BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang T.S Sihombing dalam Sinode Godang tahun 1972 mengatakan bahwa HKBP adalah HKBP, yang mengambil rupa, corak, struktur sendiri yang unik, sejarah, kehidupan, dan pergumulan yang ia alami yang menentukan corak dan rupanya. Pernyataan T.S Sihombing dipandang Ramlan Hutahean sebagai pemaknaan diri (self-definition) bahwa HKBP adalah gereja yang memiliki latar belakang sejarah panjang, yang menghasilkan kekhasan dan keunikan dibanding gereja lain (2013, 2). Selain itu, Bonar Napitupulu melihat pernyataan T.S Sihombing adalah penegasan bahwa HKBP adalah gereja yang mengikuti ajaran Tuhan, bukan manusia atau aliran tertentu (2011, 21). Dari pandangan dan tanggapan terhadap pernyataan T.S Sihombing, dapat dikatakan bahwa HKBP adalah gereja yang memiliki identitas khas dalam dirinya, sebab HKBP adalah HKBP yang memiliki corak dan bentuk sendiri. Satu bagian dari corak dan bentuk tersebut adalah Kebatakan dan Kekristenan yang lekat pada HKBP. 1 Kekristenan dan Kebatakan menyatu di HKBP1, yang menjadikan adat dan budaya Batak2 melekat dalam kombinasi Batak Kristen. Hal ini seperti yang dikatakan Siagian bahwa orang Batak memiliki warisan budaya yang kuat, sekalipun sudah Kristen (2009, 5, 10, 106). Pandangan Siagian seiring dengan Hutahean yang mengatakan Kekristenan tidak mengubah adat dan budaya Batak Indonesia menjadi adat dan budaya Eropa Amerika (2011, 141). Ia menegaskan bahwa orang Batak tetap ada dalam budaya dan adat sekalipun menjadi Kristen. Pendapat Siagian dan Hutahean terlihat dari keberadaan HKBP yang: 1), menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa ibadah 2), merayakan ritus secara Kristen dan Batak, serta 3), menerapkan adat dan budaya Batak seperti penerimaan seni tari musik gondang dan tortor, juga prinsip sosial orang Batak, yaitu; dalihan na tolu, martarombo, punguan marga, parsahutaon dan jambar. HKBP memadu Kebatakan dalam bingkai Kekristenan. Perpaduan ini ditegaskan gereja dalam Pengakuan Iman yang menggambarkan hubungan budaya, adat dan agama. HKBP memiliki Pengakuan Iman tahun 1996 dan Pengakuan Iman tahun 1951. Dalam Pengakuan Iman tersebut dinyatakan bahwa: “Pengakuan Iman HKBP 1951. Kita harus menentukan Pengakuan Iman kita terhadap adat dan kebudayaan dari bangsa kita. Kita harus jaga agar kedua hal ini jangan merusak iman 1 Gereja yang berasimilasi dengan Kebatakan tidak hanya HKBP, terdapat beberapa gereja lain, seperti, HKI, GKPS, BNKP dan juga ada gereja yang berasimilasi dengan kesukuan selain Batak, seperti GKJ, Gereja Toraja, GKP. 2 Batak dalam pembahasan ini adalah Batak sebagai sebuah etnis yang berasal dari Sumatera Utara yang memiliki peradaban (sebelum kekristenan hadir, seperti bahasa, hukum dan kepercayaan) yang kemudian keluar dari tempat asalnya; yang kemudian hal tersebut menyatu dengan Kekristenan dan hadir sebagai gereja HKBP. 2 kita. Zaman ini sangat menekankan adat dan kebudayaan. Hal ini adalah baik, akan tetapi walaupun demikian belum tentu semua hal di dalamnya dapat disesuaikan dengan kepercayaan kita. Kita harus insaf akan bahaya-bahaya yang terdapat di sana. Agama dan ajaran-ajaran yang berupa-rupa itu nyata merupakan suatu bahaya rohani bagi gereja kita” (HKBP, 2000, 32). “Pengakuan Iman HKBP 1996. Allah menciptakan manusia dengan tempat tinggalnya dan tempatnya bekerja di dunia ini (Kej. 2:5-15). Dialah yang memiliki semuanya, yang memberikan kehidupan bagi semua yang diciptakanNya. Tempat manusia adalah daratan, lautan dan langit/ruang angkasa. Allah memberikan kuasa kepada manusia untuk memelihara dunia ini dengan tanggungjawab penuh. Dia juga memberikan bahasa, alat musik, kesenian dan pengetahuan