BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Permasalahan Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berbusana. Manusia berbusana untuk menutupi tubuhnya dan menjaga dirinya, namun seiring perkembangan zaman dan modernisasi, berbusana tidak hanya untuk hal tersebut. Berbusana juga menjadi suatu hal untuk menunjang penampilan seseorang. Trend berbusana sering diidentikkan dengan kaum hawa, kaum hawa disebut-sebut sebagai kaum yang selalu perhatian dalam berbusana, namun seiring perkembangannya modernitas trend berbusana juga mulai dilirik oleh kaum adam. Perkembangan trend tersebuut tak lepas juga dari sautu gaya hidup. Gaya hidup selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak pernah lepas. Gaya hidup memberikan suatu konsep baru bagaimana berperilaku dan berpikir dalam kehidupan manusia. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lainnya. Pola-pola kehidupan ini kadang diartikan orang sebagai budaya; yang artinya keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat-kebiasaan/adat istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka serta pemahaman yang sama yang menyatukan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat (Chaney, 1996: 40). Gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas, dengan gaya hidup tersebut manusia dapat menemukan identitas dirinya. Tuntutan semakin berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, dapat menciptakan suatu gaya hidup baru (life style). Pengaruh gaya hidup tak lepas dari peranan modernisasi dan globalisasi. Dalam “abad gaya hidup”, penampilan diri justru menjadi sesuatu yang sangat bernilai. Tubuh / diri dalam kehidupan sehari-hari menjadi sebuah proyek penyebaran benih gaya hidup (Irfan, 2007: 10). Perkembangan gaya hidup tak pernah lepas dari adanya arus modernisasi dan globalisasi. Salah satu dampak Modernisasi dan globalisasi telah mengkonstruksikan laki-laki yang dulu dikenal sebagai sosok yang macho menjadi laki-laki dandy yang selalu memperhatikan penampilannya. Kehadiran laki-laki dandy tentu menyulut perdebatan tentang feminization of men(www.marketingweek.co.uk). Laki-laki seolah-olah sudah menelanjangi diri dengan melepaskan atribut-atribut kelelakiannya. Istilah feminization of men akhirnya bergeser menjadi metroseksual dengan tujuan untuk menghilangkan stigma bahwa laki-laki yang berdandan adalah gay (Santoso, 2012: 137) Pria metroseksual biasanya memiliki selera yang tinggi dalam berdandan dan berpakaian. Bahkan bisa dibilang, mereka lebih lama berdandan daripada wanita. Pria seperti ini akan membeli produk kecantikan untuk merawat kulitnya setiap hari. Tidak hanya itu, salon dan mall menjadi tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu(Mazhi, 2013). Konsep metroseksual mengarah kepada gaya hidup dan budaya baru bagi pria perkotaan modern yang berpenghasilan lebih dan sangat peduli kepada penampilan dan citra dirinya. Gaya hidup ini berkaitan erat dengan konsumerisme, kapitalisme dan bahkan dengan perilakunarsisme. Tren pria metroseksual sekarang ini seakan menjadi konsep dan pandangan bagaimana seorang laki-laki seharusnya bertindak dan bertingkah laku, sehingga metroseksual menjadi sebuah kebudayaan baru bagi beberapa masyarakat di kota besar. Konsep pria metroseksual memberikan pandangan dan konsep baru terhadap gaya hidup pria dimasa kini yang lebih mementingkan bahwa tubuh dan penampilan adalah sesuatu yang tidak boleh dikesampingkan. Pria metroseksual cenderung menonjolkan penampilan sebagai bentuk citra diri dan