Karakteristik Aliran Permukaan Pada Perkebuanan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Aliran Permukaan
Aliran permukaan adalah bagian dari hujan atau presipitasi yang alirannya
menuju ke saluran-saluran (sungai, danau, atau laut) (Haridjaja dkk, 1990).
Selama aliran permukaan terjadi, aliran tersebut mengangkut bagian-bagian tanah
sehingga menyebabkan terjadinya erosi (Arsyad, 2000). Aliran permukaan (run
off) dapat berupa overland flow dan sub surfaceflow atau interflow. Overland flow
adalah air yang mengalir pada permukaan tanah. Sedangkan sub surfaceflow
adalah aliran air dibawah permukaan tanah yang kemudian keluar pada suatu
tempat di bagian bawah atau masuk ke sungai (Haridjaja dkk, 1990). Aliran ini
terjadi karena adanya lapisan kedap air sehingga air tidak bisa masuk lebih jauh ke
dalam tanah.
Aliran permukaan akan terjadi apabila proses-proses hidrologi seperti
intersepsi, infiltrasi, perkolasi, simpanan permukaan, tambatan permukaan,
tambatan saluran dan evaporasi telah terjadi (Schwab et al., 1981). Setelah
mengalami proses-proses tersebut dan air hujan masih berlebih, maka akan terjadi
aliran permukaan (overland flow).
Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan yaitu faktor iklim dan
sifat-sifat daerah aliran sungai (DAS). Faktor iklim terdiri dari tipe hujan,
intensitas hujan, lama hujan, distribusi hujan, arah hujan, temperatur, angin, dan
kelembaban. Intensitas hujan berbanding lurus terhadap jumlah dan laju aliran
permukaan. Aliran permukaan akan semakin besar bila hujan terjadi pada waktu
yang lama (Haridjaja dkk, 1990). Sifat-sifat DAS yang mempengaruhi aliran
5
permukaan yaitu kadar air tanah awal, ukuran bentuk, elevasi dan topografi DAS,
vegetasi yang tumbuh di atasnya, serta geologi dan tanah.
Menurut Haridjaja dkk (1990), aliran permukaan akan tetap jika keadaan
DAS dan faktor iklim sama. Apabila faktor iklim tetap dan luas DAS berubah,
maka aliran permukaan akan berubah dan akan berbanding terbalik dengan luas
DAS. Daerah aliran sungai dengan luasan besar memiliki daerah tangkapan air
yang besar pula. Semakin luas DAS maka aliran permukaan semakin kecil karena
jarak tempuh yang harus dilalui oleh aliran permukaan lebih lama dibandingkan
aliran permukaan pada DAS yang lebih kecil. Adanya keragaman faktor iklim di
lapang juga menyebabkan pengaruh luas DAS terhadap aliran permukaan menjadi
lebih kompleks.
Sifat-sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuan aliran
permukaan dalam menimbulkan erosi yaitu jumlah, laju, dan kecepatan aliran
permukaan (Arsyad, 2000). Jumlah aliran permukaan adalah total jumlah atau
volume air yang mengalir di atas permukaan tanah untuk suatu masa hujan dan
waktu tertentu, dinyatakan dalam ketinggian (mm) atau volume (m3). Laju aliran
permukaan adalah jumlah atau volume air yang mengalir pada suatu titik atau
tempat per satuan waktu, dinyatakan dalam m3/detik atau m3/jam. Laju aliran
permukaan dikenal dengan istilah debit (Haridjaja dkk, 1990). Kecepatan aliran
permukaan adalah jarak yang ditempuh aliran permukaan per satuan waktu,
dinyatakan dalam m/detik.
