BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner)
Kopi merupakan salah satu tanaman yang termasuk dalam familia Rubiceae
yang banyak dibudidayakan di negara tropis. Jenis kopi yang pertama kali
dibudidayakan di Indonesia adalah kopi arabika (Prastowo et al., 2010). Pada awal
tahun 1700-an, kopi arabika mulai banyak dibudidayakan di Jawa dan menjadi
komoditas perkebunan utama selama sekitar 2 abad selanjutnya. Namun karena adanya
penyakit karat daun yang mengancam perkebunan kopi arabika, maka pada awal abad
19 mulai dibudidayakan kopi robusta. Pada saat ini kopi robusta banyak dibudidayakan
di daerah Jawa dan Sumatera, sedangkan kopi arabika banyak dibudidayakan di daerah
dataran tinggi di Bali, Sulawesi, Sumatera Utara dan beberapa tempat di Jawa Timur
(van Steenis et al., 1987).
2.1.1 Morfologi Kopi
Tanaman kopi merupakan tanaman perdu yang mempunyai tinggi antara 2 sampai
4 meter (van Steenis et al., 1987). Tanaman kopi memiliki perakaran tungang dengan
akar primer yang mampu mencapai kedalaman sekitar 50 cm. Dari akar primer tumbuh
dan berkembang akar lateral dengan pajang sekitar 3 m di permukaan tanah (van Kanten
et al., 2005). Oleh karena itu, tanaman kopi merupakan tanaman yang tahan terhadap
kekeringan seperti halnya tanaman perkebunan yang lain.
Pohon kopi tumbuh dengan dua arah, yaitu batang tanaman yang tumbuh tegak
dan biasa disebut orthotrop serta cabang primer yang tumbuh mendatar dan biasa
disebut cabang plagiotrop. Cabang plagiotrop yang tumbuh horizontal berperan penting
sebagai tempat munculnya bunga dan buah (Pohlan & Janssens, 2010).
10
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
Pada cabang plagiotrop terdapat daun yang tunggal berbentuk oblonguslanseolatus dengan ukuran panjang antara 20 sampai 30 cm dan lebar antara 10 sampai
16 cm pada kopi robusta, sedangkan pada kopi arabika memiliki daun dengan ukuran
yang lebih kecil, panjang sekitar 5 - 18 cm dan lebar antara 2 - 5 cm (van Steenis et al.,
2008). Pangkal daun berbentuk bulat atau berbentuk baji dengan ujung daun yang
meruncing serta memiliki tangkai daun dengan ukuran sekitar 1 cm. Daun kopi
berwarna hijau dengan permukaan daun atas yang mengkilat karena adanya lapisan
epikutikular lilin yang cukup tebal.
Tanaman kopi memiliki bunga majemuk berbentuk kimosa dengan anak payung
kebanyakan berbunga 3 - 5 kuntum sehingga membentuk gubahan semu yang berbunga
banyak. Setiap anak payung terdapat dua daun penumpu yang lancip dengan panjang
sekitar 5 mm (van Steenis et al., 2008). Setiap kuntum bunga berwarna putih dengan
bau yang harum dan berbentuk tabung. Tabung mahkota memiliki panjang sekitar 1,5
cm dengan petala antara 5 - 7 buah. Benang sari muncul di antara petala dengan panjang
sekitar 5 mm. Putik bercabang dua dan menjulang jauh dari benang sari sehingga
mengakibatkan sulitnya serbuk sari jatuh di kepala putik sendiri, sehingga pada
umumnya kopi melakukan penyerbukan silang. Pada umumnya, tanaman kopi mulai
berbunga ketika berumur sekitar 1 sampai 2 tahun. Setelah bunga mekar dan terjadi
penyerbukan, buah kopi akan masak setelah sekitar 6 sampai 11 bulan setelah
pembuahan (Pohlan & Janssens, 2010).
Buah tanaman kopi yang sudah masak biasanya berwana merah, agak kekuningkuningan, atau hitam tergantung spesiesnya. Tanaman kopi memiliki buah bertipe batu
dengan diameter berukuran antara sekitar 15 mm (van Steenis et al., 1987). Buah kopi
terdiri atas dinding buah (perikarpium), dan biji. Dinding buah kopi terdiri dari 3 lapisan
yaitu eksokarp yang menjangat, lapisan daging buah (mesokarp) yang tipis, dan lapisan
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
kulit tanduk (endokarp) yang keras dan berfungsi sebagai pelindung biji (Eira et al.,
2006).
