2003 PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN NILA JANTAN ADI SUCIPTO WISMA JURAGAN | Jalan Selabintana 37 Sukabumi PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN NILA JANTAN1 Adi Sucipto2 1. PENDAHULUAN Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penting dalam bisnis ikan air tawar dunia. Lebih dari 100 spesies tersebar di beberapa daerah tropis seperti Asia, Afrika dan Amerika. Beberapa hal yang mendukung pentingnya komoditas nila adalah a) memiliki resistensi yang relatif tinggi terhadap kualitas air dan penyakit, b) memilliki toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan c) memiliki kemampuan yang efisien dalam membentuk protein kualitas tinggi dari bahan organik, limbah domestik dan pertanian, d) memiliki kemampuan tumbuh yang baik, dan e) mudah tumbuh dalam sistem budidaya intensif (Anonymous, 2001). Ikan asli perairan di lembah sungai Nil, Afrika ini diintroduksi ke Indonesia tahun 1969, 1990 dan 1994 masing-masing dari Taiwan, Thailand dan Philipina (Hanif dan Sucipto, 1999). Dan saat ini beberapa perusahaan swasta dan lembaga pemerintah telah pula mendintroduksi beberapa strain baru untuk pengembangan di Indonesia. Pengembangan Budidaya nila di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1969. Namun demikian budidaya secara intensif mulai berkembang tahun 1990-an yang berkaitan dengan maraknya budidaya nila di Keramba Jaring Apung. Pengkajian teknologi budidaya ikan nila dalam mendukung intensifikasi pembudidayaan diarahkan untuk meningkatkan efisiens produksi, dalam rangka meningkatkan daya saing harga. Beberapa upaya yang berkaitan dengan pengkajian teknologi antara lain pengkajian teknik pembenihan, yang meliputi; kontruksi kolam pemijahan, teknik pengelolaan induk dalam pemijahan (jumlah induk minimal yang dipijahkan dalam rangka menghambat laju silang dalam), teknik produksi benih tunggal kelamin jantan dan benih steril (melalui hormonisasi, YY-supermale, hibridisasi dan triploidisasi) (Don and Avtalion, 1988; Myers dalam Kohler, 2000). Sedangkan pengkajian teknik pembesaran diarahkan untuk menghasilkan ikan konsumsi yang memenuhi persyaratan ukuran permintaan ekspor (ukuran ikan minimal 500 gram per ekor) antara lain melalui kajian penggunaan benih tunggal kelamin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mair et al. (1991) bahwa salah satu cara dalam menanggulangi hal tersebut adalah dengan penerapan sistem pembesaran ikan tunggal kelamin jantan. Metoda dalam produksi benih tunggal kelamin dapat melalui pemberian hormon, manipulasi gen dan manipulasi lingkungan. Di Philipina, produksi benih tunggal kelamin telah berkembang secara komersial terutama dengan metoda hormonal (Guerrero dalam Pullin et al. 1988). Di BBAT Sukabumi, produksi benih tunggal kelamin jantan ditempuh dengan beberapa langkah antara lain penghormonan jantan secara langsung baik oral maupun dipping, secara tidak langsung dengan pembetinaan dan hibridisasi 2. TUJUAN Sebagai informasi tentang sistem produksi banih ikan nila kelamin jantan secara massal guna peningkatan efisiensi dan produktifitas dalam kegiatan pembudidayaan. 