PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
1. Permasalahan
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berbusana. Manusia berbusana
untuk menutupi tubuhnya dan menjaga dirinya, namun seiring perkembangan
zaman dan modernisasi, berbusana tidak hanya untuk hal tersebut. Berbusana juga
menjadi suatu hal untuk menunjang penampilan seseorang. Trend berbusana sering
diidentikkan dengan kaum hawa, kaum hawa disebut-sebut sebagai kaum yang
selalu perhatian dalam berbusana, namun seiring perkembangannya modernitas
trend berbusana juga mulai dilirik oleh kaum adam. Perkembangan trend tersebuut
tak lepas juga dari sautu gaya hidup.
Gaya hidup selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak
pernah lepas. Gaya hidup memberikan suatu konsep baru bagaimana berperilaku
dan berpikir dalam kehidupan manusia. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang
membedakan antara satu orang dengan orang yang lainnya. Pola-pola kehidupan ini
kadang diartikan orang sebagai budaya; yang artinya keseluruhan gaya hidup suatu
masyarakat-kebiasaan/adat istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka serta pemahaman
yang sama yang menyatukan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat (Chaney,
1996: 40).
Gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas, dengan gaya hidup
tersebut manusia dapat menemukan identitas dirinya. Tuntutan semakin
berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, dapat menciptakan suatu
gaya hidup baru (life style). Pengaruh gaya hidup tak lepas dari peranan modernisasi
dan globalisasi.
Dalam “abad gaya hidup”, penampilan diri justru menjadi sesuatu yang
sangat bernilai. Tubuh / diri dalam kehidupan sehari-hari menjadi sebuah proyek
penyebaran benih gaya hidup (Irfan, 2007: 10). Perkembangan gaya hidup tak
pernah lepas dari adanya arus modernisasi dan globalisasi.
Salah satu dampak
Modernisasi dan globalisasi telah mengkonstruksikan laki-laki yang dulu dikenal
sebagai sosok yang macho menjadi laki-laki dandy yang selalu memperhatikan
penampilannya. Kehadiran laki-laki dandy tentu menyulut perdebatan tentang
feminization of men(www.marketingweek.co.uk). Laki-laki seolah-olah sudah
menelanjangi diri dengan melepaskan atribut-atribut kelelakiannya. Istilah
feminization of men akhirnya bergeser menjadi metroseksual dengan tujuan untuk
menghilangkan stigma bahwa laki-laki yang berdandan adalah gay (Santoso, 2012:
137)
Pria metroseksual biasanya memiliki selera yang tinggi dalam berdandan
dan berpakaian. Bahkan bisa dibilang, mereka lebih lama berdandan daripada
wanita. Pria seperti ini akan membeli produk kecantikan untuk merawat kulitnya
setiap hari. Tidak hanya itu, salon dan mall menjadi tempat favoritnya untuk
menghabiskan waktu(Mazhi, 2013). Konsep metroseksual mengarah kepada gaya
hidup dan budaya baru bagi pria perkotaan modern yang berpenghasilan lebih dan
sangat peduli kepada penampilan dan citra dirinya. Gaya hidup ini berkaitan erat
dengan konsumerisme, kapitalisme dan bahkan dengan perilakunarsisme. Tren pria
metroseksual sekarang ini seakan menjadi konsep dan pandangan bagaimana
seorang laki-laki seharusnya bertindak dan bertingkah laku, sehingga metroseksual
menjadi sebuah kebudayaan baru bagi beberapa masyarakat di kota besar.
Konsep pria metroseksual memberikan pandangan dan konsep baru
terhadap gaya hidup pria dimasa kini yang lebih mementingkan bahwa tubuh dan
penampilan adalah sesuatu yang tidak boleh dikesampingkan. Pria metroseksual
cenderung menonjolkan penampilan sebagai bentuk citra diri dan image.
Penampilan yang merupakan bentuk citra diri dan imageyang menjadi ciri utama
metroseksual dianggap sebagai penanda. Misalnya, pria yang memakai baju
berkerah, dengan setelan jeans skinny, dilengkapi dengan kacamata hitam bermerk,
rambut tersisir rapi dan memakai parfum disebut sebagai penanda. Hal tersebut
mempresentasikan bahwa ia seorang metroseksual, dan metroseksual merupakan
petanda.
