BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Sebagai Penyampaian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Sebagai Penyampaian Pesan Melalui Tanda dan Makna
Komunikasi merupakan proses kegiatan yang penting dalam kehidupan
sehari – hari. Karena komunikasi adalah proses penyampaian pesan ke individu
yang lain. Baik itu bersifat pribadi ataupun bersifat massal (khalayak umum).
Komunikasi merupakan alat untuk menyampaikan ide – ide atau gagasan tertentu
guna mendapatkan respon. Atau pengertian yang lebih mudah dipahami adalah
proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan melalui media (jika
terdapat hambatan ruang dan waktu) dengan harapan terjadi efek yang diinginkan
(kognitif, afektif atau konatif).
Menurut John Fiske dalam bukunya yang berjudul Cultural and
Communication Studies, semua komunikasi melibatkan tanda (signs) dan kode
(codes). Tanda adalah artefak atau tindakan yang merujuk pada sesuatu yang lain
di luar tanda itu sendiri, yakni tanda menandakan konstruk. Kode adalah sistem di
mana tanda – tanda diorganisasikan dan yang menentukan bagaimana tanda –
tanda itu mungkin berhubungan satu sama lain.12
Dalam studi komunikasi, terdapat dua perspektif utama. Yang pertama
bisa disebut dengan proses. Di mana John Fiske melihat komunikasi sebagai
transmisi pesan, seperti halnya pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan
(encode) dan menerjemahkannya (decode) dan dengan bagaimana transmitter
12
John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra, 2006, hal.8
13
menggunakan saluran dan media komunikasi. Ia juga melihat komunikasi sebagai
suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of
mind pribadi yang lain. Perspektif proses cenderung menggunakan ilmu – ilmu
sosial, terutama psikologi dan sosiologi.
Perspektif kedua memandang komunikasi sebagai produksi dan pertukaran
makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan
bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang – orang dalam rangka
memaknai makna, hal ini berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan.
Menurut pandangan ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan
kebudayaan. Perspektif ini cenderung menggunakan linguistik dan subjek seni.
Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini
seringkali disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh
pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio bahkan audiovisual sekalipun
akan dianggap sebagai teks. Karena metode studinya yang utama adalah semiotika
(ilmu tentang tanda dan makna), maka aliran ini disebut sebagai Mahzab
Semiotika.
Bagi semiotika, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui
interaksinya dengan penerima menghasilkan makna. Pengirim yang didefinisikan
sebagai transmitter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan bergeser pada teks
dan bagaimana teks itu “dibaca”. Membaca adalah proses menemukan makna
yang terjadi ketika pembaca berinteraksi dan bernegosiasi dengan teks. Negosiasi
ini terjadi karena pembaca membawa aspek – aspek pengalaman budayanya untuk
berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. 13
Sedangkan menurut Bernard Berelson dan Gary A. Steiner mendefinisikan
komunikasi sebagai berikut : komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan,
emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol – simbol, kata
– kata, gambar, figur, grafik dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah
yang biasanya disebut komunikasi.14
Dari beberapa definisi komunikasi yang telah dipaparkan oleh beberapa
pakar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam berkomunikasi manusia
berupaya menghasilkan persamaan makna pesan yang disampaikan melalui tanda
– tanda komunikasi yang sebelumnya telah disepakati. Melalui pesan iklan, tanda
– tanda yang disajikan dapat ditangkap dan diterima khalayak (media televisi)
yang akhirnya akan dimaknai atau diinterpretasikan. Untuk menangkap tanda dan
makna yang terdapat dalam proses komunikasi yaitu studi semiologi atau yang
lebih popular dengan istilah semiotika.
2.2 Semiotika Sebagai Sebuah Kajian Tentang Tanda
Semiotika merupakan sebuah kajian atau ilmu tentang tanda. Kata
semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti
“tanda”. Semiotika merupakan sebuah studi yang memfokuskan perhatiannya
pada teks, karena semiotika digunakan untuk mencari makna tersembunyi dari
sebuah teks.
13
Ibid, hal. 8 - 11
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung : Remaja Rosdakarya. 2002
hal.62
14
Semiotika merupakan sebuah studi yang juga banyak dipakai untuk
mencari subluminal atau makna tersembunyi dari sebuah teks. Selain itu,
semiotika juga mendiskusikan berbagai jenis tingkatan pemaknaan terhadap
sebuah iklan. Pada fase awal, konsep semiotika terhadap konotasi dan ideologi
sebagai kunci untuk menganalisa dalam struktur. Bahkan berikutnya juga dalam
ketidakjelasan
antara
keterbukaan
dan
ketersembunyian
makna
dalam
periklanan.15
Dalam konteks komunikasi, Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik
dari Swiss sekaligus tokoh semiotik mengemukakan tanda – tanda yang
digunakan dalam proses komunikasi. Dimana tanda (sign) mempunyai dua aspek
penting yaitu : penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (signifier)
adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni
apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan konsep petanda
(signified) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari
bahasa.
Saussure juga mengatakan bahwa tinjauan terhadap “langue” (bahasa
sebagai sistem) harus didahulukan ketimbang “parole” (bahasa sebagai tindak
penuturan/ujaran). Artinya, posisi sistem bahasa secara umum mendahului dan
lebih penting ketimbang seluruh ujaran nyata yang pernah benar – benar
dituturkan.16
Tanda dapat dikatakan kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier)
dengan sebuah ide atau petanda (signified). Seperti yang dijelaskan Saussure
15
16
Terrence A. Shimp. Periklanan dan Promosi, Jakarta : Erlangga. 2003 hal.165 - 166
Richard Harland, Superstrukturalisme. Yogyakarta : Jalasutra. 1987 hal.79
bahwa “tanda sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang, yaitu
bidang penanda untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda untuk
menjelaskan konsep atau tanda.17
Objek
Konteks
Teks
Entitas
Visual / tulisan
Visual / tulisan
Tulisan
Fungsi
Elemen tanda yang
Elemen tanda yang
Tanda linguistic
merepresentasikan objek
memberikan (atau
yang berfungsi
atau produk yang
diberikan) konteks dan
memperjelas dan
diiklankan.
makna pada objek yang
menambahkan
diiklankan.
makna (anchoring).
