kadar seng plasma dan interleukin-12 pada anak

advertisement
KADAR SENG PLASMA DAN INTERLEUKIN-12
PADA ANAK USIA 6-14 TAHUN
DI DAERAH ENDEMIS MALARIA
PLASMA ZINC LEVELS AND INTERLEUKIN-12 IN CHILDREN
6-14 YEARS OLD IN MALARIA ENDEMIC AREAS
Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 dan
memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak
Lisa Adhia Garina
G4A003014
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER ILMU BIOMEDIK
DAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS l
ILMU KESEHATAN ANAK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009
TESIS
KADAR SENG PLASMA DAN INTERLEUKIN-12
PADA ANAK USIA 6-14 TAHUN
DI DAERAH ENDEMIS MALARIA
disusun oleh
Lisa Adhia Garina
G4A003014
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji
pada tangggal 29 Juli 2009
dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
Menyetujui,
Pembimbing
Pembimbing I
dr. MM DEAH. Hapsari, SpA(K)
NIP. 196104221987102001
Pembimbing II
Prof.dr. Edi Dharmana, MSc,PhD,SpParK
NIP. 130 529 451
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Magister Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana UNDIP
Dr. dr. Winarto, SpMK, SpM(K)
NIP. 130 675 157
Ketua Program Studi
Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UNDIP
dr. Alifiani Hikmah Putranti,SpA(K)
NIP. 196404221988032001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil pekerjaan saya
sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak
diterbitkan, sumbernya dijelaskan dalam tulisan dan daftar pustaka. Saya juga
menyatakan bahwa hasil penelitian ini menjadi milik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi Semarang, dan setiap
upaya publikasi hasil penelitian ini harus mendapat izin dari Ketua Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi
Semarang.
Semarang, Juli 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas
Nama
: Lisa Adhia Garina
Tempat/tanggal lahir
: Bogor, 27 November 1972
Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Mentor No. 3 Sukaraja II, Bandung 40175
B. Riwayat Pendidikan
1.
SD Angkasa III Bandung
: Lulus tahun 1985
2.
SMP Negeri I Kediri
: Lulus tahun 1988
3.
SMA Negeri I Kediri
: Lulus tahun 1991
4.
FK Universitas Kristen Maranatha Bandung
: Lulus tahun 2002
5.
PPDS-I Ilmu Kesehatan Anak UNDIP
: 2003 – sekarang
6.
Magister Ilmu Biomedik UNDIP
: 2003 – sekarang
C. Riwayat Pekerjaan
1. Dokter Medical Center Pesantren Daarut Tauhid Bandung (Thn. 20022003)
D. Riwayat Keluarga
1. Nama Orang Tua
: Ayah
: H. Mochammad Tuis, BA.
: Ibu
: Hj. Anny Siti Nuraini
2. Nama Suami
: Ir. Iwan Kridasantausa Hadihardaja, MSc, PhD.
3. Nama Anak
: Almira Kridarahmanda
: Elita Kridavirmata
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta
ridlo-NYA, Laporan Penelitian dengan judul “Kadar seng plasma dan interleukin12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria” dapat diselesaikan,
guna memenuhi sebagian syarat dalam mencapai derajat strata 2 dan memperoleh
keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Kami menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan
kami. Namun karena dorongan keluarga, bimbingan para guru serta bantuan dan
kerjasama yang baik dari rekan-rekan maka tulisan ini dapat terwujud.
Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini, pada
kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih serta penghormatan yang setinggitingginya kepada :
1. Prof. DR. Dr. Susilo Wibowo, MS. Med, SpAnd, Rektor Universitas Diponegoro
Semarang beserta jajarannya, dan mantan Rektor Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc,
yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menempuh PPDS-1 IKA
FK UNDIP Semarang.
2. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Prof. Drs. Y. Warella,
MPA, PhD, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menempuh
Program Pasca Sarjana UNDIP Semarang.
3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana UNDIP
DR. Dr. Winarto, SpMK, SpM(K), mantan Ketua Program Studi Magister Ilmu
Biomedik Program Pasca Sarjana UNDIP Prof. DR.Dr. Soebowo, SpPA(K), atas
kesempatan dan saran yang diberikan.
4. Dr. Soejoto, PAK, SpKK(K), Dekan FK UNDIP beserta jajarannya, serta mantan
Dekan Dr. Anggoro DB Sachro, SpA(K), DTM&H, dan Prof. Dr. Kabulrahman,
SpKK(K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
PPDS-1 IKA FK UNDIP.
5. Dr. Budi Riyanto, SpPD, MSc, Direktur Utama RS Dr. Kariadi Semarang beserta
jajaran Direksi yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menempuh PPDS-1 di Bagian IKA/SMF Kesehatan Anak di RS.Dr. Kariadi
Semarang.
6. Dr. Dwi Wastoro D, SpA(K), Ketua Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UNDIP/SMF Ilmu Kesehatan Anak RS. Dr. Kariadi Semarang, serta mantan
Ketua Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP/SMF Ilmu Kesehatan Anak RS.
Dr. Kariadi Semarang Dr. Budi Santosa, SpA(K) dan Dr. Kamilah Budhi R,
SpA(K) yang telah memberi kesempatan serta bimbingan kepada penulis dalam
mengikuti PPDS-1.
7. Dr. MM DEAH Hapsari, SpA(K), Prof. Dr. Edi Dharmana, MSc, PhD, SpParK,
sebagai pembimbing. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya telah
meluangkan waktu, memberikan kesempatan, bimbingan serta arahan dengan
sabar dan tulus dalam penyelesaian tesis ini. Semoga Tuhan YME membalas
semua kebaikan beliau.
8. Dr. Alifiani Hikmah Putranti, SpA(K), Ketua Program Studi PPDS-1 IKA FK
UNDIP, serta Dr. Hendriani Selina, MARS, SpA(K), selaku Direktur Keuangan
RSUP Dr. Kariadi Semarang serta mantan Ketua Program Studi PPDS-1 IKA FK
UNDIP. Terima kasih atas kebijaksanaan, dorongan serta motivasi kepada
penulis.
9. Terima kasih atas bimbingan serta arahan, penulis ucapkan kepada Dr. M.
Sakundarno Adi, MSc, Dr. Hardian, sebagai pembimbing
metodologi dan
statistik.
10. Prof. Dr. dr. Tjahjono, SpPA(K), FIAC, Prof. Dr. Lisyani B. Suromo, SpPK(K),
Dr. Neni Susilaningsih, MSi, Dr. Niken Puruhita, Mmed.Sc, SpGK, sebagai tim
penguji. Terima kasih atas arahan, bimbingan serta kebijaksanaan dalam
perbaikan dan penyelesaian tesis ini.
11. Dr. MM DEAH Hapsari, SpA(K), sebagai dosen wali yang terus mendorong
penulis untuk menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
12. Kepada para guru besar serta staf pengajar Bagian IKA Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro/RS.Dr. Kariadi Semarang : Prof. Dr. Moeljono S.
Trastotenojo, SpA(K), Prof. DR. Dr. Hariyono, SpA(K), Prof. DR. Dr. I.
Sudigbia, SpA(K), Prof. DR. Dr. Lydia Kristanti K, SpA(K), Prof. DR. Dr. Ag.
Soemantri, SpA(K), Ssi, Prof. DR. Dr. Harsoyo N, SpA(K), DTM&H, Prof. Dr.
M. Sidhartani Zain, MSc, SpA(K), Dr. Anggoro DB S, DTM&H, SpA(K),
DR.Dr. Tatty Ermin S, SpA(K), PhD, Dr. Kamilah Budhi Rahardjani, SpA(K),
Dr. Budi Santosa, SpA(K), Dr. R. Rochmanadji W, SpA(K), MARS, DR. Dr.
Tjipta Bahtera, SpA(K), Dr. Moedrik Tamam, SpA(K), Dr. H. M. Sholeh Kosim,
SpA(K), Dr. Rudy Susanto, SpA(K), Dr. I. Hartantyo, SpA(K), Dr. Herawati
Juslam, SpA(K), Dr. Hendriani Selina, SpA(K), MARS, Dr. JC Susanto, SpA(K),
Dr. Agus Priyatno, SpA(K), Dr. Dwi Wastoro D, SpA(K), Dr. Asri Purwanti,
SpA(K), MPd, Dr. Bambang Sudarmanto, SpA(K),
Dr. MM DEAH Hapsari,
SpA(K), Dr. Alifiani Hikmah P, SpA(K), Dr. Mexitalia Setiawati, SpA(K),
Dr.
M. Herumuryawan, SpA, Dr. Gatot Irawan S, SpA, Dr. Anindita S, SpA, Dr.
Wistiani, SpA, Msi Med, Dr. M. Supriatna, SpA, Dr. Fitri Hartanto, SpA, Dr.
Omega Melyana, SpA,
Dr. Ninung Rose Diana, SpA, Msi Med, Dr Yetty
Movieta N, SpA dan Dr. Nahwa Arkhaesi, SpA, Msi Med., yang telah berperan
besar dalam proses pendidikan penulis. Terima kasih dan penghargaan setinggitingginya penulis ucapkan.
13. Staf Tata Usaha dan karyawan Bagian IKA, Paramedis rawat inap dan rawat
jalan, tata usaha, karyawan RS.Dr. Kariadi khususnya anak, terima kasih atas
kerjasama yang baik dan kebersamaan selama penulis menempuh pendidikan di
bagian IKA, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan.
14. Kepala Pemerintahan Kabupaten Purworejo dan staff, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Purworejo dan staff, Kepala Pemerintahan Kecamatan Bener dan staff,
Kepala Puskesmas Kecamatan Bener dan staff, Kepala Desa Kalitapas, Kepala
Desa Bleber yang telah memberi kesempatan untuk penelitian di Kabupaten
Purworejo.
15. Kepala Sekolah, para guru, orangtua, dan murid MI Desa Kalitapas dan MI Desa
Bleber yang telah bekerja sama dengan tulus ikhlas dalam proses penelitian.
Khususnya kepada para murid dan keluarganya yang telah dengan ikhlas untuk
turut berpartisipasi pada penelitian ini, saya sampaikan terima kasih serta
penghargaan
yang
setinggi-tingginya.
Semoga
Allah
SWT
senantiasa
menganugerahkan kesehatan dan kesuksesan. Untuk mereka semua penelitian ini
dipersembahkan.
16. Ketua dan staf laboratorium GAKI FK. UNDIP-Semarang, Kepala dan staf Balai
besar penelitian dan pengembangan vektor dan reservoir penyakit-Salatigs, yang
telah memperkenankan dan membantu penelitian.
17. Bapak Agus, bapak Sumardi, bapak Maryono, ibu Farida, dan Arsdiani Syatria
yang telah membantu penelitian.
18. Kepada seluruh teman sejawat peserta PPDS–1 IKA serta khususnya temanteman angkatan Juli 2003, Dr.Tony Chandra, SpA, Msi Med, Dr. Wahyu
Adiwinanto, SpA, Msi Med, Dr. G. Panji Pati-Pati, Dr. Dominggus Nicodemus
L, Dr. Arsita Eka Rini, Dr. BRW. Indriasari, Dr. Sofyan Cholid, dan Dr. Edwina
Winiarti. Terimakasih penulis ucapkan atas bantuan, kerjasama, kebersamaan,
serta suka dan duka dalam menempuh pendidikan ini, sukses selalu teman.
19. Kepada suami dan anak-anak tercinta, Ir. Iwan Kridasantausa, MSc, PhD, atas
doa, kesabaran, dukungan dan segenap cinta yang telah diberikan, serta anak-anak
kami tercinta, Almira Kridarahmanda dan Elita Kridavirmata, yang selalu menjadi
penyejuk hati dalam suka dan duka. Terima kasih tiada terhingga, semoga Allah
SWT menjadikan keluarga yang sakinah, mawwadah, warahmah, dan senantiasa
memberikan kebahagian dunia dan akhirat.
20. Kepada yang tercinta, ayahanda H. Mochammad Tuis, BA dan ibunda Hj. Anny
Siti Nuraini, hormat dan bakti yang tulus penulis haturkan, serta terima kasih
tiada terhingga atas kasih-sayang, doa yang tulus, bantuan moril, materil,
perhatian, dukungan, serta nasehat dalam setiap hal dan dalam proses pendidikan
ini. Semoga Allah SWT senantiasa memuliakan, memberi kebahagiaan serta
keselamatan di dunia dan akhirat. Adik-adik tercinta, Dien Sari Dewi, SE, Ricco
Ariyandi, ST, Jenny Maulani, ST , dan suami M. Bayu Dewandaru Rusamsi, ST,
serta keponakan-keponakan tercinta, penulis ucapkan terimakasih atas doa dan
kebersamaan yang indah. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing dan
melindungi kita semua.
21. Mertuaku Prof. Ir. Joetata Hadihardaja, ibunda Enny Keatin Diponegoro, yang
telah memberikan doa, dorongan semangat, moril, dan materil. Hormat dan bakti
kami haturkan dengan tulus hati. Semoga Allah SWT senantiasa memuliakan, dan
memberi kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat. Adik-adik ipar Andi
Kridasusila SE, MM, Heri Kridaprakosa, SE (Alm), Dodi Kridasaksana SH,
Mhum, dan istri, Boma Kridautama, SH, dan istri, Rinta Kridalukmana, ST, MT,
Roni Kridakristianta
dan istri, Suluh Kridalelana, ST, dan istri, serta para
keponakan, penulis sampaikan terima kasih atas bantuan dan doanya. Semoga
Allah
SWT
senantiasa
melindungi,
menuntun,
meluruskan
jalan,
dan
membimbing kita semua.
22. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Kiranya
hanya Allah SWT membalas segala kebaikan, Amin.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, kekurangan adalah milik mahluk-Nya.
Penulis mohon kepada semua pihak untuk memberikan masukan serta sumbang saran
untuk dapat meningkatkan kualitas dan memberikan bekal bagi penulis di masa yang
akan datang.
Akhirnya, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mohon maaf setulusnya
kepada semua pihak atas kesalahan dan kekhilafan dalam bertutur kata maupun sikap
yang mungkin kurang berkenan dalam berinteraksi selama pendidikan dan kegiatan
penelitian ini. Semoga Allah Arrahman dan Arrahim senantiasa melimpahkan rahmat,
keberkatan serta ridlo-NYA kepada kita semua, Amin.
Semarang, Juli 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Judul
..........................................
i
Lembar Pengesahan
..........................................
ii
Lembar Pernyataan
..........................................
iii
Riwayat Hidup
..........................................
iv
Kata Pengantar
..........................................
v
Daftar isi
..........................................
xii
Daftar Tabel dan Gambar
..........................................
xv
Daftar Singkatan
..........................................
xvi
Abstract
..........................................
xvii
Abstrak
..........................................
xviii
BAB 1 Pendahuluan
..........................................
1
1.1. Latar belakang
..........................................
1
1.2.
Rumusan masalah
..........................................
5
1.3.
Tujuan penelitian
..........................................
6
1.4.
Manfaat penelitian
..........................................
6
1.5.
Originalitas penelitian
..........................................
7
..........................................
10
..........................................
10
BAB 2 Tinjauan pustaka
2.1. Malaria
2.1.1.
Definisi
..........................................
10
2.1.2
Malaria di masyarakat
..........................................
10
2.1.3.
Etiologi
..........................................
11
2.1.4.
Patogenesis
..........................................
12
2.1.5.
Manifestasi klinis
..........................................
15
2.1.6.
Faktor-faktor yang berperan
..........................................
18
pada infeksi malaria
2.2.1.
Imunitas terhadap malaria
..........................................
21
2.2.2.
Interleukin-12
..........................................
24
..........................................
28
2.2. Seng
2.2.1.
Fungsi seng
..........................................
31
2.2.2.
Penentuan status seng
..........................................
31
2.2.3.
Pemeriksaan status seng tubuh
..........................................
32
2.2.4.
Defisiensi seng
..........................................
33
2.2.5.
Seng dan imunitas
..........................................
35
2.2.6.
Hubungan seng dan sitokin
..........................................
38
2.2.7.
Seng dan malaria
..........................................
42
2.3. Kerangka teori
..........................................
50
2.4. Kerangka konsep
..........................................
51
2.5. Hipotesis
..........................................
51
..........................................
52
BAB 3 Metodologi penelitian
3.1.
Ruang lingkup penelitian
..........................................
52
3.2.
Tempat dan waktu penelitian
..........................................
52
3.3.
Jenis penelitian
..........................................
52
3.4.
Populasi dan subyek
..........................................
53
3.5.
Variabel penelitian
..........................................
55
3.6.
Definisi operasional variabel
..........................................
55
3.7.
Bahan dan cara kerja
..........................................
56
3.8.
Alur penelitian
..........................................
58
3.9.
Analisis data
..........................................
59
3.10.
Etika penelitian
..........................................
60
BAB 4
Hasil Penelitian
..........................................
61
BAB 5
Pembahasan
..........................................
66
BAB 6
Simpulan dan Saran
..........................................