image. Penampilan yang merupakan bentuk citra diri dan imageyang menjadi ciri utama metroseksual dianggap sebagai penanda. Misalnya, pria yang memakai baju berkerah, dengan setelan jeans skinny, dilengkapi dengan kacamata hitam bermerk, rambut tersisir rapi dan memakai parfum disebut sebagai penanda. Hal tersebut mempresentasikan bahwa ia seorang metroseksual, dan metroseksual merupakan petanda. Pembahasan tentang penanda (signifier) dan petanda (signified) dijelaskan oleh filsuf strukturalisme Saussure. Saussure sangat tertarik dengan bahasa dan baginya penanda adalah bagian fisik tanda. Petanda adalah konsep mental yang merupakan acuan bagi penanda. Petanda adalah makna dari penanda. Secara bersama-sama, keduanya membentuk tanda (Barnard, 2007:116) Ide-ide Saussure tersebut diikuti oleh Jacques Lacan. Ide Saussure tersebut dimodifikasi Lacan dengan memusatkan perhatiannya kepada relasi antara penanda dan petanda tersebut. Unsur-usnur “ketidaksadaran” membentuk penanda dan antara penanda yang satu dengan penanda yang lain membentuk untaian relasi. Tiga ranah perkembangan manusia yang diciptakan Lacan terilhami oleh tiga konsep dari Freud . Ranah perkembangan tersebut adalah ranah kenyataan yang berhubungan dengan kebutuhan (need), ranah imajner yang berhubungan dengan permintaan (demand), dan ranah simbolik yang berhubungan dengan hasrat (desire). Menurut Lacan Perubahan sosial dalam masyarakat dipengaruhi oleh adanya budaya. Budaya memainkan peranannya tak lepas dari adanya suapadatu hasrat. Hasrat yang dimaksud disini adalah terhadap yang liyan. Hasrat dipahami sebagai sesuatu yang “to have” dan “to be”. Hasrat dijelaskan oleh lacan dalam teori psikoanalisisnya. Psikoanalisis Lacan, sebagaimana Freud, menempatkan manusia sebagai subjek yang seluruh kediriannya tersubjekkan oleh struktur sosial sehingga ia mengalami diri sebagai objek sekaligus. Namun dalam penjelasan tentang teori psikoanalisis Lacan lebih menggunakan istilah-istilah yang diilhami oleh Saussure. Sebagian teori psikoanalisis Lacan didasarkan pada penemuan antropologi dan linguistik struktural (Faruk, 2012:106). Sebagaimana hal tersebut teori psikoanalisis Lacan termasuk dalam teori pascastruktural, atau yang lebih dikenal dengan poststrukturalis. Teori psikoanalisis Lacan yang merupakan teori poststrukturalis memberikan banyak kontribusi bagi cultural studiesdan kritik kebudayaan, misalnya seperti teori citra cermin, hasrat atau postulat “ketidaksadaran itu terstruktur seperti bahasa.” Salah satu kebutuhan paling mendesak terkait dengan cultural studies, adalah adanya teori subjektivitas yang menjelaskan bagaimana artefak kebudayaan dapat memengaruhi manusia. Fenomena metroseksual merupakan suatu bentuk budaya pop dan posmodern yang unik untuk dikaji dan dibahas, Pembahasan mengenai metroseksual pun tak lepas kaitannya dengan homoseksualitas, karena keduanya mempunyai hubungan. Dalam penelitian ini peneliti akan membahas mengenai fenomena pria metroseksual dalam perspektif poststrukturalisme Jacque Lacan, yang menerangkan bagaimana hasrat mempunyai pengaruh dalam budaya metroseksual dan tahap cermin memegang peranan dalam masalah pembentukan pria metroseksual. 2. Rumusan Masalah 1. Apa dasar eksistensi pria metroseksual? 2. Apa teori Post-strukturalisme Jacques Lacan? 3. Bagaimana teori poststrukturalis Jacques Lacan dalam memandang eksistensi pria metroseksual? 