TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan Aliran permukaan adalah bagian dari hujan atau presipitasi yang alirannya menuju ke saluran-saluran (sungai, danau, atau laut) (Haridjaja dkk, 1990). Selama aliran permukaan terjadi, aliran tersebut mengangkut bagian-bagian tanah sehingga menyebabkan terjadinya erosi (Arsyad, 2000). Aliran permukaan (run off) dapat berupa overland flow dan sub surfaceflow atau interflow. Overland flow adalah air yang mengalir pada permukaan tanah. Sedangkan sub surfaceflow adalah aliran air dibawah permukaan tanah yang kemudian keluar pada suatu tempat di bagian bawah atau masuk ke sungai (Haridjaja dkk, 1990). Aliran ini terjadi karena adanya lapisan kedap air sehingga air tidak bisa masuk lebih jauh ke dalam tanah. Aliran permukaan akan terjadi apabila proses-proses hidrologi seperti intersepsi, infiltrasi, perkolasi, simpanan permukaan, tambatan permukaan, tambatan saluran dan evaporasi telah terjadi (Schwab et al., 1981). Setelah mengalami proses-proses tersebut dan air hujan masih berlebih, maka akan terjadi aliran permukaan (overland flow). Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan yaitu faktor iklim dan sifat-sifat daerah aliran sungai (DAS). Faktor iklim terdiri dari tipe hujan, intensitas hujan, lama hujan, distribusi hujan, arah hujan, temperatur, angin, dan kelembaban. Intensitas hujan berbanding lurus terhadap jumlah dan laju aliran permukaan. Aliran permukaan akan semakin besar bila hujan terjadi pada waktu yang lama (Haridjaja dkk, 1990). Sifat-sifat DAS yang mempengaruhi aliran 5 permukaan yaitu kadar air tanah awal, ukuran bentuk, elevasi dan topografi DAS, vegetasi yang tumbuh di atasnya, serta geologi dan tanah. Menurut Haridjaja dkk (1990), aliran permukaan akan tetap jika keadaan DAS dan faktor iklim sama. Apabila faktor iklim tetap dan luas DAS berubah, maka aliran permukaan akan berubah dan akan berbanding terbalik dengan luas DAS. Daerah aliran sungai dengan luasan besar memiliki daerah tangkapan air yang besar pula. Semakin luas DAS maka aliran permukaan semakin kecil karena jarak tempuh yang harus dilalui oleh aliran permukaan lebih lama dibandingkan aliran permukaan pada DAS yang lebih kecil. Adanya keragaman faktor iklim di lapang juga menyebabkan pengaruh luas DAS terhadap aliran permukaan menjadi lebih kompleks. Sifat-sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuan aliran permukaan dalam menimbulkan erosi yaitu jumlah, laju, dan kecepatan aliran permukaan (Arsyad, 2000). Jumlah aliran permukaan adalah total jumlah atau volume air yang mengalir di atas permukaan tanah untuk suatu masa hujan dan waktu tertentu, dinyatakan dalam ketinggian (mm) atau volume (m3). Laju aliran permukaan adalah jumlah atau volume air yang mengalir pada suatu titik atau tempat per satuan waktu, dinyatakan dalam m3/detik atau m3/jam. Laju aliran permukaan dikenal dengan istilah debit (Haridjaja dkk, 1990). Kecepatan aliran permukaan adalah jarak yang ditempuh aliran permukaan per satuan waktu, dinyatakan dalam m/detik. Peranan Teras Gulud dalam Menekan Aliran Permukaan Guludan merupakan suatu bangunan konservasi tanah berupa pematang dengan ukuran tinggi dan lebar tertentu yang dibuat sejajar garis 6 kontur/memotong arah lereng yang dilengkapi tanaman penguat teras yang berfungsi sebagai pengendali erosi dan aliran permukaan (Departemen Pertanian, 2006b). Adanya guludan diharapkan dapat menghambat aliran permukaan sehingga memberikan kesempatan kepada aliran permukaan untuk meresap ke dalam tanah lebih lama sehingga jumlah kelebihan aliran permukaan yang hilang dari petakan berkurang (Rama et al., 1978 dalam Brata, 1998). Terhambatnya aliran permukaan menyebabkan resapan air ke dalam tanah meningkat. Pada saat guludan tidak mampu mengurangi erosi sampai batas yang masih dapat dibiarkan pada lereng yang lebih curam, maka digunakan teras gulud. Teras gulud merupakan guludan yang dilengkapi dengan saluran. Guludan dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Saluran dibuat memanjang mengikuti guludan di sebelah atas lereng dari guludan. Ukuran guludan