kepada manusia sebagai alat manusia dan juga aturan untuk memuji Allah dan sebagai sarana untuk memelihara dan memperindah persahabatan antar manusia agar melalui kebudayaan, kerajaan Allah semakin besar. Tetapi kebudayaan yang bercampur kekafiran dan yang bertentangan dengan Firman Allah, harus ditolak” (HKBP, 2000, 88). Berdasarkan Pengakuan Iman di atas, diketahui bahwa hal ideal dalam relasi adat budaya Batak dengan Kekristenan adalah perpaduan yang positif, artinya adat dan budaya dipahami sebagai pemberian dan sarana yang dapat digunakan dalam Kekristenan. Pengakuan ini membuka relasi antara Kebatakan dan Kekristenan sejauh tidak bertentangan. Kini, gereja HKBP telah tersebar di beberapa daerah. Penyebaran tersebut berhubungan erat dengan arus diaspora3 orang Batak Kristen ke luar Sumatera. Orang Batak mengatakan bahwa mereka berdiaspora karena beberapa alasan, seperti: pendidikan, ajakan keluarga, mengikut orang, dan bekerja. Pada umumnya, mereka berdiaspora untuk bekerja. Pandangan ini senada dengan pandangan pendeta di 3 Penulis memilih kata diaspora dibanding kata merantau atau migrasi dengan maksud menekankan Batak sebagai etnis yang terpisah dari asal (di batas tertentu/atau berada di daerah) serta negara tertentu yang memiliki ingatan bersama, pemahaman, atau cerita leluhur tentang kampung halaman, tempat, sejarah dan pencapaian mereka. Serta, mereka menghormati tanah leluhur sebagai tempat ideal dan mereka percaya secara bersama-sama memelihara tanah leluhur. Dan juga mereka terus mewarisi kisah tentang kampung halaman, dan kesadaran relasi komunitas antara mereka adalah penting seperti yang dikatakan Safran dalam mendefinisikan arti dari diaspora (Saffran, 1991, 2). 3 HKBP yang mengatakan bahwa mereka ada di luar Sumatera karena pekerjaan. Gereja memberi tugas melayani di luar Sumatera. Apa yang dikatakan jemaat dan pendeta sejalan dengan pandangan Cohen yang mengatakan ada berbagai bentuk alasan terjadinya diaspora, seperti faktor keadaan suatu wilayah, perdagangan, kekuasaan, dan pekerjaan (2008, 3, 18, 61). Dalam diaspora, orang Batak Kristen membawa identitas yang berpadu antara Kekristenan dan Kebatakan. Mereka berkumpul dalam kelompok sesama Batak yang kemudian melahirkan persekutuan. Dari persekutuan selanjutnya menjadi peribadahan, yang kemudian mendirikan gereja. Pola tersebut menjaga identitas Batak Kristen diaspora di gereja HKBP yang kini terdiri dari 28 distrik4 dengan jumlah gereja sebanyak 3.174 (HKBP, 2013, 487). Hal ini dikukuhkan dengan kenyataan yang mengatakan HKBP yang berbasis kesukuan, adalah gereja suku terbesar di Asia Tenggara, seperti yang dicatat The Ecyclopedia of Protestantism (Hillerbrand, 2004, 337). Hal ini menunjukkan bahwa gereja bertahan dalam identitas Kebatakan dan Kekristenan yang menyatu. Mereka bisa beradaptasi dalam kemajemukan diaspora. Akan tetapi, perpaduan identitas Kristen dan Batak memberi masalah tersendiri bagi generasi muda Batak Kristen diaspora. Hal ini seperti pepatah yang berkata, lain ladang, lain ilalang, yang berarti lain tempat, lain masalah (Brataatmadja, 1985, 185). Pemuda yang lahir dan besar dalam diaspora tentu memiliki permasalahan tersendiri. 4 Dengan jumlah semua Pendeta 1.354, Guru Huria 428, Biblevro 408, Diakones 284. Belum termasuk calon Pendeta, Guru Huria, Biblevro, Diakones (HKBP, 2013, 488-9). 