Pembahasan tentang penanda (signifier) dan petanda (signified) dijelaskan
oleh filsuf strukturalisme Saussure. Saussure sangat tertarik dengan bahasa dan
baginya penanda adalah bagian fisik tanda. Petanda adalah konsep mental yang
merupakan acuan bagi penanda. Petanda adalah makna dari penanda. Secara
bersama-sama, keduanya membentuk tanda (Barnard, 2007:116)
Ide-ide Saussure tersebut diikuti oleh Jacques Lacan. Ide Saussure tersebut
dimodifikasi Lacan dengan memusatkan perhatiannya kepada relasi antara penanda
dan petanda tersebut. Unsur-usnur “ketidaksadaran” membentuk penanda dan
antara penanda yang satu dengan penanda yang lain membentuk untaian relasi.
Tiga ranah perkembangan manusia yang diciptakan Lacan terilhami oleh tiga
konsep dari Freud . Ranah perkembangan tersebut adalah ranah kenyataan yang
berhubungan dengan kebutuhan (need), ranah imajner yang berhubungan dengan
permintaan (demand), dan ranah simbolik yang berhubungan dengan hasrat
(desire).
Menurut Lacan Perubahan sosial dalam masyarakat dipengaruhi oleh
adanya budaya. Budaya memainkan peranannya tak lepas dari adanya suapadatu
hasrat. Hasrat yang dimaksud disini adalah terhadap yang liyan. Hasrat dipahami
sebagai sesuatu yang “to have” dan “to be”. Hasrat dijelaskan oleh lacan dalam
teori psikoanalisisnya. Psikoanalisis Lacan, sebagaimana Freud, menempatkan
manusia sebagai subjek yang seluruh kediriannya tersubjekkan oleh struktur sosial
sehingga ia mengalami diri sebagai objek sekaligus.
Namun dalam penjelasan tentang teori psikoanalisis Lacan lebih
menggunakan istilah-istilah yang diilhami oleh Saussure.
Sebagian teori
psikoanalisis Lacan didasarkan pada penemuan antropologi dan linguistik
struktural (Faruk, 2012:106). Sebagaimana hal tersebut teori psikoanalisis Lacan
termasuk dalam teori pascastruktural, atau yang lebih dikenal dengan
poststrukturalis.
Teori psikoanalisis
Lacan
yang merupakan
teori
poststrukturalis
memberikan banyak kontribusi bagi cultural studiesdan kritik kebudayaan,
misalnya seperti teori citra cermin, hasrat atau postulat “ketidaksadaran itu
terstruktur seperti bahasa.” Salah satu kebutuhan paling mendesak terkait dengan
cultural studies, adalah adanya teori subjektivitas yang menjelaskan bagaimana
artefak kebudayaan dapat memengaruhi manusia.
Fenomena metroseksual merupakan suatu bentuk budaya pop dan
posmodern yang unik untuk dikaji dan dibahas, Pembahasan mengenai
metroseksual pun tak lepas kaitannya dengan homoseksualitas, karena keduanya
mempunyai hubungan. Dalam penelitian ini peneliti akan membahas mengenai
fenomena pria metroseksual dalam perspektif poststrukturalisme Jacque Lacan,
yang menerangkan bagaimana hasrat mempunyai pengaruh dalam budaya
metroseksual dan tahap cermin memegang peranan dalam masalah pembentukan
pria metroseksual.
2. Rumusan Masalah
1. Apa dasar eksistensi pria metroseksual?
2. Apa teori Post-strukturalisme Jacques Lacan?
3. Bagaimana teori poststrukturalis Jacques Lacan dalam memandang
eksistensi pria metroseksual?