72
..........................................
73
Daftar pustaka
Lampiran-lampiran
..........................................
84
Daftar Tabel
Tabel 2.1.
Hubungan antara konsentrasi seng dan imun natural/innate sel
.......................36
Tabel 2.2.
Hubungan antara konsentrasi seng dan imunitas spesifik
.......................37
Tabel 4.1.
Karakteristik subyek penelitian
.......................62
Tabel 4.2.
Karakteristik kadar seng plasma dan faktor-faktor yang .......................63
mempengaruhinya
Karakteristik
kadar
IL-12
dan
faktor-faktor
yang .......................64
mempengaruhinya
Korelasi antara kadar seng plasma dengan IL-12, nilai HAZ, nilai .......................65
IMT dan skor BLT
Tabel 4.3.
Tabel 4.4.
Daftar Gambar
Gambar 2.1.
Siklus hidup dan gambaran infeksi malaria pada manusia
............................14
Gambar 2.2.
Efek biologik Interleukin-12
............................26
Gambar 2.3.
Absorpsi seng di usus
............................30
Gambar 2.4.
Efek seng pada sel limfoid dan mieloid
............................41
Gambar 4.1.
Profil penelitian
............................61
DAFTAR SINGKATAN
API
: Annual Parasite Insidence
HCI
:
IL
: Interleukin
INF
: Interferon
Th
: T helper
Sel NK
:
Sel Natural Killer
SR
:
Spleen Rate
PCD
: Passive Case Detection
ACD
: Active Case Detection
QBC
:
Quantitative Buffy Coat
IFAT
:
Indirect Fluorescent Antibody Test
ELISA
:
Enzyme Linked Immunosorbent Assay
PCR
: Polymerase Chain Reaction
RDTs
: Rapid Diagnostic Test
IMT
:
NO
: Nitric oxide
PMN
: Polimorfonuklear
MIF
:
Migration Inhibitory Factor
PBMC
:
Pheripheral blood mononuclear cells
AAS
:
High Case Incidence
Indeks Massa Tubuh
Atomic Absorption Spectophotometry
ABSTRACT
Background. Malaria is one of the main health problems in children. The interaction
between immunity and malaria is complex, involving mostly immunity system. Zinc
is a micronutrien that plays esential role in many aspect of human metabolism. Study
of interaction between zinc and Interleukin-12 in malaria endemic areas was limited.
Aims. To determine the correlation between zinc plasma levels and Interleukin-12
(IL-12) in 6-14 years old children in malaria endemic areas
Methods. A cross sectional study was done on 103 children 6-14 years old in
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kalitapas and MI Bleber village, Purworejo district from
March until April 2009. Plasma zinc levels was measured by Atomic Absorption
Spectrophotometer, Interleukin-12 was measured by ELISA, thin and or thick blood
film and Rapid Diagnostic Test was used for determine malaria infection status.
Statistical analysis was done using Independent T-test, Mann Whitney, Pearson, and
Spearman.
Result. Subject: 103 children 6-14 years old. Boys predominate, with mean age
9,7±1,9 years. Mean plasma zinc levels was 146,38 ± 41,14 µg/dL. Mean IL-12
concentration was 3,3 ± 3,48 pg/ml. Negative malaria status predominate (98,1%).
Correlation test between zinc plasma levels and IL-12 concentration was positive
(r=+0,20, p=0,04).
Conclusion. There is a significant weak correlation between zinc plasma levels with
IL-12 concentration.
Keywords. Zinc plasma levels, Interleukin-12, malaria.
ABSTRAK
Latar Belakang. Malaria masih merupakan masalah kesehatan pada anak. Imunitas
terhadap malaria sangatlah kompleks, melibatkan hampir semua sistem imunitas
tubuh. Seng berperan penting dalam sistem imunitas tubuh. Interaksi antara seng dan
Interleukin-12 di daerah endemis malaria masih terbatas.
Tujuan. Mengetahui hubungan kadar seng plasma dan Interleukin-12 (IL-12) pada
anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria
Metode. Penelitian belah lintang pada 103 anak usia 6-14 tahun di Madrasah
Ibtidaiyah (MI) Desa Kalitapas dan Desa Bleber Kabupaten Purworejo, dari Maret
sampai April 2009. Kadar seng plasma diperiksa dengan metode Atomic Absorption
Spectrophotometry, kadar IL-12 dengan metode ELISA, sedangkan status infeksi
malaria berdasarkan pemeriksaan darah tebal dan atau tipis serta Rapid Diagnostic
Test. Analisis statistik menggunakan Independent T-test, Mann Whitney, Pearson,
dan Spearman.
Hasil. Dari 103 anak usia 6-14 tahun, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki
dengan rerata umur 9,7 ± 1,93 tahun. Rerata kadar seng plasma 146,4 ± 41,14 µg/dL.
Rerata kadar IL-12 3,3 ± 3,48 pg/ml. Status infeksi malaria sebagian besar negatif
(98,1%). Uji korelasi antara kadar seng plasma dengan IL-12 r=+0,20, p=0,04.
Simpulan. Terdapat korelasi bermakna derajat rendah antara kadar seng plasma
dengan IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria.
Kata kunci: Kadar seng plasma, Interleukin-12, malaria
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Malaria merupakan penyakit dengan penyebaran sangat luas di dunia dan menjadi
endemis terutama di daerah tropis dan subtropis. Malaria masih merupakan masalah
kesehatan dengan risiko terkena 2,3 miliar penduduk di lebih 100 negara atau 41%
dari penduduk dunia. Kasus malaria setiap tahunnya berjumlah 300-500 juta dan
mengakibatkan 1,5 – 2,7 juta kematian, terutama terjadi pada anak-anak dan ibu
hamil. Malaria dapat menurunkan status kesehatan dan produktivitas kerja penduduk,
serta dapat menjadi hambatan dalam pembangunan sosial dan ekonomi.1-3
Lebih dari 40% anak-anak tinggal di daerah endemis malaria dan merupakan masalah
kesehatan serius serta menyebabkan 10% kematian pada anak di daerah endemis. 1,4
Penilaian situasi malaria di suatu daerah dapat ditentukan melalui kegiatan
surveilans epidemiologi. Salah satu parameter untuk pengamatan rutin malaria adalah
menggunakan annual parasite insidence (API).3
Annual Parasite Insidence untuk
Jawa dan Bali pada tahun 2005 adalah 0,15 perseribu penduduk. Data terakhir tahun
2006 menjadi 0,19 perseribu penduduk.5 Berdasarkan laporan penemuan malaria di
Provinsi Jawa tengah tahun 2008 daerah endemis malaria yaitu Kabupaten Purworejo
dengan API 0,498‰, Kabupaten Banjarnegara 0,221‰, Kabupaten Wonosobo
0,183‰, Kabupaten Banyumas 0,112‰, Kabupaten Pekalongan 0,092‰, Kabupaten
Temanggung 0,076‰, Kabupaten Kendal 0,059‰, Kabupaten Kebumen 0,042‰,
Kabupaten Batang 0,037‰, Kabupaten Rembang 0,035‰, Kabupaten Grobogan
0,026‰, Kabupaten Cilacap 0,020‰, Kabupaten Magelang 0,020‰, Kabupaten
Jepara 0,020‰, Kabupaten Purbalingga 0,010‰, Kabupaten Brebes 0,006 ‰,
Kabupaten Tegal 0,005‰, Kabupaten Pati 0,002‰, Kabupaten Pemalang 0,001‰.6
Terdapat 14 desa high case incidence (HCI) di kabupaten endemis malaria di
Jawa tengah.7 Desa yang merupakan HCI tinggi (API >5‰) di Kecamatan Bener
Kabupaten Purworejo yaitu Desa Kalitapas (API: 48,81 per 1000 penduduk), Desa
Ketosari (API: 30,42 per 1000 penduduk), Desa Bleber (API: 15,98 per 1000
penduduk), Desa Pekacangan (API: 14,2 per 1000 penduduk), dan Desa Medono
(API: 12,3 per 1000 penduduk). Desa HCI dapat terjadi karena faktor lingkungan,
intensitas transmisi dan lain sebagainya, sehingga dipilih waktu penelitian di musim
hujan yang diselingi panas, dan berdasarkan pelaporan jumlah kasus minimummaksimum Puskesmas Kecamatan Bener tahun 2008.8
Anak berusia lebih dari lima tahun atau kelompok usia 6-14 tahun yang pernah
mengalami serangan berulang malaria di daerah endemis malaria, dan dapat bertahan
hidup akan terbentuk imunitas parsial. Pada saat remaja dan dewasa, mereka akan
mengalami parasitemia asimptomatis, yaitu adanya Plasmodium dalam darah tanpa
manifestasi klinis malaria.9
Penelitian di Srilangka pada anak usia 6-14 tahun,
menyatakan bahwa serangan malaria yang berulang pada anak berdampak buruk
terhadap kinerja sekolah anak-anak tersebut.10 Penelitian di pedesaan Srilangka
sebanyak 2,7% hari bersekolah hilang akibat malaria pada anak usia 5-13 tahun.
Berdasarkan data dari WHO South-East Asia Region (SEARO) sebanyak 6600 anak
usia 10-14 tahun meninggal karena malaria. Di Papua New Guinea diperkirakan
angka kematian akibat malaria pada anak usia 10-19 tahun adalah 11,1%, sedangkan
jumlah kasus malaria pada anak usia 5-14 tahun di Afrika adalah sebanyak 29,4 juta
kasus.11 Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan pada anak usia 6-14 tahun.
Imunitas terhadap malaria sangat kompleks karena melibatkan hampir seluruh
komponen sistem imunitas baik imunitas alamiah, spesifik, humoral maupun seluler.
Parasit malaria yang masuk ke dalam darah akan segera dihadapi oleh sistem
imunitas tubuh yang mula-mula oleh respons imun alamiah dan selanjutnya respons
imun spesifik. Respons imun alamiah merupakan efektor pertama dalam memberikan
perlawanan terhadap infeksi.12
Makrofag merupakan sel efektor penting dalam perlindungan terhadap malaria
dengan cara fagositosis langsung terhadap Plasmodium, dan mensekresi sitokin guna
mengaktifkan makrofag lainnya, mensekresi Interleukin (IL)-12 untuk merangsang
sel natural killer (sel NK) menghasilkan Interferon-γ (INF- γ), dan sebagai sel
penyaji antigen kepada limfosit T. Kemampuan fagositosis dan spesifisitas makrofag
dapat ditingkatkan oleh sitokin yang dihasilkan sel limfosit T helper (Th). Sitokinsitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-12 berperan aktif
menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), maupun sitotoksik dan berfungsi
mengaktifkan sistem imunitas lainnya.12
Interleukin-12 adalah mediator utama dari sistem imunitas alamiah terhadap
mikroba intraseluler, dan merupakan key inducer dari imunitas seluler yang
merupakan respons imun didapat terhadap mikroba tersebut. Interleukin-12 pada
awalnya merupakan aktivator dari sel NK, tetapi lebih utama menstimulasi produksi
INF-γ yang dihasilkan oleh sel NK dan sel T yang dapat meningkatkan fungsi
fagositosis dari makrofag untuk menyingkirkan mikroba.13
Mikronutrien seperti seng diperlukan oleh tubuh agar kekebalan dapat berperan
optimal. Mikronutrien terdiri dari vitamin dan trace element, yang diperlukan dalam
jumlah kecil oleh tubuh. Trace element seperti seng mempunyai banyak fungsi
metabolik, dan merupakan bagian dari kompleks protein seperti metaloenzim.
Defisiensi seng menyebabkan kerusakan epidermis, kerusakan epitel saluran cerna
dan saluran nafas, menganggu fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN), sel NK dan
aktivasi komplemen pada sistem imunitas alamiah, sedangkan pada imunitas spesifik
menyebabkan penurunan jumlah dan fungsi limfosit, penurunan jumlah dan fungsi
makrofag, penurunan rasio limfosit T helper/Th (CD4+) : limfosit T sitotoksik
(CD8+),
penurunan jumlah limfosit T CD8+ CD73+ yang merupakan prekursor
limfosit T sitotoksik, penurunan respons antibodi limfosit B, penurunan sitokin,
menyebabkan keterlambatan pertumbuhan, menurunnya fungsi imunitas dan
meningkatnya morbiditas terhadap penyakit diare, infeksi pernafasan dan malaria.14
Menurut data dari WHO, Indonesia merupakan salah satu negara dimana malaria
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, dengan prevalensi defisiensi seng
mencapai 34%.15 Beberapa mineral lain merupakan pesaing dalam penggunaan seng
oleh tubuh seperti Fe, Cu, Ca dan Mn. Khususnya besi, fitat, dan seng bersaing pada
binding site di eritrosit sehingga menghambat absorbsi seng.16
Shankar (2000) menemukan bahwa suplementasi seng pada anak-anak usia
prasekolah menurunkan kunjungan akibat malaria ke pusat kesehatan hingga 38%.17
Muller (2001) menyatakan bahwa suplementasi seng tidak bermakna pada tingkat
keparahan penyakit malaria.18 Penelitian oleh The Zinc Against Plasmodium Study
Group (2002) menyatakan suplementasi seng tidak bermanfaat pada masa akut dan
malaria falciparum tanpa komplikasi pada anak prasekolah.19
Duggan (2000)
menemukan adanya defisiensi seng pada anak dengan malaria fase akut, dan pada
penderita malaria akut kadar seng plasma yang rendah berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit.20
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa kadar seng plasma yang menurun akan
disertai penurunan kadar IL-12, tetapi belum pernah dilakukan di daerah endemis
malaria. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
hubungan kadar seng plasma dengan kadar interleukin-12 pada anak di daerah
endemis malaria.
1.2.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut :
Bagaimana kadar seng plasma dan kadar IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di
daerah endemis malaria?
1.3.
Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan umum :
Menjelaskan kadar seng plasma dan kadar IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di
daerah endemis malaria.
1.3.2. Tujuan khusus :
1.
Mendeskripsikan kadar seng plasma anak usia 6-14 tahun di daerah
endemis malaria
2.
Mendeskripsikan kadar IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah
endemis malaria
3.
Menganalisis korelasi kadar seng plasma dan IL-12 pada anak usia 614 tahun di daerah endemis malaria
1.4.
Manfaat penelitian
1.4.1. Segi pendidikan:
Memberikan pemahaman yang lebih baik tentang peranan seng terhadap
imunitas pada anak di daerah endemis malaria.
1.4.2. Segi pelayanan kesehatan :
Apabila terbukti, perlu diberikan preparat seng sulfat pada anak-anak di
daerah endemis malaria.
1.4.3. Segi penelitian :
Dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam pelayanan kesehatan penderita
malaria dan sebagai titik tolak penelitian selanjutnya.
1.5.
Originalitas penelitian
Belum ada penelitian yang menjelaskan kadar seng plasma dan kadar IL-12 pada
anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria.
Beberapa penelitian tentang seng dan malaria yang sudah dilakukan :
Peneliti dan
Variabel
Metode dan
Jurnal Penelitian
Hasil penelitian
Bates CJ, Bates PH,
Suplementasi seng pada 110 Metode:
Dardenne A,
anak
Prentice PG, Lunn
penderita malaria Plasmodium Hasil: Suplementasi seng
CA, Northrop-
falciparum
umur
6-28
Randomised-
bulan controlled trial
menurunkan
angka
Clewes, at al.
kunjungan penderita malaria
Br J Nutr
kepusat kesehatan sampai
1993;69:243-255.
32%
Gambia (1989-
(p = >0,05).21
1990)
Shankar AH,
Total dari 274 anak umur 6-60 Metode:
Genton B, Baisor
bulan,
M, Paino J, Tamja
diberikan
S, Adiguma T, et al.
dengan malaria
suplementasi
pada
103
Randomised-
seng controlled trial.
anak Hasil: Suplementasi seng
menurunkan
kunjungan
Am J Trop Med
akibat malaria falciparum
Hyg 2000;62:663-
ke pusat kesehatan hingga
669.
38% dgn RR (95% CI) :
Papua New Guinea
0,79
(1995-1996)
parasitemia
(0,54-1,14),
dan
malaria
falciparum hingga 69% dgn
Peneliti dan
Variabel
Metode dan
Jurnal Penelitian
Hasil penelitian
RR (95% CI): 0,31 (0,130,74). Tetapi tidak berefek
pada Plasmodium vivax.17
Muller O, Becher H, Total kasus 709, diberikan Metode:
Randomised-
Baltussen A, Ye Y,
suplementasi seng pada 341 controlled trial.
Diallo DA, Konate
anak usia 6-31 bulan dengan Hasil:
AT, et al.
malaria
Suplementasi seng
tidak bermakna pada tingkat
BMJ 2001;322:1-6.
keparahan penyakit malaria
Burkina Faso (1999)
falciparum (RR 0,98), 95%
CI
0,86-1,11),
tetapi
pemberian seng setelah 3
bulan akan meningkatkan
kadar seng plasma (p =
0,005). 18
The Zinc Against
Total 1087 anak usia 6 bulan-5 Metode:
Plasmodium Study
tahun, pada 542 anak dengan controlled trial.
