BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 Equity Theory (Teori Keseimbangan) Equity theory pertama kali dikembangkan oleh Adam (1965). Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia akan merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi yang diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Elemen-elemen dari teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu elemen input, outcome, comparison, dan equity-in-equity. Yang dimaksud dengan input menurut Wexley dan Yulk (2005) adalah sebagai berikut; input is anything of value that and employee perceives that he contributes to his job (input adalah segala sesuatu yang sangat berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan atau semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Sebagai contoh input adalah pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan, dan lainlain). Outcome is anything of value that the employee perceives he obtain from the job (semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya upah, keuntungan tambahan status simbol, pengenalan kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau ekspresi diri. Sedangkan comparison person dapat diartikan sebagai perasaan seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa juga dengan dirinya sendiri 11 di waktu lampau (the comparison person may be someone in a different organization, or even the person himself in a previous job). 2.1.2. Justice Theory (Teori Keadilan) Teori keadilan merupakan serangkaian keterangan yang satu sama lainnya berkaitan dengan logis dan sistematis yang menjelaskan dasar alasan, ukuran pembenaran, sifat dasar, asal mula mengapa suatu hal dianggap adil. Menurut Rawls (2005) mendefinisikan norma keadilan secara umum tidak menolak hakhak moral individu. Alasannya adalah setiap individu sejak lahir memiliki hak moral untuk diperlakukan sederajat dan diberikan kebebasan dalam bertingkah laku.Keadilan organisasi telah dikenal sebagai salah satu faktor penting bagi keberhasilan organisasi (Cropanzano dan Folger, 1991).Keadilan organisasi menjelaskan persepsi individu atau kelompok terhadap penanganan keadilan yang dicapai dari organisasi dan responnya terhadap perspeksi.Menurut Robbins dan Timothy (2008) setiap pegawai didalam sebuah organisasi dapat merasakan atau membandingkan perasaan untuk diperlakukan secara adil didalam organisasi. Keadilan pada umumnya adalah keadaan atau situasi di mana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita besama. Dengan demikian berarti bahwa keadilan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban.Berbuat adil berarti menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sebaliknya berbuat tidak adil berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia. 12 Keadilan menurut John Rawls adalah kejujuran (justice as fairness) yaitu, ukuran yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang harus digunakan adalah: 1. Prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya. Tiap-tiap orang menerima hak yang sama atas keseluruhan sistem yang paling luas dari kebebasan-kebebasan dasar yang sama sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua orang. 2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling lemah.Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil atas kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yaitu: 1. Prinsip Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas. (equal liberty of principle) 2. Prinsip perbedaan (differences principle) 3. Prinsip persamaan yang adil atas kesempatan.(equal opportunity principle) Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum.Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan.Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini.Namun realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. 13 Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama. 2.1.2.1 Jenis-jenis keadilan organisasional Distributive Justice Distributive justice menaruh perhatian dalamhal pembagian sumber daya secara adil diantaraanggota suatu komunitas. Hal-hal yang menjadi perhatian dalam pembagian yang adil biasanya adalah jumlah barang yang akan di distribusikan, prosedur distribusi, dan pola distribusi yang digunakan. Ada berbagai macam prinsip yang menentukan pendistribusian barang. Menurut Colquitt (2001), Folger& Sheppard (1995), kesetaraan, keadilan, dan kebutuhan merupakan prinsip yang paling umum. Jika kesetaraan dipandang sebagai kriteria yang utama dalam menentukan siapa mendapat apa maka barang-barang akan didistribusikan secara merata diantara semua orang atau dengan kata lain setiap orang akan mendapatkan jumlah yang sama. Walaupun begitu, karena berbedanya tingkat kebutuhan, hal tersebut tidak akan membuahkan hasil yang setara. Menurut Tioe (1997) dalam Gibson (2007)mengungkapkan bahwa distribusi yang berbeda mengakibatkan tujuan sosial yang berbeda. Suatu kelompok sosial akan berfungsi dengan efektif selama kelompok sosial tersebut dapat menjaga keanggotannya, tetap berproduksi secara efektif dan efesien, dan 14 mempertahankan kebahagiaan anggotanya. Prinsip Distributive Justice munculberdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut. Distribusi yang setara diperkirakan akanmemberikan perasaan keanggtoaan yang baku kepada setiap orang. Theory of Justice(Rawls, 2005) mengklaim bahwa tempat kelahiran seseorang, status sosial, dan pengaruh keluarga termasuk dalam hal keberuntungan, yang seharusnya tidak berpengaruh terhadap jumlah keuntungan yang kita terima dalam kehidupan ini.Rawls (2005) menegaskan bahwa tugas dari distributive justiceadalah membatasi pengaruh dari keberuntungan tersebut sehingga barang-barang dapat