Elemen
Signifier / signified
Signifier / signified
Signified
Tanda
Tanda semiotik
Tanda semiotik
Tanda linguistik
Tabel 1. Unsur – Unsur Tanda Dalam Iklan18
Tabel di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya iklan adalah sebuah
ajang permainan tanda, yang selalu bermain pada tiga elemen tanda yang satu
dengan yang lainnya saling mendukung. Banyak makna yang digunakan para
pengiklan untuk menarik perhatian khalayak. Iklan memiliki makna yang
kompleks, mulai dari makna yang eksplisit yaitu makna berdasarkan apa yang
tampak (denotatif) serta makna yang lebih mendalam yaitu yang berkaitan dengan
pemahaman – pemahaman ideologi dan kultural (konotatif).19
17
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta :
Jalasutra, hal.257-258
18
Ibid, hal.263
19
Ibid, hal 280
Menurut teori informasi modern, tingginya nilai informasi yang dikandung
oleh suatu tanda tertentu berbanding lurus dengan banyaknya kemungkinan tanda
lain yang tidak dipilih untuk menandakan atau memuat informasi tertentu. Untuk
memahami bahasa secara tepat, kita harus memahami sistem “langue”. Yakni
sistem yang bekerja secara bersamaan dan berada secara implisit di balik setiap
kata yang digunakan.20
Konsep “langue” segera mengantarkan kita pada suatu konsep yang oleh
Saussure disebut “nilai” (value) dan di sini akan saya namakan “diferensiasi” .
Untuk memberi kemudahan dalam menyampaikan maupun merangkap pesan
secara cermat dalam suatu proses komunikasi, maka digunakanlah studi semiotika
sebagai pendekatan ilmu komunikasi. Studi semiotika ini merupakan pendekatan
yang digunakan untuk melihat bagaimana tanda – tanda yang ada dalam
komunikasi tersebut berperan dalam proses komunikasi dan berinteraksi untuk
kemudian menciptakan suatu makna atau pesan.21
John Fiske sendiri menyebutkan “studi semiotik merupakan sebuah
pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana tanda – tanda berperan
dalam teks (komunikasi) dan berinteraksi dengan manusia dengan tujuan untuk
menciptakan makna”.22 Pokok perhatiannya di sini adalah tanda. Studi tentang
tanda dan cara tanda – tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi, dan
mempunyai tiga bidang studi utama :
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda – tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna,
20
Ibid, hal.16
John Fiske, Introduction to Communication Studies, New York : Metheun & Co. Ltd. 1990 hal.2
22
Ibid
21
dan cara tanda – tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.
Tanda itu adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian
manusia yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat
atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia
untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode – kode dan tanda – tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri.23
Sedangkan menurut Yasraf Amir Piliang, sebagai metode kajian,
semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang, seperti
antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, studi media dan studi kultural.
Semiotik sebagai ilmu tentang tanda (the science of sign) mempunyai prinsip,
sistem, aturan dan prosedur – prosedur keilmuan yang khusus dan baku, namun
tidak dapat disejajarkan dengan ilmu alam (natural science). Semiotika bukanlah
ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan dan obyektivitas semacam itu,
melainkan dibangun oleh pengetahuan yang lebih terbuka bagi aneka interpretasi.
Semiotika mengajarkan tentang makna jamak (polysemy) sebagai prinsip dasar,
dan dengan demikian semiotika adalah ranah keilmuan yang jauh lebih dinamis,
lentur dan terbuka bagi berbagai bentuk pembacaan dan interpretasi. Semiotika
pada kenyataannya adalah ilmu yang terbuka bagi berbagai interpretasi, di mana
23
John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra. 2006 hal.60
interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat
kelogisannya : interpretasi yang satu lebih masuk akal dari yang lainnya.24
2. 3 Iklan Sebagai Susunan Tanda dan Makna
Iklan (advertisement) menurut kamus istilah periklanan Indonesia adalah
pesan komunikasi dari produsen atau pemberi jasa kepada calon konsumen di
media yang pemasangannya dilakukan atas pembayaran. Sedangkan periklanan
(advertising) adalah proses pembuatan dan penyampaian pesan yang dibayar dan
disampaikan melalui sarana media massa yang bertujuan membujuk konsumen
untuk melakukan tindakan membeli atau mengubah perilakunya.
Sedangkan menurut Etika Pariwara Indonesia 2005, iklan adalah pesan
komunikasi pemasaran tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu
media, dibiayai oleh pemerakarsa yang dikenal, serta ditujukan pada sebagian atau
seluruh masyarakat. Dan periklanan memiliki definisi berupa seluruh proses yang
meliputi penyiapan perencanaan, pelaksanaan, penyampaian dan umpan balik dari
pesan komunikasi pemasaran.25 Dan jika dilihat dari teori Laswell secara umum
periklanan sebagai kegiatan komunikasi adalah proses penyampaian pesan
mengenai produk atau jasa yang ditawarkan oleh sumber atau komunikator
kepada khalayak sasaran atau komunikan melalui media yang digunakan untuk
menyampaikan pesan dengan harapan dampak yang terjadi dari pesan tersebut
diterima baik secara kognitif, afektif maupun konatif.26
24
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta : Jalasutra. 2008 hal. vii – ix
Djudjun Kusnadi, Modul Etika Periklanan, 2006.
