(Teori Keseimbangan) Equity theory

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1 Equity Theory (Teori Keseimbangan)
Equity theory pertama kali dikembangkan oleh Adam (1965). Prinsip dari
teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah
ia akan merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi yang
diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas,
sekantor maupun di tempat lain. Elemen-elemen dari teori ini dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu elemen input, outcome, comparison, dan
equity-in-equity. Yang dimaksud dengan input menurut Wexley dan Yulk (2005)
adalah sebagai berikut; input is anything of value that and employee perceives
that he contributes to his job (input adalah segala sesuatu yang sangat berharga
yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan atau semua
nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Sebagai
contoh input adalah pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan, dan lainlain). Outcome is anything of value that the employee perceives he obtain from
the job (semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai sebagai hasil dari
pekerjaannya, misalnya upah, keuntungan tambahan status simbol, pengenalan
kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau ekspresi diri.
Sedangkan comparison person dapat diartikan sebagai perasaan seseorang di
perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa juga dengan dirinya sendiri
11
di waktu lampau (the comparison person may be someone in a different
organization, or even the person himself in a previous job).
2.1.2. Justice Theory (Teori Keadilan)
Teori keadilan merupakan serangkaian keterangan yang satu sama lainnya
berkaitan dengan logis dan sistematis yang menjelaskan dasar alasan, ukuran
pembenaran, sifat dasar, asal mula mengapa suatu hal dianggap adil. Menurut
Rawls (2005) mendefinisikan norma keadilan secara umum tidak menolak hakhak moral individu. Alasannya adalah setiap individu sejak lahir memiliki hak
moral untuk diperlakukan sederajat dan diberikan kebebasan dalam bertingkah
laku.Keadilan organisasi telah dikenal sebagai salah satu faktor penting bagi
keberhasilan organisasi (Cropanzano dan Folger, 1991).Keadilan organisasi
menjelaskan persepsi individu atau kelompok terhadap penanganan keadilan
yang dicapai dari organisasi dan responnya terhadap perspeksi.Menurut Robbins
dan Timothy (2008) setiap pegawai didalam sebuah organisasi dapat merasakan
atau membandingkan perasaan untuk diperlakukan secara adil didalam
organisasi.
Keadilan pada umumnya adalah keadaan atau situasi di mana setiap orang
memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang
sama dari kekayaan kita besama. Dengan demikian berarti bahwa keadilan adalah
keseimbangan antara hak dan kewajiban.Berbuat adil berarti menghargai dan
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sebaliknya berbuat tidak adil
berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia.
12
Keadilan menurut John Rawls adalah kejujuran (justice as fairness) yaitu,
ukuran yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan
pribadi dan kepentingan bersama.Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama
yang harus digunakan adalah:
1. Prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya.
Tiap-tiap orang menerima hak yang sama atas keseluruhan sistem yang
paling luas dari kebebasan-kebebasan dasar yang sama sesuai dengan
sistem kebebasan serupa bagi semua orang.
2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang
paling lemah.Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan
persamaan yang adil atas kesempatan.
Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yaitu:
1. Prinsip Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas. (equal
liberty of principle)
2. Prinsip perbedaan (differences principle)
3. Prinsip persamaan yang adil atas kesempatan.(equal opportunity
principle)
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk
mencapai
kepentingannya
terlebih
dahulu
baru
kemudian
kepentingan
umum.Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan
ukuran pencapaian keadilan.Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi
kepentingan ini.Namun realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak
dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat.
13
Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka
yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus
memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun
nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai
berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.
2.1.2.1 Jenis-jenis keadilan organisasional
Distributive Justice
Distributive justice menaruh perhatian dalamhal pembagian sumber daya
secara adil diantaraanggota suatu komunitas. Hal-hal yang menjadi perhatian
dalam pembagian yang adil biasanya adalah jumlah barang yang akan di
distribusikan, prosedur distribusi, dan pola distribusi yang digunakan. Ada
berbagai macam prinsip yang menentukan pendistribusian barang. Menurut
Colquitt (2001), Folger& Sheppard (1995), kesetaraan, keadilan, dan kebutuhan
merupakan prinsip yang paling umum. Jika kesetaraan dipandang sebagai kriteria
yang utama dalam menentukan siapa mendapat apa maka barang-barang akan
didistribusikan secara merata diantara semua orang atau dengan kata lain setiap
orang akan mendapatkan jumlah yang sama. Walaupun begitu, karena
berbedanya tingkat kebutuhan, hal tersebut tidak akan membuahkan hasil yang
setara.
Menurut Tioe (1997) dalam Gibson (2007)mengungkapkan bahwa
distribusi yang berbeda mengakibatkan tujuan sosial yang berbeda. Suatu
kelompok sosial akan berfungsi dengan efektif selama kelompok sosial tersebut
dapat menjaga keanggotannya, tetap berproduksi secara efektif dan efesien, dan
14
mempertahankan
kebahagiaan
anggotanya.
Prinsip
Distributive
Justice
munculberdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut. Distribusi yang setara
diperkirakan akanmemberikan perasaan keanggtoaan yang baku kepada setiap
orang. Theory of Justice(Rawls, 2005) mengklaim bahwa tempat kelahiran
seseorang, status sosial, dan pengaruh keluarga termasuk dalam hal
keberuntungan, yang seharusnya tidak berpengaruh terhadap jumlah keuntungan
yang kita terima dalam kehidupan ini.Rawls (2005) menegaskan bahwa tugas dari
distributive justiceadalah membatasi pengaruh dari keberuntungan tersebut
sehingga
barang-barang
dapat
didistribusikan
secara
lebih
adil
dan
menguntungkan bagi semua pihak.
Sedangkan Gibson (2007) meyakini Distributive Justice adalah suatu
masalah dalam penetapan aturanyang semestinya dipatuhi oleh individu
dalammemperoleh dan memindahkan sumber daya dan keuntungan. Tujuan
Distributive Justice adalahbukan untuk mencapai suatu hasil tertentu dari suatu
distribusi, tetapi lebih pada memastikan terjadinya proses pertukaran yang adil.
Pihak lainnya berpikir bahwa Distributive Justice pastimerupakan masalah yang
berhubungan proses dan hasil. Mereka yakin bahwa proses distribusi pasti adil
agar orang merasa bahwa mereka telah menerima hasil yang adil. Sejauh mana
Distributive Justice dihubungkan dengan gagasan proses yang adil, maka prinsip
DistributiveJustice tidak dapat dipisahkan dengan proseduryang adil (Prosedural
justice).
