SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | PENELITIAN Aspek Intangible di Balik Jejak Rancang Bangun Arsitektur Kolonial Masa Pengembangan Wilayah Kota Malang 19171929 Noviani Suryasari nov [email protected] Lab. A rsitektur N usantara/Jurusan A rsitektur, F akultas Teknik/U niv ersitas Braw ijaya. Abstrak Kota Malang adalah kota bersejarah panjang yang tergambar dalam suatu proses transformasi ruang dan bentuk, sejak masa prakolonial sampai dengan saat ini. Masa kolonial adalah masa yang turut menentukan karakter kota, sejak beberapa kawasan dan bangunan saat ini merupakan jejak cukup gamblang dari hasil rancang bangun pada masa itu, bahkan beberapa di antaranya tersurat mengisi daftar bangunan yang dit etapkan untuk dilindungi dan dilestarikan di Kota Malang oleh pemerintah kota. Seberapa jauh jejak tersebut dapat dikenali secara baik dari rupa maupun isi, dari yang terlihat maupun yang tak terlihat? Studi ini berupaya untuk menggali lebih jauh hal-hal yang bersifat tak terlihat ( intangible ) di balik rupa rancang bangun arsitektur yang selama ini lebih mudah dan lebih sering dikenali dengan indera visual. Metode yang digunakan adalah metode dengan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif yang berupaya menjelaskan hal-hal yang ada di balik wujud rancang bangun arsitektur kolonial masa pengembangan wilayah Kota Malang tahun 1917-1929 yang berfokus pada aspek dan nilai estetika rancangan. Kata-kunci : intangible, nilai estetika, arsitektur kolonial, Kota Malang Pendahuluan W arisan budaya ( cultural heritage ) di bumi nusantara sebenarnya sangat kaya karena dilatarbelakangi oleh sejarah keragaman budaya dari ujung Timur sampai ujung Barat, ujung Utara sampai ujung Selatan ruang budaya nusantara. Namun perubahan -perubahan akibat cara berpikir manusia nusantara yang juga berubah dari waktu ke waktu, membawa sejarah budaya nusantara itu sendiri menuju ke arah dan tujuan yang belum dapat ditempatkan kembali secara jelas sejalan dengan nilai dan makna yang seharusnya ditetapkan sesuai dengan fitrah hidup manusia nusantara. Hal tersebut mengakibatkan warisan budaya nusantara yang sebenarnya sangat kaya ragam, kaya nilai, dan kaya makna menjadi terdegradasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Fenomena warisan bangun artefak arsitektural dari masa lalu sebagai salah satu bagian dari warisan budaya nusantara, di masa poskolonial in i masih dalam kondis i setengah mati setengah hidup, baik yang merupakan warisan masa prakolonial maupun kolonial. Sejauh apa warisan budaya artefak arsitektural diperlakukan saat ini, bagaimana seharusnya? Jawaban dari pertanyaan tersebut dalam tulisan ini tidak akan diketahui secara tuntas, namun akan diupayakan sedikit saja dengan melakukan kajian terhadap salah satu warisan artefak arsitektural yang merupakan hasil rancang bangun arsitektur kolonial di Kota Malang pada masa pengembangan wilayah kota tahun 1917-1929, yang berupaya untuk mengenal warisan tersebut secara lebih baik dari hal-hal intangible di balik rupa wujud visualnya. Dengan mengenal secara lebih baik maka diharapkan semakin besar peluang untuk mengetahui langkah-langkah yang tepat untuk keberlangsungannya di masa yang akan datang. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 001 Aspek Intangible di Balik Jejak Rancang Bangun Arsitektur Kolonial Masa Pengembangan Wilay ah Kota Malang 1917-1929 Persoalan terkait warisan ( heritage) tentu saja akan menyangkut definisi, lingkup, konsep dan filosofi dari warisan ( heritage ) it u sendiri. Dari berbagai studi dengan tema warisan budaya, diketahui bahwa telah terjadi perkembangan dari masa ke masa terkait dengan definisi dan lingkup heritage . Lingkup heritage yang mencakup tidak hanya kebendaan tidaklah muncul dari awal tetapi baru menjadi suatu kesepakatan yang mengglobal dan berlaku umum di beberapa dekade terakhir ini. Dengan demikian, maka menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan bahwa lingkup heritage yang mencakup hal-hal tidak kebendaan menjadi bagian penting untuk menetapkan dan melakukan penilaian terhadap suatu objek. Dari berbagai studi tersebut (Halu & Kucukkaya 2016, Fitri et.al 2015, Bakri et.al 2015, Prajnawrdhi et.al 2015, Elrasoul 2016, Kwanda 2013, Vecco 2010, AhimsaPutra 2000, Mısırlısoy & Günce 2016) dapat disimpulkan secara lebih rinci bahwa: 1. Heritage dipandang sebagai sesuatu yang bukan hanya kebendaan sifatnya ( tangible) tetapi juga yang sifatnya ketidakbendaan (intangible) 2. Heritage dipandang sebagai sesuatu yang memiliki signifikansi budaya, sehingga tidak hanya dipandang sebagai artefak tetapi sumber pengetahuan 3. Kriteria heritage mengacu pada nilai-nilai apa yang dipandang signifikan bagi masyarakat pemilik heritage tersebut. Kriteria yang cenderung sering digunakan adalah kriteria yang didasarkan pada nilai budaya, ekonomi, informasi, estetis, sejarah, ilmu pengetahuan, bahasa, rekreasi, sosial. 4. Heritage dalam bentuk bangunan didasarkan pada kriteria yang dominan mengacu pada nilai. Dengan demikian bangunan yang dijadikan sebagai heritage perlu dinilai tidak hanya dari kondisi fisiknya tetapi juga ada nilai-nilai apa saja yang terkandung di dalamnya. W arisan arsitektur kolonial juga menyangkut persoalan keberadaan wujud arsitektur yang dirancang dengan kaidah estetika tertentu dan menjadi bagian atau salah satu kategori dari karya estetis. Dalam kajian filsafat estetika, estetika memiliki pengertian dan lingkup yang sangat terkait dengan karya estetis beserta dengan penciptaannya: estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap halhal yang berkaitan dengan keindahan, dengan proses penciptaan karya estetis, yang sejalan dengan zaman tidak lagi hanya menawarkan “beauty” tetapi juga makna dan aksi mental (Sachari 2002). Persoalan estetika menurut Kartika & Perwira (2004) meliputi empat hal, yang dalam konteks arsitektur terkait dengan tiga persoalan: nilai estetika (esthetic value), pengalaman estetis (esthetic experience ), dan perancang ( architect ). Nilai estetika dalam rancang bangun arsitektur berdasarkan sudut pandang Sachari (2007) tentang nilai estetika modern dalam desain di Indonesia, meliputi: 1. 2. 3. 4. Nlai hasil serapan gaya estetik barat Terkandung di dalamnya adalah “perdampingan” dua fenomena budaya, proses adopsi dan penyerapan. Berhubungan dengan unsur politik kekuasaaan tertentu dan kebijakan politik pembangunan Representasi adanya gaya hidup modern abad 20 Menunjukkan hasil tradisi akademik dalam lingkup desain Mengacu pada pengetahuan tersebut maka warisan rancang bangun arsitektur kolonial di Kota Malang masa pengembangan wilayah kota tahun 1917 -1929 diyakin i memiliki nilai-n ilai estetika yang bukan hanya sekadar menawarkan “beauty” dalam bentuk rupa wujud visualnya saja tetapi memiliki keempat nilai estetika yang dinyatakan oleh Sachari (2007) tersebut di atas. Nilai-n ilai estetika yang sifatnya tak langsung terlihat ( intangible ) dalam suatu artefak bangunan diharapkan dapat menjadi sumber penget ahuan, dan sumber pengetahuan tersebut dapat bermanfaat dan berperan dalam penyadaran, pembelajaran, dan pembudayaan (Sachari, 2007). Metode Penelitian Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif terhadap objek studi berupa kawasan dan bangunan yang dibangun pada masa pengembangan wilayah Kota Malang 1917 -1929. Objek dibatasi pada lingkup bouwplan II dan jalur penghubung antara bouwplan II dan V yang mengemban fungsi penting pada masa itu dan saat ini pun masih menjadi bagian Kota Malang B 002 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Nov iani Sury asari dengan fungsi yang sangat vital. Data dikumpulkan dengan terutama pengumpulan data sekunder yang ditunjang dengan observasi langsung ke lapangan. Data sekunder lebih banyak mewakili data historis, sementara hasil data primer dari observasi bertujuan untuk mengetahui kondisi saat ini yang dapat mengindikasikan apakah terjadi perubahan bentuk dan fungsi atau tidak. Analisis ditekankan pada aspek estetika bangunan dan data dianalisis berdasarkan sumber pengetahuan terkait nilai-nilai estetika menurut Sachari (2007). Hasil dan Pembahasan Serapan Dan Perdampingan pada Arsitektur Kolonial Belanda Yang Ada di Objek Studi Kasus/ objek studi berada di dalam kawasan yang pada masa kolonial Belanda