Group
demam
Am J Clin Nutr
Plasmodium
2002;76:805-812.
diberikan seng
Equador, Ghana,
Tanzania,Uganda &
dan
Randomised-
parasitemia Hasil: Tidak ada perbedaan
falciparum antara pemberian seng dan
plasebo terhadap kadar seng
plasma,
status
parasitemia.
gizi
dan
19
Zambia (1998-2000)
Duggan C, Macleod
Diberikan seng pada 689 anak Metode:
WB, Krebs NF,
usia 6-60 bln dengan malaria controlled trial.
Randomised-
Peneliti dan
Variabel
Jurnal Penelitian
Westcott JL, Fawzi
Metode dan
Hasil penelitian
falciparum tanpa komplikasi
Hasil: Kadar seng plasma
WW, Premji G,
menurun dengan Coefficient
et al.
(95% CI): 0,87 (0,79, 0,96),
J Nutr
sedangkan CRP meningkat
2005;13:802-807.
dengan Coefficient (95%
Equador,Ghana,
CI) : -1,0 (-1,4, -0,5), dan
Tanzania,Uganda,
derajat
Zambia (1998-2000)
meningkat
parasitemia
dengan
Coefficient (95% CI): -0,08
(-0,11, -0,04). 20
Penelitian kami berbeda dengan penelitian-penelitan sebelumnya dalam hal
metode: cross-sectional dan usia subyek: 6-14 tahun.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. MALARIA
2.1.1. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi akut dan kronis parasit (protozoa) dari genus
Plasmodium yang ditandai dengan demam tinggi intermiten klasik terdiri dari 3
stadium, yaitu : frigoris (mengigil), stadium acme (puncak demam), dan stadium
sudoris (berkeringat banyak, suhu turun), disertai sakit kepala, anemia dan
spenomegali.22-24
2.1.2. Malaria di masyarakat
Adanya malaria di masyarakat dapat dibedakan sebagai endemis atau epidemis.
Malaria di suatu daerah dikatakan endemis bila insidensnya menetap dalam waktu
yang lama. Berdasarkan spleen rate (SR) pada kelompok usia 2-9 tahun, endemisitas
malaria di suatu daerah dapat diklasifikasikan sebagai-berikut:3
-
hipoendemik : SR 10%
-
mesoendemik : SR 11-50%
-
hiperendemik : SR 50%
-
holoendemik : SR 75%
Penilaian situasi malaria di suatu daerah dapat ditentukan melalui kegiatan
surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi adalah pengamatan yang terus
menerus atas distribusi dan kecenderungan suatu penyakit melalui pengumpulan data
yang sistematis agar dapat ditentukan penanggulangan yang setepat-tepatnya.
Pengamatan dapat dilakukan secara rinci melalui PCD (passive case detection) oleh
puskesmas dan rumah sakit atau ACD (active case detection) oleh petugas khusus.
Pengamatan rutin malaria menggunakan parameter Annual Parasite Incidence (API),
yang ditentukan berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
API =
Kasus malaria yang dikonfirmasikan dalam 1 tahun x 1000
Jumlah penduduk daerah tersebut
Kasus malaria ditemukan melalui ACD dan PCD dan dikonfirmasikan dengan
pemeriksaan mikroskopik.3
2.1.3. Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium yang terdiri dari 4
spesies, yaitu : P. vivax, P. falciparum, P. malariae, dan P. ovale .
Malaria ditularkan melalui perantaraan nyamuk Anopheles betina. Dari sekitar 400
spesies nyamuk Anopheles telah ditemukan 67 species yang dapat menularkan
malaria dan 24 diantaranya ditemukan di Indonesia.22,24
2.1.4. Patogenesis 22,24-27
Daur hidup spesies malaria terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam
badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebra
termasuk manusia.
a. Fase aseksual
Fase aseksual terbagi atas fase jaringan (eksoeritrositik) dan fase eritrositik. Pada
fase jaringan, sporozoit yang terdapat pada air liur nyamuk masuk dalam aliran darah
manusia menuju ke sel parenkim hati dan berkembang biak membentuk skizon hati
yang mengandung ribuan merozoit. Fase ini disebut fase skizogoni praeritrosit. Lama
fase ini berbeda untuk tiap spesies Plasmodium. Pada akhir fase ini, skizon pecah,
merozoit keluar (sporulasi) dan masuk aliran darah. Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati sehingga
dapat mengakibatkan relaps jangka panjang dan rekurens, lihat gambar 2.1.25
Fase eritrosit dimulai pada saat merozoit dalam darah menyerang atau masuk
kedalam eritrosit membentuk cincin (ring form) dan membesar menjadi trofozoit tua.
Proses berlanjut menjadi trofozoit-skizon-merozoit. Lepasnya merozoit kedalam
aliran darah menyebabkan demam.22,24-27
Setelah 2-3 generasi merozoit dibentuk, sebagian merozoit berubah menjadi
bentuk seksual yaitu gametosit yang akan melengkapi siklus hidup spesies
Plasmodium bila terhisap dan berkembang dalam nyamuk Anopheles.
Masa antara permulaan infeksi sampai ditemukannya parasit dalam darah tepi adalah
masa prapaten, sedangkan masa tunas atau inkubasi dimulai dari masuknya sporozoit
dalam badan hospes sampai timbulnya gejala klinis demam.22,24-27
Gambar 2.1. Siklus hidup dan gambaran infeksi malaria pada manusia.
Dikutip dari Wellem TE, Miller LH.25
b. Fase seksual
Jika nyamuk Anopheles betina menghisap darah manusia yang mengandung
parasit malaria, parasit dalam bentuk seksual masuk dalam lambung nyamuk betina.
Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikrogamet dan makrogamet dan
terjadilah pembuahan dengan hasil pembuahan yang disebut zigot dan memanjang
disebut ookinet. Ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk menjadi
ookista. Bila ookista pecah, ribuan sporozoit
keluar dan mencapai kelenjar liur
nyamuk serta siap ditularkan pada hospes (manusia).25
2.1.5.
Manifestasi klinis
Gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah :
1.
Demam
Demam pada malaria terjadi pada saat pecahnya sel darah merah dan
keluarnya merozoit kedalam sirkulasi darah. Tipe demamnya adalah demam
tinggi intermitten klasik, terdiri dari 3 stadium, yaitu : frigoris (mengigil,
lamanya 15 menit sampai 1 jam), stadium acme (puncak demam, 2-6 jam),
dan stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun, 2-4 jam). Pada malaria
vivax dan ovale periodisitas demam setiap hari ke-3, malaria malariae
periodisitas demam setiap 4 hari. Setiap serangan ditandai dengan beberapa
serangan demam periodik. Pada malaria falciparum pematangan skizon tiap
24-48 jam.
Sebelum demam, penderita biasanya merasa lemah, sakit kepala, nafsu makan
menurun, mual atau muntah. Pada penderita dengan infeksi campuran (mix
infection) serangan panasnya dapat terus menerus tanpa interval.
2.
Splenomegali
Splenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami
kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit
parasit dan jaringan ikat yang bertambah.22,24
3.
Ikterik karena peningkatan hemolisis
4.
Anemia akibat pemecahan sel darah merah
5.
Edema dan hipoxia jaringan
22,24
Sekalipun jarang, pada infeksi oleh P. falciparum , adanya cytoadherence
dari eritrosit yang terinfeksi pada endotel vaskuler, menyebabkan obstruksi
aliran darah dan kerusakan kapiler. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
kebocoran vaskuler yang mendasari terjadinya edema dan hipoxia pada
berbagai organ, seperti paru, ginjal, dan sebagainya.22,24
Gejala klinis malaria pada anak didaerah endemis dan non endemis berbeda.
Malaria yang menyerang anak di daerah endemis terjadi premunisi atau keadaan semi
imun yaitu respons imun yang mampu menekan pertumbuhan parasit tidak sampai
nol, mencegah hiperparasitemia, menurunkan kepadatan parasit malaria, dan
menekan
virulensi
(asimptomatis).28,29
parasit
sehingga
tidak
sampai
menimbulkan
gejala
Diagnosis berdasarkan pada pemeriksaan sediaan darah dengan pengecatan
Giemsa (preparat darah tebal dan tipis), teknik quantitative buffy coat (QBC), Dip
stick test (ICT Malaria Pf, OptiMAL, ICT malaria Pf/Pv), imunoserologi (indirect
fluorescent antibody test/IFAT, enzyme linked immunosorbent assay/ELISA), dan
polymerase chain reaction (PCR).22,24
Diagnosis konvensional dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan malaria, darah
tebal maupun tipis, untuk melihat parasit intraseluler dengan pengecatan Giemsa
masih merupakan pilihan utama dan menjadi gold standard bagi tes diagnostik
malaria lain. Dasar pemeriksaan ini adalah ditemukannya parasit Plasmodium dan
karena itu merupakan cara untuk menegakkan diagnosis definitif malaria.
Pemeriksaan sediaan malaria ini relatif murah, tetapi memerlukan tenaga mikrokopis
yang terlatih khusus dan berpengalaman untuk pengecatan maupun interpretasi
hasilnya.30
Dalam dekade terakhir ini telah dikembangkan tes diagnostik cepat/TDC malaria
(rapid diagnostic test/RDTs). Tes ini disebut cepat karena memerlukan waktu paling
lama hanya 15 menit. Studi evaluasi (performance test) TDC tersebut baik di
lapangan atau di pusat-pusat pelayanan kesehatan telah dikerjakan di beberapa negara
termasuk Indonesia. Gold standard dalam evaluasi tes diagnostik ini adalah
pemeriksaan mikroskopik malaria atau dengan metoda polymerase chain reaction
(PCR).31
Tes diagnostik cepat yang tersedia saat ini adalah : ICT Malaria Pf
(Parasight-F ®), tes OptiMAL, dan ICT Malaria Pf/Pv. Evaluasi tes OptiMAL yang
pertama dilakukan di Indonesia yaitu di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah pada
saat terjadi outbreak malaria pada tahun 2002, menunjukkan nilai diagnostik yang
hampir sama yaitu dengan sensitifitas, spesifisitas, nilai ramal positif dan negatif
masing-masing 85,7%, 89,9%, 60% dan 89,3% untuk P. falciparum dan 92,7%,
96,1%, 95% dan 94,3% untuk P. Vivax.30
Tes diagnostik PATH P. falciparum IC
Strip adalah semacam tes ICT Malaria Pf test yang juga menggunakan antibodi
monoklonal IgM terhadap antigen HRP-II. Hasil evaluasi tes diagnostik ini (dengan
gold standard pemeriksaan mikroskopis dan PCR) menunjukkan sensitifitas tertinggi
90% dan spesifisitas 97%.31
Pada penelitian di Kabupaten Lombok Timur Provinsi
Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan metode imunokromatografi (Entebe®)
dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis, didapatkan hasil sensitivitas 100%,
spesifisitas 96,99%. Nilai prediksi positif 83,2% dan nilai prediksi negatif 100%.33
2.1.6. Faktor-faktor yang berperan pada infeksi malaria
a. Faktor parasit
Parasit malaria harus ada dalam tubuh manusia dalam waktu yang cukup lama
dan menghasilkan gametosit jantan dan betina pada saat yang sesuai untuk penularan,
agar dapat hidup terus sebagai spesies. Parasit juga harus menyesuaikan diri dengan
sifat-sifat
spesies
nyamuk
Anopheles
yang
anthropofilik
dimungkinkan dan menghasilkan sporozoit yang infektif.3
agar
sporogoni
b. Faktor manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Perbedaan prevalensi menurut
umur dan jenis kelamin berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi
keterpaparan gigitan nyamuk.3 Di daerah endemis malaria anak berusia lebih dari
lima tahun yang pernah mengalami serangan berulang malaria dan bertahan hidup
akan terbentuk imunitas parsial. Pada saat remaja dan dewasa, mereka akan
mengalami parasitemia asimptomatis, yaitu adanya Plasmodium dalam darah tanpa
manifestasi klinis malaria.9 Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi
terjadinya malaria dengan pencegahan invasi parasit kedalam sel, mengubah respons
imunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor.3
c. Faktor nyamuk
Efektifitas vektor untuk menularkan malaria ditentukan hal-hal sebagai berikut:
kepadatan vektor dekat pemukiman penduduk, kesukaan menghisap darah manusia
atau antropofilia, frekuensi menghisap darah (tergantung suhu), lamanya sporogoni
(berkembangnya parasit dalam nyamuk sehingga menjadi infektif), lamanya hidup
nyamuk harus cukup untuk sporogoni dan kemudian menginfeksi jumlah yang
berbeda-beda menurut spesies.3
d. Faktor lingkungan dan sosial budaya
Lingkungan biologik seperti terdapatnya tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan
tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena menghalangi sinar
matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya jenis ikan
pemakan larva seperti ikan timah (panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain
mempengaruhi populasi nyamuk disuatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau,
dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak
tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah. Hujan yang diselingi panas akan
memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles, sehingga dapat
meningkatkan intensitas transmisi penyakit malaria.
Lingkungan sosial budaya seperti tingkat kesadaran masyarakat dengan menyehatkan
lingkungan, mengunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan
mengunakan obat nyamuk akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk
memberantas malaria. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan,
pembuatan jalan, pertambangan, dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi
sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria
(“man-made malaria”).3
Krisis ekonomi, krisis kehidupan politik, dan peperangan adalah beberapa faktor
sosiokultural lain yang mendukung keberadaan dan meningkatnya malaria.3 Faktor
ekonomi berpengaruh terhadap masukan makanan, insidens, dan beratnya infeksi.34
Kemiskinan hampir selalu disertai dengan malnutrisi karena ketersediaan makanan
yang rendah akibat daya beli yang rendah, kondisi yang padat dan kumuh, dan
perawatan anak yang tidak layak. Lingkungan yang padat dan kumuh juga
menyebabkan anak mudah terkena penyakit.35
Tingkat pendidikan ibu yang tinggi mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi dan
kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan sistem perawatan kesehatan.36
Penelitian di Bangladesh terhadap anak usia 4-27 bulan menunjukkan bahwa ibu
yang berpendidikan memberikan anak mereka makanan tambahan yang lebih sering,
tempat yang bersih dan terlindungi dibandingkan ibu yang tidak berpendidikan,
bahkan sesudah dikontrol dengan status ekonomi.37
2.1.7. Imunitas pada malaria
Imunitas terhadap malaria didefinisikan sebagai ketahanan terhadap infeksi
parasit malaria, sebagai respons berbagai proses untuk menghancurkan Plasmodium
atau menahan kemampuannya untuk berkembang biak. Imunitas juga menyangkut
berbagai faktor yang bisa mengurangi efek invasi parasit malaria terhadap
sel/jaringan hospes dan daya untuk menyembuhkan jaringan yang telah mengalami
kerusakan.38 Secara umum imunitas terhadap malaria melibatkan sistem imunitas
alamiah, spesifik, humoral dan seluler.12
Neutrofil, fagosit mononuklear, dan sel NK yang merupakan bagian dari sistem
imunitas alamiah, berperan penting pada respons awal terhadap infeksi malaria.
Jumlah sel NK akan meningkat dan akan menyebabkan lisis dari eritrosit yang
terinfeksi Plasmodium falciparum secara in vitro. Sel NK juga berperan dalam
menghasilkan sitokin seperti INF-γ yang dapat mengaktivasi makrofag untuk
memfagositosis parasit. Respons imun seluler dari infeksi malaria berperan pada
stadium pre-eritrositik dan eritrositik. Sel T yang merupakan bagian dari sistem
imunitas seluler spesifik juga berperan dalam mengatasi infeksi malaria di fase awal.
Sel T CD4+ dan CD8+ merupakan subpopulasi sel T yang utama. Sel T CD4+
berperan penting dalam melawan stadium aseksual malaria baik pada tikus maupun
manusia, sedangkan sel T CD8+ lebih berperan penting pada stadium pre-eritrositik
dan berperan pada malaria berat, hal ini karena sel T CD8+ dapat meningkatkan
sistem imunitas pada malaria akut dan memodulasi respons inflamasi. Sel T CD4+
berespons terhadap antigen malaria secara in vitro dengan mensekresi dan proliferasi
dari berbagai sitokin.39
Faktor kelainan genetik pada eritrosit atau hemoglobin dapat berperan sebagai
kekebalan terhadap malaria. Menurut Haldene bahwa tingginya angka kejadian
kelainan genetik Hb tertentu di daerah endemis malaria dapat memberikan
perlindungan terhadap malaria. Kelainan tersebut adalah : Hb S, Hb C, Hb E,
Thalasemia, Defisiensi Glukosa 6 Phosphat (G6PD) dan eosinofilia herediter.12
Sporozoit yang masuk kedalam darah segera dihadapi sistem imunitas tubuh,
mula-mula oleh respons imun alamiah dan selanjutnya oleh respons imun spesifik.