Keadilan
distributif
berhubungan
dengan
keadilan
pengalokasian
resources berbeda dengan keadilan prosedural yang fokus pada keadilan terhadap
15
proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain, keadilan distributif mengacu
pada sejumlah resource penghargaan yang dibagikan kepada karyawan
(Milkovich dan Newman, 2005). Pada perspektif lainnya, Deutsch (1998)
mendefenisikan keadilan distributif sebagai keadilan yang dianggap berlaku
dalam hal pendistribusian hasil termasuk kondisi dan barang-barang yang
berpengaruh terhadap kesejahteraan individu.Umumnya, agenda keadilan
distributif terhadap respon individu mengacu pada penanganan pendisitribusian
penghargaan dan resourcesoleh organisasi yang tidak adil (Greenberg
2001).Persepsi keadilan distribusi telah mencuatkan perasaan emosional dan
perilaku emosional sebagai refleksi yang mengacu pada keputusan kognitif
individu.Menurut Greenberg dan Cropanzano (2001), perlakuan tidak adil
terhadap individu cenderung menimbulkan sifat dan perilaku negatif dibanding
pemberlakuan adil yang dilakukan kepada seseorang.
Prosedural Justice
Keadilan prosedural fokus pada perhatiankaryawan tentang bagaimana
prosedur mengambil keputusan untuk dilaksanakan.Keadilan prosedural tentunya
menghasilkan kesepakatan yang kuat bagi organisasi terutama kesepakatan yang
dibangun oleh orang-orang yang berpengalaman dalam kelompok maupun
organisasi.
Gilliland (1994) mengungkapkan ada tiga prosedur menjadi prosedur
yang adil :
1. Adanya penekanan dalam hal konsistensi. Prosedur yang adil seharusnya
menjadi kunci bahwa kasus-kasus yang serupa di perlakukan dengan sama. Setiap
16
perbedaan yang ada seharusnya lebih menggambarkan aspek-aspek identitas
pribadi yang sesungguhnya dari pada ciri tambahan yang tidak ada hubungannya
dengan mekanisme pembedaan tersebut.
2. Pihak-pihak yang menjalani prosedur tersebut harus netral dan tidak ada
diskriminasi. Agarhasilnya adil dan akurat maka yang harusmenjalankan prsedur
tersebut adalah pembuat keputusan yang tidak berprasangka.Pihak-pihak yang
yang terlibat seharusnya meyakini bahwa maksud dari pihak penguasa adalah
baik, mereka ingin memperlakukan orang-orang dengan adil dan memperhatikan
sudut pandang dan kebutuhan dari pihakpihak yang berkepentingan. Jika orang
mempercayai pihak ketiga, mereka biasanya akan memandang bahwa proses
pengambilan keputusan berjalan dengan adil.
3. Pihak yang terpengaruh oleh keputusan yang diambil harus turut serta dalam
proses pengambilan keputusan tersebut. Dengan mempunyai perwakilan akan
memastikan satu dari anggota kelompok dan membangkitkan kepercayaan
terhadap sistem pengambilan keputusan. Hal ini menjadi penting, khususnya bagi
pihak yang lebih lemah yang pendapatnya jarang di dengar.
Gibson (2007)mengungkapkan bahwa proses yang diterapkan mestinya
transparan. Keputusan diambil melalui prosedur yang terbuka tanpa ada
kerahasiaan atau kecurangan.Banyak yang yakin bahwa prosedural justice tidak
cukup. Mencapaihasil yang adil jauh lebih penting dibandingkandengan
menerapkan proses yang adil (Gibson, 2007). Namun yang lainnya tetap
bersiteguh bahwa selama prosedur yang adil bisa membuahkan hasil yang adil.
17
Interpersonal dan interactional Justice
Menurut Bies dan Moag (1986) menyatakan bahwa keadilan interaksional
mengacu pada perlakuan interpersonal atau tingkat mengenai keadilan yang
dirasakan mengenai bagaimana para karyawan diperlakukan dalam suatu
organisasi.Keadilan interaksional lebih bersifat informal jika dibandingkan
dengan keadilan prosedural.Keadilan interaksional biasanya mengacu pada
tingkat kejujuran, sensitivitas, dan penghormatan yang ditunjukkan selama
interaksi.Menurut Materson (2000) menyatakan hal utama yang membedakan
antara keadilan prosedural dengan keadilan interaksional adalah presepsi
mengenai keadilan dan ketidakadilan, keadilan prosedural berpangkal pada suatu
organisasi, sementara kadilan interaksional berpangkal pada personal.Keadilan
interaksional mencerminkan perasaan dari para karyawan mengenai seberapa adil
mereka diperlakukan oleh atasannya (Blakely, 2005).
Penelitian terbaru secara konseptual dan empiris memisahkan dimensi dan
membagi keadilan interaksional kedalam dua dimensi konstituen yang dinamakan
keadilan informasional dan keadilan interpersonal.Colquitt (2001) menyebutkan
bahwa keadilan informasional mengacu kepada penjelasan dan status sosial,
semetara keadilan interpersonal mengacu pada pertimbangan penghormatan dan
sensitivitas. Menurut Bies dan Moag (1986), Colquitt (2001), Greenberg (1993)
dalam penelitian Colquitt (2001) menyebutkan bahwa keadilan interaksional
mengacu pada perasaan keadilan dalam pembuatan atau implementasi dari
prosedur-prosedur, kadilan interaksional memiliki dua sub bagian, yaitu keadilan
18
interpersonal yang merujuk pada ketulusan dan penghormatan dalam lingkup
komunikasi, sementara keadilan informasional berpusat pada penjelasan yang
jujur dan memuaskan dalam pengambilan keputusan. Seperti juga dinyatakan
oleh Colquitt (2001) bahwa sebuah penelitian meta analisis terbaru mendukung
pemisahan keadilan interpersonal dari dimensi keadilan yang lain. Sehingga
terdapat empat tipe keadilan yang ada yaitu, kadilan distributif, keadilan
prosedural, keadilan interpersonal dan keadilan informasional.
