TESIS PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTIK DUMPING DEWA GEDE PRADNYA YUSTIAWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 TESIS PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTIK DUMPING DEWA GEDE PRADNYA YUSTIAWAN NIM : 0890561077 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTIK DUMPING Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana DEWA GEDE PRADNYA YUSTIAWAN NIM : 0890561077 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 25 JULI 2011 Pembimbing I Pembimbing II Dr. Wayan Wiryawan, SH,MH Dewa Gde Rudy, SH,MH. NIP. 19550306 198403 1 003 NIP. 19590114 198601 1 001 Mengetahui Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Putu Sudarma Sumadhi, SH, SU. NIP. 1956 0419 1983 03 1003 Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP. 1959 0215 1985 10 2001 Tesis Ini Telah Diuji Oleh Panitia Penguji Pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 25 JULI 2011 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1243/UN14.4/HK/2011 Tanggal 14 Juli 2011 Ketua : Dr. I Wayan Wiryawan., SH., MH. Anggota : 1. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum. 2. Marwanto, SH., M.Hum. 3. I Ketut Westra, SH., MH. 4. I Gusti Ayu Puspawati, SH., MH. SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Dewa Gede Pradnya Yustiawan Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/11 Januari 1985 Jenis Kelamin : Laki-Laki Alamat : Dsn. Kawan, Ds.Satra, Kec/Kab. Klungkung. Nomor Telepon : 085739000166 Jurusan : Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis). Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila Penulisan Tesis ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan / atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan / atau sanksi hukum. Demikian surat pernyataan ini penulis buat sebagai pertanggungj awaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga. Denpasar, Juli 2011 Yang menyatakan (Dewa Gede Pradnya Yustiawan) Nim : 0890561077 UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan rasa puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, kasih dan anugerah-Nya, yaitu selama penulis melaksanakan studi di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana di Denpasar, dan setelah melalui proses panjang dan jalan yang tidak selalu lurus, akhirnya penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan judul “Perlindungan Industri Dalam Negeri dari Praktik Dumping” telah dapat diselesiakan dengan baik meskipun kurang sempurna. Selesainya tugas akhir dalam penulisan dan penyusunan tesisi ini, tidak terlepas berkat dorongan, bantuan, bimbingan, arahan, kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini ijinkanlah dengan ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak yang berpartisipasi serta memberikan bantuan sampai terselesaikannya tesis ini, terutama disampaikan kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof.Dr.dr. I Made Bakta, SpPD(KHOM), Rektor Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan lanjutan pada Program Studi Ilmu Hukum, PascaSarjana Universitas Udayana. 2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 3. Bapak Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, SH, SU, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi mahasiswa dan mengikuti Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 4. Bapak Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH, MH, Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH. MH. Selaku pembimbing I, sekaligus sebagai tim penguji dan sebagai Dosen selama penulis mengikuti pendidikan Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana, yang penuh kesabaran dan ketelitiannya membimbing penulis di dalam penguasaan teori dan kedalaman penalaran, serta ketepatan metodologi, sistematika pemikiran serta kesimpulan, yang ditengah-tengah kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberi bimbingan substansi tesis dan arahan di dalam penelitian, penyusunan sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 6. Bapak Dewa Gde Rudy, SH. MH, selaku pembimbing II, sekaligus sebagai Tim penguji dan sebagai Dosen selama penulis mengikuti pendidikan Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana, yang dengan penuh perhatian, kesabaran dan secara teratur serta berkesinambungan telah memberikan bimbingan dan saran di dalam orisinalitas penelitian dan sumbangannya terhadap khasanah ilmu hukum, kepada penulis di dalam menyelesaikan tesis ini. 7. Para tim penguji tesis, Bapak Dr. Wayan Wiryawan, SH.,MH. Bapak Dewa Gde Rudy, SH.,M.Hum. Bapak Marwanto, SH.,MHum. Bapak I Ketut Westra, SH.,MH. Dan Ibu I Gusti Ayu Puspawati, SH., MH. sebagai penguji dan penelaah proposal tesis ini, yang dengan teliti mengkritisi tulisan tesis ini dan yang telah banyak membantu dan memberi segala saran/masukanmasukan dan petunjuk yang bermanfaat bagi penulis di dalam menyelesaikan penelitian / tesis penulis ini. 8. Kepada para Guru Besar dan seluruh Dosen Program Magister Ilmu Hukum Universitas udayana, yang tidak dapat penulis sebutkan nama beliau satu persatu, yang telah berkenan memberikan wawasan keilmuan khususnya Ilmu Hukum, sistematika pemikiran, kepada penulis selama penulis mengikuti perkuliahan dan memberikan dukungan dan arahan di dalam ketepatan metodologi dan kaidah-kaidah penulisan tesis, sehingga dapat membantu penyelesian tesis ini. 9. Bapak, Ibu seluruh staff administrasi program Pascasarjana Magister Ilmu hukum, yang telah memberikan pelayanan dan membantu dalam segala hal administrasi guna penyelesaian program pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. 10. Teristimewa penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada kedua orang tua, Bapak Ngakan Ketut Dunia, SH, MH. dan Ibu Anak Agung Ayu Wartini, SH., yang tidak pernah jenuh dalam membesarkan, mendidik, memberikan dorongan, dan memberikan nasehat yang terbaik sehingga menjadi motivator serta selalu mendoakan agar penulis bisa dengan segera menyelesaikan pendidikan pascasarjana Magister Ilmu Hukum dan menumbangkan ilmu pengetahuannya, dan juga kepada kedua kakak-kakak penulis yaitu Dw. Ayu Dewi Hermayanti,SE beserta suami, Dewa Gede Trisna Yuniawan, S.Kom beserta Istri yang telah memberikan banyak dorongan dan bantuannya kepada penulis. 11. Kepada yang tercinta Desak Nyoman Sri Lestari, Amd.Keb, beserta kedua orang tua dan keluarga yang telah banyak membantu penulis dan memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 12. Teman-teman kuliah Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih untuk semuanya. Akhirnya Kepada semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu yang telah membantu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan dan melimpahkan RahmatNya, kepada kita semua dan semoga ilmu yang penulis dapatkan bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara, serta dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu hukum. Terimakasih. Denpasar, Juli 2011 Penulis ABSTRAK Perlindungan Industri Dalam Negeri dari Praktik Dumping Dumping dalam perdagangan internasional merupakan perjanjian yang tidak jujur (unfair competition) yang biasa ditempuh oleh pengusaha, yaitu dengan menjual hasil produksinya di luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga penjualan di dalam negeri, agar dapat merebut konsumen sebanyak mungkin praktik dumping yang dilakukan oleh pengusaha tersebut berakibat pada timbulnya kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Untuk menghindari terjadinya kerugian perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Permasalahannya adalah bagaimanakah pengaturan perlindungan terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping apakah yang dijadikan ukuran dalam menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping, dan upaya apakah yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai peraturan perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping, kriteria yang dijadikan ukuran adanya kerugian dan upaya-upaya yang dilakukan oleh produsen dalam negeri akibat terjadinya praktik dumping. Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu didalam pembahasan masalah disamping menggunakan atas ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku (Undang-undang), juga dikaitkan dengan kenyataan yang ada dalam praktik perdagangan dan pendekatan analisis konsep. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan perlindungan industri dalam negeri dari praktik dumping adalah pengaturan dalam GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) dan WTO ( World Trade Organization), dan pengaturan dalam hukum nasional. Kriteria yang dijadikan ukuran dalam menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping adalah kerugian material, ancaman akan terjadinya kerugian nyata yang akan dialami oleh industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan terhalangnya pengembangan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Upaya yang dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping adalah mereka dapat menempuh prosedur-prosedur yang telah dinyatakan oleh Peraturan Pemerintah No.34 tahun 1996. Kata Kunci : Industri dalam negeri, praktik dumping. ABSTRACT The Protection of Domestic Industry from the Dumping Practice Dumping in international trading is an unfair competition which is commonly adopted by the entrepreneurs, that is by selling their product abroad with lower price then in domestic, in attention to have more customer. The strategy of dumping which is done by the entrepreneur gives an effect of financial loss to the domestic industries that produce the similar product. To avoid the financial loss, the producers who produce the similar product need to do some effort. The problems are how is the control of protection for the domestic industries that produce the similar product, what is the measurement in establishing the financial loss for the domestic industries from the practice of dumping, and what effort can be done by the domestic producer who are suffered a financial loss because of the practice of dumping. Therefore this research is aimed to know and understand the protection of domestic industries from the practice of dumping in purpose to have the regulation of domestic industrial protection that produce the similar product and the criteria for the measurement of the financial loss and the efforts which are done by the producers as the effect of the practice of dumping. The specification of this research is a descriptive analytic with the juridical normative method which means that in the analysis of the problems above are using rule of law, which is also connected with the reality that happen in the practice of trading and analytical concept method. The result of this research show that the regulations of the domestic industrial protection from the practice of dumping are the regulation in GATT and WTO and national law regulation. The criteria for the measurement in stating the financial loss of the domestic industries which produce the similar product from the practice of dumping are the financial loss, the threat of a real financial loss wich will be faced by the domestic industries that produce the similar product and the obstruction of the development of the domestic industries. The effort to avoid the practice of dumping that can be done by them is to follow the government procedures which have been stated in the government regulation No. 34. Key Words : Domestic Industry, Practice Of Dumping. RINGKASAN Perdagangan internasional atau perdagangan antarnegara dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan semakin bertambahnya hubungan dagang yang dilakukan antar lintas batas-batas negara yang dilakukan oleh para pelaku usaha dengan melakukan suatu sistem tertentu dan spesifik. Dalam usaha membangun hubungan perdagangan lintas negara agar terciptanya hubungan yang harmonis dan perdangan yang tertib maka perlu dibuat keentuan-ketentuan yang bersifat mengatur agar terciptanya suatu perdagangan yang fair. Tujuan dari penelitian tesis ini mengkaji tentang prinsip-prinsip hukum dalam perlindungan industri dalam negeri dari praktik dumping. Tesis ini terdiri dari Bab I sampai dengan Bab V. Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis, metode penelitian, jenis penelitian,jenis pendekatan, sumber bahan hukum, dan teknis analisis bahan hukum. Permasalahan yang diteliti adalah : bagaimanakah pengaturan perlindungan terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumpig. Selain itu bagaimanakah kriteria penentuan harga normal dan penentuan kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis menurut GATT/WTO. Serta upaya apakah yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping. Pengkajian terhadap ketiga permasalahan dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif dengan pendektan peraturan-peraturan dan pendekatan konsep. Bab II tinjauan umum tentang kerugian (injury) dan instrumen yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, yang menguraikan tentang dumping, pengertian dumping, jenis-jenis dumping, barang dumping, dan Batas Harga Dumping ( Margin of Dumping). Bab III adalah bab yang menguraikan tentang kerugian (injury) dan instrumen yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping yang membahas tentang kerugian (injury) yang meliputi pengertian kerugian (injury), Hubungan Kausalitas (Causality) Antara Kerugian (Injury) dan Barang Dumping, kemudian pembahasan mengenai Instrumen Yang digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping yang menguraikan tentang anti dumping, subsidi, dan pembahasan mengenai safeguard. Bab IV menjelaskan mengenai kebijakan pemerintah berkaitan dengan tuduhan dumping oleh produsen indonesia kepada negara pengesport. Pada bab IV membahas mengenai pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), yang menguraikan mengenai dasar hukum pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), struktur kelembagaan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), tugas pokok Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), penyelidikan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Pembahasan selanjutnya menguraikan tentang pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk pembalasan, pengaturan dan penetapan, yang menjelaskan mengenai pengenaan bea masuk anti dumping, pengenaan bea masuk imbalan, pengenaan bea masuk tindakan pengamanan, pengenaan bea masuk pembalasan, dan pembahasan terakhir menguraikan tentang pengaturan dan penetapan. Bab V merupakan Bab terakhir yaitu Bab penutup, dari penulisan dan penelitian ini yang meliputi : kesimpulan dan saran. Berdasarkan hasil pembahasan terhadap permasalahan pada Bab II, Bab III dan, Bab IV dapatlah diambil kesimpulan bahwa : 1. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 7 tahun 2006 ketentuan Bab IV ditambahkan dengan bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk imbalan, dan bea masuk pembalasan, produk-produk hukum lainnya yang terkait dengan upaya perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping adalah peraturan pemerintah nomor 34 tahun 1996 tentang bea masuk Anti Dumping dan bea masuk imbalan sebagai hukum materialnya, yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya beberapa keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan, yaitu keputusan menteri perindustrian dan perdagangan nomor 261/MPP/Kep/9/1996 sebagai hukum formalnya. Keputusan menteri Perindustrian dan perdagangan nomor 427/MPP/Kep/10/2000 mengenai pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Disamping keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, juga dikeluarkan keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang tindakan pengamanan industri dalam negeri akibat lonjakan import. Peraturan-peraturan tersebut walaupun bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri yang memproduksi barang-barang sejenis dari praktek dumping, tetapi sampai saat ini belum ada peraturan khusus dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur anti dumping sebagai hukum nasional. 2. Hasil penyelidikan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) ada yang ditutup karena Komite Ani Dumping Indonesia (KADI) mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya kerugian (injury). Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) belum bisa mendifinisikan pengertian pengertian (injury) bagaimana suatu kinerja itu bisa menyebabkan kerugian (injury), keadaan tersebut akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bagi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). 3. Upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang mengalami kerugian atau ancaman kerugian karena adanya barang impor yang dijual secara dumping atau mengandung subsidi dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) baik secara perorangan atau kelompok. Dari uraian tersebut diatas, maka perlu disarankan sebagai berikut : 1. untuk dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis terhadap persaingan barang perlu segera dibuat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang anti dumping sebagai hukum nasional. 2. Batasan kerugian yang timbul akibat praktik dumping cukup dibatasi sampai pada kerugian nyata (material injury), dimana industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian sebagai akibat adanya barang dumping. 3. Oleh karena masih lemahnya pemakaian istrument WTO oleh produsen dalam negeri yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terutama mengenai tata cara mengajukan bea masuk anti dumping (BMAD), tindakan anti subsdi, dan tindakan safeguard, maka instansi pemerintah terkait perlu meningkatkan sosialiasi sebagai ketentuan perdagangan yang disepakati WTO, sehingga dapat tercipta sistem perdagangan yang se DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER........................................... ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI....................................................................... iv SURAT PERNYATAAN KEASLIAN………………………………………..…. v UCAPAN TERIMAKASIH.................................................................................... vi ABSTRAK.............................................................................................................. vii ABSTRACT........................................................................................................... viii RINGKASAN.......................................................................................................... ix DAFTAR ISI............................................................................................................ xi BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1 1.2. Orisinalitas Penelitian......................................................................... 12 1.3. Rumusan Masalah............................................................................... 16 1.4. Ruang Lingkup Masalah..................................................................... 17 1.5. Tujuan Penelitian................................................................................ 17 1.5.1. Tujuan Umum.................................................................... 17 1.5.2. Tujuan Khusus................................................................... 18 1.6. Manfaat Penelitian.............................................................................. 18 1.6.1. Manfaat Teoritis................................................................. 18 1.6.2. Manfaat Praktis.................................................................. 18 1.7. Landasan Teoritis................................................................................ 19 1.8. Metode Penelitian................................................................................ 36 1.8.1. Jenis Penelitian................................................................... 36 1.8.2. Jenis Pendekatan................................................................ 39 1.8.3. Sumber Bahan Hukum....................................................... 40 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum................................. 41 1.8.5. Teknis Analisis Bahan Hukum........................................ 42 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING.................................... 44 Pengertian Dumping..................................................................................... 44 Jenis-Jenis Dumping..................................................................................... 48 Barang Dumping........................................................................................... 54 Batas Harga Dumping (Margin Of Dumping)............................................... 58 BAB III PENENTUAN KERUGIAN (INJURY) DAN INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTIK DUMPING.............................. 62 3.1. Kerugian (Injury)............................................................................. 62 3.1.1. Pengertian Kerugian (Injury)............................................... 62 3.1.2. Hubungan Kausalitas (Causality) Antara Kerugian (Injury) Dan Barang Dumping.............................................. 62 3.2. Instrumen Yang Digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping......................................................... 66 3.2.1. Anti Dumping..................................................................... 69 3.2.2. Subsidi................................................................................ 92 3.2.3. Safeguard........................................................................... 97 BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH BERKAITAN DENGAN TUDUHAN DUMPING OLEH PRODUSEN INDONESIA KEPADA NEGARA PENGEKSPOR...................................................................................... 108 4.1. Pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)................ 108 4.1.1. Dasar Hukum Pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)............................................................... 108 4.1.2. Struktur Kelembagaan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)................................................................. 110 4.1.3 Tugas Pokok Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).... 112 4.1.4 Penyelidikan Oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)................................................................................ 115 4.2. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, Bea Masuk Pembalasan, Pengaturan Dan Penetapan...................................................................................... 119 4.2.1. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping................................ 119 4.2.2. Pengenaan Bea Masuk Imbalan.......................................... 131 4.2.3. Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan.................. 133 4.2.4. Pengenaan Bea Masuk Pembalasan................................... 137 4.2.5. Pengaturan dan Penetapan..................................................137 BAB V PENUTUP.............................................................................................. 146 5.1. Simpulan............................................................................................... 146 5.2. Saran..................................................................................................... 147 DAFTAR PUSTAKA Lampiran-Lampiran. Lampiran I. Komite Anti Dumping Indonesia Format Permohonan Penyelidikan Anti Dumping. Lampiran II. Article XIX Of GATT 1994 Agreement On Safeguards. Lampiran III. Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor. Lampiran IV. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 85/MPP/Kep/2/2003, Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan Atas Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Dinamika perdagangan internasional diikuti dengan berbagai permasalahan yang kompleks sebagai konsekuensi dari suatu hubungan perdagangan yang wajar terjadi dalam dunia bisnis. Ciri khas perdagangan internasional adalah adanya hubungan dagang yang dilakukan antar lintas batas-batas negara yang dilakukan oleh para pelaku usaha dengan mengikuti suatu sistem tertentu dan spesifik. Jika berbicara tentang perdagangan internasional, hal itu tidak akan lepas dari eksistensi suatu sistem. Dalam perdagangan internasional, eksistensi suatu sistem merupakan patron yang membentuk dan mengarahkan kegiatan-kegiatan perdagangan ke dalam tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan1. Dalam upaya membangun hubungan perdagangan lintas negara yang tertib, perlu dibuat ketentuan-ketentuan yang berupa aturan-aturan hukum yang bersifat mengatur yang diterima sebagai suatu kesepakatan bersama yang bertujuan menjamin agar terciptanya suatu perdagangan yang fair. Aturan hukum yang dimaksud berfungsi sebagai acuan (guidance) yang berlaku secara umum yang harus ditaati dan diawasi dan diberlakukan secara tegas untuk mengeliminasi atau mengurangi penyimpanganpenyimpangan yang dapat terjadi dalam hubungan perdagangan internasional. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah adanya eksistensi lembaga/organisasi yang 1 Christhophorus Barutu, 2007, Sejarah Sistem Perdagangan Internasional (Dari Upaya Pembentukan Internasional Trade Organization, Eksistensi General Agreement On Tariffs and Trade Sampai Berdirinya World Trade Organization), Jurnal Hukum Gloris Juris, Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Volume 7, Nomor 1, 1 Januari 2007, April, Jakarta,(Selanjutnya disebut Christhophorus Barutu 1), h.5. memiliki kekuatan hukum yang mampu mengatur segala masalah yang terkait dalam perdagangan internasional. Keinginan lahirnya suatu organisasi perdagangan yang bersifat multilateral telah lama timbul untuk mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perdagangan global yang melibatkan kepentingan negara-negara di dunia yang memiliki komitmen bersama mewujudkan perdagangan internasional yang fair dan adil. Untuk mewujudkan integrasi sistem perdagangan dunia, beberapa negara besar mencoba untuk membentuk organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan mengawasi suatu sistem perdagangan dunia yang ideal, yang dimualai dari upaya pembentukan Internasional Trade Organization (ITO), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947, sampai terbentuknya World Trade Organization (WTO). Upaya pembentukan organisasi perdagangan dunia ini mencerminkan adanya keinginan yang kuat untuk mewujudkan suatu sistem perdagangan yang fair. The World Trade Organization (www.wto.org), the succecor to the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), was established in 1995 as the principle international body administering trade agreement among member states. The WTO acts as a forum for trade negotiations, seek to resolve trade disputes, and oversees national trade policies. It is governed by a ministerial conference, which meets every two year, while most operations are handled by its general counsil2. Membajirnya barang impor ilegal telah membuat produsen domestik menjadi kurang bersemangat untuk berproduksi, dan karena alasan inilah yang menjadikan mereka berubah menjadi importir. Barang-barang ilegal tersebut masuk ke Indonesia bagaikan air hujan yang membanjiri pasar domestik dalam jumlah yang sangat besar. Para produsen domestik merasa terjepit dengan adanya perdagangan yang tidak adil 2 Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, ST.Paul, Min, 2000, h.305 (unfair Trade) kompetisi seperti ini, mereka merasa adanya ketidak adilan dan merasa adanya perebutan pasar domestik oleh para importir ilegal3. Walaupun semua negara anggota WTO telah sepakat untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas, dimana semua hambatan perdagangan baik berbentuk tarif maupun non tarif dihapuskan. Maka arus barang dapat masuk ke semua negara dengan bebas, persaingan dalam merebut pasar menjadi semakin ketat, kemungkinan praktek perdagangan yang tidak sehat seperti dumping, subsidi dan manipulasi dokumen dapat saja terjadi, walaupun anggota WTO diwajibkan untuk melakukan suatu perdagangan yang sehat (Fair Trade). Globalisasi perdagangan menuntut kesiapan setiap anggota untuk bersaing secara sehat dan terbuka4. Pesatnya dinamika perkembangan perdagangan internasional menyisakan sejumlah permasalahan sebagai implikasi dari kegiatan perdagangan internasional itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat mengkristal dan menjadi hambatan (barrier) yang dapat mendorong terjadinya degradasi hubungan yang harmonis dalam hubungan perdagangan internasional. Dalam hubungan perdagangan internasional antarnegara, komitmen dalam mewujudkan perdagangan yang jujur dan fair merupakan tuntutan sangat penting yang tidak boleh diabaikan. Masalah-masalah terbesar yang mudah diidentifikasi dan yang paling sering terjadi adalah justru terkait dengan pelanggaran prinsip kejujuran dan fair yang mengakibatkan terjadinya praktik dagang yang tidak sehat (Unfair Trade Practices) dalam melaksanakan aktifitas perdagangan internasional5. 