Sistem imunitas alamiah yang berperan di antaranya makrofag dan monosit, leukosit
polimorfonuklear (PMN/Neutrofil), sitokin, komplemen, limfa dan sel NK.12
Makrofag dan monosit merupakan sel efektor penting dalam perlindungan
terhadap malaria. Bekerja melalui beberapa cara yaitu fagositosis langsung terhadap
Plasmodium, mensekresi sitokin guna mengaktifkan makrofag lainnya, mensekresi
IL-12 untuk merangsang sel NK untuk menghasilkan INF-γ, dan sebagai sel penyaji
antigen terhadap limfosit T. Kemampuan fagositosis dan spesifisitas makrofag dapat
ditingkatkan oleh sitokin yang dihasilkan sel limfosit Th yaitu INF-γ dan IL-2.12,40
Leukosit PMN/neutrofil bekerja dengan cara fagositosis langsung terhadap
parasit. Aktivitasnya akan meningkat jika dirangsang oleh sitokin INF γ dan TNF α
yang dihasilkan oleh makrofag dan limfosit Th. Neutrofil dan fagosit lainnya
membunuh parasit dengan cara mengeluarkan radikal bebas baik yang O2 dependen
seperti superoksid ataupun O2 independen seperti nitric oxide.40
Berbagai jenis sitokin yang berperan pada proteksi terhadap malaria yaitu : TNF
α, IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12. Sitokin-sitokin tersebut berperan aktif
menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik) maupun sitotoksik atau berfungsi
memacu sistem imunitas lainnya.12 Aksi biologik dari IL-12 adalah sebagai berikut :
(a). Makrofag menghasilkan IL-12 sebagai respons terhadap adanya mikroba. IL-12
yang terbentuk akan menstimulasi sel NK dan sel T untuk menghasilkan INF-γ, yang
kemudian akan mengaktivasi makrofag lain untuk menfagositosis mikroba. (b). IL-12
akan menstimulasi perubahan dari limfosit T helper CD4+ menjadi INF- γ yang
menghasilkan sel Th-1 yang merupakan bagian dari sel Th yang mengaktivasi
fagositosis makrofag pada imunitas seluler. (c). IL-12 meningkatkan fungsi sitolitik
dengan mengaktivasi sel NK dan CD8+ cytolytic T lymphocytes (CTLs).13
Sistem imunitas spesifik terhadap infeksi malaria mempunyai ciri khusus yaitu
spesies spesifik, strain spesifik dan spesifik terhadap stadium parasit. Spesifik spesies
menunjukkan bahwa bila seseorang pernah terinfeksi P. vivax, masih dapat terinfeksi
Plasmodium jenis lain dan tahan terhadap infeksi ulang Plasmodium yang sama.
Strain spesifik (varian) terjadi bila seseorang sudah pernah terinfeksi dengan strain
parasit akan kebal pada paparan ulang dengan strain homolog namun bila terpapar
dengan strain heterolog akan terjadi infeksi walaupun ringan. Demikian pula bila
seseorang sudah imun pada daerah endemis tertentu masih dapat sakit bila ia pergi ke
daerah endemis lain karena di tempat tersebut ia tidak imun terhadap strain
Plasmodium di daerah baru.12
Imunitas terhadap stadium aseksual ekstra eritrositer berbeda dengan stadium
eritrositer, demikian pula dengan stadium seksual. Spesifik terhadap stadium siklus
hidup parasit (Stage spesific) ini timbul karena parasit menghasilkan antigen yang
berbeda-beda pada masing-masing siklus yang selanjutnya akan merangsang produksi
bermacam-macam antibodi spesifik atau mengaktifkan komponen imunitas
seluler.12,41
2.1.8.
Interleukin-12
Sumber utama dari Interleukin-12 (IL-12) adalah fagosit mononuklear teraktivasi
dan sel-sel dendritik. Banyak sel mensintesis subunit p35, tetapi hanya antigenpresenting cells (APCs) yang menghasilkan komponen p40 dan komponen tersebut
merupakan bentuk biologis aktif dari sitokin. Selama reaksi imunitas didapat terhadap
mikroba, IL-12 dihasilkan sebagai respons terhadap stimulus dari berbagai mikroba
(termasuk Lipopolisakarida/LPS), infeksi oleh bakteri intraseluler (seperti Listeria
dan Mycobacterium) dan infeksi virus. Sel Th terstimulasi antigen juga akan
meningkatkan produksi dari IL-12 dari makrofag dan sel-sel dendritik. Interferon-γ
yang dihasilkan oleh sel NK atau sel T juga menstimulasi produksi IL-12.
Interleukin-12 juga dihasilkan APCs ketika mempresentasikan antigen pada sel T,
selama fase induksi dan merupakan efektor dari cell-mediated immune responses
(CMI).13,42
Interleukin-12 diproduksi makrofag dan sel dendritik yang memberikan respons
terhadap mikroba atau terhadap sinyal sel T seperti ligan CD40 yang mengikat
CD40. IL-12 bekerja terhadap limfosit dan sel NK untuk merangsang produksi INFγ dan aktivitas sitolitik untuk menyingkirkan mikroba intraseluler, lihat gambar 2.2.
Gambar 2.2. Efek biologik Interleukin-12.
Dikutip dari Abbas AK, Lichtman AH.13
Keadaan
infeksi
akan
menimbulkan
reaksi
imunitas
alamiah
dengan
memproduksi IL-12 yang merupakan sitokin utama (key inducer) dan menginduksi
imunitas seluler, pada binatang percobaan IL-12 melawan infeksi yang disebabkan
oleh mikroba intraseluler. Interleukin-12 akan berikatan dengan reseptor pada sel T
CD4+ yang terstimulasi antigen dan mengaktivasi transkripsi STAT4 yang akan
mengubah sel T menjadi sel T helper 1 (Th-1). Interferon γ (INF- γ) juga memacu
perkembangan Th-1 dengan memacu produksi IL-12 oleh makrofag dan
mengekspresikan fungsi reseptor IL-12 di limfosit T (pada manusia, INF-α dapat
memacu ekspresi pada reseptor IL-12).13
Interleukin-12 berperan penting pada imunitas seluler dan humoral sebagai
respons imun terhadap malaria, pada penelitian menggunakan hewan coba, pemberian
IL-12 menurunkan angka kematian malaria dengan menurunkan parasitemia dan
memacu pengeluaran INF-γ dan sebagian merupakan peran dari nitric oxide (NO).43
Sudah diketahui bahwa IL-12 berperan penting pada respons awal melawan
Plasmodium, dan pada hewan coba tikus selain meningkatkan daya tahan ataupun
menyebabkan kerentanan, juga berperan pada proses patologi pada malaria.
Interleukin-12 berperan pada keadaan kritis dengan menghasilkan INF-γ, yang akan
merangsang respons dari Th1 baik pada tahap awal maupun secara terus-menerus.
Keadaan infeksi oleh P. chaubadi AS
pada C57BL/6 GKO (INF-γ) ditemukan
adanya parasitemia tinggi selama infeksi akut dan peningkatan angka kematian,
fenomena tersebut berhubungan dengan penurunan kadar IL-12p70, TNF-α dan nitric
oxide. Pada tahap pemulihan dari infeksi, IL-12 dibutuhkan untuk menghasilkan
antibodi immunoglobulin G2a (Ig2a). Penemuan tersebut menunjukkan bahwa
aktivitas immunoregulator dari IL-12 adalah untuk menghasilkan respons antibodi
melawan Plasmodium. Pada anak yang non imun terhadap P. falciparum
menunjukkan kadar IL-12 dan INF-γ serum yang rendah dan kapasitasnya menurun
untuk menghasilkan IL-12 dan INF-γ setelah stimulasi in vitro.38 Interleukin-12 akan
menginduksi kekebalan terhadap serangan sporozoit pada binatang pengerat dan
primata non manusia, dengan menstimulasi produksi INF-γ.13
Parasit akan memacu pengeluaran IL-12 dari monosit/makrofag, sel B dan sel-sel
lain yang penting untuk memulai kaskade inflamasi. Interleukin-12 menginduksi
pertahanan hewan coba pada penelitian malaria yang berhubungan dengan
kemampuan IL-12 untuk mengubah sel T CD4+ menjadi Th-1 dan akan
menghasilkan INF-γ yang menstimulasi monosit untuk mengeluarkan TNF-α yang
memacu pengeluaran antiplasmodium seperti nitric oxide. Kadar IL-12 yang rendah
pada malaria berat menunjukkan bahwa IL-12 penting untuk sebagai imunoprotektor
terhadap malaria pada manusia.44
2.2.
SENG
Seng merupakan trace element penting yang terlibat dalam fungsi lebih dari 300
enzim dan protein dalam tubuh manusia. Protein tersebut berperan dalam fungsi
metabolik yang luas yaitu transkripsi DNA, sintesis protein, enzim katalitik, reseptor
hormon, dan stabilisasi membran sel. Peran biologik seng selalu dalam bentuk kation
bivalen dan tidak mengalami reduksi serta oksigenasi dalam kondisi fisiologis,
sehingga seng merupakan komponen stabil dari kompleks protein.45 Manfaat seng
dalam zat gizi dan kesehatan manusia telah dikenal sejak tahun 1934, namun baru
diteliti lebih jauh pada awal abad ke 20. Defisiensi seng sekunder menyebabkan
akrodermatitis, inborne error of metabolism, yang menyebabkan penurunan absorbsi
seng di usus dan peningkatan kejadian infeksi.46
Seng diabsorbsi di duodenum dan usus halus proksimal. Di dalam lumen
intestinal, seng dari diet bercampur dengan seng dari sekresi pankreas dan hasil
deskuamasi usus yang mengandung seng. Setelah uptake oleh sel usus, seng melintasi
permukaan serosa dan secara aktif disekresikan kedalam sirkulasi portal di mana
kemudian seng terikat dengan albumin. Mekanisme ini bersifat reversibel, dan juga
terjadi uptake seng portal oleh sel usus. Pada keadaan kecukupan seng, peningkatan
pool seng memicu sintesis metallothionein sel usus (gambar 2.3.), yang dapat
mengikat kelebihan seng intraseluler.47
Gambar 2.3. Absorpsi seng diusus.
Dikutip dari Casey CE, Walravens PA.47
Keadaan malabsorbsi dan diare dapat menganggu absorpsi seng.48
Inhibisi
kompetitif antara besi, seng dan tembaga juga mempengaruhi absorpsi seng.49 Seng
dari produk hewani mudah diserap, sedangkan seng dari produk nabati absorpsinya
tergantung pada kandungan seng tanah.45
Di dalam plasma seng sebagian besar berikatan dengan albumin (60%), α2
makroglobulin (30%), dan transferin (10%). Seng terikat longgar dengan albumin dan
asam amino, fraksi ini bertanggungjawab pada transport seng dari hati ke jaringan.
Karena semua seng yang diabsorpsi diangkut dari plasma kejaringan, pertukaran seng
dari plasma kedalam jaringan sangat cepat untuk memelihara konsentrasi plasma seng
yang relatif konstan. 50
2.2.1. Fungsi seng
Salah satu fungsi seng adalah berperan sebagai kofaktor yang penting untuk lebih
dari 70 enzim-enzim. Dalam peranan ini, seng mengikat residu histidin dan sistein
serta dalam waktu yang sama menstabilkan serta membuka tempat/sisi aktif dari
enzim-enzim sedemikian rupa sehingga katalis dari reaksi dapat berjalan.51
Seng berperan dalam fungsi kekebalan tubuh manusia. Bayi marasmus yang
disuplementasi seng memperlihatkan peningkatan respons pertahanan tubuhnya.
Anak-anak di negara berkembang yang diberi suplementasi seng juga menurunkan
angka kejadian dan lamanya diare akut maupun kronik. Suplementasi seng juga
menurunkan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan malaria. Pemberian
seng pada obat batuk juga menunjukkan penurunan lamanya influenza.52
2.2.2. Penentuan status seng
Penentuan status seng tubuh dapat dilakukan dengan pengukuran konsentrasi seng
serum, konsentrasi pada eritrosit, leukosit dan neutrofil serta rambut. Penentuan
status seng marginal dapat dengan mengukur metallothionein sel darah merah.
Konsentrasi metallothionein sel darah merah memiliki respons yang baik terhadap
perubahan asupan seng, ketika seng plasma tidak menunjukkan perubahan.
Konsentrasi seng plasma adalah indikator yang sering dipakai untuk menentukan
status seng, namun tidak selalu menggambarkan secara tepat kadar seng dalam tubuh
karena seng berikatan terutama dengan albumin, sehingga akan berubah bila kadar
albumin berubah.53
Variasi konsentrasi seng plasma akibat perubahan status seng
adalah sangat kecil, karena mudah dipengaruhi oleh faktor lain seperti variasi diurnal
dan variasi antar individu. Konsentrasi seng plasma juga menurun pada keadaan
infeksi, sebagai respons fase akut.45
Faktor selain masukan seng dan infeksi yang mempengaruhi konsentrasi seng
plasma adalah hipoalbuminemia, gagal organ, trauma jaringan akibat pembedahan,
latihan fisik berat, dan penyakit intestinal yang mempengaruhi absorpsi seng.54
2.2.3. Pemeriksaan status seng tubuh
Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat dipakai untuk menentukan status seng
tubuh, antara lain:55
1. Pemeriksaan konsentrasi seng plasma atau serum.
Plasma dan serum mengandung kira-kira 10-20% seng sirkulasi. Kadar seng
normal dalam plasma 80-110 µg/dL, darah mengandung 20 kali lipat karena adanya
enzim karbonik anhidrase dalam eritrosit, rambut mengandung 125-250 µg/g,
muskulus 50 µg/g.56
Hasil lebih tinggi didapat bila terjadi stasis vena, hemolisis atau terkontaminasi oleh
produk dari karet saat pengambilan sampel. Hasil lebih tinggi juga diperoleh bila
sampel diambil setelah makan (postprandial), tapi kadarnya menurun lagi 2 jam
setelah makan. Kadar seng plasma juga dipengaruhi variasi diurnal.
2. Analisis rambut
Masih jarang dilakukan. Keterbatasan pemeriksaan kadar seng rambut
ditunjukkan pada binatang percobaan dimana justru terjadi peningkatan kadar seng
rambut pada defisiensi seng berat (efek paradoksal). Hal ini juga dilaporkan dapat
terjadi pada anak malnutrisi. Hasil pemeriksaan dapat terkontaminasi oleh
debu/kotoran, cat rambut, dan shampoo yang mengandung seng.
3. Pemeriksaan lain
Kadar seng dalam urin sulit diinterpretasi sehingga jarang dilakukan. Status seng
secara fungsional dapat ditentukan dengan memeriksa aktivitas metaloenzim seperti
alkali fosfatase, karboksipeptidase, laktat dehidrogenase, 5’-nukleotidase, timidin
kinase, δ-amino laevulinic acid dehydratase dalam eritrosit, dan angiotensin-1converting enzyme dan α-D-mannosidase dalam serum atau plasma.
2.2.4. Defisiensi seng
Defisiensi seng akan menyebabkan perubahan pada beberapa sistem organ seperti
sistem saraf pusat (malformasi permanen, pengaruh terhadap neuromotor dan fungsi
kognitif), saluran pencernaan, sistem reproduksi, dan fungsi pertahanan tubuh baik
spesifik maupun alamiah (menekan sistem imunitas tubuh). Gangguan sistem
imunitas spesifik seperti kerusakan sel-sel epidermal, gangguan aktifitas sel NK,
fagositosis dari makrofag dan neutrofil. Gejala-gejala diatas akan terjadi bila terjadi
defisiensi seng berat. 55,57
Salah satu tanda klinis dari defisiensi seng adalah imunitas yang terganggu.
Defisiensi seng menurunkan kemampuan badan untuk melawan infeksi, menekan
respons imun seluler dan humoral. Proliferasi sel B tidak terlalu dipengaruhi oleh
defisiensi seng dibandingkan sel T, namun bagaimanapun defisiensi seng dapat
menurunkan jumlah sel B naive yang dapat menghasilkan antibodi untuk melawan
antigen baru.16
Faktor-faktor predisposisi defisiensi seng :
1.
Masukan yang inadekuat : malnutrisi, vegetarian, pemberian nutrisi enteral
dan parenteral atau diet untuk mengatasi inborne error metabolism, infeksi
intestinal, interaksi nutrient antara komponen diet dan obat-obatan.
2.
Maldigesti dan malabsorpsi : mekanisme absorpsi karena imaturitas,
akrodermatitis enterohepatika, pembedahan lambung dan reseksi usus,
enterohepati, penyakit inflamasi usus, insufisiensi eksokrin pankreas,
obstruksi kandung empedu, hepatitis.
3.
Eskresi yang meningkat : keadaan katabolisme, enterohepati dengan loss
protein, gagal ginjal, renal dialysis, terapi diuretik, chelating agent
(spesifik dan nonspesifik), dermatosis eksfoliatif.
