KADAR SENG PLASMA DAN INTERLEUKIN-12 PADA ANAK USIA 6-14 TAHUN DI DAERAH ENDEMIS MALARIA PLASMA ZINC LEVELS AND INTERLEUKIN-12 IN CHILDREN 6-14 YEARS OLD IN MALARIA ENDEMIC AREAS Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 dan memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak Lisa Adhia Garina G4A003014 PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU BIOMEDIK DAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS l ILMU KESEHATAN ANAK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 TESIS KADAR SENG PLASMA DAN INTERLEUKIN-12 PADA ANAK USIA 6-14 TAHUN DI DAERAH ENDEMIS MALARIA disusun oleh Lisa Adhia Garina G4A003014 Telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tangggal 29 Juli 2009 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima Menyetujui, Pembimbing Pembimbing I dr. MM DEAH. Hapsari, SpA(K) NIP. 196104221987102001 Pembimbing II Prof.dr. Edi Dharmana, MSc,PhD,SpParK NIP. 130 529 451 Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana UNDIP Dr. dr. Winarto, SpMK, SpM(K) NIP. 130 675 157 Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNDIP dr. Alifiani Hikmah Putranti,SpA(K) NIP. 196404221988032001 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan dalam tulisan dan daftar pustaka. Saya juga menyatakan bahwa hasil penelitian ini menjadi milik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi Semarang, dan setiap upaya publikasi hasil penelitian ini harus mendapat izin dari Ketua Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi Semarang. Semarang, Juli 2009 Penulis RIWAYAT HIDUP A. Identitas Nama : Lisa Adhia Garina Tempat/tanggal lahir : Bogor, 27 November 1972 Agama : Islam Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Jl. Mentor No. 3 Sukaraja II, Bandung 40175 B. Riwayat Pendidikan 1. SD Angkasa III Bandung : Lulus tahun 1985 2. SMP Negeri I Kediri : Lulus tahun 1988 3. SMA Negeri I Kediri : Lulus tahun 1991 4. FK Universitas Kristen Maranatha Bandung : Lulus tahun 2002 5. PPDS-I Ilmu Kesehatan Anak UNDIP : 2003 – sekarang 6. Magister Ilmu Biomedik UNDIP : 2003 – sekarang C. Riwayat Pekerjaan 1. Dokter Medical Center Pesantren Daarut Tauhid Bandung (Thn. 20022003) D. Riwayat Keluarga 1. Nama Orang Tua : Ayah : H. Mochammad Tuis, BA. : Ibu : Hj. Anny Siti Nuraini 2. Nama Suami : Ir. Iwan Kridasantausa Hadihardaja, MSc, PhD. 3. Nama Anak : Almira Kridarahmanda : Elita Kridavirmata KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta ridlo-NYA, Laporan Penelitian dengan judul “Kadar seng plasma dan interleukin12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria” dapat diselesaikan, guna memenuhi sebagian syarat dalam mencapai derajat strata 2 dan memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Kami menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kami. Namun karena dorongan keluarga, bimbingan para guru serta bantuan dan kerjasama yang baik dari rekan-rekan maka tulisan ini dapat terwujud. Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini, pada kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih serta penghormatan yang setinggitingginya kepada : 1. Prof. DR. Dr. Susilo Wibowo, MS. Med, SpAnd, Rektor Universitas Diponegoro Semarang beserta jajarannya, dan mantan Rektor Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menempuh PPDS-1 IKA FK UNDIP Semarang. 2. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Prof. Drs. Y. Warella, MPA, PhD, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menempuh Program Pasca Sarjana UNDIP Semarang. 3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana UNDIP DR. Dr. Winarto, SpMK, SpM(K), mantan Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana UNDIP Prof. DR.Dr. Soebowo, SpPA(K), atas kesempatan dan saran yang diberikan. 4. Dr. Soejoto, PAK, SpKK(K), Dekan FK UNDIP beserta jajarannya, serta mantan Dekan Dr. Anggoro DB Sachro, SpA(K), DTM&H, dan Prof. Dr. Kabulrahman, SpKK(K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti PPDS-1 IKA FK UNDIP. 5. Dr. Budi Riyanto, SpPD, MSc, Direktur Utama RS Dr. Kariadi Semarang beserta jajaran Direksi yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menempuh PPDS-1 di Bagian IKA/SMF Kesehatan Anak di RS.Dr. Kariadi Semarang. 6. Dr. Dwi Wastoro D, SpA(K), Ketua Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP/SMF Ilmu Kesehatan Anak RS. Dr. Kariadi Semarang, serta mantan Ketua Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP/SMF Ilmu Kesehatan Anak RS. Dr. Kariadi Semarang Dr. Budi Santosa, SpA(K) dan Dr. Kamilah Budhi R, SpA(K) yang telah memberi kesempatan serta bimbingan kepada penulis dalam mengikuti PPDS-1. 7. Dr. MM DEAH Hapsari, SpA(K), Prof. Dr. Edi Dharmana, MSc, PhD, SpParK, sebagai pembimbing. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya telah meluangkan waktu, memberikan kesempatan, bimbingan serta arahan dengan sabar dan tulus dalam penyelesaian tesis ini. Semoga Tuhan YME membalas semua kebaikan beliau. 8. Dr. Alifiani Hikmah Putranti, SpA(K), Ketua Program Studi PPDS-1 IKA FK UNDIP, serta Dr. Hendriani Selina, MARS, SpA(K), selaku Direktur Keuangan RSUP Dr. Kariadi Semarang serta mantan Ketua Program Studi PPDS-1 IKA FK UNDIP. Terima kasih atas kebijaksanaan, dorongan serta motivasi kepada penulis. 9. Terima kasih atas bimbingan serta arahan, penulis ucapkan kepada Dr. M. Sakundarno Adi, MSc, Dr. Hardian, sebagai pembimbing metodologi dan statistik. 10. Prof. Dr. dr. Tjahjono, SpPA(K), FIAC, Prof. Dr. Lisyani B. Suromo, SpPK(K), Dr. Neni Susilaningsih, MSi, Dr. Niken Puruhita, Mmed.Sc, SpGK, sebagai tim penguji. Terima kasih atas arahan, bimbingan serta kebijaksanaan dalam perbaikan dan penyelesaian tesis ini. 11. Dr. MM DEAH Hapsari, SpA(K), sebagai dosen wali yang terus mendorong penulis untuk menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 12. Kepada para guru besar serta staf pengajar Bagian IKA Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS.Dr. Kariadi Semarang : Prof. Dr. Moeljono S. Trastotenojo, SpA(K), Prof. DR. Dr. Hariyono, SpA(K), Prof. DR. Dr. I. Sudigbia, SpA(K), Prof. DR. Dr. Lydia Kristanti K, SpA(K), Prof. DR. Dr. Ag. Soemantri, SpA(K), Ssi, Prof. DR. Dr. Harsoyo N, SpA(K), DTM&H, Prof. Dr. M. Sidhartani Zain, MSc, SpA(K), Dr. Anggoro DB S, DTM&H, SpA(K), DR.Dr. Tatty Ermin S, SpA(K), PhD, Dr. Kamilah Budhi Rahardjani, SpA(K), Dr. Budi Santosa, SpA(K), Dr. R. Rochmanadji W, SpA(K), MARS, DR. Dr. Tjipta Bahtera, SpA(K), Dr. Moedrik Tamam, SpA(K), Dr. H. M. Sholeh Kosim, SpA(K), Dr. Rudy Susanto, SpA(K), Dr. I. Hartantyo, SpA(K), Dr. Herawati Juslam, SpA(K), Dr. Hendriani Selina, SpA(K), MARS, Dr. JC Susanto, SpA(K), Dr. Agus Priyatno, SpA(K), Dr. Dwi Wastoro D, SpA(K), Dr. Asri Purwanti, SpA(K), MPd, Dr. Bambang Sudarmanto, SpA(K), Dr. MM DEAH Hapsari, SpA(K), Dr. Alifiani Hikmah P, SpA(K), Dr. Mexitalia Setiawati, SpA(K), Dr. M. Herumuryawan, SpA, Dr. Gatot Irawan S, SpA, Dr. Anindita S, SpA, Dr. Wistiani, SpA, Msi Med, Dr. M. Supriatna, SpA, Dr. Fitri Hartanto, SpA, Dr. Omega Melyana, SpA, Dr. Ninung Rose Diana, SpA, Msi Med, Dr Yetty Movieta N, SpA dan Dr. Nahwa Arkhaesi, SpA, Msi Med., yang telah berperan besar dalam proses pendidikan penulis. Terima kasih dan penghargaan setinggitingginya penulis ucapkan. 13. Staf Tata Usaha dan karyawan Bagian IKA, Paramedis rawat inap dan rawat jalan, tata usaha, karyawan RS.Dr. Kariadi khususnya anak, terima kasih atas kerjasama yang baik dan kebersamaan selama penulis menempuh pendidikan di bagian IKA, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan. 14. Kepala Pemerintahan Kabupaten Purworejo dan staff, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo dan staff, Kepala Pemerintahan Kecamatan Bener dan staff, Kepala Puskesmas Kecamatan Bener dan staff, Kepala Desa Kalitapas, Kepala Desa Bleber yang telah memberi kesempatan untuk penelitian di Kabupaten Purworejo. 15. Kepala Sekolah, para guru, orangtua, dan murid MI Desa Kalitapas dan MI Desa Bleber yang telah bekerja sama dengan tulus ikhlas dalam proses penelitian. Khususnya kepada para murid dan keluarganya yang telah dengan ikhlas untuk turut berpartisipasi pada penelitian ini, saya sampaikan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan kesehatan dan kesuksesan. Untuk mereka semua penelitian ini dipersembahkan. 16. Ketua dan staf laboratorium GAKI FK. UNDIP-Semarang, Kepala dan staf Balai besar penelitian dan pengembangan vektor dan reservoir penyakit-Salatigs, yang telah memperkenankan dan membantu penelitian. 17. Bapak Agus, bapak Sumardi, bapak Maryono, ibu Farida, dan Arsdiani Syatria yang telah membantu penelitian. 18. Kepada seluruh teman sejawat peserta PPDS–1 IKA serta khususnya temanteman angkatan Juli 2003, Dr.Tony Chandra, SpA, Msi Med, Dr. Wahyu Adiwinanto, SpA, Msi Med, Dr. G. Panji Pati-Pati, Dr. Dominggus Nicodemus L, Dr. Arsita Eka Rini, Dr. BRW. Indriasari, Dr. Sofyan Cholid, dan Dr. Edwina Winiarti. Terimakasih penulis ucapkan atas bantuan, kerjasama, kebersamaan, serta suka dan duka dalam menempuh pendidikan ini, sukses selalu teman. 19. Kepada suami dan anak-anak tercinta, Ir. Iwan Kridasantausa, MSc, PhD, atas doa, kesabaran, dukungan dan segenap cinta yang telah diberikan, serta anak-anak kami tercinta, Almira Kridarahmanda dan Elita Kridavirmata, yang selalu menjadi penyejuk hati dalam suka dan duka. Terima kasih tiada terhingga, semoga Allah SWT menjadikan keluarga yang sakinah, mawwadah, warahmah, dan senantiasa memberikan kebahagian dunia dan akhirat. 20. Kepada yang tercinta, ayahanda H. Mochammad Tuis, BA dan ibunda Hj. Anny Siti Nuraini, hormat dan bakti yang tulus penulis haturkan, serta terima kasih tiada terhingga atas kasih-sayang, doa yang tulus, bantuan moril, materil, perhatian, dukungan, serta nasehat dalam setiap hal dan dalam proses pendidikan ini. Semoga Allah SWT senantiasa memuliakan, memberi kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat. Adik-adik tercinta, Dien Sari Dewi, SE, Ricco Ariyandi, ST, Jenny Maulani, ST , dan suami M. Bayu Dewandaru Rusamsi, ST, serta keponakan-keponakan tercinta, penulis ucapkan terimakasih atas doa dan kebersamaan yang indah. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing dan melindungi kita semua. 21. Mertuaku Prof. Ir. Joetata Hadihardaja, ibunda Enny Keatin Diponegoro, yang telah memberikan doa, dorongan semangat, moril, dan materil. Hormat dan bakti kami haturkan dengan tulus hati. Semoga Allah SWT senantiasa memuliakan, dan memberi kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat. Adik-adik ipar Andi Kridasusila SE, MM, Heri Kridaprakosa, SE (Alm), Dodi Kridasaksana SH, Mhum, dan istri, Boma Kridautama, SH, dan istri, Rinta Kridalukmana, ST, MT, Roni Kridakristianta dan istri, Suluh Kridalelana, ST, dan istri, serta para keponakan, penulis sampaikan terima kasih atas bantuan dan doanya. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi, menuntun, meluruskan jalan, dan membimbing kita semua. 22. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Kiranya hanya Allah SWT membalas segala kebaikan, Amin. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, kekurangan adalah milik mahluk-Nya. Penulis mohon kepada semua pihak untuk memberikan masukan serta sumbang saran untuk dapat meningkatkan kualitas dan memberikan bekal bagi penulis di masa yang akan datang. Akhirnya, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mohon maaf setulusnya kepada semua pihak atas kesalahan dan kekhilafan dalam bertutur kata maupun sikap yang mungkin kurang berkenan dalam berinteraksi selama pendidikan dan kegiatan penelitian ini. Semoga Allah Arrahman dan Arrahim senantiasa melimpahkan rahmat, keberkatan serta ridlo-NYA kepada kita semua, Amin. Semarang, Juli 2009 Penulis DAFTAR ISI Judul .......................................... i Lembar Pengesahan .......................................... ii Lembar Pernyataan .......................................... iii Riwayat Hidup .......................................... iv Kata Pengantar .......................................... v Daftar isi .......................................... xii Daftar Tabel dan Gambar .......................................... xv Daftar Singkatan .......................................... xvi Abstract .......................................... xvii Abstrak .......................................... xviii BAB 1 Pendahuluan .......................................... 1 1.1. Latar belakang .......................................... 1 1.2. Rumusan masalah .......................................... 5 1.3. Tujuan penelitian .......................................... 6 1.4. Manfaat penelitian .......................................... 6 1.5. Originalitas penelitian .......................................... 7 .......................................... 10 .......................................... 10 BAB 2 Tinjauan pustaka 2.1. Malaria 2.1.1. Definisi .......................................... 10 2.1.2 Malaria di masyarakat .......................................... 10 2.1.3. Etiologi .......................................... 11 2.1.4. Patogenesis .......................................... 12 2.1.5. Manifestasi klinis .......................................... 15 2.1.6. Faktor-faktor yang berperan .......................................... 18 pada infeksi malaria 2.2.1. Imunitas terhadap malaria .......................................... 21 2.2.2. Interleukin-12 .......................................... 24 .......................................... 28 2.2. Seng 2.2.1. Fungsi seng .......................................... 31 2.2.2. Penentuan status seng .......................................... 31 2.2.3. Pemeriksaan status seng tubuh .......................................... 32 2.2.4. Defisiensi seng .......................................... 33 2.2.5. Seng dan imunitas .......................................... 35 2.2.6. Hubungan seng dan sitokin .......................................... 38 2.2.7. Seng dan malaria .......................................... 42 2.3. Kerangka teori .......................................... 50 2.4. Kerangka konsep .......................................... 51 2.5. Hipotesis .......................................... 51 .......................................... 52 BAB 3 Metodologi penelitian 3.1. Ruang lingkup penelitian .......................................... 52 3.2. Tempat dan waktu penelitian .......................................... 52 3.3. Jenis penelitian .......................................... 52 3.4. Populasi dan subyek .......................................... 