3 Direktorat Impor Ditjen Perdagangan Luar Negeri, 2003, Sosialisasi Mal Praktek/ Unfair Trade, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Juli 2003, h.1. 4 Ibid. 5 Christhophorus Barutu, 2007, Antidumping dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Yogyakarta, (Selanjutnya disebut Christhophorus Barutu 2),h.53. Ada banyak praktik perdagangan yang tidak sehat yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional dan yang paling banyak disorot adalah masalah dumping. Praktik dumping telah lama ditempatkan sebagai salah satu praktik dagang yang curang yang terjadi dalam konteks perdagangan internasional yang menimbulkan kerugian dan dapat memukul dunia usaha suatu negara tempat praktik dumping itu terjadi. Dengan menjual suatu jenis barang produksi ekspor dengan harga lebih rendah dari harga pasar dalam negeri, (negara pengimpor) mengakibatkan matinya pasar barang sejenis dalam negeri. Hal ini membuat barang-barang sejenis tersebut tidak lagi dapat bersaing secara kompetitif dan fair akibat perbedaan harga yang sangat drastis. Namun, dibalik itu semua hanya praktik dumping yang menimbulkan kerugian yang dapat dikategorikan sebagai unfair trade practices. Bagi pelaku usaha yang melakukan ekspor yang terkena tuduhan dumping dapat berakibat berkurangnya ekspor, berkurangnya omzet penjualan, berkurangnya keuntungan yang didapat, wajib menanggapi serta memberikan informasi dan datadata yang diperlukan dalam penyelesaian sengketa dumping melalui World Trade Organization (WTO). Kemerosotan pendapatan, lebih jauh dapat mengakibatkan penurunan daya bayar perusahaan terhadap ongkos tenaga kerja, penurunan pembiayaan perusahaan, akhirnya penurunan daya produksi dan daya ekspor6. Praktik dumping merupakan tindakan yang jelas-jelas dapat menimbulkan kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara yang mana setiap negara memerlukan perlindungan (protection) yang memadai, sehingga lahirlah suatu instrument kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping. Dumping adalah suatu praktik penjualan barang di suatu pasaran ekspor dengan lebih 6 Ida Bagus Wyasa Putra, 1997, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional , Refika Adiatma, Bandung, h. 14. rendah dari harga penjualan di pasar domestik, atau di bawah biaya produksi7. Kebijaksanaan anti dumping merupakan ketentuan-ketentuan yang menyoroti praktik dumping dan penjatuhan sanksi/hukuman terhadap pelaku praktik dumping dalam konteks perdagangan internasional. Ketentuan GATT / WTO tahun 1994 mengatur kesepakatan menghapus hambatan perdagangan tersebut. Namun demikian masih ada juga perusahaan yang melakukan kegiatan curang, dengan menjual barang yang harganya ditekan serendah mungkin untuk dijual di negara lain yang mana barang tersebut juga diproduksi oleh perusahaan lain, tetapi untuk penjualan dalam negeri harga yang ditawarkan masih sama dengan perusahaan pesaingnya. Hal ini bertujuan untuk merebut pangsa pasar luar negeri atau negara lain agar memilih untuk bekerja sama tentunya dengan perusahaan mana yang menjual barang dengan harga yang lebih rendah dari pesaingnya. Kini ditambah lagi dengan semakin berkembang dan terbukanya pasar bebas yang mengharuskan negara Indonesia juga terbuka dengan dunia perdagangan bebas yang terkadang menjatuhkan harga-harga barang yang sama di pasaran dengan harga barang perusahaan pesaingnya. Tujuan inilah yang sering dikenal dengan praktek dumping. Dumping dalam perdagangan internasional dipandang sebagai perbuatan curang, yakni merupakan persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Dumping merupakan strategi persaingan yang biasa ditempuh oleh pengusaha, yakni strategi persaingan harga (price competition). Pengusaha menjual hasil produksinya di luar negeri dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga penjualan di dalam negeri. Agar dapat merebut konsumen sebanyak-banyaknya maka pengusaha 7 Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 1992, Anti Dumping Code Latar Belakang Penafsiran dan Tinjauan atas Sejumlah Tuduhan Terhadap Indonesia, Proyek Pengembangan Perdagangan Luar Negeri pusat, Departement Perdagangan Republik Indonesia , Jakarta, h. 1 menempuh strategi persaingan harga dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lain. Selain strategi persaingan harga, dikenal pula strategi persaingan bukan harga (non price competition) persaingan bukan harga ini dapat ditempuh dengan advertasi, kualitas, atau atribut lainnya seperti kemasan, warna, aroma, dan lain-lain. Dampak persaingan yang tidak jujur (unfair competition) dapat merugikan berbagai pihak / negara dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mengembangkan persaingan yang jujur dalam perdagangan internasional. Untuk mencapai hal tersebut maka munculah GATT (General Agrement on Tariff and Trade) GATT merupakan suatu persetujuan multilateral yang menentukan peraturan perdagangan internasional dengan tujuan untuk menciptakan perdagangan internasional yang bebas, terbuka dan kompetitif. Anggota GATT terdiri dari negaranegara yang ikut menandatangani dan menerapkan peraturan-peraturan yang telah ditandatangani (contracting parties). Prinsip utama GATT adalah tidak ada diskriminasi (non discrimination) yang tercantum dalam klausa Most Favoured Nation (MFN). Prinsip ini mengharuskan setiap negara penandatangan persetujuan peraturan GATT memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan perdagangan internasional kepada negara penandatangan lain. Kelonggaran tarif yang diberikan kepada suatu negara atas dasar perjanjian bilateral, haruslah diberikan juga kepada negara penandatangan lain tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu. Apabila terjadi perselisihan di antara negara penandatangan, GATT merupakan forum untuk konsultasi dalam penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan juga mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah ditandatangani. Indonesia merupakan salah satu negara anggota organisasi perdagangan dunia (The World Trade Organization/WTO), karena telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization sebagaimana diwujudkan dalam UU No. 7 tahun 1994. Sebagai negara anggota WTO, Indonesia harus mematuhi peraturan peraturan organisasi perdganan dunia tersebut. Keanggotaan tersebut membawa konsekuensi dikenakannya persetujuan-persetujuan yang ada dalam WTO. Salah satu persetujuan dalam WTO adalah persetujuan tentang pelaksanaan pasal IV dari persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan 1994. Isi persetujuan tersebut berkenaan dengan dumping dan anti dumping. Indonesia termasuk negara yang mendapat tuduhan melakukan praktik dumping dari berbagai negara dalam perdagangan internasional. Berdasarkan data dari pusat data bisnis indonesia, pada tahun 1996 ada tiga puluh empat komoditi ekspor indonesia yang dituduh melakukan praktek dumping. Tuduhan praktek dumping paling banyak dilakukan oleh Australia, hal tersebut tidaklah mengherankan karena dalam skala internasional Australia merupakan negara pengaju anti-dumping terbesar (kompas, edisi 11 Oktober 1996). Kejayaan jepang sebagai raksasa perdagangan dunia saat ini, disebabkan karena keberhasilannya dalam memproteksi produksi dalam negeri sembari melakukan praktek dumping. Amerika Serikat yang menjadi pelopor dan lokomotif dari perdagangan dunia yang bebas, menurut James Bovard dalam bukunya “The Fair Trade Fraud”, sesungguhnya menerapkan berbagai proteksi tarif maupun non tarif terhadap perusahaan-perusahaan Amerika dari saingannya. Dengan adanya kesepakatan multilateral tentang penghapusan rintangan dagang baik berupa tarif maupun non tarif berakibat pada terbukanya pasar masing-masing negara. Dalam memanfaatkan peluang pasar tersebut banyak pemerintah memberikan insentif yang berlebihan dan perusahaan melakukan praktik-praktik dagang yang tidak sehat (unfair trade practice) yang bertentangan dengan kesepakatan WTO. Seiring dengan semakin liberalnya pasar global, praktik dagang yang tidak sehat semakin marak dan setiap negara mulai sadar dan merasa perlu untuk memberi perlindungan terhadap industri dalam negeri dan perdagangan dalam negerinya. Praktik perdagangan yang tidak sehat, termasuk praktik dumping dan atau subsidi yang dilakukan negara eksportir mengakibatkan kerugian (injury) bagi dunia usaha dan industri dalam negeri barang sejenis di negara pengimpor. Guna melindungi industri dalam negeri dari serbuan tuduhan praktik dumping, maka dibentuklah Komite Anti Dumping Indonesia (selanjutnya disingkat dengan KADI). Tugas pokok KADI yaitu melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping dan atau barang mengandung subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri barang sejenis. Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi mengenai dugaan adanya barang dumping dan atau barang mengandung subsidi. Mengusulkan pengenaan bea masuk anti dumping dan atau bea masuk imbalan kepada menteri perdagangan, sedangkan fungsi KADI yaitu merumuskan kebijakan penanggulangan impor barang dumping dan atau barang mengandung subsidi. Meneliti dan melakukan konsultasi penyelesaian berbagai permasalahan yang berkaitan dengan impor barang dumping dan atau barang mengandung subsidi. Mengawasi pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan impor barang dumping dan atau barang mengandung subsidi. Fakta yang sekarang terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjad makmur, sejahtera dan kuat8. 8 h.2. Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Dengan adanya KADI diharapkan dapat membantu industri dalam negeri Indonesia yang berhadapan dengan barang impor yang masuk ke Indonesia dengan cara yang tidak fair yaitu dengan dumping maupun dengan perolehan subsidi dari pemerintah negara pengekspor. Manfaat adanya instrumen anti dumping dan anti subsidi bagi Indonesia yakni dapat melindungi industri dalam negeri yang menghadapi barang impor yang diduga dumping maupun mengandung subsidi. Di lain pihak instrumen tersebut juga dapat digunakan negara lain untuk menghambat barang ekspor Indonesia yang masuk ke negaranya9. Bilamana produsen / eksportir indonesia berhadapan dengan tuduhan dumping dan subsidi dari suatu negara maka selain produsen / eksportir indonesia harus membela diri, pemerintah indonesia juga memberikan pembelaan. Institusi pemerintah yang mempunyai tugas melakukan pembelaan terhadap tuduhan dumping, subsidi maupun safeguard yaitu Departemen Perindustrian dan perdagangan c.q direktorat pengamanan perdagangan, Ditjen Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional (KIPI)10. Pemerintah diminta lebih serius dalam melindungi industri dalam negeri, terutama dalam menggunakan berbagai instrumen kebijakan impor, untuk memberikan proteksi bagi produksi dalam negeri. Sekalipun indonesia terikat dengan WTO dan mendukung perdagangan bebas, bukan berarti menjadi halangan untuk melakukan proteksi. Masih banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus melanggar perjanjian WTO. Kehadiran Undang-undang anti dumping sangat di harapkan dalam menghadapi perdagangan bebas walaupun selamana ini sejak tahun 1996 Indonesia telah mempunyai ketentuan yang mengatur tentang bea masuk anti dumpig dan bea masuk imbalan (Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996). Namun perlu diketahui bahwa Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 merupakan salah satu peraturan 9 Direktorat Pengamanan Perdagangan, 2003, Unfair Trade Practices dumping & Subsidy, nurlaila, Yogyakarta 28 Juli 2003, h. 3. 10 Ibid, h.4 pelaksana dari Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, sedangkan masalah dumping merupakan masalah yang kompleks, yaitu tidak hanya berkaitan dengan masalah kepabeanan tetapi masih banyak keterkaitan dengan masalah lain, misalnya masalah mutu barang, politik, keuangan, kebijakan, dan sebagainya. Dalam menerapkan ketentuan anti dumping berdasarkan GATT-WTO, Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 kurang mengakomodasi semua ketentuan GATT-WTO tentang anti dumping. Prosedur penyelesaian sengketa GATT pada dasarnya mempunyai tiga tujuan, yaitu realisasi dari tujuan GATT, perlindungan keuntungan yang berasal dari perjanjian, dan untuk penyelesaian sengketa itu sendiri11, sehingga masih adanya kekaburan yang perlu penafsiran-penafsiran terutama dalam penentuan harga normal, kerugian (Injury), dan Causal Link sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada produsen dalam negeri dimana dalam kasus tindakan dumping sering kali merugikan produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Pada penelitian perlindungan industri dalam negeri dari praktik dumping ini ternyata belum ada peraturan perundang-undangannya yang secara khusus mengatur mengenai masalah dumping sebagai hukum nasional dalam arti terdapat kekosongan hukum, atau lebih tepatnya lagi disebut kekosongan undang-undang. 1.2. Orisinilitas Penelitian. Penelitian tentang “Perlindungan Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping” dilakukan untuk mengetahui : (1). Bentuk pengaturan perlindungan terhadap ndustri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping, (2). Cara penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri yang 11 Faisal Salam, 2007, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung, h. 442. memproduksi barang sejenis, (3). Upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum normatif dengan tujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Jenis pendekatan yang digunakan adalah : (1). Pendekatan perundang-undangan (statue Approach), (2). Pendekatan perbandingan (Comparative Approach), (3). Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach), (4). Pendekatan konsep (conseptual Approach). Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian yang berkaitan dengan dumping adalah dapat dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh Umi martina dalam rangka penulisan tesis untuk penyelesaian studi Pada Program Studi Magiter (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Konsentrasi Hukum Bisnis (2011). Umi martina menuis tentang “ Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Pelaku Usaha Indonesia Dalam Kasus Dumping” permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1). Apakah pengaturan penyelesaian sengketa dumpinf menurut World Trade Organization (WTO) telah menjamin perlindungan hukum bagi kepentingan pelaku usaha Indonesia yang terkena tuduhan dumping. (2). Bagaimakah pengaturan putusan penyelesaian sengketa dumping melalui World Trade Orgaization (WTO) agar pengaturan tersebut dalam praktik secara nyata dapat melindungi kepentingan pelaku usaha Indonesia.12 Penelitian yang dilakukan oleh Umi martina bertujuan : (1). Untuk mengetahui pengaturan penyelesaian sengketa duping menurut World Trade Organization (WTO) telah menjamin perlindungan hukum bagi pelaku usaha Indonesia yang terkena tuduhan dumping. (2). Untuk mengethaui pengaturan putusan 12 . Ni Wayan Umi Martina, 2011, Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Pelaku Usaha Indonesia dalam Kasus Dumping. Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Konsentrasi Hukum Bisnis, h.17-18. penyelesaian sengketa dumping melalui World Trade Organization (WTO) agar pengaturan tersebut dalam praktik secara nyata dapat melindungi kepentingan hukum pelaku usaha Indonesia.13 Dari hasil penelitian dan pembahasannya disimpulkan, bahwa : (1). Hukum material dan hukum formal yang tersedia dalam skema perjanjian World Trade Organization (WTO) ternyata belum mampu menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum posisi pelaku usaha indonesia dalam berbagai kasus dumping. (2). Pengaturan putusan penyelesaian sengketa dumping melalui WTO Agreement yang hanya menyediakan kewenangan memutus sengketa dumping, hendaknya WTO Agreement diberikan penambahan norma yang mencakup kewenangan untuk mengawasi putusan dan kewenangan melaksanakan putusan (eksekusi), yang justru merupakan kewenangan yang paling menentukan dalam perlindungan hukum bagi kepentingan pelaku usaha Indonesia dalam kasus dumping. Potensi perlindungan hukum bagi pengusaha Indonesia yang dihasilkan oleh skema preventif dan skema represif hukum, baik dalam pengaturan domestik maupun internasional sangat dipengaruhi oleh posisi politik suatu negara dalam konstelasi perdagangan internasional. Dalam kasus tertentu skema perlindungan demikian itu dapat berfungsi cukup baik, namun dalam keadaan lainnya dapat tidak berfungsi sama sekali.14 Penelitian yang dilakukan oleh umi martina mengangkat dan membahas permasalahan yang sangat berbeda dengan permasalahan yang diangkat dan dibahas peneliti. Demikian juga latar belakang masalah, rumusan masalah yang diteliti dan dibahas, tujuan penelitian maupun pembahasannya jauh berbeda dengan latar belakang masalah, rumusan masalah yang diteliti dan dibahas, tujuan penelitian maupun pembahasannya dengan penelitian yang dilakukan peneliti. 13 14 Ibid, h. 18-19. Ibid, h. 137-139. Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Edrianto malrano tentang ”Perlindungan Hukum Anti Dumping Bagi Industri Domestik Terkait Dengan Anti Dumping Duties Dalam Mengantisipasi Era Pasar Bebas (Free Trade) di Indonesia”, ditulis dalam bentuk tesis dalam rangka penyelesaian Program Magister Ilmu Hukum Pada Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Penelitian yang dilakukan Edrianto bertujuan untuk mengetahui : (1). Pelaksanaan perlindungan anti dumping terhadap industri dalam negeri Indonesia. (2). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan anti dumping yang terjadi akibat lemahnya perangkat hukum yang ada. Hasil penelitian tesebut menunjukan bahwa : (1). Pelaksanaan perlindungan hukum anti dumping dapat dilakukan dengan tindakan pengamanan bea masuk anti dumping, tindakan safeguard serta sosialisasi-sosialisasi instrumen anti dumping yang dilaksanakan oleh KADI-KPPI di bawah kordinasi Deperindag dan Depkeu. (2). Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam megaasi permasalahan anti dumping, terkait dengan faktor perangkat hukum, faktor pihak pemerintah, faktor dunia industri, dan faktor pihak luar. Proteksi anti dumping yang telah ada belum mampu memberikan hasil yang maksimal seperti yang kita kira. Jika masalah ini tidak ditangani segera maka ini akan menjadi masalah serius kedepannya dan tentu saja hal ini akan menyebabkan kehancuran industri nasional15. Penelitian yang dilakukan oleh Edrianto membahas masalah yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Edrianto memfokuskan penelitiannya pada pelaksanaan perlindungan anti dumping terhadap industri dalam negeri Indonesia, dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatsi permasalahan anti dumping yang 15 Malrano, Edrianto, Perlindungan Hukum Anti Dumping Bagi Industri Domestik Terkait Dengan Anti Dumping Duties Dalam Mengantisipasi Era Pasar Bebas (Free Trade) Di Indonesia. http// programpascasarjanaugm.blogspot.com/pdf. Artikel diakses pada hari selasa tanggal 28 Juni 2011. pukul 22.00. terjadi akibat lemahnya perangkat hukum yang ada. Penelitian yang dilakukan peneliti menitik beratkan pada bentuk pengaturan perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping, cara penentuan kerugian (Injury) bagi Industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang kurang jelas dan terlalu luas, sehingga mengalami kesulitan dalam menentukan adanya kerugian (Injury) atau untuk membuktikan adanya kerugian, hal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bagi KADI, dan upaya yang dilakukan produsen dalam negeri yang mengalami kerugian akibat praktik dumping yaitu mengajukan permohonan perlindungan kepada KADI dan jika terbukti adanya dumping atau subsidi dan kerugian atau ancaman kerugian akan ditetapkan besarnya perlindungan yang dapat diberikan dengan menaikan bea masuk impor. Dengan demikian penelitian yang dilakukan peneliti memiliki kekhususan yang menunjukan orisinilitas penelitian. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan atas latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang akan diteliti dan dibahas lebih lanjut dalam tesis ini. Adapun maslah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk pengaturan perlindungan terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping. 2. Bagaimanakah cara penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. 3. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping. 1.4. Ruang Lingkup Masalah Agar pembahasan tidak keluar dari permasalahan, maka ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pengaturan perlindungan terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik Dumping, cara yang digunakan dalam penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, dan upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping. 1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum terkait dengan paradigma science as a proses (Ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenarannya16. Dari paradigma tersebut tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum terutama yang berkaitan dengan dumping. 1.5.2 Tujuan Khusus Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik bertujuan untuk : 16 Pogram Study Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif. h.10. a. Mengungkapkan bentuk landasan-landasan yuridis sistem perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping. b. Untuk mengetahui cara penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis c. untuk mengetahui Upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping. 1.6. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna untuk : 1.6.1 Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan substansi disiplin ilmu hukum, khususnya dalam praktik dumping yang berkaitan dengan industri dalam negeri. 1.6.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan pemikiran yang selanjutnya dapat dijadikan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dari praktik dumping. 1.7. Landasan Teoritis. Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian17. Sebagai suatu pemahaman yang cukup tentang persoalan-persoalan, teori-teori hukum dipandang sebagai landasan yang mutlak diperlukan untuk pembuatan kajian ilmiah terhadap hukum positif konkret18. Teori hukum secara essensial bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa Teori Hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan hasil-hasil penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum19. Penyelesaian sengketa dumping menurut World Trade Organization (WTO) dapat diselesaikan melalui konsultasi, konsiliasi, apabila konsiliasi gagal. Maka Dispute Settlement Body (DSB) membentuk panel untuk memeriksa kasus tersebut. First, Negotiation in an international legal context often involves cultural barriers that may make it more difficult to reach an agreement, second, it often is complicated by language barriers, which increases the changes of misunderstanding; these barriers are often compounded by the use of translator, third, it is often influenced by political consideration20. Pada tangal 4 Juni 1998 pemerintah mengeluarkan paket deregulasi yang mencakup sasaran yang cukup luas, yaitu meliputi sebelas langkah yang terdiri atas kelanjutan penjadwalan penurunan tarif bea masuk, perubahan tarif bea masuk barang modal, penghapusan bea masuk tambahan, penyederhanaan tata niaga impor, ketentuan anti dumping, kemudahan ekspor, kemudahan pelayanan bagi perusahaan eksportir tertentu di sektor tertentu, penyederhanaan perijinan bagi ndustri, penyelenggaraan tempat penimbunan berikat/gudang, kelonggaran kegiatan 17 Supasti Darmawan, 2006, Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Makalah Kedua, dipresntasikan pada Loka Karya Pascasarjana Universitas Udayana, 18 Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, h.40. 19 H.R Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 59 20 Larry L. Teply, 1992, Legal Negotiation In A Nutshell, ST. Paul, Mina, West Publishing CO, USA, h.30. ekspor dan impor bagi perusahaan PMA manufaktur, penyederhanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Prinsip-prinsip dasar GATT/WTO jelas mendukung terciptanya sistem perdagangan internasional yang harmonis, fair, dan terbuka. Namun di sisi lain untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari hubungan bisnis internasional, maka perlu dibentuk ketentuan-ketentuan sebagai instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dipergunakan oleh seluruh negara anggota untuk melidungi kepentingannya dari praktik-praktik perdagangan curang yang dilakukan mitra bisnis nya. Jika dilihat dari beberapa pengecualian dari prinsipprinsip dasar GATT/WTO terdapat beberapa unsur yang terkait dengan pengamanan perdagangan, antara lain, antidumpig, subsidi, dan safeguard. Tindakan anti dumping, safeguard, dan subsidi merupakan tiga instrumen kebijakan pengamanan perdagangan yang diakui oleh GATT/WTO dan negara-negara anggota diperkenankan untuk mempergunakan ketiga instrumen ini untuk melindungi industri dalam negerinya (domestic industry) dari persaingan curang yang dapat menghancurkan dan merusak tatanan sistem perdgangan yang fair. Pengaturan antidumping, subsidi dan safeguard mulai diakomodasi dalam GATT 1947 dan kemudian dipertegas lagi dalam GATT 1994. Putaran Uruguay yang kemudian membentuk berdirinya WTO mengakomodasi masalah-masalah antidumping, subsidi, dan safeguard dan merupakan bagian dari persetujuan-persetujuan yang dihasilkan yang menjadi lampiran dari WTO agreement, yaitu terdapat dalam lampiran 1A : pesetujuan dalam perdagangan barang, dimana berturut-turut sebagai berikut : persetujuan tentang pelaksanaan pasal VI antidumpig, persetujuan tentang subsidi dan tindakan imbalan, dan selanjutnya persetujuan tentang tindakan pengamanan. Instrumen anti dumping dan anti subsidi oleh WTO tidak dibolehkan untuk dijadikan alat proteksi. Instrumen tersebut hanya bertujuan untuk mencegah atau menghapuskan perdagangan yang tidak fair. Meskipun demikian, sebagian besar negara-negara anggota WTO telah menyalahgunakan instrumen tersebut untuk tujuan proteksi industri dalam negeri mereka. Hal tersebut ditunjukan oleh fenomena beberapa tahun terakhir ini, dimana anti dumping menjadi sangat populer. Subsidi dibandingkan anti dumping tidak terlalu banyak mengingat semakin kedepan pemberian subsidi oleh pemerintah semakin berkurang. Indonesia merupakan salah satu negara anggota organisasi perdagangan Dunia berkewajiban untuk berperan aktif dalam mewujudkan tatanan perdagangan dunia yang adil dan saling menguntungkan. Ketentuan tentang anti dumping sebagaimana tersebut dalam huruf e, diatur dalam peraturan pemerintah No. 34 tahun 1996. pada Bab II PP tersebut disebutkan tentang komite anti dumping Indonesia (KADI). KADI dibentuk untuk mengganti permasalahan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan. Dumping dan barang mengandung subsidi. Komite ini dibentuk oleh Menteri perindustrian dan perdagangan. KADI dipimpin oleh seorang ketua beranggotan unsur-unsur dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, dan Departemen atau lembaga Non Departemen terkait lainnya. Adapun tugas Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) adalah melakukan penelitian terhadap barang dumping dan barang mengandung subsidi. Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi. Mengusulkan pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh menteri prindustrian dan perdagangan dan, membuat laporan pelaksanaan tugas. Komite anti dumping dapat melakukan penyelidikan atas barang impor yang diduga sebagai barang dumping dan atau barang mengandung subsidi atas permohonan industri dalam negeri. Disamping itu komite ini juga dapat melakukan penyelidikan tanpa adanya permohonan dari industri dalam negeri. Dengan bedirinya WTO pada tahun 1995, maka semua kesepakatan perjanjian GATT 1947 kemudian diatur di dalam WTO plus isu-isu baru yang sebelumnya tidak diatur seperti perjanjian TRIPs (Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan), Jasa (GATS) dan aturan investasi (TRIMs) tugas utama WTO adalah mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatanhambatan perdagangan seperti tariff dan non tariff (misalnya regulasi) serta menyediakan forum perundingan perdagangan internasional, penyelesaian sengketa dagang dan memantau kebijakan perdagangan di negara-negara anggotanya. Meskipun dalam unsur pokok WTO tersebut penurunan tariff merupakan hal yang menjadi perhatian utama tetapi kenyataannya masih banyak negara anggota WTO yang menggunakan hambatan non tariff dalam rangka melindungi industri dalam negerinya seperti penerapan trade remedy (dumping, subsidi, dan safeguard) serta berbagai hambatan perdagangan lainnya. Sejak dibentuknya WTO, dinamika perkembangan penggunaan trade remedy semakin meningkat dan menunjukan trend yang positif. Penggunaan trade remedy tidak hanya dilakukan oleh negara maju tetapi juga oleh negara berkembang. Bahkan diantara sesama negara ASEAN pun penerapan trade remedy sudah tidak terelakan lagi. Untuk kasus-kasus tertentu beberapa negara sangat protektif terhadap industri dalam negerinya sehingga menggunakan segala celah yang ada dalam Agreement baik dumping, subsidi, dan safeguard untuk menjustifikasi penerapan trade remedy tersebut. Pada intinya GATT mengatur hambatan-hambatan tariff dan non tariff dalam perdagangan internasional. Yang dimaksud dengan hambatan yang bersifat tariff adalah hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara, baik yang disebabkan oleh diberlakukannya tariff bea masuk maupun taiff lainnya yang tinggi oleh suatu negara terhadap suatu barang. Barang yang dikenakan tariff tinggi oleh suatu negara akan menjadikan harga jual barang tersebut di negara tujuan menjadi sangat mahal sehingga dapat dipastikan barang tersebut menjadi tidak kompetitif dibanding dengan barang sejenis lain yang diproduksi dalam negeri, sedangkan yang dimaksud dengan hambatan non tariff adalah hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang di sebabkan oleh tindakan-tindakan selain penerapan tarif atas suatu barang. Hambatan ini, misalnya berupa penerapan standar tertentu atas suatu barang ekspor yang sedemikian sulit dicapai oleh para eksportir sehingga barang impor yang tidak memenuhi standar tersebut akhirnya tidak dapat masuk dan dijual di negara importir.21 Dalam persetujuan-persetujuan yang dibentuk oleh GATT dan WTO terdapat beberapa prinsip-prinsip dasar, yaitu perlakuan yang sama untuk semua anggota, prinsip ini diatur dalam artikel I GATT 1994, berdasarkan prinsip ini suatu kebijakan perdagangan antara negara-negara anggota harus dilakukan atas dasar nondiskriminasi. Artinya semua negara terikat untuk memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan impor dan ekspor produk-produk termasuk biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dilakukan seketika tanpa syarat terhadap produkproduk yang berasal atau yang ditujukan ke semua negara anggota GATT22. Misalnya, suatu negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tariff yang berbeda pada 21 A. Setiadi, 2001, Antidumping: Dalam Perspektif Hukum Indonesia, S&R Legal Co.,Jakarta,.h.1. 22 Astim Riyanto, 2003, World Trade Organization (organisasi Perdagangan Dunia), Yapemdo, Bandung, h.54. suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya23. atau keringanan tariff masuk impor yang diberikan pada suatu negara harus diberikan pula pada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang ditunjukan kepada semua anggota GATT. Karena itu sesuatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan dikriminasi terhadapnya. Namun dalam prinsip perlakuan yang sama untuk semua anggota ini ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini, beberapa pengecualian diperbolehkan, seperti negara-negara yang berada dalam suatu wilayah dapat membentuk persetujuan perdagangan bebas di mana tidak berlaku untuk barang-barang dari luar kelompok ini. Sebuah negara dapat mengenakan hambatan terhadap produk-produk negara tertentu yang dinilai tidak adil (fair) dalam melakukan perdagangan. Pada bidang jasa, sebuah negara diperbolehkan melakukan diskriminasi dalam batas-batas tertentu. Pengeculian ini hanya diizinkan untuk kondisi-kondisi tertentu.24 Pengecualian lainnya adalah apa yang disebut dengan ketentuan pengamanan (safeguard rule). Pengecualian ini mengakui bahwa suatu pemerintah apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya. Prinsip lain yang diatur dalam Article III GATT 1994 yaitu perlakuan internasional (National treatment), dalam prinsip ini mengatur tentang ketentuan bahwa suatu produk /barang yang diimpor dari negara lain tidak boleh diberi perlakuan yang berbeda dengan maksud untuk memberikan proteksi pada produksi 23 Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul 13.30 24 Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Direktorat Jendral multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2002, Sekilas WTO (World Trade Organization), Jakarta, ,h.41. dalam negeri25. Negara-negara anggota diwajibkan memberikan perlakuan yang sama atas barang-barang impor dan lokal. Dengan kata lain, tidak diperkenankan melakukan diskriminasi antara produk impor dn produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini, antara lain adalah pungutan dalam negeri, undang-undang, peraturan dan persyaratan mempengaruhi penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, dan pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri26. Pada dasarnya negara-negara maju mengakui bahwa negara-negara berkembang perlu mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan peranannya dalam perdagangan dunia. Prinsip ini bertujuan untuk mendorong negara-negara berkembang ikut proaktif berpartisipasi dalam berbagai perundingan perdagangan internasional. Semua persetujuan WTO memiliki ketentuan mengatur perlakuan khusus bagi negara-negara berkembang yang bertujuan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang angota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO. Prinsip-prinsip dasar GATT/WTO jelas mendukung terciptanya sistem perdagangan internasional yang harmonis, fair dan terbuka. Namun di sisi lain untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari hubungan bisnis internasional, maka perlu dibentuk ketentuan-ketentuan sebagai instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dipergunakan oleh seluruh negara anggota untuk melindungi kepentingannya dari praktik-praktik perdagangan curang yang dilakukan mitra bisnisnya. WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang 25 Maria Emelia Retno K, 1994, Dampak Implementasi GATT/WTO terhadap Ekspor-Impor Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h.94. 26 Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul 13.30 berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional. Sistem perdagangan internasonal diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan itu bersifat mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan. WTO mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995, yaitu dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization, yaitu persetujuan pembentukan organisasi perdaangan dunia yang ditanda tangani para menteri perdagangan negara-negara anggota WTO pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko27. Sebelum WTO berdiri, perdagangan multilateral diatur oleh the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947 yang berlaku secara sementara yang terdiri atas 38 pasal dan hanya mengatur perundingan di bidang tarif. WTO adalah organisasi perdagangan dunia penerus GATT 1947. GATT dan WTO sama-sama merupakan wadah dalam mendorong terciptanya perdagangan internasional yang fair dengan menghilangkan unsur-unsur penghambat yang dapat merusak sistem perdagangan yang ideal. Dengan mengusung misi liberalisasi melalui kesepakatan internasional, setiap negara anggota wajib tunduk pada kesepakatan dan menjalankan sistem perdagangan sesuai ketentuan GATT atau WTO. Lahirnya WTO menjanjikan harapan akan masa depan perdagangan internasional untuk meletakan kegiatan perdagangan internasional dalam suatu koridor hukum yang mengusung prinsip-prinsip yang adil dan fair. Prinsip umum perdagangan bebas adalah menyingkirkan hambatan-hambatan teknis perdagangan dengan mengurangi atau menghilangkan tindakan-tindakan yang dapat merusak perdagangan. Persetujuan-persetujuan WTO yang mengatur masalah-masalah 27 Christhophorus Barutu, 2007, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO,Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Christhophorus Barutu 3 ), h.2 perlindungan yang ditunjukan terhadap perlindungan industri, yaitu persetujuan tentang pelaksanaan anti dumping, persetujuan tentang subsidi dan tindakan imbalan dan persetujuan tentang tindakan pengamanan. Ketiga instrumen pengamanan perdagangan ini dikenal pula dengan nama “Trade Remedies”. Ketiganya berperan penting untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik-praktik kecurangan di bidang perdagangan sebagai konsekuensi dari perdagangan bebas. Tindakan antidumping diberlakukan terhadap tindakan menjual suatu barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri (harga normal) dimana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat mengenakan bea masuk anti dumping untuk menutupi kerugian sebagai dampak dari dumping tersebut. Demikian pula mengenai subsidi di mana produk dijual dengan harga murah karena mendapat subsidi oleh negara pengekspor, pada prinsipnya tindakan subsidi dilarang jika hal tersebut dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan kerugian bagi negara pengimpor dan negara-negara pengimpor dapat memberlakukan tindakan-tindakan imbalan terhadap barang-barang yang dituduh mendapat subsidi dari negara pengekspor. Kedua instrumen ini, baik anti dumping maupun subsidi digolongkan sebagai intrumen untuk mencegah terjadinya perdagangan yang curang yang dapat menimbulkan kerugian yang serius terhadap industri dalam negeri di negara pengimpor. Dalam WTO keberadaan ketentuan antidumping diatur dalam Anti dumping Agreement (ADA). Dalam persetujuan ini, diatur cara dan mekanisme untuk melakukan investigasi dan jangka waktu pengenaan antidumping yang bertujuan untuk mengatur agar negara-negara pengguna instrumen ini untuk melakukan praktik penyalahgunaan instrumen ini untuk melakukan prokteksi yang berlebihan dan tidak perlu yang dapat menimbulkan ketidakpastiaan dalam perdagangan internasional. Berbeda dengan antidumping dan dan subsidi, safeguard merupakan salah satu instrumen pengamanan perdagangan yang hampir mirip dengan antidumping dan subsidi yang sama-sama diperblehkan dalam aturan WTO. WTO mengatur mengenai masalah safeguard dalam Safeguard Agreement. Safeguard sama sekali tidak ada kaitannya dengan praktik dumping dan subsidi, tetapi beredarnya barang impor yang masuk ke pasar domestik telah mengakibatkan terjadinya kerugian terhadap industri serupa di dalam negeri. Jadi, perbedaan antara anti dumping, anti subsidi, dan safeguard terletak pada dasar pertimbangan pengenaan instrumen tersebut. Sama dengan tindakan antidumping, subsidi, safeguard juga dapat disalahgunakan oleh suatu negara demi memberikan perlindungan terhadap industri tertentu di dalam negeri. Penyalahgunaan pemberlakuan ketentuan anti dumping. Misalnya, terjadinya kerugian industri dalam negeri bukan karena barang dumping impor, melainkan karena kesalahan manajemen produksi, tetapi suatu negara tetap melakukan tindakan anti dumping terhadap barang impor tersebut dan hal ini merupakan penyimpangan prinsip ketentuan anti dumping karena kerugian industri disebabkan oleh kesalahan manajemen, bukan karena barang dumping. Dalam kasus subsidi, negara menjatuhkan tindakan-tindakan imbalan terhadap suatu produk impor, padahal produk impor ini tidak terbukti nyata mendapat subsidi dari negara asalnya yang menyebabkan kerugian pada industri dalam negeri negara pengimpor, dan kerugian yang dialami industri dalam negeri negara importir bukan karena adanya subsidi dari negara pengekspor terhadap barang ekspor, melainkan karena sebab lain. Begitu pula tindakan safeguard dapat disalahgunakan oleh suatu negara, misalnya, suatu sektor industri tertentu mengalami kebangkrutan karena tidak efesien yang mengakibatkan terjadi lonjakan impor untuk mensubsidi supply yang sebelumnya diperoleh dari industri yang bangkrut tersebut. Atas dasar lonjakan impor ini, maka pemerintah suatu negara mengambil tindakan safeguard untuk melindungi industri tersebut, padahal kebangkrutan industri tersebut secara tidak efesien, jadi bukan karena adanya lonjakan impor28. Untuk lebih memahami secara kongkret penyimpangan penggunaan instrumen pengamanan perdagangan salah satunya yaitu, anti dumping dapat dikaitkan dengan pengenaan bea masuk Antidumping (BMAD). Terkait masalah dumping, setiap produsen yang produknya terbukti dumping dikenakan Bea Masuk Anti dumping. Pengenaan BMAD merupakan salah satu instrumen yang diakui WTO untuk mencegah praktik perdagangan yang tidak sehat sehingga berdampak negatif bagi industri suatu negara. Namun instrumen ini juga dapat digunakan sebagai trik-trik perdagangan untuk melindungi industri di dalam negeri di suatu negara atau bahkan mematikan industri di suatu negara. Jika hal tersebut menjadi kenyataan, sudah terjadi gejala suatu paham perlindungan untuk melindungi produsen dalam negeri dari persaingan asing dengan melarang impor atau memberlakukan tarif bea masuk yang tinggi. Dengan demikian, produsen dalam negeri atau industri di dalam negeri cenderung meminta proteksi atau mengajukan petisi anti dumping kepada pemerintah untuk menahan produk impor29. Suatu negara perlu berhati-hati dalam memutuskan pemberlakuan tarif BMAD dan harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan industri dalam negeri secara luas di mana hal ini untuk menghindari jangan sampai pemberlakuan BMAD hanya menjadi instrumen untuk membuat industri dalam negeri menjadi manja di mana industri dalam negeri takut kalah bersaing dengan produk impor karena tidak dapat meningkatkan produktivitas dan menigkatkan efisiensinya. Pemberlakuan BMAD juga jangan sampai menjadi instrumen untuk melindungi industri tertentu 28 29 Christhophorus Barutu 3, op.cit, h.33. Chritophorus Barutu 3, op.cit, h. 33-34. sehingga terbuka peluang monopoli atau praktek kartel30. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan instrumen-instrumen tersebut diatas, maka WTO membuat suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang disebut Dispute Settlement Body (DSB) di mana negara-negara anggota WTO dapat mengajukan keberatan melalui DSB jika merasa dirugikan oleh penggunaan instrumen anti dumping, anti subsidi dan, safeguard secara tidak proporsional oleh negara anggota lainnya31. Menurut catatan WTO, dari ketiga instrumen tersebut tindakan anti dumping merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Alasannya adalah bahwa instrumen ini paling fleksibel dan paling kecil resikonya. Negara-negara yang saat ini sangat banyak melakukan tindakan anti dumping adalah Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia, India, Afrika Selatan, Argentina, Brazil, Mexico dan, Kanada. Dibandingkan tindakan anti dumping, maka tindakan subsidi jarang dilakukan karena negara-negara anggota WTO pada umumya tidak lagi memberikan subsidi ekspor pada industri. Subsidi saat ini sangat banyak diberikan pada sektor-sektor pertanian yang sifatnya green subsidies dan untuk tujuan tertentu, seperti untuk kepentingan penelitian, lingkungan hidup, dan mendorong pembangunan di daerah terpencil32. Jika dicermati, ada hal yang menarik yang berhubungan dengan masalah subsidi, yaitu subsidi pertanian. Pada saat dimulainya putaran Doha pada tahun 2001, WTO mengeluarkan usulan agar negara-negara anggota mengurangi subsidi yang diberikan kepada petani untuk mengurangi distorsi perdagangan dan memperbesar volume perdagangan global. Tindakan safeguard dilakukan lebih sedikit dibanding 30 Chritophorus Barutu 3, op.cit, h. 34. Chritophorus Barutu 3, loc.cit.. 32 Gusmardi Bustami, WTO dan Perlindungan Industri Dalam Negeri, http://www.geocities.com/herso et2001/wtoperlindunganindustri.pdf ; artikel diakses pada tanggal 3103-2010. pukul 15.55 31 anti dumping karena resikonya lebih besar. Berbeda dengan tindakan anti dumping, tindakan safeguard yang dilakukan dengan pengenaan kuota harus dinegosiasikan dengan pihak negara supplier mengenai besarnya kuota yang dikenakan. Jika ini terjadi, sering akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Kemudian, tindakan safeguard akan dikenakan kepada seluruh supplier (bukan kepada perusahaan) secara nondiskriminasi. Sementara itu, anti dumping dikenakan kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan dumping. Pengecualian hanya diterapkan pada impor yang dikategorikan sebagai de minimis yang dianggap dapat dikecualikan sebagai penyebab terjadinya kerugian. Dalam tindakan safeguard, dapat saja terjadi permintaan kompesasi dari pihak yang terkena (negara supplier) dan jika tidak dipenuhi, dapat dilakukan retalisasi. Misalnya, tindakan safeguard Amerika Serikat terhadap baja yang dilakukan dengan meningkatkan tarif bea masuk yang mendapatkan tantangan keras dari jepang, Uni Eropa, dan Negara lainnya33. Pada intinya yang dimaksud dengan dumping adalah suatu keadaan di mana barang-barang yang diekspor oleh suatu negara ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual di dalam negerinya sendiri atau nilai normal dari barang tersebut. Hal ini merupakan praktik curang yang dapat mengakibatkan distorsi dalam perdagangan internasional34. Praktik dumping merupakan praktik dagang yang tidak fair karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada barang dalam negeri, akan 33 Gusmardi Bustami, WTO dan Perlindungan Industri Dalam Negeri, http://www.geocities.com/herso et2001/wtoperlindunganindustri.pdf ; artikel diakses pada tanggal 3103-2010. pukul 15.55. 34 Frequently Asked Questions-Antidumping, Internasional Trade, http://www.indiainbusiness.nic.in/faq/Antidumping.html. artike diakses pada 29-03-2010. mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis daam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya, seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan bangkrutnya industri sejenis dalam negeri35. Tindakan ini jelas-jelas dapat menimbulkan kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara, yang mana setiap negara memerlukan perlindungan (protection) yang memadai sehingga lahirlah suatu instrumen kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah anti dumping. Kebijaksanaan anti dumping merupakan ketentutan-ketentuan dan penjatuhan sanksi/hukuman terhadap pelaku praktik dalam konteks perdagangan internasional. Berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial, dalam arti menuju pembangunan hukum yaitu sebagai upaya untuk mengubah suatu tatanan hukum dengan cara perencanaan yang secara sadar dan terarah serta mengacu pada masa depan yang berlandaskan kecenderungan yang nantinya dapat diamati dalam kehidupan sebagai sebuah negara hukum. Dengan demikian pembangunan ataupun pembentukan hukum ini berarti pembaruan tatanan hukum yaitu sebagai suatu sistem hukum, dimana mencakup tiga (3) komponen sub sistem hukum yaitu, pertama, komponen substansi hukum (legal substance), yang disebut juga tata hukum yang terdiri dari tatanan hukum peraturan perundang-undangan yang tidak tertulis, termasuk hukum adat dan yurisprudensi, serta tatanan hukum internal (asas-asas hukum), yang melandasi serta mengkoherensikan. Kedua, yaitu struktur hukum (legal Structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme yaitu komponen kelembagaan hukum yang terdiri atas berbagai organisasi publik dengan para pejabatnya (legeslatif, eksekutif, yudikatif). dan yang ketiga yaitu budaya hukum (legal Culture) yaitu sikap publik, nilai-nilai yang mendorong bekerjanya sistem 35 Daniel Suryana, Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping Ke dalam Hukum Nasional Indonesia, http://dansur.blogster.com/harmonisasi_ketentuan.html. Artikel diakses pada tanggal 29-032010. pukul 22.20 hukum yang mencakup sikap, perilaku para pejabatnya dan warga masyarakatnya berkenaan dengan komponen-komponennya. Dalam penelitian ini digunakan beberapa teori yang berkaitan dengan permasalahan yang diharapkan dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Teori yang digunakan antara lain adalah teori hukum alam. Salah satu tokoh dari aliran hukum alam adalah Grotius. Beliau memaparkan ada 4 (empat) norma dasar yang terkandung dalam hukum alam, yaitu : 1. kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain. 2. kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada di tangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati. 3. kita harus menepati janji-janji yang kita buat. 4. kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula kita harus di hukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.36 Konsep pemikiran Grotius di atas menjadi dasar munculnya beberapa teori, seperti teori kontrak, teori perbuatan melawan hukum, dan teori hak milik. Teori tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk memberi perlindungan hukum bagi industri dalam negeri dari praktik dumping. Hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, tetapi pembagian itu tentunya tidak bisa merata atau sama banyaknya. Konsep keadilan yang berkaitan dengan perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping adalah keadilan umum (Justitia Generalis) dan keadilan khusus sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Keadilan umum (Justitia Generalis) adalah keadilan menurut kehendak undangundang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum, sedangkan keadilan khusus 36 Friedmen, 1990, Teori dan filsafat hukum, Rajawali Press, Jakarta, ,h.49. adalah keadilan atas daar kesamaan (Proporsionalitas). Keadilan khusus ini di bedakan atas 3 (tiga) , yaitu keadilan distributif (justitia distribution), keadilan komunikatif (justitia comutativa), dan keadilan vindikatif (justitia vindicativa)37 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Metode penelitian hukum merupakan suatu tata cara kerja suatu keilmuan yang ditandai dengan penggunaan metoda, jika diartikan meta yang diartikan diatas sedangkan thodos merupakan suatu jalan atau suatu cara. Jika diterjemahkan pengertian metoda adalah merupakan suatu jalan atau suatu cara. Van Peursen menterjemahkan pengertian metoda secara harfiah, mula-mula metoda diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh sebagai penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu38. Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian hukum doctrinal atau penelitian hukum normatif. Jhoni Ibrahim mengemukakan pendapatnya, bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif39. Adapun ciri-ciri dari penelitian hukum normatif adalah beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma atau asas hukum, tidak menggunakan hipotesis, menggunakan data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul.40 Kekosongan hukum dan norma kabur yang terjadi dalam hal ini perlu untuk diteliti sehingga dapat memberikan masukan yang dapat digunakan dalam mencari 37 Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 2006,Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,h.155-157. 38 Jhoni Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitin Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang,h.26. 39 Ibid 40 Peter Mahmud Marzuki,2007, Penelitian Hukum, cet.3, kencana persada media group, Jakarta, h. 41. pemecahan permasalahan. Pada hakekatnya, penelitian mempunyai fungsi menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu pengetahuan41. Utrecht mengemukakan pendapat bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtzeker heid) dalam pergaulan manusia42. Satjipto Rahardjo membahas masalah kepastian hukum dengan menggunakan perspektif sosiologis, dengan sangat menarik dan jelas. Setiap ranah kehidupan memiliki semacam ikon masing-masing. Untuk ekonomi; ikon tersebut adalah efisiensi, untuk kedokteran; mengawali hidup manusia dan seterusnya. Ikon untuk hukum modern adalah kepastian hukum43. Sedangkan dalam kerangka Bredemeir, fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat44. Kedudukannya sebagai suatu institusi yang melakukan pengintegrasian terhadap proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat, menyebabkan hukum harus terbuka menerima masukan-masukan dari bidang ekonomi, politik dan budaya untuk kemudian diolah menjadi keluaran-keluaran yang produktif dan berdaya guna45.Paul Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya46. Dengan demikian dari pengertian-pengertian diatas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa “penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna 41 Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Granit, Jakarta, h.3 E. Utrecht, 1961, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, h.24. 43 Achmad Ali. 2009, Teori hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), kencana prenada Media Group, Jakata, h. 289. 44 Bernard L Tanya dkk, 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, h. 127. 45 Ibid 46 Bruggink Alih Bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.119-120. 42 membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada47” penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten48. 1.8.2. Jenis Pendekatan Suatu penelitian hukum normatif tentu harus menggunakan pendekatan. Jhony Ibrahim membagi pendekatan dalam penelitian hukum atas tujuh macam, yaitu49 : 1). Pendekatan Perundang-undangan(Statue Approach). 2). Pendekatan Konsep (Conseptual Approach). 3). Pendekatan Analitis (Analitycal Approach). 4). Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). 5). Pendekatan Historis (Historical Approach). 6). Pendekatan Filsafat ( Philosophical Approach). 7). Pendekatan Kasus (Case Approach). Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.50 Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam penelitian ini jenis pendekatan yang digunakan adalah51 : a). Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach), karena penelitian ini bermaksud untuk memperoleh kejelasan secara normatif dengan mengidentifikasi dan menganalis faktor hukum yang menjadi kendala dalam penerapan prinsip-prinsip hukum perlindungan industri dalam 47 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.2 Ibid. 49 . Jhony Ibrahim, op.cit, h.300. 50 . Jhony Ibrahim, op.cit, h.302. 51 . Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h.93. 48 negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping, maupun berbagai peraturan lainnya. b). Pendekatan perbandingan (Comparative Approach), yaitu mencari Undang-undangdan regulasi anti dumping dan membandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku yang berkaitan dengan perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping. c). Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach), yaitu mencari rumusan norma hukum perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping yang berkembang dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan pokok bahasan dalam penelitian ini. d). Pendekatan konsep (conceptual approach), yaitu dengan menunjuk prinsipprinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan para sarjana, ataupun doktrin-doktrin hukum, sehingga akan ditemukan ide-ide yang menghasilkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Untuk memecahkan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka diperlukan sumber-sumber penelitian. Menurut Peter Mahmud Marzuki sumbersumber penelitian hukum dapat dibedakan atas dua sumber, yaitu sumber-sumber hukum primer, dan bahan-bahan hukum skunder52 sebagai penelitian hukum normatif, maka bahan hukum primer diperoleh dari asas-asas atau prinsip dan kaedah-kaedah 52 . Peter Mahmud Marzuki, op.cit,h.141 atau norma hukum yang berkaitan dengan perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping. Sedangkan bahan hukum skunder adalah sebagai bahan penunjang untuk memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, seperti pendapatpendapat ahli hukum yang termuat dalam media massa, jurnal-jurnal hukum, literaturliteratur hukum (text-book), berbagai hasil pertemuan ilmiah baik ditingkat nasional maupun internasional, internet dengan menyebut situsnya. Untuk bahan hukum tertier diperoleh dari kamus atau ensiklopedia hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan. 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. Penelitian ini adalah jenis penelitian normatif, dimana sumber bahan hukum utamanya adalah bahan hukum primer dan bahan hukum skunder dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum dengan menggunakan sistem kartu (card sistem) baik peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, maupun bahan-bahan pustaka serta hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan. Bahan-bahan hukum tersebut diklasifikasikan sesuai dengan bidangbidang dalam pokok bahasan yang selanjutnya dipilah-pilah sesuai dengan tingkat urgensinya terhadap pokok permasalahan yang dibahas. 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum. Dalam menganalisis informasi yang diperoleh dari bahan hukum baik bahan hukum primer maupun skunder, ada beberapa langkah yang ditempuh, yaitu deskripsi, inteprestasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi dan sistematis.53 Teknik deskripsi adalah mencakup isi maupun struktur hukum positif,54 analisis terhadap bahan-bahan 53 h.15. 