan
sebagainya, dimana sesungguhnya sang jiwa itu mengatasi segala hal. Semua
perubahan citta ini muncul dari klesa-klesa atau kesulitan-kesulitan yang
merintangi yang menimbulkan kesulitan dan kesedihan dalam hidup ini.
Oleh karena itu Kåûna mulai menjelaskan makna pengertian àtman dan
dengan hubungannya dengan Parama àtman atau Brahman. Alam semesta dengan
segala bentuk ciptaan itu disebut dengan bhùta, yang memiliki lima komponen
yang disebut dengan pañca mahàbhùta, terdiri dari Påthivi (tanah), Àpah (air),
Teja (api), Vàyu (angin) dan Àkaúa (eter).
Kelima unsur tersebut muncul karena adanya prakåti dan sebagai akibat dari
evolusi prakåti. Disamping unsur materi terdapat unsur rohani yang disebut
dengan jiwa/ àtman yang menyebabkan timbulnya ciptaan (såûþi).
Kata „àtma” atau “àtman” berarti: nafas, jiwa atau roh. Àtman adalah nafas
hidup yang dapat dijumpai dalam beberapa mantram Veda, dan dalam
pengertiannya yang lebih tua berarti jiwa atau yang menghidupkan, yang juga
berarti sang diri dan dibedakan dengan yang bukan sang diri, dan hal ini
dibedakan menjadi 4 jenis, yakni:
1. milik perorangan, milik badan yang bertentangan dengan dunia luar,
2. tubuh yang dibedakan dengan lengan,
3. jiwa yang dibedakan dengan badan, dan
4. yang intisari yang dibedakan dengan yang bukan intisari.
Jiwa/ àtman adalah bagian dari Brahman dan perlu disadari adalah hubungan
pengertian antara àtman dengan Brahman. Di dalam melakukan sàmadhi, hakikat
inilah yang harus dicapai dalam pengertian dan makna akûara mantra “AUÝ”
sebagai manifestasi Brahman. Ketidaksadaran dan kekeliruan pandangan pada
manusia adalah karena kekuatan màyà, sehingga manusia salah mengidentifikasi
dan menyamakan jiwa dengan prakåti. Bila seseorang menyadari hal ini maka ia
akan mulai dapat mengarahkan pikirannya secara benar dan berawal dari hal
inilah akan dapat terlihat aku adalah Brahman dan ada pula di setiap makhluk.
2.5 Manfaat Merealisasikan Ajaran Jñàna Vijñàna Yoga dalam Hidup
Sehari-hari
Melalui pemahaman ajaran Agama Hindu, khususnya pada ajaran Jñàna
Vijñàna Yoga dan realisasi yang benar dalam kehidupan sehari-hari tentunya
memberikan banyak manfaat, baik manfaat internal atau bagi diri sendiri dan
manfaat eksternal (di luar dirinya).
Salah satunya adalah dengan merealisasikan ajaran Jñàna Vijñàna Yoga
dengan benar maka seseorang akan memiliki kesadaran akan keberadaannya
ditengah-tengah masyarakat, meningkatnya kemampuan kerja sama dan sikap
empati, baik kepada sesama manusia maupun dengan mahluk hidup lainnya.
Menurut Daya (2004:xi) Pesan moral sosial dan individual, nilai-nilai
keyakinan transedental, ritus-ritus universal kandungan masing-masing agama dan
kebutuhan mutlak umat manusia akan kedamaian, ketenangan, kesejahteraan,
kesatuan dan persatuan, telah merangsang kesadaran manusia, terutama manusia
beragama, akan betapa pentingnya kerjasama diantara mereka. Kerjasama
diperlukan juga untuk menghadapi dan memecahkan masalah-masalah bersama
dalam usaha mewujudkan kemakmuran.
Pemahaman suatu fenomena religius meliputi empati terhadap pengalaman,
pemikiran, emosi, ide-ide dari orang lain dan sebagainya (Dhavamony, 2010:35).
Tindakan memahami ini tidak akan diperoleh lewat pengalaman reproduktif dari
emosi dan pemikiran orang lain. Misalnya, orang akan tetap bersikap tenang
ketika dia menyampaikan bahwa orang lain sangat gembira; atau seseorang dalam
keadaan gembira dapat mengerti bahwa ada orang lain sedang sedih. Empati
memperlihatkan pemahaman terhadap tingkah laku orang lain berdasarkan
pengalaman dan tingkah lakunya dirinya sendiri.