Peranan Teras Gulud dalam Menekan Aliran Permukaan
Guludan merupakan suatu bangunan konservasi tanah berupa pematang
dengan
ukuran
tinggi
dan
lebar
tertentu
yang
dibuat
sejajar
garis
6
kontur/memotong arah lereng yang dilengkapi tanaman penguat teras yang
berfungsi sebagai pengendali erosi dan aliran permukaan (Departemen Pertanian,
2006b). Adanya guludan diharapkan dapat menghambat aliran permukaan
sehingga memberikan kesempatan kepada aliran permukaan untuk meresap ke
dalam tanah lebih lama sehingga jumlah kelebihan aliran permukaan yang hilang
dari petakan berkurang (Rama et al., 1978 dalam Brata, 1998). Terhambatnya
aliran permukaan menyebabkan resapan air ke dalam tanah meningkat.
Pada saat guludan tidak mampu mengurangi erosi sampai batas yang
masih dapat dibiarkan pada lereng yang lebih curam, maka digunakan teras gulud.
Teras gulud merupakan guludan yang dilengkapi dengan saluran. Guludan dibuat
memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Saluran dibuat
memanjang mengikuti guludan di sebelah atas lereng dari guludan. Ukuran
guludan pada teras gulud yaitu 25 sampai 30 cm tinggi tumpukan tanah dengan
lebar dasar sekitar 25 sampai 30 cm, kedalaman saluran adalah 25 sampai 30 cm,
dan lebar permukaan 30 cm (Arsyad, 2000).
Jarak antara guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi
tanah, dan erosivitas hujan. Teras gulud dapat dibuat pada tanah dengan lereng
sampai 12 % (Arsyad, 2000). Guludan dapat diperkuat dengan tanaman rumput,
perdu atau pohon yang tidak begitu tinggi dan rindang.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembuatan guludan sebagai
teknik konservasi dapat mengurangi aliran permukaan. Hasil penelitian Banuwa
(1994) pada tanah Andosol Pangalengan Jawa Barat, menunjukkan bahwa
perlakuan penanaman di atas guludan searah kontur lebih efektif dalam menekan
aliran permukaan dibandingkan penanaman di atas guludan searah lereng yaitu
7
dari 24.08 mm menjadi 6.95 mm atau turun 71.14 %. Selain menekan aliran
permukaan, arah guludan juga berpengaruh terhadap produksi. Perlakuan arah
guludan sesuai kontur menghasilkan produksi tanaman tomat tertinggi dan aliran
permukaan yang terjadi kecil bila dikombinasikan dengan penutup tanah berupa
jerami sehingga erosi yang terjadi cukup kecil (Rachmat, 1979). Hal ini juga
didukung oleh penelitian Soleh dkk (2003) yang menunjukkan bahwa guludan
searah kontur dapat menekan run off menjadi 333.34 m3/ha dari run off sebesar
486.32 m3/ha pada guludan yang dibuat tegak lurus kotur.
Peranan Rorak dalam Menekan Aliran Permukaan
Usaha untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan dapat dilakukan
dengan pembuatan sistem rorak atau parit-parit kecil dengan ukuran-ukuran
tertentu sesuai dengan kemiringan lahan (Kartasapoetra, Kartasapoetra dan
Sutedjo, 2005). Rorak merupakan lubang yang digali dengan ukuran kedalaman
60 cm, lebar 50 cm dengan panjang sekitar 4 sampai 5 m. Panjang rorak dibuat
sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan
rorak lainnya berkisar antara 10 sampai 15 m, sedangkan jarak horizontal berkisar
antara 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng
yang lebih curam (Arsyad, 2000). Rorak yang dibuat memotong lereng dengan
jarak antara rorak 5 m, efektif berfungsi mengendalikan laju aliran permukaan dan
dapat berfungsi sebagai teknik pemanenan air/water harvesting (Noeralam,
Arsyad dan Anas, 2003).
Rorak dibuat untuk menangkap air dan tanah tererosi sehingga
memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi (Arsyad, 2000).
Selain itu, rorak juga berfungsi memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan
8
memperlambat limpasan air pada saluran peresapan (Departemen Pertanian,
2006a). Adanya rorak sebagai penangkap air menyebabkan aliran permukaan
tertampung pada rorak sehingga tidak semua aliran permukaan sampai ke outlet.