didistribusikan secara lebih adil dan menguntungkan bagi semua pihak. Sedangkan Gibson (2007) meyakini Distributive Justice adalah suatu masalah dalam penetapan aturanyang semestinya dipatuhi oleh individu dalammemperoleh dan memindahkan sumber daya dan keuntungan. Tujuan Distributive Justice adalahbukan untuk mencapai suatu hasil tertentu dari suatu distribusi, tetapi lebih pada memastikan terjadinya proses pertukaran yang adil. Pihak lainnya berpikir bahwa Distributive Justice pastimerupakan masalah yang berhubungan proses dan hasil. Mereka yakin bahwa proses distribusi pasti adil agar orang merasa bahwa mereka telah menerima hasil yang adil. Sejauh mana Distributive Justice dihubungkan dengan gagasan proses yang adil, maka prinsip DistributiveJustice tidak dapat dipisahkan dengan proseduryang adil (Prosedural justice). Keadilan distributif berhubungan dengan keadilan pengalokasian resources berbeda dengan keadilan prosedural yang fokus pada keadilan terhadap 15 proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain, keadilan distributif mengacu pada sejumlah resource penghargaan yang dibagikan kepada karyawan (Milkovich dan Newman, 2005). Pada perspektif lainnya, Deutsch (1998) mendefenisikan keadilan distributif sebagai keadilan yang dianggap berlaku dalam hal pendistribusian hasil termasuk kondisi dan barang-barang yang berpengaruh terhadap kesejahteraan individu.Umumnya, agenda keadilan distributif terhadap respon individu mengacu pada penanganan pendisitribusian penghargaan dan resourcesoleh organisasi yang tidak adil (Greenberg 2001).Persepsi keadilan distribusi telah mencuatkan perasaan emosional dan perilaku emosional sebagai refleksi yang mengacu pada keputusan kognitif individu.Menurut Greenberg dan Cropanzano (2001), perlakuan tidak adil terhadap individu cenderung menimbulkan sifat dan perilaku negatif dibanding pemberlakuan adil yang dilakukan kepada seseorang. Prosedural Justice Keadilan prosedural fokus pada perhatiankaryawan tentang bagaimana prosedur mengambil keputusan untuk dilaksanakan.Keadilan prosedural tentunya menghasilkan kesepakatan yang kuat bagi organisasi terutama kesepakatan yang dibangun oleh orang-orang yang berpengalaman dalam kelompok maupun organisasi. Gilliland (1994) mengungkapkan ada tiga prosedur menjadi prosedur yang adil : 1. Adanya penekanan dalam hal konsistensi. Prosedur yang adil seharusnya menjadi kunci bahwa kasus-kasus yang serupa di perlakukan dengan sama. Setiap 16 perbedaan yang ada seharusnya lebih menggambarkan aspek-aspek identitas pribadi yang sesungguhnya dari pada ciri tambahan yang tidak ada hubungannya dengan mekanisme pembedaan tersebut. 2. Pihak-pihak yang menjalani prosedur tersebut harus netral dan tidak ada diskriminasi. Agarhasilnya adil dan akurat maka yang harusmenjalankan prsedur tersebut adalah pembuat keputusan yang tidak berprasangka.Pihak-pihak yang yang terlibat seharusnya meyakini bahwa maksud dari pihak penguasa adalah baik, mereka ingin memperlakukan orang-orang dengan adil dan memperhatikan sudut pandang dan kebutuhan dari pihakpihak yang berkepentingan. Jika orang mempercayai pihak ketiga, mereka biasanya akan memandang bahwa proses pengambilan keputusan berjalan dengan adil. 3. Pihak yang terpengaruh oleh keputusan yang diambil harus turut serta dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Dengan mempunyai perwakilan akan memastikan satu dari anggota kelompok dan membangkitkan kepercayaan terhadap sistem pengambilan keputusan. Hal ini menjadi penting, khususnya bagi pihak yang lebih lemah yang pendapatnya jarang di dengar. Gibson (2007)mengungkapkan bahwa proses yang diterapkan mestinya transparan. Keputusan diambil melalui prosedur yang terbuka tanpa ada kerahasiaan atau kecurangan.Banyak yang yakin bahwa prosedural justice tidak cukup. Mencapaihasil yang adil jauh lebih penting dibandingkandengan menerapkan proses yang adil (Gibson, 2007). Namun yang lainnya tetap bersiteguh bahwa selama prosedur yang adil bisa membuahkan hasil yang adil. 17 Interpersonal dan interactional Justice Menurut Bies dan Moag (1986) menyatakan bahwa keadilan interaksional mengacu pada perlakuan interpersonal atau tingkat mengenai keadilan yang dirasakan mengenai bagaimana para karyawan diperlakukan dalam suatu organisasi.Keadilan interaksional lebih bersifat informal jika dibandingkan dengan keadilan prosedural.Keadilan interaksional biasanya mengacu pada tingkat kejujuran, sensitivitas, dan penghormatan yang ditunjukkan selama interaksi.Menurut Materson (2000) menyatakan hal utama yang membedakan antara keadilan prosedural dengan keadilan interaksional adalah presepsi mengenai keadilan dan ketidakadilan, keadilan prosedural berpangkal pada suatu organisasi, sementara kadilan interaksional berpangkal pada personal.Keadilan interaksional mencerminkan perasaan dari para karyawan mengenai seberapa adil mereka diperlakukan oleh atasannya (Blakely, 2005). Penelitian terbaru secara konseptual dan empiris memisahkan dimensi dan membagi keadilan interaksional kedalam dua dimensi konstituen yang dinamakan keadilan informasional dan keadilan interpersonal.Colquitt (2001) menyebutkan bahwa keadilan informasional mengacu kepada penjelasan dan status sosial, semetara keadilan interpersonal mengacu pada pertimbangan penghormatan dan sensitivitas. Menurut Bies dan Moag (1986), Colquitt (2001), Greenberg (1993) dalam penelitian Colquitt (2001) menyebutkan bahwa keadilan interaksional mengacu pada perasaan keadilan dalam pembuatan atau implementasi dari prosedur-prosedur, kadilan interaksional memiliki dua sub bagian, yaitu keadilan 18 interpersonal yang merujuk pada ketulusan dan penghormatan dalam lingkup