BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Sebagai Penyampaian Pesan Melalui Tanda dan Makna Komunikasi merupakan proses kegiatan yang penting dalam kehidupan sehari – hari. Karena komunikasi adalah proses penyampaian pesan ke individu yang lain. Baik itu bersifat pribadi ataupun bersifat massal (khalayak umum). Komunikasi merupakan alat untuk menyampaikan ide – ide atau gagasan tertentu guna mendapatkan respon. Atau pengertian yang lebih mudah dipahami adalah proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan melalui media (jika terdapat hambatan ruang dan waktu) dengan harapan terjadi efek yang diinginkan (kognitif, afektif atau konatif). Menurut John Fiske dalam bukunya yang berjudul Cultural and Communication Studies, semua komunikasi melibatkan tanda (signs) dan kode (codes). Tanda adalah artefak atau tindakan yang merujuk pada sesuatu yang lain di luar tanda itu sendiri, yakni tanda menandakan konstruk. Kode adalah sistem di mana tanda – tanda diorganisasikan dan yang menentukan bagaimana tanda – tanda itu mungkin berhubungan satu sama lain.12 Dalam studi komunikasi, terdapat dua perspektif utama. Yang pertama bisa disebut dengan proses. Di mana John Fiske melihat komunikasi sebagai transmisi pesan, seperti halnya pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode) dan dengan bagaimana transmitter 12 John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra, 2006, hal.8 13 menggunakan saluran dan media komunikasi. Ia juga melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Perspektif proses cenderung menggunakan ilmu – ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi. Perspektif kedua memandang komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang – orang dalam rangka memaknai makna, hal ini berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan. Menurut pandangan ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Perspektif ini cenderung menggunakan linguistik dan subjek seni. Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini seringkali disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Karena metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna), maka aliran ini disebut sebagai Mahzab Semiotika. Bagi semiotika, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima menghasilkan makna. Pengirim yang didefinisikan sebagai transmitter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan bergeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi dan bernegosiasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek – aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. 13 Sedangkan menurut Bernard Berelson dan Gary A. Steiner mendefinisikan komunikasi sebagai berikut : komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol – simbol, kata – kata, gambar, figur, grafik dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.14 Dari beberapa definisi komunikasi yang telah dipaparkan oleh beberapa pakar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam berkomunikasi manusia berupaya menghasilkan persamaan makna pesan yang disampaikan melalui tanda – tanda komunikasi yang sebelumnya telah disepakati. Melalui pesan iklan, tanda – tanda yang disajikan dapat ditangkap dan diterima khalayak (media televisi) yang akhirnya akan dimaknai atau diinterpretasikan. Untuk menangkap tanda dan makna yang terdapat dalam proses komunikasi yaitu studi semiologi atau yang lebih popular dengan istilah semiotika. 2.2 Semiotika Sebagai Sebuah Kajian Tentang Tanda Semiotika merupakan sebuah kajian atau ilmu tentang tanda. Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti “tanda”. Semiotika merupakan sebuah studi yang memfokuskan perhatiannya pada teks, karena semiotika digunakan untuk mencari makna tersembunyi dari sebuah teks. 13 Ibid, hal. 8 - 11 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung : Remaja Rosdakarya. 2002 hal.62 14 Semiotika merupakan sebuah studi yang juga banyak dipakai untuk mencari subluminal atau makna tersembunyi dari sebuah teks. Selain itu, semiotika juga mendiskusikan berbagai jenis tingkatan pemaknaan terhadap sebuah iklan. Pada fase awal, konsep semiotika terhadap konotasi dan ideologi sebagai kunci untuk menganalisa dalam struktur. Bahkan berikutnya juga dalam ketidakjelasan antara keterbukaan dan ketersembunyian makna dalam periklanan.15 Dalam konteks komunikasi, Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik dari Swiss sekaligus tokoh semiotik mengemukakan tanda – tanda yang digunakan dalam proses komunikasi. Dimana tanda (sign) mempunyai dua aspek penting yaitu : penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (signifier) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan konsep petanda (signified) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa. Saussure juga mengatakan bahwa tinjauan terhadap “langue” (bahasa sebagai sistem) harus didahulukan ketimbang “parole” (bahasa sebagai tindak penuturan/ujaran). Artinya, posisi sistem bahasa secara umum mendahului dan lebih penting ketimbang seluruh ujaran nyata yang pernah benar – benar dituturkan.16 Tanda dapat dikatakan kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Seperti yang dijelaskan Saussure 15 16 Terrence A. Shimp. Periklanan dan Promosi, Jakarta : Erlangga. 