Air yang tertampung di rorak akan terinfiltrasi secara perlahan dan dapat
dimanfaatkan oleh tanaman pada lahan tersebut. Pada daerah dengan daya serap
atau infiltrasi rendah (tanah bertekstur liat) dan curah hujan tinggi pada waktu
yang pendek, cocok apabila dibuat bangunan rorak (Agus, dan Rujitor, 2004).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembuatan rorak dapat
mengurangi aliran permukaan. Hasil penelitian Rejekiningrum dkk di Jawa
Tengah menunjukkan bahwa rorak dapat menurunkan total aliran permukaan dan
erosi masing-masing sebesar 33 % dan 62 % sehingga memungkinkan
dipercepatnya rehabilitasi lahan terdegradasi (Rejekiningrum dkk, 2000 dalam
Heryani dan Nono, 2005). Penggunaan teknik rorak yang dikombinasikan dengan
mulsa vertikal juga efektif mengurangi laju aliran permukaan yaitu 6.45 cm/tahun
dibandingkan tanah terbuka yaitu sebesar 40.22 cm/tahun (Noeralam dkk, 2003).
Hal ini menunjukkan kemampuan teknik rorak dan mulsa vertikal dalam
mengendalikan aliran permukaan. Selain itu, pembuatan rorak di dasar saluran
teras dan pengolahan tanah minimum mampu menekan besarnya erosi dari 30.2
ton/ha menjadi 16.7 ton/ha atau turun 44.8 % (Djajadi, Dalmadiyo dan Murdiyati ,
2004).
Peranan Mulsa dalam Menekan Aliran Permukaan
Mulsa adalah sisa-sisa tanaman yang ditebarkan di atas permukaan tanah
(Suripin, 2002). Beberapa keuntungan penggunaan mulsa yaitu (1) melindungi
permukaan tanah dari pukulan butiran air hujan sehingga mengurangi laju erosi,
9
(2) mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan, (3) memelihara
temperatur dan kelembaban tanah, (4) meningkatkan kemantapan struktur tanah,
(5) meningkatkan kandungan bahan organik tanah, dan (6) mengendalikan
tanaman pengganggu. Umboh (2000) menambahkan bahwa mulsa juga
bermanfaat untuk menjaga kestabilan agregat tanah dan mengurangi evaporasi.
Kestabilan agregat tanah terjaga karena mulsa di atas permukaan tanah memiliki
kemampuan melindungi permukaan tanah dari hantaman pukulan butiran air
hujan.
Suwardjo (1981 dalam Suripin, 2002) berdasarkan hasil penelitiannya di
Citayam, Bogor, dan tanah Podzolik di Lampung menyimpulkan bahwa selain
mengurangi erosi, mulsa juga berpengaruh terhadap suhu tanah, kemampuan
tanah menahan air, kekuatan penetrasi akar, kemantapan agregat, dan aerasi tanah.
Selain itu mulsa dapat menyebabkan perubahan sifat tanah ke arah yang
menguntungkan pertumbuhan tanaman seperti berkurangnya penguapan sehingga
tanah tetap berada dalam keadaan lembab.
Penggunaan mulsa pada lahan pertanian mampu menekan aliran
permukaan yang pada akhirnya dapat mengendalikan erosi. Efektivitas
penggunaan mulsa dalam menekan aliran permukaan tergantung pada seberapa
banyak jumlah mulsa yang digunakan. Semakin banyak mulsa yang digunakan
maka semakin efektif mulsa tersebut dalam menekan aliran permukaan dan erosi.
(Lal, 1976 dan 1980 dan Borst dan Woodburn, 1942, dalam Suripin, 2002).
Bahan mulsa yang baik untuk tindakan konservasi adalah bahan yang tidak
mudah lapuk seperti batang jagung ataupun jerami padi. Penggunaan jerami padi
sebanyak 6 ton/ha pada tanah Latosol Darmaga lebih efektif dalam menurunkan
10
aliran permukaan yaitu sebanyak 72.9 % dibandingkan penggunaan jerami padi
dengan dosis yang lebih rendah (3 ton/ha) yang menurunkan aliran permukaan
sebesar 26.0 % (Sinukaban, 1985). Hal ini dikarenakan kemampuan mulsa dalam
menahan energi hujan yang jatuh sehingga tanah terlindung dari penghancuran
agregat sehingga tidak menyumbat pori-pori tanah dan infiltrasi tidak berkurang.