4 Pemuda Batak Kristen yang lahir dan besar dalam diaspora dihadapkan pada pergulatan identitas. Permasalahan identitas adalah gejala umum yang terjadi pada pemuda, seperti yang dikatakan Rupa Huq bahwa identitas adalah tema yang sering muncul pada pemuda, khususnya mereka yang dari minoritas (Huq, 2006, 33). Generasi pemuda Batak Kristen diaspora bergulat terhadap wacana untuk mengetahui Kebatakan, sebab gereja memadu Kebatakan dengan Kekristenan. Dalam posisi tersebut pemuda bertanya bagaimana menempatkan posisi agama dan budaya dalam identitas. Apakah menjadi Batak berarti menjadi Kristen dan sebaliknya? Sehingga harus mengetahui bahasa Batak; merayakan ritus baik secara Batak dan Kristen; dan mengetahui gondang dan tortor serta dalihan na tolu, martarombo, punguan marga, parsahutaon dan jambar. Dalam hal ini, hal ideal adalah pemuda Batak Kristen diaspora mengetahui identitas mereka, tetapi untuk sampai ke sana adalah bagian yang menjadi pembahasan. 1.2 Pertanyaan Penelitian Dalam penelitian, ada dua pertanyaan yang menjadi poin pembahasan: 1) Bagaimana generasi pemuda diaspora menghadapi perpaduan Kekristenan dan Kebatakan? 5 2) Bagaimana pemuda Batak Kristen menemukan identitas dirinya di tengah hubungan Kebatakan dan Kekristenan sebagai pemuda Batak Kristen diaspora? 1.3 Ruang Lingkup dan Signifikansi Penelitian Penelitian ini berfokus pada gereja HKBP yang berada di Distrik XIX. Distrik XIX Bekasi (atau Jakarta 2) terdiri 14 ressort dengan 37 gereja yang dilayani oleh 96 pendeta5. Penelitian mengambil tiga gereja, yaitu: 1), Gereja HKBP Pondok Ungu Permai 2), Gereja HKBP Harapan Baru Regency 3), Gereja HKBP Pejuang. Tiga tempat tersebut dipilih dengan pertimbangan faktor geografis diaspora yang jauh dari tanah Batak. Pertimbangan lainnya adalah faktor heterogenitas. Lokasi tersebut adalah tempat yang beraneka-ragam, terdapat berbagai agama dan suku berbeda. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian bertujuan mencapai pemahaman identitas. Pemahaman atas identitas pemuda Batak Kristen yang ada di diaspora. Pemahaman selanjutnya bermanfaat untuk memberi pengertian bagi pemuda Batak Kristen diaspora terhadap perpaduan Kekristenan dan Kebatakan dalam mengartikulasikan diri; terutama 5 Belum termasuk guru huria, biblevro, diake dan calon pendeta (guru huria, biblevro, diaken dan calon pendeta adalah pelayan yang membantu pendeta dalam pelayanan). 6 generasi pemuda Batak Kristen yang lahir dan besar di luar tanah Batak. Diharapkan, penelitian ini juga dapat menjadi referensi dalam melihat identitas dalam kenyataan HKBP di tengah-tengah pluralitas. Selanjutnya penelitian diharapkan menambah referensi tentang pemuda dan identitas, khususnya referensi yang dapat dijadikan data atas problematika pemuda dalam dialektika agama dan suku. 1.5 Tinjauan Pustaka Terdapat ulasan yang mengkaji identitas terkait dengan Kekristenan dan kesukuan, khususnya dalam Kekristenan di Indonesia. Seperti telaah dari pendeta gereja suku, GKPS, Martin Sinaga dalam Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil. Serta, Darwin Darmawan dari GKI, yang membahas identitas dalam Identitas Hibrid Orang Cina Indonesia Kristen: Ketegangan dan Negosiasi Antara Kecinaan, Keindonesiaan dan Kekristenan, dan juga Rita Smith Kipp melalui Dissociated Identity; ethnicity, religion, and class in an Indonesia society yang berfokus pada Batak Karo. Tiga penulis tersebut sama-sama membahas identitas, dalam keterkaitan Kekristenan dan kesukuan. Martin Sinaga mengurai bagaimana pentingnya menemukan identitas gerejawi di hadapan modereninasi dan kemajuan sosial (2004, 4, 145). Ia menyatakan bahwa komunitas Kristen tidak menegaskan arah dalam menghadapi problem identitas. Menurutnya, komunitas Kristen hidup dengan jalan mengulang 7 jati diri pietisme Barat yang diterima sejak dahulu, atau mengulang secara sloganistis serat religius lokal yang kini terselubung dalam baju agama Kristen. Ia menyimpulkan pandangan ini melalui penelusuran identitas Kekristenan dalam dialektika