2003 hal.165 - 166 Richard Harland, Superstrukturalisme. Yogyakarta : Jalasutra. 1987 hal.79 bahwa “tanda sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang, yaitu bidang penanda untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda untuk menjelaskan konsep atau tanda.17 Objek Konteks Teks Entitas Visual / tulisan Visual / tulisan Tulisan Fungsi Elemen tanda yang Elemen tanda yang Tanda linguistic merepresentasikan objek memberikan (atau yang berfungsi atau produk yang diberikan) konteks dan memperjelas dan diiklankan. makna pada objek yang menambahkan diiklankan. makna (anchoring). Elemen Signifier / signified Signifier / signified Signified Tanda Tanda semiotik Tanda semiotik Tanda linguistik Tabel 1. Unsur – Unsur Tanda Dalam Iklan18 Tabel di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya iklan adalah sebuah ajang permainan tanda, yang selalu bermain pada tiga elemen tanda yang satu dengan yang lainnya saling mendukung. Banyak makna yang digunakan para pengiklan untuk menarik perhatian khalayak. Iklan memiliki makna yang kompleks, mulai dari makna yang eksplisit yaitu makna berdasarkan apa yang tampak (denotatif) serta makna yang lebih mendalam yaitu yang berkaitan dengan pemahaman – pemahaman ideologi dan kultural (konotatif).19 17 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, hal.257-258 18 Ibid, hal.263 19 Ibid, hal 280 Menurut teori informasi modern, tingginya nilai informasi yang dikandung oleh suatu tanda tertentu berbanding lurus dengan banyaknya kemungkinan tanda lain yang tidak dipilih untuk menandakan atau memuat informasi tertentu. Untuk memahami bahasa secara tepat, kita harus memahami sistem “langue”. Yakni sistem yang bekerja secara bersamaan dan berada secara implisit di balik setiap kata yang digunakan.20 Konsep “langue” segera mengantarkan kita pada suatu konsep yang oleh Saussure disebut “nilai” (value) dan di sini akan saya namakan “diferensiasi” . Untuk memberi kemudahan dalam menyampaikan maupun merangkap pesan secara cermat dalam suatu proses komunikasi, maka digunakanlah studi semiotika sebagai pendekatan ilmu komunikasi. Studi semiotika ini merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana tanda – tanda yang ada dalam komunikasi tersebut berperan dalam proses komunikasi dan berinteraksi untuk kemudian menciptakan suatu makna atau pesan.21 John Fiske sendiri menyebutkan “studi semiotik merupakan sebuah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana tanda – tanda berperan dalam teks (komunikasi) dan berinteraksi dengan manusia dengan tujuan untuk menciptakan makna”.22 Pokok perhatiannya di sini adalah tanda. Studi tentang tanda dan cara tanda – tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi, dan mempunyai tiga bidang studi utama : 1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda – tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, 20 Ibid, hal.16 John Fiske, Introduction to Communication Studies, New York : Metheun & Co. Ltd. 1990 hal.2 22 Ibid 21 dan cara tanda – tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda itu adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode – kode dan tanda – tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.23 Sedangkan menurut Yasraf Amir Piliang, sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, studi media dan studi kultural. Semiotik sebagai ilmu tentang tanda (the science of sign) mempunyai prinsip, sistem, aturan dan prosedur – prosedur keilmuan yang khusus dan baku, namun tidak dapat disejajarkan dengan ilmu alam (natural science). Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan dan obyektivitas semacam itu, melainkan dibangun oleh pengetahuan yang lebih terbuka bagi aneka interpretasi. Semiotika mengajarkan tentang makna jamak (polysemy) sebagai prinsip dasar, dan dengan demikian semiotika adalah ranah keilmuan yang jauh lebih dinamis, lentur dan terbuka bagi berbagai bentuk pembacaan dan interpretasi. Semiotika pada kenyataannya adalah ilmu yang terbuka bagi berbagai interpretasi, di mana 23 John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra. 2006 hal.60 interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya : interpretasi yang satu lebih masuk akal dari yang lainnya.24 2. 