Hasil penelitian Wiganda (1994) juga menunjukkan bahwa pemberian 6 ton/ha
semua jenis mulsa dapat mengurangi aliran permukaan dibandingkan tanah
terbuka.
Mulsa yang digunakan pada beberapa penelitian di atas adalah mulsa
konvensional yaitu mulsa yang disebarkan secara merata di permukaan tanah.
Selain itu, pemberian mulsa juga dapat dilakukan secara vertikal yaitu dengan
membenamkan mulsa ke dalam tanah secara vertikal untuk mengisi lubanglubang yang dibuat di dalam tanah atau menempatkannya dalam saluran (Agus,
dan Rujitor, 2004). Adapun keunggulan mulsa vertikal yaitu meningkatkan
kesuburan tanah karena menambah bahan organik, meningkatkan peresapan air,
mengurangi erosi, meningkatkan kehidupan jasad mikro, dan meningkatkan
kelembaban tanah.
Menurut Brata dkk (1994), mulsa vertikal merupakan teknik konservasi
tanah dan air tepat guna yang mudah dan lebih efektif untuk menekan aliran
permukaan dan erosi dibandingkan dengan mulsa konvensional dan teras gulud.
Mulsa vertikal tersebut dapat meningkatkan infiltrasi sampai beberapa musim
pertanaman. Farboun dan Gardner (1972 dalam Brata, 1994) juga menyatakan
bahwa alur yang diberi mulsa vertikal meningkatkan infiltrasi lebih besar daripada
alur tanpa mulsa dan dapat menurunkan laju evaporasi dari sekitarnya.
11
Peningkatan infiltrasi terjadi karena pori tanah terlindungi oleh mulsa sehingga
menghambat penyumbatan pori tanah yang dapat mempercepat peresapan air ke
dalam tanah.
Hasil penelitian Brata (1998) menunjukkan bahwa perlakuan teras gulud
yang dikombinasikan dengan perlakuan mulsa vertikal dengan nyata mampu
menekan aliran permukaan selama musim tanam jagung dibandingkan dengan
perlakuan mulsa konvensional. Pemanfaatan sisa tanaman untuk mulsa vertikal
yang dimasukkan dalam saluran teras gulud dapat menjaga dan memperbaiki
permukaan resapan pada dinding dan dasar saluran. Hasil penelitian Suryana
(1993) juga menunjukkan bahwa teras gulud berjarak 5.5 meter dan mulsa vertikal
adalah perlakuan paling efektif dalam mengurangi aliran permukaan dibandingkan
mulsa konvensional yaitu 100.7 m3/ha dibanding 381.9 m3/ha.
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari Nigeria, Afrika Barat.
Kelapa sawit juga cocok dikembangkan di luar daerah asalnya termasuk di
Indonesia. Tanaman ini berkembang di propinsi Aceh, Sumatera Utara, Lampung,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya (Lubis, 1992).
Tanaman kelapa sawit tergolong dalam family Palmae yaitu golongan
tanaman yang mempunyai akar serabut. Adapun fungsi akar tersebut yaitu sebagai
penyangga bagian atas dan menyerap zat hara (Tim Penulis Penebar Swadaya,
1994). Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman monokotil yaitu tanaman yang
tidak memiliki kambium pada batangnya dan pada umumnya tidak bercabang.
Pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh
berbagai faktor baik dari luar maupun dari dalam. Adapun faktor yang sangat
12
mempengaruhi pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah iklim. Secara umum,
kondisi iklim yang cocok bagi tanaman kelapa sawit terletak antara 15° LU - 15°
LS (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1994). Kelapa sawit dapat tumbuh dengan
baik pada daerah beriklim tropis dengan kisaran suhu antara 22 - 32° C dan
kelembaban udara antara 80 – 90% (Hartley, 1970 dalam Muchtadi dan Nuraida,
1986). Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada curah hujan antara 2000-3000
mm/tahun dan menyebar sepanjang tahun tanpa bulan kering (Mansjur, 1980),
dengan lama penyinaran optimum antara 5 – 7 jam per hari.