1 2 Makalah disampaikan dalam Temu Teknis UPT Air Tawar, Ditjen Perikanan Budidaya di BBAT Sukabumi tanggal 26-29 Agustus 2003 Perekayasa di BBAT Sukabumi. Personal blog: www.adisucipto.com 1 3. BAHASAN 3.1. Produksi Larva 3.1.1. Kontruksi Kolam Kontruksi kolam yang digunakan merupakan penyempurnaan dari kontruksi sebelumnya yang menggunakan pintu monik sebagai out let. Outlet kolam menggunakan “standing pipe”. Kontruksi ini tidak memerlukan kayu papan untuk menutup pintu pengeluaran kolam (outlet), saat pemanenan cukup dengan memiringkan pipa sedikit demi sedikit sehingga larva tidak terbawa arus kuat, kematian larva dan induk pun relatif sangat sedikit. Tenaga kerja efisien dan efektif, yaitu cukup dua orang untuk kolam dengan luas 800 m2. Konstruksi dasar kolam dilengkapi dengan bak yaitu disebut dengan istilah kobakan berbentuk persegi panjang dengan luas sekitar 0,5 sampai 1,5% dari luas kolam, dan tingginya 50-70 cm. dibuat dekat outlet kolam, dengan fungsi utamanya adalah sebagai tempat berkumpulnya induk dan larva pada saat pemanenan. Saluran dasar kolam (kemalir) dibuat dari inlet hingga ke kobakan yang berfungsi untuk memudahkan induk dan larva dapat berkumpul dalam kobakan pada saat panen. Penampang kolam pemijahan seperti pada Gambar 1. B F G Keterangan: E \ A C A B C D E F G H Panjang kolam Lebar kolam Dasar Kolam Kemalir Kobakan Outlet Kolam Outlet Kobakan Inlet kolam D H Gambar 1. Penampang kolam pemijahan ikan nila 3.1.2. Persiapan Kolam Persiapan kolam untuk kegiatan pemijahan ikan nila antara lain peneplokan/ perapihan pematang agar pematang tidak bocor, meratakan dasar kolam dengan kemiringan mengarah ke kemalir, membersihkan bak kobakan, menutup pintu pengeluaran dengan paralon, pemasangan saringan di pintu pemasukan serta pengisian kolam dengan air. Pemasangan saringan dimaksudkan untuk menghindari masuknya ikan-ikan liar sebagai predator atau kompetitor yang dapat mempengaruhi kuantitas hasil produksi maupun kualitas benih yang dihasilkan. 3.1.3. Pemijahan Langkah pertama dalam pemijahan nila adalah menyeleksi induk yang akan dipijahkan. Kriteria dalam penyeleksian meliputi keaslian jenis nila, kaitan antara umur dan bobot ikan, kenormalan tubuh dan organ serta kesimetrisan bentuk dan jumlah organ. Kriteria lainnya adalah menjaga agar ikan yang dipijahkan tidak sekerabat dan dalam jumlah yang layak untuk dipijahkan. Dalam hal ini, BBAT Sukabumi mengembangkan sistem pengelolaan induk dalam satu unit produksi benih dengan mempertimbangkan bilangan pemijah. Jumlah induk dalam satu populasi pemijahan secara masal disebut satu paket. Satu paket 2 induk berjumlah 400 ekor yang terdiri dari 100 ekor jantan dan 300 ekor betina (Ne = + 150). Penebaran induk dilakukan pada pagi hari saat suhu udara dan air masih rendah. Padat tebar induk adalah 1 ekor/m2, sehingga satu paket induk sebanyak 400 ekor memerlukan lahan untuk pemijahan seluas 400 m2. Satu periode pemijahan berlangsung selama 10-15 hari untuk dapat dilakukan pemanenan larva. Proses pemijahan sendiri dapat berlangsung selama delapan periode pemijahan dengan delapan kali pemanenan larva, tanpa harus mengangkat induk. Setelah akhir periode, induk diangkat dari kolam pemijahan dan dipelihara secara terpisah antara jantan dan betina untuk pematangan gonad selama 15 hari. Selanjutnya paket induk tersebut dimasukkan kembali kedalam kolam pemijahan yang telah dipersiapkan sebelumnya. 3.1.4. Pengelolaan Pakan dan Air Dosis pemberian pakan adalah 3% dari bobot biomas untuk 5 sampai 7 hari pertama pemijahan dan 2-2,5% untuk 5 sampai 7 hari berikutnya sampai panen larva. Penurunan dosis pemberian pakan ini disesuaikan dengan kondisi bahwa sebagian induk betina sedang mengerami telur dan larva. Pakan yang diberikan harus cukup mengandung protein ( 2830%). Selama pemijahan, debit air diatur dalam dua tahap. Debit air dalam 5-7 hari pertama adalah dalam rangka meningkatkan kandungan oksigen dalam air, memacu nafsu makan induk disamping mengganti air yang menguap. Dengan demikian air yang mengalir ke kolam terlimpas ke luar kolam melalui saluran pengeluaran. Sedangkan untuk 5-7 hari kedua debit air hanya untuk mengganti air yang terbuang melalui penguapan sedemikian rupa tanpa melimpaskan air ke luar kolam. Hal ini untuk menghindari hanyutnya larva juga menghindari limpasnya pakan alami yang terdapat di kolam pemijahan, sebagai makanan awal bagi larva. 