merupakan salah satu kawasan dalam rencana pengembangan wilayah Kota Malang tahun 1917 -1929, yaitu termasuk bangunan yang ada di dalam Bouwplan II. Sejarah rencana pengembangan wilayah Kota Malang, tidak lepas dari seorang tokoh perencana pada masa kolonial Belanda yaitu Thomas Karsten sebagai berlatarbelakang perencana atau planner yang banyak berkiprah dan ditugaskan dalam b idang perencanaan dan perancangan kawasan. Pada masa itu, Thomas Karsten ditugaskan untuk membuat konsep perencanaannya, yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi dengan konsep Kota Taman atau Garden City. Konsep Kota Taman juga sedang berkembang dan banyak diaplikasikan pada kurun waktu kurang lebih sama di Eropa, yaitu konsep perencanaan dan perancangan kawasan urban yang muncul akibat dilatarbelakangi oleh problem besar dalam perumahan dan permukiman penduduk di kota-kota benua Eropa akibat kondisi san itasi yang buruk, berdampak pada lingkungan yang kurang sehat bagi penghuninya. Dengan latarbelakang keaktifan Thomas Karsten dalam organisasi, sehingga dari pengalamannya berinteraksi dengan banyak planner di Eropa sangat besar, maka jelaslah terlihat bahwa serapan pengetahuan yang diperoleh oleh Thomas Karsten tentang konsep perencanaan dan perancangan kota Eropa ikut berpengaruh terhadap konsep perencanaan Kota Malang. Hal tersebut dapat dilihat dari ide-ide dan wujud aplikasi dari ide-ide tersebut di beberapa objek studi terutama untuk elemen ruang luar, untuk elemen path, node , dan kombinasi elemen node-landmark. Kajian lebih jauh terhadap kasus/ objek studi di Kota Malang in i terkait dengan serapan pengetahuan Barat melalui ide-ide Thomas Karsten dalam konsep perencanaan dan perancangan kota, menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Seluruh kawasan di dalam lingkungan kota atau kota secara keseluruhan harus direncanakan dan dirancang berdasarkan suatu hubungan yang baik antar lingkungan 2. Keserasian dalam keragaman menjadi dasar pertimbangan dalam menciptakan lingkungan kota yang integratif sehingga kota terlihat sebagai satu kesatuan yang harmonis 3. Perencanaan dan perancangan lingkungan kota harus me mpertimbangkan ele men penghubung berupa koridor jalan sebagai salah satu aspek penentu keindahan kota, karena jalanlah tempat dimana sudut pandang mata manusia terhadap keindahan berada 4. Elemen ala m dijadikan sebagai bagian yang integral atau termasuk sebagai salah satu elemen pembentuk lansekap kota yang sangat penting Kajian lebih jauh terhadap objek studi ini terkait dengan serapan pengetahuan Barat melalui perwujudan aplikasi ide-ide Thomas Karsten dalam bentuk elemen ruang luar ( path, node, kombinasi node & landmark), menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Poros Timur-Barat Kota Malang merupakan salah satu koridor jalan dengan hirarki yang paling penting selain poros Utara-Selatan Kota Malang, berperan sebagai penghubung antara kawasan sebelah timur Sungai Brantas (Bouwplan II) dengan kawasan sebelah barat Sungai Brantas (Bouwplan V). Koridor jalan in i oleh sebab itu menjadi hal sangat vital dalam membangun keterjalinan yang baik antar kawasan atau lingkungan. (elemen path) Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| B 003 Aspek Intangible di Balik Jejak Rancang Bangun Arsitektur Kolonial Masa Pengembangan Wilay ah Kota Malang 1917-1929 2. Setiap pertemuan, dan persilangan antar koridor jalan yang ada di dalam lingkungan kota selalu diselesaikan dengan elemen pembentuk lansekap penting seperti taman atau ruang terbuka. Alun-alun Bundar berupa ruang terbuka dan taman selain sebagai bagian dari pusat kota baru, juga berfungsi sebagai elemen yang me mbangun keserasian karena berperan sebagai penyatu antar berbagai koridor jalan yang bertemu di titik tersebut. Berperan pula sebagai ruang luar yang menyatukan bangunan-bangunan yang ada di kawasan tersebut. (elemen node: Alun-alun Bundar Kota Malang) 3. Dua massa bangunan yang ada di sisi sebelah Barat Daya dan Barat Laut dari titik persimpangan antara Jalan Basuki Rachmat dan Jalan Kahuripan – Jalan Semeru atau dikenal dengan perempatan Kayu Tangan, merupakan dua massa