Perlindungan Industri Dalam Negeri dari Praktik Dumping

advertisement
TESIS
PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI
PRAKTIK DUMPING
DEWA GEDE PRADNYA YUSTIAWAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
TESIS
PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI
PRAKTIK DUMPING
DEWA GEDE PRADNYA YUSTIAWAN
NIM : 0890561077
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI
PRAKTIK DUMPING
Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DEWA GEDE PRADNYA YUSTIAWAN
NIM : 0890561077
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 25 JULI 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Wayan Wiryawan, SH,MH
Dewa Gde Rudy, SH,MH.
NIP. 19550306 198403 1 003
NIP. 19590114 198601 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Putu Sudarma Sumadhi, SH, SU.
NIP. 1956 0419 1983 03 1003
Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K)
NIP. 1959 0215 1985 10 2001
Tesis Ini Telah Diuji
Oleh Panitia Penguji Pada Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal 25 JULI 2011
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1243/UN14.4/HK/2011 Tanggal 14 Juli 2011
Ketua
: Dr. I Wayan Wiryawan., SH., MH.
Anggota :
1. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum.
2. Marwanto, SH., M.Hum.
3. I Ketut Westra, SH., MH.
4. I Gusti Ayu Puspawati, SH., MH.
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
: Dewa Gede Pradnya Yustiawan
Tempat/Tanggal Lahir
: Denpasar/11 Januari 1985
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Alamat
: Dsn. Kawan, Ds.Satra, Kec/Kab. Klungkung.
Nomor Telepon
: 085739000166
Jurusan
: Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis).
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini merupakan hasil karya asli penulis,
tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain,
kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Apabila Penulisan Tesis ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari
hasil karya penulis lain dan / atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat
yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi
akademik dan / atau sanksi hukum.
Demikian surat pernyataan ini penulis buat sebagai pertanggungj awaban
ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, Juli 2011
Yang menyatakan
(Dewa Gede Pradnya Yustiawan)
Nim : 0890561077
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan rasa puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, kasih dan anugerah-Nya, yaitu
selama penulis melaksanakan studi di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana di
Denpasar, dan setelah melalui proses panjang dan jalan yang tidak selalu lurus,
akhirnya penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan
judul “Perlindungan Industri Dalam Negeri dari Praktik Dumping” telah dapat
diselesiakan dengan baik meskipun kurang sempurna.
Selesainya tugas akhir dalam penulisan dan penyusunan tesisi ini, tidak
terlepas berkat dorongan, bantuan, bimbingan, arahan, kerjasama dan dukungan dari
berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada
kesempatan yang baik ini ijinkanlah dengan ketulusan hati penulis menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak yang
berpartisipasi serta memberikan bantuan sampai terselesaikannya tesis ini, terutama
disampaikan kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof.Dr.dr. I Made Bakta, SpPD(KHOM), Rektor Universitas
Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan lanjutan pada Program Studi Ilmu Hukum,
PascaSarjana Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan pada program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana,
3. Bapak Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, SH, SU, Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk menjadi mahasiswa dan mengikuti Program
Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH, MH, Sekretaris Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH. MH. Selaku pembimbing I, sekaligus
sebagai tim penguji dan sebagai Dosen selama penulis mengikuti pendidikan
Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana, yang penuh kesabaran dan
ketelitiannya membimbing penulis di dalam penguasaan teori dan kedalaman
penalaran,
serta
ketepatan
metodologi,
sistematika
pemikiran
serta
kesimpulan, yang ditengah-tengah kesibukannya masih meluangkan waktu
untuk memberi bimbingan substansi tesis dan arahan di dalam penelitian,
penyusunan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
6. Bapak Dewa Gde Rudy, SH. MH, selaku pembimbing II, sekaligus sebagai
Tim penguji dan sebagai Dosen selama penulis mengikuti pendidikan
Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana, yang dengan penuh perhatian,
kesabaran dan secara teratur serta berkesinambungan telah memberikan
bimbingan dan saran di dalam orisinalitas penelitian dan sumbangannya
terhadap khasanah ilmu hukum, kepada penulis di dalam menyelesaikan tesis
ini.
7. Para tim penguji tesis, Bapak Dr. Wayan Wiryawan, SH.,MH. Bapak Dewa
Gde Rudy, SH.,M.Hum. Bapak Marwanto, SH.,MHum. Bapak I Ketut
Westra, SH.,MH. Dan Ibu I Gusti Ayu Puspawati, SH., MH. sebagai penguji
dan penelaah proposal tesis ini, yang dengan teliti mengkritisi tulisan tesis ini
dan yang telah banyak membantu dan memberi segala saran/masukanmasukan dan petunjuk yang bermanfaat bagi penulis di dalam menyelesaikan
penelitian / tesis penulis ini.
8. Kepada para Guru Besar dan seluruh Dosen Program Magister Ilmu Hukum
Universitas udayana, yang tidak dapat penulis sebutkan nama beliau satu
persatu, yang telah berkenan memberikan wawasan keilmuan khususnya Ilmu
Hukum, sistematika pemikiran, kepada penulis selama penulis mengikuti
perkuliahan dan memberikan dukungan dan arahan di dalam ketepatan
metodologi dan kaidah-kaidah penulisan tesis, sehingga dapat membantu
penyelesian tesis ini.
9. Bapak, Ibu seluruh staff administrasi program Pascasarjana Magister Ilmu
hukum, yang telah memberikan pelayanan dan membantu dalam segala hal
administrasi guna penyelesaian program pascasarjana pada Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
10. Teristimewa penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada kedua orang
tua, Bapak Ngakan Ketut Dunia, SH, MH. dan Ibu Anak Agung Ayu Wartini,
SH., yang tidak pernah jenuh dalam membesarkan, mendidik, memberikan
dorongan, dan memberikan nasehat yang terbaik sehingga menjadi motivator
serta selalu mendoakan agar penulis bisa dengan segera menyelesaikan
pendidikan pascasarjana Magister Ilmu Hukum dan menumbangkan ilmu
pengetahuannya, dan juga kepada kedua kakak-kakak penulis yaitu Dw. Ayu
Dewi Hermayanti,SE beserta suami, Dewa Gede Trisna Yuniawan, S.Kom
beserta Istri yang telah memberikan banyak dorongan dan bantuannya kepada
penulis.
11. Kepada yang tercinta Desak Nyoman Sri Lestari, Amd.Keb, beserta kedua
orang tua dan keluarga yang telah banyak membantu penulis dan memberikan
dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
12. Teman-teman kuliah Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Angkatan
2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih untuk
semuanya.
Akhirnya Kepada semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu
persatu yang telah membantu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan dan
melimpahkan RahmatNya, kepada kita semua dan semoga ilmu yang penulis dapatkan
bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara, serta dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi perkembangan ilmu hukum. Terimakasih.
Denpasar, Juli 2011
Penulis
ABSTRAK
Perlindungan Industri Dalam Negeri dari Praktik Dumping
Dumping dalam perdagangan internasional merupakan perjanjian yang tidak
jujur (unfair competition) yang biasa ditempuh oleh pengusaha, yaitu dengan menjual
hasil produksinya di luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan
harga penjualan di dalam negeri, agar dapat merebut konsumen sebanyak mungkin
praktik dumping yang dilakukan oleh pengusaha tersebut berakibat pada timbulnya
kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.
Untuk menghindari terjadinya kerugian perlu adanya upaya-upaya yang
dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.
Permasalahannya adalah bagaimanakah pengaturan perlindungan terhadap industri
dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping apakah yang
dijadikan ukuran dalam menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis dari praktik dumping, dan upaya apakah yang dapat
dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang
dirugikan akibat terjadinya praktik dumping.
Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping sehingga dapat diperoleh
gambaran mengenai peraturan perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi
barang sejenis dari praktik dumping, kriteria yang dijadikan ukuran adanya kerugian
dan upaya-upaya yang dilakukan oleh produsen dalam negeri akibat terjadinya praktik
dumping.
Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis dengan
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu didalam pembahasan
masalah disamping menggunakan atas ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
(Undang-undang), juga dikaitkan dengan kenyataan yang ada dalam praktik
perdagangan dan pendekatan analisis konsep.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan perlindungan industri dalam
negeri dari praktik dumping adalah pengaturan dalam GATT (General Agreement on
Tariffs and Trade) dan WTO ( World Trade Organization), dan pengaturan dalam
hukum nasional. Kriteria yang dijadikan ukuran dalam menentukan adanya kerugian
bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping
adalah kerugian material, ancaman akan terjadinya kerugian nyata yang akan dialami
oleh industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan terhalangnya
pengembangan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Upaya yang
dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik
dumping adalah mereka dapat menempuh prosedur-prosedur yang telah dinyatakan
oleh Peraturan Pemerintah No.34 tahun 1996.
Kata Kunci : Industri dalam negeri, praktik dumping.
ABSTRACT
The Protection of Domestic Industry from the Dumping Practice
Dumping in international trading is an unfair competition which is commonly
adopted by the entrepreneurs, that is by selling their product abroad with lower price
then in domestic, in attention to have more customer. The strategy of dumping which
is done by the entrepreneur gives an effect of financial loss to the domestic industries
that produce the similar product.
To avoid the financial loss, the producers who produce the similar product
need to do some effort. The problems are how is the control of protection for the
domestic industries that produce the similar product, what is the measurement in
establishing the financial loss for the domestic industries from the practice of
dumping, and what effort can be done by the domestic producer who are suffered a
financial loss because of the practice of dumping.
Therefore this research is aimed to know and understand the protection of
domestic industries from the practice of dumping in purpose to have the regulation of
domestic industrial protection that produce the similar product and the criteria for the
measurement of the financial loss and the efforts which are done by the producers as
the effect of the practice of dumping. The specification of this research is a descriptive
analytic with the juridical normative method which means that in the analysis of the
problems above are using rule of law, which is also connected with the reality that
happen in the practice of trading and analytical concept method.
The result of this research show that the regulations of the domestic industrial
protection from the practice of dumping are the regulation in GATT and WTO and
national law regulation. The criteria for the measurement in stating the financial loss
of the domestic industries which produce the similar product from the practice of
dumping are the financial loss, the threat of a real financial loss wich will be faced by
the domestic industries that produce the similar product and the obstruction of the
development of the domestic industries. The effort to avoid the practice of dumping
that can be done by them is to follow the government procedures which have been
stated in the government regulation No. 34.
Key Words : Domestic Industry, Practice Of Dumping.
RINGKASAN
Perdagangan internasional atau perdagangan antarnegara dewasa ini
mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan semakin bertambahnya
hubungan dagang yang dilakukan antar lintas batas-batas negara yang dilakukan oleh
para pelaku usaha dengan melakukan suatu sistem tertentu dan spesifik. Dalam usaha
membangun hubungan perdagangan lintas negara agar terciptanya hubungan yang
harmonis dan perdangan yang tertib maka perlu dibuat keentuan-ketentuan yang
bersifat mengatur agar terciptanya suatu perdagangan yang fair. Tujuan dari penelitian
tesis ini mengkaji tentang prinsip-prinsip hukum dalam perlindungan industri dalam
negeri dari praktik dumping. Tesis ini terdiri dari Bab I sampai dengan Bab V.
Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis,
metode penelitian, jenis penelitian,jenis pendekatan, sumber bahan hukum, dan teknis
analisis bahan hukum. Permasalahan yang diteliti adalah : bagaimanakah pengaturan
perlindungan terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari
praktek dumpig. Selain itu bagaimanakah kriteria penentuan harga normal dan
penentuan kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis
menurut GATT/WTO. Serta upaya apakah yang dapat dilakukan oleh produsen dalam
negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik
dumping. Pengkajian terhadap ketiga permasalahan dikualifikasikan sebagai
penelitian hukum normatif dengan pendektan peraturan-peraturan dan pendekatan
konsep.
Bab II tinjauan umum tentang kerugian (injury) dan instrumen yang digunakan
untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, yang menguraikan
tentang dumping, pengertian dumping, jenis-jenis dumping, barang dumping, dan
Batas Harga Dumping ( Margin of Dumping).
Bab III adalah bab yang menguraikan tentang kerugian (injury) dan instrumen
yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping yang
membahas tentang kerugian (injury) yang meliputi pengertian kerugian (injury),
Hubungan Kausalitas (Causality) Antara Kerugian (Injury) dan Barang Dumping,
kemudian pembahasan mengenai Instrumen Yang digunakan Untuk Melindungi
Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping yang menguraikan tentang anti
dumping, subsidi, dan pembahasan mengenai safeguard.
Bab IV menjelaskan mengenai kebijakan pemerintah berkaitan dengan
tuduhan dumping oleh produsen indonesia kepada negara pengesport. Pada bab IV
membahas mengenai pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), yang
menguraikan mengenai dasar hukum pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia
(KADI), struktur kelembagaan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), tugas pokok
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), penyelidikan oleh Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI). Pembahasan selanjutnya menguraikan tentang pengenaan bea
masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, bea
masuk pembalasan, pengaturan dan penetapan, yang menjelaskan mengenai
pengenaan bea masuk anti dumping, pengenaan bea masuk imbalan, pengenaan bea
masuk tindakan pengamanan, pengenaan bea masuk pembalasan, dan pembahasan
terakhir menguraikan tentang pengaturan dan penetapan.
Bab V merupakan Bab terakhir yaitu Bab penutup, dari penulisan dan
penelitian ini yang meliputi : kesimpulan dan saran. Berdasarkan hasil pembahasan
terhadap permasalahan pada Bab II, Bab III dan, Bab IV dapatlah diambil kesimpulan
bahwa :
1. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 7 tahun 2006 ketentuan Bab
IV ditambahkan dengan bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk imbalan, dan
bea masuk pembalasan, produk-produk hukum lainnya yang terkait dengan upaya
perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping adalah peraturan pemerintah
nomor 34 tahun 1996 tentang bea masuk Anti Dumping dan bea masuk imbalan
sebagai hukum materialnya, yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya beberapa
keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan, yaitu keputusan menteri
perindustrian dan perdagangan nomor 261/MPP/Kep/9/1996 sebagai hukum
formalnya. Keputusan menteri Perindustrian dan perdagangan nomor
427/MPP/Kep/10/2000 mengenai pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia
(KADI). Disamping keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, juga
dikeluarkan keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang tindakan pengamanan
industri dalam negeri akibat lonjakan import. Peraturan-peraturan tersebut walaupun
bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri yang memproduksi barang-barang
sejenis dari praktek dumping, tetapi sampai saat ini belum ada peraturan khusus dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur anti dumping sebagai hukum
nasional.
2. Hasil penyelidikan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) ada yang
ditutup karena Komite Ani Dumping Indonesia (KADI) mengalami kesulitan untuk
membuktikan adanya kerugian (injury). Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
belum bisa mendifinisikan pengertian pengertian (injury) bagaimana suatu kinerja itu
bisa menyebabkan kerugian (injury), keadaan tersebut akan menimbulkan penafsiran
yang berbeda-beda bagi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
3. Upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi
barang sejenis yang mengalami kerugian atau ancaman kerugian karena adanya
barang impor yang dijual secara dumping atau mengandung subsidi dapat mengajukan
permohonan perlindungan kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) baik
secara perorangan atau kelompok.
Dari uraian tersebut diatas, maka perlu disarankan sebagai berikut :
1. untuk dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap industri
dalam negeri yang memproduksi barang sejenis terhadap persaingan barang perlu
segera dibuat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang anti dumping
sebagai hukum nasional.
2. Batasan kerugian yang timbul akibat praktik dumping cukup dibatasi sampai
pada kerugian nyata (material injury), dimana industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian sebagai akibat
adanya barang dumping.
3. Oleh karena masih lemahnya pemakaian istrument WTO oleh produsen
dalam negeri yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terutama mengenai tata
cara mengajukan bea masuk anti dumping (BMAD), tindakan anti subsdi, dan
tindakan safeguard, maka instansi pemerintah terkait perlu meningkatkan sosialiasi
sebagai ketentuan perdagangan yang disepakati WTO, sehingga dapat tercipta sistem
perdagangan yang se
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI....................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN………………………………………..…. v
UCAPAN TERIMAKASIH.................................................................................... vi
ABSTRAK.............................................................................................................. vii
ABSTRACT........................................................................................................... viii
RINGKASAN.......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI............................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
1.2. Orisinalitas Penelitian......................................................................... 12
1.3. Rumusan Masalah............................................................................... 16
1.4. Ruang Lingkup Masalah..................................................................... 17
1.5. Tujuan Penelitian................................................................................ 17
1.5.1. Tujuan Umum.................................................................... 17
1.5.2. Tujuan Khusus................................................................... 18
1.6. Manfaat Penelitian.............................................................................. 18
1.6.1. Manfaat Teoritis................................................................. 18
1.6.2. Manfaat Praktis.................................................................. 18
1.7. Landasan Teoritis................................................................................ 19
1.8. Metode Penelitian................................................................................ 36
1.8.1. Jenis Penelitian................................................................... 36
1.8.2. Jenis Pendekatan................................................................ 39
1.8.3. Sumber Bahan Hukum....................................................... 40
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum................................. 41
1.8.5. Teknis Analisis Bahan Hukum........................................ 42
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING.................................... 44
Pengertian Dumping..................................................................................... 44
Jenis-Jenis Dumping..................................................................................... 48
Barang Dumping........................................................................................... 54
Batas Harga Dumping (Margin Of Dumping)............................................... 58
BAB III PENENTUAN KERUGIAN (INJURY) DAN INSTRUMEN
YANG DIGUNAKAN UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI
DALAM NEGERI DARI PRAKTIK DUMPING.............................. 62
3.1.
Kerugian (Injury)............................................................................. 62
3.1.1. Pengertian Kerugian (Injury)............................................... 62
3.1.2. Hubungan Kausalitas (Causality) Antara Kerugian
(Injury) Dan Barang Dumping.............................................. 62
3.2.
Instrumen Yang Digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam
Negeri Dari Praktik Dumping......................................................... 66
3.2.1. Anti Dumping..................................................................... 69
3.2.2. Subsidi................................................................................ 92
3.2.3. Safeguard........................................................................... 97
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH BERKAITAN DENGAN TUDUHAN
DUMPING OLEH PRODUSEN INDONESIA KEPADA NEGARA
PENGEKSPOR...................................................................................... 108
4.1.
Pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)................ 108
4.1.1. Dasar Hukum Pembentukan Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI)............................................................... 108
4.1.2. Struktur Kelembagaan Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI)................................................................. 110
4.1.3
Tugas Pokok Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).... 112
4.1.4
Penyelidikan Oleh Komite Anti Dumping Indonesia
(KADI)................................................................................ 115
4.2. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea
Masuk Tindakan Pengamanan, Bea Masuk Pembalasan, Pengaturan
Dan Penetapan...................................................................................... 119
4.2.1. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping................................ 119
4.2.2. Pengenaan Bea Masuk Imbalan.......................................... 131
4.2.3. Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan.................. 133
4.2.4. Pengenaan Bea Masuk Pembalasan................................... 137
4.2.5. Pengaturan dan Penetapan..................................................137
BAB V PENUTUP.............................................................................................. 146
5.1. Simpulan............................................................................................... 146
5.2. Saran..................................................................................................... 147
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-Lampiran.
Lampiran I.
Komite Anti Dumping Indonesia Format Permohonan
Penyelidikan Anti Dumping.
Lampiran II.
Article XIX Of GATT 1994 Agreement On Safeguards.
Lampiran III. Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan
Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan
Impor.
Lampiran IV. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 85/MPP/Kep/2/2003, Tentang Tata Cara dan
Persyaratan Permohonan Penyelidikan Atas Pengamanan
Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan
internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Dinamika
perdagangan internasional diikuti dengan berbagai permasalahan yang kompleks
sebagai konsekuensi dari suatu hubungan perdagangan yang wajar terjadi dalam dunia
bisnis. Ciri khas perdagangan internasional adalah adanya hubungan dagang yang
dilakukan antar lintas batas-batas negara yang dilakukan oleh para pelaku usaha
dengan mengikuti suatu sistem tertentu dan spesifik. Jika berbicara tentang
perdagangan internasional, hal itu tidak akan lepas dari eksistensi suatu sistem. Dalam
perdagangan internasional, eksistensi suatu sistem merupakan patron yang
membentuk dan mengarahkan kegiatan-kegiatan perdagangan ke dalam tujuan-tujuan
tertentu yang diinginkan1.
Dalam upaya membangun hubungan perdagangan lintas negara yang tertib,
perlu dibuat ketentuan-ketentuan yang berupa aturan-aturan hukum yang bersifat
mengatur yang diterima sebagai suatu kesepakatan bersama yang bertujuan menjamin
agar terciptanya suatu perdagangan yang fair. Aturan hukum yang dimaksud berfungsi
sebagai acuan (guidance) yang berlaku secara umum yang harus ditaati dan diawasi
dan diberlakukan secara tegas untuk mengeliminasi atau mengurangi penyimpanganpenyimpangan yang dapat terjadi dalam hubungan perdagangan internasional. Selain
itu yang tak kalah pentingnya adalah adanya eksistensi lembaga/organisasi yang
1
Christhophorus Barutu, 2007, Sejarah Sistem Perdagangan Internasional (Dari Upaya
Pembentukan Internasional Trade Organization, Eksistensi General Agreement On Tariffs and Trade
Sampai Berdirinya World Trade Organization), Jurnal Hukum Gloris Juris, Fakultas Hukum
Universitas Katholik Atmajaya, Volume 7, Nomor 1, 1 Januari 2007, April, Jakarta,(Selanjutnya
disebut Christhophorus Barutu 1), h.5.
memiliki kekuatan hukum yang mampu mengatur segala masalah yang terkait dalam
perdagangan internasional.
Keinginan lahirnya suatu organisasi perdagangan yang bersifat multilateral
telah lama timbul untuk mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan
perdagangan global yang melibatkan kepentingan negara-negara di dunia yang
memiliki komitmen bersama mewujudkan perdagangan internasional yang fair dan
adil. Untuk mewujudkan integrasi sistem perdagangan dunia, beberapa negara besar
mencoba untuk membentuk organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk
mengatur dan mengawasi suatu sistem perdagangan dunia yang ideal, yang dimualai
dari upaya pembentukan Internasional Trade Organization (ITO), General Agreement
on Tariffs and Trade (GATT) 1947, sampai terbentuknya World Trade Organization
(WTO). Upaya pembentukan organisasi perdagangan dunia ini mencerminkan adanya
keinginan yang kuat untuk mewujudkan suatu sistem perdagangan yang fair.
The World Trade Organization (www.wto.org), the succecor to the General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT), was established in 1995 as the principle
international body administering trade agreement among member states. The WTO
acts as a forum for trade negotiations, seek to resolve trade disputes, and oversees
national trade policies. It is governed by a ministerial conference, which meets every
two year, while most operations are handled by its general counsil2.
Membajirnya barang impor ilegal telah membuat produsen domestik menjadi
kurang bersemangat untuk berproduksi, dan karena alasan inilah yang menjadikan
mereka berubah menjadi importir. Barang-barang ilegal tersebut masuk ke Indonesia
bagaikan air hujan yang membanjiri pasar domestik dalam jumlah yang sangat besar.
Para produsen domestik merasa terjepit dengan adanya perdagangan yang tidak adil
2
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, ST.Paul, Min,
2000, h.305
(unfair Trade) kompetisi seperti ini, mereka merasa adanya ketidak adilan dan merasa
adanya perebutan pasar domestik oleh para importir ilegal3.
Walaupun semua negara anggota WTO telah sepakat untuk menciptakan
perdagangan dunia yang bebas, dimana semua hambatan perdagangan baik berbentuk
tarif maupun non tarif dihapuskan. Maka arus barang dapat masuk ke semua negara
dengan bebas, persaingan dalam merebut pasar menjadi semakin ketat, kemungkinan
praktek perdagangan yang tidak sehat seperti dumping, subsidi dan manipulasi
dokumen dapat saja terjadi, walaupun anggota WTO diwajibkan untuk melakukan
suatu perdagangan yang sehat (Fair Trade). Globalisasi perdagangan menuntut
kesiapan setiap anggota untuk bersaing secara sehat dan terbuka4.
Pesatnya dinamika perkembangan perdagangan internasional menyisakan
sejumlah permasalahan sebagai implikasi dari kegiatan perdagangan internasional itu
sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat mengkristal dan menjadi
hambatan (barrier) yang dapat mendorong terjadinya degradasi hubungan yang
harmonis dalam hubungan perdagangan internasional. Dalam hubungan perdagangan
internasional antarnegara, komitmen dalam mewujudkan perdagangan yang jujur dan
fair merupakan tuntutan sangat penting yang tidak boleh diabaikan. Masalah-masalah
terbesar yang mudah diidentifikasi dan yang paling sering terjadi adalah justru terkait
dengan pelanggaran prinsip kejujuran dan fair yang mengakibatkan terjadinya praktik
dagang yang tidak sehat (Unfair Trade Practices) dalam melaksanakan aktifitas
perdagangan internasional5.
3
Direktorat Impor Ditjen Perdagangan Luar Negeri, 2003, Sosialisasi Mal Praktek/ Unfair
Trade, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Juli 2003, h.1.
4
Ibid.
5
Christhophorus Barutu, 2007, Antidumping dalam General Agreement on Tariff and Trade
(GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Yogyakarta,
(Selanjutnya disebut Christhophorus Barutu 2),h.53.
Ada banyak praktik perdagangan yang tidak sehat yang terjadi dalam
hubungan perdagangan internasional dan yang paling banyak disorot adalah masalah
dumping. Praktik dumping telah lama ditempatkan sebagai salah satu praktik dagang
yang curang yang terjadi dalam konteks perdagangan internasional yang
menimbulkan kerugian dan dapat memukul dunia usaha suatu negara tempat praktik
dumping itu terjadi. Dengan menjual suatu jenis barang produksi ekspor dengan harga
lebih rendah dari harga pasar dalam negeri, (negara pengimpor)
mengakibatkan
matinya pasar barang sejenis dalam negeri. Hal ini membuat barang-barang sejenis
tersebut tidak lagi dapat bersaing secara kompetitif dan fair akibat perbedaan harga
yang sangat drastis. Namun, dibalik itu semua hanya praktik dumping yang
menimbulkan kerugian yang dapat dikategorikan sebagai unfair trade practices.
Bagi pelaku usaha yang melakukan ekspor yang terkena tuduhan dumping
dapat berakibat berkurangnya ekspor, berkurangnya omzet penjualan, berkurangnya
keuntungan yang didapat, wajib menanggapi serta memberikan informasi dan datadata yang diperlukan dalam penyelesaian sengketa dumping melalui World Trade
Organization (WTO). Kemerosotan pendapatan, lebih jauh dapat mengakibatkan
penurunan daya bayar perusahaan terhadap ongkos tenaga kerja, penurunan
pembiayaan perusahaan, akhirnya penurunan daya produksi dan daya ekspor6.
Praktik dumping merupakan tindakan yang jelas-jelas dapat menimbulkan
kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara yang mana setiap
negara memerlukan perlindungan (protection) yang memadai, sehingga lahirlah suatu
instrument kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping.
Dumping adalah suatu praktik penjualan barang di suatu pasaran ekspor dengan lebih
6
Ida Bagus Wyasa Putra, 1997, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi
Bisnis Internasional , Refika Adiatma, Bandung, h. 14.
rendah dari harga penjualan di pasar domestik, atau di bawah biaya produksi7.
Kebijaksanaan anti dumping merupakan ketentuan-ketentuan yang menyoroti praktik
dumping dan penjatuhan sanksi/hukuman terhadap pelaku praktik dumping dalam
konteks perdagangan internasional.
Ketentuan GATT / WTO tahun 1994 mengatur kesepakatan menghapus
hambatan perdagangan tersebut. Namun demikian masih ada juga perusahaan yang
melakukan kegiatan curang, dengan menjual barang yang harganya ditekan serendah
mungkin untuk dijual di negara lain yang mana barang tersebut juga diproduksi oleh
perusahaan lain, tetapi untuk penjualan dalam negeri harga yang ditawarkan masih
sama dengan perusahaan pesaingnya. Hal ini bertujuan untuk merebut pangsa pasar
luar negeri atau negara lain agar memilih untuk bekerja sama tentunya dengan
perusahaan mana yang menjual barang dengan harga yang lebih rendah dari
pesaingnya.
Kini ditambah lagi dengan semakin berkembang dan terbukanya pasar bebas
yang mengharuskan negara Indonesia juga terbuka dengan dunia perdagangan bebas
yang terkadang menjatuhkan harga-harga barang yang sama di pasaran dengan harga
barang perusahaan pesaingnya. Tujuan inilah yang sering dikenal dengan praktek
dumping. Dumping dalam perdagangan internasional dipandang sebagai perbuatan
curang, yakni merupakan persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Dumping
merupakan strategi persaingan yang biasa ditempuh oleh pengusaha, yakni strategi
persaingan harga (price competition). Pengusaha menjual hasil produksinya di luar
negeri dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga penjualan di
dalam negeri. Agar dapat merebut konsumen sebanyak-banyaknya maka pengusaha
7
Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Republik Indonesia,
1992, Anti Dumping Code Latar Belakang Penafsiran dan Tinjauan atas Sejumlah Tuduhan Terhadap
Indonesia, Proyek Pengembangan Perdagangan Luar Negeri pusat, Departement Perdagangan Republik
Indonesia , Jakarta, h. 1
menempuh strategi persaingan harga dengan menekan harga serendah mungkin untuk
barang sejenis dengan perusahaan lain.
