KECERDASAN EMOSIONAL PADA PRIA METROSEKSUAL I.G.A.N.

advertisement
KECERDASAN EMOSIONAL PADA PRIA METROSEKSUAL
I.G.A.N. Swistinawati
Program Sarjana, Universitas Gunadarma
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai kecerdasan
emosional seorang pria metroseksual yang dikenal dengan image nya yang narsis yang
diungkapkan melalui kecintaannya terhadap diri sendiri dan perhatiannya yang focus
terhadap dirinya sendiri. Faktor-faktor yang menybabkan seorang pria metroseksual
memiliki kecerdasan seperti itu dan perkembangan kecerdasan emosional pada pria
metroseksual. Penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif dengan metode
wawancara bebas terpimpin dan observasi sistematik. Penelitian ini menggunakan 1
subjek pria metroseksual dengan pengambilan data wawancara sebanyak 1 kali dan
pengambilan data observasi sebanyak 2 kali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pria metroseksual memiliki kecerdasan emosional yang baik hal ini ditunjukkan dengan
kemampuannya untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri,
mengenali emosi orang lain, membina hubungan dengan orang lain. Faktor yang
menybabkan kecerdasan emosional priametroseksual baik adalah faktor keluarga, faktor
kedewasaan, faktor pekerjaan, faktor kebutuhan akan teman. Proses perkembangan
kecerdasan emosional pada pria metroseksual ini dikaikan dengan keluarganya yang
broken home yang kemudian membawanya kedalam kehidupan mandiri yang akhirnya
membuatnya belajar untuk dapat diterima oleh orang lain karena kebutuhannya untuk
berafiliasi yang akhirnya membentuk kepribadiannya sehingga menjadi pria metroseksual
yang memiliki kecerdasan emosional yang baik.
A. LATAR BELAKANG
Modernisasi telah banyak merubah kehidupan para pria zaman ini.
Penampilan pria yang sebelumnya terlihat sedikit urakan bahkan terkesan tidak dapat
mengatur diri sendiri merupakan image pria yang sudah mulai terkikis akhir-akhir ini,
yang kemudian berubah menjadi sosok pria yang gemar merawat dirinya sendiri
dengan berbagai perawatan wajah dan tubuh.
Sekarang, penampilanlah yang
merupakan pusat perhatian kaum adam yang hidup di kota metropolitan dengan
kehidupan yang mapan. Bahkan perawatan wajah dan tubuh sudah tidak menjadi hal
yang tabu untuk kaum pria zaman sekarang ini karena penampilan adalah salah satu
hal penting yang menjadi perhatian banyak pria akhir-akhir ini, bukan hanya karena
keinginan mereka untuk tampil menawan dan percaya diri di depan kaum perempuan
tetapi juga tuntutan dari pekerjaan yang mereka jalani. Banyaknya wanita yang
bekerja membuat para pria berusaha untuk tampil seimbang dengan penampilan
wanita yang secara alami terlihat rapi dan terawat. Hal ini membuat para pria tidak
segan-segan untuk merawat diri dengan berbagai macam perawatan seperti layaknya
kaum hawa, yang akhirnya membawa mereka dalam sebutan “pria metroseksual”.
Istilah metroseksual ini di blow up ke media massa oleh Mark Simpson, seorang
fashion kolumnis tahun 1994 dalam bukunya yang berjudul “Male Impersonators:
Men Performing Masculinity” yang berarti `a dandyish narcissist in love with not
only himself but also his urban lifestyle', yaitu sosok narsistik dengan penampilan
dandy, yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga gaya hidup
urban. Di Indonesia, berdasarkan hasil tim riset dari MarkPlus&Co bekerja sama
dengan EuroRSCG AdWork!, pria metroseksual ini sudah mencapai 15% dari
populasi pria di Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi Depok), dan
menunjukkan adanya tren yang meningkat. Aktivitas pria metroseksual menjadi
fenomena yang berkembang di masyarakat awam. Masyarakat belum bisa menerima
kecintaan pria metroseksual terhadap dirinya. Pria metroseksual ini ternyata tidak
hanya mapan secara ekonomi namun juga mapan secara mental yang berarti memiliki
intelektualitas tinggi, mampu menguasai keadaan dan bertanggung jawab atas
pekerjaan, persahabatan, dan juga rumah tangga. Bahkan mereka dikatakan memiliki
perasaan yang halus yang dapat mengerti perasaan wanita, lebih setia dan menghargai
wanita. Dari penjelasan di atas tentang pria metroseksual, dapat dikatakan bahwa pria
metroseksual memiliki kecerdasan emosi dilihat dari definisi yang diberikan oleh
Harmoko (2005) bahwa kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk
mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan
dengan orang lain. Selain itu, perilaku menghargai wanita pun dapat di golongkan
sebagai perilaku yang mencerminkan kecerdasan emosional, ini dilihat dari definisi
kecerdasan emosi dari Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui,
menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat,
menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Namun hal ini
sangat berlawanan dengan kenarsisan yang sangat melekat pada diri pria
metroseksual. Narsis yang dimiliki pria metroseksual dikatakan sangat fokus terhadap
dirinya dan penampilan yang melekat pada diri sang pria metroseksual ini.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran kecerdasan emosional seorang pria metroseksual?