pada teras gulud yaitu 25 sampai 30 cm tinggi tumpukan tanah dengan lebar dasar sekitar 25 sampai 30 cm, kedalaman saluran adalah 25 sampai 30 cm, dan lebar permukaan 30 cm (Arsyad, 2000). Jarak antara guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah, dan erosivitas hujan. Teras gulud dapat dibuat pada tanah dengan lereng sampai 12 % (Arsyad, 2000). Guludan dapat diperkuat dengan tanaman rumput, perdu atau pohon yang tidak begitu tinggi dan rindang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembuatan guludan sebagai teknik konservasi dapat mengurangi aliran permukaan. Hasil penelitian Banuwa (1994) pada tanah Andosol Pangalengan Jawa Barat, menunjukkan bahwa perlakuan penanaman di atas guludan searah kontur lebih efektif dalam menekan aliran permukaan dibandingkan penanaman di atas guludan searah lereng yaitu 7 dari 24.08 mm menjadi 6.95 mm atau turun 71.14 %. Selain menekan aliran permukaan, arah guludan juga berpengaruh terhadap produksi. Perlakuan arah guludan sesuai kontur menghasilkan produksi tanaman tomat tertinggi dan aliran permukaan yang terjadi kecil bila dikombinasikan dengan penutup tanah berupa jerami sehingga erosi yang terjadi cukup kecil (Rachmat, 1979). Hal ini juga didukung oleh penelitian Soleh dkk (2003) yang menunjukkan bahwa guludan searah kontur dapat menekan run off menjadi 333.34 m3/ha dari run off sebesar 486.32 m3/ha pada guludan yang dibuat tegak lurus kotur. Peranan Rorak dalam Menekan Aliran Permukaan Usaha untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan dapat dilakukan dengan pembuatan sistem rorak atau parit-parit kecil dengan ukuran-ukuran tertentu sesuai dengan kemiringan lahan (Kartasapoetra, Kartasapoetra dan Sutedjo, 2005). Rorak merupakan lubang yang digali dengan ukuran kedalaman 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang sekitar 4 sampai 5 m. Panjang rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lainnya berkisar antara 10 sampai 15 m, sedangkan jarak horizontal berkisar antara 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih curam (Arsyad, 2000). Rorak yang dibuat memotong lereng dengan jarak antara rorak 5 m, efektif berfungsi mengendalikan laju aliran permukaan dan dapat berfungsi sebagai teknik pemanenan air/water harvesting (Noeralam, Arsyad dan Anas, 2003). Rorak dibuat untuk menangkap air dan tanah tererosi sehingga memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi (Arsyad, 2000). Selain itu, rorak juga berfungsi memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan 8 memperlambat limpasan air pada saluran peresapan (Departemen Pertanian, 2006a). Adanya rorak sebagai penangkap air menyebabkan aliran permukaan tertampung pada rorak sehingga tidak semua aliran permukaan sampai ke outlet. Air yang tertampung di rorak akan terinfiltrasi secara perlahan dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman pada lahan tersebut. Pada daerah dengan daya serap atau infiltrasi rendah (tanah bertekstur liat) dan curah hujan tinggi pada waktu yang pendek, cocok apabila dibuat bangunan rorak (Agus, dan Rujitor, 2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembuatan rorak dapat mengurangi aliran permukaan. Hasil penelitian Rejekiningrum dkk di Jawa Tengah menunjukkan bahwa rorak dapat menurunkan total aliran permukaan dan erosi masing-masing sebesar 33 % dan 62 % sehingga memungkinkan dipercepatnya rehabilitasi lahan terdegradasi (Rejekiningrum dkk, 2000 dalam Heryani dan Nono, 2005). Penggunaan teknik rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal juga efektif mengurangi laju aliran permukaan yaitu 6.45 cm/tahun dibandingkan tanah terbuka yaitu sebesar 40.22 cm/tahun (Noeralam dkk, 2003). Hal ini menunjukkan kemampuan teknik rorak dan mulsa vertikal dalam mengendalikan aliran permukaan. Selain itu, pembuatan rorak di dasar saluran teras dan pengolahan tanah minimum mampu menekan besarnya erosi dari 30.2 ton/ha menjadi 16.7 ton/ha atau turun 44.8 % (Djajadi, Dalmadiyo dan Murdiyati , 2004). Peranan Mulsa dalam Menekan Aliran Permukaan Mulsa adalah sisa-sisa tanaman yang ditebarkan di atas permukaan