54 . Program studi Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, op.cit, . Philipus M.Hadjon. 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Dalam majalah yuridika, No. 6 Tahun IX. h.25. hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini baik yang berupa peraturan perundang-undangan, bahan-bahan pustaka, pendapat para ahli hukum, jurnal hukum, maupun hasil penelitian lainnya dilakukan secara deskriptif, analisis, evaluatif interpretatif, yaitu menganalisis, menafsirkan, menilaidan menjelaskan prinsipprinsip, asas-asas, dan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum yang berhubungan dengan perlindungan industri negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping. Tujuan dari pemberian perlindungan adalah untuk mendapatkan rasa keadilan, menurut Hans Kelsen keadilan adalah sebuah cita-cita yang irrasional meskipun mungkin sangat diperlukan bagi kemauan dan tindakan manusia, namun keadilan ini bukan obyek pengetahuan55. Sedangkan menurut Smith, Makna utama kata keadilan adalah keadilan komulatif56. Keadilan komulatif Smith berkaitan dengan pemulihan kembali kerusakan atau kerugian yang telah terjadi dalam sebuah transaksi sosial serta berkaitan dengan pertukaran yang fair dalam sebuah transaksi ekonomi57. Teori keadilan yang dikemukakan oleh Smith dalam penelitian ini sangat relevan, karena untuk memberikan perlindungan dan rasa keadilan bagi industri dalam negeri dari praktik dumping, karena jika produsen dalam negeri mengalami kerugian akibat terjadinya praktik dumping maka produsen dapat mengajukan permohonan atau penyelesaian permasalahan melalui World Trade Organiation. (WTO). 55 Hans Kellsen Alih Bahasa Somardi, 2007, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta, h. 14-15. 56 A. Sony Keraf, 1996, Pasar bebas keadilan dan peran pemerintah, Kanisius, Yogyakarta, h.109. 57 Ibid. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING 2.1. Pengertian Dumping Sebagaimana diketahui bahwa semua negara anggota WTO telah sepakat untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas, di mana semua hambatan perdagangan baik yanng berbentuk tarif maupun non tarif dihapuskan. Dengan adanya penghapusan hambatan hambatan perdagangan tersebut, maka arus barang dapat masuk ke semua negara anggota dengan bebas. Indonesia merupakan salah satu negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade Organization), karena telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization sebagaimana diwujudkan dalam Undang undang No.7 tahun 1994 tentang Pengesahan Establishing the world Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Sebagai Negara anggota WTO, Indonesia harus mematuhi peraturan organisasi perdagangan dunia tersebut. Konsekuensi dari perdagangan bebas tersebut menyebabkan persaingan dalam merebut pasar menjadi semakinn ketat, dan kemungkinan praktik perdagangan yang tidak sehat (unfair trade practices) dapat terjadi. Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional banyak praktik perdagangan yang tidak sehat, dan yang paling banyak terjadi adalah masalah dumping, karena praktik dumping dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi industri dalam negeri, dan secara lebih luas lagi dapat memukul dunia usaha suatu negara tempat praktik dumping itu terjadi. Dumping merupakan strategi penetapan harga ekspor suatu barang lebih rendah dari harga jual produk tersebut di dalam negerinya (nilai normal) yang dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan pangsa pasar, memperluas pasar, atau tujuan lainnya. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S.Poerwadarminta disebutkan, Dumping adalah menjual barang ke negeri lain dengan harga yang lebih murah dari pada di negeri sendiri.58 Menurut Sumadji P, Yudha Pratama dan Rosita, Dumping adalah politik ekonomi yang dilakukan suatu negara untuk menjual hasil produksinya di luar negeri dengan harga lebih murah daripada penjualan dalam negeri, dengan tujuan menguasai pasaran luar negeri59. Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komuditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah dari pada tingkat harga di pasar domestiknya, atau negara ketiga, sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi, dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komuditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar, atau lebih rendah dari pada harga barang tersebut di negerinya sendiri, atau dari pada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.60 Dalam GATT 1947 Pasal VI ayat (1) Article VI GATT: Anti Dumping and Countervailing Duties pengertian dumping diuraikan sebagai berikut: The contracting parties recognize that dumping, by which product of one country are introduced into the commerce of another country at less than normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. For the purpose of this article, aproduct is to be considered as being introduced into the commerce of an importing country at less 58 W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN. Balai Pustaka, h. 262. 59 Sumadji. P, Yudha Pratama dan Rosita, 2006, Kamus Ekonomi Edisi Lengkap InggrisIndonesia, Cet. I, Wacana Intelektual, Jakarta, h. 265. 60 Elips, 1997, Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta, h. 105. than its normal value, it the price of the product exported from one country to another. (a) is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country or (b) in the absence of such domestic price, is less than either (c) the highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary of trade or (d) the cost of production of the product in the country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit. Article VI GATT diadakan penyempurnaan yang dituangkan dalam article 2 Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI dari GATT 1994 yaitu sebagai berikut: For the purpose of this agreement, a product is to be considered as being dumped,i.e.introduced into the commerce of another country at less than its normal value,if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua) disebutkan, dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali).61 Dalam Black Law Dictionary dumping adalah In commercial usage, the act of selling in quantity at a very low price or practically regard less of the price; also selling (surplus goods) abroad at less than the market price at home.62 Menurut Ralph H. Folsom dan Michael W.Gordon, disebutkan dumping involves selling abroad at a price that is less than the price used to sell the same goods at home (the normal or fair value).To be unlawful, dumping must threaten or cause material injury to an industry in the export market, the market where prices are 61 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1985,Kamus Besar Bahasa Indonesi (Edisi Kedua), Jakarta, Balai Pustaka, h110. 62 Black, Hendry Campbell, 1991, Black Law Dictionary, Sixt Editionst, Paul-Minn, West Publishing, Co. h.347 lower. Dumping is recognized by most of the trading world as an unfair practice ( againt to price discrimination as an antitrust offense).63 Muhammad Ashri menyebutkan dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diskriminasi harga, yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di ketiga.64 Negara Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga yang lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut65 Berdasarkan ketentuan dan pengertian tentang dumping tersebut di atas dapat disebutkan bahwa unsur unsur dumping adalah : 1. adanya penjualan suatu jenis barang di luar negeri (ekspor) 2. harga jenis barang yang dijual di luar negeri lebih rendah dari pada harga jenis barang di dalam negeri (negara pengimport) 3. adanya kerugian (injury) bagi produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. 4. adanya hubungan (causal link) antara dumping yang dilakukan dengan akibat injury yang terjadi. Pada dasarnya dumping tidak dilarang dalam perdagangan internasional, tetapi jika menimbulkan kerugian pada pihak lain, dapat dilawan dengan aturan negara tersebut berupa tindakan anti dumping. Article VI GATT mengatur bahwa suatu negara anggota diperkenankan mengenakan tindakan antidumping apabila 63 Ralph H.Folsom and Michael W.Gordon, Dalam Sukarmi, 2002 Regulasi Antidumping Di Bawah Bayang baying Pasar Bebas,Jakarta,Sinar Grafika,h.25. 64 Ibid. 65 Kamus Hukum, http:/www.kamus hukum com/indentri,php?.indek=D& urut=3, artikel diakses pada tanggal 10 Desember 2010, pukul 21.15. barang impor tersebut mengandung dumping dan menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri. Praktik dumping merupakan tindakan yang sangat merugikan perekonomian suatu negara dan bisa mematikan industri dalam negeri. Globalisasi perdagangan semakin menuntut kesiapan setiap negara untuk bersaing secara sehat dan terbuka. 2.2. Jenis Jenis Dumping. Suatu barang yang diekspor ke negara lain di mana harga ekspornya lebih rendah dari harga normalnya, atau harga domestik negara pengekspor, maka barang tesebut dianggap sebagai barang dumping.Tujuannya adalah agar pengusaha dapat merebut konsumen sebanyak banyaknya, maka pengusaha menempuh strategi persaingan harga dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lain. Praktik dumping dalam perdagangan internasional merupakan praktik dagang yang tidak fair yang dipandang sebagai perbuatan curang, yaitu merupakan persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Praktik yang demikian itu merupakan coorperate crime (kejahatan perusahaan).Marshall B. Clinard menyebutkan Thus coorperate crime, like white collar crime (of which it is part), is defined here as any act punishable by the state, regardless of wheterit is punished by administrative or civil law, which it usually is, or under the criminal law.66 Menurut Daniel Suryana, praktik dumping merupakan praktik dagang yang tidak fair karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha, atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, 66 Marshall B. Clinard,1985, Coorperate ethics and Crime, The role of middle Management, Sage Publications Beverly Hills/London/New Delhi, h.10. sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya, seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan bangkrutnya industri sejenis dalam negeri.67 Dalam praktik dumping ada penyerahan barang bergerak dari eksportir ke importir (Negara yang memproduksi barang sejenis) yaitu terjadi penyerahan nyata sebagaimana diatur dalam artikel 612 Civil Code Stated yang menyatakan The Surrender of Moevable object, with the exception of non living object, is carried out by factual surrender of the object by or in the name of t he owner, or by the surrender of keys of the construction, where the object is located68. Dalam praktik perdagangan internasional dumping ada beberapa jenis, dan oleh para ahli ekonomi pada umumnya dapat diklasifikasikan atas 3(tiga) jenis, yaitu. 1. Sporadic Dumping ( Dumping yang bersifat sporadis) yaitu ; Dumping yang dilakukan dengan menjual barang pada pasar luar negeri (Pasar ekspor) pada jangka waktu yang pendek dengan harga dibawah harga dalam negeri negara pengekspor atau biaya poduksi barang tersebut. Biasanya produsen menjual barang untuk jangka waktu yang pendek dengan harga jual dibawah harga biasa sering dimaksudkan untuk menghapuskan barang yang tidak diinginkan, dumping jenis itu biasanya mengganggu pasar domestik negara pengesport karena adanya ketidakpastian dikarenakan permintaan diluar negeri berubah secara tibatiba. Dumping jenis tersebut merupakan diskriminasi harga pada waktu tertentu yang dilakukan oleh produsen yang mempunyai keuntungan karena terjadi over produksi (karena perubahan dalam pasar dalam negeri 67 Danial Suryana,Harmonisasi Ketentuan Antidumping Ke Dalam Hukum Nasional Indonesia, http:// dan sur.blogstar.com/harmonisasi.ketentuan.html. artikel diakses pada tanggal 11 Januari 2011. pukul 21.35 68 . IP Clinic, 2005, Indonesian IPR Law, Publisher PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.XII. yang tidak terantisipasi atau buruknya perencanaan produksi), untuk menceah penumpukan barang di pasar domestik produsen menjual kelebihan produksinya tadi kepada pembeli luar negeri dengan harga yang telah direduksi sehingga harganya menjadi lebih rendah dari harga didalam negeri69. 2. Persistent Dumping ( Diskriminasi harga internasional), yaitu penjualan barang pada pasar luar negeri dengan harga di bawah harga domestik atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus menerus yang merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang dilakukan sebelumnya. Penjualan tersebut dilakukan oleh produsen barang yang mempunyai pasar secara monopolistik di dalam negeri dengan maksud untuk memaksimalkan total keuntugannya dengan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dalam pasar domestiknya. Dumping yang menetap itu terjadi dalam masa yang lama dan terjadi karena perbedaan keadaan pasar di negara importir dan negara eksportir.70 Dumping dapat disebut sebagai diskriminasi harga berarti menjual barang yang sama dengan harga berbeda pada pasar-pasar yang terpisah. Hal ini biasanya sejalan dengan suatu posisi monopoli di pasar dalam negeri yang bersangkutan, pembentukan kartel dan atau biaya yang melindungi terhadap import yang lebih murah, dapat juga diartikan sebagai penawaran di luar negeri dengan harga di bawah biaya produksi pada negara yang mengesport.71 69 . Sukarmi, 2002, Regulasi anti dumping dibawah baying-bayang pasar bebas, Sinar grafika, Jakarta, h. 40. 70 . Sobri, 1986, ekonomi internasional, teori, masalah dan kebijaksanaanya, bagian penerbitan fakultas ekonomi (BPFE), UII, Yogyakarta, h. 91. 71 . Winardi, 1996, istilah ekonomi, mandar maju, Bandung, h. 112 3. Predatory Dumping. Predatory Dumping terjadi apabila, perusahaan untuk sementara waktu membuat diskriminasi harga tertentu sehubungan dengan adanya para pembeli hasil, diskriminasi itu untuk menghilangkan pesaing-pesaingnya dan kemudian menaikan lagi harga barang nya setelah persaingan tidak ada. Predatory dumping adalah dumping yang paling buruk karena dumping itu dipraktekan hanya untuk tujuan merebut keuntungan monopoli dan membatasi perdagangan untuk jangka waktu yang lama meskipun hal itu menyebabkan kerugian jangka pendek.72 Disamping jenis dumping tersebut dalam perkembanganya muncul istilah Diversinary Dumping dan Downstream Dumping. Diversinary Dumping adalah dumping yang dilakukan oleh produsen luar negeri yang menjual barangnya ke dalam pasar negara ketiga denga harga di bawah yang adil dan barang tersebut nantinya diproses dan dikapalkan untuk dijual ke pasar negara lain, sedangkan Downstream Dumping adalah dumping yang dilakukan apabila produsen luar negeri menjual produknya dengan harga di bawah harga normal kepada produsen yang lain di dalam pasar dalam negerinya dan produk tersebut diproses lebih jauh dan dikapalkan untuk dijual kembali ke pasar negara lain.73 Menurut Robert Willig ada 5(lima) tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir kekuatan pasar dan struktur pasar import, yaitu. 1. Market Expansion Dumping 72 . Sobri, Loc.it . Sukarmi, op.cit, h. 42. 73 Perusahaan pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan”mark-up” yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elstisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah. 2. Cyclical Dumping. Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait. 3. State Trading Dumping. Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tetapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya. 4. Strategic Dumping. Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing pesaing asing. 5. Predatory Dumping. Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor.Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.74 2.3. Barang Dumping. Untuk mengetahui apakah produsen melakukan praktik dumping atau tidak, maka perlu diketahui apakah barang yang diproduksinya merupakan barang dumping atau tidak. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan barang dumping tersebut. Untuk menentukan apakah ada barang dumping atau tidak tergantung dari harga normal (normal value). Untuk itu penentuan harga normal (normal value) adalah sangat perlu dilakukan. Dalam article 2(1),regulation 384/96 (Peraturan Perundang-undangan Masyarakat Eropa Mengenai Masalah Antidumping dan Countervailing Duties) diatur: “The normal value is typically based on the priclahes paid or payable,in the ordinary course of trade, by independent customers in the exporting country” (dalam bahasa Indonesia diterjemahkan : Harga Normal adalah biasanya didasarkan pada alat pembayaran atau daya bayar dalam kegiatan perdagangan oleh pelanggan independen di negara pengekspor). Menurut PP.No.34 Tahun1996 Pasal 1 butir 3 ditentukan harga normal (normal value) adalah nilai yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik, sedangkan menurut kesepakatan mengenai dumping yang tertuang dalam Article VI ayat (1) bagian b butir i dan ii yang menentukan sebagai berikut: Bagian (b) : in the absence of such domestic price, is less than either: (i) the highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary course of trade, or (ii) the cost of production of the product in the country of origin plus reasonable addition for selling cost and profit 74 Antidumping in the America: Analyses on trade and integration in the Americas by Jose Tavares de Araujo Jr.,2001,h.9. http://www.dttc.oas.org/trade/studies/subsid/Antidumptav.pdf. Artikel diakses pada tanggal 10 Desember 2010 .pukul 21.15. Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa tidak adanya harga domestik yang digunakan sebagai dasar dalam penentuan harga normal. Dengan demikian penentuan harga normal didasarkan pada harga perbandingan harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam perdagangan pada umumnya, atau ditentukan atas dasar biaya produksi barang sejenis dengan tambahan biaya penjualan dan laba secara wajar.75 Penentuan harga normal seperti yang diatur pada ketentuan di atas didasarkan atas pertimbangan berikut. 1. Adanya produsen di suatu negara yang hanya memproduksi suatu barang untuk tujuan ekspor atau tidak memproduksi barang sejenis untuk dikonsumsi di dalam negeri. 2. Adanya produsen di suatu negara yang selain memproduksi barang sejenis untuk tujuan ekspor, juga memproduksi barang sejenis untuk dipasarkan di pasar domestik, tetapi volume penjualan di pasar domestik di negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar penentuan nilai normal.76 Untuk menentukan apakah penghitungan harga normal produk yang bersangkutan didasarkan pada harga jual sebenarnya atau biaya produksi. Dalam Buku Panduan berjudul “Bagaimana Menghadapi Tuduhan Dumping” yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderaal Kerjasama Industri Dan Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian Dan Perdagangan 75 76 diuraikan penghitungan harga normal (normal value) berdasarkan Sukarmi, op.cit.,h.160. Sukarmi, Loc.cit. harga dalam negeri dan berdasarkan biaya produksi (constructed value) sebagai berikut:77 a). Harga Normal (Normal Value) Berdasarkan Harga Dalam Negeri. Agar diperoleh perhitungan margin dumping yang benar, maka harga domestik harus dalam bentuk harga domestik eks-pabrik. Contoh Perhitungan : - Harga domestik (pada juni 1998) US $ 80/MT - Biaya Transportasi US $ 5/MT - Biaya Handling US $ 2/MT ________________________________________________________ Harga domestik eks-pabrik US $ 73/MT Catatan: Harga jual domestik per metrik ton seringkali bervariasi antara US$ 80/MT hingga US$ 100. Agar perhitungan dilakukan secara wajar (fair), maka diambil harga jual domestik terendah, yaitu US$ 80/MT. b). Harga Normal (Normal Value) Berdasarkan Biaya Produksi (Constructed Value). Apabila pemohon tidak memperoleh harga domestik di negara eksportir, maka normal value dapat ditentukan berdasarkan constructed value, yaitu menetapkan biaya produksi yang terdiri dari biaya pabrik ditambah biaya biaya pemasaran dan administrasi, serta financing charges. Kemudian untuk memperoleh harga jual 77 Departemen Perindustrian Dan Perdagangan,2001, Bagaimana Menghadapi Tuduhan Dumping,Direktorat Jenderal Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian Dan Perdagangan, h.25. domestik eks-pabrik (normal value), maka biaya produksi ditambah profit margin(bisa 5% atau 10% disesuikan dengan tingkat keuntungan normal industri tersebut). Contoh Perhitungan: Jenis Biaya US $ Biaya bahan mentah 45 Biaya pekerja langsung 10 Biaya overhead pabrik 15 Total biaya pabrik 70 Biaya pemasaran dan administrasi 8 Financing Charge 2 Jumlah biaya Profit (5%) Normal Value 80 4 84 Dalam Undang Undang No.19 Tahun1995 tentang Kepabeanan pada penjelasan Pasal 18 ditentukan bahwa apabila terjadi ketiadaan harga domestik, maka harga normal ditentukan berdasarkan : 1.harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga. 2.harga yang dibentuk dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar(constructed value). Dari uraian mengenai harga normal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan barang dumping adalah barang yang diimport dengan harga dumping, yaitu harga ekspornya lebih rendah dari harga normalnya di pasaran domestik negara pengekspor. 2.4. Batas Harga Dumping ( Margin of Dumping). Untuk mengetahui batas harga dumping (margin of dumping) yang benar, maka yang perlu ditetapkan terlebih dahulu adalah harga ekspor, karena perhitungan margin dumping didasarkan atas perbedaan harga domestik eks-pabrik dengan harga ekspor eks-pabrik dibagi harga ekspor CIF. Dalam menetapkan baik harga normal maupun harga ekspor harus memenuhi ketentuan antara lain berdasarkan ketentuan perdagangan yang berlaku umum (in the ordinary course of trade). Ketentuan perdagangan yang berlaku umum ( in the ordinary course of trade), yaitu bahwa transaksi penjualan barang tersebut ada unsur profit, dijual kepada konsumen (importir) yang tidak mempunyai hubungan tertentu dengan eksportir (unrelated parties), atau tidak di treat secara berbeda. Harga ekspor CIF harus ditetapkan dalam bentuk harga ekspor eks-pabrik. Untuk memperoleh harga ekspor eks-pabrik, maka harga ekspor CIF harus dikurangkan dengan biaya biaya yang timbul mulai dari pintu pabrik ke pelabuhan tujuan ekspor.Biaya biaya tersebut dapat meliputi : island freight, werehousing, handling, sea freight dan lain lainnya.Biaya biaya tersebut dapat diperoleh dengan adanya bukti berupa invoice atau faktur, dan juga berdasarkan estimasi pasar (berdasarkan pengalaan). Bukti-bukti nyata atau estimasi tersebut harus dilampirkan. Contoh perhitungannya: - Harga ekspor CIF berdasarkan BPS US $ 85/MT - Sea Freight US $ 20/MT - Island Freight US $ 2/MT Harga ekspor eks-pabrik US $ 63/MT. Dengan mengetahui harga ekspor eks-pabrik maka batas margin dumping dapat dihitung didasarkan atas perbedaan harga domestik eks-pabrik dengan harga ekspor eks-pabrik dibagi harga ekspor CIF.78 Contoh perhitungannya: - Harga domestik eks-pabrik (sebutkan periode) US $ 73/MT - Harga ekspor eks-pabrik (sebutkan periode) US $ 63/MT Margin US $ 10/MT. Margin Dumping (%) terhadap harga ekspor CIF adalah 0/85 x 100% = 11.76% Catatan Khusus: Harga jual lokal yang sebenarnya adalah alternatif pertama untuk menentukan harga normal, dengan catatan bahwa penjualan : - Mewakili paling sedikit 5% dari keseluruhan total tipe produk yang bersangkutan; - Dilakukan dengan pembeli yang tidak berkaitan dengan penjual (arms length basis); - Mencakup laba. Kalau tidak ada penjualan di pasar lokal, OAD akan menetapkan harga normal berdasarkan biaya produksi (constructed value), atau bahkan berdasarkan informasi dari perusahaan perusahaan lain. Sejauh mungkin usahakan untuk mendasarkan penghitungan yang berdasarkan harga jual lokal yang sebenarnya karena : - Penghitungan berdasarkan biaya produksi bisa ditafsirkan berbeda beda, dan setiap penyesuaian dalam pengeluaran yang berupa penambahan (upward 78 Ibid, h.27. adjustmen) pada biaya produksi bisa berakibat pada penetapan suatu margin dumping yang tinggi. - Besarnya keuntungan ditetapkan dengan membandingkan biaya produksi untuk penjualan di pasar lokal dengan harga jual rata rata di pasar lokal setelah dikurangi diskon dan rabat. Kalau penjualan dilakukan di bawah harga (Selling at a loss), harga normal jelas akan lebih tinggi karena perhitungannya adalah biaya produksi plus marjin keuntungan yang layak.79 Teknis perhitungan margin of dumping dihitung dari selisih harga normal dengan harga Less Than Fair Value (LTFV) kalau mengikuti ketentuan dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 adalah sebagai berikut. 1. Selisih antara harga normal dan harga less than fair value (LTFV) di pasar domestik negara tujuan ekspor.(dalam ketentuan aslinya berbunyi: Is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country, or.) 2. Selisih antara harga normal dan harga less than fair value(LTFV) di pasar negara ketiga jika tidak terdapat harga dalam negeri (dalam ketentuan aslinya berbunyi: The highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary of trade, or.) 3. Selisih antara harga normal dan jumlah biaya produksi, ongkos ongkos penjualan, dan keuntungan jika tidak terdapat harga dalam negeri (dalam ketentuan aslinya berbunyi: The cost of production of the product in the country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit). 79 Ibid, h.29 BAB III PENENTUAN KERUGIAN (INJURY) DAN INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTIK DUMPING 3.1 Kerugian (Injury) 3.1.1. Pengertian Kerugian (Injury) Pada dasarnya dumping dilarang karena dianggap selalu dapat merugikan perekonomian negara lain, Kerugian yang dimaksudkan dalam praktik dumping adalah kerugian yang diderita industri dalam negeri sebagai akibat adanya barang impor yang dijual dengan harga dumping. Dalam PP. No. 34 tahun 1996 pasal 1 butir 11 ditentukan kerugian adalah : a). Kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. b). Ancaman terjadinya kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, atau. c). Terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Dari pengertian tersebut terdapat 3 (tiga) tolok ukur yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, yaitu : 1). Material Injury ( Kerugian Material) Yang dimaksud dengan material injury yaitu kerugian material yang diderita oleh industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Dalam pengertian ini kerugian sudah terjadi dan dapat dilihat pada periode yang diseidiki (investigation periode) yaitu dengan adanya indikasi antara lain penjualan menurun, profit menurun, kehilangan konsumen, market share menurun, utilisasi kapasitas produksi menurun, pengaruh terhadap cash flow, terhadap return on investment, terhadap pertumbuhan perusahaan, PHK meningkat, stock meningkat, dsb. 2). Threat of Material Injury (Ancaman Kerugian Material ) Pengertian threat of material injury disini adalah ancaman terjadinya kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Dalam pengertian ini kerugian material belum terjadi dan belum dapat dilihat pada periode yang diselidiki (Investigation Periode) tetapi gejala yang ada menunjukan bahwa akan terjadi kerugian di masa depan ( misalnya : karena kapasitas yang besar dari eksportir). 