26
Sugihantoro, Modul 8 Marketing & Advertising Media Planning, 2006.
25
Ada beberapa pengertian iklan yang garis besarnya mengarah pada arti
bentuk pesan yang disampaikan, yaitu berupa produk barang ataupun jasa.
Sedangkan periklanan memiliki arti berupa proses dalam penyampaian iklan
(pesan) itu sendiri, dan hampir keseluruhan memiliki definisi yang sama yaitu
bersifat persuasif pesan yang disampaikan. Karena periklanan mengarahkan
konsumen untuk membeli atau menggunakan produk dari barang atau jasa dari
pesan yang disampaikan tersebut.
Implikasi mengenai tanda menurut John Fiske merupakan sesuatu yang
bersifat fisik, bisa dipersepsi indera kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda
itu sendiri dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa
disebut tanda. Menurut Pierce dalam menjelaskan modelnya secara sederhana,
tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa
hal atau kapasitas. Tanda merujuk pada seseorang yakni menciptakan di benak
orang tersebut suatu tanda yang setara atau barangkali suatu tanda yang lebih
berkembang. Tanda yang diciptakan dinamakan interpretan dari tanda pertama.
Tanda itu menunjukkan sesuatu yakni objeknya.
Menurut Pierce dalam Eco, tanda (representamen) ialah sesuatu yang
dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas - batas tertentu. Tanda akan selalu
mengacu (mewakili atau menggantikan) ke sesuatu yang lain, yang disebut obyek
(denotatum). Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak
penerima tanda melalui interpretan. Jadi interpretan adalah pemahaman makna
yang muncul dalam diri penerima tanda. Tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda
bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan
tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Ketiga unsur tersebut dikenal
dengan nama segitiga semiotika.
tanda
interpretant
objek
Gambar 1. Unsur Makna Pierce
Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam
beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni,
menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau
barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang
diciptakannya dinamakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu
menunjukkan sesuatu, yakni objeknya.27
Selanjutnya tanda dibedakan menjadi 3 yaitu ikon, indeks dan simbol.
Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan.
Sedangkan indeks adalah tanda yang ada hubungan kedekatan eksistensi. Dan
simbol adalah tanda yang diakui keberdaannya berdasarkan hukum konvensi.28
Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup
makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan
makna konotatif. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol –
simbol. Simbol mengacu pendapat Spradley adalah objek atau peristiwa apapun
yang menunjuk pada sesuatu.
27
28
John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra. 2006 hal.63
Sumbo Tinarbuko, op.cit, hal.13 – 14
Barthes menciptakan peta tentang tanda bekerja :
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign
( tanda denotatif)
4. Connotative sign
(tanda konotatif)
5. Connotative Signified
(Petanda konotatif)
6. Connotative Sign (tanda konotatif)
Tabel 2. Peta Tanda Barthes29
Dari peta di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari penanda (1)
dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif (4).
Kemudian Barthes menyusun model sistematik untuk menganalisis
negosisasi dan gagasan makna interaktif. Intinya adalah gagasan mengenai dua
tatanan pertandaan (order of significations).30
Gambar 2. Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan
pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.
29
30
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung : Rosdakarya. 2004 hal. 119
John Fiske, op.cit, hal.117
2. 3. 1 Penanda dan Petanda
Menurut Saussure yang seorang ahli lingusitik, tanda merupakan objek
fisik dengan sebuah makna, atau untuk menggunakan istilahnya, sebuah tanda
terdiri atas penanda dan petanda. Penanda adalah citra tanda seperti yang kita
persepsi, seperti tulisan di atas kertas atau suara di udara, sedangkan petanda
adalah konsep mental yang diacukan petanda. Konsep mental ini secara luas sama
pada semua anggota kebudayaan yang sama yang menggunakan bahasa yang
sama.
Penanda – petanda merupakan konsep mental yang kita gunakan untuk
membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga kita bisa memahami realitas
tersebut. Batas – batas di antara kategori yang satu dengan kategori lainnya
bersifat artifisial, bukan bersifat alami, untuk sifat keseluruhan bagiannya.
Petanda dibuat oleh manusia, ditentukan oleh kultur atau subkultur yang dimiliki
manusia tersebut. Petanda merupakan bagian dari sistem linguistik atau semiotik
yang digunakan oleh para anggota kebudayaan tersebut untuk berkomunikasi satu
sama lain. Dengan demikian, maka bidang realitas atau pengalaman yang menjadi
acuan petanda, yakni signikfikasi tanda, ditentukan bukan oleh sifat realitas atau
pengalaman itu, melainkan oleh batas – batas dari petanda yang terkait di dalam
sistem.31
31
John Fiske, op.cit hal.65 – 68
2. 3. 2 Mitos
Bila dalam gambar dua tatanan pertandaan Barthes digambarkan
bagaimana konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, maka
mitos merupakan pemaknaan tataran kedua dari petanda. Mitos merupakan cara
berpikir
dari
suatu
kebudayaan
tentang
sesuatu,
cara
untuk
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos
sebagai mata rantai dari konsep – konsep terkait. Barthes menggunakan mitos
sebagai seorang yang percaya, dalam artiannya yang orisinil. Mitos adalah cerita
yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa
aspek dari realitas atau alam. Mitos primitive berkenaan dengan hidup, mati,
manusia dan dewa, baik dan buruk. Mitos yang lebih modern adalah tentang
maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang
ilmu.32
Cara kerja mitos dalam mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu
yang biasa disebut sistem komunikasi, karena mitos ini merupakan sebuah pesan.
Mitos tidak dapat digambarkan melalui objek pesannya, melainkan melalui cara
pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya
ditekstualisasikan.