tanah (Suripin, 2002). Beberapa keuntungan penggunaan mulsa yaitu (1) melindungi permukaan tanah dari pukulan butiran air hujan sehingga mengurangi laju erosi, 9 (2) mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan, (3) memelihara temperatur dan kelembaban tanah, (4) meningkatkan kemantapan struktur tanah, (5) meningkatkan kandungan bahan organik tanah, dan (6) mengendalikan tanaman pengganggu. Umboh (2000) menambahkan bahwa mulsa juga bermanfaat untuk menjaga kestabilan agregat tanah dan mengurangi evaporasi. Kestabilan agregat tanah terjaga karena mulsa di atas permukaan tanah memiliki kemampuan melindungi permukaan tanah dari hantaman pukulan butiran air hujan. Suwardjo (1981 dalam Suripin, 2002) berdasarkan hasil penelitiannya di Citayam, Bogor, dan tanah Podzolik di Lampung menyimpulkan bahwa selain mengurangi erosi, mulsa juga berpengaruh terhadap suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi akar, kemantapan agregat, dan aerasi tanah. Selain itu mulsa dapat menyebabkan perubahan sifat tanah ke arah yang menguntungkan pertumbuhan tanaman seperti berkurangnya penguapan sehingga tanah tetap berada dalam keadaan lembab. Penggunaan mulsa pada lahan pertanian mampu menekan aliran permukaan yang pada akhirnya dapat mengendalikan erosi. Efektivitas penggunaan mulsa dalam menekan aliran permukaan tergantung pada seberapa banyak jumlah mulsa yang digunakan. Semakin banyak mulsa yang digunakan maka semakin efektif mulsa tersebut dalam menekan aliran permukaan dan erosi. (Lal, 1976 dan 1980 dan Borst dan Woodburn, 1942, dalam Suripin, 2002). Bahan mulsa yang baik untuk tindakan konservasi adalah bahan yang tidak mudah lapuk seperti batang jagung ataupun jerami padi. Penggunaan jerami padi sebanyak 6 ton/ha pada tanah Latosol Darmaga lebih efektif dalam menurunkan 10 aliran permukaan yaitu sebanyak 72.9 % dibandingkan penggunaan jerami padi dengan dosis yang lebih rendah (3 ton/ha) yang menurunkan aliran permukaan sebesar 26.0 % (Sinukaban, 1985). Hal ini dikarenakan kemampuan mulsa dalam menahan energi hujan yang jatuh sehingga tanah terlindung dari penghancuran agregat sehingga tidak menyumbat pori-pori tanah dan infiltrasi tidak berkurang. Hasil penelitian Wiganda (1994) juga menunjukkan bahwa pemberian 6 ton/ha semua jenis mulsa dapat mengurangi aliran permukaan dibandingkan tanah terbuka. Mulsa yang digunakan pada beberapa penelitian di atas adalah mulsa konvensional yaitu mulsa yang disebarkan secara merata di permukaan tanah. Selain itu, pemberian mulsa juga dapat dilakukan secara vertikal yaitu dengan membenamkan mulsa ke dalam tanah secara vertikal untuk mengisi lubanglubang yang dibuat di dalam tanah atau menempatkannya dalam saluran (Agus, dan Rujitor, 2004). Adapun keunggulan mulsa vertikal yaitu meningkatkan kesuburan tanah karena menambah bahan organik, meningkatkan peresapan air, mengurangi erosi, meningkatkan kehidupan jasad mikro, dan meningkatkan kelembaban tanah. Menurut Brata dkk (1994), mulsa vertikal merupakan teknik konservasi tanah dan air tepat guna yang mudah dan lebih efektif untuk menekan aliran permukaan dan erosi dibandingkan dengan mulsa konvensional dan teras gulud. Mulsa vertikal tersebut dapat meningkatkan infiltrasi sampai beberapa musim pertanaman. Farboun dan Gardner (1972 dalam Brata, 1994) juga menyatakan bahwa alur yang diberi mulsa vertikal meningkatkan infiltrasi lebih besar daripada alur tanpa mulsa dan dapat menurunkan laju evaporasi dari sekitarnya. 11 Peningkatan infiltrasi terjadi karena pori tanah terlindungi oleh mulsa sehingga menghambat penyumbatan pori tanah yang dapat mempercepat peresapan air ke dalam tanah. Hasil penelitian Brata (1998) menunjukkan bahwa perlakuan teras gulud yang dikombinasikan dengan perlakuan mulsa vertikal dengan nyata mampu menekan aliran permukaan selama musim tanam jagung dibandingkan dengan perlakuan mulsa konvensional. Pemanfaatan sisa tanaman untuk mulsa vertikal yang dimasukkan dalam saluran teras gulud dapat menjaga dan memperbaiki permukaan resapan pada dinding dan dasar saluran. Hasil penelitian Suryana (1993) juga menunjukkan bahwa teras gulud berjarak 5.5 meter dan mulsa vertikal adalah perlakuan paling efektif dalam mengurangi aliran permukaan dibandingkan mulsa konvensional yaitu 100.7 m3/ha dibanding 381.9 m3/ha. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Kelapa sawit juga cocok dikembangkan di luar daerah asalnya termasuk di Indonesia. Tanaman ini berkembang di propinsi Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya (Lubis, 1992). Tanaman kelapa sawit tergolong dalam family Palmae yaitu golongan tanaman yang mempunyai akar serabut. Adapun fungsi akar tersebut yaitu sebagai penyangga bagian atas dan menyerap zat hara (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1994). Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman monokotil yaitu tanaman yang tidak memiliki kambium pada batangnya dan pada umumnya tidak bercabang. Pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari luar maupun dari dalam. Adapun faktor yang sangat 12 mempengaruhi pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah iklim. Secara umum, kondisi iklim yang cocok bagi tanaman kelapa sawit terletak antara 15° LU - 15° LS (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1994). Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan kisaran suhu antara 22 - 32° C dan kelembaban udara antara 80 – 90% (Hartley, 1970 dalam Muchtadi dan Nuraida, 1986). Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun dan menyebar sepanjang tahun tanpa bulan kering (Mansjur, 1980), dengan lama penyinaran optimum antara 5 – 7 jam per hari. Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial dan regosol. Pertumbuhan tanaman kelapa sawit tidak terlalu dipengaruhi oleh sifat kimia tanah karena kekurangan unsur hara dapat dipenuhi melalui pemupukan (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1994). Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH antara 4.0 – 6.5 dengan pH optimum antara 5.0 – 5.5. Tanaman kelapa sawit membutuhkan sifat fisik tanah yang baik seperti tanah yang gembur, subur, mempunyai lapisan yang dalam, teksturnya mengandung liat dan debu 25 – 30%, datar dan berdrainase baik. Beberapa sifat fisik tanah yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit diantaranya yaitu adanya lapisan padas , drainase yang jelek, tanah yang dangkal, permukaan air tanah yang tinggi dan struktur tanah yang buruk (Yahya, 1990). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Kelapa Sawit Afdeling III Unit Usaha Rejosari, PT Perkebunan Nusantara VII, Desa Rejosari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan (Gambar Lampiran 1). Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari hingga bulan Juni 2006. Daerah penelitian terdiri dari 3 micro catchment (tangkapan mikro) yang terdapat di 3 blok yaitu micro catchment I di blok 1 (Blok 375) dengan luas 11.8 ha, micro catchment II di blok 2 (Blok 415) dengan luas 14.6 ha, dan micro catchment III di blok 3 (Blok 414) dengan luas 6.3 ha. Adapun letak ketiga blok dan micro catchment dapat dilihat pada Gambar Lampiran 2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan selama penelitian ini adalah kertas pias pencatat pulsa pada AWLR. Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu current meter untuk mengukur kecepatan aliran air, sekat ukur (fiskal) untuk pengamatan ketinggian muka air, AWLR (Automatic Water Level Recorder), stopwatch, kantong plastik hitam dan alat tulis. Metode Perlakuan Pengukuran dilaksanakan di 3 micro catchment dengan penerapan teknik konservasi yang berbeda. Pada micro catchment I (Blok 375) diterapkan konservasi teras gulud dengan lubang resapan dan mulsa vertikal, micro catchment II (Blok 415) tanpa perlakuan (kontrol), dan pada micro catchment III (Blok 414) diterapkan konservasi rorak dengan lubang resapan dan mulsa vertikal. Tindakan konservasi tanah dan air tersebut disajikan pada Gambar 1. 