Selain strategi persaingan harga, dikenal pula strategi persaingan bukan harga
(non price competition) persaingan bukan harga ini dapat ditempuh dengan advertasi,
kualitas, atau atribut lainnya seperti kemasan, warna, aroma, dan lain-lain. Dampak
persaingan yang tidak jujur (unfair competition) dapat merugikan berbagai pihak /
negara dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk
mengembangkan persaingan yang jujur dalam perdagangan internasional. Untuk
mencapai hal tersebut maka munculah GATT (General Agrement on Tariff and
Trade) GATT merupakan suatu persetujuan multilateral yang menentukan peraturan
perdagangan
internasional
dengan
tujuan
untuk
menciptakan
perdagangan
internasional yang bebas, terbuka dan kompetitif. Anggota GATT terdiri dari negaranegara yang ikut menandatangani dan menerapkan peraturan-peraturan yang telah
ditandatangani (contracting parties).
Prinsip utama GATT adalah tidak ada diskriminasi (non discrimination) yang
tercantum dalam klausa Most Favoured Nation (MFN). Prinsip ini mengharuskan
setiap negara penandatangan persetujuan peraturan GATT memberikan perlakuan
yang sama dalam kebijakan perdagangan internasional kepada negara penandatangan
lain. Kelonggaran tarif yang diberikan kepada suatu negara atas dasar perjanjian
bilateral, haruslah diberikan juga kepada negara penandatangan lain tanpa adanya
perjanjian
terlebih
dahulu.
Apabila
terjadi
perselisihan
di
antara
negara
penandatangan, GATT merupakan forum untuk konsultasi dalam penyelesaian
sengketa (dispute settlement) dan juga mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan
yang telah ditandatangani.
Indonesia merupakan salah satu negara anggota organisasi perdagangan dunia
(The World Trade Organization/WTO), karena telah meratifikasi Agreement
Establishing the World Trade Organization sebagaimana diwujudkan dalam UU No. 7
tahun 1994. Sebagai negara anggota WTO, Indonesia harus mematuhi peraturan
peraturan organisasi perdganan dunia tersebut. Keanggotaan tersebut membawa
konsekuensi dikenakannya persetujuan-persetujuan yang ada dalam WTO. Salah satu
persetujuan dalam WTO adalah persetujuan tentang pelaksanaan pasal IV dari
persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan 1994. Isi persetujuan tersebut
berkenaan dengan dumping dan anti dumping.
Indonesia termasuk negara yang mendapat tuduhan melakukan praktik
dumping dari berbagai negara dalam perdagangan internasional. Berdasarkan data
dari pusat data bisnis indonesia, pada tahun 1996 ada tiga puluh empat komoditi
ekspor indonesia yang dituduh melakukan praktek dumping. Tuduhan praktek
dumping paling banyak dilakukan oleh Australia, hal tersebut tidaklah mengherankan
karena dalam skala internasional Australia merupakan negara pengaju anti-dumping
terbesar (kompas, edisi 11 Oktober 1996).
Kejayaan jepang sebagai raksasa perdagangan dunia saat ini, disebabkan
karena keberhasilannya dalam memproteksi produksi dalam negeri sembari
melakukan praktek dumping. Amerika Serikat yang menjadi pelopor dan lokomotif
dari perdagangan dunia yang bebas, menurut James Bovard dalam bukunya “The Fair
Trade Fraud”, sesungguhnya menerapkan berbagai proteksi tarif maupun non tarif
terhadap
perusahaan-perusahaan
Amerika
dari
saingannya.
Dengan
adanya
kesepakatan multilateral tentang penghapusan rintangan dagang baik berupa tarif
maupun non tarif berakibat pada terbukanya pasar masing-masing negara. Dalam
memanfaatkan peluang pasar tersebut banyak pemerintah memberikan insentif yang
berlebihan dan perusahaan melakukan praktik-praktik dagang yang tidak sehat (unfair
trade practice) yang bertentangan dengan kesepakatan WTO.
Seiring dengan semakin liberalnya pasar global, praktik dagang yang tidak
sehat semakin marak dan setiap negara mulai sadar dan merasa perlu untuk memberi
perlindungan terhadap industri dalam negeri dan perdagangan dalam negerinya.
Praktik perdagangan yang tidak sehat, termasuk praktik dumping dan atau subsidi
yang dilakukan negara eksportir mengakibatkan kerugian (injury) bagi dunia usaha
dan industri dalam negeri barang sejenis di negara pengimpor. Guna melindungi
industri dalam negeri dari serbuan tuduhan praktik dumping, maka dibentuklah
Komite Anti Dumping Indonesia (selanjutnya disingkat dengan KADI). Tugas pokok
KADI yaitu melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping dan
atau barang mengandung subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam
negeri barang sejenis. Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi
mengenai dugaan adanya barang dumping dan atau barang mengandung subsidi.
Mengusulkan pengenaan bea masuk anti dumping dan atau bea masuk imbalan
kepada menteri perdagangan, sedangkan fungsi KADI yaitu merumuskan kebijakan
penanggulangan impor barang dumping dan atau barang mengandung subsidi.
Meneliti dan melakukan konsultasi penyelesaian berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan impor barang dumping dan atau barang mengandung subsidi.
Mengawasi pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan impor
barang dumping dan atau barang mengandung subsidi. Fakta yang sekarang terjadi
adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk
menjad makmur, sejahtera dan kuat8.
8
h.2.
Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Dengan adanya KADI diharapkan dapat membantu industri dalam negeri
Indonesia yang berhadapan dengan barang impor yang masuk ke Indonesia dengan
cara yang tidak fair yaitu dengan dumping maupun dengan perolehan subsidi dari
pemerintah negara pengekspor. Manfaat adanya instrumen anti dumping dan anti
subsidi bagi Indonesia yakni dapat melindungi industri dalam negeri yang
menghadapi barang impor yang diduga dumping maupun mengandung subsidi. Di
lain pihak instrumen tersebut juga dapat digunakan negara lain untuk menghambat
barang ekspor Indonesia yang masuk ke negaranya9. Bilamana produsen / eksportir
indonesia berhadapan dengan tuduhan dumping dan subsidi dari suatu negara maka
selain produsen / eksportir indonesia harus membela diri, pemerintah indonesia juga
memberikan pembelaan. Institusi pemerintah yang mempunyai tugas melakukan
pembelaan terhadap tuduhan dumping, subsidi maupun safeguard yaitu Departemen
Perindustrian dan perdagangan c.q direktorat pengamanan perdagangan, Ditjen
Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional (KIPI)10.
Pemerintah diminta lebih serius dalam melindungi industri dalam negeri,
terutama dalam menggunakan berbagai instrumen kebijakan impor, untuk
memberikan proteksi bagi produksi dalam negeri. Sekalipun indonesia terikat dengan
WTO dan mendukung perdagangan bebas, bukan berarti menjadi halangan untuk
melakukan proteksi. Masih banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus melanggar
perjanjian WTO. Kehadiran Undang-undang anti dumping sangat di harapkan dalam
menghadapi perdagangan bebas walaupun selamana ini sejak tahun 1996 Indonesia
telah mempunyai ketentuan yang mengatur tentang bea masuk anti dumpig dan bea
masuk imbalan (Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996). Namun perlu diketahui
bahwa Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 merupakan salah satu peraturan
9
Direktorat Pengamanan Perdagangan, 2003, Unfair Trade Practices dumping & Subsidy,
nurlaila, Yogyakarta 28 Juli 2003, h. 3.
10
Ibid, h.4
pelaksana dari Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, sedangkan
masalah dumping merupakan masalah yang kompleks, yaitu tidak hanya berkaitan
dengan masalah kepabeanan tetapi masih banyak keterkaitan dengan masalah lain,
misalnya masalah mutu barang, politik, keuangan, kebijakan, dan sebagainya.
Dalam menerapkan ketentuan anti dumping berdasarkan GATT-WTO,
Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 kurang mengakomodasi semua ketentuan
GATT-WTO tentang anti dumping. Prosedur penyelesaian sengketa GATT pada
dasarnya mempunyai tiga tujuan, yaitu realisasi dari tujuan GATT, perlindungan
keuntungan yang berasal dari perjanjian, dan untuk penyelesaian sengketa itu
sendiri11, sehingga masih adanya kekaburan yang perlu penafsiran-penafsiran
terutama dalam penentuan harga normal, kerugian (Injury), dan Causal Link sehingga
tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada produsen dalam negeri
dimana dalam kasus tindakan dumping sering kali merugikan produsen dalam negeri
yang memproduksi barang sejenis.
Pada penelitian perlindungan industri dalam negeri dari praktik dumping ini
ternyata belum ada peraturan perundang-undangannya yang secara khusus mengatur
mengenai masalah dumping sebagai hukum nasional dalam arti terdapat kekosongan
hukum, atau lebih tepatnya lagi disebut kekosongan undang-undang.
1.2. Orisinilitas Penelitian.
Penelitian tentang “Perlindungan Industri Dalam Negeri Dari Praktik
Dumping” dilakukan untuk mengetahui : (1). Bentuk pengaturan perlindungan
terhadap ndustri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik
dumping, (2). Cara penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri yang
11
Faisal Salam, 2007, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional,
Mandar Maju, Bandung, h. 442.
memproduksi barang sejenis, (3). Upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam
negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik
dumping. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum
normatif dengan tujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Jenis
pendekatan yang digunakan adalah : (1). Pendekatan perundang-undangan (statue
Approach), (2). Pendekatan perbandingan (Comparative Approach), (3). Pendekatan
analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach), (4). Pendekatan konsep
(conseptual Approach).
Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian
yang berkaitan dengan dumping adalah dapat dijumpai pada penelitian yang
dilakukan oleh Umi martina dalam rangka penulisan tesis untuk penyelesaian studi
Pada Program Studi Magiter (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana Konsentrasi Hukum Bisnis (2011). Umi martina menuis tentang “
Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Pelaku Usaha Indonesia Dalam Kasus
Dumping” permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1). Apakah pengaturan
penyelesaian sengketa dumpinf menurut World Trade Organization (WTO) telah
menjamin perlindungan hukum bagi kepentingan pelaku usaha Indonesia yang terkena
tuduhan dumping. (2). Bagaimakah pengaturan putusan penyelesaian sengketa
dumping melalui World Trade Orgaization (WTO) agar pengaturan tersebut dalam
praktik secara nyata dapat melindungi kepentingan pelaku usaha Indonesia.12
Penelitian yang dilakukan oleh Umi martina bertujuan : (1). Untuk
mengetahui pengaturan penyelesaian sengketa duping menurut World Trade
Organization (WTO) telah menjamin perlindungan hukum bagi pelaku usaha
Indonesia yang terkena tuduhan dumping. (2). Untuk mengethaui pengaturan putusan
12
. Ni Wayan Umi Martina, 2011, Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Pelaku Usaha
Indonesia dalam Kasus Dumping. Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Udayana Konsentrasi Hukum Bisnis, h.17-18.
penyelesaian sengketa dumping melalui World Trade Organization (WTO) agar
pengaturan tersebut dalam praktik secara nyata dapat melindungi kepentingan hukum
pelaku usaha Indonesia.13
Dari hasil penelitian dan pembahasannya disimpulkan, bahwa : (1). Hukum
material dan hukum formal yang tersedia dalam skema perjanjian World Trade
Organization (WTO) ternyata belum mampu menjamin rasa keadilan dan kepastian
hukum posisi pelaku usaha indonesia dalam berbagai kasus dumping. (2). Pengaturan
putusan penyelesaian sengketa dumping melalui WTO Agreement yang hanya
menyediakan kewenangan memutus sengketa dumping, hendaknya WTO Agreement
diberikan penambahan norma yang mencakup kewenangan untuk mengawasi putusan
dan kewenangan melaksanakan putusan (eksekusi), yang justru merupakan
kewenangan yang paling menentukan dalam perlindungan hukum bagi kepentingan
pelaku usaha Indonesia dalam kasus dumping. Potensi perlindungan hukum bagi
pengusaha Indonesia yang dihasilkan oleh skema preventif dan skema represif hukum,
baik dalam pengaturan domestik maupun internasional sangat dipengaruhi oleh posisi
politik suatu negara dalam konstelasi perdagangan internasional. Dalam kasus tertentu
skema perlindungan demikian itu dapat berfungsi cukup baik, namun dalam keadaan
lainnya dapat tidak berfungsi sama sekali.14
Penelitian yang dilakukan oleh umi martina mengangkat dan membahas
permasalahan yang sangat berbeda dengan permasalahan yang diangkat dan dibahas
peneliti. Demikian juga latar belakang masalah, rumusan masalah yang diteliti dan
dibahas, tujuan penelitian maupun pembahasannya jauh berbeda dengan latar
belakang masalah, rumusan masalah yang diteliti dan dibahas, tujuan penelitian
maupun pembahasannya dengan penelitian yang dilakukan peneliti.
13
14
Ibid, h. 18-19.
Ibid, h. 137-139.
Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Edrianto malrano
tentang ”Perlindungan Hukum Anti Dumping Bagi Industri Domestik Terkait Dengan
Anti Dumping Duties Dalam Mengantisipasi Era Pasar Bebas (Free Trade) di
Indonesia”, ditulis dalam bentuk tesis dalam rangka penyelesaian Program Magister
Ilmu Hukum Pada Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Penelitian yang
dilakukan Edrianto bertujuan untuk mengetahui : (1). Pelaksanaan perlindungan anti
dumping terhadap industri dalam negeri Indonesia. (2). Upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi permasalahan anti dumping yang terjadi akibat lemahnya perangkat
hukum yang ada.
Hasil penelitian tesebut menunjukan bahwa : (1). Pelaksanaan perlindungan
hukum anti dumping dapat dilakukan dengan tindakan pengamanan bea masuk anti
dumping, tindakan safeguard serta sosialisasi-sosialisasi instrumen
anti dumping
yang dilaksanakan oleh KADI-KPPI di bawah kordinasi Deperindag dan Depkeu. (2).
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam megaasi permasalahan anti dumping,
terkait dengan faktor perangkat hukum, faktor pihak pemerintah, faktor dunia industri,
dan faktor pihak luar. Proteksi anti dumping yang telah ada belum mampu
memberikan hasil yang maksimal seperti yang kita kira. Jika masalah ini tidak
ditangani segera maka ini akan menjadi masalah serius kedepannya dan tentu saja hal
ini akan menyebabkan kehancuran industri nasional15.
Penelitian yang dilakukan oleh Edrianto membahas masalah yang berbeda
dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Edrianto memfokuskan penelitiannya pada
pelaksanaan perlindungan anti dumping terhadap industri dalam negeri Indonesia, dan
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatsi permasalahan anti dumping yang
15
Malrano, Edrianto, Perlindungan Hukum Anti Dumping Bagi Industri Domestik Terkait
Dengan Anti Dumping Duties Dalam Mengantisipasi Era Pasar Bebas (Free Trade) Di Indonesia.
http// programpascasarjanaugm.blogspot.com/pdf. Artikel diakses pada hari selasa tanggal 28 Juni
2011. pukul 22.00.
terjadi akibat lemahnya perangkat hukum yang ada. Penelitian yang dilakukan peneliti
menitik beratkan pada bentuk pengaturan perlindungan industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis dari praktik dumping, cara penentuan kerugian (Injury)
bagi Industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang kurang jelas dan
terlalu luas, sehingga mengalami kesulitan dalam menentukan adanya kerugian
(Injury) atau untuk membuktikan adanya kerugian, hal tersebut menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda bagi KADI, dan upaya yang dilakukan produsen dalam
negeri yang mengalami kerugian akibat praktik dumping yaitu mengajukan
permohonan perlindungan kepada KADI dan jika terbukti adanya dumping atau
subsidi dan kerugian atau ancaman kerugian akan ditetapkan besarnya perlindungan
yang dapat diberikan dengan menaikan bea masuk impor.
Dengan demikian penelitian yang dilakukan peneliti memiliki kekhususan
yang menunjukan orisinilitas penelitian.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dapat
diidentifikasikan beberapa masalah yang akan diteliti dan dibahas lebih lanjut dalam
tesis ini. Adapun maslah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk pengaturan perlindungan terhadap industri dalam
negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping.
2. Bagaimanakah cara penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri
yang memproduksi barang sejenis.
3. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik
dumping.
1.4. Ruang Lingkup Masalah
Agar pembahasan tidak keluar dari permasalahan, maka ruang lingkup
permasalahan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pengaturan perlindungan
terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik
Dumping, cara yang digunakan dalam penentuan kerugian (Injury) bagi industri
dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, dan upaya yang dapat dilakukan oleh
produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat
terjadinya praktik dumping.
1.5. Tujuan Penelitian
1.5.1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum terkait dengan paradigma science as a proses (Ilmu
sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam
penggaliannya atas kebenarannya16. Dari paradigma tersebut tujuan umum penelitian
ini adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum terutama
yang berkaitan dengan dumping.
1.5.2 Tujuan Khusus
Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik
bertujuan untuk :
16
Pogram Study Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan
Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif. h.10.
a. Mengungkapkan bentuk landasan-landasan yuridis sistem perlindungan
hukum terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis
dari praktik dumping.
b. Untuk mengetahui cara penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam
negeri yang memproduksi barang sejenis
c. untuk mengetahui Upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam
negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya
praktik dumping.
1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk :
1.6.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan substansi disiplin
ilmu hukum, khususnya dalam praktik dumping yang berkaitan dengan industri
dalam negeri.
1.6.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan pemikiran yang
selanjutnya dapat dijadikan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dari praktik
dumping.
1.7. Landasan Teoritis.
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain yang akan
dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian17. Sebagai suatu
pemahaman yang cukup tentang persoalan-persoalan, teori-teori hukum dipandang
sebagai landasan yang mutlak diperlukan untuk pembuatan kajian ilmiah terhadap
hukum positif konkret18. Teori hukum secara essensial bersifat interdisipliner, hal ini
mengandung arti bahwa Teori Hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan
hasil-hasil penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum19.
Penyelesaian sengketa dumping menurut World Trade Organization (WTO)
dapat diselesaikan melalui konsultasi, konsiliasi, apabila konsiliasi gagal. Maka
Dispute Settlement Body (DSB) membentuk panel untuk memeriksa kasus tersebut.
First, Negotiation in an international legal context often involves cultural barriers
that may make it more difficult to reach an agreement, second, it often is complicated
by language barriers, which increases the changes of misunderstanding; these
barriers are often compounded by the use of translator, third, it is often influenced by
political consideration20. Pada tangal 4 Juni 1998 pemerintah mengeluarkan paket
deregulasi yang mencakup sasaran yang cukup luas, yaitu meliputi sebelas langkah
yang terdiri atas kelanjutan penjadwalan penurunan tarif bea masuk, perubahan tarif
bea masuk barang modal, penghapusan bea masuk tambahan, penyederhanaan tata
niaga impor, ketentuan anti dumping, kemudahan ekspor, kemudahan pelayanan bagi
perusahaan eksportir tertentu di sektor tertentu, penyederhanaan perijinan bagi
ndustri, penyelenggaraan tempat penimbunan berikat/gudang, kelonggaran kegiatan
17
Supasti Darmawan, 2006, Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Makalah Kedua,
dipresntasikan pada Loka Karya Pascasarjana Universitas Udayana,
18
Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Laboratorium Hukum
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, h.40.
19
H.R Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 59
20
Larry L. Teply, 1992, Legal Negotiation In A Nutshell, ST. Paul, Mina, West Publishing
CO, USA, h.30.
ekspor dan impor bagi perusahaan PMA manufaktur, penyederhanaan prosedur impor
limbah untuk bahan baku industri.
Prinsip-prinsip dasar GATT/WTO jelas mendukung terciptanya sistem
perdagangan internasional yang harmonis, fair, dan terbuka. Namun di sisi lain untuk
mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari
hubungan bisnis internasional, maka perlu dibentuk ketentuan-ketentuan sebagai
instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dipergunakan oleh seluruh negara
anggota untuk melidungi kepentingannya dari praktik-praktik perdagangan curang
yang dilakukan mitra bisnis nya. Jika dilihat dari beberapa pengecualian dari prinsipprinsip dasar GATT/WTO terdapat beberapa unsur yang terkait dengan pengamanan
perdagangan, antara lain, antidumpig, subsidi, dan safeguard.
Tindakan anti dumping, safeguard, dan subsidi merupakan tiga instrumen
kebijakan pengamanan perdagangan yang diakui oleh GATT/WTO dan negara-negara
anggota diperkenankan untuk mempergunakan ketiga instrumen ini untuk melindungi
industri dalam negerinya (domestic industry) dari persaingan curang yang dapat
menghancurkan dan merusak tatanan sistem perdgangan yang fair. Pengaturan
antidumping, subsidi dan safeguard mulai diakomodasi dalam GATT 1947 dan
kemudian dipertegas lagi dalam GATT 1994. Putaran Uruguay yang kemudian
membentuk berdirinya WTO mengakomodasi masalah-masalah antidumping, subsidi,
dan safeguard dan merupakan bagian dari persetujuan-persetujuan yang dihasilkan
yang menjadi lampiran dari WTO agreement, yaitu terdapat dalam lampiran 1A :
pesetujuan dalam perdagangan barang, dimana berturut-turut sebagai berikut :
persetujuan tentang pelaksanaan pasal VI antidumpig, persetujuan tentang subsidi dan
tindakan imbalan, dan selanjutnya persetujuan tentang tindakan pengamanan.
Instrumen anti dumping dan anti subsidi oleh WTO tidak dibolehkan untuk
dijadikan alat proteksi. Instrumen tersebut hanya bertujuan untuk mencegah atau
menghapuskan perdagangan yang tidak fair. Meskipun demikian, sebagian besar
negara-negara anggota WTO telah menyalahgunakan instrumen tersebut untuk tujuan
proteksi industri dalam negeri mereka. Hal tersebut ditunjukan oleh fenomena
beberapa tahun terakhir ini, dimana anti dumping menjadi sangat populer. Subsidi
dibandingkan anti dumping tidak terlalu banyak mengingat semakin kedepan
pemberian subsidi oleh pemerintah semakin berkurang. Indonesia merupakan salah
satu negara anggota organisasi perdagangan Dunia berkewajiban untuk berperan aktif
dalam mewujudkan tatanan perdagangan dunia yang adil dan saling menguntungkan.
Ketentuan tentang anti dumping sebagaimana tersebut dalam huruf e, diatur
dalam peraturan pemerintah No. 34 tahun 1996. pada Bab II PP tersebut disebutkan
tentang komite anti dumping Indonesia (KADI). KADI dibentuk untuk mengganti
permasalahan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan. Dumping dan barang
mengandung subsidi. Komite ini dibentuk oleh Menteri perindustrian dan
perdagangan. KADI dipimpin oleh seorang ketua beranggotan unsur-unsur dari
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, dan Departemen
atau lembaga Non Departemen terkait lainnya.
Adapun tugas Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) adalah melakukan
penelitian
terhadap
barang
dumping
dan
barang
mengandung
subsidi.
Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi. Mengusulkan pengenaan
bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Melaksanakan tugas lain yang
ditetapkan oleh menteri prindustrian dan perdagangan dan, membuat laporan
pelaksanaan tugas. Komite anti dumping dapat melakukan penyelidikan atas barang
impor yang diduga sebagai barang dumping dan atau barang mengandung subsidi atas
permohonan industri dalam negeri. Disamping itu komite ini juga dapat melakukan
penyelidikan tanpa adanya permohonan dari industri dalam negeri.
Dengan bedirinya WTO pada tahun 1995, maka semua kesepakatan perjanjian
GATT 1947 kemudian diatur di dalam WTO plus isu-isu baru yang sebelumnya tidak
diatur seperti perjanjian TRIPs (Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan
perdagangan), Jasa (GATS) dan aturan investasi (TRIMs) tugas utama WTO adalah
mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatanhambatan perdagangan seperti tariff dan non tariff (misalnya regulasi) serta
menyediakan forum perundingan perdagangan internasional, penyelesaian sengketa
dagang dan memantau kebijakan perdagangan di negara-negara anggotanya.
Meskipun dalam unsur pokok WTO tersebut penurunan tariff merupakan hal yang
menjadi perhatian utama tetapi kenyataannya masih banyak negara anggota WTO
yang menggunakan hambatan non tariff dalam rangka melindungi industri dalam
negerinya seperti penerapan trade remedy (dumping, subsidi, dan safeguard) serta
berbagai hambatan perdagangan lainnya.
Sejak dibentuknya WTO, dinamika perkembangan penggunaan trade remedy
semakin meningkat dan menunjukan trend yang positif. Penggunaan trade remedy
tidak hanya dilakukan oleh negara maju tetapi juga oleh negara berkembang. Bahkan
diantara sesama negara ASEAN pun penerapan trade remedy sudah tidak terelakan
lagi. Untuk kasus-kasus tertentu beberapa negara sangat protektif terhadap industri
dalam negerinya sehingga menggunakan segala celah yang ada dalam Agreement baik
dumping, subsidi, dan safeguard untuk menjustifikasi penerapan trade remedy
tersebut.
Pada intinya GATT mengatur hambatan-hambatan tariff dan non tariff dalam
perdagangan internasional. Yang dimaksud dengan hambatan yang bersifat tariff
adalah hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara, baik yang disebabkan
oleh diberlakukannya tariff bea masuk maupun taiff lainnya yang tinggi oleh suatu
negara terhadap suatu barang. Barang yang dikenakan tariff tinggi oleh suatu negara
akan menjadikan harga jual barang tersebut di negara tujuan menjadi sangat mahal
sehingga dapat dipastikan barang tersebut menjadi tidak kompetitif dibanding dengan
barang sejenis lain yang diproduksi dalam negeri, sedangkan yang dimaksud dengan
hambatan non tariff adalah hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara
yang di sebabkan oleh tindakan-tindakan selain penerapan tarif atas suatu barang.
Hambatan ini, misalnya berupa penerapan standar tertentu atas suatu barang ekspor
yang sedemikian sulit dicapai oleh para eksportir sehingga barang impor yang tidak
memenuhi standar tersebut akhirnya tidak dapat masuk dan dijual di negara
importir.21
Dalam persetujuan-persetujuan yang dibentuk oleh GATT dan WTO terdapat
beberapa prinsip-prinsip dasar, yaitu perlakuan yang sama untuk semua anggota,
prinsip ini diatur dalam artikel I GATT 1994, berdasarkan prinsip ini suatu kebijakan
perdagangan
antara
negara-negara
anggota
harus
dilakukan
atas
dasar
nondiskriminasi. Artinya semua negara terikat untuk memberikan perlakuan yang
sama dalam kebijakan impor dan ekspor produk-produk termasuk biaya lainnya.
Perlakuan yang sama tersebut harus dilakukan seketika tanpa syarat terhadap produkproduk yang berasal atau yang ditujukan ke semua negara anggota GATT22. Misalnya,
suatu negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tariff yang berbeda pada
21
A. Setiadi, 2001, Antidumping: Dalam Perspektif Hukum Indonesia, S&R Legal
Co.,Jakarta,.h.1.
22
Astim Riyanto, 2003, World Trade Organization (organisasi Perdagangan Dunia),
Yapemdo, Bandung, h.54.
suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya23. atau keringanan tariff masuk
impor yang diberikan pada suatu negara harus diberikan pula pada produk impor dari
mitra dagang negara anggota lainnya.
Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat
(immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang ditunjukan
kepada semua anggota GATT. Karena itu sesuatu negara tidak boleh memberikan
perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan dikriminasi
terhadapnya. Namun dalam prinsip perlakuan yang sama untuk semua anggota ini ada
beberapa pengecualian terhadap prinsip ini, beberapa pengecualian diperbolehkan,
seperti negara-negara yang berada dalam suatu wilayah dapat membentuk persetujuan
perdagangan bebas di mana tidak berlaku untuk barang-barang dari luar kelompok ini.
Sebuah negara dapat mengenakan hambatan terhadap produk-produk negara tertentu
yang dinilai tidak adil (fair) dalam melakukan perdagangan. Pada bidang jasa, sebuah
negara diperbolehkan melakukan diskriminasi dalam batas-batas tertentu. Pengeculian
ini hanya diizinkan untuk kondisi-kondisi tertentu.24 Pengecualian lainnya adalah apa
yang disebut dengan ketentuan pengamanan (safeguard rule). Pengecualian ini
mengakui bahwa suatu pemerintah apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat
melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya.