53 3.5. Variabel penelitian .......................................... 55 3.6. Definisi operasional variabel .......................................... 55 3.7. Bahan dan cara kerja .......................................... 56 3.8. Alur penelitian .......................................... 58 3.9. Analisis data .......................................... 59 3.10. Etika penelitian .......................................... 60 BAB 4 Hasil Penelitian .......................................... 61 BAB 5 Pembahasan .......................................... 66 BAB 6 Simpulan dan Saran .......................................... 72 .......................................... 73 Daftar pustaka Lampiran-lampiran .......................................... 84 Daftar Tabel Tabel 2.1. Hubungan antara konsentrasi seng dan imun natural/innate sel .......................36 Tabel 2.2. Hubungan antara konsentrasi seng dan imunitas spesifik .......................37 Tabel 4.1. Karakteristik subyek penelitian .......................62 Tabel 4.2. Karakteristik kadar seng plasma dan faktor-faktor yang .......................63 mempengaruhinya Karakteristik kadar IL-12 dan faktor-faktor yang .......................64 mempengaruhinya Korelasi antara kadar seng plasma dengan IL-12, nilai HAZ, nilai .......................65 IMT dan skor BLT Tabel 4.3. Tabel 4.4. Daftar Gambar Gambar 2.1. Siklus hidup dan gambaran infeksi malaria pada manusia ............................14 Gambar 2.2. Efek biologik Interleukin-12 ............................26 Gambar 2.3. Absorpsi seng di usus ............................30 Gambar 2.4. Efek seng pada sel limfoid dan mieloid ............................41 Gambar 4.1. Profil penelitian ............................61 DAFTAR SINGKATAN API : Annual Parasite Insidence HCI : IL : Interleukin INF : Interferon Th : T helper Sel NK : Sel Natural Killer SR : Spleen Rate PCD : Passive Case Detection ACD : Active Case Detection QBC : Quantitative Buffy Coat IFAT : Indirect Fluorescent Antibody Test ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay PCR : Polymerase Chain Reaction RDTs : Rapid Diagnostic Test IMT : NO : Nitric oxide PMN : Polimorfonuklear MIF : Migration Inhibitory Factor PBMC : Pheripheral blood mononuclear cells AAS : High Case Incidence Indeks Massa Tubuh Atomic Absorption Spectophotometry ABSTRACT Background. Malaria is one of the main health problems in children. The interaction between immunity and malaria is complex, involving mostly immunity system. Zinc is a micronutrien that plays esential role in many aspect of human metabolism. Study of interaction between zinc and Interleukin-12 in malaria endemic areas was limited. Aims. To determine the correlation between zinc plasma levels and Interleukin-12 (IL-12) in 6-14 years old children in malaria endemic areas Methods. A cross sectional study was done on 103 children 6-14 years old in Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kalitapas and MI Bleber village, Purworejo district from March until April 2009. Plasma zinc levels was measured by Atomic Absorption Spectrophotometer, Interleukin-12 was measured by ELISA, thin and or thick blood film and Rapid Diagnostic Test was used for determine malaria infection status. Statistical analysis was done using Independent T-test, Mann Whitney, Pearson, and Spearman. Result. Subject: 103 children 6-14 years old. Boys predominate, with mean age 9,7±1,9 years. Mean plasma zinc levels was 146,38 ± 41,14 µg/dL. Mean IL-12 concentration was 3,3 ± 3,48 pg/ml. Negative malaria status predominate (98,1%). Correlation test between zinc plasma levels and IL-12 concentration was positive (r=+0,20, p=0,04). Conclusion. There is a significant weak correlation between zinc plasma levels with IL-12 concentration. Keywords. Zinc plasma levels, Interleukin-12, malaria. ABSTRAK Latar Belakang. Malaria masih merupakan masalah kesehatan pada anak. Imunitas terhadap malaria sangatlah kompleks, melibatkan hampir semua sistem imunitas tubuh. Seng berperan penting dalam sistem imunitas tubuh. Interaksi antara seng dan Interleukin-12 di daerah endemis malaria masih terbatas. Tujuan. Mengetahui hubungan kadar seng plasma dan Interleukin-12 (IL-12) pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria Metode. Penelitian belah lintang pada 103 anak usia 6-14 tahun di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Desa Kalitapas dan Desa Bleber Kabupaten Purworejo, dari Maret sampai April 2009. Kadar seng plasma diperiksa dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometry, kadar IL-12 dengan metode ELISA, sedangkan status infeksi malaria berdasarkan pemeriksaan darah tebal dan atau tipis serta Rapid Diagnostic Test. Analisis statistik menggunakan Independent T-test, Mann Whitney, Pearson, dan Spearman. Hasil. Dari 103 anak usia 6-14 tahun, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dengan rerata umur 9,7 ± 1,93 tahun. Rerata kadar seng plasma 146,4 ± 41,14 µg/dL. Rerata kadar IL-12 3,3 ± 3,48 pg/ml. Status infeksi malaria sebagian besar negatif (98,1%). Uji korelasi antara kadar seng plasma dengan IL-12 r=+0,20, p=0,04. Simpulan. Terdapat korelasi bermakna derajat rendah antara kadar seng plasma dengan IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria. Kata kunci: Kadar seng plasma, Interleukin-12, malaria BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Malaria merupakan penyakit dengan penyebaran sangat luas di dunia dan menjadi endemis terutama di daerah tropis dan subtropis. Malaria masih merupakan masalah kesehatan dengan risiko terkena 2,3 miliar penduduk di lebih 100 negara atau 41% dari penduduk dunia. Kasus malaria setiap tahunnya berjumlah 300-500 juta dan mengakibatkan 1,5 – 2,7 juta kematian, terutama terjadi pada anak-anak dan ibu hamil. Malaria dapat menurunkan status kesehatan dan produktivitas kerja penduduk, serta dapat menjadi hambatan dalam pembangunan sosial dan ekonomi.1-3 Lebih dari 40% anak-anak tinggal di daerah endemis malaria dan merupakan masalah kesehatan serius serta menyebabkan 10% kematian pada anak di daerah endemis. 1,4 Penilaian situasi malaria di suatu daerah dapat ditentukan melalui kegiatan surveilans epidemiologi. Salah satu parameter untuk pengamatan rutin malaria adalah menggunakan annual parasite insidence (API).3 Annual Parasite Insidence untuk Jawa dan Bali pada tahun 2005 adalah 0,15 perseribu penduduk. Data terakhir tahun 2006 menjadi 0,19 perseribu penduduk.5 Berdasarkan laporan penemuan malaria di Provinsi Jawa tengah tahun 2008 daerah endemis malaria yaitu Kabupaten Purworejo dengan API 0,498‰, Kabupaten Banjarnegara 0,221‰, Kabupaten Wonosobo 0,183‰, Kabupaten Banyumas 0,112‰, Kabupaten Pekalongan 0,092‰, Kabupaten Temanggung 0,076‰, Kabupaten Kendal 0,059‰, Kabupaten Kebumen 0,042‰, Kabupaten Batang 0,037‰, Kabupaten Rembang 0,035‰, Kabupaten Grobogan 0,026‰, Kabupaten Cilacap 0,020‰, Kabupaten Magelang 0,020‰, Kabupaten Jepara 0,020‰, Kabupaten Purbalingga 0,010‰, Kabupaten Brebes 0,006 ‰, Kabupaten Tegal 0,005‰, Kabupaten Pati 0,002‰, Kabupaten Pemalang 0,001‰.6 Terdapat 14 desa high case incidence (HCI) di kabupaten endemis malaria di Jawa tengah.7 Desa yang merupakan HCI tinggi (API >5‰) di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo yaitu Desa Kalitapas (API: 48,81 per 1000 penduduk), Desa Ketosari (API: 30,42 per 1000 penduduk), Desa Bleber (API: 15,98 per 1000 penduduk), Desa Pekacangan (API: 14,2 per 1000 penduduk), dan Desa Medono (API: 12,3 per 1000 penduduk). Desa HCI dapat terjadi karena faktor lingkungan, intensitas transmisi dan lain sebagainya, sehingga dipilih waktu penelitian di musim hujan yang diselingi panas, dan berdasarkan pelaporan jumlah kasus minimummaksimum Puskesmas Kecamatan Bener tahun 2008.8 Anak berusia lebih dari lima tahun atau kelompok usia 6-14 tahun yang pernah mengalami serangan berulang malaria di daerah endemis malaria, dan dapat bertahan hidup akan terbentuk imunitas parsial. Pada saat remaja dan dewasa, mereka akan mengalami parasitemia asimptomatis, yaitu adanya Plasmodium dalam darah tanpa manifestasi klinis malaria.9 Penelitian di Srilangka pada anak usia 6-14 tahun, menyatakan bahwa serangan malaria yang berulang pada anak berdampak buruk terhadap kinerja sekolah anak-anak tersebut.10 Penelitian di pedesaan Srilangka sebanyak 2,7% hari bersekolah hilang akibat malaria pada anak usia 5-13 tahun. Berdasarkan data dari WHO South-East Asia Region (SEARO) sebanyak 6600 anak usia 10-14 tahun meninggal karena malaria. Di Papua New Guinea diperkirakan angka kematian akibat malaria pada anak usia 10-19 tahun adalah 11,1%, sedangkan jumlah kasus malaria pada anak usia 5-14 tahun di Afrika adalah sebanyak 29,4 juta kasus.11 Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan pada anak usia 6-14 tahun. Imunitas terhadap malaria sangat kompleks karena melibatkan hampir seluruh komponen sistem imunitas baik imunitas alamiah, spesifik, humoral maupun seluler. Parasit malaria yang masuk ke dalam darah akan segera dihadapi oleh sistem imunitas tubuh yang mula-mula oleh respons imun alamiah dan selanjutnya respons imun spesifik. Respons imun alamiah merupakan efektor pertama dalam memberikan perlawanan terhadap infeksi.12 Makrofag merupakan sel efektor penting dalam perlindungan terhadap malaria dengan cara fagositosis langsung terhadap Plasmodium, dan mensekresi sitokin guna mengaktifkan makrofag lainnya, mensekresi Interleukin (IL)-12 untuk merangsang sel natural killer (sel NK) menghasilkan Interferon-γ (INF- γ), dan sebagai sel penyaji antigen kepada limfosit T. Kemampuan fagositosis dan spesifisitas makrofag dapat ditingkatkan oleh sitokin yang dihasilkan sel limfosit T helper (Th). Sitokinsitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-12 berperan aktif menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), maupun sitotoksik dan berfungsi mengaktifkan sistem imunitas lainnya.12 Interleukin-12 adalah mediator utama dari sistem imunitas alamiah terhadap mikroba intraseluler, dan merupakan key inducer dari imunitas seluler yang merupakan respons imun didapat terhadap mikroba tersebut. Interleukin-12 pada awalnya merupakan aktivator dari sel NK, tetapi lebih utama menstimulasi produksi INF-γ yang dihasilkan oleh sel NK dan sel T yang dapat meningkatkan fungsi fagositosis dari makrofag untuk menyingkirkan mikroba.13 Mikronutrien seperti seng diperlukan oleh tubuh agar kekebalan dapat berperan optimal. Mikronutrien terdiri dari vitamin dan trace element, yang diperlukan dalam jumlah kecil oleh tubuh. Trace element seperti seng mempunyai banyak fungsi metabolik, dan merupakan bagian dari kompleks protein seperti metaloenzim. Defisiensi seng menyebabkan kerusakan epidermis, kerusakan epitel saluran cerna dan saluran nafas, menganggu fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN), sel NK dan aktivasi komplemen pada sistem imunitas alamiah, sedangkan pada imunitas spesifik menyebabkan penurunan jumlah dan fungsi limfosit, penurunan jumlah dan fungsi makrofag, penurunan rasio limfosit T helper/Th (CD4+) : limfosit T sitotoksik (CD8+), penurunan jumlah limfosit T CD8+ CD73+ yang merupakan prekursor limfosit T sitotoksik, penurunan respons antibodi limfosit B, penurunan sitokin, menyebabkan keterlambatan pertumbuhan, menurunnya fungsi imunitas dan meningkatnya morbiditas terhadap penyakit diare, infeksi pernafasan dan malaria.14 Menurut data dari WHO, Indonesia merupakan salah satu negara dimana malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, dengan prevalensi defisiensi seng mencapai 34%.15 Beberapa mineral lain merupakan pesaing dalam penggunaan seng oleh tubuh seperti Fe, Cu, Ca dan Mn. Khususnya besi, fitat, dan seng bersaing pada binding site di eritrosit sehingga menghambat absorbsi seng.16 Shankar (2000) menemukan bahwa suplementasi seng pada anak-anak usia prasekolah menurunkan kunjungan akibat malaria ke pusat kesehatan hingga 38%.17 Muller (2001) menyatakan bahwa suplementasi seng tidak bermakna pada tingkat keparahan penyakit malaria.18 Penelitian oleh The Zinc Against Plasmodium Study Group (2002) menyatakan suplementasi seng tidak bermanfaat pada masa akut dan malaria falciparum tanpa komplikasi pada anak prasekolah.19 Duggan (2000) menemukan adanya defisiensi seng pada anak dengan malaria fase akut, dan pada penderita malaria akut kadar seng plasma yang rendah berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.20 Penelitian terdahulu menyatakan bahwa kadar seng plasma yang menurun akan disertai penurunan kadar IL-12, tetapi belum pernah dilakukan di daerah endemis malaria. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan kadar seng plasma dengan kadar interleukin-12 pada anak di daerah endemis malaria. 1.2. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimana kadar seng plasma dan kadar IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria? 1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan umum : Menjelaskan kadar seng plasma dan kadar IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria. 1.3.2. Tujuan khusus : 1. Mendeskripsikan kadar seng plasma anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria 2. Mendeskripsikan kadar IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria 3. Menganalisis korelasi kadar seng plasma dan IL-12 pada anak usia 614 tahun di daerah endemis malaria 1.4. Manfaat penelitian 1.4.1. Segi pendidikan: Memberikan pemahaman yang lebih baik tentang peranan seng terhadap imunitas pada anak di daerah endemis malaria. 1.4.2. Segi pelayanan kesehatan : Apabila terbukti, perlu diberikan preparat seng sulfat pada anak-anak di daerah endemis malaria. 1.4.3. Segi penelitian : Dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam pelayanan kesehatan penderita malaria dan sebagai titik tolak penelitian selanjutnya. 1.5. Originalitas penelitian Belum ada penelitian yang menjelaskan kadar seng plasma dan kadar IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria. Beberapa penelitian tentang seng dan malaria yang sudah dilakukan : Peneliti dan Variabel Metode dan Jurnal Penelitian Hasil penelitian Bates CJ, Bates PH, Suplementasi seng pada 110 Metode: Dardenne A, anak Prentice PG, Lunn penderita malaria Plasmodium Hasil: Suplementasi seng CA, Northrop- falciparum umur 6-28 Randomised- bulan controlled trial menurunkan angka Clewes, at al. kunjungan penderita malaria Br J Nutr kepusat kesehatan sampai 1993;69:243-255. 