3. Keaslian Penelitian Sejauh yang diketahui dan sejauh penelusuran yang dilakukan penulis, telah ditemukan sejumlah penelitian yang menggunakan objek material pria metroseksual. Penelitian tersebut antara lain: a. Skripsi fakultas filsafat UGM dengan judul Fenomena Gaya Hidup Pria Metroseksual Ditinjau Dari Perspektif Filsafat Manusia, penulis M. Irfan, 2007, program studi ilmu filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini membahas hakikat dan konsep pria metroseksual dalam pandangan filsafat manusia. b. Skripsi dengan judul Interaksi simbolik pria metroseksual di Kota Bandung (suatu fenomenologi interaksi simbolik pria metroseksual pada sosok sales promotion boy di Kota Bandung) oleh Dicky Hudiandi, 2010, program studi ilmu komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia. Penelitian tersebut membahas Interaksi simbolik pria metroseksual pada sales promotion boy yang terlihat dari bagaimana mereka berpenampilan untuk menjadi pribadi yang menarik. c. Skripsi dengan judul Studi Eksploratori atas gaya hidup pria metroseksual di Surabaya, oleh Satwika K. Setyanegara Wiyono Pontjoharyo, 2008, Universitas Surabaya. Penelitian tersebut membahas gaya hidup pria-pria yang tergolong dalam pria metroseksual di Kota Surabaya. d. Skripsi dengan judul Representasi nilai-nilai metroseksual dalam majalah Men’s Guide, oleh Ricki Apriliono, 2014, Program Studi ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Penelitian ini membahas bagaimana Majalah Men’s Guide merepresentasikan niai-nilai metroseksual yang terkandung serta yang digambarkan oleh sosok figure dalam artikel Profile Guide. e. Artikel berjudul, Hegemoni Metroseksual dalam Iklan Grooming di Majalah FHM Indonesia oleh Nobertus Ribut Santoso, 2012, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Artikel ini membahas bentuk hegemoni: laki-laki harus sadar akan penampilannya dengan menggunakan kosmetik yang membuat mereka lebih feminin dengan melakukan perawatan, narsis dengan meniru idolanya, macho yang sadar akan penampilan, dan romantis dengan mengedepankan aspek kasih sayang, persahabatan, dan kesetaraan gender. Hegemoni tersebut mendorong pola pikir masyarakat untuk mengikuti gaya hidup metroseksual. Selain melakukan penelusuran terkait objek material, peneliti juga melakukan penelusuran terhadap objek formal yang dipakai sebagai pisau analisa penelitian yaitu teori filsafat psikonalasisis Jacques Lacan, dengan hasil sebagai berikut: a. Skripsi dengan judul Pembentukan Aku Perspektif Filsafat Psikoanalisis Jacques Lacan yang disusun oleh Aqib Rosyidi, 2004, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini menjelaskan tentang konsepsi humansisme yang menganggap “aku” sebagai suatu identitas dalam diri manusia. b. Skripsi dengan judul Konsumtivisme Fashion dalam Perspektif Filsafat Psikoanalisis Jacques Lacan, yang disusun oleh Susetyo Raharjo, 2004, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini menjelaskan sikap konsumtivisme dalam fashion dalam perspektif filsafat psikoanalisis Jacques Lacan. 4. Manfaat Penelitian a. Bagi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih besar dalam ilmu pengetahuan dalam memahami realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat modern sekarang ini terutama mengenai persoalan gaya hidup. b. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi kepada masyrakat bahwa eksistensi pria metroseksual itu ada dan nyata, serta memberikan gambaran umum dan realita hidup seorang metroseksual kepada masyarakat c. Bagi peneliti Selain menambah wawasan penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran membiasakan diri untuk berfikir secara sistematis dan filosofis dalam mengkaji suatu permasalahan seputar fenomena gaya hidup. Dan menjadi referensi dalam penelitian ilmiah B. Tujuan Penelitian Tujuan penulis pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memaparkan secara deskriptif mengenai eksistensi pria metroseksual. 