3. Keaslian Penelitian
Sejauh yang diketahui dan sejauh penelusuran yang dilakukan penulis, telah
ditemukan sejumlah penelitian yang menggunakan objek material pria
metroseksual. Penelitian tersebut antara lain:
a. Skripsi fakultas filsafat UGM dengan judul Fenomena Gaya Hidup Pria
Metroseksual Ditinjau Dari Perspektif Filsafat Manusia, penulis M. Irfan,
2007, program studi ilmu filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada. Skripsi ini membahas hakikat dan konsep pria metroseksual dalam
pandangan filsafat manusia.
b. Skripsi dengan judul Interaksi simbolik pria metroseksual di Kota Bandung
(suatu fenomenologi interaksi simbolik pria metroseksual pada sosok sales
promotion boy di Kota Bandung) oleh Dicky Hudiandi, 2010, program studi
ilmu komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Komputer Indonesia. Penelitian tersebut membahas Interaksi simbolik pria
metroseksual pada sales promotion boy yang terlihat dari bagaimana mereka
berpenampilan untuk menjadi pribadi yang menarik.
c. Skripsi dengan judul Studi Eksploratori atas gaya hidup pria metroseksual
di Surabaya, oleh Satwika K. Setyanegara Wiyono Pontjoharyo, 2008,
Universitas Surabaya. Penelitian tersebut membahas gaya hidup pria-pria
yang tergolong dalam pria metroseksual di Kota Surabaya.
d. Skripsi dengan judul Representasi nilai-nilai metroseksual dalam majalah
Men’s Guide, oleh Ricki Apriliono, 2014, Program Studi ilmu komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Penelitian
ini membahas bagaimana Majalah Men’s Guide merepresentasikan niai-nilai
metroseksual yang terkandung serta yang digambarkan oleh sosok figure
dalam artikel Profile Guide.
e. Artikel berjudul, Hegemoni Metroseksual dalam Iklan Grooming di Majalah
FHM Indonesia oleh Nobertus Ribut Santoso, 2012, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. Artikel ini membahas bentuk hegemoni: laki-laki harus sadar
akan penampilannya dengan menggunakan kosmetik yang membuat mereka
lebih feminin dengan melakukan perawatan, narsis dengan meniru idolanya,
macho yang sadar akan penampilan, dan romantis dengan mengedepankan
aspek kasih sayang, persahabatan, dan kesetaraan gender. Hegemoni tersebut
mendorong pola pikir masyarakat untuk mengikuti gaya hidup metroseksual.
Selain melakukan penelusuran terkait objek material, peneliti juga
melakukan penelusuran terhadap objek formal yang dipakai sebagai pisau
analisa penelitian yaitu teori filsafat psikonalasisis Jacques Lacan, dengan
hasil sebagai berikut:
a. Skripsi dengan judul Pembentukan Aku Perspektif Filsafat Psikoanalisis
Jacques Lacan yang disusun oleh Aqib Rosyidi, 2004, Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini menjelaskan tentang konsepsi
humansisme yang menganggap “aku” sebagai suatu identitas dalam diri
manusia.
b. Skripsi dengan judul Konsumtivisme Fashion dalam Perspektif Filsafat
Psikoanalisis Jacques Lacan, yang disusun oleh Susetyo Raharjo, 2004,
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini menjelaskan sikap
konsumtivisme dalam fashion dalam perspektif filsafat psikoanalisis
Jacques Lacan.
4. Manfaat Penelitian
a. Bagi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih besar dalam ilmu
pengetahuan dalam memahami realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat
modern sekarang ini terutama mengenai persoalan gaya hidup.
b. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi kepada masyrakat
bahwa eksistensi pria metroseksual itu ada dan nyata, serta memberikan
gambaran umum dan realita hidup seorang metroseksual kepada masyarakat
c. Bagi peneliti
Selain menambah wawasan penelitian ini diharapkan dapat menjadi
pembelajaran membiasakan diri untuk berfikir secara sistematis dan filosofis
dalam mengkaji suatu permasalahan seputar fenomena gaya hidup. Dan
menjadi referensi dalam penelitian ilmiah
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memaparkan
secara
deskriptif
mengenai
eksistensi
pria
metroseksual.