4.
Kebutuhan yang meningkat : sintesa jaringan yang cepat, konvalesen paska
katabolik, penyakit neoplasma, resolving anaemias.55
2.2.5. Seng dan imunitas
Seng memiliki beberapa fungsi pada kualitas sistem imunitas seluler yang baik
secara in vivo maupun in vitro. Mekanisme hubungan antara seng dan imunitas
sampai sekarang masih dalam perdebatan. Beberapa hipotesis yang telah
dilaporkan:58
1.
Seng merupakan faktor penting dari berbagai enzim, lebih dari 300
metaloenzim tidak dapat berfungsi bila tidak terdapat seng. Seng penting
untuk polimerase DNA, timidin kinase dan polimerase RNA menjadi DNA,
proliferase sel limfoid, regulator transkripsional yang dikenal sebagai zinc
finger DNA binding proteins. Fungsi lain adalah sebagai enzim aktif dari
beberapa metaloprotese.
2.
Seng bermanfaat sebagai mediator imunitas, terutama untuk timulin, suatu
hormon nonpeptidase yang dihasilkan oleh sel epitelial timus, dan
memerlukan seng untuk aktivitas biologisnya. Peptida tersebut membantu
maturasi limfosit T, sitotoksisitas, dan produksi IL-2. Aktivitas timulin secara
in vivo dan in vitro baik pada percobaan binatang dan pada manusia, sangat
tergantung pada kadar seng plasma. Seng juga berperan dalam aktivitas
sitokin, serta defisiensi seng mempengaruhi ketidakseimbangan antara sel Th1 dan Th-2.
3.
Seng mempengaruhi stabilisasi membran, terutama pada tingkat sitoskeletal.
Efek pada membran dapat diterangkan dengan penurunan dari fagositosis,
konsumsi oksigen dan aktivitas bakterisidal yang dipengaruhi oleh seng dalam
fagositosis sel dan modifikasi reseptor permukaan Con A yang terdapat pada
sel limfoid.
4.
Seng merupakan regulator intraseluler utama pada apoptosis limfosit secara in
vitro dan in vivo. Terdapatnya atrofi timus dan limfopenia yang berhubungan
dengan defisiensi seng yang mempengaruhi produksi limfosit, serta
menghilangnya sel prekursor melalui mekanisme apoptosis.
Fungsi sistem imunitas alamiah dipengaruhi oleh kadar seng. Secara in vitro,
tidak hanya mempengaruhi granulosit neutrofil tetapi juga pada aktivitas kemotaksis
PMN. Pada in vivo, aktivitas sel NK, fagositosis makrofag dan degenerasi neutrofil
serta jumlah granulosit dipengaruhi oleh menurunnya kadar seng. Sel NK merupakan
sel yang penting dalam melawan infeksi dan tumor. Jumlah dan aktivitas sel NK
sangat tergantung pada kadar seng serum, yang dibuktikan dengan adanya defisiensi
seng menyebabkan menurunnya aktivitas sel NK dan jumlah prekursor dari sel
sitolitik. Hubungan antara konsentrasi seng dan fungsi sel imun natural dapat dilihat
pada tabel 2.1.59
Tabel 2.1. Hubungan antara konsentrasi seng dan imun natural / innate sel.59
Limfosit merupakan pusat respons imun adaptif atau spesifik. Limfosit T
sangat berperan penting dalam pengaturan respons imun, dan dapat dibagi dalam sub
populasi berbeda tergantung fungsi masing-masing, atau tergantung pertanda
spesifiknya. Golongan utama sel T dibedakan menjadi sel T sitotoksik, yang
membunuh sel target, dan sel Th, yang mengaktivasi makrofag dan limfosit B.
Limfosit B matang di sumsum tulang, dan dapat menginduksi produksi antibodi
sebagai respons antigen spesifik, dan atau stimulasi sel Th. Sitokin diproduksi oleh
komponen sistem imunitas seluler akibat stimulus spesifik, dan menjalankan peran
penting dalam modulasi dan regulasi fungsi imun. Sitokin menginduksi respons sel
efektor, dan dapat memulai, merangsang dan menekan reaktivitas imun.45
Pada imunitas spesifik, defisiensi seng menyebabkan penurunan jumlah dan
fungsi limfosit, penurunan jumlah dan fungsi makrofag, penurunan rasio limfosit T
helper/Th (CD4+) : limfosit T sitotoksik (CD8+), penurunan jumlah limfosit T CD8+
CD73+ yang merupakan prekursor limfosit T sitotoksik, penurunan respons antibodi
limfosit B, dan penurunan sitokin. 17
Tabel 2.2. Hubungan antara konsentrasi seng dan imunitas spesifik. 59
Gangguan fungsi imunitas alamiah dan spesifik akibat defisiensi seng tersebut
akhirnya meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, termasuk diare, ISPA, dan
malaria.17
Gangguan imunitas seluler berat dilaporkan pada penderita yang mengalami
defisiensi seng yang mendapatkan nutrisi parenteral. Kelainan berupa limfopenia,
penurunan rasio T helper dan supresor, penurunan aktivitas sel NK, dan munculnya
sensitivitas tipe lambat pada pada penderita sikle sel anemia yang disertai dengan
penurunan seng serum.58
2.2.6. Hubungan seng dan sitokin
Produktivitas atau aktivitas biologis dari beberapa sitokin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-4,
IL-6, INF-γ, INF-α, TNF-α, dan migration inhibitory factor/MIF) yaitu meningkatkan
perkembangan dan fungsi dari limfosit T, limfosit B, makrofag, dan sel NK
dipengaruhi oleh defisiensi seng. Sitokin IL-1, IL-2, dan INF-γ dilaporkan menurun
pada defisiensi seng, sedangkan monosit akan menghasilkan IL-1β, IL-6, INF-α, dan
TNF-α yang distimulasi dengan penambahan seng secara in vitro. Pada penelitian
pada manusia, menunjukkan bahwa produksi INF-γ akan menurun pada keadaan
defisiensi seng. Defisiensi seng ringan pada manusia akan mempengaruhi
ketidakseimbangan antara fungsi sel Th-1 dan Th-2 yang akan menyebabkan
penurunan daya tahan terhadap infeksi.14
Penelitian oleh Prasad AS, menunjukkan
bahwa defisiensi seng akan menurunkan pengerahan sel T naïve (CD4+ CD45RA),
penurunan prosentase sel CD73+ yang merupakan subset sel CD8+ prekursor limfosit
T sitotoksik, penurunan produksi INF-γ, sedangkan produksi IL-4, IL-6, IL-10 tidak
dipengaruhi oleh defisiensi seng.60
Berdasarkan beberapa penelitian, telah diketahui bahwa penambahan seng akan
menginduksi respons sitokin spesifik dari pheripheral blood mononuclear cells
(PBMC) manusia. Seng akan menstimulasi PBMC untuk mengeluarkan IL-1, IL-6,
TNF-α, dan INF-γ. Interleukin-1, IL-6 dan TNF-α secara langsung akan menginduksi
monosit karena adanya seng. Interferon/INF-γ dan reseptor IL-2 akan dihasilkan oleh
sel T yang dimediasi oleh monosit mengeluarkan IL-1, IL-6 dan terdapat kerjasama
yang baik antara monosit dan sel T. Seng akan gagal dalam menginduksi sitokin
apabila keadaan terisolasi dan kerjasama antara monosit-sel T menurun.50,61
Beberapa penelitian tentang manfaat pemberian seng dapat meningkatkan fungsi
imunitas pada berbagai penyakit. Pada pasien dengan penyakit sickle cell,
suplementasi seng meningkatkan produksi dari IL-12, menurunkan kejadian infeksi
oleh bakteri, menurunkan lama perawatan di Rumah Sakit, dan menurunkan nyeri
akibat penyumbatan pembuluh darah. Anak yang mendapatkan suplementasi seng
secara bermakna terdapat peningkatan proporsi sel CD4+ CD3+ (CD3, CD4, dan
rasio CD4/CD8) di darah tepi dan meningkatkan T-cell-mediated immunity (CMI).62
Pada manusia, defisiensi seng menyebabkan ketidakseimbangan produksi sitokin
seperti penurunan INF-γ, IL-2 & TNF-α (tipe Th-1), tanpa perubahan dari produksi
IL-4, IL-6 dan IL-10 (tipe Th-2).63
Timulin adalah hormon spesifik timus yang memerlukan seng untuk
mengekspresikan aktifitas biologiknya. Timulin akan berikatan dengan afinitas kuat
pada reseptor sel T, menginduksi beberapa pertanda sel T, dan meningkatkan fungsi
sel T, termasuk sitotoksisitas allogenik, serta meningkatkan fungsi dan produksi dari
IL-12. Defisiensi seng ringan dapat menurunkan aktivitas timulin serum dan
terkoreksi dengan suplementasi seng secara in vivo maupun in vitro. Aktivitas sel NK
juga sensitif terhadap restriksi seng; hal tersebut menunjukkan bahwa seng sangat
berperan penting terhadap fungsi dari sel T pada manusia. Keadaan defisiensi seng
menyebabkan sitokin Th-1 menurun, tetapi tidak mempengaruhi sitokin Th-2, dan
terjadi pergeseran fungsi Th-1 ke Th-2. Penurunan seng mempengaruhi ekspresi gen
dan generasi sitokin TNF-α, IL-1β, dan IL-8, lihat gambar 2.4. garis tegas
menunjukkan alur yang ditingkatkan seng; garis putus-putus menunjukkan alur yang
dihambat oleh seng.
Gambar 2.4. Efek seng pada sel limfoid dan mieloid.
Dikutip dari Prasad AS.60
2.2.7. Seng dan malaria
Interaksi antara seng dan malaria kurang didokumentasikan dengan baik. Seng
telah diketahui sebagai zat yang dapat memodulasi sistem imunitas. Diketahui
bahwa seng merupakan zat yang penting
mediator untuk imunitas sel
seperti
neutrofil, makrofag, dan sel NK, dan berefek membangun imunitas yang didapat dan
produksi antibodi, terutama imunoglobulin G. Beberapa penelitian terkini pada
primata didapatkan adanya efek imunologis dari defisiensi seng. Defisiensi seng
memiliki aspek multipel pada sistem imunitas dan penting untuk perkembangan
imunitas didapat. Hal ini merupakan dasar biologi bagi daya tahan terhadap infeksi,
termasuk terhadap malaria, yang dapat diobservasi dari defisiensi seng. Suplementasi
seng dapat menurunkan angka kejadian dan keparahan diare serta pneumonia.63
Defisiensi mikronutrien akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit infeksi di negara berkembang. Berdasarkan data yang ada, defisiensi seng
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan penurunan fungsi imunitas tubuh.
Suplementasi seng secara bermakna menurunkan angka kejadian dan keparahan
penyakit diare dan pneumonia terutama pada angka kematian anak usia kurang dari 5
tahun. Bukti manfaat suplementasi seng pada angka kematian akibat malaria masih
diperdebatkan.64
2.3. KERANGKA TEORI
Masukan
makanan
Fungsi fagositosis
PMN
Kadar
albumin
plasma
Status
gizi
Gangguan
absorbsi/
diare
Status infeksi:
ISPA, Otitis
Media Akut
(OMA)
Riwayat
penyakit
tuberkulosis
& ginjal, serta
pengobatannya
Kadar
Fe,Cu,Ca,Mn
plasma
Intensitas transmisi/jumlah
kasus maksimum
Tingkat pendidikan ibu
Status ekonomi
Kadar seng
plasma
Jumlah Sel
NK
teraktivasi
Jumlah
Limfosit T
teraktivasi
Total INF-γ
serum
Jumlah
Makrofag
teraktivasi
Kadar
Interleukin-12
serum
Malaria
Umur
Genetik
Kadar IL-1,IL-2,
IL-4, IL-6,IL-10,
TNF-α serum
2.4. KERANGKA KONSEP
Kadar seng plasma
Status ekonomi
Kadar IL-12 serum
Status gizi
Faktor masukan makanan, kadar albumin serum tidak dilakukan penelitian karena
yang diukur adalah kadar seng plasma bebas. Fungsi fagositosis PMN, jumlah sel NK
teraktivasi, jumlah makrofag teraktivasi, jumlah limfosit T teraktivasi tidak dilakukan
penelitian karena merupakan suatu uji fungsi yang sulit dilakukan dan hasilnya tidak
mencerminkan yang sebenarnya baik secara in vivo maupun in vitro. Kadar INF-γ,
IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-10, TNF-α tidak dilakukan penelitian karena waktu paruh
dan waktu pelepasannya singkat.
2.5. Hipotesis
Ada korelasi antara kadar seng plasma dengan kadar IL-12 pada anak usia 6-14
tahun di daerah endemis malaria.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang lingkup penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya Sub
Bagian Infeksi dan Penyakit Tropik.
3.2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Desa Kalitapas dan Desa
Bleber Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo, yang merupakan desa HCI
tinggi di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo. Waktu penelitian dilakukan
pada bulan Maret sampai dengan April 2009. Pemilihan wilayah penelitian
dilakukan berdasarkan hasil laporan penemuan penderita malaria Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 dan laporan malaria per desa
Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo tahun 2008. Penelitian juga dilakukan di
laboratorium GAKI FK.UNDIP Semarang dan Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit-Salatiga.
3.3. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang.
3.4. Populasi dan subyek
3.4.1. Populasi target
Populasi target adalah anak Sekolah Dasar (SD) usia 6-14 tahun
3.4.2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah murid MI Desa Kalitapas dan Desa Bleber
Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo usia 6-14 tahun, di mulai bulan Maret
2009 – April 2009.
3.4.3. Subyek penelitian
Kriteria inklusi
1.
Anak Sekolah Dasar (usia 6-14 tahun)
2.
Berdomisili diwilayah penelitian lebih dari 1 tahun
3.
Orang tua/wali anak setuju anaknya ikut serta pada penelitian ini
4.
Suhu tubuh normal : 36,1- 37,2ËšC (axilla)24
5.
Tingkat pendidikan ibu tinggi
Kriteria eksklusi
1.
Menderita gizi buruk berdasarkan klinis dan atau antropometri
2.
Menderita malaria simptomatis, dan atau infeksi lain seperti infeksi
saluran pernafasan akut/ISPA, otitis media akuta/OMA, dan diare
yang diketahui berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
3.
Diketahui menderita atau dalam pengobatan penyakit kronis seperti:
tuberkulosis, penyakit ginjal yang diketahui berdasarkan anamnesis
3.4.4. Cara pemilihan subyek penelitian
Dipilih desa HCI malaria tertinggi pertama dan ketiga di Kecamatan Bener
Kabupaten Puworejo, yaitu Desa Kalitapas dan Desa Bleber. Desa Ketosari (desa
HCI tertinggi kedua) tidak dipilih karena berada dalam binaan UNICEF dalam hal
evaluasi pengobatan malaria. Madrasah Ibtidaiyah (MI) Desa Kalitapas dan Desa
Bleber merupakan tempat penelitian. Pemilihan subyek penelitian dilakukan dengan
metode purposive sampling, selanjutnya subyek penelitian adalah seluruh siswa SD
usia 6-14 tahun yang masuk kriteria inklusi dan eksklusi.
3.4.5. Besar sampel
Sesuai dengan hipotesis penelitian yaitu adanya korelasi antara kadar seng
plasma dengan kadar IL-12. maka besar sampel minimal penelitian dihitung
dengan rumus besar sampel untuk uji korelasi. Apabila diketahui besarnya
kesalahan tipe I (α) =0,05 maka Zα=1,96, besarnya kesalahan tipe II (β)= 0,2
maka Zβ=0,842, power 80%, besarnya koefisien korelasi yang diharapkan
untuk korelasi antara kadar seng dengan kadar IL-12 adalah r = 0,5 (korelasi
derajat sedang), maka besar sampel adalah:
2
2
⎤
⎡
⎤
⎡
⎢
⎢ Zα + Zβ ⎥
1,96 + 0,842 ⎥
⎥ + 3 ≈ 38
n=⎢
⎥ +3= ⎢
⎢ 0,5 ln 1 + 0,5 ⎥
⎢ 0,5 ln 1 + r ⎥
⎢⎣
1 - r ⎦⎥
1 - 0,5 ⎥⎦
⎣⎢
Berdasarkan perhitungan diatas maka besar sampel minimal adalah 38 anak
3.5. Variabel penelitian
3.5.1.
Variabel bebas
: Kadar seng plasma
3.5.2.
Variabel tergantung
:
Kadar IL-12 serum
3.5.3.
Variabel perancu
:
Status gizi
Status ekonomi
3.6. Definisi operasional variabel
No
Variabel
Skala
1.
Kadar seng adalah kadar seng dalam plasma yang diperiksa dengan
Rasio
metode AAS (Atomic Absorption Spectophotometry), dinilai dengan
satuan µg/dL.
Dikatakan sebagai defisiensi seng bila kadar seng plasma < 80 µg/dL
2.
