5 TINJAUAN PUSTAKA Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Litopenaeus vannamei, biasa disebut sebagai udang putih atau udang vaname, masuk kedalam famili Penaeidae. Klasifikasi udang vaname menurut Boone (1931) dalam Effendi (1997) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Eumalacostraca Super ordo : Eucarida Famili : Penaeidae Genus : Litopenaeus Spesies : Litopenaeus vannamei Gambar 1 Morfologi udang vaname (Litopenaeus vannamei) (Wayban and Sweney, 1991) Morfologi udang vaname terbagi menjadi dua yaitu kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax) dan badan. Cephalotorax terdiri dari rostrum, sepasang mata majemuk (mata facet), karapas, mulut yang terletak dibawah kepala dengan rahang (mandibula), sepasang alat bantu rahang (maxilliped) sepasang antena dan antenulla, lima pasang kaki jalan (periopoda) yang sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ organ untuk makan dimana kaki jalan pertama, kedua dan ketiga bercapit yang disebut chela (Wayban dan Sweney, 1991; Haliman dan Adijaya, 2005). Bagian badan dan abdomen terdiri dari enam ruas, dan tiap-tiap ruas ruas mempunyai sepasang kaki renang 6 (pleopod). Pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson berbentuk runcing (Wayban dan Sweeney, 1991) (Gambar 1). Tubuh udang vaname memiliki carapace transparan (bening) dengan butirbutir pigmen biru pada sitoplasma yang mendominasi tubuh udang sehingga terkadang udang terlihat berwarna kebiru-biruan (kromatofor) Pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya berwarna keputih-putihan dan berubah menjadi coklat keemasan atau kehijauan. Udang vaname dewasa bertelur di laut terbuka, dan pada satdia postlarva akan bermigrasi ke pantai hingga stadia juvenil (Briggs et al., 2004). Organ dalam udang vaname lainnya yang dapat diamati adalah usus yang mengarah ke anus terletak di ujung ruas keenam. (Haliman dan Adijaya, 2005). Udang vaname digolongkan pada hewan pemakan segala (omnivora) namun cenderung ke dalam kelompok karnivora karena pemakan crustacea kecil dan polychaeta (Hendrajat, 2003). Secara alami udang vaname bersifat nocturnal aktif mencari makan pada saat intesitas cahaya berkurang, dan bersifat kanibalisme pada saat terdapat udang vaname lain yang lemah terutama saat moulting dan sakit (Fegan 2003). Sistim pertahanan tubuh pada kelompok krustasea (avertebrata).adalah sistem imun non spesifik. Imunitas avertebrata tidak berdasarkan imunoglobulin dan interaksi subpopulasi limfosit, karena tidak memproduksi antibodi spesifik atau antibodi pada krustasea sangat sedikit (Ratcliffe, 1985). Imunitas avertebrata dipengaruhi oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen, bersamaan dengan sejumlah faktor humoral seperti lisosim (Ratcliffe, 1985). Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Sel ini bisa menghilangkan partikel asing pada tubuh krustasea akuatik melalui aktifitas fagositosis atau enkapsulasi (Söderhäl dan Cerenius, 1992). Hemosit penting untuk menghilangkan partikel asing yang masuk ke tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang yaitu sel hialin, semi granular dan granular, dan ketiganya memiliki morfologi dan fungsi sel masing-masing (Söderhäl dan Cerenius, 1992). Udang vaname (L.vannamei) merupakan spesies introduksi yang dibudidayakan di Indonesia. Udang ini berasal dari perairan Amerika Tengah. Negara-negara Amerika tengah dan selatan seperti Ekuador, Venezuela, Panama, Brasil dan Meksiko. Udang ini lebih dikenal sebagai pacific white shrimp, dan di Indonesia mulai diintroduksi untuk dibudidayakanpada tahun 2001(Mansyur dan Rangka, 2008). Udang vaname ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan spesies lainnya. Produktivitas udang ini mencapai lebih dari 13.600 Kg/Ha, karena keunggulan karakteristik pertumbuhannya seperti pertambahan berat udang yang dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas 2 tinggi (100 udang/ m ). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, dan pertumbuhannya akan melambat menjadi sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan (Wyban et al., 1991). Keunggulan lainnya adalah tingkat kelulusan hidup (survival rate) tinggi, ketersediaan benur yang berkualitas, kepadatan tebar tinggi, tahan penyakit dan konversi pakan rendah (Boyd dan Clay, 2002). Udang vaname memiliki toleransi salinitas yang tinggi dari 2-40 ppt. Temperatur berpengaruh terhadap pertumbuhan udang vaname, udang akan mati pada suhu dibawah 150C atau diatas 330C selama 24 jam atau lebih. Stress subletal dapat terjadi pada suhu 15220C dan 30-330C. Tingkat kelulusan hidup udang vaname ini mencapai 91% 7 (Boyd dan Clay, 2002). Tingginya tingkat kelulusan hidup karena benih udang vaname dapat diperoleh dari induk yang telah didomestikasi sehingga benur yang dihasilkan tingkat kanibalismenya rendah. Benur udang vaname sudah ada yang bersifat SPF (Spesific Pathogen Free) yaitu benur yang bebas dari beberapa jenis penyakit (patogen) contohnya adalah udang vaname yang tahan terhadap infeksi White spot syndrome virus (WSSV), meskipun ditemukan beberapa kasus udang yang terinfeksi (Soto et al., 2001). Perilaku abnormal udang sering menjadi penanda awal terjadinya stress atau timbulnya masalah penyakit. Petani atau pembudidaya udang akan segera mengambil tindakan jika terjadi perubahan pada pola makan udang, gerakan berenang atau agregasi yang tidak biasa, bahkan aktivitas predator disekitar kolam pemeliharaan dapat menjadi penanda terjadinya infeksi penyakit pada udang tersebut (FAO, 2001). Infectious Myonecrosis Sejarah Infeksi Myonecrosis Infeksi myonecrosis (IMNV) adalah penyakit viral yang berkembang lambat tetapi bersifat kumulatif. Mortalitas yang ditimbulkan mencapai 70% pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di Brazil dan Indonesia (Puthawibool et al., 2009 ). Infeksi myonecrosis mucul pada budidaya udang vaname di laut dan perairan payau. Wabah penyakit ini dikaitkan dengan beberapa kondisi stress fisik dan lingkungan (salinitas dan temperatur yang ekstrim, penangkapan dengan jaring, rendahnya kualitas pakan), dan disebabkan oleh adanya penularan dari udang yang telah terinfeksi myonecrosis (OIE, 2012). Wabah infeksi myonecrosis pada udang vaname terjadi di Brazil sejak tahun 2002 dengan gejala klinis berupa nekrosis jaringan otot, perubahan warna putih pada jaringan otot menyerupai warna udang rebus/udang yang dimasak (Puthawibool et al.,2009; OIE,2010). Udang vaname pada kondisi ini akan mengalami kematian 40-70% (OIE, 2010). Produktivitas udang vaname di kawasan Amerika Selatan menurun dari 6.084 kg/ha pada 2003 menjadi 4.573 kg/ha di 2004. Kerugian yang ditimbulkan wabah myonecrosis di Brazil dari awal wabah hingga tahun 2003 mencapai US $20 juta (Nunes et al., 2004). Disamping menjadi penyebab kematian udang, infeksi myonecrosis menyebabkan meningkatnya nilai konversi pakan (FCR) akbibat kematian udang (Andrade et al., 2008). Udang dengan gejala infeksi yang mirip dengan infeksi udang di Brazil terjadi di beberapa negara dimana udang vaname tersebut dibudidayakan (Lightner dan Patoja, 2004). Di Indonesia wabah IMNV pada budidaya udang vaname muncul pertama kali tahun 2006 di Situbondo Jawa Timur (Senapin et al., 2007). Udang vaname merupakan spesies udang introduksi dari Florida Amerika Serikatyang dibudidayakan secara besar-besaran sejak tahun 2003, hingga tahun 2006 terjadi kematian udang skala besar (outbreak) dengan gejala klinis berupa warna putih pada jaringan otot udang yang mirip dengan wabah di Brazil. (Senapin et al., 2007). Kerugian yang ditimbulkan wabah myonecrosis pada budidaya udang vaname di Indonesia sejak tahun 2006-2010 mencapai US $ 500 juta. Infeksi myonecrosis menurunkan produksi udang vaname hingga 30% dari target 500 ribu ton pada tahun 2009, hanya terealisasi 350 ribu ton lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 410 ribu ton (DKP, 2009). 8 Setelah terjadinya wabah di Indonesia, infeksi IMNV dilaporkan menyebar ke wilayah Asia di pulau Hainan (Republic of China) dan Thailand bagian selatan (OIE, 2010). Berdasar pengujian terhadap sampel udang vanamedari beberapa negara di Asia seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Taiwan, Vietnam, India dan China hingga pertengahan tahun 2011, hanya sampel udang yang berasal dari Indonesia yang positif terinfeksi IMNV (Senapin et al., 2011). Gejala klinis berupa warna putih pada jaringan otot yang dijumpai pada sampel udang dari ketujuh negara kecuali dari Indonesia kemungkinan besar bukan karena infeksi IMNV melainkan adanya syndrome kejang otot (muscle cramp syndrome) akibat lingkungan atau salah penanganan udang sehingga terjadi stress pada udang (Senapin et al., 2011). Etiologi Struktur Virus IMNV merupakan virus tidak beramplop, berbentuk icosahedral berdiameter 40 nm dan termasuk kedalam famili Totiviridae (Nibert et al., 