3 Iklan Sebagai Susunan Tanda dan Makna Iklan (advertisement) menurut kamus istilah periklanan Indonesia adalah pesan komunikasi dari produsen atau pemberi jasa kepada calon konsumen di media yang pemasangannya dilakukan atas pembayaran. Sedangkan periklanan (advertising) adalah proses pembuatan dan penyampaian pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media massa yang bertujuan membujuk konsumen untuk melakukan tindakan membeli atau mengubah perilakunya. Sedangkan menurut Etika Pariwara Indonesia 2005, iklan adalah pesan komunikasi pemasaran tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemerakarsa yang dikenal, serta ditujukan pada sebagian atau seluruh masyarakat. Dan periklanan memiliki definisi berupa seluruh proses yang meliputi penyiapan perencanaan, pelaksanaan, penyampaian dan umpan balik dari pesan komunikasi pemasaran.25 Dan jika dilihat dari teori Laswell secara umum periklanan sebagai kegiatan komunikasi adalah proses penyampaian pesan mengenai produk atau jasa yang ditawarkan oleh sumber atau komunikator kepada khalayak sasaran atau komunikan melalui media yang digunakan untuk menyampaikan pesan dengan harapan dampak yang terjadi dari pesan tersebut diterima baik secara kognitif, afektif maupun konatif.26 24 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta : Jalasutra. 2008 hal. vii – ix Djudjun Kusnadi, Modul Etika Periklanan, 2006. 26 Sugihantoro, Modul 8 Marketing & Advertising Media Planning, 2006. 25 Ada beberapa pengertian iklan yang garis besarnya mengarah pada arti bentuk pesan yang disampaikan, yaitu berupa produk barang ataupun jasa. Sedangkan periklanan memiliki arti berupa proses dalam penyampaian iklan (pesan) itu sendiri, dan hampir keseluruhan memiliki definisi yang sama yaitu bersifat persuasif pesan yang disampaikan. Karena periklanan mengarahkan konsumen untuk membeli atau menggunakan produk dari barang atau jasa dari pesan yang disampaikan tersebut. Implikasi mengenai tanda menurut John Fiske merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indera kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda. Menurut Pierce dalam menjelaskan modelnya secara sederhana, tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda merujuk pada seseorang yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakan dinamakan interpretan dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu yakni objeknya. Menurut Pierce dalam Eco, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas - batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu (mewakili atau menggantikan) ke sesuatu yang lain, yang disebut obyek (denotatum). Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretan. Jadi interpretan adalah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Ketiga unsur tersebut dikenal dengan nama segitiga semiotika. tanda interpretant objek Gambar 1. Unsur Makna Pierce Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni, menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya dinamakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya.27 Selanjutnya tanda dibedakan menjadi 3 yaitu ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan. Sedangkan indeks adalah tanda yang ada hubungan kedekatan eksistensi. Dan simbol adalah tanda yang diakui keberdaannya berdasarkan hukum konvensi.28 Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol – simbol. Simbol mengacu pendapat Spradley adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. 27 28 John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra. 2006 hal.63 Sumbo Tinarbuko, op.cit, hal.13 – 14 Barthes menciptakan peta tentang tanda bekerja : 1. Signifier (penanda) 2. Signified (petanda) 3. Denotative sign ( tanda denotatif) 4. Connotative sign (tanda konotatif) 5. Connotative Signified (Petanda konotatif) 6. Connotative Sign (tanda konotatif) Tabel 2. Peta Tanda Barthes29 Dari peta di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Kemudian Barthes menyusun model sistematik untuk menganalisis negosisasi dan gagasan makna interaktif. Intinya adalah gagasan mengenai dua tatanan pertandaan (order of significations).30 Gambar 2. Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya. 29 30 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung : Rosdakarya. 2004 hal. 119 John Fiske, op.cit, hal.117 2. 3. 1 Penanda dan Petanda Menurut Saussure yang seorang ahli lingusitik, tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna, atau untuk menggunakan istilahnya, sebuah tanda terdiri atas penanda dan petanda. Penanda adalah citra tanda seperti yang kita persepsi, seperti tulisan di atas kertas atau suara di udara, sedangkan petanda adalah konsep mental yang diacukan petanda. Konsep mental ini secara luas sama pada semua anggota kebudayaan yang sama yang menggunakan bahasa yang sama. Penanda – petanda merupakan konsep mental yang kita gunakan untuk membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga kita bisa memahami realitas tersebut. Batas – batas di antara kategori yang satu dengan kategori lainnya bersifat artifisial, bukan bersifat alami, untuk sifat keseluruhan bagiannya. Petanda dibuat oleh manusia, ditentukan oleh kultur atau subkultur yang dimiliki manusia tersebut. Petanda merupakan bagian dari sistem linguistik atau semiotik yang digunakan oleh para anggota kebudayaan tersebut untuk berkomunikasi satu sama lain. Dengan demikian, maka bidang realitas atau pengalaman yang menjadi acuan petanda, yakni signikfikasi tanda, ditentukan bukan oleh sifat realitas atau pengalaman itu, melainkan oleh batas – batas dari petanda yang terkait di dalam sistem.31 31 John Fiske, op.cit hal.65 – 68 2. 3. 