Informational Justice
Greenberg (1993) mengklasifikasikan keadilaninformasi sebagai aspek
sosial dari keadilan prosedural.Bies dan Moag (1986) mendeskripsikan keadilan
informasi sebagai persepsi apakah pihak yang menentukan keputusan telah
memberikan
penjelasan
mengenai
outcomes
yang
mempengaruhi
individu.Karyawan yang menerima keputusan negatif merasa berhak untuk
mengetahui mengapa dan bagaimana keputusan tersebut dibuat, sementara
pimpinan berkewajiban secara moral untuk memberikan penjelasan yang
mendasari keputusan.Ketika itu terjadi, maka karyawan merasa pimpinan telah
memenuhi kewajibannya dan memperlakukan mereka dengan respek, walaupun
menerima outcome negatif .
2.1.3. Expectancy Theory (Teori Harapan)
Teori harapan merupakan teori yang paling baik dipandang menjelaskan
motivasi seseorang dalam kehidupan organisasinya. Kuatnya kecenderungan
seseorang bertindak dengan cara tertentu bergantung pada kekuatan harapan
19
bahwa tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan pada daya tarik
dari hasil itu bagi orang yang bersangkutan (Vroom, 1964).
Teori ini memiliki 3 variabel yang mendukungnya daya tarik, hubungan
antara prestasi kerja dengan imbalan serta hubungan antara usaha dan prestasi
kerja. Daya tarik yaitu sepenting apa hasil atau imbalan yang diperoleh dalam
penyelesaian tugasnya. Artinya, sejauh mana hasil yang diperoleh dalam bentuk
imbalan memainkan peranan dalam pemuasan kebutuhannya.Prestasi kerja dan
imbalan yaitu tingkat keyakinan seseorang tentang hubungan antara pencapaian
tingkat prestasi kerjanya dengan pencapaian hasil tertentu. Sedangkan usaha dan
prestasi kerja ialah persepsi seseorang tentang kemungkinan bahwa usaha tertentu
akan menjurus kepada prestasi kerja.
Teori harapan berkata apabila seseorang memiliki keinginan untuk
menghasilkan sesuatu pada waktu tertentu tergantung pada tujuan khusus orang
yang bersangkutan dan pada persepsi orang tersebut tentang nilai suatu prestasi.
Model ekspetasi mendefinisikan bahwa motivasi adalah hasil dari seberapa besar
hasrat seseorang terhadap sesuatu dan seberapa besar kemungkinannya dia akan
berhasil memperoleh keinginan itu. Modifikasi perilaku adalah perilaku yang
bergantung pada apa konskuensinya yang terjadi pada kegiatan demi kegiatan
sehingga diperoleh pendekatan yang bervariasi seperti dorongan positif/negatif
dan pembentukan prosedur yang dapat menstimulasi.Teori harapan menunjukan
hal – hal sebagai berikut:
20
1. Kuatnya motivasi seseorang berprestasi yang tergantung pada
pandangannya mengenai seberapa kuat keyakinan dalam dirinya
bahwa yang diusahakannya akan dicapai.
2. Jika tujuan tercapai apakah akan diperoleh imbalan yang
memuaskan tujuan dan kepentingannya.
Kata kunci dari teori harapan ini adalah pemahaman tujuan individual dan
kaitan antara usaha dan prestasi kerja, antara prestasi kerja dan imbalan serta
antara imbalan dan pencapaian tujuan. Menurut teori ini, hanya karena dapat
dipahami kebutuhan apa yang ingin dipuaskan oleh seseorang tidak menjamin
bahwa orang yang bersangkutan mempunyai persepsi bahwa prestasi kerja yang
tinggi berakibat pada pemuasan berbagai kebutuhannya.Daya tarik teori harapan
ini terdapat dalam empat hal:
1. Teori ini menekankan imbalan. Menurut teori ini terdapat
keyakinan bahwa imbalan yang diberikan oleh organisasi sejajar
dengan apa yang diinginkan oleh pekerja. Dapat dikatakan bahwa
teori harapan adalah suatu bentuk hedonisme yang kalkulatif dan
psikologis dalam mana motif akhir dari setiap tindakan manusia
adalah
maksimalisasi
kesenangan
dan
atau
minimalisasi
penderitaan.
2. Para manajer harus memperhitungkan daya tarik imbalan yang
memerlukan pemahaman dan pengetahuan tentang nilai apa yang
diberikan oleh pekerja pada imbalan yang diterimanya.
21
3. Teori harapan menekankan perilaku yang diharapkan dari para
pekerja. Artinya teori ini menekankan pentingnya keyakinan
dalam diri pekerja tentang apa yang diharapkan oleh perusahaan
dari dirinya dan bahwa prestasi kerjanya dinilai.
4. Teori ini menyangkut harapan yaitu tidak menekankan apa yang
realistik dan rasional namun yang ditekankan adalah harapan
pekerja mengenai prestasi kerja, imbalan dan hasil pemuasan
tujuan individu akan menentukan tingkat usahanya bukan hasil itu
sendiri.
Menurut penelitian merumuskan bahwa motivasi dipandang sebagai
elemen sentral ketika melalui sebuah proses pembelajaran pada manusia. Jika
sebuah
organisasi
tidak
karyawannya,pengetahuan
dapat
dalam
memotivasi
sebuah
meningkatkan
organisasi
tidak
kemampuan
akan
dapat
dipraktekkan dan dipergunakan secara maksimum.
Selain itu di dalam perubahan organisasional, karyawan memiliki
ekspektasi mengenai ketidakpastian kejadian masa depan dan menjadi perhatian
organisasi untuk memperlakukan karyawan secara adil. Expectancy Theory
adalah ekspektasi dimana tindakan yang diberikan akan dihasilkan dalam kinerja
tertentu, sesuai dengan instrumen yang diterima dari kinerja untuk mencapai
berbagai outcomes (Ferris, 1977). Motivasi mengikuti pelatihan menjadi tujuan
dari semua kesuksesan organisasi yang sedang belajar untuk menemukan faktor
yang mampu memotivasi karyawan untuk secara terus menerus belajar dan
memperoleh keunggulan dari pengetahuan yang di dapat sepanjang hidup.