Menurut Williamson, teori semiotika iklan menganut prisnsip peminjaman
tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Menurut ahli semiotika iklan, seperti
Gillian Dyer, Torben Vestergaard atau Judith Williamson, dapat dilihat bahwa ada
dimensi – dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara
32
John Fiske, op.cit.121
semiotik dari obyek – obyek seni pada umumnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu
berisikan unsur – unsur tanda berupa obyek (object) yang diiklankan, konteks
(context) berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan
makna pada obyek, serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna
(anchoring). Pada iklan televisi, unsur tanda ini ditambah lagi oleh unsur bunyi
(sound) dan bahasa ucapan (speech).33
Pada dasarnya produk yang akan diiklankan tidak memiliki makna tetapi
kemudian agar produk memiliki nilai dalam benak konsumen, maka digunakanlah
tanda – tanda periklanan yang berupa tanda – tanda non verbal seperti kata – kata,
warna atau gambar.34 Dan Frank Jefkins berpendapat bahwa “salah satu cara
menyampaikan pesan secara cepat dan tepat adalah dengan menggunakan lagu –
lagu (jingle) atau slogan – slogan yang singkat dan menarik. Selain itu juga dapat
menggunakan teknik lainnya yaitu melengkapi iklan dengan gambar – gambar
visual yang unik dan mampu menarik perhatian khalayak.35
2. 4 Ideologi Dalam Iklan
Istilah ideologi diperkenalkan oleh Destutt de Tracy, yang menurutnya
ideologi terdapat unsur teoritis dan unsur praktis dan terdapat pula program kerja.
Dengan demikian ideologi diartikan sebagai sistem pemikiran yang menyeluruh
dan bercita – cita menjelaskan wajah dunia sekaligus mengubahnya. Penjelasan
yang lebih luas dapat diartikan bahwa ideologi sebagai keseluruhan prinsip atau
33
Sumbo Tinarbuko, op.cit, hal. xii
Judith Wiliamson, Decoding Advertisement : Ideology and Meaning in Advertising, London :
Maria Boyars Publisher Ltd. 1985, hal.31
35
Frank Jefkins, Periklanan, Jakarta : Erlangga. 1997, hal. 28
34
norma yang berlaku di dalam suatu masyarakat yang meliputi beberapa aspek,
seperti sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Beberapa ideologi yang
muncul di dunia ini dan sangat berpengaruh bagi masyarakat, serta menjadi
semacam gagasan antara lain adalah individualisme, liberalisme, kapitalisme dan
juga ideologi yang berada di wilayah negara tertentu.
Ideologi memiliki semacam perangkat unsur – unsur dan dijelaskan oleh
Riberu sebagai berikut :
1. Di dalam ideologi termuat pandangan – pandangan : antropologi,
sosiologi, politik secara komprehensif tentang manusia serta alam semesta
tempat manusia itu hidup.
2. Terdapat rencana penataan kehidupan sosial dan kehidupan politik, yang
kadangkala menuntut adanya perubahan dan perombakan.
3. Ada usaha mengarah masyarakat utnuk menerima secara yakin gagasan
itu.
4. Ideologi diarahkan untuk menjangkau lapisan masyarakat seluas mungkin.
Dari
penjelasan tentang ideologi tersebut, pengertian ideologi dapat
diperluas untuk dikaji atau dihubungkan dengan beberapa teori budaya, teks,
strata sosial atau masyarakat tentang masalah gender, kekuatan kelas atau
kelompok.36
Tayangan iklan baik di media cetak maupun di media elektronik, sangat
menarik untuk dikaji. Iklan, sebagai salah satu bentuk media budaya, memiliki
beberapa fungsi yang mirip dengan fungsi mitos, yaitu adanya keinginan atau
36
T. Christomy & Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Depok. 2004, hal.194 - 195
tujuan tertentu pada masyarakat pendukungnya, dan karenanya mencoba
melegitimasi melalui suatu cerita yang membawa pesan tertentu dengan tokoh
yang sentral dan dianggap superhero. Seperti halnya dengan mitos, iklan sering
menampilkan putusan – putusan sosial yang bersifat kontradiktif, munculnya
model yang menampilkan identitas tertentu dan berada pada tataran norma –
norma sosial.
Iklan dipakai oleh masyarakat industri untuk memasarkan produksi yang
dihasilkannya. Dalam kaitannya dengan hal itu, iklan harus diartikan sebagai
sebuah dunia yang penuh imajinasi, retorika, penuh slogan dan semuanya itu
dirangkai dengan rasa artistik, estetis, melalui riset – riset psikologis dan yang
terutama adalah strategi pemasaran. Dibalik semuanya, iklan mengungkapkan dan
memperkuat dominasi imajinasi kedudukan subjek (tokoh) yang berlatar gender,
posisi laki – laki dan perempuan. Contohnya adalah iklan sabun Lux yang
menggunakan model Luna Maya. Di dalam iklan tersebut, imajinasi dibangun
oleh transformasi tentang perempuan cantik yang menggunakan sabun cair.
Sebuah perubahan identitas perempuan akan terjadi apabila ia menggunakan
sabun tersebut dan ia akan semakin cantik dan terkenal seperti tokoh iklan itu
(Luna Maya). Hingga pada akhirnya ketika si tokoh iklan (Luna Maya)
tersandung masalah, pihak pengiklan tidak lagi menggunakan tokoh tersebut, agar
pencitraan sabun Lux yang terkenal dan glamour tersebut tidak hilang dibenak
konsumen.