bangunan yang berfungsi sebagai pembingkai pemandangan Gunung Kawi dan Gunung Arjuna di sisi sebelah Barat Kota Malang. Kombinasi antara dua massa bangunan tersebut dengan titik pertemuan dua poros utama Kota Malang menciptakan suatu sekuensial pemandangan sebagai bagian dari keindahan Kota Malang. Dengan demikian, alam pada akhirnya menjadi bagian penting dari elemen lansekap kota. (kombinasi elemen node dan landmark) Point-point yang disampaikan di atas memberikan suatu fakta bahwa di dalam arsitektur kolonial baik secara skala bangunan maupun ruang luar memiliki nilai hasil serapan gaya estetik barat. Namun demikian sebenarnya yang terpenting adalah bahwa bersamaan dengan telah terjadinya serapan tersebut juga terjadi proses perdampingan, bagaimana pengetahuan yang telah terserap dari luar melalu i aktivitas kolonisasi terkait dengan perencanaan dan perancangan kota dan terkait dengan arsitekturnya, dipadukan dengan kondisi lokal yang ada di Kota Malang secara khusus dan Indonesia (Hindia Belanda) secara umum. Kondisi tersebut secara pengalaman visual ataupun pengalaman melalui indera yang lain terserap oleh tokoh atau pelaku seperti Thomas Karsten, saat berkiprah di Hindia Belanda. Beberapa lokasi lain selain Kota Malang turut berkontribusi pula terhadap hasil serapan pengetahuan lokal yang diperolehnya seperti Semarang, Bandung, Batavia, Magelang, Cirebon, Madiun, Bogor, Surakarta, Yogyakarta dan Purwokerto. Mengutip tulisan Thomas Karsten dalam majalah IBT Locale Techniek No.3 Mei 1936 (dalam Handinoto& Soehargo 1996) tentang karakter Kota Malang: “Kotanya tidak bercorak kebarat-baratan, melainkan lebih bercorak Hindia (Indisch) yang baik. .................., dan iklimnya yang sejuk dan kering yang membuat orang lebih bergairah, dengan penduduk Jawanya yang rajin, yang menempati tanah pusaka ini sejak berabad-abad, ..............” (Handinoto & Soehargo 1996) Thomas Karsten meyakini bahwa karakter yang terbentuk adalah suatu karakter Hindia ( Indisch ) yang konotasinya lebih mengarah pada suatu kombinasi antara karakter luar (Barat) dan karakter lokal (Timur). Dengan demikian apa yang dinyatakan sebagai perdampingan begitulah adanya, ditunjang pula dengan fakta bahwa Thomas Karsten sangat tertarik dengan pola tata ruang kotakota tua di Jawa seperti Surakarta dan Yogyakarta, dengan pusat kota yang sangat jelas berupa alun-alun, dan bagaimana ruang kotanya cukup didominasi dengan dedaunan hijau (Handinoto & Soehargo 1996). Di antara aplikasi ide-ide Thomas Karsten dalam bentuk elemen ruang luar ( path, node, kombinasi node & landmark ) yang menunjukkan adanya serapan pengetahuan Barat, juga terdapat penyesuaian terhadap potensi dan karakter lokal terkait dengan elemen lingkungan alam yang sangat berperan dalam menyumbang karakter visual lansekap kota. Keberadaan Sungai Brantas, rangkaian Gunung Arjuna, Kawi, Semeru, Panderman dan Kelud tidak dapat lepas dari konsep perencanaan dan perancangan Kota Malang sehingga terciptalah karakter kota yang spesifik dan khas karena tidak dapat ditemui di kota lain. Unsur Politik pada arsitektur kolonial Belanda yang ada di objek studi Masa kolonisasi Belanda di Indoneia tidak lepas dari kondisi dinamika masyarakat di bidang politik ekonomi-sosial-budaya. Penguasaan terhadap bumi Indonesia dengan segala kekayaan alamnya mendasari visi dan misi bangsa Belanda selama menapakkan kaki di Hin dia Belanda dan kemudian berkembang menjadi suatu bentuk imperialisme dan kolonialisasi selama 3,5 abad. Selama masa B 004 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Nov iani Sury asari kurun waktu kolonisasi tersebut Belanda berinteraksi dengan masyarakat lokal dengan menggunakan senjata nonfisik berupa politik ekonomi dan politik sosial budaya. Dan dalam tiga periode (konservatif, liberal, etis) dapat dikatakan bahwa yang menjadi dominan: politik ekonomi pada periode politik konservatif, dan politik sosial budaya pada periode politik etis, sementara perimbangan keduanya pada masa politik liberal. Di antara ketiga periode tersebut, yang paling banyak atau signifikan berpengaruh terhadap praktek arsitektur baik skala makro maupun mikro