Selain hal-hal di atas, dengan melakukan berbagai perbuatan yang mulia
dalam kehidupan, seperti; saling menolong, menghormati dan selalu berlindung
kepada-Nya merupakan proses bhakti yang semakin diperdalam dan pengetahuan
tentang Tuhan diperluas hingga mencapai pandangan bahwa sang Diri Tunggal
dimana-mana. Itulah kehidupan abadi, terlepas dari kelahiran dan kematian,
seperti yang tertuang dalam Kitab Bhagawad Gìtà Bab VII sloka 28-29 di bawah
ini:
Yeûàý tv anta-gataý pàpaý
Janànàý puya-karmaàm
Te dvandva-moha-nirmuktà
Bhajante màm ðådha-vratàá
(Bhagawad Gìtà Bab VII : 28)
Tetapi mereka yang berperilaku mulia, yang tak mempunyai dosa lagi, yang
bebas dari khayalan pasangan yang berlawanan memuja Aku, yang tetap
teguh dalam sumpahnya.
Jarà-maraa-mokàya
Màm àúritya yatanti ye,
Te brahma tad viduá kåtsnam
Adhyàtmaý karma càkhilam
(Bhagawad Gìtà Bab VII : 29)
Mereka yang berlindung pada-Ku, dan berusaha untuk dapat lepas dari
umur tua dan kematian, mereka menyadari sepenuhnya Brahman, sang diri
pribadi dan segala karma.
Berawal dari kedua sloka Kitab Bhagawad Gìtà tersebut, merealisasikan
pengetahuan dengan benar, utamanya pengetahuan agama, khususnya pada ajaran
Jñàna Vijñàna Yoga memungkinkan seseorang menjadi bagian dari kehidupan
semesta yang harmonis. Harmonis dalam hubungannya dengan Tuhan, harmonis
dengan sesama dan harmonis dengan alam.
2.6 Refleksi Ajaran Jñàna Vijñàna Yoga Dewasa ini
Ajaran Jñàna Vijñàna Yoga menuju kepada realisasi pengetahuan dalam
hidup sehari-hari memang tidak mudah, semudah lidah ini mengeluarkan katakata, karena dewasa ini justru yang terjadi dilapangan malah berbanding terbalik
dengan apa yang diinginkan oleh pengetahuan tersebut, yakni manusia yang
berbudi pekerti luhur dan eling akan keberadaannya. Penerapan ajaran agama
yang berlandaskan pengetahuan Kitab Suci Veda itu sebagian implementasinya
baru berupa lips service belaka, sehingga sering kali terjadi ketimpangan yang
cukup besar diantara realisasi/ penerapan pengetahuan dengan kata-kata yang
dikeluarkan.
Sebagai salah satu contoh di atas, banyak orang yang dapat berbicara
tentang pengetahuan, tapi jarang yang dapat menerapkannya secara benar dalam
kehidupannya sehari-hari, dengan latar belakang yang berbeda, membuat
seseorang dihadapkan pada pilihan hidup untuk melakukan apa yang dilidahnya
benar tapi tidak dengan yang dilakukannya. Berbagai tindakan penipuan yang
terjadi, korupsi, penyalahgunaan wewenang, pemerkosaan, sampai pada pencurian
dan seks bebas merupakan salah satu contoh kecil bagaimana refleksi ajaran Jñàna
Vijñàna Yoga ini kurang begitu sampai ditelinga dan akhirnya berbuah pada
pemahaman dan tindakan yang benar, khususnya bagi umat Hindu.
Selain pengetahuan dan pemahaman akan ajaran agama yang kurang tepat,
keinginan yang berlebihan dengan tidak disertai oleh sumber daya yang mumpuni
dan kebencian yang muncul ke permukaan, merupakan beberapa ciri kecil
bagaimana seseorang dapat menjadi tersesat sehingga berakibat melakukan halhal negatif seperti contoh di atas, yang tidak hanya membahayakan bagi dirinya
sendiri tetapi juga bagi kehidupan orang lain, seperti yang tertuang pada
Bhagawad Gìtà Bab VII sloka 27 di bawah ini:
Icchà-dveûa-samutthena
Dvandva-mohena bhàrata,
Sarva-bhùtàni sammohaý
Sarge yànti paraýtapa
(Bhagawad Gìtà Bab VII: 27)
Wahai Arjuna, karena dibingungkan oleh pasangan yang saling berlawanan,
yang muncul dari keinginan dan kebencian, semua mahluk didunia ini
menjadi tersesat, wahai penakluk musuh (Arjuna).
Untuk itu pengetahuan yang tepat akan keberadaan-Nya dan ajaran-ajaranNya, perlu ditindak lanjuti yang tidak hanya sampai di permukaan telinga saja
melainkan masuk kedalam dan membuka pikiran yang penuh dengan maya
dengan keagungan-Nya. Keagungan akan sifat-sifat Maha-Nya dan meresapi
segalanya (wyàpi-wyàpaka nirwikàra).
Menurut Pudja (2003:199) Wujud yang kita tumpangkan pada yang tanpa
wujud disebabkan oleh keterbatasan kita sendiri. Kita berpaling dari perenungan
realitas tertinggi untuk berkonsentrasi terhadap rekonstruksi yang kita bayangkan.