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti
podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial dan regosol. Pertumbuhan tanaman
kelapa sawit tidak terlalu dipengaruhi oleh sifat kimia tanah karena kekurangan
unsur hara dapat dipenuhi melalui pemupukan (Tim Penulis Penebar Swadaya,
1994). Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH antara 4.0 – 6.5 dengan pH optimum
antara 5.0 – 5.5.
Tanaman kelapa sawit membutuhkan sifat fisik tanah yang baik seperti
tanah yang gembur, subur, mempunyai lapisan yang dalam, teksturnya
mengandung liat dan debu 25 – 30%, datar dan berdrainase baik. Beberapa sifat
fisik tanah yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa
sawit diantaranya yaitu adanya lapisan padas , drainase yang jelek, tanah yang
dangkal, permukaan air tanah yang tinggi dan struktur tanah yang buruk (Yahya,
1990).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kebun Kelapa Sawit Afdeling III Unit Usaha
Rejosari, PT Perkebunan Nusantara VII, Desa Rejosari, Kecamatan Natar,
Lampung Selatan (Gambar Lampiran 1). Penelitian ini berlangsung dari bulan
Februari hingga bulan Juni 2006. Daerah penelitian terdiri dari 3 micro catchment
(tangkapan mikro) yang terdapat di 3 blok yaitu micro catchment I di blok 1 (Blok
375) dengan luas 11.8 ha, micro catchment II di blok 2 (Blok 415) dengan luas
14.6 ha, dan micro catchment III di blok 3 (Blok 414) dengan luas 6.3 ha. Adapun
letak ketiga blok dan micro catchment dapat dilihat pada Gambar Lampiran 2.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan selama penelitian ini adalah kertas pias pencatat
pulsa pada AWLR. Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu
current meter untuk mengukur kecepatan aliran air, sekat ukur (fiskal) untuk
pengamatan ketinggian muka air, AWLR (Automatic Water Level Recorder),
stopwatch, kantong plastik hitam dan alat tulis.
Metode
Perlakuan
Pengukuran dilaksanakan di 3 micro catchment dengan penerapan teknik
konservasi yang berbeda. Pada micro catchment I (Blok 375) diterapkan
konservasi teras gulud dengan lubang resapan dan mulsa vertikal, micro
catchment II (Blok 415) tanpa perlakuan (kontrol), dan pada micro catchment III
(Blok 414) diterapkan konservasi rorak dengan lubang resapan dan mulsa vertikal.
Tindakan konservasi tanah dan air tersebut disajikan pada Gambar 1.
14
(a)
(b)
Gambar 1. Teras gulud (a) dan rorak (b) yang dilengkapi dengan lubang
resapan dan mulsa vertikal.
Guludan dibangun di antara tanaman dan mengikuti kontur dengan beda
tinggi (Vertikal Interval) 80 cm. Guludan yang dibuat mempunyai ukuran tinggi,
lebar dan dalam saluran masing-masing kurang lebih 30 cm. Lubang resapan
dibuat di tengah-tengah saluran dengan jarak antar lubang 2 m, diameter lubang
10 cm, dan kedalaman 50 cm. Sisa tanaman berupa pelepah sawit dan dedaunan
dimasukkan ke dalam lubang resapan dan saluran dalam guludan.
Rorak dibuat mengikuti kontur dengan ukuran panjang, lebar, dan
kedalaman masing-masing 300 cm, 50 cm dan 50 cm. Jarak antar rorak dalam satu
garis kontur adalah 2 meter. Pada setiap rorak dibuat lubang resapan dengan jarak
2 m antar lubang dengan diameter dan kedalaman yang sama seperti pada saluran
15
guludan. Di dalam rorak dan lubang resapan juga ditambahkan sisa tanaman dan
dedaunan sebagai mulsa vertikal.