3). Material Retardation of the Establishment to a Domestic industri (terhalangnya pengembangan industri dalam negeri ). Dalam pengertian ini kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang akan timbul disebabkan karena terhalangnya pengembangan industri dalam negeri barang sejenis yang diakibatkan oleh adanya barang dumping. Selain adanya hambatan pengembangan industri dalam negeri juga hambatan lahirnya industri baru. Batasan kerugian yang diatur oleh ketentuan tersebut diatas sangat luas, mengakibatkan pengertian tersebut menjadi bias. Luasnya pengertian kerugian tersebut dapat mengakibatkan perangkat hukum anti dumping dijadikan instrument oleh pengusaha (produsen) untuk melindungi kepentingan kelangsungan usahanya.80 GATT menetapkan suatu kriteria umum mengenai kerugian akibat prkatik dumping, yaitu dumpig yang dapat menimbulkan kerugian material, baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik, sebagaimana terihat dibawah ini. 80 107. Yulianto syahyu, 2004, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Ghali, Indonesia, Jakarta, h 106- “The contracting parties recognize that dumping, by which product of one country are introduced into the commerce of another country at less than normal value (sering digunakan istilah “Less than fair value” atau LTFV) of the product, is to be condemned if it causes or treathmens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retard the establishment of a domestic industry”.81 Disebut terjadi kerugian (injury) apabila faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara pengimport mengalami kerugian secara material, misalnya penurunan penjualan, keuntungan, pangsa pasar, produktifitas, return on investment, atau utilisasi kapasitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam negeri misanya margin dumping, pengaruh negative pada cash flow (arus kas), persediaan, tenaga kerja, upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal, investasi.82 Untuk mengetahui apakah suatu negara telah melakukan praktik dumping yang menimbulkan kerugian material atau tidak, Article3.1. dari Antidumping Code 1994 menyatakan sebagai berikut. “ A determination on injury for purpose of article VI of GATT 1994 shall be based on positive evidence and involve and obyektive examination of both (a) the volume of the dumped import and the effect f the dumped imports on price in the domestic market for like products, and (b) the consequent impact of these import on domestic producers of such product” Dari ketentuan tersebut dapat dirtikan kerugian ditentukan berdasarkan adanya bukti-bukti positive dan hasil penyelidikan yang obyekstif tehadap : a). Peningkatan volume import dari produk yang telah dijual dengan harga dumping, dan. b). Pengaruh pratik dumping terhadap harga pasar dari produk barang sejenis yang diproduksi produsen domestik83 Menurut Yulianto Syahyu batasan kerugian yang timbul akibat praktik dumping cukup dibatasi sampai kerugian nyata (material Injury), dimana industri dalam negeri 81 Sukarmi, Op.cit h. 44 82 Christhophorus Barutu 3, Op.cit. h. 45. Yulianto syahyu, Loc.cit 83 yang memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian sebagai akibat adanya barang dumping.84 Dalam penyelidikan anti-dumping, penentuan ada tidaknya kerugian dalam hal adanya dumping sangat penting, karena jika ternyata dumping dapat dibuktikan tetapi tidak ada kerugian, maka bea masuk anti-dumping tidak dapat diterapkan. 85 Ada variabel sebab akibat yang diajukan oleh GATT untuk melarang tindakan dumping, yaitu dumping yang dilakukan oleh suatu negara yang Less than fair value atau (LTFV) dianggap dapat menyebabkan kerugian material (Material injury) terhadap industri dalam negara importir. Jadi tindakan itu : 1). Harus ada tindakan dumping yang Less than fair value atau (LTFV). 2). Harus ada kerugian material di negara importir. 3). Adanya causal Link antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.86 3.1.2. Hubungan Kausalitas (Causality) Antara Kerugian (Injury) dan Barang Dumping. Suatu penyelidikan anti dumping belum memenuhi syarat apabila hanya terdapat atau terbukti adanya barang dumping serta kerugian (injury) saja yang dialami oleh produsen dalam negeri. Suatu hubungan sebab akibat (a causal link) antara barang dumping dengan kerugian (injury) harus ditunjukan dengan suatu buktibukti yang relevan, kuat dan valid. Pembuktian yang sederhana dan instant dapat dianggap suatu bukti yang belum mencukupi, hubungan sebab-akibat ( a causal link ) merupakan kata kunci dalam penyelidikan anti dumping. Otoritas anti dumping negara penuduh harus dapat membuktikan bahwa ada hubungan sebab akibat antara barang import dumping dengan kerugian yang diderita industri daam negeri. Hal tersebut harus didasarkan pada penilaian semua faktor 84 Yulianto syahyu, op.cit, h.107 Yulianto syahyu, op.cit, h. 77 86 Sukarmi, Loc.cit. 85 penyebab kerugian, tidak hanya faktor dumping tetapi juga faktor ekonomi lain yang relevan, dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Adapun analisis hubungan kausalitas meliputi : 1). Dampak Volume ( Volume Effect) Mengenai volume barang dumping yang masuk ke negara pengimpor, harus dapat dibuktikan bahwa telah terjadi suatu peningkatan yang signifikan dari volume barang import yang diduga dumpig, baik secara absolut maupun relatif terhadap produksi dalam negeri dan konsumsi nasional negara pengimpor. Penilaian terhadap volume import didasarkan pada perkembangan import tiga tahun terakhir. Perkembangan import tiga tahun terakhir ini meliputi satu tahun yang disebut sebagai periode investigasi dan dua tahun sebelumya 2). Dampak Harga (Price Effect) Apabila industri dalam negeri berhadapan dengan barang import yang didumping dengan sendirinya harga barang sejenis industri dalam negeri akan mengalami depresi atau tertekan, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri terpaksa diturunkan untuk menghindari kehilangan market share di pasar dalam negeri, sehingga indusri dalam negeri terpaksa melakukan price undercutting, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri terpaksa diturunkan untuk mengimbangi harga barang dumping Dalam rangka mempertahankan market share. Dalam menghadapi hal tersebut industri dalam negeri juga bisa megalami price suppresion, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri seharusnya dinaikan (misalnya ada kenaikan harga raw material atau biaya-biaya lain yang meningkat) tetapi tidak mencapai tingkat biaya produksi karena adanya persaingan barang import yang dijual dengan harga dumping. Hubungan kausalitas antara kerugian (injury) dan barang dumping dapat dilihat pada grafik di bawah ini : Grafik 1 Hubungan Kausalitas Antara Kerugian (Injury) dan Barang Dumping DUMPING Volume Effect INJURY OTHER FACTORS (NONDUMPIN G) Price Effect Market Share Industri Dalam Negeri Menurun Ø Recession Ø Contraction in demand Ø Inefficient Of the domestic industri Ø Miss Management Ø Price Undercutting Ø Price Depressions Ø Price Suppresions 1.Penurunan penjualan dalam negeri 2. Penurunan keuntungan 3. Penurunan output (produksi) 4. Penurunan market share 5. Penurunan Produktivitas 6. Penurunan utilisasi kapasi. tas produksi 7. Gangguan terhadap Return On Investment 8 Gangguan terhadap harga dalam negeri 9. Magnitude of Margin dumping. 10. Perkembangan Cash Flow yang negative 11. Inventori meningkat 12.Pengurangan tenaga kerja/ penurunan gaji bukan PHK 13. gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan 14. Gangguan terhadap Investasi 15. Gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal >Sumber : Direktorat Pengamanan Perdagangan, Ditjen KIPI, depperindag, Nurlaila NM Kasubdit pembuktian kerugian Dumping. Harris, 3.2. Instrumen Yang digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping. 3.2.1. Anti Dumping Mengenai Anti-dumping dapat dilihat pengaturannya dalam GATT-WTO dan pengaturan dalam hukum nasional. a). Pengaturan Anti- Dumping Dalam GATT-WTO. Negara negara GATT pada saat berlakunya Persetujuan Pembentukan WTO menjadi “Original Members” WTO sepanjang sudah memenuhi persyaratan mengenai komitmen dan konsesi. Negara yang menjdi anggota WTO tentu saja wajib menerima Persetujuan Pembentukan WTO dan persetujuan persetujuan yang menjadi lampirannya, yang dalam hal ini adalah GATT, GATS ( General Agreement on Trade in Servises), dan TRIPs (Agreement on Trade Related of Intellectual Property Rights), atau secara keseluruhan disebutkan persetujuan perdagangan multilateral (Multilateral trade agreements).Indonesia adalah salah satu anggota “Original Members” dari WTO Cerminan dari diterimanya hasil hasil Putara Uruguay oleh Bangsa Indonesia adalah pengesahan keikutsertaan Indonesia dalam WTO dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 7 tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994..Sudah jelas bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO dan pelaksanaan berbagai komitmen yang disampaikan tidaklah terlepas dari rangkaian kebijaksanaan disektor perdagangan khususnya perdagangan luar negeri.87 Dalam Perdagangan luar negeri atau perdagangan internasional pengusaha untuk dapat merebut konsumen sebanyak mungkin, sering menempuh strategi persaingan harga (price competition), yaitu dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lainnya. Perbuatan tersebut dipandang 87 .B.M. Kuntjoro Jakti,et.al.,1997/1998,Pengkajian Hukum Tentang Masalah Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO,BPHN,Jakarta, h.7-8 sebagai perbuatan curang, karena melakukan suatu perbuatan dalam bentuk persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Dalam perdagangan Internasional perbuatan curang tersebut dikenal sebagai praktik dumping , yaitu merupakan praktik dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada harga barang dalam negeri. Hal tersebut akan mengakibatkan barang sejenis kalah saing, sehingga akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, dan pada akhirnya adalah industri barang sejenis dalam negeri menjadi bangkrut. Untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka dikeluarkan peraturan antidumping yang merupakan salah satu perhatian khusus Indonesia terhadap hasil putaran Uruguay. Peraturan antidumping terdapat dalam Persetujuan Anti-Dumping GATT, yaitu pada article VI dari GATT 1994 yang terdiri dari 7 (tujuh) ayat yaitu sebagai berikut. Article VI “Anti-dumping and Countervailing Duties”. 1. The contracting parties reconize that dumping. By which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemmed if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. For the purposes of this Article, a product is to be considered as being introduced into the commerce of an importing country at less than its normal value, if the price of the product exported from one country to another a) is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country, or b) in the absence of such domestic price, is less than either i). he highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary course of trade, or ii). the cost of production of the product in the country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit. Due allowance shall be made in each case for differences in conditions and terms of sale, for differences in taxation, and for other difference affecting price comparability. 2. In order to offest or prevent dumping, a contracting party may levy on any dumped product an anti dumping duty not greater in amount than the margin of dumping in respect of such product. For the purposes of this article, the margin of dumping is the price difference determined in accordance with the provisions of paragraph 1. 3. No countervailing duty shall be levied on any product of the territory of any contracting party imported into the territory of another contracting party in excess of an amount equal to the estimated bounty or subsidy determined to have been granted, directly or inderectly, on the manufakture, production or export of such product in the country of origin or exportation, including any special subsidy to the transportation of a particular product. The term “countervailing duty” shall be understood to mean a special duty levied for the purpose of offsetting any bounty or subsidy bestowed, directly or indirectly, upon the manufacture, production or export of any merchandise. 4. No product of the territory of any contracting party imported int the territory of any other contracting party shall be subject to anti-dumping or countervailing duty be reason of the exemption of such product from duties or taxes borne by the like product when the destined for comsumption in the country of origin or exportation, or by reason of the refund of such duties or taxes. 5. No product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be subject to both antidumping and countervailing duties to compensate for the same situation of dumping or export subsidization. 6. a). No contracting party shall levy any anti-dumping or cuntervailing duty on the importation of any product of the territory of another contracting party unless it determines that the effect of the dumping or subsidization, as the case may be, is such as to cause or threaten material injury to an established domestic industry, or is such as to retard materially the establishment of a domestic industry. b). The CONTRACTING PARTIES may waive the requirement of subparagraph (a) of this paragraph so as to permit a contracting party to levy an anti-dumping or countervailing duty on the importation of any product for the purpose of offsetting dumping or subsidization which causes or threatens material injury to an industry in the territory of another contracting party exporting the product concerned to the territory of the importing contracting party. The CONTRACTING PARTIES shall waive the requirements of subparagraph, so as to permit the levying of a countervailing duty, in cases in which they find that a subsidy is causing or threatening material injury to an industry in the territory of another contarcting party exporting the product concerned to the territory of the importing contracting party. c). In exceptional circumstances, however, where delay might cause damage which would be difficult to repair, a contracting party may levy a countervailing duty for the purpose referred to in subparagraph (b) of this paragraph without the prior approvalof the CONTRACTING PARTIES; Provided that such action shall be reported immediately to the CONTRACTING PARTIES and that the countervailing duty shall be withdrawn promptly if the CONTRACTING PARTIES disaprove. 7). A system for the stabilization of the domestic price or of the return to domestic producer of a primary commodity, independently of the movements of export prices, which results at times in the sale of commodity for export at a price lower than the comparable price charged for the like commodity to buyers in the domestic market, shall be presumed not to result in material injury within the meaning of paragraph 6 if it is determined by consultation among the contracting parties substantially interested in the commodity concerned that: a). The system has also resulted in the sale of the commodity for export at a price higher than the comparable price charge for the like commodity to buyers in the domestic market, and b). The system is so operated, either because of the effective regulation of production, or otherwise, as not to stimulate exports unduly or otherwise seriously prejudice the interests of other contracting parties. Persetujuan atas implementasi Article VI GATT dikenal sebagai Anti Dumping Agreement (ADA) di mana menyediakan perluasan lebih lanjut atas prinsip prinsip dasar dalam Article VI GATT itu sendiri, memerintahkan investigasi,ketentuan, dan aplikasi bea antidumping. Dalam article VI GATT 1994, para anggota WTO dapat membebankan/mengenakan antidumping measures jika setelah investigasi sesuai dengan persetujuan, suatu ketentuan dibuat, yaitu : a. bahwa dumping sedang terjadi, b. bahwa industri domestik memproduksi produk yang sama (like product) di negara pengimpor mendapatkan/memperoleh material injury, dan c. bahwa ada suatu hubungan sebab akibat (causal link) antara keduanya. Ketiga unsur di atas ditegaskan dalam Article 5.2 Agreement on Implementation of Article VI of The General Agreement on Tarifs and Trade 1994(Anti-Dumping Agreement/ADA) “An application under paragraph 1 shall include evidence 0f (a)dumping,(b)injure within the meaning of Article VI of GATT 1994 as interpreted by this agreement, and (c) a causal link between the dumped imports and the alleged injury.Simple assertion......”88 b). Pengaturan Anti-Dumping Dalam Hukum Nasional. Pengaturan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Pesetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7 tahun 1994 ternyata sampai saat ini belum ada pengaturannya secara khusus dalam 88 Christhophorus Barutu 3,op.cit.,h.44-45. satu peraturan yang berbentuk undang-undang. Pengaturan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia tersebar dalam Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, dan produk produk hukum lainnya yang terkait seperti Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai sebagai berikut. 1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) Agreement Establishing the World Trade Organization. Dengan adanya pengesahan tersebut maka persetujuan itu yang berisi 28 ketentuan telah sah menjadi bagian dari peraturan nasional, dan sekaligus meratifikasi pula Anti dumping Code tahun 1994 yang merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement. 2. Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti dumping dan Bea Masuk Imbalan. 4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Prdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Peryaratan Permohonan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001 sebagai ketentuan hukum acara(formal), dan ketentuan pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Anti Dumping indonesia, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428 /MPP/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite Andi Dumping Indonesia serta Struktur Kepegawaian Komite Anti Dumping Indonesia berdasarkan Keputusan Ketua Komite Anti Dumping Indonesia Nomor 346/KADI/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Kepala Bidang dan Anggota di Lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia. 5. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping/Sementara. Peraturan peraturan tersebut dapat digunakan dalam penanganan kasus kasus dumping di Indonesia, terutama untuk pelaksanaan persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan bagi produk produk dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri sebelum adanya undang undang nasional yang secara khusus mengatur anti-dumping. Indonesia dengan meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization dengan dikeluarkannya Undang undang No.7 tahun1994 tanggal 2 Nopember 1994, maka Indonesia harus mengimplementasikan 28 persetujuan yang telah sah menjadi bagian dari peraturan nasional. Hal ini sesuai dengan teori Hukum Alam yang dikemukakan oleh Grotius yang memaparkan ada 4 (empat) norma dasar yang terkandung dalam Hukum Alam, yaitu. 1. Kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain. 2. Kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada di tangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati. 3. Kita harus menepati janji janji yang kita buat. 4. Kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.89 89 Friedmen.,op.cit., h.49 Berdasarkan teori Hukum Alam dari Grotius itu, maka janji janji yang kita buat kita harus menepatinya dengan mengimplementasikan kebijakan antidumping,yaitu mengacu sepenuhnya kepada aturan WTO. Bila terbukti ada praktik dumping dan kerugian, maka pihak yang menimbulkan kerugian itu harus mengganti kerugian akibat pratik dumping yang dilakukan oleh eksportir , dan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merekomendasikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar marjin dumping, yaitu selisih harga ekspor dengan harga di pasar asal eksportir.Tetapi dalam penerapan ketentuan anti dumping berdasarkan GATT-WTO, Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 ternyata kurang mengakomodasi semua ketentuan GATT-WTO tentang anti dumping, sehingga perlu penafsiran penafsiran terutama mengenai harga normal, kerugian (injury), dan causal link, sehingga kurang memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi produsen dalam negeri. Dalam upaya untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, oleh karena Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization, maka ada suatu perjanjian atau kontrak di antara negara negara yang meratifikasi untuk menerapkan persetujuan persetujuan yang telah disepakati itu.Hal ini dapat didasarkan pada teori kontrak sebagaimana dikemukakan oleh Rudolf Von Jehring, bahwa kontrak tidak lain dari pada janji (promise). Janji menurut Jehring memiliki kekuatan hukum, yaitu kekuatan hukum yang tidak berasal dari hal hal di luar dari janji para pihak, tetapi dari fungsi praktis(practical function) dari janji itu sendiri90 Tanpa adanya kekuatan mengikat dari janji itu, maka perjanjian itu menjadi 90 Rudolf Von Jehring, 1959, Law as a Mens to an End, dalam Clarence Morris ed, the Great Legal Philosophers Selected Reasing in Jurisprudence, University of Pennsylvania Press, Philadelphia, h.406 tidak ada artinya dalam hubungan bisnis.Konsekuensinya, hubungan bisnis hanya akan berlangsung di antara pihak yang sudah benar-benar dikenal satu sama lainnya. Daya kekuatan mengikat dari suatu perjanjian atau kontrak dapat dijelaskan melalui beberapa teori, yaitu.91 1. Teori Kehendak (Will Theory). Menurut teori ini suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan dari beberapa pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang menyatakan sendiri kehendaknya untuk mengikatkan diri. 2. Teori Persetujuan(Bargaian Theory). Teori ini merupakan pengingkaran dari teori pertama. Menurut teori ini dasar mengikatnya suatu kontrak bukan kehendak dari para pihak, tetapi persetujuan dari para pihak. Persetujuan yang telah dibuat oleh para pihak mengikat sepanjang apa yang telah disepakati oleh para pihak tersebut. 3. Teori kesetaraan(Equivalen Theory). Menurut teori ini bahwa para pihak dalam kesepakatan tersebut telah memberikan kesetaraan(kesamaan) bagi para pihak. 4. Teori Kerugian(Injurious Reliance Theory). Teori ini menyatakan bahwa para pihak terikat karena para pihak telah menyatakan dirinya untuk mengandalkan pada pihak yang menerima janji dengan akibat adanya kerugian. Dengan kata lain pelanggaran terhadap kesepakatan akan menimbulkan kerugian. Dari berbagai teori yang diuraikan di atas, tampaknya teori yang paling tepat dan juga dianut di Indonesia adalah teori yang pertama, yaitu teori kehendak(Will 91 Roscue Pound, 1954, An Introduction to The Philosophy of Law, New Haven, UP, h.136 Theory) seperti yang diungkapkan oleh Subekti, bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian.92 Di samping teori tersebut di atas dalam ilmu hukum kontrak dikenal juga berbagai teori yang masing masing mencoba untuk menjelaskan berbagai segmen dari kontrak sesuai dengan kelompoknya masing masing dengan memakai kriteria tertentu, yaitu. 1. Teori-teori berdasarkan formasi kontrak. Dalam hubungannya dengan formasi kontrak, dalam ilmu hukum terdapat 4(empat) teori yang mendasar, yaitu:93 a. Teori kontrak defakto(implied impact), yaitu kontrak yang tidak pernah disebutkan dengan tegas, tetapi ada dalam kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang sempurna. b. Teori promissory estoppel (detremental riance), yaitu teori yang mengajarkan bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak dari antara kedua belah pihak, jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk suatu ikatan kontrak. c. Teori kontrak quasi (quasi contract in atau implied in law ) teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi syaratsyarat tertentu maka hukum dapat menganggap adanya kontrak diantara pihak dengan berbagai konsekuensinya, sungguhpun kontrak itu sebenarnya tidak ada. 92 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979, h. 3 Munir fuadi, 1999, Hukum Kontrak (Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya, Bandung, h.2 93 d. Teori kontrak ekspresif, teori ini merupakan teori yang sangat kuat daya berlakunya, bahwa setiap kontrak yang dinyatakan secara tegas(ekpresif) oleh para pihak, baik secara tertulis atau lisan sejauh memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak. Bagi negara-negara anglo saxon unsur tri tunggal dianggap ikatan yang paling sempurna bagi para pihak yaitu adanya unsur “offer”, “acceptance’’dan “consideration”. 2. Teori-teori aliran klasik Ada beberapa teori dasar (underlying presupposittion) yang klasik merupakan tempat berpijak dari suatu kontrak yaitu sebagai berikut94 : a. Teori hasrat, yaitu teori yang lebih mendasarkan kepada “hasrat “ (intention, will). b. Teori benda, menurut teori ini, kontrak adalah suatu “benda” (thing) yang telah ada keberadaannya secara obyektif sebelum dilakukan pelaksanaan (perfomance) dari kontrak tersebut. c. Teori pelaksanaan, menurut teori ini bahwa yang terpenting dari suatu kontrak adalah pelaksanaannya (enforcement) dari kontrak yang bersangkutan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh badan-badan pengadilan atau badan penyelesaian sengketa yang lainnya. d. Teori prinsip umum, menurut teori ini suatu kontrak tetap mengacu pada efek general dari konsep kontrak itu sendiri. Jadi kontrak disini diartikan tidak akan menyimpang dari prinsip-prinsip umum dan universal yang terdapat dalam konsep kontrak tradisional. 94 P.S. Atiyah, 1986. “ Essays on Contract” dalam munir fuady, hukum kontrak dari sudut pandang hukum bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 9 3. Teori Holmes Menyangkut tentang tanggung jawab hukum (legal liability) yang berkenaan dengan kontrak. Teori ini pada prinsipnya mendasarkan kontrak itu pada dua prinsip yaitu95 : a. Tujuan utama dari teori hukum adalah untuk menyesuaikan hal-hal eksternal ke dalam aturan hukum. b. Kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban, karena itu teori holmes tentang kontrak memiliki intisari sebagai berikut : 1. Peranan moral tidak berlaku untuk kontrak 2. kontrak itu merupakan suatu alokasi risiko, yaitu risiko wanprestasi 3. Yang terpenting bagi suatu kontrak adalah standar tanggung jawab yang eksternal. Sedangkan maksud aktual yang internal adalah tidak penting. 4. Teori liberal kontrak Prinsip teori ini mengajarkan, bahwa setiap orang menginginkan keamanan. Sehingga Seorang harus menghormati kepada orang lain dan hartanya, tetapi orang juga perlu bekerjasama, dan kerjasama ini dapat dilakukan tanpa kehilangan kebebasannya, yang dalam hal ini dilakukan dengan kepercayaan dan perjanjian perlu adanya komitmen sehingga secara moral komitmen dapat dilaksanakan, tanpa komitmen tidak ada kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban yang bersangkutan. Tetapi jika terjadi pelanggaran suatu kontrak oleh salah satu pihak maka tidak akan mendapatkan suatu bentuk ganti kerugian seperti yang ditulis oleh Hellen J. Bond & Peter Kay dalam bukunya yang berjudul Bussines Law “The General Principle is that damages will not be awarded for non-pecuniary losses, such 95 Ibid, h. 10 as injury to the plaintiff’s feelings or for his mental distress, as a result of a breach of contract96” dalam Teori-teori tersebut diatas pada prinsipnya dapat diterapkan dalam upaya melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping sebagai akibat dari ratifikasi agreement est. Dalam persaingan pasar bebas perjanjian yang tertuang dalam sebuah kontrak sangat penting, selain untuk mengikat kedua belah pihak kontrak juga sebagai hukum bagi keduanya. Sebagai contoh Seperti yang ditulis oleh Berhard Bergmans dalam bukunya Inside Information and Securities Trading “The Free Market approach fundamentally rests on the role of property right and contracts in the functioning of the market. These concepts need therefore to be briefly explained before examining their application97” Ada beberapa aliran atau mazhab dalam filsafat hukum yang memberikan jawaban atas kekuatan mengikatnya suatu kontrak : 1. Mazhab Hukum Alam Merupakan mazhab hukum tertua dalam aliran filsafat, sarjana yang sangat terkenal pengikut aliran hukum alam ini adalah Hugo Grotius, menurut beliau bahwa kekuatan mengikat suatu kontrak berasal dari hukum alam. Menurut hukum alam kontrak tidak lain adalah kesepakatan timbal balik para pihak (mutual compact) yang memiliki kekuatan mengikat dari hukum alam.98 Menurut grotius, individu pada hakikatnya adalah mahluk yang lemah, ia membutuhkan banyak hal untuk membuat hidupnya nyaman. Oleh karena itu mengikatnya diri pada suatu masyarakat diamana 96 Hellen J. Bond & Peter Kay, 1995, Bussines Law, Blackstone Press Limited, London, h.223. Berhard Bergmans,1991, Inside Information and Securities Trading, Graham & Trootman, London, h.134. 98 Hugo Grotius, 1959 “On the rights of war and peace” dalam Clarence Morris, The Great Legal Philosophers, seected reasing in jurisprudence, University of Pennsylvania press, philadelphia, h. 84. 97 ia tinggal, untuk memenuhi kebutuhan itu antara ia dn masyarakatnya, maka hukum hadir disitu.99 Filsuf lain pengikut aliran hukum alam yang bernama Pufendorf, menyatakan bahwa kontrak melahirkan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak berdasarkan hal ini maka keadilan menuntut bahwa kedua belah pihak melaksanakan kontrak itu. Bila terdapat pelanggaran maka hukumnya menyusul100 Filsuf Jhon Locke sebagai pelopor ahli hukum alam menjelaskan bahwa prinsip ini harus dihormati (keeping of faith) tidak lain adalah prinsip yang berasal dari hukum alam. Jadi orang perorangan tersebut menurut Locke tidaklah cukup digantungkan kepada para pihak. Locke berpendapat peran negara sangatlah perlu. Menurut beliau, negara harus berfungsi sebagai pengawal hukum. Untuk itu orang perorangan perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka kepada negara, yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi.101 2. Mazhab Wiena(Hans Kelsen) Salah seorang sarjana terkemuka yang menjelaskan hakikat mengikatnya kontrak ini adalah Hans Kelsen. Mazhab beliau yang menarik adalah apa yang beliau sebut sebagai doktrin transisi atau tindakan hukum (legal transaction atau uristic act). Doktrin ini terbagi ke dalam dua bentuk yaitu pertama transaksi hukum sebagai tindakan yang menciptakan hukum dan yang menerapkan hukum. Bentuk kedua dari doktrin hukum ini adalah kontrak. Menurut Kelsen, transaksi hukum itu adalah suatu tindakan dimana individu diberi wewenang oleh (tertib) hukum untuk mengatur tindakan-tindakan tertentu secara sah. Transaksi inilah yang disebut dengan tindakan yang menciptakan hukum 99 Ibid Theo Huijbers, 2006, filsafat hukum dalam lintasan sejarah, kanisius, Yogyakarta, h. 73. 