2. Memaparkan secara deskriptif mengenai teori posts-trukturalisme
Jacques Lacan
3. Menganalisis
eksistensi
pria
poststrukturalisme Jacques Lacan
metroseksual
dengan
teori
C. Tinjauan Pustaka
Awalnya fenomena metroseksual sempat dipandang dengan tatapan heran,
tetapi pada kenyataannya fenomena metroseksual terus merebak. Mulanya tren ini
hanya menjangkiti para artis, model, dan orang-orang media, belakangan tren ini
mulai meluas di kalangan olahragawan, pebisnis (khususnya eksekutif muda kota
besar), pengacara, bahkan diplomat. Metroseksual merupakan konstruksi sosial
budaya yang lahir dari praktek visual seksualitas dan tubuh yang membentuk
penampilan yang pada akhirnya memperoleh atribut-atribut seksualitasnya sendiri
(Wibowo, 2006:191-192).
Metroseksual berasal dari bahasa Yunani, yaitu metro yang berarti kota
sedangkan, sexual berarti jenis kelamin. Metroseksual berarti pria narsis yang
hidup di kota dengan penampilan dandy dan jatuh cinta pada diri sendiri (Bre dkk,
2003). Menurut Simpson, pengertian pria metroseksual yaitu pria lajang belia
dengan pendapatan berlebih yang hidup dan bekerja di kawasan perkotaan. Pada
dekade 1980, pria macam ini hanya dapat ditemukan di dalam majalah fashion,
dalam iklan televisi jeans atau bar kalangan tertentu (kompasiana.com, 2012 ).
Lahirnya metroseksual adalah sebagai bentuk pergeseran maskulinitas yang
salah satunya karena masuknya perempuan di dunia kerja. Banyaknya perempuan
yang terjun di dunia kerja membawa kebiasaan mempercantik diri di tempat kerja.
Norma-norma ini akhirnya mempengaruhi kebijakan di dunia kerja yang mulai
memasukkan penampilan diri sebagai kriteria dalam penilaian karyawan (Santoso,
2012: 145-146).
Tumbuhnya kecenderungan metroseksual di kehidupan masyarakat dilihat
dari wacana budaya populer merupakan suatu cerminan dari perubahan sosial yang
diakibatkan oleh globalisasi ekonomi dan informasi yang melenyapkan batas-batas
teritorial misalnya negara, bangsa, kesukuan, kepercayaan, politik, dan budaya
(Handoko, 2004 : 18)
Handoko (2004) menyatakan bahwa gaya hidup pria metroseksual adalah
gaya hidup pria yang merupakan imbas dari kehidupan sosial dengan memiliki gaya
hidup seperti layaknya wanita. Pria metroseksual memiliki gaya hidup yang
mengarah pada belanja di mall atau butik bukan untuk purpose shopping, tetapi
lebih ke pleasure shopping. Gaya hidup pria metroseksual juga berupa
menghabiskan banyak waktu di kafe-kafe, bahkan juga memilih untuk melajang
sampai usia tertentu.
Majalah FHM Indonesia mendorong laki-laki untuk menjadi metroseksual
yang lebih sadar tubuh (sadar akan fashion, perawatan tubuh, perawatan wajah, dan
kesehatan) dan penampilan dengan memakai produk-produk kosmetik yang
dipromosikan dengan citra metroseksual modern serta mengkonstruksi laki-laki
untuk lebih berani mengeksplorasi sisi femininnya, yang merupakan adopsi dari
prototipe laki-laki feminin, dengan merawat wajah dan rambut seperti yang telah
dilakukan oleh perempuan(Santoso 2012)
Produk-produk perawatan muka diprediksikan akan semakin banyak yang
menambahkan label “For Men” di dalam kemasan produknya. Mustika Ratu
misalnya, dengan secara khusus meluncurkan Men’s Division untuk rangkaian
produk-produknya mulai dari shaving foam, moist & matte, dry skin protection, face
scrub dan hair gel dengan label baru Bask. Juga L-Men yang mengeluarkan susu
khusus untuk membentuk tubuh pria yang ideal(Apriliono, 2014: 9).