2007; Poulos et al., 2006; Tang et al., 2008). Virus IMN pada fraksi sukrosa dilihat bentuknya menggunakan transmisi mikroskop elektron (Gambar 2). Partikel virus berbentuk icosahedral, tidak beramplop, memiliki panjang genom 7560 bp (Paulos et al., 2006). Gambar 2 Virus IMN dilihat dengan Transmisi Mikroskop Elektron (TEM), pada berbagai fraksi gradien (skala garis 100 nm ) (Poulos et al., 2006). (A) Virus dalam fraksi gradien sukrosa; (B) Virus dimurnikan dalam fraksi gradien Cesium klorida, dan diwarnai asam fosfotungstat 2% Virion IMNV terdiri dari satu protein mayor capsid (MCP).Virus IMNV memiliki isometrik capsid yang terdiri dari 901-aa mayor protein kapsid (MCP). Berdasar pengamatan menggunakan mikroskop elektron, virion IMNV tersusun dari 120-subunit T=1 kapsid, diameter 450 Å, tetapi dengan serat kompleks (fiber complex) yang menonjol sepanjang 80Å pada kelima lipatan sumbunya (Gambar 3). Bagian permukaan virus diisi tonjolan-tonjolan mengelilingi kapsid seperti serat kompleks (Gambar 3A). Serat terdiri dari setidaknya tiga morfologi domain yaitu tombol luar, tangkai tengah, dan bagian bawah berupa kaki jangkar kapsid (Gambar 3B). Panjang total setiap tonjolan termasuk kakinya adalah 100 Å (Tang et al., 2008). Tonjolan ini tidak dimiliki oleh jenis totivirus lainnya dan kemungkinan berperan dalam transmisi ekstraseluler dan patogenesis IMNV 9 Gambar 3 Virion IMNV dengan tonjolan menyerupai serat kompleks pada sumbu 5f (Tang et al., 2008) (Tang et al., 2008; Ghabrial, 2008).Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa tonjolan pada virus IMNV berkontribusi terhadap virulensi dan pola spesifik patogenesis (Tang et al., 2008). Susunan Genom Genom Virus IMN adalah RNA untai ganda (double stranded) yang terdiri dari 7560 nukleotida (Senapin et al., 2007; OIE, 2010).Genom virus ini terdiri dari 2 extended open reading frame (ORF) yang berbeda, ORF1 di frame 1 (1364953) dan ORF 2 di frame 3 (nt 5241-7451) (Nibert, 2007; Tang et al., 2008). ORF1 (1605 aa) mengkode protein 179 kDa termasuk sekuen N terminal pada MCP. Pada ORF 2 menyandi protein 85 kDa yang terdiri dari serangkaian karakteristik dari RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) (Nibert, 2007). Pengkodean protein kapsid totivirus biasanya dimulai dari awal ORF1 (Gambar 4). Sedangkan virus IMNV berbeda dengan totivirus pada umumnya, karena wilayah pengkode protein kapsid dimulai dari pertengahan ORF1 (Poulos et al., 2006). Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa setengah ORF1 IMNV dapat menyandikan RNA binding protein (Poulos et al.,2006). Kemungkinan MCP IMNV telah berkembang dan berbagi peran dalam proses masuknya kedalam sel dengan serat kompleks. Jika anggota lain dari family Totiviridae dikaitkan dengan laten, infeksi avirulen pada inang, namun sebaliknya IMNV dikaitkan dengan infeksi yang mematikan pada udang penaeid (Lightner et al., 2004; Poulos et al., 2006). Gambar 4 Sketsa Genom IMNV (Nibert , 2007; Tang et al., 2008) Hasil sequencing genome IMNV Indonesia secara penuh 7,5 kb (Gen.Bank accs.no. EF061744) menunjukkan 99,6% identik dengan IMNV dari Brazil (GenBank.AY570982.1) (Senapin et al., 2007). Analisis filogeni (Gambar 5) berdasarkan RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) menunjukkan IMNV memiliki kemiripan dengan Giardia lamblia virus (GLV) yang merupakan bagian dari famili Totiviridae (Poulos et al., 2006). Sebagian besar anggota famili 10 Totiviridae memiliki kekurangan dalam mentransmisikan virion melalui media ekstraseluler dalam siklus hidupnya (Lightner et al., 2004a; Tang et al, 2008). Pada umumnya penyebarannya secara vertikal didalam sel atau horizontal dengan hypa 1 mastomiasis kecuali GLV dan IMNV, dan IMNV merupakan satu-satunya virus dari famili Totiviridae yang diketahui menyebabkan penyakit pada inangnya (Tang et al., 2008). Gambar 5 Filogeni IMNV . Kedekatan IMNV dengan GLV virus sekitar 80% (Poulos et al., 2006) Gejala Klinis Infeksi IMNV pada Udang Vaname Gejala klinis penyakit IMNV pada udang vaname adalah nekrosis ekstensif berwarna putih pada jaringan otot, khususnya pada bagian punggung dan ekor (Gambar 6), timbulnya warna putih pada jaringan otot menyerupai warna udang rebus/udang yang dimasak (Puthawibool et al.,2009; OIE,2010). IMNV dapat menginfeksi hampir sebagian besar jenis udang penaeid, khususnya udang vaname (L.vannamei) yang menyebabkan mortalitas udang yang tinggi sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar (Lightner et al., 2004b). IMNV dapat menimbulkan kematian hingga 60% pada stadia yuwana (juvenile) 2-3 gram dan udang dewasa hingga ukuran 12 gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IMNV dapat menginfeksi udang Penaeus stylirostris dan Penaeus monodon namun tidak menyebabkan kematian pada udang (Tang et al., 2005). Udang vaname stadia yuwana dan udang muda (subadult) merupakan stadia paling banyak terinfeksi myonecrosis virus pada saat salinitas air laut atau air payau ditambak rendah (Lightner, 2011; Lightner et al, 2004; Nunes et al,2004; Poulos et al, 2006). Jaringan otot lurik (otot rangka dan terkadang otot jantung), jaringan ikat, hemosit dan sel-sel parenkim limfoid organ adalah organ dan jaringan udang yang menjadi target infeksi myonecrosis (Lightner, 2011; Lightner et al, 20.04; Poulos et al., 2006; Tang et al., 2005). Pola infeksi IMNV dimulai dari stadia awal yuwana atau udang dewasa di area dimana IMNV menjadi enzootik. Wabah kematian udang dalam jumlah besar akibat infeksi IMN berhubungan dengan keadaan yang beresiko menyebabkan stress seperti 11 penangkapan dengan castnetting, pemberian pakan, perubahan salinitas secara mendadak dan faktor pemicu stress lainnya (OIE, 2012). Berbagai tingkat nekrosis jaringan otot perut udang oleh infeksi IMNV (Gambar 6), terlihat sebagai perubahan warna perut, buram keputihan (Gambar 6a). Nekrosis jaringan otot di sepanjang perut abdomen khususnya pada ruas abdomen keenam (panah) terlihat putih dibandingkan dengan udang normal (Gambar 6b) dimana transparasi jaringan terlihat jelas (Poulos et al., 2006). Infeksi IMNV yang menonjol lainnya adalah nekrosis ekstensif diwilayah otot lurik yang ditandai hilangnya transparansi (buram) adalah terjadinya nekrosis pada ruas perut (distal abdomen) dan ekor kipas udang (Poulos et al., 2006; Lightner et al., 2004). Sifat infeksi IMNV adalah kronis progresif dan persisten, secara perlahan-lahan penyakit ini menyebabkan kematian kumulatif 40% hingga 70% (Poulos et al., 2006; OIE, 2012). Gambar 6 Gejala klinis infeksi IMNV (Poulos et al., 2006). a= Nekrosis otot perut ditandai warna putih buram; b= Nekrosis pada ruas abdomen ke-6 (atas) dibandingkan dengan udang normal (bawah) Infeksi buatan IMNV terhadap udang vaname ukuran rata-rata 1gr/ ekor selama 52 hari paska infeksi (post infection/ p.i) menunjukkan kematian hingga 100% (Andrade et al., 2007). Kematian awal dijumpai pada hari ke 8 p.i, dan jumlah kematian udang yang diinfeksi meningkat hingga hari ke 40 p.i. Rata-rata waktu kematian 50% (lethal time50/ LT50) pada uji coba infeksi buatan tersebut adalah 43 p.i (Andrade et al., 2007). Senapin et al (2005) menginfeksi 3 jenis udang L.vannamei, L.stylirostris, dan P.monodon dengan inokulum yang berisi virion murni IMNV melalui injeksi. Gejala klinis berupa lesi putih pada jaringan otot di bagian ekor terlihat pada udang L.vannamei dan L.stylirostris. Perkembangan gejala klinis sangat lambat, muncul gejala setelah 7 hari p.i dan lesi dijumpai setelah 13 hari p.i. Selama 4 minggu paska infeksi IMNV berlangsung, udang P.monodon tidak menunjukkan gejala klinis dikarenakan tingginya pigmen pada exoskeleton yang menutupi lesi (Senapin et al., 2005). Bodi inklusi basophilic tunggal maupun berganda tampak pada sitoplasma dan nukleus jaringan otot (Tang et al., 2008). Pada organ limfoid ditemukan akulumasi lymphoid organ speroid (LOS) yang merupakan hipertropi dari sel limfoid (Andrade et al., 2008). Udang yang telah pulih dari dari infeksi akut myonecrosis menjadi infeksi kronis, mengakibatkan terjadinya perubahan nekrosis jaringannya dari nekrosis koagulatif menjadi nekrosis liquefaktif. Perkembangan myonecrosis disertai dengan infiltrasi hemositik dan pembentukan jaringan ikan (fibrosis). Tampilan khas infeksi myonecrosis adalah pembentukan 12 sel organ limfoid berbentuk speroid dan organ limfoid berbentuk speroid ektopik yang ditemukan di hemoceal dan jaringan lunak terutama di lumen jantung dan sekitar tubula kelenjar antenna (Lightner et al., 2004). Epidemiologi dan Transmisi Virus Myonecrosis Wabah penyakit IMNV pada budidaya udang vaname dilaporkan pertama kali tahun 2002 di wilayah bagian Piauí (Timur laut Brazil) (Lightner et al., 2004a,b; Poulos et al., 2006; Pinheiro et al., 2007). Selama musim penghujan bulan Januari hingga Maret, penyakit IMNV menyebar ke wilayah-wilayah yang bersebelahan, hingga