32% Gambia (1989- (p = >0,05).21 1990) Shankar AH, Total dari 274 anak umur 6-60 Metode: Genton B, Baisor bulan, M, Paino J, Tamja diberikan S, Adiguma T, et al. dengan malaria suplementasi pada 103 Randomised- seng controlled trial. anak Hasil: Suplementasi seng menurunkan kunjungan Am J Trop Med akibat malaria falciparum Hyg 2000;62:663- ke pusat kesehatan hingga 669. 38% dgn RR (95% CI) : Papua New Guinea 0,79 (1995-1996) parasitemia (0,54-1,14), dan malaria falciparum hingga 69% dgn Peneliti dan Variabel Metode dan Jurnal Penelitian Hasil penelitian RR (95% CI): 0,31 (0,130,74). Tetapi tidak berefek pada Plasmodium vivax.17 Muller O, Becher H, Total kasus 709, diberikan Metode: Randomised- Baltussen A, Ye Y, suplementasi seng pada 341 controlled trial. Diallo DA, Konate anak usia 6-31 bulan dengan Hasil: AT, et al. malaria Suplementasi seng tidak bermakna pada tingkat BMJ 2001;322:1-6. keparahan penyakit malaria Burkina Faso (1999) falciparum (RR 0,98), 95% CI 0,86-1,11), tetapi pemberian seng setelah 3 bulan akan meningkatkan kadar seng plasma (p = 0,005). 18 The Zinc Against Total 1087 anak usia 6 bulan-5 Metode: Plasmodium Study tahun, pada 542 anak dengan controlled trial. Group demam Am J Clin Nutr Plasmodium 2002;76:805-812. diberikan seng Equador, Ghana, Tanzania,Uganda & dan Randomised- parasitemia Hasil: Tidak ada perbedaan falciparum antara pemberian seng dan plasebo terhadap kadar seng plasma, status parasitemia. gizi dan 19 Zambia (1998-2000) Duggan C, Macleod Diberikan seng pada 689 anak Metode: WB, Krebs NF, usia 6-60 bln dengan malaria controlled trial. Randomised- Peneliti dan Variabel Jurnal Penelitian Westcott JL, Fawzi Metode dan Hasil penelitian falciparum tanpa komplikasi Hasil: Kadar seng plasma WW, Premji G, menurun dengan Coefficient et al. (95% CI): 0,87 (0,79, 0,96), J Nutr sedangkan CRP meningkat 2005;13:802-807. dengan Coefficient (95% Equador,Ghana, CI) : -1,0 (-1,4, -0,5), dan Tanzania,Uganda, derajat Zambia (1998-2000) meningkat parasitemia dengan Coefficient (95% CI): -0,08 (-0,11, -0,04). 20 Penelitian kami berbeda dengan penelitian-penelitan sebelumnya dalam hal metode: cross-sectional dan usia subyek: 6-14 tahun. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MALARIA 2.1.1. Definisi Malaria adalah penyakit infeksi akut dan kronis parasit (protozoa) dari genus Plasmodium yang ditandai dengan demam tinggi intermiten klasik terdiri dari 3 stadium, yaitu : frigoris (mengigil), stadium acme (puncak demam), dan stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun), disertai sakit kepala, anemia dan spenomegali.22-24 2.1.2. Malaria di masyarakat Adanya malaria di masyarakat dapat dibedakan sebagai endemis atau epidemis. Malaria di suatu daerah dikatakan endemis bila insidensnya menetap dalam waktu yang lama. Berdasarkan spleen rate (SR) pada kelompok usia 2-9 tahun, endemisitas malaria di suatu daerah dapat diklasifikasikan sebagai-berikut:3 - hipoendemik : SR 10% - mesoendemik : SR 11-50% - hiperendemik : SR 50% - holoendemik : SR 75% Penilaian situasi malaria di suatu daerah dapat ditentukan melalui kegiatan surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi adalah pengamatan yang terus menerus atas distribusi dan kecenderungan suatu penyakit melalui pengumpulan data yang sistematis agar dapat ditentukan penanggulangan yang setepat-tepatnya. Pengamatan dapat dilakukan secara rinci melalui PCD (passive case detection) oleh puskesmas dan rumah sakit atau ACD (active case detection) oleh petugas khusus. Pengamatan rutin malaria menggunakan parameter Annual Parasite Incidence (API), yang ditentukan berdasarkan perhitungan sebagai berikut: API = Kasus malaria yang dikonfirmasikan dalam 1 tahun x 1000 Jumlah penduduk daerah tersebut Kasus malaria ditemukan melalui ACD dan PCD dan dikonfirmasikan dengan pemeriksaan mikroskopik.3 2.1.3. Etiologi Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium yang terdiri dari 4 spesies, yaitu : P. vivax, P. falciparum, P. malariae, dan P. ovale . Malaria ditularkan melalui perantaraan nyamuk Anopheles betina. Dari sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles telah ditemukan 67 species yang dapat menularkan malaria dan 24 diantaranya ditemukan di Indonesia.22,24 2.1.4. Patogenesis 22,24-27 Daur hidup spesies malaria terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebra termasuk manusia. a. Fase aseksual Fase aseksual terbagi atas fase jaringan (eksoeritrositik) dan fase eritrositik. Pada fase jaringan, sporozoit yang terdapat pada air liur nyamuk masuk dalam aliran darah manusia menuju ke sel parenkim hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozoit. Fase ini disebut fase skizogoni praeritrosit. Lama fase ini berbeda untuk tiap spesies Plasmodium. Pada akhir fase ini, skizon pecah, merozoit keluar (sporulasi) dan masuk aliran darah. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati sehingga dapat mengakibatkan relaps jangka panjang dan rekurens, lihat gambar 2.1.25 Fase eritrosit dimulai pada saat merozoit dalam darah menyerang atau masuk kedalam eritrosit membentuk cincin (ring form) dan membesar menjadi trofozoit tua. Proses berlanjut menjadi trofozoit-skizon-merozoit. Lepasnya merozoit kedalam aliran darah menyebabkan demam.22,24-27 Setelah 2-3 generasi merozoit dibentuk, sebagian merozoit berubah menjadi bentuk seksual yaitu gametosit yang akan melengkapi siklus hidup spesies Plasmodium bila terhisap dan berkembang dalam nyamuk Anopheles. Masa antara permulaan infeksi sampai ditemukannya parasit dalam darah tepi adalah masa prapaten, sedangkan masa tunas atau inkubasi dimulai dari masuknya sporozoit dalam badan hospes sampai timbulnya gejala klinis demam.22,24-27 Gambar 2.1. Siklus hidup dan gambaran infeksi malaria pada manusia. Dikutip dari Wellem TE, Miller LH.25 b. Fase seksual Jika nyamuk Anopheles betina menghisap darah manusia yang mengandung parasit malaria, parasit dalam bentuk seksual masuk dalam lambung nyamuk betina. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikrogamet dan makrogamet dan terjadilah pembuahan dengan hasil pembuahan yang disebut zigot dan memanjang disebut ookinet. Ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk menjadi ookista. Bila ookista pecah, ribuan sporozoit keluar dan mencapai kelenjar liur nyamuk serta siap ditularkan pada hospes (manusia).25 2.1.5. Manifestasi klinis Gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah : 1. Demam Demam pada malaria terjadi pada saat pecahnya sel darah merah dan keluarnya merozoit kedalam sirkulasi darah. Tipe demamnya adalah demam tinggi intermitten klasik, terdiri dari 3 stadium, yaitu : frigoris (mengigil, lamanya 15 menit sampai 1 jam), stadium acme (puncak demam, 2-6 jam), dan stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun, 2-4 jam). Pada malaria vivax dan ovale periodisitas demam setiap hari ke-3, malaria malariae periodisitas demam setiap 4 hari. Setiap serangan ditandai dengan beberapa serangan demam periodik. Pada malaria falciparum pematangan skizon tiap 24-48 jam. Sebelum demam, penderita biasanya merasa lemah, sakit kepala, nafsu makan menurun, mual atau muntah. Pada penderita dengan infeksi campuran (mix infection) serangan panasnya dapat terus menerus tanpa interval. 2. Splenomegali Splenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat yang bertambah.22,24 3. Ikterik karena peningkatan hemolisis 4. Anemia akibat pemecahan sel darah merah 5. Edema dan hipoxia jaringan 22,24 Sekalipun jarang, pada infeksi oleh P. falciparum , adanya cytoadherence dari eritrosit yang terinfeksi pada endotel vaskuler, menyebabkan obstruksi aliran darah dan kerusakan kapiler. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kebocoran vaskuler yang mendasari terjadinya edema dan hipoxia pada berbagai organ, seperti paru, ginjal, dan sebagainya.22,24 Gejala klinis malaria pada anak didaerah endemis dan non endemis berbeda. Malaria yang menyerang anak di daerah endemis terjadi premunisi atau keadaan semi imun yaitu respons imun yang mampu menekan pertumbuhan parasit tidak sampai nol, mencegah hiperparasitemia, menurunkan kepadatan parasit malaria, dan menekan virulensi (asimptomatis).28,29 parasit sehingga tidak sampai menimbulkan gejala Diagnosis berdasarkan pada pemeriksaan sediaan darah dengan pengecatan Giemsa (preparat darah tebal dan tipis), teknik quantitative buffy coat (QBC), Dip stick test (ICT Malaria Pf, OptiMAL, ICT malaria Pf/Pv), imunoserologi (indirect fluorescent antibody test/IFAT, enzyme linked immunosorbent assay/ELISA), dan polymerase chain reaction (PCR).22,24 Diagnosis konvensional dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan malaria, darah tebal maupun tipis, untuk melihat parasit intraseluler dengan pengecatan Giemsa masih merupakan pilihan utama dan menjadi gold standard bagi tes diagnostik malaria lain. Dasar pemeriksaan ini adalah ditemukannya parasit Plasmodium dan karena itu merupakan cara untuk menegakkan diagnosis definitif malaria. Pemeriksaan sediaan malaria ini relatif murah, tetapi memerlukan tenaga mikrokopis yang terlatih khusus dan berpengalaman untuk pengecatan maupun interpretasi hasilnya.30 Dalam dekade terakhir ini telah dikembangkan tes diagnostik cepat/TDC malaria (rapid diagnostic test/RDTs). Tes ini disebut cepat karena memerlukan waktu paling lama hanya 15 menit. Studi evaluasi (performance test) TDC tersebut baik di lapangan atau di pusat-pusat pelayanan kesehatan telah dikerjakan di beberapa negara termasuk Indonesia. Gold standard dalam evaluasi tes diagnostik ini adalah pemeriksaan mikroskopik malaria atau dengan metoda polymerase chain reaction (PCR).31 Tes diagnostik cepat yang tersedia saat ini adalah : ICT Malaria Pf (Parasight-F ®), tes OptiMAL, dan ICT Malaria Pf/Pv. Evaluasi tes OptiMAL yang pertama dilakukan di Indonesia yaitu di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah pada saat terjadi outbreak malaria pada tahun 2002, menunjukkan nilai diagnostik yang hampir sama yaitu dengan sensitifitas, spesifisitas, nilai ramal positif dan negatif masing-masing 85,7%, 89,9%, 60% dan 89,3% untuk P. falciparum dan 92,7%, 96,1%, 95% dan 94,3% untuk P. Vivax.30 Tes diagnostik PATH P. falciparum IC Strip adalah semacam tes ICT Malaria Pf test yang juga menggunakan antibodi monoklonal IgM terhadap antigen HRP-II. Hasil evaluasi tes diagnostik ini (dengan gold standard pemeriksaan mikroskopis dan PCR) menunjukkan sensitifitas tertinggi 90% dan spesifisitas 97%.31 Pada penelitian di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan metode imunokromatografi (Entebe®) dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis, didapatkan hasil sensitivitas 100%, spesifisitas 96,99%. Nilai prediksi positif 83,2% dan nilai prediksi negatif 100%.33 2.1.6. Faktor-faktor yang berperan pada infeksi malaria a. Faktor parasit Parasit malaria harus ada dalam tubuh manusia dalam waktu yang cukup lama dan menghasilkan gametosit jantan dan betina pada saat yang sesuai untuk penularan, agar dapat hidup terus sebagai spesies. Parasit juga harus menyesuaikan diri dengan sifat-sifat spesies nyamuk Anopheles yang anthropofilik dimungkinkan dan menghasilkan sporozoit yang infektif.3 agar sporogoni b. Faktor manusia Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan gigitan nyamuk.3 Di daerah endemis malaria anak berusia lebih dari lima tahun yang pernah mengalami serangan berulang malaria dan bertahan hidup akan terbentuk imunitas parsial. Pada saat remaja dan dewasa, mereka akan mengalami parasitemia asimptomatis, yaitu adanya Plasmodium dalam darah tanpa manifestasi klinis malaria.9 Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya malaria dengan pencegahan invasi parasit kedalam sel, mengubah respons imunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor.3 c. Faktor nyamuk Efektifitas vektor untuk menularkan malaria ditentukan hal-hal sebagai berikut: kepadatan vektor dekat pemukiman penduduk, kesukaan menghisap darah manusia atau antropofilia, frekuensi menghisap darah (tergantung suhu), lamanya sporogoni (berkembangnya parasit dalam nyamuk sehingga menjadi infektif), lamanya hidup nyamuk harus cukup untuk sporogoni dan kemudian menginfeksi jumlah yang berbeda-beda menurut spesies.3 d. Faktor lingkungan dan sosial budaya Lingkungan biologik seperti terdapatnya tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya jenis ikan pemakan larva seperti ikan timah (panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain mempengaruhi populasi nyamuk disuatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles, sehingga dapat meningkatkan intensitas transmisi penyakit malaria. Lingkungan sosial budaya seperti tingkat kesadaran masyarakat dengan menyehatkan lingkungan, mengunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan mengunakan obat nyamuk akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan, pertambangan, dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria (“man-made malaria”).3 Krisis ekonomi, krisis kehidupan politik, dan peperangan adalah beberapa faktor sosiokultural lain yang mendukung keberadaan dan meningkatnya malaria.3 Faktor ekonomi berpengaruh terhadap masukan makanan, insidens, dan beratnya infeksi.34 Kemiskinan hampir selalu disertai dengan malnutrisi karena ketersediaan makanan yang rendah akibat daya beli yang rendah, kondisi yang padat dan kumuh, dan perawatan anak yang tidak layak. Lingkungan yang padat dan kumuh juga menyebabkan anak mudah terkena penyakit.35 Tingkat pendidikan ibu yang tinggi mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi dan kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan sistem perawatan kesehatan.36 Penelitian di Bangladesh terhadap anak usia 4-27 bulan menunjukkan bahwa ibu yang berpendidikan memberikan anak mereka makanan tambahan yang lebih sering, tempat yang bersih dan terlindungi dibandingkan ibu yang tidak berpendidikan, bahkan sesudah dikontrol dengan status ekonomi.37 2.1.7. Imunitas pada malaria Imunitas terhadap malaria didefinisikan sebagai ketahanan terhadap infeksi parasit malaria, sebagai respons berbagai proses untuk menghancurkan Plasmodium atau menahan kemampuannya untuk berkembang biak. Imunitas juga menyangkut berbagai faktor yang bisa mengurangi efek invasi parasit malaria terhadap sel/jaringan hospes dan daya untuk menyembuhkan jaringan yang telah mengalami kerusakan.38 Secara umum imunitas terhadap malaria melibatkan sistem imunitas alamiah, spesifik, humoral dan seluler.12 Neutrofil, fagosit mononuklear, dan sel NK yang merupakan bagian dari sistem imunitas alamiah, berperan penting pada respons awal terhadap infeksi malaria. Jumlah sel NK akan meningkat dan akan menyebabkan lisis dari eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum secara in vitro. Sel NK juga berperan dalam menghasilkan sitokin seperti INF-γ yang dapat mengaktivasi makrofag untuk memfagositosis parasit. Respons imun seluler dari infeksi malaria berperan pada stadium pre-eritrositik dan eritrositik. Sel T yang merupakan bagian dari sistem imunitas seluler spesifik juga berperan dalam mengatasi infeksi malaria di fase awal. Sel T CD4+ dan CD8+ merupakan subpopulasi sel T yang utama. Sel T CD4+ berperan penting dalam melawan stadium aseksual malaria baik pada tikus maupun manusia, sedangkan sel T CD8+ lebih berperan penting pada stadium pre-eritrositik dan berperan pada malaria berat, hal ini karena sel T CD8+ dapat meningkatkan sistem imunitas pada malaria akut dan memodulasi respons inflamasi. Sel T CD4+ berespons terhadap antigen malaria secara in vitro dengan mensekresi dan proliferasi dari berbagai sitokin.39 Faktor kelainan genetik pada eritrosit atau hemoglobin dapat berperan sebagai kekebalan terhadap malaria. Menurut Haldene bahwa tingginya angka kejadian kelainan genetik Hb tertentu di daerah endemis malaria dapat memberikan perlindungan terhadap malaria. Kelainan tersebut adalah : Hb S, Hb C, Hb E, Thalasemia, Defisiensi Glukosa 6 Phosphat (G6PD) dan eosinofilia herediter.12 Sporozoit yang masuk kedalam darah segera dihadapi sistem imunitas tubuh, mula-mula oleh respons imun alamiah dan selanjutnya oleh respons imun spesifik. Sistem imunitas alamiah yang berperan di antaranya makrofag dan monosit, leukosit polimorfonuklear (PMN/Neutrofil), sitokin, komplemen, limfa dan sel NK.12 Makrofag dan monosit merupakan sel efektor penting dalam perlindungan terhadap malaria. Bekerja melalui beberapa cara yaitu fagositosis langsung terhadap Plasmodium, mensekresi sitokin guna mengaktifkan makrofag lainnya, mensekresi IL-12 untuk merangsang sel NK untuk menghasilkan INF-γ, dan sebagai sel penyaji antigen terhadap limfosit T. Kemampuan fagositosis dan spesifisitas makrofag dapat ditingkatkan oleh sitokin yang dihasilkan sel limfosit Th yaitu INF-γ dan IL-2.12,40 Leukosit PMN/neutrofil bekerja dengan cara fagositosis langsung terhadap parasit. Aktivitasnya akan meningkat jika dirangsang oleh sitokin INF γ dan TNF α yang dihasilkan oleh makrofag dan limfosit Th. Neutrofil dan fagosit lainnya membunuh parasit dengan cara mengeluarkan radikal bebas baik yang O2 dependen seperti superoksid ataupun O2 independen seperti nitric oxide.40 Berbagai jenis sitokin yang berperan pada proteksi terhadap malaria yaitu : TNF α, IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12. Sitokin-sitokin tersebut berperan aktif menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik) maupun sitotoksik atau berfungsi memacu sistem imunitas lainnya.12 Aksi biologik dari IL-12 adalah sebagai berikut : (a). Makrofag menghasilkan IL-12 sebagai respons terhadap adanya mikroba. IL-12 yang terbentuk akan menstimulasi sel NK dan sel T untuk menghasilkan INF-γ, yang kemudian akan mengaktivasi makrofag lain untuk menfagositosis mikroba. (b). IL-12 akan menstimulasi perubahan dari limfosit T helper CD4+ menjadi INF- γ yang menghasilkan sel Th-1 yang merupakan bagian dari sel Th yang mengaktivasi fagositosis makrofag pada imunitas seluler. (c). IL-12 meningkatkan fungsi sitolitik dengan mengaktivasi sel NK dan CD8+ cytolytic T lymphocytes (CTLs).13 Sistem imunitas spesifik terhadap infeksi malaria mempunyai ciri khusus yaitu spesies spesifik, strain spesifik dan spesifik terhadap stadium parasit. Spesifik spesies menunjukkan bahwa bila seseorang pernah terinfeksi P. vivax, masih dapat terinfeksi Plasmodium jenis lain dan tahan terhadap infeksi ulang Plasmodium yang sama. Strain spesifik (varian) terjadi bila seseorang sudah pernah terinfeksi dengan strain parasit akan kebal pada paparan ulang dengan strain homolog namun bila terpapar dengan strain heterolog akan terjadi infeksi walaupun ringan. Demikian pula bila seseorang sudah imun pada daerah endemis tertentu masih dapat sakit bila ia pergi ke daerah endemis lain karena di tempat tersebut ia tidak imun terhadap strain Plasmodium di daerah baru.12 Imunitas terhadap stadium aseksual ekstra eritrositer berbeda dengan stadium eritrositer, demikian pula dengan stadium seksual. Spesifik terhadap stadium siklus hidup parasit (Stage spesific) ini timbul karena parasit menghasilkan antigen yang berbeda-beda pada masing-masing siklus yang selanjutnya akan merangsang produksi bermacam-macam antibodi spesifik atau mengaktifkan komponen imunitas seluler.12,41 2.1.8. Interleukin-12 Sumber utama dari Interleukin-12 (IL-12) adalah fagosit mononuklear teraktivasi dan sel-sel dendritik. Banyak sel mensintesis subunit p35, tetapi hanya antigenpresenting cells (APCs) yang menghasilkan komponen p40 dan komponen tersebut merupakan bentuk biologis aktif dari sitokin. Selama reaksi imunitas didapat terhadap mikroba, IL-12 dihasilkan sebagai respons terhadap stimulus dari berbagai mikroba (termasuk Lipopolisakarida/LPS), infeksi oleh bakteri intraseluler (seperti Listeria dan Mycobacterium) dan infeksi virus. Sel Th terstimulasi antigen juga akan meningkatkan produksi dari IL-12 dari makrofag dan sel-sel dendritik. Interferon-γ yang dihasilkan oleh sel NK atau sel T juga menstimulasi produksi IL-12. Interleukin-12 juga dihasilkan APCs ketika mempresentasikan antigen pada sel T, selama fase induksi dan merupakan efektor dari cell-mediated immune responses (CMI).13,42 Interleukin-12 diproduksi makrofag dan sel dendritik yang memberikan respons terhadap mikroba atau terhadap sinyal sel T seperti ligan CD40 yang mengikat CD40. IL-12 bekerja terhadap limfosit dan sel NK untuk merangsang produksi INFγ dan aktivitas sitolitik untuk menyingkirkan mikroba intraseluler, lihat gambar 2.2. Gambar 2.2. Efek biologik Interleukin-12. Dikutip dari Abbas AK, Lichtman AH.13 Keadaan infeksi akan menimbulkan reaksi imunitas alamiah dengan memproduksi IL-12 yang merupakan sitokin utama (key inducer) dan menginduksi imunitas seluler, pada binatang percobaan IL-12 melawan infeksi yang disebabkan oleh mikroba intraseluler. Interleukin-12 akan berikatan dengan reseptor pada sel T CD4+ yang terstimulasi antigen dan mengaktivasi transkripsi STAT4 yang akan mengubah sel T menjadi sel T helper 1 (Th-1). Interferon γ (INF- γ) juga memacu perkembangan Th-1 dengan memacu produksi IL-12 oleh makrofag dan mengekspresikan fungsi reseptor IL-12 di limfosit T (pada manusia, INF-α dapat memacu ekspresi pada reseptor IL-12).13 Interleukin-12 berperan penting pada imunitas seluler dan humoral sebagai respons imun terhadap malaria, pada penelitian menggunakan hewan coba, pemberian IL-12 menurunkan angka kematian malaria dengan menurunkan parasitemia dan memacu pengeluaran INF-γ dan sebagian merupakan peran dari nitric oxide (NO).43 Sudah diketahui bahwa IL-12 berperan penting pada respons awal melawan Plasmodium, dan pada hewan coba tikus selain meningkatkan daya tahan ataupun menyebabkan kerentanan, juga berperan pada proses patologi pada malaria. Interleukin-12 berperan pada keadaan kritis dengan menghasilkan INF-γ, yang akan merangsang respons dari Th1 baik pada tahap awal maupun secara terus-menerus. Keadaan infeksi oleh P. chaubadi AS pada C57BL/6 GKO (INF-γ) ditemukan adanya parasitemia tinggi selama infeksi akut dan peningkatan angka kematian, fenomena tersebut berhubungan dengan penurunan kadar IL-12p70, TNF-α dan nitric oxide. Pada tahap pemulihan dari infeksi, IL-12 dibutuhkan untuk menghasilkan antibodi immunoglobulin G2a (Ig2a). Penemuan tersebut menunjukkan bahwa aktivitas immunoregulator dari IL-12 adalah untuk menghasilkan respons antibodi melawan Plasmodium. Pada anak yang non imun terhadap P. falciparum menunjukkan kadar IL-12 dan INF-γ serum yang rendah dan kapasitasnya menurun untuk menghasilkan IL-12 dan INF-γ setelah stimulasi in vitro.38 Interleukin-12 akan menginduksi kekebalan terhadap serangan sporozoit pada binatang pengerat dan primata non manusia, dengan menstimulasi produksi INF-γ.13 Parasit akan memacu pengeluaran IL-12 dari monosit/makrofag, sel B dan sel-sel lain yang penting untuk memulai kaskade inflamasi. Interleukin-12 menginduksi pertahanan hewan coba pada penelitian malaria yang berhubungan dengan kemampuan IL-12 untuk mengubah sel T CD4+ menjadi Th-1 dan akan menghasilkan INF-γ yang menstimulasi monosit untuk mengeluarkan TNF-α yang memacu pengeluaran antiplasmodium seperti nitric oxide. Kadar IL-12 yang rendah pada malaria berat menunjukkan bahwa IL-12 penting untuk sebagai imunoprotektor terhadap malaria pada manusia.44 2.2. SENG Seng merupakan trace element penting yang terlibat dalam fungsi lebih dari 300 enzim dan protein dalam tubuh manusia. Protein tersebut berperan dalam fungsi metabolik yang luas yaitu transkripsi DNA, sintesis protein, enzim katalitik, reseptor hormon, dan stabilisasi membran sel. Peran biologik seng selalu dalam bentuk kation bivalen dan tidak mengalami reduksi serta oksigenasi dalam kondisi fisiologis, sehingga seng merupakan komponen stabil dari kompleks protein.45 Manfaat seng dalam zat gizi dan kesehatan manusia telah dikenal sejak tahun 1934, namun baru diteliti lebih jauh pada awal abad ke 20. Defisiensi seng sekunder menyebabkan akrodermatitis, inborne error of metabolism, yang menyebabkan penurunan absorbsi seng di usus dan peningkatan kejadian infeksi.46 Seng diabsorbsi di duodenum dan usus halus proksimal. Di dalam lumen intestinal, seng dari diet bercampur dengan seng dari sekresi pankreas dan hasil deskuamasi usus yang mengandung seng. Setelah uptake oleh sel usus, seng melintasi permukaan serosa dan secara aktif disekresikan kedalam sirkulasi portal di mana kemudian seng terikat dengan albumin. Mekanisme ini bersifat reversibel, dan juga terjadi uptake seng portal oleh sel usus. Pada keadaan kecukupan seng, peningkatan pool seng memicu sintesis metallothionein sel usus (gambar 2.3.), yang dapat mengikat kelebihan seng intraseluler.47 Gambar 2.3. Absorpsi seng diusus. Dikutip dari Casey CE, Walravens PA.47 Keadaan malabsorbsi dan diare dapat menganggu absorpsi seng.48 Inhibisi kompetitif antara besi, seng dan tembaga juga mempengaruhi absorpsi seng.49 Seng dari produk hewani mudah diserap, sedangkan seng dari produk nabati absorpsinya tergantung pada kandungan seng tanah.45 Di dalam plasma seng sebagian besar berikatan dengan albumin (60%), α2 makroglobulin (30%), dan transferin (10%). Seng terikat longgar dengan albumin dan asam amino, fraksi ini bertanggungjawab pada transport seng dari hati ke jaringan. Karena semua seng yang diabsorpsi diangkut dari plasma kejaringan, pertukaran seng dari plasma kedalam jaringan sangat cepat untuk memelihara konsentrasi plasma seng yang relatif konstan. 50 2.2.1. Fungsi seng Salah satu fungsi seng adalah berperan sebagai kofaktor yang penting untuk lebih dari 70 enzim-enzim. Dalam peranan ini, seng mengikat residu histidin dan sistein serta dalam waktu yang sama menstabilkan serta membuka tempat/sisi aktif dari enzim-enzim sedemikian rupa sehingga katalis dari reaksi dapat berjalan.51 Seng berperan dalam fungsi kekebalan tubuh manusia. Bayi marasmus yang disuplementasi seng memperlihatkan peningkatan respons pertahanan tubuhnya. Anak-anak di negara berkembang yang diberi suplementasi seng juga menurunkan angka kejadian dan lamanya diare akut maupun kronik. Suplementasi seng juga menurunkan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan malaria. Pemberian seng pada obat batuk juga menunjukkan penurunan lamanya influenza.52 2.2.2. Penentuan status seng Penentuan status seng tubuh dapat dilakukan dengan pengukuran konsentrasi seng serum, konsentrasi pada eritrosit, leukosit dan neutrofil serta rambut. Penentuan status seng marginal dapat dengan mengukur metallothionein sel darah merah. Konsentrasi metallothionein sel darah merah memiliki respons yang baik terhadap perubahan asupan seng, ketika seng plasma tidak menunjukkan perubahan. Konsentrasi seng plasma adalah indikator yang sering dipakai untuk menentukan status seng, namun tidak selalu menggambarkan secara tepat kadar seng dalam tubuh karena seng berikatan terutama dengan albumin, sehingga akan berubah bila kadar albumin berubah.53 Variasi konsentrasi seng plasma akibat perubahan status seng adalah sangat kecil, karena mudah dipengaruhi oleh faktor lain seperti variasi diurnal dan variasi antar individu. Konsentrasi seng plasma juga menurun pada keadaan infeksi, sebagai respons fase akut.45 Faktor selain masukan seng dan infeksi yang mempengaruhi konsentrasi seng plasma adalah hipoalbuminemia, gagal organ, trauma jaringan akibat pembedahan, latihan fisik berat, dan penyakit intestinal yang mempengaruhi absorpsi seng.54 2.2.3. Pemeriksaan status seng tubuh Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat dipakai untuk menentukan status seng tubuh, antara lain:55 1. Pemeriksaan konsentrasi seng plasma atau serum. Plasma dan serum mengandung kira-kira 10-20% seng sirkulasi. Kadar seng normal dalam plasma 80-110 µg/dL, darah mengandung 20 kali lipat karena adanya enzim karbonik anhidrase dalam eritrosit, rambut mengandung 125-250 µg/g, muskulus 50 µg/g.56 Hasil lebih tinggi didapat bila terjadi stasis vena, hemolisis atau terkontaminasi oleh produk dari karet saat pengambilan sampel. Hasil lebih tinggi juga diperoleh bila sampel diambil setelah makan (postprandial), tapi kadarnya menurun lagi 2 jam setelah makan. Kadar seng plasma juga dipengaruhi variasi diurnal. 2. Analisis rambut Masih jarang dilakukan. Keterbatasan pemeriksaan kadar seng rambut ditunjukkan pada binatang percobaan dimana justru terjadi peningkatan kadar seng rambut pada defisiensi seng berat (efek paradoksal). Hal ini juga dilaporkan dapat terjadi pada anak malnutrisi. Hasil pemeriksaan dapat terkontaminasi oleh debu/kotoran, cat rambut, dan shampoo yang mengandung seng. 3. Pemeriksaan lain Kadar seng dalam urin sulit diinterpretasi sehingga jarang dilakukan. Status seng secara fungsional dapat ditentukan dengan memeriksa aktivitas metaloenzim seperti alkali fosfatase, karboksipeptidase, laktat dehidrogenase, 5’-nukleotidase, timidin kinase, δ-amino laevulinic acid dehydratase dalam eritrosit, dan angiotensin-1converting enzyme dan α-D-mannosidase dalam serum atau plasma. 2.2.4. Defisiensi seng Defisiensi seng akan menyebabkan perubahan pada beberapa sistem organ seperti sistem saraf pusat (malformasi permanen, pengaruh terhadap neuromotor dan fungsi kognitif), saluran pencernaan, sistem reproduksi, dan fungsi pertahanan tubuh baik spesifik maupun alamiah (menekan sistem imunitas tubuh). Gangguan sistem imunitas spesifik seperti kerusakan sel-sel epidermal, gangguan aktifitas sel NK, fagositosis dari makrofag dan neutrofil. Gejala-gejala diatas akan terjadi bila terjadi defisiensi seng berat. 