komunikasi, sementara keadilan informasional berpusat pada penjelasan yang jujur dan memuaskan dalam pengambilan keputusan. Seperti juga dinyatakan oleh Colquitt (2001) bahwa sebuah penelitian meta analisis terbaru mendukung pemisahan keadilan interpersonal dari dimensi keadilan yang lain. Sehingga terdapat empat tipe keadilan yang ada yaitu, kadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal dan keadilan informasional. Informational Justice Greenberg (1993) mengklasifikasikan keadilaninformasi sebagai aspek sosial dari keadilan prosedural.Bies dan Moag (1986) mendeskripsikan keadilan informasi sebagai persepsi apakah pihak yang menentukan keputusan telah memberikan penjelasan mengenai outcomes yang mempengaruhi individu.Karyawan yang menerima keputusan negatif merasa berhak untuk mengetahui mengapa dan bagaimana keputusan tersebut dibuat, sementara pimpinan berkewajiban secara moral untuk memberikan penjelasan yang mendasari keputusan.Ketika itu terjadi, maka karyawan merasa pimpinan telah memenuhi kewajibannya dan memperlakukan mereka dengan respek, walaupun menerima outcome negatif . 2.1.3. Expectancy Theory (Teori Harapan) Teori harapan merupakan teori yang paling baik dipandang menjelaskan motivasi seseorang dalam kehidupan organisasinya. Kuatnya kecenderungan seseorang bertindak dengan cara tertentu bergantung pada kekuatan harapan 19 bahwa tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan pada daya tarik dari hasil itu bagi orang yang bersangkutan (Vroom, 1964). Teori ini memiliki 3 variabel yang mendukungnya daya tarik, hubungan antara prestasi kerja dengan imbalan serta hubungan antara usaha dan prestasi kerja. Daya tarik yaitu sepenting apa hasil atau imbalan yang diperoleh dalam penyelesaian tugasnya. Artinya, sejauh mana hasil yang diperoleh dalam bentuk imbalan memainkan peranan dalam pemuasan kebutuhannya.Prestasi kerja dan imbalan yaitu tingkat keyakinan seseorang tentang hubungan antara pencapaian tingkat prestasi kerjanya dengan pencapaian hasil tertentu. Sedangkan usaha dan prestasi kerja ialah persepsi seseorang tentang kemungkinan bahwa usaha tertentu akan menjurus kepada prestasi kerja. Teori harapan berkata apabila seseorang memiliki keinginan untuk menghasilkan sesuatu pada waktu tertentu tergantung pada tujuan khusus orang yang bersangkutan dan pada persepsi orang tersebut tentang nilai suatu prestasi. Model ekspetasi mendefinisikan bahwa motivasi adalah hasil dari seberapa besar hasrat seseorang terhadap sesuatu dan seberapa besar kemungkinannya dia akan berhasil memperoleh keinginan itu. Modifikasi perilaku adalah perilaku yang bergantung pada apa konskuensinya yang terjadi pada kegiatan demi kegiatan sehingga diperoleh pendekatan yang bervariasi seperti dorongan positif/negatif dan pembentukan prosedur yang dapat menstimulasi.Teori harapan menunjukan hal – hal sebagai berikut: 20 1. Kuatnya motivasi seseorang berprestasi yang tergantung pada pandangannya mengenai seberapa kuat keyakinan dalam dirinya bahwa yang diusahakannya akan dicapai. 2. Jika tujuan tercapai apakah akan diperoleh imbalan yang memuaskan tujuan dan kepentingannya. Kata kunci dari teori harapan ini adalah pemahaman tujuan individual dan kaitan antara usaha dan prestasi kerja, antara prestasi kerja dan imbalan serta antara imbalan dan pencapaian tujuan. Menurut teori ini, hanya karena dapat dipahami kebutuhan apa yang ingin dipuaskan oleh seseorang tidak menjamin bahwa orang yang bersangkutan mempunyai persepsi bahwa prestasi kerja yang tinggi berakibat pada pemuasan berbagai kebutuhannya.Daya tarik teori harapan ini terdapat dalam empat hal: 1. Teori ini menekankan imbalan. Menurut teori ini terdapat keyakinan bahwa imbalan yang diberikan oleh organisasi sejajar dengan apa yang diinginkan oleh pekerja. Dapat dikatakan bahwa teori harapan adalah suatu bentuk hedonisme yang kalkulatif dan psikologis dalam mana motif akhir dari setiap tindakan manusia adalah maksimalisasi kesenangan dan atau minimalisasi penderitaan. 2. Para manajer harus memperhitungkan daya tarik imbalan yang memerlukan pemahaman dan pengetahuan tentang nilai apa yang diberikan oleh pekerja pada imbalan yang diterimanya. 21 3. Teori harapan menekankan perilaku yang diharapkan dari para pekerja. Artinya teori ini menekankan pentingnya keyakinan dalam diri pekerja tentang apa yang diharapkan oleh perusahaan dari dirinya dan bahwa prestasi kerjanya dinilai. 4. Teori ini menyangkut harapan yaitu tidak menekankan apa yang realistik dan rasional namun yang ditekankan adalah harapan pekerja mengenai prestasi kerja, imbalan dan hasil pemuasan tujuan individu akan menentukan tingkat usahanya bukan hasil itu sendiri. Menurut penelitian merumuskan bahwa motivasi dipandang sebagai elemen sentral ketika melalui sebuah proses pembelajaran pada manusia. Jika sebuah organisasi tidak karyawannya,pengetahuan dapat dalam memotivasi sebuah meningkatkan organisasi tidak kemampuan akan dapat dipraktekkan dan dipergunakan secara maksimum. Selain itu di dalam perubahan organisasional, karyawan memiliki ekspektasi mengenai ketidakpastian kejadian masa depan dan menjadi perhatian organisasi untuk memperlakukan karyawan secara adil. Expectancy Theory adalah ekspektasi dimana tindakan yang diberikan akan dihasilkan dalam kinerja tertentu, sesuai dengan instrumen yang diterima dari kinerja untuk mencapai berbagai outcomes (Ferris, 1977). Motivasi mengikuti pelatihan menjadi tujuan dari semua kesuksesan organisasi yang sedang belajar untuk menemukan faktor yang mampu memotivasi karyawan untuk secara terus menerus belajar dan memperoleh keunggulan dari pengetahuan yang di dapat sepanjang hidup. 