22
2.1.4. Turnover Intention
Model keputusan turnover oleh Mobley (1977) menjelaskan sebelum
terjadinya turnover, perilaku yang mendahuluinya adalah adanya niatan/intensitas
turnover.Pemikiran tentang intensitas turnover juga sudah diteliti oleh Locke,
1968.Para peneliti di atas menjelaskan bahwa, prediktor terbaik dari turnover
adalah intensitas untuk keluar.Selanjutnya, Mobley (1977) mengatakan
setidaknya ada dua hal pendorong intensitas yaitu intensitas untuk mencari dan
intensitas untuk keluar.Mobley menjelaskan bahwa intensitas untuk mencari dan
perilaku untuk mencari secara umum dipahami mendahului intensitas untuk
keluar dan turnover.Faktor penentu utama intesitas menurut Mobley adalah
keadilan, ketertarikan yang diharapkan terhadap pekerjaan sekarang, dan
ketertarikan yang diharapkan pada alternatif pekerjaan atau peluang yang lain.
Dukungan empirik muncul dari Hom dan Griffeth (1991) yang menemukan bukti
bahwa intesitas keluar atau tetap berada dalam organisasi secara langsung
memprediksi perilaku penarikan diri (turnover).Hal yang hampir sama juga
dijelaskan (Tett dan Meyer, 1993). Tett dan Meyer menjelaskan pentingnya
pemahaman intensitas dalam memprediksi perilaku untuk menjelaskan sikap
penarikan diri (turnover).Selanjutnya Jaros et.al, (1993) menjelaskan bahwa
terdapat sejumlah faktor yang merupakan anteseden bagi penarikandiri yang
disebutnya sebagai kecendrungan penarikan (withdrawal tendency concept)
seperti thinking of quitting, search intentions, dan intent to leave or stay.
Disisi lain variabel turnover intention digunakan dalam cakupan yang luas
meliputi keseluruhan tindakan penarikan diri (with drawal cognitions) yang
23
dilakukan pegawai. Tindakan penarikan dirimenurut Abelson (1987) terdiri atas
beberapa komponen yang secara simultan muncul dalam individu berupa adanya
niat untuk keluar, keinginan untuk mencari pekerjaan lain, mengevaluasi
kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat lain, dan adanya
keinginan
untuk
meninggalkan
organisasi.Turnoverintention
adalah
kecenderungan sikap atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki
kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara
sukarela dari pekerjaanya.
Lebih lanjut dijelaskan Abelson juga menyatakan bahwa sebagian besar
pegawai
yang
meninggalkan
organisasi
karena
alasan
sukarela
dapat
dikategorikan atas perpindahan kerja sukarela yang dapat dihindarkan (avoidable
voluntary turnover) dan perpindahan kerjasukarela yang tidak dapat dihindarkan
(unavoidable voluntary turnover).Avoidable voluntary turnover dapat disebabkan
karena alasan berupa gaji, kondisi kerja, atasan atau ada organisasi lain yang
dirasakan lebih baik, sedangkan unavoidable voluntary turnover dapat
disebabkan oleh perubahan jalur karir yang dilakukan oleh perusahaan (PHK)
atau faktor keluarga.
Keinginan untuk pindah atau turnover intention adalah kecenderungan
sikap atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk
meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari
pekerjaanya. Untuk itu, turnover intention yang akan diketahui dalam penelitian
ini adalah dalam konteks model avoidable voluntary turnover.
24
2.1.5. Keadilan Distributif
Keadilan distributif mengarah pada keadilan dari tingkat bawah, yang
mencakup
masalah
penggajian,
pelatihan,
promosi,
maupun
pemecatan.Kebijakan-kebijakan ini terus menerus mengalami perubahan karena
faktor misi dan prosedur yang diperbaharui.Menurut Bies dan Moag (1986),
keadilan distributif dalam psikologi meliputi segala bentuk distribusi di antara
anggota kelompok dan pertukaran antar dua orang.Keadilan distributif yang
dimaksudkan tidak hanya berasosiasi dengan pemberian, tetapi juga meliputi
pembagian, penyaluran, penempatan, dan pertukaran.
Keadilan distributif secara konseptual juga berkaitan dengan distribusi
keadaan dan barang yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan individu.
Kesejahteraan individu yang dimaksudkan meliputi aspek-aspek fisik, psikologis,
ekonomi, dan sosial.Tujuan distribusi di sini adalah kesejahteraan (Yohanes B
dan Rani Puspita W, 2005).Keadilan distributif organisasi dapat menimbulkan
kepuasan kerja pada karyawan. Dengan pekerjaan yang sama, reward yang sama
antara dua orang pada organisasi yang sama maka kepuasan kerja (job
satisfication) tercapai. Selain reward yang sesuai dengan pengorbanan juga
kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi kerja dan karir mereka,
kompensasi yang adil, lingkungan kerja yang kooperatif, serta jaminan
kesejahteraan yang baik. Harapan-harapan tersebut kemudian berkembang
menjadi tuntutan yang diajukan karyawan terhadap organisasi sebagai sesuatu
yang harus dipenuhi.Dengan semakin tingginya tuntutan terhadap organisasi,
maka
semakin
penting
peran
karyawan
25
terhadap
organisasi.Hal
ini
mempengaruhi keputusannya untuk tetap bergabung dan memajukan organisasi,
atau memilih tempat kerja yang lebih menjanjikan (Robbins, 2006).
Kebanyakan pengaturan dalam organisasi berupa kesepakatan maupun
kontrak yang tertulis maupun tidak tertulis tentang pertukaran hubungan antara
atasan (employer) dengan pekerja (employee).Distributive Justice (keadilan
distributif) adalah keadilan yang menyangkut alokasi keluaran (outcomes) dan
reward pada anggota organisasi. Karyawan menginvestasikan sesuatu kedalam
organisasi (misalnya : usaha, keahlian dan kesetiaan) dan organisasi memberikan
penghargaan kepada karyawan atas investasi tersebut. Cara lain untuk
menyatakan hal ini adalah bahwa organisasi mendistribusikan penghargaan
kepada para karyawannya tersebut berdasarkan beberapa skema atau persamaan.
Para karyawan membentuk opini yang berkaitan dengan skema pendistribusian
apakah penghargaan itu adil atau tidak.Perhatian mengenai keadilan distributif
dirasakan adil dari penempatan hasil-hasil atau pemberian penghargaan kepada
para anggota organisasi.
Ada banyak perbedaan definisi “adil” dalam distribusi pemberian
penghargaan.Salah satu definisi tersebut didasarkan atas kepantasan. Karyawan
yang bekerja keras atau produktif akan pantas apabila mendapatkan penghargaan
terbesar. Hal ini dinamakan merit or equity norm.