tahun 2004 seluruh budidaya udang di wilayah timur laut Brazil terinfeksi myonecrosis termasuk wilayah Pernambuco (Pinheiro et al., 2007). Kematian akibat infeksi IMNV ini rata-rata 35-55% pada udang ukuran 12 gr, dan menyebabkan kerugian hingga US$ 20 juta ditahun 2003 (Nunes et al., 2004 dalam Pinheiro el al., 2007). Infeksi myonecrosis pertama kali di Indonesia terjadi pada tahun 2006 di Situbondo, Jawa Timur (Senapin et al., 2007; OIE, 2012). Selanjutnya wabah myonecrosis menyebar ke Jawa Barat, Sumatera, Bangka, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bali, Lombok, dan Sumbawa (Sutanto, 2011; OIE, 2012). Negara-negara Asia tenggara lainnya belum melaporkan kejadian infeksi myonecrosis (Senapin et al., 2011; OIE, 2012). Prevalensi infeksi IMN pada wilayah enzootik IMNV di area budidaya udang vaname (L.vannamei) mencapai 100% (Andrade et al., 2007; Nunes et al., 2004). Suhu dan salinitas berperan sebagai faktor predisposisi terjadinya wabah penyakit IMNV (Nunes et al., 2004). Penyebaran virus myonecrosis kemungkinan terjadi karena transmisi virus melalui air (horisontal) dan transmisi virus secara vertikal dari induk ke keturunannya (OIE, 2012). Berdasar struktur partikelnya, virus myonecrosis tidak beramplop seperti virus TSV, sehingga memungkinkan virus tersebut akan berada di usus dan tinja burung laut yang memakan udang mati atau udang sekarat di area tambak yang epizootik IMN. Selanjutnya virus akan menyebar di area tambak tersebut melalui tinja atau bangkai udang muntahan (Vanpatten et al.,2004). Penularan virus myonecrosis secara horisontal lainnya melalui kanibalisme, dimana udang vaname yang terinfeksi dan lemah akan menepi dan dimangsa oleh udang lain (kanibalisme) yang menyebabkan terjadinya transmisi virus antar udang (Lightner, 2011; Poulos et al, 2006). Populasi udang vaname yang bertahan hidup setelah infeksi IMNV atau udang vaname yang berasal dari daerah epizootik IMNV kemungkinan akan membawa virus hidup (OIE, 2012), dan berpotensi menularkan virus IMN secara transmisi vertikal melalui induk (keturunan). Mekanisme penularan infeksi IMNV secara vertikal masih bersifat dugaan berdasar kondisi di lapangan, sehingga belum dapat diketahui apakah transmisi virus melalui mekanisme transovarial atau oleh kontaminasi permukaan telur yang baru dikeluarkan oleh induknya (OIE, 2012). Diagnosis IMNV dengan Teknik Molekuler b Beberapa metoda pengujian untuk diagnosis infeksi IMNV yang direkomendasikan OIE (2012) diantaranya adalah pemeriksaan secara langsung 13 melalui pengamatan gejala klinis yang menyertai infeksi virus myonecrosis, pemeriksaan mikroskopis dengan melihat perubahan jaringan (histopatologi), pengamatan preparat basah (wet mounts) dan metoda pengujian berdasar deteksi molekuler (Lightner, 2011; Lightner et al., 2004; Poulos et al., 2006). Deteksi IMNV berdasar reaksi antigen antibodi telah dikembangkan oleh Kunanopparat et al., (2011) menggunakan 3 antibodi monoklonal (mAbs) yang berasal dari protein capsid IMNV, namun pengujian dengan kombinasi ketiga mAbs tersebut sensitifitasnya lebih rendah sepuluh kali lipat dibandingkan pengujian IMNV dengan nested RT-PCR (OIE, 2012). Metoda pengujian IMNV berdasar deteksi molekuler yang telah dipublikasikan adalah dengan in-situ hibridisasi (ISH), nested RT-PCR dan kuantitatif real time (r)RT-PCR(Andrade et al., 2007; Poulos et al., 2006;Tang et al., 2005). Teknik molekuker lain untuk pengujian IMNV adalah dengan reverse transcription loop mediated isothermal amplification (RT-LAMP) yang dikembangkan oleh Puthawibol et al., (2009). Dari keseluruhan metoda deteksi IMNV tersebut yang menjadi gold standar adalah nested RT-PCR dan real time RT-PCR IMNV (OIE, 2012), dikarenakan sensitifitas dibandingkan teknik molekuler lainnya. Beberapa teknik molekuler yang digunakan untuk pengujian IMNV adalah sebagai berikut : In Situ Hibridisasi Hibridisasi adalah proses perpasangan basa antara polinukleotida utas tunggal yang komplententer, digunakan untuk mendeteksi sekuens spesifik dalam campuran asam nukleat yang kompleks. Deteksi ini memiliki spesifisitas yang tinggi karena ketepatan deteksi didasarkan atas kesamaan runutan nukleotikda antara pelacak dan genom virus yang diketahui (Akin, 2001). Satu molekul adalah probe dari sekuen tertentu. DNA probe adalah protein pelacak target gen dan digunakan untuk mencari molekul yang memiliki sekuen komplementer dalam campuran