Prinsip lain yang diatur dalam Article III GATT 1994 yaitu perlakuan
internasional (National treatment), dalam prinsip ini mengatur tentang ketentuan
bahwa suatu produk /barang yang diimpor dari negara lain tidak boleh diberi
perlakuan yang berbeda dengan maksud untuk memberikan proteksi pada produksi
23
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia,
http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul
13.30
24
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Direktorat Jendral multilateral
Ekonomi Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2002, Sekilas
WTO (World Trade Organization), Jakarta, ,h.41.
dalam negeri25. Negara-negara anggota diwajibkan memberikan perlakuan yang sama
atas barang-barang impor dan lokal. Dengan kata lain, tidak diperkenankan
melakukan diskriminasi antara produk impor dn produk dalam negeri (produk yang
sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi.
Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini, antara lain
adalah pungutan dalam negeri, undang-undang, peraturan dan persyaratan
mempengaruhi penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi
atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran,
dan pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri26. Pada dasarnya
negara-negara maju mengakui bahwa negara-negara berkembang perlu mendapatkan
kesempatan untuk meningkatkan peranannya dalam perdagangan dunia. Prinsip ini
bertujuan untuk mendorong negara-negara berkembang ikut proaktif berpartisipasi
dalam berbagai perundingan perdagangan internasional. Semua persetujuan WTO
memiliki ketentuan mengatur perlakuan khusus bagi negara-negara berkembang yang
bertujuan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang
angota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO.
Prinsip-prinsip dasar GATT/WTO jelas mendukung terciptanya sistem
perdagangan internasional yang harmonis, fair dan terbuka. Namun di sisi lain untuk
mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari
hubungan bisnis internasional, maka perlu dibentuk ketentuan-ketentuan sebagai
instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dipergunakan oleh seluruh negara
anggota untuk melindungi kepentingannya dari praktik-praktik perdagangan curang
yang dilakukan mitra bisnisnya. WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang
25
Maria Emelia Retno K, 1994, Dampak Implementasi GATT/WTO terhadap Ekspor-Impor
Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h.94.
26
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia,
http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul
13.30
berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional. Sistem
perdagangan internasonal diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan
dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang ditandatangani oleh
negara-negara anggota. Persetujuan itu bersifat mengikat pemerintah untuk
mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan. WTO mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1995, yaitu dengan disepakatinya Agreement the World Trade
Organization, yaitu persetujuan pembentukan organisasi perdaangan dunia yang
ditanda tangani para menteri perdagangan negara-negara anggota WTO pada tanggal
15 April 1994 di Marrakesh, Maroko27.
Sebelum WTO berdiri, perdagangan multilateral diatur oleh the General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947 yang berlaku secara sementara yang
terdiri atas 38 pasal dan hanya mengatur perundingan di bidang tarif. WTO adalah
organisasi perdagangan dunia penerus GATT 1947. GATT dan WTO sama-sama
merupakan wadah dalam mendorong terciptanya perdagangan internasional yang fair
dengan menghilangkan unsur-unsur penghambat yang dapat merusak sistem
perdagangan yang ideal. Dengan mengusung misi liberalisasi melalui kesepakatan
internasional, setiap negara anggota wajib tunduk pada kesepakatan dan menjalankan
sistem perdagangan sesuai ketentuan GATT atau WTO.
Lahirnya WTO menjanjikan
harapan akan masa depan perdagangan
internasional untuk meletakan kegiatan perdagangan internasional dalam suatu
koridor hukum yang mengusung prinsip-prinsip yang adil dan fair. Prinsip umum
perdagangan bebas adalah menyingkirkan hambatan-hambatan teknis perdagangan
dengan mengurangi atau menghilangkan tindakan-tindakan yang dapat merusak
perdagangan. Persetujuan-persetujuan WTO yang mengatur masalah-masalah
27
Christhophorus Barutu, 2007, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan
(Safeguard) dalam GATT dan WTO,Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Christhophorus
Barutu 3 ), h.2
perlindungan yang ditunjukan terhadap perlindungan industri, yaitu persetujuan
tentang pelaksanaan anti dumping, persetujuan tentang subsidi dan tindakan imbalan
dan persetujuan tentang tindakan pengamanan. Ketiga instrumen pengamanan
perdagangan ini dikenal pula dengan nama “Trade Remedies”. Ketiganya berperan
penting untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik-praktik kecurangan di
bidang perdagangan sebagai konsekuensi dari perdagangan bebas.
Tindakan antidumping diberlakukan terhadap tindakan menjual suatu barang
di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri
(harga normal) dimana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat mengenakan
bea masuk anti dumping untuk menutupi kerugian sebagai dampak dari dumping
tersebut. Demikian pula mengenai subsidi di mana produk dijual dengan harga murah
karena mendapat subsidi oleh negara pengekspor, pada prinsipnya tindakan subsidi
dilarang jika hal tersebut dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan
menimbulkan kerugian bagi negara pengimpor dan negara-negara pengimpor dapat
memberlakukan tindakan-tindakan imbalan terhadap barang-barang yang dituduh
mendapat subsidi dari negara pengekspor.
Kedua instrumen ini, baik anti dumping maupun subsidi digolongkan sebagai
intrumen untuk mencegah terjadinya perdagangan yang curang yang dapat
menimbulkan kerugian yang serius terhadap industri dalam negeri di negara
pengimpor. Dalam WTO keberadaan ketentuan antidumping diatur dalam Anti
dumping Agreement (ADA). Dalam persetujuan ini, diatur cara dan mekanisme untuk
melakukan investigasi dan jangka waktu pengenaan antidumping yang bertujuan
untuk mengatur agar negara-negara pengguna instrumen ini untuk melakukan praktik
penyalahgunaan instrumen ini untuk melakukan prokteksi yang berlebihan dan tidak
perlu yang dapat menimbulkan ketidakpastiaan dalam perdagangan internasional.
Berbeda dengan antidumping dan dan subsidi, safeguard merupakan salah satu
instrumen pengamanan perdagangan yang hampir mirip dengan antidumping dan
subsidi yang sama-sama diperblehkan dalam aturan WTO. WTO mengatur mengenai
masalah safeguard dalam Safeguard Agreement. Safeguard sama sekali tidak ada
kaitannya dengan praktik dumping dan subsidi, tetapi beredarnya barang impor yang
masuk ke pasar domestik telah mengakibatkan terjadinya kerugian terhadap industri
serupa di dalam negeri. Jadi, perbedaan antara anti dumping, anti subsidi, dan
safeguard terletak pada dasar pertimbangan pengenaan instrumen tersebut. Sama
dengan tindakan antidumping, subsidi, safeguard juga dapat disalahgunakan oleh
suatu negara demi memberikan perlindungan terhadap industri tertentu di dalam
negeri. Penyalahgunaan pemberlakuan ketentuan anti dumping. Misalnya, terjadinya
kerugian industri dalam negeri bukan karena barang dumping impor, melainkan
karena kesalahan manajemen produksi, tetapi suatu negara tetap melakukan tindakan
anti dumping terhadap barang impor tersebut dan hal ini merupakan penyimpangan
prinsip ketentuan anti dumping karena kerugian industri disebabkan oleh kesalahan
manajemen, bukan karena barang dumping.
Dalam kasus subsidi, negara menjatuhkan tindakan-tindakan imbalan terhadap
suatu produk impor, padahal produk impor ini tidak terbukti nyata mendapat subsidi
dari negara asalnya yang menyebabkan kerugian pada industri dalam negeri negara
pengimpor, dan kerugian yang dialami industri dalam negeri negara importir bukan
karena adanya subsidi dari negara pengekspor terhadap barang ekspor, melainkan
karena sebab lain. Begitu pula tindakan safeguard dapat disalahgunakan oleh suatu
negara, misalnya, suatu sektor industri tertentu mengalami kebangkrutan karena tidak
efesien yang mengakibatkan terjadi lonjakan impor untuk mensubsidi supply yang
sebelumnya diperoleh dari industri yang bangkrut tersebut. Atas dasar lonjakan impor
ini, maka pemerintah suatu negara mengambil tindakan safeguard untuk melindungi
industri tersebut, padahal kebangkrutan industri tersebut secara tidak efesien, jadi
bukan karena adanya lonjakan impor28.
Untuk lebih memahami secara kongkret penyimpangan penggunaan instrumen
pengamanan perdagangan salah satunya yaitu, anti dumping dapat dikaitkan dengan
pengenaan bea masuk Antidumping (BMAD). Terkait masalah dumping, setiap
produsen yang produknya terbukti dumping dikenakan Bea Masuk Anti dumping.
Pengenaan BMAD merupakan salah satu instrumen yang diakui WTO untuk
mencegah praktik perdagangan yang tidak sehat sehingga berdampak negatif bagi
industri suatu negara. Namun instrumen ini juga dapat digunakan sebagai trik-trik
perdagangan untuk melindungi industri di dalam negeri di suatu negara atau bahkan
mematikan industri di suatu negara. Jika hal tersebut menjadi kenyataan, sudah terjadi
gejala suatu paham perlindungan untuk melindungi produsen dalam negeri dari
persaingan asing dengan melarang impor atau memberlakukan tarif bea masuk yang
tinggi. Dengan demikian, produsen dalam negeri atau industri di dalam negeri
cenderung meminta proteksi atau mengajukan petisi anti dumping kepada pemerintah
untuk menahan produk impor29.
Suatu negara perlu berhati-hati dalam memutuskan pemberlakuan tarif BMAD
dan harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan industri dalam negeri
secara luas di mana hal ini untuk menghindari jangan sampai pemberlakuan BMAD
hanya menjadi instrumen untuk membuat industri dalam negeri menjadi manja di
mana industri dalam negeri takut kalah bersaing dengan produk impor karena tidak
dapat meningkatkan produktivitas dan menigkatkan efisiensinya. Pemberlakuan
BMAD juga jangan sampai menjadi instrumen untuk melindungi industri tertentu
28
29
Christhophorus Barutu 3, op.cit, h.33.
Chritophorus Barutu 3, op.cit, h. 33-34.
sehingga terbuka peluang monopoli atau praktek kartel30. Untuk mencegah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan instrumen-instrumen tersebut
diatas, maka WTO membuat suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang disebut
Dispute Settlement Body (DSB) di mana negara-negara anggota WTO dapat
mengajukan keberatan melalui DSB jika merasa dirugikan oleh penggunaan
instrumen anti dumping, anti subsidi dan, safeguard secara tidak proporsional oleh
negara anggota lainnya31.
Menurut catatan WTO, dari ketiga instrumen tersebut tindakan anti dumping
merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk memberikan perlindungan
terhadap industri dalam negeri. Alasannya adalah bahwa instrumen ini paling fleksibel
dan paling kecil resikonya. Negara-negara yang saat ini sangat banyak melakukan
tindakan anti dumping adalah Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia, India, Afrika
Selatan, Argentina, Brazil, Mexico dan, Kanada. Dibandingkan tindakan anti
dumping, maka tindakan subsidi jarang dilakukan karena negara-negara anggota
WTO pada umumya tidak lagi memberikan subsidi ekspor pada industri. Subsidi saat
ini sangat banyak diberikan pada sektor-sektor pertanian yang sifatnya green
subsidies dan untuk tujuan tertentu, seperti untuk kepentingan penelitian, lingkungan
hidup, dan mendorong pembangunan di daerah terpencil32.
Jika dicermati, ada hal yang menarik yang berhubungan dengan masalah
subsidi, yaitu subsidi pertanian. Pada saat dimulainya putaran Doha pada tahun 2001,
WTO mengeluarkan usulan agar negara-negara anggota mengurangi subsidi yang
diberikan kepada petani untuk mengurangi distorsi perdagangan dan memperbesar
volume perdagangan global. Tindakan safeguard dilakukan lebih sedikit dibanding
30
Chritophorus Barutu 3, op.cit, h. 34.
Chritophorus Barutu 3, loc.cit..
32
Gusmardi Bustami, WTO dan Perlindungan Industri Dalam Negeri,
http://www.geocities.com/herso et2001/wtoperlindunganindustri.pdf ; artikel diakses pada tanggal 3103-2010. pukul 15.55
31
anti dumping karena resikonya lebih besar. Berbeda dengan tindakan anti dumping,
tindakan safeguard yang dilakukan dengan pengenaan kuota harus dinegosiasikan
dengan pihak negara supplier mengenai besarnya kuota yang dikenakan. Jika ini
terjadi, sering akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Kemudian, tindakan
safeguard akan dikenakan kepada seluruh supplier (bukan kepada perusahaan) secara
nondiskriminasi.
Sementara itu, anti dumping dikenakan kepada perusahaan-perusahaan yang
terbukti melakukan dumping. Pengecualian hanya diterapkan pada impor yang
dikategorikan sebagai de minimis yang dianggap dapat dikecualikan sebagai
penyebab terjadinya kerugian. Dalam tindakan safeguard, dapat saja terjadi
permintaan kompesasi dari pihak yang terkena (negara supplier) dan jika tidak
dipenuhi, dapat dilakukan retalisasi. Misalnya, tindakan safeguard Amerika Serikat
terhadap baja yang dilakukan dengan meningkatkan tarif bea masuk yang
mendapatkan tantangan keras dari jepang, Uni Eropa, dan Negara lainnya33.
Pada intinya yang dimaksud dengan dumping adalah suatu keadaan di mana
barang-barang yang diekspor oleh suatu negara ke negara lain dengan harga yang
lebih rendah dari harga jual di dalam negerinya sendiri atau nilai normal dari barang
tersebut. Hal ini merupakan praktik curang yang dapat mengakibatkan distorsi dalam
perdagangan internasional34.
Praktik dumping merupakan praktik dagang yang tidak fair karena bagi negara
pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau
industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari
pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada barang dalam negeri, akan
33
Gusmardi Bustami, WTO dan Perlindungan Industri Dalam Negeri,
http://www.geocities.com/herso et2001/wtoperlindunganindustri.pdf ; artikel diakses pada tanggal 3103-2010. pukul 15.55.
34
Frequently Asked Questions-Antidumping, Internasional Trade,
http://www.indiainbusiness.nic.in/faq/Antidumping.html. artike diakses pada 29-03-2010.
mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing sehingga pada akhirnya akan mematikan
pasar barang sejenis daam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya, seperti
pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan bangkrutnya industri sejenis
dalam negeri35. Tindakan ini jelas-jelas dapat menimbulkan kerugian yang sangat
serius terhadap perekonomian setiap negara, yang mana setiap negara memerlukan
perlindungan (protection) yang memadai sehingga lahirlah suatu instrumen
kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah anti dumping. Kebijaksanaan
anti dumping merupakan ketentutan-ketentuan dan penjatuhan sanksi/hukuman
terhadap pelaku praktik dalam konteks perdagangan internasional.
Berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial, dalam arti
menuju pembangunan hukum yaitu sebagai upaya untuk mengubah suatu tatanan
hukum dengan cara perencanaan yang secara sadar dan terarah serta mengacu pada
masa depan yang berlandaskan kecenderungan yang nantinya dapat diamati dalam
kehidupan sebagai sebuah negara hukum. Dengan demikian pembangunan ataupun
pembentukan hukum ini berarti pembaruan tatanan hukum yaitu sebagai suatu sistem
hukum, dimana mencakup tiga (3) komponen sub sistem hukum yaitu, pertama,
komponen substansi hukum (legal substance), yang disebut juga tata hukum yang
terdiri dari tatanan hukum peraturan perundang-undangan yang tidak tertulis,
termasuk hukum adat dan yurisprudensi, serta tatanan hukum internal (asas-asas
hukum), yang melandasi serta mengkoherensikan. Kedua, yaitu struktur hukum (legal
Structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme yaitu
komponen kelembagaan hukum yang terdiri atas berbagai organisasi publik dengan
para pejabatnya (legeslatif, eksekutif, yudikatif). dan yang ketiga yaitu budaya hukum
(legal Culture) yaitu sikap publik, nilai-nilai yang mendorong bekerjanya sistem
35
Daniel Suryana, Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping Ke dalam Hukum Nasional
Indonesia, http://dansur.blogster.com/harmonisasi_ketentuan.html. Artikel diakses pada tanggal 29-032010. pukul 22.20
hukum yang mencakup sikap, perilaku para pejabatnya dan warga masyarakatnya
berkenaan dengan komponen-komponennya.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa teori yang berkaitan dengan
permasalahan yang diharapkan dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan
tersebut. Teori yang digunakan antara lain adalah teori hukum alam. Salah satu tokoh
dari aliran hukum alam adalah Grotius. Beliau memaparkan ada 4 (empat) norma
dasar yang terkandung dalam hukum alam, yaitu :
1. kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain.
2. kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada di
tangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati.
3. kita harus menepati janji-janji yang kita buat.
4. kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi
pula kita harus di hukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.36
Konsep pemikiran Grotius di atas menjadi dasar munculnya beberapa teori, seperti
teori kontrak, teori perbuatan melawan hukum, dan teori hak milik. Teori tersebut
dapat digunakan sebagai dasar untuk memberi perlindungan hukum bagi industri
dalam negeri dari praktik dumping.
Hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, tetapi pembagian itu tentunya tidak bisa
merata atau sama banyaknya. Konsep keadilan yang berkaitan dengan perlindungan
industri dalam negeri dari praktek dumping adalah keadilan umum (Justitia
Generalis) dan keadilan khusus sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Aquinas.
Keadilan umum (Justitia Generalis) adalah keadilan menurut kehendak undangundang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum, sedangkan keadilan khusus
36
Friedmen, 1990, Teori dan filsafat hukum, Rajawali Press, Jakarta, ,h.49.
adalah keadilan atas daar kesamaan (Proporsionalitas). Keadilan khusus ini di
bedakan atas 3 (tiga) , yaitu keadilan distributif (justitia distribution), keadilan
komunikatif (justitia comutativa), dan keadilan vindikatif (justitia vindicativa)37
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian hukum merupakan suatu tata cara kerja suatu keilmuan
yang ditandai dengan penggunaan metoda, jika diartikan meta yang diartikan diatas
sedangkan thodos merupakan suatu jalan atau suatu cara. Jika diterjemahkan
pengertian metoda adalah merupakan suatu jalan atau suatu cara. Van Peursen
menterjemahkan pengertian metoda secara harfiah, mula-mula metoda diartikan
sebagai suatu jalan yang harus ditempuh sebagai penyelidikan atau penelitian
berlangsung menurut suatu rencana tertentu38.
Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian hukum doctrinal atau
penelitian hukum normatif. Jhoni Ibrahim mengemukakan pendapatnya, bahwa
penelitian hukum normatif adalah penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif39. Adapun ciri-ciri dari
penelitian hukum normatif adalah beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma
atau asas hukum, tidak menggunakan hipotesis, menggunakan data skunder yang
terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Penelitian hukum
dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul.40
Kekosongan hukum dan norma kabur yang terjadi dalam hal ini perlu untuk
diteliti sehingga dapat memberikan masukan yang dapat digunakan dalam mencari
37
Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 2006,Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta,h.155-157.
38
Jhoni Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitin Hukum Normatif, Bayu Publishing,
Malang,h.26.
39
Ibid
40
Peter Mahmud Marzuki,2007, Penelitian Hukum, cet.3, kencana persada media group,
Jakarta, h. 41.
pemecahan
permasalahan.
Pada
hakekatnya,
penelitian
mempunyai
fungsi
menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu pengetahuan41. Utrecht
mengemukakan pendapat bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum
(rechtzeker heid) dalam pergaulan manusia42. Satjipto Rahardjo membahas masalah
kepastian hukum dengan menggunakan perspektif sosiologis, dengan sangat menarik
dan jelas. Setiap ranah kehidupan memiliki semacam ikon masing-masing. Untuk
ekonomi; ikon tersebut adalah efisiensi, untuk kedokteran; mengawali hidup manusia
dan seterusnya. Ikon untuk hukum modern adalah kepastian hukum43.
Sedangkan dalam kerangka Bredemeir, fungsi hukum adalah untuk
menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat44. Kedudukannya
sebagai suatu institusi yang melakukan pengintegrasian terhadap proses-proses yang
berlangsung dalam masyarakat, menyebabkan hukum harus terbuka menerima
masukan-masukan dari bidang ekonomi, politik dan budaya untuk kemudian diolah
menjadi keluaran-keluaran yang produktif dan berdaya guna45.Paul Scholten
memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam
dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan
perundang-undangan dan putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan
dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya46.
Dengan demikian dari pengertian-pengertian diatas, secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa “penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana
dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna
41
Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Granit, Jakarta, h.3
E. Utrecht, 1961, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, h.24.
43
Achmad Ali. 2009, Teori hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence),
kencana prenada Media Group, Jakata, h. 289.
44
Bernard L Tanya dkk, 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, CV. Kita, Surabaya, h. 127.
45
Ibid
46
Bruggink Alih Bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.119-120.
42
membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang
ada47” penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten48.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Suatu penelitian hukum normatif tentu harus menggunakan pendekatan. Jhony
Ibrahim membagi pendekatan dalam penelitian hukum atas tujuh macam, yaitu49 :
1). Pendekatan Perundang-undangan(Statue Approach).
2). Pendekatan Konsep (Conseptual Approach).
3). Pendekatan Analitis (Analitycal Approach).
4). Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).
5). Pendekatan Historis (Historical Approach).
6). Pendekatan Filsafat ( Philosophical Approach).
7). Pendekatan Kasus (Case Approach).
Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach) digunakan karena yang akan
diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
penelitian.50 Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan Perundang-undangan
(Statue Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Dalam penelitian ini jenis pendekatan yang digunakan adalah51 :
a). Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach), karena penelitian ini
bermaksud untuk memperoleh kejelasan secara normatif dengan
mengidentifikasi dan menganalis faktor hukum yang menjadi kendala
dalam penerapan prinsip-prinsip hukum perlindungan industri dalam
47
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.2
Ibid.
49
. Jhony Ibrahim, op.cit, h.300.
50
. Jhony Ibrahim, op.cit, h.302.
51
. Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h.93.
48
negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping, maupun
berbagai peraturan lainnya.
b). Pendekatan perbandingan (Comparative Approach),
yaitu mencari
Undang-undangdan regulasi anti dumping dan membandingkan dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku yang berkaitan dengan perlindungan
industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek
dumping.
c). Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach),
yaitu mencari rumusan norma hukum perlindungan industri dalam negeri
yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping yang berkembang
dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan pokok bahasan
dalam penelitian ini.
d). Pendekatan konsep (conceptual approach), yaitu dengan menunjuk prinsipprinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan para
sarjana, ataupun doktrin-doktrin hukum, sehingga akan ditemukan ide-ide
yang menghasilkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Untuk memecahkan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini,
maka diperlukan sumber-sumber penelitian. Menurut Peter Mahmud Marzuki sumbersumber penelitian hukum dapat dibedakan atas dua sumber, yaitu sumber-sumber
hukum primer, dan bahan-bahan hukum skunder52 sebagai penelitian hukum normatif,
maka bahan hukum primer diperoleh dari asas-asas atau prinsip dan kaedah-kaedah
52
. Peter Mahmud Marzuki, op.cit,h.141
atau norma hukum yang berkaitan dengan perlindungan industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis dari praktek dumping.
Sedangkan bahan hukum skunder adalah sebagai bahan penunjang untuk
memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, seperti pendapatpendapat ahli hukum yang termuat dalam media massa, jurnal-jurnal hukum, literaturliteratur hukum (text-book), berbagai hasil pertemuan ilmiah baik ditingkat nasional
maupun internasional, internet dengan menyebut situsnya. Untuk bahan hukum tertier
diperoleh dari kamus atau ensiklopedia hukum yang berkaitan dengan pokok
permasalahan.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Penelitian ini adalah jenis penelitian normatif, dimana sumber bahan hukum
utamanya adalah bahan hukum primer dan bahan hukum skunder dengan
mengumpulkan bahan-bahan hukum dengan menggunakan sistem kartu (card sistem)
baik peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, maupun bahan-bahan
pustaka serta hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya dengan pokok
permasalahan. Bahan-bahan hukum tersebut diklasifikasikan sesuai dengan bidangbidang dalam pokok bahasan yang selanjutnya dipilah-pilah sesuai dengan tingkat
urgensinya terhadap pokok permasalahan yang dibahas.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum.
Dalam menganalisis informasi yang diperoleh dari bahan hukum baik bahan
hukum primer maupun skunder, ada beberapa langkah yang ditempuh, yaitu deskripsi,
inteprestasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi dan sistematis.53 Teknik deskripsi
adalah mencakup isi maupun struktur hukum positif,54 analisis terhadap bahan-bahan
53
h.15.
54
. Program studi Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, op.cit,
. Philipus M.Hadjon. 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Dalam majalah
yuridika, No. 6 Tahun IX. h.25.
hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini baik yang berupa peraturan
perundang-undangan, bahan-bahan pustaka, pendapat para ahli hukum, jurnal hukum,
maupun hasil penelitian lainnya dilakukan secara deskriptif, analisis, evaluatif
interpretatif, yaitu menganalisis, menafsirkan, menilaidan menjelaskan prinsipprinsip, asas-asas, dan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum yang berhubungan
dengan perlindungan industri negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek
dumping. Tujuan dari pemberian perlindungan adalah untuk mendapatkan rasa
keadilan, menurut Hans Kelsen keadilan adalah sebuah cita-cita yang irrasional
meskipun mungkin sangat diperlukan bagi kemauan dan tindakan manusia, namun
keadilan ini bukan obyek pengetahuan55.
Sedangkan menurut Smith, Makna utama kata keadilan adalah keadilan
komulatif56. Keadilan komulatif Smith berkaitan dengan pemulihan kembali
kerusakan atau kerugian yang telah terjadi dalam sebuah transaksi sosial serta
berkaitan dengan pertukaran yang fair dalam sebuah transaksi ekonomi57. Teori
keadilan yang dikemukakan oleh Smith dalam penelitian ini sangat relevan, karena
untuk memberikan perlindungan dan rasa keadilan bagi industri dalam negeri dari
praktik dumping, karena jika produsen dalam negeri mengalami kerugian akibat
terjadinya praktik dumping maka produsen dapat mengajukan permohonan atau
penyelesaian permasalahan melalui World Trade Organiation. (WTO).
55
Hans Kellsen Alih Bahasa Somardi, 2007, General Theory Of Law and State, Teori Umum
Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta, h. 14-15.
56
A. Sony Keraf, 1996, Pasar bebas keadilan dan peran pemerintah, Kanisius, Yogyakarta,
h.109.
57
Ibid.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING
2.1. Pengertian Dumping
Sebagaimana diketahui bahwa semua negara anggota WTO telah sepakat
untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas, di mana semua hambatan
perdagangan baik yanng berbentuk tarif maupun non tarif dihapuskan. Dengan adanya
penghapusan hambatan hambatan perdagangan tersebut, maka arus barang dapat
masuk ke semua negara anggota dengan bebas. Indonesia merupakan salah satu
negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade Organization),
karena telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization
sebagaimana diwujudkan dalam Undang undang No.7 tahun 1994 tentang Pengesahan
Establishing the world Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia). Sebagai Negara anggota WTO, Indonesia harus mematuhi
peraturan organisasi perdagangan dunia tersebut.
Konsekuensi dari perdagangan bebas tersebut menyebabkan persaingan dalam
merebut pasar menjadi semakinn ketat, dan kemungkinan praktik perdagangan yang
tidak sehat (unfair trade practices) dapat terjadi. Dalam kaitannya dengan
perdagangan internasional banyak praktik perdagangan yang tidak sehat, dan yang
paling banyak terjadi adalah masalah dumping, karena praktik dumping dapat
menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi industri dalam negeri, dan secara lebih
luas lagi dapat memukul dunia usaha suatu negara tempat praktik dumping itu terjadi.
Dumping merupakan strategi penetapan harga ekspor suatu barang lebih
rendah dari harga jual produk tersebut di dalam negerinya (nilai normal) yang
dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan pangsa pasar,
memperluas pasar, atau tujuan lainnya. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
karangan W.J.S.Poerwadarminta disebutkan, Dumping adalah menjual barang ke
negeri lain dengan harga yang lebih murah dari pada di negeri sendiri.58 Menurut
Sumadji P, Yudha Pratama dan Rosita, Dumping adalah politik ekonomi yang
dilakukan suatu negara untuk menjual hasil produksinya di luar negeri dengan harga
lebih murah daripada penjualan dalam negeri, dengan tujuan menguasai pasaran luar
negeri59.
Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah
penjualan suatu komuditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih
rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih
rendah dari pada tingkat harga di pasar domestiknya, atau negara ketiga, sedangkan
menurut Kamus Hukum Ekonomi, dumping adalah praktik dagang yang dilakukan
eksportir dengan menjual komuditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari
nilai yang wajar, atau lebih rendah dari pada harga barang tersebut di negerinya
sendiri, atau dari pada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini
dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di
negara pengimpor.60
Dalam GATT 1947 Pasal VI ayat (1) Article VI GATT: Anti Dumping and
Countervailing Duties pengertian dumping diuraikan sebagai berikut:
The contracting parties recognize that dumping, by which product of one
country are introduced into the commerce of another country at less than normal
value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to
an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the
establishment of a domestic industry. For the purpose of this article, aproduct is to be
considered as being introduced into the commerce of an importing country at less
58
W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta,
PN. Balai Pustaka, h. 262.
59
Sumadji. P, Yudha Pratama dan Rosita, 2006, Kamus Ekonomi Edisi Lengkap InggrisIndonesia, Cet. I, Wacana Intelektual, Jakarta, h. 265.
60
Elips, 1997, Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta, h. 105.
than its normal value, it the price of the product exported from one country to
another.
(a) is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for
the like product when destined for consumption in the exporting
country or
(b) in the absence of such domestic price, is less than either
(c) the highest comparable price for the like product for export to any third
country in the ordinary of trade or
(d) the cost of production of the product in the country of origin plus a
reasonable addition for selling cost and profit.
Article VI GATT diadakan penyempurnaan yang dituangkan dalam article 2
Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI dari GATT 1994 yaitu sebagai berikut:
For the purpose of this agreement, a product is to be considered as being
dumped,i.e.introduced into the commerce of another country at less than its normal
value,if the export price of the product exported from one country to another is less
than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when
destined for consumption in the exporting country.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua) disebutkan, dumping
adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan
harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak
diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat
menguasai harga kembali).61
Dalam Black Law Dictionary dumping adalah In commercial usage, the act of
selling in quantity at a very low price or practically regard less of the price; also
selling (surplus goods) abroad at less than the market price at home.62
Menurut Ralph H. Folsom dan Michael W.Gordon, disebutkan dumping involves
selling abroad at a price that is less than the price used to sell the same goods at
home (the normal or fair value).To be unlawful, dumping must threaten or cause
material injury to an industry in the export market, the market where prices are
61
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1985,Kamus Besar Bahasa Indonesi (Edisi
Kedua), Jakarta, Balai Pustaka, h110.
62
Black, Hendry Campbell, 1991, Black Law Dictionary, Sixt Editionst, Paul-Minn, West
Publishing, Co. h.347
lower. Dumping is recognized by most of the trading world as an unfair practice (
againt to price discrimination as an antitrust offense).63
Muhammad Ashri menyebutkan dumping adalah suatu persaingan curang
dalam bentuk diskriminasi harga, yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara
lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di
ketiga.64
Negara
Pengertian
dumping
dalam
konteks
hukum
perdagangan
internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan
oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan
harga yang lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri
sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut65
Berdasarkan ketentuan dan pengertian tentang dumping tersebut di atas dapat
disebutkan bahwa unsur unsur dumping adalah :
1. adanya penjualan suatu jenis barang di luar negeri (ekspor)
2. harga jenis barang yang dijual di luar negeri lebih rendah dari pada harga jenis
barang di dalam negeri (negara pengimport)
3. adanya
kerugian (injury) bagi produsen dalam negeri yang memproduksi
barang sejenis.
4. adanya hubungan (causal link) antara dumping yang dilakukan dengan akibat
injury yang terjadi.
Pada dasarnya
dumping tidak dilarang dalam perdagangan internasional,
tetapi jika menimbulkan kerugian pada pihak lain, dapat dilawan dengan aturan
negara tersebut berupa tindakan anti dumping. Article VI GATT mengatur bahwa
suatu negara anggota diperkenankan mengenakan tindakan antidumping apabila
63
Ralph H.Folsom and Michael W.Gordon, Dalam Sukarmi, 2002 Regulasi Antidumping Di
Bawah Bayang baying Pasar Bebas,Jakarta,Sinar Grafika,h.25.
64
Ibid.
65
Kamus Hukum, http:/www.kamus hukum com/indentri,php?.indek=D& urut=3, artikel
diakses pada tanggal 10 Desember 2010, pukul 21.15.
barang impor tersebut mengandung dumping dan menimbulkan kerugian bagi industri
dalam negeri. Praktik dumping merupakan tindakan yang sangat merugikan
perekonomian suatu negara dan bisa mematikan industri dalam negeri. Globalisasi
perdagangan semakin menuntut kesiapan setiap negara untuk bersaing secara sehat
dan terbuka.
2.2. Jenis Jenis Dumping.
Suatu barang yang diekspor ke negara lain di mana harga ekspornya lebih
rendah dari harga normalnya, atau harga domestik negara pengekspor, maka barang
tesebut dianggap sebagai barang dumping.Tujuannya adalah agar pengusaha dapat
merebut konsumen sebanyak banyaknya, maka pengusaha menempuh strategi
persaingan harga dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis
dengan perusahaan lain. Praktik dumping dalam perdagangan internasional
merupakan praktik dagang yang tidak fair yang dipandang sebagai perbuatan curang,
yaitu merupakan persaingan yang tidak jujur (unfair competition).
Praktik yang demikian itu merupakan coorperate crime (kejahatan
perusahaan).Marshall B. Clinard menyebutkan Thus coorperate crime, like white
collar crime (of which it is part), is defined here as any act punishable by the state,
regardless of wheterit is punished by administrative or civil law, which it usually is,
or under the criminal law.66
Menurut Daniel Suryana, praktik dumping merupakan praktik dagang yang
tidak fair karena
bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan
kerugian bagi dunia usaha, atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan
terjadinya banjir barang barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari
pada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing,
66
Marshall B. Clinard,1985, Coorperate ethics and Crime, The role of middle Management,
Sage Publications Beverly Hills/London/New Delhi, h.10.
sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang
diikuti munculnya dampak ikutannya, seperti pemutusan hubungan kerja massal,
pengangguran, dan bangkrutnya industri sejenis dalam negeri.67
Dalam praktik dumping ada penyerahan barang bergerak dari eksportir ke
importir (Negara yang memproduksi barang sejenis) yaitu terjadi penyerahan nyata
sebagaimana diatur dalam artikel 612 Civil Code Stated yang menyatakan The
Surrender of Moevable object, with the exception of non living object, is carried out
by factual surrender of the object by or in the name of t he owner, or by the surrender
of keys of the construction, where the object is located68.
Dalam praktik perdagangan internasional dumping ada beberapa jenis, dan
oleh para ahli ekonomi pada umumnya dapat diklasifikasikan atas 3(tiga) jenis, yaitu.
1. Sporadic Dumping ( Dumping yang bersifat sporadis) yaitu ;
Dumping yang dilakukan dengan menjual barang pada pasar luar negeri
(Pasar ekspor) pada jangka waktu yang pendek dengan harga dibawah
harga dalam negeri negara pengekspor atau biaya poduksi barang tersebut.
Biasanya produsen menjual barang untuk jangka waktu yang pendek
dengan harga jual dibawah harga biasa sering dimaksudkan untuk
menghapuskan barang yang tidak diinginkan, dumping jenis itu biasanya
mengganggu
pasar
domestik
negara
pengesport
karena
adanya
ketidakpastian dikarenakan permintaan diluar negeri berubah secara tibatiba. Dumping jenis tersebut merupakan diskriminasi harga pada waktu
tertentu yang dilakukan oleh produsen yang mempunyai keuntungan
karena terjadi over produksi (karena perubahan dalam pasar dalam negeri
67
Danial Suryana,Harmonisasi Ketentuan Antidumping Ke Dalam Hukum Nasional Indonesia,
http:// dan sur.blogstar.com/harmonisasi.ketentuan.html. artikel diakses pada tanggal 11 Januari 2011.
pukul 21.35
68
. IP Clinic, 2005, Indonesian IPR Law, Publisher PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.XII.
yang tidak terantisipasi atau buruknya perencanaan produksi), untuk
menceah penumpukan barang di pasar domestik produsen menjual
kelebihan produksinya tadi kepada pembeli luar negeri dengan harga yang
telah direduksi sehingga harganya menjadi lebih rendah dari harga didalam
negeri69.
2. Persistent Dumping ( Diskriminasi harga internasional), yaitu
penjualan barang pada pasar luar negeri dengan harga di bawah harga
domestik atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus
menerus yang merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang dilakukan
sebelumnya. Penjualan tersebut dilakukan oleh produsen barang yang
mempunyai pasar secara monopolistik di dalam negeri dengan maksud
untuk memaksimalkan total keuntugannya dengan menjual barang tersebut
dengan harga yang lebih tinggi dalam pasar domestiknya. Dumping yang
menetap itu terjadi dalam masa yang lama dan terjadi karena perbedaan
keadaan pasar di negara importir dan negara eksportir.70
Dumping dapat disebut sebagai diskriminasi harga berarti menjual barang
yang sama dengan harga berbeda pada pasar-pasar yang terpisah. Hal ini
biasanya sejalan dengan suatu posisi monopoli di pasar dalam negeri yang
bersangkutan, pembentukan kartel dan atau biaya yang melindungi
terhadap import yang lebih murah, dapat juga diartikan sebagai penawaran
di luar negeri dengan harga di bawah biaya produksi pada negara yang
mengesport.71
69
. Sukarmi, 2002, Regulasi anti dumping dibawah baying-bayang pasar bebas, Sinar grafika,
Jakarta, h. 40.
70
. Sobri, 1986, ekonomi internasional, teori, masalah dan kebijaksanaanya, bagian penerbitan
fakultas ekonomi (BPFE), UII, Yogyakarta, h. 91.
71
. Winardi, 1996, istilah ekonomi, mandar maju, Bandung, h. 112
3. Predatory Dumping. Predatory Dumping terjadi apabila,
perusahaan untuk sementara waktu membuat diskriminasi harga tertentu
sehubungan dengan adanya para pembeli hasil, diskriminasi itu untuk
menghilangkan pesaing-pesaingnya dan kemudian menaikan lagi harga
barang nya setelah persaingan tidak ada. Predatory dumping adalah
dumping yang paling buruk karena dumping itu dipraktekan hanya untuk
tujuan merebut keuntungan monopoli dan membatasi perdagangan untuk
jangka waktu yang lama meskipun hal itu menyebabkan kerugian jangka
pendek.72
Disamping jenis dumping tersebut dalam perkembanganya muncul istilah Diversinary
Dumping dan Downstream Dumping. Diversinary Dumping adalah dumping yang
dilakukan oleh produsen luar negeri yang menjual barangnya ke dalam pasar negara
ketiga denga harga di bawah yang adil dan barang tersebut nantinya diproses dan
dikapalkan untuk dijual ke pasar negara lain, sedangkan Downstream Dumping adalah
dumping yang dilakukan apabila produsen luar negeri menjual produknya dengan
harga di bawah harga normal kepada produsen yang lain di dalam pasar dalam
negerinya dan produk tersebut diproses lebih jauh dan dikapalkan untuk dijual
kembali ke pasar negara lain.73
Menurut Robert Willig ada 5(lima) tipe dumping yang dilihat dari tujuan
eksportir
kekuatan pasar dan struktur pasar import, yaitu.
1. Market Expansion Dumping
72
. Sobri, Loc.it
. Sukarmi, op.cit, h. 42.
73
Perusahaan pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan”mark-up”
yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elstisitas permintaan
yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.
2. Cyclical Dumping.
Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar
biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai
kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan
produk terkait.
3. State Trading Dumping.
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping
lainnya, tetapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya.
4. Strategic Dumping.
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan
perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan
negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun
dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara
pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen
cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh
keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing
pesaing asing.
5. Predatory Dumping.
Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan
tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan
monopoli di pasar negara pengimpor.Akibat terburuk dari dumping jenis ini
adalah matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.74
2.3. Barang Dumping.
Untuk mengetahui apakah produsen melakukan praktik dumping atau tidak,
maka perlu diketahui apakah barang yang diproduksinya merupakan barang dumping
atau tidak. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan
barang dumping tersebut. Untuk menentukan apakah ada barang dumping atau tidak
tergantung dari harga normal (normal value). Untuk itu penentuan harga normal
(normal value) adalah sangat perlu dilakukan. Dalam article 2(1),regulation 384/96
(Peraturan Perundang-undangan Masyarakat Eropa Mengenai Masalah Antidumping
dan Countervailing Duties) diatur:
“The normal value is typically based on the priclahes paid or payable,in the ordinary
course of trade, by independent customers in the exporting country”
(dalam bahasa Indonesia diterjemahkan : Harga Normal adalah biasanya didasarkan
pada alat pembayaran atau daya bayar dalam kegiatan perdagangan oleh pelanggan
independen di negara pengekspor).
Menurut PP.No.34 Tahun1996 Pasal 1 butir 3 ditentukan
harga normal
(normal value) adalah nilai yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang
sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik, sedangkan menurut
kesepakatan mengenai dumping yang tertuang dalam Article VI ayat (1) bagian b
butir i dan ii yang menentukan sebagai berikut:
Bagian (b) : in the absence of such domestic price, is less than either:
(i)
the highest comparable price for the like product for export to
any third country in the ordinary course of trade, or
(ii)
the cost of production of the product in the country of origin
plus reasonable addition for selling cost and profit
74
Antidumping in the America: Analyses on trade and integration in the Americas by Jose
Tavares de Araujo Jr.,2001,h.9. http://www.dttc.oas.org/trade/studies/subsid/Antidumptav.pdf. Artikel
diakses pada tanggal 10 Desember 2010 .pukul 21.15.
Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa tidak adanya harga domestik yang
digunakan sebagai dasar dalam penentuan harga normal. Dengan demikian penentuan
harga normal didasarkan pada harga perbandingan harga tertinggi barang sejenis yang
diekspor ke negara ketiga dalam perdagangan pada umumnya, atau ditentukan atas
dasar biaya produksi barang sejenis dengan tambahan biaya penjualan dan laba secara
wajar.75
Penentuan harga normal seperti yang diatur pada ketentuan di atas didasarkan atas
pertimbangan berikut.
1.
Adanya produsen di suatu negara yang hanya memproduksi suatu
barang untuk tujuan ekspor atau tidak memproduksi barang
sejenis untuk dikonsumsi di dalam negeri.
2. Adanya produsen di suatu negara yang selain memproduksi
barang sejenis untuk tujuan ekspor, juga memproduksi barang
sejenis untuk dipasarkan di pasar domestik, tetapi volume
penjualan di pasar domestik di negara pengekspor relatif kecil
sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar penentuan nilai
normal.76
Untuk menentukan apakah penghitungan harga normal produk yang
bersangkutan didasarkan pada harga jual sebenarnya atau biaya produksi.
Dalam
Buku Panduan berjudul “Bagaimana Menghadapi Tuduhan Dumping” yang
dikeluarkan oleh Direktorat Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderaal
Kerjasama Industri Dan Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian Dan
Perdagangan
75
76
diuraikan penghitungan harga normal (normal value) berdasarkan
Sukarmi, op.cit.,h.160.
Sukarmi, Loc.cit.
harga dalam negeri dan
berdasarkan biaya produksi (constructed value) sebagai
berikut:77
a). Harga Normal (Normal Value) Berdasarkan Harga Dalam Negeri.
Agar diperoleh perhitungan margin dumping yang benar, maka harga domestik
harus dalam bentuk harga domestik eks-pabrik.
Contoh Perhitungan :
- Harga domestik (pada juni 1998)
US $ 80/MT
- Biaya Transportasi
US $ 5/MT
- Biaya Handling
US $ 2/MT
________________________________________________________
Harga domestik eks-pabrik
US $ 73/MT
Catatan:
Harga jual domestik per metrik ton seringkali bervariasi antara US$ 80/MT
hingga US$ 100. Agar perhitungan dilakukan secara wajar (fair), maka diambil harga
jual domestik terendah, yaitu US$ 80/MT.
b). Harga Normal (Normal Value) Berdasarkan Biaya Produksi (Constructed
Value). Apabila pemohon tidak memperoleh harga domestik di negara eksportir, maka
normal value dapat ditentukan berdasarkan constructed value, yaitu menetapkan biaya
produksi yang terdiri dari biaya pabrik ditambah biaya biaya pemasaran dan
administrasi, serta financing charges. Kemudian untuk memperoleh harga jual
77
Departemen Perindustrian Dan Perdagangan,2001, Bagaimana Menghadapi Tuduhan
Dumping,Direktorat Jenderal Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional Departemen
Perindustrian Dan Perdagangan, h.25.
domestik eks-pabrik (normal value), maka biaya produksi ditambah profit margin(bisa
5% atau 10% disesuikan dengan tingkat keuntungan normal industri tersebut).
Contoh Perhitungan:
Jenis Biaya
US $
Biaya bahan mentah
45
Biaya pekerja langsung
10
Biaya overhead pabrik
15
Total biaya pabrik
70
Biaya pemasaran dan administrasi
8
Financing Charge
2
Jumlah biaya
Profit (5%)
Normal Value
80
4
84
Dalam Undang Undang No.19 Tahun1995 tentang Kepabeanan pada penjelasan
Pasal 18 ditentukan bahwa apabila terjadi ketiadaan harga domestik, maka harga
normal ditentukan berdasarkan :
1.harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga.
2.harga yang dibentuk dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi,
biaya penjualan, dan laba yang wajar(constructed value).
Dari uraian mengenai harga normal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksudkan dengan barang dumping adalah barang yang diimport dengan
harga dumping, yaitu harga ekspornya lebih rendah dari harga normalnya di pasaran
domestik negara pengekspor.
2.4. Batas Harga Dumping ( Margin of Dumping).
Untuk mengetahui batas harga dumping (margin of dumping) yang benar, maka
yang perlu ditetapkan terlebih dahulu adalah harga ekspor, karena perhitungan margin
dumping didasarkan atas perbedaan harga domestik eks-pabrik dengan harga ekspor
eks-pabrik dibagi harga ekspor CIF. Dalam menetapkan baik harga normal maupun
harga ekspor harus memenuhi ketentuan antara lain berdasarkan ketentuan
perdagangan yang berlaku umum (in the ordinary course of trade). Ketentuan
perdagangan yang berlaku umum ( in the ordinary course of trade), yaitu bahwa
transaksi penjualan barang tersebut ada unsur profit, dijual kepada konsumen
(importir) yang tidak mempunyai hubungan tertentu dengan eksportir (unrelated
parties), atau tidak di treat secara berbeda. Harga ekspor CIF harus ditetapkan dalam
bentuk harga ekspor eks-pabrik. Untuk memperoleh harga ekspor eks-pabrik, maka
harga ekspor CIF harus dikurangkan dengan biaya biaya yang timbul mulai dari pintu
pabrik ke pelabuhan tujuan ekspor.Biaya biaya tersebut dapat meliputi : island freight,
werehousing, handling, sea freight dan lain lainnya.Biaya biaya tersebut dapat
diperoleh dengan adanya bukti berupa invoice atau faktur, dan juga berdasarkan
estimasi pasar (berdasarkan pengalaan). Bukti-bukti nyata atau estimasi tersebut harus
dilampirkan.
Contoh perhitungannya:
- Harga ekspor CIF berdasarkan BPS
US $ 85/MT
- Sea Freight
US $ 20/MT
- Island Freight
US $ 2/MT
Harga ekspor eks-pabrik
US $ 63/MT.
Dengan mengetahui harga ekspor eks-pabrik maka batas margin dumping
dapat dihitung didasarkan atas perbedaan harga domestik eks-pabrik dengan harga
ekspor eks-pabrik dibagi harga ekspor CIF.78
Contoh perhitungannya:
- Harga domestik eks-pabrik (sebutkan periode)
US $ 73/MT
- Harga ekspor eks-pabrik (sebutkan periode)
US $ 63/MT
Margin
US $ 10/MT.
Margin Dumping (%) terhadap harga ekspor CIF adalah
0/85 x 100% = 11.76%
Catatan Khusus:
Harga jual lokal yang sebenarnya adalah alternatif pertama untuk menentukan harga
normal, dengan catatan bahwa penjualan :
- Mewakili paling sedikit 5% dari keseluruhan total tipe produk yang
bersangkutan;
- Dilakukan dengan pembeli yang tidak berkaitan dengan penjual (arms length
basis);
- Mencakup laba.
Kalau tidak ada penjualan di pasar lokal, OAD akan menetapkan harga normal
berdasarkan biaya produksi (constructed value),
atau bahkan berdasarkan
informasi dari perusahaan perusahaan lain.
Sejauh mungkin usahakan untuk mendasarkan penghitungan yang berdasarkan
harga jual lokal yang sebenarnya karena :
- Penghitungan berdasarkan biaya produksi bisa ditafsirkan berbeda beda, dan
setiap penyesuaian dalam pengeluaran yang berupa penambahan (upward
78
Ibid, h.27.
adjustmen) pada biaya produksi bisa berakibat pada penetapan suatu margin
dumping yang tinggi.
- Besarnya keuntungan ditetapkan dengan membandingkan biaya produksi
untuk penjualan di pasar lokal dengan harga jual rata rata di pasar lokal setelah
dikurangi diskon dan rabat. Kalau penjualan dilakukan di bawah harga (Selling
at a loss), harga normal jelas akan lebih tinggi karena perhitungannya adalah
biaya produksi plus marjin keuntungan yang layak.79
Teknis perhitungan margin of dumping dihitung dari selisih harga normal
dengan harga Less Than Fair Value (LTFV) kalau mengikuti ketentuan dalam Pasal
VI ayat (1) GATT 1947 adalah sebagai berikut.
1. Selisih antara harga normal dan harga less than fair value (LTFV) di pasar
domestik negara tujuan ekspor.(dalam ketentuan aslinya berbunyi: Is less
than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like
product when destined for consumption in the exporting country, or.)
2. Selisih antara harga normal dan harga less than fair value(LTFV) di pasar
negara ketiga jika tidak terdapat harga dalam negeri (dalam ketentuan
aslinya berbunyi: The highest comparable price for the like product for
export to any third country in the ordinary of trade, or.)
3. Selisih antara harga normal dan jumlah biaya produksi, ongkos ongkos
penjualan, dan keuntungan jika tidak terdapat harga dalam negeri (dalam
ketentuan aslinya berbunyi: The cost of production of the product in the
country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit).
79
Ibid, h.29
BAB III
PENENTUAN KERUGIAN (INJURY) DAN INSTRUMEN YANG
DIGUNAKAN UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DARI
PRAKTIK DUMPING
3.1 Kerugian (Injury)
3.1.1. Pengertian Kerugian (Injury)
Pada dasarnya dumping dilarang karena dianggap selalu dapat merugikan
perekonomian negara lain, Kerugian yang dimaksudkan dalam praktik dumping
adalah kerugian yang diderita industri dalam negeri sebagai akibat adanya barang
impor yang dijual dengan harga dumping.
Dalam PP. No. 34 tahun 1996 pasal 1 butir 11 ditentukan kerugian adalah :
a). Kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.
b). Ancaman terjadinya kerugian industri dalam negeri yang memproduksi
barang
sejenis, atau.
c). Terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
Dari pengertian tersebut terdapat 3 (tiga) tolok ukur yang dapat dijadikan
ukuran dalam menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis, yaitu :
1). Material Injury ( Kerugian Material)
Yang dimaksud dengan material injury yaitu kerugian material yang
diderita oleh industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Dalam
pengertian ini kerugian sudah terjadi dan dapat dilihat pada periode yang diseidiki
(investigation periode) yaitu dengan adanya indikasi antara lain penjualan menurun,
profit menurun, kehilangan konsumen, market share menurun, utilisasi kapasitas
produksi menurun, pengaruh terhadap cash flow, terhadap return on investment,
terhadap pertumbuhan perusahaan, PHK meningkat, stock meningkat, dsb.
2). Threat of Material Injury (Ancaman Kerugian Material )
Pengertian threat of material injury disini adalah ancaman terjadinya
kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Dalam
pengertian ini kerugian material belum terjadi dan belum dapat dilihat pada periode
yang diselidiki (Investigation Periode) tetapi gejala yang ada menunjukan bahwa
akan terjadi kerugian di masa depan ( misalnya : karena kapasitas yang besar dari
eksportir).
3). Material Retardation
of the Establishment to a Domestic industri
(terhalangnya pengembangan industri dalam negeri ).
Dalam pengertian ini kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang akan
timbul disebabkan karena terhalangnya pengembangan industri dalam negeri barang
sejenis yang diakibatkan oleh adanya barang dumping. Selain adanya hambatan
pengembangan industri dalam negeri juga hambatan lahirnya industri baru.
Batasan kerugian yang diatur oleh ketentuan tersebut diatas sangat luas,
mengakibatkan pengertian tersebut menjadi bias. Luasnya pengertian kerugian
tersebut dapat mengakibatkan perangkat hukum anti dumping dijadikan instrument
oleh pengusaha (produsen) untuk melindungi kepentingan kelangsungan usahanya.80
GATT menetapkan suatu kriteria umum mengenai kerugian akibat prkatik dumping,
yaitu dumpig yang dapat menimbulkan kerugian material, baik terhadap industri yang
sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik,
sebagaimana terihat dibawah ini.
80
107.
Yulianto syahyu, 2004, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Ghali, Indonesia, Jakarta, h 106-
“The contracting parties recognize that dumping, by which product of one
country are introduced into the commerce of another country at less than normal value
(sering digunakan istilah “Less than fair value” atau LTFV) of the product, is to be
condemned if it causes or treathmens material injury to an established industry in the
territory of a contracting party or materially retard the establishment of a domestic
industry”.81
Disebut terjadi kerugian (injury) apabila faktor-faktor ekonomi dari
perusahaan negara pengimport mengalami kerugian secara material, misalnya
penurunan penjualan, keuntungan, pangsa pasar, produktifitas, return on investment,
atau utilisasi kapasitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam negeri misanya
margin dumping, pengaruh negative pada cash flow (arus kas), persediaan, tenaga
kerja, upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal, investasi.82
Untuk mengetahui apakah suatu negara telah melakukan praktik dumping
yang menimbulkan kerugian material atau tidak, Article3.1. dari Antidumping Code
1994 menyatakan sebagai berikut.
“ A determination on injury for purpose of article VI of GATT 1994 shall be based on
positive evidence and involve and obyektive examination of both (a) the volume of the
dumped import and the effect f the dumped imports on price in the domestic market
for like products, and (b) the consequent impact of these import on domestic
producers of such product”
Dari ketentuan tersebut dapat dirtikan kerugian ditentukan berdasarkan adanya
bukti-bukti positive dan hasil penyelidikan yang obyekstif tehadap :
a). Peningkatan volume import dari produk yang telah dijual dengan harga dumping,
dan.
b). Pengaruh pratik dumping terhadap harga pasar dari produk barang sejenis yang
diproduksi produsen domestik83
Menurut Yulianto Syahyu batasan kerugian yang timbul akibat praktik dumping
cukup dibatasi sampai kerugian nyata (material Injury), dimana industri dalam negeri
81
Sukarmi, Op.cit h. 44
82
Christhophorus Barutu 3, Op.cit. h. 45.
Yulianto syahyu, Loc.cit
83
yang memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian sebagai
akibat adanya barang dumping.84
Dalam penyelidikan anti-dumping, penentuan ada tidaknya kerugian dalam hal
adanya dumping sangat penting, karena jika ternyata dumping dapat dibuktikan tetapi
tidak ada kerugian, maka bea masuk anti-dumping tidak dapat diterapkan. 85
Ada variabel sebab akibat yang diajukan oleh GATT untuk melarang tindakan
dumping, yaitu dumping yang dilakukan oleh suatu negara yang Less than fair value
atau (LTFV) dianggap dapat menyebabkan kerugian material (Material injury)
terhadap industri dalam negara importir. Jadi tindakan itu :
1). Harus ada tindakan dumping yang Less than fair value atau (LTFV).
2). Harus ada kerugian material di negara importir.
3). Adanya causal Link antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.86
3.1.2. Hubungan Kausalitas (Causality) Antara Kerugian (Injury) dan Barang
Dumping.
Suatu penyelidikan anti dumping belum memenuhi syarat apabila hanya
terdapat
atau terbukti adanya barang dumping serta kerugian (injury) saja yang
dialami oleh produsen dalam negeri. Suatu hubungan sebab akibat (a causal link)
antara barang dumping dengan kerugian (injury) harus ditunjukan dengan suatu buktibukti yang relevan, kuat dan valid. Pembuktian yang sederhana dan instant dapat
dianggap suatu bukti yang belum mencukupi, hubungan sebab-akibat ( a causal link )
merupakan kata kunci dalam penyelidikan anti dumping.
Otoritas anti dumping negara penuduh harus dapat membuktikan bahwa ada
hubungan sebab akibat antara barang import dumping dengan kerugian yang diderita
industri daam negeri. Hal tersebut harus didasarkan pada penilaian semua faktor
84
Yulianto syahyu, op.cit, h.107
Yulianto syahyu, op.cit, h. 77
86
Sukarmi, Loc.cit.