adalah dua periode yang terakhir, yaitu saat pengaruh industrialisasi mulai masuk pada akhir abad 19 dan pada akhirnya membentuk dan membangun gaya hidup yang jauh dari kehidupan masyarakat agraris di awal abad 20. Dengan latarbelakang pengaruh praktek politik ekonomi dan sosial budaya bangsa Belanda terhadap perubahan masyarakat di daerah kolon isasinya dalam hal mindset, mentalitas dan gaya hidup itulah yang pada akhirnya memunculkan suatu dugaan atau hipotesis apakah sudah terjadi kecenderungan perubahan arah kiblat ke Eropa? Apakah sudah terjadi kecenderungan pembaratan nilai-n ilai lokal atau nilai-nilai timur selama masa kolonisasi yang berlangsung beratus tahun? Sejumlah pertanyaan ini tentu saja menjadi sangat terkait dengan pembahasan pada bagian sebelumnya tentang perserapan nilai estetika barat, sehingga perlu ditelisik lagi lebih mendalam sampai sejauh apa perserapan tersebut menghasilkan suatu perdampingan dua fenomena budaya barat dan timur, apakah hanya sebatas perserapan begitu saja, sehingga yang menjadi lebih dominan dan berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat sampai dengan saat ini adalah nilai-nilai barat bukan nilai-nilai timur atau kombinasi keduanya. Atau apakah perserapan tersebut justru menghasilkan suatu perdampingan yang selaras antara timur dan barat, sehingga menjadi pijakan yang baik pula untuk menghadapi pengaruh lu ar yang kurang sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Jika dikaitkan dengan objek/ kasus studi 4 elemen kota yang terdapat dalam lokasi studi, maka dinamika politik kolonial etislah yang menjadi latarbelakang dan termuat dalam keberadaan objek arsitektur kolonial tersebut, karena objek/ kasus studi dibangun pada awal abad 20 atau tahun 1900an saat politik tersebut dilancarkan. Keterkaitan praktek politik etis melalui penerapan politik sosial-budaya pada tahun 1900an cukup sulit untuk dilihat secara langsung dengan objek/ kasus studi. Namun jika dilihat dampak atau akibat pelaksanaan politik tersebut secara umum yaitu bahwa terjadi pemantapan kedudukan kota-kota kolonial, maka menjadi jelas bahwa adanya pengembangan wilayah Kota Malang dengan perencanaan bouwplan -nya merupakan salah satu bukti terjadinya pemantapan tersebut. Diperjelas lagi dengan adanya pusat pemerintahan baru, ditandai dengan Bouwplan II, tercakup di dalamnya adalah Balai Kota dan bangunan-bangunan lain beserta elemen-elemen lansekap kota pendukung seperti ruang terbuka dan jalur penghubung ke kawasan yang lain. Untuk mengetahui unsur politik yang ada di dalam objek/ kasus studi secara spesifik, masih membutuhkan bukti-bukti dan fakta yang mendukung sehingga dapat menjelaskan secara lebih spesifik unsur politik yang bagaimana dan memberi pengaruh sampai sejauh apa terhadap aspek arsitektural dari setiap elemen kota baik ruang luar maupun bangunan. Namun paling tidak secara umum dapat disimpulkan bahwa karakteristik ruang luar dan bangunan di lokasi studi adalah penanda terjadinya transformasi bentuk dan ruang Kota Malang sebagai kota kolonial, dari karakter ruralscape menjadi urbanscape yang semakin kuat dan mantap. Karakter urbanscape dit andai terutama dari semakin banyaknya fungsi-fungsi bangunan publik berskala besar yang melayani aktivitas masyarakat urban, tingkat aksesibilitas yang tinggi antar fungsi-fungsi tersebut, dan karakter arsitektur indish yang semakin mendominasi setiap ruang kota. Gaya Hidup pada arsitektur kolonial Belanda yang ada di objek studi Seperti telah disebutkan di bagian sebelumnya (pada pembahasan Unsur Politik), bahwa pelaksanaan politik kolonial di Hind ia Belanda secara umum mengakibatkan terjadinya perubahan Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| B 005 Aspek Intangible di Balik Jejak Rancang Bangun Arsitektur Kolonial Masa Pengembangan Wilay ah Kota Malang 1917-1929 gaya hidup. Selama praktek politik ekonomi dan politik sosial budaya di Hindia Belanda sampai dengan akhir abad 19, pemerintah Belanda sangatlah gencar dalam melakukan pembangunan sarana dan prasarana bag i berlangsungnya aktivitas ekonomi: infrastruktur b erupa jalur transportasi darat (kendaraan roda 2-4 dan kereta