Pada umumnya, satu buah kopi terdiri dari dua biji kopi yang berbentuk elips atau
bulat telur. Biji kopi terdiri dari dua bagian yaitu kulit biji dan endosperma. Kulit biji
merupakan selaput tipis (testa) berwarna hijau yang membalut biji dan dikenal sebagai
silver skin atau kulit ari (Gambar 2.1; Eira et al., 2006). Endosperma merupakan
jaringan yang terpenting dari biji kopi, terdiri atas bagian luar yang keras dan bagian
dalam yang lunak. Endosperma mengelilingi embrio serta banyak mengandung
polisakarida sebagai cadangan makanan. Embrio kopi berukuran sangat kecil yaitu
sekitar 3 – 4 mm yang terdiri dari axis dan kotiledon. Embrio kopi sendiri juga
mengandung cadangan makanan, namun untuk menopang pertumbuhannya, embrio
juga mendapatkan cadangan makanan dari endosperma sebelum kecambah mampu
berfotosintesis (Eira et al., 2006). Setelah biji masak, embrio kopi selanjutnya akan
berkecambah. Perkecambahan biji kopi terjadi secara perlahan, memerlukan waktu 50
sampai 60 hari setelah biji jatuh di atas tanah.
Gambar 2.1 Anatomi dan morfologi biji kopi yang menunjukkan posisi embrio zigotik
pada endosperma dan morfologi embrio zigotik kopi yang tumbuh
setelah 60 hari setelah proses perkecambahan dimulai (Eira et al., 2006).
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
2.1.2 Manfaat Kopi
Kopi merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat mulai dari akar, bata
ng, daun, maupun buahnya. Akar tanaman kopi yang memiliki tekstur khas
banyak dimanfaatkan menjadi benda seni yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti
miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar 2.2.A). Batang tanaman kopi banyak
dimanfaatkan untuk bahan pembuatan arang kayu atapun kayu bakar (Towaha &
Purwanto, 2014). Bonggol batang kayu tertentu juga dapat dimanfaatkan untuk diolah
menjadi berbagai kerajinan seperti meja, kursi, pigura ataupun asbak (Gambar 2.2.B).
Daun kopi juga banyak dimanfaatkan menjadi teh daun kopi (Gambar 2.2.C;
Siringoringo, 2012).
A
B
CC
D
Gambar 2.2 Pemanfaat akar kopi sebagai miniatur pohon (A) (Towaha & Purwanto,
2014), pemanfaat batang kopi sebagai kursi (B) (Towaha & Purwanto,
2014), teh daun kopi (C) (Suardi, 2015), olahan dari biji kopi (D)
(PJScoffea.com).
Bagian tanaman kopi yang memiliki nilai ekonomi paling tinggi adalah biji kopi.
Biji kopi dapat diolah menjadi kopi instant (Ridwansyah, 2003), kopi mix, kopi bubuk,
Decafeinated coffee, kopi non pangan, kopi sangrai (Gambar 2.2.D; Tesavrita
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
&Martaleo, 2013). Biji kopi juga mengandung senyawa kafein dan asam klorogenat
yang bermanfaat bagi kesehatan. Kafein banyak digunakan untuk merangsang kerja
jantung dan meningkatkan stamina, sedangkan asam klorogenat banyak digunakan
untuk antioksidan dan menurunkan kadar asam urat (Lelyana, 2008), serta dalam bidang
pertanian banyak digunakan untuk pengendali hama penggerek buah (Firmansyah et al.,
2012).
2.1.3 Spesies Kopi
Sebagai salah satu famili Rubiceae, jumlah spesies kopi mencapai lebih dari 70
spesies, namun terdapat 2 (dua) spesies utama yang paling banyak diperdagangkan yaitu
Coffea arabica L. (64%) dan C. canephora Pierre ex A. Froehner (35 %) (Pohlan &
Janssens, 2010).
Coffea arabica L. merupakan tanaman perdu yang dapat tumbuh di daerah tropis
maupun sub tropis (25oLU – 24oLS) pada dataran tinggi dengan ketinggian antara 1.200
sampai 2.200 di atas pemukaan laut (dpl) serta tumbuh optimum pada temperatur antara
18 – 22 oC. Kopi arabika mulai berbunga pada umur antara 1 sampai 2 tahun, dan
menjadi buah matang setelah 6 sampai 11 bulan setelah pembuahan. Kopi arabika
termasuk tanaman yang dapat menyerbuk sendiri (Pohlan & Janssens, 2010).