101 Ibid h. 83 100 (law-creating act). Disebut demikian karena tindakan tersebut melahirkan hak dan kewajiban pada para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Pada saat yang sama tindakan berupa transaksi hukum tersebut terdapat didalam nya bukan saja menciptakn hukum tetapi juga adalah tindakan penerapan hukum (law applying act) . untuk memungkinkan semua tindakan tersebut sah, para pihak menggunakan norma-norma hukum. Menurut Kelsen lebih lanjut, denga memberi para pihak kemugkinan untuk mengatur hubungan-hubungan mereka secara timbal balik melalui apa yang disebut Kelsen sebagai transaksi hukum tersebut, maka norma hukum (legal Order) memberikan para individu suatu otonomi hukum tertentu. Dalam fungsinya sebagai pembentukan hukum inilah, maka transaksi hukum tersebut yang juga oleh kelsen disebut sebagai otonomi para pihak (Private-autonomy) tercermin didalamnya.102 Dengan adanya suatu tindakan hukum, maka terbentuklah suatu norma-norma hukum ( umum ) yang mengatur hubungan timbal balik para pihak. Norma-norma hukum ini oleh Kelsen disebut sebagai norma kedua (Secondary Norm). Alasan disebut norma kedua ini adalah karena tindakan hukum tersebut melahirkan hak dan kewajiban hukum yang apabila hak dan kewajiban tersebut dilanggar maka dapat menimbulkan suatu sanksi. Oleh karena itulah norma kedua ini mengatur tingkah laku atau perbuatan para pihak. Bentuk kedua dari suatu transaksi yang disebut dengan istiah kontrak pada hakikatnya adalah transaksi hukum yang bersifat hukum perdata (legal transaction of civil law).103 Kontrak semata-mata adalah suatu pernyataan kehendak dari dua atau lebih individu. Pernyataan ini merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya 102 103 Ibid h. 137 Ibid, h. 140 pernyataan ini maka kontrak yang dibuat tidak dapat ada atau dikuatkan oleh suatu prosedur hukum (pengadilan). Pernyataan atau deklarasi semata tidaklah cukup untuk melahirkan suatu kontrak. Menurut Kelsen, pernyataan ini baru akan mengikat apabila pernyataan tersebut ditujukan kepada pihak lainnya dan pihak ini menyatakan penerimaanya. Kelsen menyebut adanya tindakan dua pihak ini sebagai transaksi hukum dua pihak (two-sided legal transactions). 3. Mazhab Positivisme (Rudolf Von Jhering) Mazhab lain dikemukakan oleh sarjana terkemuka Rudolf Von Jhering. Beiau adalah salah seorang yang memelopori secara gigih mazhab positivisme yuridis. Mazhab ini antara lain berpendapat bahwa satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah yang dipastikan kenyataannya. Dalam hukum perjanjian ( kontrak ) ada beberapa asas atau prinsip fundamental yang harus ditaati dan dihormati, Felix O Soebagio menyebutkan asas atau prinsip-prinsip tersebut yaitu104 1. Asas hukum umum. Asas ini merupakan suatu asas yang sangat mendasar, dan berpengaruh kepada pelaksanaan dan perkembangan hukum kontrak di Indonesia. Dengan asas ini setiap orang diasumsikan mengetahui dan mengenl hukum. Dengan demikian setiap orang dan pelaku bisnis di ndonesia dianggap mengetahui setiap dan semua peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan 104 Felix O Soebagio, 1993, Perkembangan asas-asas hukum kontrak dalam praktek bisnis selama 25 tahun terakhir, Disampaikan dalam pertemuan ilmiah “perkembangan hukum kontrak dalam praktek bisnis di Indonesia” diselenggarakan oleh badan pengkajian hukum nasional, Jakarta, 18 dan 19 Februari 1993 kegiatan bisnis di Indonesia, khususnya peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan bidang kontrak. 2. Asas kebebasan berkontrak (Freedom Of Contract). Asas ini adalah merupakan salah satu asas yang sangat terkenal didalam hukum kontrak. Berdasarkan asas ini suatu pihak dapat memperjanjikan dan atau tidak memperjanjikan apa-apa yang dikehendaki dengan pihak lain. Dengan perkataan lain para pihak berhak untuk menentukan apa-apa yang saja yang diinginkannya dan sekaligus juga diperkenankan untuk menentukan apa-apa saja yang tidak dikehendaki untuk dicantumkan didalam perjanjiannya, dan apa yang diperjanjikan itu akan mengikat para pihak yang menandatangani perjanjian tersebut (pasal 1338 KUHPer). 3. Asas Konsensualitas. Suatu asas hukum lain yang dikenal didalam hukum perjanjian adalah apa yang disebut dengan asas konsensualitas. Menurut asas ini, perjanjian timbul, ada dan sudah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas tertentu. Namun yang kita lihat didalam perkembangan praktek agaknya sedikit berlainan dan bahkan boleh dikatakan menjadi sudah tidak mempergunakan lagi penerapan asas konsensualitas. Bukan hanya asas konsensualitas itu sulit untuk dibuktikan, akan tetapi orang juga akan lebih mudah untuk mengingkari apa yang telah disepakati dibandingkan dengan harus melihat apa yang telah tertulis. Bahkan lebih jauh, tidak hanya mengenai asas konsensualitas, hal-hal yang tertulis yang telah ada sebelumnya bila kemudian ditanda-tanganinya suatu perjanjian biasanya ada ketentuan perjanjian yang mengatakan bahwa hal-hal yan telah ada sebelumnya tersebut menjadi tidak berlaku lagi dan bahwa perjanjian ini telah menggantikan dan menjadikan satu-satunya perjanjian yang berlakudan mengikat para pihak. 4. Asas Itikad Baik, (Good Faith). Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Didalam perkembangannya, asas itikad baik yang dituangkan didalam ketentuan pasal 1338 KUHPer itu, belum dianggap cukup melindungi kepentingan para pihak sehingga perlu dituangkan lebih jauh dan lebih rinci didalam ketentuan-ketentuan perjanjian itu sendiri. Hal mana dibenarkan, dimungkinkan dan sejalan dengan asas kebebasan berkontrak yang telah kita uraikan diatas. Asas itikad baik memang suatu asas yang valid dan harus dipertahankan didalam hukum perjanjian, tetapi itikad baik saja tidak atau paling tidak belum cukup dalam suatu hukum perjanjian seseorang bsa berubah dari waktu ke waktu mengingat keadaankeadaan dan kondisi-kondisi serta hal-hal yang mungkin mempengaruhi pikirannya. Untuk menghindari yang demikian, itikad baik dari para pihak dalam banyak hal dituangkan lebih rinci dalam ketentuan-ketantuan pernjanjian. 5. Asas “Fairness”. Diketahui bahwa suatu pernajian dibuat bukanlah untuk kepentingan suatu pihak saja, tetapi untuk kepentingan semua pihak-pihak dalam perjanjian. Perjanjian harus dibuat dengan mengindahkan dan memperhatikan kepentingan dari pihak-pihak yang tersangkut. 6. Asas kesamarataan dalam hukum. Asas kesemarataan ini bila dikaitkan dengan hukum perjanjian akan memberikan arti bahwa para pihak pada dasarnya adalah diberikan kedudukan dan mempunyai kedudukan yang sama, diberikan hak dan mempunyai hak yang sama dan diberikan kewajiban serta akan mempunyai kewajiban sebagaimana sesuai dengan yang diperjanjikan . 7. Suatu pihak harus bertanggung jawab terhadap pihak lain yang menderita kerugian akibat perbuatannya atau kelalaiannya. Asas ini sangat penting dalam hubungannya dengan kewajiban seseorang terhadap kemugkinan kerugian yang diderita oleh orang lain akibat perbuatannya. Suatu “manufacturer” misalnya, harus bertanggung jawab atas produk-produk yang dihasilkannya. Manufacturer harus menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkannya itu adalah mempunyai kualitas dan kapasitas sebagaimana disebut didalam brosur. 8. “Time Is Of The Essence”. Didalam kontra-kontrak tertentu khususnya yang berkaitan dengan “construction project” dan “project financing”, asas ini merupakan asas yang umum dan merupakan dasar pertimbangan utama dalam pengertian bahwa suatu proyek harus diselesaikan tepat pada waktunya. Ketepatan waktu adalah sangat essensial, oleh karena apabila erjadi keterlambatan, hal itu akan membawa akibat finansial yang sangat besar, yang antara lain akan mengkait pada kemungkinan terlambatnya memulai melakukan kegiatan atau bisnisnya, kemungkinan terlambatnya mendapatkan “revenue” kewajiban untuk melakukan pembayaran kembali, kemungkinan naiknya biaya-biaya dan ongkos/pengeluaran, kemungkinan ditanggung adanya yang kewajiban-kewajiban sebelumnya tidak baru yang harus dan tidak diperkirakan dipredisikan, kemungkinan proyek tidak visibel lagi. 9. Asas “As is Where is”. Asas ini biasanya diberlakukan dan dipergunakan dalam suatu transaksi yang melibatkan masalahmasalah yang sebenarnya dapat tidak dimasukan didalam konsiderasi tetapi telah diberitahukan oleh satu pihak kepada pihak Yang lain tersebut. Sebagai akibatnya transaksi tersebut akan ditutup dengan konsiderasi yang mendasarkan kepada keadaan yang telah diberitahukannya. 10. Asas “Confidentiality”. Pada dasarnya para pihak adalah diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan daripada ketentuan-ketentuan atau pun dalam hal ini contoh data-data yang tersangkut didalam perjanjian dan tidak dibenarkan untuk menyebarluaskan ataupun memberitahukan kepada pihak ketiga. Namun biasanya juga diatur tentang pengecualian-pengecualian mana saja yang sebenarnya dapat dilakukan, sampai seberapa lama ketentuan ini harus tetap dipertahankan, apakah ada jangka waktu tertentu ataukah untuk selamanya. 3.2.2. Subsidi Subsidi dilakukan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran negaranya, sehingga pada prinsipnya subsidi tidak dilarang, tetapi perlu adanya pembatasan untuk mencegah timbulnya persimpangan yang justru dapat menimbulkan kerugian bagi negara lain, karena persaingan akan berubah menjadi tidak sehat (unfair) apabila produk yang di eksport tersebut memperoleh keuntungan (benefit) yang diperoleh dari subsidi atau bantuan keuangan dari pemerintah atau badan pemerintah, baik langsung ataupun tidak langsung kepada perusahaan , industri atau eksportir. Dalam perdagangan internasional subsidi merupakan suatu perbuatan yang tidak fair (unfair practices) yang dapat merugikan pihak-pihak yang terkena perbuatan praktik subsidi. Praktik subsidi mengeleminasi persaingan yang wajar dalam mekanisme pasar sehingga dapat melumpuhkan iklim usaha yang competitive yang mengakibatkan rusaknya tatanan hubungan dagang yang fair.105 ketentuan yang mengatur masalah subsidi ini dapat dilihat daam GATT dan dalam Agreement on subsidies and countervailing measure ( persetujuan tentang subsidi-subsidi dan tindakan balasan). a). Ketentuan subsidi dalam GATT GATT yang mengatur masalah pembatasan subsidi terdapat dalam article VI dan article XVI. Article VI GATT 1947 mengatur tentang tindakan bea balasan (countervailing duty) terhadap produk primer dan non primer. Kedua article tersebut tidak ada yang mengatur batasan subsidi tersebut. Hanya dalam article XVI GATT mengatur masalah subsidi secara umum. Dalam article XVI.1 GATT ditentukan : 105 Christhophorus Barutu, 2006, praktik subsidi dalam perdagangan internasional serta pemberlakuan ketentuan anti subsidi dan countervailling measure (tindakan-tindakan imbalan terhadap subsidi), jurnal hukum yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, volume 21, No. 4, juli 2006, Surabaya.(Selanjutnya Christhophorus Barutu 4) h. 419. “ If any contracting party grants or maintains any subsidy, including any from of income or price support, which operates directly or inderectly to increase exports of any product from or to reduce import of any product into, its territory, it shall notify the CONTRACTING PARTIES in writing of the extent and nature of the subsidization on the quantity of the affected product r product imported into or exported from its territory and of the circumstances making the subsidization necesary. In any case in which it is determined that serious prejudice to the interests of any other contracting party is caused or threatened by any such subsidization the contracting party granting the subsidy shall, upon request, discuss with the other contracting party or parties concerned, or with the CONTRACTING PARTIES, the possibility of limiting the subsidization” Dari ketentuan tersebut terdapat adanya ketentuan yang memberi dan mempertahankan subsidi yang meliputi berbagai upaya untuk menambah penghasilan para produsen serta menekan harga produknya. Pemberian subsidi untuk mendorong ekspor, baik langsung maupun tidak langsung dan pemberian subsidi untuk mengurangi impor, dan ketentuan mengenai kewajiban pemberitahuan subsidi yang maksudnya untuk melindungi industri dalam negeri negara importir bagi subsidi produksinya dengan beberapa ketentuan, yaitu pemberitahuan harus dilakukan secara tertulis, yaitu selain harus memuat jumlah produk yang diberikan subsidi, juga nilai subsidinya dan keadaan-keadaan yang dijadikan alasan diberikannya subsidi.106 b). Ketentuan subsidi dalam Agreement on subsidies and countervailling measures (persetujuan tentang subsidi-subsidi dan tindakan balasan). Pengertian subsidi dalam Agreement On Subsidies And Countervailling Measures (persetujuan tentang subsidi-subsidi dan tindakan balasan ) terdapat dalam part 1 General Provisions, article 1, yang menentukan. For the purpose of this Agrement, a subsidy shall be deemed to exisst if : (a)(1) There is a financial contribution by a government or any public body within the territory of a member (referred to in this agreement as “government”), i,e. Where : 106 Cristophorus Barutu 3, op.cit, h. 69. (i) a government practice involves a direct transfer of funds (e.g. grants, loans, and equity infusion), potential direct transfer of funds or liabilities (e.g. loan guarantees) (ii) government revenue that is otherwise due is foregone or not collected (e.g. fiscal incentives such as tax credits) (iii) a government providies goods or service other than general insfrastructure, or purchases goods (iv) a government makes payments to a funding mevhanism, or entrusts or directs a private body to carry out one or more of the type of functions illustrated in (i) to (iii) above which would normaly be vested in the government and the practice, in no real sense, differs from practice normally followed by goverment. Or (a)(2) there is any form of income or price support in the sense of article xvi of GATT 1994. (b) a benefit is thereby conferred. Dari pengertian subsidi tersebut dapat disebutkan bahwa suatu subsidi dianggap ada jika : 1. terdapat kontribsi financial oleh pemerintah, atau terdapat bentuk pedapatan atau bantuan harga seperti yang tercantum dari pasal 16 persetujuan umm tentang tarif dan perdgangan 1924. 2. akibatnya diperoleh suatu keuntungan.107 Subsidi merupakan keuntungan yang diperoleh industri atau produsen dari : a. transfer dana langsung dari pemerintah (grants, pinjaman, atau saham), atau jaminan pembayaran pinjaman oleh pemerintah. b. Pendapatan pemerintah yang tidak dipungut. Mengenai subsidi ini ada yang dilarang dan ada juga subsidi yang dapat dikenakan tindakan (astionable subsidies). Subsidi ekspor dilarang jika subsidi dikaitkan dengan kinerja ekspor dan dikaitkan dengan penggunaan kandungan lokal, sedangkan subsidi yang dapat dikenakan tindakan, jika : 107 Christhophorus Barutu 3, op.cit. h. 71. c. menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri negara importir d. mengurangi keuntungan yang diperoleh dari konsensi tarif. e. Pemerintah menyediakan barang/jasa/pembelian barang. Mengenai subsidi ini ada yang dilarang dan ada juga subsidi yang dapat dikenakan tindakan (astionable subsidies). Subsidi ekspor dilarang jika subsidi dikaitkan dengan kinerja ekspor dan dikaitkan dengan penggunaan kandungan lokal, sedangkan subsidi yang dapat dikenakan tindakan, jika : a. menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri negara importir b. mengurangi keuntungan yang diperoleh dari konsensi tarif. Disamping subsidi yang dapat dikenakan tindakan, juga ada subsidi yang tidak dapat dikenakan tindakan, jika subsidi tersebut diberikan untuk : a. penelitian oleh industri (tidak boleh lebih dari 75% dari biaya) b. adaptasi fasilitas produksi dengan persyaratan-persayatan lingkungan yang baru (hanya satu kali dan tidak lebih dari 20% dari biaya adaptasi) c. pembangunan industri di wilayah tertinggal. 3.2.3. Safeguard Pada saat krisis ekonomi global, dan untuk melindungi industri daam negeri agar tetap eksis dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), maka salah satu instrument trade remedies yang sering digunakan oleh negara anggota WTO adalah safeguard disamping dua instrument lainnya yaitu dumpig dan subsidi108 108 Muhammad Yani, 2009, “safeguard” bulletin kerjasama prdagangan internasional, edisi 55/2009, departemen perdagangan Republik Indonesia, h 17. Safeguard adalah suatu tindakan pengamanan industri dalam negeri yang berupa larangan import dan atau menaikan tariff atau menetapkan kuota selama periode waktu tertentu. Tindkan ini dilakukan karena terjadinya kerugian serius (Serious Injury) atau terancam kerugian serius (Threaten to cause serious injury) pada industri dalam negeri yang disebabkan karena meningkatnya import dalam jumlah yang besar secara tiba-tiba. Pada dasarnya produsen/eksportir mengekspor produknya ke suatu negara tidak melakukan praktek perdagangan yang tidak sehat namun produk yang di import dari berbagai negara tersebut secara kuantitas melonjak secara dramatis baik secara absolut maupun relatif sehingga produsen dalam negeri produk sejenis mengalami kerugian serius (serious Injury) atau terancam kerugian serius (threaten to cause serious injury). Akibat dari lojakan import tersebut berdasarkan WTO Agreement diperkenankan untuk diambil tindakan pemulihan yang dinamakan dengan tindakan safeguard (safeguard measures)109 Kesepakatan safeguards organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization) adalah peraturan yang memuat prosedur dan tata cara melakukan tindakan pengamanan (safeguard) oleh masing-masing negara anggota. Menurut keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 tahun 2002 tentang tindakan pengaman industri dalam negeri dari akibat lonjakan import disebutkan tindakan pengamanan adalah tindakan yang diambil pemeritah untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan import barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalm negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural (pasal 1 angka 1). 109 Ibid, h 13 Kerugian serius adalah kerugian nyata yang diderita oeh industri dalam negeri, sedangkan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri. Penentuan kerugian serius dan atas ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat lonjakan import barang terselidik harus didasarkan kepada hasil analisis dari seluruh faktor-faktor terkait secara obyektif dan terukur dari industri dalam negeri. Faktor-faktor tersebut dimaksud meliputi : Ø Tingkat dan besarnya lonjakan impor baik secara absolut ataupun relatif Ø Perubahan tingkat penjualan Ø Produksi Ø Produktifitas Ø Pemanfaatan kapasitas Ø Keuntungan dan kerugian Ø Kesempatan kerja Ø Pangsa pasar dalam negeri, Dll. Tindakan safeguard merupakan perlindungan sementara terhadap industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang disebabkan oleh terjadinya lonjakan impor barang yang sama atau secara langsung menyaingi produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri tersebut. Persyaratan penerapan tindakan safeguard sementara (provisional safeguard measure), yaitu : Ø Dalam keadaan kritis Ø Ada bukti awal bahwa peningkatan impor menyebabkan kerugian serius atau ancaman akan terjadinya kerugian serius Ø Berlaku tidak melebihi 200 hari Ø Dala bentuk tariff (cash board) Ø Penerapan atas dasar MFN (non dokumentasi) Ø Dalam hal hasil penyelidikan ternyata tidak ada bukti kuat, maka bea masuk safeguard sementara yang telah dibayarkan harus dikembalikan Untuk tindakan safeguard tetap, akan dilakukan apabila : Ø Terdapat bukti bahwa kenaikan impor barang terselidik menyebakan kerugian serius/ ancaman kerugian serius industri dalam negeri. Ø Komite menetapkan rekomendasi tindakan pengamanan tetap. Ø Komite menyampaikan rekomendasi tindakan pengamanan tetap kepada menteri perdagangan. Ø Tindakan pengamanan tetap dapat ditetapkan dalam bentuk bea masuk oleh menteri keuangan dan atau kuota oleh menteri perdagangan. Untuk ketentuan tindakan pengaman tetap, akan dilakukan apabila : Ø Berlaku atas dasar Most Favoured nations / tanpa terkecuali. Ø Tindakan pengamanan secara bertahap diperingai atau diliberalisasikan selama masa berlakunya tindakan pengaman tetap. Ø Tindakan pengamanan daam bentuk kuota ditetapkan tidak boleh kurang dari volume impor yang dihitung secara rata-rata dalam jangka waktu 3(tiga) tahun terakhir, kecuali terdapat alasan yang jelas bahwa kuota dalam jumlah atau volume impor lebih kecil diperlukan untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius. Ø Jika lebih dari satu negara pengekspor barang terselidik ke indonesia, maka kuota impor yang di tetapkan harus dialokasikan di antara negaranegara pemasok. Ø Kuota harus dialokasikan secara pro-rata sesuai dengan prosentasi besarnya impor dari tiap negara pemasok secara rata-rata dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir. Untuk masa berlaku tindakan pengaman tetap yaitu : Ø Tindakan pengamanan tetap hanya berlaku selama dianggap perlu untuk memulihkan kerugian serius dan untuk memberikan waktu penyesuaian struktural bagi industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Ø Tindakan pengamanan adalah paling lama 4 (empat) tahun dan dapat diperpanjang maksimun 8 tahun atau 10 tahun untuk negara berkembang. Ø Dalam hal tindakan pengamanan telah diberlakukan lebih dari 3 (tiga) tahun, komite melakukan pengkajian atas tindakan pengamanan dan memberitahukan hasil pengkajian tersebut sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku tindakan pengamanan berakhir kepada pihak berkepentingan. Dalam kesepakatan Safeguard WTO di persyaratkan keharusan dilakukannya penyelidikan sebelum tindakan safeguard tersebut ditetapkan. Adapun lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan di indonesia adalah komite pengaman perdagangan indonesia (KPPI). KPPI harus membuktikan bahwa lonjakan barang impor mengakibatkan menurunnya kinerja atau mengancam akan menurunkan kinerja industri dalam negeri kepada semua pihak yang terkait dengan kasus tersebut harus diberitahu rencana penetapan tindakan safeguard tersebut dan kepada para eksportir diberikan kesepakatan yang cukup waktunya untuk memberikan pandangan atau pendapat mereka. KPPI dalam melakukan penyelidikan dapat atas inisiatif sendiri atau atas permohonan dari dunia usaha atau organisasi usaha / pekerja. Dalam pasal 8 Keputusan Presiden No. 84 tahun 2002 ditentukan penyelidikan yang dilakukan oleh komite harus selesai dalam waktu 200 (dua ratus) hari sejak penetapan dimulainya penyelidikan. (ayat 1). Dalam hal hasil penyelidikan ternyata tidak ada bukti kuat yang menunjukan industri dalam negeri mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius sebagai akibat dari lonjakan impor, komite menghentikan penyelidikan tindakan pengamanan (pasal 7 ayat 1). Komite dapat merekomendasikan tindakan pengamanan sementara dalam bentuk bea masuk, yaitu dalam hal (pasal 9 Keputusan Presiden No. 84 tahun 2002). Ø terdapat suatu bukti kuat bahwa terjadinya lonjakan mpor dari barang terselidik telah mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius; atau Ø lonjakan impor dari barang terselidik menimbulkan kerugian seirus industri dalam negeri ysng akan sulit dipulihkan apabila tindakan pengamanan sementara terlambat diambil . mengenai prosedur penyelidikan tindakan pengamanan (safeguard ) untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini : Grafik 2 Prosedur Penyelidikan Tindakan Pengamanan (safeguards) Pemohon Tidak Lengkap Aplikasi Permohonan Kuesioner Kepada Petisioner Kelengkapan Informasi Pemberian Bimbingan Teknis Peningkatan Impor Lengkap Analisis bukti awal Kerugian serius / Ancaman kerugian serius Verifikasi data/ imformasi Petsioner Pre Notifikasi Kelayakan permohonan dan perhitungan provisional Measure Layak ? Seminar Lanjutan : Layak? Seminar Penutupan atau inisiasi & Tindakan pengamanan sementara Notifikasi & Pengiriman Kuesioner H 30 Jawaban kuesioner pihak yang berkepengtingan Bimbingan Teknis H 35 Verifikasi data / informasi H0 H 50 H 60 H 165 Penyusunan Laporan Laporan Sementara Dengar pendapat H 167 Masukan dari pihak berkepentingan & terkait H 170 SEMINAR H 180 H 200 Pihak terkait / berkepentingan Pihak terkait / berkepentingan Mendag Rapat anggota KPPI Menteri Keuangan Lap. Final & Rekomendasi Pihak terkait / berkepentingan Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Sebagai pihak berkepentingan sebagai pemohon adalah : a) Produsen dalam negeri Indonesia yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius akibat lonjakan impor barang sejenis, barang terselidik dan atau barang yang secara langsung bersaing. b) Asosiasi produsen barang sejenis, barang terselidik dan atau barang yang secara langsung bersaing. c) Organisasi buruh yang mewakili kepentingan industri dalam negeri barang sejenis barang terselidik dan atau barang yang secara langsung bersaing. Persyaratan mewakili industri dalam negeri adalah volume produksi secara kolektif maupun individu pemohon lebih besar 50% dari total produksi nasional. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam kesepakatan safeguard yaitu. 1. setiap negara importir yang ingin meakukan tindakan safeguard harus terlebih dahulu melakukan penyelidikan untuk membuktikan bahwa lonjakan impor benar-benar telah mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri dalam negerinya yang memproduksi barang yang sejenis atau mendapatkan saingan langsung dari barang impor tersebut 2. kepada semua pihak yang terkait termasuk eksportir harus diberitahu dan diumumkan rencana tindakan safeguard tersebut dipenerbitan resmi pemerintah. Bersamaan dengan itu disampaikan juga notifikasi ke kominte on safeguards WTO agar dapat didistribusikan kepada semua negara anggota WTO. 3. Tindakan safeguard dapat ditetapkan dalam bentuk kuota atau bea masuk. Setiap tindakan safegard yang telah ditetapkan harus dilakukan pengurangan secara bertahap sampai batas waktu pengenaan nya. Umumnya tindakan safeguards tidak lebih dari 4 tahun dan dapat diperpanjang 4 tahun berikutnya, khusus bagi negara berkembang diperkenankan menetapkan sampai dengan paling lama 10 tahun. Apabila tindakan safeguards ditetapkan lebih dari tiga tahun maka negara yang mengambil tindkan tersebut harus memberikan konvensasi atau konsisi yang imbang berupa kemudahan akses pasar bagi negara yang dikenakan tindakan safeguards tersebut. Dengan adanya kesepakatan safeguards WTO tersebut maka semua industri dalam negeri dan para ekpotir memdapatakan perlindungan dan kepastian hukum yang jelas atas tindakan safeguard. Untuk industri dala negeri mendapat perlindungan dari serangan impor dan para ekport terhindar dari tindakan sewenang-wenang negara tertentu, karena ada kepastian harus mendapatkan informasi yang cepat dan diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau buki-bukti tidak tepatnya tuduhan yang ditujkan kepada mereka. Lingkup tindakan pengamanan perdagangan di indonesia lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik 3 Lingkup Tindakan Pengamanan Perdagangan indonesia Pengamanan Perdagangan Pengamanan industri dalam negeri 9 offensive KADI & KPPI Pengamanan pasar luar negeri (Deffensive) Direktorat pengamanan perdagangan > Antidumping > anti subsidy > Tindakan Safeguard Penyelidikan (investigasi) Ø Tuduhan Dumping Ø Tuduhan Subsidi Ø Tindakan safeguards Advokasi / Pembelaan Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Dalam periode tahun 2008-bulan juni 2009 beberapa negara telah melakukan penyelidikan safeguards. Mesir telah melakukan pengumuman (inisiasi) untuk produk cotton yarn dan blend. Dalam tempo yang tidak terlalu lama india melakukan penyelidikan terhada dua produk ekspor idonesia yaitu Phthallic Anhy dride, 2008 dan coated & uncoated paper, 2009. dengan demikian tidak menutup kemungkinan negara anggota lainnya menggunakan safeguard untuk melindungi industri dalam negerinya dari kebangkrutan110. 