2. Memaparkan secara deskriptif mengenai teori posts-trukturalisme Jacques Lacan 3. Menganalisis eksistensi pria poststrukturalisme Jacques Lacan metroseksual dengan teori C. Tinjauan Pustaka Awalnya fenomena metroseksual sempat dipandang dengan tatapan heran, tetapi pada kenyataannya fenomena metroseksual terus merebak. Mulanya tren ini hanya menjangkiti para artis, model, dan orang-orang media, belakangan tren ini mulai meluas di kalangan olahragawan, pebisnis (khususnya eksekutif muda kota besar), pengacara, bahkan diplomat. Metroseksual merupakan konstruksi sosial budaya yang lahir dari praktek visual seksualitas dan tubuh yang membentuk penampilan yang pada akhirnya memperoleh atribut-atribut seksualitasnya sendiri (Wibowo, 2006:191-192). Metroseksual berasal dari bahasa Yunani, yaitu metro yang berarti kota sedangkan, sexual berarti jenis kelamin. Metroseksual berarti pria narsis yang hidup di kota dengan penampilan dandy dan jatuh cinta pada diri sendiri (Bre dkk, 2003). Menurut Simpson, pengertian pria metroseksual yaitu pria lajang belia dengan pendapatan berlebih yang hidup dan bekerja di kawasan perkotaan. Pada dekade 1980, pria macam ini hanya dapat ditemukan di dalam majalah fashion, dalam iklan televisi jeans atau bar kalangan tertentu (kompasiana.com, 2012 ). Lahirnya metroseksual adalah sebagai bentuk pergeseran maskulinitas yang salah satunya karena masuknya perempuan di dunia kerja. Banyaknya perempuan yang terjun di dunia kerja membawa kebiasaan mempercantik diri di tempat kerja. Norma-norma ini akhirnya mempengaruhi kebijakan di dunia kerja yang mulai memasukkan penampilan diri sebagai kriteria dalam penilaian karyawan (Santoso, 2012: 145-146). Tumbuhnya kecenderungan metroseksual di kehidupan masyarakat dilihat dari wacana budaya populer merupakan suatu cerminan dari perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi dan informasi yang melenyapkan batas-batas teritorial misalnya negara, bangsa, kesukuan, kepercayaan, politik, dan budaya (Handoko, 2004 : 18) Handoko (2004) menyatakan bahwa gaya hidup pria metroseksual adalah gaya hidup pria yang merupakan imbas dari kehidupan sosial dengan memiliki gaya hidup seperti layaknya wanita. Pria metroseksual memiliki gaya hidup yang mengarah pada belanja di mall atau butik bukan untuk purpose shopping, tetapi lebih ke pleasure shopping. Gaya hidup pria metroseksual juga berupa menghabiskan banyak waktu di kafe-kafe, bahkan juga memilih untuk melajang sampai usia tertentu. Majalah FHM Indonesia mendorong laki-laki untuk menjadi metroseksual yang lebih sadar tubuh (sadar akan fashion, perawatan tubuh, perawatan wajah, dan kesehatan) dan penampilan dengan memakai produk-produk kosmetik yang dipromosikan dengan citra metroseksual modern serta mengkonstruksi laki-laki untuk lebih berani mengeksplorasi sisi femininnya, yang merupakan adopsi dari prototipe laki-laki feminin, dengan merawat wajah dan rambut seperti yang telah dilakukan oleh perempuan(Santoso 2012) Produk-produk perawatan muka diprediksikan akan semakin banyak yang menambahkan label “For Men” di dalam kemasan produknya. Mustika Ratu misalnya, dengan secara khusus meluncurkan Men’s Division untuk rangkaian produk-produknya mulai dari