antara wacana pietisme Barat dan ingatan akan wawasan religius kultural nenek moyang Simalungun (studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kekristenan di Simalungun). Sementara itu, Darwin Darmawan berfokus pada kasus penelitian di GKI Perniagaan dengan lingkup spesifik identitas orang Cina pasca Soeharto. Dalam tesisnya, ia menunjukkan bahwa orang Cina memiliki pengalaman subjektif yang beragam. Pengalaman itu menghasilkan pemaknaan dan identifikasi yang beragam (Darmawan, 2012, 145, 175). Darmawan dengan menggunakan pemahaman Bhabha tentang ruang transformatif atau ruang ke tiga menyatakan bahwa di ruang tersebut orang Cina mentransformasi wacana dominan mengenai Cina dan Indonesia yang oposisi biner, homogen dan baku khas kebijakan asimilasi (2012, 145). Orang Cina melakukan apa yang disebut Bhabha dengan mimicry. Menurutnya, jemaat GKI Perniagaan melakukan artikulasi ganda. Di satu sisi mereka mengakui sebagai Cina, di sisi lain sebaliknya. Wacana ini dikonstruksikan sebagai oposisi biner dalam ruang ke tiga dengan ditransformasi menjadi suatu yang bisa bergabung membentuk identifikasi hybrid, seperti yang dikatakan Bhabha, bercirikan neither-nor. Kemudian, Rita Smith Kipp dalam Dissociated Identity; ethnicity, religion, and class in an Indonesia society, membahas Batak Karo. Pembahasan mengulas 8 keberadaan Karo dalam perjalanan identitasnya di Indonesia terkait politik, kekeluargaan, sekularisasi. Kipp juga mengulas Kekristenan, etnisitas dan kelas. Dalam pembahasan tersebut, ia mengulas tentang GBKP. Ia menjelaskan tentang sejarah, perkembangan, kegiatan, serta persoalan yang hadir dalam perkembang GBKP. Kipp menjelaskan bahwa GBKP adalah gereja terbesar dan tertua yang berdiri tahun 1941 di Karo (1993, 191). Ia mendeskripsikan perkembangan GBKP, seperti pembangunan gereja, bentuk sinode (klasis), adanya panti asuhan di Sukamakmur, Kabanjahe, dan juga keterlibatan GBKP dalam organisasi yang tergabung dalam PGI (Kipp, 1993, 193). Serta, ia juga menjelaskan kegiatan komunitas ibadah, pendidikan, dan juga peran pendeta. Hal terkait Kekristenan dan kesukuan, yang Rita munculkan dengan tegas, adalah penggunaan bahasa Karo di gereja (1993, 198). Ia menjelaskan bahwa bahasa Karo digunakan sebagai bahasa ibadah, baik di sekolah minggu maupun di ibadah umum. Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa di beberapa tempat, seperti Medan dan Jakarta, bahasa Indonesia digunakan untuk sekolah Minggu. Kipp menekankan, pengunaan bahasa Karo dalam ibadah, adalah persoalan identitas pada perkembangan GBKP di luar wilayah regional Karo (Kipp, 1993, 198). Ketiga penulis di atas telah membahas identitas terkait dengan Kekristenan dan kesukuan. Hanya saja, menurut penulis mereka belum secara khusus menyentuh sisi pemuda dan problematika dalam diaspora terhadap inkulturasi antara kesukuan dan Kekristenan lebih dalam. Sehingga perlu dilakukan pembahasan; kajian 9 mendalam pada pemuda Kristen diaspora, yang bergelut dalam inkulturasi identitas kesukuan dan Kekristenan. 1.6 Landasan Teori Dalam pembahasan identitas pemuda Batak Kristen diaspora, penulis menggunakan beberapa teori, yaitu: teori pemuda, diaspora, inkulturasi, dan identitas. Pemuda Istilah pemuda didefinisikan dalam beberapa persepsi, setidakya terdapat tiga. Pertama, pemerintah mendefinisikan pemuda sebagai penduduk berumur 18-35 tahun, baik sudah menikah maupun belum (Kemenpora, 2008, 9-11). Kedua, pemuda juga didefinisikan dari segi psikologis sebagai semangat, jiwa atau spirit. Ketiga, pemuda juga lihat secara sosiologis sebagai “orang muda laki-laki; remaja; teruna; yang akan menjadi pemimpin bangsa dan juga sebagai orang yang selalu