22 2.1.4. Turnover Intention Model keputusan turnover oleh Mobley (1977) menjelaskan sebelum terjadinya turnover, perilaku yang mendahuluinya adalah adanya niatan/intensitas turnover.Pemikiran tentang intensitas turnover juga sudah diteliti oleh Locke, 1968.Para peneliti di atas menjelaskan bahwa, prediktor terbaik dari turnover adalah intensitas untuk keluar.Selanjutnya, Mobley (1977) mengatakan setidaknya ada dua hal pendorong intensitas yaitu intensitas untuk mencari dan intensitas untuk keluar.Mobley menjelaskan bahwa intensitas untuk mencari dan perilaku untuk mencari secara umum dipahami mendahului intensitas untuk keluar dan turnover.Faktor penentu utama intesitas menurut Mobley adalah keadilan, ketertarikan yang diharapkan terhadap pekerjaan sekarang, dan ketertarikan yang diharapkan pada alternatif pekerjaan atau peluang yang lain. Dukungan empirik muncul dari Hom dan Griffeth (1991) yang menemukan bukti bahwa intesitas keluar atau tetap berada dalam organisasi secara langsung memprediksi perilaku penarikan diri (turnover).Hal yang hampir sama juga dijelaskan (Tett dan Meyer, 1993). Tett dan Meyer menjelaskan pentingnya pemahaman intensitas dalam memprediksi perilaku untuk menjelaskan sikap penarikan diri (turnover).Selanjutnya Jaros et.al, (1993) menjelaskan bahwa terdapat sejumlah faktor yang merupakan anteseden bagi penarikandiri yang disebutnya sebagai kecendrungan penarikan (withdrawal tendency concept) seperti thinking of quitting, search intentions, dan intent to leave or stay. Disisi lain variabel turnover intention digunakan dalam cakupan yang luas meliputi keseluruhan tindakan penarikan diri (with drawal cognitions) yang 23 dilakukan pegawai. Tindakan penarikan dirimenurut Abelson (1987) terdiri atas beberapa komponen yang secara simultan muncul dalam individu berupa adanya niat untuk keluar, keinginan untuk mencari pekerjaan lain, mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat lain, dan adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi.Turnoverintention adalah kecenderungan sikap atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaanya. Lebih lanjut dijelaskan Abelson juga menyatakan bahwa sebagian besar pegawai yang meninggalkan organisasi karena alasan sukarela dapat dikategorikan atas perpindahan kerja sukarela yang dapat dihindarkan (avoidable voluntary turnover) dan perpindahan kerjasukarela yang tidak dapat dihindarkan (unavoidable voluntary turnover).Avoidable voluntary turnover dapat disebabkan karena alasan berupa gaji, kondisi kerja, atasan atau ada organisasi lain yang dirasakan lebih baik, sedangkan unavoidable voluntary turnover dapat disebabkan oleh perubahan jalur karir yang dilakukan oleh perusahaan (PHK) atau faktor keluarga. Keinginan untuk pindah atau turnover intention adalah kecenderungan sikap atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaanya. Untuk itu, turnover intention yang akan diketahui dalam penelitian ini adalah dalam konteks model avoidable voluntary turnover. 24 2.1.5. Keadilan Distributif Keadilan distributif mengarah pada keadilan dari tingkat bawah, yang mencakup masalah penggajian, pelatihan, promosi, maupun pemecatan.Kebijakan-kebijakan ini terus menerus mengalami perubahan karena faktor misi dan prosedur yang diperbaharui.Menurut Bies dan Moag (1986), keadilan distributif dalam psikologi meliputi segala bentuk distribusi di antara anggota kelompok dan pertukaran antar dua orang.Keadilan distributif yang dimaksudkan tidak hanya berasosiasi dengan pemberian, tetapi juga meliputi pembagian, penyaluran, penempatan, dan pertukaran. Keadilan distributif secara konseptual juga berkaitan dengan distribusi keadaan dan barang yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan individu. Kesejahteraan individu yang dimaksudkan meliputi aspek-aspek fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial.Tujuan distribusi di sini adalah kesejahteraan (Yohanes B dan Rani Puspita W, 2005).Keadilan distributif organisasi dapat menimbulkan kepuasan kerja pada karyawan. Dengan pekerjaan yang sama, reward yang sama antara dua orang pada organisasi yang sama maka kepuasan kerja (job satisfication) tercapai. Selain reward yang sesuai dengan pengorbanan juga kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi kerja dan karir mereka, kompensasi yang adil, lingkungan kerja yang kooperatif, serta jaminan kesejahteraan yang baik. Harapan-harapan tersebut kemudian berkembang menjadi tuntutan yang diajukan karyawan terhadap organisasi sebagai sesuatu yang harus dipenuhi.Dengan semakin tingginya tuntutan terhadap organisasi, maka semakin penting peran karyawan 25 terhadap organisasi.Hal ini mempengaruhi keputusannya untuk tetap bergabung dan memajukan organisasi, atau memilih tempat kerja yang lebih menjanjikan (Robbins, 2006). Kebanyakan pengaturan dalam organisasi berupa kesepakatan maupun kontrak yang tertulis maupun tidak tertulis tentang pertukaran hubungan antara atasan (employer) dengan pekerja (employee).Distributive Justice (keadilan distributif) adalah keadilan yang menyangkut alokasi keluaran (outcomes) dan reward pada anggota organisasi. Karyawan menginvestasikan sesuatu kedalam organisasi (misalnya : usaha, keahlian dan kesetiaan) dan organisasi memberikan penghargaan kepada karyawan atas investasi tersebut. Cara lain untuk menyatakan hal ini adalah bahwa organisasi mendistribusikan penghargaan kepada para karyawannya tersebut berdasarkan beberapa skema atau persamaan. Para karyawan membentuk opini yang berkaitan dengan skema pendistribusian apakah penghargaan itu adil atau tidak.Perhatian mengenai keadilan distributif dirasakan adil dari penempatan hasil-hasil atau pemberian penghargaan kepada para anggota organisasi. Ada banyak perbedaan definisi “adil” dalam distribusi pemberian penghargaan.Salah satu definisi tersebut didasarkan atas kepantasan. Karyawan yang bekerja keras atau produktif akan pantas apabila mendapatkan penghargaan terbesar. Hal ini dinamakan merit or equity norm. Definisi lain didasarkan atas dugaan persamaan (equality) yaitu setiap anggota akan mendapatkan bagian yang sama dari penghargaan, tanpa memandang usahanya. Definisi terakhir, keadilan dapat diperoleh berdasarkan atas equity norm yaitu menerima penghargaan sesuai dengan proporsi terhadap 26 kebutuhan (needs) mereka (Gilliland, 1994). Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa definisi adil dalam distribusi yang dimaksudkan di sini adalah didasarkan pada kepantasan, baik pada merit, equality, maupun equity norm. 2.1.6. Instrumen Promosi Di dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas suatu perusahaan, maka peran manajemen sumber daya manusia sangatlah penting.Dalam hal tersebut perusahaan berkewajiban memperhatikan kebutuhan karyawannya baik yang bersifat materil maupun yang bersifat non materil.Wujud dari perhatian, usaha serta dorongan yang dapat dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya, salah satunya adalah dengan melaksanakan promosi jabatan yang objektif dan adil serta penempatan yang tepat.Pelaksanaan promosi jabatan dimaksudkan untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan agar mau bekerja dengan perilaku kerja yang baik sesuai dengan yang dikehendaki oleh perusahaan guna meningkatkan produktivitas kerja perusahaan dan menjamin keberhasilan perusahaan tersebut di dalam mencapai sasarannya. Untuk memperoleh gambaran mengenai promosi jabatan, berikut ini akan dikemukakan definisi-definisi mengenai promosi jabatan menurut beberapa ahli: Arti dari promosi jabatan itu sendiri sebagaimana yang ditulis oleh Siagian (2008) ialah: “Apabila seorang pegawai dipindahkan dari satu pekerjaan kepekerjaan lain yang tanggung jawabnya lebih besar, tingkatannyadalam hierarki jabatan lebih tinggi dan penghasilannya pun lebihbesar pula.” Menurut Hasibuan (2002: 108) bahwa: “Promosi jabatan berarti perpindahan yang memperbesar wewenangdan tanggung jawab ke jabatan yang lebih tinggi di 27 dalam suatuorganisasi yang diikuti dengan kewajiban, hak, status, dan penghasilan yang lebih besar.” Sedangkan menurut Meyer & Allen (1997)yang dikutip oleh Hasibuan (2002: 121): “Promosi adalah suatu perpindahan di dalam suatu organisasi dari suatu posisi ke posisi lainnya yang melibatkan baik peningkatan upah maupun status.” Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa promosi berarti perpindahan dari suatu jabatan ke jabatan lain yang lebih tinggi, wewenang, tanggung jawab serta statusnya semakin besar dan pendapatannya semakin besar yang disertai peningkatan fasilitas lainnya. 2.1.6.1 Dasar pertimbangan Instrumen Promosi Menurut Hasibuan (2002: 109) mengatakan bahwa pedoman yangdigunakan sebagai dasar untuk mempromosikan karyawan adalah sebagai berikut: 1. Pengalaman (senioritas) Pengalaman merupakan pertimbangan promosi berdasarkan pada lamanya pengalaman kerja karyawan.Orang yang terlama bekerja dalam perusahaan mendapat prioritas pertama dalam tindakan promosi. 2. Kecakapan (ability) Kecakapan merupakan pertimbangan promosi berdasarkan penilaian kecakapan. Kecakapan adalah total dari semua keahlian yang diperlukan untuk mencapai hasil yang bisa dipertanggungjawabkan. 28 3. Kombinasi pengalaman dan kecakapan Kombinasi pengalaman dan kecakapan merupakan pertimbangan promosi berdasarkan pada lamanya bekerja dan kecakapan.Pertimbangan promosi adalah berdasarkan lamanya dinas, ijazah pendidikan formal yang dimiliki dan hasil ujian kenaikan golongan. 4. Prestasi kerja Karyawan itu mampu mencapai hasil kerja yang dapat dipertanggungjawabkan kualitas maupun kuantitas dan bekerja samasecara efektif dan efisien. 2.1.7. Job Performance Suatu organisasi perusahaan didirikan karena mempunyai tujuan tertentu yang ingin dan harus dicapai.Dalam mencapai tujuannya setiap organisasi di pengaruhi perilaku organisasi. Salah satu kegiatan yang paling lazim di lakukan dalam organisasi adalah kinerja karyawan, yaitu bagaimana ia melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu pekerjaan atau peranan dalam organisasi. Kinerja karyawan diharapkan mampu menghasilkan mutu pekerjaan yang baik serta jumlah pekerjaan yang sesuai dengan standar.Kinerja yang dicari oleh organisasi dari seorang karyawan tergantung dari kemampuan individu karyawan tersebut.Bagi karyawan baru, kinerja merupakan bukti dari pemahaman mereka terhadap pekerjaan, sedangkan bagi karyawan lama, kinerja merupakan umpan balik terhadap perilaku terhadap mereka. Sementara itu, indikator kinerja karyawan menurut Mathis dan Jakson (2002) adalah meliputi kuantitas output, 29 kualitas output, jangka waktu output, kehadiran di tempat kerja, dan sikap kooperatif. Suatu penelitian telah memperlihatkan bahwa suatu lingkungan kerja yangmenyenangkan sangat penting untuk mendorong tingkat kinerja karyawan yang paling produktif.Dalam interaksi sehari-hari, antara atasan dan bawahan, berbagai asumsi dan harapan lain muncul.Ketika atasan dan bawahan membentuk serangkaian asumsi dan harapan mereka sendiri yang sering agak berbeda, perbedaan-perbedaan ini yang akhirnya berpengaruh pada tingkat kinerja. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalammelaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai & Basri, 2004). Rivai dan Basri (2004) menyimpulkan pengertian kinerja karyawan atau definisi kinerja atau performance sebagai hasil kinerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif, sesuai dengan kewewenangan, tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral ataupun etika. Kinerja sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode tertentu.Fungsi kegiatan atau pekerjaan yang dimaksud disini ialah pelaksanaan hasil pekerjaan atau kegiatan seseorng atau kelompok yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya dalam 30 suatu organisasi.Pelaksanaan hasil pekerjaan/prestasi kerja tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi dalam jangka waktu tertentu. Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri, tapiberhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan dan sifat-sifat individu. Oleh karena itu, menurut model partner-lawyer (Donnelly et al, 2003), kinerja individu pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor: (a) harapan mengenai imbalan (b) dorongan (c) kemampuan kebutuhan dan sifat (d) persepsi terhadap tugas (e) imbalan internal dan eksternal (f) persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Dengan demikian, kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu: (1) kemampuan, (2) keinginan dan (3) lingkungan. Aspek-aspek kinerja karyawan dapat dilihat sebagai berikut: a) hasil kerja, bagaimana seseorang itu mendapatkan sesuatu yang dikerjakannya. b) kedisiplinan yaitu ketepatan dalam menjalankan tugas, bagaimana seseorang menyelesikan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan waktu yng dibutuhkan. c) tanggung jawab dan kerja sama, bagaimana seseorang bisa bekerja dengan baik walaupun dalam dengan ada dan tidaknya pengawasan. Aspek-aspek diatas sejalan dengan Prabu Mangkunegara (2010: 67) bahwa kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang di berikan kepadanya. 31 2.1.8. Penelitian Terdahulu Penelitian dilakukan oleh Andini (2006) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Pengaruh Keadilan Gaji/promosi, Keadilan kerja, Komitmen Organisasional Terhadap Turnover Intention Pada Rumah Sakit Roemani Semarang”menghasilkan kesimpulan bahwa keadilan gaji, keadilan kerja, komitmen organisasional mempunyai pengaruh yang negatif terhadap turnover intentions karyawan. Individu yang merasa diperlakukan adil dalam pekerjaannya cenderung untuk bertahan dalam organisasi sedangkan individu yang merasa tidak diperlakukan adil dalam pekerjaannya akan memilih keluar dari organisasi. Penelitian mengenai dampak turnover intention terhadap kinerja karyawan dilakukan oleh Muhamad Widodo (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Keamanan Kerja dan Komitmen Organisasional Terhadap Turnover intentions Serta Dampaknya Pada Kinerja di PT PLN Persero APJ Jogjakarta”.Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa keamanan kerja dan komitmen organisasional berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap turnover intention, dan turnover intention sendiri berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan. Nasurdin and Khuan (2007) yang meneliti karyawan industri komunikasi di Malaysia membuktikan bahwa keadilan distributif dan keadilan prosedural mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Penelitian lainyang dilakukan oleh Cropanzano& Greenberg (1999)yang menyatakan bahwa penelitian mengenai keadilan organisasional menyatakan bahwa keadilan distributif memiliki pengaruh terhadap perasaan keadilan 32 terhadap hasil akhir, yang mempengaruhi kinerja juga, meskipun lebih rendah daripada keadilan prosedural.Penelitian lain menunjukkan bahwa individu akan menampilkan tingkat kinerja dantingkat komitmen yang lebih tinggi, peningkatan kerja dan kepuasan pembayaran, peningkatan tingkat kepercayaan, dan sikap anggota organisasi ketika mereka merasa bahwa proses pengambilan keputusan adil, dan mereka diperlakukandengan adil (Rupp dan Cropanzano, 2003). The Turnover Intentions for Construction Engineers (Shun, 2011) yang menyatakan bahwa Faktor utama penyebab karyawan memiliki keinginan berpindah adalah ketidakadilan perusahaan dalam gaji dan promosi serta komitmen terhadap perusahaan. Mathis dan Jackson (2002) mengidentifikasikan bahwa keluar masuk (turnover)karyawan berhubungan dengan ketidakadilan kerja (penerimaan gaji dan kesempatan promosi). Banyak penelitian yang menemukan adanya hubungan negatif prestasi kerja terhadap turnover intentions karyawan.Lum (1998) dan Tett & Meyer (1993) mendefinisikan semakin tinggi tingkat prestasi kerja seseorang, maka semakin rendah intensitasnya untuk meninggalkan pekerjaannya.Ditambahkan pula bahwa prestasi kerja berpengaruh terhadap perputaran karyawan. Mereka yang prestasi kerjanya lebih rendah mudah untuk meninggalkan perusahaan dan mencari kesempatan di perusahaan lain. Studi lainnya yang dikemukakan Kalbers dan Fogarty (1995) menunjukkan bahwa prestasi kerja dan turnover intentionsmempunyai hubungan negatif. 2.2. Pengembangan Hipotesis 33 2.2.1. Keadilan Distributif dan Instrumen Promosi Keadilan organisasional meliputi presepsi karyawan yang ada di organisasi tersebut mengenai keadilan dalam organisasi.Keadilan distributif dalam kinerja organisasi adalah “keyakinan akan keadilan hasil yang diterima oleh masing-masing karyawan dalam organisasi (Folger dan Cropanzano, 1998). Menurut Rawls (2005) hal ini didasari oleh teori keadilan (justice theory), dimanakaryawan mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan yang sama. Karyawan menggunakan usaha, kemampuan dan pengalaman untuk mendapatkan pengembalian/penghargaan yang berupa gaji dan promosi.Untuk mengevaluasi keadilan dalam rasio tersebut, karyawan menggunakan perbandingan sosial. Mereka membandingkan rasio mereka dengan rasio lainnya, seperti rasio dari karyawan dari organisasi lain yang memiliki pekerjaan yang sama (Adam, 1965). Berdasarkan teori justice, perusahaan dikatakan adil apabila karyawan telah mendapatkan kebahagiaannya. Kebahagiaan dicapai dengan cara mendapatkan apa yang menjadi kepentingan pribadinya (Rawls, 2005). Leventhal (1976), menggaris bawahi bahwa teori keseimbangan (equity theory) meyakini bahwa setiap individu dalam organisasi (karyawan) harus mendapat penghargaan dari organisasi sesuai dengan proporsi kontribusi yang telah mereka berikan pada organisasi.Penelitian ini menekankan pentingnya keadilan distributif dalam perilaku berorganisasi.Keadilan distributif berhubungan dengan jumlah karyawan seperti turnover intention (Colquitt, 2001). 