Secara morfologi, buah kopi arabika yang sudah masak akan berwarna merah
dengan berbentuk lonjong (ovoid-ellipsoidal) dengan ukuran panjang 12-18 mm dan
diameter 8 -15 mm (van der Vossen et al., 2000). Di dalam satu buah kopi arabika
biasanya terdiri dari 2 biji. Satu kilogram biji kopi arabika terdapat sekitar 450 biji kopi
per kilogram (Pohlan & Janssens, 2010). Kopi arabika merupakan tanaman tetraploid
(4n=44) yang memiliki cita rasa paling enak dibandingkan dengan jenis kopi yang lain
dengan kadar kafein yang rendah (Pohlan & Janssens, 2010). Namun demikian, kopi
arabika tidak tahan terhadap penyakit busuk daun.
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
Coffea canephora merupakan tanaman perdu yang dapat tumbuh baik di daerah
tropis (15oLU - 12oLS) pada dataran rendah dengan ketinggian sampai 800 dpl serta
tumbuh optimum pada temperatur antara 22 – 30oC. Tanaman kopi tersebut akan mulai
berbunga pada umur antara 1 sampai 2 tahun dan melakukan penyerbukan silang
dengan bantuan angin atau serangga (Pohlan & Janssens, 2010). Tidak seperti kopi
arabika, kopi jenis ini memiliki tangkai putik yang menjulang jauh dengan panjang
sekitar 3 cm (Backer & Bakuizen van den Brink, 1965), sedangkan benang sari
tertancap diantara petala dengan panjang hanya sekiar 5 mm (van Steenis et al., 2008).
Oleh karena itu, sewaktu bunga mekar akan sulit untuk melakukan penyerbukan sendiri
(Pohlan & Janssens, 2010). C. canephora merupakan spesies diploid (2n = 22) yang
memiliki cita rasa yang lebih rendah dibandingkan dengan C. arabica sehingga
memiliki nilai jual yang lebih murah. Namun demikian, C. canephora bersifat tahan
terhadap penyakit busuk daun serta memiliki produktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan C. arabica (Pohlan & Janssens, 2010). Oleh karena itu, C.
canephora banyak dibudidayakan di dataran rendah di Indonesia termasuk di daerah
Jawa Tengah dan sekitarnya. C. canephora memiliki banyak varietas dan yang paling
terkenal adalah Robusta yang banyak dibudidayakan di Indonesia dan varietas Conilon
yang banyak dibudidayakan di Brazil (Pohlan & Janssens, 2010).
Secara morfologi, biji C. canephora berbentuk bulat telur dengan ukuran lebih
pendek dibandingkan dengan C. arabica (C. Arabica dengan panjang 8-16 mm
dibandingkan C. canephora dengan panjang 12-18 mm) dan diameter sekitar 15 – 18
mm (Gambar 2.3; van der Vossen et al., 2000). Biji C. canephora memiliki kadar
kafein yang lebih tinggi dibandingkan dengan C. arabica. Kadar kafein biji C.
canephora mencapai 2.0 – 2.5 %, sedangkan kadar kafein C. Arabica hanya mencapai
1.0 - 1.5 % (Pohlan & Janssens, 2010).
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
Gambar 2.3 Perbandingan biji C. Arabica dengan C. canephora var.robusta yang
menunjukkan kopi arabika memiliki bentuk lebih lonjong dibandingkan
kopi robusta (Ciptaningsih, 2012).
2.2 Budidaya Kopi dan Permasalahannya
2.2.1 Produksi Kopi Dunia dan Indonesia
Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan di dunia termasuk Indonesia.
Setiap tahun, rata-rata produksi kopi dunia mencapai sekitar 8,7 juta ton yang dihasilkan
dari lahan seluas hampir 10 juta Ha (FAO, 2015). Dari total produksi tersebut,
Indonesia menyumbang sekitar 7 % total produksi kopi dunia dengan angka mencapai
700 ribu ton per tahun. Angka tersebut hanya berada di bawah Brasil mencapai 2.9 juta
ton per tahun (33 %) dan Viet Nam mencapai 1.4 juta ton per tahun (16%) (Gambar
2.4; FAO, 2015). Komoditas tersebut menyumbang devisa bagi Indonesia mencapai
lebih dari 1.2 milyar US$ atau hampir mencapai 5 % dari total devisa yang dihasilkan
oleh sektor perkebunan (27 milyar US$) (BPS, 2014). Nilai ekspor biji kopi tersebut
menempatkan kopi sebagai komoditas penyumbang devisa terbesar ke – 3 di bawah
kelapa sawit (17 milyar US$) dan karet (6.9 milyar US$).
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
Produksi (ton)
3750000.
3000000.
2250000.
1500000.
750000.
0.