Media budaya yang hadir di tengah masyarakat industri dan masyarakat
kontemporer, akan bertemu dengan ideologi. Ideologi di sini dapat memberikan
semacam pesan, nilai – nilai budaya, moral, ekonomis dan nilai lainnya ke dalam
media budaya melalui media budaya teks. Media budaya yang berada pada media
cetak (iklan surat kabar, majalah) dan media elektronik (televisi, radio, film dan
sebagainya) memiliki implikasi ideologis. Implikasi ideologis itu dimunculkan
oleh media budaya melalui suara, figure atau tokoh dan perilaku yang terekam
dalam teks media budaya. Media budaya yang memiliki teks yang mengandung
pesan, terkandung baik secara tersurat maupun tersirat pesan – pesan ideologis.37
2. 5 Representasi Metroseksual Dalam Iklan
Representasi sendiri memiliki arti sebuah paparan atau gambaran tentang
sesuatu. Representasi juga merupakan salah satu upaya untuk merepresentasikan
dan memahami suatu pesan isi media. Representasi merupakan salah satu hal yang
dapat diarahkan untuk menggali lebih dalam isi dari sebuah konstruksi medium
dengan menggunakan kerangka pemikiran teori – teori ilmu sosial kritis.
Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan
melalui sistem penandaan yang tersedia di berbagai konsep. Secara ringkas,
representasi adalah produksi makna melalui bahasa.
Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan
pada benda yang digambarkan. Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi
harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Hall
menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan
37
Ibid, hal.195 - 197
tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka
dikreasi atau dicipta.38
Ada 3 elemen yang terlibat dalam representasi :
1. Sesuatu yang direpresentasikan (disebut sebagai objek).
2. Representasi itu sendiri (disebut sebagai tanda).
3. Seperangkat aturan yang menentukan hubungan tanda dengan
pokok persoalan (disebut coding) yang berfungsi sebagai pembatas
makna – makna yang mungkin muncul dalam proses interpretasi
tanda.
Representasi dalam iklan televisi memiliki kajian yang cukup kompleks.
Dalam analisis televisi, iklan televisi atau yang biasa disebut juga sebagai
television commercial (tvc) memiliki karakter khusus yang berbeda dengan
produk televisi lainnya. Dalam taraf tertentu, iklan televisi tidak bisa dipandang
seperti program – program lain. Karena tujuannya untuk membujuk dan karena
iklan merupakan titik persinggungan antara kepentingan komersial dan khalayak
sebagai konsumen barang dan jasa.
Dalam proses transmisi budaya, iklan merupakan proses pembentukan
(bahkan pengubahan) citra. Iklan memerlukan visualisasi dan citraan sebagai alat
untuk memudahkan penggambaran tema, kondisi, situasi dan cita – cita yang
diharapkan pengiklan. Agar semakin bisa menempatkan diri pada khalayak secara
luas, wujud representasi di dalam iklan telah membenturkan dirinya pada berbagai
macam unsur – unsur kemasyarakatan, seperti unsur sosial budaya, ekonomi,
38
Yolagani, Representasi dan media oleh Stuart Hall, www.yolagani.wordpress.com
politik, religi dan lain sebagainya yang telah menjadi bahan eksploitasi bagi
pembentukan representasi itu sendiri. Dengan memanfaatkan unsur – unsur
tersebut wujud representasi akan semakin mudah diterima dan dicerna oleh
masyarakat.
Salah satunya yang sedang menjadi trend di masyarakat 10 tahun
belakangan ini adalah fenomena representasi dari perubahan sosial yang bernama
metroseksual yang terjadi pada gaya hidup pria metropolitan. Metroseksual
sendiri memiliki pengertian secara etimologi dari kata Yunani, yaitu metropolis
artinya ibu kota plus seksual. Definisinya adalah sosok narsistik dengan
penampilan dandy (pesolek), yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri,
tetapi juga gaya hidup urban.
2.5.1 Sejarah Metroseksual
Istilah metroseksual diperkenalkan oleh Mark Simpson, seorang
kolomnis fashion Inggris, dalam bukunya, Male Impersonators : Men Performing
Masculinity, pada 1994 untuk menggambarkan kelompok anak muda berkocek
tebal yang hidup di kota besar (metropolis) atau di sekitarnya, sangat menyayangi
bahkan cenderung memuja diri sendiri (narcisstic), serta sangat tertarik pada
fashion dan perawatan tubuhnya. Kulit mereka mulus, lembut dan harum.
Simpson menyebut dendi adalah gaya kaum bangsawan abad ke – 18, meski sama
– sama rapi, harum dan gemar berlama – lama di depan cermin, gaya busana para
dendi cenderung konservatif dan mengikuti pakem, sementara kaum metroseksual
justru dicirikan dengan keberaniannya mendobrak aturan dan bereksperimen
dengan fashion. Jika menilai dari penampilan luarnya orang mungkin akan
mengira bahwa mereka adalah kalangan gay (homoseksual), namun pria dalam
kategori ini tidak harus kalangan homoseksual meskipun mereka tidak berpretensi
macho, ini bukan sekedar urusan preferensi seksual. Pria tersebut bisa saja
straight – heteroseksual, namun menempatkan dirinya sendiri sebagai obyek
cintanya sendiri.39
Namun, mereka adalah pekerja cerdas yang penuh percaya diri serta
sangat peduli pada keluarganya dan teman – temannya. Kaum metroseksual
adalah suami yang tak ragu menggandeng dan mencium istrinya di muka umum,
ayah yang tubuhnya selalu segar dan wangi, gemar merangkul anak – anaknya,
sama – sama belanja di mal dan menonton film, bukan figur ayah yang gagah,
yang kulitnya berminyak dan tubuhnya beraroma tembakau dan keringat.
Contohnya seperti artis papan atas Ferry Salim dan Jeremy Thomas.40 Fenomena
metroseksual ini tidak sekedar menghasilkan peluang pasar, tetapi juga generasi
baru yang lebih akrab dengan orang tuanya dan penuh perhatian pada diri sendiri
ataupun lingkungannya.