2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan seorang pria metroseksual memiliki
kecerdasan emosional seperti itu?
3. Bagaimana proses perkembangan kecerdasan emosional pria metroseksual?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan secara mendalam bagaimana gambaran kecerdasan emosional
pada pria metroseksual.
2. Mendapatkan penjelasan yang mendalam tentang faktor-faktor yang
menyebabkan seorang pria metroseksual memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi atau rendah.
3. Mendapatkan
penjelasan
mendalam
mengenai
proses
perkembangan
kecerdasan emosional pada pria metroseksual.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pria metroseksual yang memiliki
kecerdasan emosional yang baik cenderung mampu mengenali emosi dirinya
sendiri dan orang lain, mengelola emosinya sehingga dapat terungkap dengan
baik, mampu memotivasi dirinya sendiri, mampu membina hubungan dengan
orang lain serta berempati terhadap orang lain di luar dirinya walaupun pria
metroseksual cenderung fokus terhadap dirinya sendiri. Penelitian ini
diharapkan dapat menambah dan melengkapi teori-teori psikologi yang
berkaitan dengan kecerdasan emosional dan pria metroseksual serta dapat
menjadi acuan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian secara tertulis pada manfaat teoritis tersebut diharapkan bisa
memberikan gambaran mengenai kecerdasan emosional pada pria metroseksual
sehingga dapat membantu pria metroseksual untuk mengembangkan kecerdasan
emosionalnya dalam setiap aspek kehidupan. Serta memberikan sumbangsih
terhadap masyarakat untuk tidak melihat pria mteroseksual hanya sebagai pria
yang narsis namun juga sebagai pria yang memiliki kecerdasan emosional yang
baik.
E. LANDASAN TEORI
Kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang
dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan
emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat,
memilah kepuasan dan mengatur suasana hati (dalam Goleman, 1995).
Komponen-komponen kecerdasan emosi yang diungkap oleh Goleman (1995), yaitu :
a.
Mengenali Emosi Diri
Adalah kemampuan seseorang untuk mengenali bagaimana perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosi. Pada tahap
ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul
pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan mencermati perasaan yang
sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan sehingga
tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi
pengambilan keputusan sebuah masalah.
b.
Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan sebuah kemampuan yang dapat membuat
seseorang dapat mengatur emosi dalam dirinya maupun orang lain.
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap
dengan tepat.
c.
Memotivasi Diri
Memotivasi Diri menurut Myers (dalam Goleman, 1995) adalah suatu
kebutuhan atau keinginan yang dapat memberi kekuatan dan mengarahkan
tingkah laku menjadi motivasi. Kemampuan seseorang memotivasi diri
dapat di telusuri melalui hal-hal sebagai berikut :
1) Optimisme
Optimis merupakan sikap menahan seseorang untuk tidak terjerumus
dalam kedaan apatis, keputusasaan, dan depresi pada saat mengalami
kekecewaan dan kesulitan dalam hidup. Optimis merupakan sikap yang
cerdas secara emosional.
2) Harapan
Harapan sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Harapan
merupakan keyakinan adanya kemauan untuk mencapai sasaran yang
telah ditetapkan. Orang yang mempunyai harapan tidak akan menjadi
cemas dan tidak akan bersikap pasrah, seseorang yang mempunyai
harapan memiliki beban stress yang rendah.
3) Flow
Flow merupakan puncak pemanfaatan emosi demi mencapai sasaran
yang ditetapkan. Dalam flow, emosi tidak hanya ditampung dan
disalurkan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga dan
keselarasan dengan tugas yang dihadapi. Ciri khas flow adalah perasaan
kebahagiaan yang spontan.
d.
Mengenali Emosi Orang Lain
Mengenali emosi orang lain berarti kemampuan menangkap sinyal-sinyal
sosial tersembunyi yang mengisyaratkan hal-hal yang dibutuhkan atau
dikehendaki orang lain atau lebih dikenal dengan empati. Empati atau
mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan kesadaran diri. Jika
seseorang terbuka pada emosi sendiri maka dapat dipastikan bahwa
seseorang tersebut akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya
orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat
dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
e.