api), fasilitas berupa bangunan-bangunan pelayanan publik seperti stasiun kereta api, pasar, sampai dengan adanya pusat kota sebagai pusat kontrol aktivitas bukan hanya politik tetapi juga ekonomi. Hal tersebut sekali lagi dilakukan berpulang kepada visi dan misi mereka dalam melakukan imperialisme dan kolonialisasi di Indonesia. Dampak atau akibat dari praktek politik tersebut terhadap perkembangan ruang adalah bahwa sebelum infrastruktur berupa jalur transportasi darat dibangun untuk menghubungkan Kota Malang dengan daerah pesisir utara Pulau Jawa, terutama Kota Surabaya dan juga daerah perkebunan sebelah barat, timur dan selatan Malang, maka sebagaimana pusat wilayah lain yang berjarak jauh dari pesisir pantai Utara Jawa, Kota Malang termasuk dalam kategori daerah pedalaman. Sejalan dengan upaya pembangunan jalan penghubung antar daerah produksi, pembangunan jaringan jalur kereta api, Kota Malang menjadi dapat dengan mudah terjangkau dari pesisir utara Jawa sehingga tidak lagi menjadi daerah yang terisolir (daerah pedalaman). Kondisi tersebut tidak hanya berdampak pada kemudahan aksesibilitas untuk menuju Kota Malang dari daerah lain tetapi yang lebih penting adalah berdampak pada perubahan ruang yaitu yang semula cenderung berkarakter ruralscape lambat laun menjadi berkarakter urbanscape , dan momen itulah yang menjadi awal dari terbentuknya kota-kota kolonial, termasuk Kota Malang. Kondisi inilah yang menjadi cikalbakal perkembangan wilayah di Kota Malang pada awal abad 20 ketika Malang kemudian berubah status menjadi gementee. Kondisi inilah yang mengawali pembangunan berbagai bangunan berarsitektur kolonial dengan fungsi-fungsi baru guna menunjang aktivitas di segala bidang terutama ekonomi dan pemerintahan. Stasiun Kereta Api Kota Baru Malang yang didirikan di kawasan Bouwplan II pada tahun 1930an adalah bangunan dengan fungsi yang sangat vital untuk memenuhi kebutuhan transportasi jalan baja masyarakat Kota Malang secara keseluruhan. Stasiun Kereta Api Kota Baru Malang adalah satu-satunya bangunan yang mewadahi kegiatan pengangkutan penumpang untuk moda transportasi jalan baja jarak jauh di Kota Malang, dengan tingkat pelayanan yang beragam. Bangunan ini adalah bangunan yang menjadi bagian penting dari infrastruktur tidak hanya skala kawasan, tetapi juga regional kota dan kabupaten Malang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa salah satu latarbelakang kemunculan elemen -elemen kota di dalam studi ini adalah adanya praktek politik ekonomi dan sosial budaya pada masa politik liberal Belanda, yang memicu terjadinya gaya hidup baru yang menggambarkan karakter kehidupan komunit as masyarakat urban yang kental dengan aktivitas ekonomi, mencakup aktivitas produktif dan konsumtif tinggi disertai dengan tingkat mobilitas yang tinggi pula. Seperti yang dinyatakan oleh Sachari (2007) tentang gaya hidup baru yang muncul di masyarakat Indonesia akibat kolonisasi Belanda, yaitu bahwa profil masyarakat kota yang tumbuh sejak masa kolonisasi tercermin dari kebiasaan hidup sehari-hari yang mencerminkan gaya hidup modern seperti masyarakat Eropa. Munculnya kelas sosial baru mendukung proses pembentukan manusia “kota” yang cenderung menyerap segala sesuatu yang bersifat modern, baik dalam hal pola berpikir maupun dalam mengaktualisasikan diri melalui ekspresi arsitektur. Ekspresi arsitektur masyarakat lokal pada masa akhir politik etis menunjukkan adanya perubahan signifikan dari yang berciri tradisional menjad i lebih modern. Hal tersebut tidak lepas dari peran politik etis melalui pemberlakukan politik pendidikan di masa awal abad 20 sampai den gan akhir masa kolonisasi. Bahkan sistem tersebut bisa jadi masih menjadi pijakan bagi pemberlakukan sistem pendidikan di Indonesia sampai dengan saat ini. Lewat lulusan Ambatchschool telah terjadi transfer pengetahuan rancangan dan konstruksi bangunan dari para pendidik Belanda ke khalayak masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, B 006 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Nov iani Sury asari sudah menjadi suatu kelaziman jika pada akh irnya arsitektur kolonial Belanda milik kelas priyayi