55,57 Salah satu tanda klinis dari defisiensi seng adalah imunitas yang terganggu. Defisiensi seng menurunkan kemampuan badan untuk melawan infeksi, menekan respons imun seluler dan humoral. Proliferasi sel B tidak terlalu dipengaruhi oleh defisiensi seng dibandingkan sel T, namun bagaimanapun defisiensi seng dapat menurunkan jumlah sel B naive yang dapat menghasilkan antibodi untuk melawan antigen baru.16 Faktor-faktor predisposisi defisiensi seng : 1. Masukan yang inadekuat : malnutrisi, vegetarian, pemberian nutrisi enteral dan parenteral atau diet untuk mengatasi inborne error metabolism, infeksi intestinal, interaksi nutrient antara komponen diet dan obat-obatan. 2. Maldigesti dan malabsorpsi : mekanisme absorpsi karena imaturitas, akrodermatitis enterohepatika, pembedahan lambung dan reseksi usus, enterohepati, penyakit inflamasi usus, insufisiensi eksokrin pankreas, obstruksi kandung empedu, hepatitis. 3. Eskresi yang meningkat : keadaan katabolisme, enterohepati dengan loss protein, gagal ginjal, renal dialysis, terapi diuretik, chelating agent (spesifik dan nonspesifik), dermatosis eksfoliatif. 4. Kebutuhan yang meningkat : sintesa jaringan yang cepat, konvalesen paska katabolik, penyakit neoplasma, resolving anaemias.55 2.2.5. Seng dan imunitas Seng memiliki beberapa fungsi pada kualitas sistem imunitas seluler yang baik secara in vivo maupun in vitro. Mekanisme hubungan antara seng dan imunitas sampai sekarang masih dalam perdebatan. Beberapa hipotesis yang telah dilaporkan:58 1. Seng merupakan faktor penting dari berbagai enzim, lebih dari 300 metaloenzim tidak dapat berfungsi bila tidak terdapat seng. Seng penting untuk polimerase DNA, timidin kinase dan polimerase RNA menjadi DNA, proliferase sel limfoid, regulator transkripsional yang dikenal sebagai zinc finger DNA binding proteins. Fungsi lain adalah sebagai enzim aktif dari beberapa metaloprotese. 2. Seng bermanfaat sebagai mediator imunitas, terutama untuk timulin, suatu hormon nonpeptidase yang dihasilkan oleh sel epitelial timus, dan memerlukan seng untuk aktivitas biologisnya. Peptida tersebut membantu maturasi limfosit T, sitotoksisitas, dan produksi IL-2. Aktivitas timulin secara in vivo dan in vitro baik pada percobaan binatang dan pada manusia, sangat tergantung pada kadar seng plasma. Seng juga berperan dalam aktivitas sitokin, serta defisiensi seng mempengaruhi ketidakseimbangan antara sel Th1 dan Th-2. 3. Seng mempengaruhi stabilisasi membran, terutama pada tingkat sitoskeletal. Efek pada membran dapat diterangkan dengan penurunan dari fagositosis, konsumsi oksigen dan aktivitas bakterisidal yang dipengaruhi oleh seng dalam fagositosis sel dan modifikasi reseptor permukaan Con A yang terdapat pada sel limfoid. 4. Seng merupakan regulator intraseluler utama pada apoptosis limfosit secara in vitro dan in vivo. Terdapatnya atrofi timus dan limfopenia yang berhubungan dengan defisiensi seng yang mempengaruhi produksi limfosit, serta menghilangnya sel prekursor melalui mekanisme apoptosis. Fungsi sistem imunitas alamiah dipengaruhi oleh kadar seng. Secara in vitro, tidak hanya mempengaruhi granulosit neutrofil tetapi juga pada aktivitas kemotaksis PMN. Pada in vivo, aktivitas sel NK, fagositosis makrofag dan degenerasi neutrofil serta jumlah granulosit dipengaruhi oleh menurunnya kadar seng. Sel NK merupakan sel yang penting dalam melawan infeksi dan tumor. Jumlah dan aktivitas sel NK sangat tergantung pada kadar seng serum, yang dibuktikan dengan adanya defisiensi seng menyebabkan menurunnya aktivitas sel NK dan jumlah prekursor dari sel sitolitik. Hubungan antara konsentrasi seng dan fungsi sel imun natural dapat dilihat pada tabel 2.1.59 Tabel 2.1. Hubungan antara konsentrasi seng dan imun natural / innate sel.59 Limfosit merupakan pusat respons imun adaptif atau spesifik. Limfosit T sangat berperan penting dalam pengaturan respons imun, dan dapat dibagi dalam sub populasi berbeda tergantung fungsi masing-masing, atau tergantung pertanda spesifiknya. Golongan utama sel T dibedakan menjadi sel T sitotoksik, yang membunuh sel target, dan sel Th, yang mengaktivasi makrofag dan limfosit B. Limfosit B matang di sumsum tulang, dan dapat menginduksi produksi antibodi sebagai respons antigen spesifik, dan atau stimulasi sel Th. Sitokin diproduksi oleh komponen sistem imunitas seluler akibat stimulus spesifik, dan menjalankan peran penting dalam modulasi dan regulasi fungsi imun. Sitokin menginduksi respons sel efektor, dan dapat memulai, merangsang dan menekan reaktivitas imun.45 Pada imunitas spesifik, defisiensi seng menyebabkan penurunan jumlah dan fungsi limfosit, penurunan jumlah dan fungsi makrofag, penurunan rasio limfosit T helper/Th (CD4+) : limfosit T sitotoksik (CD8+), penurunan jumlah limfosit T CD8+ CD73+ yang merupakan prekursor limfosit T sitotoksik, penurunan respons antibodi limfosit B, dan penurunan sitokin. 17 Tabel 2.2. Hubungan antara konsentrasi seng dan imunitas spesifik. 59 Gangguan fungsi imunitas alamiah dan spesifik akibat defisiensi seng tersebut akhirnya meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, termasuk diare, ISPA, dan malaria.17 Gangguan imunitas seluler berat dilaporkan pada penderita yang mengalami defisiensi seng yang mendapatkan nutrisi parenteral. Kelainan berupa limfopenia, penurunan rasio T helper dan supresor, penurunan aktivitas sel NK, dan munculnya sensitivitas tipe lambat pada pada penderita sikle sel anemia yang disertai dengan penurunan seng serum.58 2.2.6. Hubungan seng dan sitokin Produktivitas atau aktivitas biologis dari beberapa sitokin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-6, INF-γ, INF-α, TNF-α, dan migration inhibitory factor/MIF) yaitu meningkatkan perkembangan dan fungsi dari limfosit T, limfosit B, makrofag, dan sel NK dipengaruhi oleh defisiensi seng. Sitokin IL-1, IL-2, dan INF-γ dilaporkan menurun pada defisiensi seng, sedangkan monosit akan menghasilkan IL-1β, IL-6, INF-α, dan TNF-α yang distimulasi dengan penambahan seng secara in vitro. Pada penelitian pada manusia, menunjukkan bahwa produksi INF-γ akan menurun pada keadaan defisiensi seng. Defisiensi seng ringan pada manusia akan mempengaruhi ketidakseimbangan antara fungsi sel Th-1 dan Th-2 yang akan menyebabkan penurunan daya tahan terhadap infeksi.14 Penelitian oleh Prasad AS, menunjukkan bahwa defisiensi seng akan menurunkan pengerahan sel T naïve (CD4+ CD45RA), penurunan prosentase sel CD73+ yang merupakan subset sel CD8+ prekursor limfosit T sitotoksik, penurunan produksi INF-γ, sedangkan produksi IL-4, IL-6, IL-10 tidak dipengaruhi oleh defisiensi seng.60 Berdasarkan beberapa penelitian, telah diketahui bahwa penambahan seng akan menginduksi respons sitokin spesifik dari pheripheral blood mononuclear cells (PBMC) manusia. Seng akan menstimulasi PBMC untuk mengeluarkan IL-1, IL-6, TNF-α, dan INF-γ. Interleukin-1, IL-6 dan TNF-α secara langsung akan menginduksi monosit karena adanya seng. Interferon/INF-γ dan reseptor IL-2 akan dihasilkan oleh sel T yang dimediasi oleh monosit mengeluarkan IL-1, IL-6 dan terdapat kerjasama yang baik antara monosit dan sel T. Seng akan gagal dalam menginduksi sitokin apabila keadaan terisolasi dan kerjasama antara monosit-sel T menurun.50,61 Beberapa penelitian tentang manfaat pemberian seng dapat meningkatkan fungsi imunitas pada berbagai penyakit. Pada pasien dengan penyakit sickle cell, suplementasi seng meningkatkan produksi dari IL-12, menurunkan kejadian infeksi oleh bakteri, menurunkan lama perawatan di Rumah Sakit, dan menurunkan nyeri akibat penyumbatan pembuluh darah. Anak yang mendapatkan suplementasi seng secara bermakna terdapat peningkatan proporsi sel CD4+ CD3+ (CD3, CD4, dan rasio CD4/CD8) di darah tepi dan meningkatkan T-cell-mediated immunity (CMI).62 Pada manusia, defisiensi seng menyebabkan ketidakseimbangan produksi sitokin seperti penurunan INF-γ, IL-2 & TNF-α (tipe Th-1), tanpa perubahan dari produksi IL-4, IL-6 dan IL-10 (tipe Th-2).63 Timulin adalah hormon spesifik timus yang memerlukan seng untuk mengekspresikan aktifitas biologiknya. Timulin akan berikatan dengan afinitas kuat pada reseptor sel T, menginduksi beberapa pertanda sel T, dan meningkatkan fungsi sel T, termasuk sitotoksisitas allogenik, serta meningkatkan fungsi dan produksi dari IL-12. Defisiensi seng ringan dapat menurunkan aktivitas timulin serum dan terkoreksi dengan suplementasi seng secara in vivo maupun in vitro. Aktivitas sel NK juga sensitif terhadap restriksi seng; hal tersebut menunjukkan bahwa seng sangat berperan penting terhadap fungsi dari sel T pada manusia. Keadaan defisiensi seng menyebabkan sitokin Th-1 menurun, tetapi tidak mempengaruhi sitokin Th-2, dan terjadi pergeseran fungsi Th-1 ke Th-2. Penurunan seng mempengaruhi ekspresi gen dan generasi sitokin TNF-α, IL-1β, dan IL-8, lihat gambar 2.4. garis tegas menunjukkan alur yang ditingkatkan seng; garis putus-putus menunjukkan alur yang dihambat oleh seng. Gambar 2.4. Efek seng pada sel limfoid dan mieloid. Dikutip dari Prasad AS.60 2.2.7. Seng dan malaria Interaksi antara seng dan malaria kurang didokumentasikan dengan baik. Seng telah diketahui sebagai zat yang dapat memodulasi sistem imunitas. Diketahui bahwa seng merupakan zat yang penting mediator untuk imunitas sel seperti neutrofil, makrofag, dan sel NK, dan berefek membangun imunitas yang didapat dan produksi antibodi, terutama imunoglobulin G. Beberapa penelitian terkini pada primata didapatkan adanya efek imunologis dari defisiensi seng. Defisiensi seng memiliki aspek multipel pada sistem imunitas dan penting untuk perkembangan imunitas didapat. Hal ini merupakan dasar biologi bagi daya tahan terhadap infeksi, termasuk terhadap malaria, yang dapat diobservasi dari defisiensi seng. Suplementasi seng dapat menurunkan angka kejadian dan keparahan diare serta pneumonia.63 Defisiensi mikronutrien akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi di negara berkembang. Berdasarkan data yang ada, defisiensi seng akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan penurunan fungsi imunitas tubuh. Suplementasi seng secara bermakna menurunkan angka kejadian dan keparahan penyakit diare dan pneumonia terutama pada angka kematian anak usia kurang dari 5 tahun. Bukti manfaat suplementasi seng pada angka kematian akibat malaria masih diperdebatkan.64 2.3. KERANGKA TEORI Masukan makanan Fungsi fagositosis PMN Kadar albumin plasma Status gizi Gangguan absorbsi/ diare Status infeksi: ISPA, Otitis Media Akut (OMA) Riwayat penyakit tuberkulosis & ginjal, serta pengobatannya Kadar Fe,Cu,Ca,Mn plasma Intensitas transmisi/jumlah kasus maksimum Tingkat pendidikan ibu Status ekonomi Kadar seng plasma Jumlah Sel NK teraktivasi Jumlah Limfosit T teraktivasi Total INF-γ serum Jumlah Makrofag teraktivasi Kadar Interleukin-12 serum Malaria Umur Genetik Kadar IL-1,IL-2, IL-4, IL-6,IL-10, TNF-α serum 2.4. KERANGKA KONSEP Kadar seng plasma Status ekonomi Kadar IL-12 serum Status gizi Faktor masukan makanan, kadar albumin serum tidak dilakukan penelitian karena yang diukur adalah kadar seng plasma bebas. Fungsi fagositosis PMN, jumlah sel NK teraktivasi, jumlah makrofag teraktivasi, jumlah limfosit T teraktivasi tidak dilakukan penelitian karena merupakan suatu uji fungsi yang sulit dilakukan dan hasilnya tidak mencerminkan yang sebenarnya baik secara in vivo maupun in vitro. Kadar INF-γ, IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-10, TNF-α tidak dilakukan penelitian karena waktu paruh dan waktu pelepasannya singkat. 2.5. Hipotesis Ada korelasi antara kadar seng plasma dengan kadar IL-12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria. BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya Sub Bagian Infeksi dan Penyakit Tropik. 3.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Desa Kalitapas dan Desa Bleber Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo, yang merupakan desa HCI tinggi di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan April 2009. Pemilihan wilayah penelitian dilakukan berdasarkan hasil laporan penemuan penderita malaria Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 dan laporan malaria per desa Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo tahun 2008. Penelitian juga dilakukan di laboratorium GAKI FK.UNDIP Semarang dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit-Salatiga. 3.3. Jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang. 3.4. Populasi dan subyek 3.4.1. Populasi target Populasi target adalah anak Sekolah Dasar (SD) usia 6-14 tahun 3.4.2. Populasi terjangkau Populasi terjangkau adalah murid MI Desa Kalitapas dan Desa Bleber Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo usia 6-14 tahun, di mulai bulan Maret 2009 – April 2009. 3.4.3. Subyek penelitian Kriteria inklusi 1. Anak Sekolah Dasar (usia 6-14 tahun) 2. Berdomisili diwilayah penelitian lebih dari 1 tahun 3. Orang tua/wali anak setuju anaknya ikut serta pada penelitian ini 4. Suhu tubuh normal : 36,1- 37,2ËšC (axilla)24 5. Tingkat pendidikan ibu tinggi Kriteria eksklusi 1. Menderita gizi buruk berdasarkan klinis dan atau antropometri 2. Menderita malaria simptomatis, dan atau infeksi lain seperti infeksi saluran pernafasan akut/ISPA, otitis media akuta/OMA, dan diare yang diketahui berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik 3. Diketahui menderita atau dalam pengobatan penyakit kronis seperti: tuberkulosis, penyakit ginjal yang diketahui berdasarkan anamnesis 3.4.4. Cara pemilihan subyek penelitian Dipilih desa HCI malaria tertinggi pertama dan ketiga di Kecamatan Bener Kabupaten Puworejo, yaitu Desa Kalitapas dan Desa Bleber. Desa Ketosari (desa HCI tertinggi kedua) tidak dipilih karena berada dalam binaan UNICEF dalam hal evaluasi pengobatan malaria. Madrasah Ibtidaiyah (MI) Desa Kalitapas dan Desa Bleber merupakan tempat penelitian. Pemilihan subyek penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, selanjutnya subyek penelitian adalah seluruh siswa SD usia 6-14 tahun yang masuk kriteria inklusi dan eksklusi. 