Interleukin-12 adalah kadar IL-12 sirkulasi serum yang diperiksa
Rasio
dengan metode ELISA, dinilai dengan satuan pg/ml
3.
Status gizi : Penilaian ukuran, proporsi dan komposisi tubuh yang
Nominal
diukur dengan metode Z-Score (Height for Age/HAZ), dengan
menghitung nilai tinggi badan berdasarkan umur dan jenis kelamin
dikurangi dengan nilai median dibandingkan dengan nilai standart
deviasinya.
Normal : 2 SD sampai -2 SD
Pendek : < -2 SD
Status gizi juga ditentukan berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh):
skor berat badan (kilogram) dibagi tinggi badan (meter) kuadrat.
Status gizi digolongkan berdasarkan persentil IMT terhadap umur
sesuai jenis kelamin pada kurva persentil IMT dari Centre for
Diseases Control (CDC) 2000 sebagai berikut:
Underweight
: < persentil 5
Normoweight
: persentil 5 - 85
Ordinal
No
Variabel
Skala
Risk of overweight : persentil 86 – 95
Overweight
4.
: > persentil 95
Status ekonomi: diukur dengan skor Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Ordinal
berdasarkan kriteria Badan Pusat Statistik (BPS):
0-4 : Tidak miskin
5
: Mendekati miskin
6-10 : Miskin
≥ 11 : Sangat miskin
3.7. Bahan dan cara kerja
- Survei awal untuk menentukan kecamatan dengan API tertinggi di Kabupaten
Purworejo, yaitu Kecamatan Bener. Dipilih desa HCI tinggi di wilayah
Kecamatan Bener, yaitu Desa Kalitapas dan Desa Bleber. Seluruh murid
Madrasah Ibtidaiyah di kedua desa tersebut merupakan subyek penelitian.
Sebelum penelitian dimulai, dijelaskan kepada orangtua subyek penelitian
tentang tujuan penelitian, prosedur pemeriksaan dan manfaat yang diperoleh.
q Jika orang tua subyek penelitian setuju untuk mengikuti penelitian, maka diminta
bukti persetujuan secara tertulis dengan membubuhkan tanda tangan pada
lembaran informed concent.
q Anak yang masuk kriteria inklusi kemudian dilakukan anamnesis dengan
ibu/keluarga terdekat mengenai riwayat sakit penderita dan karakteristik umum
meliputi umur, jenis kelamin dan dilakukan pemeriksaan fisik umum,
antropometri meliputi: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, serta
diteruskan dengan pengambilan darah.
q Pengambilan sampel darah secara intravena sebanyak 5 ml darah, 3 cc untuk
pemeriksaan kadar seng, 1 cc untuk pemeriksaan malaria (darah tebal/tipis dan
ICT Pf/PV/Entebe®) dan 1 cc untuk pemeriksaan IL-12.
q Dibuat preparat darah tebal dan tipis untuk pemeriksaan malaria (jenis parasit,
kepadatan parasit). Pada pemeriksaan slide malaria, sediaan darah tepi difiksasi
dengan metanol 70% selama 2 menit/kering, kemudian sediaan tipis ditetesi
larutan giemsa 10% selama 10-15 menit (dengan perbandingan 10 cc
buffer/aquades dan 1 cc giemsa). Sediaan darah tebal tidak difiksasi, langsung
diberi larutan giemsa selama 20-30 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir
dan dikeringkan. Pemeriksaan slide darah malaria dilakukan oleh tenaga
mikroskopik malaria di Balai Pengembangan dan Penelitian Vektor Malaria
Salatiga Jawa Tengah. Sampel dengan malaria positif diberi pengobatan
q Pemeriksaan malaria juga dilakukan dengan cara TDC (ICT Pf/Pv/Entebe®)
q Pemeriksaan seng plasma dilakukan dengan metode AAS. Sampel darah vena
tanpa puasa sebanyak 3 cc diambil dan dimasukkan kedalam tabung. Pengambilan
sampel di lakukan antara pukul 9-12 pagi, sampel kemudian dikirim dan diperiksa
di laboratorium GAKI FK. UNDIP Semarang
q Kadar Interleukin 12 diperiksa dengan metode ELISA, dibaca dengan alat
microplate reader di laboratorium GAKI FK. UNDIP semarang
q Pemeriksaan status gizi dinilai dengan perhitungan HAZ dan IMT
q Status ekonomi berdasarkan skor BLT menurut kriteria BPS
3.8. Alur penelitian
Anak MI Desa Kalitapas dan Desa Bleber Kecamatan
Bener Kabupaten Purworejo usia 6-14 tahun yang
masuk kriteria inklusi dan eksklusi
-
Pengambilan data dasar
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
q Pemeriksaan malaria (darah tebal, darah tipis dan RDT)
q Pemeriksaan kadar seng plasma
q Pemeriksaan IL-12 serum
Analisis data
Laporan Penelitian
3.9. Analisis data
Data yang terkumpul akan dilakukan pemeriksaan data (data cleaning),
koding, tabulasi dan selanjutnya akan dimasukkan kedalam komputer.
Analisis data meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Pada analisis
deskriptif, data yang berskala numerik seperti umur, kadar seng plasma, kadar
interleukin-12 serum, dan sebagainya dideskripsikan sebagai rerata dan simpang baku
(SB). Sedangkan variabel berskala katagorikal seperti jenis kelamin, status infeksi
malaria, status gizi, status ekonomi dideskripsikan sebagai distribusi frekuensi (n) dan
persen (%). Normalitas data di uji dengan uji Kolmogorov-Smirnov distribusi data
dikatakan normal jika p > 0,05.
Hubungan antara kadar seng plasma dengan nilai HAZ dan status ekonomi
(skor BLT) dianalisis dengan uji korelasi Pearson oleh karena berdistribusi normal,
sedangkan hubungan kadar seng plasma dengan kadar IL-12 serum dan nilai IMT
dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman karena distribusinya tidak normal.
Analisis data dilakukan dengan program Statistics Program for Social Science
v.15,0. (SPSS Inc, USA). Nilai p dianggap bermakna apabila p < 0,05 dengan interval
kepercayaan 95%.
3.10. Etika penelitian
Persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian dimintakan dari orang tua murid
dalam bentuk tanda tangan pada lembar persetujuan (Informed consent). Orang tua
anak sebelumnya telah diberikan penjelasan tentang tujuan dan prosedur penelitian.
Seluruh biaya untuk penelitian ditanggung oleh peneliti. Responden tidak dibebani
biaya tambahan apapun untuk penelitian. Data pribadi penderita dijamin
kerahasiaannya.
Penelitian telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan RS dr. Kariadi Semarang dengan
nomor surat 08/EC/FK/RSDK/2009.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Pada periode penelitian, diteliti 103 sampel yang merupakan murid Madrasah
Ibtidaiyah (MI) Desa Kalitapas dan Desa Bleber Kecamatan Bener berusia 6-14
tahun. Kedua desa tersebut berada di desa HCI tinggi malaria di Kabupaten
Purworejo. Jumlah keseluruhan murid di kedua MI tersebut berjumlah 144 anak, 106
anak dari MI Desa Bleber dan 38 anak dari MI Desa Kalitapas, tetapi 25 anak tidak
masuk kriteria inklusi karena 1 anak berusia lebih dari 14 tahun, 24 orang tua anak
menolak mengikuti penelitian. Enam belas anak di eksklusi karena 15 anak dengan
suhu tubuh tidak berada dalam rentang normal (36,1-37,2ºC-axilla), 1 anak dengan
gizi buruk antropometri, sehingga total subyek penelitian menjadi 103 anak.
Populasi
144 anak MI Desa Kalitapas & Desa Bleber
25 anak tidak masuk kriteria inklusi: 1 anak
berusia 15 tahun, 24 orang tua anak tidak
setuju untuk ikut penelitian
16 anak dieksklusi: 15 anak
suhu tubuh tdk normal, 1 anak
gizi buruk antropometri
Total subyek penelitian 103 anak
Gambar 4.1. Profil Penelitian
Tabel 4.1. Karakteristik subyek penelitian
Karakteristik
Umur (tahun); rerata (SB)
Nilai
9,7 ± 1,93
Kadar seng plasma;rerata (SB)
Kadar IL-12; rerata (SB)
146,4 ± 41,14
3,3 ± 3,48
Jenis kelamin; n(%)
•
•
60 (58,3)
43 (41,7)
Laki-laki
Perempuan
Status infeksi malaria; n(%)
•
•
101 (98,1)
2 (1,9)
Negatif
Positif
Status seng; n(%)
•
•
3 (2,9)
101 (97,1)
Defisiensi
Normal
Status gizi berdasarkan HAZ; n(%)
•
•
37 (35,9)
66 (64,1)
Pendek
Normal
Status gizi berdasarkan IMT ; n(%)
•
•
•
Underweight
Normoweight
Overweight
23 (22,3)
78 (75,7)
2 (1,9)
Status ekonomi; n (%)
•
•
•
•
Tidak miskin
Mendekati miskin
Miskin
Sangat miskin
n Jumlah
% Persen
9 (8,7)
16 (15,5)
70 (68,0)
8 (7,8)
SB(Simpang Baku)
Telah dilakukan penelitian pada 103 anak yang terdiri dari 60 anak laki-laki dan
43 anak perempuan. Rerata kadar seng plasma adalah 146,4 ± 41,14 µg/dL, kadar
terendah 13,50 µg/dl dan tertinggi 285,90 µg/dl. Rerata kadar IL-12 adalah 3,3 ± 3,48
pg/ml. Status infeksi malaria sebagian besar negatif (98,1%). Status gizi berdasarkan
IMT sebagian besar normal (75,8%), sedangkan status gizi berdasarkan HAZ
sebanyak 35,9% anak dengan perawakan pendek. Tingkat kemiskinan sebagian besar
masuk ke dalam kategori miskin (68,0%).
Tabel 4.2. Karakteristik kadar seng plasma dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
Karakteristik
Status infeksi malaria
Positif (n=2)
Negatif (n=101)
Kadar seng plasma
Rerata (SB)
137,7 ± 16,40
146,5 ± 41,49
p
*
Status gizi berdasarkan HAZ
Pendek (n=37)
Normal (n=66)
147,7 ± 42,09
145,7 ± 40,90
0,8§
Status gizi berdasarkan IMT
Underweight (n=23)
Normoweight (n=78)
Overweight (n=2)
131,8 ± 32,74
150,1 ± 42,82
167,6 ± 31,54
0,1†
Status ekonomi berdasarkan BLT
Tidak miskin (n=9)
Mendekati miskin (n=16)
Miskin (n=70)
Sangat miskin (n=8)
150,7 ± 32,87
156,7 ± 40,33
143,4 ± 42,06
146,4 ± 41,14
0,7†
§
Uji Independent t-test
Uji One-Way Anova
SB (Simpang Baku)
*Tidak dilakukan uji statistik karena jumlah status infeksi malaria positif sedikit
†
Karakteristik kadar seng plasma ditampilkan pada tabel 4.2. Rerata kadar seng
plasma pada status malaria positif lebih rendah dibandingkan status malaria negatif,
tetapi tidak dilakukan uji statistik karena jumlah status malaria positif sangat sedikit.
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna rerata kadar seng plasma pada kelompok
pendek dan normal (p=0,8). Terdapat rerata kadar seng plasma yang lebih rendah
pada kelompok Underweight dibandingkan kelompok Normoweight dan Overweight,
tetapi secara statistik tidak bermakna (p=0,1). Tidak terdapat perbedaan rerata kadar
seng plasma dengan kelompok status ekonomi berdasarkan BLT (p=0,6).
Tabel 4.3. Karakteristik kadar IL-12 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
Karakteristik
Kadar IL-12 serum
Rerata (SB)
p
Status infeksi malaria
Positif (n=2)
Negatif (n=101)
1,6 ± 2,25
3,3 ± 3,50
*
Status gizi berdasarkan HAZ
Pendek (n=37)
Normal (n=66)
3,5 ± 4,93
3,2 ± 2,36
0,2‡
Status gizi berdasarkan IMT
Underweight (n=23)
Normoweight (n=78)
Overweight (n=2)
2,7 ± 2,13
3,2 ± 2,44
15,5 ± 19,25
0,3¥
‡
Uji Mann-Whitney
Uji Kruskal-Wallis
SB (Simpang Baku)
* Tidak dilakukan uji statistik karena jumlah status infeksi malaria positif sedikit
¥
Tabel 4.3. menunjukkan bahwa rerata kadar IL-12 pada kelompok status malaria
positif lebih rendah dibandingkan kelompok malaria negatif, tetapi tidak dapat
dilakukan uji statistik karena jumlah status malaria positif sangat sedikit. Tidak
didapatkan perbedaan rerata kadar IL-12 pada kelompok pendek dengan kelompok
normal (p=0,2). Rerata IL-12 pada kelompok Overweight didapatkan lebih tinggi
dibandingkan Underweight dan Normoweight, tetapi secara statistik tidak bermakna
(p=0,3).
Tabel 4.4. Korelasi kadar seng plasma dengan kadar IL-12, nilai HAZ, nilai IMT, dan
skor BLT
Uji Korelasi
Variabel
r
p
IL-12
+0,20
0,04 ¶
HAZ
-0,12
0,1€
IMT
Skor BLT
+0,24
-0,09
0,008¶
0,2€
¶
Uji korelasi Spearman
Uji korelasi Pearson
€
Terdapat korelasi positif derajat rendah yang bermakna antara kadar seng plasma
dengan kadar Interleukin-12 (r=+0,20; p=0,04), hal tersebut berarti bahwa
peningkatan kadar seng plasma akan meningkatkan kadar IL-12. Terdapat korelasi
positif derajat rendah yang bermakna antara kadar seng plasma dengan nilai IMT
(r=+0,24; p=0,008), hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan nilai IMT akan
meningkatkan kadar seng plasma. Tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar seng
plasma dengan nilai HAZ dan skor BLT.
BAB 5
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini didapatkan sebagian besar anak dengan status gizi normal
(75,8%), hal ini sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Sazawal (2007), bahwa
sebagian besar anak di daerah endemis malaria dengan status gizi normal (68%).64
Penelitian yang dilakukan Nyakeriga (2004), didapatkan prevalensi gizi normal
berkisar 57,5%-62,3%.65 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mexitalia
dkk (2007), prevalensi gizi kurang didapatkan 63,6%.66 dan penelitian di Kenya
didapatkan bahwa prevalensi anak kurang gizi meningkat di daerah endemis malaria
dan penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh lainnya.29
Perbedaan hasil
penelitian tersebut mungkin disebabkan karena hubungan antara malaria dan
malnutrisi adalah kompleks, serta masih menjadi perdebatan dalam kurun waktu yang
lama, walaupun pada penelitian terkini didapatkan penambahan bukti-bukti bahwa
terdapat hubungan antara nutrisi dan antropometri serta status mikronutrien dengan
kerentanan pada malaria.
Berdasarkan HAZ sebanyak 35,9% anak dengan perawakan pendek, hasil yang
hampir sama didapatkan pada penelitian oleh Nyakeriga (2004), bahwa prevalensi
anak berperawakan pendek adalah berkisar 32%-38%.63
Penelitian Muller (2001),
pada anak Afrika Barat didapatkan 36,3% anak dengan HAZ <-2SD.18 Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Genton (1996), didapatkan hasil anak dengan
perawakan pendek sebesar 26%.67
Pada penelitian oleh Mexitalia dkk (2007),
didapatkan hasil rerata subyek penelitian adalah berperawakan pendek, hal ini sesuai
dengan penelitian di Kenya bahwa di daerah endemis malaria banyak didapatkan
anak dengan perawakan pendek yang merupakan gambaran malnutrisi kronis.18,29,66
Pemeriksaan darah tebal pada sebagian besar subyek tidak didapatkan parasit malaria
(98,1%). Pada subyek dengan parasit malaria positif, semuanya menampakkan
gambaran Plasmodium falciparum. Penelitian oleh Mexitalia (2007), didapatkan
86,4% subyek dengan parasit malaria negatif, hal ini sesuai dengan penelitian di
Afrika,68 Kenya, Papua New Guinea,17 dan Tanzania.69
Interleukin-12 berperan penting pada sistem imun didapat terhadap malaria.
Meskipun telah diketahui adanya korelasi antara IL-12 dengan beratnya penyakit,
tetapi didapatkan kadar IL-12 yang rendah pada anak Afrika dengan malaria berat,
kemungkinan karena adanya inhibisi setelah proses fagositosis dari hemozoin atau
karena induksi dari IL-10. Penelitian oleh Lyke (2004) didapatkan sedikit
peningkatan IL-12 pada malaria berat dibandingkan malaria tanpa komplikasi.70
Hasil penelitian oleh Luty (2000) didapatkan kadar IL-12 yang lebih rendah pada
malaria berat dibandingkan malaria ringan (p < 0,001).71
Hasil dari penelitian ini
didapatkan kadar IL-12 yang lebih rendah pada status infeksi malaria positif, tetapi
tidak dapat dilakukan uji statistik karena jumlah sampel yang sedikit. Penyebab
rendahnya peningkatan IL-12 kemungkinan karena adanya downregulation oleh IL10, atau kombinasi gangguan fungsi fagositosis akibat dari hemozoin consumption.