34 Keadilan distributif juga berhubungan dengan instrumen promosi (Dubinsky dan Levy, 1989).Penelitian Parker et al (2011) menyebutkan terdapat pengaruh positif signifikan antara keadilan distributif dan isntrumen promosi. Dubinsky dan Levy (1989), berpendapat jika karyawan merasa bahwa penghargaan organisasi dijalankan secara adil (keadilan distributif tinggi), karyawan akan meyakini bahwa organisasi tersebut memiliki instrumen promosi yang tinggi. Penelitian lainnya juga mencatat jika jejak karir karyawan dalam suatu organisasi adalah “tetap bertahan atau keluar”, artinya karyawan mendapatkan promosi atau keluar dari organisasi (Cohen dan Single, 2001).Penelitian keadilan distributif dalam organisasi saat ini memfokuskan terutama pada persepsi seseorang terhadap adil tidaknya outcome(hasil) yang mereka terima, yaitu penilaian mereka terhadap kondisi akhir dari proses alokasi (Cropanzano & Greenberg,1999).Keadilan distributif meliputi keadilan penghargaan terutama yang menyangkut gaji dan promosi yang diterima tiap karyawan. : Keadilan distributif berpengaruh positif terhadap instrumen promosi 2.2.2 Instrumen Promosi dan Turnover Intention Terdapat beberapa keuntungan untuk individu saat aturan pengalokasian disusun secara jelas. Aturan Pengalokasian kesempatan promosi menjadi penting karena dalam sebuah perusahaan kesempatan promosi menjadi sangat berharga bagi karyawan.Dengan aturan pengalokasian tersebut disusun secara jelas, maka karyawan dapat memprediksi kemungkinan terjadinya promosi jabatan dalam perusahaan. Atau dengan kata lain, pengalokasian yang jelas dapat menghasilkan 35 individu-individu yang memiliki rasa prediktabilitas yang tinggi (Parker et al, 2011). Berdasarkan teori justice (Rawls, 2005), setiap karyawan yang ada didalam perusahaan memiliki hak dan kesempatan yang sama besar untuk bisa mendapatkan reward (promosi). Ketika sebuah perusahaan melanggar normanorma ini, prediktabilitas promosi dimasa depan menjadi menurun, dan hubungan antara perilaku dan imbalan karyawan menjadi kacau. Lebih lanjut, pelanggaran ini mungkin menjadi sinyal kuat bahwa organisasi tidak melindungi hak-hak dari masing-masing karyawan. Jika karyawan perusahaan saat ini tidak mematuhi perusahaan, individu dapat meninggalkan perusahaan untuk menemukan perusahaan yang mungkin tidak akan melanggar aturan yang telah dibuat (Parker et al, 2011). Dilain sisi, teori justice menyebutkan bahwa hasrat alami manusia adalah untuk mencapai kepentingan pribadinya terlebih dahulu lalu mencapai kepentingan umum.Hasrat pencapaian kepentingan pribadi adalah suatu kebahagiaan yang merupakan ukuran pencapaian keadilan (Rawls, 2005).Mendapatkan kesempatan promosi dari perusahaan merupakan suatu bentuk pencapaian yang baik untuk karyawan. Untuk itu, semakin tinggi kesempatan promosi yang diberikan perusahaan kepada karyawannya, maka akan menurunkan intensitas turnovernya dan begitu sebaliknya (Parker et al, 2011). : Instrumen promosi berpengaruh negatif terhadap turnover intention 36 2.2.3 Job Performance Terhadap Hubungan Antara Keadilan Distributif Dengan Turnover Intention Penelitian saat ini bertujuan untuk menguji pengaruh langsung antara instrumen promosi dan turnover intention (H2), dan juga penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan instrumen promosi dengan kinerja pekerjaan terhadap turnover intention karyawan. Dengan kata lain, kinerja pekerjaan memoderasi pengaruh instrumen promosi terhadap turnover intention. Jika karyawan yang memiliki prestasi kerja yang baik namun hanya menerima instrumen promosi yang rendah, maka karyawan tersebut akan meninggalkan organisasi karena mereka merasa prestasi kerja yang baik tidak dihargai oleh organisasi. Berdasarkan hal tersebut, mereka akan berusaha untuk mencari organisasi yang akan lebih menghargai kinerja mereka dengan sebuah promosi dibandingkan dengan karyawan yang memiliki kinerja yang rendah (Parker et al, 2011). Sejalan dengan penelitian Parker et al (2011), teori equity (Adam, 1965) menggaris bawahi bila salah satu dasar pengenaan promosi adalah prestasi kerja atau tingkat kontribusi yang diberikan karyawan terhadap perusahaan. Untuk itu perusahaan membuka kesempatan yang sama besar bagi karyawan untuk meningkatkan prestasi kerjanya untuk mendapatkan promosi (Rawls, 2005). Karena karyawan dapat merasakan keadilan yang diterimanya dalam suatu perusahaan dengan membandingkan output yang diterima dengan effort yang telah diberikan ke perusahaan adalah sama (Rawls, 2005). Dengan kata lain, promosi harus dilakukan berdasarkan pada kontribusi mereka pada organisasi, dan siapa yang berkontribusi paling besar, maka dia yang memiliki kinerja paling 37 tinggi dalam organisasi. Dengan begitu, karyawan dengan kinerja yang tinggi akan mendapatkan promosi. Dengan aturan yang seperti itu, maka dianggap adil. Promosi (kenaikan jabatan) adalah sebuah reward yang disediakan perusahaan untuk karyawannya yang memiliki prestasi kerja atau kontribusi baik bagi perusahaan. Menurut teori justice, bahwa siapapun bisa mendapatkan reward tersebut.Artinya perusahaan memberikan kebebasan yang sebesarbesarnya (Rawls, 2005).Dan dari sisi teori ekuitas, penelitian ini berpendapat bahwa promosi harus dilakukan berdasar pada kinerja dan atau pada besarnya tingkat kontribusi yang diberikan karyawan untuk perusahaan. Dengan demikian, karyawan merasa termotivasi untuk terus meningkatkan kinerjanya dengan harapan karyawan akan mencapai berbagai outcomes, salah satunya promosi jabatan yang telah disediakan oleh perusahaan (Vroom, 1964). Dengan itu dapat dibuat hipotesis: : Job performance memoderasi hubungan antara instrumen promosi terhadap turnover intention. Hubungan terbalik antara instrumen promosi dan turnover intention akan lebih kuat dengan prestasi kerja yang baik dibandingkan dengan prestasi kerja yang buruk. 