bergantung pada induk semang”. Dari tiga definisi, diketahui istilah “pemuda” cair. Hal ini seperti pandangan umum yang melihat pemuda sebagai periode transisi dari masa anak-anak kepada masa dewasa, sehingga cair diterjemahkan. Sekalipun demikian, dalam pembahasan pemuda didefinisikan berdasarkan definisi HKBP yang mengatakan bahwa pemuda adalah persekutuan pemuda di jemaat, laki-laki dan perempuan, yang berusia 18 tahun ke atas, dan belum menikah, serta terdaftar 10 sebagai warga jemaat (HKBP, 2002, 118). Selanjutnya, definisi ini digunakan menentukan siapa pemuda dalam penelitian. Dengan demikian, pemuda dalam penelitian adalah jemaat, baik laki-laki maupun perempuan, berumur 18 tahu ke atas dan belum menikah. Diaspora Diaspora secara sederhana dipahami sebagai proses perpindahan manusia dari tempat asal menuju lokasi lain seperti yang didefinisikan Cambridge Dictionary (Walter, 2008, 387). Hal ini persis dengan pandangan Walker Connor yang mengatakan diaspora adalah golongan yang hidup di luar tanah asal (Dikutip dari: Ember & Skoggard, 2005, 267). Cambridge dan Connor mendefinisikan diaspora sebagai keadaan di luar tanah asal. Namun, hal ini berbeda dengan definisi KBBI. KBBI mengatakan diaspora adalah masa tercerai-berai satu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misalnya Yahudi sebelum tahun 1948 (Tim Penyusun Kamus, 2007, 262). Berdasarkan perbedaan definisi, dapat dikatakan bahwa diaspora meluas, tidak terbatas pada diaspora Yahudi. Hal ini juga seperti yang dikatakan Saffran bahwa diaspora berkembang menjadi metafora yang menggambarkan katagori-katagori seperti: imigran, pembuangan, orang asing (1991, 2). Pandangan Saffran senada dengan Clifforf mengatakan bahwa, bahkan dalam arti dasar diaspora terdapat ambivalen karena masyarakat bertambah dan berkurang bergantung pada kemungkinan perubahan (1994, 306). Oleh karena itu, definisi diaspora tidak terbatas masa pembuangan 11 Yahudi yang tercerai-berai. Saffran dengan memperluas definisi Connor mengatakan diaspora dapat mengacu kelompok minoritas dengan beberapa kategori, yaitu: 1), kelompok yang terpisah dari asal, berada di batas tertentu atau berada di daerah serta negara tertentu 2), mereka memiliki ingatan bersama, pemahaman, atau cerita leluhur tentang kampung halaman, tempat, sejarah dan pencapaian 3), mereka merasa tidak sepenuhnya diterima oleh lingkungan tempat tinggal sehingga merasa asing dan berbeda 4), mereka menghormati tanah leluhur sebagai tempat ideal, sehingga mereka atau keturunan mereka akan kembali di waktu yang tepat 5), mereka percaya bahwa mereka, secara bersama-sama, untuk berkomitmen dan memelihara, atau merestorasi tempat asal dan keamanannya, serta kesejahteraanya 6), mereka terus mewarisi kisah tentang kampung halaman, dan kesadaran relasi komunitas antara mereka adalah penting (Saffran, 1991, 2). Selanjutnya, definisi6 Saffran berguna untuk menjelaskan keberadaan orang Batak sebagai kaum diaspora. Berdasarkan definisi Saffran, dapat dikatakan bahwa Batak adalah kaum diaspora. Mereka adalah kelompok minoritas yang keluar dari tempat asal (tanah Batak). Sebagai orang yang keluar dari tempat asal, mereka memiliki ingatan bersama terhadap leluhur, tempat dan sejarah, seperti kampung halaman. Mereka memiliki cerita bersama tentang sejarah leluhur. Serta adanya 6 Perlu ditekankan bahwa Batak dispora tidak sepenuhnya masuk dalam kategori ini, seperti pada poin tiga yang mengatakan merasa tidak sepenuhnya diterima oleh lingkungan tempat tinggal sehingga merasa asing dan berbeda. Dalam diaspora, orang Batak mengalami pengalaman yang berbeda-beda, dimungkinkan terjadi penolakan, namun tidak berarti orang Batak tidak diterima oleh lingkungan secara keseluruhan. 