Hasil pada penelitian ini didapatkan korelasi positif derajat rendah antara kadar
seng dengan kadar IL-12 (r=+0,20; p=0,04), hal tersebut menyatakan bahwa
peningkatan kadar seng akan meningkatkan kadar IL-12. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Weiringa (2004) pada bayi usia 3-10 bulan, terdapat penurunan kadar
IL-12 pada kelompok defisiensi seng dibandingkan dengan kelompok non defisiensi
seng tetapi secara statistik tidak bermakna. Tidak terdapat efek yang bermakna pada
defisiensi seng terhadap produksi INF-γ, IL-12, dan IL-18, hal ini disebabkan karena
pada penelitian tersebut jumlah sampel sedikit sehingga mengaburkan efek seng
terhadap produksi sitokin tersebut.72
Dari 103 anak yang diteliti didapatkan 2,9% anak dengan defisiensi seng, dengan
rerata kadar seng plasma yaitu 146,38 µg/dl, kadar terendah 13,50 µg/dl dan tertinggi
285,90 µg/dl. Pada penelitian oleh Lind (2003) di daerah Purworejo pada bayi usia 6
bulan didapatkan 78% defisiensi seng (kadar seng serum <10,7 µmol/L).71 Penelitian
oleh Ngurah Sudiana (2005) di daerah Sendangguwo Semarang pada anak,
didapatkan 6% anak dengan defisiensi seng.74 Penelitian Desi F di daerah Grobogan
pada balita, didapatkan 78,7% defisiensi seng (kadar seng plasma <80 µg/dl).
Penelitian Satoto (1993) pada anak sekolah di daerah Nusa Tenggara Barat
didapatkan 22,1% anak dengan defisiensi seng, dengan rerata kadar seng rambut
205±109 µg/g. Hasil penelitian oleh Frans JH (2006) pada anak kelas 1 SD di daerah
Purwodadi didapatkan 40% anak dengan defisiensi seng (kadar seng rambut <120
µg/dL).75
Secara umum prevalensi defisiensi seng ditemukan berkisar 6%-73% di
subwilayah WHO, dengan prevalensi rata-rata 31% di seluruh dunia.19
Penentuan status seng pada penelitian ini adalah berdasarkan kadar seng plasma,
cara ini sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain masukan
diet. Plasma seng pada umumnya dapat digunakan untuk mendiagnosis defisiensi
seng dan merupakan cara yang praktis, tetapi metode tersebut sensitivitas dan
spesifisitasnya kurang menggambarkan homeostasis seng primer, sehingga The
International Zinc Nutrition Consultative Group mengembangkan metode untuk
mengestimasi prevalensi defisiensi seng pada populasi dengan meneliti ketersediaan
seng pada diet lokal.19
Pengukuran kadar Metalothionein juga potensial dan lebih
sensitif dari pengukuran kadar seng plasma untuk menentukan perubahan marginal
dari status seng tubuh. Produksi Metalothionein ditingkatkan dengan keberadaan
seng. Penelitian kecil pada manusia menunjukkan bahwa masukan seng yang kurang
berhubungan dengan penurunan 64% kadar Metalothionein mRNA, tetapi tidak
terdapat perubahan pada kadar seng plasma.20,53
Terdapat rerata kadar seng plasma yang lebih rendah pada kelompok status
malaria positif dibandingkan status malaria negatif pada penelitian ini, tetapi tidak
dapat dilakukan uji statistik karena jumlah sampel malaria positif sangat sedikit.
Penelitian di Gambia mendapatkan bahwa suplementasi seng akan menurunkan 32%
kunjungan kepusat kesehatan akibat malaria berdasarkan pemeriksaan mikroskopis,
tetapi secara statistik tidak bermakna.21
Penelitian pada anak prasekolah di Papua
New Guinea menunjukkan bahwa suplementasi seng menurunkan angka kunjungan
kepusat kesehatan akibat malaria.17
Penelitian oleh Duggan (2005), mendapatkan
hasil bahwa kadar seng plasma menurun pada infeksi malaria akut.20 Penelitian di
Papua New Guinea menggunakan konfirmasi malaria klinis pada penelitiannya,
sedangkan penelitian kami menggunakan malaria asimptomatis, sehingga jumlah
anak dengan malaria positif sangat sedikit (1,9%).
Terdapat korelasi positif derajat rendah antara kadar seng plasma dengan IMT
(r=+0,24; p=0,008), hal ini berarti bahwa anak dengan status gizi kurang akan
didapatkan kadar seng yang rendah. Hasil penelitian yang sama oleh Duggan (2005),
menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar seng plasma dengan WHZ
(r=+0,08; p <0,05). Telah diketahui dari penelitian-penelitian sebelumnya bahwa
status gizi merupakan faktor risiko dari defisiensi seng pada anak.20
Seng berperan penting pada pencegahan terhadap malaria yang terjadi di usia
yang lebih muda.76 Penelitian Sazawal (2007), menyatakan bahwa suplementasi seng
bermakna pada angka kematian akibat malaria pada anak dibawah usia 5 tahun.64
Terdapat faktor-faktor lain yang perlu diteliti karena ikut berpengaruh pada kadar
seng plasma dan kadar Interleukin-12 pada infeksi malaria, namun belum diketahui
berapa besar pengaruhnya.
Keterbatasan Penelitian
1. Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan kadar seng plasma untuk
menentukan status seng. Kadar seng plasma lebih mudah diterima untuk
menentukan status seng, terutama sebagai indikator dari respon fase akut,
tetapi konsentrasi seng plasma tidak secara akurat menggambarkan status seng
secara individual dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti variasi diurnal,
variasi setiap individu, faktor diet (protein, fitat), asupan seng, besi, tembaga,
kalsium, dan lain sebagainya, dengan demikian faktor-faktor tersebut perlu
diteliti lebih lanjut dan sebaiknya dilakukan food recall terlebih dahulu
sebelum penelitian dilakukan. Banyak indikator lain untuk menentukan status
seng, tetapi belum ada satupun yang dapat menggantikan seng plasma sebagai
indikator praktis.
2. Interleukin-12 sebagai sitokin proinflamasi, bersama dengan INF-γ yang
merupakan parakrin yang bersifat feedback positif terhadap makrofag dan sel
NK yang menyebabkan aktifitas makrofag bekerja maksimal, sehingga perlu
pemeriksaan lebih lanjut kadar INF-γ.
3. Terdapat stimulator negatif dari produksi IL-12 seperti IL-4, IL-10, IL-13, dan
TNF-β meniadakan fungsi proinflamasi dari IL-12. TGF-β dan IL-10
merupakan inhibitor efektif dari IL-12, dengan menghambat produksi dan
efek IL-12 terhadap sel T dan sel NK, sehingga masih perlu penelitian pada
sitokin yang lain.
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. SIMPULAN
Berdasarkan data dan analisis seperti yang diuraikan di atas maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Rerata kadar seng plasma pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis
malaria adalah 146,4 ± 41,14 µg/dL
2. Rerata kadar Interleukin-12
pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis
malaria adalah 3,3 ± 3,48 pg/ml
3. Terdapat korelasi positif derajat rendah antara kadar seng plasma dan kadar
Interleukin-12 pada anak di daerah endemis malaria
6.2. SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara kadar seng
plasma dan IL-12 pada anak malaria simptomatis dengan memperhatikan faktor lain
yang mungkin turut berpengaruh antara lain asupan gizi, asupan seng, besi, tembaga,
kalsium, dan sitokin lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Children and Malaria. Roll Back Malaria.
Available from URL: http://www.rbm.who.int., diakses pada 20-7-2008.
2. Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. Gebrak Malaria : Pedoman Tatalaksana Kasus
Malaria Di Indonesia. Ditjen P2M dan Penyehatan Lingkungan. Depkes RI;
2005.
3. Gunawan S. Epidemiologi malaria. Dalam: Harijanto PN, penyunting. Malaria
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinik, & Penanganan. Jakarta : EGC;
2000:1-13.
4. Metha PN. Malaria. In: Noel GJ, editor. eMedicines, 2002. Available from
URL: http://www.emedicines.com/ped/topic 1357.htm, diakses pada 12-62008.
5. Departemen Kesehatan Rl Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular
Dan Penyehatan Lingkungan. Profil Pemberantasan Penyakit
Menular Dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL) Tahun 2006. Ditjen P2M
dan Penyehatan Lingkungan. Depkes RI; 2006. Available from URL:
http://www.depkes.go.id., diakses pada 12-7-2008.
6. Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Laporan penemuan malaria di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2008. Dinkes Jateng: 2008.(unpublished).
7. Profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. 2007.
8. Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo. Laporan malaria per desa di
Kabupaten
Purworejo
tahun
2008.
Dinkes
Kab.
Purworejo:
2008.
(unpublished).
9. Tanabe K, Mikkelsen RB, Wallach DFH. Transport of ions in erytrocytes
infected by plasmodia. In: Ciba foundation symposium 94, London: Pitman
inc; 1983: 64-73.
10. Fernando SD, Gunawardena DM, Bandara MRSS, De Silva D, Casrter R,
Mendis KN. The impact of repeated malaria attacks on the school
performance of children. Am J Trop Med Hyg 2003;69:582-8.
11. Lalloo DG, Olukoya P, Olliaro P. Malaria in adolescence: burden of disease,
consequences, and opportunities for intervention. Lancet Infect Dis
2006;6:780-93.
12. Nugroho A, Harijanto PN, Datau EA. Imunologi pada malaria. Dalam:
Harijanto PN, penyunting. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi
Klinik, & Penanganan. Jakarta: EGC; 2000:128-47.
13. Abbas AK, Lichtman AH. Cellular and Molecular Immunology. 5th ed.
Philadelphia : Elsevier Science; 2003: p.243-74.
14. Shankar AH, Prasad AS. Zinc and immune function: the biological basis of
altered resistance to infections. Am J Clin Nutr 1998 ; 68(suppl) : 447S-63S
15. Caulfield LE, Richard SA, Black RE. Undernutrition as an underlying cause
of malaria morbidity and mortality in children less than five years old. Am J
Trop Med Hyg 2004;71 (suppl 2):55-63.
16. Browning JD, O’Dell BL. Zinc deficiency decreases the concentration of Nethyl D-aspartate receptors in guinea pig cortical synaptic membranes. J Nutr
1995;125:2083-9.
17. Shankar AH, Genton B, Baisor M, Paino J, Tamja S, Adiguma T, et al. The
influence of zinc supplementation on morbidity due to plasmodium
falciparum: A randomized trial in preschool children in Papua New Guinea.
Am J Trop Med Hyg 2000;62:663-9.
18. Muller O, Becher H, Baltussen A, Ye Y, Diallo DA, Konate AT, et al. Effect
of zinc supplementation on malaria and other causes of morbidity in West
African children: randomised double blind placebo controlled trial. BMJ
2001;322:1-6.
19. The Zinc Against Plasmodium Study Group. Effect of zinc on the treatment of
Plasmodium falciparum malaria in children: a randomized controlled trial.
Am J Clin Nutr 2002;76:805-12.
20. Duggan C, Macleod WB, Krebs NF, Westcott JL, Fawzi WW, Premji G, et al.
Plasma zinc concentrations are depressed during the acute phase response in
children with palciparum malaria. J Nutr 2005;13:802-7.
21. Bates CJ, Bates PH, Dardenne A, Prentice PG, Lunn CA, Northrop-Clewes, at
al. A trial of zinc supplementation in young rural Gambian children. Br J Nutr
1993;69:243-55.
22. Krause PJ. Malaria (Plasmodium). In : Nelson WB, Jenson HB, Behrman RE,
editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th Ed. Philadelphia: WB Saunders
Company; 2000: p.1049-52.
23. Sachro A, Soetono, Yuslam H. Penyakit infeksi tropis. Dalam: Hartantyo I,
Susanto R, Tamam M, Kosim MS, Irawan PW, Wastoro D, Sudigbia I,
penyunting. Pedoman Pelayanan Medik Anak.2nd Ed. Semarang : Bagian IKA
FK UNDIP RS Dr. Kariadi; 1997:6-7.
24. Rampengan TH. Malaria. Dalam: Poorwo Soedarmo SS, Garna H,
Hadinegoro SR, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan
Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002:442-71.
25. Wellem TE, Miller LH. Two worlds of Malaria. N Engl J Med 2003;
349:1496-8.
26. Krishna S. Science, medicine, and the future: Malaria. BMJ 1997;315:7302.
27. Wilson CM. Plasmodium Species (Malaria). In: Principles and Practice of
Pediatrics Infectious Disease, 2
nd
Ed. Philadelphia: Churchill Livingstones;
1994:1295-301.
28. MacDonald SM, Bhisutthibhan J, Shapiro TA, Rogerson SJ, Taylor TE.
Immune mimicry in malaria:Plasmodium falciparum secretes a functional
histamine-releasing
factor
homolog
in
vitro
and
in
vivo.
PNAS
2001;98:10829-32.
29. Kwena AM, Terlouw DJ, De Vlas SJ, Phillips-Howard PA, Hawley WA,
Friedman JF, et al. Prevalence and severity of malnutrition in pre-school
children in a rural area of Western Kenya. Am J Trop Med Hyg 2003;68:94-9.
30. Purwaningsih
S. Diagnosis malaria. Dalam: Harijanto PN, penyunting.
Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan.
Jakarta: EGC; 2000:185-93.
31. Mills CD, Burgess DCH, Taylor HJ, Kain KC. Evaluation of a rapid and
inexpensive dipstick assay for the diagnosis of Plasmodium falciparum
malaria. WHO Bulletin 1999; 77:553-9.
32. Samodro P. Budiawan W, Gasem MH. Field evaluation of OptiMAL, a rapid
diagnostic test for malaria, during the outbreak of malaria in Banjarnegara
regency, Central Java, Indonesia. Buku Abstrak Kongres Nasional VIII
PETRI, Malang: 2002.
33. Arum I, Purwanto AP, Arfi S, Tetrawindu H, Octora M, Mulyanto, et al. Uji
diagnostik plasmodium malaria menggunakan metode imunokromatografi
diperbandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Indonesia J of Clin
Pathology and Med Lab 2006;12:118-22.
34. Martorell R, Habicht JP. Growth in early childhood in developing countries.
In: Falkner F, Tanner JM. Human growth a comprehensive treatise.
Methodology ecological, genetic, and nutritional effect on growth. 2nd Ed.
New York; Plenum Press;1986.p.241-62.
35. World Health Organization. Complementary feeding of young children in
developing countries: a review of current scientific knowledge. Geneva.1998.
36. Ruel MT. Failure to thrive. Strategies for evaluation and intervention. School
Psychology review 1995;135:904-14.
37. Guldan GS. Maternal education and child feeding practices in rural
Bangladesh. Social Science and medicine 1993;36:925-35.
38. Sutisna P. Malaria secara ringkas dari pengetahuan dasar sampai terapan.
Edisi pertama. Jakarta: EGC; 2003:48-53.
39. Blomberg MT, Perlmann P. Malaria and the immune system in humans.
Chem Immunol 2002;80:229-42.
40. Stoute JA, Slaoui M, Heppner G. A preliminary evaluation of a recombinant
circumsporozoite protein vaccine against plasmodium falciparum malaria. N
Eng J Med 1997; 336:86-91.
41. Departemen
Kesehatan
R.I.,
Direktorat
Jenderal
Pencegahan
dan
Pemberantasan Penyakit Menular. Malaria. Ditjen P2M dan Penyehatan
Lingkungan. Depkes RI; 2004.
42. Baratawidjaja KG. Sistem imun. Dalam: Imunologi Dasar. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2004:1-31.
43. Boutlis CS, Lagog M, Chaisavaneeyakorn S, Misukonis MA, Bockarie MJ,
Mgone CS, et al. Plasma interleukin-12 in malaria-tolerant papua new
guineans: inverse correlation with plasmodium falciparum parasitemia and
peripheral blood mononuclear cell nitric oxide synthase activity. Am Soc for
Microbiology 2003;71:6354-7.
44. Angulo I, Fresno M. Cytokines in the pathogenesis of and protection against
malaria. Am Soc for Microbiology 2002;9:1145-52.
45. Dijkhuizen MA, Wieringa FT. Vitamin A, iron and zinc deficiency in
Indonesia. Micronutrient interactions and effects of suplementation.
Wageningen University, Thesis, 2001.
46. Brown KH, Peerson JM, Rivera J, Allen LH. Effect of suplementation zinc on
the growth and serum zinc concentration of pre pubertal children : a meta
analysis of randomized contolled trials. Am J Clin Nutr 2002;75:1062-71.
47. Casey CE, Walravens PA. Trace elements. In:Tsang TC, Nichols BL, editors.
Nutrition during infancy. Philadelphia:Hanley & Belfus;1998:191-215.