Brazil
Viet Nam
Indonesia
Colombia
Negara
Gambar 2.4 Nilai produksi kopi rata-rata per tahun dari empat negara pengahasil kopi
terbesar di dunia pada tahun 2010 - 2013 (FAO, 2015).
2.2.2 Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia
Selama 30 tahun terakhir, luas perkebunan kopi di Indonesia menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan. Total luas area perkebunan kopi pada tahun 1980
hanya mencapai sekitar 500 ribu ha, sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi
hampir 1.3 juta ha (FAO, 2015). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai urutan
ke - 2 di dunia setelah Brazil dengan perkebunan kopi seluas 2 juta ha.
Namun demikian, upaya ekstensifikasi yang telah dilakukan dalam budidaya
kopi tersebut kurang diimbangi dengan upaya-upaya intensifikasi budidaya. Hal ini
terbukti dengan masih rendahnya produktivitas kopi yang dimiliki Indonesia. Sejak
tahun 1980, produktivitas kopi di Indonesia tidak pernah meningkat dari tahun ke tahun,
yaitu hanya mampu memproduksi biji kopi sekitar 500 kg untuk setiap hektar lahan per
tahunnya. Angka tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lain
seperti tampak pada (Gambar2.5; FAO, 2015). Negara-negara seperti Malaysia, Viet
Nam, Sierra Leone memiliki produktivitas kopi yang sangat tinggi, mencapai 4 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas kopi di Indonesia.
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
3750.
kg/Ha
3000.
Malaysia
2250.
Viet Nam
1500.
Sierra Leone
750.
Indonesia
0.
1980
1990
2000
2010
2013
Tahun
Gambar 2.5 Produktivitas perkebunan kopi di Indonesia dibandingkan dengan tiga
negara yang memiliki produktivitas kopi terbesar di dunia dalam kurun
waktu tahun 1980 - 2013 (FAO, 2015).
Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas kopi di
Indonesia seperti kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Soemarno, 2011), tata kelola
perkebunan yang masih dilakukan secara tradisional dengan tenaga kerja, modal, dan
teknologi yang terbatas (Rubiyo et al., 2013), maupun teknik budidaya yang masih
dilakukan secara sederhana, seperti penanaman, penaungan, pemangkasan, pemupukan,
pemberantasan hama dan penyakit yang belum optimal (Choiri & Sunartomo, 2008).
Faktor lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas
perkebunan kopi di Indonesia adalah terbatasnya ketersediaan bibit unggul (Santoso &
Raharjo, 2011). Sebagian besar petani di Indonesia khususnya di Jawa Tengah
membudidayakan tanaman kopi robusta dengan menggunakan bibit yang berasal dari
biji (Santoso & Raharjo, 2011). Kopi robusta dikenal sebagai spesies yang melakukan
penyerbukan silang (Pohlan & Janssens, 2010). Menurut Hartati & Sudarsono (2014),
salah satu akibat dari penyerbukan silang adalah meningkatnya kemungkinan
munculnya alel-alel resesif. Jika gen-gen tersebut mengendalikan sifat yang kurang baik
maka akan memungkinkan terjadinya penurunan nilai karakter bibit yang dihasilkan.
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
Oleh karena itu, tanaman induk kopi robusta yang unggul tidak dapat menghasilkan biji
kopi yang seragam sehingga tidak dapat digunakan sebagai benih kopi yang unggul.
Salah satu alternatif yang bias dilakukan untuk menyediakan bibit kopi unggul
dan seragam secara genetik adalah dengan menggunakan teknik vegetatif. Teknik
pembibitan dengan cara vegetatif mampu menghasilkan bibit dengan sifat genetik yang
stabil dan seragam, sama dengan induknya serta lebih cepat berbunga dan berbuah
(Prastowo et al., 2006). Salah satu teknik pembibitan tanaman secara vegetatif yang
praktis dan mudah dilakukan yaitu stek (Gambar 2.6.A; Prastowo et al., 2006). Stek
dilakukan dengan cara menanam cabang yang masih muda pada medium tanam. Setelah
7 bulan tanam, bibit kopi siap untuk ditanam ke lahan (Prastowo et al., 2010). Tingkat
keberhasilan teknik stek untuk produksi bibit kopi juga cukup tinggi, yaitu sekitar 90 %
(Sumirat et al., 2013). Teknik ini mampu menghasilkan bibit dengan cepat, murah dan
mudah serta memiliki sifat genetika yang indentik dengan induknya sehingga akan
dihasilkan bibit yang unggul secara genetik apabila tanaman induk yang digunakan juga
memiliki sifat yang unggul (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, pembibitan
dengan menggunakan stek hanya mampu menghasilkan bibit yang memiliki akar
serabut sehingga mudah roboh serta rentan terhadap kekeringan (Prastowo et al., 2006).