Definisi lain didasarkan atas dugaan persamaan (equality) yaitu setiap
anggota akan mendapatkan bagian yang sama dari penghargaan, tanpa
memandang usahanya. Definisi terakhir, keadilan dapat diperoleh berdasarkan
atas equity norm yaitu menerima penghargaan sesuai dengan proporsi terhadap
26
kebutuhan (needs) mereka (Gilliland, 1994). Dari uraian di atas dapat dikatakan
bahwa definisi adil dalam distribusi yang dimaksudkan di sini adalah didasarkan
pada kepantasan, baik pada merit, equality, maupun equity norm.
2.1.6. Instrumen Promosi
Di dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas suatu
perusahaan,
maka
peran
manajemen
sumber
daya
manusia
sangatlah
penting.Dalam hal tersebut perusahaan berkewajiban memperhatikan kebutuhan
karyawannya baik yang bersifat materil maupun yang bersifat non materil.Wujud
dari perhatian, usaha serta dorongan yang dapat dilakukan oleh perusahaan
terhadap karyawannya, salah satunya adalah dengan melaksanakan promosi
jabatan yang objektif dan adil serta penempatan yang tepat.Pelaksanaan promosi
jabatan dimaksudkan untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan agar mau
bekerja dengan perilaku kerja yang baik sesuai dengan yang dikehendaki oleh
perusahaan guna meningkatkan produktivitas kerja perusahaan dan menjamin
keberhasilan perusahaan tersebut di dalam mencapai sasarannya.
Untuk memperoleh gambaran mengenai promosi jabatan, berikut ini akan
dikemukakan definisi-definisi mengenai promosi jabatan menurut beberapa ahli:
Arti dari promosi jabatan itu sendiri sebagaimana yang ditulis oleh Siagian
(2008) ialah: “Apabila seorang pegawai dipindahkan dari satu pekerjaan
kepekerjaan lain yang tanggung jawabnya lebih besar, tingkatannyadalam
hierarki jabatan lebih tinggi dan penghasilannya pun lebihbesar pula.” Menurut
Hasibuan (2002: 108) bahwa: “Promosi jabatan berarti perpindahan yang
memperbesar wewenangdan tanggung jawab ke jabatan yang lebih tinggi di
27
dalam suatuorganisasi yang diikuti dengan kewajiban, hak, status, dan
penghasilan yang lebih besar.” Sedangkan menurut Meyer & Allen (1997)yang
dikutip oleh Hasibuan (2002: 121): “Promosi adalah suatu perpindahan di dalam
suatu organisasi dari suatu posisi ke posisi lainnya yang melibatkan baik
peningkatan upah maupun status.”
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa promosi berarti perpindahan dari suatu jabatan ke
jabatan lain yang lebih tinggi, wewenang, tanggung jawab serta statusnya
semakin besar dan pendapatannya semakin besar yang disertai peningkatan
fasilitas lainnya.
2.1.6.1 Dasar pertimbangan Instrumen Promosi
Menurut
Hasibuan
(2002:
109)
mengatakan
bahwa
pedoman
yangdigunakan sebagai dasar untuk mempromosikan karyawan adalah sebagai
berikut:
1. Pengalaman (senioritas)
Pengalaman merupakan pertimbangan promosi berdasarkan pada lamanya
pengalaman kerja karyawan.Orang yang terlama bekerja dalam perusahaan
mendapat prioritas pertama dalam tindakan promosi.
2. Kecakapan (ability)
Kecakapan merupakan pertimbangan promosi berdasarkan penilaian kecakapan.
Kecakapan adalah total dari semua keahlian yang diperlukan untuk mencapai
hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.
28
3. Kombinasi pengalaman dan kecakapan
Kombinasi pengalaman dan kecakapan merupakan pertimbangan promosi
berdasarkan pada lamanya bekerja dan kecakapan.Pertimbangan promosi adalah
berdasarkan lamanya dinas, ijazah pendidikan formal yang dimiliki dan hasil
ujian kenaikan golongan.
4. Prestasi kerja
Karyawan itu mampu mencapai hasil kerja yang dapat dipertanggungjawabkan
kualitas maupun kuantitas dan bekerja samasecara efektif dan efisien.
2.1.7. Job Performance
Suatu organisasi perusahaan didirikan karena mempunyai tujuan tertentu
yang ingin dan harus dicapai.Dalam mencapai tujuannya setiap organisasi di
pengaruhi perilaku organisasi. Salah satu kegiatan yang paling lazim di lakukan
dalam organisasi adalah kinerja karyawan, yaitu bagaimana ia melakukan segala
sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu pekerjaan atau peranan dalam
organisasi.
Kinerja karyawan diharapkan mampu menghasilkan mutu pekerjaan yang
baik serta jumlah pekerjaan yang sesuai dengan standar.Kinerja yang dicari oleh
organisasi dari seorang karyawan tergantung dari kemampuan individu karyawan
tersebut.Bagi karyawan baru, kinerja merupakan bukti dari pemahaman mereka
terhadap pekerjaan, sedangkan bagi karyawan lama, kinerja merupakan umpan
balik terhadap perilaku terhadap mereka. Sementara itu, indikator kinerja
karyawan menurut Mathis dan Jakson (2002) adalah meliputi kuantitas output,
29
kualitas output, jangka waktu output, kehadiran di tempat kerja, dan sikap
kooperatif.
Suatu penelitian telah memperlihatkan bahwa suatu lingkungan kerja
yangmenyenangkan sangat penting untuk mendorong tingkat kinerja karyawan
yang paling produktif.Dalam interaksi sehari-hari, antara atasan dan bawahan,
berbagai asumsi dan harapan lain muncul.Ketika atasan dan bawahan membentuk
serangkaian asumsi dan harapan mereka sendiri yang sering agak berbeda,
perbedaan-perbedaan ini yang akhirnya berpengaruh pada tingkat kinerja. Kinerja
adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di
dalammelaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau
kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai
& Basri, 2004).
Rivai dan Basri (2004) menyimpulkan pengertian kinerja karyawan atau
definisi kinerja atau performance sebagai hasil kinerja yang dapat dicapai oleh
seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif, sesuai dengan kewewenangan, tugas dan tanggung
jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral ataupun etika.
Kinerja sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau
kelompok dalam suatu kegiatan organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode tertentu.Fungsi kegiatan atau
pekerjaan yang dimaksud disini ialah pelaksanaan hasil pekerjaan atau kegiatan
seseorng atau kelompok yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya dalam
30
suatu organisasi.Pelaksanaan hasil pekerjaan/prestasi kerja tersebut diarahkan
untuk mencapai tujuan organisasi dalam jangka waktu tertentu.