DNA. DNA probe yang telah dilabel akan berkomplementasi dengan target melalui hibridisasi sehingga dapat mendeteksi keberadaan gen tertentu (Furuya et al., 2006) Deteksi IMNV dengan in-situ hibridisasi menggunakan konstruksi cDNA dari RNA hasil ekstraksi IMNV murni. Dari satu klon IMNV-317, cDNA dilabel dengan digoxigenin-11-dUTP sebagai gen probe untuk deteksi ISH (OIE, 2012). Probe tersebut sangat spesifik terhadap IMNV berdasar hasil uji spesifisitas 100% (Tang et al., 2005; OIE, 2012). ISH mampu mendeteksi IMNV pada sampel jaringan otot, organ limfoid, hindgut, dan sel fagositik dalam hepatopankreas dan jantung. Pengujian In situ hibridisasi (IHS) jaringan otot dengan digoksigeninberlabel IMNV probe (Gambar 7), terdapat adanya endapan hitam di wilayah di mana probe berhibridisasi dengan target IMNV(pewarna Bismarck brown counterstain, skala 50 µm) (Poulos et al., 2006). Udang dengan fase penyakit akut menunjukkan nekrosis koagulatif diotot, kadang dengan edema (Poulos et al., 2006). Nekrosis koagulatif jaringan otot disertai dengan infiltrasi hemosit dan fibrosis terlihat perbedaan yang nyata dengan jaringan otot normal. Dari ketiga spesies yang diuji, sel otot rangka menghasilkan reaksi ISH terkuat dan udang vaname (L.vannamei) merupakan spesies yang paling rentan terhadap infeki IMNV (Tang et al., 2005) 14 Gambar 7 Infeksi Myonecrosis pada jaringan otot udang vaname (L.vannamei) (Poulos et al., 2006). (A) Nekrosis koagulatif otot disertai infiltrasi hemosit; (B) perinuklear basofilik pucat hingga badan inklusi basofilik gelap pada sel otot (panah); (C) Endapan hitam di wilayah di mana probe berhibridisasi dengan target IMNV (pewarna Bismarck brown counterstain pada uji ISH IMNV) Loop-Mediated Isothermal Amplification (LAMP) Loop-Mediated Isothermal Amplification (LAMP) adalah suatu metode uji yang memungkinkan memperbanyak DNA dengan spesifisitas tinggi, sensitif dan cepat hanya dengan satu suhu amplifikasi (isothermal) (Notomi et al., 2009). Reverse Transcription LAMP merupakan pengembangan metoda dari teknik LAMP, hanya pada metoda RT-LAMP diberi penambahan enzim reverse transcriptase (RT) untuk mensintesis cDNA dari salinan RNA (Soliman et al., 2006). Amplifikasi LAMP bersifat autosiklus dibantu oleh enzim Bst DNA polimerase yang bekerja dengan prinsip strand displacement activity. LAMP sangat spesifik karena kemampuanya mengenali target sekuens (Soliman et al., 2006; Puthawibool et al., 2009). Menggunakan 4 jenis primer khusus yang didesain untuk mengenali enam wilayah target urutan DNA.Pada tahap awal reaksi LAMP akan mengenali 6 target sekuen dan 4 target sekuen di tahap akhir hingga menghasilkan produk akhir DNA berbentuk untai simpul menyerupai struktur kembang kol (cauliflower-like)(Soliman et al., 2006; Puthawibool et al., 2009). Keseluruhan reaksi berlangsung dalam kondisi isotermal, sehingga tidak memerlukan peralatan thermal cycler, cukup dengan penangas air (Puthawibool et al., 2009). Diagnosa IMNV dengan RT-LAMP telah dikembangkan oleh Puthawibool et al., (2009) yang menggabungkannya dengan metoda lateral flow dipstick (LFD) sebagai alternatif pembacaan hasil. Sensitifitas RT-LAMP dan nested RT-PCR sebanding pada pengenceran 10-4, dengan spesifisitas RT-LAMP IMNV 100% (Puthawibool et al., 2009). Hasil pembacaan RT LAMP IMNV dengan gel agarose, LFD maupun pewarnaan dengan SYBR Green menunjukkan hasil yang tidak berbeda (Puthawibool et al., 2009) Polymerase Chain Reaction (PCR) dan real time PCR Diagnosa patogen berbasis molekuler dimulai dari dikembangkannya metoda Polymerase Chain Reaction (PCR) oleh Kary Mullis dipertengahan 1980an. Pada aplikasi yang paling dasar, PCR dapat memperbanyak sejumlah kecil DNA salinan (atau RNA) dalam waktu beberapa jam. PCR merupakan metoda pengujian berbasis biomolekuler berupa reaksi enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu secara invitro (Sambrook 15 dan Russel, 2001). Metoda PCR tersebut sangat sensitif sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA. Dengan menggunakan metoda PCR dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5x 10 -19 mol) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit (Yuwono, 2006). Persyaratan dalam penggunaan metoda PCR salah satunya adalah harus mengetahui bagian tertentu sekuen DNA yang akan dilipatgandakan terlebih dahulu sebelum proses pelipatgandaan tersebut. Sekuen yang diketahui tersebut penting untuk menyediakan