110 Ibid h.17-18 BAB IV Kebijakan Pemerintah Berkaitan Dengan Tuduhan Dumping Oleh Produsen Indonesia Kepada Negara Pengekspor 4.1. Pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) 4.1.1. Dasar Hukum Pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Pada tanggal 4 Juni 1998 pemerintah mengeluarkan paket deregulasi yang mencakup sasaran yang cukup luas, yaitu meliputi sebelas langkah yang terdiri atas : a. kelanjutan penjadwalan penurunan tarif bea masuk. b. perubahan tarif bea masuk tambahan. c. Penghapusan bea masuk tambahan . d. Penyederhanaan tata niaga impor. e. Ketentuan anti dumping. f. Kemudahan ekspor. g. Kemudahan pelayanan bagi perusahaan eksportir tertentu di sektor tertentu. h. Penyederhanaan perijinan bagi industri i. Penyelenggaraan tempat penimbunan berikat / gudang. j. Kelonggaran kegiatan ekspor dan impor bagi perusahaan PMA manufaktur k. Penyederhanaan produsen impor limbah untuk bahan baku industri. Ketentuan tentang anti dumping sebagaimana tersebut dalam huruf e, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 tentang bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan sebagai hukum materialnya, pada bab II Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan tentang Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah tersebut maka dibentuklah Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) bedasarkan keputusan menteri perindustrian dan perdagangan Nomor 13/MPP/Kep/6/1996 tanggal 4 juni 1996 . tetapi dengan dikeluarkannya surat keputusan menteri perindustrian dan perdagangan Nomor 430/MPP/Kep/10/1999 diubah lagi pada tahun 2000 dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 427/MPP/Kep/10/2000 disempurnakan lagi selanjutnya dengan keputusan menteri perindustrian dan perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000 diatur tentang penunjukan dan pengangkatan anggota Komite Anti Dumping (KADI). Mengenai struktur kepegawaian Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dibentuk berdasarkan keputusan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Nomor 346/KADI/Kep/10/2000 tentang penunjukan dan pengangkatan kepala bidang dan anggota di lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merupakan otoritas pemerintah Republik Indonesia yang bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan upaya menanggulangi praktek perdanggangan yang merugikan Indonesia yang dilakukan oleh pihak luar negeri berupa ekspor dengan barang dumping dan barang mengandung subsidi yang dapat menimbulkan kerugian (injury) bagi industri dlam negeri yang memperoleh barang sejenis. Dengan berpedoman pada Article VI dan Article XIV Agreement Establishing The World Trade Organization(WTO). Dengan adanya keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangn tersebut, maka Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merupakan satu-satunya instrumen yang legal yang dapat dipakai untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan barang impor yang tidak fair yang masuk ke Indonesia dengan harga dumping atau mengandung subsidi. Dengan dibentuknya Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) itu maka produsen ekportir Idonesia yang dituduh melakukan praktik perdagangan yang tidak sehat di negara tujuan ekspor akan mendapatkan perlindungan maupun pembelaan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) tersebut. 4.1.2. Struktur Kelembagaan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merupakan lembaga / organisasi pemerintah non struktural yang dalam melakukan tugas-tugasnya bersifat Independen. Berdasarkan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000, ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dijabat oleh pejabat eselon 1. ketua,wakil ketua, dan anggota serta sekretaris Komite Anti Dumping Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Dalam melaksanakan tugasnya Ketua Komite Anti Dumping (KADI) mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Menteri Perindustrian dan perdagangan. (pasal 9 dan 10 Keputusan menteri perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/2000). Dengan demikian Komite Anti Duping Indonesia (KADI) dalam melaksanakan tugas-tugasnya berada dibawah kordinasi Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Sebagai anggota Komite Anti Dumping Indoseia (KADI) adalah : Ø Direktorat Jendral bea dan cukai Ø Departemen keuangan . Ø Dirjen perdagangan luar negeri. Ø Departeen perdagangan Ø Dirjen KPI Ø Dirjen Ilmta Ø Depaertemen perindustrian Ø Dirjen IAK Sekretaris membawahi kepala bidang-kepala bidang dan ada lima bidang, yaitu bidang pengaduan, bidang penyelidikan dumping dan subsidi, bidang pengkajian kerugian, bidang hukum dan bidang umum, dibawah bidang tersebut ada investigator dan staff. Mengenai struktur kelembagaan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) jika digambarkan dalam bentuk bagan akan tampak seperti bagan dibawah ini : Struktur Organisasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Berdasarkan SK Memperindag No. 428/MPP/Kep/10/2000, dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik 4 Struktur Organisasi Komite Anti Indonesia (KADI) Anggota : Dirjen Bea & Cukai - Depkeu Dirjen DAGLU – Depdag Dirjen KPI – Depdag Dirjen ILMTA – Deprin Dirjen IAK – Deprin Deputi IV Bidang Koord. Industri dan Perdagangan – Kementrian Koordinator Bid. Perekonomian RI. Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian – Deptan Staff ahli Menteri Bidang Ekonomi Sosial dan Budaya - DKP Kepala Bidang Pengaduan Kepala Bidang Penyelidikan Dumping dan Subsidi Ketua KADI Sekretaris Kepala Bidang Pengkajian Kerugian Kepala Bidang Hukum INVESTIGATOR DAN STAFF Kepala Bidang Umum 4.1.3. Tugas Pokok Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dibentuk untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan dumping dan barang mengandung subsidi. Dengan demikian Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) selain sebagai lembaga teknis administrasi, juga sebagai lembaga penegak hukum terutama yang berkaitan dengan bidang anti dumping. Hal ini sesuai dengan tugasnya yaitu yang juga melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping atau barang mengandung subsidi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 keputusan menteri perindustrian dan perdagangan No. 427/MPP/Kep/10/2000dan juga pasal 17 ayat (1) peraturan Pemerintah Nomor. 34 tahun 1996 tentang bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mempunyai tugas pokok yaitu : Ø Melakukan penelitian terhadap barang dumping dan barang mengandung subsidi. Ø Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi Ø Menguulkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan Ø Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh menteri perindustrian dan perdagangan, dan Ø Membuat laporan pelaksanaan tugas. Selain menangani penyelidikan anti dumping ataupun anti subsidi, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komite anti dumping antara lain : Ø transfer pengetahuan (transfer of knowledge) yang diberikan oleh tenaga ahli dan pimpinan /anggota Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang telah berpengalaman Ø Pelatihan bahasa Inggris dan Cost Accounting dan Auditing, yang materinya diarahkan untuk menunjang kemampuan investigator dalam menjalankan tugasnya. Ø Sehubungan dengan tugas yang diemban Komite Anti Duping Indonesia (KADI), maka Komite Anti Dumping berkewajiban untuk mensosialiasikan semua peraturan perdagangan dunia yang telah diratifikasi dengan tujuan agar masyarakat, khususnya dunia usaha Indonesia tidak menjadi korban praktik perdagangan yang tidak sehat atau unfair trade practice, baik melalui praktik dumping maupun subsidi. Ø Monitoring / evaluasi pengenaan Bea Masuk Anti Dumping kepada produsen / eksportir / importir dalam negeri.111 Dengan berdasarkan tugas pokok Komite Anti Dumping (KADI) tersebut, maka dapat disebutkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya melindungi industri dalamnegeri dari praktek dumping, dengan diberlakukannya keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 428/MPP/Kep/10/2000, dimana ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dijabat oleh pejabat eselon satu. Hal ini dirasakan kurang efisien dan kurang efektif bagi para penyidik Anti Dumping di Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang sifatnya mengusulkan pengenaan bea masuk anti dumping berdasarkan temuan dan analisisnya terhadap dugaan praktik dumping kepada menteri perindustrian dan perdagangan, dalam hal ini 111 Christhophorus Barutu 3, Op.cit, h.159. membutuhkan waktu yang lama untuk diproses atau diputuskan oleh menteri perindustrian dan perdagangan untuk kemudian diteruskan kepada menteri keuangan atau bahkan atas dasar pertimbangan tertentu tidak diteruskan kepada menteri keuangan untuk ditetapkan menjadi sebuah keputusan.112 4.1.4. Penyelidikan Oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Dengan dibentuknya Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) maka indonesia telah memiliki lembaga yang bertugas selain sebagai lembaga teknis administratif, juga sebagai lembaga penegak hukum di bidang anti dumping, karena sesuai dengan tugasnya yang juga melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping atau barang mengandung subsidi. Selain Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sebagai lembaga penyelidik atas dugaan praktik dumping, terdapat juga lembaga pemerintah lainnya yang akan menindaklanjuti hasil temuan dan analisis Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk menetapkan bea masuk anti dumping atau bea masuk imbalan yaitu menteri perindustrian dan perdagangan, dan menteri keuangan. Setiap industri dalam negeri secara perorangan atau kelompok yang mengalami kerugian karena adanya barang impor yang dijual secara dumping atau mengandung subsidi dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)113. Dengan adanya permohonn (petisi) yang diajukan oleh produsen dalam negeri perihal adanya tuduhan praktik dumping oleh negera importir, maka berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) akan melakukan penyelidikan 112 113 Yulianto Syahyu, Op.cit, h. 97-98. . Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), Dalam Christhophorus Barutu.3, op.cit, h.158 awal dari hasil penyelidikannya itu dan bukti-bukti yang diajukan, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) memberikan keputusan menolak atau mnerima. Jika permohonan memenuhi syarat, maka permohonan diterima dan Komite Anti Dumpig Indonesia (KADI) akan memulai melakukakn penyelidikan. Berkaitan dengan kewenangan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk melakukan penyelidikan, berdasarkan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996, penyelidikan terhadap suatu barang yang diduga barang dumping Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dapat melakukannya apabila ada atau tanpa permohonan dari produsen dalam negeri. Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sebagai lembaga administrasi teknis yang melakukan penyelidikan atas dugaan praktik dumping, maka hasil temuan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) tersebut disampaikan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan kemudian dilanjutkan kepada Menteri Keuangan. Menurut Yulianto Syahyu dalam praktiknya tidak semua hasil temuan dan analisis Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang diusulkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan ditindak lanjuti, atau membutuhkan waktu yang lama untuk diteruskan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan. Dalam hal ini UndangUndang tidak mengaturnya sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian, juga tidak ada keharusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk menindaklanjuti temuan dan usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) tersebut.114. Penyelidikan Anti Dumping yang ditangani Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dari tahun 1996 sampai dengan sekarang yaitu : Penyelidikan Anti Dumping yang Diinisiasi : a). Penyelidikan yang dikenakan Bea Masuk Anti Dumping 114 Yulianto Syahyu, Op.cit, h. 100 15 Produk b). Penyelidikan yang ditutup karena tidak ada injury, tidak ada hubungan causal dan permintaan petisioner 13 Produk c). Penyelidikan yang sedang dalam Proses 1 Produk Jumlah 29 Produk Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Penyelidikan yang Telah Dikenakan Bea Masuk No. Produk Negara Yang Dituduh 1 Hot Rolled Coll India, Rusia, RRC dan Ukraina 2 Wire Rod India dan Turki 3 India 4 Amphicillin dan Amoxillin Trydirate Tin Plate Jepang, Republik Korea, Taiwan dan Australia Bea Masuk Anti Dumping Tetap 5 H & I Section Rusia dan Polandia 6 Ferro & Sillicon mangaan Sorbitol RRC Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap RRC dan Malaysia 11 Calcium Carbide Carbon Black Carbon Black* Uncoated Writing & Printing Paper Paracetamol 12 Wheat Flour RRC dan India 13 Fillipina 14 Canvendish Bananas Wheat Flour 15 Hot Rolled Coll 7 8 9 10 Uni Eropa India, Thailand, dan Republik Korea India, Malaysia, Finlandia, dan Republik Korea RRC dan USA Uni Emirab Arab India, Rusia, Thailand, China, dan Taiwan *Review / Pengenaan dilanjutkan Keterangan Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Bea Masuk Anti Dumping Tetap Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Penyelidikan Yang Ditutup Karena Tidak Ada Injury, Kausal Link, Permintaan petitioner No. Produk Negara Yang Dituduh Keterangan 1 Synthetic Fiber Taiwan 2 Synthetic Fiber Republik Korea 3 Carbon Black India dan Thailand Tidak ada hubungan kausalitas antara Dumping & Injury Tidak ada hubungan kausalitas antara Dumping & Injury Tidak Ditemukan Injury 4 Newsprint White USA, Canada dan Perancis Permintaan Petitioner 5 Welded Pipe RRC, Republik Korea, Jepang, Dan Singapura 6 Ferro & Sillicon mangaan India, Republik Korea Dan Singapura Petitioner tidak mempunyai persyaratan untuk mewakili Industri Dalam Negeri Permintaan Petitioner 7 Hot Rolled coll/Plate India, Rusia, RRC dan Ukraina Tidak ada Injury 8 Wheat Flour Permintaan Petitioner 9 Pipa Baja Longitudinal UE Arab, Australia dan Uni Eropa Jepang 10 Phthallc Anhydride Rep. Korea, Jepang dan india Pertimbangan National Interest 11 Coasted Writing & Printing Paper Finland & Rep. Korea 12 Polyester Staple Fiber Taiwan, Rep.Korea dan Thailang 13 Amphicillin dan Amoxillin Trydirate India Tidak ada hubungan kausalitas antara Dumping & Injury Tidak ada hubungan kausalitas antara Dumping & Injury Petitioner tidak Berproduksi lagi Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Pertimbangan National Interest Penyelidikan Yang Sedang Dalam Proses No. Produk Negara Yang Dituduh keterangan 1 Sodium tripolyphosphate RRC Inisiasi tgl. 29 Juni 2007 Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) 4.2. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, Bea Masuk Pembalasan, Pengaturan dan Penetapan. 4.2.1. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping. Seperti yang diketahui perdagangan impor mencakup dua faktor pokok yaitu perdagangan barang dan jasa. Dalam perdagangan barang dikenal dua jenis, yaitu tariff dan non tariff. Hal ini sesuai dengan perundingan Tokyo Round bulan November 1979 yang mengahasikan perjanjian yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan tariff maupun masalah non tariff sebagai berikut115. Ø dalam bidang tariff. dalam bidang tariff atau bea masuk hasil tokyo round yang telah disetujui mencakup beberapa ribu hasil industri dan pertanian penurunan ini secara bertahap diterapkan dalam batas waktu 8 Tahun dan selesai pada 1 januari 1987. nilai perdagangan dari produk ekspor yang memperoleh kesepakatan penurunan bea masuk, yang diperlakukan secara nondiskriminatif atau berdasarkan prinsip Most-favored nation (MFN), dan dengan komitmen 115 . H.S. Kartadjoemena, 1996, GATT dan WTO, Sistem, forum, dan lembaga internasional di bidang perdagangan, UI Press, Jakarta, h. 124 secara mengikat atau dengan komitmen mengenakan binding, mencapai jumlah US$ 300 miliar pada tahun 1981. Ø dalam bidang non tariff. di bidang non-tariff, hasil yang dicapai dalam Tokyo Round sebagai berikut : a). pengaturan yang lebih terinci mengenai tindakan non-tariff (non-tariff measures) seperti subsidi countervailing duty atau bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi langkah subsidi yang diambil oleh suatu negara pengespor. b). ketentuan yang lebih terinci mengenai hambatan rintangan teknis yang diperlakukan terhadap perdagangan internasional (technical barriers to trade). c). ketentuan yang dirinci mengenai pembelian dalam bentuk impor sektor pemerintah, atau goverment procurement. d). ketentuan yang dirinci mengenai prosedur dalam pemberian lisensi impor. e). penyesuaian dan perubahan dalam kode GATT mengenai anti-dumping yang dirumuskan dan disetujui pada tahun 1967. f). ketentuan mengenai hasil tropis. g). ketentuan mengenai hasil daging sapi atau Arrangement Regarding Bovine Meat. h). ketentuan yang terinci mengenai hasil ternak atau International Dairy Arrangement. i). perjanjian mengenai perdagangan bebas dalam pesawat terbang sipil. Di bidang non tariff, perjanjian hasil Tokyo Round yang berlaku hanya bagi negara yang turut dalam perjanjian-perjanjian khusus tersebut adalah sebagai berikut : 1. Subsidies and Countervailing Measures. Negara-negara yang menandatangani code ini memberi komitmen bahwa subsidi yang diberikan kepada industri domestik tidak mengganggu kepentingan perdagangan negara lain. Sebaliknya, countervailing measures atau langkah “balasan” yang diambil oleh negara lain tidak mengganggu arus perdagangan secara berlebihan. Lagi pula langkah “balasan” tersebut hanya dapat diterapkan bila dapat dibuktikan bahwa barang impor yang telah memperoleh subsidi di negara asalnya telah mengganggu dan merusak kepentingan industri dalam negeri negara tujuan, atau diduga akan merusak kepentingan industri dalam negeri tersebut. 2. Technical Barries to Trade. Perjanjian ini juga dikenal sebagai Standars Code. perjanjian ini mengikat negara yang menandatanganinya untuk menjamin agar bila suatu pemerintah atau instansi lain menentukan peraturan teknis atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap konsumen dan lingkungan hidup, atau untuk keperluan lain, maka peraturan, standar dan testing serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional. 3. Import Licensing Procedures. Perjanjian ini mengakui bahwa lisensi impor dapat merupakan hal yang diperlukan dan penerapan sistem lisensi diakui kegunaannya, namun demikian, diakui pula bahwa sistem lisensi dapat menghambat perdagangan internasional. Code ini bermaksud untuk mengatur agar sitem lisensi impor tidak dibuat sebagai sistem untuk membatasi impor. Negara yang menandatangani code ini mengambil komitmen agar pemerintahnya menerapkan sistem lisensi impor yang sederhana dan mengadministrasikannya secara netral dan adil. 4. Government Procurement. tujuan code ini untuk menerapkan persaingan dalam kompetisi internasional untuk memperoleh kontrak pembelian negara. Perjanjian ini antara lain menentukan peraturan dalam cara, mengundang, mengajukan, dan memberikan tender. Perjanjian ini dibuat agar Undang-undang, peraturan, prosedur, dan praktek mengenai pembelian Negara menjadi lebih transparan. Dan lebih menjamin agar sistem pembelian tersebut tidak memproteksi produsen domestik dan mendiskriminasi produk dan suplier luar negeri. Bagi negara-negara yang menandatangani code ini, peraturan nya berlaku untuk kontrak minimal SDR 130.000 bagi pembelian instansi pemerintah yang terdaftar. 5. Custom Valuation. Perjanjian ini menentukan sistem yang adil, uniform dan netral dalam menentukan valuasi barang-barang untuk keperluan pabean yang sesuai dengan kenyataan praktek dunia perdagangan dan melarang cara penentuan valuasi yang arbitrer dan fiktif. Perjanjian ini mengandung serangkaian peraturan mengenai valuasi dan meluaskan serta lebih merinci peraturan mengenai valuasi yang telah diterapkan di GATT. Negara berkembang diberi kesempatan untuk menangguhkan penerapkan perjanjian ini selama 5 tahun, dan diberi lebih banyak wewenang untuk mengatasi praktek-praktek valuasi yang mengandung potensi untuk menjadi tidak adil atau unfair. 6. Revised GATT Anti-Dumping Code. perjanjian ini mencakup barang-barang yang dianggap dipasarkan secara dumping yang menurut ketentuan adalah barang yang dijual di luar negeri di bawah harga yang berlaku di negara asal. Perjanjian ini merupakan penyesuaian dari perjanjian sebelumya, yakni GATT Anti-Dumping Code, yang dirundingkan pada waktu Kennedy Round (19641967). Perjanjian baru ini memberi interpretasi mengenai pasal VI dari tesk General Agreement yang menentukan syarat mengenai bagaimana suatu anti-dumping-duty dapat dikenakan terhadap barang impor yang masuk dengan harga dumping. 7. Hasil Pertanian. Negara yang turut serta dalam perundingan Tokyo Round juga menandatangani dua perjanjian khusus di bidang pertanian yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1980 bagi negara yang menandatanganinya. Perjanjian tersebut adalah : a). Arrangement Regarding Bovine Meat. Perjanjian ini bertujuan untuk mengembangkan ekspansi, liberalisasi dan stabilitas dalam perdagangan internasional di bidang daging sapi dan ternak hidup, serta menerapkan perbaikan dalam kerja sama internasional di bidang ini. Perjanjian ini mencakup daging sapi, daging sapi muda (veal) dan ternak hidup. Berdasarkan perjanjian ini telah dibentuk International Meat Counsil dalam GATT yang mengadakan pengawasan mengenai pelaksanaan perjanjian serta melakukan evaluasi mengenai permintaan dan penawaran dalam pasaran di bidang ini. Dewan ini juga mengadakan konsultasi secara terjadwal mengenai semua masalah yang menyangkut perdagangan di bidang ini termasuk komitmen bilateral dan multilateral. b). International Dairy Arrangement. Perjanjian ini bertujuan untuk mengadakan liberalisasi dan mengembangkan perdagangan di bidang hasil ternak di luar daging, yaitu dairy products, termasuk susu, susu bubuk, keju dan lemak susu seperti mentega. Perjanjian ini menentukan lebih lanjut bahwa di samping bertujuan untuk mengadakan liberalisasi dan mengembangkan perdagangan internasional di bidang ini, juga bertujuan mencapai stabilitas yang lebih terjamin dalam perdagangan di sektor ini untuk kepentingan negara importir dan eksportir, mencegah surplus dan kekurangan, serta fluktuasi harga yang berlebihan, membantu pembangunan ekonomi dan sosial negara berkembang, dan memperbaiki kerja sama internasional di bidang ini. Perjanjian ini juga mengandung tiga protokol yang menentukan perlakuan kebijaksanaan di bidang ini, termasuk harga minimum ekspor, pengaturan dalam perdagangan di bidang susu bubuk, lemak susu termasuk mentega dam berbagai keju. Perjanjian ini diawasi penerapannya oleh international Dairy products Counsil. 8. Perdagangan di Bidang Pesawat Terbang Sipil. Beberapa negara peserta perundingan Tokyo Round dari kalangan negara maju pada tanggal 1 januari 1980 telah menyetujui perjanjian untuk menghapuskan semua bea masuk dan berbagai pungutan serupa untuk pesawat terbang sipil, suku cadang dan reparasi. Bagi mereka penghapusan ini berlaku binding, atau mengikat dalam GATT. Lagi pula perlakuan ini berupa most-favored nation (MFN) jadi berlaku juga untuk negara lain anggota GATT. Perjanjian ini mengandung annex yang mendaftar produk yang tercakup dalam pembebasan bea masuk ini, termasuk pesawat penumpang, helikopter, glider, alat pemanas makanan dalam pesawat dan topeng zat asam. Pada tahun 1983 dan 1984 daftar dalam annex tersebut diperluas dan berlaku mulai 1 Januari 1985. Dalam perdagangan yang berkaitan dengan non-tariff diantaranya meliputi kebijakan tata niaga impor. Kebijakan tata niaga impor merupakan bagian dari kebijakan perdagangan yang memagari kepentingan nasional dari berbagai pengaruh masuknya barang-barang impor dari negara lain, dalam pelaksanaannya akan mengacu kepada Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia yang memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap negara anggota WTO dalam merumuskan dan medelegasikan kebijakan perdagangan internasional termasuk kebijakan impor. Selain rambu-rambu tersebut WTO juga memberikan peluang-peluang yang sifatnya terbatas yang dapat dimanfaatkan oleh setiap negara anggota untuk kepentingan nasional.116 Berkaitan dengan itu pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan disamping beberapa peraturan lainnya, tetapi Undangundang itu sudah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Undang-undang No.17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan ( Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 No.93) tanggal 15 116 . Direktorat jendral perdagangan luar negeri, Departemen perindustrian dan perdagangan, 2003, kebijakan umum dibidang impor, Jakarta, h. 1. november 2006. dalam Undang-undang No. 17 tahun 2006 diatur secara lebih luas yaitu tidak hanya diatur mengenai bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan sebagaimana diatur dalam Bab IV Undang-undang no. 10 tahun 1995, tapi diperluas yaitu Bab IV ditambahkan dengan bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk pembalasan, serta pengaturan dan penetapan. Bea masuk anti dumping nerupakan salah satu bentuk hambatan tariff yang ditepkan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri, jika harga produk dari luar negeri lebih murah dari produk dalam negeri yang sejenis, tetapi jika ternyata tidak ditemui adanya unsur dumping, maka pemerintah menggunakan instrumen lain seperti meningkatkan bea masuk atau menggunakan habatan non tariff, seperti membatasi importir dengan syarat-syarat tertentu yang dapat menghambat masuknya barang impor tersebut.117 Pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan digabungkan dengan pengaturan mengenai peryaratan dan tata cara bea masuk tindakan pengamanan dan bea masuk pembalasan yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Dalam Pasal 18 Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan yang dikecualikan pencabutannya dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2006 ditentukan bahwa bea masuk anti dumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal : a). harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya., dan b). impor barang tersebut : Ø menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut. 117 Yulianto syahyu, Op.cit h. 125. Ø Mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut., atau Ø Menghalangi pengembangan industri barang sejenis dalam negeri. Dari ketentuan Pasal 18 tersebut terdapat beberap unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan bea masuk anti dumping terhadap barang impor, yaitu : Ø harga lebih rendah dari nilai normal (less dhan fair value) Ø kerugian terhadap industri dalam negeri (injury to the domestic industry) Ø mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri ( threaten injury) Ø menghalangi pengembangan industri barang sejenis (the establishment of a domestic industry)118 Dalam pasal 19 Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan ditentukan : • ayat (1). Bea masuk anti dumping dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut. • ayat (2). Bea masuk anti dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). Dari ketentuan Pasal 19 tersebut diatas dapat disebutkan bahwa besarnya bea masuk anti dumping diperoleh dari perhitungan paling tinggi dari selisih antara harga normal dan harga ekspor barang. 118 Christhophorus Barutu.3, Op.cit, h. 133. Bagi industri dalam negeri pengaturan ketentuan anti dumping sangat diperlukan sehingga produsen dalam negeri dapat menempuh prosedur-prosedur yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 apabila mereka terancam kerugian akibat dari impor barang dengan harga dumping. Menurut Taufik Abbas Strategi yang perlu dilakukan untuk melakukan tuduhan dumping adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi pressure yang terdiri atas: Ø pressure dalam negeri, yang meliputi : 1. pressure dari industri hilir (konsumen dalam negeri) 2. pressure dari industri hulu (produsen dalam negeri) Ø pressure dari luar negeri, yang meliputi : 1. pressure dari produsen luar negeri 2. pressure dari negara yang industrinya dituduh dumping Ø pressure dari WTO.119 Adapun cara-cara untuk menghindari pressure adalah sebagai berikut : 1. pelaksanaan harus dilakukan secara profesional dan hati-hati. 2. semua ketentuan-ketentuan WTO harus diperhatikan dan jangan dilanggar, mulai dari inition of proceeding sampai final determination 3. menjamin hak-hak pihak yang berkepentingan (intrested parties) Berdasarkan kebijaksanaan dan strategi diatas maka untuk melakukan tuduhan dumping harus betul-betul mempunyai bukti yang kuat dan telah memenuhi syaratsyarat yang ditentukan oleh WTO. Menurut sukarmi untuk dapat dikenakan bea masuk anti dumping harus memenuhi syarat, yaitu : 1. adanya harga pokok yang sama dijual lebih murah dibawah harga domestik negara asal barang. 