II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teknik Konservasi Tanah dan Air Masalah konservasi tanah adalah masalah menjaga agar struktur tanah tidak terdispersi dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan. Berdasarkan asas ini ada tiga cara pendekatan dalam teknik konservasi tanah, yaitu (1) menutup tanah dengan tumbuh-tumbuhan dan tanaman atau sisa-sisa tanaman/tetumbuhan agar terlindung dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, (2) memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap penghancuran agregat dan terhadap pengangkutan, dan lebih besar dayanya untuk menyerap air di permukaan tanah dan (3) mengatur air aliran permukaan agar mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak dan memperbesar jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah (Arsyad, 2000). Metoda konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu (1) metoda vegetatif, (2) metoda mekanik dan (3) metoda kimia. Dari ketiga metode ini dapat dikombinasikan untuk mendapatkan hasil yang optimal. 2.1.1. Teras Gulud Teras gulud adalah guludan tanah yang dibuat memanjang menurut arah kontur atau memotong arah lereng. Serupa halnya dengan teras gulud, rorak merupakan sejenis embung yang dibuat searah kontur. Di dasar rorak dan teras gulud dibuat lubang resapan yang selanjutnya diisi dengan mulsa vertikal yang berfungsi mengefektifkan peresapan air ke dalam tanah. Jarak antar teras gulud dan antar rorak tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan. Penelitian Brata, Sudarmo dan Djojoprawiro (1992) menunjukkan bahwa teknik konservasi tanah dan air berupa pembuatan teras gulud yang dilengkapi dengan saluran berserasah (mulsa vertikal) sangat nyata menurunkan aliran permukaan dan erosi. Penerapan teras gulud bersaluran yang diberi serasah tersebut dengan jarak antar teras gulud 5.5 m dapat menurunkan aliran permukaan 73.6 % pada pertanaman jagung (Suryana, 1993) dan sebesar 89 % pada pertanaman kacang tanah (Tobing, 1994). Efektivitas teras gulud dalam menurunkan erosi dapat mencapai 5 % pada lereng yang sedang tetapi akan menurun pada lereng yang lebih curam (Sinukaban, 1985). Teras gulud bersaluran dapat dibuat pada tanah dengan lereng sampai 12 % (Arsyad, 2000). 2.1.2. Rorak Rorak dibuat untuk menangkap air dan tanah yang tererosi sehingga memungkinkan air meresap ke dalam tanah dan mengurangi erosi. Jarak antar rorak tergantung pada kemiringan lahan, semakin curam suatu hamparan lahan, semakin banyak rorak yang diperlukan (Arsyad, 2000). Pemanenan air dengan cara pembuatan rorak yang diberi mulsa vertikal pada areal usaha tani lahan kering berlereng dapat memperbaiki beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, serta menurunkan aliran permukaan dan meningkatkan kadar air tanah. Hasil penelitian Noeralam (2002) menunjukkan bahwa pola tanam, teknik panen air, dan interaksinya dapat mengurangi aliran permukaan 88 % dan laju erosi 94 % terhadap erosi pada tanah terbuka. Teknik panen air dengan rorak dilengkapi mulsa vertikal ini juga mampu meningkatkan kadar air tanah 13 % – 16 % di zona perakaran tanaman, dan memperbaiki beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. 2.1.3. Mulsa Mulsa adalah sisa-sisa tanaman yang disebarkan di atas permukaan tanah (Suripin, 2002). Beberapa keuntungan penggunaan mulsa yaitu (1) memberi pelindung terhadap permukaan tanah dari hantaman air hujan sehingga mengurangi laju erosi, (2) mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan, (3) memelihara temperatur dan kelembaban tanah, (4) meningkatkan kemantapan struktur tanah, (5) meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan (6) mengendalikan tanaman pengganggu. Umboh (2000) menambahkan bahwa mulsa juga bermanfaat untuk menjaga kestabilan agregat dan kimia tanah dan mencegah evaporasi. Di samping itu, mulsa dapat juga menaikkan kapasitas untuk menahan air, bahkan dapat lebih ditingkatkan bila mulsa dipakai secara tegak lurus ke dalam tanah (Fairbourn et al., 1972 dalam Sinukaban, 1985). Mulsa mengurangi erosi dengan cara meredam energi hujan yang jatuh sehingga tidak merusak struktur tanah, mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan dan mengurangi daya gerus aliran permukaan (Arsyad, 