2 Mitos Bila dalam gambar dua tatanan pertandaan Barthes digambarkan bagaimana konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, maka mitos merupakan pemaknaan tataran kedua dari petanda. Mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep – konsep terkait. Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya, dalam artiannya yang orisinil. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Mitos primitive berkenaan dengan hidup, mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Mitos yang lebih modern adalah tentang maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang ilmu.32 Cara kerja mitos dalam mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu yang biasa disebut sistem komunikasi, karena mitos ini merupakan sebuah pesan. Mitos tidak dapat digambarkan melalui objek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Menurut Williamson, teori semiotika iklan menganut prisnsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Menurut ahli semiotika iklan, seperti Gillian Dyer, Torben Vestergaard atau Judith Williamson, dapat dilihat bahwa ada dimensi – dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara 32 John Fiske, op.cit.121 semiotik dari obyek – obyek seni pada umumnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsur – unsur tanda berupa obyek (object) yang diiklankan, konteks (context) berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada obyek, serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring). Pada iklan televisi, unsur tanda ini ditambah lagi oleh unsur bunyi (sound) dan bahasa ucapan (speech).33 Pada dasarnya produk yang akan diiklankan tidak memiliki makna tetapi kemudian agar produk memiliki nilai dalam benak konsumen, maka digunakanlah tanda – tanda periklanan yang berupa tanda – tanda non verbal seperti kata – kata, warna atau gambar.34 Dan Frank Jefkins berpendapat bahwa “salah satu cara menyampaikan pesan secara cepat dan tepat adalah dengan menggunakan lagu – lagu (jingle) atau slogan – slogan yang singkat dan menarik. Selain itu juga dapat menggunakan teknik lainnya yaitu melengkapi iklan dengan gambar – gambar visual yang unik dan mampu menarik perhatian khalayak.35 2. 4 Ideologi Dalam Iklan Istilah ideologi diperkenalkan oleh Destutt de Tracy, yang menurutnya ideologi terdapat unsur teoritis dan unsur praktis dan terdapat pula program kerja. Dengan demikian ideologi diartikan sebagai sistem pemikiran yang menyeluruh dan bercita – cita menjelaskan wajah dunia sekaligus mengubahnya. Penjelasan yang lebih luas dapat diartikan bahwa ideologi sebagai keseluruhan prinsip atau 33 Sumbo Tinarbuko, op.cit, hal. xii Judith Wiliamson, Decoding Advertisement : Ideology and Meaning in Advertising, London : Maria Boyars Publisher Ltd. 1985, hal.31 35 Frank Jefkins, Periklanan, Jakarta : Erlangga. 1997, hal. 28 34 norma yang berlaku di dalam suatu masyarakat yang meliputi beberapa aspek, seperti sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Beberapa ideologi yang muncul di dunia ini dan sangat berpengaruh bagi masyarakat, serta menjadi semacam gagasan antara lain adalah individualisme, liberalisme, kapitalisme dan juga ideologi yang berada di wilayah negara tertentu. Ideologi memiliki semacam perangkat unsur – unsur dan dijelaskan oleh Riberu sebagai berikut : 1. Di dalam ideologi termuat pandangan – pandangan : antropologi, sosiologi, politik secara komprehensif tentang manusia serta alam semesta tempat manusia itu hidup. 2. Terdapat rencana penataan kehidupan sosial dan kehidupan politik, yang kadangkala menuntut adanya perubahan dan perombakan. 3. Ada usaha mengarah masyarakat utnuk menerima secara yakin gagasan itu. 4. Ideologi diarahkan untuk menjangkau lapisan masyarakat seluas mungkin. Dari penjelasan tentang ideologi tersebut, pengertian ideologi dapat diperluas untuk dikaji atau dihubungkan dengan beberapa teori budaya, teks, strata sosial atau masyarakat tentang masalah gender, kekuatan kelas atau kelompok.36 Tayangan iklan baik di media cetak maupun di media elektronik, sangat menarik untuk dikaji. Iklan, sebagai salah satu bentuk media budaya, memiliki beberapa fungsi yang mirip dengan fungsi mitos, yaitu adanya keinginan atau 36 T. Christomy & Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Depok. 2004, hal.194 - 195 tujuan tertentu pada masyarakat pendukungnya, dan karenanya mencoba melegitimasi melalui suatu cerita yang membawa pesan tertentu dengan tokoh yang sentral dan dianggap superhero. Seperti halnya dengan mitos, iklan sering menampilkan putusan – putusan sosial yang bersifat kontradiktif, munculnya model yang menampilkan identitas tertentu dan berada pada tataran norma – norma sosial. Iklan dipakai oleh masyarakat industri untuk memasarkan produksi yang dihasilkannya. Dalam kaitannya dengan hal itu, iklan harus diartikan sebagai sebuah dunia yang penuh imajinasi, retorika, penuh slogan dan semuanya itu dirangkai dengan rasa artistik, estetis, melalui riset – riset psikologis dan yang terutama adalah strategi pemasaran. Dibalik semuanya, iklan mengungkapkan dan memperkuat dominasi imajinasi