Segala dewa kecuali Tuhan sendiri, adalah wujud-wujud yang kita tumpangkan
pada-Nya. Tuhan bukanlah salah satu dari yang banyak, tetapi satu-satunya
dibalik kejamakan yang selalu berubah, yang melampaui segala wujud, sebagai
pusat abadi dari perubahan tanpa akhir ini. Hal ini dituangkan dalam Bhagawad
Gìtà Bab VII sloka 24 di bawah ini:
Avyaktaý vyaktim àpannaý
Manyante màm abuddhayah
Paraý bhàvam ajànanto
Mamàvyayam anuttamam
(Bhagawad Gìtà Bab VII: 24)
Orang yang picik pengertian beranggapan Aku yang tak berbentuk menjadi
termanifestasikan, tidak mengetahui sifat-Ku yang lebih tinggi yang kekal
abadi dan Yang Maha Tinggi.
Sloka di atas menandakan bahwa Tuhan yang tak terbatas digambarkan
secara terbatas. Karena itu, ia sering disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti ; Brahma, Wisnu, Iswara/Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bhawa
Pasupati, Sarwajna, sesuai dengan tempat yang ditempatinya. Sadyojata,
Bhamadewa, Tatpurusa, Aghora dan Isana dalam Panca Brahma.
Tuhan bersifat immanent dan trancendent. Immanent artinya Ia meresapi
segala, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (wyàpiwyàpaka nirwikàra). Trancendent artinya Tuhan meliputi segala tetapi Ia berbeda
di luar batas pikiran dan indriya. Meskipun Tuhan immanent dan trancendent pada
semua makhluk, tetapi Tuhan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia
bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaan-Nya Tuhan digambarkan
seperti api dalam kayu, minyak dalam santan. Tuhan ada dimana-mana, pada
semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya.
III. SIMPULAN
Pengetahuan dan pemahaman akan ajaran agama yang kurang tepat,
keinginan yang berlebihan dengan tidak disertai oleh sumber daya yang mumpuni
dan kebencian yang muncul ke permukaan, merupakan beberapa ciri bagaimana
seseorang dapat menjadi tersesat sehingga berakibat melakukan hal-hal negatif,
yang tidak hanya membahayakan bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi kehidupan
orang lain.
Untuk itu pengetahuan yang tepat akan keberadaan-Nya dan ajaran-ajaranNya, perlu ditindak lanjuti yang tidak hanya sampai di permukaan telinga saja
melainkan masuk kedalam dan membuka pikiran yang penuh dengan maya
dengan keagungan-Nya. Keagungan akan sifat-sifat Maha-Nya dan meresapi
segalanya (wyàpi-wyàpaka nirwikàra)
Berawal dari hal tersebut, merealisasikan pengetahuan dengan benar,
utamanya pengetahuan agama, khususnya pada ajaran Jñàna Vijñàna Yoga
memungkinkan seseorang menjadi bagian dari kehidupan semesta yang harmonis.
Harmonis dalam hubungannya dengan Tuhan, harmonis dengan sesama dan
dalam harmonis dengan alam.
Jñàna Vijñàna Yoga adalah jalan manusia untuk menghubungkan diri
dengan Tuhan melalui realisasi pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Realisasi pengetahuan ini berawal dari apara widyà (pengetahuan tentang maya
duniawi) menuju pada pengetahuan tentang hakikat kebenaran (para widyà) dalam
mencapai jagaddhita dan moksa.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul. 2006. Esai-esai Sosiologi Agama. Jakarta: Diva Pustaka
Daya, Burhanuddin. 2004. Agama Dialogis “Merenda Dialektika Idealita dan
Realita Hubungan Antaragama”. Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas
Budaya
Dhavamony, Mariasusai. 2010. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius
Maulana, Achmad. 2003. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Absolut
Pendit, Nyoman S. 2007. Filsafat Hindu Dharma, Sad Darsana, Enam Aliran
Astika (Ortodoks). Denpasar: Pustaka Bali Post
Pudja, G. 1984. Sraddha. Jakarta: Mayasari
-----------. 2003. Bhagawad Gìtà (Pancama Veda). Surabaya: Paramita.
Pudja, G., Rai Sudharta, Tjokorda. 2003. Manawa Dharmaúastra (Manu
Dharmasastra). Jakarta: Mitra Jaya.
Sura, I Gede. 2005. Siwa Tattwa. Denpasar : Tri Guna.
Tim, Penyusun. 1999. Siwa Tattwa. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali Proyek
Peningkatan Prasarana Kehidupan Beragama Terbesar di Daerah Tingkat II.
-------------------. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar
Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya:
Paramita.
-------------------. 2011. Teologi Dalam Susastra Hindu. Surabaya: Paramita
Vos, De, H. Pengantar Etika. 2006. Surabaya: Adis
Download