14 (a) (b) Gambar 1. Teras gulud (a) dan rorak (b) yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal. Guludan dibangun di antara tanaman dan mengikuti kontur dengan beda tinggi (Vertikal Interval) 80 cm. Guludan yang dibuat mempunyai ukuran tinggi, lebar dan dalam saluran masing-masing kurang lebih 30 cm. Lubang resapan dibuat di tengah-tengah saluran dengan jarak antar lubang 2 m, diameter lubang 10 cm, dan kedalaman 50 cm. Sisa tanaman berupa pelepah sawit dan dedaunan dimasukkan ke dalam lubang resapan dan saluran dalam guludan. Rorak dibuat mengikuti kontur dengan ukuran panjang, lebar, dan kedalaman masing-masing 300 cm, 50 cm dan 50 cm. Jarak antar rorak dalam satu garis kontur adalah 2 meter. Pada setiap rorak dibuat lubang resapan dengan jarak 2 m antar lubang dengan diameter dan kedalaman yang sama seperti pada saluran 15 guludan. Di dalam rorak dan lubang resapan juga ditambahkan sisa tanaman dan dedaunan sebagai mulsa vertikal. Pengukuran Aliran Permukaan Pengukuran debit aliran permukaan dilakukan setiap hari pada ketiga micro catchment yang dibangun 5 titik pengamatan AWLR (Automatic Water Level Recorder). Pada micro catchment I dan II masing-masing dibangun 2 AWLR yaitu di bagian outlet dan inlet karena panjang saluran pengaliran air di micro catchment tersebut cukup panjang. Sedangkan pada micro catchment III hanya di bangun 1 AWLR karena panjang saluran pengaliran yang pendek. Pengukuran debit aliran permukaan dilakukan pada berbagai tinggi muka air. Pengukuran diawali dengan membaca pulsa yang tercatat pada pias AWLR, kemudian dilakukan pengukuran tinggi muka air menggunakan sekat ukur yang ditempelkan pada weir (Gambar 2). Kecepatan arus air aliran permukaan diukur dengan menggunakan alat ukur arus current meter (Gambar 2) yang dilakukan selama ± 2 menit. Alat ini berupa baling-baling yang akan berputar bila dilalui air. Pengukuran yang dilakukan yaitu penghitungan bunyi yang dihasilkan oleh alat current meter dimana alat akan berbunyi setiap 10 kali putaran. Jika arus sungai kecil, maka pengukuran debit aliran dilakukan dengan menggunakan kantong plastik hitam berukuran besar untuk menampung aliran dan stopwatch sebagai pencatat waktu. Kantong plastik digunakan untuk menampung air yang mengalir selama ± 10 detik. Air yang tertampung dalam plastik kemudian ditakar menggunakan gelas ukur untuk mengetahui debit. 16 (a) Weir (b) AWLR (c) Pengukuran kecepatan arus Gambar 2. Stasiun Pengukur Arus Air : (a) Weir, (b) AWLR dan (c) Pengukuran kecepatan arus. Pengolahan Data Debit aliran permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan (Arsyad, 2000) : Q=VxA dimana Q adalah debit aliran sungai (m3/detik), V adalah kecepatan aliran sungai (m/detik) dan A adalah luas penampang (m2). Kecepatan aliran sungai dihitung menggunakan persamaan (Soewarno,1991) : V=aN+b dimana : V : kecepatan aliran air (m/detik) N : jumlah putaran per detik 17 a, b : konstanta yang telah ditentukan oleh pabrik pembuat alat ukur arus (a = 0.120 dan b = 0.005). Data tinggi muka air yang diperoleh dari hasil pengukuran digunakan untuk membuat hubungan antara tinggi muka air (TMA) dengan pulsa AWLR (kurva linier tinggi muka air) (Gambar Lampiran 3) sedangkan data debit yang diperoleh dari hasil perhitungan digunakan untuk membuat hubungan antara tinggi muka air dengan debit aliran (Liter/detik) (Kurva Lengkung Debit Aliran) (Gambar 4) sehingga diperoleh nilai debit aliran. Data debit aliran digunakan untuk menghitung volume debit aliran setiap 10 menit dengan cara mengalikan debit aliran dengan waktu. Setelah volume debit aliran diperoleh maka dapat dihitung total run off, base flow+interflow dan overland flow harian dan bulanan. Data total run off, base flow+interflow, dan overland flow blok dalam satuan liter dibagi dengan luas masing-masing micro catchment sehingga didapat data dalam satuan tinggi air (mm). Kemudian dilakukan perhitungan besarnya proporsi total run off dan overland flow terhadap curah hujan. Analisis Data Analisis data dilakukan terhadap besarnya curah hujan, total run off, base flow+interflow, dan overland flow harian dan bulanan. Analisis juga dilakukan terhadap curah hujan dan hubungannya dengan overland flow. Selain itu juga dilakukan analisis terhadap nilai intensitas maksimum 30 menit dan debit puncak yang terjadi pada setiap kejadian hujan.