kedudukan subjek (tokoh) yang berlatar gender, posisi laki – laki dan perempuan. Contohnya adalah iklan sabun Lux yang menggunakan model Luna Maya. Di dalam iklan tersebut, imajinasi dibangun oleh transformasi tentang perempuan cantik yang menggunakan sabun cair. Sebuah perubahan identitas perempuan akan terjadi apabila ia menggunakan sabun tersebut dan ia akan semakin cantik dan terkenal seperti tokoh iklan itu (Luna Maya). Hingga pada akhirnya ketika si tokoh iklan (Luna Maya) tersandung masalah, pihak pengiklan tidak lagi menggunakan tokoh tersebut, agar pencitraan sabun Lux yang terkenal dan glamour tersebut tidak hilang dibenak konsumen. Media budaya yang hadir di tengah masyarakat industri dan masyarakat kontemporer, akan bertemu dengan ideologi. Ideologi di sini dapat memberikan semacam pesan, nilai – nilai budaya, moral, ekonomis dan nilai lainnya ke dalam media budaya melalui media budaya teks. Media budaya yang berada pada media cetak (iklan surat kabar, majalah) dan media elektronik (televisi, radio, film dan sebagainya) memiliki implikasi ideologis. Implikasi ideologis itu dimunculkan oleh media budaya melalui suara, figure atau tokoh dan perilaku yang terekam dalam teks media budaya. Media budaya yang memiliki teks yang mengandung pesan, terkandung baik secara tersurat maupun tersirat pesan – pesan ideologis.37 2. 5 Representasi Metroseksual Dalam Iklan Representasi sendiri memiliki arti sebuah paparan atau gambaran tentang sesuatu. Representasi juga merupakan salah satu upaya untuk merepresentasikan dan memahami suatu pesan isi media. Representasi merupakan salah satu hal yang dapat diarahkan untuk menggali lebih dalam isi dari sebuah konstruksi medium dengan menggunakan kerangka pemikiran teori – teori ilmu sosial kritis. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia di berbagai konsep. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan 37 Ibid, hal.195 - 197 tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta.38 Ada 3 elemen yang terlibat dalam representasi : 1. Sesuatu yang direpresentasikan (disebut sebagai objek). 2. Representasi itu sendiri (disebut sebagai tanda). 3. Seperangkat aturan yang menentukan hubungan tanda dengan pokok persoalan (disebut coding) yang berfungsi sebagai pembatas makna – makna yang mungkin muncul dalam proses interpretasi tanda. Representasi dalam iklan televisi memiliki kajian yang cukup kompleks. Dalam analisis televisi, iklan televisi atau yang biasa disebut juga sebagai television commercial (tvc) memiliki karakter khusus yang berbeda dengan produk televisi lainnya. Dalam taraf tertentu, iklan televisi tidak bisa dipandang seperti program – program lain. Karena tujuannya untuk membujuk dan karena iklan merupakan titik persinggungan antara kepentingan komersial dan khalayak sebagai konsumen barang dan jasa. Dalam proses transmisi budaya, iklan merupakan proses pembentukan (bahkan pengubahan) citra. Iklan memerlukan visualisasi dan citraan sebagai alat untuk memudahkan penggambaran tema, kondisi, situasi dan cita – cita yang diharapkan pengiklan. Agar semakin bisa menempatkan diri pada khalayak secara luas, wujud representasi di dalam iklan telah membenturkan dirinya pada berbagai macam unsur – unsur kemasyarakatan, seperti unsur sosial budaya, ekonomi, 38 Yolagani, Representasi dan media oleh Stuart Hall, www.yolagani.wordpress.com politik, religi dan lain sebagainya yang telah menjadi bahan eksploitasi bagi pembentukan representasi itu sendiri. Dengan memanfaatkan unsur – unsur tersebut wujud representasi akan semakin mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat. Salah satunya yang sedang menjadi trend di masyarakat 10 tahun belakangan ini adalah fenomena representasi dari perubahan sosial yang bernama metroseksual yang terjadi pada gaya hidup pria metropolitan. Metroseksual sendiri memiliki pengertian secara etimologi dari kata Yunani, yaitu metropolis artinya ibu kota plus seksual. Definisinya adalah sosok narsistik dengan penampilan dandy (pesolek), yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga gaya hidup urban. 2.5.1 Sejarah Metroseksual Istilah metroseksual diperkenalkan oleh Mark Simpson, seorang kolomnis fashion Inggris, dalam bukunya, Male Impersonators : Men Performing Masculinity, pada 1994 untuk menggambarkan kelompok anak muda berkocek tebal yang hidup di kota besar (metropolis) atau di sekitarnya, sangat menyayangi bahkan cenderung memuja diri sendiri (narcisstic), serta sangat tertarik pada fashion dan perawatan tubuhnya. Kulit mereka mulus, lembut dan harum. Simpson menyebut dendi adalah gaya kaum bangsawan abad ke – 18, meski sama – sama rapi, harum dan gemar berlama – lama di depan cermin, gaya busana para dendi cenderung konservatif dan mengikuti pakem, sementara kaum metroseksual justru dicirikan dengan keberaniannya mendobrak aturan dan bereksperimen dengan fashion. Jika menilai dari penampilan luarnya orang mungkin akan mengira bahwa mereka adalah kalangan gay (homoseksual), namun pria dalam kategori ini tidak harus kalangan homoseksual meskipun