Membina Hubungan Dengan Orang Lain
Mampu menangani emosi orang lain merupakan inti dari membina
hubungan dengan orang lain yang merupakan salah satu aspek dari
kecerdasan emosi. Dengan landasan ini, keterampilan berhubungan dengan
orang lain akan menjadi semakin matang. Kemampuan seseorang seperti ini
memungkinkan seseorang membentuk suatu hubungan untuk menggerakkan
dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan,
mempengaruhi dan membuat orang lain merasa nyaman.
Menurut Gottman & Declaire (2003) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosi. Antara lain, yaitu :
a.
Keluarga
Goleman (2000) mengatakan kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama
untuk mempelajari emosi. Dalam wadah besar yang akrab ini, individu belajar
bagaimana merasa tentang diri sendiri dan orang lain bereaksi terhadap
perasaan diri, bagaimana memikirkan perasaan yang dimiliki dan pilihan-
pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi. Orang tua yang kecerdasan
emosinya tinggi merupakan keuntungan besar bagi anak. Kecerdasan emosi
orang tua yang tinggi membuatnya memilih tindakan dan pola asuh yang
sesuai bagi anak untuk membantu meningkatkan kecerdasan emosi anak.
b.
Pengalaman
Kecenderungan seseorang untuk bertindak biasanya diawali oleh pengalaman
hidupnya. Cara mempelajari keterampilan emosional dapat diperoleh dari
pengalaman dengan lingkungan sekitar, ketika individu melakukan kontak
sosial dengan orang lain. Adanya hubungan dengan orang lain dapat
mempengaruhi perilaku individu seperti bagaimana menilai orang lain,
bagaimana berkomunikasi dan bagaimana individu dapat menentukan sikap.
c.
Pendidikan Sekolah
Sekolah dapat menjadi salah satu lembaga yang dapat mengajarkan
kecerdasan emosional. Goleman (2000) menyebutkan bahwa sekolah dapat
berperan besar dengan mencantumkan keterampilan emosional dalam
kurikulumnya. Adanya rancangan yang lebih luas dengan mengembangkan
kurikulum pelajaran keterampilan emosional ataupun mempersiapkan guru
yang berkompeten untuk membantu mengajarkan keterampilan emosional.
Metroseksual adalah laki-laki narsis yang cinta setengah mati tak hanya
terhadap dirinya, tapi juga gaya hidup kota besar yang dijalaninya (Simpson dalam
Kartajaya, 2004). Sedangkan menurut Hermawan Kartajaya (2004) metroseksual
adalah laki-laki yang memiliki sifat-sifat tipikal berikut ini. Mereka umumnya hidup
di kota besar, berduit, dengan gaya hidup urban yang royal dan hedonis. Istilah
metroseksual digunakan karena gejala ini terjadi di kota (metro) (Kartajaya, 2004).
Sehingga metroseksual sendiri adalah gaya hidup lelaki yang hidup di kota
metropolitan.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya pria metroseksual
(Kartajaya, 2004) adalah :
a. Emansipasi wanita
Emansipasi wanita menyebabkan banyak wanita bekerja, yang akhirnya
menggeser nilai-nilai “kelaki-lakian” yang ada pada pria. Hal ini disebabkan
karena perempuan membawa masuk kebiasaan mempercantik diri ke dalam
dunia kerja dan norma ini kemudian mempengaruhi kebijakan dunia kerja
yang mulai memasukkan penampilan diri sebagai kriteria dalam penilaian
karyawan. Dan ketika penampilan diri diperhitungkan dalam promosi karier
maka saat itulah pria mulai berpikir ulang untuk memperhatikan penampilan
sehingga muncullah pria-pria metroseksual yang sangat memperhatikan
penampilannya.
b. Wanita sebagai bread-winner
Wanita modern mulai mereposisi dirinya sebagai bread-winner (pencari
nafkah). Hal ini membuat pria mengalami krisis identitas karena peran yang
sejak lama menjadi dasar dalam hubungan sosialnya telah diambil alih.
Namun hal ini tidak membuat kaum pria mengalami disorientasi diri,
sebaliknya kaum pria justru melihat adanya ruang yang luas bagi proses
rekonstruksi identitasnya yang baru sehingga muncullah pria metroseksual.