119 . Sukarmi, op.cit h, 158. 2. harga itu menyebakan kerugian, dan 3. adanya Causal Link antara harga dumpig dengan kerugian yang timbul.120 Pemerintah pada tahun 1996 juga pernah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan penurunan tariff bea masuk dalam rangka memberikan kepastian usaha dalam menentukan rencana investasi dan rencana produksi, yaitu berdasarkan keputusan menteri keuangan No. 378/KMK. 01/1996 dan diatur pula pengecualiannya, yaitu : 1. jadwal penurunan tariff atas beberapa produk pertanian tertentu yang diatur tersendiri. 2. penurunan tariff atas beberapa produk otomotif 3. penuruna tariff atas beberapa produk kimia, barang olastis dan logam sekitar 10% 4. tariff produk alkohol sulingan dan minuman yang mengandung alkohol dibidang non-tariff, sebagai hasil dari langkah penyesuaian di bidang tata niaga impor telah dibebaskan tata niaga impor untuk sejumlah 77 pos tariff yang meliputi susu dan produk susu, gandum, beras, cengkeh, tepung kedelai, gula dan, kendaraan bermotor. Bagi perusahaan yang melakukan perdagangan impor harus memiliki Angka Pengenal Importir (API), yang gunanya untuk memudahan pengawasan, tetapi yang terjadi masih adanya pelanggaran oleh importir/ perusahaan, dengan maksud dan tujuan yang negatif, maka dengan adanya pelanggaran ini Departemen perindustrian dan 120 . Sukarmi, Loc.cit perdagangan akan melaksnakan kebijasanaan angka pengenal importir (API) yang sesuai dengan tujuannya121 4.2.2. Pengenaan Bea Masuk Imbalan Ketentuan pasal Pasal 20 Undang-undang No. 10 tahun 1996 , tentang kepabeanan dihapus, sedangkan Pasal 21 yang tidak dihapus mengatur tentang bea masuk imbalan. Dalam Pasal 21 tersebut ditentukan, bahwa bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang impor dalam hal : a. ditemukan adanya subsidi yang diberikan di negara pengekspor terhadap barang tersebut, dan b. impor barang tersebut : • menyebakan kerugian terhdap industri dalam negeri yang negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut. • Mengancam terjadinya terhap industri dalam memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut c. Menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. ketentun pasal 21 Undang-undang No.10 Tahun 1996 secara substansi menguraikan mengenai perihal pengenaan bea masuk imbalan terhadap tindakan subsidi di mana barang yang disubsidi mengakibatkan terjadinya hal-hal seperti timbulnya kerugian terhdap industri dlam negeri, ancaman kerugian, dan terhambatnya pengembangan industri barang sejenis (Like Product) 122 121 Direktoral Jendral perdagangan luar negeri, departemen perindustian dan perdagangan, 2003 op.cit. h 2-3 122 Christhophorus Barutu.3, op.cit h.135 Selanjutnya yaitu Pasal 22 Undang-undang No. 10 Tahun 1996 yang tidak dicabut dengan dikeluarkannya Undang-undang No.17 tahun 2006 ditentukan : • ayat (1). Bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 setinggi-tingginya sebesar selisih antara subsidi dengan : a. biaya permohonan, tanggungan, atau pungutan lain yang dikeluarkan untuk memperoleh subsidi, dan/atau b. pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk pengganti subsidi yang diberikan kepada barang tersebut • ayat (2). Bea masuk imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan pasal 12 ayat (1) 4.2.3. Pengenaan Bea Masuk tindakan Pengamanan Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.17 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan Bab IV ditambahkan 3 (tiga) bagian, yaitu bagian ketiga, bagian keempat dan bagian kelima. Bagian ketiga mengenai Bea Masuk Tindakan Pengamanan. Sebagaimana diketahui dan sebagai pertimbangan dari dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 84 Tahun 2002 tentang tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari akibat lonjakan Impor bahwa pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) melalui penurunan tarif dan penghapusan hambatan bukan tarif dapat menimbulkan lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat dicegah dengan Peraturan Perundang-undangan nasional yang mengatur tindakan pengamanan sehingga industri yang mengalami kerugian dapat melakukan penyesuaian struktural yang dibenarkan secara hukum berdasarkan ketentuan Agreement On Safeguard sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization. Berdasarkan keputusan Presiden No. 84 tahun 2002 tersebut, maka diaturlah pengenaan bea masuk tindakan pengamanan yaitu dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.10 Tahun 1995 tentang kepabeanan Bab IV bagian ketiga tentang bea masuk tindakan pengamanan, yaitu, Ø pasal 23A yang menentukan sebagai berikut : bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan terhadap barang impor dalam hal terdapat lonjakan barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan barang tersebut : a). Menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau barang yang secara langsung bersaing., atau b). Mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing Ø Pasal 23 B yang menentukan sebagai berikut : ayat (1). Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 A paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. ayat (2). Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan pasal 12 ayat (1). Dari ketentuan pasal 23 B tersebut dapat disebtkan bahwa besarnya bea masuk tindakan pengamanan di mana besarnya pungutan bea masuk paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Menurut penjelasan pasal 23 A, bahwa yang dimaksud dengan tindakan pengamanan (safeguard) adalah bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktur. Dalam hal tindakan pengamanan telah ditetapkan dalam bentuk kuota (pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan tidak harus dikenakan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari pemberlakuan ganda tindakan pengamanan, yaitu kuota dan pungutan bea masuk. Apabila dibandingkan dengan Article VI Agreement On Safeguard yang mengatur tindakan safeguard sementara, dapat disebutkan bahwa tindakan safeguard sementara hanya dapat dikenakan dalam bentuk peningkatan bea masuk, sedangkan article VI mengatur tentang tindakan safeguard tetap dimana disebutkan bahwa tindakan safeguard tetap dapat ditetapkan dalam tiga bentuk, yaitu : a. Peningkatan bea masuk b. Penetapan kuota impor c. Merupakan kombinasi dari peningkatan bea masuk dan penetapan kuota impor. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian serius adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut harus didasarkan pada (shall be based on) fakta-fakta bukan didasarkan pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan. Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak wajar oleh suatu negara misalnya dengan pembatasan, larangan, atau pengenaan tambahan bea masuk barangbarang dari negara yang bersangkutan dapat dikenakan tarif yang besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud daam pasal 12 ayat (1) 4.2.4. Pengenaan Bea Masuk Pembalasan Pengenaan bea masuk pembalasan diatur dalam Bab IV bagian ke empat Yang merupakan tambahan dari Bab IV Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah dirubah dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan . Pengenaan bea masuk pembalasan diatur dalam pasal 23 C yang menentukan : Ø ayat (1) : bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang impor indonesia secara diskriminatif. Ø ayat (2) : bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan pasal 12 ayat (1). Dari ketentuan pasal 23 C tersebut dapat disebutkan bahwa pasal tersebut merupakan pasal yang mengakomodasi perberlakuan bea masuk pembalasan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang telah memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif di mana bea masuk di samping bea masuk yang dipungut berdasarkan pasal 12 ayat (1). 4.2.5. Pengaturan dan penetapan Bagian kelima ini adalah mengenai pengaturan dan penetapan yang diatur dalam pasal 23 D yang meyatakan bahwa : Ø ayat (1) : ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Ø ayat (2) : besar tarif masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri. Ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 1995 yang terdapat dalam pasal 25 ayat (2) dihapus, dan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga pasal 25 berbunyi sebagai berikut : Ø ayat (1) : pembebasan bea masuk diberikan atas impor : a) barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asal timbal balik, b) barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabat yang bertugas di Indonesia, c) buku ilmu pengetahuan, d) Barang kiriman hadiah/ hibah untuk keperuan ibadah untuk umum, amal,sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam, e) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat semacam itu yng terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam, f) Barang untuk keperluan penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, g) Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya, h) Persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang yang diperuntukan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara, i) Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara, j) Barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan k) Peti atau kemasan lain yang berisi jenasah atau abu jenasah, l) Barang pindahan, m) Barag pribadi penupang, awak sarana pengangkut, pelintas batas dan barang kiriman sampai batas nilai pabean dan / atau jumlah tertentu, n) Obat-obatan anggaran yang diimpor pemerintah dengan yang menggunakan diperuntukan bagi kepentingan masyarakat, o) Barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian, p) Barang yang telah dieskpor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat diekpor, q) Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan. Ø ayat (3) : ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri Ø ayat (4) : orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan bea masuk yang ditetapkan menuruut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya diabayar. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dari ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga pasal 26 berbunyi sebagai berikut : Ø ayat (1) : pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor : a) barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal, b) mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri, c) barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri untuk jangka wktu tertentu, d) peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan, e) bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan, f) hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin, g) barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena karena alamiah antara saat diangkut ke dalam daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai, h) barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditunjukan untuk kepentingan umum, i) barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi olahraga nasional, j) barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar negeri, k) barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor. Ø ayat (3) : ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Ø ayat (4) : orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undangundang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut : Ø ayat (1) : pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar atas : a) kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (5), pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha, b) Impor barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 dan pasal 26, c) Impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai, d) Impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkulitas lebih rendah ; atau e) Kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan pengadilan pajak. Ø ayat (2) : ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua) ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut : Ø ayat (1) : importir bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang sejak tanggal pemberitahuan pabean atas impor. Ø ayat (2) : bea masuk yang harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 15. Ø ayat (3) : bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah Ø ayat (4) : ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea masuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Ketentuan pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga pasal 32 berbunyi sebagai berikut : Ø ayat (1) : pengusaha tempat penimbunan sementara bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementara. Ø ayat (2) : pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementaranya : a) musnah tanpa sengaja, b) telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara ; atau c) telah dipindahkan ketempat penimbunan sementara lain, tempat penimbunan berikat atau tempat penimbunan pabean. Ø ayat (3) : perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk golongan barang yang tertera dalam pemberitahuan pabean pada saat barang tersebut ditimbun di tempat penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai. Ø ayat (4) : ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Dari pembahasan pada Bab sebelumnya maka dapat ditarik simpulan antara lain sebagai berikut : 5.1.1 Persetujuan-persetujuan World Trade Organization (WTO), yaitu Agreement On Implementasi of Article VI of the general agreement on tariff and trade 1994, anti dumping agreement ( Persetujuan tentang penerapan pasal VI dari persetujuan umum tentang tariff dan perdagangan 1994), agreement on subsidies and countervailing measure (persetujuan tentang subsidi dan tindakan imbalan), dan agreement on safeguard (persetujuan tentang tindakan pengamanan) yang secara kongkret mengatur masalah-masalah anti dumping, subsidi, dan tindakan pengamanan (safeguard). Ketiga instrumen pengamanan perdagangan tersebut dikenal dengan nama “Trade Remidies ”, mempunyai peran yang penting untuk melindungi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari kecurangan-kecurangan di bidang perdagangan yang dikenal sebagai praktik dumping. Selanjutnya dengan meratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization (WTO), maka dileburlah beberapa ketentuan yang berhubungan dengan anti dumping ke dalam Undangundang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) tanggal 30 Desember 1995 yang diakomodasi di dalam Bab IV mengenai bea masuk Anti – Dumpig dan Bea masuk imbalan. Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan diubah dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentng kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 Nomor 93) tanggal 15 november 2006. Dengan dikeluarkannya undangundang Nomor 7 tahun 2006 ketentuan Bab IV ditambahkan dengan bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk imbalan, dan bea masuk pembalasan. Produk-produk hukum lainnya yang terkait dengan upaya perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping adalah peraturan pemerintah nomor 34 tahun 1996 tentang bea masuk Anti Dumping dan bea masuk imbalan sebagai hukum materialnya, yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya beberapa keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan, yaitu keputusan menteri perindustrian dan perdagangan nomor 261/MPP/Kep/9/1996 sebagai hukum formalnya. Keputusan menteri Perindustrian dan perdagangan nomor 427/MPP/Kep/10/2000 mengenai pembentukan komite anti dumping indonesia (KADI). Disamping keputusan Menteri Perindutrian dan Perdagangan, juga dikeluarkan keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang tindakan pengamanan industri dalam negeri akibat lonjakan import. Peraturanperaturan tersebut walaupun bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri yang memproduksi barang-barang sejenis dari praktek dumping, tetapi sampai saat ini belum ada peraturan khusus dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur anti dumping sebagai hukum nasional. 5.1.2 Cara yang digunakan dalam menentukan adanya kerugian (injury)bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis adalah tidak semata-mata atas hal-hal yang berkaitan dengan yang dituduh dumping saja, tetapi faktor-faktor lain juga selayaknya dipertimbangkan, faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara pengimpor mengalami kerugian secara material, dari satu atau beberapa faktor ekonomi saja seperti yang diatur dalam article 3 ayat (4) agreement on implementation at article VI of GATT 1994 sudah dapat dijadikan petunjuk adanya suatu perusahaan mengalami kerugian secara material dan bergantung pada permasalahan yang ada. Faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara pengimpor tersebut, misalnya penurunan penjualan, keuntungan, pangsa pasar, produktifitas, return of investment, atau utilisasi kapasitas, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam negeri misalnya margin dumping, pengaruh negatif pada cash flow (arus kas), persediaan, tenaga kerja, upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal, atau investasi. Faktor-faktor tersebut yang digunakan untuk menentukan adanya kerugian (injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis kurang jelas dan terlalu luas, sehingga mengalami kesulitan dalam menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri. Hasil penyelidikan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) ada yang ditutup karena Komite Ani Dumping Indonesia (KADI) mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya kerugian (injury) Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) belum bisa mendifinisikan pengertian injury, bagaimana suatu kinerja itu bisa menyebabkan kerugian (injury). Keadaan tersebut akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bagi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) 5.1.3 upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang mengalami kerugian atau ancaman kerugian karena adanya barang impor yang dijual secara dumping atau mengandung subsidi dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) baik secara perorangan atau kelompok. Atas dasar permohonan tersebut, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) akan melakukan penyelidikan untuk membuktikan kebenaran adanya dumping atau subsidi tersebut, dan terjadinya kerugian atau ancaman kerugian yang disebabkan oleh barang impor tersebut. Jika terbukti akan ditetapkan besarnya perlindungan yang dapat diberikan dengan menaikan bea masuk impor. 5.2. Saran 5.2.1. Untuk dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis terhadap persaingan barang perlu segera dibuat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang anti dumping sebagai hukum nasional, karena sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping. 5.2.2. Oleh karena tidak dijelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor lain yang dapat juga berpengaruh menimbulkan kerugian pada industri dalam negeri sebagaimana ketentuan dalam GATT-WTO, dimana keadaan tersebut akan menyulitkan dalam menentukan adanya kerugian dan akan menimbulkan penafsiran yang bebeda-beda bagi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) maka perlu adanya suatu batasan jelas faktor-faktor lain tersebut yang dapat berpengaruh menimbulkan kerugian pada industri dalam negeri. Batasan kerugian yang timbul akibat praktik dumping cukup dibatasi sampai pada kerugian nyata (material injury), dimana industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian sebagai akibat adanya barang dumping. 5.2.3. Oleh karena masih lemahnya pemakaian istrument WTO oleh produsen dalam negeri yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terutama mengenai tata cara mengajukan bea masuk anti dumping (BMAD), tindakan anti subsdi, dan tindakan safeguard, maka instansi pemerintah terkait perlu meningkatkan sosialiasi sebagai ketentuan perdagangan yang disepakati WTO, sehingga dapat tercipta sistem perdagangan yang sehat. DAFTAR PUSTAKA Buku. A. Setiadi, 2001, Antidumping: Dalam Perspektif Hukum Indonesia, S&R Legal Co. Jakarta. Astim Riyanto, 2003, World Trade Organization (organisasi Perdagangan Dunia), Yapemdo, Bandung. B.M. Kuntjoro Jakti,et.al.,1997/1998,Pengkajian Hukum Tentang Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO,BPHN,Jakarta. Masalah Black, Hendry Campbell, 1991, Black Law Dictionary, Sixt Editionst, Paul-Minn, West Publishing, Co. Bernard L Tanya dkk, 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya. Bruggink Alih Bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Berhard Bergmans,1991, Inside Information and Securities Trading, Graham & Trootman, London. Christhophorus Barutu, 2006, praktik subsidi dalam perdagangan internasional serta pemberlakuan ketentuan anti subsidi dan countervailling measure (tindakantindakan imbalan terhadap subsidi), jurnal hukum yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, volume 21, No. 4, juli 2006, Surabaya. Christhophorus Barutu, 2007, Sejarah Sistem Perdagangan Internasional (Dari Upaya Pembentukan Internasional Trade Organization, Eksistensi General Agreement On Tariffs and Trade Sampai Berdirinya World Trade Organization), Jurnal Hukum Gloris Juris, Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Volume 7, Nomor 1, 1 Januari 2007, April, Jakarta. Christhophorus Barutu, 2007, Antidumping dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Yogyakarta, (Selanjutnya disebut Christhophorus Barutu 2),h.53 Christhophorus Barutu, 2007, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO,Citra Aditya Bakti, Bandung. ________________, 2003, Sosialisasi Mal Praktek/ Unfair Trade, Direktorat Impor Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Juli 2003. ________________, 2003, Unfair Trade Practices dumping & Subsidy, Direktorat Pengamanan Perdagangan nurlaila, Yogyakarta 28 Juli 2003. _________________, 2002, Sekilas WTO (World Trade Organization), Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Direktorat Jendral multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta. Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. _________________, 1992, Anti Dumping Code Latar Belakang Penafsiran dan Tinjauan atas Sejumlah Tuduhan Terhadap Indonesia, Proyek Pengembangan Perdagangan Luar Negeri pusat, Departement Perdagangan Republik Indonesia , Jakarta. _________________,1985,Kamus Besar Bahasa Indonesi (Edisi Kedua), Jakarta, Balai Pustaka. _________________,2001, Bagaimana Menghadapi Tuduhan Dumping, Direktorat Jenderal Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian Dan Perdagangan. _________________, 2003, kebijakan umum dibidang impor, Direktorat jendral perdagangan luar negeri, Departemen perindustrian dan perdagangan,Jakarta. Elips, 1997, Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta. E. Utrecht, 1961, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta. Felix O Soebagio, 1993, Perkembangan asas-asas hukum kontrak dalam praktek bisnis selama 25 tahun terakhir, Disampaikan dalam pertemuan ilmiah “perkembangan hukum kontrak dalam praktek bisnis di Indonesia” diselenggarakan oleh badan pengkajian hukum nasional, Jakarta. Friedmen, 1990, Teori dan filsafat hukum, Rajawali Press, Jakarta. Faisal Salam, 2007, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung. H.R Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung. H.S. Kartadjoemena, 1996, GATT dan WTO, Sistem, forum, dan lembaga internasional di bidang perdagangan, UI Press, Jakarta. Hugo Grotius, 1959 “On the rights of war and peace” dalam Clarence Morris, The Great Legal Philosophers, seected reasing in jurisprudence, University of Pennsylvania press, philadelphia. Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.2. Hans Kellsen Alih Bahasa Smardi, 2007, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta. Hellen J. Bond & Peter Kay, 1995, Bussines Law, Blackstone Press Limited, London. IP Clinic, 2005, Indonesian IPR Law, Publisher PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Ida Bagus Wyasa Putra, 1997, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional , Refika Adiatma, Bandung. Jhoni Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitin Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang. Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung Larry L. Teply, 1992, Legal Negotiation In A Nutshell, ST. Paul, Mina, West Publishing CO, USA. Muhammad Yani, 2009, “safeguard” bulletin kerjasama prdagangan internasional, edisi 55/2009, departemen perdagangan Republik Indonesia. Maria Emelia Retno K, 1994, Dampak Implementasi GATT/WTO terhadap EksporImpor Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Munir fuadi, 1999, Hukum Kontrak (Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya, Bandung. Marshall B. Clinard,1985, Coorperate ethics and Crime, The role of middle Management, Sage Publications Beverly Hills/London/New Delhi. Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, ST.Paul, Mina, West Publishing CO, USA. Pogram Study Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif. Peter Mahmud Marzuki,2007, Penelitian Hukum, cet.3, kencana persada media group, Jakarta. Philipus M.Hadjon. 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Dalam majalah yuridika, No. 6 Tahun IX. Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Granit, Jakarta. Rudolf Von Jehring, 1959, Law as a Mens to an End, dalam Clarence Morris ed, the Great Legal Philosophers Selected Reasing in Jurisprudence, University of Pennsylvania Press, Philadelphia, h.406 Roscue Pound, 1954, An Introduction to The Philosophy of Law, New Haven, UP. Sumadji. P, Yudha Pratama dan Rosita, 2006, Kamus Ekonomi Edisi Lengkap InggrisIndonesia, Cet. I, Wacana Intelektual, Jakarta. Sobri, 1986, ekonomi internasional, teori, masalah dan kebijaksanaanya, bagian penerbitan fakultas ekonomi (BPFE), UII, Yogyakarta. Sukarmi, 2002, Regulasi anti dumping dibawah baying-bayang pasar bebas, Sinar grafika, Jakarta. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979. Theo Huijbers, 2006, filsafat hukum dalam lintasan sejarah, kanisius, Yogyakarta. W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN. Balai Pustaka. Winardi, 1996, istilah ekonomi, mandar maju, Bandung. Yulianto syahyu, 2004, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Ghali, Indonesia, Jakarta. Internet. Antidumping in the America: Analyses on trade and integration in the Americas by Jose Tavares de Araujo Jr. 2001, h.9. http://www.dttc.oas.org/trade/studies/subsid/Antidumptav.pdf. Artikel diakses pada tanggal 10 Desember 2010 .pukul 21.15. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul 13.30. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul 13.30. Daniel Suryana, Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping Ke dalam Hukum Nasional Indonesia, http://dansur.blogster.com/harmonisasi_ketentuan.html. Artikel diakses pada tanggal 29-03-2010. pukul 22.20. Frequently Asked Questions-Antidumping, Internasional Trade, http://www.indiainbusiness.nic.in/faq/Antidumping.html. artikel diakses pada 29-03-2010. pukul 17.34. Gusmardi Bustami, WTO dan Perlindungan Industri Dalam Negeri, http://www.geocities.com/herso et2001/wtoperlindunganindustri.pdf ; artikel diakses pada tanggal 31-03-2010. pukul 15.55. Kamus Hukum, http:/www.kamus hukum com/indentri,php?.indek=D& urut=3, artikel diakses pada tanggal 10-12-2010, pukul 21.15. Peraturan Perundang-undangan. Agreement On Implement Of ArticleVI Of The General Agreement on Tariffs and Trade 1994. Article XIX of GATT 1994, Of The Agreement on Safeguard. Article VI of GATT 1994, Of The Agreement on Implementation. Indonesia, Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995, Tentang Kepabeanan. Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, tentang Pengesahan (ratifikasi) Agreement Establishing The World Trade Organization Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996, tentang Bea Masuk Anti Dumping Dan Bea Masuk Imbalan. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996, tentang tata cara dan persyatan permohonan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Atau Barang Mengandung Subsidi. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/200, tentang Komite Anti Dumping Indonesia. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000, Tentang Penunjukan, dan pengankatan Anggota Komite Anti Indonesia Keputusan Ketua Komite Anti Dumping Indonesia Nomor. 346/KADI/kep/10/2010 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Kepala bidang dan Anggota di Lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2002, tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 85/MPP/Kep/2/2003. tentang Tata Cara Dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan Atas Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor World Trade Organization, Agreement On Subsidies And Countervailing Measures