2000). Suwardjo (1981, dalam Suripin, 2002) dari penelitiannya pada tanah Latosol Citayam, Bogor dan tanah Podsolik Lampung mendapatkan bahwa mulsa selain mengurangi erosi juga mempengaruhi suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi, kemantapan agregat dan aerasi tanah. Mulsa vertikal adalah penggunaan bahan mulsa dengan cara ditempatkan pada parit-parit yang dirancang mengikuti kontur. Parit kontur biasanya dibuat dengan lebar 25 cm dan dalam 25 cm kemudian diisi mulsa. Parit yang diisi mulsa tersebut berfungsi menampung dan meresapkan air aliran permukaan serta menahan sedimen. Mulsa vertikal dapat pula diterapkan pada parit-parit teras bangku, pada parit-parit teras gulud untuk meningkatkan efektivitas pengendalian aliran permukaan (FAO and IIRR, 1995 dalam Noeralam, 2002). Efektivitas penggunaan mulsa vertikal pada lahan kering Latosol Darmaga diteliti Brata (1995) dan diperoleh bahwa mulsa vertikal yang terdiri dari jerami padi dan jagung sebanyak 3 ton bahan kering per hektar dapat digunakan untuk upaya konservasi tanah dan air lahan kering pada lereng 15 %. Jarak antara parit gulud untuk penempatan mulsa vertikal yang cukup efektif dalam mengurangi aliran permukaan pada lereng 15 % adalah 5 – 10 m. Pemberian mulsa vertikal mampu menekan aliran permukaan 67 – 82 % dan mengurangi erosi 92 – 95 % di banding dengan mulsa konvensional. 2.2. Ketersediaan Air Tanah dan Cekaman Kekeringan Dalam mekanisme daur hidrologi, yang dimaksud air bawah permukaan adalah semua bentuk aliran air hujan yang mengalir di bawah permukaan tanah sebagai akibat struktur pelapisan geologi, beda potensi kelembaban tanah, dan gaya gravitasi bumi (Asdak, 2004). Dari seluruh air hujan di daerah tropis, sekitar 75 % dari air hujan tersebut masuk ke dalam tanah dalam bentuk kelembaban tanah pada tanah tidak jenuh dan sebagai air tanah pada tanah jenuh atau tanah berbatu. Sumber air yang tersedia bagi tanaman sering ditandai dengan kisaran antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Pada kisaran ini, tanaman masih mungkin untuk mengabsorpsi air. Kisaran ini disebut sebagai kadar air efektif untuk pertumbuhan atau kadar air optimum (Sosrodarsono dan Takeda, 1993) atau air segera tersedia (Soepardi, 1983) dan jika dijumlahkan dari seluruh lapisan tanah hingga kedalaman akar dinyatakan sebagai air total segera tersedia. Jumlahnya ditentukan oleh banyaknya air yang ditahan dalam profil tanah yang dapat dijangkau akar. Tanah-tanah bertekstur halus dan sedang mempunyai kapasitas penyimpanan air yang lebih besar dibandingkan tanah-tanah bertekstur kasar. Kemampuan tanah menyimpan air tergantung pada kedalaman tanah, tekstur tanah dan kandungan bahan organik tanah. Kedalaman tanah menentukan jumlah air dapat disimpan dalam seluruh volume tanah. Tekstur tanah menentukan kapasitas lapang dan titik layu permanen. Tanah mempunyai kemampuan menahan air (water holding capacity) dalam pori-pori. Kemampuan menahan air ini dipengaruhi oleh keadaan struktur dan tekstur tanah. Air yang ditahan oleh tanah setelah drainase berhenti dapat ditranspirasikan oleh tanaman atau hilang oleh evaporasi (Sosrodarsono dan Takeda, 1993). Asdak (2004) mengungkapkan bahwa proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Akibat pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah. Pada sisi lain, gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus ke atas, ke bawah, dan ke arah horisontal (lateral). Gaya kapiler tanah ini bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori yang relatif kecil. Pada tanah dengan pori-pori besar, gaya ini dapat diabaikan pengaruhnya dan air mengalir ke tanah yang lebih dalam oleh pengaruh gaya gravitasi. Dalam perjalanannya, air juga mengalami penyebaran ke arah lateral akibat tarikan gaya kapiler tanah, terutama ke arah tanah dengan pori-pori yang lebih sempit dan tanah yang lebih kering. Tanaman tidak dapat menggunakan seluruh air yang tersimpan dalam tanah (Ackerman, Harold, dan Colman, 1955 dalam Hazriani, 2004). Pada kapasitas lapang air mudah diserap. Makin dekat titik layu permanen air makin sulit diserap karena dibutuhkan potensial air oleh akar yang lebih tinggi. Dibandingkan dengan daya tampung air tanah, maka air tersedia