Disamping itu, teknik pembibitan ini tidak dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang
banyak serta akan merusak tanaman induknya.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit unggul
dalam jumlah yang banyak serta memiliki akar tunggang sehingga tanaman lebih tahan
terhadap kekeringan adalah menggunakan teknik okulasi (Gambar 2.6.B). Teknik
okulasi dilakukan dengan menempelkan mata tunas dari pohon induk unggul ke batang
bawah yang berasal dari pembibitan dengan menggunakan biji. Setelah 15 bulan, bibit
yang dihasilkan akan siap ditanam di lahan (Prastowo et al., 2006). Teknik okulasi
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
tergolong murah dan mudah dilakukan. Namun demikian, teknik ini memiliki
kekurangan berupa bibit yang dihasilkan masih terbatas karena merusak tanaman
induknya (Santoso & Raharjo, 2011), serta memerlukan waktu yang relatif lama untuk
menghasilkan bibit siap tanam (15 bulan) (Prastowo et al., 2006).
Alternatif yang tersedia untuk mempersingkat waktu guna menghasilkan bibit
siap tanam adalah dengan menggunakan teknik sambung pucuk (Gambar 2.6.C). Sama
seperti teknik okulasi, teknik sambung pucuk dilakukan dengan cara menyambungkan
cabang yang masih muda pada batang bawah yang berasal dari biji (Prastowo et al.,
2010). Bibit dari hasil sambung pucuk siap di pindah ke lahan setelah bibit dipelihara
selama 6 – 8 bulan atau setengah waktu dari yang dibutuhkan untuk menghasilkan bibit
dengan menggunakan teknik okulasi (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, teknik
sambung pucuk juga masih memiliki keberhasilan yang belum sempurna (90 %)
(Pranowo & Supriadi, 2013), jumlah bibit yang dihasilkan terbatas karena terbatasnya
jumlah pucuk yang disambung serta dapat merusak pohon induknya (Oktavia et al.,
2003). Oleh karena itu, alternatif pembibitan yang dapat digunakan untuk menghasilkan
bibit kopi robusta yang unggul sangat dibutuhkan guna meningkatkan produktivitas
perkebunan kopi di Indonesia.
A
B
C
Gambar 2.6 Perbanyakan kopi secara vegetatif, stek (A) (kopimalabarindoneisa.com,
2016), okulasi (B) (Fikriyadi, 2013), dan sambung pucuk (C)
(kopimalabarindonesia.com, 2016).
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
2.3 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik pada Tanaman Kopi
Salah satu teknik yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam rangka
menghasilkan bibit kopi yang bersifat unggul, memiliki sifat genetik yang seragam,
jumlah yang massal tanpa merusak tanaman indukya serta bibit yang dihasilkan
memiliki akar tunggang sehingga kuat dan tahan terhadap kekeringan adalah dengan
menggunakan teknik embriogenesis somatik (Deo et al., 2010).
Embriogenesis somatik adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara
menginduksi embrio dari sel somatik tanpa adanya fusi gamet dan dilakukan pada
lingkungan yang aseptik (Purnamaningsih, 2002). Teknik tersebut telah berhasil
diaplikasikan untuk produksi bibit berbagai tanaman seperti tanaman Psidium guajava
L. (Rivai et al., 2014), Glycine max L. (Fauziyyah et al., 2012 ), Elaeis guineensis Jacq.
(Sianipar et al., 2001), Shorea pinanga Scheff. (Yelnititis, 2013),lengkeng (Roostika et
al., 2009).
2.3.1 Embriogenesis Somatik Kopi dan Permasalahannnya
Pada umumnya, pembibitan kopi dengan menggunakan teknik embriogenesis
somatik dilakukan dengan 4 tahap, yaitu tahap induksi kalus, induksi embrio,
perkecambahan dan aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002). Tahap induksi kalus
dilakukan dengan cara menanam eksplan daun yang telah disterilkan pada medium
induksi kalus dengan penambahan zat pengatur tumbuh berupa kinetin konsetrasi
rendah yang dikombinasikan dengan auksin konsentrasi tinggi dan dilakukan dalam
kondisi aseptik (Gambar 2.7.A-B; Murni, 2010). Tahapan induksi kalus pada
umumnya dilakukan selama 4 minggu (Sumaryono, 2014). Sampai saat ini, tahapan
induksi kalus kopi telah dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan yang sangat tinggi
(100 %) (Murni, 2010).