Kinerja
dalam
menjalankan
fungsinya
tidak
berdiri
sendiri,
tapiberhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh
keterampilan, kemampuan dan sifat-sifat individu. Oleh karena itu, menurut
model partner-lawyer (Donnelly et al, 2003), kinerja individu pada dasarnya
dipengaruhi oleh faktor-faktor: (a) harapan mengenai imbalan (b) dorongan (c)
kemampuan kebutuhan dan sifat (d) persepsi terhadap tugas (e) imbalan internal
dan eksternal (f) persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Dengan
demikian, kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu: (1) kemampuan,
(2) keinginan dan (3) lingkungan.
Aspek-aspek kinerja karyawan dapat dilihat sebagai berikut: a) hasil
kerja, bagaimana seseorang itu mendapatkan sesuatu yang dikerjakannya. b)
kedisiplinan yaitu ketepatan dalam menjalankan tugas, bagaimana seseorang
menyelesikan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan waktu yng dibutuhkan. c)
tanggung jawab dan kerja sama, bagaimana seseorang bisa bekerja dengan baik
walaupun dalam dengan ada dan tidaknya pengawasan. Aspek-aspek diatas
sejalan dengan Prabu Mangkunegara (2010: 67) bahwa kinerja karyawan adalah
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan
dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang di berikan
kepadanya.
31
2.1.8. Penelitian Terdahulu
Penelitian dilakukan oleh Andini (2006) dalam tesisnya yang berjudul
“Analisis
Pengaruh
Keadilan
Gaji/promosi,
Keadilan
kerja,
Komitmen
Organisasional Terhadap Turnover Intention Pada Rumah Sakit Roemani
Semarang”menghasilkan kesimpulan bahwa keadilan gaji, keadilan kerja,
komitmen organisasional mempunyai pengaruh yang negatif terhadap turnover
intentions karyawan. Individu yang merasa diperlakukan adil dalam pekerjaannya
cenderung untuk bertahan dalam organisasi sedangkan individu yang merasa
tidak diperlakukan adil dalam pekerjaannya akan memilih keluar dari organisasi.
Penelitian mengenai dampak turnover intention terhadap kinerja
karyawan dilakukan oleh Muhamad Widodo (2010), dalam penelitiannya yang
berjudul “Analisis Pengaruh Keamanan Kerja dan Komitmen Organisasional
Terhadap Turnover intentions Serta Dampaknya Pada Kinerja di PT PLN Persero
APJ Jogjakarta”.Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa keamanan
kerja dan komitmen organisasional berpengaruh secara negatif dan signifikan
terhadap turnover intention, dan turnover intention sendiri berpengaruh negatif
terhadap kinerja karyawan.
Nasurdin and Khuan (2007) yang meneliti karyawan industri komunikasi
di Malaysia membuktikan bahwa keadilan distributif dan keadilan prosedural
mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
Penelitian lainyang dilakukan oleh Cropanzano& Greenberg (1999)yang
menyatakan bahwa penelitian mengenai keadilan organisasional menyatakan
bahwa keadilan distributif memiliki pengaruh terhadap perasaan keadilan
32
terhadap hasil akhir, yang mempengaruhi kinerja juga, meskipun lebih rendah
daripada keadilan prosedural.Penelitian lain menunjukkan bahwa individu akan
menampilkan tingkat kinerja dantingkat komitmen yang lebih tinggi, peningkatan
kerja dan kepuasan pembayaran, peningkatan tingkat kepercayaan, dan sikap
anggota organisasi ketika mereka merasa bahwa proses pengambilan keputusan
adil, dan mereka diperlakukandengan adil (Rupp dan Cropanzano, 2003).
The Turnover Intentions for Construction Engineers (Shun, 2011) yang
menyatakan bahwa Faktor utama penyebab karyawan memiliki keinginan
berpindah adalah ketidakadilan perusahaan dalam gaji dan promosi serta
komitmen terhadap perusahaan. Mathis dan Jackson (2002) mengidentifikasikan
bahwa keluar masuk (turnover)karyawan berhubungan dengan ketidakadilan
kerja (penerimaan gaji dan kesempatan promosi).
Banyak penelitian yang menemukan adanya hubungan negatif prestasi
kerja terhadap turnover intentions karyawan.Lum (1998) dan Tett & Meyer
(1993) mendefinisikan semakin tinggi tingkat prestasi kerja seseorang, maka
semakin rendah intensitasnya untuk meninggalkan pekerjaannya.Ditambahkan
pula bahwa prestasi kerja berpengaruh terhadap perputaran karyawan. Mereka
yang prestasi kerjanya lebih rendah mudah untuk meninggalkan perusahaan dan
mencari kesempatan di perusahaan lain. Studi lainnya yang dikemukakan Kalbers
dan Fogarty (1995) menunjukkan bahwa prestasi kerja dan turnover
intentionsmempunyai hubungan negatif.
2.2. Pengembangan Hipotesis
33
2.2.1. Keadilan Distributif dan Instrumen Promosi
Keadilan organisasional meliputi presepsi karyawan yang ada di
organisasi tersebut mengenai keadilan dalam organisasi.Keadilan distributif
dalam kinerja organisasi adalah “keyakinan akan keadilan hasil yang diterima
oleh masing-masing karyawan dalam organisasi (Folger dan Cropanzano, 1998).
Menurut Rawls (2005) hal ini didasari oleh teori keadilan (justice theory),
dimanakaryawan mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan yang sama.
Karyawan menggunakan usaha, kemampuan dan pengalaman untuk mendapatkan
pengembalian/penghargaan yang berupa gaji dan promosi.Untuk mengevaluasi
keadilan dalam rasio tersebut, karyawan menggunakan perbandingan sosial.
Mereka membandingkan rasio mereka dengan rasio lainnya, seperti rasio dari
karyawan dari organisasi lain yang memiliki pekerjaan yang sama (Adam, 1965).
Berdasarkan teori justice, perusahaan dikatakan adil apabila karyawan telah
mendapatkan kebahagiaannya. Kebahagiaan dicapai dengan cara mendapatkan
apa yang menjadi kepentingan pribadinya (Rawls, 2005).