Pusat kebugaran atau istilah kerennya adalah gym merupakan tempat favorit
yang sering dikunjungi oleh para pria mmetroseksual. Dengan setumpuk aktivitas
yang dikerjakan membuat seorang pria metroseksual tidak memiliki waktu banyak
untuk berolahraga di pagi hari atau jogging disore hari(Hudiandy, 2010: 24).
Perkembangan informasi dan teknologi yang pesat menyebabkan bumi saat
ini menjadi semakin emosional. Kaum pria menjadi lebih emosional dan tidak malu
untuk mengungkap sisi feminimnya. Dulunya, wanita dan pria memang selalu
berbeda dalam segala hal. Disaat pria selalu ingin menawarkan suatu solusi, wanita
selalu menginginkan lebih dari sekedar solusi, mereka lebih menginginkan empati.
Sebaliknya disaat pria merasa bahwa mereka memiliki cara sendiri, wanita selalu
mencoba untuk mengubah pria. Hal-hal semacam ini menimbulkan komunikasi
yang seringkali tidak lancar antara pria dan wanita(Pontjoharyo, 2008:2).
Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terkait dengan penelitian ini
adalah “Fenomena Gaya Hidup Pria Metroseksual Ditinjau dari Perspektif Filsafat
Manusia” ditulis oleh M. Irfan, “Interaksi simbolik pria metroseksual di Kota
Bandung (suatu fenomenologi interaksi simbolik pria metroseksual pada sosok
sales promotion boy di Kota Bandung)” ditulis oleh Dicki Hudiandi, “Studi
Eksploratori Atas Gaya Hidup Pria Metroseksual di Surabya” ditulis oleh Satwika
K. Setyanegara Wiyono Pontjoharyo,”Representasi Nilai-nilai Metroseksual dalam
Majalah Men’s Guide” ditulis oleh Ricki Apriliono, “Hegemoni Metroseksual
dalam Iklan Grooming di Majalah FHM Indonesia” ditulis oleh Nobertus Ribut
Santoso. Penelitian tersebut merupakan skripsi yang ada di beberapa Universitas
di Indonesia.
Hasil penelitian yang dicapai oleh M. Irfan yakni pria metroseksual
merupakan pria jenis baru yang berani menonjolkan sisi feminimnya, pria yang
lebih emosional. Pria metroseksual memahami bahwa tubuh jugamembutuhkan
perhatian khusus seperti melakukan olahraga di pusat kebugaran, mengunjungi spa
dan salon. Pria metroseksual tidak haus jabatan atau pangkat yang kaya, baginya
mempunyai tubuh yang sehat dan hidup bersama-sama
orang-orang yang
dicintainya merupakan kebahagiaan tertinggi.
Hasil penelitian yang dicapai oleh Dicki Hudiandi yakni pria metroseksual
di Kota Bandung dicirikan oleh sales promotion boy, yang mempunyai ciri khas
berpenampilan rapi dan stylish.
Selain itu dari gaya mereka berbicara yang
komunikatif dan menggunakan bahasa yang sopan dan persuasif dalam menarik
simpati terjadap pelanggan dan masyarakat.
Hasil penelitian yang dicapai oleh Satwika K. Setyanegara yakni membahas
kategori-kategori atau indikator-indikator yang menjadi tolok ukur atas fenomena
gaya hidup pria metroseksual di Kota Surabaya. Salah satu tolok ukur tersebut
ialahb aktivitas-aktivitas yang mencerminkan gaya hidup pria metroseksual seperti,
spa, shopping, aktivitas olahraga (Gym).
Hasil penelitian yang dicapai oleh Ricki Apriliono, yakni dalam majalah
Men’s Guide terdapat representasi nilai-nilai metroseksual yang terkandung dalam
artikel profil guide. Artikel Profil Guide berisi penjelasan tentang gaya hidup pria
masa metroseksual, yang direpresentasikan oleh beberapa aktor dan model.