12 keterikatan yang kuat dalam komunitas yang terjadi baik secara marga maupun wilayah. Identitas Identitas adalah jati diri, ciri-ciri, tanda-tanda, atau pengenal terhadap siapa seseorang, atau juga yang menyebabkan dia berbeda dengan orang lain. Selain itu, identitas juga terkait erat dengan self seperti yang dikatakan William James bahwa diri seseorang memiliki keberadaan sosial sejauh mana orang mengakuinya serta memiliki gambaran terhadap orang tersebut dalam pikiran (Dikutip dari: Swann & Bosson, 2010, 589). Hal ini membuka peluang bahwa diri seseorang pada saat yang sama dapat memiliki banyak identitas, seperti yang dikatakan Burke dan Stets dalam Identity Theory bahwa pada saat yang sama, seseorang bisa memiliki banyak identitas (2009, 118). Pada saat yang sama seseorang bisa sekaligus menjadi murid, guru, dan istri. Selanjutnya, teori ini digunakan untuk mengatakan pemuda, pada saat yang sama sebagai Batak Kristen dalam diaspora, adalah Kristen dan Batak. Teori ini digunakan untuk mengatakan bahwa menjadi Batak dapat sekaligus menjadi Kristen, dan sebaliknya. Hal ini juga dimungkinkan terjadi karena adanya inkulturasi dalam gereja. Inkulturasi 13 Inkulturasi7 adalah penerimaan budaya lokal dalam Kekristenan. Michael Paul Gallagher S. J. mengatakan inkulturasi adalah keterkaitan agama dan budaya (2003, 117-118). Ia mengatakan Injil Kristen berlatar belakang budaya tertentu. Ia memberi contoh bahwa Injil Matius ditujukan pada jemaat berlatar belakang Yahudi, dengan banyak kutipan merujuk kitab Yahudi. Begitu juga Lukas, yang berfokus dengan pertanyaan agama, berlatar belakang Yunani. Gallagher juga menegaskan bahwa Injil orang Kristen ditulis dalam bahasa Yunani yang bukan bahasa Yesus (2003, 117-118). Hal ini menjelaskan bahwa sejak awal Kekristenan, ada relasi ke luar dari Yahudi pada budaya tertentu; dan hal tersebut disebut sebagai inkulturasi. Kekristenan terbuka terhadap budaya yang beragam. Seperti yang dikatakan Heuken bahwa inkulturasi menerima atau menggunakan budaya tertentu dalam Kekristenan (1994, 103). Ia berpendapat bahwa inkulturasi merupakan penanaman agama melalui sarana budaya. Dalam setiap kebudayaan, pasti ada unsur positif yang dapat digunakan sebagai sarana mengekspresikan kepercayaan, yang secara otentik dengan cara berbeda-beda (Heuken, 1994, 103). Pandangan ini sama dengan pendapat Harjana yang mengatakan bahwa inkulturasi berasal dari kata Latin inculturare yang berarti tumbuh dan berkembang di dalam (1993, 18). Proses inkulturasi terjadi bila agama masuk ke dalam budaya lain, dan terintegrasi serta berakar di sana. 7 Dengan tidak memperdebatkan perbedaan antara inkulturasi, enkulturasi, dan akulturasi baik secara antropologi maupun sosiologi. Di sini, kata inkulturasi digunakan dengan memahami bahwa inkulturasi telah mejadi kata dalam ranah teologi yang mengacu pada relasi antara agama dan budaya. 14 Inkulturasi, atau yang juga disebut sebagai teologi kontekstual (kontekstualisasi) merupakan proses memahami iman Kristen dengan menggunakan istilah-istilah yang sesuai dengan konteks (Bevans, 2002, 2-15). Dalam ranah teologi, ada dua hal yang yang penting dipertimbangkan pada teologi kontekstual, yaitu 1) teologi kontekstual yang memperhitungkan pengalaman di masa lampau, yang terekam dalam Injil dan dipertahankan sehingga membentuk tradisi; selanjutnya 2) teologi kontekstual memperhitungkan pengalaman masa kini (konteks/keadaan kekinian) yang tidak terbatas pada pengalaman individu tetapi juga komunal (Bevans, 2002, 2-15 [band. Elwood, 2006, 10-17]). Hal ini juga seperti yang dikatakan C. S. Song, seorang presbiterian dari Taiwan bahwa teologi