3.1.5. Panen Larva Panen larva dilakukan setiap sepuluh hari sekali pada pagi hari. Tergantung luas kolam, penyurutan kolam dapat mulai disurutkan sehari sebelumnya. Penyurutan air kolam dilakukan pertama-tama sampai setengah-nya. Sebelum surut total, bak tempat panen larva perlu dibersihkan dari lumpur dengan cara membuka sumbat outlet kobakan. Penyusutan secara total dilakukan sampai air hanya tersisa pada kobakan saja. Induk dan larva akan berkumpul pada kobakan, dan segera dilakukan pengambilan larva menggunakan scoop net. Kemudian larva ditampung sementara dalam hapa ukuran 2 x 2 x 1 m3 dengan mesh size 2,0 mm. Proses pengambilan larva ini dapat dilakukan oleh dua orang. Pemungutan larva dilakukan secara total sampai bersih termasuk yang masih terdapat dalam sarang, dengan cara membongkar sarang dan mengarahkan larva ke kobakan. Sarang tempat pemijahan induk nila yang berbentuk bulat di dasar kolam perlu dihitung untuk menaksir jumlah induk yang memijah dan diratakan kembali. Ukuran larva yang dipanen ada dua ukuran, untuk itu perlu dilakukan sortasi menggunakan hapa mesh size 5,0 mm. Jumlah induk betina yang memijah sebanyak 30-40% dengan perolehan larva sebanyak 60.000-80.000 ekor/paket/10-15 hari Larva ukuran kecil ( 9,0 sampai 13 mm) dapat digunakan untuk tujuan jantanisasi menggunakan pakan berhormon. Sedangkan larva ukuran besar dapat langsung didederkan dalam wadah pendederan dalam produksi ikan normal. 3 3.2. Produksi Benih Nila Kelamin Jantan 3.2.1. Hormonal Secara genetis, jenis kelamin ditentukan oleh gonosom atau kromosom kelamin. Hal ini telah ditetapkan semenjak terjadinya pembuahan. Namun demikian pada masa-masa awal sebelum diferensiasi kelamin, faktor lingkungan sangat berperan dalam mengarahkan ekspresi gen (fenotipe) tanpa mengubah genotipenya. Dengan demikian, pada akhirnya jenis kelamin suatu organisme ditentukan secara bersama oleh gen dan lingkungan. Yamazaki (1983) menyatakan bahwa fisiologi seksual dapat dimanipulasi dengan menggunakan hormon steroid. Secara umum, hormon steroid dapat memanipulasi proses diferensiasi gonad, gametogenesis, ciri-ciri kelamin sekunder, ovulasi dan spermiasi. Namun demikian, secara umum beberapa hal yang mempengaruhi tingkat keberhasilannya antara lain jenis hormon, lama perlakuan, metoda, fase benih/embrio, suhu, teknik perlakuan dan lain-lain. Jenis kelamin ikan nila (Oreochromis niloticus) mengikuti pola XX untuk betina dan XY untuk jantan (Jalabert., dalam Wohlfarth and Wedekind, 1991), demikian pula dengan nila merah yang saat ini dikembangkan di BBAT (Sucipto, 1997). Berdasarkan pola ini, maka dalam populasi keturunannya secara normal akan diperoleh nisbah kelamin dengan perbandingan betina dan jantan, 1 : 1. Namun demikian pada kenyataannya, populasi jantan lebih banyak dibandingkan betina. Kalau populasi ini dipelihara sampai menjadi induk, maka akan terjadi kelebihan populasi jantan. Hal ini dapat dimengerti induk betina dan jantan yang sering diterapkan dalam pemijahan adalah 2:1 sampai 4:1. 