mereka tidak berpretensi macho, ini bukan sekedar urusan preferensi seksual. Pria tersebut bisa saja straight – heteroseksual, namun menempatkan dirinya sendiri sebagai obyek cintanya sendiri.39 Namun, mereka adalah pekerja cerdas yang penuh percaya diri serta sangat peduli pada keluarganya dan teman – temannya. Kaum metroseksual adalah suami yang tak ragu menggandeng dan mencium istrinya di muka umum, ayah yang tubuhnya selalu segar dan wangi, gemar merangkul anak – anaknya, sama – sama belanja di mal dan menonton film, bukan figur ayah yang gagah, yang kulitnya berminyak dan tubuhnya beraroma tembakau dan keringat. Contohnya seperti artis papan atas Ferry Salim dan Jeremy Thomas.40 Fenomena metroseksual ini tidak sekedar menghasilkan peluang pasar, tetapi juga generasi baru yang lebih akrab dengan orang tuanya dan penuh perhatian pada diri sendiri ataupun lingkungannya. 2.5.2 Ciri – Ciri Pria Metroseksual Dalam buku The Beauty of Metroseksual (Sari Lenggogeni, 2009) yang dikutip dari survey “The Future of Men” oleh Euro RSCG, dapat disimpulkan bahwa seorang pria termasuk dalam kategori metroseksual apabila : 39 40 Cons. Tri Handoko, op.cit Contoh Pria Metroseksual, www.pontianakpost.com/berita 1. Pria heteroseksual, tapi merasa nyaman dalam lingkungan gay. 2. Tertarik pada perawatan tubuh. 3. Mengikuti trend dan perkembangan fashion, serta memperhatikan apa yang dikenakan orang lain. 4. Menikmati berbelanja sebagai suatu kesenangan daripada hanya karena kebutuhan. 5. Mengekspresikan sensualitasnya secara lebih lembut baik pada kaum wanita maupun sesama pria. 6. Lebih suka bercakap – cakap dibandingkan dengan pria kebanyakan. 7. Tidak setuju terhadap keterbatasan gender yang tradisional. 8. Memiliki sisi feminin. 9. Introspektif, sehingga lebih intuitif. 10. Merasa nyaman dengan maskulinitasnya sehingga tidak merasa terancam terhadap pandangan orang luar. 11. Dikelilingi oleh teman – teman wanitanya, tanpa perlu berhubungan seks. 12. Memiliki kemampuan komunikasi dan interpersonal yang sempurna.41 Ciri lainnya yang dapat mengasosiasikan seorang pria metroseksual yang diambil dari beberapa situs internet mengenai pria metroseksual yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Selalu ingin tampil rapi, bersih dan wangi. Sensitif dan mengerti perasaan wanita. Rajin ke salon, bahkan bisa sampai 2 kali seminggu. Mengenal merek terkenal dengan baik. Mampu berbelanja selama berjam – jam tanpa merasa lelah. Rajin menyambangin pusat – pusat kebugaran. Suka akan fashion dan selalu mengikuti trend terbaru. Berpikiran lebih liberal dan santai. Tidak seperti pada pria umumnya yang lebih otoriter dan membedakan status.42 Lalu ada juga yang membedakan antara pria metroseksual dengan pria uberseksual, sehingga kita tidak salah menyebut apakah pria tersebut termasuk kategori pria metroseksual atau pria uberseksual, berikut adalah ciri – ciri dan perbedaannya : 41 42 Sari Lenggogeni, The Beauty of Metroseksual, Padang : Universitas Andalas. 2009 Hal.41 - 42 Dewi Artha, Pria Metroseksual di Mata Wanita, www.Arthazone.com/Lifestyle Metroseksual 1. Mengikuti perkembangan dunia fashion yang terbaru. 2. Menjalani langkah demi langkah paling tepat untuk merawat kulit wajah. 3. Respek terhadap wanita dan menjadikan mereka sebagai sahabat. 4. Menghabiskan banyak waktu di gym untuk membentuk otot yang sempurna. 5. Peduli terhadap segala sesuatu yang bisa dimakan untuk menjaga keseimbangan kalori. 6. Berusaha untuk mengeluarkan sex appeal lewat penampilannya. 7. Mendapat tips seputar desain dan seni dari acara TV dan majalah. 8. Lebih memilih acara party sebagai sosial event yang harus dihadirinya. Uberseksual 1. Mengikuti perkembangan dunia sosial politik terbaru. 2. Merawat wajah seperlunya, yang penting terlihat bersih. 3. Respek terhadap wanita, namun tetap memilih lelaki sebagai sahabat mereka. 4. Berolah raga untuk menjaga kesehatan, tubuh yang bagus dianggap sebagai bonus dari usahanya ini. 5. Peduli pada apa yang bisa dimakan oleh mereka yang membutuhkan. 6. Terlihat lebih sensual ketimbang seksi tanpa perlu berusaha terlalu keras, 7. Mendapat pengetahuan seputar desain dan seni dari pengalaman traveling. 8. Memilih acara charity sebagai social event yang dihadirinya.43 Ciri lain dari pria metroseksual adalah mereka sosok yang berani bereksperimen dengan fashion. Pria yang memperhatikan dirinya sendiri memang bukan merupakan wacana yang baru. Sejak dulu pria juga selalu memperhatikan penampilan diri. Namun saat ini telah terjadi perubahan signifikan pertanda makin kuatnya unsur venus (feminin) dalam diri laki – laki. Dulu di era 70-an para lelaki dilingkupi suasana serba maskulin dengan Charles Bronson sebagai men-idol-nya. Pada era 80-an kumis lebat mulai dicukur, meskipun idola masih bertahan pada sosok yang macho. Satu dasawarsa berikutnya di era 90-an minat pria bergeser pada perawatan wajah dan parfum dan terakhir mereka mulai melirik perawatan 43 Inilah Ciri Pria Metroseksual dan Uberseksual, http://kampungtki.com kuku kaki – tangan (manicure – pedicure) dan