2.5.2 Ciri – Ciri Pria Metroseksual
Dalam buku The Beauty of Metroseksual (Sari Lenggogeni, 2009) yang
dikutip dari survey “The Future of Men” oleh Euro RSCG, dapat disimpulkan
bahwa seorang pria termasuk dalam kategori metroseksual apabila :
39
40
Cons. Tri Handoko, op.cit
Contoh Pria Metroseksual, www.pontianakpost.com/berita
1. Pria heteroseksual, tapi merasa nyaman dalam lingkungan gay.
2. Tertarik pada perawatan tubuh.
3. Mengikuti trend dan perkembangan fashion, serta memperhatikan apa
yang dikenakan orang lain.
4. Menikmati berbelanja sebagai suatu kesenangan daripada hanya karena
kebutuhan.
5. Mengekspresikan sensualitasnya secara lebih lembut baik pada kaum
wanita maupun sesama pria.
6. Lebih suka bercakap – cakap dibandingkan dengan pria kebanyakan.
7. Tidak setuju terhadap keterbatasan gender yang tradisional.
8. Memiliki sisi feminin.
9. Introspektif, sehingga lebih intuitif.
10. Merasa nyaman dengan maskulinitasnya sehingga tidak merasa terancam
terhadap pandangan orang luar.
11. Dikelilingi oleh teman – teman wanitanya, tanpa perlu berhubungan seks.
12. Memiliki kemampuan komunikasi dan interpersonal yang sempurna.41
Ciri lainnya yang dapat mengasosiasikan seorang pria metroseksual
yang diambil dari beberapa situs internet mengenai pria metroseksual yaitu
sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Selalu ingin tampil rapi, bersih dan wangi.
Sensitif dan mengerti perasaan wanita.
Rajin ke salon, bahkan bisa sampai 2 kali seminggu.
Mengenal merek terkenal dengan baik.
Mampu berbelanja selama berjam – jam tanpa merasa lelah.
Rajin menyambangin pusat – pusat kebugaran.
Suka akan fashion dan selalu mengikuti trend terbaru.
Berpikiran lebih liberal dan santai.
Tidak seperti pada pria umumnya yang lebih otoriter dan membedakan
status.42
Lalu ada juga yang membedakan antara pria metroseksual dengan pria
uberseksual, sehingga kita tidak salah menyebut apakah pria tersebut termasuk
kategori pria metroseksual atau pria uberseksual, berikut adalah ciri – ciri dan
perbedaannya :
41
42
Sari Lenggogeni, The Beauty of Metroseksual, Padang : Universitas Andalas. 2009 Hal.41 - 42
Dewi Artha, Pria Metroseksual di Mata Wanita, www.Arthazone.com/Lifestyle
Metroseksual
1. Mengikuti perkembangan dunia fashion yang terbaru.
2. Menjalani langkah demi langkah paling tepat untuk merawat kulit
wajah.
3. Respek terhadap wanita dan menjadikan mereka sebagai sahabat.
4. Menghabiskan banyak waktu di gym untuk membentuk otot yang
sempurna.
5. Peduli terhadap segala sesuatu yang bisa dimakan untuk menjaga
keseimbangan kalori.
6. Berusaha untuk mengeluarkan sex appeal lewat penampilannya.
7. Mendapat tips seputar desain dan seni dari acara TV dan majalah.
8. Lebih memilih acara party sebagai sosial event yang harus dihadirinya.
Uberseksual
1. Mengikuti perkembangan dunia sosial politik terbaru.
2. Merawat wajah seperlunya, yang penting terlihat bersih.
3. Respek terhadap wanita, namun tetap memilih lelaki sebagai sahabat
mereka.
4. Berolah raga untuk menjaga kesehatan, tubuh yang bagus dianggap sebagai
bonus dari usahanya ini.
5. Peduli pada apa yang bisa dimakan oleh mereka yang membutuhkan.
6. Terlihat lebih sensual ketimbang seksi tanpa perlu berusaha terlalu keras,
7. Mendapat pengetahuan seputar desain dan seni dari pengalaman traveling.
8. Memilih acara charity sebagai social event yang dihadirinya.43
Ciri lain dari pria metroseksual adalah mereka sosok yang berani
bereksperimen dengan fashion. Pria yang memperhatikan dirinya sendiri memang
bukan merupakan wacana yang baru. Sejak dulu pria juga selalu memperhatikan
penampilan diri. Namun saat ini telah terjadi perubahan signifikan pertanda makin
kuatnya unsur venus (feminin) dalam diri laki – laki. Dulu di era 70-an para lelaki
dilingkupi suasana serba maskulin dengan Charles Bronson sebagai men-idol-nya.
Pada era 80-an kumis lebat mulai dicukur, meskipun idola masih bertahan pada
sosok yang macho. Satu dasawarsa berikutnya di era 90-an minat pria bergeser
pada perawatan wajah dan parfum dan terakhir mereka mulai melirik perawatan
43
Inilah Ciri Pria Metroseksual dan Uberseksual, http://kampungtki.com
kuku kaki – tangan (manicure – pedicure) dan juga spa serta pijat rtefleksi. Dan
idola pun bergeser pada sosok yang kasual seperti David Beckham, Brad Pitt,
Pierce Brosnan, Tom Cruise, Tantowi Yahya, Ferry Salim, Nicholas Saputra dan
masih banyak lainnya.