menempati sebagian kecil dari ruang pori tanah, yang umumnya kurang dari 20 % volume tanah. Lebih lanjut Seyhan (1990) menjelaskan gaya-gaya utama yang menyebabkan terikatnya air di dalam tanah adalah gaya adsorpsi, gaya osmotik dan gaya kapiler. Gaya adsorpsi menarik molekul air sehingga beradhesi dengan permukaan partikel tanah secara kuat. Gaya osmotik terjadi karena bahan kimia terlarut, sehingga gaya yang memegang air dalam tanah meningkat dengan jumlah sama dengan tekanan osmotik larutan tanah. Ukuran pori (pori mikro), gaya permukaan, jumlah dan sifat permukaan partikel tanah menentukan gaya kapiler. Adanya ruang pori, khususnya pori mikro, menyebabkan tanah mempunyai kapasitas untuk menyimpan air yang disebut kadar air tanah (Hanafiah, 2005). Titik layu permanen terjadi pada keadaan kadar air tanah yang tidak dapat dipindahkan dari tanah secara alami, seperti osmosis, adsorpsi, gravitasi dan kapilaritas. Keberadaan kadar air tanah yang melebihi kadar air pada titik layu permanen hingga kadar air kondisi kapasitas lapang merupakan air tersedia. Bagi tanaman, jumlah air tersedia lebih penting dibandingkan daya kandung air tanah. Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungannya yaitu media tanam. Menurut Bray (1997, dalam Wijana, 2001) cekaman kekeringan yang biasa disebut drought stress pada tanaman dapat disebabkan dua hal yaitu (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran, dan (2) permintaan air berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah tersedia cukup. Pada lahan kering, cekaman kekeringan pada tanaman terjadi karena suplai air yang tidak mencukupi. Menurut Bray (1997, dalam Wijana, 2001), respon tanaman terhadap cekaman kekeringan tergantung pada jumlah air yang hilang, tingkat kerusakan dan lama cekaman kekeringan, spesies dan genotipe, lama dan jenis penyebab kehilangan air, umur dan fase perkembangan, tipe organ dan tipe sel, dan bagianbagian sub seluler. Hasil penelitian di Afrika Barat menunjukkan bahwa kekeringan akan membatasi terbukanya daun, jumlah daun yang tidak membuka mencapai 2 pelepah per bulan sehingga mengurangi produksi daun serta akan mengurangi potensi bakal bunga. Keadaan ini terjadi sampai hujan turun normal kembali pada musim hujan (Hartley, 1977 dalam Siregar, 1998). Dampak negatif cekaman kekeringan terjadi pula pada fase reproduktif terutama terjadinya perubahan perkembangan pembungaan (seks rasio), bunga dan buah muda mengalami keguguran. Tandan buah gagal menjadi masak yang berakibat pada gagal panen dan menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) dan Crude Palm Oil (CPO). Selanjutnya dinyatakan bahwa faktor iklim yang mempengaruhi penentuan jenis kelamin adalah musim kemarau yang menimbulkan kekeringan dan kelembaban rendah, karena dengan irigasi ternyata produksi dapat meningkat yang berarti dapat mempengaruhi jumlah bunga betina (Siregar, 1998). Dampak cekaman kekeringan tidak hanya berpengaruh negatif terhadap produksi pada saat tanaman mengalami cekaman, tetapi juga berpengaruh negatif pada produksi pada tahun kedua (efek lanjutan). Hal ini menunjukkan bahwa pemulihan setelah tanaman mengalami cekaman kekeringan relatif lama sampai mencapai keadaan normal. Hasil analisis Siregar (1998) menunjukkan bahwa selama atau setelah kekeringan, produksi tandan segar dapat menurun. Dilaporkan pula bahwa akibat kekeringan yang terjadi di Lampung dan Palembang, produksi minyak menurun 8 – 10 % setiap defisit air 100 mm pada tahun berikutnya, dan 3 – 4 % pada tahun kedua. Walaupun demikian, tingkat kerusakan atau kerugian tergantung pada tingkat defisit air, umur tanaman dan tipe kelapa sawit. 2.3. Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit Menurut Hartley (1977 dalam Siregar, 1998), tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada iklim tropis zone katulistiwa dengan kelas iklim Af dan Am menurut klasifikasi Koppen. Kelapa sawit dibudidayakan secara komersial pada kawasan-kawasan yang memiliki curah hujan yang lebih besar dibandingkan evapotranspirasi sekurang-kurangnya sembilan bulan dalam setahun. Kelapa sawit tumbuh dan berkembang baik antara 13º LU – 12º LS, utamanya di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada kawasan dengan curah hujan 2000–2500 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Fauzi et al., 2002). Penyebaran curah hujan merata dimaksud adalah sebaran curah hujan yang tidak terdapat perbedaan mencolok dari satu bulan ke bulan berikutnya dan sebaiknya tidak terdapat curah hujan bulanan di bawah 60 mm sehingga tanaman tidak mengalami cekaman (Hartley, 1977 dalam Siregar, 1998). Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit. Kekeringan menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan distribusi asimilat terganggu, berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman baik fase vegetatif maupun fase generatif. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah (Balitklimat, 2005). Kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit di perkebunan komersial sekitar 1950 mm per tahun. Neraca air (mm) kelapa sawit membutuhkan sekitar 2000 mm yang merata sepanjang tahun tanpa adanya bulan kering (defisit air) yang nyata. Banyaknya penelitian yang menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi stomata dan fungsi asimilasi karbon di daun. Walaupun sifat dan tingkah laku stomata belum dapat dipahami secara tuntas, tetapi terdapat adanya korelasi yang sangat erat dengan fotosintesis netto (NP = nett photosynthesis) dengan sifat dan tingkah laku stomata (gs = stomatal conductancy). Stomata tanaman kelapa sawit sangat sensitif terhadap perubahan kelembaban udara atau defisit tekanan uap (VPD = vapour pressure defisit). Pengaturan stomata ini digunakan tanaman untuk menyesuaikan diri selama periode musim kering di Afrika, misalnya ketika terjadi peningkatan kecil pada VPD dan terjadinya defisit air tanah. 2.4. Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) memiliki akar serabut yang tumbuh terus-menerus membentuk anyaman rapat dan tebal. Sistem perakaran ini dapat tumbuh sampai kedalaman 1 m, tetapi sebagian besar berada dekat permukaan tanah yaitu pada kedalaman 15 – 30 cm, sehingga peka terhadap cekaman kekeringan. Batang kelapa sawit tegak tidak bercabang, berdiameter 40 – 75 cm, tinggi batang dalam pembudidayaan tidak lebih 15 – 18 m. Berdaun majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral. Panjang pelepah daun mencapai 9 m dengan panjang helai daun mencapai 1,2 m berjumlah 100 – 160 pasang. Untuk pertumbuhan pelepah daun untuk tanaman dewasa (berumur 8-14 tahun) berkisar 20-25 pelepah sedangkan, jumlah pelepah yang dipertahankan dalam budidaya kelapa sawit sekitar 40-56 pelepah (Hartley, 1977 dalam Siregar, 1998 ). Tipe pembungaan tanaman kelapa sawit adalah berumah satu (monoecious) yaitu bunga betina dan bunga jantan terdapat pada satu tanaman, tetapi pada tandan yang berbeda. Bunga tumbuh pada setiap ketiak pelepah daun, satu tandan bunga berupa bunga jantan atau bunga betina, dengan masa siap polinasi yang berbeda sehingga terjadi penyerbukan silang. Penentuan jenis kelamin ataupun pemisahan kelamin merupakan proses yang penting dalam sex ratio kelapa sawit. Sex ratio yang dimaksud merupakan perbandingan antara bunga betina dengan seluruh jumlah bunga yang diproduksi dalam waktu tertentu. semakin tinggi sex ratio maka semakin banyak bunga betina sehingga kemungkinan mendapatkan produksi tandan juga akan semakin banyak. Sex ratio dipengaruhi umur tanaman dan keadaan iklim (Obisesan dan Fatunla,1985 dalam Siregar,1998). Sex ratio yang tinggi ternyata belum menjamin produksi kelapa sawit yang tinggi karena belum semua bunga betina yang dihasilkan akan menjadi tandan buah yang dapat dipanen. Hal ini disebabkan kemungkinan terjadinya aborsi bunga betina dan kegagalan tandan. Penyebab terjadinya aborsi adalah kurangnya karbohidrat untuk perkembangan bunga, kurangnya ketersediaan air, pengurangan daun yang terlalu banyak sehingga tanaman mengalami cekaman (Corley, 1972 dalam Siregar, 1998). Dengan terjadinya aborsi akan dapat mengurangi produksi. Buah sawit matang 5 – 6 bulan setelah penyerbukan, tergantung pada umur bibit ditanam, kesuburan tanah, iklim dan teknik budidaya selama tanaman belum menghasilkan. Proses pematangan buah kelapa sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buah. Buah muda kelapa sawit berwarna hijau berubah menjadi merah jingga sewaktu buah telah matang (Fauzi et al., 2002).