primer, yaitu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA.Untuk menjalankan suatu reaksi PCR dibutuhkan empat komponen utama yaitu : DNA cetakan (fragmen DNA yang akan dilipatgandakan), oligonukleotida primer yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida)yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP dan yang terakhir adalah enzim DNA polimerase yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA (Yuwono, 2006). Deteksi produk akhir PCR dengan gel elektroforesis sehingga lebih dikenal sebagai PCR end point atau hasil pengujian baru terlihat setelah selesai keseluruhan tahapan tersebut(Sambrook dan Russell, 2001). Nested RT-PCR direkomendasikan oleh OIE (2012) sebagai metoda uji untuk deteksi dengan menggunakan 2 pasang primer yang menghasilkan produk produk PCR 328 bp dan 139 bp (da Silva et al., 2011; OIE, 2012). Produk amplifikasi nested RT-PCR IMNV dianalisa dengan gel agar (Gambar 8). Meskipun memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi sebagai metoda diagnosa IMNV, tetapi hasil analisa metoda PCR ini hanya bersifat kualitatif saja dan tidak dapat mendeteksi salinan virus secara kuantitatif (da Silva et al., 2011). Gambar 8 Pita 328 bp pada first step RT-PCR IMNV dengan primer 4587F-4914R (da Silva et al., 2011) Pengembangan metoda PCR yang dapat mengkuantifikasi salinan produk amplifikasi dikenal dengan real-time PCR atau qPCR.(Dorak, 2006). Dengan metoda qPCR ini peningkatan jumlah DNA dapat dilihat secara langsung (real time). Real time PCR adalah PCR kuantitatif dengan mendeteksi fluorescence reporter yang dihasilkan selama reaksi PCR. Peningkatan signal fluoresensi merupakan indikator amplifikasi produk PCR disetiap siklus PCR (real time) (Dorak, 2006). 16 Bahan yang digunakan pada qPCR sama dengan bahan yang digunakan pada pengujian dengan PCR konvensional, hanya ditambahkan pewarna fluoresensi yang biasa disebut probe atau reporter. Prinsip kerja qPCR adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi reporter fluoresensi. Sinyal fluoresensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk PCR dalam reaksi. Dengan mencatat jumlah emisi fluoresensi pada setiap siklus, reaksi selama fase eksponensial dapat dipantau (Dorak, 2006) (Gambar 9). Peningkatan produk PCR yang signifikan pada fase eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi gen target. Makin tinggi tingkat ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresensi makin cepat terjadi (Dorak, 2006). Gambar 9 Prinsip kerja real time PCR (qPCR) Metoda qRT-PCR merupakan salah satu metoda gold standar yang ditetapkan OIE (2012) sebagai metoda deteksi IMNV dengan teknik molekuler. Metoda real-time RT-PCR dikembangkan untuk mendeteksi dan mengukuantifikasi jumlah salinan virus IMN dalam jaringan udang. Metode ini dapat mendeteksi sedikitnya 10 salinan RNA IMNV pada setiap mikroliter (µl) total RNA (Andrade et al., 2007; OIE, 2012). Primer yang digunakan untuk pengujian dengan qRT-PCR didesain dari wilayah ORF1 dari genom IMNV GenBank aksesi no AY570982 pada urutan nukleotida 412-545 (Andrade et al, 2007;. Poulos et al, 2006). Desain TaqMan probe menggunakan label pewarna fluorescent 5-carboxyfluoroscein (FAM) pada 5' hingga akhir, dan N,N,N',N'tetrametil-6-carboxyrhodamine (Tamra) pada 3'-ujung pada urutan nukleotida 467-500 (Andrade et al., 2007). Pengujian dengan real time RT-PCR memerlukan standar salinan sintesis RNA sebagai kontrol untuk pembuatan kurva standar dalam mengkuantifikasi salinan RNA sampel yang diuji dengan qRT-PCR (OIE, 2012). Pembuatan kontrol positif berupa plasmid DNA rekombinan IMNV harus disediakan sebelum pembuatan sintesis RNA IMNV. Desain primer yang digunakan dalam pembuatan plasmid DNA rekombinan didesain dari wilayah yang sama dengan desain primer qRT-PCR IMNV yaitu wilayah ORF1 pada urutan nukleotida 218-682 genom IMNV GenBank accession no. AY570982 (Andrade et al., 2007; OIE, 2012). 