Pria metroseksual adalah pria yang memiliki kartakteristik unik seperti sisi
kepribadian narsistik yang ada dalam dirinya dan menjaga serta merawat tubuh
dan penampilannya lebih dari yang wanita lakukan. Mereka hidup dan tinggal di
kota besar, berasal dari kalangan yang cukup berada dan terpandang, memiliki
pekerjaan dan penghasilan yang tetap, menjalani gaya hidup urban dan hedonis
dengan aktifitas yang padat, senang bersosialisasi, mengikuti perkembangan
fesyen, memiliki penampilan yang klimis dan sangat memperhatikan penampilan
serta perawatan tubuh, lebih menghargai wanita dengan banyak mengambil alih
tugas – tugas wanita dan lebih mengembangkan sisi afeksi mereka sehingga
menjadi lebih peduli terhadap lingkungan dan mereka juga menyukai teknologi
dan trend produk terbaru.44
Dalam penyajian iklan, maskulinitas kebudayaan Yunani dan kemudian
Romawi kian menampakkan wujudnya terutama ketika di Eropa dan kemudian
Amerika Serikat mucul gerakan kebudayaan pop pada pertengahan 1950-an. Dari
gerakan ini, diantaranya muncul seni beriklan indah. Media massa yang dewasa
ini diselimuti semangat kapitalisme cenderung digunakan sebagai marketing
corporate untuk memanipulasi atau menyihir masyarakat agar menjadi konsumen
44
Putri Aprissia Rakhman, Kepribadian Narsistik pada Pria Metroseksual di Jakarta,
www.library.gunadarma.ac.id
yang baik. Sebagai alat sihir, tentu saja iklan harus tampil menarik, mempesona,
cantik, indah dan atraktif.
Penampilan fisik pria dalam penyajian iklan bukan sekedar simbol dominasi
pria, melainkan simbol maskulinitas kapitalistik dalam pengertian yang lebih luas.
Artinya, makna dominasi pria dewasa ini adalah apa saja yang memungkinkan
untuk dijual termasuk memunculkan wajah indo (campuran keturunan asing) atau
wajah bule (keturunan asing).45 Iklan sebagai penanda “memanipulasi” makna,
sehingga gambaran kita (petanda) juga termanipulasi. Atau, inilah efektifitas teori
peluru sebagaimana diberondong oleh informasi iklan hingga tak berdaya.
Hedonism hanya akibat sihir yang manipulatif dan memberondong.
Dari pandangan wacana semiotika, gaya hidup urban – kosmopolit ini dapat
dirinci sebagai berikut :
Penanda
Petanda
Rambut gondrong / punk warna – warni
Penanda kelompok lintas batas
Pakaian dengan desain tertentu
Kelompok mewah / snobisme
Menenteng handphone / mobil sedan
Pebisnis / ingin diakui professional
Wanita merokok / rok mini
Wanita karier / pengikut mode / modis
Musik klasik, musik Barat kontemporer
Ingin berkesan mewah / terpelajar
Berbicara ke Inggris – Inggrisan
Ingin berkesan intelek / berpendidikan
Kafe, karaoke, pub, mal, pusat hiburan
Pencarian jati diri / keterasingan
Memakai setelan jas di kantor
Ingin berkesan berwibawa / eksekutif
45
Wahyu Wibowo, Sihir Iklan : Format Komunikasi Mondial Dalam Kehidupan Urban
Kosmopolit, Jakarta : Gramedia. 2003 hal. 172 - 173
Panjat tebing / motocross / bela diri
Jiwa bebas / identitas kelelakian
Seminar / diskusi / ceramah
Ingin dipublikasikan media massa
Film yang kental berwarna lokal
Romantik / etnik - nasionalisme
Tabel 3 : Penanda – Petanda dan Pola Hidup yang Berlaku46
Selain menawarkan produk, iklan juga sekaligus menawarkan seksualitas,
status kemudahan, kehebatan, keindahan, kenikmatan, kemodernan dan
kemewahan.47
Melalui praktek penandaan kita dapat menemukan identitas iklan (tanda
adalah sesuatu yang secara konvensional dianggap mewakili sesuatu yang lain).
Perihal identitas penting digaris bawahi, mengingat penyajian iklan dewasa ini
hidup dalam kemajemukan, keanekaragaman dan pluralitas kehidupan urban –
kosmopolit. Setidaknya kita tidak bisa dalam membayang daya sihir iklan.
Dalam rumusan Wahyu Wibowo identitas iklan dapat dibangun melalui
anasir – anasir berikut ini :
1. Anasir Fisik
Teks iklan, sebagaimana halnya teks lainnya pasti bersifat fisik. Hal ini,
iklan hadir dalam rumusan saya. Meskipun teks iklan mudah lekang oleh
waktu, sifat fisik teks iklan merupakan syarat mutlak. Atau, dalam konsep
peluru, teks iklan ditujukan untuk memberondong pembacanya secara
terus menerus sampai yang hendak disampaikan terpatri erat di benak
pembaca.
46
47
Wahyu Wibowo, op. cit, hal.184 - 185
Ibid, hal.204
2. Anasir Linguistik
Sebagaimana sebuah wacana yang baik dan benar, teks iklan juga mesti
dibangun dengan memperhatikan kaidah buku ragam tulis. Dengan
mengabaikan kaidah baku ragam tulis, sebuah teks iklan bisa
dikategorikan sebagai junk advertising.
3. Anasir Relasi Konteks
Dalam kenyataan sehari – hari, anasir fisik dan anasir linguistik sebuah
teks iklan ternyata belum cukup kuat membuat teks menyihir kosumennya.
Apa yang kita lakukan dengan berwacana itu tak lain dan tak bukan adalah
berkat relasi kontekstual kalimat, artinya terdapat kenyataan lain di luar
wacana itu sendiri, yang boleh jadi berkaitan dengan kecermatan berpikir,
wawasan pengetahuan, pemahaman sosial kultural dan (bahkan)
kemantapan mental yang dimiliki si pembicara maupun yang di miliki
pendengar. Atau dengan kata lain, melalui relasi kontekstual, sebuah
bangunan wacana akan menjadi koheren atau bertalian secara logis.48
Dalam urusan penyajian iklan tentunya terdapat segmentasi – segmentasi
yang dapat memisahkan mana target market dalam penjualan produk – produk
metroseksual. Sehingga pemasar pun tahu mana target yang akan dituju. Serta dari
segmentasi tersebut dapat pula dilihat profil psikografisnya, sehingga produk –
produk yang hadir di pasaran tahu benar tentang apa yang dibutuhkan oleh
kalangannya, terutama dalam hal ini adalah kaum metroseksual.