3.4.5. Besar sampel Sesuai dengan hipotesis penelitian yaitu adanya korelasi antara kadar seng plasma dengan kadar IL-12. maka besar sampel minimal penelitian dihitung dengan rumus besar sampel untuk uji korelasi. Apabila diketahui besarnya kesalahan tipe I (α) =0,05 maka Zα=1,96, besarnya kesalahan tipe II (β)= 0,2 maka Zβ=0,842, power 80%, besarnya koefisien korelasi yang diharapkan untuk korelasi antara kadar seng dengan kadar IL-12 adalah r = 0,5 (korelasi derajat sedang), maka besar sampel adalah: 2 2 ⎤ ⎡ ⎤ ⎡ ⎢ ⎢ Zα + Zβ ⎥ 1,96 + 0,842 ⎥ ⎥ + 3 ≈ 38 n=⎢ ⎥ +3= ⎢ ⎢ 0,5 ln 1 + 0,5 ⎥ ⎢ 0,5 ln 1 + r ⎥ ⎢⎣ 1 - r ⎦⎥ 1 - 0,5 ⎥⎦ ⎣⎢ Berdasarkan perhitungan diatas maka besar sampel minimal adalah 38 anak 3.5. Variabel penelitian 3.5.1. Variabel bebas : Kadar seng plasma 3.5.2. Variabel tergantung : Kadar IL-12 serum 3.5.3. Variabel perancu : Status gizi Status ekonomi 3.6. Definisi operasional variabel No Variabel Skala 1. Kadar seng adalah kadar seng dalam plasma yang diperiksa dengan Rasio metode AAS (Atomic Absorption Spectophotometry), dinilai dengan satuan µg/dL. Dikatakan sebagai defisiensi seng bila kadar seng plasma < 80 µg/dL 2. Interleukin-12 adalah kadar IL-12 sirkulasi serum yang diperiksa Rasio dengan metode ELISA, dinilai dengan satuan pg/ml 3. Status gizi : Penilaian ukuran, proporsi dan komposisi tubuh yang Nominal diukur dengan metode Z-Score (Height for Age/HAZ), dengan menghitung nilai tinggi badan berdasarkan umur dan jenis kelamin dikurangi dengan nilai median dibandingkan dengan nilai standart deviasinya. Normal : 2 SD sampai -2 SD Pendek : < -2 SD Status gizi juga ditentukan berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh): skor berat badan (kilogram) dibagi tinggi badan (meter) kuadrat. Status gizi digolongkan berdasarkan persentil IMT terhadap umur sesuai jenis kelamin pada kurva persentil IMT dari Centre for Diseases Control (CDC) 2000 sebagai berikut: Underweight : < persentil 5 Normoweight : persentil 5 - 85 Ordinal No Variabel Skala Risk of overweight : persentil 86 – 95 Overweight 4. : > persentil 95 Status ekonomi: diukur dengan skor Bantuan Langsung Tunai (BLT) Ordinal berdasarkan kriteria Badan Pusat Statistik (BPS): 0-4 : Tidak miskin 5 : Mendekati miskin 6-10 : Miskin ≥ 11 : Sangat miskin 3.7. Bahan dan cara kerja - Survei awal untuk menentukan kecamatan dengan API tertinggi di Kabupaten Purworejo, yaitu Kecamatan Bener. Dipilih desa HCI tinggi di wilayah Kecamatan Bener, yaitu Desa Kalitapas dan Desa Bleber. Seluruh murid Madrasah Ibtidaiyah di kedua desa tersebut merupakan subyek penelitian. Sebelum penelitian dimulai, dijelaskan kepada orangtua subyek penelitian tentang tujuan penelitian, prosedur pemeriksaan dan manfaat yang diperoleh. q Jika orang tua subyek penelitian setuju untuk mengikuti penelitian, maka diminta bukti persetujuan secara tertulis dengan membubuhkan tanda tangan pada lembaran informed concent. q Anak yang masuk kriteria inklusi kemudian dilakukan anamnesis dengan ibu/keluarga terdekat mengenai riwayat sakit penderita dan karakteristik umum meliputi umur, jenis kelamin dan dilakukan pemeriksaan fisik umum, antropometri meliputi: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, serta diteruskan dengan pengambilan darah. q Pengambilan sampel darah secara intravena sebanyak 5 ml darah, 3 cc untuk pemeriksaan kadar seng, 1 cc untuk pemeriksaan malaria (darah tebal/tipis dan ICT Pf/PV/Entebe®) dan 1 cc untuk pemeriksaan IL-12. q Dibuat preparat darah tebal dan tipis untuk pemeriksaan malaria (jenis parasit, kepadatan parasit). Pada pemeriksaan slide malaria, sediaan darah tepi difiksasi dengan metanol 70% selama 2 menit/kering, kemudian sediaan tipis ditetesi larutan giemsa 10% selama 10-15 menit (dengan perbandingan 10 cc buffer/aquades dan 1 cc giemsa). Sediaan darah tebal tidak difiksasi, langsung diberi larutan giemsa selama 20-30 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Pemeriksaan slide darah malaria dilakukan oleh tenaga mikroskopik malaria di Balai Pengembangan dan Penelitian Vektor Malaria Salatiga Jawa Tengah. Sampel dengan malaria positif diberi pengobatan q Pemeriksaan malaria juga dilakukan dengan cara TDC (ICT Pf/Pv/Entebe®) q Pemeriksaan seng plasma dilakukan dengan metode AAS. Sampel darah vena tanpa puasa sebanyak 3 cc diambil dan dimasukkan kedalam tabung. Pengambilan sampel di lakukan antara pukul 9-12 pagi, sampel kemudian dikirim dan diperiksa di laboratorium GAKI FK. UNDIP Semarang q Kadar Interleukin 12 diperiksa dengan metode ELISA, dibaca dengan alat microplate reader di laboratorium GAKI FK. UNDIP semarang q Pemeriksaan status gizi dinilai dengan perhitungan HAZ dan IMT q Status ekonomi berdasarkan skor BLT menurut kriteria BPS 3.8. Alur penelitian Anak MI Desa Kalitapas dan Desa Bleber Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo usia 6-14 tahun yang masuk kriteria inklusi dan eksklusi - Pengambilan data dasar Anamnesis Pemeriksaan fisik q Pemeriksaan malaria (darah tebal, darah tipis dan RDT) q Pemeriksaan kadar seng plasma q Pemeriksaan IL-12 serum Analisis data Laporan Penelitian 3.9. Analisis data Data yang terkumpul akan dilakukan pemeriksaan data (data cleaning), koding, tabulasi dan selanjutnya akan dimasukkan kedalam komputer. Analisis data meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Pada analisis deskriptif, data yang berskala numerik seperti umur, kadar seng plasma, kadar interleukin-12 serum, dan sebagainya dideskripsikan sebagai rerata dan simpang baku (SB). Sedangkan variabel berskala katagorikal seperti jenis kelamin, status infeksi malaria, status gizi, status ekonomi dideskripsikan sebagai distribusi frekuensi (n) dan persen (%). Normalitas data di uji dengan uji Kolmogorov-Smirnov distribusi data dikatakan normal jika p > 0,05. Hubungan antara kadar seng plasma dengan nilai HAZ dan status ekonomi (skor BLT) dianalisis dengan uji korelasi Pearson oleh karena berdistribusi normal, sedangkan hubungan kadar seng plasma dengan kadar IL-12 serum dan nilai IMT dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman karena distribusinya tidak normal. Analisis data dilakukan dengan program Statistics Program for Social Science v.15,0. (SPSS Inc, USA). Nilai p dianggap bermakna apabila p < 0,05 dengan interval kepercayaan 95%. 3.10. Etika penelitian Persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian dimintakan dari orang tua murid dalam bentuk tanda tangan pada lembar persetujuan (Informed consent). Orang tua anak sebelumnya telah diberikan penjelasan tentang tujuan dan prosedur penelitian. Seluruh biaya untuk penelitian ditanggung oleh peneliti. Responden tidak dibebani biaya tambahan apapun untuk penelitian. Data pribadi penderita dijamin kerahasiaannya. Penelitian telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan RS dr. Kariadi Semarang dengan nomor surat 08/EC/FK/RSDK/2009. BAB 4 HASIL PENELITIAN Pada periode penelitian, diteliti 103 sampel yang merupakan murid Madrasah Ibtidaiyah (MI) Desa Kalitapas dan Desa Bleber Kecamatan Bener berusia 6-14 tahun. Kedua desa tersebut berada di desa HCI tinggi malaria di Kabupaten Purworejo. Jumlah keseluruhan murid di kedua MI tersebut berjumlah 144 anak, 106 anak dari MI Desa Bleber dan 38 anak dari MI Desa Kalitapas, tetapi 25 anak tidak masuk kriteria inklusi karena 1 anak berusia lebih dari 14 tahun, 24 orang tua anak menolak mengikuti penelitian. Enam belas anak di eksklusi karena 15 anak dengan suhu tubuh tidak berada dalam rentang normal (36,1-37,2ºC-axilla), 1 anak dengan gizi buruk antropometri, sehingga total subyek penelitian menjadi 103 anak. Populasi 144 anak MI Desa Kalitapas & Desa Bleber 25 anak tidak masuk kriteria inklusi: 1 anak berusia 15 tahun, 24 orang tua anak tidak setuju untuk ikut penelitian 16 anak dieksklusi: 15 anak suhu tubuh tdk normal, 1 anak gizi buruk antropometri Total subyek penelitian 103 anak Gambar 4.1. Profil Penelitian Tabel 4.1. Karakteristik subyek penelitian Karakteristik Umur (tahun); rerata (SB) Nilai 9,7 ± 1,93 Kadar seng plasma;rerata (SB) Kadar IL-12; rerata (SB) 146,4 ± 41,14 3,3 ± 3,48 Jenis kelamin; n(%) • • 60 (58,3) 43 (41,7) Laki-laki Perempuan Status infeksi malaria; n(%) • • 101 (98,1) 2 (1,9) Negatif Positif Status seng; n(%) • • 3 (2,9) 101 (97,1) Defisiensi Normal Status gizi berdasarkan HAZ; n(%) • • 37 (35,9) 66 (64,1) Pendek Normal Status gizi berdasarkan IMT ; n(%) • • • Underweight Normoweight Overweight 23 (22,3) 78 (75,7) 2 (1,9) Status ekonomi; n (%) • • • • Tidak miskin Mendekati miskin Miskin Sangat miskin n Jumlah % Persen 9 (8,7) 16 (15,5) 70 (68,0) 8 (7,8) SB(Simpang Baku) Telah dilakukan penelitian pada 103 anak yang terdiri dari 60 anak laki-laki dan 43 anak perempuan. Rerata kadar seng plasma adalah 146,4 ± 41,14 µg/dL, kadar terendah 13,50 µg/dl dan tertinggi 285,90 µg/dl. Rerata kadar IL-12 adalah 3,3 ± 3,48 pg/ml. Status infeksi malaria sebagian besar negatif (98,1%). Status gizi berdasarkan IMT sebagian besar normal (75,8%), sedangkan status gizi berdasarkan HAZ sebanyak 35,9% anak dengan perawakan pendek. Tingkat kemiskinan sebagian besar masuk ke dalam kategori miskin (68,0%). Tabel 4.2. Karakteristik kadar seng plasma dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Karakteristik Status infeksi malaria Positif (n=2) Negatif (n=101) Kadar seng plasma Rerata (SB) 137,7 ± 16,40 146,5 ± 41,49 p * Status gizi berdasarkan HAZ Pendek (n=37) Normal (n=66) 147,7 ± 42,09 145,7 ± 40,90 0,8§ Status gizi berdasarkan IMT Underweight (n=23) Normoweight (n=78) Overweight (n=2) 131,8 ± 32,74 150,1 ± 42,82 167,6 ± 31,54 0,1† Status ekonomi berdasarkan BLT Tidak miskin (n=9) Mendekati miskin (n=16) Miskin (n=70) Sangat miskin (n=8) 150,7 ± 32,87 156,7 ± 40,33 143,4 ± 42,06 146,4 ± 41,14 0,7† § Uji Independent t-test Uji One-Way Anova SB (Simpang Baku) *Tidak dilakukan uji statistik karena jumlah status infeksi malaria positif sedikit † Karakteristik kadar seng plasma ditampilkan pada tabel 4.2. Rerata kadar seng plasma pada status malaria positif lebih rendah dibandingkan status malaria negatif, tetapi tidak dilakukan uji statistik karena jumlah status malaria positif sangat sedikit. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna rerata kadar seng plasma pada kelompok pendek dan normal (p=0,8). Terdapat rerata kadar seng plasma yang lebih rendah pada kelompok Underweight dibandingkan kelompok Normoweight dan Overweight, tetapi secara statistik tidak bermakna (p=0,1). Tidak terdapat perbedaan rerata kadar seng plasma dengan kelompok status ekonomi berdasarkan BLT (p=0,6). Tabel 4.3. Karakteristik kadar IL-12 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Karakteristik Kadar IL-12 serum Rerata (SB) p Status infeksi malaria Positif (n=2) Negatif (n=101) 1,6 ± 2,25 3,3 ± 3,50 * Status gizi berdasarkan HAZ Pendek (n=37) Normal (n=66) 3,5 ± 4,93 3,2 ± 2,36 0,2‡ Status gizi berdasarkan IMT Underweight (n=23) Normoweight (n=78) Overweight (n=2) 2,7 ± 2,13 3,2 ± 2,44 15,5 ± 19,25 0,3¥ ‡ Uji Mann-Whitney Uji Kruskal-Wallis SB (Simpang Baku) * Tidak dilakukan uji statistik karena jumlah status infeksi malaria positif sedikit ¥ Tabel 4.3. menunjukkan bahwa rerata kadar IL-12 pada kelompok status malaria positif lebih rendah dibandingkan kelompok malaria negatif, tetapi tidak dapat dilakukan uji statistik karena jumlah status malaria positif sangat sedikit. Tidak didapatkan perbedaan rerata kadar IL-12 pada kelompok pendek dengan kelompok normal (p=0,2). Rerata IL-12 pada kelompok Overweight didapatkan lebih tinggi dibandingkan Underweight dan Normoweight, tetapi secara statistik tidak bermakna (p=0,3). Tabel 4.4. Korelasi kadar seng plasma dengan kadar IL-12, nilai HAZ, nilai IMT, dan skor BLT Uji Korelasi Variabel r p IL-12 +0,20 0,04 ¶ HAZ -0,12 0,1€ IMT Skor BLT +0,24 -0,09 0,008¶ 0,2€ ¶ Uji korelasi Spearman Uji korelasi Pearson € Terdapat korelasi positif derajat rendah yang bermakna antara kadar seng plasma dengan kadar Interleukin-12 (r=+0,20; p=0,04), hal tersebut berarti bahwa peningkatan kadar seng plasma akan meningkatkan kadar IL-12. Terdapat korelasi positif derajat rendah yang bermakna antara kadar seng plasma dengan nilai IMT (r=+0,24; p=0,008), hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan nilai IMT akan meningkatkan kadar seng plasma. Tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar seng plasma dengan nilai HAZ dan skor BLT. BAB 5 PEMBAHASAN Hasil penelitian ini didapatkan sebagian besar anak dengan status gizi normal (75,8%), hal ini sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Sazawal (2007), bahwa sebagian besar anak di daerah endemis malaria dengan status gizi normal (68%).64 Penelitian yang dilakukan Nyakeriga (2004), didapatkan prevalensi gizi normal berkisar 57,5%-62,3%.65 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mexitalia dkk (2007), prevalensi gizi kurang didapatkan 63,6%.66 dan penelitian di Kenya didapatkan bahwa prevalensi anak kurang gizi meningkat di daerah endemis malaria dan penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh lainnya.29 Perbedaan hasil penelitian tersebut mungkin disebabkan karena hubungan antara malaria dan malnutrisi adalah kompleks, serta masih menjadi perdebatan dalam kurun waktu yang lama, walaupun pada penelitian terkini didapatkan penambahan bukti-bukti bahwa terdapat hubungan antara nutrisi dan antropometri serta status mikronutrien dengan kerentanan pada malaria. Berdasarkan HAZ sebanyak 35,9% anak dengan perawakan pendek, hasil yang hampir sama didapatkan pada penelitian oleh Nyakeriga (2004), bahwa prevalensi anak berperawakan pendek adalah berkisar 32%-38%.63 Penelitian Muller (2001), pada anak Afrika Barat didapatkan 36,3% anak dengan HAZ <-2SD.18 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Genton (1996), didapatkan hasil anak dengan perawakan pendek sebesar 26%.67 Pada penelitian oleh Mexitalia dkk (2007), didapatkan hasil rerata subyek penelitian adalah berperawakan pendek, hal ini sesuai dengan penelitian di Kenya bahwa di daerah endemis malaria banyak didapatkan anak dengan perawakan pendek yang merupakan gambaran malnutrisi kronis.18,29,66 Pemeriksaan darah tebal pada sebagian besar subyek tidak didapatkan parasit malaria (98,1%). Pada subyek dengan parasit malaria positif, semuanya menampakkan gambaran Plasmodium falciparum. Penelitian oleh Mexitalia (2007), didapatkan 86,4% subyek dengan parasit malaria negatif, hal ini sesuai dengan penelitian di Afrika,68 Kenya, Papua New Guinea,17 dan Tanzania.69 Interleukin-12 berperan penting pada sistem imun didapat terhadap malaria. Meskipun telah diketahui adanya korelasi antara IL-12 dengan beratnya penyakit, tetapi didapatkan kadar IL-12 yang rendah pada anak Afrika dengan malaria berat, kemungkinan karena adanya inhibisi setelah proses fagositosis dari hemozoin atau karena induksi dari IL-10. Penelitian oleh Lyke (2004) didapatkan sedikit peningkatan IL-12 pada malaria berat dibandingkan malaria tanpa komplikasi.70 Hasil penelitian oleh Luty (2000) didapatkan kadar IL-12 yang lebih rendah pada malaria berat dibandingkan malaria ringan (p < 0,001).71 Hasil dari penelitian ini didapatkan kadar IL-12 yang lebih rendah pada status infeksi malaria positif, tetapi tidak dapat dilakukan uji statistik karena jumlah sampel yang sedikit. Penyebab rendahnya peningkatan IL-12 kemungkinan karena adanya downregulation oleh IL10, atau kombinasi gangguan fungsi fagositosis akibat dari hemozoin consumption. Hasil pada penelitian ini didapatkan korelasi positif derajat rendah antara kadar seng dengan kadar IL-12 (r=+0,20; p=0,04), hal tersebut menyatakan bahwa peningkatan kadar seng akan meningkatkan kadar IL-12. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Weiringa (2004) pada bayi usia 3-10 bulan, terdapat penurunan kadar IL-12 pada kelompok defisiensi seng dibandingkan dengan kelompok non defisiensi seng tetapi secara statistik tidak bermakna. Tidak terdapat efek yang bermakna pada defisiensi seng terhadap produksi INF-γ, IL-12, dan IL-18, hal ini disebabkan karena pada penelitian tersebut jumlah sampel sedikit sehingga mengaburkan efek seng terhadap produksi sitokin tersebut.72 Dari 103 anak yang diteliti didapatkan 2,9% anak dengan defisiensi seng, dengan rerata kadar seng plasma yaitu 146,38 µg/dl, kadar terendah 13,50 µg/dl dan tertinggi 285,90 µg/dl. Pada penelitian oleh Lind (2003) di daerah Purworejo pada bayi usia 6 bulan didapatkan 78% defisiensi seng (kadar seng serum <10,7 µmol/L).71 Penelitian oleh Ngurah Sudiana (2005) di daerah Sendangguwo Semarang pada anak, didapatkan 6% anak dengan defisiensi seng.74 Penelitian Desi F di daerah Grobogan pada balita, didapatkan 78,7% defisiensi seng (kadar seng plasma <80 µg/dl). Penelitian Satoto (1993) pada anak sekolah di daerah Nusa Tenggara Barat didapatkan 22,1% anak dengan defisiensi seng, dengan rerata kadar seng rambut 205±109 µg/g. Hasil penelitian oleh Frans JH (2006) pada anak kelas 1 SD di daerah Purwodadi didapatkan 40% anak dengan defisiensi seng (kadar seng rambut <120 µg/dL).75 Secara umum prevalensi defisiensi seng ditemukan berkisar 6%-73% di subwilayah WHO, dengan prevalensi rata-rata 31% di seluruh dunia.19 Penentuan status seng pada penelitian ini adalah berdasarkan kadar seng plasma, cara ini sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain masukan diet. Plasma seng pada umumnya dapat digunakan untuk mendiagnosis defisiensi seng dan merupakan cara yang praktis, tetapi metode tersebut sensitivitas dan spesifisitasnya kurang menggambarkan homeostasis seng primer, sehingga The International Zinc Nutrition Consultative Group mengembangkan metode untuk mengestimasi prevalensi defisiensi seng pada populasi dengan meneliti ketersediaan seng pada diet lokal.19 Pengukuran kadar Metalothionein juga potensial dan lebih sensitif dari pengukuran kadar seng plasma untuk menentukan perubahan marginal dari status seng tubuh. Produksi Metalothionein ditingkatkan dengan keberadaan seng. Penelitian kecil pada manusia menunjukkan bahwa masukan seng yang kurang berhubungan dengan penurunan 64% kadar Metalothionein mRNA, tetapi tidak terdapat perubahan pada kadar seng plasma.20,53 Terdapat rerata kadar seng plasma yang lebih rendah pada kelompok status malaria positif dibandingkan status malaria negatif pada penelitian ini, tetapi tidak dapat dilakukan uji statistik karena jumlah sampel malaria positif sangat sedikit. Penelitian di Gambia mendapatkan bahwa suplementasi seng akan menurunkan 32% kunjungan kepusat kesehatan akibat malaria berdasarkan pemeriksaan mikroskopis, tetapi secara statistik tidak bermakna.21 Penelitian pada anak prasekolah di Papua New Guinea menunjukkan bahwa suplementasi seng menurunkan angka kunjungan kepusat kesehatan akibat malaria.17 Penelitian oleh Duggan (2005), mendapatkan hasil bahwa kadar seng plasma menurun pada infeksi malaria akut.20 Penelitian di Papua New Guinea menggunakan konfirmasi malaria klinis pada penelitiannya, sedangkan penelitian kami menggunakan malaria asimptomatis, sehingga jumlah anak dengan malaria positif sangat sedikit (1,9%). Terdapat korelasi positif derajat rendah antara kadar seng plasma dengan IMT (r=+0,24; p=0,008), hal ini berarti bahwa anak dengan status gizi kurang akan didapatkan kadar seng yang rendah. Hasil penelitian yang sama oleh Duggan (2005), menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar seng plasma dengan WHZ (r=+0,08; p <0,05). Telah diketahui dari penelitian-penelitian sebelumnya bahwa status gizi merupakan faktor risiko dari defisiensi seng pada anak.20 Seng berperan penting pada pencegahan terhadap malaria yang terjadi di usia yang lebih muda.76 Penelitian Sazawal (2007), menyatakan bahwa suplementasi seng bermakna pada angka kematian akibat malaria pada anak dibawah usia 5 tahun.64 Terdapat faktor-faktor lain yang perlu diteliti karena ikut berpengaruh pada kadar seng plasma dan kadar Interleukin-12 pada infeksi malaria, namun belum diketahui berapa besar pengaruhnya. Keterbatasan Penelitian 1. Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan kadar seng plasma untuk menentukan status seng. Kadar seng plasma lebih mudah diterima untuk menentukan status seng, terutama sebagai indikator dari respon fase akut, tetapi konsentrasi seng plasma tidak secara akurat menggambarkan status seng secara individual dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti variasi diurnal, variasi setiap individu, faktor diet (protein, fitat), asupan seng, besi, tembaga, kalsium, dan lain sebagainya, dengan demikian faktor-faktor tersebut perlu diteliti lebih lanjut dan sebaiknya dilakukan food recall terlebih dahulu sebelum penelitian dilakukan. Banyak indikator lain untuk menentukan status seng, tetapi belum ada satupun yang dapat menggantikan seng plasma sebagai indikator praktis. 2. Interleukin-12 sebagai sitokin proinflamasi, bersama dengan INF-γ yang merupakan parakrin yang bersifat feedback positif terhadap makrofag dan sel NK yang menyebabkan aktifitas makrofag bekerja maksimal, sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut kadar INF-γ. 3. Terdapat stimulator negatif dari produksi IL-12 seperti IL-4, IL-10, IL-13, dan TNF-β meniadakan fungsi proinflamasi dari IL-12. TGF-β dan IL-10 merupakan inhibitor efektif dari IL-12, dengan menghambat produksi dan efek IL-12 terhadap sel T dan sel NK, sehingga masih perlu penelitian pada sitokin yang lain. BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1. SIMPULAN Berdasarkan data dan analisis seperti yang diuraikan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Rerata kadar seng plasma pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria adalah 146,4 ± 41,14 µg/dL 2. Rerata kadar Interleukin-12 pada anak usia 6-14 tahun di daerah endemis malaria adalah 3,3 ± 3,48 pg/ml 3. Terdapat korelasi positif derajat rendah antara kadar seng plasma dan kadar Interleukin-12 pada anak di daerah endemis malaria 6.2. SARAN Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara kadar seng plasma dan IL-12 pada anak malaria simptomatis dengan memperhatikan faktor lain yang mungkin turut berpengaruh antara lain asupan gizi, asupan seng, besi, tembaga, kalsium, dan sitokin lain. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. Children and Malaria. Roll Back Malaria. Available from URL: http://www.rbm.who.int., diakses pada 20-7-2008. 2. Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Gebrak Malaria : Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria Di Indonesia. Ditjen P2M dan Penyehatan Lingkungan. Depkes RI; 2005. 3. Gunawan S. Epidemiologi malaria. Dalam: Harijanto PN, penyunting. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinik, & Penanganan. Jakarta : EGC; 2000:1-13. 4. Metha PN. Malaria. In: Noel GJ, editor. eMedicines, 2002. Available from URL: http://www.emedicines.com/ped/topic 1357.htm, diakses pada 12-62008. 5. Departemen Kesehatan Rl Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan. Profil Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL) Tahun 2006. Ditjen P2M dan Penyehatan Lingkungan. Depkes RI; 2006. Available from URL: http://www.depkes.go.id., diakses pada 12-7-2008. 6. Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Laporan penemuan malaria di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008. Dinkes Jateng: 2008.(unpublished). 7. Profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2007. 8. Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo. Laporan malaria per desa di Kabupaten Purworejo tahun 2008. Dinkes Kab. Purworejo: 2008. (unpublished). 9. Tanabe K, Mikkelsen RB, Wallach DFH. Transport of ions in erytrocytes infected by plasmodia. In: Ciba foundation symposium 94, London: Pitman inc; 1983: 64-73. 10. Fernando SD, Gunawardena DM, Bandara MRSS, De Silva D, Casrter R, Mendis KN. The impact of repeated malaria attacks on the school performance of children. Am J Trop Med Hyg 2003;69:582-8. 11. Lalloo DG, Olukoya P, Olliaro P. Malaria in adolescence: burden of disease, consequences, and opportunities for intervention. Lancet Infect Dis 2006;6:780-93. 12. Nugroho A, Harijanto PN, Datau EA. Imunologi pada malaria. Dalam: Harijanto PN, penyunting. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinik, & Penanganan. Jakarta: EGC; 2000:128-47. 13. Abbas AK, Lichtman AH. Cellular and Molecular Immunology. 5th ed. Philadelphia : Elsevier Science; 2003: p.243-74. 14. Shankar AH, Prasad AS. Zinc and immune function: the biological basis of altered resistance to infections. Am J Clin Nutr 1998 ; 68(suppl) : 447S-63S 15. Caulfield LE, Richard SA, Black RE. Undernutrition as an underlying cause of malaria morbidity and mortality in children less than five years old. Am J Trop Med Hyg 2004;71 (suppl 2):55-63. 16. Browning JD, O’Dell BL. Zinc deficiency decreases the concentration of Nethyl D-aspartate receptors in guinea pig cortical synaptic membranes. J Nutr 1995;125:2083-9. 17. Shankar AH, Genton B, Baisor M, Paino J, Tamja S, Adiguma T, et al. The influence of zinc supplementation on morbidity due to plasmodium falciparum: A randomized trial in preschool children in Papua New Guinea. Am J Trop Med Hyg 2000;62:663-9. 18. Muller O, Becher H, Baltussen A, Ye Y, Diallo DA, Konate AT, et al. Effect of zinc supplementation on malaria and other causes of morbidity in West African children: randomised double blind placebo controlled trial. BMJ 2001;322:1-6. 19. The Zinc Against Plasmodium Study Group. Effect of zinc on the treatment of Plasmodium falciparum malaria in children: a randomized controlled trial. Am J Clin Nutr 2002;76:805-12. 20. Duggan C, Macleod WB, Krebs NF, Westcott JL, Fawzi WW, Premji G, et al. Plasma zinc concentrations are depressed during the acute phase response in children with palciparum malaria. J Nutr 2005;13:802-7. 21. Bates CJ, Bates PH, Dardenne A, Prentice PG, Lunn CA, Northrop-Clewes, at al. A trial of zinc supplementation in young rural Gambian children. Br J Nutr 1993;69:243-55. 22. Krause PJ. Malaria (Plasmodium). In : Nelson WB, Jenson HB, Behrman RE, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th Ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2000: p.1049-52. 23. Sachro A, Soetono, Yuslam H. Penyakit infeksi tropis. Dalam: Hartantyo I, Susanto R, Tamam M, Kosim MS, Irawan PW, Wastoro D, Sudigbia I, penyunting. Pedoman Pelayanan Medik Anak.2nd Ed. Semarang : Bagian IKA FK UNDIP RS Dr. Kariadi; 1997:6-7. 24. Rampengan TH. Malaria. Dalam: Poorwo Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002:442-71. 25. Wellem TE, Miller LH. Two worlds of Malaria. N Engl J Med 2003; 349:1496-8. 26. Krishna S. Science, medicine, and the future: Malaria. BMJ 1997;315:7302. 27. Wilson CM. Plasmodium Species (Malaria). In: Principles and Practice of Pediatrics Infectious Disease, 2 nd Ed. Philadelphia: Churchill Livingstones; 1994:1295-301. 28. MacDonald SM, Bhisutthibhan J, Shapiro TA, Rogerson SJ, Taylor TE. Immune mimicry in malaria:Plasmodium falciparum secretes a functional histamine-releasing factor homolog in vitro and in vivo. PNAS 2001;98:10829-32. 29. Kwena AM, Terlouw DJ, De Vlas SJ, Phillips-Howard PA, Hawley WA, Friedman JF, et al. Prevalence and severity of malnutrition in pre-school children in a rural area of Western Kenya. Am J Trop Med Hyg 2003;68:94-9. 30. Purwaningsih S. Diagnosis malaria. Dalam: Harijanto PN, penyunting. Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC; 2000:185-93. 31. Mills CD, Burgess DCH, Taylor HJ, Kain KC. Evaluation of a rapid and inexpensive dipstick assay for the diagnosis of Plasmodium falciparum malaria. WHO Bulletin 1999; 77:553-9. 32. Samodro P. Budiawan W, Gasem MH. Field evaluation of OptiMAL, a rapid diagnostic test for malaria, during the outbreak of malaria in Banjarnegara regency, Central Java, Indonesia. Buku Abstrak Kongres Nasional VIII PETRI, Malang: 2002. 33. Arum I, Purwanto AP, Arfi S, Tetrawindu H, Octora M, Mulyanto, et al. Uji diagnostik plasmodium malaria menggunakan metode imunokromatografi diperbandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Indonesia J of Clin Pathology and Med Lab 2006;12:118-22. 34. Martorell R, Habicht JP. Growth in early childhood in developing countries. In: Falkner F, Tanner JM. Human growth a comprehensive treatise. Methodology ecological, genetic, and nutritional effect on growth. 2nd Ed. New York; Plenum Press;1986.p.241-62. 35. World Health Organization. Complementary feeding of young children in developing countries: a review of current scientific knowledge. Geneva.1998. 36. Ruel MT. Failure to thrive. Strategies for evaluation and intervention. School Psychology review 1995;135:904-14. 37. Guldan GS. Maternal education and child feeding practices in rural Bangladesh. Social Science and medicine 1993;36:925-35. 38. Sutisna P. Malaria secara ringkas dari pengetahuan dasar sampai terapan. Edisi pertama. Jakarta: EGC; 2003:48-53. 39. Blomberg MT, Perlmann P. Malaria and the immune system in humans. Chem Immunol 2002;80:229-42. 40. Stoute JA, Slaoui M, Heppner G. A preliminary evaluation of a recombinant circumsporozoite protein vaccine against plasmodium falciparum malaria. N Eng J Med 1997; 336:86-91. 41. Departemen Kesehatan R.I., Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular. Malaria. Ditjen P2M dan Penyehatan Lingkungan. Depkes RI; 2004. 42. Baratawidjaja KG. Sistem imun. Dalam: Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004:1-31. 