harus dilaksanakan dalam konteksnya, sebagaimana teologi juga harus dilaksanakan dalam konteks Asia. (dikutip dari: Adams, 2006, 92). Hal ini juga seperti yang dikatakan Ary A. Roest Crollius bahwa inkulturasi adalah integrasi dari pengalaman Kekristenan gereja lokal dalam budaya mereka, yang pengalaman tersebut tidak hanya mengekspresikan kebudayaan, namun juga menjadi kekuatan menjiwai, menyesuaikan dan berinovasi (1991, 731). Dari pengalaman tersebut, terbentuk persekutuan komunitas budaya dan sekaligus memperkaya gereja yang universal. Dengan demikian melalui inkulturasi, setiap kelompok; dari latar belakang budaya tertentu; dalam identitas budaya masing-masing, dapat menghayati Kekristenan, termasuk juga Batak. Selanjutnya, teori inkulturasi digunakan untuk menjelaskan perpaduan agama dan budaya, yang ada pada Batak Kristen diaspora. Teori ini 15 menjelaskan bahwa perpaduan antara dan agama dapat terjadi; sehingga membentuk kombinasi Batak Kristen. 1.7 Metode Penelitian Penelitian menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan tipe etnografi dan wawancara. Penulis menggunakan pendekatan tersebut karena lekat dalam hal menggambarkan keadaan sebuah kelompok melalui perspektif kelompok tersebut (Johnson, 2012, 48). Dalam mengambil data, penulis terlibat bersama jemaat selama Oktober-Desember 2014. Selama periode tersebut, penulis ikut bersamasama jemaat, yang terdiri dari tiga gereja. Selama di tempat penelitian, penulis memiliki field note. Field note adalah cara klasik yang dilakukan dalam mengumpulkan data dalam etnografi (Hammersley & Atkinson, 1983, 145). Catatan tersebut selanjutnya digunakan sebagai data penulis dalam mengumpulkan informasi terkait pembahasan penelitian. Selanjutnya, dilakukan wawancara. Wawacara dilakukan kepada pemuda dan pendeta, serta sintua dan jemaat di gereja. Dalam wawancara, daftar pertanyaan desediakan agar wawancara terarah. Sekalipun demikian, wawancara terbuka terhadap hal baru yang diutarakan narasumber. Selain dengan etnografi dan wawancara, penelitian juga menggunakan sumber official. Sumber official adalah proses pengumpulan data melalui sumber seperti surat, 16 majalah, risalah, warta jemaat, yang dikumpulkan dari pihak terkait. Tentu, data tersebut terkait dengan pembahasan penelitian. Dalam penelitian, disadari bahwa penulis adalah insider. Penulis adalah bagian dari orang Batak dan juga bagian dari HKBP dan pemuda. Maka, dimungkinkan ada relasi emosional, untuk itu, penulis mengantisipasi dengan memberi batasan. Batasan itu adalah keberadaan penulis yang bukan bagian dari HKBP Distrik XIX. Selain itu, penulis datang sebagai periset. Hal ini diasumsikan dapat menjaga keobyektifitasan. 1.8 Sistematika Penulisan Tesis terbagi dalam lima BAB. BAB I berisi latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, ruang lingkup dan signifikansi penelitian, dan tinjauan pustaka, serta landasan teori, dan metode penelitian dalam pengambilan data. Selanjutnya, BAB II tentang Bekasi dan HKBP Distrik XIX Bekasi. Bagian ini memberi penjelasan tentang Bekasi dan tiga gereja tempat penelitian, yaitu: HKBP Pejuang, HKBP Pondok Ungu Permai, dan HKBP Harapan Baru. Kemudian, BAB III membahas pergulatan Kekristenan dan Kebatakan. Bagian ini membahas pergulatan pemuda dalam tiga hal: bahasa, ritus, dan yang terakhir adalah adat dan budaya. Lalu, BAB IV mengulas identitas pemuda Batak Kristen diaspora. Di sini dibahas tentang negosiasi, kontestasi, dan proyeksi yang pemuda alami dalam 17 identitas. Sesudah itu, BAB V adalah kesimpulan dan saran. Bagian ini menyimpulkan pembahasan secara menyeluruh terhadap ulasan identitas pemuda Batak Kristen diaspora serta memberi saran. 18