shaving foam, moist & matte, dry skin protection, face scrub dan hair gel dengan label baru Bask. Juga L-Men yang mengeluarkan susu khusus untuk membentuk tubuh pria yang ideal(Apriliono, 2014: 9). Pusat kebugaran atau istilah kerennya adalah gym merupakan tempat favorit yang sering dikunjungi oleh para pria mmetroseksual. Dengan setumpuk aktivitas yang dikerjakan membuat seorang pria metroseksual tidak memiliki waktu banyak untuk berolahraga di pagi hari atau jogging disore hari(Hudiandy, 2010: 24). Perkembangan informasi dan teknologi yang pesat menyebabkan bumi saat ini menjadi semakin emosional. Kaum pria menjadi lebih emosional dan tidak malu untuk mengungkap sisi feminimnya. Dulunya, wanita dan pria memang selalu berbeda dalam segala hal. Disaat pria selalu ingin menawarkan suatu solusi, wanita selalu menginginkan lebih dari sekedar solusi, mereka lebih menginginkan empati. Sebaliknya disaat pria merasa bahwa mereka memiliki cara sendiri, wanita selalu mencoba untuk mengubah pria. Hal-hal semacam ini menimbulkan komunikasi yang seringkali tidak lancar antara pria dan wanita(Pontjoharyo, 2008:2). Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terkait dengan penelitian ini adalah “Fenomena Gaya Hidup Pria Metroseksual Ditinjau dari Perspektif Filsafat Manusia” ditulis oleh M. Irfan, “Interaksi simbolik pria metroseksual di Kota Bandung (suatu fenomenologi interaksi simbolik pria metroseksual pada sosok sales promotion boy di Kota Bandung)” ditulis oleh Dicki Hudiandi, “Studi Eksploratori Atas Gaya Hidup Pria Metroseksual di Surabya” ditulis oleh Satwika K. Setyanegara Wiyono Pontjoharyo,”Representasi Nilai-nilai Metroseksual dalam Majalah Men’s Guide” ditulis oleh Ricki Apriliono, “Hegemoni Metroseksual dalam Iklan Grooming di Majalah FHM Indonesia” ditulis oleh Nobertus Ribut Santoso. Penelitian tersebut merupakan skripsi yang ada di beberapa Universitas di Indonesia. Hasil penelitian yang dicapai oleh M. Irfan yakni pria metroseksual merupakan pria jenis baru yang berani menonjolkan sisi feminimnya, pria yang lebih emosional. Pria metroseksual memahami bahwa tubuh jugamembutuhkan perhatian khusus seperti melakukan olahraga di pusat kebugaran, mengunjungi spa dan salon. Pria metroseksual tidak haus jabatan atau pangkat yang kaya, baginya mempunyai tubuh yang sehat dan hidup bersama-sama orang-orang yang dicintainya merupakan kebahagiaan tertinggi. Hasil penelitian yang dicapai oleh Dicki Hudiandi yakni pria metroseksual di Kota Bandung dicirikan oleh sales promotion boy, yang mempunyai ciri khas berpenampilan rapi dan stylish. Selain itu dari gaya mereka berbicara yang komunikatif dan menggunakan bahasa yang sopan dan persuasif dalam menarik simpati terjadap pelanggan dan masyarakat. Hasil penelitian yang dicapai oleh Satwika K. Setyanegara yakni membahas kategori-kategori atau indikator-indikator yang menjadi tolok ukur atas fenomena gaya hidup pria metroseksual di Kota Surabaya. Salah satu tolok ukur tersebut ialahb aktivitas-aktivitas yang mencerminkan gaya hidup pria metroseksual seperti, spa, shopping, aktivitas olahraga (Gym). Hasil penelitian yang dicapai oleh Ricki Apriliono, yakni dalam majalah Men’s Guide terdapat representasi nilai-nilai metroseksual yang terkandung dalam artikel profil guide. Artikel Profil Guide berisi penjelasan tentang gaya hidup pria masa metroseksual, yang direpresentasikan oleh beberapa aktor dan model. D. Landasan Teori Bertolak dari premis bahwa kesadaran sesungguhnya terstruktur seperti bahasa, psikoanalisis