D. Landasan Teori
Bertolak dari premis bahwa kesadaran sesungguhnya terstruktur seperti
bahasa, psikoanalisis Prancis Jacques Lacan telah memberikan orientasi baru pada
teori dan praktik Freudian, yang menjadikan psikoanalisis Lacanian sebagai bentuk
psikoanalisis paling maju dan dinamis dewasa ini. Lewat pelbagai seminar dan
tulisan-tulisannya, ia telah menciptakan pengaruh amat penting atas pemikiran
generasi “strukturalis” dan “post-strukturalis” Prancis dalam bidang filsafat, studi
sastra, teori sosial, dan feminisme (Beilharz, 2003:247)
Lewat cara yang khas Lacan mengkombinasikan konsep linguistik
mengenai ujaran dengan dialektika tuan-hamba dari Hegel, untuk menghasilkan
gagasan bahwa ujaran menciptakan ikatan sosial atau keterkaitan simbolik yang
mengatasi karakteristik erotik-agresif dalam hubungan ego dengan ego pada
register imajiner. Lacan juga melihat bahasa adalah suatu sistem pengungkapan
yang tidak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang
diekspresikannya. Jika ketaksadaran terstruktur layaknya bahasa, linguistik dan
semiotik adalah hal penting yang dapat digunakan untuk memahami ketaksadaran.
Lacan menempatkan isi ketaksadaran sebagai penanda (signifiers); proses primer
ketaksadaran diletakkan pada ekspresi dan distorsi dirinya sendiri.
Menurut Lacan, budaya berperan dalam perubahan sosial. Jika budaya
memainkan suatu peranan tertentu di dalam suatu perubahan sosial atau dalam
menolak perubahan, hal ini dilakukan dengan memanfaatkan hasrat. Selama gejala
kebudayaan ini berhasil menginterpelasi subjek, yaitu dalam mengajak mereka
untuk mengambil suatu (dis)posisi subjektif, hal ini dilakukan dengan
membangkitkan satu jenis hasrat atau menjanjikan dipuaskannya satu jenis hasrat
tertentu (Bracher, 2009:29). Hasrat dalam ketidaksadaran itu terbentuk bersamaan
dengan bahasa. Bahasa tidak hanya sebagai medium unkapan pikiran sadar dan
hasrat “tidak sadar” yang ingin dipuaskan, tetapi juga bahasa adalah symbolic rder
atau tata simbolik penanda (signifier) dan petanda (yang ditandai atau signified).
Pernyataan Lacan mengenai hasrat terbagi menjadi dua, yaitu hasrat
menjadi dan hasrat memiliki (Bracher, 1997:30). Dalam dua hasrat terdapat empat
bentuk hasrat, yaitu hasrat narsistik pasif: seseorang dapat berhasrat menjadi objek
cinta, hasrat narsistik aktif: hasrat dimana identifikasi merupakan satu bentuk
tertentu, hasrat anaklitik aktif: seseorang dapat berhasrat untuk memiliki, dan hasrat
anaklitik pasif: seseorang dapat berhasrat untuk menjadi hasrat orang lain
(Firmonasari A. , 2007)
Lacan mengatakan bahwa linguistik sangat penting dalam rangka
menjelaskan ketiaksadaran pada manusia.
Penggunaan yang begitu solid
menyebabkan Lacan berkesimpulan bahwa ketaksadaran itu terstruktur seperti
bahasa.
Bahasa manusia terstruktur di sekitar pilihan-pilihan citra yang
kesemuanya memiliki hubungan khusus dengan eksistensi manusia, dengan realitas
biologisnya yang cukup terbatas, dan dengan citra sesama manusia.
Citra
mendapatkan kekuatan mereka dari yang disebut Lacan sebagai tatanan imajiner,
yang didasarkan atas perasaan atau pandangan seseorang akan identias praverbal
ragawi dirinya (Bracher, 2009:44-45)
E. Metode Penelitian
1. Bahan dan Materi Penelitian
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan. Bahan
penelitian didapatkan dari pustaka yang berkaitan dengan objek material dan objek
formal penelitian. Data kepustakaan dapat dibagi menjadi kepustakaan primer dan
kepustakaan sekunder.
a. Sumber pustaka primer objek material berupa:
1) Kertajaya dkk, 2004, Metroseksuals in Venus, MarkPlus&Co,
Jakarta.