85
penyebab kerugian, tidak hanya faktor dumping tetapi juga faktor ekonomi lain yang
relevan, dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Adapun analisis hubungan
kausalitas meliputi :
1). Dampak Volume ( Volume Effect)
Mengenai volume barang dumping yang masuk ke negara pengimpor, harus
dapat dibuktikan bahwa telah terjadi suatu peningkatan yang signifikan dari
volume barang import yang diduga dumpig, baik secara absolut maupun
relatif terhadap produksi dalam negeri dan konsumsi nasional negara
pengimpor.
Penilaian
terhadap
volume
import
didasarkan
pada
perkembangan import tiga tahun terakhir. Perkembangan import tiga tahun
terakhir ini meliputi satu tahun yang disebut sebagai periode investigasi dan
dua tahun sebelumya
2). Dampak Harga (Price Effect)
Apabila industri dalam negeri berhadapan dengan barang import yang
didumping dengan sendirinya harga barang sejenis industri dalam negeri
akan mengalami depresi atau tertekan, yaitu harga barang sejenis industri
dalam negeri terpaksa diturunkan untuk menghindari kehilangan market
share di pasar dalam negeri, sehingga indusri dalam negeri terpaksa
melakukan price undercutting, yaitu harga barang sejenis industri dalam
negeri terpaksa diturunkan untuk mengimbangi harga barang dumping
Dalam rangka mempertahankan market share. Dalam menghadapi hal
tersebut industri dalam negeri juga bisa megalami price suppresion, yaitu
harga barang sejenis industri dalam negeri seharusnya dinaikan (misalnya
ada kenaikan harga raw material atau biaya-biaya lain yang meningkat)
tetapi tidak mencapai tingkat biaya produksi karena adanya persaingan
barang import yang dijual dengan harga dumping. Hubungan kausalitas
antara kerugian (injury) dan barang dumping dapat dilihat pada grafik di
bawah ini :
Grafik 1
Hubungan Kausalitas Antara Kerugian (Injury) dan Barang Dumping
DUMPING
Volume
Effect
INJURY
OTHER
FACTORS
(NONDUMPIN
G)
Price
Effect
Market Share
Industri Dalam
Negeri Menurun
Ø Recession
Ø Contraction in
demand
Ø Inefficient Of the
domestic industri
Ø Miss Management
Ø Price Undercutting
Ø Price Depressions
Ø Price Suppresions
1.Penurunan penjualan dalam negeri
2. Penurunan keuntungan
3. Penurunan output (produksi)
4. Penurunan market share
5. Penurunan Produktivitas
6. Penurunan utilisasi kapasi. tas produksi
7. Gangguan terhadap Return On Investment
8 Gangguan terhadap harga dalam negeri
9. Magnitude of Margin dumping.
10. Perkembangan Cash Flow yang negative
11. Inventori meningkat
12.Pengurangan tenaga kerja/ penurunan gaji bukan PHK
13. gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan
14. Gangguan terhadap Investasi
15. Gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal
>Sumber : Direktorat Pengamanan Perdagangan, Ditjen KIPI, depperindag, Nurlaila NM
Kasubdit pembuktian kerugian Dumping.
Harris,
3.2. Instrumen Yang digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri
Dari Praktik Dumping.
3.2.1. Anti Dumping
Mengenai Anti-dumping dapat dilihat pengaturannya dalam GATT-WTO dan
pengaturan dalam hukum nasional.
a). Pengaturan Anti- Dumping Dalam GATT-WTO.
Negara negara GATT pada saat berlakunya Persetujuan Pembentukan WTO
menjadi “Original Members” WTO sepanjang sudah memenuhi persyaratan mengenai
komitmen dan konsesi. Negara yang menjdi anggota WTO tentu saja wajib menerima
Persetujuan Pembentukan WTO dan persetujuan persetujuan yang menjadi
lampirannya, yang dalam hal ini adalah GATT, GATS ( General Agreement on Trade
in Servises), dan TRIPs (Agreement on Trade Related of Intellectual Property Rights),
atau secara keseluruhan disebutkan persetujuan perdagangan multilateral (Multilateral
trade agreements).Indonesia adalah salah satu anggota “Original Members” dari
WTO Cerminan dari diterimanya hasil hasil Putara Uruguay oleh Bangsa Indonesia
adalah pengesahan keikutsertaan Indonesia dalam WTO dengan dikeluarkannya
Undang-undang No. 7 tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994..Sudah jelas bahwa
keikutsertaan Indonesia dalam WTO dan pelaksanaan berbagai komitmen yang
disampaikan tidaklah terlepas dari rangkaian kebijaksanaan disektor perdagangan
khususnya perdagangan luar negeri.87
Dalam Perdagangan luar negeri atau perdagangan internasional pengusaha
untuk dapat merebut konsumen sebanyak mungkin, sering menempuh strategi
persaingan harga (price competition), yaitu dengan menekan harga serendah mungkin
untuk barang sejenis dengan perusahaan lainnya. Perbuatan tersebut dipandang
87
.B.M. Kuntjoro Jakti,et.al.,1997/1998,Pengkajian Hukum Tentang Masalah Penyelesaian
Sengketa Dagang Dalam WTO,BPHN,Jakarta, h.7-8
sebagai perbuatan curang, karena melakukan suatu perbuatan dalam bentuk
persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Dalam perdagangan Internasional
perbuatan curang tersebut dikenal sebagai praktik dumping , yaitu merupakan praktik
dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan
menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri,
dengan terjadinya banjir barang barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih
murah dari pada harga barang dalam negeri. Hal tersebut akan mengakibatkan barang
sejenis kalah saing, sehingga akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, dan
pada akhirnya adalah industri barang sejenis dalam negeri menjadi bangkrut.
Untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka
dikeluarkan peraturan antidumping yang merupakan salah satu perhatian khusus
Indonesia terhadap hasil putaran Uruguay. Peraturan antidumping terdapat dalam
Persetujuan Anti-Dumping GATT, yaitu pada article VI dari GATT 1994 yang terdiri
dari 7 (tujuh) ayat yaitu sebagai berikut.
Article VI “Anti-dumping and Countervailing Duties”.
1. The contracting parties reconize that dumping. By which products of one
country are introduced into the commerce of another country at less than
the normal value of the products, is to be condemmed if it causes or
threatens material injury to an established industry in the territory of a
contracting party or materially retards the establishment of a domestic
industry. For the purposes of this Article, a product is to be considered as
being introduced into the commerce of an importing country at less than
its normal value, if the price of the product exported from one country to
another
a)
is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for
the like product when destined for consumption in the exporting
country, or
b)
in the absence of such domestic price, is less than either
i). he highest comparable price for the like product for export to any
third country in the ordinary course of trade, or
ii). the cost of production of the product in the country of origin plus
a reasonable addition for selling cost and profit. Due allowance
shall be made in each case for differences in conditions and terms
of sale, for differences in taxation, and for other difference
affecting price comparability.
2. In order to offest or prevent dumping, a contracting party may levy on any
dumped product an anti dumping duty not greater in amount than the
margin of dumping in respect of such product. For the purposes of this
article, the margin of dumping is the price difference determined in
accordance with the provisions of paragraph 1.
3. No countervailing duty shall be levied on any product of the territory of
any contracting party imported into the territory of another contracting
party in excess of an amount equal to the estimated bounty or subsidy
determined to have been granted, directly or inderectly, on the
manufakture, production or export of such product in the country of origin
or exportation, including any special subsidy to the transportation of a
particular product. The term “countervailing duty” shall be understood to
mean a special duty levied for the purpose of offsetting any bounty or
subsidy bestowed, directly or indirectly, upon the manufacture, production
or export of any merchandise.
4. No product of the territory of any contracting party imported int the
territory of any other contracting party shall be subject to anti-dumping or
countervailing duty be reason of the exemption of such product from duties
or taxes borne by the like product when the destined for comsumption in
the country of origin or exportation, or by reason of the refund of such
duties or taxes.
5. No product of the territory of any contracting party imported into the
territory of any other contracting party shall be subject to both antidumping and countervailing duties to compensate for the same situation of
dumping or export subsidization.
6. a). No contracting party shall levy any anti-dumping or cuntervailing duty
on the importation of any product of the territory of another
contracting party unless it determines that the effect of the dumping or
subsidization, as the case may be, is such as to cause or threaten
material injury to an established domestic industry, or is such as to
retard materially the establishment of a domestic industry.
b). The CONTRACTING PARTIES may waive the requirement of
subparagraph (a) of this paragraph so as to permit a contracting
party to levy an anti-dumping or countervailing duty on the
importation of any product for the purpose of offsetting dumping or
subsidization which causes or threatens material injury to an industry
in the territory of another contracting party exporting the product
concerned to the territory of the importing contracting party. The
CONTRACTING PARTIES shall waive the requirements of subparagraph, so as to permit the levying of a countervailing duty, in
cases in which they find that a subsidy is causing or threatening
material injury to an industry in the territory of another contarcting
party exporting the product concerned to the territory of the
importing contracting party.
c). In exceptional circumstances, however, where delay might cause
damage which would be difficult to repair, a contracting party may
levy a countervailing duty for the purpose referred to in subparagraph (b) of this paragraph without the prior approvalof the
CONTRACTING PARTIES; Provided that such action shall be
reported immediately to the CONTRACTING PARTIES and that the
countervailing
duty
shall
be
withdrawn
promptly
if
the
CONTRACTING PARTIES disaprove.
7). A system for the stabilization of the domestic price or of the return to
domestic producer of a primary commodity, independently of the
movements of export prices, which results at times in the sale of
commodity for export at a price lower than the comparable price charged
for the like commodity to buyers in the domestic market, shall be presumed
not to result in material injury within the meaning of paragraph 6 if it is
determined by consultation among the contracting parties substantially
interested in the commodity concerned that:
a). The system has also resulted in the sale of the commodity for export at a
price higher than the comparable price charge for the like commodity to
buyers in the domestic market, and
b). The system is so operated, either because of the effective regulation of
production, or otherwise, as not to stimulate exports unduly or otherwise
seriously prejudice the interests of other contracting parties.
Persetujuan atas implementasi Article VI GATT dikenal sebagai Anti Dumping
Agreement (ADA) di mana menyediakan perluasan lebih lanjut atas prinsip prinsip
dasar dalam Article VI GATT itu sendiri, memerintahkan investigasi,ketentuan, dan
aplikasi bea antidumping. Dalam article VI GATT 1994, para anggota WTO dapat
membebankan/mengenakan antidumping measures jika setelah investigasi sesuai
dengan persetujuan, suatu ketentuan dibuat, yaitu :
a. bahwa dumping sedang terjadi,
b. bahwa industri domestik memproduksi produk yang sama (like product) di
negara pengimpor mendapatkan/memperoleh material injury, dan
c. bahwa ada suatu hubungan sebab akibat (causal link) antara keduanya.
Ketiga unsur di atas ditegaskan dalam Article 5.2 Agreement on Implementation of
Article VI of The General Agreement on Tarifs and Trade 1994(Anti-Dumping
Agreement/ADA)
“An application under paragraph 1 shall include evidence 0f (a)dumping,(b)injure
within the meaning of Article VI of GATT 1994 as interpreted by this agreement, and
(c) a causal link between the dumped imports and the alleged injury.Simple
assertion......”88
b). Pengaturan Anti-Dumping Dalam Hukum Nasional.
Pengaturan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia sebagai tindak
lanjut dari ratifikasi Pesetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7
tahun 1994 ternyata sampai saat ini belum ada pengaturannya secara khusus dalam
88
Christhophorus Barutu 3,op.cit.,h.44-45.
satu peraturan yang berbentuk undang-undang. Pengaturan anti dumping dalam
hukum nasional Indonesia tersebar dalam Peraturan Perundang-undangan, Peraturan
Pemerintah, dan produk produk hukum lainnya yang terkait seperti Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai
sebagai berikut.
1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan (ratifikasi)
Agreement Establishing the World Trade Organization. Dengan adanya
pengesahan tersebut maka persetujuan itu yang berisi 28 ketentuan telah sah
menjadi bagian dari peraturan nasional, dan sekaligus meratifikasi pula Anti
dumping Code tahun 1994 yang merupakan salah satu dari Multilateral Trade
Agreement.
2. Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah
dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti dumping
dan Bea Masuk Imbalan.
4. Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Prdagangan
Nomor
261/MPP/Kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Peryaratan Permohonan
Penyelidikan Atas Barang Dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi,
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan
Nomor
216/MPP/Kep/7/2001
sebagai
ketentuan
hukum
acara(formal), dan ketentuan pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia
(KADI) berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Anti Dumping indonesia, dan
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
428
/MPP/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite
Andi Dumping Indonesia serta Struktur Kepegawaian Komite Anti Dumping
Indonesia berdasarkan Keputusan Ketua Komite Anti Dumping Indonesia
Nomor 346/KADI/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan
Kepala Bidang dan Anggota di Lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia.
5. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping/Sementara.
Peraturan peraturan tersebut dapat digunakan dalam penanganan kasus kasus
dumping di Indonesia, terutama untuk pelaksanaan persyaratan dan tata cara
pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan bagi produk produk dari
luar negeri yang masuk ke dalam negeri sebelum adanya undang undang nasional
yang secara khusus mengatur anti-dumping.
Indonesia dengan meratifikasi Agreement Establishing the World
Trade
Organization dengan dikeluarkannya Undang undang No.7 tahun1994 tanggal 2
Nopember 1994, maka Indonesia harus mengimplementasikan 28 persetujuan yang
telah sah menjadi bagian dari peraturan nasional. Hal ini sesuai dengan teori Hukum
Alam yang dikemukakan oleh Grotius yang memaparkan ada 4 (empat) norma dasar
yang terkandung dalam Hukum Alam, yaitu.
1. Kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain.
2. Kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada di tangan
kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati.
3. Kita harus menepati janji janji yang kita buat.
4. Kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula
kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.89
89
Friedmen.,op.cit., h.49
Berdasarkan teori Hukum Alam dari Grotius itu, maka janji janji yang kita
buat
kita
harus
menepatinya
dengan
mengimplementasikan
kebijakan
antidumping,yaitu mengacu sepenuhnya kepada aturan WTO. Bila terbukti ada
praktik dumping dan kerugian, maka pihak yang menimbulkan kerugian itu harus
mengganti kerugian akibat pratik dumping yang dilakukan oleh eksportir , dan
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merekomendasikan pengenaan Bea Masuk
Anti Dumping (BMAD) sebesar marjin dumping, yaitu selisih harga ekspor dengan
harga di pasar asal eksportir.Tetapi dalam penerapan ketentuan anti dumping
berdasarkan GATT-WTO, Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 ternyata kurang
mengakomodasi semua ketentuan GATT-WTO tentang anti dumping, sehingga perlu
penafsiran penafsiran terutama mengenai harga normal, kerugian (injury), dan causal
link, sehingga kurang memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi produsen
dalam negeri.
Dalam upaya untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping,
oleh karena Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade
Organization, maka ada suatu perjanjian atau kontrak di antara negara negara yang
meratifikasi untuk menerapkan persetujuan persetujuan yang telah disepakati itu.Hal
ini dapat didasarkan pada teori kontrak sebagaimana dikemukakan oleh Rudolf Von
Jehring, bahwa kontrak tidak lain dari pada janji (promise). Janji menurut Jehring
memiliki kekuatan hukum, yaitu kekuatan hukum yang tidak berasal dari hal hal di
luar dari janji para pihak, tetapi dari fungsi praktis(practical function) dari janji itu
sendiri90 Tanpa adanya kekuatan mengikat dari janji itu, maka perjanjian itu menjadi
90
Rudolf Von Jehring, 1959, Law as a Mens to an End, dalam Clarence Morris ed, the Great
Legal Philosophers Selected Reasing in Jurisprudence, University of Pennsylvania Press, Philadelphia,
h.406
tidak ada artinya dalam hubungan bisnis.Konsekuensinya, hubungan bisnis hanya
akan berlangsung di antara pihak yang sudah benar-benar dikenal satu sama lainnya.
Daya kekuatan mengikat dari suatu perjanjian atau kontrak dapat dijelaskan
melalui beberapa teori, yaitu.91
1. Teori Kehendak (Will Theory).
Menurut teori ini suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan
keinginan dari beberapa pihak yang menginginkan kesepakatan itu
mengikat. Para pihak sendirilah yang menyatakan sendiri kehendaknya
untuk mengikatkan diri.
2. Teori Persetujuan(Bargaian Theory).
Teori ini merupakan pengingkaran dari teori pertama. Menurut teori ini
dasar mengikatnya suatu kontrak bukan kehendak dari para pihak, tetapi
persetujuan dari para pihak. Persetujuan yang telah dibuat oleh para pihak
mengikat sepanjang apa yang telah disepakati oleh para pihak tersebut.
3. Teori kesetaraan(Equivalen Theory).
Menurut teori ini bahwa para pihak dalam kesepakatan tersebut telah
memberikan kesetaraan(kesamaan) bagi para pihak.
4. Teori Kerugian(Injurious Reliance Theory).
Teori ini menyatakan bahwa para pihak terikat karena para pihak telah
menyatakan dirinya untuk mengandalkan pada pihak yang menerima janji
dengan akibat adanya kerugian. Dengan kata lain pelanggaran terhadap
kesepakatan akan menimbulkan kerugian.
Dari berbagai teori yang diuraikan di atas, tampaknya teori yang paling tepat
dan juga dianut di Indonesia adalah teori yang pertama, yaitu teori kehendak(Will
91
Roscue Pound, 1954, An Introduction to The Philosophy of Law, New Haven, UP, h.136
Theory) seperti yang diungkapkan oleh Subekti, bahwa perikatan yang lahir dari
perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu
perjanjian.92
Di samping teori tersebut di atas dalam ilmu hukum kontrak dikenal juga
berbagai teori yang masing masing mencoba untuk menjelaskan berbagai segmen dari
kontrak sesuai dengan kelompoknya masing masing dengan memakai kriteria tertentu,
yaitu.
1. Teori-teori berdasarkan formasi kontrak.
Dalam hubungannya dengan formasi kontrak, dalam ilmu hukum terdapat
4(empat) teori yang mendasar, yaitu:93
a. Teori kontrak defakto(implied impact), yaitu kontrak yang tidak pernah
disebutkan dengan tegas, tetapi ada dalam kenyataan, pada prinsipnya
dapat diterima sebagai kontrak yang sempurna.
b. Teori promissory estoppel (detremental riance), yaitu teori yang
mengajarkan bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak dari antara
kedua belah pihak, jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai
akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan
tawaran untuk suatu ikatan kontrak.
c. Teori kontrak quasi (quasi contract in atau implied in law ) teori ini
mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi syaratsyarat tertentu maka hukum dapat menganggap adanya kontrak
diantara pihak dengan berbagai konsekuensinya, sungguhpun kontrak
itu sebenarnya tidak ada.
92
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979, h. 3
Munir fuadi, 1999, Hukum Kontrak (Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya,
Bandung, h.2
93
d. Teori kontrak ekspresif, teori ini merupakan teori yang sangat kuat
daya berlakunya, bahwa setiap kontrak yang dinyatakan secara
tegas(ekpresif) oleh para pihak, baik secara tertulis atau lisan sejauh
memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak. Bagi negara-negara
anglo saxon unsur tri tunggal dianggap ikatan yang paling sempurna
bagi para pihak yaitu adanya unsur “offer”, “acceptance’’dan
“consideration”.
2. Teori-teori aliran klasik
Ada beberapa teori dasar (underlying presupposittion) yang klasik merupakan
tempat berpijak dari suatu kontrak yaitu sebagai berikut94 :
a. Teori hasrat, yaitu teori yang lebih mendasarkan kepada “hasrat “
(intention, will).
b. Teori benda, menurut teori ini, kontrak adalah suatu “benda” (thing)
yang
telah ada keberadaannya secara obyektif sebelum dilakukan
pelaksanaan (perfomance) dari kontrak tersebut.
c. Teori pelaksanaan, menurut teori ini bahwa yang terpenting dari suatu
kontrak adalah pelaksanaannya (enforcement) dari kontrak yang
bersangkutan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh badan-badan
pengadilan atau badan penyelesaian sengketa yang lainnya.
d. Teori prinsip umum, menurut teori ini suatu kontrak tetap mengacu
pada efek general dari konsep kontrak itu sendiri. Jadi kontrak disini
diartikan tidak akan menyimpang dari prinsip-prinsip umum dan
universal yang terdapat dalam konsep kontrak tradisional.
94
P.S. Atiyah, 1986. “ Essays on Contract” dalam munir fuady, hukum kontrak dari sudut
pandang hukum bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 9
3. Teori Holmes
Menyangkut tentang tanggung jawab hukum (legal liability) yang berkenaan
dengan kontrak. Teori ini pada prinsipnya mendasarkan kontrak itu pada dua
prinsip yaitu95 :
a. Tujuan utama dari teori hukum adalah untuk menyesuaikan hal-hal
eksternal ke dalam aturan hukum.
b. Kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban, karena
itu teori holmes tentang kontrak memiliki intisari sebagai berikut :
1. Peranan moral tidak berlaku untuk kontrak
2. kontrak itu merupakan suatu alokasi risiko, yaitu risiko wanprestasi
3. Yang terpenting bagi suatu kontrak adalah standar tanggung jawab
yang
eksternal. Sedangkan maksud aktual yang internal adalah
tidak penting.
4. Teori liberal kontrak
Prinsip teori ini mengajarkan, bahwa setiap orang menginginkan keamanan.
Sehingga Seorang harus menghormati kepada orang lain dan hartanya, tetapi orang
juga perlu bekerjasama, dan kerjasama ini dapat dilakukan tanpa kehilangan
kebebasannya, yang dalam hal ini dilakukan dengan kepercayaan dan perjanjian perlu
adanya komitmen sehingga secara moral komitmen dapat dilaksanakan, tanpa
komitmen tidak ada kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban yang
bersangkutan. Tetapi jika terjadi pelanggaran suatu kontrak oleh salah satu pihak
maka tidak akan mendapatkan suatu bentuk ganti kerugian seperti yang ditulis oleh
Hellen J. Bond & Peter Kay dalam bukunya yang berjudul Bussines Law “The
General Principle is that damages will not be awarded for non-pecuniary losses, such
95
Ibid, h. 10
as injury to the plaintiff’s feelings or for his mental distress, as a result of a breach of
contract96” dalam Teori-teori tersebut diatas pada prinsipnya dapat diterapkan dalam
upaya melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping sebagai akibat dari
ratifikasi agreement est.
Dalam persaingan pasar bebas perjanjian yang tertuang dalam sebuah kontrak
sangat penting, selain untuk mengikat kedua belah pihak kontrak juga sebagai hukum
bagi keduanya. Sebagai contoh Seperti yang ditulis oleh Berhard Bergmans dalam
bukunya Inside Information and Securities Trading “The Free Market approach
fundamentally rests on the role of property right and contracts in the functioning of
the market. These concepts need therefore to be briefly explained before examining
their application97”
Ada beberapa aliran atau mazhab dalam filsafat hukum yang memberikan
jawaban atas kekuatan mengikatnya suatu kontrak :
1. Mazhab Hukum Alam
Merupakan mazhab hukum tertua dalam aliran filsafat, sarjana yang sangat
terkenal pengikut aliran hukum alam ini adalah Hugo Grotius, menurut beliau bahwa
kekuatan mengikat suatu kontrak berasal dari hukum alam. Menurut hukum alam
kontrak tidak lain adalah kesepakatan timbal balik para pihak (mutual compact) yang
memiliki kekuatan mengikat dari hukum alam.98 Menurut grotius, individu pada
hakikatnya adalah mahluk yang lemah, ia membutuhkan banyak hal untuk membuat
hidupnya nyaman. Oleh karena itu mengikatnya diri pada suatu masyarakat diamana
96
Hellen J. Bond & Peter Kay, 1995, Bussines Law, Blackstone Press Limited, London, h.223.
Berhard Bergmans,1991, Inside Information and Securities Trading, Graham & Trootman,
London, h.134.
98
Hugo Grotius, 1959 “On the rights of war and peace” dalam Clarence Morris, The Great
Legal Philosophers, seected reasing in jurisprudence, University of Pennsylvania press, philadelphia, h.
84.
97
ia tinggal, untuk memenuhi kebutuhan itu antara ia dn masyarakatnya, maka hukum
hadir disitu.99
Filsuf lain pengikut aliran hukum alam yang bernama Pufendorf, menyatakan
bahwa kontrak melahirkan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak berdasarkan hal
ini maka keadilan menuntut bahwa kedua belah pihak melaksanakan kontrak itu. Bila
terdapat pelanggaran maka hukumnya menyusul100
Filsuf Jhon Locke sebagai pelopor ahli hukum alam menjelaskan bahwa
prinsip ini harus dihormati (keeping of faith) tidak lain adalah prinsip yang berasal
dari hukum alam. Jadi orang perorangan tersebut menurut Locke tidaklah cukup
digantungkan kepada para pihak. Locke berpendapat peran negara sangatlah perlu.
Menurut beliau, negara harus berfungsi sebagai pengawal hukum. Untuk itu orang
perorangan perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka kepada negara,
yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi.101
2. Mazhab Wiena(Hans Kelsen)
Salah seorang sarjana terkemuka yang menjelaskan hakikat mengikatnya kontrak ini
adalah Hans Kelsen. Mazhab beliau yang menarik adalah apa yang beliau sebut
sebagai doktrin transisi atau tindakan hukum (legal transaction atau uristic act).
Doktrin ini terbagi ke dalam dua bentuk yaitu pertama transaksi hukum sebagai
tindakan yang menciptakan hukum dan yang menerapkan hukum. Bentuk kedua dari
doktrin hukum ini adalah kontrak.
Menurut Kelsen, transaksi hukum itu adalah suatu tindakan dimana individu
diberi wewenang oleh (tertib) hukum untuk mengatur tindakan-tindakan tertentu
secara sah. Transaksi inilah yang disebut dengan tindakan yang menciptakan hukum
99
Ibid
Theo Huijbers, 2006, filsafat hukum dalam lintasan sejarah, kanisius, Yogyakarta, h. 73.
101
Ibid h. 83
100
(law-creating act). Disebut demikian karena tindakan tersebut melahirkan hak dan
kewajiban pada para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.
Pada saat yang sama tindakan berupa transaksi hukum tersebut terdapat
didalam nya bukan saja menciptakn hukum tetapi juga adalah tindakan penerapan
hukum (law applying act) . untuk memungkinkan semua tindakan tersebut sah, para
pihak menggunakan norma-norma hukum. Menurut Kelsen lebih lanjut, denga
memberi para pihak kemugkinan untuk mengatur hubungan-hubungan mereka secara
timbal balik melalui apa yang disebut Kelsen sebagai transaksi hukum tersebut, maka
norma hukum (legal Order) memberikan para individu suatu otonomi hukum tertentu.
Dalam fungsinya sebagai pembentukan hukum inilah, maka transaksi hukum tersebut
yang juga oleh kelsen disebut sebagai otonomi para pihak (Private-autonomy)
tercermin didalamnya.102
Dengan adanya suatu tindakan hukum, maka terbentuklah suatu norma-norma hukum
( umum ) yang mengatur hubungan timbal balik para pihak. Norma-norma hukum ini
oleh Kelsen disebut sebagai norma kedua (Secondary Norm). Alasan disebut norma
kedua ini adalah karena tindakan hukum tersebut melahirkan hak dan kewajiban
hukum yang apabila hak dan kewajiban tersebut dilanggar maka dapat menimbulkan
suatu sanksi. Oleh karena itulah norma kedua ini mengatur tingkah laku atau
perbuatan para pihak.
Bentuk kedua dari suatu transaksi yang disebut dengan istiah kontrak pada
hakikatnya adalah transaksi hukum yang bersifat hukum perdata (legal transaction of
civil law).103 Kontrak semata-mata adalah suatu pernyataan kehendak dari dua atau
lebih individu. Pernyataan ini merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya
102
103
Ibid h. 137
Ibid, h. 140
pernyataan ini maka kontrak yang dibuat tidak dapat ada atau dikuatkan oleh suatu
prosedur hukum (pengadilan).
Pernyataan atau deklarasi semata tidaklah cukup untuk melahirkan suatu
kontrak. Menurut Kelsen, pernyataan ini baru akan mengikat apabila pernyataan
tersebut ditujukan kepada pihak lainnya dan pihak ini menyatakan penerimaanya.
Kelsen menyebut adanya tindakan dua pihak ini sebagai transaksi hukum dua pihak
(two-sided legal transactions).
3. Mazhab Positivisme (Rudolf Von Jhering)
Mazhab lain dikemukakan oleh sarjana terkemuka Rudolf Von Jhering. Beiau
adalah salah seorang yang memelopori secara gigih mazhab positivisme yuridis.
Mazhab ini antara lain berpendapat bahwa satu-satunya hukum yang diterima sebagai
hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah yang dipastikan
kenyataannya.
Dalam hukum perjanjian ( kontrak ) ada beberapa asas atau prinsip
fundamental yang harus ditaati dan dihormati, Felix O Soebagio menyebutkan asas
atau prinsip-prinsip tersebut yaitu104
1.