juga spa serta pijat rtefleksi. Dan idola pun bergeser pada sosok yang kasual seperti David Beckham, Brad Pitt, Pierce Brosnan, Tom Cruise, Tantowi Yahya, Ferry Salim, Nicholas Saputra dan masih banyak lainnya. Pria metroseksual adalah pria yang memiliki kartakteristik unik seperti sisi kepribadian narsistik yang ada dalam dirinya dan menjaga serta merawat tubuh dan penampilannya lebih dari yang wanita lakukan. Mereka hidup dan tinggal di kota besar, berasal dari kalangan yang cukup berada dan terpandang, memiliki pekerjaan dan penghasilan yang tetap, menjalani gaya hidup urban dan hedonis dengan aktifitas yang padat, senang bersosialisasi, mengikuti perkembangan fesyen, memiliki penampilan yang klimis dan sangat memperhatikan penampilan serta perawatan tubuh, lebih menghargai wanita dengan banyak mengambil alih tugas – tugas wanita dan lebih mengembangkan sisi afeksi mereka sehingga menjadi lebih peduli terhadap lingkungan dan mereka juga menyukai teknologi dan trend produk terbaru.44 Dalam penyajian iklan, maskulinitas kebudayaan Yunani dan kemudian Romawi kian menampakkan wujudnya terutama ketika di Eropa dan kemudian Amerika Serikat mucul gerakan kebudayaan pop pada pertengahan 1950-an. Dari gerakan ini, diantaranya muncul seni beriklan indah. Media massa yang dewasa ini diselimuti semangat kapitalisme cenderung digunakan sebagai marketing corporate untuk memanipulasi atau menyihir masyarakat agar menjadi konsumen 44 Putri Aprissia Rakhman, Kepribadian Narsistik pada Pria Metroseksual di Jakarta, www.library.gunadarma.ac.id yang baik. Sebagai alat sihir, tentu saja iklan harus tampil menarik, mempesona, cantik, indah dan atraktif. Penampilan fisik pria dalam penyajian iklan bukan sekedar simbol dominasi pria, melainkan simbol maskulinitas kapitalistik dalam pengertian yang lebih luas. Artinya, makna dominasi pria dewasa ini adalah apa saja yang memungkinkan untuk dijual termasuk memunculkan wajah indo (campuran keturunan asing) atau wajah bule (keturunan asing).45 Iklan sebagai penanda “memanipulasi” makna, sehingga gambaran kita (petanda) juga termanipulasi. Atau, inilah efektifitas teori peluru sebagaimana diberondong oleh informasi iklan hingga tak berdaya. Hedonism hanya akibat sihir yang manipulatif dan memberondong. Dari pandangan wacana semiotika, gaya hidup urban – kosmopolit ini dapat dirinci sebagai berikut : Penanda Petanda Rambut gondrong / punk warna – warni Penanda kelompok lintas batas Pakaian dengan desain tertentu Kelompok mewah / snobisme Menenteng handphone / mobil sedan Pebisnis / ingin diakui professional Wanita merokok / rok mini Wanita karier / pengikut mode / modis Musik klasik, musik Barat kontemporer Ingin berkesan mewah / terpelajar Berbicara ke Inggris – Inggrisan Ingin berkesan intelek / berpendidikan Kafe, karaoke, pub, mal, pusat hiburan Pencarian jati diri / keterasingan Memakai setelan jas di kantor Ingin berkesan berwibawa / eksekutif 45 Wahyu Wibowo, Sihir Iklan : Format Komunikasi Mondial Dalam Kehidupan Urban Kosmopolit, Jakarta : Gramedia. 2003 hal. 172 - 173 Panjat tebing / motocross / bela diri Jiwa bebas / identitas kelelakian Seminar / diskusi / ceramah Ingin dipublikasikan media massa Film yang kental berwarna lokal Romantik / etnik - nasionalisme Tabel 3 : Penanda – Petanda dan Pola Hidup yang Berlaku46 Selain menawarkan produk, iklan juga sekaligus menawarkan seksualitas, status kemudahan, kehebatan, keindahan, kenikmatan, kemodernan dan kemewahan.47 Melalui praktek penandaan kita dapat menemukan identitas iklan (tanda adalah sesuatu yang secara konvensional dianggap mewakili sesuatu yang lain). Perihal identitas penting digaris bawahi, mengingat penyajian iklan dewasa ini hidup dalam kemajemukan, keanekaragaman dan pluralitas kehidupan urban – kosmopolit. Setidaknya kita tidak bisa dalam membayang daya sihir iklan. Dalam rumusan Wahyu Wibowo identitas iklan dapat dibangun melalui anasir – anasir berikut ini : 1. Anasir Fisik Teks iklan, sebagaimana halnya teks lainnya pasti bersifat fisik. Hal ini, iklan hadir dalam rumusan saya. Meskipun teks iklan mudah lekang oleh waktu, sifat fisik teks iklan merupakan syarat mutlak. Atau, dalam konsep peluru, teks iklan ditujukan untuk memberondong pembacanya secara terus menerus sampai yang hendak disampaikan terpatri erat di benak pembaca. 46 47 Wahyu Wibowo, op. cit, hal.184 - 185 Ibid, hal.204 2. Anasir Linguistik Sebagaimana sebuah wacana yang baik dan benar, teks iklan juga mesti dibangun dengan memperhatikan kaidah buku ragam tulis. Dengan mengabaikan kaidah baku ragam tulis, sebuah teks iklan bisa dikategorikan sebagai junk advertising. 