2.2.4 Keadilan Distributif dan Job Performance Keadilan merupakan nilai universal dan menjadi hak asasi yang telah diterima secara luas.Keadilan dapat diartikan sebagai bentuk yang dinilai atau dipersepsikan baik oleh anggota dalam organisasi. Sheppard (1998) mengajukan definisi keadilan yang lebih tepat bagi wacana organisasi yang mendasarkan pada dua prinsip, yaitu: 1) keadilan memerlukan sebuah penilaian atas keseimbangan (balance), yakni perbandingan dua kegiatan yang serupa dalam situasi yang serupa pula, dengan mengevaluasi hasil-hasil dari dua orang atau lebih dan 38 menyamakan hasil tersebut kepada nilai input yang diberikan, 2) kebenaran (correctness) yang mengacu pada sebuah kualitas yang membuat keputusan menjadi benar berkaitan dengan aspek-aspek konsistensi, kejelasan, kecermatan dan kesesuaian dengan moral dan nilai dari waktu. Keadilan distributif adalah penilaian karyawan mengenai keadilan atas hasil yang diterima karyawan dari organisasi (Greenberg, 1990; Niehoff and Moorman, 1993).Keadilan distributif adalah keadilan yang paling sering dinilai dengan dasar keadilan hasil, yang menyatakan bahwa karyawan seharusnya menerima upah/gaji/reward lainnya yang sesuai dengan pemasukan dan pengeluaran mereka secara relatif dengan perbandingan referen/lainnya (Adam, 1965; cohen, 1987). Tujuan distribusi didistribusikan biasanya disini adalah berhubungan kesejahteraan dengan sehingga sumber daya yang atau keuntungan.Keadilan distribusi dalam organisasi dapat menimbulkan kepuasan yang berujung pada peningkatan prestasi kerja karyawan (Deutsch, 1998). Semakin baik keadilan distributif dijalankan, maka akan berdampak positif terhadap job performance. Dengan dijalankannya keadilan distributif secara baik maka akan memotivasi karyawan untuk terus menghasilkan prestasi kerja (Vroom, 1964). Dari kajian teoritikal di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan distributif adalah merupakan sebuah persepsi tentang nilai-nilai yang diterima oleh karyawan berdasarkan hasil/penerimaan suatu keadaan atau barang yang mampu mempengaruhi kesejahteraan karyawan. Karyawan meyakini bahwa apabila 39 keadilan distributif dapat dijalankan dengan adil, maka hal itu akan meningkatkan prestasi kerja mereka karena perusahaan telah memenuhi kebutuhannya dengan menjalankan keadilan distributif secara baik (vroom, 1964). Keadilan distributif pada dasarnya dapat tercapai apabila hasil/penerimaan dan masukan antara dua orang/dua karyawan adalah sebanding.Apabila dari perbandingan proporsi yang diterima sebanding, maka ada kemungkinan dikatakan bahwa hal itu adil, dan ini berdampak pada hasil kerja mereka dan begitu sebaliknya (Supardi, 2008). : Keadilan distributif berpengaruh positif terhadap prestasi kerja (job performance) 2.2.5 Job Performance dan Turnover Intention Prestasi kerja yang baikakan berdampak secara negatif terhadap turnover intention. Hal itu dikarenakan, karyawan cenderung akan lebih merasa nyaman bekerja dalam perusahaan yang memotivasi karyawannya untuk menghasilkan kinerja atau prestasi kerja (Lee dan Mitchell, 1994). Karena jika sebuah organisasi tidak dapat memotivasi karyawannya untuk meningkatkan kemampuan, maka pengetahuan dalam organisasi tidak akan dapat dipraktekkan secara maksimal (Vroom, 1964). Lee dan Mitchell (1994) turnover terjadi karena, karyawan mungkin menanggapi “guncangan’ dalam lingkungan kerja yang menyebabkan mereka untuk berfikir berhenti dari pekerjaan mereka. Secara khusus, Allen dan Griffeth (1999) mencatat bahwa “guncangan” tersebut bisa terjadi ketika karyawan menerima feedback yang negatif selama penilaian kinerja formal mereka, yang dapat menyebabkan niat untuk segera berhenti dari pekerjaan. Selanjutnya, penilaian prestasi kerja yang negatif mungkin merupakan sebuah sinyal kepada 40 karyawan bahwa mereka tidak mungkin menerima hasil penghargaan dari organisasi (misalnya kenaikan gaji atau promosi) atau bahwa mereka mungkin akan dipecat. Hasil yang tidak diinginkan ini dapat menyebabkan mereka berfikir untuk meninggalkan organisasi daripada keadaan psikologis berpotensi untuk menyebabkan bahaya.Akhirnya, seperti dicatat oleh Hom dan Griffeth (1995), untuk memungkinkan karyawan yang berperforma buruk untuk “menyelamatkan muka” atau untuk menghindari konsekuensi negatif (misalnya tuntutan hukum atau kompensasi pengangguran), organisasi kadang-kadang “mendorong” karyawan tersebut untuk berhenti. Keadaan ini bisa menghasilkan dampak langsung pada keinginan untuk berpindah. : Prestasi kerja (job performance) berpengaruh negatif terhadap turnover intention Dari beberapa ringkasan penjelasan landasan teori, maka model penelitian dalam penelitian ini diilustrasikan seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini. Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian Job Performance H4 𝐻4 H5 𝐻4 H3 𝐻 Keadilan Distributif 𝐻4 Instrumen Promosi H1 Direct Effect 41 𝐻 H2 𝐻 Turnover Intention