Asas hukum umum. Asas ini merupakan suatu asas yang sangat
mendasar, dan berpengaruh kepada pelaksanaan dan perkembangan
hukum kontrak di Indonesia. Dengan asas ini setiap orang
diasumsikan mengetahui dan mengenl hukum. Dengan demikian
setiap orang dan pelaku bisnis di ndonesia dianggap mengetahui
setiap dan semua peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan
104
Felix O Soebagio, 1993, Perkembangan asas-asas hukum kontrak dalam praktek bisnis
selama 25 tahun terakhir, Disampaikan dalam pertemuan ilmiah “perkembangan hukum kontrak dalam
praktek bisnis di Indonesia” diselenggarakan oleh badan pengkajian hukum nasional, Jakarta, 18 dan
19 Februari 1993
kegiatan bisnis di Indonesia, khususnya peraturan-peraturan hukum
yang berkaitan dengan bidang kontrak.
2.
Asas kebebasan berkontrak (Freedom Of Contract). Asas ini adalah
merupakan salah satu asas yang sangat terkenal didalam hukum
kontrak. Berdasarkan asas ini suatu pihak dapat memperjanjikan dan
atau tidak memperjanjikan apa-apa yang dikehendaki dengan pihak
lain. Dengan perkataan lain para pihak berhak untuk menentukan
apa-apa yang saja yang diinginkannya dan sekaligus juga
diperkenankan
untuk
menentukan
apa-apa
saja
yang
tidak
dikehendaki untuk dicantumkan didalam perjanjiannya, dan apa
yang diperjanjikan itu akan mengikat
para pihak yang
menandatangani perjanjian tersebut (pasal 1338 KUHPer).
3.
Asas Konsensualitas. Suatu asas hukum lain yang dikenal didalam
hukum
perjanjian
adalah
apa
yang
disebut
dengan
asas
konsensualitas. Menurut asas ini, perjanjian timbul, ada dan sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat. Dengan perkataan lain,
perjanjian itu sudah sah apabila tercapai sepakat mengenai hal-hal
yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas tertentu.
Namun yang kita lihat didalam perkembangan praktek agaknya
sedikit berlainan dan bahkan boleh dikatakan menjadi sudah tidak
mempergunakan lagi penerapan asas konsensualitas. Bukan hanya
asas konsensualitas itu sulit untuk dibuktikan, akan tetapi orang juga
akan lebih mudah untuk mengingkari apa yang telah disepakati
dibandingkan dengan harus melihat apa yang telah tertulis. Bahkan
lebih jauh, tidak hanya mengenai asas konsensualitas, hal-hal yang
tertulis yang telah ada sebelumnya bila kemudian ditanda-tanganinya
suatu perjanjian biasanya ada ketentuan perjanjian yang mengatakan
bahwa hal-hal yan telah ada sebelumnya tersebut menjadi tidak
berlaku lagi dan bahwa perjanjian ini telah menggantikan dan
menjadikan satu-satunya perjanjian yang berlakudan mengikat para
pihak.
4.
Asas Itikad Baik, (Good Faith). Suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik. Didalam perkembangannya, asas itikad baik
yang dituangkan didalam ketentuan pasal 1338 KUHPer itu, belum
dianggap cukup melindungi kepentingan para pihak sehingga perlu
dituangkan lebih jauh dan lebih rinci didalam ketentuan-ketentuan
perjanjian itu sendiri. Hal mana dibenarkan, dimungkinkan dan
sejalan dengan asas kebebasan berkontrak yang telah kita uraikan
diatas. Asas itikad baik memang suatu asas yang valid dan harus
dipertahankan didalam hukum perjanjian, tetapi itikad baik saja tidak
atau paling tidak belum cukup dalam suatu hukum perjanjian
seseorang bsa berubah dari waktu ke waktu mengingat keadaankeadaan
dan
kondisi-kondisi
serta
hal-hal
yang
mungkin
mempengaruhi pikirannya. Untuk menghindari yang demikian,
itikad baik dari para pihak dalam banyak hal dituangkan lebih rinci
dalam ketentuan-ketantuan pernjanjian.
5.
Asas “Fairness”. Diketahui bahwa suatu pernajian dibuat bukanlah
untuk kepentingan suatu pihak saja, tetapi untuk kepentingan semua
pihak-pihak dalam perjanjian. Perjanjian harus dibuat dengan
mengindahkan dan memperhatikan kepentingan dari pihak-pihak
yang tersangkut.
6.
Asas kesamarataan dalam hukum. Asas kesemarataan ini bila
dikaitkan dengan hukum perjanjian akan memberikan arti bahwa
para pihak pada dasarnya adalah diberikan kedudukan dan
mempunyai kedudukan yang sama, diberikan hak dan mempunyai
hak yang sama dan diberikan kewajiban serta akan mempunyai
kewajiban sebagaimana sesuai dengan yang diperjanjikan .
7.
Suatu pihak harus bertanggung jawab terhadap pihak lain yang
menderita kerugian akibat perbuatannya atau kelalaiannya. Asas ini
sangat penting dalam hubungannya dengan kewajiban seseorang
terhadap kemugkinan kerugian yang diderita oleh orang lain akibat
perbuatannya. Suatu “manufacturer” misalnya, harus bertanggung
jawab atas produk-produk yang dihasilkannya. Manufacturer harus
menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkannya itu adalah
mempunyai kualitas dan kapasitas sebagaimana disebut didalam
brosur.
8.
“Time Is Of The Essence”. Didalam kontra-kontrak tertentu
khususnya yang berkaitan dengan “construction project” dan
“project financing”, asas ini merupakan asas yang umum dan
merupakan dasar pertimbangan utama dalam pengertian bahwa suatu
proyek harus diselesaikan tepat pada waktunya. Ketepatan waktu
adalah sangat essensial, oleh karena apabila erjadi keterlambatan, hal
itu akan membawa akibat finansial yang sangat besar, yang antara
lain akan mengkait pada kemungkinan terlambatnya memulai
melakukan kegiatan atau bisnisnya, kemungkinan terlambatnya
mendapatkan “revenue” kewajiban untuk melakukan pembayaran
kembali, kemungkinan naiknya biaya-biaya dan ongkos/pengeluaran,
kemungkinan
ditanggung
adanya
yang
kewajiban-kewajiban
sebelumnya
tidak
baru
yang
harus
dan
tidak
diperkirakan
dipredisikan, kemungkinan proyek tidak visibel lagi.
9.
Asas “As is Where is”. Asas ini biasanya diberlakukan dan
dipergunakan dalam suatu transaksi yang melibatkan masalahmasalah yang sebenarnya dapat tidak dimasukan didalam konsiderasi
tetapi telah diberitahukan oleh satu pihak kepada pihak Yang lain
tersebut. Sebagai akibatnya transaksi tersebut akan ditutup dengan
konsiderasi
yang
mendasarkan
kepada
keadaan
yang
telah
diberitahukannya.
10.
Asas “Confidentiality”. Pada dasarnya para pihak adalah diwajibkan
untuk menjaga kerahasiaan daripada ketentuan-ketentuan atau pun
dalam hal ini contoh data-data yang tersangkut didalam perjanjian
dan
tidak
dibenarkan
untuk
menyebarluaskan
ataupun
memberitahukan kepada pihak ketiga. Namun biasanya juga diatur
tentang pengecualian-pengecualian mana saja yang sebenarnya dapat
dilakukan, sampai seberapa lama ketentuan ini harus tetap
dipertahankan, apakah ada jangka waktu tertentu ataukah untuk
selamanya.
3.2.2. Subsidi
Subsidi dilakukan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk
meningkatkan kemakmuran negaranya, sehingga pada prinsipnya subsidi tidak
dilarang, tetapi perlu adanya pembatasan untuk mencegah timbulnya persimpangan
yang justru dapat menimbulkan kerugian bagi negara lain, karena persaingan akan
berubah menjadi tidak sehat (unfair) apabila produk yang di eksport tersebut
memperoleh keuntungan (benefit) yang diperoleh dari subsidi atau bantuan keuangan
dari pemerintah atau badan pemerintah, baik langsung ataupun tidak langsung kepada
perusahaan , industri atau eksportir. Dalam perdagangan internasional subsidi
merupakan suatu perbuatan yang tidak fair (unfair practices) yang dapat merugikan
pihak-pihak yang terkena perbuatan praktik subsidi.
Praktik subsidi mengeleminasi persaingan yang wajar dalam mekanisme
pasar
sehingga
dapat
melumpuhkan
iklim
usaha
yang
competitive
yang
mengakibatkan rusaknya tatanan hubungan dagang yang fair.105 ketentuan yang
mengatur masalah subsidi ini dapat dilihat daam GATT dan dalam Agreement on
subsidies and countervailing measure ( persetujuan tentang subsidi-subsidi dan
tindakan balasan).
a). Ketentuan subsidi dalam GATT
GATT yang mengatur masalah pembatasan subsidi terdapat dalam article
VI dan article XVI. Article VI GATT 1947 mengatur tentang tindakan bea balasan
(countervailing duty) terhadap produk primer dan non primer. Kedua article tersebut
tidak ada yang mengatur batasan subsidi tersebut. Hanya dalam article XVI GATT
mengatur masalah subsidi secara umum. Dalam article XVI.1 GATT ditentukan :
105
Christhophorus Barutu, 2006, praktik subsidi dalam perdagangan internasional serta
pemberlakuan ketentuan anti subsidi dan countervailling measure (tindakan-tindakan imbalan
terhadap subsidi), jurnal hukum yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, volume 21, No. 4,
juli 2006, Surabaya.(Selanjutnya Christhophorus Barutu 4) h. 419.
“ If any contracting party grants or maintains any subsidy, including any
from of income or price support, which operates directly or inderectly to increase
exports of any product from or to reduce import of any product into, its territory, it
shall notify the CONTRACTING PARTIES in writing of the extent and nature of the
subsidization on the quantity of the affected product r product imported into or
exported from its territory and of the circumstances making the subsidization
necesary. In any case in which it is determined that serious prejudice to the interests
of any other contracting party is caused or threatened by any such subsidization the
contracting party granting the subsidy shall, upon request, discuss with the other
contracting party or parties concerned, or with the CONTRACTING PARTIES, the
possibility of limiting the subsidization”
Dari ketentuan tersebut terdapat adanya ketentuan yang memberi dan
mempertahankan subsidi yang meliputi berbagai upaya untuk menambah penghasilan
para produsen serta menekan harga produknya. Pemberian subsidi untuk mendorong
ekspor, baik langsung maupun tidak langsung dan pemberian subsidi untuk
mengurangi impor, dan ketentuan mengenai kewajiban pemberitahuan subsidi yang
maksudnya untuk melindungi industri dalam negeri negara importir bagi subsidi
produksinya dengan beberapa ketentuan, yaitu pemberitahuan harus dilakukan secara
tertulis, yaitu selain harus memuat jumlah produk yang diberikan subsidi, juga nilai
subsidinya dan keadaan-keadaan yang dijadikan alasan diberikannya subsidi.106
b). Ketentuan subsidi dalam Agreement on subsidies and countervailling measures
(persetujuan tentang subsidi-subsidi dan tindakan balasan).
Pengertian subsidi dalam Agreement On Subsidies And Countervailling
Measures (persetujuan tentang subsidi-subsidi dan tindakan balasan ) terdapat dalam
part 1 General Provisions, article 1, yang menentukan.
For the purpose of this Agrement, a subsidy shall be deemed to exisst if :
(a)(1) There is a financial contribution by a government or any public
body
within the territory of a member (referred to in this agreement as
“government”), i,e. Where :
106
Cristophorus Barutu 3, op.cit, h. 69.
(i) a government practice involves a direct transfer of funds (e.g. grants,
loans, and equity infusion), potential direct transfer of funds or
liabilities (e.g. loan guarantees)
(ii) government revenue that is otherwise due is foregone or not
collected (e.g. fiscal incentives such as tax credits)
(iii) a government providies goods or service other than general
insfrastructure, or purchases goods
(iv) a government makes payments to a funding mevhanism, or entrusts
or directs a private body to carry out one or more of the type of
functions illustrated in (i) to (iii) above which would normaly be
vested in the government and the practice, in no real sense, differs
from practice normally followed by goverment.
Or
(a)(2) there is any form of income or price support in the sense of article
xvi of GATT 1994.
(b) a benefit is thereby conferred.
Dari pengertian subsidi tersebut dapat disebutkan bahwa suatu subsidi
dianggap ada jika :
1.
terdapat kontribsi financial oleh pemerintah, atau terdapat bentuk
pedapatan atau bantuan harga seperti yang tercantum dari pasal 16
persetujuan umm tentang tarif dan perdgangan 1924.
2.
akibatnya diperoleh suatu keuntungan.107
Subsidi merupakan keuntungan yang diperoleh industri atau produsen dari :
a. transfer dana langsung dari pemerintah (grants, pinjaman, atau saham),
atau jaminan pembayaran pinjaman oleh pemerintah.
b. Pendapatan pemerintah yang tidak dipungut.
Mengenai subsidi ini ada yang dilarang dan ada juga subsidi yang dapat dikenakan
tindakan (astionable subsidies). Subsidi ekspor dilarang jika subsidi dikaitkan dengan
kinerja ekspor dan dikaitkan dengan penggunaan kandungan lokal, sedangkan subsidi
yang dapat dikenakan tindakan, jika :
107
Christhophorus Barutu 3, op.cit. h. 71.
c. menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri negara
importir
d. mengurangi keuntungan yang diperoleh dari konsensi tarif.
e. Pemerintah menyediakan barang/jasa/pembelian barang.
Mengenai subsidi ini ada yang dilarang dan ada juga subsidi yang dapat dikenakan
tindakan (astionable subsidies). Subsidi ekspor dilarang jika subsidi dikaitkan dengan
kinerja ekspor dan dikaitkan dengan penggunaan kandungan lokal, sedangkan subsidi
yang dapat dikenakan tindakan, jika :
a. menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri negara
importir
b. mengurangi keuntungan yang diperoleh dari konsensi tarif.
Disamping subsidi yang dapat dikenakan tindakan, juga ada subsidi yang tidak dapat
dikenakan tindakan, jika subsidi tersebut diberikan untuk :
a. penelitian oleh industri (tidak boleh lebih dari 75% dari biaya)
b. adaptasi fasilitas produksi dengan persyaratan-persayatan
lingkungan yang baru (hanya satu kali dan tidak lebih dari 20%
dari biaya adaptasi)
c. pembangunan industri di wilayah tertinggal.
3.2.3. Safeguard
Pada saat krisis ekonomi global, dan untuk melindungi industri daam
negeri agar tetap eksis dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), maka
salah satu instrument trade remedies yang sering digunakan oleh negara anggota
WTO adalah safeguard disamping dua instrument lainnya yaitu dumpig dan subsidi108
108
Muhammad Yani, 2009, “safeguard” bulletin kerjasama prdagangan internasional, edisi
55/2009, departemen perdagangan Republik Indonesia, h 17.
Safeguard adalah suatu tindakan pengamanan industri dalam negeri yang
berupa larangan import dan atau menaikan tariff atau menetapkan kuota selama
periode waktu tertentu. Tindkan ini dilakukan karena terjadinya kerugian serius
(Serious Injury) atau terancam kerugian serius (Threaten to cause serious injury) pada
industri dalam negeri yang disebabkan karena meningkatnya import dalam jumlah
yang besar secara tiba-tiba. Pada dasarnya produsen/eksportir mengekspor produknya
ke suatu negara tidak melakukan praktek perdagangan yang tidak sehat namun produk
yang di import dari berbagai negara tersebut secara kuantitas melonjak secara
dramatis baik secara absolut maupun relatif sehingga produsen dalam negeri produk
sejenis mengalami kerugian serius (serious Injury) atau terancam kerugian serius
(threaten to cause serious injury). Akibat dari lojakan import tersebut berdasarkan
WTO Agreement diperkenankan untuk diambil tindakan pemulihan yang dinamakan
dengan tindakan safeguard (safeguard measures)109
Kesepakatan safeguards organisasi perdagangan dunia (World Trade
Organization) adalah peraturan yang memuat prosedur dan tata cara melakukan
tindakan pengamanan (safeguard) oleh masing-masing negara anggota. Menurut
keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 tahun 2002 tentang tindakan
pengaman industri dalam negeri dari akibat lonjakan import disebutkan tindakan
pengamanan adalah tindakan yang diambil pemeritah untuk memulihkan kerugian
serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai
akibat dari lonjakan import barang sejenis atau barang yang secara langsung
merupakan saingan hasil industri dalm negeri dengan tujuan agar industri dalam
negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut
dapat melakukan penyesuaian struktural (pasal 1 angka 1).
109
Ibid, h 13
Kerugian serius adalah kerugian nyata yang diderita oeh industri dalam negeri,
sedangkan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang
akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri. Penentuan kerugian
serius dan atas ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat
lonjakan import barang terselidik harus didasarkan kepada hasil analisis dari seluruh
faktor-faktor terkait secara obyektif dan terukur dari industri dalam negeri.
Faktor-faktor tersebut dimaksud meliputi :
Ø Tingkat dan besarnya lonjakan impor baik secara absolut ataupun relatif
Ø Perubahan tingkat penjualan
Ø Produksi
Ø Produktifitas
Ø Pemanfaatan kapasitas
Ø Keuntungan dan kerugian
Ø Kesempatan kerja
Ø Pangsa pasar dalam negeri, Dll.
Tindakan safeguard merupakan perlindungan sementara terhadap industri
dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang
disebabkan oleh terjadinya lonjakan impor barang yang sama atau secara langsung
menyaingi produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri tersebut. Persyaratan
penerapan tindakan safeguard sementara (provisional safeguard measure), yaitu :
Ø Dalam keadaan kritis
Ø Ada bukti awal bahwa peningkatan impor menyebabkan kerugian serius
atau ancaman akan terjadinya kerugian serius
Ø Berlaku tidak melebihi 200 hari
Ø Dala bentuk tariff (cash board)
Ø Penerapan atas dasar MFN (non dokumentasi)
Ø Dalam hal hasil penyelidikan ternyata tidak ada bukti kuat, maka bea
masuk safeguard sementara yang telah dibayarkan harus dikembalikan
Untuk tindakan safeguard tetap, akan dilakukan apabila :
Ø Terdapat bukti bahwa kenaikan impor barang terselidik menyebakan
kerugian serius/ ancaman kerugian serius industri dalam negeri.
Ø Komite menetapkan rekomendasi tindakan pengamanan tetap.
Ø Komite menyampaikan rekomendasi tindakan pengamanan tetap kepada
menteri perdagangan.
Ø Tindakan pengamanan tetap dapat ditetapkan dalam bentuk bea masuk
oleh menteri keuangan dan atau kuota oleh menteri perdagangan.
Untuk ketentuan tindakan pengaman tetap, akan dilakukan apabila :
Ø Berlaku atas dasar Most Favoured nations / tanpa terkecuali.
Ø Tindakan pengamanan secara bertahap diperingai atau diliberalisasikan
selama masa berlakunya tindakan pengaman tetap.
Ø Tindakan pengamanan daam bentuk kuota ditetapkan tidak boleh kurang
dari volume impor yang dihitung secara rata-rata dalam jangka waktu
3(tiga) tahun terakhir, kecuali terdapat alasan yang jelas bahwa kuota
dalam jumlah atau volume impor lebih kecil diperlukan untuk memulihkan
kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius.
Ø Jika lebih dari satu negara pengekspor barang terselidik ke indonesia,
maka kuota impor yang di tetapkan harus dialokasikan di antara negaranegara pemasok.
Ø Kuota harus dialokasikan secara pro-rata sesuai dengan prosentasi
besarnya impor dari tiap negara pemasok secara rata-rata dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun terakhir.
Untuk masa berlaku tindakan pengaman tetap yaitu :
Ø Tindakan pengamanan tetap hanya berlaku selama dianggap perlu untuk
memulihkan kerugian serius dan untuk memberikan waktu penyesuaian
struktural bagi industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau
ancaman kerugian serius.
Ø Tindakan pengamanan adalah paling lama 4 (empat) tahun dan dapat
diperpanjang maksimun 8 tahun atau 10 tahun untuk negara berkembang.
Ø Dalam hal tindakan pengamanan telah diberlakukan lebih dari 3 (tiga)
tahun, komite melakukan pengkajian atas tindakan pengamanan dan
memberitahukan hasil pengkajian tersebut sekurang-kurangnya 6 (enam)
bulan sebelum masa berlaku tindakan pengamanan berakhir kepada pihak
berkepentingan.
Dalam kesepakatan Safeguard WTO di persyaratkan keharusan dilakukannya
penyelidikan sebelum tindakan safeguard tersebut ditetapkan. Adapun lembaga yang
berwenang untuk melakukan penyelidikan di indonesia adalah komite pengaman
perdagangan indonesia (KPPI). KPPI harus membuktikan bahwa lonjakan barang
impor
mengakibatkan menurunnya kinerja atau mengancam akan menurunkan
kinerja industri dalam negeri kepada semua pihak yang terkait dengan kasus tersebut
harus diberitahu rencana penetapan tindakan safeguard tersebut dan kepada para
eksportir diberikan kesepakatan yang cukup waktunya untuk memberikan pandangan
atau pendapat mereka.
KPPI dalam melakukan penyelidikan dapat atas inisiatif sendiri atau atas
permohonan dari dunia usaha atau organisasi usaha / pekerja. Dalam pasal 8
Keputusan Presiden No. 84 tahun 2002 ditentukan penyelidikan yang dilakukan oleh
komite harus selesai dalam waktu 200 (dua ratus) hari sejak penetapan dimulainya
penyelidikan. (ayat 1).
Dalam hal hasil penyelidikan ternyata tidak ada bukti kuat yang menunjukan
industri dalam negeri mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius
sebagai akibat dari lonjakan impor, komite menghentikan penyelidikan tindakan
pengamanan (pasal 7 ayat 1). Komite dapat merekomendasikan tindakan pengamanan
sementara dalam bentuk bea masuk, yaitu dalam hal (pasal 9 Keputusan Presiden No.
84 tahun 2002).
Ø
terdapat suatu bukti kuat bahwa terjadinya lonjakan mpor dari barang
terselidik telah mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian
serius; atau
Ø
lonjakan impor dari barang terselidik
menimbulkan kerugian seirus
industri dalam negeri ysng akan sulit dipulihkan apabila tindakan
pengamanan sementara terlambat diambil .
mengenai prosedur penyelidikan tindakan pengamanan (safeguard ) untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini :
Grafik 2
Prosedur Penyelidikan Tindakan Pengamanan (safeguards)
Pemohon
Tidak
Lengkap
Aplikasi
Permohonan
Kuesioner
Kepada
Petisioner
Kelengkapan
Informasi
Pemberian
Bimbingan Teknis
Peningkatan
Impor
Lengkap
Analisis bukti
awal
Kerugian serius /
Ancaman kerugian
serius
Verifikasi data/
imformasi
Petsioner
Pre Notifikasi
Kelayakan
permohonan dan
perhitungan
provisional
Measure
Layak ?
Seminar
Lanjutan :
Layak?
Seminar
Penutupan atau inisiasi &
Tindakan pengamanan
sementara
Notifikasi &
Pengiriman
Kuesioner
H 30
Jawaban kuesioner pihak
yang berkepengtingan
Bimbingan
Teknis
H 35
Verifikasi data / informasi
H0
H 50
H 60
H 165
Penyusunan Laporan
Laporan Sementara
Dengar pendapat
H 167
Masukan dari pihak
berkepentingan & terkait
H 170
SEMINAR
H 180
H 200
Pihak terkait /
berkepentingan
Pihak terkait /
berkepentingan
Mendag
Rapat anggota KPPI
Menteri
Keuangan
Lap. Final & Rekomendasi
Pihak terkait /
berkepentingan
Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Sebagai pihak berkepentingan sebagai pemohon adalah :
a) Produsen dalam negeri Indonesia yang mengalami kerugian serius atau
ancaman kerugian serius akibat lonjakan impor barang
sejenis, barang
terselidik dan atau barang yang secara langsung bersaing.
b) Asosiasi produsen barang sejenis, barang terselidik dan atau barang yang
secara langsung bersaing.
c) Organisasi buruh yang mewakili kepentingan industri dalam negeri barang
sejenis barang terselidik dan atau barang yang secara langsung bersaing.
Persyaratan mewakili industri dalam negeri adalah volume produksi secara kolektif
maupun individu pemohon lebih besar 50% dari total produksi nasional.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam kesepakatan safeguard yaitu.
1. setiap negara importir yang ingin meakukan tindakan safeguard harus terlebih
dahulu melakukan penyelidikan untuk membuktikan bahwa lonjakan impor
benar-benar telah mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian
serius bagi industri dalam negerinya yang memproduksi barang yang sejenis
atau mendapatkan saingan langsung dari barang impor tersebut
2. kepada semua pihak yang terkait termasuk eksportir harus diberitahu dan
diumumkan
rencana
tindakan
safeguard
tersebut
dipenerbitan
resmi
pemerintah. Bersamaan dengan itu disampaikan juga notifikasi ke kominte on
safeguards WTO agar dapat didistribusikan kepada semua negara anggota
WTO.
3. Tindakan safeguard dapat ditetapkan dalam bentuk kuota atau bea masuk.
Setiap tindakan safegard yang telah ditetapkan harus dilakukan pengurangan
secara bertahap sampai batas waktu pengenaan nya. Umumnya tindakan
safeguards tidak lebih dari 4 tahun dan dapat diperpanjang 4 tahun berikutnya,
khusus bagi negara berkembang diperkenankan menetapkan sampai dengan
paling lama 10 tahun.
Apabila tindakan safeguards ditetapkan lebih dari tiga tahun maka negara yang
mengambil tindkan tersebut harus memberikan konvensasi atau konsisi yang imbang
berupa kemudahan akses pasar bagi negara yang dikenakan tindakan safeguards
tersebut. Dengan adanya kesepakatan safeguards WTO tersebut maka semua industri
dalam negeri dan para ekpotir memdapatakan perlindungan dan kepastian hukum
yang jelas atas tindakan safeguard. Untuk industri dala negeri mendapat perlindungan
dari serangan impor dan para ekport terhindar dari tindakan sewenang-wenang negara
tertentu, karena ada kepastian harus mendapatkan informasi yang cepat dan diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau buki-bukti tidak tepatnya tuduhan
yang ditujkan kepada mereka.
Lingkup tindakan pengamanan perdagangan di indonesia lebih jelasnya dapat
dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik 3
Lingkup Tindakan Pengamanan Perdagangan indonesia
Pengamanan Perdagangan
Pengamanan
industri dalam
negeri 9
offensive
KADI & KPPI
Pengamanan pasar luar negeri
(Deffensive)
Direktorat
pengamanan
perdagangan
> Antidumping
> anti subsidy
> Tindakan Safeguard
Penyelidikan
(investigasi)
Ø Tuduhan Dumping
Ø Tuduhan Subsidi
Ø Tindakan safeguards
Advokasi / Pembelaan
Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Dalam periode tahun 2008-bulan juni 2009 beberapa negara telah
melakukan penyelidikan safeguards. Mesir telah melakukan pengumuman (inisiasi)
untuk produk cotton yarn dan blend. Dalam tempo yang tidak terlalu lama india
melakukan penyelidikan terhada dua produk ekspor idonesia yaitu Phthallic Anhy
dride, 2008 dan coated & uncoated paper, 2009. dengan demikian tidak menutup
kemungkinan negara anggota lainnya menggunakan safeguard untuk melindungi
industri dalam negerinya dari kebangkrutan110.
110
Ibid h.17-18
BAB IV
Kebijakan Pemerintah Berkaitan Dengan Tuduhan Dumping Oleh Produsen
Indonesia Kepada Negara Pengekspor
4.1. Pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
4.1.1. Dasar Hukum Pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
Pada tanggal 4 Juni 1998 pemerintah mengeluarkan paket deregulasi yang
mencakup sasaran yang cukup luas, yaitu meliputi sebelas langkah yang terdiri atas :
a. kelanjutan penjadwalan penurunan tarif bea masuk.
b. perubahan tarif bea masuk tambahan.
c. Penghapusan bea masuk tambahan .
d. Penyederhanaan tata niaga impor.
e. Ketentuan anti dumping.
f. Kemudahan ekspor.
g. Kemudahan pelayanan bagi perusahaan eksportir tertentu di sektor
tertentu.
h. Penyederhanaan perijinan bagi industri
i. Penyelenggaraan tempat penimbunan berikat / gudang.
j. Kelonggaran kegiatan
ekspor dan impor bagi perusahaan PMA
manufaktur
k. Penyederhanaan produsen impor limbah untuk bahan baku industri.