Prancis Jacques Lacan telah memberikan orientasi baru pada teori dan praktik Freudian, yang menjadikan psikoanalisis Lacanian sebagai bentuk psikoanalisis paling maju dan dinamis dewasa ini. Lewat pelbagai seminar dan tulisan-tulisannya, ia telah menciptakan pengaruh amat penting atas pemikiran generasi “strukturalis” dan “post-strukturalis” Prancis dalam bidang filsafat, studi sastra, teori sosial, dan feminisme (Beilharz, 2003:247) Lewat cara yang khas Lacan mengkombinasikan konsep linguistik mengenai ujaran dengan dialektika tuan-hamba dari Hegel, untuk menghasilkan gagasan bahwa ujaran menciptakan ikatan sosial atau keterkaitan simbolik yang mengatasi karakteristik erotik-agresif dalam hubungan ego dengan ego pada register imajiner. Lacan juga melihat bahasa adalah suatu sistem pengungkapan yang tidak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Jika ketaksadaran terstruktur layaknya bahasa, linguistik dan semiotik adalah hal penting yang dapat digunakan untuk memahami ketaksadaran. Lacan menempatkan isi ketaksadaran sebagai penanda (signifiers); proses primer ketaksadaran diletakkan pada ekspresi dan distorsi dirinya sendiri. Menurut Lacan, budaya berperan dalam perubahan sosial. Jika budaya memainkan suatu peranan tertentu di dalam suatu perubahan sosial atau dalam menolak perubahan, hal ini dilakukan dengan memanfaatkan hasrat. Selama gejala kebudayaan ini berhasil menginterpelasi subjek, yaitu dalam mengajak mereka untuk mengambil suatu (dis)posisi subjektif, hal ini dilakukan dengan membangkitkan satu jenis hasrat atau menjanjikan dipuaskannya satu jenis hasrat tertentu (Bracher, 2009:29). Hasrat dalam ketidaksadaran itu terbentuk bersamaan dengan bahasa. Bahasa tidak hanya sebagai medium unkapan pikiran sadar dan hasrat “tidak sadar” yang ingin dipuaskan, tetapi juga bahasa adalah symbolic rder atau tata simbolik penanda (signifier) dan petanda (yang ditandai atau signified). Pernyataan Lacan mengenai hasrat terbagi menjadi dua, yaitu hasrat menjadi dan hasrat memiliki (Bracher, 1997:30). Dalam dua hasrat terdapat empat bentuk hasrat, yaitu hasrat narsistik pasif: seseorang dapat berhasrat menjadi objek cinta, hasrat narsistik aktif: hasrat dimana identifikasi merupakan satu bentuk tertentu, hasrat anaklitik aktif: seseorang dapat berhasrat untuk memiliki, dan hasrat anaklitik pasif: seseorang dapat berhasrat untuk menjadi hasrat orang lain (Firmonasari A. , 2007) Lacan mengatakan bahwa linguistik sangat penting dalam rangka menjelaskan ketiaksadaran pada manusia. Penggunaan yang begitu solid menyebabkan Lacan berkesimpulan bahwa ketaksadaran itu terstruktur seperti bahasa. Bahasa manusia terstruktur di sekitar pilihan-pilihan citra yang kesemuanya memiliki hubungan khusus dengan eksistensi manusia, dengan realitas biologisnya yang cukup terbatas, dan dengan citra sesama manusia. Citra mendapatkan kekuatan mereka dari yang disebut Lacan sebagai tatanan imajiner, yang didasarkan atas perasaan atau pandangan seseorang akan identias praverbal ragawi dirinya (Bracher, 2009:44-45) E. Metode Penelitian 1. Bahan dan Materi Penelitian Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan. Bahan penelitian didapatkan dari pustaka yang berkaitan dengan objek material dan objek formal penelitian. Data kepustakaan dapat dibagi menjadi kepustakaan primer dan kepustakaan sekunder. a. Sumber pustaka primer objek material berupa: 1) Kertajaya dkk, 2004, Metroseksuals in Venus, MarkPlus&Co, Jakarta. 