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
Tahap selanjutnya setelah berhasil menginduksi kalus embrionik yaitu tahap
induksi embrio. Tahap induksi embrio dilakukan dengan cara mensubkultur kalus ke
dalam medium induksi embrio yang mengandung sitokinin konsentrasi tinggi dan
dikombinasikan dengan auksin konsentrasi rendah serta dilakukan pada kondisi yang
aseptik (Purnamaningsih et al., 2002). Dalam perkembangannya embrio somatik dapat
melalui empat tahap, yaitu mulai dari embrio globular (Gambar 2.7.C), selanjutnya
embrio tahap hati (Gambar 2.7.D), embrio tahap torpedo (Gambar 2.7.E), embrio
tahap pra kotiledon (Gambar 2.7.F), sampai kepada embrio tahap kotiledon (Gambar
2.7.G). Pada tahap ini membutuhan waktu sekitar 8 bulan dengan persentase
keberhasilan yang relatif tinggi yaitu mencapai 75 % (Priyono, 2004).
Gambar 2.7
Tahap Perkembangan Embrio Somatik ; induksi kalus embriogenik (A-B),
induksi embrio globular (C), embrio tahap hati (D), embrio tahap torpedo
(E), pra kotiledon (F), embrio tahap kotiledon (G), pertumbuhan
membentuk tunas dan akar (H) (Afreent et al., 2002a).
Embrio
yang
sudah
terinduksi
selanjutnya
masuk
ke
dalam
tahap
perkecambahan. Tahap perkecambahan merupakan tahapan memunculkan tunas dan
akar yang diakukan pada medium perkecambahan dengan penambahan ZPT dengan
konsentrasi yang sangat rendah bahkan tidak ditambahkan ZPT sama sekali dan
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
dilakukan pada kondisi yang aseptik (Purnamaningsih et al., 2002). Sampai saat ini,
tahap perkecambahan membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk menghasilkan planlet
yang siap untuk diaklimatisasi. Pada tahap ini, telah menunjukan tingkat persentase
keberhasilan yang cukup tinggi yaitu mencapai 75 % (Oktavia et al., 2003).
Tahapan yang paling akhir dari teknik embriogenesis somatik yaitu tahapan
aklimatisasi. Tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dilakukan pada lingkungan baru
yaitu dari kondisi in vitro ke kondisi ex vitro dengan penurunan kelembaban dan
peningkatan intesitas cahaya (Purnamaningsih et al., 2002). Sampai saat ini, tahap
aklimatisasi dilaporkan membutuhkan waktu sekitar 3 bulan dengan persentasi
keberhasilan yang belum maksimal yaitu 90 % (Priyono et al, 2004).
Salah satu kendala dalam aplikasi teknik embriogenesis somatik untuk produksi
bibit kopi adalah perlu ditingkatkannya keberhasilan induksi embrio somatik. Beberapa
cara telah dikembangkan untuk memproduksi bibit kopi yang unggul. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan produksi bibit seperti
dengan menggunakan berbagai jenis eksplan. Eksplan daun telah dicobakan untuk
diinduksi pembentukan embrio somatik seperti yang telah dilaporkan oleh Rezende et al.
(2012);Arimarsetyowati (2011); Lubabali (2014); Ibrahim et al. (2013); Oktavia et al.
(2003); Murni (2010); maupun Ismail et al. (2003). Eksplan yang lain juga telah
dicobakan untuk meningkatkan keberhasilan produksi bibit menggunakan teknik
embriogenesis somatik seperti batang (Priyono,1991), eksplan anther dan polen
(Carneiro, 1999), eksplan axillary bud (Carneiro, 1999; Ismail et al., 2003), eksplan
meristem apikal (Carneiro, 1999; Ismail et al., 2003), eksplan epikotil (Oktavia et al.,
2003), eksplan hipokotil (Oktavia et al., 2003), eksplan akar (Oktavia et al., 2003),
maupun protoplas (Ismail et al., 2003). Namun demikian, di antara semua eksplan yang
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
telah dilaporkan, eksplan daun merupakan eksplan terbaik yang dapat digunakan untuk
pembibitan kopi melalui teknik embriogenesis somatik (Oktavia et al., 2003).
Upaya lain yang telah dilakukan untuk meningkatan keberhasilan aplikasi
embriogenesis somatik untuk produksi bibit kopi adalah dengan menggunakan medium
tanam yang tepat. Sampai saat ini medium tanam yang banyak digunakan untuk
produksi bibit kopi melalui teknik embriogenesis somatik adalah dengan menggunakan
medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) dengan penambahan zat pengatur
tumbuh khususnya indole butyric acid (IBA) dan furfuryl amino purin (kinetin) ke
dalam medium tanam dengan konsentrasi rendah (Yenitasari et al., 2015; Yusnita et al.,
2013; Balakrishnan & Gupta, 2011).