Ketentuan tentang anti dumping sebagaimana tersebut dalam huruf e, diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 tentang bea masuk anti dumping dan
bea masuk imbalan sebagai hukum materialnya, pada bab II Peraturan Pemerintah
tersebut disebutkan tentang Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Dalam rangka
pelaksanaan Peraturan Pemerintah tersebut maka dibentuklah Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI) bedasarkan keputusan menteri perindustrian dan perdagangan
Nomor 13/MPP/Kep/6/1996 tanggal 4 juni 1996 . tetapi dengan dikeluarkannya surat
keputusan menteri perindustrian dan perdagangan Nomor 430/MPP/Kep/10/1999
diubah lagi pada tahun 2000 dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 427/MPP/Kep/10/2000 disempurnakan lagi
selanjutnya dengan keputusan menteri perindustrian dan perdagangan Nomor
428/MPP/Kep/10/2000 diatur tentang penunjukan dan pengangkatan anggota Komite
Anti Dumping (KADI).
Mengenai struktur kepegawaian Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
dibentuk berdasarkan keputusan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Nomor
346/KADI/Kep/10/2000 tentang penunjukan dan pengangkatan kepala bidang dan
anggota di lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Komite Anti
Dumping Indonesia (KADI) merupakan otoritas pemerintah Republik Indonesia yang
bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan upaya menanggulangi praktek
perdanggangan yang merugikan Indonesia yang dilakukan oleh pihak luar negeri
berupa ekspor dengan barang dumping dan barang mengandung subsidi yang dapat
menimbulkan kerugian (injury) bagi industri dlam negeri yang memperoleh barang
sejenis. Dengan berpedoman pada Article VI dan Article XIV Agreement Establishing
The World Trade Organization(WTO).
Dengan adanya keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangn tersebut,
maka Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merupakan satu-satunya instrumen
yang
legal yang dapat dipakai untuk melindungi industri dalam negeri dari
persaingan barang impor yang tidak fair yang masuk ke Indonesia dengan harga
dumping atau mengandung subsidi. Dengan dibentuknya Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI) itu maka produsen ekportir Idonesia yang dituduh melakukan
praktik perdagangan yang tidak sehat di negara tujuan ekspor akan mendapatkan
perlindungan maupun pembelaan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
tersebut.
4.1.2. Struktur Kelembagaan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merupakan lembaga / organisasi
pemerintah non struktural yang dalam melakukan tugas-tugasnya bersifat Independen.
Berdasarkan
keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
428/MPP/Kep/10/2000, ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dijabat oleh
pejabat eselon 1. ketua,wakil ketua, dan anggota serta sekretaris Komite Anti
Dumping Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perindustrian dan
Perdagangan. Dalam melaksanakan tugasnya Ketua Komite Anti Dumping (KADI)
mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Menteri Perindustrian dan
perdagangan. (pasal 9 dan 10 Keputusan menteri perindustrian dan Perdagangan
Nomor 427/MPP/Kep/10/2000). Dengan demikian Komite Anti Duping Indonesia
(KADI) dalam melaksanakan tugas-tugasnya berada dibawah kordinasi Departemen
Perindustrian dan Perdagangan. Sebagai anggota Komite Anti Dumping Indoseia
(KADI) adalah :
Ø Direktorat Jendral bea dan cukai
Ø Departemen keuangan .
Ø Dirjen perdagangan luar negeri.
Ø Departeen perdagangan
Ø Dirjen KPI
Ø Dirjen Ilmta
Ø Depaertemen perindustrian
Ø Dirjen IAK
Sekretaris membawahi kepala bidang-kepala bidang dan ada lima bidang,
yaitu bidang pengaduan, bidang penyelidikan dumping dan subsidi, bidang pengkajian
kerugian, bidang hukum dan bidang umum, dibawah bidang tersebut ada investigator
dan staff. Mengenai struktur kelembagaan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
jika digambarkan dalam bentuk bagan akan tampak seperti bagan dibawah ini :
Struktur Organisasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Berdasarkan
SK Memperindag No. 428/MPP/Kep/10/2000, dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik 4
Struktur Organisasi Komite Anti Indonesia (KADI)
Anggota :
Dirjen Bea & Cukai - Depkeu
Dirjen DAGLU – Depdag
Dirjen KPI – Depdag
Dirjen ILMTA – Deprin
Dirjen IAK – Deprin
Deputi IV Bidang Koord. Industri
dan Perdagangan – Kementrian
Koordinator Bid. Perekonomian RI.
Dirjen Bina Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian –
Deptan
Staff ahli Menteri Bidang Ekonomi
Sosial dan Budaya - DKP
Kepala
Bidang
Pengaduan
Kepala Bidang
Penyelidikan
Dumping dan
Subsidi
Ketua KADI
Sekretaris
Kepala
Bidang
Pengkajian
Kerugian
Kepala
Bidang
Hukum
INVESTIGATOR DAN STAFF
Kepala
Bidang
Umum
4.1.3. Tugas Pokok Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dibentuk untuk menangani
permasalahan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan dumping dan barang
mengandung subsidi. Dengan demikian Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
selain sebagai lembaga teknis administrasi, juga sebagai lembaga penegak hukum
terutama yang berkaitan dengan bidang anti dumping. Hal ini sesuai dengan tugasnya
yaitu yang juga melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping
atau barang mengandung subsidi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 keputusan menteri
perindustrian dan perdagangan No. 427/MPP/Kep/10/2000dan juga pasal 17 ayat (1)
peraturan Pemerintah Nomor. 34 tahun 1996 tentang bea masuk anti dumping dan bea
masuk imbalan.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki, Komite Anti Dumping Indonesia
(KADI) mempunyai tugas pokok yaitu :
Ø
Melakukan penelitian terhadap barang dumping dan barang mengandung
subsidi.
Ø
Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi
Ø
Menguulkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping
dan Bea Masuk
Imbalan
Ø
Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh menteri perindustrian dan
perdagangan, dan
Ø
Membuat laporan pelaksanaan tugas.
Selain menangani penyelidikan anti dumping ataupun anti subsidi, kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh komite anti dumping antara lain :
Ø
transfer pengetahuan (transfer of knowledge) yang diberikan oleh tenaga
ahli dan pimpinan /anggota Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
yang telah berpengalaman
Ø
Pelatihan bahasa Inggris dan Cost Accounting dan Auditing, yang
materinya diarahkan untuk menunjang kemampuan investigator dalam
menjalankan tugasnya.
Ø
Sehubungan dengan tugas yang diemban Komite Anti Duping Indonesia
(KADI),
maka
Komite
Anti
Dumping
berkewajiban
untuk
mensosialiasikan semua peraturan perdagangan dunia yang telah
diratifikasi dengan tujuan agar masyarakat, khususnya dunia usaha
Indonesia tidak menjadi korban praktik perdagangan yang tidak sehat
atau unfair trade practice, baik melalui praktik dumping maupun subsidi.
Ø
Monitoring / evaluasi pengenaan Bea Masuk Anti Dumping kepada
produsen / eksportir / importir dalam negeri.111
Dengan berdasarkan tugas pokok Komite Anti Dumping (KADI) tersebut, maka dapat
disebutkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mempunyai peran yang sangat
penting dalam upaya melindungi industri dalamnegeri dari praktek dumping, dengan
diberlakukannya keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor.
428/MPP/Kep/10/2000, dimana ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
dijabat oleh pejabat eselon satu.
Hal ini dirasakan kurang efisien dan kurang efektif bagi para penyidik Anti
Dumping di Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang sifatnya mengusulkan
pengenaan bea masuk anti dumping berdasarkan temuan dan analisisnya terhadap
dugaan praktik dumping kepada menteri perindustrian dan perdagangan, dalam hal ini
111
Christhophorus Barutu 3, Op.cit, h.159.
membutuhkan waktu yang lama untuk diproses atau diputuskan oleh menteri
perindustrian dan perdagangan untuk kemudian diteruskan kepada menteri keuangan
atau bahkan atas dasar pertimbangan tertentu tidak diteruskan kepada menteri
keuangan untuk ditetapkan menjadi sebuah keputusan.112
4.1.4. Penyelidikan Oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
Dengan dibentuknya Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) maka
indonesia telah memiliki lembaga yang bertugas selain sebagai lembaga teknis
administratif, juga sebagai lembaga penegak hukum di bidang anti dumping, karena
sesuai dengan tugasnya yang juga melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya
barang dumping atau barang mengandung subsidi.
Selain Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sebagai lembaga penyelidik
atas dugaan praktik dumping, terdapat juga lembaga pemerintah lainnya yang akan
menindaklanjuti hasil temuan dan analisis Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
untuk menetapkan bea masuk anti dumping atau bea masuk imbalan yaitu menteri
perindustrian dan perdagangan, dan menteri keuangan.
Setiap industri dalam negeri secara perorangan atau kelompok yang
mengalami kerugian karena adanya barang impor yang dijual secara dumping atau
mengandung subsidi dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada Komite
Anti Dumping Indonesia (KADI)113.
Dengan adanya permohonn (petisi) yang
diajukan oleh produsen dalam negeri perihal adanya tuduhan praktik dumping oleh
negera importir, maka berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 1996 Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) akan melakukan penyelidikan
112
113
Yulianto Syahyu, Op.cit, h. 97-98.
. Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), Dalam Christhophorus Barutu.3, op.cit, h.158
awal dari hasil penyelidikannya itu dan bukti-bukti yang diajukan, Komite Anti
Dumping Indonesia (KADI) memberikan keputusan menolak atau mnerima. Jika
permohonan memenuhi syarat, maka permohonan diterima dan Komite Anti Dumpig
Indonesia (KADI) akan memulai melakukakn penyelidikan.
Berkaitan dengan kewenangan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
untuk melakukan penyelidikan, berdasarkan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
1996, penyelidikan terhadap suatu barang yang diduga barang dumping Komite Anti
Dumping Indonesia (KADI) dapat melakukannya apabila ada atau tanpa permohonan
dari produsen dalam negeri. Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sebagai
lembaga administrasi teknis yang melakukan penyelidikan atas dugaan praktik
dumping, maka hasil temuan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) tersebut
disampaikan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan kemudian dilanjutkan
kepada Menteri Keuangan.
Menurut Yulianto Syahyu dalam praktiknya tidak semua hasil temuan dan
analisis Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang diusulkan kepada Menteri
Perindustrian dan Perdagangan ditindak lanjuti, atau membutuhkan waktu yang lama
untuk diteruskan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan. Dalam hal ini UndangUndang tidak mengaturnya sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian, juga tidak
ada keharusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk menindaklanjuti temuan
dan usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) tersebut.114.
Penyelidikan Anti Dumping yang ditangani Komite Anti Dumping Indonesia
(KADI) dari tahun 1996 sampai dengan sekarang yaitu :
Penyelidikan Anti Dumping yang Diinisiasi :
a). Penyelidikan yang dikenakan Bea Masuk Anti Dumping
114
Yulianto Syahyu, Op.cit, h. 100
15 Produk
b). Penyelidikan yang ditutup karena tidak ada injury,
tidak ada hubungan causal dan permintaan petisioner
13 Produk
c). Penyelidikan yang sedang dalam Proses
1 Produk
Jumlah
29 Produk
Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
Penyelidikan yang Telah Dikenakan Bea Masuk
No.
Produk
Negara Yang Dituduh
1
Hot Rolled Coll
India, Rusia, RRC dan Ukraina
2
Wire Rod
India dan Turki
3
India
4
Amphicillin
dan Amoxillin
Trydirate
Tin Plate
Jepang, Republik Korea,
Taiwan dan Australia
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
5
H & I Section
Rusia dan Polandia
6
Ferro &
Sillicon
mangaan
Sorbitol
RRC
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
RRC dan Malaysia
11
Calcium
Carbide
Carbon Black
Carbon Black*
Uncoated
Writing &
Printing Paper
Paracetamol
12
Wheat Flour
RRC dan India
13
Fillipina
14
Canvendish
Bananas
Wheat Flour
15
Hot Rolled Coll
7
8
9
10
Uni Eropa
India, Thailand, dan Republik
Korea
India, Malaysia, Finlandia, dan
Republik Korea
RRC dan USA
Uni Emirab Arab
India, Rusia, Thailand, China,
dan Taiwan
*Review / Pengenaan dilanjutkan
Keterangan
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Bea Masuk Anti Dumping
Tetap
Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
Penyelidikan Yang Ditutup Karena Tidak Ada Injury, Kausal Link,
Permintaan petitioner
No.
Produk
Negara Yang Dituduh
Keterangan
1
Synthetic Fiber
Taiwan
2
Synthetic Fiber
Republik Korea
3
Carbon Black
India dan Thailand
Tidak ada hubungan
kausalitas antara Dumping &
Injury
Tidak ada hubungan
kausalitas antara Dumping &
Injury
Tidak Ditemukan Injury
4
Newsprint White
USA, Canada dan Perancis
Permintaan Petitioner
5
Welded Pipe
RRC, Republik Korea, Jepang,
Dan Singapura
6
Ferro & Sillicon
mangaan
India, Republik Korea Dan
Singapura
Petitioner tidak mempunyai
persyaratan untuk mewakili
Industri Dalam Negeri
Permintaan Petitioner
7
Hot Rolled coll/Plate
India, Rusia, RRC dan Ukraina
Tidak ada Injury
8
Wheat Flour
Permintaan Petitioner
9
Pipa Baja
Longitudinal
UE Arab, Australia dan Uni
Eropa
Jepang
10
Phthallc Anhydride
Rep. Korea, Jepang dan india
Pertimbangan National
Interest
11
Coasted Writing &
Printing Paper
Finland & Rep. Korea
12
Polyester Staple
Fiber
Taiwan, Rep.Korea dan
Thailang
13
Amphicillin dan
Amoxillin Trydirate
India
Tidak ada hubungan
kausalitas antara Dumping &
Injury
Tidak ada hubungan
kausalitas antara Dumping &
Injury
Petitioner tidak Berproduksi
lagi
Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
Pertimbangan National
Interest
Penyelidikan Yang Sedang Dalam Proses
No.
Produk
Negara Yang
Dituduh
keterangan
1
Sodium
tripolyphosphate
RRC
Inisiasi tgl. 29 Juni 2007
Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
4.2.
Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk
Tindakan Pengamanan, Bea Masuk Pembalasan, Pengaturan dan
Penetapan.
4.2.1. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping.
Seperti yang diketahui perdagangan impor mencakup dua faktor pokok yaitu
perdagangan barang dan jasa. Dalam perdagangan barang dikenal dua jenis, yaitu
tariff dan non tariff. Hal ini sesuai dengan perundingan Tokyo Round bulan
November 1979 yang mengahasikan perjanjian yang menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan tariff maupun masalah non tariff sebagai berikut115.
Ø dalam bidang tariff.
dalam bidang tariff atau bea masuk hasil tokyo round yang telah disetujui
mencakup beberapa ribu hasil industri dan pertanian penurunan ini secara
bertahap diterapkan dalam batas waktu 8 Tahun dan selesai pada 1 januari
1987. nilai perdagangan dari produk ekspor yang memperoleh kesepakatan
penurunan bea masuk, yang diperlakukan secara nondiskriminatif atau
berdasarkan prinsip Most-favored nation (MFN), dan dengan komitmen
115
. H.S. Kartadjoemena, 1996, GATT dan WTO, Sistem, forum, dan lembaga internasional di
bidang perdagangan, UI Press, Jakarta, h. 124
secara mengikat atau dengan komitmen mengenakan binding, mencapai
jumlah US$ 300 miliar pada tahun 1981.
Ø dalam bidang non tariff.
di bidang non-tariff, hasil yang dicapai dalam Tokyo Round sebagai
berikut :
a). pengaturan yang lebih terinci mengenai tindakan non-tariff (non-tariff
measures) seperti subsidi countervailing duty atau bea masuk yang
dikenakan untuk mengimbangi langkah subsidi yang diambil oleh suatu
negara pengespor.
b). ketentuan yang lebih terinci mengenai hambatan rintangan teknis yang
diperlakukan terhadap perdagangan internasional (technical barriers to
trade).
c). ketentuan yang dirinci mengenai pembelian dalam bentuk impor sektor
pemerintah, atau goverment procurement.
d). ketentuan yang dirinci mengenai prosedur dalam pemberian lisensi
impor.
e). penyesuaian dan perubahan dalam kode GATT mengenai anti-dumping
yang dirumuskan dan disetujui pada tahun 1967.
f). ketentuan mengenai hasil tropis.
g). ketentuan mengenai hasil daging sapi atau Arrangement Regarding
Bovine Meat.
h). ketentuan yang terinci mengenai hasil ternak atau International Dairy
Arrangement.
i). perjanjian mengenai perdagangan bebas dalam pesawat terbang sipil.
Di bidang non tariff, perjanjian hasil Tokyo Round yang berlaku hanya bagi
negara yang turut dalam perjanjian-perjanjian khusus tersebut adalah sebagai berikut :
1. Subsidies and Countervailing Measures. Negara-negara yang
menandatangani code ini memberi komitmen bahwa subsidi yang
diberikan kepada industri domestik tidak mengganggu kepentingan
perdagangan negara lain. Sebaliknya, countervailing measures atau
langkah “balasan” yang diambil oleh negara lain tidak mengganggu
arus perdagangan secara berlebihan. Lagi pula langkah “balasan”
tersebut hanya dapat diterapkan bila dapat dibuktikan bahwa
barang impor yang telah memperoleh subsidi di negara asalnya
telah mengganggu dan merusak kepentingan industri dalam negeri
negara tujuan, atau diduga akan merusak kepentingan industri
dalam negeri tersebut.
2. Technical Barries to Trade. Perjanjian ini juga dikenal sebagai
Standars
Code.
perjanjian
ini
mengikat
negara
yang
menandatanganinya untuk menjamin agar bila suatu pemerintah
atau instansi lain menentukan peraturan teknis atau standar teknis
untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan
terhadap konsumen dan lingkungan hidup, atau untuk keperluan
lain, maka peraturan, standar dan testing serta sertifikasi yang
dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak diperlukan
terhadap perdagangan internasional.
3. Import Licensing Procedures. Perjanjian ini mengakui bahwa
lisensi impor dapat merupakan hal yang diperlukan dan penerapan
sistem lisensi diakui kegunaannya, namun demikian, diakui pula
bahwa sistem lisensi dapat menghambat perdagangan internasional.
Code ini bermaksud untuk mengatur agar sitem lisensi impor tidak
dibuat sebagai sistem untuk membatasi impor. Negara yang
menandatangani
code
ini
mengambil
komitmen
agar
pemerintahnya menerapkan sistem lisensi impor yang sederhana
dan mengadministrasikannya secara netral dan adil.
4. Government Procurement. tujuan code ini untuk menerapkan
persaingan dalam kompetisi internasional untuk memperoleh
kontrak pembelian negara. Perjanjian ini antara lain menentukan
peraturan dalam cara, mengundang, mengajukan, dan memberikan
tender. Perjanjian ini dibuat agar Undang-undang, peraturan,
prosedur, dan praktek mengenai pembelian Negara menjadi lebih
transparan. Dan lebih menjamin agar sistem pembelian tersebut
tidak memproteksi produsen domestik dan mendiskriminasi produk
dan suplier luar negeri. Bagi negara-negara yang menandatangani
code ini, peraturan nya berlaku untuk kontrak minimal SDR
130.000 bagi pembelian instansi pemerintah yang terdaftar.
5. Custom Valuation. Perjanjian ini menentukan sistem yang adil,
uniform dan netral dalam menentukan valuasi barang-barang untuk
keperluan pabean yang sesuai dengan kenyataan praktek dunia
perdagangan dan melarang cara penentuan valuasi yang arbitrer
dan fiktif. Perjanjian ini mengandung serangkaian peraturan
mengenai valuasi dan meluaskan serta lebih merinci peraturan
mengenai valuasi yang telah diterapkan di GATT. Negara
berkembang diberi kesempatan untuk menangguhkan penerapkan
perjanjian ini selama 5 tahun, dan diberi lebih banyak wewenang
untuk mengatasi praktek-praktek valuasi yang mengandung potensi
untuk menjadi tidak adil atau unfair.
6. Revised GATT Anti-Dumping Code. perjanjian ini mencakup
barang-barang yang dianggap dipasarkan secara dumping yang
menurut ketentuan adalah barang yang dijual di luar negeri di
bawah harga yang berlaku di negara asal. Perjanjian ini merupakan
penyesuaian dari perjanjian sebelumya, yakni GATT Anti-Dumping
Code, yang dirundingkan pada waktu Kennedy Round (19641967). Perjanjian baru ini memberi interpretasi mengenai pasal VI
dari tesk General Agreement yang menentukan syarat mengenai
bagaimana suatu anti-dumping-duty dapat dikenakan terhadap
barang impor yang masuk dengan harga dumping.
7. Hasil Pertanian. Negara yang turut serta dalam perundingan Tokyo
Round juga menandatangani dua perjanjian khusus di bidang
pertanian yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1980 bagi
negara yang menandatanganinya. Perjanjian tersebut adalah :
a). Arrangement Regarding Bovine Meat. Perjanjian ini bertujuan
untuk mengembangkan ekspansi, liberalisasi dan stabilitas dalam
perdagangan internasional di bidang daging sapi dan ternak hidup,
serta menerapkan perbaikan dalam kerja sama internasional di
bidang ini. Perjanjian ini mencakup daging sapi, daging sapi muda
(veal) dan ternak hidup. Berdasarkan perjanjian ini telah dibentuk
International Meat Counsil dalam GATT yang mengadakan
pengawasan mengenai pelaksanaan
perjanjian serta melakukan
evaluasi mengenai permintaan dan penawaran dalam pasaran di
bidang ini. Dewan ini juga mengadakan konsultasi secara terjadwal
mengenai semua masalah yang menyangkut perdagangan di bidang
ini termasuk komitmen bilateral dan multilateral.
b). International Dairy Arrangement. Perjanjian ini bertujuan
untuk mengadakan liberalisasi dan mengembangkan perdagangan
di bidang hasil ternak di luar daging, yaitu dairy products, termasuk
susu, susu bubuk, keju dan lemak susu seperti mentega. Perjanjian
ini menentukan lebih lanjut bahwa di samping bertujuan untuk
mengadakan
liberalisasi
dan
mengembangkan
perdagangan
internasional di bidang ini, juga bertujuan mencapai stabilitas yang
lebih terjamin dalam perdagangan di sektor ini untuk kepentingan
negara importir dan eksportir, mencegah surplus dan kekurangan,
serta fluktuasi harga yang berlebihan, membantu pembangunan
ekonomi dan sosial negara berkembang, dan memperbaiki kerja
sama internasional di bidang ini. Perjanjian ini juga mengandung
tiga protokol yang menentukan perlakuan kebijaksanaan di bidang
ini,
termasuk
harga
minimum
ekspor,
pengaturan
dalam
perdagangan di bidang susu bubuk, lemak susu termasuk mentega
dam berbagai keju. Perjanjian ini diawasi penerapannya oleh
international Dairy products Counsil.
8. Perdagangan di Bidang Pesawat Terbang Sipil. Beberapa negara
peserta perundingan Tokyo Round dari kalangan negara maju pada
tanggal 1 januari 1980 telah menyetujui perjanjian untuk
menghapuskan semua bea masuk dan berbagai pungutan serupa
untuk pesawat terbang sipil, suku cadang dan reparasi. Bagi mereka
penghapusan ini berlaku binding, atau mengikat dalam GATT.
Lagi pula perlakuan ini berupa most-favored nation (MFN) jadi
berlaku juga untuk negara lain anggota GATT. Perjanjian ini
mengandung annex yang mendaftar produk yang tercakup dalam
pembebasan bea masuk ini, termasuk pesawat penumpang,
helikopter, glider, alat pemanas makanan dalam pesawat dan
topeng zat asam. Pada tahun 1983 dan 1984 daftar dalam annex
tersebut diperluas dan berlaku mulai 1 Januari 1985.
Dalam perdagangan yang berkaitan dengan non-tariff diantaranya meliputi
kebijakan tata niaga impor. Kebijakan tata niaga impor merupakan bagian dari
kebijakan perdagangan yang memagari kepentingan nasional dari berbagai pengaruh
masuknya barang-barang impor dari negara lain, dalam pelaksanaannya akan
mengacu kepada Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan
pembentukan organisasi perdagangan dunia yang memuat rambu-rambu yang wajib
dipatuhi oleh setiap negara anggota WTO dalam merumuskan dan medelegasikan
kebijakan perdagangan internasional termasuk kebijakan impor. Selain rambu-rambu
tersebut WTO juga memberikan peluang-peluang yang sifatnya terbatas yang dapat
dimanfaatkan oleh setiap negara anggota untuk kepentingan nasional.116
Berkaitan dengan itu pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 10 tahun
1995 tentang kepabeanan disamping beberapa peraturan lainnya, tetapi Undangundang itu sudah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Undang-undang No.17
tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang
kepabeanan ( Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 No.93) tanggal 15
116
. Direktorat jendral perdagangan luar negeri, Departemen perindustrian dan perdagangan,
2003, kebijakan umum dibidang impor, Jakarta, h. 1.
november 2006. dalam Undang-undang No. 17 tahun 2006 diatur secara lebih luas
yaitu tidak hanya diatur mengenai bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan
sebagaimana diatur dalam Bab IV Undang-undang no. 10 tahun 1995, tapi diperluas
yaitu Bab IV ditambahkan dengan bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk
pembalasan, serta pengaturan dan penetapan.
Bea masuk anti dumping nerupakan salah satu bentuk hambatan tariff yang
ditepkan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri, jika harga produk dari
luar negeri lebih murah dari produk dalam negeri yang sejenis, tetapi jika ternyata
tidak ditemui adanya unsur dumping, maka pemerintah menggunakan instrumen lain
seperti meningkatkan bea masuk atau menggunakan habatan non tariff,
seperti
membatasi importir dengan syarat-syarat tertentu yang dapat menghambat masuknya
barang impor tersebut.117
Pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti
dumping, bea masuk imbalan digabungkan dengan pengaturan mengenai peryaratan
dan tata cara bea masuk tindakan pengamanan dan bea masuk pembalasan yang diatur
lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Dalam Pasal 18 Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan yang
dikecualikan pencabutannya dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 17 Tahun
2006 ditentukan bahwa bea masuk anti dumping dikenakan terhadap barang impor
dalam hal :
a). harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya., dan
b). impor barang tersebut :
Ø menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut.
117
Yulianto syahyu, Op.cit h. 125.
Ø Mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri
yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut., atau
Ø Menghalangi pengembangan industri barang sejenis dalam negeri.
Dari ketentuan Pasal 18 tersebut terdapat beberap unsur yang harus dipenuhi untuk
dapat dikenakan bea masuk anti dumping terhadap barang impor, yaitu :
Ø harga lebih rendah dari nilai normal (less dhan fair value)
Ø kerugian terhadap industri dalam negeri (injury to the domestic
industry)
Ø mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri (
threaten injury)
Ø menghalangi
pengembangan
industri
barang
sejenis
(the
establishment of a domestic industry)118
Dalam pasal 19 Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan
ditentukan :
•
ayat (1). Bea masuk anti dumping dikenakan terhadap barang
impor sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 setinggi-tingginya
sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang
tersebut.
•
ayat (2). Bea masuk anti dumping sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut
berdasarkan Pasal 12 ayat (1).
Dari ketentuan Pasal 19 tersebut diatas dapat disebutkan bahwa besarnya bea masuk
anti dumping diperoleh dari perhitungan paling tinggi dari selisih antara harga normal
dan harga ekspor barang.
118
Christhophorus Barutu.3, Op.cit, h. 133.
Bagi industri dalam negeri pengaturan ketentuan anti dumping sangat
diperlukan sehingga produsen dalam negeri dapat menempuh prosedur-prosedur yang
telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 apabila mereka
terancam kerugian akibat dari impor barang dengan harga dumping. Menurut Taufik
Abbas Strategi yang perlu dilakukan untuk melakukan tuduhan dumping adalah
mempersiapkan diri untuk menghadapi pressure yang terdiri atas:
Ø pressure dalam negeri, yang meliputi :
1. pressure dari industri hilir (konsumen dalam negeri)
2. pressure dari industri hulu (produsen dalam negeri)
Ø pressure dari luar negeri, yang meliputi :
1. pressure dari produsen luar negeri
2. pressure dari negara yang industrinya dituduh dumping
Ø pressure dari WTO.119
Adapun cara-cara untuk menghindari pressure adalah sebagai berikut :
1. pelaksanaan harus dilakukan secara profesional dan hati-hati.
2. semua ketentuan-ketentuan WTO harus diperhatikan dan jangan
dilanggar, mulai dari inition of proceeding sampai final determination
3. menjamin hak-hak pihak yang berkepentingan (intrested parties)
Berdasarkan kebijaksanaan dan strategi diatas maka untuk melakukan tuduhan
dumping harus betul-betul mempunyai bukti yang kuat dan telah memenuhi syaratsyarat yang ditentukan oleh WTO. Menurut sukarmi untuk dapat dikenakan bea
masuk anti dumping harus memenuhi syarat, yaitu :
1. adanya harga pokok yang sama dijual lebih murah dibawah harga
domestik negara asal barang.