17 Teknik DNA rekombinan dan Kloning Secara alami, proses rekombinasi dapat terjadi sehingga memungkinkan suatu gen dapat berpindah dari satu organisme ke organisme lain. Persitiwa tersebutbiasanya terjadi diantara organisme yang memiliki kekerabatan yang dekat.Dengan kemajuan teknologi molekuler, perpindahan gen dapat terjadi meskipunantara organisme yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Teknik penggabungan molekul DNA dikenal sebagai teknik DNA rekombinan. Teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika merupakan suatu upaya perbanyakan gen tertentu didalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai kloning gen. Teknologi ini adalah pembentukan kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul DNA kedalam suatu vektor sehingga memungkinkan untuk terintegrasi dan mengalami perbanyakan di dalam suatu sel organisme yang lain yang berperan dalam sel inang (Yuwono, 2006). Tahapan pembuatan DNA rekombinan dimulai dari ligasi, transformasi kedalam sel inang, dan seleksi koloni hasil transformasi. Pembuatan rekombinan DNA memerlukan dua macam enzim yaitu enzim restriksi yang berfungsi memotong molekul DNA dan enzim ligase yang berfungsi menggabungkan molekul DNA (Glick dan Pasternak, 2003). Tahapan dalam pembuatan DNA rekombinan dimulai dari klon DNA target atau DNA asing yang secara enzimatis dipotong dan digabungkan (ligasi) kedalam DNA lain (kloning vektor : plasmid) sehingga menghasilkan molekul DNA rekombinan (DNA Construct). Teknik pembuatan DNA rekombinan lainnya adalah dengan kloning TA. Kloning TA merupakan subkloning yang tidak menggunakan enzim restriksi, lebih mudah dan lebih cepat daripada sub kloning tradisional sebelumnya. Teknik ini bergantung pada kemampuan adenin (A) dan timin (T) yang merupakan pasangan basa komplementer pada fragmen DNA yang berbeda untuk berhibridisasi, dan dengan adanya enzim ligase maka keduanya akan terligasi. Produk PCR biasanya diamplifikasi menggunakan enzim Taq polimerase. Taq polimerase memiliki 3’ ke 5’ kegiatan proofreading, dan dengan probabilitas tinggi akan menambahkan satu overhang 3’ adenin (A) pada setiap akhir produk PCR. Produk PCR yang disisipkan akan dikloning kedalam vektor linier yang telah dilengkapi dengan 3’ overhang timin (T). Pada kit yang telah dikomersialisasikan umumnya telah menyediakan vektor dan reagen PCR yang mempercepat ligasi. Penggunaan pDrive sebagai vektor kloning dalam bentuk linier dengan overhang U disetiap ujungnya untuk memudahkan berhibridisasi dengan produk PCR. Plasmid merupakan kromosom bakteri berupa DNA sirkulasi berukuran kecil dan mempunyai kemampuan untuk keluar masuk dari sel ke sel lainnya dan mampu bereplikasi dan diturunkan secara stabil tanpa dikaitkan pada kromosom/ ekstra kromosom mandiri (Glick dan Pasternak, 2003).Plasmid dapat berukuran kurang dari 1 kb atau lebih dari 500 kb. Setiap plasmid mempunyai sekuen yang berfungsi sebagai origin of DNA replication; tanpa site ini plasmid tidak dapat melakukan replikasi di dalam sel inang (Glick dan Pasternak, 2003). Dalam perkembangannya plasmid digunakan sebagai kloning vektor pada pembuatan DNA rekombinan. Plasmid rekombinan biasanya telah disisipi dengan gen resisten antibiotik untuk memudahkan penyaringan (screening) (Gambar 10). 18 Salah satu plasmid rekombinan adalah plasmid universal cloning (pUC) yang didesain agar screening rekombinan plasmid lebih efektif dengan menonaktifkan gen galaktosidase yang menghasilkan enzim β-galaktosidase (Ross, 2005). Gambar 10 Plasmid rekombinan pDrive Cloning Vector Disamping telah disisipi gen resisten antibiotik, plasmid pUC juga membawa fragmen DNA bakteriofag. Fragmen ini bertanggung jawab pada sintesis langsung α peptida dari β-galaktosida yaitu enzim yang berperan dalam memecah galaktosa. Gen Lac-Z memproduksi β-galaktosida yang digunakan oleh bakteri dalam metabolisme laktosa (lac+).Bakteri rekombinan (rekayasa) bersifat lac-, dimana mereka tidak dapat memproduksi α-peptid dalam β-galaktosidase sehingga bakteri tersebut tidak mampu mencerna laktosa. Selanjutnya vektor plasmid yang mengandung Lac+ dimasukkan kedalam sel bakteri atau biasa disebut transformasi, sehingga secara fenotip sel bakteri mengalami perubahan menjadi lac+. Transformasi sel merubah koloni bakteri menjadi biru (manifestasi perubahan genetik sel bakteri) pada saat dibiakkan pada media LB yang mengandung ampicilin dan X-gal plus IPTG (bahan yang menginduksi aktivitas β-galactosidase (Liu, 2007). Enzim β-galaktosidase akan menguraikan Cromogenic substrate X-gal (ahalogenated indoyl-galactosidase), senyawa halogenated indoyl dilepaskan dan membentuk lapisan biru (Ross, 2005). Fragmen DNA asing yang masuk ke dalam vektor akan menginterupsi sekuen pengkode. DNA yang dimasukkan akan mencegah expression α-peptide, sehingga bakteri tidak bisa lagi memproduksi enzim β-galaktosidase dan menjadikan koloni bakteri berwarna putih (Liu, 2007).