17 -Metiltestosteron 17-Metiltestosteron merupakan hormon androgen yang sangat umum digunakan dalam produksi ikan nila kelamin jantan. Pemakaiannya dapat diterapkan baik secara oral melalui penggunaan pakan, maupun dengan perendaman (dipping). Beberapa hal yang terkait dengan cara pembuatan pakan berhormon, cara analisa gonad dan gambar sel telur dan sperma hasil analisa tertera dalam Lampiran. Dosis yang umum digunakan dalam produksi benih nila tunggal kelamin jantan adalah 40 dan 60 mg/kg pakan. Dengan dosis ini, diperoleh benih nila jantan sebanyak 99%. Dosis ini memamg cukup besar, apalagi jika dibandingkan dengan dosis penggunaan hormon secara dipping. Oleh karena itu pada tahun 1998 dilakukan percobaan untuk mencari kemungkinan penggunaan dosis yang lebih rendah pada penggunaan hormon lewat pakan. Percobaan tersebut menghasilkan data bahwa penggunaan hormon 17-metiltestosteron dengan dosis 15 mg/kg pakan yang diterapkan selama 10 hari mampu menghasilkan nisbah kelamin jantan sebanyak 98 %. Dengan demikian, maka dosis tersebut cukup efisien dan efektif dalam kegiatan pengarahan kelamin ikan nila menjadi jantan. Secara dipping, peningkatan efektifitas sex reversal dilakukan dengan penggunaan dosis dan padat tebar selama perlakuan. Dengan padat penebaran larva 1000 ekor per liter saelama 10 jam memperlihatkan bahwa nisbah benih jantan mencapai 80%. Pada percobaan lainnya dengan hormon MT dosis 5 mg/l selama 6 jam menghasilkan nisbah kelamin jantan sebanyak 75% dengan padat tebar 1.000 - 1.500 ekor/liter. 17 -Estradiol Pengubahan kelamin ikan nila dari jantan menjadi betina secara fungsional nampaknya merupakan suatu alternatif pemecahan masalah kekurangan stok betina. Induk betina hasil pembetinaan yang digunakan dalam produksi akan juga bermanfaat untuk meningkatkan produksi benih nila jantan. 4 Hormon yang paling sering digunalan adalah 17-Estradiol. Carman (1998) menyatakan bahwa 17-Estradiol dapat digunakan untuk mengubah kelamin ikan nila baik melalui teknik perendaman maupun melalui oral. Dosis dan lama waktu perlakuan yang digunakan adalah 200 g/l selama 12 jam untuk teknik perendaman dan 100 mg/kg pakan selama 5 minggu untuk pengubahan kelamin melalui oral (pakan). Dengan dosis dan lama waktu perlakuan kedua teknik tersebut diperoleh presentase kelamin betina masing-masing sebesar 83.3 % dan 94 %. Tujuan akhir penggunaan teknik ini adalah mendapatkan benih nila jantan tanpa penggunaan hormon. Namun demikian, proses yang ditempuh cukup panjang dan memakan waktu yang relatif lama. Secara prosedural, teknik tersebut tertera pada Gambar 2. LARVA 17- Estradiol ♀ XX DAN "♀" XY ♀ XX X XY UJI PROGENI BETINA 50 % ♀ 50 % ♂ DIAFKI R "♀" XY X XY 25 % ♀ 50 % XY ♂ 25 % YY SUPER DIAFKIR ♀ XX X XY 50 % ♀ 50 % ♂ UJI PROGENI JANTAN ♀ XX X ♂ SUPER YY 100 % XY ♂ DIAFKIR ♂ SUPER YY TETAP DIPELIHARA Gambar 2. Skema prosedur untuk memproduksi YY supermale 5 Hibridisasi Hibridisasi merupakan perkawinan antar jenis (dalam satu famili), atau antar strain yang bertujuan untuk mendapatkan benih hibrida yang lebih cepat pertumbuhannya daripada kedua induknya (hibrid vigor). Heterosis tidak selalu terjadi bila dilakukan hibridisasi dan efeknya hanya dapat diketahui melalui serangkaian percobaan. Saat ini BBAT Sukabumi memiliki spesies nila yang memungkinkan untuk dilakukan hibridisasi, yakni Oreochromis niloticus (Chitralada) dan Oreochromis aureus (Blue Tilapia). Penerapan teknik hibrida ini secara diagram tertera pada Gambar 3. SISTEM XY ♀ XX SISTEM WZ ♂ ZZ O. niloticus O. aureus SEMUA XZ Gambar 3. Hibridisasi antara Oreochromis niloticus dan Oreochromis aureus 4. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2001. Product profile tilapia. "Expansion of Ecuador's Export Commodities" on Corpei-CBI Project. September 2001. 