Kendala lain yang dihadapi untuk mengaplikasikan teknik embriogenesis somatik
untuk produksi bibit kopi adalah biaya produksi bibit yang relatif mahal. Biaya produksi
bibit menggunakan teknik embriogenesis somatik dapat mencapai sekitar Rp20.000,00 /
bibit, sedangkan dengan menggunakan teknik konvensional melalui biji dapat
menghemat biaya sampai lima kali lebih murah, atau hanya sekitar Rp4.000,00 / bibit
(Etienne et al., 2010). Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masih sedikitnya
petani kopi di Indonesia yang menggunakan bibit unggul hasil kultur jaringan.
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya biaya produksi bibit kopi melalui
teknik embriogenesis somatik adalah lamanya proses kultur yang dilakukan secara
aseptik pada kondisi in vitro yang dapat mencapai sekitar 12 bulan mulai dari tahap
induksi kalus sampai tahap perkecambahan. Proses kultur pada kondisi in vitro yang
relatif lama tersebut dapat meningkatkan biaya produksi seperti penggunaan tenaga
kerja untuk mensubkultur yang relatif banyak (Savangikar, 2004), penggunaan listrik
yang lebih tinggi, maupun medium tanam yang semakin banyak (Ahloowalia & Prakash,
2004). Resiko lain yang dihadapi dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk kultur
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
in vitro adalah meningkatnya resiko kontaminasi yang mengakibatkan menurunnya
jumlah produksi bibit yang dihasilkan (Ahloowalia & Savangikar, 2004).
2.3.2 Aklimatisasi Embrio Somatik Secara Langsung (Direct Sowing)
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mempersingkat lama waktu
kultur dalam kondisi in vitro adalah dengan menggunakan teknik direct sowing. Teknik
direct sowing merupakan teknik yang dikembangkan untuk mengaklimatisasikan
embrio somatik secara langsung ke lingkungan ex vitro. Teknik ini memiliki kelebihan
di antaranya dapat mengurangi waktu kultur pada kondisi in vitro (Kubota, 2002).
Dengan menggunakan teknik ini, teknik kultur embriogenesis somatik yang pada
umumnya terdiri dari 4 tahap, yaitu induksi kalus, induksi embrio somatik,
perkecambahan dan aklimatisasi, dapat diringkas menjadi 3 tahap dengan cara
menggabungkan tahap aklimatisasi yang dilakukan secara bersamaan dengan tahap
perkecambahan.
Teknik direct sowing sudah mulai banyak dicobakan untuk diaplikasikan dalam
produksi bibit tanaman melalui teknik embriogenesis somatik dengan tingkat
keberhasilan yang bervarisasi. Pada tanaman Theobroma cacao L., embrio somatik
dipelihara secara langsung pada kondisi eksternal selama 2 (dua) bulan. Namun aplikasi
teknik tersebut masih memiliki tingkat keberhasilan yang rendah, yaitu sekitar 10%
(Niemenak et al., 2008). Pada tanaman Magnolia pyramidata embrio somatik yang
berhasil terinduksi kemudian dipelihara pada lingkungan eksternal selama 5 minggu.
Tingkat keberhasil teknik tersebut juga tergolong masih relatif rendah yaitu kurang dari
40 %. Namun demikian, teknik direct sowing mampu mengurangi waktu kultur in vitro
dari 11 minggu menjadi 5 minggu (Merkle et al., 1994). Aplikasi teknik direct sowing
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
untuk produksi bibit pada tanaman Kalopanax septemlobu memiliki tingkat
keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 70 % (Kim et al, 2011).
Pada tanaman kopi arabika, aplikasia teknik direct sowing untuk produksi bibit
memiliki persentase keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 80% (Barry-Etienne
et al., 1999). Pada kopi robusta, persentase keberhasilan teknik direct sowing untuk
produksi bibit masih relatif rendah, yaitu sekitar 50 % (Yenitasari, 2015).