dan orang Belanda itu sendiri dijadikan sebagai simbol kehidupan yang lebih b aik, maju dan modern (Pangarsa 2006). Kembali lag i pada pertanyaan yang telah diungkap di atas yaitu apakah sudah terjadi kecenderungan perubahan arah kiblat ke Eropa? Apakah sudah terjadi kecenderungan pembaratan nilai-n ilai lokal atau nilai-nilai timur selama masa kolonisasi yang berlangsung beratus tahun? Pertanyaan tersebut perlu dit elisik dan dijawab, sehingga perlu penelitian lebih jauh, namun paling tidak gambaran umum dinamika masyarakat yang ada di masa kolonial Belanda memberi sedikit penjelasan bahwa dinamika masyarakat modern dengan gaya hidup modern yang sangat terlihat kental di abad 21 ini berawal dari aktivitas kolonisasi Belanda di Indonesia melalui pelaksanaan politik sosial-budaya dengan politik pendidikannya di masa politik etis. Tradisi Akademik pada arsitektur kolonial Belanda yang ada di objek studi Tradisi akademik di bidang desain dalam hal ini adalah arsitektur, dimulai saat pemerintah Hindia Belanda gencar melakukan pembangunan fungsi-fungsi bangunan baru sebagai pendukung kegiatan perekonomian di awal sampai dengan paruh abad 20. Arsitek-arsitek Belanda yang umumnya berlatarbelakang pendidikan di bidang arsitektur memiliki kontribusi yang sangat besar dalam proses tahap perancangan bangunan-bangunan tersebut. Proses perancangan sangat diwarnai dengan tradisi akademik, artinya dilakukan dengan suat u pendekatan yang akademis sehingga menjadi pendekatan yang sangat rasional, karena latarbelakang pendidikan arsitektur yang secara formal diperoleh si arsitek di Eropa. Tradisi akademik itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses perancangan bangunan-bangunan kolonial yang ada di Kota Malang semasa pelaksanaan Bouwplan I-VIII, termasuk perencanaan dan perancangan kota yang konsepnya dibuat dengan pendekatan akademis dan rasional pula dari seorang Thomas Karsten. Thomas Karsten tidak dapat dilepaskan dari perencanaan elemen path yaitu poros utama TimurBarat Kota Malang, dengan penggalnya pada bagian Jl. Kertanegara – Jl. Kahuripan. Demikian pula dengan objek/ kasus studi yang lain yaitu bangunan stasiun, balai kota, alun -alun bundar serta perempatan Kayu Tangan karena semuanya direncanakan oleh pemerintah kolonial atas masukan dan nasehat dari Thomas Karsten yang secara resmi menjadi adviseur (penasehat) Kota Malang antara tahun 1929-1935. Thomas Karsten mengenyam pendidikan arsitektur di Sekolah Tinggi Teknik di Delft pada tahun 1904, dan kemudian setelah lulus pada tahun 1909 Thomas Karsten sangat banyak menyerap pengetahuan dari pengalamannya berorganisasi dan ikut terlibat dalam berbagai proyek dan serapan hasil pengetahuan itulah yang kemudian menjadi dasar dan berpengaruh besar terhadap pemikiran-pemikirannya dalam merencana dan merancang. Tradisi akademik yang muncul dalam tahap dan proses perancangan ditandai dengan ciri hadirnya proses perancangan yang sistematis dengan kerangka alur yang jelas, hadirnya konsep desain, sampai dengan analisis yang sistematis disertai gambar-gambar kerja yang terukur. Dengan fakta tersebut, maka diyakin i pula bahwa perancangan bangunan stasiun dan balai kota sebagai bangunan publik yang sangat vital dalam ko nteks keseluruhan Kota Malang diselesaikan melalu i proses perancangan dengan tradisi akademik pula. Melihat dan mempertimbangkan bahwa yang terlibat di dalam perancangan kedua bangunan tersebut adalah arsitek dan biro arsitektur yang sangat kompeten di bidangnya dan berlatarbelakang pendidikan formal sebagaimana yang Thomas Karsten alami. Perancangan arsitektur bangunan Stasiun Kereta Api Kota Baru Malang dipercayakan kepada Landsgebouwendienst (Jawatan Gedung Negara) dengan perancangnya arsitek Belanda bernama W .J Vander Eb., sedangkan perancangan secara teknis menjadi tanggung jawab Jawatan Kereta Api sendiri. Stasiun ini kemudian dibangun pada tahun 1939 dengan pelaksana pekerjaan pembangunannya adalah biro AIA ( Algemeen Ingenieurs en Architecten ). Spesifikasi tinggi untuk suatu bangunan stasiun diperlukan dan spesifikasi tersebut harus diketahui dan dikuasai oleh mereka yang seharusnya sudah