119
. Sukarmi, op.cit h, 158.
2. harga itu menyebakan kerugian, dan
3. adanya Causal Link antara harga dumpig dengan kerugian yang
timbul.120
Pemerintah pada tahun 1996 juga pernah mengeluarkan peraturan mengenai
penetapan penurunan tariff bea masuk dalam rangka memberikan kepastian usaha
dalam menentukan rencana investasi dan rencana produksi, yaitu berdasarkan
keputusan
menteri
keuangan
No.
378/KMK.
01/1996
dan
diatur
pula
pengecualiannya, yaitu :
1. jadwal penurunan tariff atas beberapa produk pertanian
tertentu yang diatur tersendiri.
2. penurunan tariff atas beberapa produk otomotif
3. penuruna tariff atas beberapa produk kimia, barang olastis dan
logam sekitar 10%
4. tariff produk alkohol sulingan dan minuman yang mengandung
alkohol
dibidang non-tariff, sebagai hasil dari langkah penyesuaian di bidang tata niaga impor
telah dibebaskan tata niaga impor untuk sejumlah 77 pos tariff yang meliputi susu dan
produk susu, gandum, beras, cengkeh, tepung kedelai, gula dan, kendaraan bermotor.
Bagi perusahaan yang melakukan perdagangan impor harus memiliki Angka Pengenal
Importir (API), yang gunanya untuk memudahan pengawasan, tetapi yang terjadi
masih adanya pelanggaran oleh importir/ perusahaan, dengan maksud dan tujuan yang
negatif,
maka dengan adanya pelanggaran ini Departemen perindustrian dan
120
. Sukarmi, Loc.cit
perdagangan akan melaksnakan kebijasanaan angka pengenal importir (API) yang
sesuai dengan tujuannya121
4.2.2. Pengenaan Bea Masuk Imbalan
Ketentuan pasal Pasal 20 Undang-undang No. 10 tahun 1996 , tentang
kepabeanan dihapus, sedangkan Pasal 21 yang tidak dihapus mengatur tentang bea
masuk imbalan. Dalam Pasal 21 tersebut ditentukan, bahwa bea masuk imbalan
dikenakan terhadap barang impor dalam hal :
a. ditemukan adanya subsidi yang diberikan di negara pengekspor
terhadap barang tersebut, dan
b. impor barang tersebut :
• menyebakan
kerugian
terhdap
industri
dalam
negeri
yang
negeri
yang
memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut.
• Mengancam
terjadinya
terhap
industri
dalam
memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut
c.
Menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam
negeri.
ketentun pasal 21 Undang-undang No.10 Tahun 1996
secara
substansi menguraikan mengenai perihal pengenaan bea masuk
imbalan terhadap tindakan subsidi di mana barang yang disubsidi
mengakibatkan terjadinya hal-hal seperti timbulnya kerugian terhdap
industri dlam negeri, ancaman kerugian, dan terhambatnya
pengembangan industri barang sejenis (Like Product) 122
121
Direktoral Jendral perdagangan luar negeri, departemen perindustian dan perdagangan,
2003 op.cit. h 2-3
122
Christhophorus Barutu.3, op.cit h.135
Selanjutnya yaitu Pasal 22 Undang-undang No. 10 Tahun 1996 yang tidak
dicabut dengan dikeluarkannya Undang-undang No.17 tahun 2006 ditentukan :
• ayat (1). Bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang impor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 setinggi-tingginya sebesar selisih
antara subsidi dengan :
a. biaya permohonan, tanggungan, atau pungutan lain yang dikeluarkan
untuk memperoleh subsidi, dan/atau
b. pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk pengganti subsidi
yang diberikan kepada barang tersebut
• ayat (2). Bea masuk imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan pasal
12 ayat (1)
4.2.3. Pengenaan Bea Masuk tindakan Pengamanan
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.17 Tahun 2006 tentang perubahan
atas Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan Bab IV ditambahkan 3
(tiga) bagian, yaitu bagian ketiga, bagian keempat dan bagian kelima. Bagian ketiga
mengenai Bea Masuk Tindakan Pengamanan.
Sebagaimana diketahui dan sebagai pertimbangan dari dikeluarkannya
Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 84 Tahun 2002 tentang tindakan
Pengamanan Industri Dalam Negeri dari akibat lonjakan Impor bahwa pelaksanaan
komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka persetujuan pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade
Organization) melalui penurunan tarif dan penghapusan hambatan bukan tarif dapat
menimbulkan lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius dan atau ancaman
kerugian serius terhadap industri dalam negeri.
Kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat dicegah
dengan Peraturan Perundang-undangan nasional yang mengatur tindakan pengamanan
sehingga industri yang mengalami kerugian dapat melakukan penyesuaian struktural
yang dibenarkan secara hukum berdasarkan ketentuan Agreement On Safeguard
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization.
Berdasarkan keputusan Presiden No. 84 tahun 2002 tersebut, maka diaturlah
pengenaan bea masuk tindakan pengamanan yaitu dalam Undang-undang No. 17
Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.10 Tahun 1995 tentang
kepabeanan Bab IV bagian ketiga tentang bea masuk tindakan pengamanan, yaitu,
Ø pasal 23A yang menentukan sebagai berikut :
bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan terhadap barang
impor dalam hal terdapat lonjakan barang impor baik secara absolut
maupun relatif terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis
atau barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan barang
tersebut :
a). Menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau
barang yang secara langsung bersaing., atau
b). Mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam
negeri yang memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang
secara langsung bersaing
Ø Pasal 23 B yang menentukan sebagai berikut :
ayat (1). Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 23 A paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk
mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius
terhadap industri dalam negeri.
ayat (2). Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut
berdasarkan pasal 12 ayat (1).
Dari ketentuan pasal 23 B tersebut dapat disebtkan bahwa besarnya bea masuk
tindakan pengamanan di mana besarnya pungutan bea masuk paling tinggi sebesar
jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman
kerugian serius terhadap industri dalam negeri.
Menurut penjelasan pasal 23 A, bahwa yang dimaksud dengan tindakan
pengamanan (safeguard) adalah bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan
yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah
ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan
impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil
industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami
kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan
penyesuaian struktur.
Dalam hal tindakan pengamanan telah ditetapkan dalam bentuk kuota
(pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan tidak harus dikenakan,
hal ini dimaksudkan untuk menghindari pemberlakuan ganda tindakan pengamanan,
yaitu kuota dan pungutan bea masuk. Apabila dibandingkan dengan Article VI
Agreement On Safeguard yang mengatur tindakan safeguard sementara, dapat
disebutkan bahwa tindakan safeguard sementara hanya dapat dikenakan dalam bentuk
peningkatan bea masuk, sedangkan article VI mengatur tentang tindakan safeguard
tetap dimana disebutkan bahwa tindakan safeguard tetap dapat ditetapkan dalam tiga
bentuk, yaitu :
a. Peningkatan bea masuk
b. Penetapan kuota impor
c. Merupakan kombinasi dari peningkatan bea masuk dan penetapan
kuota impor.
Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian serius adalah kerugian nyata yang
diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut harus didasarkan pada (shall be
based on) fakta-fakta bukan didasarkan pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan. Dalam
hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak wajar oleh suatu negara
misalnya dengan pembatasan, larangan, atau pengenaan tambahan bea masuk barangbarang dari negara yang bersangkutan dapat dikenakan tarif yang besarnya berbeda
dengan tarif yang dimaksud daam pasal 12 ayat (1)
4.2.4. Pengenaan Bea Masuk Pembalasan
Pengenaan bea masuk pembalasan diatur dalam Bab IV bagian ke empat Yang
merupakan tambahan dari Bab IV Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan sebagaimana telah dirubah dengan dikeluarkannya Undang-undang No.
17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan .
Pengenaan bea masuk pembalasan diatur dalam pasal 23 C yang menentukan :
Ø ayat (1) : bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor
yang berasal dari negara yang memperlakukan barang impor indonesia
secara diskriminatif.
Ø ayat (2) : bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan pasal 12
ayat (1).
Dari ketentuan pasal 23 C tersebut dapat disebutkan bahwa pasal tersebut merupakan
pasal yang mengakomodasi perberlakuan bea masuk pembalasan terhadap barang
impor yang berasal dari negara yang telah memperlakukan barang ekspor Indonesia
secara diskriminatif di mana bea masuk di samping bea masuk yang dipungut
berdasarkan pasal 12 ayat (1).
4.2.5. Pengaturan dan penetapan
Bagian kelima ini adalah mengenai pengaturan dan penetapan yang diatur
dalam pasal 23 D yang meyatakan bahwa :
Ø
ayat (1) : ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan bea
masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk
tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Ø
ayat (2) : besar tarif masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea
masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
menteri.
Ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 1995 yang terdapat dalam pasal 25 ayat (2)
dihapus, dan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga pasal 25 berbunyi
sebagai berikut :
Ø
ayat (1) : pembebasan bea masuk diberikan atas impor :
a)
barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya
yang bertugas di Indonesia berdasarkan asal timbal
balik,
b)
barang untuk keperluan badan internasional beserta
pejabat yang bertugas di Indonesia,
c)
buku ilmu pengetahuan,
d)
Barang kiriman hadiah/ hibah untuk keperuan ibadah
untuk umum, amal,sosial, kebudayaan, atau untuk
kepentingan penanggulangan bencana alam,
e)
Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan
tempat semacam itu yng terbuka untuk umum serta
barang untuk konservasi alam,
f)
Barang untuk keperluan penelitian, dan pengembangan
ilmu pengetahuan,
g)
Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan
penyandang cacat lainnya,
h)
Persenjataan,
amunisi,
perlengkapan
militer
dan
kepolisian, termasuk suku cadang yang diperuntukan
bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara,
i)
Barang
dan
bahan
yang
dipergunakan
untuk
menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan
keamanan negara,
j)
Barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan
k)
Peti atau kemasan lain yang berisi jenasah atau abu
jenasah,
l)
Barang pindahan,
m) Barag pribadi penupang, awak sarana pengangkut,
pelintas batas dan barang kiriman sampai batas nilai
pabean dan / atau jumlah tertentu,
n)
Obat-obatan
anggaran
yang
diimpor
pemerintah
dengan
yang
menggunakan
diperuntukan
bagi
kepentingan masyarakat,
o)
Barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan,
pengerjaan, dan pengujian,
p)
Barang yang telah dieskpor kemudian diimpor kembali
dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat
diekpor,
q)
Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan
penjenisan jaringan.
Ø
ayat (3) : ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri
Ø
ayat (4) : orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan
bea masuk yang ditetapkan menuruut Undang-Undang ini
wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit
100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya
dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari
bea masuk yang seharusnya diabayar.
Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dari ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah
sehingga pasal 26 berbunyi sebagai berikut :
Ø
ayat (1) :
pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan
atas impor :
a) barang
dan
bahan
untuk
pembangunan
dan
pengembangan industri dalam rangka penanaman
modal,
b) mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri,
c) barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan
pengembangan industri untuk jangka wktu tertentu,
d) peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah
pencemaran lingkungan,
e) bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan
industri pertanian, peternakan, atau perikanan,
f) hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap
yang telah mendapat izin,
g) barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu,
kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena
karena alamiah antara saat diangkut ke dalam daerah
pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk
dipakai,
h) barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah
yang ditunjukan untuk kepentingan umum,
i) barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh
induk organisasi olahraga nasional,
j) barang untuk keperluan proyek pemerintah yang
dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar
negeri,
k) barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang
pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
Ø
ayat (3) :
ketentuan
mengenai
pembebasan
atau
keringanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan menteri.
Ø
ayat (4) :
orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau
keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undangundang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling
sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang
seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut :
Ø
ayat (1) : pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian
bea masuk yang telah dibayar atas :
a) kelebihan
pembayaran
bea
masuk
sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16 ayat (5), pasal 17 ayat (3),
atau karena kesalahan tata usaha,
b) Impor barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 25
dan pasal 26,
c) Impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor
kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan
pejabat bea dan cukai,
d) Impor barang yang sebelum diberikan persetujuan
impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya
lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya,
cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkulitas lebih
rendah ; atau
e) Kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan
pengadilan pajak.
Ø
ayat (2) : ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan peraturan menteri.
Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua) ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4),
sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut :
Ø
ayat (1) : importir bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang
sejak tanggal pemberitahuan pabean atas impor.
Ø
ayat (2) : bea masuk yang harus dibayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku pada
tanggal pemberitahuan pabean atas impor dan nilai pabean
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15.
Ø
ayat (3) : bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah
Ø
ayat (4) : ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan
untuk penghitungan dan pembayaran bea masuk diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga
pasal 32 berbunyi sebagai berikut :
Ø
ayat (1) : pengusaha tempat penimbunan sementara bertanggung jawab
atas bea masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di
tempat penimbunan sementara.
Ø
ayat (2) : pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan dari
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam hal barang yang ditimbun di tempat penimbunan
sementaranya :
a) musnah tanpa sengaja,
b) telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau
diimpor sementara ; atau
c) telah dipindahkan ketempat penimbunan sementara lain,
tempat penimbunan berikat atau tempat penimbunan
pabean.
Ø
ayat (3) : perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat didasarkan
pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan,
didasarkan pada tarif tertinggi untuk golongan barang yang
tertera dalam pemberitahuan pabean pada saat barang
tersebut ditimbun di tempat penimbunan sementara dan
nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai.
Ø
ayat (4) : ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
termasuk tata cara penagihan diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan peraturan menteri.
BAB V
PENUTUP
5.1.
Simpulan
Dari pembahasan pada Bab sebelumnya maka dapat ditarik simpulan
antara lain sebagai berikut :
5.1.1
Persetujuan-persetujuan World Trade Organization (WTO), yaitu
Agreement On Implementasi of Article VI of the general agreement on
tariff and trade 1994, anti dumping agreement ( Persetujuan tentang
penerapan pasal VI dari persetujuan umum tentang tariff dan perdagangan
1994), agreement on subsidies and countervailing measure (persetujuan
tentang subsidi dan tindakan imbalan), dan agreement on safeguard
(persetujuan tentang tindakan pengamanan) yang secara kongkret
mengatur
masalah-masalah
anti
dumping,
subsidi,
dan
tindakan
pengamanan (safeguard). Ketiga instrumen pengamanan perdagangan
tersebut dikenal dengan nama “Trade Remidies ”, mempunyai peran yang
penting untuk melindungi industri dalam negeri yang memproduksi barang
sejenis dari kecurangan-kecurangan di bidang perdagangan yang dikenal
sebagai praktik dumping. Selanjutnya dengan meratifikasi Agreement
Establishing World Trade Organization (WTO), maka dileburlah beberapa
ketentuan yang berhubungan dengan anti dumping ke dalam Undangundang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) tanggal 30 Desember 1995
yang diakomodasi di dalam Bab IV mengenai bea masuk Anti – Dumpig
dan Bea masuk imbalan. Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang
kepabeanan diubah dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 17
tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995
tentng kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006
Nomor 93) tanggal 15 november 2006. Dengan dikeluarkannya undangundang Nomor 7 tahun 2006 ketentuan Bab IV ditambahkan dengan bea
masuk tindakan pengamanan, bea masuk imbalan, dan bea masuk
pembalasan. Produk-produk hukum lainnya yang terkait dengan upaya
perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping adalah peraturan
pemerintah nomor 34 tahun 1996 tentang bea masuk Anti Dumping dan
bea masuk imbalan sebagai hukum materialnya, yang kemudian diikuti
dengan dikeluarkannya beberapa keputusan Menteri Perindustrian dan
perdagangan, yaitu keputusan menteri perindustrian dan perdagangan
nomor 261/MPP/Kep/9/1996 sebagai hukum formalnya. Keputusan
menteri Perindustrian dan perdagangan nomor 427/MPP/Kep/10/2000
mengenai pembentukan komite anti dumping indonesia (KADI).
Disamping keputusan Menteri Perindutrian dan Perdagangan, juga
dikeluarkan keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang tindakan
pengamanan industri dalam negeri akibat lonjakan import. Peraturanperaturan tersebut walaupun bertujuan untuk melindungi industri dalam
negeri yang memproduksi barang-barang sejenis dari praktek dumping,
tetapi sampai saat ini belum ada peraturan khusus dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur
anti dumping sebagai hukum
nasional.
5.1.2
Cara
yang digunakan dalam menentukan adanya kerugian
(injury)bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis
adalah tidak semata-mata atas hal-hal yang berkaitan dengan yang dituduh
dumping saja, tetapi faktor-faktor lain juga selayaknya dipertimbangkan,
faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara pengimpor mengalami
kerugian secara material, dari satu atau beberapa faktor ekonomi saja
seperti yang diatur dalam article 3 ayat (4) agreement on implementation
at article VI of GATT 1994 sudah dapat dijadikan petunjuk adanya suatu
perusahaan mengalami kerugian secara material dan bergantung pada
permasalahan yang ada. Faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara
pengimpor tersebut, misalnya penurunan penjualan, keuntungan, pangsa
pasar, produktifitas, return of
investment, atau utilisasi kapasitas,
sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam negeri misalnya
margin dumping, pengaruh negatif pada cash flow (arus kas), persediaan,
tenaga kerja, upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal, atau
investasi. Faktor-faktor tersebut yang digunakan untuk menentukan adanya
kerugian (injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang
sejenis kurang jelas dan terlalu luas, sehingga mengalami kesulitan dalam
menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri.
Hasil
penyelidikan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) ada yang
ditutup karena Komite Ani Dumping Indonesia (KADI) mengalami
kesulitan untuk membuktikan adanya kerugian (injury) Komite Anti
Dumping Indonesia (KADI) belum bisa mendifinisikan pengertian injury,
bagaimana suatu kinerja itu bisa menyebabkan kerugian (injury). Keadaan
tersebut akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bagi Komite
Anti Dumping Indonesia (KADI)
5.1.3
upaya yang dapat dilakukan oleh produsen
dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis yang mengalami kerugian atau ancaman
kerugian karena adanya barang impor yang dijual secara dumping atau
mengandung subsidi dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) baik secara perorangan atau
kelompok. Atas dasar permohonan tersebut, Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI) akan melakukan penyelidikan untuk membuktikan
kebenaran adanya dumping atau subsidi tersebut, dan terjadinya kerugian
atau ancaman kerugian yang disebabkan oleh barang impor tersebut. Jika
terbukti akan ditetapkan besarnya perlindungan yang dapat diberikan
dengan menaikan bea masuk impor.
5.2.
Saran
5.2.1.
Untuk dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap
industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis terhadap
persaingan barang perlu segera dibuat undang-undang yang secara khusus
mengatur tentang anti dumping sebagai hukum nasional, karena sampai
saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai
perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping.
5.2.2.
Oleh karena tidak dijelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor lain
yang dapat juga berpengaruh menimbulkan kerugian pada industri dalam
negeri sebagaimana ketentuan dalam GATT-WTO, dimana keadaan
tersebut akan menyulitkan dalam menentukan adanya kerugian dan akan
menimbulkan penafsiran yang bebeda-beda bagi Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI) maka perlu adanya suatu batasan jelas faktor-faktor lain
tersebut yang dapat berpengaruh menimbulkan kerugian pada industri
dalam negeri. Batasan kerugian yang timbul akibat praktik dumping cukup
dibatasi sampai pada kerugian nyata (material injury), dimana industri
dalam negeri yang memproduksi barang sejenis telah benar-benar
mengalami kerugian sebagai akibat adanya barang dumping.
5.2.3.
Oleh karena masih lemahnya pemakaian istrument WTO oleh
produsen dalam negeri yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman
terutama mengenai tata
cara mengajukan bea masuk anti dumping
(BMAD), tindakan anti subsdi, dan tindakan safeguard, maka instansi
pemerintah terkait perlu meningkatkan sosialiasi sebagai ketentuan
perdagangan yang disepakati WTO, sehingga dapat tercipta sistem
perdagangan yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku.
A. Setiadi, 2001, Antidumping: Dalam Perspektif Hukum Indonesia, S&R Legal Co.
Jakarta.
Astim Riyanto, 2003, World Trade Organization (organisasi Perdagangan Dunia),
Yapemdo, Bandung.
B.M.
Kuntjoro Jakti,et.al.,1997/1998,Pengkajian Hukum Tentang
Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO,BPHN,Jakarta.
Masalah
Black, Hendry Campbell, 1991, Black Law Dictionary, Sixt Editionst, Paul-Minn,
West Publishing, Co.
Bernard L Tanya dkk, 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, CV. Kita, Surabaya.
Bruggink Alih Bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.
Berhard Bergmans,1991, Inside Information and Securities Trading, Graham &
Trootman, London.
Christhophorus Barutu, 2006, praktik subsidi dalam perdagangan internasional serta
pemberlakuan ketentuan anti subsidi dan countervailling measure (tindakantindakan imbalan terhadap subsidi), jurnal hukum yuridika, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, volume 21, No. 4, juli 2006, Surabaya.
Christhophorus Barutu, 2007, Sejarah Sistem Perdagangan Internasional (Dari
Upaya Pembentukan Internasional Trade Organization, Eksistensi General
Agreement On Tariffs and Trade Sampai Berdirinya World Trade
Organization), Jurnal Hukum Gloris Juris, Fakultas Hukum Universitas
Katholik Atmajaya, Volume 7, Nomor 1, 1 Januari 2007, April, Jakarta.
Christhophorus Barutu, 2007, Antidumping dalam General Agreement on Tariff and
Trade (GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan Antidumping Indonesia,
Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Yogyakarta, (Selanjutnya disebut
Christhophorus Barutu 2),h.53
Christhophorus Barutu, 2007, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan
Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO,Citra Aditya Bakti,
Bandung.
________________, 2003, Sosialisasi Mal Praktek/ Unfair Trade, Direktorat Impor
Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Juli 2003.
________________, 2003, Unfair Trade Practices dumping & Subsidy, Direktorat
Pengamanan Perdagangan nurlaila, Yogyakarta 28 Juli 2003.
_________________, 2002, Sekilas WTO (World Trade Organization), Direktorat
Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Direktorat Jendral multilateral
Ekonomi Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia, Jakarta.
Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
_________________, 1992, Anti Dumping Code Latar Belakang Penafsiran dan
Tinjauan atas Sejumlah Tuduhan Terhadap Indonesia, Proyek Pengembangan
Perdagangan Luar Negeri pusat, Departement Perdagangan Republik
Indonesia , Jakarta.
_________________,1985,Kamus Besar Bahasa Indonesi (Edisi Kedua), Jakarta,
Balai Pustaka.
_________________,2001, Bagaimana Menghadapi Tuduhan Dumping, Direktorat
Jenderal Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional Departemen
Perindustrian Dan Perdagangan.
_________________, 2003, kebijakan umum dibidang impor, Direktorat jendral
perdagangan luar negeri, Departemen perindustrian dan perdagangan,Jakarta.
Elips, 1997, Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta.
E. Utrecht, 1961, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta.
Felix O Soebagio, 1993, Perkembangan asas-asas hukum kontrak dalam praktek
bisnis selama 25 tahun terakhir, Disampaikan dalam pertemuan ilmiah
“perkembangan hukum kontrak dalam praktek bisnis di Indonesia”
diselenggarakan oleh badan pengkajian hukum nasional, Jakarta.
Friedmen, 1990, Teori dan filsafat hukum, Rajawali Press, Jakarta.
Faisal Salam, 2007, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional,
Mandar Maju, Bandung.
H.R Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung.
H.S. Kartadjoemena, 1996, GATT dan WTO, Sistem, forum, dan lembaga
internasional di bidang perdagangan, UI Press, Jakarta.
Hugo Grotius, 1959 “On the rights of war and peace” dalam Clarence Morris, The
Great Legal Philosophers, seected reasing in jurisprudence, University of
Pennsylvania press, philadelphia.
Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h.2.
Hans Kellsen Alih Bahasa Smardi, 2007, General Theory Of Law and State, Teori
Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta.
Hellen J. Bond & Peter Kay, 1995, Bussines Law, Blackstone Press Limited, London.
IP Clinic, 2005, Indonesian IPR Law, Publisher PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ida Bagus Wyasa Putra, 1997, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam
Transaksi Bisnis Internasional , Refika Adiatma, Bandung.
Jhoni Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitin Hukum Normatif, Bayu
Publishing, Malang.
Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Laboratorium
Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Larry L. Teply, 1992, Legal Negotiation In A Nutshell, ST. Paul, Mina, West
Publishing CO, USA.
Muhammad Yani, 2009, “safeguard” bulletin kerjasama prdagangan internasional,
edisi 55/2009, departemen perdagangan Republik Indonesia.
Maria Emelia Retno K, 1994, Dampak Implementasi GATT/WTO terhadap EksporImpor Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta.
Munir fuadi, 1999, Hukum Kontrak (Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), PT. Citra
Aditya, Bandung.
Marshall B. Clinard,1985, Coorperate ethics and Crime, The role of middle
Management, Sage Publications Beverly Hills/London/New Delhi.
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, ST.Paul,
Mina, West Publishing CO, USA.
Pogram Study Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan
Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif.
Peter Mahmud Marzuki,2007, Penelitian Hukum, cet.3, kencana persada media group,
Jakarta.
Philipus M.Hadjon. 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Dalam
majalah yuridika, No. 6 Tahun IX.
Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Granit, Jakarta.
Rudolf Von Jehring, 1959, Law as a Mens to an End, dalam Clarence Morris ed, the
Great Legal Philosophers Selected Reasing in Jurisprudence, University of
Pennsylvania Press, Philadelphia, h.406
Roscue Pound, 1954, An Introduction to The Philosophy of Law, New Haven, UP.
Sumadji. P, Yudha Pratama dan Rosita, 2006, Kamus Ekonomi Edisi Lengkap InggrisIndonesia, Cet. I, Wacana Intelektual, Jakarta.
Sobri, 1986, ekonomi internasional, teori, masalah dan kebijaksanaanya, bagian
penerbitan fakultas ekonomi (BPFE), UII, Yogyakarta.
Sukarmi, 2002, Regulasi anti dumping dibawah baying-bayang pasar bebas, Sinar
grafika, Jakarta.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979.
Theo Huijbers, 2006, filsafat hukum dalam lintasan sejarah, kanisius, Yogyakarta.
W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN. Balai
Pustaka.
Winardi, 1996, istilah ekonomi, mandar maju, Bandung.
Yulianto syahyu, 2004, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Ghali, Indonesia, Jakarta.
Internet.
Antidumping in the America: Analyses on trade and integration in the Americas by
Jose Tavares de Araujo Jr. 2001, h.9.
http://www.dttc.oas.org/trade/studies/subsid/Antidumptav.pdf.
Artikel
diakses pada tanggal 10 Desember 2010 .pukul 21.15.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia,
http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada
tanggal 10-03-2010 pukul 13.30.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia,
http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada
tanggal 10-03-2010 pukul 13.30.
Daniel Suryana, Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping Ke dalam Hukum Nasional
Indonesia, http://dansur.blogster.com/harmonisasi_ketentuan.html.
Artikel
diakses pada tanggal 29-03-2010. pukul 22.20.
Frequently
Asked
Questions-Antidumping,
Internasional
Trade,
http://www.indiainbusiness.nic.in/faq/Antidumping.html. artikel diakses pada
29-03-2010. pukul 17.34.
Gusmardi Bustami, WTO dan Perlindungan Industri Dalam Negeri,
http://www.geocities.com/herso et2001/wtoperlindunganindustri.pdf ; artikel
diakses pada tanggal 31-03-2010. pukul 15.55.
Kamus Hukum, http:/www.kamus hukum com/indentri,php?.indek=D& urut=3,
artikel diakses pada tanggal 10-12-2010, pukul 21.15.
Peraturan Perundang-undangan.
Agreement On Implement Of ArticleVI Of The General Agreement on Tariffs and
Trade 1994.
Article XIX of GATT 1994, Of The Agreement on Safeguard.
Article VI of GATT 1994, Of The Agreement on Implementation.
Indonesia, Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006, tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995, Tentang
Kepabeanan.
Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, tentang Pengesahan (ratifikasi)
Agreement Establishing The World Trade Organization
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996, tentang Bea Masuk Anti Dumping Dan Bea
Masuk Imbalan.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996,
tentang tata cara dan persyatan permohonan Penyelidikan Atas Barang
Dumping dan Atau Barang Mengandung Subsidi.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/200,
tentang Komite Anti Dumping Indonesia.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000,
Tentang Penunjukan, dan pengankatan Anggota Komite Anti Indonesia
Keputusan Ketua Komite Anti Dumping Indonesia Nomor. 346/KADI/kep/10/2010
tentang Penunjukan dan Pengangkatan Kepala bidang dan Anggota di
Lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia.
Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2002, tentang Tindakan
Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor.
Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 85/MPP/Kep/2/2003.
tentang Tata Cara Dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan Atas
Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
World Trade Organization, Agreement On Subsidies And Countervailing Measures
Download