3. Anasir Relasi Konteks Dalam kenyataan sehari – hari, anasir fisik dan anasir linguistik sebuah teks iklan ternyata belum cukup kuat membuat teks menyihir kosumennya. Apa yang kita lakukan dengan berwacana itu tak lain dan tak bukan adalah berkat relasi kontekstual kalimat, artinya terdapat kenyataan lain di luar wacana itu sendiri, yang boleh jadi berkaitan dengan kecermatan berpikir, wawasan pengetahuan, pemahaman sosial kultural dan (bahkan) kemantapan mental yang dimiliki si pembicara maupun yang di miliki pendengar. Atau dengan kata lain, melalui relasi kontekstual, sebuah bangunan wacana akan menjadi koheren atau bertalian secara logis.48 Dalam urusan penyajian iklan tentunya terdapat segmentasi – segmentasi yang dapat memisahkan mana target market dalam penjualan produk – produk metroseksual. Sehingga pemasar pun tahu mana target yang akan dituju. Serta dari segmentasi tersebut dapat pula dilihat profil psikografisnya, sehingga produk – produk yang hadir di pasaran tahu benar tentang apa yang dibutuhkan oleh kalangannya, terutama dalam hal ini adalah kaum metroseksual. 48 Ibid, hal.236 – 238 2.5.3 Segmentasi dan Psikografis Metroseksual Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh MarkPlus & Co pada 100 pria yang berada di sekitar kampus, salon, pertokoan, coffee shop dan lokasi – lokasi strategis di Jakarta yang dikutip dalam buku The Beauty of Metroseksual, dimana kita dapat melihat kategori pria metroseksual dilihat dari segi usia, status marital, pendidikan, pekerjaan dan SES (Sosial Ekonomi Status). Berikut merupakan hasil perinican yang dilakukan, yang dilihat dari segi usia yang dibagi menjadi 5 kelompok. 1. Usia 20 – 24 tahun : 30 % 2. Usia 25 – 29 tahun : 36 % 3. Usia 30 – 34 tahun : 16 % 4. Usia 35 – 39 tahun : 12 % 5. Usia 40 – 44 tahun : 2 % 49 Dari hasil survey tersebut usia antara 25 – 29 tahun adalah kelompok terbanyak dalam kalangan pria metroseksual. Usia tersebut adalah kalangan yang nantinya menjadi target pemasaran utama untuk produk – produk yang dijual khusus untuk pria metroseksual. Selanjutnya adalah dilihat dari status marital atau pernikahan. 1. Menikah : 31 % 2. Belum Menikah : 64 % 3. Duda 49 50 Sari Langgogeni, op. cit, hal.61 Ibid, hal.62 : 5 % 50 Dilihat dari status pernikahannya, rata – rata kalangan metroseksual terbanyak adalah pria yang belum menikah atau masih lajang. Lalu jika dilihat pada pendidikan yang terakhir ditamatkan adalah sebagai berikut. 1. SMU : 20 % 2. Akademi D3 : 17 % 3. Universitas S1 : 46 % 4. Universitas S2/S3 : 17 % 51 Maka dari hasil survey tersebut dapat diketahui bahwa pria metroseksual yang memiliki jenjang pendidikan lulusan Universitas S1 adalah menjadi yang terbanyak diantara lulusan yang lain seperti SMU, Akademi D3 ataupun S2 dan S3. Ini menunjukkan bahwa pendidikan pria metroseksual umumnya tergolong baik, karena jika diakumulasikan pada lulusan universitas atau kuliah adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan yang hanya lulusan SMU. Ini menandakan tingkat pengetahuan yang dimiliki lebih tinggi dan mereka dari golongan cerdas serta berpendidikan tinggi. Dari segi pendidikan kita sudah melihat hasil surveynya, lalu kita dapat melihat juga dari hasil survey dalam kategori pekerjaan. 51 52 1. Pelajar / Mahasiswa : 30 % 2. Pegawai negeri :3% 3. Karyawan swasta : 31 % 4. Wiraswasta : 22 % 5. Profesional (dosen, konsultan, dll) : 14 % 52 Ibid Ibid, hal.63 – 64 Hasil yang terbanyak adalah karyawan swasta yang beda tipis sekali dengan pelajar atau mahasiswa. Walaupun pada awalnya trend metroseksual ini hanya menjangkiti para model, artis dan orang – orang media yang menjadi sorotan publik, lalu meluas pada kalangan olahragawan, pebisnis (khususnya eksekutif muda kota besar), pengacara bahkan diplomat.53 Sedangkan berdasarkan Sosial Ekonomi Statusnya, dibedakan menjadi 5 kelas beserta pengeluarannya, diantaranya : 1. A1 (> Rp 2.250.000) : 44 % 2. A2 (Rp 1.750.000 – Rp 2.250.000) : 19 % 3. B (Rp 1.250.000 – Rp 1.750.000) :14 % 4. C (Rp 600.000 – Rp 1.250.000) : 17 % 5. D (< Rp 600.000) : 6 % 54 Dari hasil yang didapat dalam survey dapat diketahui bahwa rata – rata kaum metroseksual adalah golongan menengah keatas yang memiliki penghasilan tetap Rp 600.000 ke atas. Dari hasil survey yang dilakukan oleh Marketing Research Indonesia pada tahun 2002 juga diperoleh mengenai psikografis kaum metroseksual beserta persentasenya, terdapat 3 psikografi diantaranya : 1. 53 54 Happy Active Man dengan persentase 46 %, mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. Merasa puas akan dirinya secara keseluruhan, b. Selalu mengutamakan tentang apa yang dia pikirkan dan ia percayai, c. Hidupnya selalu penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, d. Memiliki cita – cita dan impian yang tinggi, dan Ibid, hal.23 Ibid hal.64 – 65 2. 3. 55 e. Menganggap dirinya sebagai intelektual. Cool Man dengan persentase 31 %, dengan karakteristik sebagai berikut : a. Lebih menyukai hidup tenang dan tentram daripada hidup penuh petualangan, b. Selalu memperhatikan perasaannya yang paling dalam, dan c. Selalu mengisi waktu luangnya dengan membaca buku. Trend Follower dengan persentase 23 %, mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. Menganggap dirinya sebagai orang yang selalu mengikuti perkembangan zaman, b. Menganggap internet dan komputer adalah bagian dari kehidupannya sehari – hari, dan c. Merasa senang berada dalam kelompok yang memiliki pandangan hidup yang sama.55 Ibid, hal.66 – 67