43. Boutlis CS, Lagog M, Chaisavaneeyakorn S, Misukonis MA, Bockarie MJ, Mgone CS, et al. Plasma interleukin-12 in malaria-tolerant papua new guineans: inverse correlation with plasmodium falciparum parasitemia and peripheral blood mononuclear cell nitric oxide synthase activity. Am Soc for Microbiology 2003;71:6354-7. 44. Angulo I, Fresno M. Cytokines in the pathogenesis of and protection against malaria. Am Soc for Microbiology 2002;9:1145-52. 45. Dijkhuizen MA, Wieringa FT. Vitamin A, iron and zinc deficiency in Indonesia. Micronutrient interactions and effects of suplementation. Wageningen University, Thesis, 2001. 46. Brown KH, Peerson JM, Rivera J, Allen LH. Effect of suplementation zinc on the growth and serum zinc concentration of pre pubertal children : a meta analysis of randomized contolled trials. Am J Clin Nutr 2002;75:1062-71. 47. Casey CE, Walravens PA. Trace elements. In:Tsang TC, Nichols BL, editors. Nutrition during infancy. Philadelphia:Hanley & Belfus;1998:191-215. 48. Hambidge KM, Krebs NF, Miller L. Evaluation of zinc metabolism with use of stable isotope technique: implications for assesment of zinc status. Am J Clin Nutr 1998;68 (suppl):410S-3S. 49. WHO. Trace element in human nutrition and health. Geneva: Macmillan/Ceuterick;1996:72-101. 50. Rink L, Gabriel P. Zinc and immune system. Proceedings of the nutrition society 2000;59:541-52. 51. Berdanier CD. Advanced nutrition micronutrients. New York: CRC Press;1998:183-203. 52. Fraker PJ, King LE, Laako T, Vollmer TL. The dynamic link between the integrity of the immune system and zinc status. J Nutr 2000;130:1399S-406S. 53. Hambidge M. Biomarker of trace mineral intake and status. Am Soc for Nutr Sciences 2003:948-55. 54. Brown K. Effect of infections on plasma zinc concentration and implications for zinc status assessment in low-income countries. Am J Clin Nutr 1998;68:425S-9S. 55. Agget P. Zinc. In: Annales Nestle 52/3. Trace elements in infancy and childhood. Switzerland: Nestle Ltd; 1994:95-106. 56. Bakri A. Peranan mikronutrien seng dalam pencegahan dan penanggulangan diare. Dalam: Kumpulan makalah kongres nasional II badan koordinasi gastroenterologi anak Indonesia, 2003:132-5. 57. Hambidge M. Human zinc deficiency. Am Soc for Nutr Sciences 2000:1344S-9S. 58. Dardenne M. Zinc and immune function. Eur J of Clin Nutr 2002;56:S20-3. 59. Ibs K, Rink L. Zinc-altered immune function. J Nutr 2003;13:1452S-6S. 60. Prasad AS. Zinc:mechanisms of host defense. J Nutr 2007;137:1345-9. 61. Rink L, Kirchner H. Zinc-altered immune function and cytokine production. Am Soc for Nutr Sciences 2000;130:1407S-11S. 62. Field CJ, Johnson IR, Schley PD. Nutrients and their role in host resistance to infection. J of Leukocyte Biol 2002;71:16-32. 63. Young M, Berti P. Insecticide treated nets and vitamin A supplementation : An integrated approach to control malaria and micronutrient deficiency : Literature review paper and Malawi case study. PATH Canada. 2000. 64. Sazawal S, Black RE, Ramsan M, Chwaya HM, Dutta A, Dhingra U, et al. Effect of zinc supplementation on mortaality in children aged 1-48 months: a community-based randomised plasebo-controlled trial. Lancet 2007;369;92734. 65. Nyakeriga AM, Troye-Blomberg M, Chemtai AK, Marsh K, Williams TN. Malaria and nutritional status in children living on the coast of Kenya. Am J Clin Nutr 2004;80:1604-10. 66. Mexitalia M, Oka Nurjaya IGK, Saptanto A, Tamam M, Hartantyo I, Soemantri Ag. Status gizi, eosinofilia dan kepadatan parasit malaria anak sekolah dasar di daerah endemis malaria. Sari Pediatri 2007;9:274-80. 67. Genton B, Al-Yaman F, Ginny M, Taraika J, Alpers MP. Relation of anthropometry to malaria morbidity and immunity in Papua New Guinean children. Am J Clin Nutr 1998;68:734-41. 68. Shankar AH. Nutritional modulation of malaria morbidity and mortality. J Infect Dis 2000;182:37-53. 69. Ekvall H, Premji Z, Bennett S, Bjorkman A. Hemoglobin concentration in children in a malaria holoendemic area is determined by cumulated plasmodium falciparum parasite densities. Am J Trop Med Hyg 2001;64:5866. 70. Lyke KE, Burges R, Cissoko Y, Sangare L, Dao M, Diarra I, et al. Serum levels of the proinflammatory cytokines Interleukin-1 beta (IL-1β), IL-6, IL-8, IL-10, Tumor Necrosis Factor Alpha, and IL-12(p70) in Malian children with severe Plasmodium falciparum malaria and matched uncomplicated malaria or healthy controls. Am Soc for Microbiology 2004;72:5630-7. 71. Luty AJF, Perkins DJ, Lell B, Schmidt-Ott R, Lehman LG, Luckner D, et al. Low Interleukin-12 activity in severe Plasmodium falciparum malaria. Am Soc for Microbiology 2000;68:3909-15. 72. Wieringa FT, Dijkhuizen MA, West CE, van der Ven-Jongekrijg J, Muhilal, van der Meer JWM. Reduced production of immunoregulatory cytokines in vitamin A- and zinc-deficient Indonesian infants. EJCN 2004;58:1498-504. 73. Lind T, Lonnerdal B, Stenlund H, Ismail J, Seswandhana R, Ekstrom CA, et al. A community-based randomized controlled trial of iron and zinc supplementation in Indonesian infants:interactions between iron and zinc. Am J Clin Nutr 2003;77:883-90. 74. Sudiana N. Pengaruh suplementasi seng terhadap morbiditas diare dan infeksi saluran pernafasan akut pada anak umur 6 bulan-2 tahun. (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro; 2005. 75. Huwae FJ. Hubungan antara kadar seng (Zn) dengan memori jangka pendek pada anak sekolah dasar. (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro; 2006. 76. Osei AK, Hamer DH. Management of pediatric malaria: role of nutritional interventions. Ann Nestle (Engl) 2008;66:31-47. Pemeriksaan kadar seng (Zn) dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) Reagen Gliserol p.a Air bebas ion (Deionized water), dibuat dengan cara melarutkan aquadestilata pada Mixed resin Larutan Larutan gliserol Dibuat dengan melarutkan 50 ml gliserol (reagen grade) dengan air bebas ion sampai volumenya 1000 ml Larutan standar (untuk Zn) Menggunakan larutan standar komersial yang khusus dipergunakan untuk AAS. Dilakukan pengenceran sampai mencapai konsentrasi 16 µmol/L sampai 80 µmol/L untuk mendapatkan kisaran (range) yang linier. Reagen ini stabil bila disimpan pada botol polipropilen (dalam suhu ruang/ 18-25ºC) dan tidak perlu dibuat baru setiap kali running tetapi cukup diperiksa setiap bulan. Alat Botol polipropilen Tabung reaksi plastik - - Pipet otomatik AAS diset sesuai manual. Absorbance diukur pada panjang gelombang 213,8 nm dengan tebal slit 0,7 nm. Menggunakan Air-Acethylene flame. Kondisi alat, besar api, tekanan gas, flow rate, samle aspiration rate dan lampu harus diatur seoptimal mungkin untuk mendapatkan sensitifitas terbaik. Sampel Darah vena, dimasukkan dalam tabung plastik dengan penutup bebas karet. Harus dihindari kontaminasi sampel dan reagen dengan unsur karet atau sumber seng yang lain. Prosedur pemeriksaan 1. Destruksi Darah vena dipusingkan dengan kecepatan 3000 rpm dan diambil plasmanya sejumlah 1 ml (duplo) Plasma kemudian ditambah larutan HNO3 pa dengan perbandingan volume yang sama Dicampur hingga homogen dengan menggunakan vortex mixer kemudian dipanaskan dengan kompor listrik sampai warna larutan menjadi coklat bening Setelah itu ditambahkan larutan asam perklorat p.a dengan volume yang sama kemudian dipanaskan ladi dengan kompor listrik sampai larutan menjadi putih jernih, yang menandakan ikatan antara seng dengan asam-asam amino sudah putus. 2. Pembacaan Larutan yang mengandung seng diukur dengan alat AAS dengan cara diaspirasikan pada alat AAS sehingga terbentuk atom pada burner Atom-atom seng bebas akan menyerap sirap radiasi resonans yang sudah mengalami absorpsi oleh atom-atom seng bebas Intensitas radiasi yang masuk akan dikur oleh detektor, setelah diamplifikasi akan dibaca oleh recorder/printer Spectrofotometer diatur dengan sensitifitas maksimum dan kebisingan minimum, kemudian dinolkan dengan larutan gliserol, prosedur ini diulang-ulang selama analisis. Larutan kerja stnadar kemudian diaspirasi untuk mendapatkan kurva standar. 3. Kalkulasi Konsentrasi sampel didapat dengan memperoleh absorbancenya dan diplotkan dengan kurva standar (dihitung dengan program komputer) Kontrol kualitas: Kalibrasi alat rutin dilakukan sebelum running Memeriksa akurasi dan presisi dengan pemeriksaan larutan kontrol yang telah diketahui kadarnya (buatan pabrik) Pemeriksaan Interleukin-12 Persiapan reagen Buffer Concentrate disiapkan pada temperatur ruang dan dilarutkan sebelum digunakan. 1. Wash Buffer (1x) Masukkan 50 ml Wash Buffer Concentrate (20x) kedalam silinder 1000 ml. Tambahkan dengan 1000 ml air suling atau deionized water. Campurkan perlahan. PH cairan harus berkisar 7,4. Pindahkan ke botol bersih dan simpan dalam suhu ruang 2-15ºC. Diharapkan tidak menyimpan Wash Buffer (1x) selama 30 hari. Wash Buffer (1x) dapat disiapkan sesuai dengan tabel sebagai berikut: Jumlah strip 2. Wash Buffer Concentrate (20x) (ml) Air suling (ml) 1-6 25 475 1-12 50 950 Assay Buffer (1x) Masukkan 5 ml Assay Buffer Concentrate (20x) kedalam silinder bersih 100 ml. Campurkan sampai 100 ml dengan air suling. Kocok perlahan untuk menghindari terbentuknya busa. Simpan pada suhu 2-8ºC. Diharapkan tidak menyimpan Assay Buffer (1x) selama 30 hari. Assay Buffer (1x) dapat disiapkan sesuai tabel berikut: Jumlah strip 3. Assay Buffer Concentrate (20x) (ml) Air suling (ml) 1-6 2,5 47,5 1-12 5,0 95,0 Biotin-Conjugate Biotin-conjugate seharusnya digunakan tidak lebih dari 30 menit setelah pengenceran. Buatlah 1:100 pengenceran Biotin-Conjugate dengan Assay Buffer (1x) pada tabung plastik sesuai dengan tabel berikut: Jumlah strip Biotin-Conjugate (ml) Assay Buffer (1x) (ml) 1-6 0,03 2,97 1-12 0,06 5,94 4. Streptavidin-HRP Gunakan Streptavidin-HRP kurang dari 30 menit setelah pengenceran. Buatlah pengenceran 1:200 larutan Streptavidin-HRP dengan Assay Buffer (1x) kedalam tabung plastik sesuai dengan tabel berikut: Jumlah strip Streptavidin-HRP (ml) Assay buffer (1x) (ml) 1-6 0,03 5,97 1-12 0,06 11,94 5. Human IL-12 p70 Standard Persiapkan human IL-12 p70 standard dengan menambahkan air suling. Penambahan volume dimulai sesuai tanda pada standard vial. Putarkan perlahan sampai tercampur homogen (konsentrasi reconstituted standard = 400 pg/ml). Setelah dipakai tidak boleh disimpan dan segera dibuang. 6. Pengenceran External Standard Persipkan tujuh tabung dengan label: S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7 Persiapkan pengenceran 1:2 untuk kurva standard sebagai berikut: Pipet 225 µl Sample Diluent untuk masing-masing tabung. Pipet 225 µl reconstituted standard (concentration = 400 pg/ml) kedalam tabung pertama, beri tanda S1, dan campurkan (konsentrasi standard = 200 pg/ml). Pipet 225 µl pengenceran tadi kedalam tabung kedua, beri tanda S2, dan campurkan sebelum dipindahkan ketabung berikutnya. Ulangi pengenceran serial 5 kali lebih kemudian masukkan ke kurva standard. Protokol pemeriksaan a. Tentukan jumlah microwell strip untuk memeriksa jumlah sampel sesuai dengan jumlah sumur untuk running blank dan standard. b. Cuci microwell strip 2x dengan 400 µl Wash Buffer setiap sumur dengan cara aspirasi dari microwell content diantara mencuci. Biarkan Wash Buffer mengisi sumur selama 10-15 detik sebelum aspirasi. Setelah tahap pencucian terakhir, kosongkan sumur dan tap microwell strip pada absorbent pad atau kertas saring untuk memindahkan sisa Wash Buffer. Gunakan microwell strip segera setelah dicuci. Microwell strip dapat disimpan diatas absorbent basah tidak lebih dari 15 menit. Sumur jangan dikeringkan. c. Pengenceran standard pada microwell plate. Tambahkan 100 µl Sample Diluent pada duplikat untuk semua sumur standard . Pipet 100 µl standard yang telah disiapkan pada duplikat kedalam sumur A1 dan A2. Campurkan isi sumur A1 dan A2 dengan cara aspirasi dan bilas berulang (konsentrasi standard 1, S1=200 pg/ml), dan pindahkan 100 µl kedalam sumur B1 dan B2 berturut-turut. Ulangi prosedur tersebut 5 kali, buatlah 2 baris human IL-12 p70 standard dilution mulai 200,0 sampai 3,1 pg/ml. Buanglah 100 µl isi dari microwell terakhir (G1, G2) yang telah dipakai. External Standard Dilution. Pipet 100 µl standard dilution tersebut (S1-S7) kedalam sumur standard sesuai dengan tabel 1. Tabel 1. Susunan blank, standard dan sampel pada microwell strips: 1 A B C D E F G H 2 Standard 1 Standard 1 (200,0 pg/ml (200,0 pg/ml Standard 2 Standard 2 (100,0 pg/ml) (100,0 pg/ml) Standard Standard (50,0 pg/ml) (50,0 pg/ml) Standard Standard (25,0 pg/ml) (25,0 pg/ml) Standard Standard (12,5 pg/ml) (12,5 pg/ml) Standard Standard (6,3 pg/ml) (6,3 pg/ml) Standard Standard (3,1 pg/ml) (3,1 pg/ml) Blank Blank 3 4 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 5 Sampel 5 Sampel 6 Sampel 6 Sampel 7 Sampel 7 Sampel 8 Sampel 8 d. Tambahkan 100 µl Sample Diluent pada duplikat kedalam sumur blank e. Tambahkan 100 µl Sample Diluent kedalam sumur sampel f. Tambahkan 100 µl masing-masing sampel pada sumur sampel g. Siapkan Biotin-Conjugate h. Tambahkan 50 µl Biotin-Conjugate pada semua sumur i. Tutup dengan film perekat dan inkubasi pada suhu ruang (18-25ºC) selama 2 jam. Jika tersedia pada microplate shaker 100 rpm j. Siapkan Streptavidin-HRP k. Buka film perekat dan kosongkan sumur. Cuci microwell strips 4 kali sesuai dengan poin b pada protocol pemeriksaan. Proses dengan segera sesuai dengan langkah berikutnya l. Tambahkan 100 µl Streptavidin-HRP pada semua sumur, termasuk pada sumur blank m. Tutup dengan film perekat dan inkubasi pada suhu ruang (18-25ºC) selama 1 jam, jika tersedia pada microplate shaker 100 rpm n. Buka film perekat dan kosongkan sumur. Cuci microwell strip 4 kali sesuai poin b prosedur pemeriksaan. Proses dengan segera sesuai dengan langkah berikutnya. o. Pipet 100 µ TMB Substrate Solution kedalam semua sumur p. Inkubasi microwell strips pada suhu ruang (18-25ºC) selama 10 menit. Hindari paparan terhadap cahaya Perkembangan warna pada plate harus dimonitor dan stop reaksi substrat sebelum sumur positif tidak cukup untuk merekam. Direkomendasikan untuk menghentikan cairan apabila standard tertinggi menjadi warna biru tua. Kemungkinan perubahan warna dapat dimonitor dengan ELISA reader pada 620 nm. Reaksi substrat segera dihentikan pada Standard setelah mencapai 0,6-0,65 q. Hentikan reaksi enzim dengan segera pipet 100 µl Stop Solution pada masingmasing sumur. Hasil harus dibaca segera setelah Stop Solution ditambahkan atau kurang dari 1 jam jika microwell strip disimpan pada suhu 2-8ºC pada ruang gelap r. Bacalah absorbant pada masing-masing microwell dengan microplate reader menggunakan 450 nm pada panjang gelombang primer (diperbolehkan 620 nm panjang gelombang sebagai referensi panjang gelombang: 610-650 nm diperkenankan).