Pengukuran Aliran Permukaan
Pengukuran debit aliran permukaan dilakukan setiap hari pada ketiga
micro catchment yang dibangun 5 titik pengamatan AWLR (Automatic Water
Level Recorder). Pada micro catchment I dan II masing-masing dibangun 2
AWLR yaitu di bagian outlet dan inlet karena panjang saluran pengaliran air di
micro catchment tersebut cukup panjang. Sedangkan pada micro catchment III
hanya di bangun 1 AWLR karena panjang saluran pengaliran yang pendek.
Pengukuran debit aliran permukaan dilakukan pada berbagai tinggi muka
air. Pengukuran diawali dengan membaca pulsa yang tercatat pada pias AWLR,
kemudian dilakukan pengukuran tinggi muka air menggunakan sekat ukur yang
ditempelkan pada weir (Gambar 2). Kecepatan arus air aliran permukaan diukur
dengan menggunakan alat ukur arus current meter (Gambar 2) yang dilakukan
selama ± 2 menit. Alat ini berupa baling-baling yang akan berputar bila dilalui air.
Pengukuran yang dilakukan yaitu penghitungan bunyi yang dihasilkan oleh alat
current meter dimana alat akan berbunyi setiap 10 kali putaran.
Jika arus sungai kecil, maka pengukuran debit aliran dilakukan dengan
menggunakan kantong plastik hitam berukuran besar untuk menampung aliran
dan stopwatch sebagai pencatat waktu. Kantong plastik digunakan untuk
menampung air yang mengalir selama ± 10 detik. Air yang tertampung dalam
plastik kemudian ditakar menggunakan gelas ukur untuk mengetahui debit.
16
(a) Weir
(b) AWLR
(c) Pengukuran kecepatan arus
Gambar 2. Stasiun Pengukur Arus Air : (a) Weir, (b) AWLR dan (c)
Pengukuran kecepatan arus.
Pengolahan Data
Debit aliran permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan
(Arsyad, 2000) :
Q=VxA
dimana Q adalah debit aliran sungai (m3/detik), V adalah kecepatan aliran sungai
(m/detik) dan A adalah luas penampang (m2). Kecepatan aliran sungai dihitung
menggunakan persamaan (Soewarno,1991) :
V=aN+b
dimana :
V
: kecepatan aliran air (m/detik)
N
: jumlah putaran per detik
17
a, b
: konstanta yang telah ditentukan oleh pabrik pembuat alat ukur arus
(a = 0.120 dan b = 0.005).
Data tinggi muka air yang diperoleh dari hasil pengukuran digunakan
untuk membuat hubungan antara tinggi muka air (TMA) dengan pulsa AWLR
(kurva linier tinggi muka air) (Gambar Lampiran 3) sedangkan data debit yang
diperoleh dari hasil perhitungan digunakan untuk membuat hubungan antara
tinggi muka air dengan debit aliran (Liter/detik) (Kurva Lengkung Debit Aliran)
(Gambar 4) sehingga diperoleh nilai debit aliran. Data debit aliran digunakan
untuk menghitung volume debit aliran setiap 10 menit dengan cara mengalikan
debit aliran dengan waktu. Setelah volume debit aliran diperoleh maka dapat
dihitung total run off, base flow+interflow dan overland flow harian dan bulanan.
Data total run off, base flow+interflow, dan overland flow blok dalam satuan liter
dibagi dengan luas masing-masing micro catchment sehingga didapat data dalam
satuan tinggi air (mm). Kemudian dilakukan perhitungan besarnya proporsi total
run off dan overland flow terhadap curah hujan.
Analisis Data
Analisis data dilakukan terhadap besarnya curah hujan, total run off, base
flow+interflow, dan overland flow harian dan bulanan. Analisis juga dilakukan
terhadap curah hujan dan hubungannya dengan overland flow. Selain itu juga
dilakukan analisis terhadap nilai intensitas maksimum 30 menit dan debit puncak
yang terjadi pada setiap kejadian hujan.
Download