48. Hambidge KM, Krebs NF, Miller L. Evaluation of zinc metabolism with use
of stable isotope technique: implications for assesment of zinc status. Am J
Clin Nutr 1998;68 (suppl):410S-3S.
49. WHO.
Trace
element
in
human
nutrition
and
health.
Geneva:
Macmillan/Ceuterick;1996:72-101.
50. Rink L, Gabriel P. Zinc and immune system. Proceedings of the nutrition
society 2000;59:541-52.
51. Berdanier CD. Advanced nutrition micronutrients. New York: CRC
Press;1998:183-203.
52. Fraker PJ, King LE, Laako T, Vollmer TL. The dynamic link between the
integrity of the immune system and zinc status. J Nutr 2000;130:1399S-406S.
53. Hambidge M. Biomarker of trace mineral intake and status. Am Soc for Nutr
Sciences 2003:948-55.
54. Brown K. Effect of infections on plasma zinc concentration and implications
for
zinc status assessment in low-income countries. Am J Clin Nutr
1998;68:425S-9S.
55. Agget P. Zinc. In: Annales Nestle 52/3. Trace elements in infancy and
childhood. Switzerland: Nestle Ltd; 1994:95-106.
56. Bakri A. Peranan mikronutrien seng dalam pencegahan dan penanggulangan
diare. Dalam: Kumpulan makalah kongres nasional II badan koordinasi
gastroenterologi anak Indonesia, 2003:132-5.
57. Hambidge M. Human zinc deficiency. Am Soc for Nutr Sciences
2000:1344S-9S.
58. Dardenne M. Zinc and immune function. Eur J of Clin Nutr 2002;56:S20-3.
59. Ibs K, Rink L. Zinc-altered immune function. J Nutr 2003;13:1452S-6S.
60. Prasad AS. Zinc:mechanisms of host defense. J Nutr 2007;137:1345-9.
61. Rink L, Kirchner H. Zinc-altered immune function and cytokine production.
Am Soc for Nutr Sciences 2000;130:1407S-11S.
62. Field CJ, Johnson IR, Schley PD. Nutrients and their role in host resistance to
infection. J of Leukocyte Biol 2002;71:16-32.
63. Young M, Berti P. Insecticide treated nets and vitamin A supplementation :
An integrated approach to control malaria and micronutrient deficiency :
Literature review paper and Malawi case study. PATH Canada. 2000.
64. Sazawal S, Black RE, Ramsan M, Chwaya HM, Dutta A, Dhingra U, et al.
Effect of zinc supplementation on mortaality in children aged 1-48 months: a
community-based randomised plasebo-controlled trial. Lancet 2007;369;92734.
65. Nyakeriga AM, Troye-Blomberg M, Chemtai AK, Marsh K, Williams TN.
Malaria and nutritional status in children living on the coast of Kenya. Am J
Clin Nutr 2004;80:1604-10.
66. Mexitalia M, Oka Nurjaya IGK, Saptanto A, Tamam M, Hartantyo I,
Soemantri Ag. Status gizi, eosinofilia dan kepadatan parasit malaria anak
sekolah dasar di daerah endemis malaria. Sari Pediatri 2007;9:274-80.
67. Genton B, Al-Yaman F, Ginny M, Taraika J, Alpers MP. Relation of
anthropometry to malaria morbidity and immunity in Papua New Guinean
children. Am J Clin Nutr 1998;68:734-41.
68. Shankar AH. Nutritional modulation of malaria morbidity and mortality. J
Infect Dis 2000;182:37-53.
69. Ekvall H, Premji Z, Bennett S, Bjorkman A. Hemoglobin concentration in
children in a malaria holoendemic area is determined by cumulated
plasmodium falciparum parasite densities. Am J Trop Med Hyg 2001;64:5866.
70. Lyke KE, Burges R, Cissoko Y, Sangare L, Dao M, Diarra I, et al. Serum
levels of the proinflammatory cytokines Interleukin-1 beta (IL-1β), IL-6, IL-8,
IL-10, Tumor Necrosis Factor Alpha, and IL-12(p70) in Malian children with
severe Plasmodium falciparum malaria and matched uncomplicated malaria
or healthy controls. Am Soc for Microbiology 2004;72:5630-7.
71. Luty AJF, Perkins DJ, Lell B, Schmidt-Ott R, Lehman LG, Luckner D, et al.
Low Interleukin-12 activity in severe Plasmodium falciparum malaria. Am
Soc for Microbiology 2000;68:3909-15.
72. Wieringa FT, Dijkhuizen MA, West CE, van der Ven-Jongekrijg J, Muhilal,
van der Meer JWM. Reduced production of immunoregulatory cytokines in
vitamin A- and zinc-deficient Indonesian infants. EJCN 2004;58:1498-504.
73. Lind T, Lonnerdal B, Stenlund H, Ismail J, Seswandhana R, Ekstrom CA, et
al. A community-based randomized controlled trial of iron and zinc
supplementation in Indonesian infants:interactions between iron and zinc. Am
J Clin Nutr 2003;77:883-90.
74. Sudiana N. Pengaruh suplementasi seng terhadap morbiditas diare dan infeksi
saluran pernafasan akut pada anak umur 6 bulan-2 tahun. (Tesis). Semarang:
Universitas Diponegoro; 2005.
75. Huwae FJ. Hubungan antara kadar seng (Zn) dengan memori jangka pendek
pada anak sekolah dasar. (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro; 2006.
76. Osei AK, Hamer DH. Management of pediatric malaria: role of nutritional
interventions. Ann Nestle (Engl) 2008;66:31-47.
Pemeriksaan kadar seng (Zn) dengan AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometer)
Reagen
Gliserol p.a
Air bebas ion (Deionized water), dibuat dengan cara melarutkan aquadestilata
pada Mixed resin
Larutan
Larutan gliserol
Dibuat dengan melarutkan 50 ml gliserol (reagen grade) dengan air bebas ion
sampai volumenya 1000 ml
Larutan standar (untuk Zn)
Menggunakan larutan standar komersial yang khusus dipergunakan untuk AAS.
Dilakukan pengenceran sampai mencapai konsentrasi 16 µmol/L sampai 80
µmol/L untuk mendapatkan kisaran (range) yang linier. Reagen ini stabil bila
disimpan pada botol polipropilen (dalam suhu ruang/ 18-25ºC) dan tidak perlu
dibuat baru setiap kali running tetapi cukup diperiksa setiap bulan.
Alat
Botol polipropilen
Tabung reaksi plastik
-
-
Pipet otomatik
AAS diset sesuai manual. Absorbance diukur pada panjang gelombang 213,8
nm dengan tebal slit 0,7 nm. Menggunakan Air-Acethylene flame. Kondisi alat,
besar api, tekanan gas, flow rate, samle aspiration rate dan lampu harus diatur
seoptimal mungkin untuk mendapatkan sensitifitas terbaik.
Sampel
Darah vena, dimasukkan dalam tabung plastik dengan penutup bebas karet.
Harus dihindari kontaminasi sampel dan reagen dengan unsur karet atau sumber
seng yang lain.
Prosedur pemeriksaan
1. Destruksi
Darah vena dipusingkan dengan kecepatan 3000 rpm dan diambil
plasmanya sejumlah 1 ml (duplo)
Plasma kemudian ditambah larutan HNO3 pa dengan perbandingan
volume yang sama
Dicampur hingga homogen dengan menggunakan vortex mixer
kemudian dipanaskan dengan kompor listrik sampai warna larutan
menjadi coklat bening
Setelah itu ditambahkan larutan asam perklorat p.a dengan volume
yang sama kemudian dipanaskan ladi dengan kompor listrik sampai
larutan menjadi putih jernih, yang menandakan ikatan antara seng
dengan asam-asam amino sudah putus.
2. Pembacaan
Larutan yang mengandung seng diukur dengan alat AAS dengan cara
diaspirasikan pada alat AAS sehingga terbentuk atom pada burner
Atom-atom seng bebas akan menyerap sirap radiasi resonans yang
sudah mengalami absorpsi oleh atom-atom seng bebas
Intensitas radiasi yang masuk akan dikur oleh detektor, setelah
diamplifikasi akan dibaca oleh recorder/printer
Spectrofotometer diatur dengan sensitifitas maksimum dan kebisingan
minimum, kemudian dinolkan dengan larutan gliserol, prosedur ini
diulang-ulang selama analisis. Larutan kerja stnadar kemudian
diaspirasi untuk mendapatkan kurva standar.
3. Kalkulasi
Konsentrasi sampel didapat dengan memperoleh absorbancenya dan
diplotkan dengan kurva standar (dihitung dengan program komputer)
Kontrol kualitas:
Kalibrasi alat rutin dilakukan sebelum running
Memeriksa akurasi dan presisi dengan pemeriksaan larutan kontrol yang telah
diketahui kadarnya (buatan pabrik)
Pemeriksaan Interleukin-12
Persiapan reagen
Buffer Concentrate disiapkan pada temperatur ruang dan dilarutkan sebelum
digunakan.
1.
Wash Buffer (1x)
Masukkan 50 ml Wash Buffer Concentrate (20x) kedalam silinder 1000 ml.
Tambahkan dengan 1000 ml air suling atau deionized water. Campurkan perlahan.
PH cairan harus berkisar 7,4.
Pindahkan ke botol bersih dan simpan dalam suhu ruang 2-15ºC. Diharapkan tidak
menyimpan Wash Buffer (1x) selama 30 hari.
Wash Buffer (1x) dapat disiapkan sesuai dengan tabel sebagai berikut:
Jumlah strip
2.
Wash Buffer Concentrate (20x) (ml)
Air suling (ml)
1-6
25
475
1-12
50
950
Assay Buffer (1x)
Masukkan 5 ml Assay Buffer Concentrate (20x) kedalam silinder bersih 100 ml.
Campurkan sampai 100 ml dengan air suling. Kocok perlahan untuk menghindari
terbentuknya busa.
Simpan pada suhu 2-8ºC. Diharapkan tidak menyimpan Assay Buffer (1x) selama 30
hari.
Assay Buffer (1x) dapat disiapkan sesuai tabel berikut:
Jumlah strip
3.
Assay Buffer Concentrate (20x) (ml)
Air suling (ml)
1-6
2,5
47,5
1-12
5,0
95,0
Biotin-Conjugate
Biotin-conjugate seharusnya digunakan tidak lebih dari 30 menit setelah
pengenceran.
Buatlah 1:100 pengenceran Biotin-Conjugate dengan Assay Buffer (1x) pada tabung
plastik sesuai dengan tabel berikut:
Jumlah strip
Biotin-Conjugate (ml)
Assay Buffer (1x) (ml)
1-6
0,03
2,97
1-12
0,06
5,94
4.
Streptavidin-HRP
Gunakan Streptavidin-HRP kurang dari 30 menit setelah pengenceran.
Buatlah pengenceran 1:200 larutan Streptavidin-HRP dengan Assay Buffer (1x)
kedalam tabung plastik sesuai dengan tabel berikut:
Jumlah strip
Streptavidin-HRP (ml)
Assay buffer (1x) (ml)
1-6
0,03
5,97
1-12
0,06
11,94
5.
Human IL-12 p70 Standard
Persiapkan human IL-12 p70 standard dengan menambahkan air suling.
Penambahan volume dimulai sesuai tanda pada standard vial. Putarkan perlahan
sampai tercampur homogen (konsentrasi reconstituted standard = 400 pg/ml).
Setelah dipakai tidak boleh disimpan dan segera dibuang.
6.
Pengenceran External Standard
Persipkan tujuh tabung dengan label: S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7
Persiapkan pengenceran 1:2 untuk kurva standard sebagai berikut: Pipet 225 µl
Sample Diluent untuk masing-masing tabung.
Pipet 225 µl reconstituted standard (concentration = 400 pg/ml) kedalam tabung
pertama, beri tanda S1, dan campurkan (konsentrasi standard = 200 pg/ml).
Pipet 225 µl pengenceran tadi kedalam tabung kedua, beri tanda S2, dan campurkan
sebelum dipindahkan ketabung berikutnya. Ulangi pengenceran serial 5 kali lebih
kemudian masukkan ke kurva standard.
Protokol pemeriksaan
a. Tentukan jumlah microwell strip untuk memeriksa jumlah sampel sesuai dengan
jumlah sumur untuk running blank dan standard.
b. Cuci microwell strip 2x dengan 400 µl Wash Buffer setiap sumur dengan cara
aspirasi dari microwell content diantara mencuci. Biarkan Wash Buffer mengisi
sumur selama 10-15 detik sebelum aspirasi. Setelah tahap pencucian terakhir,
kosongkan sumur dan tap microwell strip pada absorbent pad atau kertas saring
untuk memindahkan sisa Wash Buffer. Gunakan microwell strip segera setelah
dicuci. Microwell strip dapat disimpan diatas absorbent basah tidak lebih dari 15
menit. Sumur jangan dikeringkan.
c. Pengenceran standard pada microwell plate.
Tambahkan 100 µl Sample Diluent pada duplikat untuk semua sumur standard .
Pipet 100 µl standard yang telah disiapkan pada duplikat kedalam sumur A1 dan
A2. Campurkan isi sumur A1 dan A2 dengan cara aspirasi dan bilas berulang
(konsentrasi standard 1, S1=200 pg/ml), dan pindahkan 100 µl kedalam sumur
B1 dan B2 berturut-turut. Ulangi prosedur tersebut 5 kali, buatlah 2 baris human
IL-12 p70 standard dilution mulai 200,0 sampai 3,1 pg/ml. Buanglah 100 µl isi
dari microwell terakhir (G1, G2) yang telah dipakai.
External Standard Dilution. Pipet 100 µl standard dilution tersebut (S1-S7)
kedalam sumur standard sesuai dengan tabel 1.
Tabel 1. Susunan blank, standard dan sampel pada microwell strips:
1
A
B
C
D
E
F
G
H
2
Standard 1
Standard 1
(200,0 pg/ml
(200,0 pg/ml
Standard 2
Standard 2
(100,0 pg/ml)
(100,0 pg/ml)
Standard
Standard
(50,0 pg/ml)
(50,0 pg/ml)
Standard
Standard
(25,0 pg/ml)
(25,0 pg/ml)
Standard
Standard
(12,5 pg/ml)
(12,5 pg/ml)
Standard
Standard
(6,3 pg/ml)
(6,3 pg/ml)
Standard
Standard
(3,1 pg/ml)
(3,1 pg/ml)
Blank
Blank
3
4
Sampel 1
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 5
Sampel 6
Sampel 6
Sampel 7
Sampel 7
Sampel 8
Sampel 8
d. Tambahkan 100 µl Sample Diluent pada duplikat kedalam sumur blank
e. Tambahkan 100 µl Sample Diluent kedalam sumur sampel
f. Tambahkan 100 µl masing-masing sampel pada sumur sampel
g. Siapkan Biotin-Conjugate
h. Tambahkan 50 µl Biotin-Conjugate pada semua sumur
i. Tutup dengan film perekat dan inkubasi pada suhu ruang (18-25ºC) selama 2
jam. Jika tersedia pada microplate shaker 100 rpm
j. Siapkan Streptavidin-HRP
k. Buka film perekat dan kosongkan sumur. Cuci microwell strips 4 kali sesuai
dengan poin b pada protocol pemeriksaan. Proses dengan segera sesuai dengan
langkah berikutnya
l. Tambahkan 100 µl Streptavidin-HRP pada semua sumur, termasuk pada sumur
blank
m. Tutup dengan film perekat dan inkubasi pada suhu ruang (18-25ºC) selama 1
jam, jika tersedia pada microplate shaker 100 rpm
n. Buka film perekat dan kosongkan sumur. Cuci microwell strip 4 kali sesuai poin
b prosedur pemeriksaan. Proses dengan segera sesuai dengan langkah
berikutnya.
o. Pipet 100 µ TMB Substrate Solution kedalam semua sumur
p. Inkubasi microwell strips pada suhu ruang (18-25ºC) selama 10 menit. Hindari
paparan terhadap cahaya
Perkembangan warna pada plate harus dimonitor dan stop reaksi substrat sebelum
sumur positif tidak cukup untuk merekam. Direkomendasikan untuk menghentikan
cairan apabila standard tertinggi menjadi warna biru tua. Kemungkinan perubahan
warna dapat dimonitor dengan ELISA reader pada 620 nm. Reaksi substrat segera
dihentikan pada Standard setelah mencapai 0,6-0,65
q. Hentikan reaksi enzim dengan segera pipet 100 µl Stop Solution pada masingmasing sumur. Hasil harus dibaca segera setelah Stop Solution ditambahkan atau
kurang dari 1 jam jika microwell strip disimpan pada suhu 2-8ºC pada ruang
gelap
r. Bacalah absorbant pada masing-masing microwell dengan microplate reader
menggunakan 450 nm pada panjang gelombang primer (diperbolehkan 620 nm
panjang gelombang sebagai referensi panjang gelombang: 610-650 nm
diperkenankan).
Download