2) Flocker , 2005, TheMetrosexual Guide to Style, dialih bahasakan
oleh Ayu Perwitasari, B – First, Bandung.
b. Sumber pustaka primer objek formal berupa:
1) Bracher, 1997, Lacan discourse, and Social Change; A
Psychoanalytic Curtural Criticm, dialih bahasakan oleh Gunawan
Admiranto, Jalasutra, Yogyakarta.
2) Irawan, 2008, Animal Ambiguitas; Memahami Manusia melalui
Pemikiran Maurice Merleu Ponty dan Jacques Lacan, Jalasutra,
Yogyakarta.
c. Sumber Sekunder
1) Skripsi yang mengangkat tema yang sama dan menggunakan
objek formal atau objek material yang sama.
2) Buku, Artikel, jurnal, karya ilmiah, koran, majalah dan media lain
yang mengulas tentang metroseksual dan psikoanalisis Lacan.
2. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Inventarisasi dan kategorisasi, yaitu pengumpulan data kepustakaan
sebanyak mungkin dan penunjang lainnya yang bersangkutan dengan
objek material maupun objek formal penelitian.
Studi pustaka
dilakukan dalam upaya memperoleh gambaran umum isi naskah dari
segi alur terutama penokohan dalam karakter naskah tersebut.
2. Klasifikasi data, yaitu pengelompokkan data primer dan sekunder.
3. Analisis Sintesis, yaitu menganalisis data primer dan data sekunder,
kemudian mengeliminasi data yang tidak perlu, dan menginsentesakan
sesuai dengan gagasan dalam upaya memperkuat penelitian.
4. Evaluasi kritis, yaitu melakukan pengecekan. Pengecekan dilakukan
setelah melalui beberapa tahap analisis sintetis, sehingga menghasilkan
pemaparan hasil penelitian yang kritis
3. Analisis Hasil
Analisis data pada penelitian ini mengacu pada buku karangan Anton
Bakker dan Achmad Charris Zubair (1994) dengan menggunakan metode
hermeunetik dengan langkah metodis sebagai berikut:
1. Deskripsi
Melalui unsur metodis ini data mengenai fenomena pria metroseksual dan
filsafat psikoanalisis Jacque Lacan akan diuraikan secara sistematis. Tujuannya
adalah memperoleh gambaran yang jelas mengenai topik penelitian
2. Interpretasi
Melalui unsur metodis ini peneliti mampu menginterpretasikan dan memahami
apa yang dimaksud dengan Fenomena Pria metroseksual secara mendalam
sehingga akan mendapatkan pemahaman yang baru
3. Holistika
Melalui unsur metodis ini yaitu peneliti mampu memahami data secara
menyeluruh sehingga diperoleh pemahaman dan analisis yang tepat.
4. Analisis
Melalui unsur metodis ini, peneliti menganalisis tentang Eksistensi Pria
Metroseksual dalam perspektif post-strukturalisme Jacques Lacan.
4. Hasil yang ingin dicapai
1. Memberikan deskripsi secara jelas mengenai pria metroseksual
2. Memperoleh pemahaman mengenai filsafat psikoanalisis Jacques Lacan
3. Memberikan penjelasan tentang fenomena pria metroseksual dari perspektif
filsafat psikoanalisis jacques Lacan.
5. Sistematika penulisan
Penulisan ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, manfaat penelitian keaslian penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian, hasil yang ingin dicapai, dan sistematika
penulisan.
Bab II berisi tentang pembahasan objek material yang terdiri dari pengertian
metroseksual, sejarah dan berkembangnya pria metroseksual, faktor-faktor
pendorong pria metroseksual, dan ikon-ikon metroseksual.
Bab III berisi uraian mengenai filsafat psikoanalisis Jacque Lacan yang
meliputi riwayat hidup Jacques Lacan, tokoh yang mempengaruhi pemikiran
Jacques Lacan, dan pemikiran Jacques Lacan.
Bab IV berisi tentang analisis kritis tentang fenomena pria metroseksual
dalam perspektif filsafat psikoanalis Jacques Lacan.
Bab V berisi penutup yang memuat kesimpulan dengan meringkas secara
garis besar pembahasan penelitian.
Download