2.4 Fase Perkembangan Embrio Somatik dalam Teknik direct Sowing
Teknik direct sowing pada umumnya dilakukan dengan cara menanam embrio
somatik pada medium tanam ketika embrio somatik memasuki fase perkembangan
tertentu (Ducos et al, 2007). Pada T. cacao, embrio somatik yang telah berada pada fase
kotiledon dapat diaklimatisasi secara langsung ke dalam lingkungan eksternal
(Niemenak et al., 2008). Hal yang sama juga dilakukan pada M. pyramidata, (Merkle et
al., 1994). Namun, pada K. Septemlobu, aklimatisasi baru dapat dilakukan setelah
embrio somatik memasuki fase berkecambah (Kim et al, 2011). Pada kopi arabusta,
aklimatisasi dilakukan pada medium tanam ketika embrio somatik memasuki fase
kotiledon (Barry-Etienne et al., 1999).
Pada kopi robusta, embrio somatik yang dapat diaklimatisasi juga membutuhkan
tingkat kematangan tertentu. Embrio somatik yang di aklimatisasi ke medium tanam
ketika berada pada fase torpedo menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih rendah
(20 %) bila dibandingkan dengan embrio somatik yang ditanam ketika berada pada fase
kotiledon (60 %) (Uno et al., 2003).
Tingkat keberhasilan direct sowing yang berbeda ketika menggunakan embrio
somatik pada fase perkembangan yang berbeda diduga berkaitan erat dengan
kemampuan adaptasi embrio yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan ex vitro.
Menurut Afreen et al. (2002a), meskipun embrio somatik yang berada pada fase torpedo
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
telah berwarna hijau dan memiliki klorofil sehingga siap untuk melakukan fotosintesis,
tetapi kadar klorofil yang dimiliki oleh embrio somatik fase tersebut masih sangat
rendah. Pada fase torpedo, kadar klorofil-a hanya sekitar 80 µg g -1 , sedangkan kadar
klorofil-b hanya 50 µg g -1 . Akibatnya, fotosintesis yang dihasilkan dari klorofil tersebut
tidak mampu menopang pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik (Afreen et al.,
2002a). Sebaliknya, ketika embrio somatik berada pada fase kotiledon telah memiliki
klorofil-a dengan kadar lebih dari dua kali lipat, yaitu sebesar 270 µg g -1 dan kadar
klorofil b mencapai 100 µg g -1 . Dengan tingginya kadar klorofil tersebut, embrio
somatik diduga mampu melakukan fotosintesis yang mampu menopang pertumbuhan
dan perkembangan embrio sehingga tingkat keberhasilan direct sowing menjadi lebih
tinggi. Kadar klorofil yang meningkat juga diamati ketika embrio somatik berada pada
fase perkecambahan dengan kadar klorofil-a mencapai 380 µg g -1 dan kadar klorofil b
mencapai 130 µg g -1 (Afreenet al., 2002a). Oleh karena itu, embrio somatik pada fase
perkecambahan mampu bertahan hidup lebih baik ketika diaklimatisasikan pada
lingkungan ex vitro dibandingkan dengan embrio somatik yang berada pada fase-fase
perkembangan sebelumnya.
Faktor lain yang dilaporkan diduga menjadi penyebab berbedanya tingkat
keberhasilan direct sowing ketika menggunakan embrio pada fase perkembangan yang
berbeda adalah adanya fase perkembangan stomata dan jumlah stomata yang berbeda
pada fase-fase perkembangan tersebut. Pada tahap torpedo, stomata yang teramati
belum berkembang dengan baik, sedangkan embrio somatik fase kotiledon telah
memiliki stomata yang telah sempurna dengan jumlah mencapai sekitar 150 buah
stomata /mm (Afreen et al., 2002a).
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, aplikasi teknik direct sowing untuk
perkecambahan dan aklimatisasi embrio somatik kopi robusta secara langsung terhadap
lingkungan ekstenal juga telah dilaporkan. Embrio somatik yang berada pada fase
kecambah (Gambar 2.8) telah berhasil diaklimatisasikan dengan cara ditanam pada
medium arang sekam dan disiram dengan menggunakan medium makro dan
mikronutrien MS dengan penambahan ZPT Kinetin konsentrasi
dengan IBA konsetrasi
M dikombinasikan
M selama 12 minggu (Yenitasari, 2015). Namun demikian,
tingkat keberhasilan direct sowing tersebut masih relatif rendah, yaitu sekitar 50 %. Uji
pengaruh fase perkembangan embrio terhadap keberhasilan aklimatisasi embrio somatik
kopi robusta sampai ini masih belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, pada
penelitian ini dilakukan uji pengaruh perkebangan embrio terhadap keberhasilan
aklimatisasi melalui teknik direct sowing.
Gambar 2.8 Embrio somatik kopi robusta fase kecambah pada hari pertama
aklimatisasi (Yenitasari, 2015).
Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016
Download