48
Ibid, hal.236 – 238
2.5.3 Segmentasi dan Psikografis Metroseksual
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh MarkPlus & Co pada 100
pria yang berada di sekitar kampus, salon, pertokoan, coffee shop dan lokasi –
lokasi strategis di Jakarta yang dikutip dalam buku The Beauty of Metroseksual,
dimana kita dapat melihat kategori pria metroseksual dilihat dari segi usia, status
marital, pendidikan, pekerjaan dan SES (Sosial Ekonomi Status). Berikut
merupakan hasil perinican yang dilakukan, yang dilihat dari segi usia yang dibagi
menjadi 5 kelompok.
1. Usia 20 – 24 tahun : 30 %
2. Usia 25 – 29 tahun : 36 %
3. Usia 30 – 34 tahun : 16 %
4. Usia 35 – 39 tahun : 12 %
5. Usia 40 – 44 tahun : 2 % 49
Dari hasil survey tersebut usia antara 25 – 29 tahun adalah kelompok
terbanyak dalam kalangan pria metroseksual. Usia tersebut adalah kalangan yang
nantinya menjadi target pemasaran utama untuk produk – produk yang dijual
khusus untuk pria metroseksual. Selanjutnya adalah dilihat dari status marital atau
pernikahan.
1. Menikah
: 31 %
2. Belum Menikah : 64 %
3. Duda
49
50
Sari Langgogeni, op. cit, hal.61
Ibid, hal.62
: 5 % 50
Dilihat dari status pernikahannya, rata – rata kalangan metroseksual
terbanyak adalah pria yang belum menikah atau masih lajang. Lalu jika dilihat
pada pendidikan yang terakhir ditamatkan adalah sebagai berikut.
1. SMU
: 20 %
2. Akademi D3
: 17 %
3. Universitas S1
: 46 %
4. Universitas S2/S3 : 17 % 51
Maka dari hasil survey tersebut dapat diketahui bahwa pria metroseksual
yang memiliki jenjang pendidikan lulusan Universitas S1 adalah menjadi yang
terbanyak diantara lulusan yang lain seperti SMU, Akademi D3 ataupun S2 dan
S3. Ini menunjukkan bahwa pendidikan pria metroseksual umumnya tergolong
baik, karena jika diakumulasikan pada lulusan universitas atau kuliah adalah yang
paling besar jika dibandingkan dengan yang hanya lulusan SMU. Ini menandakan
tingkat pengetahuan yang dimiliki lebih tinggi dan mereka dari golongan cerdas
serta berpendidikan tinggi. Dari segi pendidikan kita sudah melihat hasil
surveynya, lalu kita dapat melihat juga dari hasil survey dalam kategori pekerjaan.
51
52
1. Pelajar / Mahasiswa
: 30 %
2. Pegawai negeri
:3%
3. Karyawan swasta
: 31 %
4. Wiraswasta
: 22 %
5. Profesional (dosen, konsultan, dll)
: 14 % 52
Ibid
Ibid, hal.63 – 64
Hasil yang terbanyak adalah karyawan swasta yang beda tipis sekali dengan
pelajar atau mahasiswa. Walaupun pada awalnya trend metroseksual ini hanya
menjangkiti para model, artis dan orang – orang media yang menjadi sorotan
publik, lalu meluas pada kalangan olahragawan, pebisnis (khususnya eksekutif
muda kota besar), pengacara bahkan diplomat.53 Sedangkan berdasarkan Sosial
Ekonomi Statusnya, dibedakan menjadi 5 kelas beserta pengeluarannya,
diantaranya :
1. A1 (> Rp 2.250.000)
: 44 %
2. A2 (Rp 1.750.000 – Rp 2.250.000)
: 19 %
3. B (Rp 1.250.000 – Rp 1.750.000)
:14 %
4. C (Rp 600.000 – Rp 1.250.000)
: 17 %
5. D (< Rp 600.000)
: 6 % 54
Dari hasil yang didapat dalam survey dapat diketahui bahwa rata – rata
kaum metroseksual adalah golongan menengah keatas yang memiliki penghasilan
tetap Rp 600.000 ke atas.
Dari hasil survey yang dilakukan oleh Marketing Research Indonesia pada
tahun 2002 juga diperoleh mengenai psikografis kaum metroseksual beserta
persentasenya, terdapat 3 psikografi diantaranya :
1.
53
54
Happy Active Man dengan persentase 46 %, mempunyai karakteristik
sebagai berikut :
a. Merasa puas akan dirinya secara keseluruhan,
b. Selalu mengutamakan tentang apa yang dia pikirkan dan ia
percayai,
c. Hidupnya selalu penuh dengan kesenangan dan kegembiraan,
d. Memiliki cita – cita dan impian yang tinggi, dan
Ibid, hal.23
Ibid hal.64 – 65
2.
3.
55
e. Menganggap dirinya sebagai intelektual.
Cool Man dengan persentase 31 %, dengan karakteristik sebagai
berikut :
a. Lebih menyukai hidup tenang dan tentram daripada hidup penuh
petualangan,
b. Selalu memperhatikan perasaannya yang paling dalam, dan
c. Selalu mengisi waktu luangnya dengan membaca buku.
Trend Follower dengan persentase 23 %, mempunyai karakteristik
sebagai berikut :
a. Menganggap dirinya sebagai orang yang selalu mengikuti
perkembangan zaman,
b. Menganggap internet dan komputer adalah bagian dari
kehidupannya sehari – hari, dan
c. Merasa senang berada dalam kelompok yang memiliki pandangan
hidup yang sama.55
Ibid, hal.66 – 67
Download