2) Flocker , 2005, TheMetrosexual Guide to Style, dialih bahasakan oleh Ayu Perwitasari, B – First, Bandung. b. Sumber pustaka primer objek formal berupa: 1) Bracher, 1997, Lacan discourse, and Social Change; A Psychoanalytic Curtural Criticm, dialih bahasakan oleh Gunawan Admiranto, Jalasutra, Yogyakarta. 2) Irawan, 2008, Animal Ambiguitas; Memahami Manusia melalui Pemikiran Maurice Merleu Ponty dan Jacques Lacan, Jalasutra, Yogyakarta. c. Sumber Sekunder 1) Skripsi yang mengangkat tema yang sama dan menggunakan objek formal atau objek material yang sama. 2) Buku, Artikel, jurnal, karya ilmiah, koran, majalah dan media lain yang mengulas tentang metroseksual dan psikoanalisis Lacan. 2. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Inventarisasi dan kategorisasi, yaitu pengumpulan data kepustakaan sebanyak mungkin dan penunjang lainnya yang bersangkutan dengan objek material maupun objek formal penelitian. Studi pustaka dilakukan dalam upaya memperoleh gambaran umum isi naskah dari segi alur terutama penokohan dalam karakter naskah tersebut. 2. Klasifikasi data, yaitu pengelompokkan data primer dan sekunder. 3. Analisis Sintesis, yaitu menganalisis data primer dan data sekunder, kemudian mengeliminasi data yang tidak perlu, dan menginsentesakan sesuai dengan gagasan dalam upaya memperkuat penelitian. 4. Evaluasi kritis, yaitu melakukan pengecekan. Pengecekan dilakukan setelah melalui beberapa tahap analisis sintetis, sehingga menghasilkan pemaparan hasil penelitian yang kritis 3. Analisis Hasil Analisis data pada penelitian ini mengacu pada buku karangan Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1994) dengan menggunakan metode hermeunetik dengan langkah metodis sebagai berikut: 1. Deskripsi Melalui unsur metodis ini data mengenai fenomena pria metroseksual dan filsafat psikoanalisis Jacque Lacan akan diuraikan secara sistematis. Tujuannya adalah memperoleh gambaran yang jelas mengenai topik penelitian 2. Interpretasi Melalui unsur metodis ini peneliti mampu menginterpretasikan dan memahami apa yang dimaksud dengan Fenomena Pria metroseksual secara mendalam sehingga akan mendapatkan pemahaman yang baru 3. Holistika Melalui unsur metodis ini yaitu peneliti mampu memahami data secara menyeluruh sehingga diperoleh pemahaman dan analisis yang tepat. 4. Analisis Melalui unsur metodis ini, peneliti menganalisis tentang Eksistensi Pria Metroseksual dalam perspektif post-strukturalisme Jacques Lacan. 4. Hasil yang ingin dicapai 1. Memberikan deskripsi secara jelas mengenai pria metroseksual 2. Memperoleh pemahaman mengenai filsafat psikoanalisis Jacques Lacan 3. Memberikan penjelasan tentang fenomena pria metroseksual dari perspektif filsafat psikoanalisis jacques Lacan. 5. Sistematika penulisan Penulisan ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat penelitian keaslian penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang ingin dicapai, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang pembahasan objek material yang terdiri dari pengertian metroseksual, sejarah dan berkembangnya pria metroseksual, faktor-faktor pendorong pria metroseksual, dan ikon-ikon metroseksual. Bab III berisi uraian mengenai filsafat psikoanalisis Jacque Lacan yang meliputi riwayat hidup Jacques Lacan, tokoh yang mempengaruhi pemikiran Jacques Lacan, dan pemikiran Jacques Lacan. Bab IV berisi tentang analisis kritis tentang fenomena pria metroseksual dalam perspektif filsafat psikoanalis Jacques Lacan. Bab V berisi penutup yang memuat kesimpulan dengan meringkas secara garis besar pembahasan penelitian.