Leventhal (1976), menggaris bawahi bahwa teori keseimbangan (equity
theory) meyakini bahwa setiap individu dalam organisasi (karyawan) harus
mendapat penghargaan dari organisasi sesuai dengan proporsi kontribusi yang
telah mereka berikan pada organisasi.Penelitian ini menekankan pentingnya
keadilan
distributif
dalam
perilaku
berorganisasi.Keadilan
distributif
berhubungan dengan jumlah karyawan seperti turnover intention (Colquitt,
2001).
34
Keadilan distributif juga berhubungan dengan instrumen promosi
(Dubinsky dan Levy, 1989).Penelitian Parker et al (2011) menyebutkan terdapat
pengaruh positif signifikan antara keadilan distributif dan isntrumen promosi.
Dubinsky dan Levy (1989), berpendapat jika karyawan merasa bahwa
penghargaan organisasi dijalankan secara adil (keadilan distributif tinggi),
karyawan akan meyakini bahwa organisasi tersebut memiliki instrumen promosi
yang tinggi. Penelitian lainnya juga mencatat jika jejak karir karyawan dalam
suatu organisasi adalah “tetap bertahan atau keluar”, artinya karyawan
mendapatkan promosi atau keluar dari organisasi (Cohen dan Single,
2001).Penelitian keadilan distributif dalam organisasi saat ini memfokuskan
terutama pada persepsi seseorang terhadap adil tidaknya outcome(hasil) yang
mereka terima, yaitu penilaian mereka terhadap kondisi akhir dari proses alokasi
(Cropanzano
&
Greenberg,1999).Keadilan
distributif
meliputi
keadilan
penghargaan terutama yang menyangkut gaji dan promosi yang diterima tiap
karyawan.
: Keadilan distributif berpengaruh positif terhadap instrumen promosi
2.2.2 Instrumen Promosi dan Turnover Intention
Terdapat beberapa keuntungan untuk individu saat aturan pengalokasian
disusun secara jelas. Aturan Pengalokasian kesempatan promosi menjadi penting
karena dalam sebuah perusahaan kesempatan promosi menjadi sangat berharga
bagi karyawan.Dengan aturan pengalokasian tersebut disusun secara jelas, maka
karyawan dapat memprediksi kemungkinan terjadinya promosi jabatan dalam
perusahaan. Atau dengan kata lain, pengalokasian yang jelas dapat menghasilkan
35
individu-individu yang memiliki rasa prediktabilitas yang tinggi (Parker et al,
2011).
Berdasarkan teori justice (Rawls, 2005), setiap karyawan yang ada
didalam perusahaan memiliki hak dan kesempatan yang sama besar untuk bisa
mendapatkan reward (promosi). Ketika sebuah perusahaan melanggar normanorma ini, prediktabilitas promosi dimasa depan menjadi menurun, dan hubungan
antara perilaku dan imbalan karyawan menjadi kacau. Lebih lanjut, pelanggaran
ini mungkin menjadi sinyal kuat bahwa organisasi tidak melindungi hak-hak dari
masing-masing karyawan. Jika karyawan perusahaan saat ini tidak mematuhi
perusahaan, individu dapat meninggalkan perusahaan untuk menemukan
perusahaan yang mungkin tidak akan melanggar aturan yang telah dibuat (Parker
et al, 2011).
Dilain sisi, teori justice menyebutkan bahwa hasrat alami manusia adalah
untuk mencapai kepentingan pribadinya terlebih dahulu lalu mencapai
kepentingan umum.Hasrat pencapaian kepentingan pribadi adalah suatu
kebahagiaan
yang
merupakan
ukuran
pencapaian
keadilan
(Rawls,
2005).Mendapatkan kesempatan promosi dari perusahaan merupakan suatu
bentuk pencapaian yang baik untuk karyawan. Untuk itu, semakin tinggi
kesempatan promosi yang diberikan perusahaan kepada karyawannya, maka akan
menurunkan intensitas turnovernya dan begitu sebaliknya (Parker et al, 2011).
: Instrumen promosi berpengaruh negatif terhadap turnover intention
36
2.2.3 Job Performance Terhadap Hubungan Antara Keadilan Distributif
Dengan Turnover Intention
Penelitian saat ini bertujuan untuk menguji pengaruh langsung antara
instrumen promosi dan turnover intention (H2), dan juga penelitian ini bertujuan
untuk menguji hubungan instrumen promosi dengan kinerja pekerjaan terhadap
turnover intention karyawan. Dengan kata lain, kinerja pekerjaan memoderasi
pengaruh instrumen promosi terhadap turnover intention. Jika karyawan yang
memiliki prestasi kerja yang baik namun hanya menerima instrumen promosi
yang rendah, maka karyawan tersebut akan meninggalkan organisasi karena
mereka merasa prestasi kerja yang baik tidak dihargai oleh organisasi.
Berdasarkan hal tersebut, mereka akan berusaha untuk mencari organisasi yang
akan lebih menghargai kinerja mereka dengan sebuah promosi dibandingkan
dengan karyawan yang memiliki kinerja yang rendah (Parker et al, 2011).
Sejalan dengan penelitian Parker et al (2011), teori equity (Adam, 1965)
menggaris bawahi bila salah satu dasar pengenaan promosi adalah prestasi kerja
atau tingkat kontribusi yang diberikan karyawan terhadap perusahaan. Untuk itu
perusahaan membuka kesempatan yang sama besar bagi karyawan untuk
meningkatkan prestasi kerjanya untuk mendapatkan promosi (Rawls, 2005).
Karena karyawan dapat merasakan keadilan yang diterimanya dalam suatu
perusahaan dengan membandingkan output yang diterima dengan effort yang
telah diberikan ke perusahaan adalah sama (Rawls, 2005). Dengan kata lain,
promosi harus dilakukan berdasarkan pada kontribusi mereka pada organisasi,
dan siapa yang berkontribusi paling besar, maka dia yang memiliki kinerja paling
37
tinggi dalam organisasi. Dengan begitu, karyawan dengan kinerja yang tinggi
akan mendapatkan promosi. Dengan aturan yang seperti itu, maka dianggap adil.