44p. Carman, O. 1998. Personal Comunication. Don, J., and R.R. Avtalion. 1988. Production of viable tetraploid tilapias using the cold shock technique. Bamidgeh 40:17-21. Hanif, S. dan Sucipto, A. 1999. Rekayasa produksi induk murni dan benih hibrida ikan nila dalam LTH Bagpro Pengembangan Teknologi Budidaya air Tawar Sukabumi 1998/1999. Deptan. Ditjenkan. BBAT ; hal 18-41. Kohler, C.C. 2000. A white paper on the status and needs of tilapia aquaculture in the North Central Region. Southern Illinois University-Carbondale for the North Central Regional Aquaculture Center. 11p. Nurhidayat, M.A., Sucipto, A. 2002. Budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus) berdasarkan konsep SNI. Makalah disampaikan pada pelatihan manajer pengendali mutu di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi tanggal 210-31 Agustus 2002. 11 hal. Sucipto, A. 1996. Pengaruh waktu awal pemberian kejutan panas terhadap keberhasilan tetraploidisasi ikan nila merah (Oreochromis sp.). Tidak dipublikasikan. Sucipto, A. 1997. Karyotipe ikan nila merah (Oreochromis sp.). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. 37 hal. Sucipto, A., Nurhidayat, M.A. 2002. Pengembangan dan diseminasi ikan nila BBAT Sukabumi. Makalah disampaikan pada Pertemuan Lintas UPT Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya tanggal 25-29 Oktober 2002 di Surabaya. 13 hal. Wolfarth, G.W. and H. Wedekind. 1991. The heredity of sex determination in tilapia, Aquaculture, 92: 143-156. Yamazaki, F. 1993. Sex control and manipulation of fish. Aquaculture, 33: 329-354. 6 LAMPIRAN 1 PROSEDUR PEMBUATAN PAKAN BERHORMON Langkah Kerja 1. Mempersiapkan pakan ukuran serbuk, sprayer, alkohol 70%, baki plastik dan timbangan yang akan digunakan. 2. Menimbang pakan (misalnya 1 kg) dengan ukuran butiran berbentuk tepung 3. Menimbang hormon (Misalnya, 17 metiltestosteron) sesuai dengan dosis yang digunakan 4. Melarutkan hormon dengan 300 ml alkohol 70% dan menampungnya dalam sprayer. 5. Menyemprotkan dan meratakan hasil semprotan sedemikian sehingga setiap butiran pakan mengandung hormon. 6. Menguapkan alkohol pada pakan (pakan berhormon tidak boleh terpenetrasi cahaya matahari) 7. Pakan berhormon siap untuk digunakan setelah alkohol menguap dan atau menyimpannya dalam refrigerator suhu 4 oC. 7 LAMPIRAN 2 PEMBUATAN PREPARAT JARINGAN GONAD Langkah Kerja 1 (Membuat larutan asetokarmin) 1. Menimbang Carmin sebanyak 0,5 gram 2. Membuat larutan asam asetat dengan kepekatan 45% sebanyak 100 ml. 3. Melarutkan 0,5 gram Carmin dalam 100 ml asam asetat 45% (selanjutnya disebut asetokarmin) 4. Mendidihkan asetokarmin sekitar 4 menit 5. Menyaring asetokarmin setelah dingin 6. Asetokarmin siap digunakan Langkah Kerja 2 (Membuat preparat jaringan gonad) 1. Mempersiapkan pisau bedah, gunting bedah, pinset, jarum bedah, kertas tissu, objeck glass, penutup objeck glass, mikroskop, ikan sampel dan asetokarmin yang akan digunakan 2. Membunuh ikan sampel dengan cara menusukkan jarum bedah pada kepala mengenai otak 3. Membedah ikan sampel dengan gunting bedah dengan urutan mulai dari lubang feses menuju vertebrae kepala dada 4. Mengambil jaringan gonad yang terletak di bawah vertebrae dengan menggunakan pinset 5. Meletakkan jaringan gonad di atas objeck glass 6. Mencacah jaringan gonad dengan menggunakan pisau bedah 7. Membubuhkan satu tetes larutan asetokarmin di atas cacahan jaringan gonad 8. Membiarkan proses pewarnaan jaringan gonad sekitar 1 menit 9. Menutup jaringan gonad hasil pewarnaan dengan penutup objeck glass 10. Mengamati hasil pewarnaan di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. 8