menyerap pengetahuan melalui pendidikan tinggi. Spesifikasi yang Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| B 007 Aspek Intangible di Balik Jejak Rancang Bangun Arsitektur Kolonial Masa Pengembangan Wilay ah Kota Malang 1917-1929 penting untuk diketahui adalah spesifikasi ruang, bahan atau material serta cara membangun terkait dengan faktor keselamatan dan keamanan. Bangunan Stasiun Kereta Api Kota Baru Malang merupakan khasanah tipe bangunan stasiun jaman kolonial Belanda yang didesain dengan penekanan pada aspek keselamatan, keamanan bangunan dan penumpang, maka ciri utama bangunan yang menunjukkan hal ini adalah: adanya jenis ruang terowongan yang berfungsi tidak hanya sebagai jalur penghubung tetapi juga sebagai ruang perlindungan jika ada bahaya ancaman perang, ruang-ruang vital (ruang telegraf dan ruang peralatan pengaman) dirancang khusus dengan material beton bertulang dan jendela-pintu baja yang kedap gas beracun, dan atap bangunan yang dirancang dengan konstruksi shell (cangkang) setebal 5 cm. Kesimpulan Tulisan ini masih berfokus pada penjabaran nilai estetika sebagai salah satu dari tiga persoalan estetik pada kasus studi di Kota Malang, sehingga masih sangat perlu dilakukan kajian bagaimana penjabaran dua persoalan estetika yang lain pada kasus studi yang sama. Ke empat nilai estetika dalam konteks rancang bangun arsitektur kolonial masa pengembangan wilayah Kota Malang tahun 1917-1929 merupakan hal-hal intangible dari suatu warisan kota berbentuk kawasan dan bangunan, yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan langkah-langkah keberlanjutannya di masa yang akan datang. Bentuk langkah keberlanjutan tersebut masih memerlukan suatu kajian lebih mendalam lag i, sampai sejauh apa nilai estetika yang terungkap dalam studi ini berperan dalam penyadaran, pembelajaran dan pembudayaan bagi masyarakat saat ini. Kajian tersebut dapat menjadi usulan untuk penelitian yang akan datang. Daftar Pustaka Ahimsa-Putra, H.S. (2000). Heritage: Warisan atau Pusaka – Perspektif Antropologi Budaya . Yogyakarta: Digital Archive of Indonesian Contemporary Art. Bakri, A.F. Ibrahim, N. Ahmad S.S. & Zaman N.Q. (2014). Valuing Built Cultural Heritage in a Malaysian Urban Context. Asian Conference on Environment-Behaviour Studies Chung-Ang University, Seoul, S. Korea , 25-27 August 2014 "Environmental Settings in the Era of Urban Regeneration". Elrasoul, R. (2016). City Architectural Heritage Revival: The Need of a New Applied Approach. Procedia - Social and Behavioral Sciences 225 (2016) 216 – 225. Fitri, I. Ahmad Y. Ahmad F. (2015). Conservation of Tangible Cultural Heritage in Indonesia: A Review Curent National Criteria for Assessing Heritage Value. Procedia - Social and Behavioral Sciences 184 (2015) 71 – 78. Halu, Z.Y. & Kucukkaya, A.G. (2016). Public Participation of Young People for Architectural Heritage Conservation. Procedia - Social and Behavioral Sciences 225 ( 2016 ) 166 – 179. Handinoto. Soehargo, & Paulus, H. (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang . Yogyakarta: ANDI. Kartika, D.S. Prawira, N.G. (2004). Pengantar Estetika . Bandung: Rekayasa Sains. Kwanda, T. (2013). Mengelola Perubahan: Perencanaan Konservasi Gedung De Javasche Bank Surabaya. DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment), Vol. 40, No. 1, July 2013, 39-52. Mısırlısoy, D. & Günce, K. (2016). Adaptive Reuse Strategies for Heritage Buildings: A Holistic Approach. Sustainable Cities and Society 26 (2016) 91-98. Pangarsa, G.W. (2006). Ambachtsschool di Malang Membentuk Kelas Pekerja Agen Perubahan Arsitektur rakyat. Jurnal RUAS 4(1): 23-37. Prajnawrdhi, T.A. Karuppannan, S. & Sivam, A. (2015). Preserving Cultural Heritage of Denpasar: Local Community Perspectives. Procedia Environmental Sciences 28 (2015) 557 – 566. Sachari, A. (2002). Estetika – Makna, Simbol, dan Daya . Bandung: Penerbit ITB. _____________. (2007). Budaya Visual Indonesia . Jakarta: Erlangga. Vecco, M. (2010). A Definition of Cultural Heritage: From The Tangible to The Intangible. Jurnal of Cultural Heritage 11 (2010) 321-324. B 008 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017