Namun menurut Simpson (dalam Kartajaya, 2004) penyebab munculnya
pria-pria metroseksual yaitu dikarenakan naiknya gerakan feminisme dan jatuhnya
norma keluarga inti (nuclear family) serta banyaknya wanita yang bekerja membuat
pria tidak berhak mengklaim diri sebagai “pemimpin” dan tidak berhak pula
mengklaim maskulin sehingga mereka mengkonstruksi jati diri mereka menjadi pria
metroseksual.
F. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah
manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas
sebagaimana dilakukan penelitian kualitatif dengan konstruktivismenya. Dalam
penelitian ini menggunakan metode wawancara yaitu dengan menggunakan
wawancara bebas terpimpin dan observasi sistematik.
G. SUBJEK PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan 1 subjek pria metroseksual berusia 25 tahun yang
bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta dan 1 significant other.
H. HASIL PENELITIAN
Gambaran kecerdasan emosional subjek sebagai pria metroseksual dapat
dikemukakan memiliki kecerdasan emosional yang dapat dikatakan baik. Subjek
dapat mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi
orang lain dan mampu membina hubungan dengan orang lain. Seseorang memiliki
kecerdasan emosional yang baik apabila terdapat komponen-komponen kecerdasan
emosional terdapat dalam keseharian seseorang tersebut. Komponen-komponen
kecerdasan menurut Goleman (2000) disini adalah mengenali emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri (meliputi optimisme, harapan dan flow), mengenali emosi
orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Komponen-komponen tersebut
dimunculkan dalam wawancara maupun saat observasi.
Faktor-faktor
yang
menyebabkan
subjek
sebagai
seorang
pria
metroseksual memiliki kecerdasan emosional yang baik dikarenakan pengalaman
hidup yang semasa kecil mengharuskannya hidup mandiri karena perceraian orang
tuanya yang menyebabkan subjek akhirnya menjadi tulang punggung keluarga yang
harus bisa menghidupi keluarga subjek tanpa kehadiran sang ayah. Kegigihan subjek
untuk dapat menghidupi keluarganya membawa subjek untuk dapat mempertahankan
pekerjaannya dan berupaya mencari teman yang dikarenakan kekurangan kasih
sayang yang diakibatkan dari perceraian orang tua subjek. Hal ini sesuai pendapat
Goleman (2000) peran keluarga sangat penting dalam pendidikan emosional,
bagaimana cara orang tua memperlakukan anaknya sejak kecil berakibat mendalam
dan permanen bagi kehidupan emosional anak. Hal ini ternyata terbukti dalam
kehidupan subjek yang memang jauh dari keluarga dan perlakuan orang tua yang
membuatnya dapat hidup secara mandiri. Selain faktor keluarga, faktor sekolah yang
dimunculkan sebagai organisasi kesiswaan pada saat subjek sekolah pun menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan subjek memiliki kecedasan emosional yang baik
Kehidupan subjek yang diawali dengan perceraian orang tua yang akirnya
membawa subjek kepada kehidupan yang mandiri. Proses kecerdasan emosional
subjek diawali oleh adanya kebutuhan akan teman hal ini merupakan salah satu
kebutuhan manusia yang harus dipenuhi seperti yang dikatakan dalam teori Maslow
(1984) ada lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan dan
keselamatan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi
diri. Dari kebutuhan ini subjek belajar untuk dapat diterima dalam masyarakat yang
akhirnya membawa subjek untuk mengikuti kegiatan-kegiatan disekolahnya hingga di
luar sekolah. Hal ini ternyata membawa dampak yang baik terhadap perkembangan
kecerdasan emosional subjek. Selain itu pengaruh lingkungan kerja yang
membiasakannya untuk dapat mengendalikan serta menuntutnya untuk dapat
berkmunikasi dengan orang lain dengan baik pun menjadi salah satu pencetus untuk
memiliki kecerdasan emosional yang baik. Menurut Goleman (2000) cara
mempelajari keterampilan emosional dapat diperoleh dari pengalaman dengan
lingkungan sekitar, ketika individu melakukan kontak sosial dengan orang lain.
Adanya hubungan dengan orang lain dapat mempengaruhi perilaku individu seperti
bagaimana menilai orang lain, bagaimana berkomunikasi dan bagaimana individu
dapat menentukan sikap.
I. SARAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka peneliti dapat memberikan saran
sebagai berikut :
1. Peneliti menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat meneliti tentang motivasi
secara lebih mendalam pada pria metroseksual dalam mencapai kemapanannya.
2. Peneliti menyarankan agar melakukan pendekatan yang baik terhadap subjek pria
metrsoseksual sehingga proses pengambilan data berjalan dengan baik dan subjek
dapat lebih terbuka dalam mengungkap kepribadiannya.
Download