Promosi (kenaikan jabatan) adalah sebuah reward yang disediakan
perusahaan untuk karyawannya yang memiliki prestasi kerja atau kontribusi baik
bagi perusahaan. Menurut teori justice, bahwa siapapun bisa mendapatkan
reward tersebut.Artinya perusahaan memberikan kebebasan yang sebesarbesarnya (Rawls, 2005).Dan dari sisi teori ekuitas, penelitian ini berpendapat
bahwa promosi harus dilakukan berdasar pada kinerja dan atau pada besarnya
tingkat kontribusi yang diberikan karyawan untuk perusahaan. Dengan demikian,
karyawan merasa termotivasi untuk terus meningkatkan kinerjanya dengan
harapan karyawan akan mencapai berbagai outcomes, salah satunya promosi
jabatan yang telah disediakan oleh perusahaan (Vroom, 1964). Dengan itu dapat
dibuat hipotesis:
: Job performance memoderasi hubungan antara instrumen promosi
terhadap turnover intention. Hubungan terbalik antara instrumen
promosi dan turnover intention akan lebih kuat dengan prestasi kerja
yang baik dibandingkan dengan prestasi kerja yang buruk.
2.2.4 Keadilan Distributif dan Job Performance
Keadilan merupakan nilai universal dan menjadi hak asasi yang telah
diterima secara luas.Keadilan dapat diartikan sebagai bentuk yang dinilai atau
dipersepsikan baik oleh anggota dalam organisasi. Sheppard (1998) mengajukan
definisi keadilan yang lebih tepat bagi wacana organisasi yang mendasarkan pada
dua prinsip, yaitu: 1) keadilan memerlukan sebuah penilaian atas keseimbangan
(balance), yakni perbandingan dua kegiatan yang serupa dalam situasi yang
serupa pula, dengan mengevaluasi hasil-hasil dari dua orang atau lebih dan
38
menyamakan hasil tersebut kepada nilai input yang diberikan, 2) kebenaran
(correctness) yang mengacu pada sebuah kualitas yang membuat keputusan
menjadi benar berkaitan dengan aspek-aspek konsistensi, kejelasan, kecermatan
dan kesesuaian dengan moral dan nilai dari waktu.
Keadilan distributif adalah penilaian karyawan mengenai keadilan atas
hasil yang diterima karyawan dari organisasi (Greenberg, 1990; Niehoff and
Moorman, 1993).Keadilan distributif adalah keadilan yang paling sering dinilai
dengan dasar keadilan hasil, yang menyatakan bahwa karyawan seharusnya
menerima upah/gaji/reward lainnya yang sesuai dengan pemasukan dan
pengeluaran mereka secara relatif dengan perbandingan referen/lainnya (Adam,
1965; cohen, 1987).
Tujuan
distribusi
didistribusikan
biasanya
disini
adalah
berhubungan
kesejahteraan
dengan
sehingga
sumber
daya
yang
atau
keuntungan.Keadilan distribusi dalam organisasi dapat menimbulkan kepuasan
yang berujung pada peningkatan prestasi kerja karyawan (Deutsch, 1998).
Semakin baik keadilan distributif dijalankan, maka akan berdampak positif
terhadap job performance. Dengan dijalankannya keadilan distributif secara baik
maka akan memotivasi karyawan untuk terus menghasilkan prestasi kerja
(Vroom, 1964).
Dari kajian teoritikal di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan distributif
adalah merupakan sebuah persepsi tentang nilai-nilai yang diterima oleh
karyawan berdasarkan hasil/penerimaan suatu keadaan atau barang yang mampu
mempengaruhi kesejahteraan karyawan. Karyawan meyakini bahwa apabila
39
keadilan distributif dapat dijalankan dengan adil, maka hal itu akan meningkatkan
prestasi kerja mereka karena perusahaan telah memenuhi kebutuhannya dengan
menjalankan keadilan distributif secara baik (vroom, 1964). Keadilan distributif
pada dasarnya dapat tercapai apabila hasil/penerimaan dan masukan antara dua
orang/dua karyawan adalah sebanding.Apabila dari perbandingan proporsi yang
diterima sebanding, maka ada kemungkinan dikatakan bahwa hal itu adil, dan ini
berdampak pada hasil kerja mereka dan begitu sebaliknya (Supardi, 2008).
: Keadilan distributif berpengaruh positif terhadap prestasi kerja (job
performance)
2.2.5 Job Performance dan Turnover Intention
Prestasi kerja yang baikakan berdampak secara negatif terhadap turnover
intention. Hal itu dikarenakan, karyawan cenderung akan lebih merasa nyaman
bekerja dalam perusahaan yang memotivasi karyawannya untuk menghasilkan
kinerja atau prestasi kerja (Lee dan Mitchell, 1994). Karena jika sebuah
organisasi
tidak
dapat
memotivasi
karyawannya
untuk
meningkatkan
kemampuan, maka pengetahuan dalam organisasi tidak akan dapat dipraktekkan
secara maksimal (Vroom, 1964).
Lee dan Mitchell (1994) turnover terjadi karena, karyawan mungkin
menanggapi “guncangan’ dalam lingkungan kerja yang menyebabkan mereka
untuk berfikir berhenti dari pekerjaan mereka. Secara khusus, Allen dan Griffeth
(1999) mencatat bahwa “guncangan” tersebut bisa terjadi ketika karyawan
menerima feedback yang negatif selama penilaian kinerja formal mereka, yang
dapat menyebabkan niat untuk segera berhenti dari pekerjaan. Selanjutnya,
penilaian prestasi kerja yang negatif mungkin merupakan sebuah sinyal kepada
40
karyawan bahwa mereka tidak mungkin menerima hasil penghargaan dari
organisasi (misalnya kenaikan gaji atau promosi) atau bahwa mereka mungkin
akan dipecat. Hasil yang tidak diinginkan ini dapat menyebabkan mereka berfikir
untuk meninggalkan organisasi daripada keadaan psikologis berpotensi untuk
menyebabkan bahaya.Akhirnya, seperti dicatat oleh Hom dan Griffeth (1995),
untuk memungkinkan karyawan yang berperforma buruk untuk “menyelamatkan
muka” atau untuk menghindari konsekuensi negatif (misalnya tuntutan hukum
atau kompensasi pengangguran), organisasi kadang-kadang “mendorong”
karyawan tersebut untuk berhenti. Keadaan ini bisa menghasilkan dampak
langsung pada keinginan untuk berpindah.
: Prestasi kerja (job performance) berpengaruh negatif terhadap turnover
intention
Dari beberapa ringkasan penjelasan landasan teori, maka model penelitian
dalam penelitian ini diilustrasikan seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah
ini.
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Job
Performance
H4
𝐻4
H5
𝐻4
H3
𝐻
Keadilan
Distributif
𝐻4
Instrumen
Promosi
H1
Direct Effect
41
𝐻
H2
𝐻
Turnover
Intention
Download